KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Proposal skripsi ini diajukan ke Fakultas Syari’ah Dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun Oleh : DAMANHURI 105043101294 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juni 2010
Damanhuri NIM. 105043101294
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., yang telah memberi nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, juga karena izin dan ridha-Nya pula dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad saw., yang dengan kehadirannya telah memberikan pencerahan, ketenangan dan kenyaman hidup manusia. Tak lupa kepada para sahabat, keluarga dan orang-orang yang pernah mengikuti dan mentaati ajarannya hingga akhir zaman. Setelah melewati eaktu yang melelahkan, akhirnya dengan penuh kesabaran dan penulis dapat menyelesaikan skripai ini. Semua ini tentunya tidak menjadi sebuah kenyataan, tanpa bantuan dan keterkaitan semua pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ayahanda H. Nara Somadan Ibunda Hj. Rosyidah, adalah orang tua penulis yang dimuliakan, disayangi dan juga yang telah menemani penulis sejak kecil baik suka maupun duka. Selama di dalam penulisan skripsi ini beliau selalu memberikan semangat dengan kata-kata yang membuat penulis semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini hingga menjai Wisudawan. 2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Selaku Ketua jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki Mag. Selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum. 5. Bapak Asep Saepudin Jahar MA, Ph.D sebagai dosen pembimbing yang selalu memberikan masukan, arahan, dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Pimpinan perpustakaan, baik perpustakaan pusat maupun fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku ataupun literatur lainnya sehingga memperoleh informasi. 7. Para dosen khususnya fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakart yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan berlangsung.
Tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kepada mereka yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis, kecuali dengan doa. Semoga Allah membalas segala amal baik karena sesungguhnya Dialah Tuhan satu-satunya tempat memohon dan meminta. Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini tidak terlepas
dari
keterbatasan.
Oleh
karena
itu,
penulis
sangat
membutuhkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat menjadi amal bagi pengembangan
ii
ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan bagi wacana keislaman. Amin ya robbal ‘alamin
Penulis Damanhuri NIM. 105043101294
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.............................................................................................i DAFTAR ISI...........................................................................................................iv BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...........................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................12 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................13 D. Metode Penelitian....................................................................13 E. Sistematika Penulisan..............................................................15
BAB II
: BENTUK-BENTUK OPOSISI A. Definisi Oposisi.......................................................................17 B. Oposisi Dalam Islam................................................................23 C. Oposisi dalam Sistem Parlementer...........................................27 D. Oposisi Dalam Sistem Presidensil...........................................30
BAB III
: SEJARAH GERAKAN OPOSISI INDONESIA DAN ISLAM A. Sejarah Gerakan Oposisi di Indonesia.....................................34 B. Sejarah Gerakan Oposisi di Pemerintahan Islam.....................43
BAB IV
: KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN (STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF) A. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut Hukum Islam...........................................................................54 B. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut Hukum Positif..........................................................................61 C. Persamaan dan Perbedaan Antara Kedua Konsep..............69
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan....................................................................71 B. Saran..............................................................................72 C. Daftar Pustaka.................................................................74
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi saat ini merupakan kata yang sering menjadi perbincangan berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat bawah sampai masyarakat kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan dan kaum profesional lainnya. Pada berbagai kesempatan mulai dari obrolan warung kopi sampai dalam forum ilmiah seperti seminar, lokakarya, diskusi publik dan sebagainya. Semaraknya perbincangan tentang demokrasi semakin memberikan dorongan kuat agar kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Wacana demokrasi seringkali dikaitkan dengan berbagai persoalan. Karena itu demokrasi menjadi altenatif sistem nilai dalam berbagai lapangan kehidupan manusia baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara 1 . Demokrasi mempunyai beberapa prinsip yang terdiri dari pluralisme, persamaan dan kebebasan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama, pemikiran dan sebagainya merupakan conditio sain qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakan). Sedangkan prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat biasa atau pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan. Begitupula dengan prinsip kebebasan yang 1
Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h. 161
1
2
menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebebasan merupakan salah satu prinsip demokrasi yang harus dijalankan yaitu kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan membentuk suatu perserikatan seperti membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), membentuk organisasi kemahasiswaan bahkan membentuk organisasi politik (partai politik) sekalipun. Kebebasan membentuk perserikatan terutama partai politik, akan mampu menyerap dan sekaligus menyuarakan aspirasi dan harapan-harapan yang diinginkan oleh segenap anggota masyarakat. Penyerapan aspirasi masyarakat di negara besar seperti Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, suku, ras dan agama serta berbagai macam golongan yang terus bermunculan seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu diperlukan banyak penyerap aspirasi, dalam arti diperlukan banyak partai (multi partai) yang mampu menyerap aspirasi mereka, dan tidak ada lagi warga masyarakat yang merasa terkucilkan serta tidak diperhatikan pemerintah serta menepis isu-isu separatisme yang mengancam integrasi bangsa ini. Sistem demokrasi memberikan ruang tumbuhnya multi partai politik yang bebas dalam mengemukakan dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintahan. 2 Adanya multi partai politik mampu melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita dan keinginan masyarakat. Karena pemimpin pada dasarnya juga mempunyai 2
Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h. 167
3
keterbatasan dalam hal pemikiran, pengelolaan dan kepemimpinan. Sehingga tidak bisa dipungkiri juga dapat melakukan hal-hal yang keliru dalam mengelola bangsa ini Sistem multi partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan politik daripada sistem dwi-partai dan apalagi partai tunggal. Namun demikian dalam sistem multi partai, apalagi kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan parlementer yang menitikberatkan kekusaan pada lembaga legislatif sehingga peranan lembaga eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Di lain fihak partaipartai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas oleh karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Berbeda dengan sistim multi partai, dalam sistim dwi-partai sudah jelas letak tanggungjawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi partai. Di dalamnya ada partai yang berkuasa (partai yang menang dalam pemilihan umum) yang berperan sebagai pelaksana pemerintahan dan partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilihan umum) yang berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition) terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa sewaktu-waktu dapat bertukar tangan.3 Dalam pemilihan umum partai politik berkompetisi untuk mendapatkan dukungan mayoritas rakyat. Karena itu ada partai yang mendapatkan suara dan dukungan mayoritas dan ada yang mendapatkan dukungan minoritas. Partai politik 3
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) h. 168
4
yang mendapat dukungan rakyat mayoritas berkesempatan memimpin pemerintahan, sedangkan partai yang mendapatkan dukungan minoritas dapat menentukan kebijakan politiknya menjadi kelompok oposisi yakni berada di luar parlemen sebagai penyeimbang pemerintah, sehingga akan timbul check and balance. Keputusan menjadi golongan oposisi didasari oleh adanya perbedaan pandangan dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan. Perbedaan pandangan jangan dianggap sesuatu yang negatif yang dapat merusak dan menghambat jalannya roda pemerintahan.
Namun sebaliknya perbedaan pandangan tersebut akan
mengahasilkan banyak alternatif dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga tidak terjadi lagi pemaksaan pandangan yang sudah jelas tidak tepat untuk diterapkan Namun demikian menjadi oposisi bukan asal beda dan menempatkan serta menganggap pemerintah secara sinis, lemah dan gagal. Oposisi bukan pula sekedar menentang suatu kebijakan tanpa alasan dan landasan yang jelas dan tepat, melainkan berdasar pada program-program yang telah direncanakan namun urung terlaksana karena kalah dalam pemilihan umum. Maka untuk membuktikan kepada pemilih bahwa mereka telah keliru dalam menentukan pilihan yaitu dengan membandingkan antara perencanaannya dan realisasi yang dikerjakan oleh pemerintah yang sedang berkuasa, dengan demikian maka terlihat jelas keunggulan masing-masing program, sehingga pada pemilu berikutnya, pemilih dapat melihat kembali kualitas dan kemampuan masing-masing kontestan berdasarkan pada pengalaman dan kenyataan yang telah dilalui. Kemunculan oposisi tidak lepas dari tujuan berdirinya suatu negara, yaitu
5
untuk mensejahterakan rakyatnya, dan pemerintah diberi mandat serta wewenang untuk mengatur dan menemukan cara yang tepat dan jitu menuju dan menjadi sejahtera. Untuk itu berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk tujuan kesejahteraan tersebut. Cara dan jalan itulah yang dibuat sehingga terbentuk suatu sistem yang dapat diukur dan dievaluasi kendala, kelemahan, keberhasilan dan kesuksesannya. Sistem yang digunakan untuk mewujudkan tujuan negara tersebut tidak selamanya dapat berjalan baik, disana sini terserak berbagai kendala. Penanganan kendala-kendala tersebut dapat memicu polemik, sehingga memunculkan beragam model dan alternatif sistem lainnya, maka lahirlah sistemsistem baru, baik hasil modifikasi sistem lama maupun sistem yang sama sekali baru. Pertarungan diantara sistem-sistem inilah yang melahirkan oposisi. Jadi oposisi esensinya adalah perbedaan pandangan terhadap model pencapaian tujuan kesejahteraan. Itulah sebabnya oposisi dikenal dalam sistem kepartaian, sebab partai politiklah satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memperjuangkan suatu sistem terlaksana dan dijalankan. Sistem-sistem ini menjadi platform partai yang dijadikan sebagai alat tawar kepada pemilih agar mau memilih partai tersebut. Maka oposisi tidak serta merta terjadi, namun memiliki landasan dan alasan kuat sehingga suatu partai politik memilih menjadi oposisi. Begitu pula dengan koalisi, tidak sebatas pertemuan kepentingan sesaat, melainkan adanya pertautan dan persinggungan platform yang dianut oleh partai-partai politik. Namun kenyataan, realisasi dan praktek oposisi terlihat bertolak belakang,
6
oposisi dan koalisi menjadi “abu-abu”, sehingga sulit menentukan apakah kekalahan suatu partai menjadikannya secara otomatis sebagai oposisi, atau bersekutunya beberapa partai menempatkannya sebagai teman koalisi, tentu sulit untuk menjawabnya, masih perlu analisa dan telaah lebih mendalam. Sebenarnya di negara-negara yang menganut demokrasi sekalipun, oposisi tidak benar-benar diterapkan secara konsisten, mengingat paradigma dan aliran politik yang dianut dan diterapkan relatif sama terutama dalam kebijakan ekonomi. Tawaran yang diperjual belikan kepada konstituen tidak jauh berbeda, sehingga siapapun yang berkuasa tidak akan ada perbedaan yang signifikan. Amerika Serikat misalnya, sulit membedakan kebijakan Bush dengan Clinton, meskipun mereka berasal dari partai yang berbeda, keduanya sama-sama mengidolakan liberalisme. Begitu pula dengan kebijakannya terhadap politik luar negeri Amerika, tidak jauh berbeda, penerapan standar ganda dilakukan oleh keduanya. Yang berbeda mungkin hanya pendekatannya, soal motif dan tujuan akhirnya sama saja. Dalam kasus Israel misalnya, di masa Clinton yang Demokrat tidak ada bedanya dengan Bush yang Republik, begitu pula dalam kebijakan-kebijakan lainnya. Hal ini menunjukkan dan menguatkan bahwa oposisi tidak benar-benar sanggup atau mampu diterapkan di negara-negara yang menganut demokrasi sekalipun. 4 Adanya oposisi adalah adanya pertarungan ideologi atau pemikiran-pemikiran yang berbeda antara partai satu dengan partai yang lainnya. Pertarungan ini hanya dimungkinkan, bila suatu negara memberi kebebasan kepada penganut paham 4
http.// www.michelleader.com
7
