Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….25
KONSEP DAN IMPLEMENTASI FATWA HUKUM MUI DALAM MASALAH EKONOMI SYARI’AH Hamzah K* Abstrak : Tulisan ini bertujuan; pertama, untuk memahami dan mengkaji metode komisi fatwa dan hukum MUI dalam menetapkan hokum, kedua; untuk mengetahui dan memahami syaratsyarat yang harus dipenuhi seorang mufti; ketiga; untuk mengkaji dan menganalisis konsep dan implementasi fatwa hukum MUI dalam masalah ekonomi sayri‟ah. Adapun metode yang digunakan adalah: pertama; Library Research dengan menganalisis menggunkan metode analisis kualitatif-deskriptif kemudian mengambil kesimpulan dengan tehnik induktif, deduktif dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama; Metode MUI dalam menetapkan hukum keagamaan, pertama-tama adalah MUI sangat memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, sehingga fatwanya benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat, jika kelihatan ada pertentangan antara wahyu dengan akal, MUI lebih mengutamakan dan mendahulukan wahyu dari pada akal. Dan mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, tentang ilmu-ilmu agama. Kedua; persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan adalah: Syarat yang berhubungan dengan kepribadian (1) balig, berakal, dan merdeka; (2) adil, dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan, yaitu; Mengetahui ilmu alat, dalam hal ini bahasa Arab;Pengetahuan tentang al-Qur‟an; Memahami Hadis Nabi saw.;Pengetahuan tentang ijma‟ ulama; Pengetahuan tentang qiyas; Pengetahuan tentang ushul fiqh. Ketiga, Fatwa MUI dalam masalah sosial ekonomi dalam tataran konsep dan landasan hukum cukup kuat dalam pelaksanaan ekonomi dan keuangan syari‟ah di Indonesia, namun dalam tataran penerapannya atau implemnatasinya dalam masyarakat masih sangat terbatas, karena masyarakat muslim masih banyak berhubungan dengan ekonomi dan keuangan konvensional di banding dengan ekonomi dan keuangan Syari‟ah. Kata Kunci: Konsep, implementasi, fatwa MUI, Ekonomi syariah. Reksadana Pendahuluan Keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat dibutuhkan, mengingat perannya dalam menyelesaiakan berbagai masalah keagamaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, khususnya yang menyangkut penyelesaian hukum-hukum keagamaan kontemporer. Penyelesaian hukum-hukum keagamaan kontemporer dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) dilakukan melalui Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia. Komisi ini menjawab segala permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Tugas komisi fatwa adalah memberikan fatwa (ifta‟), ini suatu pekerjaan yang sangat sulit karena mengandung resiko berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah swt., mengingat pekerjaan tersebut adalah menjelaskan hukum Allah kepada
masyarakat yang akan dipedomani dan diamalkan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ dan menetapkan sejumlah kode etik dan persyaratan yang sangat ketat dan berat yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.1 Munculnya berbagai persoalan hukum di tengah-tengah masyarakat, diakibatkan oleh kondisi sosial masyarakat yang mengalami perubahan, baik persoalan budaya, politik, sosial keagamaan, ekonomi dan hukum. Kesemuanya memerlukan penanga* Dosen Tetap Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palopo 1
Departemen Agama RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag., 2003), h. vii.
26 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
nan agar tidak menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Menurut para pakar bahwa perubahan kondisi sosial masyarakat yang memunculkan berbagai persoalan hukum, karena pengaruh globalisasi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama yang belum ada aturan-aturan hukumnya.2 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengantisipasi persoalan hukum yang muncul disebabkan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang informatika modern, transportasi, komunikasi dan ekonomi telah banyak mengeluarkan fatwa dalam berbagai bidang. Misalnya fatwa dalam bidang, ibadah, fatwa di bidang keagamaan, masalah sosial kemasyarakatan dan ekonomi syari‟ah, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).3 Khusus ekonomi syari‟ah Dewan Syari‟ah Nasional yang dibentuk MUI terus menerus memberikan dedikasi dan kidmahnya, dengan jalan terus merespon, memberikan formulasi terhadap modelmodel pengem-bangan produk dari lembaga keuangan yang berbasis pada syari‟ah.4 Sistem ekonomi syari‟ah merupakan payung hukum atau induk dari semua aktivitas dan model ekonomi berbasis syari‟ah Islam. Karena sebagai sistem selain didalamnya mengusung nilai, asas dan prinsipprinsip yang harus dipahami dengan baik oleh pelaku beserta semua pihak yang terkait dengan ekonomi syari‟ah, juga harus diimplementasikan ke dalam model-model ekonomi sebagai penjabaran dari nilai, asas dan prinsip-prinsip tersebut. Disinilah terletak perbedaan mendasar antara sistem ekonomi syari‟ah dengan sistem ekonomi konvensional, baik yang kapitalistik maupun sosialistik berbasis bunga. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Unadang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa
yang dimaksud ekonomi syari‟ah adalah perubahan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah, antara lain meliputi; bank syari‟ah, lembaga keuangan mikro syari‟ah, asuransi syari‟ah, reasuransi syari‟ah, reksadana syari‟ah, obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah, sekuritas syari‟ah, pembiayaan syari‟ah, pegadaian syari‟ah, dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah dan bisnis syariah.5 Dalam kaitan yang menyangkut ekonomi syari‟ah, penulis membatasi pembahasannya pada Reksadana Syari‟ah dan Perbankan Syari‟ah. Metode yang dilakukan Komisi Fatwa dan Hukum MUI dalam menetapkan Hukum Term fatwa berasal dari bahasa Arab yang asal katanya : َٖٕ ا َْنفُ ْتartinya fatwa dan jamaknya : َٖٔ فَتَا.6 Dalam kamus al-Munjid kata : َٖٔ فَتَا sebagai ism jamak yang mempunyai arti : ُاَ بَا ٌٌ نَهُ ا ْن ُح ْك ُى فِ ْي َها َواَ ْخ َر َج نَه 7 . فَتَ َىيartinya menjelaskan hukum atas sesuatu dengan cara mengeluarkan petuah atau pendapat. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam kata fatwa (al-Fatwa) jamak dari fatawa berarti petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.8 Kata fatwa kini telah menjadi salah satu perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, yang berarti; nasehat dari orang alim, dan pelajaran yang baik. Sedangkan menurut M. Quraish shihab, mengatakan fatwa dalam pengertian sederhana “pemberian keputusan”.9 5
Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2007 Tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, 6
Ahmad Warson Munawir, Kamus alMunawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1034. 7
Lihat Lois Ma‟luf, al-Munjid f³ al-Lugah, (Bairut: Dar al-Masyrik, 1977), 569.
