KONSEP PENDIDIKAN JOHN DEWEY Tita Rostitawati IAIN Sultan Amai Gorontalo
ABSTRAK John Dewey (1859-1952) merupakan salah seorang tokoh yang sangat terkenal didunia pendidikan. Dia termasuk filosof yang berpengaruh di Amerika. Karir akademisnya juga luar biasa dan dipercaya mengajar dibeberapa perguruan tinggi terkemuka, termasuk Chicago dan Columbia. Sebelum meninggal tahun 1952, dia telah memperoleh reputasi internasional untuk pendekatan pragmatisnya dalam bidang filsafat, psikologi dan politik liberal. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Problematika nilai merupakan konsentrasi utama kajiannya. Puncak kajiannya adalah revolusi di bidang pendidikan. Berbagai program pendidikan yang dinilai Dewey sebagai kriteria pendidikan yang maju dan progressif adalah kesimpulan alami dari keseluruhan filsafatnya. Kata Kunci: Jonh Dewey dan Konsep Pendidikan A.
PENDAHULUAN
John Dewey adalah seorang tokoh pendidikan, lahir di Burlington Amerika1 pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel.2 Karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturutturut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903). Ia juga banyak menghasilkan uku-buku ketika berada di Universitas Colombia seperti Ethics (1908), How We Think (1910), The Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary Thought (1910), School of Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916), Essays in Experimental Logic (1916), Recunstruction in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), The Quest for Certainty (1929), Art as
Experience (1934), A Common Faith (1934), Experience and Education (1938), Logic: The Theory of Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939), Education Today (1940), Problem of Men (1946), 3 dan Knowing and The Known (1949). Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916). Dari tahun 1884 sampai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandanganpandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolahsekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendi-dikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan 4 murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
1
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), h. 133 2 John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, (Jakarta: Saksana, 1955), h. 5.
3
http//leonardoansis.word press.com/goresan pena sahabatku Yono/goresan pena sahabatku-PaulKalkoy/Pragmatisme 4 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), h. 535.
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
133
Ia pada mulanya banyak mempelajari filsafat Hegel, namun kemudian ia bersifat kritis terhadap filsafat Hegel karena ia melihat aliran idealisme ini terlalu menutup lingkungan hidup manusia pada dimensi kognitif intelektual semata-mata. John Dewey merasa sangat prihatin dengan masalah sosial, ekonomi dan pemerintahan. Ia begitu tertarik untuk melakukan pemecahan terhadap masalahmasalah pertumbuhan sosial melalui eksperimentasi 5 ilmiah. . Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan yaitu memanusiakan manusia. Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling 6 fundamental dari setiap orang. Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya. Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952.7 B.
PEMBAHASAN John Dewey memperkenalkan konsep pendidikan progresif. Dewey membangun konsep tersebut dengan beberapa landasan filosofis. Pertama teori evolusi, Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercaya-annya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan. Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna.. Teori ini juga digunakan untuk melihat suatu kebenaran. Bagi Dewey kebenaran tidak akan pernah mencapai titik final artinya tidak ada kebenaran yang absolut, yang 5
Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangan Epistimologi Secara Kultural (Yogyakarta: Kanisius 2001), h. 102. 6 Richard J. Bernstein, John Dewey, h. 384 7 Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung : CV. Ilmu, 1980), h. 126.
