KONSENTRASI SENYAWA 2-ASETIL-1-PIROLINA DAN HEKSANAL PADA BERAS AROMATIK YANG DITANAM PADA KETINGGIAN BERBEDA CONCENTRATION OF 2-ACETYL-1-PYRROLINE AND HEXANAL COMPOUNDS OF AROMATIC RICE PLANTED IN DIFFERENT ALTITUDES Zahara Mardiah dan I Putu Wardana Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Jl. Raya IX Sukamandi, Subang, Jawa Barat
Abstract Currently, aromatic rice is more popular and the demand of this rice is higher. The major volatile compounds that affecting the aroma of aromatic rice are 2-acetyl-1-pyrroline (2AP) and hexanal. 2AP compound formed during the cultivation of rice and no longer synthesized after harvest. The growing environment such as planting altitude affects 2AP synthesis in rice plants. This research aimed to study the effects of planting altitude on 2AP and hexanal content from the rice produced. The study was conducted at the Flavor Analysis Laboratory, Indonesian Centre for Rice Research (ICRR), using Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) with SPME method. A total of four varieties of aromatic rice, namely Khao Dawk Mali (KDM), HSPR, Milky rice, and Sintanur planted in 3 different altitude, >800 m asl, 500-800 m asl, and <500 m asl. The results showed that the varieties planted at >800 m asl had the highest 2AP concentration average and the varieties growned at <500 m asl had the lowest hexanal concentration avarage. In general, the best planting altitude is at >800 m asl, because it can produce highest 2AP concentration avarage and in the same time produce not too high of hexanal concentration avarage. Keywords : Aromatic rice, 2-acetyl-1-pyrroline, hexanal, planting altitude.
Abstrak Beras aromatik saat ini semakin populer dan permintaan terhadap beras jenis ini semakin tinggi. Senyawa volatil utama yang mempengaruhi aroma beras aromatik ada 2-asetil-1pirolina(2AP) dan heksanal. Senyawa 2AP terbentuk selama pertanaman padi dan tidak disintesis lagi setelah panen. Lingkungan tumbuh seperti ketinggian tempat pertanaman mempengaruhi sintesis 2AP pada tanaman padi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ketinggian tempat pertanaman terhadap kandungan 2AP dan heksanal dari beras yang dihasilkan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Flavor Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB padi) menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) dengan metode SPME. Sebanyak 4 varietas aromatik, yaitu Khao Dawk Mali (KDM), HSPR, Milky rice, dan Sintanur ditanam pada ketinggian 3 ketinggian yang berbeda, yaitu >800 m dpl, 500-800 m dpl, dan <500 m dpl. Analisis yang dilakukan adalah konsentrasi senyawa 2AP dan heksanal dari beras yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Varietas yang ditanam pada ketinggian >800 m dpl memiliki rata-rata konsentrasi 2AP paling tinggi, dan varietas yang ditanam pada ketinggian <500 m dpl menghasilkan beras dengan konsentrasi heksanal yang paling rendah. Secara umum, beras aromatik dengan aroma yang paling baik adalah pada pertanaman di ketinggian >800 m dpl,
1
karena dapat menghasilkan rata-rata konsentrasi 2AP yang paling tinggi dan rata-rata konsentrasi heksanal yang tidak terlalu tinggi. Kata kunci : Beras aromatik, 2-asetil-1-pirolina, heksanal, ketinggian lokasi pertanaman.
PENDAHULUAN
Saat ini, selera masyarakat terhadap beras mulai beralih kepada kualitas yang baik, terutama dalam kualitas rasa dan aromanya. Oleh karena itu beras jenis aromatik menjadi beras yang paling banyak diminati oleh pasar dunia dan sangat populer di asia selatan dan asia tenggara (Hori et. al. 1992). Bahkan beras aromatik menguasai harga tertinggi di pasar dunia dan semakin diterima secara luas di Amerika serikat, Eropa, dan Asia timur (Yoshihashi, et. al. 2005). Aroma beras aromatik tersusun dari campuran komponen volatil yang kompleks, namun dari sekitar 200 senyawa volatil tersebut, hanya sedikit saja yang diidentifikasi memiliki efek terhadap aroma dari beras (Champagne, 2008). Senyawa yang paling berkontribusi dalam memberikan aroma menyenangkan pada beras aromatik adalah senyawa 2-asetil-1-pirolina (2-AP) (Buttery et al., 1988). Pada kultivar non-aromatik senyawa ini juga ditemukan, namun dalam konsentrasi yang sangat rendah dan biasanya diabaikan. 2-AP dideskripsikan oleh orang Amerika sebagai aroma mirip popcorn, dan oleh orang Asia dideskripsikan sebagai aroma mirip pandan (Yang et.al. 2008) Penelitian yang dilakukan oleh Yoshihashi (2002) menyatakan bahwa 2AP tidak terbentuk pada proses pemasakan maupun proses paskapanen lainnya, tetapi senyawa ini terbentuk selama masa pertanaman. Yoshihashi et al. (2004) berpendapat bahwa kondisi lingkungan mempengaruhi konsentrasi 2-AP pada beras, sehingga kultivar beras aromatik tertentu akan berbeda konsentrasi 2-AP apabila ditanam ditempat yang berbeda dari tempat asalnya. Kondisi kekeringan selama kultivasi sepertinya memilki kontribusi penting pada beras aromatik (Mardiah et al., 2010). Selain itu Nagarajan, et al. (2010) juga menambahkan bahwa mutu beras dari padi aromatik dipengaruhi oleh suhu dan ketinggian lokasi pertanaman. Senyawa volatil lain yang turut berperan dalam menentukan kualitas aroma beras aromatik adalah heksanal. Heksanal adalah senyawa karbonil yang dihasilkan dari perombakan lipid. Senyawa ini tidak diinginkan ada pada beras karena menyebabkan bau tengik dan off-flavor. Permukaan lipid pada beras terhidrolisis menjadi asam lemak bebas 2
yang sangat rentan mengalami oksidasi. Apabila teroksidasi, asam lemak bebas tersebut menghasilkan senyawa yang bermacam-macam termasuk didalamnya adalah senyawa aldehid berantai pendek, yaitu hexanal. (Lehto et al., 2003). Senyawa 2AP dan heksanal merupakan senyawa volatil yang menentukan kualitas dari beras aromatik yang dihasilkan oleh tanaman padi. Senyawa 2AP disintesis oleh tanaman padi selama masa pertumbuhannya dan tidak disintesis lagi setelah tanaman padi dipanen. Oleh karena itu menemukan lingkungan tumbuh yang tepat merupakan kunci dari kesuksesan dalam menghasilkan beras aromatik yang bermutu tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh ketinggian tempat pertanaman terhadap kandungan 2AP dan heksanal dari beras yang dihasilkan.
