JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 41, NO. 2, DESEMBER 2014: 190 – 204
Konsep Diri Remaja Jawa saat Bersama Teman Sartana1, Avin Fadilla Helmi2 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Abstract. The aim of the study was to formulate a theory about Javanese adolescent selfconcept in relation with friends. The subjects of this research were three Javanese adolescents, two girls and one boy. Data were collected through in-depth interviews and observation and were analyzed with the so-called grounded theory approach. The results of this study indicated that Javanese adolescents interprets himself as plural selves, hierarchical interdependent and altered. Individuals have a lot of selves that represent their relationships with others. The selves are composed with each other in a hierarchical relationship. In a particular time, an individual activates one only of their selves. The self-activation process goes with the principle of "if ..., then ...". After recognizing their friends and situations, individuals will compare and evaluate themselves then choosing and activating one particular self to adjust with a particular friend and situation. When Javanese adolescents are with their friends, they do not think much about physical aspect, they become themselves and feel equal, accepted, understood and trusted as a good person. Such self-viewing makes an individual tend to go through positive feelings and comfort being around friends. Keywords: self-concept, self-adjustment, adolescents, Javanese, friends Abstraks. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan teori mengenai konsep diri remaja Jawa saat bersama teman. Subjek penelitian ini adalah remaja beretnis Jawa, dua perempuan dan satu laki-laki. Data diambil dengan wawancara mendalam dan observasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan grounded theory. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja Jawa menafsirkan dirinya sebagai diri yang jamak, bersifat interdependen hirarkhis dan fluktuatif. Individu memiliki banyak diri, namun dalam satu waktu mereka hanya mengaktivasi salah satu dirinya. Proses pengaktivasian diri berlangsung dengan prinsip “jika..., maka...”. Subjek memulai menyesuaikan diri dengan mengenali teman dan situasi, kemudian membandingkan dan mengevaluasi diri, individu kemudian memilih serta mengaktivasi diri yang sesuai. Saat bersama teman subjek tidak banyak berfikir tentang fisik, menjadi diri sendiri, merasa setara, diterima, dimengerti, dan dipercaya, sebagai orang yang baik. Pandangan diri demikian menyebabkan subjek cenderung mengalami perasaan positif dan betah bersama teman. Kata kunci: konsep diri, penyesuaian diri, remaja, Jawa, teman
Konsep diri merupakan salah satu konsep dalam psikologi yang paling banyak diteliti selama beberapa dekade terakhir (Martin, Sugarman & Hickinbottom, 2010; Myers, 2012). Hal ini disebabkan konsep diri merupakan konsep penting dalam menjelaskan perilaku, 1
1
Korespondensi mengenai isi artikel ini dapat dilakukan melalui:
[email protected] 2 Atau melalui:
[email protected] 190
dan diri sering dianggap sebagai inti dari struktur jiwa (Crisp & Turner, 2007; Jung dalam Zinkin, 2008), pusat dunia sosial, (Baron & Byrne, 2003), serta penentu utama persepsi, emosi, motivasi dan tindakan seseorang (Baron & Byrne, 2003; Crisp & Turner, 2007; Deaux & Wrightsman, 1984; Jopling, 2000; Markus & Kitayama, 1991; Sedidikes & Skowronksi, 1997).
JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
Cara individu menafsirkan diri menentukan persepsi, pikiran, perasaan serta tindakan mereka (Liu & Li, 2009; Markus & Kitayama, 1991). Gambaran diri negatif dapat menimbulkan perasaan negatif dan tindakan destruktif (Suls & Marco, 1991), serta ketakutan sosial pada situasi tertentu (Stopa, 1999). Hal ini tercermin dari penelitian Pangestuti (2011) pada remaja di Jawa, konsep diri moral negatif berhubungan dengan perilaku bullying. Penelitian-penelitian tentang diri yang terkini mengarah pada kesimpulan bahwa diri seseorang bersifat relasional, seseorang memahami dirinya terhubung dengan orang-orang penting dalam hidupnya (significant others) (Andersen & Chen, 2002; Chen, Boucher, & Kraus, 2011). Diri seseorang bersifat jamak, yang merefleksikan aneka relasi mereka dengan orangorang sekitarnya (Andersen, Chen, & Miranda 2002; McConnel, 2007). Walaupun diri bersifat jamak, dalam satu waktu tertentu individu hanya mengoperasionalkan sebagian dari total konsepsi-konsepsi dirinya (Chen, dkk., 2011) dan tergantung situasinya (Kashima, Kashima, Farsides, Kim, Strack, Werth, & Yuki, 2004; Kunda, 1999). Penelitian Nurius dan Markus (1990) menunjukkan bahwa individu yang membayangkan dirinya sukses cenderung mendeskripsikan dirinya dengan gambaran diri positif, sementara individu yang membayangkan pengalaman gagal lebih banyak menggambarkan dirinya secara negatif. Diri berkaitan dengan aspek budaya. Markus dan Kitayama (1991) menyatakan bahwa pada masyarakat individualis individu cenderung menafsirkan dirinya sebagai diri yang independen, yaitu diri yang tunggal, stabil dan terpisah dari konteks. Sebaliknya, pada masyarakat kolektivis individu menafsirkan dirinya sebagai diri interdependen, yang terhubung dan saling JURNAL PSIKOLOGI