2
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 153.
8
Abdul Azis Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 326.
3
Departemen Agama RI., op. cit., h. xiii-xv.
4
M. Arfin Hamid, Membumikan Ekonomi Syari‟ah di Indonesia, (Jakarta: el-SAS, 2007), h. xi-xii.
9
Lihat M. Qurais Sihab, Era Baru, Fatwa Baru, “Kata Pengantar” dalam MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 16.
Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….27
Sedangkan pengertian fatwa secara terminologi adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.10 Berdasar dari batasan tersebut maka dapat dipahami bahwa fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma keagamaan secara universal. Dalam ilmu ushul fiqh fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.11 Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau fakih tersebut tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat. Metode MUI dalam menetapkan hukum keagamaan, pertama-tama adalah MUI sangat memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, sehingga fatwanya benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan sejalan denga tujuan pensyariatan hukum Islam (maqashid alsyari‟ah), yaitu al-Masalih al-„Ammah atau kemaslahatan umum yang disepakati oleh seluruh ulama. Kemaslahatan umum yang juga dengan maslahah syar‟iah, yaitu kemaslahatan yang berkenan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, yang dikenal dengan istilah aldharuriyat al-Khams sangat diperhatikan oleh MUI setiap akan mengeluarkan fatwa. Jika kelihatan ada pertentangan antara wahyu dengan akal, MUI lebih mengutakana dan mendahulukan wahyu. Sebab bagaimana mungkin Khalik (wahyu) dapat dikalahkan oleh makhluk (akal). Demikianlah pandangan dan pedoman MUI. Pengutamaan akal daripada wahyu, dalam pandangan MUI sama dengan pengingkaran terhadap wahyu.
Pada hal Allah telah memperingatkan dalam QS. al-„Anbiya(21) :50 Terjemahnya : Dan Al Qur‟an ini adalah suatu Kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang Telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya.12 Perlu diketahui bahwa dalam persoalan yang hukumnya telah diterapkan oleh nash qathi‟ yakni persoalan yang tidak perlu diijtihadkan lagi status hukumnya, MUI tidak menfatwakannya. Dalam hal ini, apa yang dilakukan MUI hanyalah menyampaikan apa adanya sebagaimana ditetapkan oleh nash. Fatwa-fatwa MUI hanyalah berkenaan dengan masalah fiqh, yakni hukum Islam kategori fiqh yang merupakan hasil ijtihad para ulama dari nash zanni.13 Berkaitan dengan pendapat yang akan difatwakan, MUI melakukan ijtihad Jama‟i (ijtihad kolektif) dengan memperhatikan kaidah-kaidah perbandingan mazhab untuk meneliti pendapat mazhab manakah yang dalilnya kuat dan ditunjang kemaslahatan. Jika didapatkan pendapat yang demikian, pendapat itulah yang dipilih dan difatwakan. Jika terdapat suatu pendapat yang dalilnya tidak kuat, namun kemaslahatannya menonjol atau menguntungkan, sedangkan pendapat lainnya kuat dalilnya namun tidak membawa kemaslahatan, maka permasalahannya diserahkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk memilih pendapat manakah yang akan difatwakan. Terhadap masalah fiqh, Komisi Fatwa hanyalah memilih, kecuali mengenai maslahah yang tidak terdapat penjelasan hukumnya dalam buku-buku mazhab yang ada. Maka MUI melakukan ijtihad Jama‟i (ijtihad kolektif) secara bebas, namun terikat dengan kaidahkaidah istinbat yang telah dirumuskan oleh imam mazhab. Demikian proses dan
10
Lihat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Penetapan Fatwa MUI dalam “Departemen Agama RI., (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), h. 4. 11
Abdul Azis Dahlan, et al., op. cit., h. 326.
12
Departemen Agama RI., al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an Depag., 1985), h. 501. 13
Departemen Agama RI., Kumpulan Fatwa MUI, op. cit., h. x.
28 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
prosedur lahirnya sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.14 Dalam persoalan khilafiyah di kalangan mazhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat mazhab melalui metode al-Jam‟u wa al-Taufiq, dan jika usaha titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah almazahib dengan menggunakan kaidahkaidah ushul fiqh Muqaran.15 Dalam hal yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama‟i (ijtihad kolektif) melalui metode bayani, ta‟lili (qiyas, istihsan), istislah, dan sadd al-Zariyah.16 Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (masalih al-„Ammah) dan maqshid al-Syar‟ah. Metode fatwa yang dilakukan MUI tidak jauh berbeda apa yang telah dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah alZuhaily menyatakan bahwa orang yang mengeluarkan fatwa terdiri atas empat kelompok, yaitu : 1. Orang yang memahami benar kandungan al-Qur‟an dan Hadis serta pendapatpendapat sahabat. Kelompok ini termasuk mujtahid yang senantiasa mengeluarkan fatwanya bersandarkan sumbersumber yang ma‟sur; 2. Mujtahid mengeluarkan fatwa berdasarkan mazhab yang lebih kuat pendapatnya. Kelompok ini, senantiasa menggunakan qiyas dalam memastikan salah satu mazhab apa yang paling kuat pendapatnya. Misalnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hambali dan selainnya; 3. Mujtahid mengeluarkan fatwa sesuai mazhab yang dianutnya. Kelompok ini senantiasa memperkuat pendapat mazhabnya dengan berusaha mengeluarkan dalil-dalil untuk mendukung pendapat mazhabnya; 14
Ibid., h. x-xi.
