KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FI ZHILAL QUR’AN
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
FUAD LUTHFI NIM : 101033221828
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
FUAD LUTHFI NIM: 101033221828
Pembimbing
Dr. Sirojuddin Aly, MA. NIP. 195406052001121001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul “Konsep Politik Islam Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata Satu (S1) pada program studi Ilmu Politik.
Bekasi, 18 Agustus 2011
Tim Penguji, Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Ali Munhanif, Ph.D NIP. 150253408
M. Zaki Mubarok, M.Si NIP.197309272005011008 Penguji,
Penguji I
Penguji II
Ali Munhanif, Ph.D NIP. 150253408
Dr. Nawiruddin, MA Pembimbing,
Dr. Sirojuddin Aly, MA NIP. 195406052001121001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ada karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 Agustus 2011
Fuad Luthfi
ABSTRAKS
Skripsi ini mengkaji konsep politik Islam yang digagas oleh Sayyid Quthb, pemikir dan tokoh pergerakan Islam asal Mesir yang sangat terkenal, baik di kalangan Dunia Islam maupun Dunia Barat. Sayyid Quthb sengaja dipilih karena ia dipandang sebagai salah seorang tokoh dan arsitek politik al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Ia biasa disebut sebagai pejuang dakwah Islam (mujahid da’wah), atau tokoh yang secara formal disebut sebagai pemikir dan da’i (rijal al-fikr wa al-da’wah). Pemikiran Sayyid Quthb mempengaruhi banyak kalangan cendekiawan Islam. Karya-karyanya memperoleh audensi besar dari masyarakat Islam dunia. Beberapa karya pentingnya telah disalin ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Kitab Ma’alim fi al-Thariq, karya Quthb, pernah menggemparkan banyak kalangan di dunia Islam; dan Fi Zhilal al-Qur’an, tafsir al-Qur’an yang merupakan karya terbesar Sayyid Quthb, cukup populer dan berpengaruh di kalangan masyarakat Muslim dunia, termasuk Indonesia dalam segala aspeknya. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an sendiri merupakan hasil dari dinamika akademis, politik, dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual dalam mendekati Al-Qur’an dari perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan politik. Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mengkhususkan mengangkat bidang politik dari pemikiran Sayyid Quthb dalam sebuah karya ilmiah dengan tema “Konsep Politik Islam Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an." Tema pokok gagasan konsep politik Sayyid Quthb yang tertuang dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an adalah: pertama, konsepsi al-Quran mengenai kehidupan; kedua, kedaulatan Tuhan; ketiga, tujuan negara; keempat, prinsipprinsip pemerintahan; kelima, konsep kewarganegaraan, dan keenam, prinsipprinsip pengaturan kebjaksanaan negara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode library research (metode pustaka) yaitu dengan mencari data-data dari berbagai literatur dan sumber yang ada kaitannya dengan masalah di atas. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik analisis, yaitu dengan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsep politik Islam untuk kemudian dianalisis bagaimana konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb. Sumber primer sebagai data pokok dalam penelitian ini adalah tafsir Fi Zhîlâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb dan karya-karya keislamannya yang lain, di antaranya adalah : Ma’âlim Fi al-Tharîq dan Ayat-ayat Pilihan Tafsir Fî Zhilâl alQur’ân.
iii
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم Alhamdulllah, penulis panjatkan puji syukur yang tak ternilai oleh apa pun atas limpahan rahmat, karunia dan izin-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang penulis beri judul “KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR'AN". Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw
Dengan selesainya skripsi ini, merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagi penulis meskipun dalam penyelesaiannya selalu mendapat rintangan-rintangan baik dari diri sendiri maupun dari luar, namun berkat kasih sayang-Nya, rintangan-rintangan tersebut dapat teratasi. Dan juga tak lupa adanya bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan beribu-ribu terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA yang telah susah payah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini bisa rampung, semoga Allah membalas semua jasa beliau. 2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. 3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA.
iv
4. Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Politik Bapak Ali Munhanif, Ph. D dan Bapak M. Zaki Mubarok, M. Si. 5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah mencurahkan ilmunya yang sangat berarti bagi penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ayahanda Penulis KH. M. Natsir dan Ibunda H. Nurmalihah, S.Pd.I yang tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis selama ini, semoga Allah SWT mengampuni dosa keduanya dan menyayangi keduanya sebagaimana keduanya menyayangi penulis di aktu kecil. 7. Kanda Hj. Rifqiyah, Lc., Ahmad Fathoni, SH.I dan Najmuddin, SE.I serta adik-adikku Eneng Himayati, Lc dan Nurul Atiq yang banyak memberikan motivasi dan bantuan moril kepada penulis dengan tanpa pamrih dan penuh kasih sayang. 8. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis. 9. Teman-teman Jurusan Ilmu Politik B angkatan 2001, yang selalu memotivasi penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak penulis sebutkan di sini, namun tidak mengurangi hormat dan ta’zhim penulis kepada mereka.
v
Terakhir penulis hanya dapat memanjatkan doa semoga kebaikan dan amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Bekasi, 16 Agustus 2011
Fuad Luthfi
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………i LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………..ii ABSTRAK ………………………………………………………………………iii KATA PENGANTAR ………………………………………………………….iv DAFTAR ISI……………………………………………………………………vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………1 B. Kajian Kepustakaan ………………………………………………...5 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………..5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….6 E. Metode Penelitian ……………………………………………………7 F. Sistematika Penulisan ……………………………………………….8 BAB II BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN KARYANYA A. Riwayat Hidup………………………………………………………10 B. Karya-karya Sayyid Quthb………………………………………...14 C. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an …………………………………………16 BAB III TEORI POLITIK ISLAM A. Dasar-dasar Teori Politik Islam …………………………………..19 B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam ………………………..22 C. Teori Kekhilafahan dalam Islam ………………………………….24 D. Hakekat Demokrasi dalam Islam …………………………………25
BAB IV KONSEP POLITIK ISLAM DALAM TAFSIR FI ZHILAL ALQUR’AN A. Konsepsi al-Qur’an Mengenai Kehidupan …………….................27 B. Kedaulatan Tuhan …………………………………………………32 C. Tujuan Negara ……………………………………………………..37 D. Prinsip-prinsip Pemerintahan …………………………………….41 E. Konsep Kewarganegaraan…………………………………………45 F. Prinsip-prinsip Pengaturan Kebijaksanaan Negara ……………..63 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………………………………………………………….70 B. Saran ………………………………………………………………..72 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..73
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sayyid Quthb merupakan salah satu tokoh politik Islam yang sangat concern dengan pergerakan Islam dan memiliki pengaruh yang cukup luas di dunia Islam. Sebagai tokoh politik Islam dan aktivis pergerakan Islam, Sayyid Quthb merupakan salah seorang tokoh yang sangat terkenal dan popular. Popularitas Quthb bahkan menyamai pendahulunya, Hasan al-Banna, pendiri gerakan al-Ikhwan al-Muslimin. Sayyid Quthb disebut sebagai tokoh ideology Ikhwan karena ia berperan besar dalam memformulasi ideology (fikrah) Ikhwan dan mensosialisasikan dalam gerakan-gerakannya.1 Sejak bergabung dengan Ikhwan pada tahun 1953, Sayyid Quthb berperan besar dalam mengembangkan dan memajukan Ikhwan. Ia mencoba memperjelas dan mempertegas tujuan dan cita-cita Ikhwan kea rah terwujudnya system Islam. Dalam setiap kesempatan, Quthb selalu mengajak kaum muslim melawan semua system yang disebutnya jahiliyyah, baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun negeri-negeri lain, selanjutnya digantikan dengan fikrah atau system Islam, tak terkecuali juga dalam bidang politik. Untuk mewujudkan cita-cita ini, tentu saja Sayyid Quthb harus berhadapan dengan konspirasi-konspirasi jahat penguasa dari Negara luar dan di dalam negerinya yang tak menghendaki system Islam tegak di 1
M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1997), h. 197; “Gerakan-gerakan Islam Internasional dan Pengaruhnya Bagi Gerakan Islam Indonesia,” Dalam Prisma, Nomor Ekstra, (1984), h. 29.
1
2
dunia ini. Berkali-kali ia disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara sampai akhirnya dieksekusi di tiang gantungan oleh rezim pengasa Mesir pada tahun 1966.2 Dengan melihat sepintas latar belakang kehidupan seperti disebutkan di atas, maka tak seorangpun dapat menyangkal keberadaan Sayyid Quthb sebagai pemikir dan aktivis politik Islam (rijal al-fikr wa al-da’wah siyasi Islam). Sebagai politikus Islam, Sayyid Quthb memperlihatkan komitmennya yang tinggi terhadap perjuangan dan semangat menegakkan politik Islam, yaitu perjuangan dan semangat untuk mewujudkan system Islam, baik pada tataran individu maupun social dan cultural. Semangat ini terlihat jelas dalam semua tulisan Quthb, terutama dalam karya master piece-nya yang sangat terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an. Menurut Sayyid Quthb, masyarakat dunia kontemporer dihadapkan dengan dua pilihan konsep politik, yakni sistem jahiliyah dan Islam. Konsep politik yang pertama merupakan produk masyarakat sekular dan konsep yang disebutkan pada uruta kedua merupakan produk 'agama'. Karena pilihan ini diberikan oleh negara adikuasa yang memimpin dunia, maka pilihan ini menjadi polemik di kalangan cendekiawan Muslim.3 Peradaban Barat yang telah maju, setelah berusaha membebaskan diri dari cengkraman 'agama' (gereja), tentunya menjadi bangga dengan kesuksesannya sekarang dan melihat penyebab kemajuannya adalah berkat keberhasilan sekularisasi di dunia Barat. Pada dunia yang serba serbinya diwarnai dengan materialisme dan dualisme, pilihan ini diberikan atas nama kemajuan dan 2
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), h. 17-18. 3 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,h. 68-69.
3
pembangunan, pihak kedua hanya bisa menerima atau menolak tentunya dengan konsekwensi; menyokong sebagai kawan atau menentang sebagai lawan. 4 Lalus bagaimanakah dengan pendapat cendekiawan Islam? Sayyid Quthb dan pembaharu Islam lainnya seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Hasan al-Banna meyakini bahwa kelemahan kaum Muslim diakibatkan oleh dominasi Eropa dan penyimpangan dari ajaran Islam sejati. Untuk membangkitkan Islam, menurut Sayyid Quthb, umat Islam harus bertekad untuk kembali memahami ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). kembali kepada Al-Qur'ân dan al-Sunnah, seperti yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW dan sahabat-sahabatnya.5 Pemerintahan Islam yang dibina Nabi Muhammad SAW dan khalifah Rasyidin menunjukkan perwujudan suatu tatanan Islam yang komprensif, konkrit dan historis. Akan tetapi di bawah penguasa berikutnya, dunia Islam menjadi lemah disebabkan beberapa faktor, antara lain: perebutan kekuasaan, yang berkuasa bukan Arab, perpecahan soal-soal sekunder, kurang para ilmuan praktis taklid buta pada otoritas. Hal tersebut terbukti pada abad ke 13 dunia Islam sangat buta dan rentan terhadap invasi bangsa Mongol dan tentara Salib meskipun dibawah Mamluk dan Dinasti Usmaniyah dunia Islam sempat bangkit namun sempat tidak lama, dan tidak terbendung agresi Eropa disemua sektor. Akhirnya dunia Islam harus tunduk kepada dunia Barat sampai akhir abad ke 19. Awal abad ke 20 lahirnya kebangkitan Islam yang dipelopori oleh cendikiawan-cendekiwan 4
terkemuka
umat
Islam
mulai
sadar
akan
Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (terj.) Rifyal Ka’bah (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 107-108 5 Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Qur’an, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), h. 904-905.