tergantung dengan orang lain, tidak konsisten serta terikat pada konteks. Diri pada orang-orang Asia Timur menggambarkan dirinya terkait dengan peran-peran sosial dan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Aspek-aspek identitas diri lebih cair (Cousins, 1989; Rhee, Uleman, Lee, & Roman, 1995) dan individu cenderung lebih banyak memasukkan respons-respons yang bersifat sosial, konkret dan bersifat situasional daripada responsden yang tumbuh dengan budaya Barat (Choi, Nisbett, & Norenzayen, 1999). Hwang (2000) juga menyatakan bahwa pada masyarakat kolektivis seperti China, diri dipandang sebagai pusat jejaring sosial dalam situasi tertentu. Orang lain selalu ada sebagai bagian dari lingkaran konsentris medan psikis seseorang. Hal ini merupakan dampak pandangan filosofis masyarakat China yang cenderung melihat dunia dalam tatanan yang holistik. Aspek budaya sangat penting untuk dipertimbangkan ketika mengkaji tentang konsep diri. Hwang (2000) menyatakan bahwa diri masyarakat kolektivis perlu dikaji sebagai diri relasional, yaitu diri individu terkait relasi mereka dengan orang lain. Ho dan Chiu (dalam Hwang, 2000) menambahkan bahwa kajian diri relasional tersebut diantaranya terfokus pada kajian mengenai diri individu pada berbagai konteks hubungan. Masyarakat Jawa sendiri juga sering digolongkan sebagai masyarakat dengan budaya kolektivis (Mikarsa, 2007). Kolektivisme tersebut diantaranya dapat dilihat dari pandangan hidup dan nilai yang didukung oleh masyarakat Jawa, seperti nilai rukun, hormat (Suseno, 1999), toleransi (Anderson, 2003), kekeluargaan, tenggang rasa, dan sebagainya. Kolektivitas orang Jawa juga dapat dilihat dari istilah atau peribahasa yang menonjol 191
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
dalam khasanah kesusasteraan masyarakat Jawa, seperti gotong royong, mangan ra mangan kumpul, atau rukun agawe santosa, atau guyup rukun. Namun demikian, sejauh ini masih jarang kajian-kajian tentang konsep diri pada masyarakat Jawa yang mempertimbangkan kekhasan budaya tersebut. Kajian-kajian yang dilakukan masih banyak yang mendasarkan pada asumsi-asumsi tentang diri yang diimpor dari Barat. Orang Jawa dianggap memiliki diri yang tunggal, independen, statis dan kurang peka terhadap konteks. Sementara ketika merujuk pada pandangan Markus dan Kitayama (1991), masyarakat yang memiliki budaya kolektivis seperti masyarakat Jawa cenderung menafsirkan dirinya sebagai diri yang interdependen. Penelitian Supratiknya (2006) pada mahasiswa yang berasal dari suku Dayak, Ambon, China, Sunda, Bali, Betawi, dan Flores mendukung anggapan tersebut. Mahasiswa yang beretnis Jawa cenderung menafsirkan dirinya lebih interdependen dibanding dengan mahasiswa yang berasal dari suku lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai konsep diri orang Jawa. Khususnya merumuskan sebuah konstruk teoritis mengenai konsep diri remaja Jawa saat bersama teman. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan grounded theory. Pemilihan remaja sebagai subjek penelitian tersebut didasarkan pada anggapan banyak ahli psikologi perkembangan bahwa soal identitas diri merupakan isu penting pada tahap perkembangan ini. Masa remaja merupakan masa bagi individu untuk membentuk ulang dirinya (Hurlock, 1999; Mönks, Knoers & Haditono, 1998). Pada masa remaja individu juga mengalami perubahan orientasi sosial. Remaja lebih 192
banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya daripada bersama orang tua atau orang dewasa lain (Goede, dkk., 2009; Brown & Klute, 2003; Dijkstra & Veenstra, 2011; Nurmi, 2004; Steinberg, 2011). Hasil penelitian Csikszenmihalyi dan Larson (1984) menunjukkan bahwa selama masa remaja jumlah waktu yang remaja bersama orang tua menurun, dari 25% pada masa remaja awal menjadi 15% pada masa remaja akhir.
Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded theory. Pilihan untuk menggunakan pendekatan grounded theory didasarkan pada tujuan penelitian ini yang berusaha merumuskan sebuah konstruk teori berdasarkan pada data yang dikumpulkan (Strauss & Corbin, 1990). Penelitian melibatkan tiga subjek, dua perempuan dan satu laki-laki. Mereka semua beretnis Jawa, dengan rentang usia antara 15 sampai 17 tahun. Semua subjek masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Peneliti memilih subjek dengan melihat kriteria-kriteria mereka sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk pemilihan subjek selanjutnya digunakan “snowball sampling”, yaitu dengan peneliti meminta subjek sebelumnya untuk merekomendasikan calon subjek selanjutnya. Jumlah subjek yang hanya tiga orang dianggap memadai untuk penelitian ini yang menggunakan pendekatan grounded theory. Karena menurut Strauss dan Corbin (1990) yang lebih ditekankan pada penelitian kualitatif adalah keterwakilan konsep, bukan keterwakilan jumlah individu yang terlibat dalam penelitian. Dengan demikian, untuk memenuhi tuntutan tersebut, JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
dalam penelitian ini peneliti berusaha menggali seluas dan sedalam mungkin informasi dari subjek penelitian ini, sehingga ditemukan konsep-konsep yang merepresentasikan realitas yang terjadi pada subjek.
psikologis ketika subjek mengaktivasi konsep dirinya saat bersama teman. Meskipun masing-masing subjek memiliki ciri yang khas terkait proses tersebut, namun nampak bahwa ada pola umum yang hampir sama diantara mereka.
Pengambilan data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam dan obervasi. Metode wawancara yang dilakukan adalah jenis wawancara semi terstruktur. Dalam arti, peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara. Masing-masing subjek diwawancara tiga sampai empat kali. Observasi dilakukan dengan mengamati subjek pada konteks ruang dan waktu yang relevan dengan penelitian.
Terkait konsep diri, subjek penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan subjek merasa menjadi orang berbeda ketika bersama orang berbeda. Sebagai contoh, ketika bersama guru subjek menganggap kedudukan dirinya di bawah mereka, sehingga subjek menganggap dirinya harus bersikap sopan, hormat dan patuh. Sementara itu ketika bersama teman subjek merasa kedudukannya setara, sehingga mereka merasa lebih leluasa serta dapat tampil apa adanya. Berikut contoh pernyataan subjek saat menggambarkan diri pada konteks berbeda tersebut.
Analisis data pada penelitian dengan pendekatan grounded theory dilakukan lewat pengkodingan data. Proses pengkodingan pada dasarnya merupakan proses penguraian, konseptualisasi serta pengelompokan kembali data dengan cara yang baru. Pengkodingan tersebut dilakukan dalam tiga tahap, yaitu proses pengkodingan terbuka (open coding), pengkodingan berporos (axial coding), dan pengkodingan selektif (selective coding). Tahapan-tahapan ini secara gradual dapat menghubungkan elemen-elemen yang ditemukan dalam penelitian, sehingga secara keseluruhan mereka dapat membentuk sebuah rumusan teori yang diharapkan (Strauss & Corbin, 1990).