134
ada adalah kebenaran sementara sebelum kebe8 naran lainnya datang. Kedua, pragmatisme sebuah aliran filsafat yang lahir dari peradaban Barat, khususnya Amerika yang dipelopori oleh Pierce, William James dan John Dewey sendiri. Pragmatisme adalah paham filsafat yang menitik beratkan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. kegunaan praktis artinya sesuatu yang bisa memenuhi kepentingankepentingan subjektif individu. Sehingga kebenaran dalam panda-ngan pragmatisme harus dikaitkan dengan konse-kuensi-konsekuensinya (hasil atau kegunaannya). Suatu ide dikatakan benar apabila dapat diuji secara objektif-empirik dan bermanfaat atau bernilai praktis bagi kepentingan manusia serta 9 memberikan kepuasan. Pragmatisme John Dewey menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, merdeka, kreatif serta dinamis, Manusia memiliki kemampuan untuk bekerjasama, dengannya ia membangun masyarakat. Pragmatisme mempunyai keyakinan bahwa bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar, karena itu ia sanggup menghadapi serta mengatasi masalahmasalah yang bersifat menekan atau mengancam 10 diri dan lingkungnnya. Ketiga, psikologi behaviorisme. Suatu kajian tentang kajian manusia yang diamati melalui prilakuprilaku empirik manusia. Menurut paham ini prilaku atau perbuatan manusia ditentukan oleh stimulus dari luar diri manusia, sehingga paham ini, seperti diktakan oleh Erich From, tidak mempercayai adanya unsur kejiwaan yang susunan dan ketentuannya berdiri sendiri. Konsep Pendidikan John Dewey Menurut Dewey, pendidikan merupakan all one with growing ; it has no end beyond it self, sehingga tidak akan pernah permanen tapi selalu evolutif. Selain selalu on going process, Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, partisipasi, pluralisme dan liberalisme. Sehingga di Amerika yang merupakan penganut filsafat Dewey, falsafah pendi-dikannya lebih 11 mementingkan kebebasan indidu. Karenanya setiap individu dibimbing untuk mencapai kejayaan yang setinggi-tingginya dalam 8
Bertrand Russel, History of Western Philoshophy and its Connection with Political and social Circumstances from the Earliest Time to the Present Day (London, 1946), h.1066.. 9 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 871. 10
Aholiab Watholi, loc.cit. Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004, h. 3 11
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
ilmu pengetahuan dan kekayaan yang membawanya kesenangan hidup. Keberhasilan pendidikan bagi Dewey terletak pada partisipasi setiap individu yang didukung oleh kesadaran umum masyarakat. Konsep pendidikan yang diusung oleh John Dewey ini dikenal dengan pendidikan progresifisme yaitu pendidikan yang dijalankan secara demokratis. Pada tataran praktisnya, dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, peserta didik harus berperan aktif dalam proses belajar ataupun dalam 12 menentukan materi pelajaran. Fungsi pendidikan lebih sebagai fasilitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, berdiskusi, berpikir, berkeinginan dan bertujuan. Selain itu peserta didik juga harus diberikan kebebasan dalam menentukan suatu kebenaran yang diperoleh melalui hasil pengalaman dan eksperimen. Pendidik tidak bisa memaksakan kebenaran sepihak kepada peserta didik tanpa terlebih dahulu dilakukan eksperimen atau observasi oleh peseta didik. Sehingga kebenaran yang dihasilkan benar-benar berdasarkan kesepakatan dari peserta didik. mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari 13 problem solving dari masalah yang ia hadapi. Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskrip-sikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi kongkrit dan diuji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, dimana pendidikan didefinisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan 14 pengalaman berikutnya. Mendefinisikan hal itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun 12
Zulkarnain el Lomboky, Konsep Pendidikan John Dewey Sebuah Tinjauan Kritis (Majalah Gontor Media Perekat Ummat, Edisi 03 Tahun IX Juli 2011), h. 28. 13 Ibid., h. 29 14 John Dewey. Democracy and Education. (Heineman. London. 1961)
secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalaman. Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk memformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengala-man datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) di mana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekanan khusus dalam pemikiran pendidikan Dewey dan menentukan pandangan keduanya, anak di sekolah dan sekolah di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tradisional, yang dapat dijelaskan di sini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada diluar anak, apakah itu guru, buku, teks dan sebagainya. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan di mana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkungan. Hasilnya pokok-persoalan terisolasi dari anak dan hubungan menjadi formal, simbolik, statis, mati; sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan, untuk instruksi massal, dan selanjutnya terpisah dari hidup. Walaupun Dewey seorang Pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Experience (pengalaman) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat harus berpijak pada pengalaman penyelidikan serta pengolahan pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun system norma-norma dan nilai15 nilai. Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, langkah ke depan, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan di sini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh konsekuensi-konsekuensi. Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk menjadi warganegara (citizenship), untuk kejuruan (vocational), untuk pariwisata (leisure); mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam 15