15
Ibid., h. 385.
16
Ibid.
4. Orang yang memahami berbagai pendapat mazhab sebagai tempat rujukannya. Kelompok ini berusaha menjauh-kan dirinya dari taqlid dalam meng-hadapi suatu masalah. Sehingga dalam mengeluarkan fatwa, terlebih ia membandingkan beberapa pendapat mazhab, kemudian ia berpegang kepada salah satunya.17 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa metode fatwa MUI dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum adalah : 1. Memperhatikan kemaslahatan umum atau tujuan pensyariatan hukum Islam (maqshid al-syari‟ah), yaitu al-Masalih al-„Ammah; dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, yang dikenal dengan istilah al-dharuriyat alKhams 2. MUI lebih mengutamakan dan mendahulukan wahyu dan sunnah; 3. MUI melakukan ijtihad Jama‟i (ijtihad kolektif) dengan memperhatikan kaidahkaidah perbandingan mazhab untuk meneliti pendapat mazhab manakah yang dalilnya kuat dan ditunjang kemaslahatan. 4. Jika kuat dalilnya namun tidak membawa kemaslahatan, maka permasalahannya diserahkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk memilih pendapat manakah yang akan difatwakan; 5. Terhadap masalah fiqh, Komisi Fatwa hanyalah memilih, kecuali mengenai maslahah yang tidak terdapat penjelasan hukumnya dalam buku-buku mazhab yang ada. Maka MUI melakukan ijtihad Jama‟i (ijtihad kolektif) secara bebas, namun terikat dengan kaidah-kaidah istinbath yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, seperti metode bayani, ta‟lili, qiyas, istihsan, istislah, dan sadd al-Zariyah; 6. Jika terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu dengan menggunakan metode al-Jam‟u wa al-Taufiq, dan jika usaha titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa 17
Lihat Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jjuz II, (Dimasiqy: Dar al-Fikr, 1986), h. 1082-1083.
Hamzah K., Konsep dan Inplementasi Fatwa Hukum MUI ….29
didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah al- mazahib dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh Muqaran. Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi oleh Seorang Mufti Pekerjaan mengeluarkan fatwa bagi seorang mufti mempunyai tanggung jawab yang sangat berat, karena menyangkut persoalan-persolan hukum agama, yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu tak heran jika para ahli ushul fiqh memberikan syarat-syarat yang sangat ketat bagi seorang mufti. Ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggungjawabkan adalah: (1) balig, berakal, dan merdeka; (2) adil, dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa.18 Amir Syarifuddin mengatakan bahwa seorang mujtahid yang berfatwa harus memiliki beberapa syarat, yaitu: (1) syarat yang berhubungan dengan kepribadian, dan (2) syarat yang berhubungan dengan kemampuan. 1. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian, yaitu : a. Balig dan berakal b. Beriman kepada Allah swt. karena yang dilakukan adalah hukum yang dinisbatkan kepada Allah, maka dituntut harus beriman; 2. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan, yaitu : a. Mengetahui ilmu alat, dalam hal ini bahasa Arab; b. Pengetahuan tentang al-Qur‟an; c. Memahami Hadis Nabi saw.; d. Pengetahuan tentang ijma‟ ulama; e. Pengetahuan tentang qiyas; f. Pengetahuan tentang ushul fiqh.19
Menurut Imam Abu Hamid al-Gazali, ahli ushul fiqh mazhab Syafi‟i seorang mufti harus istiqamah dalam agamanya dan memelihara kehormatan pribadinya. Syarat ini sangat diperlukan, karena mufti merupakan panutan bagi masyarakat, baik dari segi fatwa yang dikeluarkannya maupun dari segi kepribadiannya.20 Terkait dengan syarat adil bagi mufti ulama ushul fiqh juga mengemukakan implikasi dari syarat ini. Ada tiga hal yang harus diperhatikan para mufti dalam kaitannya dengan syarat adil, yaitu : (1) setiap fatwanya harus dilandasi oleh dalil. Apabila fatwanya diambil dari pendapat para mujtahid terdahulu, maka ia harus memilih pendapat yang kuat dalilnya dan berorientasi pada kemaslahatan; (2) Apabila mufti tersebut mempunyai kapasitas ilmiah untuk mengistinbatkan hukum maka ia harus berusaha menggali hukum dari nash dengan mempertimbangkan berbagai realitas yang ada; (3) Fatwa itu tidak mengikuti kehendak al-Mustafti, tetapi memper-timbangkan dan mengikuti kehendak dalil dan kemaslahatan umat manusia.21 Imam Ahmad bin Hanbal mengemukakan sebagaimana yang dikutip Muhammad Abu Zahrah bahwa syarat bagi seorang mufti sekurang-kurangnya memiliki lima hal: yaitu, pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ucapannya tidak men-dapatkan nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya. Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang. Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.22 Dalam pandangan MUI bahwa di antara prinsip dan persyaratan seorang mufti (orang yang memberikan fatwa) adalah, harus mengetahui hukum Islam secara 20
18
Abdul Azis Dahlan, et al., op. cit., h. 327.
Abdul Azis Dahlan, et al., op. cit., h. 327.
21 19
Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 255-263. Lihat pula Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1995), h. 115-116.
Ibid., h. 327-328.
22
Muhammad Abu Zahrah, “Ushul al-Fiqh”, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum, et al., dengan judul Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 595.