manapun untuk ikut bertanding. Dengan demikian dapat dilihat keunggulan dan kelemahan masing-masing pihak. Tentu ide ini tidak mudah untuk dijalankan mengingat banyaknya trauma sejarah terhadap pertarungan ideologi antar partai politik tersebut, sehingga membuat banyak pihak menjadi paranoid, padahal bila hukum ditempatkan sebagai wasit, maka tidak perlu ada kekhawatiran senantiasa mengisi Bagi masyarakat muslim Hukum Islam, dalam pengertian mewakili tatanan konstitusional merupakan seperangkat nilai yang diterima oleh sebagian besar orang dalam masyarakat politik sebagai sesuatu yang sah dan otoritatif. Oleh karena itu kesadaran terhadap konstitusi merupakan unsur penting dalam memberikan landasan bagi oposisi yang sah. Ia memberi dasar untuk menentang tindakan para pemimpin atau menyarankan pembaruan itu tanpa perlu melakukan penggulingan pemerintahan secara revolusioner yang banyak menimbulkan kehancuran-kehancuran dan bahkan menumpahkan darah. 5 Masyarakat Islam adalah masyarakat yang demokratis, yang didasarkan pada permusyawaratan dan penghargaan pada hak asasi manusia, hak material, dan hak imaterial manusia yang tidak boleh dipaksakan dan ditindas. Oleh akrena itu setiap anggota masyarakat itu berhak menyatakan pendapatnya, berhak berbeda pendapatnya, berhak mengoreksi setiap pemimpin apakah dia pemimpin tinggi, raja, presiden atau pemimpin tingkat rendah. Apakah dia pemimpin formal, seperti
5
John L.Esposito&John O. Voll Demokrasi di negara-negara muslim: problem dan prospekDiterjemahkan oleh Rahmani Astuti dari Islam and Democracy, h. 50-51
8
presiden, raja, panglima atau pemimpin informal, seperti tokoh politik, tokoh masyarakat, para ulama dan cendikiawan Ini dinyatakan dalam firman Allah “dan bermusyawarahlah di dalam semua urusan kamu”(ali imron: 159) “dan di dalam urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka” (al-syura: 38) “afdhalul jihad qoulal haqi ‘inda suthanin jaair” (hadits) Dari ayat-ayat dan hadits di atas tegas bahwa setiap ummat itu berhak untuk menyatakan yang benar, berhak untuk menyatakan keberatan jika dia merasa bahwa dia tidak akan mampu melakukannya. Dan jika seseorang itu merasa bahwa ada kejanggalan atau kekurangan atau kesalahan atau mengandung maksiat maka ummat wajib mengoreksinya. Dan jika tidak mampu melakukannya dia boleh menyampaikan keberatannya, dan pimpinan yang baik tidak akan memberati ummatnya di luar kemampuannya seperti ayat di atas. Sebaliknya jika ada kekeliruan, lupa atau kekurangan, maka setiap pemimpin sangat mengharapkan koreks dan pendapat yang lebih baik dari orang yang dipimpinnya. Pemimpin Islam itu selalu mengharapkan kritik dan koreksi yang dicontohkan oleh Rasulullah di mana beliau selalu meminta pendapat dari ummat, bahkan dari wanita yaitu istrinya, dia dapat menerima jika memang pendapat istrinya tersebut lebih baik. Juga dari khalifaturasyidin banyak contoh di mana mereka sangat mengharapkan koreksi dan kritik dari rakyatnya. Khalifah Abu Bakar di saat beliau
9
dibaiat, beliau berkata: “taatilah aku jika aku benar, dan koreksilah aku jika menurut pendapat kalian aku keliru.” Contoh di atas merupakan benang merah dari demokrasi dan ketulusan serta kebesaran pemipin Islam di masa lampau, yang wajib menjadi teladan bagi kita di masa ini. Akibat dari ada hak dan kewajiban di antara pemimpin dan ummat ini, maka masyarakat Islam ditegakkan secara demokratis dan didukung dengan sukarela dan tulus oleh ummatnya. Menjadikan masyarakat yang mempunyai disiplin yang tinggi, yang masing-masing pihak mengerti tanggung jawab hak dan kewajiban masing-masing. 6 Pada masa “klasik “setelah wafatnya Nabi Muhammad dan meluasnya ekspansi komunitas dan negara Islam gagasan mengenai konsensus (ijma’), musyawarah (syura), dan ijtihad secara operasional
didefinisikan. Selain itu,
dikembangkan pula konsep spesifik yang terkait dengan isu oposisi, yaitu menyangkut perbedaan pendapat antar umat Islam. Oleh karena itu pada masa itu pulalah didefinisikan mana perbedaan pendapat yang diperbolehkan dan mana yang dianggap pembangkangan. Islam menetapkan musyawarah sebagai salah satu kaidah hidup yang islami dan mewajibkan seorang pemimpin untuk melakukan musyawarah serta mewajibkan umatnya untuk mengkritisi apa yang telah dilakukan pemimpinnya. Sebagaimana menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan, bahkan menjadikannya sebagai sebuah keutamaan jihad untuk 6
Ciri-ciri pemimpin menurut al-Qur’an, hal 58
10
mengatakan perkataan yang benar dihadapan pemimpin jahat. Kewajiban tersebut harus diimplementasikan oleh partai politik khususnya dalam pengelolaan sebuah negara. Karena penguasa seringkali dengan mudah mematah kekuatan individu atau kelompok kecil dengan cara kekerasan atau tipu daya. Namun sebaliknya ia akan sulit mematahkan kekuatan kelompok yang besar dan terorganisir seperti partai politik yang mempunyai peran dalam segi kehidupan dan pengaruh serta basis masa yang kuat di dalam masyarakat. 7 . Maka oleh karena itu apabila ada kekeliruan atau terjadi keadaan statis dalam menjalankan pemerintahan, partai politik harus cepat merespon hal tersebut dengan mengkritisi dan memberikan masukan-masukan yang positif. . Langkah oposisi partai politik tersebut akan membawa perubahan yang signifikan bagi peningkatan kinerja pemerintahan dan berdampak pada terlaksananya kesejahteraan serta kemakmuran yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah. Maka dengan demikian lagilagi kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tersebut harus dijalankan dengan sungguhsungguh, jangan sampai diabaikan bahkan tidak dijalankan sama sekali. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akhirnya tertarik untuk meneliti secara lebih jauh tentang permasalahan tersebut dari berbagai sudut pandang. Sehingga penulis berkeinginan untuk menulis skripsi yang berjudul “KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ; STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF” 7
Yusuf Qordlowy, fiqh daulah fil Islam, h. 136
11
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Peran menjadi partai oposisi tidaklah mudah dan harus menghadapi berbagai macam tantangan dan permasalahan, yang tidak akan pernah habis dibahas dalam waktu yang singkat, dan tidak sedikit buku yang dijadikan referensi. Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas. Maka penulis membatasi masalah hanya mengenai partai oposisi yaitu tentang peran oposisi partai politik terhadap langkahlangkah dan kebijakan yang diambil pemerintah, yang lebih ditekankan pada masalah pendorongan pemerintah untuk memperbaiki serta meningkatkan mutu kinerjanya dalam rangka membangun negara dan mensejahterakan seluruh warga negaranya. Adapun berdasarkan uraian dari pembatasan masalah, maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengertian “Partai
Oposisi” yang diperankan partai politik terhadap pemerintah yang sah. 2.
Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif
terhadap konsep partai oposisi 3.
Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan
hukum positif mengenai konsep partai oposisi
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian disesuaikan pada perumusan masalah di atas yang meliputi: 1. Dengan penelitian ini dapat diketahui pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap pengertian ”Partai Oposisi” yang diperankan partai politik terhadap pemerintah yang sah. 2. Dengan penelitin ini dapat diketahui pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang konsep partai oposisi 3. Dengan penelitian ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif mengenai konsep partai oposisi Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan dalam kajian ilmiah, antara lain: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah wawasan khazanah keilmuwan di bidang hukum Islam terutama dalam hal hukum Islam tentang bagaimana sebuah partai politik berperan sebagai oposisi dan korelasinya terhadap peningkatan mutu kinerja pemerintahan. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemecahan masalah bagi kalangan akademisi khususnya di bidang siyasah (perpolitikan) agar dapat menjawab permasalahan-permasalahan hukum terutama seputar oposisi partai politik dalam segala bentuknya.
13
D. Metode Penelitian Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yakni; a. Jenis Penelitian Melihat pada data-data yang diambil dalam skripsi ini, maka penelitian skripsi ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, karena jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Dan jika dilihat dari segi tujuan penelitian ini, maka penelitian ini juga termasuk jenis penelitian deskriptif, yaitu pemaparan data-data dalam satu variabel. Dan juga apabila dilihat dari segi tipe penelitian ini, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian normatif-doktriner-komparatif, yaitu penelitian pada doktrin-doktrin hukum dan membandingkannya satu dengan yang lain. b. Jenis dan Sumber Data Ada dua jenis dan sumber yang dijadikan sebagai bahan pegambilan data penelitian ini, yakni jenis data dari sumebr primer diambil dari undangundang hukum, yakni undang-undang tentang partai politik, dan hukum Islam. Sedangkan sekundernya adalah penjelasan dan juga penafsiran terhadap undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan objek penelitian, serta referensi-referensi pendukung lainnya. Kedua jenis data tersebut diambil langsung dari undang-undang dan buku-buku yang terkait dengan objek penelitian.
14
c. Teknik Pengumpulan Data Untuk jenis penelitian normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan atau studi dokumenter, yakni dengan menelusuri bahan pustaka yang terkait dengan peran partai oposisi dan korelasinya terhadap peningkatan mutu kinerja pemerintah, baik itu dari hukum positif maupun hukum Islam yang terkait dengan objek masalah yang dikaji dalam skripsi ini. d. Teknik Pengolahan Data Adapun teknik pengolahan data dalam skripsi ini dengan menggunakan teknik deskriptif, yaitu setelah data-data tersebut terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah memaparkan data tersebut secara lengkap, urut, dan teratur, dan setelah itu dilakukan analisis dengan mencermati setiap pembahasan tema yang digarap. e. Teknik Penulisan Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku-buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi di fakultas syari’ah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini penulis membaginya pada lima bab dan beberapa sub bab, yakni: BAB I:
Pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan keguanaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
15
BAB II:
Pengertian partai oposisi dan partai opoisis menurut pandangan hukum Islam serta tujuan dan pola oposisi
BAB III:
Bentuk-bentuk oposisi dan strategi oposisi dalam mengkritisi kebijakan yang tidak populis, yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu oposisi parlementer, oposisi presidensiil, dan Kedudukan dan fungsi partai oposisi dalam ketatanegaraan, yang terdiri dari dua sub bab, partai oposisi dalam ketatanegaraan, fungsi partai sebagai oposisi pemerintahan
BAB IV:
Peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintahan menurut hukum Islam dan hukum positif, yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintah menurut hukum Islam, peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintah menurut hukum positif, persamaan dan perbedaan antara keduanya tentang peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintah
BAB V:
penutup yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: kesimpulan dan saran-saran.
BAB II BENTUK-BENTUK OPOSISI A. Definisi Oposisi
Secara etimologi oposisi berasal dari bahasa inggris opposition (opposites, oppnore dalam bahasa latin) yang berarti memperhadapkan, membantah, dan menyanggah 1 . Sedangkan secara terminology, oposisi adalah golongan atau partai yang menentang politik pemerintahan yang sedang berjalan 2 . Dalam kamus besar bahasa Indonesia, oposisi diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan mayoritas yang berkuasa 3 . Eep Saifullah Fatah mendefinisikan oposisi sebagai setiap ucapan atau pebuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggaris bawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah benar. Sehingga maksud dari beroposisi politik adalah melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Jadi oposisi bukanlah penentang an sich, oposisi bukan pula sekedar pihak yang mengatakan ketidaksetujuan, oposisi bukanlah golongan atau partai yang hanya teriak semata-mata, dan bukan pula kalangan yang melawan kekuasaan secara membabi buta 4 . Sementara itu menurut prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam bukunya “Dialog Keterbukaan” menyatakan bahwa dalam Negara demokrasi yang sehat sangat 1 2
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 1996) h. 754 Jhon McGill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, (Jakarta, Aribu Matra Mandiri, 1996)
h.154 3 4
Tim Penyusun Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka) h. 628 Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1999) h. XI
17
18
diperlukan check and balance sebagai kekuatan pemantau dan pengimbang, sebab dalam pandangan yang agak filosofis manusia tak mungkin selalu benar untuk menjalankan check and balance secara formal di parlemen adalah partai oposisi. Menurutnya juga, oposisi tidak berarti to oppose (menentang) tapi dalam oposisi terkandung unsure to support (mendukung). Dalam pandangan Nurcholis oposisi sangat berbeda dengan oppositionalisme adalah menentang sekedar menentang, sangat subyektif dan bahkan ittikadnya kurang baik, seperti kebiasaan mendaftar kesalahan orang lain. Sedangkan oposisi dalam semangat loyal, loyal kepada Negara, loyal kepada cita-cita bersama dan bahkan kepada pemerintah pun dalam hal yang jelas-jelas baik harus loyal 5 .
Dalam ilmu politik definisi oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan. Oposisi bukanlah musuh, melainkan mitra tanding (counter player) dalam percaturan politik, sebagaimana diidentifikasi oleh ghita Lonesca dan Isabel de Madriaga dalam opposition (1982) – oposisi hadir sebagai pemerhati, pengontrol, dan evaluator perilaku dan kinerja pemerintah
Dalam wacana politik, oposisi ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kultural dan aspek struktural. Pada aspek kultural menekankan bahwa oposisi sudah menjadi sebuah kebutuhan mutlak dalam membangun bangsa kedepan yang lebih baik.
