Konsep-Konsep dasar Sosiologi1 Mustain mashud Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga
Pengantar Sebagai suatu ilmu, sosiologi mempelajari bagaimana dan mengapa suatu kehidupan bersama (society) dikelola, bertahan dan berubah. Sehubungan dengan itu di dalam analisis sosiologis terdapat sejumlah konsep-konsep dasar yang acapkali berbeda makna dan pengertian dengan makna dan pengertian seperti acap dipergunakan umum. Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang hendak mempelajari sosiologi, terlebih para guru (dosen) yang mengajar sosiologi harus betul-betul mengerti dan memahami pengertian (konsep) dasar sosiologi dimaksud. Untuk maksud membantu para guru dan dosen yang tertarik (terpaksa??) mengajar sosiologi, berikut disampaikan beberapa konsep dasar sosiologi dengan harapan akan menambah wawasan dan pemahaman konsep dasar sosiologi sebagaimana seharusnya.
Apa Itu Sosiologi? Sosiologi bukan semata-mata ilmu murni (pure science) yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak demi usaha peningkatan kualitas ilmu itu sendiri, tetapi sosiologi dapat menjadi ilmu terapan (applied science) yang menyajikan cara-cara untuk mempergunakan pengetahuan ilmiahnya guna memecahkan masalah- masalah sosial secara praktis yang perlu ditanggulangi (Horton dan Hunt, 1987:41). Seorang ahli sosiologi yang melakukan penelitian tentang tekanan ekonomi atau masalah kemiskinan yang dialami keluarga buruh tani, misalnya, maka ia adalah seorang ilmuwan murni. Tetapi, kalau peneliti tersebut kemudian meneruskannya dengan melakukan studi mengenai bagaimana cara meningkatkan taraf kehidupan keluarga buruh tani, maka dalam hal ini sosiologi menjadi ilmu terapan. Seorang Sosiolog yang bekerja di tataran praksis, ia tidak sekadar meneliti masalah sosial untuk membangun proposisi dan mengembangkan teori, tetapi Teori-teori sosiologi bukan juga hanya doktrin yang kaku dan selalu menekankan tentang what ougt to be (apa yang seharusnya) terjadi, melainkan ia juga berusaha menjadi perspektif (ilmu) baru yang selalu berusaha mencoba ―membongkar‖ realitas sosial: mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi di balik realitas yang tampak. Beberapa ciri sosiologi yang inheren adalah pengakuannya yang rendah hati terhadap realitas dan sifatnya yang subversif. Sosiologi berusaha selalu tidak percaya terhadap apa yang tampak dan selalu mencoba mengungkap terhadap sesuatu yang tersembunyi (latent) di balik realitas nyata (manifes) karena sosiologi berasumsi bahwa ―dunia bukanlah hanya sebagaimana yang terlihat (observable)‖, melainkan juga dunia yang (sebenarnya) baru bisa dipahami jika dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan (Berger dan Kellner, 1985:5) Kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama (Veeger, 1985:3). Berbeda dengan matematika, misalnya, yang obyeknya mudah dikenal dan 1
Disampaikan pada Penataran Guru Pengajar Sosiologi di PPPG Malang, Kamis 24 Agustus 2006
2 sifatnya pasti –berupa angka-angka--, subyek kajian sosiologi paling sulit dimengerti dan diramalkan karena perilaku manusia merupakan persilangan antara individualistas dan sosialitas: keduanya saling mengisi dan meresapi. Sosiologi mempelajari dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, komunitas dan pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik, bisnis dan organisasi lainnya. Sosiolog mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya, serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap anggotanya (Occupational Outlook Handbook, 1980-1981, U.S. Departemen of Labor 1980: 431). Masyarakat, komunitas, keluarga, perubahan sosial, struktur, mobilitas sosial, gender, interaksi sosial, perlawanan sosial, gerakan sosial, konflik, integrasi sosial, dan sebagainya adalah sejumlah contoh yang memperlihatkan betapa luasnya ruang kajian sosiologi. Sosiologi, dengan demikian bisa dikatakan sebagai ilmu tersendiri, karena ―ia‖ adalah disiplin intelektual yang secara khusus, sistematis dan terandalkan mengembangkan pengetahuan tentang hubungan sosial manusia pada umumnya dan tentang produk dari hubungan tersebut (Hoult, 1969). Dengan kata lain, sosiologi mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat, tidak sebagai individu yang terlepas dari kehidupan mayarakat. Fokus bahasan sosiologi adalah interaksi sosial manusia, yaitu pengaruh timbal balik di antara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap, dan tindakan. Sosiologi tidak begitu menitik beratkan pada apa yang terjadi di dalam diri manusia (yang menjadi bidang kajian psikologi), melainkan pada apa yang berlangsung di antara manusia. Saat ini, ada banyak definisi resmi mengenai sosiologi. Emile Durkheim mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang fakta sosial (social fact), dan fakta sosial bukanlah fakta individual. August Comte memandang sosiologi sebagai ilmu positif tentang masyarakat manusia. Max Weber, sebaliknya, mendefinisikan sosiologi sebagai iulmu yang mempelajari tentang pemahaman interpretatif tentantng tindakan sosial (social action). Perter L Berger (menjembatani Durkheim dan Weber) melihat sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara individu dan masyarakat. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi, misalnya, mendefinisikan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial —termasuk perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama (Soemardjan dan Soemardi, 1964:14). Singkat kata, sosiologi adalah ilmu pengetahuan ilmiah yang mempelajari tentang dinamika masyarakat: bagaimana masyarakat ada, dibangun, dipertahankan dan berubah: bagaimana interaksi antara individu terjadi, bagaimana proses sosial berlangsung dan mengapa perubahan masyarakat terjadi. Sebagai suatu ilmu, sosiologi mempunyai sejumlah ciri: (1) bersifat empiris (segala sesuatu berdasarkan fakta empirik di masyarakat yang observable), (2) teoritis (fakta empiris yang dikaji melalui suatu penelitian ilmiah dapat menjadi suatu thesis dan teori yang pada gilirannya teori baru ini dapat dipergunakan untuk menjelaskan, memprediksikan dan mendeskripsikan fenomena sosial empiris lain) (3) kumulatif (konsep dan teori sosiologi akan terus berkembang menuju ‖kesempurnaan‖ karena sifatnya yang terbuka untuk dipertanyakan dan diuji-ulang oleh ilmuwan siapa siaja melalui suatu penelitian imiah, search and re-search., (4) bebas nilai (konsep dan teori sosiologi dimanfaatkan dan dikembangkan melalui suatu aktifitas keilmuan (misalnya research) tidak untuk menilai baik-buruk, benar-salah atau haram-halal suatu fenomena sosial, tetapi harus apa adanya dan seperti aslinya peristiwa faktual yang ada). Dengan kata lain, sebagai
3 ilmu, sosiologi harus obyektif; sejauh mungkin dihindari bisikan hati nurani, moral dan agama baik dalam menganalisis fenomena sosial maupun dalam penelitian (studi) terhadap fenomena sosial yang terjadi.
Beberapa Konsep Dasar Sosiologi 1.
Individu (self); Definisi sosial (social definition) Charles Horton Cooley menggunakan konsep Looking-Glass Self ‗Diri‘ menjelaskan siapa (who) ‗diri‘ (self). Dengan menggunakan konsep Looking-Glass Self to emphasize that the self is product of our sosial interactions with other people. Paling tidak terdapat 3 (tiga) proses bagaimana identitas diri (self consept) itu dibangun: (1) seseorang membayangkan bagaimana dirinya tampil dan berperilaku terhadap orang lain; (2) membayangkan bagaimana orang menilai dirinya dan (3) seseorang itu (kemudian) mengembangkan perilakunya sesuai dengan (apa kata) orang lain. Dengan demikian, ‗saya‘ (self) adalah ‗kita‘ (ourselves) George Herbert Mead (1930) memperjelas konsep Cooley bahwa anak-anak akan meniru (imitation) orang-orang disekitarnya, khususnya keluarganya dimana mereka paling intensif berinteraksi setiap hari. Ketika anak mulai besar, ia akan belajar melalui apa yang disebut dengan symbols (gestures, objects maupun languanges). Dengan semakin meningkatnya kemampuan anak menguasai simbol-simbol, kemampuan belajar anak terhadap lingkungannya pun semakin tinggi. Dalam penjelasannya lebih lanjut tentang bagaimana self menemukan dan membangun dirinya, Mead mengajukan konsep generalized others, yakni kesadaran atas sikapnya, cara pandang dan ekspektasinya terhadap masyarakat. Artinya, jenis tindakan, sikap dan perilaku (seperti apa yang dianggap baik dan pantas) akan rujukkan (tolok ukurnya) pada baik, pantas dan sesuai menurut masyarakat (social definition). Self dibentuk dan dibangun (dan dipertajam) melalui proses interaksi sosial secara terus menerus dengan orang-orang dekat, teman sebaya, keluarga, lingkungan tempat tinggal, significant others. Generalized Other (Generalisasi Orang lain) dari George Herbert Mead (1934). Gambaran terhadap peran "orang lain" yang diidolakan sehingga mendorong dirinya untuk meniru perannya. Hal ini bisa terlihat kalau seseorang membayang kan bahwa "Setiap orang mengharapkan saya untuk ... ". Konsep ini sering dipergunakan melalui pengambilan peran (role taking) orang lain. Artinya, seseorang berupaya untuk memainkan perilaku yang diharapkan dari seorang áyang benar-benar memegang peranan yang diharapkan (role playing). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku seseorang merupakan pengambilan peran (role taking) --dengan bentuk bermain peran pura-pura-- dari perilaku orang yang ádiperankan ì sesungguhnya (role playing). Kalau peran orang lain itu sangat disenangi, disetujui dan dijadikan referensi baik dalam berpikir, bersikap dan bertindak, maka konsep itu oleh Mead disebutnya sebagai áSignifi cant Other. Misalnya, seorang guru yang karena keistemewaannya banyak disenangi dan dikagumi ámurid-muridnya sehingga si murid selalu menjadikan guru tersebut sebagai referensi dirinya. Dengan cara pengambilan peran seperti itulah yang kemudian mempengaruhi perkembangan konsep diri para murid.
4 Irving Goffman (1959) menyatakan setiap individu akan selalu berusaha berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat. Dengan konsep dramaturgical approach dinyatakan bahwa people can be seen as resembling performers in action. Kehidupan manusia dalam kesehariannya menyerupai sandiwara atau drama (theater)
2.
Masyarakat (society); komunitas (community) Terdapat banyak definisi masyarakat. Secara sederhana masyarakat itu setidak harus memenuhi sejumlah indikator, yakni minimal ada 2 individu (aktor), terjadi interaksi, ada norma yang mengatur interaksi, mempunyai tujuan bersama dan berada di lokasi tertentu. Komunitas (community) sering dibedakan dengan masyarakat; namun pembedaan ini sesungguhnya hanya pada tataran atau tingkat besaran dan cakupannya bahwa komunitas itu lebih berskala mikro dan kecil, sedang masyarakat lebih berskala lingkup makro dan luas.
3.