30 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
mendalam berikut dalil-dalilnya. Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya didasarkan pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan dengan dalil. Tegasnya setiap menyatakan suatu hukum haruslah dapat menunjukkan dalilnya, baik al-Qur‟an, Hadis Nabi, maupun dalil hukum lainnya.23 Menyatakan hukum tidak disertai dalil seperti yang telah disebutkan, sama halnya dengan tahakkum (membuat-buat hukum). Perbuatan tahakkum harus dihindari, karena perbuatan ini termasuk dosanya lebih berat dari dosa syirik, seperti dalam QS. al-„A‟raf (7):33 Terjemahnya : Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.24 Ayat tersebut di atas dipegang teguh oleh Komisi Fatwa dan Hukum MUI setiap akan mengeluarkan suatu fatwa. Agar tidak terjadi kesan bahwa MUI mengada-ada suatu hukum Allah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa syarat yang harus dipenuhi seorang mufti adalah pada dasarnya harus mempunyai niat yang suci, beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., mengetahui kondisi sosial masyarakat dan mempunyai kapasitas keilmuan untuk bisa mengeluarkan fatwa, 23Departemen Agama RI., Kumpulan …, op. cit., h. x. 24Departemen Agama RI., al-Qur‟an…, op. cit., h. 226.
terutama mengusai hukum Islam dengan segala pendukungnya. Fatwa Hukum MUI Tentang Ekonomi Syari’ah, Konsep dan Implementasinya Dalam menghadapi dunia globalisasi pada abad 21 umat Islam dihadapkan kepada realitas dunia yang serba cepat dan canggih. Tak terkecuali di dalamnya masalah ekonomi dan keuangan. Dalam MUI ada satu bagian yang mempunyai otoritas dalam mengeluarkan fatwa hukum terhadap masalah yang berkembang di masyarakat. Bagian ini disebut Komisi Fatwa. Tugas utama dari komisi fatwa adalah bersidang dan sekaligus mengeluarkan fatwa hukum untuk kasus-kasus hukum yang timbul di masyarakat. Selain Komisi Fatwa, di MUI mulai tahun 2000 telah dibentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) melalui Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI masa bakti tahun 2000-2005.25 Dewan Syariah Nasional (DSN) ini dibentuk untuk merespons perkembangan ekonomi Islam dan permasalahannya dalam lembaga keuangan Syariah dan umat Islam sendiri. Secara detailnya, tugas Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya, mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan syariah, dan mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.26 Dewan Syariah Nasional adalah, Dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa dan kegiatan usaha bank dengan prinsip syari‟ah.27 Dalam mengawasi pelaksanaan fatwa MUI melalui DSN mengenai pelaksanaan pemberian produk dan jasa keuangan dan ekonomi oleh lembaga keuangan, DSN 25Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 51. 26Ibid., h. 52. 27
Wirdiyaningsih, et al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 14.
Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….31
akan menunjuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk tiap lembaga keuangan yang bersangkutan. Peran DSN dan DPS memang tidak terbatas pada pemberian fatwa atas produk, jasa dan transaksi keuangan yang akan dilakukan oleh lembaga keuangan, tetapi juga menentukan proses purifikasi dan memonitor pengelolaan lembaga keuangan.28 Masalah fatwa MUI mengenai ekonomi dan keuangan syari‟ah, penulis akan melihat bagaimana konsep dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Konsep yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah “rancangan” atau “ide”.29 Sedang implementasi adalah “pelaksanaan, penera-pan”.30 Jadi konsep dan implementasi dalam masalah ekonomi syari‟ah yang dimaksudkan adalah rancangan dan pelaksanaan atau penerapan sistem ekonomi syari‟ah atau ekonomi Islam yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), khususnya di tengah masyarakat Indonesia. Komisi Fatwa dan Hukum MUI telah banyak mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syari‟ah di Indonesia, di antaranya adalah; (1) Reksadana Syari‟ah (2) Perbankan Syari‟ah, (3) Asuransi Syari‟ah, (4) Saham, dan (5) Obligasi Syariah dan lainlain. Dapat pula dilihat pada UU No. 3 Tahun 2007 mengenai ekonomi syari‟ah. Dalam makalah ini dibatasi pembahasannya pada Reksadana Syari‟ah dan Perbankan Syari‟ah. Seperti telah ditegaskan pada uraian yang lalu. Reksadana Syariah Salah satu produk yang berkembang saat ini adalah reksadana, yang di luar negeri dikenal dengan “Unit Trust‟‟ atau “Mutual Fund‟‟. Reksadana adalah sebuah wadah di mana masyarakat dapat menginvestasikan dananya dan oleh pengurusnya (manejer investasi) dana itu diinvestasikan ke
fortofolio efek. Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit.31 Reksadana memiliki andil yang sangat besar dalam perekonomian nasional karena dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan perusahan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi lan, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan material. Namun bagi umat Islam reksadana merupakan hal yang perlu diteliti, karena masih mengandung hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Misalnya investasi reksadana pada produkproduk yang diharamkan dalam Islam, seperti minuman keras, judi, pornografi dan jasa keuangan non syariah. Di samping itu mekanisme transaksi antara investor dengan reksadana, dan antara reksadana dengan emiten (pemilik perusahaan) harus diklasifikasi menurut hukum Islam.32 Pandangan Islam Tentang Reksadana Pada prinsipnya setiap sesuatu dalam muamalat adalah dibolehkan selama tidak ada pertentangan dengan syariah, mengikuti kaidah fiqh yang dipegang oleh mazhab Hambali dan para Fuqaha lainnya : ُ ْيََ َّتصِ ل ُ ِب َها مِن ش ُر ْوطِ ْاالِ َبا َ صل ُ ف ِْي ا ْل ُعقُ ْود َو َما ْ َاَ أل َّ ص ال َّ َحة ُ َما لَ ْم َيم َن ْع َها ال . ش ْر ِع َ ص ْو ُ ِف ُن ْ ش ْر ُع اَ ْو ُت َخال Artinya; Prinsip dasar dalam transaksi dan syarat-syarat yang berkenaan dengannya ialah boleh diadakan, selama tidak dilarang oleh syariah atau bertentangan dengan nash syariah.33 Dalam QS. al-Maidah (5):1 . . .
28
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 228-229. 29
Depdikbud. RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 456. 30
Ibid., h. 327.
31
Departemen agama RI. Himpunan …, op. cit., h. 245. 32
Ibid.
33
Ibid.