Hasil Penelitian ini menemukan beberapa tema yang menggambarkan konsep diri remaja Jawa saat bersama teman, proses aktivasinya, faktor yang mempengaruhi, serta dampaknya pada perilaku mereka. Secara keseluruhan tema-tema tersebut terkait satu sama lain dan secara bersamasama menjelaskan mengenai dinamika JURNAL PSIKOLOGI
Kalau sama orang tua kan nggak boleh blak-blakan tho. Harus pakai attitude, pakai tahapan, pakai sopan santun, pakai apa gitu. Jadi kurang leluasa. Sementara kalau sama teman ya tinggal ngomong apa adanya, jadi lebih leluasa. Jadi lebih merasa tidak takut dalam mengutarakan pendapat. Tidak takut dimarahin. Kalau sama teman kan tidak harus menghormati seperti bersama guru atau orang yang lebih tua. Menghormati ya menghormati, tetapi istilahnya ya lebih bebas Secara khusus, pada masing-masing teman yang sifat dan karakternya beragam. Sebagian dari mereka ada yang lebih toleran, suka membantu, sabar, suka bercanda, dan banyak bicara. Sementara sebagian teman yang lain lebih temperamental, pendiam, atau tertutup. Subjek mengaku mempertimbangkan karakteristik masingmasing teman tersebut sebelum dirinya memunculkan diri yang sesuai.
193
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
Anang ini menurut saya, ya mengerti dengan keadaan teman. Dia toleransinya besar. Toleransi, misalnya dalam hal agama... Kemudian orangnya sering mbantu juga. Orangnya paling baik lah menurut saya. Kalau sama Asnawi sering bercanda dan sabar. Andito itu orangnya juga sering bercanda. Terus kalau diajak kemanamana itu orangnya langsung mau gitu Subjek menampilkan diri berbeda pada konteks berbeda dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri maupun dari luar. Faktor dari dalam tersebut diantaranya harapan, perasaan, dan pandangan subjek mengenai dirinya sendiri. Subjek menampilkan diri berbeda karena mereka berharap hubungan dirinya dengan temantemannya dapat tetap terpelihara. Mereka juga ingin memiliki kesan positif, ingin diterima, mendapat kesan positif, agar lebih dekat, dihargai, serta karena takut menyinggung perasaan teman. Yang jelas kita harus tetap menjaga perasaan mereka aja gitu. Jangan sampai kita bikin mereka tersinggung sama kita. Maksudnya kita ngajakin bercanda itu, biar kita ke teman itu bisa jadi lebih dekat gitu lho... Kita berpenampilan kayak gitu tho itu biar teman itu mandangnya kita tidak yang negatif kayak gitu. Memunculkan kesan yang baik lah... Subjek juga mempertimbangkan karakteristik teman yang dihadapi ketika menampilkan diri. Mereka menyadari bahwa teman-temannya memiliki k yang berbeda satu sama lain, misalnya soal usia, minat, kepribadian atau asal sekolah. Kesadaran demikian mendorong mereka untuk menyesuaikan diri dengan cara yang berbeda-beda Menurutku sih mereka baik. Yang jelas tuh, mau ngerti orang. Peduli. Sama 194
nggak egois. Ya, mereka kan bisa dipercaya gitu... Selain memperhatikan karakteristik teman yang cenderung menetap, subjek juga mempertimbangkan kondisi temannya saat interaksi berlangsung. Subjek juga berusaha mengenali suasana hati, emosi, serta gerak-gerik perilaku temannya. Mereka akan tampil sebagai orang tertentu tergantung respons dan kondisi temannya yang dihadapi. Sebagai contoh, ketika temannya sedang murung, mereka akan berusaha untuk tidak mengganggu. Sebaliknya, ketika temannya sedang senang subjek juga akan tampil ceria. Misalnya, lagi murung, mukanya lagi bete gitu, tidak mungkin aku nggodain kayak gitu.... Kalau misalnya aku merasa mereka lagi butuh diriku, ya aku berusaha untuk menghibur mereka gitu. Ya, begitulah saya. Tidak hanya kondisi teman, ketika mengaktivasi diri subjek juga berusaha memperhatikan dan mempertimbangkan situasi disekitarnya. Ketika berada pada situasi berbeda mereka juga memberi perhatian dan menampilkan diri berbeda. Sebagai contoh, subjek berusaha menampilkan diri berbeda antara saat mereka berinteraksi di sekolah dengan di rumah. Ketika bersama teman-teman di sekolah mereka banyak memperhatikan aspek diri akademis, sementara saat bersama teman di rumah mereka kurang memperhatikan aspek diri tersebut, namun lebih banyak memperhatikan aspek diri yang lain. Ya, kita merasa sebagai orang berbeda mas. Kalau di sekolah kan misalnya dia memberikan penilaian di bidang akademik, kalau di rumah kan nggak tahu mas teman-teman. Jadi, rasanya beda. Konsep diri subjek saat bersama teman juga dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya. Subjek merasakan adanya JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
nilai dan norma sosial yang menuntut dirinya berlaku tertentu pada orang lain. Hal itu nampak dari cara mereka berhubungan dengan orang yang lebih muda dan yang lebih tua. Ketika subjek bersama orang yang lebih tua mereka merasa dirinya harus lebih menghormati atau sopan dalam ukuran tertentu. Mereka merasa harus mengatur sikap, tutur kata, perbuatan serta penampilanya sehingga terlihat pantas. Sementara ketika bersama teman, subjek merasa tidak memiliki keharusankeharusan serupa. Subjek merasa kedudukan dirinya dan temannya sejajar. Karena kedudukan demikian, subjek dapat berhubungan dengan mereka secara lebih leluasa dan apa adanya. Dalam arti, subjek merasa tidak harus menghormati atau berbuat sopan seperti halnya ketika ia sedang bersama orang yang lebih tua. Adanya tuntutan demikian oleh subjek dimaknai sebagai peran hidup yang tinggal ia jalani dan itu muncul sendiri dalam pikirannya. Kan orang Jawa itu kan harus bisa menjaga sopan santun tho, jadinya sama orang yang lebih tua ya bilang ‘Mbak’ kek, sama teman yang lebih muda ya bilang ‘Dik’ kek... Jadi kayaknya nggak mikir, ya perasan itu sudah muncul sendirilah. Muncul sendiri, sikap ke orang tua, sama ke teman itu gimana. Perasaan itu ya sudah kayak ngebimbing sendirilah... Kalau di teman kan sudah saling mengenal. Terus lebih bebas. Perasaan malu dah nggak ada. Tapi kalau di tengah guru kan nggak mengenal bagaimana karakter guru-guru itu kan. Sedang kita kan sebagai murid kan kalau orang Jawa bilang harus “ngajeni” sama guru. Harus menghormati, sama guru. Jadinya seperti itu. Hya, kalau sama guru kan nggak bisa seenaknya”
JURNAL PSIKOLOGI