Sistem sosial (social system) Masyarakat diibarat suatu sistem sosial. Sebagai sistem, masyarakat itu terdiri atas beberapa unsur (komponen, bagian atau sub-sistem), masing-masing unsur eksis, mandiri namun saling berhubungan satu sama lain secara saling bergantung (interdependency) sehingga saling mendukung. Interdependency hubungan antar unsur tersebut menghasilkan suatu sistem sosial baru yang terintegrasi. Artinya, eksistensi sistem sosial sangat tergantung dari besaran dukungan masing-masing unsur pembentuknya. Oleh karena itu, dalam analisis sistem sosial seperti itu fokus analisis diarahkan pada posisi dan fungsi masing-masing unsur sistem sosial. Sistem dalam pengertian keilmuan, berbeda dengan pengertian sistem sebagaimana disebutkan di atas, setidaknya jika memenuhi beberapa ciri berikut: 1). Sistem itu terdiri atas banyak bagian, komponen, unsur yang acap disebut sebagai subsistem 2). Masing-masing komponen saling berhubungan secara interdependency (saling tergantung) 3). Keseluruhan hubungan antar komponen tersebut (no.2) membentuk suatu kesatuan sistem (kualitatif), sehingga keseluruh an sistem bukannya hasil penjumlahan masingmasing bagian atau komponen (kuantitatif), melainkan hasil beroperasinya semua bagian atau komponen tersebut. 4). Sistem sosial cenderung selalu mempertahankan keseimbangan (equilibrium) sistem. Suatu sistem sosial akan selalu berusaha mempertahankan tercipta dan bertahannya keteraturan sosial (social order). Apabila terjadi pelanggar an, penyimpangan atau pembangkangan, maka sistem itu akan dengan segera berusaha menyesuaikan diri kembali ke kadaan normal. 5). Sehubungan dengan itu (no.4), suatu sistem sosial tidak akan pernah berubah secara radikal; melainkan secara gradual, tidak pernah menyentuh pada substansi, kecuali hanya kulitnya saja. Karena sifatnya yang selalu berusaha mempertahankan keteraturan, stabilitas (equlibrium), harmoni sosial dan integrasi sosial, maka pendekatan sistem ini seringkali dikatagorikan sebagai sangat konvensional dan pro-statusquo. Hal ini berbeda, bahkan berlawanan dengan model pendekatan konflik (conflict approach) terutama dalam
5 melihat sistem sosial. Cara pandang masyarakat sebagai sistem sosial dikenal dengan perspektif struktural fungsional, sedangkan yang kedua biasa disebut dengan perspektif struktural konflik. Perspektif struktural fungsional, memandang masyarakat (baik pada tataran mikro maupun makro) sebagai suatu sistem sosial sebagaimana dikatakan Talcott Parson. Parson, melihat kehidupn sosial sebagai suatu sistem sosial, maka eksistensinya harus diperhatikan sebagai suatu totalitas atau keseluruh an yang sistemik; bukan hanya kumpulan atau onggokan orang-orang, barang-barang, binatang-binatang, rumahrumah, makanan-makanan … entitas material. Tetapi, masyarakat harus di pandang sebagai proses bekerjanya bagian-bagian atau komponen-komponen yang saling berhubung an dan saling tergantung sehingga menjadi suatu totalitas. Nah, kehidupan sosial yang dilihat dengan cara seperti ini disebut dengan Sistem Sosial. Secara sederhana ciri utama sistem sosial itu jika bagian-bagian atau komponenkomponen dalam sistem itu saling berhubungan secara interdependency itu bisa ditemukan dalam kehidupan masyarakat, yaitu status-status dan peranan-peranan sosial (sebagai bagian-bagian atau komponen-komponen sistem sosial) terlihat ada hubungan antara satu dengan lainnya secara kontinyu dan saling mendukung2. Dalam kehidupan sosial, kita tidak mungkin tidak berhubungan dengan peran orang lain. Oleh karena itu, kita disebut sebagai manusia sosial, yang tidak akan bisa hidup tanpa peran orang lain. Seorang bapak (yang laki-laki), memerlukan ibu (yang perempuan). Eksistensi bertemunya laki-laki dan perempuan melalui perkawinan terasa tidak lengkap kalau tidak ada yang berperan sebagai anak. Maka terjadilah proses ―pembuatan‖ anak. Suatu keluarga dinilai sudah eksis, lengkap dan normal manakala ketiga komponen (bapak, ibu dan anak) telah memperlihatkan jati diri statusnya masing-masing dan kemudian bisa menjalankan peranannya masing-masing dengan baik dan benar. Pada level yang akan besar dari keluarga, ada Rukun Tetangga (RT). Dalam komunitas RT pun ada sejumlah peranan-peranan yang tersebar, terbagi dan terbangun hubungan sosial yang saling mendukung satu sama lain. Demikian halnya, di level lebih makro, ada RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara, dan dunia. Semua level selalu ditemukan adanya berbagai peran yang saling berbeda, namun meski berbeda mereka tetap saling membutuhkan secara timbal-balik3. August Comte, malah melihat masyarakat tak ubahnya dengan sistem organisme. Menurutnya, masyarakat harus analisis dengan menggunakan konsep-konsep biologis tentang struktur dan fungsi. Comte menyatakan misalnya, keluarga-keluarga itu 2
Misalnya, dalam suatu keluarga setidaknya ada 3 (tiga) komponen status (ayah, ibu dan anak) yang masing-masing mempunyai peranan berbeda-beda. Meski ketiganya berbeda status, dan berbeda-beda pula peranannya, namun ketiganya merupakan suatu totalitas (kesatuan) oleh karena beroperasinya peranan masing-masing pihak dalam berhubungan secara konstan, kontinyu dan saling tergantung. 3 Tolong diingat Teori Emile Durkheim tentang integrasi sosial. Dalam teorinya Durkheim mengatakan bahwa perkembangan masyarakat dari yang sederhana (mikro) ke yang modern (makro) berakibat pada semakin tingginya tingkat spesialisasi dan differensiasi sosial. Artinya, status sosial dan peranan-peranan sosial semakin beranekaragam, heterogen dan kompleks. Tetapi, meski kondisi masyarakat semakin kompleks dan heterogen justru akan memperteguh integrasi sosialnya sebagai akibat dari semakin tingginya tingkat ketergantungan satu sama yang lain (organic solidarity). Durkheim, dengan teorinya ini sekaligus membantah pendapat yang mengatakan bahwa integrasi, persatuan dan harmoni sosial harus dan hanya akan bisa diwujudkan dengan adanya kesamaan-kesamaan (mechanic solidarity)
6 merupakan sel-sel sosial dasar; kekuatan-kekuatan sosial merupakan syaraf; sedangkan negara dan kota merupakan organ-organ sosial, dan bangsa-bangsa di dunia merupakan sistem-sistem organisme dalam biologi. Sementara itu, Herbert Spencer memberikan petunjuk tentang bagaimana suatu masyarakat harus dipandang secara analog dengan suatu organisme, antara lain dengan menyatakans sebagai berikut: 1)
Baik masyarakat maupun organisme adalah hidup sehingga keduanya hidup dan berkembang
2)
Dalam masyarakat maupun organisme, fenomena pertambahan dan ukuran mengindikasikan bertambahnya kompleksitas dan differensiasi
3)
Adanya differensiasi progressif dalam struktur dalam masyarakat maupun organisme akan selalu disertai dengan differensiasi fungsi
4)
Dalam masyarakat maupun organisme, bagian-bagian dari keseluruhan saling berkaitan secara interdependency, sehingga perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian-bagian lainnya.
5)
Dalam masyarakat maupun organisme, setiap bagian keseluruhan, juga merupakan masyarakat mikro atau organisme di dalam maupun dari padanya.
6)
Baik dalam masyarakat maupun organisme, kehidupan keseluruhan dapat dihancurkan, namun bagian-bagiannya akan tetap hidup, paling tidak untuk sementara waktu.
Analog masyarakat dengan sistem organisme, meski banyak mendapatkan kritikan tajam, namun analogi tersebut sangat membantu mempermudah menganalisis fenomena yang terjadi di masyarakat. Bagi orang yang terbantu dengan model analisis analogi ini, sudah tentu sangat senang dan mendukung teori Spencer ini. Bahkan mereka ini menyatakan bahwa masyarakat adalah merupakan bentuk organisme paling tinggi, dan karena itu paling sempurna. Cara pandang (analisis) masyarakat layaknya organisme dibangun berdasar kan 3 (tiga) asumsi utama, yaitu: 1)
Realitas sosial dipandang atau digambarkannya sebagai suatu sistem
2)
Proses suatu sistem hanya dapat difahami dalam kerangka hubungan timbal-balik antara bagian-bagiannya
3)
Sebagaimana halnya dengan suatu organisme, suatu sistem terikat pada prosesproses tertentu yang bertujuan untuk mempertahankan integritas dan batasbatasnya4.
Cara pandang (dan analisis) masyarakat sebagai sistem sosial, sesungguhnya juga merupakan cara pandang para teoritisi struktural fungsional. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, teori-teori struktural fungsional mencakup konsep-konsep sebagai berikut:
4
Uraian lebih mendalam, baca Soerjono Soekanto, 1986; Seri Pengenalan Sosiologi 4, Fungsiuonalisme Imperatif . (Jakarta: Rajawali Press).
7 1)
Sebagai sistem yang terikat dan terbatas, masyarakat mengatur dirinya sendiri dan cenderung menjadi suatu sistem yang tetap serta serasi
2)
Sebagai suatu sistem yang mengatur dirinya sendiri yang sama dengan suatu organisme, masyarakat mempunyai berbagai kebutuhan (needs) dasar yang harus dipenuhi, apabila keserasiannya ingin dipertahankan
3)
Analisissoiologis terhadap sistem yang mengatur dirinya sendiri dengan segala kebutuhannya harus dipusatkan pada fungsi bagian-bagian sistem dalam memenuhi kebutuhan dan memelihara keserasiannya.
4)
Dalam sistem-sistem dengan berbagai kebutuhannya, mungkin tipe-tipe struktur tertentu harus ada untuk menjami ketahanannya (Soekanto, 1986).
Talcott Parson, salah satu Sosiolog terkemuka dalam mengembangkan Teori Sistem Sosial mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur pokok dalam tindakan warga masyarakat, yaitu (1) sistem kepribadian, (2) sistem sosial dan (3) sistem budaya 5. Sistem budaya dianggap sebagai dasar dari struktur normatif sistem sosial, bentukbentuk kebutuhan dan proses-proses pengambilan keputusan dalam sistem kepribadian. Dalam pandangan Parson, di dalam sistem sosial, masalah terpenting adalah inetgrasi sosial, sehingga komponen sub sistem sosial lain (sub sistem budaya dan sub sistem kepribadian), dibicarakan hanya dalam kaitannya dengan sumbangannya terhadap integrasi sistem sosial. Selanjutnya, dikemukakan Parson bahwa paling tidak terdapat 2 (dua) hal penting terhadap terwujudnya integrasi sosial (social integration), yaitu: 1)
Sistem sosial harus mampu mendorong warga masyarakat agar selalu bertindak sesuai dengan harapan peranannya,
2)
Sistem sosial harus menjauhi tuntutan yang mustahil kepada masyarakat yang bisa menimbulkan penyimpangan dan konflik
Menurut Talcot Parson, paling tidak ada 4 (empat) sub-sistem yang menjalan kan fungsifungsi utamanya di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, yaitu: 1).
Fungsi mempertahankan dan menegakkan pola dan struktur masyarakat yang dilaksanakan oleh sub-sistem budaya
2).
Fungsi integrasi yang dilaksanakan oleh sub-sistem kaidah sosial
3).
Fungsi pencapaian tujuan yang dilaksanakan oleh sub-sistem politik
4).
Fungsi adaptasi dengan lingkungan sistem, yang dilaksana kan oleh sub-sistem ekonomi.