32 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. . .34 Syarat-syarat yang berlaku dalam sebuah akad, adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh kaum muslimin, selama tidak melanggar ajaran Islam. Dalam reksadana konvensional berisi akad muamalah yang dibolehkan dalam Islam, yaitu jual beli dan bagi hasil (mudarabah/musyarakah). Dan di sana terdapat banyak maslahat, seperti memajukan perekonomian, saling memberi keuntungan di antara para pelakunya, meminimalkan resiko dalam pasar modal dan sebagainya. Namun di dalamnya juga ada hal-hal bertentangan dengan syariah, baik dari segi akad, operasional, investasi, transaksi dan pembagian keuntungannya. Syariah dapat menerima usaha semacam reksadana sepanjang hal yang tidak bertentangan dengan syariah. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Nisa (4):29 . . . Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu . . .35 Urgensi Reksadana Syariah Sesuatu hal yang lazim dalam kehidupan sosial bahwa sebagian orang yang memiliki kemampuan melaksanakan kegiatan bisnis dan ekonomi tetapi tidak memiliki modal. Sementara di sisi lain ada yang memiliki harta, tapi tidak cakap dalam mengembangkannya. Berkata al-Baijuri; bahwa dalil dibolehkan Qirad adalah ijma‟
dan hajat, karena ada pemilik harta yang tidak mampu mengelola modalnya, dan sebaliknya ada orang mampu mengelolanya tetapi tidak punya modal, Maka yang pertama memerlukan pengelolaan modal, sementara yang kedua memerlukan pekerjaan.36 Reksadana sebagai lembaga yang mengelola harta memiliki kemampuan untuk mengembangkannya dari para pemilik modal secara sendiri-sendiri. Reksadana adalah tuntutan perkembangan ekonomi yang akan terus berkembang. Ia akan menghimpun dana dari umat yang tidak dapat dicegah untuk berinvestasi di reksadana. Di sisi lain umat Islam harus dapat bersaing dalam bidang ekonomi dalam usaha mempersiapkan diri menghadapi globalisasi yang sukar dihindari. Reksadana syariah menyediakan sarana bagi umat Islam untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional melalui investasi yang sesuai dengan syariat Islam. Dalam melakukan kegiatan investasi, reksadana syariah dapat melakukan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan syariah. Di antara investasi tidak halal seperti perjudian, pelacuran, makanan dan minuman yang haram, lembaga keuangan yang mengandung riba dan lain-lain yang ditentukan oleh DPS. Akad yang dilakukan reksadana syariah dengan emiten (pemilik perusahaan) dapat dilakukan : 1. Mudarabah (Qirad/Musyarakah). Reksadana syariah yang dalam hal ini bertindak selaku mudarib dalam kaitannya dengan investor dapat melakukan akad mudarabah (Qirad/Musyarakah). Wahbah al-Zuhaily menjelaskan bahwa; “mazhab Hanafi mengatakan mudarib tidak boleh mengadakan mudarabah dengan orang lain kecuali pemilik harta memberikan mandat. Sedangkan mazhab selain Hanafi, seperti ulama Maliki mengatakan: „Amil (mudarib) akan menanggung resiko apabila modal qirad yang diterimanya dari pemberi modal diserahkan lagi kepada pihak ketiga untuk dikembangkan dengan akad qirad juga,
34
Departemen Agama RI., al-Qur‟an . . . op. cit., h. 156. 35
Ibid., h. 122.
36
Departemen Agama RI., Himpunan . . ., op. cit., h. 247.
Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….33
apabila pemilik modal tidak mengizinkannya. 2. Jual Beli Reksadana syariah selaku mudarib juga diperbolehkan melakukan jual beli saham. Ibn Qudamah mengatakan; “jika salah seorang berkongsi membeli bagian (saham) temannya dalam perkonsian, hukumnya boleh, karena ia membeli hak milik orang lain.37 Reksadana syariah pada prinsipnya syariah memberikan peluang, bahkan menawarkan beberapa jenis instrumen yang dapat dikembangkan. Pelaksanaan dan pengembangan ini dapat saja dilakukan selama kaidah-kaidah syariah tidak dilanggar. Perbankan Syariah Pelaksanaan kegiatan usaha pada Bank Islam di Indonesia tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan di Indonesia, seperti Undang-undang No. 7 Tahun 1992 dan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Namun, kegia-tan usaha pada Bank Islam harus sesuai dengan ketentuan syariah. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan sehu-bungan dengan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Islam, baik Bank Umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Bank Umum Syariah dalam menjalankan kegiatan usaha-nya diatur oleh Bank Indonesia melalui pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No.24/PBI/2004. Kegiatankegiatan itu antara lain adalah sebagai berikut : 1. Menghimpun Dana : a. Giro berdasarkan prinsip Wadi‟ah; b. Tabungan berdasarkan prinsip wadi‟ah dan atau mudarabah; c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudarabah; 2. Penyaluran Dana : a. Prinsip jual-beli; (1) murabahah (2) istishna (3) salam; b. Prinsip Bagi Hasil; (1) mudarabah, (2) musyarakah;
c. Prinsip Sewa menyewa; (1) ijarah, (2) Iajarah muntahiya; d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qard; 3. Jasa Pelayanan; (1) wakalah, (2) Hawalah, (3) kafalah, dan (4) rahn;38 Sedang Bank Perkreditan Rakyat Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya tidak terlalu jauh berbeda dengan kegiatan usaha dengan Bank Umum Syariah. Hanya ada beberapa kegiatan usaha pada Bank Umum Syariah yang tidak dilaksanakan pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Kegiatan usaha pada Bank Perkreditan Rakyat Syariah diatur dalam pasal 34 Peraturan Bank Indonesia No. 6/17/PBI/2004, yaitu sebagai berikut : 1. Menghimpun Dana dari masyarakat dalam bentuk antara lain : a. Tabungan berdasarkan prinsip wadi‟ah atau mudarabah; b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip-prinsip mudarabah c. Bentuk lain menggunakan prisnsip mudarabah; 2. Menyalurkan Dana dalam Bentuk : a. Transaksi jual-beli berdasarkan prinsip; (1) mudarabah, (2) istisna, (3) salam; b. Transaksi sewa menyewa dengan prinsip ijarah; c. Pembiayaan Bagi Hasil berdasarkan prinsip; mudarabah; d. Pembiayaan yang merupakan prinsip qard.39 Bentuk-bentuk kegiatan usaha tersebut di atas, baik pada Bank Umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah harus sesuai nilai-nilai syariah. Landasan Hukum Islam Produk-Produk Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah pada fatwa DSN-MUI: 1. Penghimpunan Dana a. Wadi‟ah (titipan) Wadi‟ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang (muwaddi‟) dengan pihak yang 38
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 125-125.