4
ketertinggalannya dari dunia Barat mereka bangkit berusaha merebut kembali kejayaan dunia Islam tempo dulu dengan terbentuknya berbagai macam organisasi oleh tokoh-tokoh pejuang dan ulama-ulama terkemuka, salah satu contohnya adalah Sayyid Quthub dengan garakan Ikhwan al-Muslimin-nya.6 Sayyid Quthb mempertegas tentang politik negara atau pemerintahan Islam, ia menyebutkan :" Pemerintahan Islam itu supra nasional, meskipun dia menolak dipergunakannya istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan. pada pemerintahan pusat, yang di kelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat di seluruh penjuru dunia Islam tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, bahkan dalam banyak hal tidak pula mengenal fanatisme keagamaan."7 Dengan demikian menurut penilaian Sayyid Quthb pemerintah Islam bercorak manusiawi, terutama dengan persepsinya yang kuat tentang kesatuan manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia terhimpun dibawah bendera persaudaraan atau persamaan. Sebagai tokoh pembaharuan Sayyid Quthb melontarkan ide-ide yang berbeda
dengan
pembaharuan-pembaharuan
sebelumnya,
beliau
meletakkan dasar-dasar konsep pergerakan politik yang konkrit, bahkan tidak jarang beliau melakukan tindak progresif dan tegas dalam mewujudkan konsep-konsep tersebut, sehingga organisasinya sering mendapatkan tantangan dari pemerintah setempat. Pengaruh Ikhwanul Muslimin yang beliau pimpin
6
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,h. 79-80. Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991) , h. 149. 7
5
tidak saja di Mesir, tetapi telah menjalar ke dunia Islam lain, seperti Pakistan yang menjadi negara Islam tidak luput dari pengaruh ide-idenya. Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mengangkat masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR'ÂN". B. Kajian Kepustakaan (Literatur Review) Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada cendekiawan Islam yang menulis secara khusus pemikiran politik Islam Sayyid Quthb. Kalaupun ada tulisan ataupun karya ilmiah yang mengetengahkan pemikiran sosok Sayyid Quthb hanya sekilas lalu membahas tentang corak penafsiran al-Qur’ân dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, seperti yang dibahas dalam buku karya Taufik Adnan Amal yang berjudul Rekonstruksi Sejarah al-Qur’ân atau gerakan dakwah Sayyid Quthb yang dikaitkan dengan terorisme seperti karya Abegabriel dan kawankawan dalam Negara Tuhan. Sedangkan penulis berupaya untuk mengungkapkan pemikiran politik Sayyid Quthb yang tertuang dalam karya tafsir terkenalnya tersebut. Dengan demikian, apa yang diupayakan oleh penulis ini bukan merupakan suatu pengulangan dari apa yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh penulis lain. C. Batasan dan Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang di atas dan keterbatasan kemampuan jangkauan penulis untuk menganalisis pemikiran Sayyid Quthb yang begitu luas cakupannya dalam berbagai bidang keilmuwan dan kehidupan, maka penulis hanya membatasi dan merumuskan masalah diseputar konsep politik Islam
6
menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl alQur'ân. Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada, maka dalam pembahasan ini penulis merumuskan konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân dalam suatu rumusan: 1. Bagaimana konsep al-Qur’an mengenai kehidupan? 2. Bagaimana bentuk kedaulatan Tuhan? 3. Bagaimana tujuan Negara? 4. Bagaimana prinsip-prinsip pemerintahan? 5. Bagaimana konsep kewarganegaraan? 6. Bagaimana prinsip-prinsip pengaturan kebijaksanaan negara? D. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini mengetahui konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân dengan poin tujuan, yaitu: 1. Untuk mengetahui konsep al-Qur’an mengenai kehidupan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.. 2. Untuk mengetahui kedaulatan Tuhan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân. 3. Untuk mengetahui tujuan Negara menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân. 4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemerintahan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.
7
5. Untuk mengetahui konsep kewarganegaraan menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân. 6. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pengaturan kebijakan Negara menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl alQur'ân. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain dalam mengembangkan teori konsep politik Islam, terutama konsep pemikiran dari Sayyid Quthb. 2. Untuk dapat memberikan informasi kepada dunia akademis, khususnya cendekiawan politik, tentang konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân. 3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang konsep pemikiran politik Islam. E. Metode Penelitian. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode library research (metode pustaka) yaitu dengan mencari data-data dari berbagai literatur dan sumber yang ada kaitannya dengan masalah di atas. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik analisis, yaitu dengan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb. Sumber primer sebagai data pokok dalam penelitian ini adalah tafsir Fi Zhîlâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb dan karya-karya keislamannya yang lain, di
8
antaranya adalah : Ma’âlim Fi al-Tharîq dan Ayat-ayat Pilihan Tafsir Fî Zhilâl alQur’ân. Adapun sumber data sekundernya adalah buku-buku tentang politik Islam yang dianggap representatif untuk dijadikan perbandingan dalam pemikiran tentang masalah-masalah yang berada dalam wilayah kajian politik Islam, yaitu: Jihad Menurut Sayyid Quthub dalam Tafsir Zhilal, karya Muhammad Chirzin; Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, karya A. Ilyas Ismail; Gerakan-gerakan Internasional dan Pengaruhnya Bagi Gerakan Islam di Indonesia, karya M. Amien Rais; Perkembangan Modern dalam Islam karya Azyumardi Azra; Ideologi, Politik, dan Pembangunan karya Deliar Noer dan karya-karya ilmiah lain yang membahas tentang politik sebagai bahan sekunder lainnya. Sedangkan tehnik penulisan penelitian ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan. Adapun yang akan penulis bahas dalam bab 1 adalah: Latar Belakang Masalah, Kajian Pustaka, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistemtika Penulisan. Dalam bab II, penulis akan menerangkan Kondisi Umat Islam pada Masa Sayyid Quthb, Riwayat Hidup Sayyid Quthb, karya-karya Intelektual dan Ikhwan al-Muslimun dan politik kenegaraan Mesir.
9
Dalam bab III penulis akan membahas kerangka teori politik Islam yang meliputi: dasar-dasar teori politik Islam, hakekat dan karakteristik Negara Islam, teori kekhalifahan, dan hakekat demokrasi dalam Islam Dalam bab IV, penulis akan membahas konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam Kitab Tafsir Fî Zhilâl alQur'ân yang meliputi pembahasan mengenai konsep al-Qur'ân mengenai kehidupan, kedaulatan Tuhan, tujuan Negara, prinsip-prinsip pemerintahan, konsep kewarganegaraan, dan prinsip-prinsip pengatuyan kebijaksanaan Negara. Dalam bab V, adalah Penutup, penulis akan menguraikan Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN KARYANYA
A. Riwayat Hidup Sayyid Quthb lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang kental.1 Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Quthb kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Tak hanya itu, saat usianya masih belia, ia sudah hafal Qur'ân. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Quthb. Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Quthb dikirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.2 Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Quthb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Quthb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933, Quthb mendapat menyabet gelar Sarjana Pendidikan.3 Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Quthb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih 1
Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: Ichtra Baru van Hoeve, 2005), h. 90. Abegabriel, Negara Tuhan, (Yogyakarta: IRNIS, 2006), h. 257. 3 Ibid., h. 90 2
8
9
tinggi dari sebelumnya.Quthb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson's Teacher's College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula.4 Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Quthb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Quthb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama. Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Quthb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur'ân sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Quthb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul Muslimin.5
4 5
h. 165
Ensiklopedi Islam, Jilid 4, h. 91 Jamhari (Ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindopersada, 2004),
10
Saat itu Sayyid Quthb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan, Quthb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin al-Fikr al-Jadid. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan, karena dilarang beredar oleh pemerintah.6 Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Quthb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Quthb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Quthb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Quthb dari pemerintahnya kala itu.7 Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, meminta pada 6
Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Aunur Rafiq Shaleh (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 13. 7 Ibid.
11
pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Quthb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Quthb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.8 Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Quthb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati. Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya.
8
Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin; Konsep Gerakan Terpadu, jilid I (terj.) Syafril halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 41.
12
B. Karya-karya Sayyid Quthb Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa jilid buku al-Taswîr alFanni Fi al-Qur’ân (Disiplin Ilmu dalam al-Qur’ân) pada tahun 1939.9 Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’ân. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk Masyâhidul Qiyâmah Fi al-Qur’ân (Kesaksian Hari Kiamat) yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam al-Qur`ân. Dan pada tahun 1948, Sayyid Quthb menghasilkan sebuah buku berjudul al-‘Adâlah alIjtimâ’iyyah Fi al-Islâm atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.10 Dari
balik
lembaran-lembaran
buku
itu
Sayyid
Quthb
bermaksud
mengarahkan manusia kepada suasana Qur’âni, yaitu suasana baru yang dapat mereka rasakan sebagai hidangan lezat sebagaimana suasana diturunkannya al-Qur’ân itu sendiri. Dan dengan metode penyampaian yang segar, Sayyid Quthb mencoba menyingkapkan tabir yang menyelimuti manusia mengenai rahasia-rahasia dan artiarti yang belum pernah diterangkan sebelumnya. Dengan membaca karya-karyanya, orang-orang mengetahui secara dalam apa makna yang terkandung dalam setiap huruf, kata, dan kalimat yang diterangkannya. Ia menganjurkan agar setiap muslim
9
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Keindahan Alqur’ân yang Menakjubkan: Buku Bantu Memahami Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar (Jakarta: Robbani Press, 2004) 10
Abu Hassan dalam kata pengantar buku Sayyid Quthb, Fiqih Dakwah, Maudhu’at fi alDa’wah wa al-Harakah, (terj.), Suwardi Effendi, Ah. Rosyid Asyrofi (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. ii
13
selalu berada dalam suasana Qur’âni, dengan menghirup udara al-Qur’ân dan harus melangkah dalam perjalanan hidupnya bersama al-Qur’ân.
Dalam menghadapi paham komunisme dan kapitalisme, Sayyid Quthb menulis al-Salam Alami wa al-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam), Ma’rakatu alIslam wa al-Ra’sumaliyah (Pertikaian Islam dan Kapitalisme). Dalam menghadapi penyelewengan kebudayaan dan kesalahan-kesalahan paham-paham tersebut, ia juga menulis sebuah karya berjudul al-Islam wa Musykilatu al-Madharah (Islam dan Problematika Kebudayaan). Dan dalam menghadapi kepercayaan-kepercayaan yang sesat, ia menulis karya berjudul Kashaishu al-Tashawuri al-Islami wa Muqawamatihi (Ciri-ciri Penggambaran Islam dan Pembendungannya), Hadza al-Din (Inilah Islam), dan al-Mustaqbalu Lihadza al-Din (Masa Depan Ditangan Islam). Sedangkan sebagai dasar pijakan dan langkah-langkah politik dinamis, ia menulis Ma’alim fi al-Thariq (Petunjuk Jalan). Pesan utama yang ditekankan Quthb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’ (pembuatan peraturan). Dan karenanya, menurut Quthb ikrar Lailahaillallah adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi-Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada hak-Nya.11
11
Sayyid Quthb, Masa Depan Di Tangan Islam, (terj.), t.p., (Malaysia: IIFSO, 1982), h. 9.
14
C. Tafsir FîZhilâl Al-Qur'ân Tafsir Zhilâl (demikian biasa orang menyebut tafsir Fi Zhilal Al-Qur’ân) adalah tafsir yang fenomenal. la hadir dengan sosoknya yang khas, berbeda dengan umumnya kitab tafsir. la sarat dengan tuangan perenungan pengarangnya, Sayyid Quthb, yang dalam dan cerdas. Melalui goresan penanya yang diisi dengan tinta seorang ilmuwan dan darah seorang syahid, Ahmed Hasan Farhatt mengatakan bahwa ayat-ayat Qur’ân yang turun lima betas abad lampau ini, kini seakan kembali hidup dan menemukan kekuatan maknanya. Ayat ayat Qur’ân, yang bertebaran dalam lembaran lembaran mushaf dengan berbagai tema yang terkadang dipahami tidak saling berhubungan, berhasil dihimpun, dijalin, dan disinergikan hingga muncullah dari sana daya doktrinnya yang kuat, daya pemanduannya yang jelas, dan daya pencerahannya yang menggairahkan, dengan komprehensivitas dan universalitas nilai nilai ajarannya yang paripurna.12 Tafsir ini merupakan rujukan terpercaya bagi para aktivis Islam. Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthb di kalangan para aktivis Islam, memang mempunyai tempat spesial. Ia bukan hanya sederetan kata demi kata tentang tafsir alQur’ân, tapi juga merupakan saksi nyata dari kehidupan mufassirnya sendiri. Karya ini merupakan perpaduan dari hasil perenungan dan pengalaman seorang Sayyid
12
Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân (Jakarta: Penerbit : Era Intermedia , 2004)
15
Quthb, dan cukup laris pula dikutip dan ditelaah orang.13 Karya masterpiece sang syahid Sayyid Quthb ini adalah tafsir paling monumental abad ke-20. Tafsir ini ditulis dengan metodologi yang sama sekali baru dan mencoba menghadirkan al-Qur’ân dengan semangat dan nuansa seperti ketika ia pertama kali diturunkan kepada Rasulullah saw., agar wahyu ini bekerja sebagaimana ia dahulu bekerja: membangun sebuah komunitas kecil yang mendiami gurun tandus jazirah Arab dan mengubah para penggembala kambing itu menjadi pembangun peradaban dan pemimpin umat manusia. Al-Qur’ân adalah telaga tempat umat ini dapat menemukan kebesarannya. Dan yang menulis tafsir ini, adalah seorang yang telah melanglang buana selama lebih dari empat tahun dalam dunia pemikiran dan kebudayaan, membaca semua karya pemikiran manusia, untuk kemudian kembali kepada al-Qur’ân dan menemukan semua yang ia cari di sana; dalam lembaran-lembaran wahyu yang selama ini ada di sisinya. Sayyis Quthb merampungkan tafsir ini di dalam penjara selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun, kemudian mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagai syahid. Ia membayar keyakinannya dengan darahnya. Dan tafsir ini adalah lukisan keyakinannya. Ia adalah tafsir iman atas al-Qur’ân. Dalam versi atau terbitan Dârusy-Syuruq Kairo Mesir, karya ini dikemas menjadi enam jilid besar. Sementara edisi Indonesianya menjadi tiga belas jilid dan diterbitkan oleh penerbitan
13
Muhammad Quraish Shihab dalam karya tafsir al-Qur’ânnya yang berjudul Tafsir alMishbah banyak mengutip pendapat-pendapat Sayyid Quthb dalam menjelaskan arti kata dan maksud ayat-ayat yang terkandung al-Qur’ân. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, (Jakarta: Lentera, 2002).