Proses ketika subjek mengubah-ubah diri tersebut merupakan bagian dari usaha mereka untuk menyesuaian diri. Tahapan penyesuaian diri tersebut nampak dimulai dengan subjek berusaha mengenali karakteristik teman. Mereka berusaha menafsirkan harapan, suasana hati, perasaan, serta pandangan teman terhadap dirinya. Pengenalan tersebut memungkinkan subjek untuk menemukan kesamaan dan perbedaan dirinya dengan temannya, seperti soal umur, bakat, minat dan aktivitasnya. Ya kita memahami dulu karakter-karakter mereka, kalau sudah memahami terus kita menyesuaikan penilaian-penilaian kita terhadap teman, menyesuaikan perilakuperilaku kita agar sesuai dengan keinginan teman gitu mas... Subjek menyakini bahwa temannya juga melakukan hal serupa. Hal demikian yang menyebabkan mereka dapat menemukan kesesuaian satu sama lain. Subjek mempertimbangkan sifat, karakter, suasana hati, harapan, sikap, dan perilaku teman yang lain. Dalam hal keterbukaan misalnya, subjek selalu berusaha mengimbangi keterbukaan teman dengan membuka dirinya. Ketika temannya menceritakan pengalaman tertentu, subjek juga berusaha menceritakan pengalaman serupa pada temannya. Hal ini yang menyebabkan subjek merasa dekat dengan temannya. Saya mengetahui sifat teman-teman dan teman-teman juga mengetahui sifat-sifat saya. Ya, istilahnya ada penyesuaian gitu mas. Jadi kalau sifatnya ini, ini. Kalau teman ini nggak suka ini, ya kita tidak melakukan itu... Dalam proses itu, subjek juga membayangkan kemungkinan yang akan dimunculkan teman ketika dirinya memunculkan sikap atau perilaku tertentu. Adanya simulasi dalam pikiran mengenai interaksi yang mereka jalani tersebut memungkin195
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
kan subjek untuk menampilkan diri yang sesuai saat bersama teman, sehingga harapan-harapannya terlaksana. Dengan teman yang sudah lama kenal subjek dapat saling dengan mudah menyesuaikan satu sama lain. Hal itu terjadi karena mereka sudah dapat membayangkan respons yang akan ditampilkan temannya. Ya, kalau sama teman ya membayangkan konsekuensi-konsekuensi je mas. Misalnya kalau ada teman yang agak temperamen atau apa, ya sikapnya lebih gimana ya, kalau guyon atau berbicara ya nggak bikin emosi. Ya, istilahnya seperti itu. Ya memperhatikan karakter teman-teman itu. Ya, saya juga membayangkan seperti itu. Ya usaha saya ya menyesuaikan, kalau saya begini teman-teman akan begini... Proses tersebut penyesuaian diri dipuncaki dengan subjek mengaktivasi diri yang sesuai dengan sifat teman, situasi yang dihadapi, serta nilai dan norma budaya. Hal itu yang menyebabkan subjek mengalami dirinya sebagai orang yang berbeda saat bersama teman. Selain itu, subjek juga akan memunculkan perilaku yang sesuai dengan karakter teman yang dihadapi. Mereka berbeda-beda karakternya. Kalau saya ya menyesuaikan karakter orangnya mas. Kalau dia bercanda agak sulit ya saya hanya ngobrol biasa. Terus, misalnya kalau pemarah ya saya bercanda lebih yang nggak terlalu menyinggung, menghormati. Kalau orangnya yang sabar, kalau yang bisa diajak bercanda ya bercanda Proses penyesuaian diri tersebut yang menyebabkan subjek memiliki diri yang khas saat bersama teman. Secara psikis, subjek merasa nyaman, bebas, dan dapat tampil apa adanya. Mereka merasa senang, tidak sungkan, enak, dekat, dan aman. Subjek juga merasa diterima, dimengerti, dan dipedulikan. Misalnya ketika 196
ia dinasihati, ditegur, dimintai pendapat atau ditunjuk untuk melakukan aktivitas tertentu. Ya saya menjadi orang yang biasa saja. Tampil sebagai aku apa adanya. Begini ya begini saja... Pengalaman yang saya rasakan saat bersama mereka ngomong sama saya itu nyambung. Terus saya ngerasa mereka nggak mudah tersinggung. Jadi ya saya merasa nyaman saja kalau lagi ngobrolngobrol sama mereka gitu. Seneng. Terus hampir sama pengalaman mereka, jadi yang mungkin dekat, senang, aman, nyaman, nggak takut gitu... Subjek juga merasa lebih bebas saat bersama teman. Mereka bicara apa saja tanpa takut salah atau dimarahi. Hal itu terjadi karena ketika bersama teman mereka merasakan lebih longgar dalam hal etis. Mereka tidak harus bersikap hormat pada teman, sebagaimana mereka harus hormat pada orang tua. Ya, merasa bebasnya ya pas bercanda. Kalau ngomong yo sak karepe dewe. Kalau sama teman kan tidak harus menghormati seperti bersama guru atau orang yang lebih tua. Menghormati ya menghormati, tetapi istilahnya ya lebih bebas... Di luar itu, subjek juga menggambarkan diri mereka dengan atribut-atribut diri negatif di samping deskripsi yang positif Misalnya, subjek menggambarkan dirinya sebagai orang yang cerewet, tidak mau mengalah, dan tidak sabaran. Sementara gambaran diri yang positif diantaranya mereka menggambarkan dirinya sebagai orang yang baik, humoris, peduli, dapat dipercaya, dewasa, dan tegas. Subjek juga lebih memilih menggambarkan dirinya dengan atribut diri negatif karena menurut mereka orang lain yang lebih cocok untuk memberikan penilaian positif pada dirinya. JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
Emang kalau aku punya kelebihan yang positif itu biar orang yang menilai aku, jangan aku yang menilai diri aku sendiri gitu. Takutnya nanti kan bersikap kayak gitu... Secara sosial, subjek menjadi orang yang lebih terbuka serta banyak bercanda saat bersama teman. Mereka sering menceritakan pengalaman dan masalah yang dihadapi. Subjek merasa nyambung ketika bercerita dengan temannya, karena temannya banyak memiliki pengalaman yang sama dengan dirinya. Waktu bersama teman juga banyak mereka habiskan dengan saling bercanda untuk menyegarkan suasana. Hal demikian mereka lakukan karena mereka merasa aman dan lebih leluasa saat bersama teman. Selain itu juga karena subjek juga merasa diterima apa adanya oleh temannya. Sementara kalau sama teman ya tinggal ngomong apa adanya, jadi lebih leluasa. Jadi lebih merasa tidak takut dalam mengutarakan pendapat. Tidak takut dimarahin Karena kita memiliki pengalaman yang sama, sehingga kayaknya nyambung saja kalau kita cerita... Menurut saya, mereka itu bisa menerima keadaan saya yang emang saya begini. Dan kita saling percaya gitu... Subjek mengaku ketika bersama teman mereka tidak banyak bepikir tentang fisik dan penampilan, terutama saat bersama teman dekat. Pandangan demikian muncul karena subjek menganggap teman-temannya tidak menjadikan aspek fisik dan penampilan sebagai aspek yang penting untuk diperhatikan. Teman-temannya dapat menerima dirinya apa adanya. Hal itu menyebabkan subjek merasa biasa saja, nyaman, dan percaya diri.