5
Ada yang menambahkan satu lagi, yakni sistem religi yang berada di atas posisi sistem budaya. Sistem ini dinilai penting karena dalam realitasnya, sistem budaya banyak dipengaruhi oleh keberadaan sistem religi, agama atau kepercayaan
8
Fungsi Laten
Sistem Sistem Kebudayaan Pengendalian
Energi
Interelasi PengendalianPengendalian Informasi
Sistem Sosial Integrasi Pengendalian
Energi
Sistem Kepribadian Pencapaian Tujuan Adaptasi
Pengendalian
Energi
Sistem Organismik
KondisiKondisi Energi
Sub sistem budaya bertugas menangani hal-hal yang berkaitan dengan urusan pemeliharaan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat untuk tujuan kelestarian struktur masyarakat. Dengan kata lain, visi sub sistem pemeliharaan pola ini adalah menjaga dan mempertahankan pola, tatanan dan atau kondisi eksisting struktur sosial yang ada. Nilai-nilai budaya sebagai sumber moral (dan religi) menjadi referensi sistem sosial dalam membangun dan menjaga eksistensinya, dengan menyusun suatu strategi agar bagaimana setiap anggota sistem sosial tetap terbangun semangat, komitmen dan aktif berpartisipasi dalam berbagai aktifitas sosial dalam sistem sosial. Termasuk ke dalam sub sistem budaya ini misalnya keluarga, sekolah, agama, dst. Sub sistem kaidah sebagai pelaksana fungsi integrasi merupkana manifestasi dan ekspresi dari nilai-nilai budaya dalam wujud yang lebih kongkrit. Sub sistem integratif ini mempertahankan keterpaduan antar bagian-bagian yang saling berbeda dalam sistem sosial agar terbangun kebersamaan sosial sehingga bisa mengurangi seminimal mungkin konflik internal yang mungkin terjadi. Sub sistem integratif ini bertugas mempertemukan pendapat dan pandangan yang saling berbeda dengan mendasarkan diri pada sistem nilai dan moral yang ada. Termasuk ke dalam sistem kaidah sosial ini adalah hukum, norma-norma sosial, adat istiadat, dst. Sub sistem politik menjalankan fungsi pencapaian tujuan, bagaimana kekuasaan seharusnya dilaksanakan dan bagaimana pemaksaan yang sah (ligitamate) itu dijalankan. Sub sistem pancapaian tujuan ini bekerja untuk memaksimalkan kemampuan dan potensi yang ada dalam masyarakat (apa, kapan, mengapa, bagaimana) untuk mencapai tujuan bersamanya. Tujuan utama susb sistem politik ini adalah mengorganisasikan segenap kemampuan masyarakat untuk mendayagunakan segala potensi yang ada guna dan dalam rangka mencapai tujuan kolektif. Sub sistem ekonomi melaksanakan fungsi adaptasi, yakni menangani proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Hasil kerja sub sistem penyesuaian ini antara lain dapat dilihat dari tersedianya sejumlah fasilitas-fasilitas atau alat-alat yang dipergunakan untuk produksi dan distribusi.
9 Keempat sub sistem di atas, bekerja (dan berproses secara sistemik) secara mandiri, namun (ketika berhubungan dengan sub sistem yang lain) mereka bekerja bersama-sama dengan pola saling mendukung (dan karena itu saling tergantung, interdependency) untuk mewujudkan keutuhan dan kelestarian sistem sosial secara keseluruh an.
4. Kelompok (group): in-group, out-group Kelompok (group) adalah sejumlah orang yang mempunyai kesamaan nilai, norma dan harapan yang secara sadar dan terus menerus melakukan interaksi sosial (any number of people with similar norms, values, and any expectations who regularly and consously interac). Eksistensi group (kelompok) sangat esensial dan vital dalam struktur kehidupan masyarakat. (Schraefer and Lamm, 1994:87-90). Kelompok utama (primary group) merujuk pada sejumlah kecil orang yang ditandai dengan adanya hubungan intim (dekat dan akrab) dan berasosiasi dan kerjasama secara langsung (face to face). Kelompok sekunder (secondary groups) refers to formal, impersonal group in which there is little social intimacy or mutual understanding. Dimensi
1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah
Primary Group Umumnya sedikit
Secondary Group Lebih banyak
Waktu interaksi
Dalam periode lama
Lebih singkat dan temporer
Keakraban
Akrab dan face to face
Kurang akrab
Kedalaman hubungan
Sangat emosional
Terbatas, dangkal
Sifat hubungan
Kerjasama secara akrab
Lebih formal dan impersonal
Kelompok dalam (in-groups) dan Kelompok lain (out-groups). In-group adalah suatu katagori dalam mana para anggotanya merasa dalam satu kepemilikan, people fell they belong group (perasaan satu kelompok). Rasa satu kelompok ini sering muncul melalui kata ―kami‖ (we) atau ―kita‖ (us). Sebaliknya, orang di luar kelompoknya, mereka katagorikan sebagai ‖mereka‖ (they), atau ‖them‖, Merka ini adalah bukan bagian dari ‘kami‖, tetapi ‖them‖ atau ‖they‖, people fell they do not belong. Mereka ini dikatagorikan sebagai bukan bagian dari kami (in-group), tetapi adalah orang lain, di luar kelompok kami, out-group. Rasa berkelompok yang begitu kuat ini acapkali menumbuhkan perasaan kelompok sebagai suatu identitas yang kuat (in-group feeling) atas kelompok lain yang bukan menjadi bagian kelompoknya.
6. Kontak sosial, interaksi sosial, komunikasi dan proses sosial Paling tidak ada 2 (dua) paradigma yang bisa dipergunakan untuk menjelas kan dan menganalisis interaksi sosial, yakni paradigma makro (social fact atau naturalis) dan paradigma mikro (social definition)6. Terdapat tiga konsep yang berkaitan dengan konsep interaksi sosial, yakni: kontak, komunikasi, dan proses sosial. Agar kita bisa memahami
6
Paradigma pertama melihat terjadinya interaksi (perilaku) sosial sebagai produk dari kekuatan struktur eksternal obyektif; sedang paradigma kedua melihat interaksi sosial sebagai hasil pemaknaan subyektif personal terhadap stimulus sosial. Uraian singkat berikut hanya akan menjelaskan secara singkat fenomena interaksi sosial berdasarkan paradigma sosiologi mikro meski tetap menyinggung paradigma makro, setidaknya dalam penjelasannya.
10 pengertian interaksi dengan baik, kiranya perlu mengerti dan memahami pengertian ketiga konsep lain tersebut. Secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh: bisa Secara fisik (badan) maupun non-fisik. Kontak terjadi ketika dua orang atau lebih saling berhadapan, meski di antara mereka saling menyadari akan kehadiran masing-masing, namun di antara mereka tidak dapat saling memahami. Komunikasi terjadi jika antara dua orang atau lebih selain saling menyadari kehadiran masing-masing (baik langsung atau tidak langsung), juga ditandai oleh adanya saling memahami terhadap simbol-simbol yang digunakan. Masing-masing pihak (aktor) saling bisa mengerti pesan-pesan yang disampaikan lewat simbol-simbol yang dipergunakan. Simbol yang paling lazim dipergunakan dalam komunikasi tak lain adalah bahasa. Hubungan antar dua orang atau lebih dikatakan komunikatif kalau masing-masing pihak telah bisa saling mengerti dan memahami pesan-pesan simbolik yang disampaikan. Jadi sifatnya masih terbatas pada saling mengerti dan memahami, tidak lebih dari itu. Dalam komunikasi, yang ditafsirkan adalah stimulus-stimulus simbolik dari pihak lain baik mengenai pembicaraannya, gerak-gerik, sikap, mau pun perasaan-perasaannya yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Jika kondisi saling mengerti dan memahami itu kemudian mengakibatkan terjadinya kondisi ke arah saling mereaksi dan kemudian saling mempengaruhi, maka itulah yang disebut interaksi sosial. Simbol berbeda dengan tanda. Ciri suatu tanda (sign) ialah pemaknaannya diiedentikkan dengan bentuk fisiknya (Ernest Becker, 1962). Menurut Leslie White, dengan menggunakan simbol, manusia dapat memberikan maupun menerima pesan, sebaliknya tanda (sign) binatang hanya bisa menerima. Makna suatu obyek ditentukan berdasarkan penggunaannya dan atau tergantung dari definisinya sebagai suatu obyek. Di dalam interaksi sosial aktor akan selalu terjadi proses pemaknaan terhadap simbol-simbol bahasa (tulis, lisan maupun bahasa gerak) yang dipergunakan. Proses pemaknaan dalam interaksi sosial tersebut meski selain tidak bisa lepas begitu saja dari konteks sosio-kultur masyarakatnya, juga sangat subyektif. Sebab individuindividu secara aktif mengaktualisasikan dirinya melalui pemaknaan simbolik terhadap stimulus simbolik7 yang dipergunakan dalam interaksi. Proses demikian ini di kalangan teoritisi mikro di pandanga sebagai suatu proses sosial dinamis dalam masyarakat yang pada gilirannya bisa menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Banyak teori-teori Sosiologi Mikro berbicara persoalan interaksi sosial dalam konteks ini, misalnya Charles Horton Cooley (Looking Glass-Self Theory), George Simmel (Dyad and Triad Theory), Peter Blau dan George Homans (Teori Pertukaran Perilaku Sosial), Erving
7
Ada dua ciri perilaku simbolis. Pertama, melalui perilaku simbolis seseorang sesungguhnya sedang berproses membebaskan diri dari pembatasan-peembatasan oleh ruang dan waktu. Hal ini dimungkinkan setelah orang berhasil melakukan konseptualisasi (simbol berupa kata dan bahasa) dari obyek benda yang ada. Kemampuan manusia membangun simbol-simbol inilah yang memungkinkan manusia bisa melakukan revolusi kebudayaan dan perdabannya. Seolah-olah semua isi dunia cukup terekam dalam pikiran dan atau kepala manusia. Kedua,melalui penggunaan simbol manusia tidak hanya dapat melangkah ke luar dari lingkungan fisik tertentu tempat manusia berada, tetapi, yang lebih penting lagi, manusia dapat melangkah ke luar dari diri manusia itu sendiri. Kita dapat memandang diri kita sendiri dari sudut orang lain.
11 Goffman (Dramaturgi), Herbert Blummer (Simbolic Interactions), Thomas (Social definitions Theory), Herbert Mead (Play, Games and Generalized Other), dst. Bersebab dari kenyataan seperti itulah mengapa ada sosiolog yang menyatakan bahwa kontak dan komunikasi sebagai prasyarat terjadinya interaksi sosial. Tidak akan ada interaksi sosial kecuali didahului oleh terjadinya kontak dan komunikasi. Dengan demikian, yang disebut interaksi (sosial) itu adalah proses dimana individu-individu yang tengah berkomunikasi saling mempengaruhi baik dalam pikiran maupun tindakan. Pelaku komunikasi di sini tidak harus antar individu, melainkan bisa antara individu dengan kelompok, antara kelompok satu dengan kelompok lain, antar komunitas mapun antar masyarakat. Dalam interaksi sosial selalu terjadi proses saling mempengaruhi. Kalau demikian, dalam interaksi sosial pun juga berlangsung proses saling menyesuaikan (adaptasi). Jika dalam proses adaptasi itu, salah satu pihak berusaha menghindari pengaruh yang datang dan sebaliknya, berusaha mengubah pengaruh yang datang itu agar sesuai dengan keinginan yang ia kehendaki, maka usaha penyesuaian yang demikian ini disebut usaha yang bersifat alloplastis. Tetapi, jika indivividu yang bersangkutan ikut lebur dengan pengaruh yang datang, maka sifat penyesuaian seperti ini disebut autoplastis. Proses sosial terjadi jika interaksi sosial telah berlangsung sedemikian rupa secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama sehingga interaksi sosial itu telah memola dalam bentuk perilaku tertentu. Jadi proses sosial itu tak lain adalah merupakan perilaku atau tindakan yang terpola dan karenanya juga terstruktur. Dalam setiap interaksi (proses sosial), menurut George Simmel, akan selalu membawa 2 (dua) konsekuensi interaksi sosial: (1) kerja sama (assosiatif) dan (2) persaingan/konflik (dissosiatif). Ada beberapa bentuk proses sosial assosiatif 1. Kooperasi, kerja sama antara beberapa kelompok sosial yang ada sebagai upaya mencapai tujuan bersama. Dalam kenyataannya, ada beberapa usaha yang dilakukan agar kerjasama ini bisa dilakukan; yakni: 1)
Tawar menawar (bargainning) kerjasama yang ada sebagai hasil kesepakatan tawar menawar antara kedua belah pihak
2)
Ko-optasi (Cooptation) melalui kesepatan penunjukkan pimpinan yang akan mengendalikan kerja sama
3)
Ko-alisi (Coalition) kerja sama antar kelompok untuk mencapai tujuan sama meskipun di antara mereka terjadi perbedaan-perbedaan struktural
4)
Patungan (Joint-Venture) usaha bersama untuk melakukan suatu kegiatan, demi keuntungan bersama yang kelak dibagi secara merata secara proporsional dengan cara saling mengisi kekurangan masing-masing partner.