16
Robbani Press sebuah penerbit yang akrab sebagai penerbit buku fikrah dan harakah Islamiyah. Banyak buku tafsir al-qur’ân yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, Tafsir Ibnu Katsîr, Tafsir Jalâlain, Tafsir Al-Shabûni, dan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Tiap-tiap kitab Tafsir mempunyai ciri khas masing-masing. Ciri yang sangat menonjol pada tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân adalah kuatnya gambaran artistik yang menurut pendapat Sayyid Quthb, menjadi ciri khas utama uslub (ungkapan) Alqur’ân.14 Dan penulis dalam skripsi ini mencoba untuk mengungkapkan sisi pemikiran politik Islam yang yang terkandung di dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab berikutnya.
14
Sayyid Quthb, Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân,jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 15.
BAB III TEORI POLITIK ISLAM
A. Dasar-dasar Teori Politik Islam Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait
dengan
urusan
duniawi,
seperti,
bagaimana
mengatur
sistem
perekonomian, penegakan hukum, dan sebagainya, termasuk tentang konsep politik.1 Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang beliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya „negara‟ yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung
kebijaksanaan
politik
Nabi
untuk
menciptakan
kestabilan
bernegara.2 Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya
1
Amin Rais, Pengantar Buku Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, dalam Utsman Abdul Mu‟iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaliatif terhadap Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, (terj.), Salafuddin Abu Sayyid, Hawin Murtadho (Solo: Era Intermedia: 2000), h. 2. 2 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 195.
17
18
berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.3 Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka.4 Dalam bab ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep politik dalam Islam yang diyakini sebagai ajaran hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep politik Islam baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah.5 Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompokkelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang
3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), h. 2. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj.) Ghufron A. Mas‟adi (Jakarta: RajaGrafindo Persada: 1999), h. 81. 5 Ibid., h. 103. 4
19
spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.6 Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari para pemikir di atas. Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.7 Sedangkan, para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu: pertama, Kelompok Konservatif Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî. Kedua, Kelompok Modernis. Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh. Dan ketiga, Kelompok Liberal. Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-
6
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan; Teori dan Praktek (Surabaya: Aulia, 2004), h. 196. 7 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 19.
20
fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.8 B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman.9 Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosialpolitik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.10 Dalam dunia Islam, menurut Din Syamsuddin, secara umum ditemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.11 Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama 8
Ibid., h. 25 Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam Al-Qur’ân, (terj.) Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. vii. 10 Abdulaziz Sachedina, Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam, (terj.) Satrio Wahono (Jakarta: Serambi, 2004), h. 70. 11 M. Din Syamsuddin, "Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam", ed. Abu Zahra dalam, Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 32. 9
21
dan negara. Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Paradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.12 Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Prancis, Roger Garaudy, berpendapat bahwa Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.13 Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri. 12
Abu Zahra, Politik Demi Tuhan, h. 33. Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam, Perjalanan Religious Roger Garaudy, (terj.) Rifal Ka‟bah (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 216. 13
22
C. Teori Kekhalifahan dalam Islam Secara histories kekhilafahan sebagai sistem politik baru muncul sepeninggal nabi, seperti yang baru disinggung di atas. Naiknya Abu Bakar sebagai khalifah rasul Allah (pengganti rasul sebagai pemimpin umat), maka bermulalah sistem itu dalam sejarah Islam, sekalipun ada sekelompok umat yang menolak pengangkatan Abu Bakar, yang kemudian menggumpal dalam kelompok syi‟ah. Atas usul „Umar dalam perundingan di Tsaqifah Bani Sa‟idah, sementara jenazah nabi masih belum lagi terkubur, Abu Bakar ditetapkan sebagai kepala komunitas (negara) Muslim di Madinah. Muhammad sebagai nabi dan rasul tidak dapat digantikan, tetapi sebagai pemimpin umat harus ada penggantinya, sebab tanpa pemimpin formal komunitas baru itu akan berantakan. Maka khalifah sebagai penerus kepemimpinan Muhammad harus dibaca dalam konteks sejarah seperti ini. Dalam kaitan ini, sekitar lima abad setelah nabi, muncullah teori al-Mawardi (w. 1058) yang dimulai dengan kalimat: al-imama maudhu’atun likhilafat al-nubuwwa fi hirasa al-din wa siyasa al-dunya (Kepemimpinan dilembagakan sebagai pengganti (posisi) kenabian untuk menjaga agama dan mengatur dunia).14 Sebelum al-Mawardi, al-Baqillani (w. 1013) telah pula merumuskan teori tentang masalah kepemimpinan pasca nabi ini, terutuma juga untuk menyangkal klaim syi‟i, untuk kekhalifahan yang hanya berdasarkan akhbar al-ahad (otoritasotoritas yang meragukan), bukan khabar mutawatir (informasi yang otoritatif). Karena dari sisi nashsh (dalil agama) lemah, maka teori syi‟i menurut al-Baqillani harus ditolak. Yuris ini menggunakan ungkapan: “Jika penetapan/penunjukkan 14
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 2004), h. 245.
23
tidak sah, maka pemilihan menjadi sah” (izda fasada alnashsh shahha alikhtiyar).15 Artinya pemilihan Abu Bakar di Tsaqifah adalah sah menurut syari‟at, klaim di luar itu harus ditolak. Polemik sunni-syi‟i mengenai sistem kekuasaan telah menghabiskan energi umat selama berabad-abad, dan belum ada penyelesaian, karena masingmasing pihak membangun teori mereka berdasarkan kepentingan politik kekuasaan. Pembenaran al-Qur‟ân terhadap pendirian mereka sebenarnya adalah uapaya penelikungan Kitab Suci ini untuk urusan duniawi. Karena al-Qur‟ân tidak tegas-tegas memberi panduan untuk sistem politik, dan memang tidak perlu mengingat perubahan zaman, tetapi setidak-tidaknya prinsip syura dan doktrin “yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang paling bertaqwa,” 16 Berdasarkan apa yang secara ringkas penulis sampaikan di atas, menurut penulis, tentang teori kekhilafahan dan yang terkait dengan itu, bagi umat yang datang kemudian terbuka pintu yang sangat lebar untuk berijtihad dalam semua lapangan, termasuk dalam teori politik. Karena al-Qur‟ân telah memberikan prinsip syura dan posisi setara bagi manusia di depan Tuhan dan sejarah, maka bukanlah sebuah dosa untuk mengembangkan sistem demokrasi yang dikawal oleh wahyu dan nilai-nilai kenabian. D. Hakekat Demokrasi dalam Islam Mayoritas penduduk Timur Tengah adalah beragama Islam. Oleh karena itu, penting untuk dibahas keterkaitan antara demokrasi dan Islam. Menurut Esposito, dalam hubungan demokrasi dan Islam, terdapat tiga aliran.
15 16
Ibid., h. 244. Al-Qur‟ân s. al-Hujurat: 13.
24
1. Aliran pemikiran yang berpendapat, bahwa Islam di dalam dirinya demokratis tidak hanya prinsip Shura (musyawarah), tapi juga karena konsep-konsep: ijtihad (independent reasoning) dan ijma’ (consensus/permufakatan).17 2. Aliran pemikiran yang menolak gagasan Islam dan demokrasi. Shaykh Fadlallah Nuri mengemukakan satu kunci gagasan demokrasi, persamaan semua warganegara adalah “imposible” dalam Islam.18. Sayyid Qutb menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah sebagaimana tercantum dalam al Qur‟ân. Ia percaya syariat sudah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak diperlukan legislasi lain. Sedang Shaykh Muhammad Mutawwali al-Sha‟rawi mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi. Sementara Ali Benhajd menegaskan bahwa konsep demokrasi harus digantikan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang Islami. Para teoritisi politik Barat saja sudah mulai memandang demokrasi sebagai ”sebuah sistem yang cacat” (a flawed system).19 3. Aliran ketiga ini menyetujui prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi lain pihak mengakui perbedaan diantara keduanya. Menurut Maududi, dalam demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan pelaksanaan pemilihan umum.
17
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20 (Bandung: Pustaka, 1988), h. 201. 18 John Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Menggugat Tesis Huntington, h. 436 19 Ibid.
BAB IV KONSEP POLITIK ISLAM DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR’ÂN
Inti konsep pemikiran Sayyid Quthb tentang politik yang dapat disimpulkan dari kitab Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, menurut A. Ilyas Ismail berupa gagasan tentang hakimiyyah, jahiliyyah dan tajhil, perjuangan Islam atau perang suci (jihad), serta revolusi Islam (tsaurat al-Islamiyyah)1 yang dijabarkan dalam metode konsep politik dalam al-Qur‟ân mengenai kehidupan, kedaulatan Tuhan, tujuan negara, prinsip-prinsip pemerintahan, konsep kewarganegaraan, dan prinsip-prinsip kebijaksanaan negara. A. Konsep al-Qur’ân Mengenai Kehidupan Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân mengatakan bahwa kehidupan umat Islam dewasa ini tidak akan sejahtera ketika tidak mengikuti jejak para pendahulu mereka.2 Pendapat tersebut bias dilihat Sebagaimana ketika ia menafsirkan al-Qur'ân surat Âli Imrân ayat 103,
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
1
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthb; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), h. 68-69. 2 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an; Di bawah Naungan Al-Qur'an, (terj.) As‟ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2008) Jilid. 2, h. 53.
25
26
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Menurut Sayyid Quthb, kehidupan adalah ciptaan Allah, ditentukan oleh takdir-Nya. Ia bukan tuhan, bukan kekuatan yang muncul dalam dirinya, tidak tumbuh dan ditumbuhkan oleh kemauannya sendiri, tidak terikat oleh kekuatan lain. Ia juga bukan sesuatu yang ada secara kebetulan atau tiba-tiba, ia tidak bergerak secara sporadik tak tentu arah. Alam juga bukan pencipta, tetapi ia diciptakan dan dijadikan oleh Allah seiring dengan kemunculan kehidupan. Allah telah menyiapkan bumi untuk jenis kehidupan yang tumbuh di dalamnya. Dan untuk pengelolaan itu Allah telah menurunkan al-Qur‟ân sebagai sumber dari segala sumber hukum umat manusia yang menuntunnya pada kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.3 Kenyataannya, umat banyak yang tidak lagi berpegang kepada sumber itu, kecuali hanya slogan. Padahal, di dalam Al-Qur'ân terdapat petunjuk-petunjuk bagaimana terbentuknya suatu masyarakat ideal dan praktik Nabi Muhammad saw. dengan masyarakat Qur'âni itu nyata sebagai realitas sosial dan berkelanjutan pada masa-masa berikutnya. Hal itu sejalan dengan pemikiran sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah4 bahwa Allah memberikan petunjuk bagi tercapainya masyarakat Qur'âni. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nûr/24: 55 berikut:
3
Ibid, h. 357 – 359. M. Amin Rais, “Kata Pengantar,” dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. x. 4
27
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Sayyid Quthb mengomentari ayat di atas bahwa itu janji Allah kepada Rasulullah saw. yang akan menjadikan umatnya sebagai penguasa-penguasa di muka bumi. Sehingga, negara-negara menjadi makmur dan rakyat menjadi patuh. Dan, janji itu terjelma sebelum Nabi Muhammad saw. wafat, yaitu bermula dari penaklukan Mekah, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab dan Yaman.5 Pendapat politik Sayyid Quthb di atas, sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang berkomentar atas ayat itu bahwa kebaikan penguasa bergantung kepada kesungguhannya mengikuti al-Qur'ân dan sunnah Rasul-Nya serta mengajak rakyatnya untuk mengikutinya. Dan, Allah menjadikan kebaikan penguasa itu pada empat hal: (1) mendirikan shalat; (2) menunaikan zakat; (3) amar ma'ruf; (4) nahi mungkar. Sang pengusa mengajak mendirikan shalat berjamaah bersama para pembantunya dan menyuruh rakyatnya mendirikan shalat serta menghukum mereka yang teledor melaksanakannya sesuai dengan hukum Allah. Dengan tegaknya ketentuan al-Qur'ân itu, akan dicapai masyarakat Qur'âni yang
dapat
5
menegakkan
hablum
min
Allah
(hubungan
vertikal)
dan
Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, (terj.) A. Rachman Zainuddin (Jakarta: Media Dakwah, 1982), h. 9.