5
Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.7
19
Mencermati bukan sekedar turut menyaksikan apa saja yang berlalu didepan mata, akan tetapi siap-siaga untuk melakukan counter discourse atau gelar wacana tandingan, dialog, kampanye publik, dan lain sebagainya. Perilaku beroposisi seperti ini dapat diperankan oleh siapa saja dan kapan saja. Sedangkan dalam aspek struktural, oposisi dimaknai dengan mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkuasa, namun dengan tidak banyak memproduksi aksi positif, cukup dengan menolak tegas secara moral kebijakan tersebut, untuk selanjutnya menunggu perkembangan yang akan berlaku. Dengan bahasa lain merupakan oposisi yang miskin strategi dan miskin program, (menurut penulis) persis sama dengan kondisi gerakan oposisi di Indonesia 6 Oposisi dalam ilmu politik tidak terlepas dari perkembangan partisipasi yang lebih luas dalam proses politik. Menurut Myron Weiner partisipasi disebabkan oleh lima hal. Pertama: modernisasi, komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran baca tulis, perbaikan pendidikan dan pengembangan proses demokrasi yang berdaulat. Bentuk kebebasan dalam bingkai pluralisme menuntut partai untuk andil dalam kekuasaan. Kedua, perubahan struktur sosial. Ketiga, pengaruh kaum intelektual dan komunikasi era modern yang memunculkan
6
http://ashlf.comH. Aries Sugi Hartono, S.H. H. Aries Sugi Hartono, S.H., oposisi semu di Indonesia, diakses
pada tgl 9 maret 2010
20
ide-ide egaliterianisme, nasionalisme, demokrasi, pluralisme ke dalam masyrakat umum. Keempat, konflik antar kelompok pemimpin politik. Kelima, keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. 7 Partisipasi ini sebagai usaha terorganisasi dari para warga negara untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan. Untuk menilai partisipasi politik dapat dilihat dalam dua tolak ukur, yaitu pengetahuan dan penghayatan terhadap politik yang mereka miliki. Diantaranya hak dan kewajiban warga negara. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan partisipasi itu diperlukan sistem politik yang demokratis meliputi dua suasana kehidupan. Suasana kehidupan yang konstitusional (supra struktur) dan kehidupan politik rakyat sebagai kekuatan politik sosial dalam masyarakat (infra struktur). Infra struktur politik di sebuah negara mempunyai lima komponen, meliputi:partai politik (political party), kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication group), dan tokoh politik (political figure). Pola partisipasi politik dapat diklasifikasikan dalam dua pola. Yaitu pola konvensional sebagai bentuk partisipasi yang umum dala demokrasi modern, meliputi aktivitas pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye dan bergabung dalam kelompok kepentingan. Sedangkan partispasi politik non konvensional adalah pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan terhadap harta benda atau manusia dan revolusi. Partisipasi dapat terealisasi dengan dibentuknya partai politik 7
Tim Kanisius,Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), h. 945
21
sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan komunikasi, sosialisasi dan rekrutmen politik, fungsi lainnya sebagai pengatur konflik. Kekuasaan dalam politik berbentuk hubungan, dalam arti ada pihak yang memberi perintah dan ada pula pihak yang diperintah, sehingga ada pengaruh dalam menjalankan kekuasaan. Kekuasaan politik merupakan kekuasaan sosial yang fokusnya ditunjukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai hak mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan, ada dua macam kekuasaan politik. Yakni, kekuasaan sosial yang terwujud dalam negara seperti lembaga-lembaga pemerintah: DPR, presiden dan yudikatif. Kekuasaan sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi dan aliran yang bersifat politik, maka untuk mengimbangi agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dalam satu badan. Ada pembagian kekuasaan dalam negara atau lebih dikenal dengan doktrin trias politica. 8 Badan legislatif adalah lembaga yang mewakili aspirasi dari masyrakat yang dipilih dalam pemilu. DPR menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan dengan jalan menentukan kebijakan dan menuangkan dalam undang-undang. Perwakilan-perwakilan partai ini mempunyai wewenang dalam menyuarakan aspirasi masyarakat yang legal. Adapun tugas penting dari anggota legislatif adalah: 1. Menentukan kebijaksanaan dan membuat undang-undang. Untuk itu DPR diberi hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan hak budget.
8
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) h. 135
22
2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan bada eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini badan legislatif diberikan hak-hak kontrol khusus, diantaranya adalah hak bertanya, interpelasi, anggket dan mosi. Maka format oposisi dalam bentuk ajaran mengimbangi kekuasaan (check and balance) 9 negara yang diletakan dalam kerangka konstitusi. Format oposisi ini biasa dilakukan oleh partai politik yang menginginkan perubahan atau mengkritisi kinerja pemerintahan. Konstitusi mutlak merupakan kata akhir dan perwujudan legitimasi, penyimpangan terhadap konstitusi berarti melampaui batas mandat politik. Pada konteks ini oposisi dapat disebut sebagai sistem kontrol konstitusi. Sistem check and balance merupakan sebuah mekanisme untuk mampu mengoreksi dan meluruskan sebuah pemerintahan serta mendorong pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap pengekangan kebebasan dan pencekalan dalam mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan sebuah falsafah sebuah negara atau hak asasi manusia. Peran oposisi partai politik sangat penting untuk mengawasi dan mengimbangi kekuasaan secara konsisten, objektif dan berpegang pada kebenaran. Serta berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Adanya oposisi di parlemen akan mempersempit kemugkinan terjadinya tiranisme dan otoriterianisme.
9
Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.13
23
. B. Oposisi Dalam Islam
Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik sekalipun, agar manusia tidak tersesat dan selalu berada pada jalan yang telah digariskan-Nya. Ketika seorang pengkaji mengamati nash-nash yang terdapat dalam AlQur’an dan sunnah Nabi Saw serta dalam berbagai khazanah pemikiran Islam yang disampaikan pada masa Khulafaur Rasyidin menemukan bahwa secara keseluruhan, wacana Islam memerintah dan mengajak kaum muslim untuk beroposisi. Di samping itu mendorong ummat untuk melakukan reformasi, bahkan bersikap menentang jika keadaannya menghendaki demikian. Fokus pokok oposisi tercermin dalam kewajiban yang dibebankan syari’at kepada seluruh manusia untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Menurut Imam Hamid Al-Ghazali dalam kitab ihya ‘ulumuddin, hal itu merupakan kutub terbesar agama 10 . Kewajiban tersebut, dalam praktiknya, dewasa ini telah dihapus, bahkan hanya difokuskan dalam masalah moral saja. Tetapi menurut pengalaman pahit kaum muslim dan menurut kebanyakan ulama, kewajiban ini merupakan istilah politik pada peringkat pertama. Ia juga merupakan substansi pokok untuk proses perubahan, baik
10
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 132
24
itu dalam skala individu, kelompok, maupun ummat secara keseluruhan. Suatu amalan yang sangat penting dalam menjalankan suatu roda pemerintahan bagi mereka yang mendapatkan amanah dari ummat adalah melaksanakannya dengan baik, dan sebaik-baiknya ummat adalah yang berani memperingatkan dan mengkritisi suatu kekeliruan yang dilakukan oleh kepala negara. Karena itu, suatu bentuk kritikan (oposisi) bukan hanya sekedar hak, tetapi bahkan merupakan kewajiban menurut syari’at Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa sebagai muslim kita senantiasa dituntut untuk taat kepada Allah, rasul dan para pemimpin kita, tetapi kesepakatan itu segera disusul dengan satu klausul politik selama para penguasa tidak menyeleweng. Artinya, ketika para pemimpin melakukan perbuatan maksiat (kepada allah dan Rasul-nya), maka tidak ada ketaatan lagi kepadanya. Dalam konteks ini, umat diperkenankan bahkan diharuskan untuk senantiasa melakukan kritik terhadap para pemimpinya. Sehingga dalam pandangan Islam, oposisi tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan suatu pemerintahan ataupun mengganggu pemerintahan yang sedang berkuasa, tapi bersikap tegas, tidak kompromi terhadap kedzaliman, sikap tegas ini mengandung konsekuensi berani mengatakan “tidak” jika salah dan berani mengatakan “benar” jika memang benar adanya. Atas dasar inilah, maka termasuk bagian tegas ini adalah tidak malu mendukung kebijakan pemerintah jika dipandang tepat, dan sebaliknya tidak takut untuk mengkritik suatu kebijakan jika dipandang salah. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penyimpangan terhadap hak rakyat, pelanggaran terhadap penuanaian amanat rakyat. Penyimpangan dari keadilan dan
25
menghilangkan kebebasan manusia, maka diperlukan partai politik atau kelompok yang independen yang mengawasi jalannya pemerintahan di dalam birokrasi untuk selalu objektif dalam menilai setiap kebijakan yang dibuat. Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam ada lembaga perwakilan rakyat yang lebih dikenal dengan majelis umat (ahl halli wal aqdi). Tugas dari majelis umat ini membaiat kepala negara sebagai bentuk dari kontrak sosial, ini tidaklah bersifat mutlak dan permanen, tetapi bersifat bersyarat yang bergantung pada para penguasa dalam menjalankan kontrak sosial yang disepakati sesuai atau tidak dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan berdasarkan agama. Adapun tugas lain dari lembaga ini adalah (1) memberikan saran kepada khalifah. Dalam hal ini pendapatnya bersifat mengikat (wajib dilaksanakan oleh khalifah); (2) dalam masalah disiplin, finansial, pasukan dan politik luar negeri, khalifah berhak merujuk kepada majelis untuk meminta pendapatnya dan bersikap sesuai dengan pandangannya, tetapi tidak mengikat; (3) majelis mempunyai hak untuk mengoreksi khalifah atas seluruh tindakan yang selama ini terjadi di negara; (4) majelis umat berhak untuk menampakan ketidaksetujuannya terhadap para Muawin, Wali dan Amil; (5) kaum muslimin yang menjadi anggota mejelis umat, berhak untuk membatasi calon yang akan menjadi khalifah. Dari fungsi majelis umat, maka hak dan kebebasan beroposisi merupakan produk alami dari kebebasan pemdapat, keadilan dan kesetaraan. Produk alami ini adalah kaidah-kaidah dasar dari sistem pemerintahan Islam, yang berarti bahwa
26
dalam hukum Islam menerima munculnya oposisi dan melindunginya. Dalam sejarah Islam permulaan dapat ditemukan bukti-bukti yang menunjukan bahwa Nabi memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk berbicara dan mengemukakan pendapat mereka. Hal ini tampak dalam musyawarah-musyawarah atau konsultasi yang beliau laksanakan untuk membicarakan berbagai masalah. Beliau mengembangkan kebebasan pendapat di kalangan para sahabatnya. Kegemaran Nabi Muhammad bermusyawarah dengan para sahabatnya mengindikasikan bahwa Nabi mengakui kebebasan berfikir dan berpendapat, dan sangat menghargai nilai-nilai kebebasan itu sebagai suatu nilai yang bermanfaat 11 . Islam telah menjadikannya sebagai tugas Muslim dan Muslimat untuk membentuk masyarakkat yang sehat, yang bersih dari korupsi dan perbuatan tercela dan untuk selalu berkelakuan baik dan menghindari kezhaliman. Tugas ini dituangkan dalam prinsip amar ma’ruf nahi munkar, menyeru orang kejalan kebajikan dan mencegah ketidakadilan adalah tanggung jawab bersama dari negara dan rakyat. Sutau pemerintahan Islam tidak bisa bersikap netral berkenaan dengan kondisi moral religius dari masyarakat. Syariat islam telah menetapkan peemulaan muasyawarah dan menjadikannya salah satu pondasi dari hukum dan politik yang tidak mempunyai perincian, pembatasan,
serta
formulasinya
bagi
ummat
islam.
Al-qur’an
belum
memformulasikannya dan Rasul juga belum memberikan tata aturan yang khusus dari 11
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta, 1988) h. 75-76
27
musyawarah itu sendiri, karena musyawarah merupakan hal yang di dalamnya terdapat
perubahan
sudut
pandang
dan
perubahan
pada
generasi
yang
menjalankannya, serta kemajuan masyarakat. Oleh karena itu apabila ditetapkan aturan yang baku terhadap musyawarah, maka akan mempersempit pemahaman musyawarah bagi mereka. Ini secara sengaja ditinggalkan tanpa aturan baku agar menjadi rahmat bagi sekalian manusia
C. Oposisi dalam Sistem Parlementer Dalam konsep trias politica, kekuasaan dibagi menjadi tiga;
pertama,
kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan dan ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias politica adalah prinsip yang normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. 12 Sebelum lebih jauh berbicara tentang oposisi dalam sistem parlementer penulis akan menguraikan lebih dahulu tentang sistem parlementer. Pertama, dalam sistem parlementer, parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui pemilihan umum. Kedua, anggota dan pemimpin kabinet dipilih oleh parlemen untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan eksekutif. Sebagian besar atau seluruh anggot kabinet 12
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 151
28
biasanya juga menjadi anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda, yakni legiaslatid dan eksekutif. Ketiga, kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas dari parlemen. Hal ini berarti perlemen dapat menjatuhkan kabinet manakala mayoritas parlemen memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet. Keempat, manakala kebijakan tidak mendapat dukungan, parlemen dapat membubarkan kabinet lalu membentuk kabinet yang baru.13 Kebanyakan oposisi berjalan dengan baik dalam sistem parlementer. Oposisi biasanya dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu. Oposisi dilakukan dalam rangka
check
and
balance
terhadap
pemerintah.