JURNAL PSIKOLOGI
Kalau soal fisik, menurutku sih biasa saja sih. Saya merasa nyaman dengan dengan diri saya sendiri... Yang penting penampilan kan sopan. Yang penting kalau aku itu... Secara moral, subjek mengaku dirinya sebagai orang yang baik. Mereka selalu berusaha untuk menjaga perasaan teman, tidak membuat kecewa, serta berbuat sesuatu sesuai dengan unggah-ungguh, etika. Mereka juga berusaha untuk berempati terhadap kondisi teman dan dapat membantu ketika temannya membutuhkan. Menurut saya, ya dia memandang saya sebagai orang yang baik. Ya, baik dalam hal sifat misalnya ya mas. Saya kan nggak istilahnya nggak pemarah gitulah mas kalau sama teman. Ya biasa saja. Lebih damai gitu... Sebagai dampak dari emosi yang cenderung positif, subjek menjadi merasa senang dan betah menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Mereka melakukan beragam aktivitas bersama, seperti bercerita, bercanda, bermain, atau belajar. Subjek mengaku bahwa ada beberapa aktivitas yang biasa dilakukan saat bersama teman, diantaranya bercerita, ngobrol, bercanda, bermain, belajar bersama, dan jalan-jalan. Ya, lebih banyak ngobrol-ngobrol tadi. Ya, teman kan melakukan itu kan hanya sebatas bercanda gitu kan mas... Paling cuma cerita-cerita. kalau sama teman ya ceritanya lebih spesifik-spesifik gitu. Misalnya ya ngobrol tentang hal-hal yang alami, tentang sekolah, ya seperti itu... Aku memang orangnya kayak gitu, susah diem kalau sudah sama teman dekat...
197
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
Pengalaman positif yang dialami remaja Jawa saat bersama-sama temantemannya tersebut nampak yang menjadikan mereka menghabiskan waktu bersama teman-teman. Keseluruhan subjek penelitian ini mengaku bahwa mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka bersama teman, baik ketika di sekolah maupun di rumah. Lebih dari itu, mereka juga lebih memilih untuk menceritakan masalah-masalah pribadi mereka pada teman dekat dibanding kepada orang tua atau guru di sekolah.
Diskusi Berdasarkan temuan penelitian di atas, dirumuskan beberapa proposisi yang mempertegas anggapan-anggapan yang disimpulkan dari olahan data temuan penelitian ini. Beberapa proposisi tersebut kemudian diintegrasikan satu sama lain, sehingga secara keseluruhan membangun sebuah konstruk teoritis mengenai konsep diri remaja Jawa saat bersama teman. Gambaran umum konstruk teori tersebut dapat disederhanakan lewat Gambar 1. Konsep diri dapat didefinisikan organisasi dari keseluruhan ide-ide, pikiran-
Lingkungan sosial & Kultural
Karakteristik Teman
pikiran atau keyakinan yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri (Bordens & Horowitz, 2008). Konsep diri mencakup pengetahuan, pengharapan serta penilaian individu terhadap dirinya sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). Penelitian ini menunjukkan bahwa diri remaja Jawa bersifat jamak, interdependen, dan dinamis. Dalam ketunggalannya sebagai individu mereka memiliki banyak diri. Masing-masing diri tersebut menggambarkan kumpulan makna yang dimiliki individu mengenai dirinya terkait relasinya dengan orang-orang sekitar. Konsep diri sering disebut juga sebagai diri relasional. Diri-diri rasional tersebut secara akumulatif membentuk diri global individu. Secara khusus, remaja Jawa menggambarkan hubungan dirinya dengan orang lain dalam relasi saling tergantung (interdependent). Dalam arti, individu akan memunculkan diri tertentu tergantung orang yang dihadapi. Hal ini yang menyebabkan diri subjek bersifat dinamis. Ia selalu berubah dari satu konteks ke konteks yang lain. Saat subjek bersama orang berbeda, mereka juga menunjukkan diri berbeda.
Kondisi Psikis Individu
Konsep diri Diri Jamak Konsep jamak Diaktivasi lewat proses penyesuain diri dengan prinsip “Jika..., Maka...”