28
hablunminanas
(hubungan
horizontal)
yang
berarti
memadukan
dua
kemaslahatan.6 Masyarakat Qur'âni itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum al-Qur'ân. Dan, al-Qur'ân meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice (keadilan), deliberation (syura), equality (persamaan), dan freedom (kebebasan). Orientasi politik Islam menurut al-Qur'ân menekankan pada tauhîd, syarî‟ah, dan program ketakwaan. Menurut sayyid Quthb, Allah SWT tidak hanya menurunkan ajaran dan doktrin bagi umat manusia, tetapi juga menurunkan nabi-Nya untuk memberi contoh dan memimbing umat manusia menuju kepada keadilan Islam dunia. Kalau kita perhatikan, proses yang dilakukan Nabi saw. dalam membentuk masyarakat Qur'âni, yang sebelumnya terkenal dengan masyarakat jahili, ada lima jalan yang ditempuhnya.7 Pertama, Nabi saw. membangun aqidah umat selama berada di Mekah untuk mempersiapkan diri menerima tanggung jawab mengemban tugas risalah dan khalifah. Proses ini dilakukan paling lama sekitar 23 tahun. Setelah matang, Nabi saw. mengutus mereka untuk menyebarkan misi dakwah, seperti Mush'ab bin Umair dikirim ke Madinah dan sebagian dikirim ke Ethiopia. Ketika dakwah sudah menampakkan hasilnya dan tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah ada orang yang masuk Islam, maka keadan ini sangat tepat bagi umat Islam di Mekah (yang selalu ditindas kaum jahiliyah) untuk berhijrah meninggalkan tempat asalnya. 6
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 89. Sayyid Quthb, Ma‟alim fi al-Thariq (al-Salamiyah, Kuwait: al-Ittihad al-Islami al„Alami, 1368 H), h. 11-19. 7
29
Kedua, Nabi saw. memerintahkan kepada seluruh sahabat agar berhijrah ke Madinah. Dan, yang menarik adalah bahwa sesampai di Madinah, pertama yang dilakukan Nabi saw. untuk pembinaan umat adalah membangun masjid Nabawi sebagai sentral kegiatan dan aktivitas umat Islam. Penempaan kaderisasi terus berlanjut di masjid tersebut. Ketiga, Nabi saw. mempersaudarakan antarumat Islam. Mereka yang berasal dari Mekah disebut Muhajirin, sementara yang berasal dari Madinah disebut Anshar. Hal itu dilakukan untuk merekatkan umat Islam sehinga tidak mudah diadu domba. Keempat, Nabi saw. membuat "Piagam Madinah" untuk mengatur hubungan dengan masyarakat Etnis lain, yaitu ahlul kitab dari bangsa Yahudi, sekaligus upaya pembentengan bagi masyarakat muslim. Kelima, Nabi saw. melakukan ekspedisi perang bagi siapa saja yang ingin memaksakan kehendaknya untuk merusak tatanan masyarakat muslim. Maka, beliau tampil sebagai penglima perang. Dengan demikian, terbentuklah masyarkat muslim Madinah yang mengejawantahkan Allah pada ayat di atas. Ajaran al-Qur'ân selalu berpijak kepada umat manusia, artinya bahwa AlQur'ân selalu memperhatikan maslahat dan kepentingan umat manusia, karena itu para ulama sepakat bahwa apabila konsep al-Qur'ân ditetapkan dalam suatu masyarakat tertentu akan mendapatkan paling tidak lima hal pokok: 1. Terjaga agamanya 2. Terjaga jiwanya 3. Terjaga hartanya 4. Terjaga akalnya
30
5. Terjaga kehormatannya.8 Demikian uraian singkat tentang cita-cita Islam dalam membentuk masyarakat Qur'âni sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya. Kesimpulan penulis, sebenarnya apa yang dicita-citakan oleh Sayyid Quthb sama dengan para pemikir Islam lainnya, yaitu mendambakan suatu tatanan masyarakat yang berlandaskan hukum al-Qur‟ân dan Sunnah Rasul, demi membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan kita tidak perlu terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis. B. Kedaulatan Tuhan Kata daulat dalam bahasa Indoensia berasal dari bahasa Arab yaitu daulah ()الدولة. Dalam bahasa Indonesia, daulat berarti kekuasaan. Kedaulatan pula mempunyai arti kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara atau daerah. Seperti contoh "Kedaulatan negara itu telah lama diakui oleh dunia internasional".9 Dalam bahasa Arab, kata daulah berarti kekuasaan seorang imam (presiden) atau khalifah pada wilayah kekuasaan, kewajiban-kewajiban (kebijakan yang menjadi kewajibannya), dan hak-haknya.10 Sebuah bangsa tanpa berdaulat berarti bangsa tersebut tidak memiliki kuasaan untuk menentukan nasib mereka, malah bisa ditindas dan dipaksa untuk melakukan sebuah kebijakan atau sebuah keputusan. Kepimpinan tanpa berdaulat berarti seorang pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan atas sesuatu yang
8
Tijani Abdul Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam al-Qur‟an, (terj.) Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 133 9 Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 240. 10 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani), h. 158.
31
dipimpin. Ini dapat diibaratkan seperti kepimpinan yang hanya sebuah patung puppet.11 Teori kedaulatan selanjutnya dibagi menjadi beberapa jenis. Teori yang paling dominan adalah kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat. Seperti yang telah diterangkan di atas, kata kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Apabila kata daulat itu disandarkan pada kata Tuhan, maka ia mempunyai arti kekuasaan tertinggi adalah Tuhan.12 Pemerintahan yang berdaulatkan Tuhan adalah sebuah pemerintahan yang meletakan pucuk kekuasaannya pada Tuhan. Teori kedaulatan Tuhan adalah sebuah teori yang dikemukakan tokoh penganut-penganut teori teokrasi.13 Sebagian dari mereka adalah Augustinus (354430 M) dan Thomas Aquinas (1225-1274 M). Pendapat mereka sebenarnya sama. Tuhan ditetapkan sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi. 14 Akan tetapi persoalan yang diperdebatkan adalah siapa di dunia ini yang mewakili Tuhan, Raja ataukah Paus?15 Agustinus adalah orang yang paling awal memberi gagasan ini. Beliau berpendapat bahwa Paus adalah orang yang mewakili Tuhan di dunia, atau bisa dimaksud dengan di suatu negara. Pemikiran beliau ini tertulis di dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul City of God (Kerajaan Tuhan).16
11
Puppet: Patung yang digerakkan oleh orang lain yang berkuasa. Ibid., h. 263 Ibid. 13 Teokratik berasal dari bahasa Inggris; theocracy. Maksudnya adalah sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang relegius. 14 Muhsin al-Mayli, Pergulatin Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (Rifyal Ka‟bah) (Jakarta: Paramadina, 1996), h.125 15 Paus adalah seorang pemimpin umat Katolik Roma di dunia. Seorang Paus dianggap sebagai ketua agama yang mendapat wahyu dari Tuhan untuk mengatur urusan agama maupun kadang-kala urusan pemerintahan. 16 Muhsin al-Mayli, Pergulatin Mencari Islam, h. 141. 12
32
Thomas Aquinas berpendapat bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja perbedaannya berada ditugasnya yaitu raja di lapangan keduniawian, sedangkan Paus di lapangan keagamaan. Perkembangan selanjutnya adalah teori yang dibawa oleh Marsilius. Marsilius mengajarkan teori baru yaitu kekuasaan tidak dimiliki seorang Paus, akan tetapi dimiliki negara atau raja. Menurut ajaran Marsilius, raja adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia ini.17 Sejarah munculnya teori ini adalah sebuah dampak dari teori kedaulatan raja dan kedaulatan negara, karena pada zaman sedang maraknya kedaulatan raja dan negara, banyak dari kalangan raja-raja yang melakukan penindasan pada rakyat kecil. Dengan munculnya teori kedaulatan rakyat, maka raja atau pemimpin tidak dapat lagi sewenang-wenangnya menindas rakyat kecil. Sekarang teori kedaulatan rakyat lebih dikenal dengan demokrasi.18 Akan tetapi, perlu diketahui bahwa kedaulatan rakyat bukan berarti demokrasi, hanya saja demokrasi seharusnya memiliki kedaulatan rakyat, karena demokrasi adalah sejenis sistem pemerintahan yang mengandung kedua kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Menurut Sayyid Quthb, dalam sudut pandang Islam, kedaulatan di tangan Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia. Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban manusia. Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, demokrasi 17
Ibid. Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diperintah rakyat. Demokrasi biasanya dianggap sebagai lawannya monarki yang mana pemerintahannya diperintah oleh raja absolut. Kebanyakan ahli filosofis politik sekarang percaya bahwa demokrasi adalah sistem yang paling baik, karena dapat membela rakyat kecil. Lihat: Anders Uhlin, Oposisi Berserak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (terj.) Rofik Suhud (Bandung: Mizan, 1998), h. 13 18
33
bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan memasuki bidang akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat hukum bukan Allah.19 Sebab Allah berfirman dalam QS. al-An‟am/6: 57):
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur‟ân) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.”
dan QS. al-Maidah/5: 44 berikut:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orangorang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. “
Islam mengakui rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sebab rakyatlah seharusnya yang mengangkat seorang penguasa melalui bai‟at. Sedangkan dalam memilih penguasa caranya (uslub) beragam, bisa digunakan teknik pemilu atau dengan cara lain yang disepakati. Tujuan rakyat memilih dan mengangkat seorang
19
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an, Jilid. 2, h. 73.
34
penguasa agar ada seorang pemimpin yang mengemban amanah mengatur urusan umat dengan syariat Islam. Pendapat Sayyid Quthb tersebut sejalan dengan pernyataan Muhammad alGhazali yang menyatakan bahwa aktivitas politik merupakan aktivitas yang ditujukan untuk mengatur urusan umat baik dilakukan oleh penguasa negara maupun oleh warga negara. Terwujudnya keshalehan politik apabila penguasa menjadikan kekuasaan yang dimilikinya tunduk kepada hukum Allah. Kekuasaannya semata-mata sarana untuk beribadah kepada Allah dengan menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara dan syariat Islam sebagai hukum dan sistem negara. Dengan syariat Islamlah ia mengatur urusan umat bukan dengan sistem yang lain seperti sistem demokrasi.20 Bagi Sayyid Quthb, perjuangan politik dari sebuah partai politik ideolgis dilakukan dengan mengikuti ṭarîqah (metode) perjuangan politik rasul. Yakni dengan membongkar dan membeberkan kerusakan sistem yang ada, menunjukkan pertentangannya dengan akidah dan syariat Islam kepada umat. Bersama partai politik ideologis, ia berusaha mengubah pandangan dan pemahaman umat tentang politik menjadi pandangan dan pemahaman yang Islami agar umat sadar dan bergerak untuk mengubah sistem yang rusak dan menggantinya dengan sistem yang Islami. Melalui partai politik ideologis ia melakukan perekrutan dan pembinaan agar umat memiliki kesadaran politik. Dengan cara inilah ia tidak hanya mewujudkan kesalehan politik bagi dirinya tetapi juga bagi umat.21
20
Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Surya Darma (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h. 290. 21 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, Jilid. 2, h. 54.