37
Ibid., h. 252-253.
39
Ibid., h. 126-127.
34 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
diberi kepercayaan (mustawda‟) dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang. Dalam perkembangannya wadi‟ah terbagi atas dua macam; yaitu wadi‟ah yad amanah dan wadi‟ah yad damanah. Wadi‟ah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang di mana pihak penerima tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang akan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Wadi‟ah yad damanah adalah penitipan barang/uang di mana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/ uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/ uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan. Dalam hal ini, Bank Islam menggunakan akad wadi‟ah yad damanah, yaitu Bank dapat menggunakan uang simpanan nasabahnya untuk dikelola. Hasil keuntungan dari pengelolaan dana tersebut adalah milik bank, namun kerugian yang dialami harus ditanggung oleh bank, karena nasabah mendapat jaminan perlindungan atas dananya. Bank dapat memberikan bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan. Manfaat yang diperoleh bank adalah keuntungan dari hasil pengelolaan dana. Aplikasinya pada perbankan Islam, wadi‟ah yad damanah diterapkan pada tabungan dan giro. Dasar hukum akad wadi‟ah adalah sebagai berikut: 1) QS. al-Baqarah (2):283 . . . . . . Terjemahnya : . . . jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. . .40
2) Fatwa DSN-MUI No. 01/DSN-MUI/ IV/2000, pada fatwa ini, giro yang berdasarkan wadi‟ah ditentukan bahwa; (1) dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan, (2) titipan (dana) ini bisa diambil kapan saja (on coll); dan (3) tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian („athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. 3) Sedangkan tabungan diatur dalam fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, disebutkan ketentuan mengenai tabungan yang berdasarkan wadi‟ah, yatu (1) dana yang disimpan pada bank adalah bersifat simpanan, (2) simpanan ini bisa diambil kapan saja (on coll) atau berdasarkan kesepakatan, dan (3) tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian („athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.41 b. Mudarabah (bagi hasil) Mudadarabah adalah akad antara pemilik modal (sahibul mal) dengan pengelola (mudarib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati diawal akad. Aplikasinya dalam perbankan Islam pada penghimpunan dana, yaitu pada deposito, tabungan dan giro. Seperti halnya sistem wadi‟ah, tabungan juga diatur dalam fatwa DSN No. /DSN-MUI/IV/2000, dan giro diatur dalam fatwa DSN No. 01/DSNMUI/IV/2000, sedangkan mengenai deposito diatur dalam fatwa DSN. No. 03/DSNMUI/IV/2000.42 2. Penyaluran Dana a. Prinsip Jual-Beli 1) Murabahah Pembiyaan murabahah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan berupa selisih
41
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 127-130.
40
Departemen agama RI., op. cit., h. 71.
42
Ibid., h. 130.
Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….35
harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah. Sebagai dasar hukum pelaksanaan murabahah dalam sumber utama hukum Islam adalah sebagai berikut : a) QS. al-Baqarah (2):275
. . . Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. . . 45
. . . . . . Terjemahnya : . . .Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . .43 b) Fatwa DSN MUI No. 04/DSNMUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut ditentukan mengenai murabahah yaitu; (1) Bank dan nasabah harus melakukan akad bebas riba, (2) barang yang diperjual belikan tidak diharamkan Bank membiayai seba-gian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati; (3) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba; (4) barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syariat Islam; (5) bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian; (6) bank menjual barang tersebut pada nasabah dengan harga jual senilai harga plus keuntungannya; (7) nasabah membayar harga barang yang telah disepakati pada jangka waktu tertentu; (8) harus ada perjanjian khusus dengan nasabah untuk mencegah penyelewengan.44 2) Salam Pembiyaan salam, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang/jasa dengan pembayaran di muka sebelum barang/jasa diantarkan atau terbentuk. Nasabah berkewajiban mengembalikan talangan dana tersebut ditambah margin keuntungan bank secara menyicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu atau tunai sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukumnya adalah : a) QS. al-Baqarah (2):282 43
Departemen agama RI., al-Qur‟an . . ., op. cit., h. 69. 44
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 131-133.
b) Fatwa DSN MUI No. 05/DSNMUI/IV/2000, Dalam Fatwa tersebut ditentukan beberapa hal, yaitu; (1) alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang atau manfaat; (2) pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati; (3) pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang. Barang yang menjadi objek salam ditentukan; (1) ciri-cirinya jelas; (2) dijelaskan spesifikasinya; (3) penyerahannya dilakukan kemudian; (4) tempat dan waktu penyerahan harus jelas; (5) tidak boleh dijual sebelum menerima barangnya; (6) tidak boleh menukar barang, kecuali barang sejenis.46 b. Prinsip Sewa Menyewa (Ijarah ) Pembiayaan ijarah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk memiliki suatu barang/jasa dengan kewajiban menyewa barang tersebut sampai jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukumnya adalah fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV2000, yaitu dalam QS. al-Zukhruf (43):32
45
Departemen agama RI., al-Qur‟an . . ., op. cit., h. 70. 46
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 136-137.