Konsep diri bersama teman
Perilaku
Situasi Sementara Bersama Teman Gambar 1. Dinamika Konsep Diri Remaja Saat Bersama Teman 198
JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
Sifat diri yang jamak tersebut terjadi karena diri seseorang merupakan hasil konstruksi kognitif dan sosial (Harter, 1999). Konsep diri merupakan cerminan dari realitas sosial yang diresapi individu. Ia terbentuk dari hasil pemaknaan individu mengenai diri mereka sendiri terkait hubungannya dengan orang lain (Andersen, dkk., 2002; McConnel, 2007). Karena remaja Jawa berhubungan dengan banyak orang dengan beragam karakteristik, sehingga mereka juga memiliki banyak diri merefleksikan aneka hubungan tersebut. Temuan ini menunjukkan bahwa diri orang Jawa lebih bersifat sosial daripada individual. Dalam arti, individu cenderung menggambarkan dirinya terkait dengan orang-orang sekitar daripada merujuk pada dirinya sendiri. Mereka menjadikan orang lain sebagai cermin sekaligus bahan untuk memaknai dan membentuk dirinya. Hal ini yang menyebabkan orang-orang yang sering berinteraksi bersama cenderung memiliki konsep diri yang hampir sama. Sementara sifat diri interdependen nampak mencerminkan realitas kultural yang diresapi subjek, yaitu budaya Jawa. Masyarakat Jawa cenderung melihat dunia sebagai yang utuh dan serasi (Suseno, 1999). Terkait hal itu, Suseno (1999) mengungkapkan bahwa ada dua nilai penting yang menjadi rujukan hidup sosial orang Jawa, yaitu rukun dan hormat. Rukun menyiratkan sebuah cara bertindak yang mengandung usaha secara terus menerus untuk bersikap tenang satu sama lain dan menghindari hal-hal yang memungkinkan terjadinya perselisihan. Tuntutan untuk hidup rukun menyebabkan konsep diri remaja Jawa bersifat interdependen. Hal itu terjadi karena untuk mencapai hidup yang rukun secara psikis individu dituntut untuk memanJURNAL PSIKOLOGI
dang dan menempatkan dirinya dalam jejaring sosial dengan orang lain. Orang Jawa secara etis dituntut untuk bisa tepo seliro, berempati atau menempatkan diri pada posisi orang lain. Hal itu dilakukan untuk menjaga perasaan orang lain, sehingga konflik terbuka yang dapat merusak keharmonisan hidup dapat dihindari. Keterhubungan dengan orang lain tersebut juga berangkat dari ketakutan subjek untuk terlihat menonjol di tengah orang-orang sekitar. Mereka takut temantemannya akan tidak suka ketika dirinya tampil berbeda dari yang lain. Sehubungan dengan hal itu, Suseno (1999) mengungkapkan bahwa hal demikian lazim terjadi pada orang Jawa. Ketakutan orang Jawa untuk menonjolkan diri di tengah lingkungan sosialnya, terjadi karena bagi mereka penonjolan diri dapat menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat yang harmonis. Lebih lanjut Suseno (1999) menuturkan bahwa, bagi orang Jawa kehormatan dan kebanggaan harus dibagi bersama kepada orang-orang sekitar. Karena kalau tidak, ia akan sangat rawan bagi munculnya sikap iri atau rasa tidak suka dari orang lain. Selain itu, pujian bagi seseorang tidak boleh datang dari diri sendiri, tetapi ia harus disematkan oleh orang lain. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa subjek berusaha menggambarkan diri dengan atribut-atribut diri negatif karena mereka tidak ingin terlihat menonjol. Hal demikian memungkinkan kehidupan sosial yang harmonis atau hidup yang rukun bersama orang lain dapat terus terjaga. Temuan ini juga sejalan dengan pandangan Markus dan Kitayama (1991) tentang pengaruh budaya pada cara individu menafsirkan diri. Mereka menyakini bahwa individu yang tumbuh pada budaya kolektivis, seperti masyarakat Jawa, cenderung memandang dirinya sebagai 199
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
diri yang interdependen, sensitif konteks dan berubah antar situasi. Sebaliknya, masyarakat individualis cenderung menggambarkan dirinya sebagai diri yang independen, lepas dari konteks, tunggal, dan statis. Sementara itu, nilai hormat menggambarkan sebuah tuntutan pada masyarakat untuk memberikan penghargaan pada orang lain sesuai tempatnya di masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa memwujudkan nilai tersebut lewat praktik unggah-ungguh dan tata krama, yaitu aturan-aturan mengenai kesopanan sosial. Prinsip tersebut menuntut individu agar bisa menempatkan diri secara tepat (empan papan) dalam tatanan sosial yang ada. Keharusan untuk bersikap hormat tumbuh berakar pada pandangan hidup masyarakat Jawa yang menyakini bahwa individu-individu dalam masyarakat tersusun secara hierarkhis. Meskipun masyarakat Jawa tidak ada sistem kasta sebagaimana kasta pada masyarakat India, akan tetapi mereka memiliki sesuatu yang menyerupai gagasan murni kasta (Anderson, 2003). Sikap hormat merupakan bentuk usaha kolektif masyarakat untuk melestarikan tatanan nilai tersebut. Kewajiban remaja Jawa untuk memelihara prinsip hormat tersebut menyebabkan sifat interdependen diri remaja Jawa bersifat khas, yaitu interdependen hirarkhis. Mereka menafsirkan dirinya terhubung dengan orang lain dalam tatanan yang berjenjang. Ketika bersama orang lain, mereka cenderung untuk membandingkan dirinya dengan orang lain, sehingga mereka menemukan dirinya lebih rendah, setara, atau lebih tinggi dibanding orang bersangkutan. Hal itu mereka lakukan untuk menentukan bentuk penghormatan yang harus mereka wujudkan pada orang yang dihadapi. 200
Secara khusus, penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri remaja Jawa tersusun dari diri yang bersifat dinamis maupun yang relatif statis. Munculnya diri demikian mencerminkan realitas yang diresapi subjek. Bahwa realitas sosial terbangun dari komponen-komponen yang relatif stabil di satu sisi, hingga yang paling mudah berubah (meleable) pada ujung yang lain. Peran sosial, nilai dan norma budaya, kebiasaan, karakter dan kepribadian teman adalah beberapa realitas sosial yang relatif stabil. Mereka merupakan unsur-unsur yang membangun bagian konsep diri subjek yang relatif mapan. Sementara itu, suasana hati, kebutuhan individu, lingkungan fisik dan situasi sosial adalah beberapa realitas sosial yang cenderung berubah secara fluktuatif. Mereka adalah unsur realitas sosial yang membentuk bagian konsep diri subjek menjadi relatif dinamis. Adanya diri yang dinamis dalam struktur diri jamak subjek tersebut yang menyebabkan diri individu senantiasa berubah. Pada suatu waktu tertentu individu hanya mengoperasionalkan sebagian dari dirinya yang dinamis tersebut. Proses ini merupakan proses mental yang melandasi individu menjadi orang yang berbeda ketika berada pada situasi berbeda. Subjek menyebut proses aktivasi diri tersebut sebagai proses penyesuaian diri. Proses pengativasian diri yang dilakukan remaja Jawa berlangsung tersebut secara transaksional, dengan menggunakan prinsip “jika..., maka...”. Jika subjek berada pada situasi tertentu yang menuntutnya untuk menampilkan diri tertentu, maka mereka berusaha mengaktivasi diri yang sesuai dengan tuntutan situasi tersebut. Namun demikian, mereka terlebih dahulu menegosiasikan tuntutan-tuntutan tersebut dengan dorongan dan tuntutan dari dalam diri dengan merujuk pada JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