35
Keterangan di atas memberikan informasi bahwa menurut Sayyid Quthb, terminologi hukum dalam al-Qur‟ân pada hakekatnya berisi konsep politik tentang kedaulatan tuhan. Setidak-tidaknya merupakan salah satu sistem politik yang khusus karena berbasis hukum din (agama). Dengan kata lain, negara yang dikehendaki oleh Islam adalah negara hukum. Dalam negara tersebut berlaku hukum-hukum Allah dan hukum yang di buat oleh Ulil amri sesuai dengan petunjuk-petunjuk al-Qur‟ân. C. Tujuan Negara Kata negara secara bahasa memiliki arti suatu masyarakat yang menduduki kawasan tertentu dan diperintah oleh sebuah kerajaan. Ia juga dapat diartikan dengan kawasan yang di bawah kekuasaan kerajaan tertentu, seperti contoh 'Negara China' dan lain-lain.22 Selain dari itu, negara dapat menjadi terjemahan dari kata-kata asing, yakni state yang diambil dari bahasa Latin yaitu status atau statum. Kedua kata ini lazim diartikan dengan standing atau station. Isitilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.23 Negara secara terminologi, menurut Kranenburg sebagaimana dikutip oleh Soehino, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi, terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari
22
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005),
h. 1074. 23
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 41
36
kelompok
itu.24
Kesimpulannya
negara
ditubuhkan
oleh
bangsa-bangsa
(kelompok manusia) sebagai primier negara, sedangkan negara adalah sekunder.25 Dede Rosyada menjelaskan bahwa sebagian besar dari tujuan negara adalah sebagai berikut: 1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata sama ada dari segi daerah jajahan, maupun pengaruh atau ekonomi, seperti Pemerintahan Nazi German atau Amerika Syarikat 2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum, seperti pemerintahan yang menganut pada sistem demokrasi dan kedaulatan hukum; 3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, seperti pemerintahan Uni Soviet, Kuba, China maupun pemerintahan sosialis lainnya, dan seperti Indonesia.26 Bagi Islam, tujuan sebuah negara adalah menuju kepada kemaslahatan dan kesejahteraan sosial dengan jalan syari'at Islam sebagai pedoman menuju pada kemaslahatan.27 Konsep ini hampir sama dengan sistem teokrasi yang dipelopori Thomas Aquinas dan Agustinus. Menurut sistem ini, tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Sedangkan pemimpin menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.28 Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân, ketika Tuhan mengatakan kepada Daud ketika dilantik menjadi pemegang kekuasaan dalam
24
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 142. Ibid., h. 142-143. 26 Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), h. 43. 27 Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri: MMPA, 2006), h. 12. 28 Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), h. 44. 25
37
negara supaya berlaku adil dalam memberikan hukum kepada manusia, dan jangan memperturutkan kehendak hawa nafsu (QS. Shaad/38: 26).29
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Hukum Qur‟ân mengajarkan bahwa kekuasaan yang ada dalam tangan pemegang kekuatan negara tidak boleh dijalankan sesuka hati. Hukum Qur‟ân bertentangan dengan ajaran Friederich Engels yang mengatakan bahwa negara itu dikuasai oleh pertumbuhannya dialektika yang materialistis.30 Pertentanganpertentangan antar golongan masyarakat itu yang akan menentukan ke arah mana akan menuju. Negara tidak usah diberi tujuan dan biarkan saja mengalir sesuai dengan pertumbuhannya. Hukum Qur‟ân juga menolak teori dan ajaran Dante yang mengatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah supaya tercapainya kehidupan rohani yang suci menurut kehendak Tuhan. Hal ini tidak akan tercapai, apabila di atas dunia ini berdiri berbagai negara. Untuk mencapai tujuan di atas maka negara-negara yang ada harus dilebur menjadi satu imperium dunia yang diperintah oleh seorang kaisar.31
29
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid. 7, h. 93. Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Jakarta: Kanisius, 2008), h. 36. 31 I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, h. 129. 30
38
Menurut Sayyid Quthb, jika semua negara berpegangan pada ajaran Friederich Engels dan Dante ini maka masing-masing negara akan berusaha memberikan satu imperium dunia. Masing-masing negara itu akan merasa bahwa merekalah yang mempunyai kewajiban dan hak untuk membentuk imperium tersebut. Hukum Qur‟ân tidak saja memerintahkan supaya rohani umat manusia itu menjadi luhur, tetapi memerintahkan pula supaya kehidupan lain menjadi sempurna sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'ân surat Al-Baqarah/2: 212,
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. dan Allah memberi rezki kepada orangorang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
Montesquieu dan Kant mengajarkan bahwa tujuan negara adalah untuk memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada rakyat. Apabila undangundang negara sudah dibuat oleh badan legislatif, dan telah dijalankan oleh pemerintah (eksekutif), dan apabila ada orang yang melanggar maka pelanggar itu akan dihukum oleh badan kehakiman (judikatif) maka sudah tercapailah tujuan dari negara itu. Tetapi pada masa fungsi negara sudah semakin luas dan besar seperti yang terjadi pada saat sekarang teori tersebut sudah tidak dapat dipakai lagi karena beraneka ragam perkembagan dalam bidang apapun seperti teknologi, ekonomi dan lain-lain yang pada ahirnya akan memberikan keanekaragaman tujuan dari negera tersebut.32 Menurut Sayyid Quthb, al-Qur‟ân sebagai hukum abadi dan berlaku di semua tempat dan zaman dengan satu kalimat dalam surat al-Nisâ/4:53 bisa 32
Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, h. 47.
39
dipahami bahwa tujuan kekuasaan dalam negara itu adalah untuk melaksanakan kebajikan, yaitu:
“Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan) ? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia.”
Maka dalam pembahasan tujuan negara menurut al-Qur‟ân, menurut penafsiran Sayyid Quthb, memberikan keterangan bahwa dalam hal apapun negara tidak boleh melepaskan begitu saja dan harus ada campur tangan dari Negara demi menjaga dan menjamin ketentraman dan kesejahteraan seluruh warga Negara di seluruh alam semesta ini. D. Prinsip-prinsip Pemerintahan Sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu monarki, demokrasi dan teokrasi.33 Pada dasarnya, Islam sendiri tidak menentukan sistem manakah yang dianut, akan tetapi, Islam secara tegas menuntut sebuah negara untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaedah fiqh " "تصرف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحة.34 Jadi, bagi sebuah negara, untuk mencapai kemaslahatan yang terbaik baginya adalah monarki, maka sistem itulah yang dianut. Jika yang terbaik adalah demokrasi, maka demokrasilah yang dianut. Dalam Islam arti ulil amri atau pemerintah itu banyak tafsirannya. Di antaranya: 1. Ulil amri diartikan dengan para ulama yang amilin, ulama yang kewibawaannya dihormati orang banyak. 2. Ulil amri yang diartikan dengan ahlul halli wal 'aqdi. 33
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), h. 58. Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005), h. 75-87. 34
40
3. Ulil amri yang diartikan dengan orang-orang yang berkuasa di dalam sebuah negeri atau sebuah negara. 4. Ulil amri yang dimaksudkan dengan pemimpin-pemimpin jemaah Islam, dan lain-lain.35 Di dalam pembahasan ini, pembahasan ulil amri yang penulis maksudkan ialah ulil amri yang diartikan dengan pemerintah yang berkuasa di dalam sebuah negeri atau negara. Pemerintah atau orang yang berkuasa dan mengelola sebuah negara disebut ulil amri. Arti ulil amri ialah yang mempunyai perintah. Tetapi kita selalu
menyebutnya
pemerintah.
Pemerintah
diistilahkan
sebagai
yang
mempunyai perintah (ulul amri) karena mereka mempunyai kuasa untuk perintah (suruh) rakyatnya baik untuk berbuat atau meninggalkan suatu perkara. Mereka juga memiliki sulton (kekuasaan dan kekuatan) baik berbentuk maknawiyah atau lahiriah. Kekuasaan dan kekuatan maknawiyah itu seperti undang-undang, peraturan dan akta. Sedangkan sulton lahiriah ialah polisi, tentara, hakim, pegawai pemerintahan dan sebagainya. Dengan kekuasaan dan kekuatan tersebut, ulil amri akan dapat dan mampu memaksa rakyat agar patuh dan dapat menghukum rakyat yang ingkar terhadap perintah mereka. Pemerintah dalam Islam disebut juga khalifah. Yakni khalifah Allah. Artinya, pengganti Allah atau wakil Allah di bumi. Mereka bertanggung jawab terhadap rakyat untuk menjalankan kerja-kerja yang Allah perintahkan. Yakni berkhidmat kepada rakyat, memimpin, mendidik, mengajar, mengelola, mengurus, menyelesaikan masalah rakyat, membangun kemajuan negara dan masyarakat. 35
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintas Sejarah dan Perpolitikan: Teori dan Praktek (Surabaya: Aulia, 2004), h. 38.
41
Allah menginginkan semua hamba-hambaNya dipimpin dan diurus dengan baik agar semuanya mendapat pelayanan dan hak-hak yang sepatutnya mereka dapat dari Allah SWT di dunia ini. Untuk itu, segala harta benda dan khazanah perbendaharaan negara diserahkan ke dalam tangan mereka. Supaya dibagikan dengan adil dan disediakan segala keperluan rakyat dan negara. Hingga negara berada dalam keadaan aman, makmur dan mendapat keampunan Allah.36 Karena pemerintah adalah pengganti Allah dalam menjalankan keadilan di kalangan manusia, maka Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya agar taat pada pemerintah sesudah ketaatan pada Allah dan Rasul. Inilah firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa'/4: 59).”
Menurut Sayyid Quthb, ketaatan kepada ulil amri yang adil, yang benarbenar mewakili atau mengganti Allah mengurus bumi, adalah penting supaya hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam negara dapat berjalan dengan baik. Dan kehidupan hamba-hambaNya dapat diurus dengan baik. Terhadap rakyat yang memiliki watak keras kepala dan melawan perintah, pemerintah dibenarkan menghukum mereka untuk mengkawal kebaikan dalam masyarakat. Dengan syarat kesalahan itu betul-betul kesalahan yang diiktiraf oleh syariat. Pemerintah tidak boleh membuat hukum dan undang-undang sendiri dengan tidak 36
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (terj.) M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 174.
42
menghiraukan undang-undang dan hukum Allah. Jika didapati pemerintah tidak menghiraukan hukum Allah, maka akan jatuh kepada hukum baik fasiq, zalim atau kafir.37 FirmanNya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orangorang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah/5: 44-45).”
Kalau pemerintah sudah tidak taat dengan Allah, maka dalam keadaan itu rakyat tidak lagi wajib taat pada ulil amri (dalam perkara yang bertentangan dengan syariat). Rasulullah SAW bersabda bahwa "Tiada ketaatan kepada seorang makhluk dalam hal mendurhakai Allah."
37
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur‟an, Jilid 3, h.144.
43
Karena di tangan mereka ada kekuasaan, kekuatan dan kekayaan negara, maka para ulil amri itu bebas untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan atau kejahatan. Tergantung kepada beriman atau tidaknya mereka. Pemerintah yang beriman akan berjaya menjadi penguasa yang adil seperti yang Allah perintahkan. Tapi pemerintah yang tidak beriman atau lemah imannya akan menyalahgunakan kuasa dan harta negara untuk kepentingan nafsu mereka. Berdasarkkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Sayyid Quthb, pemerintah yang adil adalah pemerintahan yang dapat melayani rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan tanggung jawab dengan betul. Dan hal tesebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “Sehari seorang" raja yang bertindak adil, lebih besar pahalanya daripada (seorang abid) beribadah 60 tahun. (HR. Ahmad).38 E. Konsep Kewarganegaraan Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya.39
38
Lidwa, “Raja,” pada Kitab Sunan Ahmad, dapat dilihat pada www.lidwa.com, diakses pada tanggal 10 September 2011. 39 Usman Abdul Muiz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Study Analisa Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik Ikhwan untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya Dari Tahun 1928 hingga 1954, (Solo: Intermedia, 2000), h. 251.
44
Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut. Kekuasaan tertinggi ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan bersama. Jika kekuasaan ini diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah berbagai kerusakan. Betapa vitalnya posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan oleh dua golongan : „umara (pemimpin) dan ulama. Rakyat atau warga negara, sebagaimana Negara, juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada Negara selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Di antara penyebab terjadinya berbagai tragedi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib adalah ketidaktaatan dan pembangkangan rakyat. Prahara tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi umat Islam sesudahnya.40 Menurut Sayyid Quthb, hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajibankewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya tanpa perlu dituntut.41 Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang hak-hak warganegara dalam Negara Islam dan hak-hak Negara (khalifah). Hakhak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas hak-hak politik, hakhak umum, hak menuntut ilmu/mendapatkan pengajaran, dan hak memperoleh tanggungan (al-kafalat) dari negara. 1.
Hak Politik Warga Negara 40
Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.
41
Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, h. 112.
13.
45
Hak-hak politik warganegara terdiri atas hak memilih (haqq al-intikhab), hak
untuk
diajak
bermusyawarah
(haqq
al-musyawarat),
hak
mengawasi/mengontrol (haqq al-muraqabat), hak menurunkan khalifah apabila keadaan mengharuskan (haqq al-„azl), hak untuk mencalonkan (haqq al-tarsyih), dan hak untuk dipilih/memangku jabatan-jabatan umum. Bagaimana jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia masih harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawab Sayyid Quthb adalah ya, dengan beberapa alasan berikut: a. Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara sengaja atau tidak mungkin saja menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Apabila kebijakan sudah ditetapkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk menghalau kerugian yang ditimbulkan (karena sudah terlanjur). b. Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat merupakan perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat). Diantara pengikatpengikatnya adalah kewajiban kepala negara untuk bermusyawarah dengan rakyat. Hal ini telah dinashkan dengan jelas dalam al-Qur‟ân42:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
42
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur‟an, Jilid. 2, h. 112.