Partai
oposisi
dalam
implementasinya, membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet) sebagai pengontrol terhadap kinerja kabinet. Apabila salah satu dari menteri mengeluarkan kebijakan yang tidak populis atau tidak berpihak pada rakyat, maka kabinet bayangan akan mengontrol maupun menolak kebijakan atau membuat kebijakan yang berbeda dengan yang dikeluarkan oleh menteri terkait. Misalnya, jika yang mengeluarkan kebijakan itu menteri keuangan, maka menteri keuangan dari partai oposisi kebinet bayangan pun mengeluarkan kebijakan tandingan. Dalam sistem parlementer, seorang perdana menteri sangat mudah untuk dijatuhkan oleh parlemen karena yang memilih perdana menteri adalah legislatif. Dalam sistem yang menggunakan dwi partai, oposisi lebih jelas peranannya dalam mengontrol pemerintah, dan begitupula pemerintah akan lebih mudah dalam mengendalikan wakil-wakilnya di parlemen. Tapi jika menggunakan multi partai dan 13
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1999, h. 170
29
tidak ada single majority (pemenang utama) maka partai-partai akan berkoalisi untuk mendapatkan jabatan perdana menteri, sedangkan yang kalah dalam pemilihan perdana menteri sudah otomatis menjadi partai oposisi. Seperti di Jerman, Partai Uni Demokrat Kristen (Christlich Demokratische Union Deutschlands) dan Partai Uni Sosial Kristen (Christlich Soziale Union) adalah dua parpol oposisi terhadap kanselir Jerman, Gerhard Schroeder dari Partai Sosialis Demokrat Jerman (Sozial Demokratische Partei Deutschlands) yang tengah berkuasa dengan koalisinya, Partai Hijau (Bundnis 90 Die Grunen). Partai Uni Demokrat Kristen dan Partai Uni Sosial Kristen bersama partai oposisi lainnya, Partai Demokrat Liberal (Freier Demokratische Partei) misalnya, selalu mengkritik kinerja pemerintah dari segala sisi. Jadi, jika di kabinet Schroeder terdapat menteri luar negeri dengan segala kinerjanya, di partai oposisi juga memiliki orang yang berperan sebagai menteri luar negeri bayangan yang tugasnya mengkaji segala bentuk kebijakan luar negeri Schroeder. 14 Pengalaman di Indonesia menganut sistem ini ketika awal-awal kemerdekaan menjadikan perpolitikan Indonesia kacau dan tidak stabil karena seringkali sebuah kabinet dijatuhkan, sehingga menyebabkan arah pembangunan bangsa tidak berjalan karena energi para elitnya habis untuk mengurusi politik.
14
Y.W. Nugroho, “Oposisi dalam sistem presidensial, mungkinkah?”, Diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 dari http://www. Suara pembaruan.com
30
D. Oposisi dalam Sistem Presidensial Sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial sangat jauh berbeda. Kalau dalam sistem presidensial kepala negara dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan yang ditentukan, sedangkan sistem parlementer kepala negara dipilih oleh legislatif. Negara yang sering dijadikan rujukan dalam menggunakan sistem presidensial adalah negara Amerika Serikat yang kemudian ditiru dan dimodifikasi oleh negaranegara lain termasuk Indonesia. Sistem pemerintahan Amerika dirumuskan dalam sistem pemerintahannya yang berbentuk presidensial. Diantara ciri-ciri pemerintahan yang menggunakan sistem presidensial adalah, pertama, kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas pada sistem presidensial, yakni di tangan presiden, dari
pada dalam kabinet
parlementer, tetapi siapa yang bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan lebih jelas dalam kabinet parlementer dibandingkan dengan kabinet presidensial. Kedua, kebijakan yang bersifat komfrehensif jarang dapat dibuat karena legislatif dan eksekutif mempunyai kedudukan yang terpisah, ikatan partai yang longgar, dan kemungkinan kedua badan ini didominasi oleh partai yang berbeda. Ketiga, jabatan kepala pemerintahan dan jabatan kepala negara berada dalam satu tangan. Keempat, legislatif bukan tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai sumber termasuk legislatif. 15
15
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 171
31
Oposisi dalam sistem negara presidensial seperti Amerika tidak terlalu kelihatan, antara partai oposisi dan partai pemerintah, karena menerapkan sistem bipartisan yang memungkinkan pemerintah didukung dua partai yang bersaing dalam pemilihan umum. Sistem bipartisan juga memungkinkan presiden terpilih dapat mengisi anggota kabinetnya dengan seorang yang berasal dari partai yang berlainan. Hal ini pernah dilakukan oleh presiden Bill Clinton yang berasal dari partai demokrat yang memilih William Cohen, yang berasal dari partai republik, sebagai menteri pertahanan. 16 Dalam sistem presidensial, teradapat satu cara yang bisa digunakan oleh pihak oposisi untuk menanyakan langsung mengenai satu pertanggung jawaban dari pemerintah tentang suatu kasus. Cara ini merupakan cara formal yang diatur oleh undang-undang sebagai sarana komunikasi yang sah, yang bisa digunakan pihak oposisi di parlemen terhadap pemerintah. Mekanisme impeachement merupakan mekanisme pendakwaan atau pemanggilan untuk pertanggungjawaban. Tidak jarang melalui mekanisme ini, seorang presiden dapat diturunkan dari jabatannya. 17 Sistem presidensial yang ada di Amerika, mekanisme impeachement sulit diterapkan karena di negara ini menerapkan Fixed Term, yakni empat tahun untuk Amerika, atau lima tahun untuk Indonesia. Dalam skandal terbesar presiden AS, yakni skandal Watergate oleh presiden Richard Milhous Nixon, mekanisme impeachement 16
tidak
digunakan,
karena
Nixon
sudah
mengundurkan
Rahmat Bahari, “oposisi dan bipartisan”, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 dari http//www. Kompas.com 17 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 176
diri.
32
Impeachement pernah digunakan lagi ketika muncul skandal Monica Lewinsky oleh presiden Bill Clinton, yang dalam keputusan akhirnya dimenangkan oleh kubu yang menghendaki Bill Clinton tetap meneruskan jabatan sampai selesai. Dalam pemahaman demokrasi di Amerika Serikat, pemerintah yang sedang berkuasa memang dibuat agar tidak mudah untuk digoyang atau bahkan dijatuhkan sekalipun. Karena memang impeachement adalah sejatinya sebuah mekanisme yang merupakan pilihan terakhir yang diterapkan dalam kasus khusus (extraordinary case). Tapi, dalam sejarah perpolitikan sistem presidensial di Indonesia hanya sekali impeachement pernah dilakukan oleh parlemen kepada presiden, yaitu ketika presiden KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), karena memang presiden melakukan pelanggaran yang sangat parah dalam pandangan parlemen yaitu terkena kasus dana bulogate. Jatuhnya presiden KH. Abdurahman Wahid sah secara konstitusi, karena telah melanggar UUD 1945 hasil amandemen yang menyebutkan bahwa “pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden” (pasal 17 A UUD amandemen ketiga). Di luar itu, presiden tidak mungkin bisa dijatuhkan, karena mekanismenya sudah jelas dan hukuman terhadap presiden akan dilakukan oleh rakyat yang mungkin tidak akan lagi memilihnya pada pencalonan masa jabatan berikutnya. Dalam sistem presidensial di Amerika Serikat maupun di negara kita yang menggunakan sistem presidensial bukan tidak ada oposisi, tapi memang sistem
33
presidensial dibuat agar seorang pemimpin dalam rangka menjalankan tugasnya bisa sampai selesai. Oposisi dalam sistem presidensial sebenarnya lebih berarti mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap semua kebijakan yang dibuat eksekutif. Di dalam pemerintahan yang demokratis, biasanya sistem yang diikuti adalah demokrasi preesidensial atau demokrasi parlementer. Di negara-negara demokrasi di dunia ini, lebih banyak yang mengikuti demokrasi parlementer dari pada presidensial. Menurut Austin Rahney, yang dikutif Miftah Toha, di dunia ini hanya 15 negara yang mengikuti demokrasi presidensial sedangkan yang mengikuti sistem parlementer ada 110 negara. 18 Kebanyakan negara yang menganut sistem presidensial adalah negara dunia ketiga atau dalam sistem politiknya belum mapan seperti Filipina kecuali Amerika Serikat sebagai pengecualian.
18
Miftah Toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003, h. 36
BAB III
Sejarah Gerakan Oposisi Indonesia dan Islam
A. Sejarah Gerakan Oposisi di Indonesia
Gerak pemuda memang tak luput dari gejolak ambisi untuk merubah dan mengganti suasana yang suram, gelap serta memilukan. Khususnya para mahasiswa yang terus berjuang tanpa henti melakukan gerakan-gerakan revolusioner dari awal masa kemerdekaan hingga saat ini. Perlawanan terhadap rezim-rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru yang penuh dengan halangan dan rintangan, bahkan nyawa sekalipun.
Sejarah mencatat pada Juni 1966-Maret 1967 Mahasiswa Indonesia berada di garis depan dalam kampanye melawan presiden Soekarno yang masih berkuasa. Merasa memiliki tugas sejarah, dengan dukungan yang kuat, Mahasiswa Indonesia memimpin perjuangan angkatan ’66 – paling tidak di Bandung – terhadap Soekarno, kepala negara yang kekuasaannya mulai pudar. Posisi maksimal yang diambil Mahasiswa Indonesia sejalan dengan posisi Divisi Siliwangi, walaupun sering lebih jauh dari posisi yang diambil Soeharto dan orang-orang di sekelilingnya. Sikap yang terlalu hati-hati dan mederat dari yang terakhir ini tak luput dari kritik Mahasiswa Indonesia. 1
1
Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia pembentukan dan konsolidasi OrBa 1966-1974 diterjemahkan oleh Nasir Tamara, Jakarta, LP3ES, 1989, h. 46
34
35
Serangan terhadap Soekarno dilakukan melalui tulisan-tulisan di Mahasiswa Indonesia dan juga lewat aksi-aksi melalui Badan Kerjasama Pers dan Kesatuan Aksi. Organisasi ini, didirikan tak lama setelah Mahasiswa Indonesia lahir, terdiri dari kasatuan aksi-kesatuan aksi dan koran-koran Bandung. Langkah yang harus diambil pers agar dapat mencapai cita-cita Orde Baru dengan cara lebih baik didiskusikan secara teratur di bawah pimpinan Rahman Tolleng. Mahasiswa Indonesia berhasil memperkuat lobi Orde Baru berkat dukungan pers daerah dalam tingkatan lokal (Jawa Barat) dengan menyelenggarakan satu kampanye terhadap Soekarno. Kampanye yang mereka lakukan dalam koran itu sendiri berlangsung melalui beberapa tahap yang makin lama makin memperlihatkan sikap lebih keras.
MPRS juga melakukan sidang paripurna untuk mensahkan berbagai tindakan yang memperlemah kedudukan Soekarno. Sementera jalan-jalan raya di ibukota dan Bandung diduduki berbagai gerakan pemuda, atas namanya atau atas nama-nama kesatuan aksi, Mahasiswa Indonesia menyerang kewibawaan dan politik presiden: “Cabut keputusan MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945”, ‘Jabatan presiden seumur hidup inkonstitusional’. Bahwa Soekarno adalah pencipta Pancasila dipertanyakan.
Kampanye anti Soekarno baru tampil secara terang-terangan pada tanggal 17 Agustus 1966. Pada hari itu Soekarno mengucapkan sebuah pidato berjudul “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” yang terkenal dengan singkatan “Jas Merah”. Dalam
36
pidato ini Soekarno mengkritik keputusan-keputusan yang diambil MPRS dan menganggap bahwa Surat Perintah 11 Maret tidaklah berarti pengalihan kekuasaan, tapi hanya pengalihan wewenang kepada Jenderal Soeharto untuk memelihara keamanan.
Pidato yang dianggap sebagai provokasi ini melahirkan reaksi keras. Di Bandung misalnya, pidato itu dianggap sebagai biang keladi keributan tanggal 19 Agustus 1966 ketika sekelompok orang bersenjata dan berseragam hitam yang dijuluki gerombolan liar Gestapu ASU menyerang Markas Besar KAMI dan KAPPI sehingga Julius Usman, mahasiswa Universitas Katolik Parahiyangan tersebut, meninggal dunia, dan limabelas orang lainnya menderita luka-luka. Deklarasi KAMI diterbitkan: “Bung Karno tak dipercayai lagi, sabotase terhadap program Kabinet Ampera”.
Pada
bulan
September
serangan
tehadap
Soekarno
diteruskan
dengan
menggunakan fakta-fakta yang didapat dari proses pengusutan Jusuf Muda dalam. Mantan Menteri Bank Sentral ini dituduh telah memberikan dana negara kepada presiden untuk membiayai sejumlah aksi politiknya. Mahasiswa Indonesia melangkah lebih jauh dan menulis di halaman pertama: “BK harus ke Mahmilub, terlibat subversi dan beri angin Gestapu”. Soekarno juga dianggap sebagai “Benteng
37
pertahanan terakhir Orde Lama”. Bahkan Mahasiswa Indonesia menyatakan bahwa Soekarno “Terlibat dalam kudeta Gestapu/PKI”.2
Kampanye anti Soekarno memasuki fase terakhir. Dalam pasal pertama Tritura yang baru diumumkan, menuntut supaya ‘arsitek Orde Lama’ dipecat. Tanggal 29 Januari, berbagai defile dilancarkan oleh kesatuan aksi-kesatuan aksi di Bandung. Mahasiswa Indonesia mengutip salah satu slogan yang dibawa demonstran: “Meskipun langit runtuh kami menuntut Soekarno diadili”. Tanggal 5 Februari, koran Bandung itu menuntut “agar Soekarno ditahan bila perlu untuk pemeriksaan”. Tanggal 12, Mahasiswa Indonesia mengumumkan bahwa DPRGR – setelah menambah anggotanya sebanyak 108 orang telah mensahkan satu resolusi yang meminta MPRS mengakhiri tugas Soekarno dan mengajukannya ke pengadilan.