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.171
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
135
hidupnya. Namun, pemikiran ini hanya bisa diberlakukan dengan asumsi bahwa keterampilan yang dipelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah. Dalam hal ini, penggunaan keterampilan saat ini sebagai persiapan masa depan merupakan kontradiksi dengan pemikirannya bahwa pendidikan merupakan suatu proses kehidupan dan bukan suatu persiapan untuk kehidupan mendatang. Dalam Experience and Education, Dewey mengkritisi bukan hanya sistem persekolahan tradisional melainkan juga bentuk-bentuk ekstrim dari pendidikan modern (progressive). Menurut dia tidaklah cukup untuk bereaksi secara negatif menentang masa lalu. Sekolah-sekolah maju telah menolak konsep subject-matter sebagai suatu produk akhir yang secara logika dihadirkan dalam berbagai buku. Mereka telah menolak kondisi kewenangan eksternal yang memuat kebebasan, ekspresi dan keindividuan. Mereka juga telah mengangkat pengalaman masa kini di atas masa lalu. Tetapi mereka tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kerja positif dari berpikir konsekuensi-konsekuensi praktis posisi mereka sendiri. Tempat subject-matter dalam persekolahan, faktor-faktor pengontrol didalam pengalaman dan yang pasti menempati kewenangan eksternal, adalah fungsi kematangan dalam memandu yang belum matang (immature). Mereka juga tidak secara cukup menyadari bahaya yang melekat pada posisi mereka sendiri. Kebebasan, sebagai contoh, disalahtafsirkan sebagai laissez-faire, terlalu banyak penekanan pada keperluan anak saat ini dan menurutkan kata hati (impulses). Hal ini dapat mengarah pada pengabaian fakta dasar dari pertumbuhan, dan teori-teori baru yang cenderung terperosok ke dalam dogmatismedogmatisme ketat seketat yang lama, yang ingin digantinya. Sumbangan Pemikiran John Dewey terhadap Pendidikan, apresiasi dan pemikiran pendidikan John Dewey tidak dapat dipungkiri telah berdampak luas, tidak hanya di Amerika tetapi dunia. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan akhir-akhir ini pada sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah, ke arah konsep pembelajaran yang lebih 16 manusiawi. Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat dalam pembelajaran anak dan berproses dalam pengalamannya. Garis besar 16
Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, (New York: American Book Company, 1951) h. 548.
136
pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digaris bawahi di sini. Menurut Garforth terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya, hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat bahwa dalam pendidikan harus terefleksikan dalam manajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsipprinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Pendapat ini mengalami pengabaian dalam masa yang lama, meskipun akhirnya secara berangsur dapat diterima. Akhirnya, proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerjasama dan timbal balik menggeser suasana kompetisi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan. Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sekolah, Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Namun, selama berabad-abad tenggelam dalam keformalitasan asumsi-asumsi psikologi klasik pada konsep klasik. Jika Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel telah melakukan banyak untuk membebaskan anak dari duri miskonsepsi kewenangan, maka Dewey juga telah memberikan sumbangan yang sama terhadap dunia modern. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasanlandasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula, pada sebuah penelitiannya tentang anak, menjadi lebih menyakinkan dengan dukungan keilmuan dan tidak terkesan sentimental. Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian Dewey lah yang telah membawa orang menjadi tertarik untuk
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakkannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan (discovery). Tujuan Pendidikan Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan 17 eksplorasi. Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput. Sekolah sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah. Oleh karena itu sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran” pengalamanpengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, 17
Wulanalfitiana.blogspot.com//pemikiran Dewey 13 April 2011
John
pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran 18 behaviorisme dan pragmatism. Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial. Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentukbentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang. Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilainilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus 18
Y. B. Suparlan, Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h.. 82-84
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
137
dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis 19 dalam bentuk aturan sosial politik. Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda. Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis. Dengan demikian, filsafat 20 dapat menyusun suatu sistem nilai Dewey tidak hanya ahli dalam bidang pendidikan tetapi juga menekuni bidang logika psikologi dan etika. Dalam bidang psikologi menurutnya, cara-cara non-ilmiah (unscientific) membuat manusia tidak merasa puas sehingga mereka menggunakan cara berpikir deduktif atau induktif. Kemudian orang mulai memadukan cara berpikir deduktif dan induktif, dimana perpaduan ini disebut dengan berpikir reflektif (reflective thinking). Metode ini diperkenalkan oleh John Dewey antara lain: 1. The Felt Need (adanya suatu kebutuhan): Seseorang merasakan adanya suatu kebutuhan yang menggoda perasaanya sehingga dia berusaha mengungkapkan kebutuhan tersebut. 2. The Problem (menetapkan masalah): Dari kebutuhan yang dirasakan pada tahap the felt need diatas, diteruskan dengan merumuskan, menempatkan dan membatasi permasalahan (kebutuhan). Penemuan terhadap kebutuhan dan masalah boleh dikatakan parameter yang sangat penting dan menentukan kualitas penelitian. Studi literatur, diskusi, dan pembimbingan
dilakukan sebenarnya untuk men-define 21 kebutuhan dan masalah yang akan diteliti. 3. The Hypothesis (menyusun hipotesis): Jawaban atau pemecahan masalah sementara yang masih merupakan dugaan yang dihasilkan misalnya dari pengalaman, teori dan hukum yang ada. 4. Collection of Data as Avidance (merekam data untuk pembuktian): Membuktikan hipotesis dengan eksperimen, pengujian dan merekam data di lapangan. Data-data dihubungkan satu dengan yang lain untuk ditemukan kaitannya. Proses ini disebut dengan analisis. Kegiatan analisis dilengkapi dengan kesimpulan yang mendukung atau 22 menolak hipotesis. 5. Concluding Belief (kesimpulan yang diyakini kebenarannya): Berdasarkan analisis yang dilakukan pada tahap ke-4, dibuatlah sebuah kesmpulan yang diyakini mengandung kebenaran, khususnya untuk kasus yang diuji. 6. General Value of the Conclusion (memformulasikan kesimpulan umum): Kesimpulan yang dihasilkan tidak hanya berlaku untuk kasus tertentu, tetapi merupakan kesimpulan (bisa berupa teori, konsep dan metode) yang bisa berlaku secara umum, untuk kasus lain yang memiliki kemiripan-kemiripan tertentu 23 dengan kasus yang telah dibuktikan diatas. Pandangan Dewey Tentang Perilaku Sosial Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif). Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" termasuk tentunya orang lain. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1)
19
Zamroni M.A., Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civikl Society, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001), h. 30-31. 20 Wahyu Murtiningsih, Para Filosof dari Plato sampai Ibnu Bajjah (Jogjakarta:IRCiSoD, 2012), h. 184.
138
21
http//www. Psychologymania.com/2011/John dewey tokoh aliran pragmatisme.html . 22 Ibid. 23 Ibid
TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu 24 adat-istiadat masyarakat - atau struktur sosial. Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat yang ada di sekitarnya. Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuankemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan keseki25 tarnya. Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap lingkungan. C.
PENUTUP
Dari konsep yang ditawarkan John Dewey ada beberapa prinsip mendasar pertama, prinsip kebebasan yang diarahkan kepada peserta didik dalam melakukan eksperimen dan menentukan kebenaran. pengalaman merupakan nilai yang sangat penting agar dijadikan sebagai paradigma untuk membangun pendidikan. Melalui karya inilah 24 25
Ibid. Ibid.
dia berusaha melengkapi dan menyempurnakan pondasi filsafat pendidikan, yang sebelumnya masih didominasi karya kaum tradisionalis-konservatif Kedua, pendidikan yang berdasarkan kepada pragmatisme, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia. Ketiga, pendidikan demokratis Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.
DAFTAR PUSTAKA Ag.
Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, Bandung : CV. Ilmu, 1980 Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangan Epistimologi Secara Kultural Yogyakarta: Kanisius 2001. Bertrand Russel, History of Western Philoshophy and its Connection with Political and social Circumstances from the Earliest Time to the Present Day (London, 1946 Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy, New York: American Book Company, 1951 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 2004 John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, Jakarta: Saksana, 1955 John Dewey. Democracy and Education. (Heineman. London. 1961 Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Prenada Media, 2003 Lorens Bagus, Kamus Filsafat Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005 Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004 Richard J. Bernstein, John Dewey, Wahyu Murtiningsih, Para Filosof dari Plato sampai Ibnu Bajjah (Jogjakarta:IRCiSoD, 2012. Y. B. Suparlan, Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984 Zamroni M.A., Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civikl Society, Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001 Zulkarnain el Lomboky, Konsep Pendidikan John Dewey Sebuah Tinjauan Kritis (Majalah Gontor Media Perekat Ummat, Edisi 03 Tahun IX Juli 2011.
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014
139