36 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
Terjemahnya :
2)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.47 c. Prinsip Pinjam Meminjam Pembiayaan Qardul Hasan, yaitu pembiayaan berupa pinjaman tanpa dibebani biaya apa pun bagi kaum duafa yang merupakan asnaf zakat/infak/sedekah dan ingin mulai berusaha kecil-kecilan. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan pinjaman pokoknya saja pada waktu jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan dengan membayar biaya-biaya administrasi yang diperlukan, seperti biaya materai, biaya notaris dan lain-lain. Nasabah yang berhasil dianjurkan membayar zakat/infak/sedekah untuk memperkuat dana Qardul Hasan. Bank memperoleh pengembalian biaya administrasi dan menampung zakat/infak /sedekah dari nasabah yang berhasil usahanya. Dana qardul hasan ini dapat bersumber dari bagian modal bank, keuntungan bank yang disisihkan, atau dari lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaknyake pada bank. Dasar hukum qardul hasan : 1) QS. al-Hadid (57):11 Terjemahnya : Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.
Fatwa DSN MUI No. 19/DSNMUI/IV/2000, Dalam fatwa ini ketentuan umum qardul hasan adalah; (1) al-qard adalah pinjaman yang di-berikan kepada nasabah yang memerlukan; (2) nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang disepakati; (3) Biaya administrasi dibebankan kepada nasa-bah; (4) jika nasabah tidak mampu mengebalikan pinjamannya saat yang telah ditentukan, maka bank dapat: (a) memperpanjang jangka waktu pengem-balian atau (b) menghapus sebagian atau sekaligus kewajibannya.48 3. Jasa Pelayanan Selain dari jenis-jenis pembiayaan utama tersebut di atas, perbankan syariah juga menyelenggarakan pelayanan dengan memperoleh upah atau fee sebagaimana yang dilakukan perbangkan konvensional pada umumnya. Jenis-jenis pelayanan yang lazim diselenggarakan oleh perbankan syariah antara lain adalah sebagai berikut : a) Al-Kafalah Al-Kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank sebagai penanggung kepada pihak ketiga atas kewajiban pihak kedua. Atas pemberian jaminan ini bank memperoleh fee. Landasan hukum atas usaha kegiatan ini adalah : 1) QS. Yusuf (12):72 Terjemahnya : Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya.49 2) Fatwa DSN MUI No. 11/DSNMUI/IV/2000. Dalam fatwa ini diatur ketentuan, yaitu; (1) pernyataan ijab dan dan kabul dalam mengadakan kontrak; (2) penjamin 48
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 159-160
47
Departemen agama RI., al-Qur‟an . . ., op. cit., h. 789.
49
Departemen agama RI., al-Qur‟an . . ., op. cit., h. 360.
Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….37
dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan; (3) kafalah dengan imbalan bersifat mengi-kat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.50 b) Al-Hiwalah Al-Hiwalah, yaitu jasa pengalihan tanggung jawab pembayaran utang dari seorang yang berutang kepada orang lain. Contoh; Tuan A karena transaksi perdagangan berutang kepada Tuan C. Tuan A mempunyai simpanan bank, maka atas permintaan Tuan A, bank dapat melakukan pemindahbukuan dana pada rekening Tuan A untuk keuntungan rekening B. atas jasa pengalihan utang ini bank memperoleh fee. Dasar hukumnya adalah Hadis Riwayat Bukhari, bahwa “Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutannya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah”. Dan Fatwa DSN MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000.51 c) Al-Wakalah (mewakilkan) Al-Wakalah, yaitu melakukan tindakan/pekerjaan mewakili nasabah sebagai pemberi kuasa. Untuk mewakili nasabah melakukan tindakan/pekerjaan tersebut nasabah di mana untuk mendepositokan dana secukupnya. Landasan hukumnya : 1) QS. yusuf (12):55 Terjemahnya : Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.52 2) Fatwa DSN MUI No. 10/DSNMUI/IV/2000, Dengan ketentuan adalah; (1) pernyataan ijab kabul dalam mengadakan kontrak; (2) wakalah dengan imbalan yang 50
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 162-163.
51
Ibid., h. 164-165.
bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. d) Al-Rahn (Gadai) Al-Rahn, yaitu pembiayaan berupa pinjaman dana tunai dengan jaminan barang bergerak yang relatif nilainya tetap, seperti perhiasan emas, perak, intan, berlian, batu mulia dan lain-lain untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Nasabah diwajibkan membayar utangnya setelah jatuh tempo dan membayar sewa tempat penyimpanan barang jaminannya. Bank memperoleh pendapatan berupa sewa tempat penyimpanan barang jaminan. Dasar hukumnya dalam Islam : 1) QS. al-Baqarah (2):283 . . . Terjemahnya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang .53 2) Fatwa DSN MUI No. 25/DSNMUI/III/2002. Dalam fatwa ini berisi ketentuan, yaitu; (a) murtahim (pene-rima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin dilunasi; (b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin; (c) besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinja-man; (d) apabila jatuh tempo murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya; (e) apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/ dieksekusi melalui lelang sesuai syariah; (f) hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utangnya; (g) kelebihan hasil penjualan milik rahin dan kekurangnya menjadi kewajiban rahin.54 Dari konsep sosial ekonomi dan keuangan syaria‟h yang telah dikemukakan 53
52
Departemen agama RI., al-Qur‟an . . ., op. cit., h. 357.
Ibid., h. 71.