prinsip di atas. Jika mereka menampilkan diri tertentu, maka telah mempertimbangkan konsekuensi yang bakal mereka tanggung. Pada setiap situasi mereka berusaha menemukan diri yang paling sesuai, yaitu diri yang memiliki konsekuensi paling menguntungkan ketika diaktivasi. Dalam arti, dengan pengaktivasian diri tersebut harapan-harapan subjek dapat terpenuhi secara maksimal. Proses pengaktivasian diri yang dilakukan remaja Jawa berlangsung dalam tahapan-tahapan yang sudah terpola. Tahapan pengaktivasian diri diawali dengan subjek berusaha mengenali teman dan situasi yang dihadapi. Kemudian subjek berusaha mengevaluasi dan membandingkan diri, sehingga mereka dapat menentukan kedudukan dirinya diantara teman-temannya. Kesadaran mengenai kedudukan sosialnya tersebut memicu subjek untuk mengaktivasi pengetahuan diri terkait tuntutan dan harapan sosial yang relevan dengan kedudukannya tersebut. Tahap selanjutnya, subjek membayangkan dan mensimulasikan dalam pikiran beberapa diri yang dapat mereka aktivasi beserta konsekuensinya. Pada tahap ini, prinsip “jika..., maka...” mereka terapkan. Subjek mempertimbangkan hubungan sebab akibat antara diri yang mereka aktivasi dengan konsekuensi yang bakal dialami. Subjek memiliki pilihan diri yang beragam beserta masing-masing konsekuensinya. Namun akhirnya mereka dapat menemukan diri yang mereka anggap paling sesuai atau yang paling menguntungkan untuk diaktivasi. Proses penyesuaian diri tersebut menyebabkan remaja Jawa memiliki konsep diri khusus saat bersama teman. Mereka mengaku bahwa dirinya sebagai orang tidak banyak berfikir tentang fisik dan penampilan. Secara psikis, subjek merasa JURNAL PSIKOLOGI
bebas dan leluasa untuk tampil apa adanya. Secara sosial, remaja menganggap dirinya merasa setara, dekat, diterima, serta merasa tidak harus menghormati teman sebagaimana halnya ketika mereka bersama orang dewasa. Secara moral, mereka merasa sebagai orang baik yang senantiasa berusaha menjaga perasaan teman. Jenis diri yang diaktivasi subjek tersebut mempengaruhi perasaan yang mereka alami. Ketika proses penyesuaian diri memfasilitasi subjek untuk menjadi dirinya sendiri, maka subjek akan merasa nyaman. Ketika proses sebaliknya yang berlangsung, maka subjek dapat merasa malu, takut, atau sungkan. Namun demikian, secara umum ketika bersama teman remaja Jawa merasa dirinya dapat tampil apa adanya, sehingga mereka cenderung mengalami perasaan positif. Mereka merasa nyaman. Perasaan nyaman tersebut subjek akui mencakup beberapa perasaan lain, seperti merasa dekat, dimengerti, diterima, bebas, aman, senang, dan merasa nyambung dengan temannya. Perasaan yang cenderung bervalensi positif tersebut menyebabkan remaja Jawa menjadi orang yang lebih terbuka, suka bercerita, mengobrol, bermain, belajar, bercanda dan merasa betah melakukan beragam aktivitas bersama teman. Setelah mengaktivasi salah satu konsep dirinya, subjek mendapatkan umpan balik (feed back) dari teman yang dihadapi. Umpan balik tersebut menjadi masukan baru baginya, sehingga ia mempengaruhi jenis diri yang mereka tampilkan selanjutnya. Proses demikian menyebabkan konsep diri remaja Jawa menjadi konstruk yang bersifat cair, berubah terus menerus secara sirkuler, mengikuti perubahan situasi, harapan subjek, maupun respons yang dimunculkan lingkungan sosial di sekitarnya. 201
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
Kesimpulan Konsep diri remaja terlihat mencerminkan realitas sosial yang diakrabi seseorang. Isi, sifat, valensi, dan struktur diri subjek sejalan dengan pemaknaan individu terhadap beragam realitas sosial disekitarnya. Interaksi remaja Jawa dengan banyak orang denga karakter yang beragam menyebabkan remaja Jawa memiliki diri yang jamak. Di sisi lain, realitas sosial yang selalu berubah, diri seseorang juga terdiri dari komponen diri yang relatif statis maupun yang dinamis. Komponen diri demikian yang menyebabkan mereka cenderung menjadi orang yang sama antar situasi, sekaligus menjadi orang yang berbeda pada masing-masing situasi. Remaja Jawa mengalami dirinya sebagai diri yang cair dan selalu berubah secara fluktuatif Remaja Jawa juga cenderung menafsirkan dirinya sebagai diri yang interdependen. Secara khusus, interdependensi diri mereka tersebut bersifat hirakhis. Mereka menempatkan relasi dirinya dengan orang lain terhubung dalam tatanan yang berjenjang. Dalam arti, remaja Jawa cenderung menempatkan dirinya lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dibanding orang yang dihadapi. Konsep diri remaja Jawa yang cenderung interdependen hirarkhis terbentuk merefleksikan dua nilai penting yang diyakini orang Jawa, yaitu nilai rukun dan hormat. Tuntutan pada subjek untuk menjaga kerukunan menjadikan diri mereka sebagai diri yang interdependen. Sementara tuntutan untuk bersikap hormat pada orang lain menuntut mereka untuk senantiasa peka pada kedudukan dirinya di tengah orang sekitar, sehingga karenanya mereka terkondisi untuk melihat relasi dirinya dengan orang lain tertata dalam susunan yang hirarkhis. 202
Pada suatu waktu tertentu subjek hanya mengaktivasi sebagian dari diri jamaknya. Proses itu mereka sebut sebagai proses penyesuaian diri. Proses penyesuaian diri berlangsung secara transaksional dengan menggunakan prinsip “jika..., maka..”. Dengan prinsip tersebut remaja Jawa berusaha untuk mengaktivasi diri yang paling sesuai atau yang paling menguntungkan dirinya pada situasi yang bersangkutan. Proses penyesuaian diri menyebabkan remaja Jawa memiliki diri khusus saat bersama teman. Mereka merasa dapat tampil apa adanya, tidak banyak berfikir tentang fisik, dimengerti, dipercaya, dan diterima. Mereka juga berusaha menjadi teman yang baik. Pandangan yang positif terhadap diri tersebut menyebabkan remaja cenderung mengalami emosi positif, sehingga mereka merasa betah menghabiskan waktu bersama teman.