Kejadian-kejadian berlangsung dengan cepat. Menurut Rosihan Anwar: ‘tanggal 10 sampai 13 Februari para panglima ke 4 Angkatan Bersenjata berunding secara maraton dengan Presiden untuk meyakinkannya menerima salah satu dari usul yang diajukan’. Perundingan itu gagal karena Soekarno menolak untuk menyerah. Dengan demikian hanya pilihan pertama yang dapat diambil.
Penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto terjadi tanggal 20 Februari. Namun kesatuan aksi-kesatuan aksi di Jawa Barat tidaklah puas, sebab Soekarno masih menggondol gelar Presiden. Rosihan Anwar mengkritik dipertahankannya 2
Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia pembentukan dan konsolidasi OrBa 1966-1974 diterjemahkan oleh Nasir Tamara, Jakarta, LP3ES, 1989, h.49
38
Soekarno sebagai Presiden karena meskipun tanpa kekuasaan, ia akan dapat memulihkan kembali kekuasaannya a fortiori bila ia tak diadili.
Pada dasarnya Soekarno adalah seorang yang selalu mencoba untuk mempertahankan diri, meski tampak dengan jelas gejala bahwa ia sudah tidak mampu lagi mengerahkan dukungan rakyat, dengan rasa penuh keyakinan ia buresaha untuk meyakinkan rakyat bahwa ia masih tetap berkuasa dan tidak dapat dipaksa-paksa oleh siapa pun juga. Oleh sebab itu, Soekarno mencoba untuk memenuhi “Tritura” yang kemudian dituntut oleh mahasiswa dan masyarakat lainnya, akan tetappi Soekarno malah menyerang dan menantang tuntutan dan aksi mereka.
Ini juga kesalahan Soekarno yang tidak mau berusaha untuk mengendalikan gerakan mahasiswa dengan membujuk atau setidak-tidaknya pura-pura berpikir setuju kepada kekuatan yang terus menerus berdemonstrasi. Tetapi dalam kenyataannya Presiden justeru malah menyerang balik demonstran sambil mengejek mereka dengan sepatah peribahasa Belanda secara terbuka dalam salah satu pidatonya: “kip zonder kop” yang artinya “ayam tanpa kepala”. Tetapi, kemudian ternyata bahwa ayam tanpa kepala itu akhirnya memiliki kepala, dan malah semakin berani. Sehingga membuat Soekarno tidak aman berada di Jakarta, dengan kemudian menuduh mahasiswa dipersenjatai dan ditunggangi oleh militer. Semakin kuatnya tekanan dan merasa terdesak, militer pun mendesak dengan paksa pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno menandatangani Supersemar sebagai surat perintah kekuasaan yang diberikan kepada
39
Jenderal Soeharto untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintahan. 3 Kelicikan Soekarno kemudian dibalas oleh militer yang saat itu memiliki banyak dukungan dengan memaksa presiden menandatangani Surat Perintah 11 Maret “Supersemar”.
Menyusul naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, seluruh oposisi hancur. Dengan dibubarkannya PKI dan organisasi-organisasi afiliasinya, tidak ada lagi organisasi berbasis massa yang kritis terhadap pemerintahan yang didominasi militer ini. Kelompok kelas mengengah Muslim maupun yang lebih berorientasi sekular mendukung apa yang dinamakan Orde Baru, seperti juga banyak aktivis mahasiswa. Tetapi, segera menjadi jelas bahwa kelompok komunis bukanlah satu-satunya kelompok yang mendapatkan derita dari pemerintah yang baru. Sejak para pemimpin baru mencoba mengontrol seluruh masyarakatdan mencegah berkembangnya setiap bentuk organisasi independen, banyak aktivis kelas menengah menjadi sadar dan mulai mengkritik rezim. Sejak 1970 hingga januari 1972, protes-protes dialamatkan pada tindak korupsi, khususnya yang terjadi di dalam perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Proyek Taman Mini Indonesia yang disponsori oleh istri presiden merupakan target berikutnya. Pada Januari 1972, pemerintah menindas protes-protes tersebut dengan menangkapi para pemimpin mahasiswa maupun editor surat kabar.
3
Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30S/PKI, Jakarta, Mediakita, 2006, h. 53
40
Banyak aktivis kelas menengah mengambil pendekatan yang lebih moderat dan kurang konfrontatif. Mereka mendirikan LSM-LSM yang menangani isu-isu pembanunan, perempuan, lingkungan, dan sebagainya. Disebabkan profil politik mereka yang rendah, mereka berusaha meloloskan diri dari bentuk-bentuk penindasan yang lebih agar bisa melanjutkan upaya advokasi mereka. Aktivis-aktivis mahasiswa yang lebih radikal tidak puas dengan pendekatan moderat LSM-LSM itu. Pada tahun 1974, satu generasi baru aktivis mahasiswa menggalang demonstrasi untuk memprotes kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan dominasi modal Jepang di Indonesia. Mereka dipengaruhi oleh teori kemandirian dan barangkali juga oleh demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di Thailand, yang megakibatkan berakhirnya rezim militer di sana pada Oktober 1973. Protes mahasiswa ini kelihatannya didukung oleh unsur-unsur militer. Pemimpin mahasiswa Hariman Siregar mengakui mengantongi dukungan dari sejumlah pengusaha Indonesia. Menyusul demonstrasi dan kerusuhan 15 Januari itu (Insiden Malari), beberapa pemimpin mahasiswa, di antaranya Hariman Siregar dipenjarakan.
Pada 1977 dan 1978, lagi-lagi mahasiswa berdemonstrasi menentang rezin Orde Baru. Sekalipun demokrasi dan hak asasi manusia bukan merupakan konsep kunci gerakan mahasiswa ini yang memfokuskan pada kritik terhadap kebijakan pembangunan dan militerisme. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an terjadi pula kerusuhan buruh. Gelombang pemogokan melanda wilayah perindustrian di Jakarta, tetapi setelah adanya intervensi militer frekuensinya menurun tajam. Perjuangan
41
buruh waktu itu tidak erat terkait dengan protes-protes mahasiswa dan kelas menengah lainnya 4
Rezim Orde Baru telah memperlihatkan kecenderungan untuk mengasingkan beberapa mantan pendukungnya. Banyak pejabat tinggi dan politisi menjadi kecewa terhadap pemerintahan Soeharto. Beberapa telah disingkirkan dari kekuasaan karena perselisihan pribadi dengan Soeharto atau karena Soeharto percaya bahwa mereka melangkah terlalu jauh dalam menggapai ambisi politik mereka sendiri. Perselisihan kadang-kadang terkait dengan politik kekuasaan murni pada tingkat elite, tetapi terdapat pula pertengkaran mendasar dalam masalah kebijakan.
Banyak aktor elite yang kecewa memilih untuk bungkam, tetapi sebagian dari mereka membentuk sejenis oposisi. Mereka biasanya disisihkan dari kehiodupan elite dan mengalami hantaman pada bisnis mereka dan pembatasan pada kebebasan mereka berekspresi dan hak mereka untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Sebagian kecil berakhir di penjara, tetapi biasanya mereka tidak dikenai jenis penindasan kejam yang sama dengan orang-orang dari strata sosial rendah
Para pembangkang elite yang paling aktif dan terpandang adalah mereka yang dikaitkan dengan Petisi 50. Sejak 1980 kelompok ini telah menulis lebih dari 170 surat kepada parlemen, pemerintah, dan lain-lain, guna menyerukan reformasi politik.
4
Anders Uhlin, Oposisi Berserak, diterjemahkan dari Indonesian and the “Third wave of Democratization”: the Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World oleh Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998, h. 91
42
Petisi 50 merupakan bagian dari oposisi moderat di Indonesia. Slamet Bratanata pernah menegaskan bahwa dia dan anggota-anggota lain Petisi 50 “tidak hanya moderat tetapi juga merupakan juru bicara bagi nilai-nilai tengah-kanan” (Borsuk 1992). Argumen dasar mereka adalah bahwa Soeharto sendiri, dan bukan mereka, yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Anggota-anggota Petisi 50 adalah antikomunis yang teguh, tetapi mereka sering menekankan kebutuhan akan kesetaraan ekonomi dan sebagian dari tuntutan reformasi politik dan ekonomi mereka memiliki karakteristik demokratis sosial.
Pada
April
1991,
unsur-unsur
elite
intelektual
membentuk
kelompok
prodemokrasi demokrat lain, Forum Demokrasi. Empat puluh lima intelektual terkemuka mendirikan forum ini, sebagian sebagai reaksi atas dibredelnya tabloid Monitor yang didakwa mencemarkan Islam ketika menerbitkan sebuah jajak pendapat umum yang di dalamnya Nabi Muhammad ada di urutan sebelas. Serangan massa yang tidak pernah dihukum terhadap majalah itu dan penangkapan atas editornya mengguncang minoritas non-muslim, dan memperlihatkan pada mereka bahwa kecenderungan Islam fundamentalis masih ada di Indonesia. Para pendiri forum juga diilhami oleh tulisan dan aktifitas Valvac Havel di Cekoslovakia. 5
5
Anders Uhlin, Oposisi Berserak, diterjemahkan dari Indonesian and the “Third wave of Democratization”: the Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World oleh Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998, h. 96
43
B. Sejarah Gerakan Oposisi di Pemerintahan Islam Dalam literatur ilmu politik, kita mengenal kelompok penekan atau oposisi dan kelompok berkuasa atau Status-Quo. Kelompok penekan ini muncul sebagai respons atas hegemoni yang ada, dan dominasi yang dilakukan oleh kelompok berkuasa. Kelompok penekan dapat berbentuk gerakan politik ekstrakekuasaan (aktivitas massa), pemberontakan (insurgency), gerakan separatis, atau faksi politik yang secara laten mengembangkan kekuatan dan melancarkan kritik terbatas pada kelompok Status-Quo.
Ketika berbagai keberatan terhadap Usman secara bertahap semakin intensif, beberapa lelaki berdiri dihadapan Usman di mesjid dan mengajukan keberatan kepadanya. Usman terpaksa menggunakan kekerasan untuk menentang mereka, dan perbuatannya ini pada gilirannya menyebabkan terpicunya bentrokan yang lebih parah di pihak mereka. Pada saat yang sama, kondisi berubah sedemikian rupa sehingga Usman tidak bisa melanjutkan pembicaraannya. Maka ia pun turun dari mimbar dan Sahl bin Hunaif yang memimpin shalat jum’at pada waktu itu. 6
Ketika itu pula orang-orang Mesir mengadukan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan mereka merasa dizhalimi oleh Abdullah bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Usman kemudian menulis surat kepada Abdullah bin Abi Sarah dan dia memperingatkannya dengan peringatan yang sangat keras. Namun Abu Sarah tidak
6
Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah, terj, Jakarta, Al-Huda, 2006, h. 257
44
mau menerima apa yang diperingatkan oleh Usman. Dia bahkan memukul orangorang Mesir yang diutus oleh Usman dan membunuhnya. 7
Ketika keberatan terhadap Usman semakin tajam, beberapa penduduk Kufah dan Mesir berangkat menuju Madinah atas permintaan para sahabat, seiring dengan munculnya protes terhadap para penguasa Bani Umayyah di kota-kota tersebut. Rombongan ini dipimpin oleh Abdurahman bin Udais Balawi yang merupakan salah satu dari mereka yang bersumpah setia kepada keluarganya, dengan Muhammad bin Abi Hudzaifah. Ibnu Syubbah juga menyampaikan surat yang ditulis oleh bangsa Mesir kepada Usman sebelum menuju ke Madinah. Mereka memberitahukan tentang wajibnya mewujudkan perintah-perintah ketuhanan, yang berhubungan dengan ayatayat al-Qur’an, “kalian ini mengaku berhak ditaati oleh kami, sedangkan menurut alQur’an, ketaatan kepada orang yang tidak taat kepada Allah tidak diperbolehkan. Jika kau taat kepada Allah, konsekuensinya, kami akan segera mengetahui bahwa kau telah berencana melenyapkan diri.”
Usman mengutus Ammar ke sana untuk menenangkan orang-orang Mesir itu. Namun ia tidak sadar bahwa Ammar sendiri setelah dikirim ke Mesir justru mendorong penduduk untuk menentang Usman. Setelah pengusiran Ammar, beberapa orang ingat ada sekita 400 hingga 700 orang datang ke Madinah. Rombongan ini mendatangi Usman dan wakilnya dan mengajukan permintaan-
7
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa diterjemahkan oleh Samson Rahman, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2001, h.181
45
permintaannya sebagai berikut: pertama, mengembalikan orang-orang yang diasingkan; kedua, membayar hak-hak orang miskin; ketiga, bertindak berdasarkan al-Qur’an dan hak-hak orang miskin. Usman bertaubat secara formal kepada mereka dan memperingatkan mereka untuk menghindari perpecahan. Berkaitan dengan kesepakatan Usman, sebuah perjanjian bersama dituliskan antara Usman dan Imam Ali yang ditunjuk sebagai duta antara penduduk dan Khalifah. Lima kalimat disebutkan dalam perjanjian ini. Tiga di antaranya telah disebutkan di atas. Yang keempat adalah menerapkan keadilan dalam mendistribusikan dan mempekerjakan orang yang cukup layak dan kuat untuk menangani masalah-masalah ini. 8
Selanjutnya pada masa pemerintahan Ali penuh dengan tantangan dan gejolak kekerasan. Kejadian-kejadian itu tidak terlepas dari peristiwa sebelumnya, yaitu terbunuhnya Khalifah Utsman. Umat Islam terpecah belah penuh dengan permusuhan dan saling menjatuhkan. Ali berhadapan dengan kelompok Muawiyah yang didukung penduduk Syam, para pengikut Thalhah dan Zubair, orang-orang Khawarij dan kelompok lain yang merasa dikecewakan. Semua itu membuat pemerintahan Ali makin tidak stabil. Belum lagi dengan sejumlah gerakan lokal yang tidak hanya bertujuan untuk merongrong kepemimpinan Ali tetapi juga bisa menghancurkan sendi-sendi Islam.