2. Akomodasi Adalah suatu proses ke arah tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak yang tengah bersengketa. Kesepatan itu bisa bersifat darurat (sementara) yang gunanya mengurangi ketegangan di antara kedua belah pihak. Ada beberapa bentuk akomodasi 1) Pemaksaan (coercion)
12 2) 3) 4) 5) 6)
Kompromi (compromise) Penggunaan jasa perantara (mediation)Penggunaan jasa menengah (arbitrase) Peradilan (adjudication) Penenggangan (Toleration) Stalemate
3. Assimilasi Merupakan proses ke arah peleburan kebudayaan sehingga masing-masing pihak merasakan adanya kebudayaan tunggal sebagai milik bersama. Assimilasi akan terjadi apabila (1) ada perbedaan kebudayaan antara kedua belah pihak; (2) ada interaksi intensif antara kedua pihak; (3) ada proses saling menyesuaikan. Ada beberapa faktor yang dapat mempermudah terjadinya assimilasi: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Sikap dan kesediaan saling menenggang (toleransi) Sikap dalam menghadapi orang asing dan kebudayaannya Adanya kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang Keterbukaan golongan penguasa Adanya kesamaan dalam berbagai unsur budaya Perkawinan campuran Adanya musuh bersama dari luar
Selain beberapa faktor yang mempermudah terjadinya assimilasi; ada pula faktor-faktor yang menghambat terjadinya assimilasi; yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Ada isolasi kebudayaan dari salah satu kebudayaan kelompokMinimnya pengetahuan dari salah satu kelompok atas kebudayaan kelompok lain Ketakutan atas kekuatan kebudayaan kelompok lain Perasaan superioritas atas kebudayaan kelompok tertentu Adanya perbedaan ciri-ciri badaniah Adanya perasan "in-group" yang kuat Adanya deskriminasi Adanya perbedaan kepentingan antar kelompok
Sementara itu, proses sosial dissosiatif terdiri atas beberapa 2 (dua) bentuk; yaitu: 1. Kompetisi 2. Konflik (baik laten maupun manifes)
7. Posisi sosial (Status sosial) dan Peran sosial (social role) Hubungan sosial (social relation) dapat dilihat dari 4 elemen, yakni status (statuses), peran sosial (social role), kelompok (groupsdan institusi sosial (social institution). Status to refer to any of the full range of society defined positions within a large group or society – from the lowest to the highest position (Schaefer and Lamm, 1994:83-86). Status setidaknya dapat dibedakan ke dlam 3 (tiga): ascribed status (posisi seorang dalam struktur sosial karena keturunan), achievement statuts (posisi seseorang dalam struktur sosial karena kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya) dan assigned status (posisi seseorang dalam suatu masyarakat karena penunjukkan).
13 Peranan sosial (social role) is a set of expectations for people who occupay a given social position or status – peran (perilaku) seseorang yang diharapan oleh masyarakat sesuai dengan status dan atau posisinya dalam masyarakat, role of expection. Konflik Peran (role conflict) occurs when incompatible expectations arise from two or more social position that are held by the same person. Bagaimana seorang hakim harus mengadili kasus narkoba dengan terdakwa anak kandungnya sendiri; atau bagaimana seorang (yang berstatus) perempuan dan harus sebagai teknisi menara pemancar yang harus naik-turun pemancar, dst.
8. Stratifikasi sosial (social stratification): lihat gambar 1. Struktur sosial (social structure), hirarkhi sosial (social hirarchi); Stratifikasi Klas sosial (social class), Mobilitas sosial (social mobility) Pitirim Sorokin mengemukakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannnya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya disebutkan disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Namun, pengertian stratifikasi sosial (social stratification) pada hakekatnya berbeda dengan konsep ketidaksamaan sosial (social inequality) (Sanderson, 1993: 145-146). Bentuk konkrit lapisan-lapisan dalam masyarakat tersebut bermacam-macam. Namun pada prinsipnya bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu: 1) Kelas yang didasarkan pada faktor ekonomis, 2) Kelas yang didasarkan pada faktor politis, 3) Kelas yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.
Ketiga bentuk tersebut biasanya saling berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya, mereka yang termasuk lapisan tertentu atas dasar politis, biasanya menduduki lapisan tertentu pula dalam lapisan atas dasar ekonomis, dan biasanya mereka juga menduduki jabatan-jabatn tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu bersifat kumulatif –kendati tidak semua demikian— karena hal itu sangat bergantung pada sistem nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Ketidaksamaan sosial umumnya lebih berkaitan dengan adanya perbedaan derajad dalam pengaruh atau prestise sosial antar individu dalam suatu masyarakat tertentu. Ada dua ciri penting yang menandai ketidaksamaan sosial, yaitu: 1)
Ketidaksamaan sosial hanya mengenai perbedaan prestise atau pengaruh antar individu satu terhadap individu lainnya. Jadi, ketidaksamaan sosial bukan berkenaan dengan derajad kekuasaan atau kekayaan. Ketidaksamaan sosial ada dan dapat terjadi dalam masyarakat yang relatif homogen.
2)
Ketidaksamaan sosial mengimplikasikan ketidaksamaan antar individu, bukan antar kelompok yang berlainan.
Berbeda dengan ketidaksamaan sosial, stratifikasi sosial lebih berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggotaanggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa dan prestise yang tidak sama pula. Inti
14 dari startifikasi sosial adalah perbedaan akses golongan satu dengan golongan masyarakat lain dalam memanfaatkan sumber daya. Jadi, dalam stratifikasi sosial, tingkat kekuasaan, hak istimewa dan prestise individu tergantung pada keanggotaannya dalam kelompok sosial, bukan pada karakteristik personalnya. Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial. Secara rinci ketiga aspek itu adalah: 1)
Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan. Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya. Contoh: berbeda dengan pegawai negeri golongan IV yang kebanyakan mampu membeli mobil, akibat keterbatasan gaji yang diperolehnya seorang pegawai negeri golongan I dan II tentu hanya akan sanggup membeli sepeda atau sepeda motor saja.
2)
Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan asesoris-asesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan, seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolah raga tenis atau golf, memakai pakaian merek terkenal dan perlengkaan-perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. Seorang direktur perusahaan besar yang berpakaian kumal besar kemungkinan akan menjadi pergunjingan. Sebaliknya, seorang bawahan yang berperilaku seolah-olah direktur tentu juga akan menjadi bahan cemoohan.
3)
Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil. Seorang Kepala Bagian, misalnya, selain bergaji besar dan memiliki ruang kerja sendiri, mereka juga berhak untuk memerintah stafnya. Bandingkan dengan hak dan fasilitas apa saja yang dimiliki oleh bawahannya? Sejauh mana hak dan fasilitas antara keduanya berbeda?. Didalam berbagai perusahaan swasta, biasanya kita akan menemui adanya ketentuan tertulis yang mengatur apa saja yang menjadi hak atasan dan apa pula yang menjadi hak bawahan. Kendati samasama pekerja di sebuah perusahaan, bila seorang Kepala Bagian sakit dan harus opname di Rumah Sakit, maka ia akan berhak menginap di kamar yang baik –katakanlah kelas I. Sedangkan bila ada seorang staf yang sakit, mungkin perusahaan hanya akan mau mengganti maksimal biaya nginap di kamar kelas III atau sekurang-kurangnya tidak mungkin sama dengan yang menjadi hak Kepala Bagiannya.
Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah: Kedudukan (status) 2) Peran (role) 1)
Kedudukan dan peran di samping unsur pokok dalam sistem berlapis-lapis dalam masyarakat, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi sistem sosial masyarakat. Status menunjukkan tempat atau posisi seseorang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspek dinamis dari status, merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu. Untuk lebih jelasnya akan dibicarakan masingmasing unsur tersebut di atas.
15 Ada 2 proses sosiologis yang mempengaruhi perilaku kelompok secara mendalam dan menyeluruh, yaitu: 1) Integrasi
sosial, yakni kecenderungan untuk saling menarik, tergantung dan menyesuaikan diri
2) Differensiasi sosial, yakni kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan
seperti pembedaan menurut ciri-ciri biologis antar manusia (Svalastoga , 1989) atau atas dasar agama, jenis kelamin , dan profesi. Differensiasi sosial dan integrasi sosial -- yang muncul bersamaan denagn terbentuknta stratifikasi sosial -- tumbuh sebagai konsekuensi dari perubahan sosial dan akibat pembagian kerja yang semakin rinci. Dengan kata lain, pertumbuhan dalam pembagian kerja bukan saja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial secara vertikal, tetapi juga secara horisontal. Seperti dikemukakan Herbert Spencer, masyarakat berkembang makin lama makin terspesialisasi dan komplek atau heterogen. Emile Durkheim -- yang dikenal sebagai bapak metodologi sosialogi -- yakin bahwa heterogenitas dan kompleksitas pembagian kerja dalam masyarakat modern tidak akan menghancurkan solidaritas sosial; sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin lebih tergantung sama -sama lain dari pada hanya mencukupi kebutuhannya sendiri (Johnson, 1986). Apakah keyakinan Durkeim di atas selalu terbukti benar? Apakah seiring dengan tumbuhnya differensiasi sosial, maka integrasi dan solidaritas antar anggota masyarakat bisa tetap terjaga? Jika ya, faktor-faktor apakah yang menyebabkan untegrasi sosial bisa tetap terjaga kendati di dalammya ada sejumlah perbedaan -- yang bahkan terkadang ekstrem. Di sisi lain, faktor-faktor apa yang menyebabkan integrasi sosial itu rusak dan terjadi disorganisasi sosial? 1) Perbedaan Differensiasi dan Stratifikasi Sosial
Di masysrakat manapun, struktur soaial yang ada umumnya ditandai dua cirinya yang khas, yaitu:
Secara vertikal, struktur sosial masyarakat ditandai oleh adanya perbedanperbedaan antar kelas sosial dan popularisasi sosial yang cukup tajam.
Secara horisontal , masyarakat ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan soail berdasarkan perbeaan suku bangsa, perbedaan agama, profesi , ras adat serta perbedaan kedaerahan (Nasikun, 1984: 30).
Perbedaan masyarakat secara vertikal -- sebagaimana dikemukakan Nasikun-- disebut stratifikasi sosial, sedangkan perbedaan masyarakat secara horisontal disebut Differensiasi sosial. Stratifikasi sosial muncul karena ketimpangan distribusi dan kelangkaan barang berharga yang dibutuhkan masyarakat, seperti uang, kekuasaan, pendidikan, ketrampilan dan semacamnya. Sementara itu, defere siasi sosial muncul karena pembagian kerja, perbeaan agama , ras (pengelompokan individu atas dasar ciri fisik), etnis( pengelompokan individu atas daar ciri persamaan kebudayaan, seperti bahasa, adat, sejarah, sikap, dan wilayah), atau perbedaan jenis kelamin.