46
Musyawarah merupakan sunnah Nabi saw. Meskipun Rasulullah merupakan seorang Nabi yang menerima wahyu dari langit, namun beliau sangat gemar bermusyawarah dengan para sahabat. Para ulama mengatakan bahwa yang demikian itu adalah agar menjadi teladan bagi umatnya sepeninggal beliau. Nabi telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badar dan dalam memutuskan untuk keluar kota atau tidak dalam Perang Uhud. Disamping itu, masih
sangat
banyak
contoh-contoh
tentang
kebiasaan
Nabi
untuk
bermusyawarah. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa jika kepala negara tidak mau bermusyawarah dengan ahlul „ilmi wad din, maka menurunkannya adalah wajib.43 Musyawarah dengan rakyat dilaksanakan menyangkut beragam urusan dunia dan urusan-urusan agama yang bersifat ijtihadiy. Dalam urusan-urusan dunia, yang harus dimusyawarahkan adalah hal-hal yang penting saja. Tidaklah setiap masalah harus dimusyawarahkan, apalagi jika itu hanya masalah-masalah kecil dan kurang penting. Dalam pengertian istilah, Majlis Syura ialah suatu majelis (lembaga) yang bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan (advis) kepada kepala negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga ini hanya bertugas untuk
memberikan
pertimbangan-pertimbangan,
sedangkan
pengambilan
keputusan tetap berada di tangan kepala negara. Meskipun begitu, para ulama memiliki banyak pendapat tentang kondisi dimana kepala negara berbeda
43
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan: 2004), h. 20.
47
pendapat dengan Majlis Syura. Semua ulama sepakat, termasuk Sayyid Quthb menyatakan bahwa dalam kasus ini harus merujuk pada QS. Al-Nisa‟: 59,44
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Apabila dengan merujuk pada Allah (Kitabullah) dan Rasul (Al-Sunnah), masalah masih belum bisa diselesaikan, maka menurut Sayyid Quthb, terdapat tiga kemungkinan solusi45: Solusi pertama, metode Tahkim. Maksudnya, panitia khusus dibentuk, beranggotakan para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus inilah yang akan menengahi perbedaan antara kepala negara dan Majlis Syura. Solusi kedua, mengambil Pendapat Terbanyak (Voting). Solusi ketiga, mengambil Keputusan Kepala Negara secara mutlak. Alasannya ialah karena kepala negaralah yang paling bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Dari pembahasan tentang Majlis Syura, kita bisa membedakan dengan jelas antara lembaga ini dan ahlul hall wal „aqd: a. Majlis Syura bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala negara, sedangkan ahlul hall wal „aqd bertugas untuk mengangkat atau menurunkan kepala negara.
44 45
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid. 4, h. 65. Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, h. 52.
48
b. Majlis Syura tidak pernah lebih tinggi dari kepala negara. Majlis Syura bisa saja diangkat oleh kepala negara. Sebaliknya, ahlul hall wal „aqd, pada saat menunaikan tugasnya (mengangkat dan menurunkan khalifah) lebih tinggi daripada kepala negara. c. Ahlul hall wal „aqd diangkat oleh rakyat sebagai representasi mereka. Majlis Syura tidak harus diangkat oleh rakyat.46 Hak mengawasi/mengontrol (haqq al-muraqabat) menurut Sayyid Quthb, karena khilafah menyerupai wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa. Bahkan, pada dasarnya pengawasan/pengontrolan rakyat atas penguasa bukan saja hak akan tetapi
kewajiban.
Imam
Muslim
meriwayatkan
bahwa
Nabi
saw.
bersabda,”Agama itu nasihat”. Para sahabat pun bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?”Maka beliau menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat pada umumnya”.47 Pengawasan/pengontrolan rakyat atas penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dengan adab-adab tertentu. Di antara adab-adabnya ialah: Harus dimulai dengan cara yang lemah lembut. Ingatlah bagaimana Musa diperintahkan untuk datang memperingatkan Fir‟aun dengan lemah lembut (layyin), padahal Fir‟aun sudah amat melampaui batas. Apabila cara yang lemah lembut tidak bermanfaat maka hendaknya diambil cara-cara yang lebih tegas. Demikian seterusnya, sampai kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan.
46 47
Ibid., h. 57. Usman Abdul Muiz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, h. 324.
49
Nahi munkar tidak boleh menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Seorang penguasa harus bersedia untuk dinasihati. Akan lebih baik lagi apabila dialah yang terlebih dulu minta nasihat, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para khulafa‟ rasyidun. Kemudian, rakyat juga memiliki hak menurunkan khalifah apabila keadaan mengharuskan (haqq al-„azl). Rakyat berhak menurunkan khalifah apabila terdapat sebab-sebab syar‟i yang mengharuskan. Rakyat berhak menurunkan khalifah melalui kekuasaan ahlul hall wal „aqd. Namun apabila ahlul hall wal „aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak mengindahkan ahlul hall wal „aqd, maka rakyat bisa langsung turun tangan dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah. Kekuatan ini harus dipastikan mampu menurunkan khalifah. Jika tidak, maka penggunaan kekuatan tidak diperbolehkan karena hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Abu Hanifah pernah dua kali ditawari untuk berpartisipasi dalam pemberontakan terhadap khilafah Umawiyah yang lalim. Pada kali pertama beliau menolak karena kekuatan rakyat saat itu belum memadahi. Namun pada kali kedua beliau menerima karena kekuatan rakyat sudah memadahi, sehingga tumbanglah Umawiyah digantikan oleh Abbasiyyah.48 Seorang warga negara juga berhak untuk mencalonkan orang lain untuk menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang yang demikian. Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan
48
Ibid., h. 327.
50
politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syaratsyaratnya. Allah telah mencontohkan fenomena ini dalam kasus Yusuf as. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencalonan diri ialah bahwa yang bersangkutan tidak boleh mencela sesamanya tanpa alasan yang benar (secra syar‟i) demi meraih jabatannya. Ia hanya boleh menunjukkan visi, misi, dan pemikiran-pemikirannya, dan tidak lebih dari itu. Politik Islam adalah politik yang penuh etika. Berpolitik, dalam Islam, senantiasa dibingkai oleh kerangka akhlaq yang mulia.49 Hak rakyat yang terakhir adalah hak untuk dipilih/memangku jabatanjabatan umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-„Ammat). Memangku jabatan politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya karena ambisi. Apabila menuntut jabatan politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah seharusnya? Jawabnya, hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada. Para penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari orangorang yang terbaik (al-ashlah). Nabi bersabda,”Barangsiapa memegang satu urusan kaum muslimin (maksudnya menjadi penguasa) kemudian ia mengangkat seseorang menjadi pejabat padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih baik bagi (kemaslahatan) kaum muslimin, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”.50 Nabi juga bersabda,”Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah Saat Kehancuran
49
(al-sa‟at)”.
Rasulullah
ditanya,”Bagaimanakah
menyia-
Ibid., h. 338. Shalah Abdul al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur‟an, (terj.) Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Era Intermedia, 2001) h. 388. 50
51
nyiakannya?” Rasulullah menjawab,”Yakni apabila suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya”. Di zaman ini, penguasa bisa menetapkan persyaratan-persyaratan dalam rekrutmen para pejabat. Persyaratan-persyaratan inilah yang diharapkan akan bisa mengantisipasi jatuhnya jabatan-jabatan pada orang-orang yang tidak berhak. 2.
Hak-hak Umum Warganegara Hak umum warga negara menurut Sayyid Quthb dalah pertama Hak
Persamaan (al-musawat). Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Ma-idah: 8).”
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa ketika „Amr ibn „Ash menjadi wali (gubernur) Mesir di masa Umar ibn Khaththab, ia sempat menyakiti seorang warganya karena telah berani mendahuluinya. Akhirnya, warga Mesir tadi mengadu kepada Khalifah Umar. Umar pun menetapkan hukuman balas atas Amr, seraya berkata,”Wahai Amr, sejak kapan engkau memperbudak manusia padahal sungguh-sungguh ibunya telah melahirkannya dalam keadaan merdeka?” Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy‟ariy: “Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan wajahmu,
dan
dalam
pengadilan-pengadilanmu,
sehingga
orang
yang
52
berkedudukan tidak menjadi berharap atas keberpihakanmu, sementara orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu”.51 Kedua, hak kebebasan (al-hurriyyat), yang terdiri dari kebebasan individu (al-hurriyyat al-syakhshiyyat) dan Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah. Menurut Sayyid Quthb dalam Islam terdapat prinsip Bara‟at AlDzimmat, yakni suatu ketetapan bahwa setiap individu pada asalnya adalah bebas (dari segala beban dan tuntutan). Berangkat dari sini, setiap warganegara adalah terbebas dari segala bentuk hukuman selama belum ada bukti yang menunjukkan sebaliknya. Termasuk dalam kebebasan individu adalah kebebasan untuk hidup terhormat. Islam amat menjunjung tinggi kehormatan setiap orang. Pencemaran nama baik diancam dengan hukuman qadzf (hadd al-qadzf). Islam tidak hanya menjaga kehormatan kaum muslim. Dalam Islam, Ahli Dzimmah dijaga kehormatannya sebagaimana kaum muslim. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa menyakiti seorang Dzimmi maka aku (Rasulullah) adalah musuhnya. Dan barangsiapa yang menjadikan aku sebagai musuhnya, maka aku akan memusuhinya pada Hari Kiamat”.52 Ali ibn Abi Thalib berkata,”Ahli Dzimmah mengeluarkan jizyah hanyalah agar harta mereka seperti harta kita (muslim) dan darah mereka seperti darah kita (dalam hal kehormatannya)”.53 Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah sebagaimana firman Allah Ta‟ala,
51
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid.4, h. 90. Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, h. 58. 53 Usman Abdul Muiz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, h. 331. 52
53
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256).”
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, manusia bebas memilih agamanya (aqidahnya). Kebebasan memilih inilah yang justru menjadi hal yang tidak boleh hilang. Jika ini hilang, maka manusia tidak lagi berbeda dengan hewan, tumbuhtumbuhan, dan benda mati lainnya. Apabila ada yang bertanya,”Kalau memang Islam menjamin kebebasan beragama, mengapa Islam menghukum mati orang yang murtad (keluar dari Islam)?” Jawabnya, menurut Sayyid Quthb adalah masalah hukuman bagi seorang murtad sama sekali tidak rancu dengan jaminan Islam atas kebebasan beragama. Apabila seseorang melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri, maka sudah sewajarnya dia harus rela menerima segenap akibat dari apa yang dilakukannya itu. Tatkala seseorang hendak masuk Islam, dia telah mengetahui bahwa apabila dia masuk kemudian murtad maka dia akan dihukum mati. Hal ini sudah dia ketahui sebelum dia masuk Islam. Jadi, dia tahu bahwa hukuman atas kemurtadan merupakan bagian dari Islam. Apabila dia masuk Islam setelah itu, maka berarti dia telah rela atas segala konsekuensi tindakannya itu. Bagi orang yang tidak rela dengan konsekuensi masuk Islam (diantaranya hukuman atas kemurtadan), maka janganlah ia masuk Islam. Jadi, sangatlah jelas bahwa Islam tidak pernah mengebiri kebebasan beragama.54
54
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid 2, h. 256.
54
Ketiga, hak umum warga Negara berupa kebebasan bertempat tinggal. Bagi Sayyid Quthb, setiap warganegara dalam negara Islam bebas bertempat tinggal dan menjadikan tempat tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya. 55 Allah Ta‟ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Nur: 27-28).”
Keempat, hak umum warga Negara berupa kebebasan bekerja. Kelima, kebebasan pemilikan. Keenam, kebebasan berpikir dan berpendapat. Setiap warga negara berhak untuk berpendapat (mengeluarkan pikiran) dalam rangka mencapai kemaslahatan. Bahkan, berpendapat dalam rangka amar makruf nahi munkar bukan lagi hak, akan tetapi sudah menjadi kewajiban. Namun kebebasan berpendapat tidaklah bersifat mutlak tanpa batasan. Kebebasan ini tetap mempunyai batasan-batasan, antara lain: a. Didasarkan atas itikad yang baik dan niat yang tulus.
55
Ibid., jilid. 9, h. 44.