Penentangan terhadap Ali dimulai sejak terbunuhnya Utsman. Pada saat itu, kaum oposan 8
mengambil
kesempatan
dengan
dalih
dituntaskannya
Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah, terj, Jakarta, Al-Huda, 2006, h.259
kasus
46
pembunuhan terhadap Utsman. Tuntutan itu hanya sekedar tameng. Karena terbukti mereka sendiri tidak mencintai Utsman. Bahkan sebagian di antaranya pernah melakukan penentangan terhadap kepemimpinan Utsman. Perbedaan pendapat semakin meruncing ketika kaum oposan didukung oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Puncak dari segala perbedaan pendapat itu adalah terjadinya perang Jamal. Sebuah tragedi yang menelan 13.000 korban dari kedua belah pihak.
Tantangan selanjutnya, Ali berhadapan dengan kelompok ekstrim khawarij yang berpusat di Hutara. Sebagian mereka bisa disadarkan oleh Abdullah bin Abbas yang diutus Ali untuk melakukan pendekatan. Namun tidak sedikit di antaranya yang makin membangkang. Mereka melakukan tindakan makar di Naharwan, dan membunuh Abdullah bin Khobab Al-Arof. Ali berusaha melakukan perlawanan sehingga Naharwan berubah menjadi medan pertempuran.
Terdapat perbedaan pokok antara gerakan oposisi pada masa Utsman dengan gerakan oposisi kaum Khawarij. Unsur oposan yang melawan Utsman berasal dari berbagai wilayah kekuasaan, bukan hanya dari satu golongan tertentu. Sedangkan oposisi Khawarij adalah oposisi partai, oposisi madzhab dengan segala atributnya, yang kemudian berkembang menjadi “ideologi” tersendiri.
Kaum Khawarij memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya secara lahiriah, tanpa melihat maksud dan tujuan yang lebih mendalam. Sehingga sering lepas dari
47
kaidah beroposisi yang benar, yang mengutamakan musyawarah menuju Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 9
Selanjutnya pada masa Bani Umayyah yang bersistem pemerintahan yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstrakekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.
Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengonsolidasi diri.
Kekuatan oposisi terbangun. Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di 9
Jabir Qumihah, beroposisi menurut Islam, jakarta, gema insani press, 1991, h.107
48
Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus. Disparitas kekuasaan yang begitu mencolok juga menjadi sebuah alasan bagi terbentuknya gerakan oposisi tersebut pada waktu itu.
Abdul Malik bin Marwan seorang khalifah Umawiyah mengirim utusan kepada gubernur Madinah untuk mengambil sumpah orang-orang agar membaiat dua orang anaknya, yaitu Walid dan Sulaiman, sepeniggalnya sebagai khalifah. Tetapi Sa’id bin Musayyab menolak baiat tersebut. Sa’id berkali-kali diperintahkan agar mencabut penolakannya. Ia pun tetap bersikeras memegang pendapatnya itu sampai ia dicambuk enam puluh kali cambukan, namun ia tetap menolak baiat tersebut.
Kemudian Sa’id bin Musayyab dipanggil untuk diberi uang tiga puluh ribu dirham, sebagai hadiah dari gubernur, tetapi ia menolaknya seraya berucap, “saya tidak membutuhkan hadiah itu dan juga apa yang ada pada Bani Marwan sampai aku bertemu Allah SWT., lalu Allah mengadili antara saya dan mereka.” 10
Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat 10
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 137
49
dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Umar bin Hubairah salah seorang pembantu (Gubernur) Yazid bin Abdul Malik, khalifah Umawi. Pada suatu hari, Umar bin Hhubairah memanggil Hasan AlBashri, Ibnu Sirin, dan Sya’bi, ia mengatakan kepada mereka, “Amirul mukminin telah memberikan tugas kepadaku, apabila aku melaksanakannya, aku takut akan agamaku. Tetapi, apabila aku tidak melaksanakannya, aku atakut akan diriku (nyawaku).” Kemudian Asy-Sya’bi ban Ibnu Sirin memberikan pengarahan secara lembut. Sedangkan Hasan Al-Bashri mengatakan kepadanya, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah dalam mengabdi kepada Yazid. Janganlah takut kepada Yazid dalam mengabdi kepada Allah. Wahai Ibnu Hubairah, sesungguhnya Allah akan mencegahmu dari yazid, sedangkan Yazid tidak bisa mencegahmu dari Allah. Wahai Ibnu Hubairah, sesungguhnya tidak ada ketaatan bagi seorang makhluk untuk berbuat maksiat kepada Allah. Apabila surat Yazid sesuai dengan Kitab Allah, maka laksanakanlah, dan bila bertentangan, janganlah kamu melaksanakannya. Allah Swt lebih layak untuk kamu taati dari pada Yazid, dan Kitab-Nya lebih layak untuk engkau laksanakan dari pada kitab Yazid.” Kemuadian Ibnu Hubairah berkata, “Syaikh ini telah membuatku percaya.”
50
Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan disparitas dan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksiaksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
Di sini, sekali lagi struktur pemerintahan menjadi sebuah parameter keberhasilan. Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah (weak government). Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M.
Dari dua gerakan tersebut, kita patut mencermati dua fenomena. Pertama, struktur pemerintahan yang lemah dan kuat menentukan efektivitas dari gerakan oposisi atau kelompok penekan tersebut. Ketika figur Khalifah yang memimpin Daulah bukan figur yang baik secara manajerial, kelompok penekan menjadi begitu kuat dan berhasil mengancam kekuasaan. Akan tetapi, pemerintahan yang kuat dan dibantu kekuatan militer yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dapat
51
memperlemah kekuatan oposisi. Di sini, kuat atau lemahnya struktur pemerintahan berpengaruh besar.
Kedua, gerakan oposisi memerlukan legitimasi politik. Dua gerakan di atas dapat bertahan lama dan menjadi ancaman besar karena mereka memiliki legitimasi politik dari kelompok pendukung. Gerakan Abdullah bin Zubeir mendapat legitimasi dari orang-orang Hijaz, sedangkan Gerakan Abul Abbas As-Saffah mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mawalli dan Bani Abbas di Mekkah. Legitimasi menjadi sebuah tolak ukur keberhasilan sebuah gerakan, karena pemerintah juga memerlukan legitimasi untuk menanamkan pengaruh dan kekuasaannya.
Sejarah perkembangan Islam selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian. Dengan sejarah, kita dapat mengetahui perkembangan Islam secara lebih detil dan mendalam. Sejarah juga menceritakan fakta-fakta menarik yang selalu dijadikan hikmah atas peristiwa, agar kita dapat mengambil pelajaran dan menjadikan sejarah tersebut sebagai bahan pertimbangan kita dalam bersikap.
Pendekatan sejarah telah menjadi sebuah perspektif dalam ilmu politik, yaitu pendekatan behavioralisme atau pattern of political behavior (Budiardjo, 1993: 17)1. Sejarah member analisis tentang Sebagai unit analisis, sejarah telah banyak memberi kontribusi dalam pengembangan pemikiran politik dan menceritakan pola-pola kecenderungan dalam perkembangan politik. Sehingga, ketika kita berbicara tentang politik, kita juga tak dapat melepaskan diri dari sejarah yang melatarbelakanginya.
52
Dalam diskursus politik Islam, sejarah sangat memberi kontribusi karena pemikiran-pemikiran politik Islam tak dapat dilepaskan dari perilaku orang-orang terdahulu. Ketika kita berbicara tentang pemikiran politik Ibnu Taimiyyah, misalnya, kita tak dapat melepaskan sebuah fakta bahwa pemikiran politik Islam yang ditelurkannya berkaitan dengan kondisi sosiologis dan kondisi politik yang terjadi pada era tersebut. Atau pemikiran Ibnu Khaldun yang selama ini dikenal sebagai ‘Bapak Sosiologi Islam’, juga tak dapat dilepaskan dari konteks historis dan sosialpolitik pada era tersebut (Ralliby, 1960).
Tak hanya itu, model negara yang sekarang banyak menjadi wacana publik juga tak dapat dilepaskan dari wacana historis. Konstruksi negara khilafah yang dicita-citakan oleh beberapa harakah Islam banyak mengambil sampel pada konsep khilafah ketika era Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah. Model kesejahteraan umat dan keadilan sosial pun sedikit banyaknya berasal dari sejarah umat Islam di era-era tersebut. Sehingga, sejarah tak dapat dilepaskan begitu saja dari pokok kajian ilmu politik –terutama politik Islam— agar terjadi kesinambungan antara sejarah dan masa depan.
Dalam pendekatan behavioralisme, lebih jauh, akan ada sebuah variabel penting yang tak dapat dipisahkan, yaitu aktor sejarah. Peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah hanya akan terekam dalam memori kita ketika ada aktor intelektual –atau aktor utama—yang menjadi penggerak dalam peristiwa tersebut.
53
Misalnya, ketika kita berbicara mengenai perang shiffin, kita pasti akan mengingat sebuah peristiwa penting yang mengubah konstruksi dan konstelasi politik pada masa tersebut, yaitu peristiwa tahkim
Harus dicatat, peristiwa tahkim adalah strategi yang sangat efektif yang berasal dari Amr bin Ash, negosiator ulung dari kalangan Muawiyah. Peran Amr bin Ash menjadikan sejarah harus berubah dan menempatkan kemenangan Muawiyah atas Ali. Maka, tak salah jika Thomas Carlyle mengatakan bahwa “history is story of great men” (sejarah adalah cerita tentang orang-orang besar)4.
Dalam konteks dinasti Umayyah, aktor juga berperan dominan. Kami menggunakan pendekatan aktor sejarah ini dengan mengaitkan keberhasilan pembangunan politik yang dilakukan dengan keberadaan para khalifah yang berkuasa pada era tersebut. Pendekatan aktor ini penting karena konstruksi ketatanegaraan pada era tersebut menempatkan kedudukan Khalifah yang begitu sentralistik serta istanasentris. 11
Maka, pendekatan behavioralisme sangat berperan dalam mengupas persoalan-persoalan penting dalam mengupas sejarah politik dan pemerintahan Islam di Era Dinasti Umayyah. Dalam hal ini, kami mencoba untuk mengupas sejarah Dinasti Umayyah yang menjadi aktor utama dalam sejarah Islam Pasca-Ali.
11
http://kammikomsatugm.wordpress.com diakses pada tanggal 23 Agusttus 2010
54
BAB IV KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN (STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)
A. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut Hukum Islam
Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang menyeluruh telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; baik sebagai pribadi, keluarga, jamaah (kelompok) dan masyarakat. Peran dan posisi bagian masyarakat dalam Islam telah ditentukan dengan rinci dan tegas. Termasuk dalam hal ini keberadaan partai politik.
Partai politik pertama kali berkembang di negara-negara Eropa Barat pada akhir abad ke 18 dan abad ke 19. Munculnya partai politik merupakan upaya dari kelompok tertentu yang berada di luar lingkungan politik untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau jabatan pemerintahan dalam rangka untuk dapat ikut mengendalikan kebijakan pemerintah. 1
Keberadaan partai politik di kalangan intelektual Muslim merupakan suatu hal yang masih terbilang kontroversial. Di antara intelektual Muslim yang tidak setuju dengan keberadaan partai politik adalah Hasan al-Banna, menurutnya, partai politik lebih mendapatkan legitimasinya ketika partai politik yangg ada di Mesir tidak lebih 1
Aay Muhammad Furkon, PKS Ideologi Dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta, Teraju, 2004, h. 62
54
55
dan tidak bukan dari sekedar sebuah partai politik ‘karbitan’ dari pada sungguhan. Kemunculan berbagai partai politik di Mesir lebih didorong oleh inisiatif pribadi, dari pada kepentingan nasional. Karena itu, Al-Banna menilai jika memang pada kenyataannya sistem multi partai malah membuat umat jadi terpecah belah, terjadi perselisihan, dan permusuhan, maka jelas ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun menurut Yusuf Qardlawy pandangan Al-Banna tentang partai politik tersebut di atas merupakan sebuah pandangan kenyataan politik yang terjadi di Mesir pada waktu itu saja.