16 Di dalam stratifikasi sosial, hubungan antar kelas dalam banyak hal cenderung tidak seimvbang-- di mana ada pihak yang lain. Sementara itu, di dalam Differensiasi sosial yang dipersoalkan bukanlah apakah antara berbagai kelompok (bukan antara berbagai kelas) itu seimbang atau tidak, melainkan yang lebih ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat pluralistik dan di dalamnya terdapat sejumlah perbedaan. Secara normatif, di dalam differensiasi sosial, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang satu dengan yang lain relatif sama di mata hukum. Tetapi, bagaimanapun harus diakui bahwa di dalm kenyataaan yang terjadi Differensiasi sosial umumnya selalu bertumpang tundih denga stratifikasi soaial. Hubungan antara kelompok dalam differensiasi sosial entah itu atas daar perbedaan profesi, ras, etnis, agama, atau jenis kelamin -- selalu tidak pernah netral dari demensidemensi stratifikasi sosial. Hak dan kwajiban seorang buruh dan majikan, misalnya, di mata hukum secara normatif sama. Teapi , karena antara keduanya dari segi kekuasaan ekonomi jauh berbeda , maka pola hubungannya pun menjadi tidak seimbang. Seorang majikan , jelas posisinya akan lebih dominan dan berhak memerintah para buruhnya . Sebaliknya, para buruh akan selalu bersikap hormat kepada majikan yang membayarnya Memperoleh upah yang layak, misalnya secara hukum adalah hak kaum buruh. Namun , karena para buruh itu menyadari bahwa mencari pekerjaan itu sush dan tidak memiliki alternatif untuk bekerja di sektor lain, maka sering kita temui banyak kaum buruh relatif bersikap pasrah begitu saja -- kendati diberi upah di bawah KUM (Ketentuan Upah Minium) 2) Wujud Differensiasi Sosial
Masyarakat manusia pada dasrnya bisa dibedakan atau terDifferensiasi menurut berbagai kriteria, seperti ciri fisiologis dan ciri kebudayaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa wujud deferensi sosial yang menonjol, yakni atas dasar: ras, etnik, agama, dan jenis kelamin.
9. Status (obyektif dan subyektif) dan peran (role); role taking Role taking is the process of mentally assuming the perspective of another, thereby enabling one to respond from that imagined viewpoint (Mead, 1930). Kedudukan (status) seringkali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). ―Kedudukan‖ adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut, atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang leih besar lagi. Sedangkan ―kedudukan sosial‖ adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisnya, hakhak dan kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian kedudukan sosial tidaklah semata-mata merupakan kumpulan kedudukan-kedudukan seseorang dalam kelompok yang berbeda, tetapi kedudukan sosial tersebut mempengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda. Namun untuk mendapatkan pengertian yang mudah kedua istilah tersebut akan digunakan dalam pengertian yang sama yaitu kedudukan (status). Oleh karena kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok sosial, maka seseorang dapat pula mempunyai beberapa kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang biasanya ikut dalam beberapa pola kehidupan atau menjadi anggota dalam berbagai kelompok sosial. Misalnya, Pak Amir sebagai warga masyarakat, merupakan
17 kombinasi dari beberapa kedudukan misalnya sebagai guru, kepala sekolah, ketua RT, suami dari nyonya Rini, sebagai ayah dari anak-anaknya, dan sebagainya. Untuk mengukur status seseorang menurut Pitirim Sorokin secara rinci dapat dilihat dari: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Jabatan atau pekerjaan, Pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan, Kekayaan, Politis, Keturunan dan Agama.
Status pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni yang bersifat obyektif dan subyektif. Jabatan sebagai Direktur merupakan posisi status yang bersifat obyektif dengan hak dan kewajiban yang terlepas dari individu. Sementara itu, yang dimaksud status yang bersifat subyektif adalah status yang menunjukkan hasil dari penilaian orang lain, dimana sumber status yang berhubungan dengan penilaian orang lain tidak selamanya konsisiten untuk seseorang. Kedudukan, apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya, hanyalah merupa kan kumpulan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Namun karena hak-hak dan kewajibankewajiban itu hanya dapat terlaksana melalui perantara individu, maka sulit untuk memisahkannya secara tegas dan kaku. Dalam masyarakat seringkali kedudukan dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1)
Ascribed-status. Status ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan seseorang. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran.
2)
Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicpai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan diperoleh karena kelahiran.
Di samping kedua kedudukan tersebut di atas, seringkali dibedakan lagi satu macam kedudukan yaitu assigned-status, yaitu kedudukan yang diberikan. Assigned-status sangat erat hubungannya dengan achieved-status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat. Kedudukan seseorang dalam masyarakat sebenarnya dapat dilihat melalui kehidupan sehariharinya yang merupakan ciri-ciri tertentu. Dalam sosiologi hal ini disebut sebagai status symbol. Hal ini dapat terjadi karena ciri-ciri tersebut telah menjadi bagian dari hidup mereka, dan seringkali telah institutionalized atau bahkan internalized. Simbol status tersebut nampak dalam cara berpakaian, pergaulan, memilih tempat tinggal dan sebagainya. Peran (role) Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Artinya seseorang telah menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan sesuatu peran. Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lain saling tergantung, artinya tidak ada peran tanpa status dan dan tidak status tanpa peran. Peran yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat (social-
18 position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyakat. Sedangkan peran lebih banyak menunjuk pada fungsi artinya seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran. Suatu peran paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu : 1)
Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat,
2)
Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dan
3)
Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
10. Institusi sosial/pranata sosial (social institution) Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial atau dalam istilah mereka lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial adalah: 1)
Nilai dan norma;
2)
Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum; dan
3)
Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Menurut Koenjaraningrat (1979) yang dimaksudkan dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi atau suatu sistem tatakelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakekatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat emprik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnnyaselalu dapat dilihat dan diamatamati. Sedang pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semua mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional artinya, bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dimengerti melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir. Secara umum, tujuan utama pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku8.
8
Contoh: pranata keluarga, misalnya, mengatur bagaimana keluarga harus memelihara anak. Sementara itu, pranata pendidikan mengatur bagaimana sekolah harus mendidik anak-anak hingga menghasilkan lulusan yang handal. Tanpa adanya pranata sosial, ke hidupan manusia nyaris bisa dipastikan bakal porak-poranda karena jumlah prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia relatif terbatas, sementara jumlah warga masyarakat yang membutuhkan justru semakin lama semakin banyak.
19 Untuk mewujudkan tujuannya, menurut Soerjono Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut: 1)
Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian pranata sosial telah siap berbagai aturan atau kaidah-kaidah sosial yang dapat harus dipergunakan oleh setiap anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
2)
Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasikan masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sumber pemenuhan kebutuhan hidup yang dapat dikatakan tidak seimbang dengan jumlah manusia yang semakin bertambah baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga dimungkinkan pertentangan yang bersumber pada perebutan maupun ketidakadilan dalam usaha memenuhi kebituhannya akan ancaman kesatuan dari warga masyarakat. Oleh karena itu, norma-norma sosial yang terdapat di dalam pranata sosial akan berfugsi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari setiap warganya secara adil atau memadai, sehingga dapat terwujudnya kesatuan yang tertib.
3)
Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat tetap konform dengan norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat terwujud. Dengan demikian sanksi yang melekat pada setiap norma sosial itu merupakan pegangan dari warga untuk meluruskan maupun memaksa warga masyarakat agar tidak menyimpang dari norma sosial, karena pranata sosial akan tetap tegar di tengah kehidupan masyarakat.
Karakteristik Pranata Sosial, sebagaimana Gillin and Gillin dan (Soemardjan dan Soemardi, 1964: 67-70):adalah sebagai berikut: 1)
Pranata sosial terdiri dari seperangkat organisasi daripada pemikiran-pemikiran dan polapola perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan. Artinya, pranata sosial terdiri dari sekumpulan norma-norma sosial dan peranan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
2)
Pranata sosil itu mempunyai tingkat kekekalan tertentu. Artinya pranata sosial itu pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu yang tidak lekas lenyap dalam kehidupan bermasyarakat.
3)
Kekekalan pranata sosial juga dipengaruhi oleh usaha dari para warga masyarakat untuk semakin mengukuhkan atau melestarikan bahwa ada kecenderungan manusia untuk meningkatkan peranannya melalui usaha-usaha untuk memperoleh serta meninkatkan kedudukan seseorang akan meningkat pula peranan yang dimainkan dalam kehidupannya.
4)
Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan. Tujuan dasarnya adalah merupakan pedoman serta arah yang ingin dicapai.
5)
Di dalam pranata sosial, yang dimaksud dengan tujuan adalah sesuatu yang harus dicapai oleh golongan masyarakat tertentu dan golongan masyarakat yang bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya. Sebaliknya, yang dimaksud dengan fungsi pranata sosial adalah merupakan peranan pranata dalam sistem sosial dan kebudayaan masyarakat.
6)
Pranata sosial merupakan alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya. Alat-alat perlengkapan pranata sosial dimaksudkan agar pranata yang bersangkutan dapat melaksanakan fungsinya guna mencapai tujuan yang diinginkan.
20 7)
Pranata sosial pada umumnya dilakukan dalam bentuk lambang-lambang. Lambang disampig merupakan spesifikasi dari suatu pranata sosial, juga tidak jarang dimaksudkan untuk pencerminan secara simbolis yang menggambarkan tujuan dan fungsi pranata yang bersangkutan. Lambang dari suatu pranata dapat berupa gambar sesuatu, tulisan maupun slogan-slogan. Lambang pranata sosial secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua hal. Pertama, lambang atau simbol yang bersifat presentasional, yaitu lambang yang dapat menghadirkan pranata yang bersangkutan.
8)
Pranata sosial itu mempunyai dokumen baik yang tertulis maupun tidak. Dokumen ini dimaksudkan menjadi suatu landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsinya
11. Norma sosial (social norms), keteraturan sosial (social order), sosialisasi (socialization) dan kontrol sosial (social controle) Ada beberapa macam norma sosial. Meski di antara ragam norma sosial itu secara sistematis sulit dibedakan, namun untuk keperluan analisis, dirasa kan perlu diketahui perbedaanperbedaannya. Pembedaan yang dikemuka kan di bawah ini adalah salah satu cara klasifikasi norma sosial yang boleh dibilang kasar-kasaran saja, yakni (1) folkways9, (2) mores10, (3) hukum11. Barangkali benar bahwa pada masyarakat yang relatif masih sederhana, tradisional, agraris umumnya cukuplah diatur dengan kaidah-kaidah sosial non-formal seperti folkways dan mores; namun tidak demikian halnya dengan masyarakat yang sudah maju, modern dan kompleks. Masyarakat maju, modern dan kompleks antara lain ditandai oleh adanya tingkat spesialisasi dan differensiasi sosial yang sangat tinggi, berstruktur majemuk dan heterogen. Masyarakat seperti itu oleh para Sosiolog seperti Emile Durkheim disebutnya dengan istilah organic solidarity; Max Weber menyebut mayarakat modern, Rigs menyebut masyarakat
9
Dalam literatur sosiologi yang dimaksudkan folkways adalah norma-norma sosial yang lahir dan berkembang dari adanya pola-pola tingkahlaku yang terlazim dan karena itu selalu diikuti oleh orang kebanyakan. Folkways ada karena adanya kebiasaan dan kelaziman yakni sesuatu yang terjadi secara terulang-ulang dan ajeg tetapi karena dikerjakan berkali-kali kemudian dirasakan kekuatannya sebagai sesuatu yang bersifat standart yang karenanya --secara normatif-- wajib dilakukan. Contoh: kebiasaan praktek-praktek hidup sehari-hari seperti kebiasaan berpakaian, cara makan, cara berbahasa, dst. Karena folkways merupakan norma yang adanya didasarkan atas dasar kelaziman yang ada dalam masyarakat, maka --jika da pelanggaran dan atau pengingkaran-pengingkaran-- sanksinya pun juga didasarkan pada kelaziman pula. 10 Meski dengan folkways ada beberapa kesamaan-kesamaannya, terutama dalam hal bahwa keduanya tak jelas asal-usulnya, terjadinya tak terencana, dasar eksistensinya tak terbantahkan, sangsinya bersifat informal dan komunal dan eksistensinya banyak didukung oleh tradisi, namun secara esensial mores lebih esensial terutama dalam menegakkan tertib masyarakat. Berbeda dengan folkways --yang mendasarkan tolok ukur kepantsan tindakan berdasar kelaziman-- mores lebih didasarkan pada kebenaran moral. Bagaimana tingkahlaku secara moral benar. Tolok ukur baik-buruk, benar-salah, pantas-tak pantas selalu didasarkan pada ukuran moral; sehingga mores cenderung lebih dipertahankan dengan ancamanancaman sanksi yang lebih keras. Itulah sebabnya mengapa masyarakat cenderung lebih menaati mores selain karena sanksinya lebih berat, juga determinasinya terhadap kepentingan masyarakat lebih tinggi. 11 Masyarakat selalu dinamis dan karena itu terus berkembang dan kemudian berubah. Persoalannya apakah masyarakat yang kian berubah dengan cepat itu telah cukup diatur dengannormanorma sosial seperti folkways dan mores? Dengan kata lain, apakah masih diperlukan norma-norma jenis lain (baca: hukum) untuk mengatur tertib masyarakat yang kompleks tersebut?