55
b. Tidak boleh ditujukan untuk menjatuhkan pihak lain, membuka aib-aib orang lain, memprovokasi dan mengadu domba, atau sekedar untuk mencari popularitas. c. Tidak bertentangan dengan asas-asas ajaran Islam. d. Hendaknya disampaikan dengan akhlaq (etika) yang baik.56 3.
Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran Sayyid Quthb berpendapat apabila mendapatkan pengajaran merupakan
hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-instrumen bagi pencerdasan rakyatnya. Aspek pendidikan dan pengajaran ini merupakan aspek yang amat penting, mengingat akal pikiran merupakan ciri khas kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Untuk itu tidak selayaknya Negara mengabaikan aspek pendidikan seraya mengejar keglamoran aspek-aspek material.57 Perhatian yang besar dari Negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita lihat dalam Sirah Nabawiyah. Suatu ketika Nabi, selaku kepala negara, mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan Badar adalah empat puluh auqiyat. Barangsiapa tidak mampu dengan tebusan seperti itu, maka tebusannya adalah dengan mengajarkan tulis-menulis kepada sepuluh orang muslim. Jadi, masalah pendidikan bukanlah semata-mata masalah individu, tetapi ia merupakan tanggung jawab Negara. 4.
Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalah) dari Negara
56
Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin; Konsep Gerakan Terpadu (Jakarta: GIP, 1997), Jilid. 2, h. 513. 57 Ibid., h. 516.
56
Tidaklah mungkin seorang warganegara dalam Negara Islam hidup terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara mengetahuinya. Jadi, Negara Islam bertanggung jawab atas kesejahteraan warganegaranya. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Islam mencela sikap meminta-minta. Oleh karena itu, agar orang yang tidak mampu tidak terjerumus menjadi pemintaminta, maka Negara Islam harus menciptakan iklim yang baik bagi tersedianya lapangan kerja secara memadahi. Dengan demikian, setiap warganegara tidak akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Jangan sampai ada warga negara yang ingin bekerja secara halal namun tidak ada lapangan kerja yang bisa dia geluti.58 Apabila ada seorang warga yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, maka Negara wajib membantunya, misalnya dengan memberikan pinjaman modal yang diambilkan dari Baitul Mal. Abu Yusuf pernah mengatakan,”Apabila ada pemilik tanah yang kesulitan mengelola tanahnya karena miskin maka negara wajib memberikan pinjaman kepada orang tersebut dari Baitul Mal, sehingga dia sanggup bekerja mengelola tanahnya itu”. Apabila ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib bagi „a-ilat (keluarga dekat penerima waris) –nya untuk membantunya. Apabila yang demikian masih belum mencukupi maka Negara wajib menanggungnya. Negara wajib memberikan pekerjaan yang halal dan layak kepadanya. Jalaluddin Rakhmat juga berpendapat bahwa Islam wajib mengelola zakat dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim yang telah wajib
58
Ibid., h. 311.
57
membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa menutupinya dengan harta Baitul Mal.59 Terhadap orang-orang yang sudah tidak lagi mampu bekerja, misalnya karena jompo atau cacat, maka Negara wajib menanggungnya (memberikan tunjangan). Kewajiban Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat tidak hanya berlaku pada kaum muslim, namun juga berlaku bagi kaum dzimmiy. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa terhadap kaum dzimmiy yang tidak mampu, Negara Islam membebaskan kewajiban membayar jizyah dari pundak mereka, bahkan Negara memberikan tunjangan kepada mereka dari harta Baitul Mal. Apabila Negara tidak mampu menanggung orang-orang yang tidak mampu karena keterbatasan ekonomi Negara, maka kewajiban tersebut berpindah kepada setiap orang mampu yang ada di pelosok negeri. Apabila orang-orang yang mampu berkeberatan untuk bersedekah membantu orang-orang yang tidak mampu, maka Negara wajib memaksa mereka sehingga mau bersedekah. Dalam Negara Islam, siapa saja yang berada di dalamnya atau yang datang ke
situ, para
wisatawan
bahkan
pelarian-pelarian
yang
mencari
perlindungan, secara otomatis semuanya dianggap warga negara (penduduk negara). Mereka semuanya dihormati, dilindungi dan dijaga kebajikannya tanpa menghiraukan kaum, bangsa, agama, warna kulit, bahasa dan lain- lain. Demikianlah Islam memandang manusia, sama saja. Bahkan bumi Allah ini dianggap kepunyaan bersama. Siapa pun boleh tinggal di tempat manapun yang dia suka. Tidak perlu ada batas geografi antar negara, tidak perlu ada paspor dan visa. Begitulah takrif kesatuan internasional atau global menurut Islam.60 59 60
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, h. 80. Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin, h. 315.
58
Sayyid Quthb merindukan Negara Islam sejati. Yang terbuka untuk siapa saja. Wisatawan seolah-olah menjadi tetamu yang dilayan sebaik-baiknya (ikrâmudduyûf). Dan kalaupun wisatawan mau tinggal lebih lama juga boleh. Pelarian-pelarian juga dianggap tetamu dan warga yang pasti dilindungi. Demikianlah Islam membenarkan karena Islam adalah penyelamat, pelindung yang memberi keamanan dan kemakmuran pada warganya. Untuk memudahkan urusan pemerintahan dan pengurusan warganya, Negara Islam mengklasifikasikan seluruh rakyat hanya menjadi dua kategori, yakni: a. Warga negara Islam (muslim citizenship). b. Warga negara bukan Islam (non muslim citizenship).61 Pemisahan ini adalah karena berbedanya cara hidup orang Islam dengan yang bukan Islam. Ada peraturan yang dikenakan kepada orang Islam tetapi tidak dikenakan pada orang bukan Islam. Misalnya, umat Islam diwajibkan membayar zakat bila cukup nisab dan haulnya, sedangkan umat bukan Islam tidak berzakat. Sebab itu bagi warga negara yang bukan Islam, ada beberapa peraturan khusus untuk mereka. Ada pun hak-hak yang diberikan oleh Negara Islam kepada warganya yang Islam dan yang bukan Islam. Setiap orang Islam, baik yang asli (penduduk setempat) atau mendatang (pendatang, wisatawan, tetamu, pelarian dan lain-lain) mendapat hak asasi yang sama saja. Orang besar, orang kecil, orang berjabatan, orang tidak berjabatan, orang kaya, orang miskin tidak dibeda-bedakan dalam urusan mendapatkan hak-hak asasi, yaitu:
61
Ibid., h. 331.
59
a. Kebebasan untuk memiliki rumah, harta dan lain-lain. b. Kebebasan bekerja dan berbicara. c. Peluang belajar di dalam dan luar negeri. d. Melaksanakan dan mengurus hak-hak agama. e. Kalau dihina akan dilindungi dan penghina itu akan dihukum. f. Mempertahankan kehormatan diri, harta, keluarga dan lain-lain.62 Itulah dia hak-hak asasi umat Islam secara umum dalam Negara Islam. Mereka dibolehkan, bahkan bebas berorganisasi, beraktivitas, berdagang, mengumpulkan harta, berjuang, menikmati hiburan, menulis, mengeluarkan pendapat dengan syarat tidak melanggar syariat Allah dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Juga tidak bertentangan dengan perintah pemimpin, bila perintah itu sesuai dengan ajaran Islam. Menurut pandangan Sayyid Quthb dalam Islam terdapat dua jenis warga negara dari kalangan orang bukan Islam yaitu: kafir zimmi dan kafir 'ahdi (mu'ahid).63 Kafir zimmi ialah orang bukan Islam yang bermustautin (bermukim) dalam Negara Islam di mana mereka itu mengaku taat setia kepada pemerintah dan negara. Walau bangsa apapun mereka, baik penduduk asli (penduduk setempat) atau mendatang akan mendapat hak-hak asasi seperti juga umat Islam mendapatkan hak-haknya. Yakni: a. Kebebasan memiliki rumah dan harta. b. Peluang-peluang belajar di dalam dan luar negeri. c. Kebebasan bekerja dan berbicara dengan syarat tidak melanggar hak asasi orang lain. 62 63
Ibid., h. 338. Ibid., h. 251.
60
d. Bebas menganut agama apa pun. Pemerintah atau umat Islam tidak boleh memaksa mereka menganut Islam. e. Berhak untuk menjadi pemimpin atau menteri-menteri di kalangan mereka. f. Diberi perlindungan bila mereka dihina. Sekalipun yang menghina itu dari kalangan orang Islam sendiri, pasti dihukum. g. Berhak mempertahankan harga diri, harta dan keluarga.64 Berbeda dengan umat Islam, warga negara bukan Islam tidak dikenakan zakat, fitrah, sedekah, berkorban dan lain-lain sebagai sumbangan kepada negara dan masyarakat. Dengan sumbangan tersebut negara akan jadi kuat dan dapat menguatkan individu-individu terutama orang-orang susah. Maka untuk tujuan yang sama di samping kepentingan- kepentingan keselamatan dan pengurusan mereka, Negara Islam menetapkan warganya yang bukan Islam mesti membayar jizyah atau pajak kepala. Tidak ada pajak lainnya. Kadar pajak itu menurut taraf hidup dan kemampuan masing-masing seperti yang diputuskan oleh hakim atau ketua negara. Bagi kafir mu'âhid yakni orang bukan Islam yang tinggal di Negara Islam karena
adanya
hubungan-hubungan
diplomatik,
ekonomi,
perdagangan,
persahabatan dan lain-lain, walau bangsa apapun mereka, dari negara mana, apa agama dan warna kulit, namun tetap dilindungi oleh Negara Islam. Mereka mendapat hak-hak dan dilindungi dari penghinaan. Sama halnya dengan kafir zimmi tadi. Terdapat sejenis lagi orang kafir menurut ukuran Islam. Tetapi mereka itu bukan warga negara. Mereka adalah musuh Islam yang dipanggil kafir harbi.
64
Ibid., h. 337.
61
Mereka memiliki niat untuk bermusuhan dengan umat Islam. Orang itu walaupun belum berperang senjata, cuma perang saraf saja, tetapi tetap dianggap sebagai musuh Islam. Kalau mereka menyerang, negara wajib membalas serangan tersebut. Namun umat lslam sekali-kali tidak diajarkan untuk memulai serangan, sekalipun perbuatan musuh itu begitu jelas sekali. Tetapi apabila mereka menyerang, wajib dibalas atau dilawan dengan dua tujuan penting yaitu: menjaga harga diri agama, negara dan masyarakat dan menghindari fitnah agar kejahatan tidak berkepanjangan dan tidak menyebar kemana-mana.65 Dalam peperangan, harta musuh boleh dirampas sebagai harta rampasan perang. Orang-orang tawanan perang dijadikan hamba sahaya. Kecuali kalau dia memeluk Islam, secara otomatis dia merdeka dan mendapat hak-hak warga negara seperti orang-orang Islam yang lain. Demikianlah pertimbangan pemikiran Sayyid Quthb dalam Fi Zhilâl alQur‟ân bahwa Islam memberi keselamatan dan naungan kepada manusia seluruh dunia. Mana ada penindasan dan kekejaman atau peperangan yang dicanangkan oleh Islam? Tertolaklah bahwa Islam agama peperangan dan kekejaman. F. Prinsip-prinsip Pengaturan Kebijaksanaan Negara. Menurut Mahmud al-Murakiby komponen-komponen pengatur kebijakan negara terdiri dari: 1. Kepala negara (hâkim). Merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal. Hal ini telah dicontohkan oleh Khulafâ ar-Rasyidin.
65
Ibid., h. 341.
62
2. Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd. Merupakan lembaga tertinggi dalam negara yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala negara. Hal ini telah tercermin dalam sistem pengangkatan Khulafâ ar-Rasyidin. 3. Majlis al-Syûrâ'. Merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang telah dipilih dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada kepala negara. 4. Dîwân al-Madzhâlim. Merupakan sebuah lembaga keamanan masyarakat. Jika hak-hak sebuah komunitas masyarakat terdzhalimi, maka dewan ini memiliki tanggungjawab perlindungan dan keamanan. Lembaga ini bertanggungjawab secara hukum kepada kepala negara. 5. Sulthah tanfîdziyah. Merupakan pemegang kebijakan politik, sosial dan ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa menteri departemen. 6. Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengontrol debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat negara di atas.66 Menurut Sayyid Quthb dalam Mukadimah bukunya Tafsir Fî Zhilâl alQur‟ân, tidak ada kebaikan dan kedamaian bagi bumi ini, tidak ada kesenangan bagi kemanusiaan, tidak ada ketenangan bagi manusia, tidak ada ketinggian, keberkahan dan kesucian dan tidak ada keharmonisan antara undang-undang alam dengan
fitrah
kehidupan
melainkan
dengan
kembali
kepada
Allah.67
Sesungguhnya berpedoman kepada manhaj Allah di dalam kitab-Nya itu bukanlah
66
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2005), h.