Karakteristik partai politik Islam: pertama, partai politik Islam biasanya concern terhadap perjuangan dan kepentingan politik masyarakat muslim serta berusaha untuk mempertahankan dan memelihara segala hak dan kewajiban masyarakat muslim. Kedua, partai itu secara resmi mengadopsi Islam (ideologi keislaman), yakni harus mengakui Islam – baik dari segi akidah maupun syariat – dan tidak memusuhi atau mengingkarinya, meskipun dalam partai diperbolehkan melakukan ijtihad dalam memahami Islam dengan menggunakan paradigma ilmiahyang telah ditetapkan. Dan tidak bekerja untuk kepentingan pihak yang memusuhi Islam dan umatnya. 2 Ketiga, partai Islam menggunakan simbol-simbol yang identik atau secara dekat diasosiasikan dengan Islam. 3
2 3
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 236 AM Fatwa, Satu Islam Multi Partai, Bandung, Mizan, 2000, h. 13
56
Satu ciri yang mengemuka dari partai Islam lainnya berupa penggunaan istilah Dewan Syura yang merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip Syura sebagai warisan sistem pemerintahan Islam yang dirintis oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin sebagai acuan politik Islam.
Dalam anggaran dasar partai Islam menyebutkan bahwa partai dibentuk dengan dua tujuan: pertama, menegakan kedaulatan negara dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan 4
Dalam menjalankan aksi perjuangannya partai sebuah partai oposisi Islam harus memiliki prinsip-prinsip di antaranya: pertama, prinsip persamaan, yakni: persamaan dalam kehidupan sosial, persamaan hak membela diri, persamaan tanggung jawab dalam menjalankan kehidupan bernegara, persamaan hak dalam memberikan saran dan nasihat untuk kebaikan, persamaan hak mengatur kehidupan ekonomi. Implementasi prinsip persamaan dalam hukum Islam pada hakikatnya bertujuan agar setiap orang atau golongan menemukan harkat dan martabat serta dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak. Prinsip persamaan juga akan menimbulkan sikap kepedulian dan tolong-menolong, yaitu ikut serta mewujudkan kehidupan bernegara yang baik. Oleh karena itu partai oposisi sebagai kekuatan penyeimbang harus menanamkan prinsip ini, agar bersikap peduli dan mau berperan serta (memberi kritik dan saran) kepada pemerintah.
4
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Jakarta, Paramadina, 1997, h. 71
57
Kedua, prinsip keadilan, menuntut agar partai oposisi bersikap adil dalam menentang para pelaku kejahatan khususnya para penguasa. Sebab sebuah partai oposisi Islam yang membiarkan atau menutup-nutupi para penguasa yang melakukan kejahatan dan dosa, merupakan cerminan sikap yang tidak adil. Partai oposisi yang adil menentang siapa saja yang melakukan kejahatan agar ketidakadilan tidak merajalela.
Ketiga, prinsip musyawarah, tanpa musyawarah persamaan dan adil itu mustahil dapat dipenuhi, karena di dalam musyawarah semua peserta memiliki persamaan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan. Nabi Muhammad sebagai contoh teladan sebagai kepala negara telah membudayakan praktek musyawarah di kalangan para sahabatnya. Sejarah membuktikan bahwa beliau seringkali bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meminta saran dan pendapat mereka dalam soal kemasyarakatan dan kenegaraan. Keempat, prinsip terakhir yaitu prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini merupakan prinsip utama partai oposisi, karena dengan prinsip ini sebuah partai oposisi Islam diwajibkan mempunyai kepedulian sosial, baik untuk tugas amar ma’ruf maupun tugas nahi munkar. 5
Di samping harus memiliki prinsip-prinsip tersebut di atas sebuah partai oposisi Islam juga harus diisi oleh para ulama, cendekiawan (kaum reformis). Karena
5
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994, h. 262
58
para ulama dan para cendekia adalah orang-orang yang mampu menggerakan partai oposisi Islam sesuai dengan arah dan tujuannya. Mereka mampu menyampaikan dengan baik aspirasi serta keluhan yang dirasakan masyarakat pada umumnya. Seperti contoh tindakan para ulama terdahulu terhadap para penguasa. Diriwayatkan bahwa Hisyam bin Abdul Malik sedang mengerjakan haji, lalu ia berkata, “Hadapkan kepadaku seorang sahabat Nabi Saw.!” Lalu dikatakan kepadanya, “Mereka semua telah wafat!” ia berkata lagi “Dari para tabi’in”. Kemudian dihadapkan kepadanya Thawus Al-Yamani. Lalu Thawus mengahadap kepadanya, dia melepas dan meletakan sandalnya di tepi karpet seraya mengucapkan, “Assalamu’alaika ya Hisyam”. Setelah itu ia duduk di hadapanya, dan mengatakan, “Bagaimana kabar Anda, wahai Hisyam?” maka Hisyam pun sangat marah sampai ia bermaksud untuk membunuhnya. Lalu dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Anda berada di tanah Allah dan Rasul-Nya dan Anda tidak boleh berbuat seperti itu.” Maka Hisyam berkata kepada Thawus, “apa yang menyebabkan kamu berbuat seperti itu?” lalu Thawus balik bertanya, “Apa yang telah aku perbuat?” kemudian Hisyam mengutarakan apa yang telah menyebabkannya marah sehingga mengatakan, “Kamu tidak menyebut kepadaku dengan sebutan Amirul Mukminin ketika mengucapkan salam kepadaku” Thawus pun segera menjawab, “tidak semua orang rela dengan kepemimpinanmu, sedang aku tidak suka berdusta.”
Dalam kisah lain diceritakan bahwa Abu Ja’far Al-Manshur, Khalifah kedua Bani Abbas memanggil Sufyan Tsauri, katanya, “Wahai Abu Abdillah, berikanlah
59
nasihat kepadaku!” lalu Sufyan menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, engkau tidak mengerjakan apa-apa yang telah engkau ketahui, lalu apakah aku akan menasihatimu atas apa-apa yang tidak engkau ketahui?” Kemudian Al-Manshur bertanya, “apa yang mencegahmu untuk datang kepadaku?” Sufyan pun menjawab, “Allah Swt telah berfirman, ‘Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka” (QS Hud : 113)
Penduduk Bashrah juga berjanji kepada Al-Manshur bahwa mereka tidak akan berontak terhadapnya. Apabila mereka melanggarnya, maka boleh dibunuh. Kemudian mereka melanggar janji mereka dan melakukan pemberontakan terhadapnya. Al-Manshur bermaksud menerapkan apa yang telah mereka janjikan kepadanya. Lalu ia bertanya kepada Abu Hanifah An-Nu’man tentang masalah itu. Maka Abu Hanifah menjawab, “Mereka telah memberikan syarat atas apa yang tidak mereka miliki, dan kamu telah memberikan syarat kepada mereka atas apa yang tidak kamu miliki. Apabila kamu membunuh mereka, maka kamu telah melakukan apa yang tidak dihalalkan.” 6
6
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h.139
60
Jelaslah bagi kita tentang keberadaan partai oposisi yang bekerja untuk Islam, yaitu dengan syarat:
1. Partai itu harus dari kalangan (beranggotakan) kaum muslimin, khususnya para ulama dan cendikiawan Muslim
2. Partai oposisi haruslah menjadikan aqidah Islam sebagai dasar keberadaannya dan menjadikan syariat Islam sebagai pangkal tolak dari hukum yang dijadikan pegangannnya.
3. partai oposisi harus menggunakan prinsip persamaan, keadilan, musyawarah, dan amar ma’ruf nahi munkar dalam perjuangannya.
4. Partai oposisi harus beraktivitas menyeru kepada yang ma’ruf (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat). Bahkan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar inilah bagian terpenting dari keberadaan partai oposisi tersebut dalam masyarakat Islam, yaitu mengawasi para penguasa (‘muhasabah lil Hukam’) serta menyampaikan nasehat kepadanya apabila dalam aktivitas pemerintahannya terdapat penyimpangan dan penyelewengan terhadap syariat Islam (misalnya bersikap zhalim, fasik dan lain-lain).
61
B. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut Hukum Positif Partai adalah simbol kesadaran kolektif kelompok-kelompok masyarakat akan hak-hak mereka di dalam kehidupan negara modern. Barangkali tidak seorang pun tokoh pergerakan yang tidak dibesarkan melalui partai, dan sebaliknya hampir tidak ada tokoh kebangsaan kita yang tidak membesarkan partai sebagai alat perjuangan menentang represi politik-ekonomi kolonial di satu pihak dan meraih kemerdekaan nasional di pihak lain. 7 Partai-partai politik di dalam format politik Orde Baru tentulah tidak bisa dianggap sama dengan partai-partai yang dikenal di dalam sistem demokarasi pada umumnya, lebih khusus lagi demokrasi Barat. Perbedaannya terletak pada kuatnya faktor pemerintah dalam membentuk performance dan citra diri partai dalam kehidupan politik nasional. Seperti diketahui, faktor pemerintah itu tidak hanya hadir ketika partai-partai harus dilahirkan dalam bentuk ‘baru’ (melalui fusi), atau ketika partai-partai membutuhkan pengakuan dan legalitas, atau tatkala ideologi nasional Pancasila harus diterima sebagai satu-satunya asas, tetapi juga dalam persoalanpersoalan yang niscaya merupakan masalah intern mereka sendiri. Adanya kebijakan pembinaan politik atas partai adalah jelas dari kuatnya faktor pemerintah itu. (demito h. 73)
7
Adi Sasono dkk. Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam OrBa, Jakarta, Pustaka CIDESINDO, 1998, h.89
62
Dengan demikian, maka mungkinkah partai-partai politik kita di dalam format politik yang berlaku dewasa ini bisa mandiri? Kalau mandiri didefinisikan sebagai kondisi di mana OPP bisa menentukan identitas maupun kebaradaannya secara bebas tanpa campur tangan pihak luar, khususnya birokrasi, maka hampir dipastikan tidak mungkin. Ini berarti bahwa kemandirian dalam pengertian tulisan ini adalah “kemandirian terbatas” di mana faktor pemerintah tetap hadir karena memang tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dalam pertumbuhan dan keberadaan partai politik di dalam format politik yang berlaku. Pelembagaan oposisi adalah proyek demokrasi yang seharusnya dibangun, menyusul ambruknya sebuah rezim otoriter. Gunanya aadalah agar masa transisi menuju demokrasi dapat dipakai secara efektif untuk mencegah rekonsolidasi sisasisa rezim lama, dan sebaliknya mempercepat pelembagaan demokrasi yang baru diperoleh itu. Pengalaman dari negara-negara yang pernah dan sedang mengalami masa transisi menunjukan, ambruknya sebuah rezim otoriter tidak dengan sendirinya mengakhiri jaringan kekuasaan dari rezim itu. Kekacauan politik karena terbukanya pintu kebebasan, sering menjadi alasan kembalinya kekuatan inti rezim lama untuk memanipulasi kecemasan publik, dengan menawarkan ulang ideologi stabilitas dan keamanan sebagai kunci pengendalian situasi. Apalagi bila pemerintahan yang baru merupakan hasil kompromi pragmatis yang ikut didukung oleh sisa-sisa kekuatan rezim lama. 8
8
Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001, h. 15
63
Seburuk apapun wajah partai keberadaannya sangat penting, ia harus tetap ada dan harus terus memperbaiki diri. Pengalaman di berbagai negara membuktikan hal tersebut. Di Pkaistan misalnya, pada era pemerintahan Ayub Khan, 1958, di mana ia membubarkan parlemen demi menjaga stabilitas. Akan tetapi setelah sistem kepartaian dihilangkan yang terjadi justru otoriterianisme, sehingga membuat presiden Khan mencabut keputusannya. Indonesia juga mengalami hal yang sama, saat Presiden Soekarno membubarkan parlemen melalui dekrit Presiden 1959. Tetapi yang terjadi setelah itu justru kondisi politik yang tidak sehat. Ini membuktikan, partai tetaplah diperlukan. Hanya saja, kita mengharapkan setelah sepuluh tahun reformasi, partai juga melakukan transformasi menuju partai modern yang dapat mewakili rakyat secara nyata. Dan itu hanya dapat diraih salah satunya melalui rekrutmen politik yang sehat. 9 Partai oposisi harus mempunyai ideologi, karena ideologi dapat digunakan sebagai identitas atau karakteristik suatu partai politik, sehingga semua orang – terutama para pemilih yang berhak memberikan suara – dapat dengan mudah membedakannya dengan partai politik lain. Dalam kaitan ini, ideologi adalah basis sistem nilai dan faham yang menjelaskan mengapa suatu partai politik harus ada. Selain itu, ideologi merupakan basis perjuangan atau cita-cita yang ingin dicapai suatu partai politik. Dengan demikian, ideologi seharusnya melekat pada kehadiran suatu partai politik. Agar dapat dikatakan sebagai penganut ideologi tertentu, suatu
9
Zaenal A. Budiono, Demokrasi Bukan Basa-Basi, Jakarta, DCSC Publishing, 2008, h. 100
64
sistem nilai, kepercayaan, dan norma harus tercermin dalam semua aspek organisasi partai politik bersangkutan. 10 Ideologi partai politik adalah dimensi yang kompleks. Untuk menganalis ideologi partai politik dibutuhkan pendekatan yang komprehensif, dari isi orasi, figur yang ditonjolkan, visi dan misi partai, strategi partai, struktur organisasi, media komunikasi, dan isu-isu politik yang ditawarkan kepada publik. Bahkan bukan hanya itu, ideologi partai politik pun dapat dicermati melalui hal-hal yang bersifat nonorganisasional alias individual seperti cara berpakaian, bahasa tubuh dan karakter fungsionaris partai serta kandidat yang akan diusung. Sedangkan ideologi politik memayungi organisasi partai politik secara keseluruhan termasuk perilaku-perilaku yang muncul di dalamnya. (firmanzah 107) Menurut pasal 9 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa “Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Pancasila sebagai dasar ideologi kebangsaan partai, khususnya partai oposisi. Karena Pancasila adalah identitas kebangsaan dan keindonesiaan, atau ciri kultur “masyarakat Indonesia”, atas mana negara Indonesia dibentuk. Nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila dianggap sebagai perangkat nilai yang mampu menjadi perekat sosial sekaligus
10
Firmanzah Ph.D, Mengelola Partai Politik Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2008, h. 105
65
referensi ideal yang seharusnya dipelihara dan diperjuangkan dalam bidang sosial, politik, dan budaya. 11 Selain harus mempunyai ideologi sebagai ciri dan identitas suatu partai. Partai oposisi juga harus mempunyai konstituen, pendukung atau orang-orang yang diwakilinya. Keberadaan sebuah partai politik tidak luput dari pendukung, khususnya partai oposisi yang siap bekerja untuk memperjuangkan aspirasi dan tuntutan masyarakat yang diwakilinya. Menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Pasal 8 ayat (1) huruf b – e menyebutkan bahwa: “Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi; c. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; e. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;” Bagaimana pun persyaratan ini menjadi penting untuk dipenuhi, karena bagaimana mungkin sebuah partai yang menyatakan oposisi terhadap pemerintah dapat menyalurkan tuntutan kalau tidak mempunyai konstituen yang jelas. Suatu hal yang sangat tidak diinginkan seperti pelanggaran persyaratan ini. Seperti contoh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) .Lembaga tertinggi pemutus sengketa 11
h. 53
As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta, LP3ES, 2009,
66
konstitusi itu mengabulkan gugatan Koalisi Partai Masa depan partai-partai yang tak lolos pemilu 2009-dengan membatalkan pasal 316 d UU 10 Tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Konsekuensi dari putusan MK ini adalah 9 parpol kontestan pemilu 2009 dianggap menyalahi konstitusi. Sehingga apa pun kelak hasil pemilu 2009 dengan sendirinya dapat dianggap melanggar UUD 1945. Karena kesembilan partai tersebut tidak memenuhi electoral threshold (ET) pemilu 2004 tetapi memiliki kursi di parlemen. 12 Yang tak kalah pentingnya partai oposisi juga harus mempunyai fungsi dan tujuan yang jelas. Dalam Pasal 10 dan 11 UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dinyatakan bahwa: “Tujuan umum Partai Politik adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan khusus Partai Politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
12
Zaenal A. Budiono, Demokrasi Bukan Basa-Basi, Jakarta, DCSC Publishing, 2008, h. 87
67
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Pasal 11 (1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.” Fungsinya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan. Diharapkan benar-benar mampu menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan serta aturan-aturan yang sesuai dengan keinginan masyarakat, juga mampu mendesak pemerintah untuk merubah segala kebijakan serta aturan yang tidak mereka inginkan. Selain itu, dalam memperjuangkan fungsi dan tujuannya partai oposisi juga harus memiliki keanggotaan dan kepemimpinan yang mampu menggerakannya dengan baik. Tentang keanggotan partai UU Parpol No. 2 Tahun 2008 pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.”