21 prismatik, Ferdinand Toniis menyebut Gesselschaft, Robert Redfield menamakan nya Urban society, dst. Masyarakat yang biasanya sangat heterogen dengan tingkat spesialisasi pekerjaan yang kompleks sudah tentu memerlukan berbagai macam aturan. Boleh dikatakan bahwa semakin heterogen masyarakat semakin banyak memerlukan aturan-aturan. Aturan-aturan yang diperlukan pada masyarakat yang telah maju seperti itu sudah pasti kalau memerlukan aturan-aturan yang lebih rasional, tegas, jelas dan didukung oleh institusi-institusi formal pula. Misalnya, untuk menegak tertib sosial pada masyarakat selain diperlukan lembaga pengadilan, juga diperlukan lembaga lain seperti kepolisian, dan kejaksaan. Kehidupan sosial dipandang teratur dan tertib (social order) manakala semua perilaku warga masyarakat sesuai dengan kaidah sosial (folkways, mores, custom dan hukum) yang berlaku. Artinnya, role of performance warga masyarakat sesuai (conform) dengan status para warga dimana mereka berada sesuai ruang dan waktu. Agar tertib sosial dapat diwujudkan, perlu dilakukan sosialisasi (internalisasi atau enkulturalisasi) atas kaidah sosial terhadap semua warga masyarakat. Social control refers to the ‗techniques and strategies for eegulating human behavior in any society (R.E. Roberts, 1991: 271). Social control occurs on all levels of society. Kontrol dapat dilakukan pada tingkat kelompok atau masyarakat. Stanley Milgram (1975:113-115) membeda kan antara 2 level kontrol ini, conformity dan obidience Untuk mewujudkan tertib sosial, setidaknya diperlu 2 (dua) aktifitas, yakni sosialisasi dan kontrol sosial. 1). Sosialisasi (Socialization) Melalui sosialisasi norma-norma sosial diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi sehingga kelangsungan hidup bersama bisa dijamin. Pentingnya sosialisasi tidak saja tampak pada tataran masyarakat seperti, melainkan juga kepada individu-individu anggota masyarakatnya. Sebab, hampir tidak mungkin seseorang (individu) akan bisa hidup normal dalam masyarakat tanpa mendapat sosialisasi sebelumnya. Ini berarti sosialisasi dapat mendatangkan keuntungan (rewarding) sehingga mengapa individu-individu itu bersedia dan malah sering secara sukarela disosialisasi. Tanpa paksaan dan tanpa kekerasan para anggota masyarakat ini akan berupaya berperilaku konform dengan norma-norma sosial. Jika semua norma-norma sosial itu telah diketahui, dipahami, dihayati dan kemudian dajadikan rujukan bertindak oleh semua anggota masyarakat maka berarti norma sosial itu telah menunjukkan kekuatannya (sebagai pemaksa) atas kekuatannya sendiri (self-enforcing). Dengan demikian, maka yang berkepentingan dalam sosialisasi itu tidak saja "masyarakat" melainkan juga "individu-individu" anggota masyarakat. Jika masyarakat gagal melakukan sosialisasi kepada individu-individu, maka ia akan menjadi "destroyer" bagi tercipìtanya tertib sosial; sebaliknya, jika individu-individu gagal menerima sosialisasi, maka ia akan menjadi individu yang "tak normal" dalam kehidupan sosial. Dalam proses sosialisasi sesungguhnya selalu melibatkan aktifitas dua belah pihak; yakni orang yang mensosialisasi dan orang yang disosialisasi. Pihak yang melakukan sosialisasi bisa terdiri atas orang-orang (yang mewakili masyarakat) yang berwibawa dan berkuasa (atau diberi kewibawaan dan diberi kekuasaan) atas individu-individu yang disosialisasi -seperti guru, orang tua, ápemimpin, atasan, dst. Tujuan sosialisasi yang dilakukan oleh orang berwibawa dan berkuasa ini umumnya dilakukan secara sadar, terencana dan mempunyai tujuan agar orang yang disosialisasi kelak bisa dikendalikan secara disiplin di dalam
22 pergaulan sosial. Isi sosialisasinya terdiri atas keharusan-keharusan melakukan tindakan dan kewajiban mematuhi larangan terhadap norma sosial. Itulah sebabnya mengapa sosialisasi seperti ini disebut dengan sosialisasi otoriter. Kedua, orang yang mensosialisasi itu adalah teman sebaya (sederajat) orang yang disosialisasi. Berbeda dengan sosialisasi otoriter, sosialisasi kedua ini disebut sosialisasi ekualiter oleh karena tujuannya untuk mengembangkan kooperasi atas dasar azas kesamaan. Apapun sifat sosialisasinya, apakah sosialisasi otoriter atau ekualiter, proses sosialisasi selalulah dinilai sangat penting áterutama sebagai upaya "mematangkan" seseorang yang dianggap "masih mentah". Dalam proses sosialisasi terhadap anak-anak kecil yang umumnya belum menguasai bahasa biasanya dilangsungkan dan berlangsung secara tidak sengaja (misalnya lewat proses imitasi dan identifikasi); sedang untuk anak-anak yang mulai mengenali dan menguasai simbolsimbol arbitrair proses sosialisasi biasanya dilangsungkan dengan cara sengaja dan terencana. Seperti dikemukakan di muka bahwa sosialisasi itu merupakan aktifitas dua pihak; yakni aktifitas pensosialisasi dan aktifitas penerima sosialisasi (internalisasi). Artinya, pihak penerima sosialisasipun sebetulnya juga secara aktif melakukan aktifitas penerimaan pesanpesan; bukan pasip. Bagaimanapun juga, pihak penerima sosialisasi secara psikologik beraktifitas untuk misalnya menerima pesan dan kemudian secara aktif menginter-pretasi makna dari pesan-pesan yang disampaikan kepadanya (sosialisasi formal) atau apa-apa yang tengah ia amati (sosialisasi non-formal) dan kemudian ia pun secara aktif meresapkan, mengorganisir hasil interpretasi nya itu ke dalam ingatan, perasaan dan batinnya. Melalui proses sosialisasi yang berlangsung sedemikian rupa itulah kemudian menghasilkan kepribadian (personality). Personality, menurut Yinger (1965) : is the totally of behaviour of an individual with a given tendency system interacting with a sequence of situations” (garis bawah, penulis). Maksud a given tendency system adalah kecenderungan perilaku yang sudah terpola dalam kesehariannya. Sedangkan yang dimaksud dengan with a sequence of situations adalah perilaku merupakan produk gabungan/bersama dari kecenderungan perilaku seseorang (internal) dan situasi eksternal. Sementara itu, Prof. Soetandyo Wignyosoebroto (1983) mengartikan kepribadian sebagai kecenderungan psikologik seseorang untuk melakukan tingkahlaku sosial tertentu, baik tingkahlaku yang bersifat tertutup (berperasaan, berkehendak, berpikir dan bersikap) maupun tingkahlaku yang terbuka: perbuatan. Jadi personality itu sesungguhnya merupakan integrasi dari keseluruhan kecenderungan tersebut. Karena sifatnya kecenderungan psikologik, maka personality itu lebih berada dalam alam psikhe (jiwa) seseorang. Gejala psikologik muncul dan berkembang seiring dengan proses sosialisasi dan internalisasi sebagaimana dipaparkan di muka. Terbentuknya kepribadian seseorang terjadi melalui proses berikut: individu menginternalisasi norma-norma dan pola-pola tingkahlaku ke dalam mentalnya, dan kemudian mengorganisasinya ke dalam mentalnya itu, maka terbentuklah kepribadian. Kepribadian seseorang yang baik (berarti ada organisasi personality) kalau ia berhasil mengorganisasikan pesan-pesan yang diterima; sebaliknya, akan terjadi disorganisasi personality kalau ia tak berhasil mengorganisasikan pesan-pesan yang masuk di alam psikhenya. 2). Kontrol Sosial (Social Controle)
23 Meski upaya transformasi nilai dan kaidah sosial (baik formal maupun non formal) sudah dilakukan dengan baik, namun mengapa masih acap terjadi tindak atau perilaku menyimpang (deviant behaviour). Artinya, untuk mewujudkan dan atau menegakkan suasana tertib sosial tidak cukup hanya dengan sosialisasi, melainkan masih dipelukan upaya kedua, yakni kontrol sosial (social controle). Kontrol sosial adalah semua proses yang ditempuh, dan semua sarana yang dipergunakan oleh masyarakat untuk membatasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dan pelanggaran kaidah sosial. Cara kerja kontrol sosial antara lain melalui cara mengancamkan sanksi kepada individu-individu yang hendak melanggar kaidah sosial; sedang apabila pelanggaran telah terjadi, maka kontrol sosial akan dijalankan dengan menjatuhkan atau membebankan sanksi. Sarana pertama dan utama kontrol sosial tak lain adalah melalui kekuatan sanksi. Dalam bahasan ini sanksi diartikan sebagai sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seseorang yang terbukti melanggar, membangkan atau menyimpang dari norma-norma sosial agar kelak tidak (berarni) lagi melakukan pelanggaran atau penyimpangan terhadap norma sosial yang ada (Wignyosoebroto, 1983). Secara umum ada 3 (tiga) sanksi, sanksi ekonomi, sanksi fisik dan sanksi psikhis. Ketiga sanksi ini biasanya dijatuhjan secara bersamaan. Namun sebetulnya ketiga jenis sanksi ini sesungguhnya juga merupakan bentuk kontrol sosial, untuk kepentingan konformitas dengan menggunakan insentif-insentif positif. Menurut Prof Soetandyo Wignyosoebroto (1993) paling tidak ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakkan kontrol sosial: 1) Menarik-tidaknya kelompok (masyarakat) bagi warga-warganya 2) Otonom-tidaknya kelompok (masyarakat) 3) Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di masyarakat 4) Besar-kecilnya, dan anomi-tidaknya kelompok (masyarakat) 5) Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran, dan ini biasanya dipengaruhi oleh 4 (empat) hal berikut: (1) (2) (3) (4)
Ekstrim-tidaknya pelanggaran Situasi/keadaan sosial ketika pelanggaran terjadi Status dan reputasi (siapa) pelanggarnya Azasi-tidaknya nilai yang dilanggar
12. Konformitas dan perilaku penyimpangan (conformity and deviant behavior) Konformitas merujuk pada perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (role op expectation). Sedangkan perilaku menyimpang terjadi manakala perilaku itu tidak sesuai (membangkang, abai, menentang) terhadap norma-norma sosial yang ada (role of distance). Paling terdapat 5 (lima) teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya perilaku menyimpang. 1)
Teori Differential Association Teori ini dikembangkan oleh E. Sutherland yang didasarkan pada proses belajar. Menurut Sutherland penyalahgunaan napza merupakan perilaku yang dapat dipelajari.