67
Sayyid Quthb dalam Mukadimah Tafsir Fi Zhilal al- Qur‟an, Jilid 1, h. 20-25.
104-105.
63
perkara sunnah, tathawwu‟ atau boleh memilih, tetapi ia adalah iman. Kalau tidak mau, tidak ada iman bagi yang bersangkutan, sebagaimana firman Allah:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs. alAhzaab/33: 36).
Inilah gambaran yang benar yang ditimbulkan oleh al-Qur‟ân di dalam jiwa ketika jiwa itu hidup dibawah naungan al-Qur‟an, Fî Zhilâl al-Qur‟ân. Iman kepada Allah, beribadah kepada-Nya secara istiqomah dan memberlakukan syariat-Nya dimuka bumi, semuanya adalah melaksanakan sunnah-sunnah Allah, yaitu sunnah-sunnah yang aktif dan positip, yang bersumber dari semua sunnah Kauniyah ” hukum alam ” yang kita lihat bekasnya yang nyata dengan indra dan pengalaman kita. Syariat Allah bagi manusia merupakan salah satu bagian dari undangundang-Nya yang menyeluruh di alam semesta. Pelaksanaan syariat ini pasti memiliki dampak yang positip didalam menyerasikan perjalanan hidup manusia dengan perjalanan alam semesta. Syariat saling melengkapi dengan konsep Islam yang menyeluruh terhadap wujud yang besar dan eksistensi manusia, serta apa yang ditimbulkan oleh konsepsi ini, yaitu ketakwaan hati, kesucian perasaan, besarnya kemauan, akhlak yang luhur dan perilaku yang lurus. Tampak pula keharmonisan dan keserasian diantara sunnah-sunnah Allah, baik yang kita sebut hukum alam maupun nilai-nilai iman. Masing-masing adalah bagian dari sunnah Allah yang komplet terhadap alam wujud ini.
64
Menurut Sayyid Quthb, konsep balad sebagaimana dimaksudkan dalam QS. Saba‟: 15, mengandung cita-cita negara Islam, yaitu:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".
Hal ini korelatif dengan keberadaan Madinah yang seringkali dianggap sebagai inti pertama negara Islam, meski dari luar lebih tampak sebagai sebuah negara kota (polis). Tapi ibarat sebuah biji ia kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pepohonan yang rindang lengkap dengan buah-buah siap dimakan. Dan ibarat mercusuar, cahayanya begitu menerangi alam/kehidupan.68 Menurut Quraish Sihab, tidak secara eksplisit al-Qur‟ân memberikan perhatian seputar bentuk negara (Islam) kecuali sebatas spirit dan prinsip-prinsip dasar dalam bernegara (mengelola kekuasaan) seperti prinsip permusyawaratan (QS. 42: 38) yang dilaksanakan dengan penuh amanah dan menjunjung tinggi rasa keadilan (Qs 4: 58). Namun tidak berarti hal itu bisa dipahami adanya keterpisahan/dikotomi antara agama dengan negara. Sebab al-Qur‟ân juga menegaskan bahwa fungsi ke-Rasul-an dan, penurunan kitab- kitab suci samawi adalah agar masing-masing nabi memberi putusan tentang perselisihan (socialpolitik) antar manusia (Qs. 2; 213) disamping tentu sebagai pemimpin spiritual dengan otoritas tertinggi. Dan itu pula yang dijalani Nabi Dawud as ketika Allah resmi mengangkatnya sebagai khalifah, dengan kekuasaan mengelolah suatu 68
Sjechul Hadi Permono, Konsepsi Umum, Pemerintahan Islami 2004), h. 17.
(Surabaya: Aulia,
65
wilayah/bumi (Qs ; 38/Shod; 26). Penugasan mengelola suatu wilayah (bumi) sebagaimana dimaksud dalam ayat diatas, dapat dipahami sebagai tugas politis dan kekuasaan yg meniscayakan ikatan perjanjian dengan Allah ('ahd) disatu pihak dan ikatan perjanjian dengan manusia dipihak lain (baiat).69 Nabi Muhammad SAW juga merupakan pemimpin dan negarawan, dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya. Aktivitas dan kesibukan pemerintahan saat itu ditandai dengan adanya; 1. Adminitrasi surat menyurat yang dikirim Nabi kepada para adikuasa dan dan raja-raja besar kala itu. Dari isi surat-suratnya terbaca jelas, bahwa Islam (agama) disamping berorientasi kedalam berupa pemantapan akidah, pembinaan syari‟ah dan peningkatan ubudiyah/akhlak, juga berorientasi keluar dan bersifat universal, dengan pengertian ingin menata seluruh dunia (baca ; negara) dengan landasan prinsip yang lebih manusiawi, berbudaya, dan berkeadilan. 2. Adanya ekspansi teritorial guna pengembangan dan perluasan daerah Islam. Karena Islam tidak dimaksudkan untuk kalangan penganut saja, maka kita melihat adanya perlindungan dan hak-hak khusus yang diberikan Islam untuk pemeluk agama lain yang tunduk dan mengikuti aturan pemerintahan Islam. Jika negara dan imperium sebelum Islam seperti Romawi dan Persi serta Cina dan India ekspansinya selalu menimbulkan dan menyisahkan luka kepedihan dan derita berkepanjangan karena selalu identik dengan pembodohan dan pelecehan harkat kemanusiaan juga sangat eksploitatif dalam menguras kekayaan alam yang dijajahnya serta dengan mengucilkan kaum pribuminya 69
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:Mizan: 1996), h. 145.
66
dari komunitas internacional. Maka tidak demikian dengan Islam. Ekspansi Islam justru benar-benar rahmat bagi alam, karena tidak saja mengilhami lahirnya negara-negara baru yang dapat diterima sejajar dan diakui secara internasional, juga mengubah setiap bagian dunia yang dikuasainya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban. Dalam kontek ini sesungguhnya Islam satu-satunya ajaran yang merintis jalan ke suatu arah kehidupan yang mengglobal atas dasar moral dan keimanan kepada Allah sang Tuhan. Bukan globalisasi yang eksploitatif dan sarat kepentingan nafsu, sebagaimana yang terlihat saat ini.70 Dari dua aktivitas pemerintahan diatas, tampaklah jelas betapa agama begitu dominan menjiwai semangat ke- tatanegara-an saat itu. Dan itu berlanjut hingga periode ke-kholifah-an sesudah nabi SAW dan pada sebagian era daulahdaulah Islamiyah yang pernah berjaya pada masanya. Sehingga dengan demikian, sistem pemerintahan Islam yang diterapkan saat itu memungkinkan terbangunnya tata dunia baru yang relatif agamis dan sangat memanjakan pemeluknya yang variatif. Para pemikir duniapun mengakui peran besar Islam yang begitu kooperatif dalam tata pergaulan global, bahkan kemajuan Eropa dan Barat saat inipun, sesungguhnya juga buah dari peradaban yang telah dibangun Islam dalam wujud negara agama. Dari sini dapat diambil suatu pengertian bahwa menurut Sayyid Quthb negara yang tidak mendasarkan kebijakan, peraturan dan perundanganundangannya pada konsepsi dan prinsip-prinsip dasar yang Islami dapat dikategorikan sebagai Negara sekuler, meski secara subtansi nilai-nilai agama 70
A. Rahman Zainuddin, Sub Makalah Sejarah Pemikiran Islam, dari buku Reaktulisasi Islam (Jakarta: UIN, 1998), h. 92.
67
terejawetahkan di luar struktur negara, dan meskipun negara itu memenuhi kriteria disebut negara Islam karena kwantitas komunitasnya, seperti Indonesia.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur’an dapat disimpulkan dalam pernyataan, yaitu: Pertama, politik Islam harus menciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang berlandaskan hukum al-Qur’ân dan Sunnah Rasul, demi membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan tidak perlu terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis.. Kedua, dalam sudut pandang politik Islam, kedaulatan berada di ‘tangan’ Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia. Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban manusia. Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, demokrasi bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan memasuki bidang akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat hukum bukan Allah. Ketiga, tujuan negara menurut al-Qur’an bahwa dalam hal apapun negara tidak boleh melepaskan begitu saja dan harus ada campur tangan dari Negara demi menjaga dan menjamin ketentraman dan kesejahteraan seluruh warga Negara di seluruh alam semesta ini. Keempat, pemerintah yang adil adalah pemerintahan yang dapat melayani rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan
67
68
rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan tanggung jawab dengan betul. Kelima, dalam konsep kewarganegaraan, Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya. Keenam, Menurut Mahmud al-Murakiby komponen-komponen pengatur kebijakan negara terdiri dari: 1) Kepala negara (hâkim), merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal; 2) Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd, merupakan lembaga tertinggi dalam negara yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala Negara; 3) Majlis al-Syûrâ', merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang telah dipilih dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada kepala Negara, 4) Dîwân al-Madzhâlim, merupakan sebuah lembaga keamanan masyarakat; 5) Sulthah tanfîdziyah, merupakan pemegang kebijakan politik, sosial dan ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa menteri departemen; dan 6) Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengontrol debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat negara di atas.
69
B. Saran 1. Bagi para akademiki, terutama para cendekiawan politik Islam, ketika mewacanakan konsep politik Islam yang ditawarkan Sayyid Quthub berdasarkan penafsirannya terhadap al-Qur’an hendaknya dilakukan melalui pemahaman yang lebih terbuka, daripada mengkedepankan ‘praduga’ pemahaman yang mengasumsikan bahwa Sayyid Quthb dalam pemikirannya sangat literal terhadap nash-nash ajaran Islam.. 2. Hendaknya kecenderungan para akademisi dan aktivis gerakan Islam untuk melukiskan politik Islam sebagai wajah tunggal yang berdimensi transnasional sebagaimana yang dianjurkan dalam pemikiran politik Sayyid Qutub dirubah dengan menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari peresentasi Islamisme dalam ruang-waktu sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Abegabriel, Negara Tuhan. Yogyakarta: IRNIS, 2006. al-Khalidi, Shalah Abdul, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an, (terj.) Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Era Intermedia, 2001. al-Mayli, Muhsin, Pergulatin Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (terj). Rifyal Ka’bah. Jakarta: Paramadina, 1996. Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, (terj.) M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005) Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad Ke-20. Bandung: Pustaka, 1988. Ensiklopedi Islam, Jilid 4. Jakarta: Ichtra Baru van Hoeve, 2005. Esposito, John, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Menggugat Tesis Huntington, (terj.). Bandung: Mizan, 1996. Gholib, Achmad, Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004. Hamid, Tijani Abdul Qadir, Pemikiran Politik dalam al-Qur’an, (terj.) Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Jakarta: Kanisius, 2002. Ismail, A. Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2006. Jamhari, Ed. Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindopersada, 2004. Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh. Kediri: Purna Siswa III Aliyah, 2005.
112
113
Lapidus Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj.) Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada: 1999. Mahmud, Ali Abdul Halim, Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan terpadu, (terj.), Syafril Halim, Jilid. I-II. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992. ______, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06. Kediri: MMPA, 2006. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UIP, 2001. Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Permono, Sjechul Hadi, Islam dalam Lintas Sejarah dan Perpolitikan: Teori dan Praktek. Surabaya: Aulia, 2004. _________, Konsepsi Umum, Pemerintahan Islami. Surabaya: Aulia, 2004. Qardhawy, Yusuf, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Surya Darma. Jakarta: Rabbani Press, 1997. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an; Di bawah Naungan Al-Qur'an. Jakarta: Gema Insani Press, 2008, Jilid.I-XII. _________, Ma’alim fi al-Thariq. al-Salamiyah. Kuwait: al-Ittihad al-Islami al‘Alami, 1368 H. _________, Beberapa Studi Tentang Islam, terj. A. Rachman Zainuddin (Jakarta: Media Dakwah, 1982), Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung: Mizan, 2004. Rosyada, Dede, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) Ruslan, Usman Abdul Muiz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Study Analisa Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik Ikhwan untuk Para
112
114
Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya Dari Tahun 1928 hingga 1954, (Solo: Intermedia, 2000), Sachedina, Abdulaziz, Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam, (terj.) Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2004) Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’’an, (Jakarta: RajaGrafindo Perss, 2007). Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:Mizan: 1996), _______________, Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera, 2002. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991) Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000) Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992) Uhlin, Anders Oposisi Berserak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (terj.) Rofik Suhud. Bandung: Mizan, 1998. Zahra, Abu (ed) dalam, Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999) Zainuddin, A. Rahman, Sub Makalah Sejarah Pemikiran Islam, dari buku Reaktulisasi Islam, (Jakarta: UIN, 1998)
112