54
Widyaningsih, et al., op. cit., h. 168-170
38 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
di atas, menurut hemat penulis belum terlalu dikenal di kalangan masyarakat muslim di Indonesia pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, olehnya itu masih perlu porsi yang banyak untuk mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Bahkan masyarakat yang mengenalnya pun kadang bertanya di mana sebenarnya letak syari‟ahnya. Artinya dia belum bisa membedakan antara ekonomi konvensional dan ekonomi syari‟ah, khususnya ketika berhubungan dengan Bank Syari‟ah atau Bank Muamalah Indonesia (BMI) yang dianggap mewakili Bank Syari‟ah di Indonesia. Khususnya menyangkut masalah pembiayaan (kredit) dengan sistem murabahah. Sehingga terdapat kesulitan memberikan pembiayaan pada nasabahnya, demikian juga pada sistem mu«arabah. Namun demikian suatu hal yang perlu dicatat bahwa akhir-akhir ini para pelaku ekonomi sudah banyak melirik ekonomi syari‟ah ini sebagi suatu alternatif sistem ekonomi yang perlu diterapkan ditengahtengah masyarakat, baik masyarakat muslim maupun non muslim. Hal ini terjadi ketika lengsernya presiden Soeharto yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis tidak mampu memajukan perekonomian di Indonesia pada tahun 1997. Pada saat itu terjadi krisis moneter, kemudian berdampak pada krisis ekonomi, membuat masyarakat Indonesia dilanda kemiskinan. Persoalan itu membuat pelaku ekonomi mencari alternatif baru yang dianggap bisa mengangkat perekonomian di Indonesia, maka pilihan itu banyak memilih sistem ekonomi sayri‟ah. Apa yang telah dikemukakan di atas di dukung oleh lahirnya UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Pada Undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi perkembangan perbankan syari‟ah di Indonesia.55Undang-undang ini juga memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil” pada UU No. 7 tahun 1992, menjadi Bank berdasarkan prinsip Syari‟ah”. Penyebutan 55
Ibid., h. 65.
itu terdapat pada pasal 1 ayat (3), ayat (4), ayat (12), dan ayat (13).56 Pemberlakuan UU No. 10 tahun 1998 ini merupakan momen pengembangan perbankan dan keuangan Syari‟ah di Indonesia. Undang-undang tersebut membuka kesempatan untuk pengembangan jaringan perbankan Syari‟ah, antara lain melalui izin pembukaan Kantor Cabang (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain bank konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari‟ah. Akibat UU No. 10 tahun 1998 itu bukan hanya bank Syari‟ah yang beroperasi seperti bank Muamalah Indonesia, tapi bank konvensional pun boleh melakukan prinsip Syari‟ah, maka bermunculanlah bank-bank konvensional membuka Kantor Cabang Syari‟ah. seperti bank BNI Syari‟ah, bank Mandiri Syari‟ah, bank Lippo Syari‟ah dan lain-lain. Di samping lembaga keuangan perbankan Syari‟ah tumbuh dan berkembang juga lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan lainnya, seperti Reksadana Syari‟ah, Asuransi Syari‟ah, Obligasi syari‟ah dan sebagainya. Kesemuanya ini menunjukan suatu kemajuan di bidang ekonomi dan keuangan Syari‟ah di Indonesia. Pada tataran konsep dan landasan hukum sudah cukup kuat pelaksanaan ekonomi dan keuangan syari‟ah di Indonesia, namun dalam tataran penerapannya atau implementasinya dalam masyarakat masih sangat terbatas, karena masyarakat muslim masih banyak berhubungan dengan ekonomi dan keuangan konvensional di banding dengan ekonomi dan keungan Syari‟ah. Oleh karena itu ekonomi dan keuangan syari‟ah, perlu dilakukan promosi yang lebih banyak dengan menggunakan berbagai macam cara agar bisa dikenal oleh masyarakat sampai ke lapisan bawah. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah lalu, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Fatwa berarti petuah, nasehat, jawaban ulama atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum, 56
Ibid., h. 66.
Hamzah K., Konsep dan Implementasi Fatwa Hukum MUI ….39
2.
3.
dan fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat. Metode fatwa yang dilakukan oleh MUI adalah pertama-tama mengacu kepada al-Qur‟an dan Sunnah, bila tidak ditemukan dalinya dalam alQur‟an dan Sunnah MUI kemudian melakukan Ijtihad Jama‟i (kolektif), dengan menggunakan metode bayani, ta‟lili, qiyas, istihsan, istislah, dan sad. Zari‟ah, dengan memperhatikan kemaslahatan umum (al-„Ammah). Jika terjadi pertentangan pendapat para ahli fiqh dia melakukan al-Jam‟u wa al-Taufiq (kompromi), Jika kuat dalilnya namun tidak membawa kemaslahatan, maka permasalahannya diserahkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk memilih pendapat manakah yang akan difatwakan; Syarat yang harus dipenuhi seorang mufti adalah harus mempunyai niat yang suci, beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., mengetahui kondisi sosial masyarakat dan mempunyai kapasitas keilmuan untuk bisa mengeluarkan fatwa, terutama mengusai hukum Islam dengan segala pendukungnya. Fatwa MUI dalam masalah sosial ekonomi dalam tataran konsep dan landasan hukum cukup kuat dalam pelaksanaan ekonomi dan keuangan syari‟ah di Indonesia, namun dalam tataran implementasi dalam masyarakat masih sangat terbatas, karena masyarakat muslim masih banyak berhubungan dengan ekonomi dan keuangan konvensional di banding dengan ekonomi dan keuangan Syari‟ah. Oleh karena itu masih perlu porsi yang banyak untuk mensosialisasikan melalui berbagai metode, seperti melalui iklan, brosur, ceramah-ceramah agama dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang keuntungan, keistimewaan dan manfaat ekonomi dan keuangan syari‟ah.
Reference Abu Zahrah. Muhammad. “Ushul al-Fiqh”. Diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum, et al., dengan judul Ushul
Fiqh. Jakarta: 2000.
Pustaka
Firdaus,
Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2004. al-Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh alIslam³. Jjuz II. Dimasiqy: Dar alFikr, 1986. Dahlan, Abdul Azis, et al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.. Departemen Agama RI. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag., 2003. ------------------. al-Qur‟an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur‟an Depag., 1985 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Penetapan Fatwa MUI dalam “Departemen Agama RI. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003. Ma‟luf, Lois. al-Munjid fi al-Lugah. Bairut: Dar al-Masyrik, 1977. Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. Munawir, Ahmad Warson. Kamus alMunawwir: Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1995. Shihab, M. Qurais. Era Baru, Fatwa Baru. “Kata Pengantar” dalam MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. Jakarta: Teraju, 2003. Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga
40 Al Amwal, Vol I. No. 1 Maret 2016
Terkait. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Wirdiyaningsih, et al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005