24 Asumsi yang melandasinya adalah ―a criminal act occurs when situation apropriate for it, as defined by the person, is present‖ (Rose Gialombardo; 1972). Selanjutnya menurut Sutherland penyalahgunaan napza dapat ditinjau melalui 9 (sembilan) proposisi guna mencari akar permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku. Proposisi tersebut antara lain: Pertama, penyalahgunaan napza merupakan perilaku yang dipelajari secara negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik). Kedua, perilaku penyalahgunaan napza dipelajari melalui proses interaksi dengan orang lain, dan proses komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan melalui bahasa isyarat. Ketiga, proses mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Keempat, apabila perilaku penyalahgunaan napza dapat dipelajari, maka yang dipelajari meliputi: teknik melakukannya, motif atau dorongan serta alasan pembenar termasuk sikap. Kelima, arah dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum. Keenam, seseorang menjadi delinkuen seperti penyalahgunaan napza karena ekses dari pola pikir yang lebih memandang aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitasnya. Delapan, proses mempelajari perilaku penyalahgunaan napza menyangkut seluruh mekanisme yang lazim terjadai dalam proses belajar. Terdapat stimulus-stimulus seperti: keluarga yang kacau, depresi, dianggap berani oleh teman dan sebagainya merupakan sejumlah eleman yang memperkuat respon. Sembilan, perilaku penyalahgunaan napza merupakan pernyataan akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai yang umum. 2)
Teori Anomie Teori ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton dan berorientasi pada kelas. Konsep anomie sendiri diperkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis yaitu Emile Durkheim (1893), yang mendefnisikan sebagai keadaan tanpa norma (deregulation) di dalam masyarakat. Keadaan deregulatian atau normlessness tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Oleh Merton konsep ini selanjutnya diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan antara kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok. Dalam teorinya Merton mencoba menjelaskan perilaku deviasi dengan membagi norma sosial menjadi 2 (dua) jenis yaitu tujuan sosial (sociate goals) dan sarana yang tersedia (means). Dalam perkembangannya konsep anomie mengalami perubahan yakni adanya pembagian antara tujuan dan sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Adanya perbedaan kelas sosial menimbulkan adanya perbedaan tujuan dan sarana yang dipilih. Dengan kata lain struktur sosial yang berbeda-beda —dalam bentuk kelas— menyebabkan adanya perbedaan kesempatan untuk mencapai tujuan. Kelompok masyarakat kelas bawah (lower class), misalnya memiliki kesempatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat kelas atas. Keadaan tersebut yakni tidak meratanya kesempatan dan sarana serta perbedaan struktur kesempatan selanjutnya menimbulkan frustrasi di kalangan anggota masyarakat. Dengan demikian ketidakpuasan, frustrasi, konflik, depresi, dan penyimpangan perilaku muncul sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya kesempatan untuk mencapai tujuan. Situasi ini
25 menyebabkan suatu keadaan di mana anggota masyuarakat tidak lagi memiliki ikatan yang kuat terhadap tujuan dan sarana yang telah melembaga kuat dalam masyarakat. Dalam konteks ini selanjutnya Robert K. Merton mengemukakan lima bentuk kemungkinan adaptasi yang dilakukan setiap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan (goals) dan tata cara yang telah membudaya (means). Adjustment/ Adaptation Forms Conformity Innovation Ritualism Retreatism Rebellion
Cultural Goals + + +/ -
Institutionalized Means + + +/-
Keterangan : (+) Acceptance (-) Elimination (+/-) Rejection and subtitution of new goals and means
Pertama, konformitas (conformity), yaitu suatu keadaan di mana anggota masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat sebab adanya tekanan moral yang melingkupinya. Kedua, inovasi (inovation) terjadi manakala tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan dipertahankan tetapi dilakukan perubahan sarabna yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Ketiga, ritualisme (ritualism) adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun masih tetap memilih sarana atau tata cara yang telah ditentukan. Keempat, penarikan diri (retreatisme) merupakan keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah tersedia dalam masyarakat. Retreatism ini mencerminkan mereka-mereka yang terlempar dari kehidupan masyarakat, termasuk di antaranya adalah pengguna alkohol (alkoholik) dan penyalahguna atau pemakai napza. Kelima, pemberontak (rebellion), yakni suatu keadaan di mana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak serta berupaya untuik mengganti dan mengubah seluruhnya. Berkaitan dengan perilaku penyalahgunaan napza selanjutnya dapat dikemuka kan bahwa teori ini lebih memfokuskan pada kesalahan atau ―penyakit‖ dalam struktur sosial sebagai penyebab terjadinya kasus penyalahgunaan napza. Teori ini juga menjelaskan adanya tekanan-tekanan yang terjadi dalam masyarakat sehingga menyebabkan munculnya perilaku menyimpang (deviance). 3)
Teori Sub Kultur Delinkuen Teori Kenakalan Remaja oleh Albert K. Cohen Fokus perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku delinkuen banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah yang kemudian membentuk ―gang‖. Perilaku delinkuen merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang cenderung mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi yang ada dipandang sebagai kendala dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan sesuai dengan keinginan mereka, sehingga menyebabkan kelompok usia muda kelas bawah ini mengalami ―status frustration‖.
26 Menurut Cohen para remaja umumnya mencari status. Tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya karena adanya perbedaan dalam struktur sosial. Remaja dari kelas bawah cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan simbolis. Selama mereka berlomba dengan remaja kelas menengah kemudian banyak yang mengalami kekecewaan. Akibat dari situasi ini anak-anak tersebut banyak yang membentuk ―gang‖ dan melakukan perilaku menyimpang yang bersifat ―non multilitarian, nonmalicious and nonnegativistics‖. Cohen melihat bahwa perilaku delinkuen merupakan bentukan dari subkulktur terpisah dari sistem tata nilai yang berlaku pada masyarakat luas. Sub kultur merupakan sesuatu yang diambil dari norma budaya yang lebih besar tetapi kemudian dibelokkan secara berbalik dan berlawanan arah. Perilaku delinkuen selanjutnya dianggap benar oleh sistem tata nilai sub budaya mereka, sementara perilaku tersebut dianggap keliru oleh norma budaya yang lebih besar dan berlaku di masyarakat. Cohen bersama James Short membuat klasifikasi sug kultur delinkuen. (a) A parental male sub culture – the negativistic sub culture original identified to delinquent boys, (b) the conflict oriented sub culture – the cukture of a large gang that enganged in collectives violence, (c) the drug addict sub culture-groups of youth whose live revolve around the sale, use of narcotics, (d) semi profesional thieft – youths who engage in the thieft or robbery of merchandise for the purpose of later sale and monetary gain, (e) middle clas sub culture delinquent grous that rise, beacause ofe the pressures of living in the middle class environment. Teori Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin Cloward dan Ohlin mengatakan bahwa terdapat lebih dari satu cara bagi masyarakat, khususnya remaja untuk mencapai aspirasinya. Pada masyarakat urban (terutama dari kelas bawah) terdapat berbagai kesempatan yang sah, yang dapat menimbulkan berbagai penyimpangan. Dengan demikian kedudukan dalam masyarakat menentukan kemampuan untuk berpartisipasi dalam mencapai sukses, baik melalui kesempatan konvensional maupun kesempatan kriminal. Dikatakannya lebih lanjut bahwa terdapat tiga jenis sub kultur tipe gang kenakalan remaja. Pertama, criminal subculture, bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan organisasi kriminal. Kriminal subkultur lebih menekankan pada aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi dan berusaha menghindari kekerasan. Kedua, a retreatist subculture. Sub kultur jenis ini lebih banyak melakukan kegiatan mabuk-mabukan dan aktivitas gang lebih mengutamakan perncarian uang untuk tujuan mabuk-mabukan termasuk juga melakukan konsumsi terhadap napza. Ketiga, conflict sub culture. Dalam mansyarakat yang tidak terintegrasi akan menyebabkan lemahnya organisasi. Gang tipe ini akan memperlihatkan perilaku yang bebas. Kekerasan, perampasan,hak milik dan perilaku lain menjaai tanda gang tersebut. Para remaja akan melakukan kenakalan jika menghadapi keadaan tegang, menghadapi tekanan-tekakan serta keadaan yang tidak normal. Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza dan Sykes Menurut teori ini orang yang melakukan perilaku menyimpang —termasuk melakukan pengalahgunaan napza— disebabkan adanya kecenderungan untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri.
27 Penyimpangan perilaku dilakukan dengan cara mengikuti arus pelaku lainnya melalui sebuah proses pembenanan (netralisasi). Berbagai bentuk netralisasi yang muncul pada orang yang melakukan perilaku menyimpang. Pertama, the denial of responsibility, mereka menganggap dirinya sebagai korban dari tekanan-tekanan sosial, misalnya kurangnya kasih sayang, pergaulan dan lingkungan yang kurang baik dan sebagainya. Kedua, the denial of injury, mereka berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar di masyarakat. Ketiga, the denial of victims, mereka biasanya menyebut dirinya sebagai pahlawan atau the evenger, dan menganggap dirinya sebagai orang yang baik dan berjasa. Keempat, condemnation of the condemnesr, mereka beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang yang munafik, hipokrit atau pelaku kejahatan terselubung. Kelima, appeal to higher loyalitiy, mereka beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukum dengan kepentingan kelompok kecil atau minoritas darimana mereka berasal atau tergabung —misalnya kelompok gang atau saudara kandung.
Teori Kontrol
4)
Teori ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama, yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik-tidaknya perilaku individu sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku baik dan tidak baiok dicptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan, 1987). Selanjutnya penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku menyimpang termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya. Seseorang yang terlepas ikatan sosial dengan masyarakatnya akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam masyarakat lembaga kontrol sosial tidak berfungsi secara maksimal niscaya akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan sosial anggota masyarakat dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota masyarakat akan leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang. Menurut Hirschi (1988) terdapat empat unsur dalam ikatan sosial antara lain: Pertama, attachmen12t, mengacu pada kemampuan seseorang untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Jika attachment sudah terbentuk maka seseorang akan peka terhadap pikiran, perasaandan kehendak orang lain. Kedua, commitment, mengacu pada keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti lembaga, sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Perhitungan untung-rugi 12
Terdapat 2 jenis attachment yaitu total dan partial. Attachment total jika seseorang berhasil melepas rasa ego dalam dirinya sehingga yang muncul adalah rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan ini kemudian mendorong seseorang untuk mentaati aturan sebab jika melanggar berarti menyakiti orang lain. Sedangkan attachment partial merupakan hubungan seseorang dengan orang lain, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan orang lain tetapi karena hadirnya orang lain yang mengawasi. Dengan demikian attachment total akan mencegah hasrat seseorang untuk melakuklan deviasi perilaku. Sedangkan attachment partial akan menimbulkan kepatuhan ketika ada orang lain yang mengawasi.