Kepustakaan Andersen, S. M., & Chen, S. (2002). The relational self: An interpersonal social cognitive theory. Psychological Review, 109, 619–645. Andersen, S. M., Chen, S., & Miranda, R. (2002). Significant others and self. Self and Identity, 1, 159-168. Anderson, B. R. O’G. (2003). Mitologi dan toleransi orang Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya. Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi Sosial. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Jakarta: Penerbit Erlangga. Borden, S. K., & Horowitz, A.(2008). Sosial Psychology, 3th Edition. New York: The Free Press. Brown, B. B., & Klute, C. (2003). Friendships, cliques, and Crowds. InGerald R. Adams & Michael D. Berzonsky JURNAL PSIKOLOGI
SARTANA & HELMI
(Eds.) Blackwell handbook of adolescence. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Calhoun,J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan. Edisi ketiga. Alih bahasa: R.S. Satmoko. Semarang: Penerbit IKIP Semarang Press. Chen, S., Boucher, H., & Kraus, M. W. (2011). The relational self. In S. J. Schwartz, K. Luyckx, & V. L. Vignoles (Eds.), Handbook of Identity Theory and Research (pp. 149-175). New York: Springer. Choi, I., Nisbett, R. E., & Norenzayan, A. (1999). Causal attribution across cultures: Variation anduniversality. Psychological Bulletin, 125, 47-63. Coob, N. J. (2000). Adolescence: continuity, change, and diversity. Califronia: Mayfield Publishing Company. Crisp, R. J., & Turner, R. N. (2007). Essential Social Psychology. London: Sage Publications Ltd. Cousins, S. D. (1989). Culture and selfhood in Japan and the U.S. Journal of Personality and Social Psychology, 56, 124–131. Csikszenmihalyi, M., & Larson, R. (1984). Being adolescent: Conflict and growth in the teenage years. New York: Basic. Deaux, K., & Wrighstman, L.S. (1984). Social Psychology in the 80s. 4th edition. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Dijkstra, J. K., & Veenstra, R. (2011). Peer Relations. In B. Bradford Brown. & Mitchell J. Prinstein (Eds.). Encycopledia of adolescent. London: Elsevier Inc. Goede, I. H. D., Branje, S. J. T., Delsing, M. J. M. H., & Meeus, W. H. J. (2009). Lingkages over time between adelescents’ relationships with parents
JURNAL PSIKOLOGI
and friends. Journal Youth Adolescence, 38, 1304-1315. Harter, S. (1999). The Construction of the self in everyday life. New York: Anchor Books. Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Editor: Ridwan Max Sijabat. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Hwang, K. K. (2000). Chinese relationalism: Theoretical construction and methodological considerations. Journal for the Theory of Social Behavior, 30(2), 155-178. Jopling, D. A. (2000). Self-knowledge and the self. New York: Routledge. Kashima, Y.. Kashima, E., Farsides, T., Kim, U., Strack, F, Werth, L., & Yuki, M. (2004). Culture and contex-sensitive self: The amount and meaning of context-sensitive of phenomenal self differ across culture. Self and Identity, 3, 125-141, doi: 10.1080/13576500342000095. Kunda, Z. (1999). Social cognition: Making Sense of people. Massachusetts: MIT Press. Liu, C. J., & Li, S. (2009). Contextualized self: When the self runs into social dilemmas. International Journal of Psychology, 44(6), 451-458. Pangestuti, R. D. (2011). Konsep diri pelaku bullying pada siswa SMP N Y di Jawa (Tesis tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Prihartanti, N. (2004) Kepribadian sehat menurut konsep Suryomentaram. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Markus, H. R., & Kitayama,Y. (1991). Culture and the self: Implications 203
KONSEP DIRI, REMAJA JAWA
cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98, 224-250. Martin, M., Sugarman, J. H., & Hickinbottom, S. (2010). Persons: Understanding Psychological Selfhood. New York: Springer. McConnell, A. R., & Strain, L. M. (2007). Content and structure of the selfconcept. In C. Sedidikes & S. Spencer (Eds.) The Self in Social Psychology (pp 51-73). New York: Psychology Press. Mikarsa, L. H. (2007) Indonesia. Dalam J. J. Arnett (Ed). International encyclopedia of adolescence (pp. 459-468). New York: Taylor and Francis Group, LLC. Mönks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (1998). Psikologi Perkembangan: Pengantar in berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Myers, D. G. (2012). Exploring social psychology,6th edition.New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Nurius, P. S., & Markus, H. (1990) Situational variability in the self-concept: appraisals, expectancies, and asymmetries. Journal of Social and Clinical Psychology, 9(3), 316-333. Nurmi, J. E. (2004). Socialization and self development: Channeling, selection, adjustment, and reflection inLerner, R.M. & Steinberg, L. (Editor) Handbook of adolescent psychology. Georgia: John Wiley & Sons, Inc. Rhee, E., Uleman, J. S., Lee, H. K., Roman, R. J. (1995). Spontaneous self-descrip-
204
tions and ethnic identities in individualistic and collectivistic cultures. Journal of Personality & Social Psychology, 69, 142–152. Sedikides, C., & Skowronski, J. J. (1997). The symbolic self in evolutionary context. Personality and Social Psychology Review, 1(1), 80-102. Steinberg, L. (2011). Adolescence. edition. New York: McGrawHill.
9th
Stopa, L. (2009). Reconceptualizing the self. Cognitive and Behavioral Practice, 193(7) 1-7, doi:10.1016/j.cbpra.2008. 11.001. Suseno, F. (1999). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Suls, J., & Marco, C. (1991). The Self. In R.M. Baron, W.G. Graziano, dan C. Stangor (Eds.). Social Psychology (pp 69-107). Forth Worth: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Supratiknya, A. (2006). Konstrual Diri di Kalangan Mahasiswa. Insan, 8(2), 8999. Strauss, A. L., & Corbin, J. (1990). Basics of qualitative research : Grounded theory procedures and Techniques. Newbury Park: Sage Publication. Suseno, F. (1999). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Zinkin, L. (2008). Your Self: did you find it or did you make it?. Journal of Analytical Psychology, 53, 389–406.
JURNAL PSIKOLOGI