68
Yang terakhir sebagai hal utama dalam perjuangan oposisinya partai oposisi harus memakai dua prinsip sebagai berikut: pertama, prinsip musyawarah yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 Alinea Ke-4 yang menjadi salah sila juga dalam Pancasila yaitu sila ke 4 yang berbunyi: “Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/Perwakilan” Prinsip musyawarah menjadi acuan utama bagi pergerakan partai oposisi. Dengan musyawarah partai oposisi dapat merundingkan serta membahas segala permasalahan politik dengan pemerintah. Persolaan yang dihadapi jangan sekali diselesaikan dengan jalan kekerasan, karena sekali-kali ia hanya merugikan semua pihak Kedua, prinsip keadilan, keadilan adalah menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya (proporsional). Segala bentuk kritikan, tuntutan
itu harus disampaikan
secara berkeadilan, jangan sampai dilebih-lebihkan dan jangan juga dikurangi. Jika hal demikian dilakukan oleh partai oposisi, maka akan menjadi bumerang sendiri bagi partai oposisi. Karena dianggap tidak adil dalam menuntut setiap kesalahan yang dilakukan pemerintah.
69
C. Persamaan dan Perbedaan Antara Kedua Konsep Terdapat beberapa persamaan yang dapat kita lihat dari paparan di atas antara kedua konsep ini. Di antaranya: 1. Dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam bahwa sebuah partai oposisi harus memiliki prinsip musyawarah dan keadilan dalam perjuangannya. Sama halnya dengan hukum positif kita yang menerapkan kedua prinsip ini dalam perjuangannya. 2. dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam bahwa sebuah partai oposisi mempunyai prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sama halnya dengan konsep partai oposisi menurut hukum positif kita yang berfungsi sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan membentuk kebijakan. Sedangkan terdapat beberapa perbedaan yang kita lihat dari paparan di atas antara kedua konsep ini. Di antaranya: 1. Dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam ideologi partai adalah Islam yang mempunyai nilai-nilai universal yang sangat luhur, dan kompleks bagi segala bidang kehidupan. Sedangkan konsep partai oposisi menurut hukum positif melandaskan ideologinya pada Pancasila yang hanya mengandung sebahagian nilai Islam yang diadopsinya, dan masih banyak kekurangan di dalamnya. 2. Dalam konsep partai oposisi menurut hukum Islam kenggotaan partai oposisi harus diutamakan para ulama dan para cendikia muslim yang
70
dapat merumuskan serta menyampaikan segala aspirasi dan tuntutan lebih baik dan lebih terarah. Sedangkan konsep partai oposisi menurut hukum positif kita keanggotaan partai sudah dapat diisi dengan warga negara yang sudah berumur 17 tahun atau sudah pernah menikah. Tanpa mengutamakan para cendikia dan ilmuwan. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi kesalaharahan dalam menyampaikan segala aspirasi serta tuntutan masyarakat, karena tidak memikirkan secara matang metode serta jalan yang diambil dalam melaksanakannya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kekuasaan pemerintahan adalah amanah yang dipercayakan umat kepada seorang atau beberapa orang yang mampu menjaga dan melaksanakannya dengan baik. Namun sediakalanya amanah itu tak sepenuhnya diberikan tanpa ada prasyarat yang harus dijalankan. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi sebuah penyelewengan amanah yang telah dipercayakan tersebut. Dari adanya prasyarat tersebut di atas membuka peluang bagi adanya sebuah kelompok atau golongan yang mampu mengawasi, serta mau memberikan solusi agar prsyarat tersebut dapat silaksanakan dengan baik. Golongan tersebut biasa disebut golongan oposisi atau partai oposisi. Istilah oposisi ini sekilas terluhat mempunyai arti “negatif”, namun dalam arti sebenarnya oposisi mempunyai arti yang sangat mulia. Oposisi mempunyai artri mengontrol, mengawasi, mengkritik, dan bahkan ia mempunyai arti lain seperti apa yang dikemukakan oleh CakNur yaitu to support atau mampu mendukung para penguasa untuk mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Dalam pandangan hukum Islam oposisi yang dilakukan partai politik merupakan sebuah keharusan karena partai adalah sebuah golongan atau Ummah yang mempunyai kapasitas serta basis kekuatan masa yang mendukungnya, sehingga
71
72
dengan itu partai yang beroposisi tidak mudah untuk dipatahkan oleh tipu daya serta pemaksaan para penguasa. Demikian juga dalam hukum positif kita, nilai-nilai oposisi yang terkandung di dalamnya pun dimanfaatkan oleh partai politik yang merupakan sebuah elemen penting bangsa ini, baik dalam pemilihan seorang kepala negara hingga produk kebijakan-kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Namun demikian hukum Islam mempunyai nilai-nilai yang lebih kompleks dibanding hukum positif kita, meskipun produk hukum positif kita pun sedikitbanyak juga mengambil dari nilai-nilai hukum Islam seperti musyawarah, keadilan, serta dasar ketuhanan dalam menjalankan pemerintahannya. B. Saran Menjadi golongan oposisi mungkin bukan hal yang mudah, langkah dan perbuatan selalu dicurigai, menuai kontroversi serta tak sedikit hujatan yang terdengar oleh mereka yang beroposisi. Namun demikian dibalik itu Allah menjanjikan sebuah keberkahan dan karunia bagi yang menjalankannya. Dengan adanya partai oposisi diharapkan agar mampu mengontrol berjalannya pemerintahan, sehingga tidak terjerumus kepada penyelewengan kekuasaan. Karena seperti kata adagium “kekuasaan condong pada penyelewengan dan kekuasan yang absolut akan berakibat pada penyelewengan yang merajalela”. Dan diharapkan juga agar partai oposisi mampu memberikan alternatif kebijakan
73
yang membangung sehingga dapat terwujud sebuah pemerintahan yang berkeadilan dan mampu mensejahterakan warga negaranya. Wassalam
74
Daftar Pustaka Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 1996) h. 754 John McGill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, (Jakarta, Aribu Matra Mandiri, 1996) h.154 Tim Penyusun Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka) h. 628 Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1999) h. XI Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.7 Tim Kanisius,Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), hal, 945 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , hal. 132 H. Zainal Abidin Ahmad, konsepi negara bermoral menurut Imam AlGhazali, Jakarta, bulan bintang, 1975, hal. 230-232 J. Suyuti Pulungan, prinsip-prinsip pemerintahan dalam piagam madinah ditinjau dari pandangan al-qur’an, jakarta, RajaGrafindo Persada, 1994, hal. 208, 250253 1
Jabir Qumihah, beroposisi menurut Islam, jakarta, gema insani press, 1991,
hal. 38-39 Dr. Nurcholis Madjid, Cita-cita politik Islam Pra Reformasi, Jakarta, Paramadina, 1999, hal. 190-191 Abul A’la al-Maududi, khilafah dan kerajaan diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dari al-khilafah wal-mulk, Bandung, Mizan, 1996, hal. 115-116 Dr. Yusuf Qardhawi, meluruskan dikotomi agama&politik bantahan tuntas terhadap sekularisme dan liberalisme diterjemahkan oleh khoirul amru Harahap dari Ad-Din wa As-Siyasah, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008, hal. 194-200 Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta, 1988) h. 75-76
75
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) hal. 135 Drs. H. Inu Kencana Syafi’i, Al-qur’an dan Ilmu Politik, Rineke Cipta, Jakarta, 1996, hal. 163 Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, hal. 161 John L.Esposito&John O. Voll Demokrasi di negara-negara muslim: problem dan prospekDiterjemahkan oleh Rahmani Astuti dari Islam and Democracy, hal. 5051 Yusuf Qordlowy, fiqh daulah fil Islam, hal. 136 David E. Apter, politik modernisasi. Terj, (jakarta, Gra,edia Press, 1967), hal. 204 Miriam Budiarjo, partisipasi dan partai politik (jakarta, obor 1998), hal. 138 Arbi Sanit, Reformasi politik,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), h. 174-75 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto,(Jakarta, LP3ES, 2003), hal. 222 Dr. Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah konsepsi kekuasaan politik dalam alqur’an, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 74-75
Muhammad Furkon, Aay, PKS Ideologi Dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta, Teraju, 2004, Fatwa, AM, Satu Islam Multi Partai, Bandung, Mizan, 2000 Ihza Mahendra, Yusril, Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Jakarta, Paramadina, 1997 Sasono, Adi dkk., Demitologisasi Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam OrBa, Jakarta, Pustaka CIDESINDO, 1998 Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta, Yayasan API, 2001
76
A. Budiono, Zaenal, Demokrasi Bukan Basa‐Basi, Jakarta, DCSC Publishing, 2008 Said Ali, As’ad, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta, LP3ES, 2009 Raillon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia pembentukan dan konsolidasi OrBa 1966‐1974 Djarot, Eros, Siapa Sebenarnya Soeharto, fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G‐30‐S/PKI, Jakarta, Mediakita, 2006 Uhlin, Anders, Oposisi Berserak, diterjemahkan dari Indonesian and the “Third wave of Democratization”: the Indonesian Pro‐Democracy Movement in a Changing World oleh Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998 Ja’fariyan, Rasul, Sejarah Khilafah, terj, Jakarta, Al‐Huda, 2006 As‐Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa diterjemahkan oleh Samson Rahman, Jakarta, Pustaka Al‐Kautsar, 2001 http://kammikomsatugm.wordpress.com diakses pada tanggal 23 Agusttus 2010 http.// www.michelleader.com diakses pada tanggal 7 Agustus 2010 http://www.bundestag.de/ Konsensus dan disensus dalam parlemen Jerman, diakses pada tanggal 15 april 2010 http://ashlf.comH. Aries Sugi Hartono, S.H. H. Aries Sugi Hartono, S.H., oposisi semu di Indonesia, diakses pada tgl 9 maret 2010