28 keterlibatan seseorang dalam perilaku menyimpang sangat diperhatikan. Artinya ketika lembaga atau pekerjaan memberikan manfaat dan keuntungan bagi seseorang maka kecil kemungkinan untukmelaku kan perilaku menyimpang. Ketiga, involvement, mengacu pada suatu pemikiran bahwa apabila seseorang disibukkan atau berperan aktif dalam berbagai kegiatan konvensional atau pekerjaan maka ia tidak akan sempat berpikir apalagi terlibat dalam perilaku menyimpang. Keempat, beliefs, mengacu pada kepercayaan atau keyakinan seseorang pada nilai atau kaidah kemasyarakatan yang berlaku. Kepercayaan terhadap norma atau aturan yang ada akan sangat mempengaruhi seseorang bertindak mematuhi atau melawan peraturan yang ada. Menurut Hirschi keempat unsur ikatan sosial tersebut harus terbentuk dalam masyarakat. Jika unsur-unsur tersebut tidak terbentuk maka penyimpangan perilaku termasuk penyalahgunaan berbagai jenis narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya berpeluang besar untuk dilakukan oleh warga masyarakat luas —khususnya anggota masyarakat pada usia remaja atau dewasa awal
13. Perubahan sosial (social change) Masyarakat selalu dinamis, berkembang dan berubah. Dinamika masyarakat ini terjadi bisa karena faktor internal yang inheren melekat dalam ‖diri‖ masyarakat itu sendiri, dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal. Ada banyak perespektif teori yang menjelaskan tentang perubahan sosial; misalnya perspektif teori sosio-historis, struktural-fungsional, struktural konflik dan psikologi-sosial. Perubahan Sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai proses dimana dalam suatu sistem sosial terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat diukur yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Sistem sosial merupakan sejumlah kegiatan (sejumlah orang) yang hubungan timbal-baliknya kurang lebih bersifat konstan. Hubungan sosial yang konstan ini memperlihatkan adanya keajegan-keajegan sehingga kemudian menampakkan sebagai suatu struktur. Terlihatnya hubungan antar orang atau kegiatan yang tertata kemudian juga berarti menunjukkan adanya struktur sosial dimana di dalamnya dapat diidentifikasi distribusi status-status dan peranan-peranan yang hirarakhis dengan segala konsekuensinya. Pola Perubahan Sosial: (1) Linier, (2) Siklus dan (3) Gabungan beberapa pola. Dimensi Perubahan Sosial: (1) Struktural, (2) Kultural dan (3) interaksional. Dimensi struktural menampakkan diri pada perubahan-perubahan dalam status dan peranan. Perubahan status dapat diidentifikasi dari ada-tidaknya perubahan pada peran, kekuasaan, otoritas, fungsi, integrasi, hubungan antar status, arah komunikasi, dan setrusnya. Sementara itu, perubahan dalam dimensi kultural, bisa diperhatikan ada-tidaknya perubahan dalam budaya material (teknologi) dan non-material (ide, nilai, peraturan/norma/ kaidah sosial yang menjadi collective consciousness di antara warga. Teori sosio-historis menempatkan variabel latar belakang sejarah dengan menekankan proses evolusi sebagai faktor penting terjadinya perubahan sosial. Perspektif ini melihat perubahan dalam dua dimensi yang saling berbeda asumsi: 1) Perubahan sebagai suatu siklus, dan 2) Perubahan sebagai suatu perkembangan (linier). Sebagai siklus karena sulit diketahui ujung-pangkal penyebab awal terjadinya perubahan sosial. Perubahan yang terjadi lebih merupakan peristiwa prosesual dengan memandang sejarah sebagai serentetan lingkaran yang tak berujung. Ibnu Khaldun, salah satu teoritisi sosio-historis mengemukakan bahwa perubahan sebagai suatu siklus, yang analisisnya menfokuskan pada bentuk dan tingkat pengorganisasian kelompok dengan latar belakang
29 sosial-budaya yang berbeda. Model perubahan sosial sebagai siklus umumnya banyak dianut masyarakat di kawasan timur –terutama Cina, termasuk Indonesia- daripada Barat. Selain si ‖genius Arab‖ Ibnu Khaldun, tokoh-tokoh lain perspektif sosio-historis siklus lainnya adalah Arnold Toynbee dan Pitirim A. Sorokin. Seperti halnya Ibnu Khaldun, Toynbee memperhatikan aspek sosio-psikologis dalam perubahan sosial dan peradaban. Selain itu, teori Toynbee tentang perubahan sosial juga menekankan pentingnya peranan konflik dalam setiap perubahan sosial dan peranan elit dan hubungan antara elit dan rakyat. (Toynbee, 1961; Lauer, 1989:49-53; Ikeda dan Toynbee, 1976)13. Perspektif kedua yang melihat perubahan sebagai suatu perkembangan (dari pada siklus) antara lain dapat disimak dalam karya August Comte (1798-1857)14, Herbert Spencer (18201903) dan Emile Durkheim (1855-1917)15. Tesis utama perspektif sosiohistorisperkembangan atau terlazim juga disebut dengan teori evolusi ssosial ini adalah bahwa pada dasarnya setiap masyarakat –walau secara lambat namun pasti—akan selalu bergrak, berkembang dan akhirnya berubah bari struktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks maju daan modern. Berlawanan dengan perspektif konflik, teori fungsionalisme struktural melihat perubahan sosial sebagai dinamika adaptif –menuju keseimbangan baru—akibat perubahan lingkungan eksternal. Upaya menjelaskan lebih lanjut teori perubahan sosial Parson telah dilakukan oleh Nail Smelser. Penjelasaan paling penting yang dimaksud Smelser adalah perlunya menentukan vaariabel tergantung (dependency variables) dalam menganalisis setiap perubahan sosial16 (Smeller, 1968: 200-201). Berbeda daaari itu semua adaaalah teori Psikologi Sosial yang memandang perubahan sosial sebagai akibat dari peraan aktor individual untuk berkreasi daan berkembang17.
13
Dalam buku Perjuangan Hidup: Sebuah Dialog, yang sudah dibahasa-Indonesiakan (1976) Arnold Toynbee dan Doisaku Ikeda –yang juga anak angkatnya- dapat dibaca percakapan menarik tentang sejarah perkembangan peradaban di dunia Barat dan Timur hingga abad modern sekarang ini. 14 Comte terkenal dengan pemikirannya tentang evolusi perkembangan masyarakat melalui 3 tingkatan berpikir: tingkat teologis (khayalan), metafisika (abstrak), dan tingkat ilmiah (positif). Ia menyebut tingkat perkembangan masyarakat seiring dengan tingkat perkembangan berpikir diatas. (Lihat dalam Raymond Aron, 1968: 73 – 143). Spencer, tokoh yang menciptakan konsep ‖the survival of the fittest‖ sangat yakin bahwa semua makhluk, apalagi manusia, pasti berevolusi mulai dari tingkat komogenitas yang kacau, tak beraturan, membingungkan saampai pada tingkat yang berheterogenitas tinggi dan diterima nalar sehat. Secara singkat dan eksplisit Spencer menyatakan bahwa masyarakat akan berevolusi; evolusi lebih merupakan proses differensiasi daan (menuju) integrasi. Proses dari differensiasi keintegrasi tak lain adalah perubahan sosial. 15 Jika memperhatikan tipologi ssosial Comite, Spencer dan Durkheim maka sebetulnya masih ada banyak teoritisi lain yang barangkali bisa dimasukkan kedalam jajaran –paling tidak bisa dipergunakan sebagai teori tambahan—penganut kaum evolosiner ini. Misaalnya, Max Weber (traditional societyrasional society), Robert Redfield (folk—society—urban society), Ferdinand Tonniess (GemainshaftGesselssschaft), dst. 16 Untuk keperluan menentukan variabel tergantung, berarti sekaligus diupayakan mengidentifikasi variabel bebasnya 9independen variable). Dalam hal ini Smelser mengemukakan 4 (empat) variabel penyebab perubahan sosial; yaitu: (1) keadaan struktural yang kondusif untuk terjadinya perubahan, (2) dorongan untuk berubah, (3) mobilisasi untuk berubah dan (4) pelaksanaan kontrol ssosial. 17 Tentang teori Psikologi Sosial, lihat misaalnya Everet Hegen yang melihat pentingnya ―individu yang berkepribadian kreatif‖ dalam masyarakat. Lihat juga konsep David MacCleeland tentang pentingnya ―individu yang mempunyai harta kuat berprestasi‖ dibidang ekonomi. Kedua tokoh tepri Psikologi Sosial ini yakin bahwa spirit yang bermuara dari dorong individu kreatif dan berprstasi itulah penyebab utama perubahan sosial. Bandingkan juga kedua konsep itu dengan konsep ‖manusia modern‖ Augussst Comte. Lauer, 1989; 128-188.
30 Teori konflik menjelaskan fenomena perubahan sosial karena adnya proses sosial dissosiatif dlam masyarakat. Berbeda dengan pendekatan fungsionalisme-strukturaaal, teori konflik secara eksplisit banyak berbicara tentang perubahan masyarakat. Tokoh sentral pendekatan konflik tak lain aadaaalah Karl Marx. Marxian mendasarkan diri pada asumsi berpikir dialektika dan materialisme. Dialektika mengisyaratkan adanya kontradiksi sebagai substansi segala sesuatu (baik alam maupun manusia) dan sekaligus merupakan fakta sentral segala sesuatu. Karena itu, untuk menemukan perubahan mestilah berdasar pada dialektika yang ada18. Dengan demikian maka perubahan masyarakat itu inheren derngan adanya kehidupan itu sendiri. Konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi, meminjam istilahnya Strauss (lihat Cuffan Payne, 1979:107-110) sebagai ‖negoteated order‖, artinya proses tawar menawar antar beberapa kekuatan menuju bentuk tertib sosial baru. Setiap masyarakat, kata Strauss akan selalu mengalami proses seperti itu.
Penutup Apa yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian dari konsep sosiologi yang selain banyak, juga kompleks. Meski masih sebagian, jika konsep-konsep dasar ini dipahami dengan baik maka akan sangat membantu memahami konsep-konsep sosiologi lain dengan lebih baik. Untuk mengerti dan memahami konsep sosiologi selain memerlukan kemampuan kognisi dan imajinasi yang baik, juga menuntut kemampuan berpikir komprehensif; sebab, konsep-konsep sosiologi itu saling berkaitan antara satu dengan konsep yang lain. Kita tidak akan bisa mengerti dan memahami suatu konsep manakala konsep yang lain belum mengerti dan paham. Apalagi untuk keperluan analisis, baik analisis teoritik maupun analisis praktis terhadap fenomena sosial yang ada di masyarakat. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.
18
Proses dialektika dalam proses sosial, menurut Marxian, adalah manifestasi dari mekanisme perubahan itu sendiri. Meminjam konsep Simmel, proses sosial ‖dissosiatif‖ yang secara Marxian menimbulkan kontradiksi-kontradiksi berbagai kekuatan itulah yang menjadi penggerak perubahan masyarakat (Lauer, 1989:89-99). Karena proses sosial itu penuh dengan kontradiksi-dialektis yang notabene mengandung banyak konflik, dan menurut Marxian konflik itu inheren dalam kehidupan itu sendiri, maka perubahan sosial pun secara tak terelakkan akan selalu terjadi dalam setiap masyarakat manapun.
31 Kepustakaan
Abrahamson, Mark, 1978; Functionalism. (New Jersey:Prentice-Hall, Inc) Cuff and Payne, 1981. Perspective in Sociology. (London: George Allen & Unwin). Clinard, Marshal B. & Robert F. Meier, Sociology of Deviant Behavior (Seventh Edition), Holt, Rinehart & Winston, Inc. USA, 1989 Cohen, Bruce J,. Sosiologi: Suatu pengantar. (Jakarta: Bina Aksara), 1983 David Jary & Julia Jary., 1991, Collins Dictionary of Sociology. (London: Harper Collin Publisher) Durkheim, Emile, 1956; Education and Society. (New York: McMillan) ----------------------, 1968; The Devision of Labour in Society. (New York: The Free Press) Cohen, Bruce J,.1983, Sosiologi: Suatu pengantar. (Jakarta: Bina Aksara) Coser, Lewis and Bernard Rossenberg, 1983, Sociological 5th Edition Theory: A Book of Reading. (New York: Macmillion Publishing., Inc) Giddens, Anthony, Sociology. Cambridge: Polity Press, 1991. Horton, Paul B dan Chester L. Hunt, 1976. Sociology. (London: McGraw-Hill) Lawang, Robert M.Z., 1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Karunia) Mashud, Mustain, 2003. ―Interaksi Sosial‖, Makalah Penataran Guru-Guru SMU Sosiologi di PPG Malang, -----------------------, 2002, ―Differensiasi Sosial‖, Makalah Penataran Guru-Guru Sosiologi, di PPG Malang ----------------------, 2001. ‖Keteraturan Sosial (Social Order), Makalah Penataran Guru-Guru SMU Sosiologi di PPG Malang, Narwoko dan Bagong (ed), 2004. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Fajar Interpratama Offset Nasikun, 1984. Sistem Sosial Indonsia. (Jakarta: Rajawali Pres), Parson, Talcott, 1999; (terj.) Fungsionalisme Imperatif. (Jakarta: Rajawali) Poloma, Margaret, 1984; Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: Radjawali) Soekanto, Soerjono, 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Rajawali), Giddens, Anthony, Sociology, 1990. (London: Polity Press in Association with Basil Blackwell Ritzer, George and Douglas J. Goodman, 2004; Modern Socilogical Theory. (terj), Jakarta: Fajar Interpratama Offset. Ritzer, George and Barry Smart, 2001. Hand book of Social Theory. (London: SAGE Publication) Sunarto, Kamanto, 1993. Pengantar Sosiologi. (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) Wignyosoebroto, Soetandyo, Tertib Sosial. (Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga), 1983.