METODOLOGI
Percobaan lapang dilaksanakan pada lokasi dengan ketinggian berbeda, yaitu Klaten (ketinggian <500 m dpl, suhu 28-30°C), Temanggung (ketinggian 500-800 m dpl, suhu 2427°C), dan Simalungun (ketinggian >800 m dpl, suhu 18-24°C). Varietas yang digunakan adalah HSPR/Suphanburi (HSPR), Khao Dawk Mali (KDM), Milky rice, dan Sintanur. Pertanaman dilakukan pada Mei dan Juni 2009 (musim tanam kedua 2009), dan panen pada Oktober sampai Desember 2009. Cara bercocok tanam padi yang diterapkan mengikuti pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti pemupukan berimbang (berdasarkan Bagan Warna Daun dan status hara), penyiangan gulma, pengendalian hama terpadu, aplikasi Trap Barrier System (TBS) (IRRI 2007) untuk menanggulangi tikus, dan pengairan berselang. Masing-masing varietas ditanam pada plot berukuran 6 x 10 m2. Contoh gabah untuk dianalisis di laboratorium diambil dengan membuat ubinan berukuran 3 x 4 m2, tanpa ulangan. Gabah kemudian digiling, disosoh dan dihaluskan hingga berukuran 45 mesh, kemudian dianalisis konsentrasi senyawa 2AP dan heksanal. Analisis senyawa volatil dilakukan di Laboratorium Analisis Flavor, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Sukamandi, Subang. Sampel ditimbang masing-masing sebanyak 3 gram lalu dimasukkan ke dalam vial 20 mL dan ditambahkan 1,4-diklorobenzen 5% sebanyak 0,5 mL sebagai standar internal. Vial ditutup dengan PTFE/silicone septum yang terpasang pada penutup alumunium. Isolasi senyawa volatil menggunakan CTC PAL COMBI, vial yang berisi sampel di masukkan ke dalam inkubator yang diatur pada suhu 80 oC dan agitator speed di atur 300 rpm. Setelah 40 menit, syringe fiber dimasukkan ke dalam vial dengan kedalaman 22 mm dan 3
ditutup dengan septum polytetrafluoroethylene (PTFE) yang dikombinasi dengan alumunium. Ekstraksi komponen volatil dilakukan selama 40 menit. Kemudian Syringe fiber disuntikkan ke Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS) dengan kedalaman syringe 54 mm dan waktu desorpsi 7 menit. Ekstrak sampel diinjeksikan ke GCMS (Agilent GC 7890A dan Agilent MSD 5975C) dengan kolom DB-WAX J&W (Agilent Technologies) panjang 60 m, diameter 0,25 mm dan bahan pengisinya polietilen glikol. Suhu Injektor diatur 200 oC dengan mode splitless, tekanan 15.672 psi dan total flow 54 mL/min. Sedangkan pengaturan suhu kolom dimulai dari 35 oC kemudian ditingkatkan 2 oC/menit hingga mencapai 50 oC. Selanjutnya suhu kembali dinaikkan 3 oC/menit hingga 100 oC dan terakhir 5 oC hingga mencapai suhu 180 oC. Kecepatan alir gas helium (He) diatur konstan 1,0 ml/menit, suhu sumber ion ditetapkan 200 o
C, dan electron multiplier 1341 volt. Konsentrasi 2-AP ditentukan dengan menggunakan rumus dari kurva standar yang
dibuat dengan memakai komponen standar 2-AP dengan konsentrasi 0,25; 0,5; 0,75; 1; 1,25 ppm kemudian masing-masing larutan diisi dengan larutan standar internal 1,4-diklorobenzen 5% dengan konsentrasi berturut-turut 1,25; 2,5; 3,75; 5; 6,25 ml pada labu ukur 5 ml dan diencerkan dengan methanol, kemudian diinjeksikan pada GCMS
HASIL DAN PEMBAHASAN
Senyawa 2AP Pada Tabel 1 dapat dilihat konsentrasi tiap varietas yang diuji pada berbagai ketinggian. Terlihat bahwa kisaran konsentrasi 2AP pada ketinggian >800 m dpl adalah 158,44 – 167, 23 ppb, pada ketinggian 500-800 m dpl 158,04 – 170,01 ppb, dan pada ketinggian <500 m dpl 157,58 – 177,01 ppb. Sementara itu, Gambar 1 memperlihatkan bahwa rata-rata konsentrasi 2AP di tanam pada ketinggian >800 m dpl merupakan yang paling tinggi dibandingkan ketinggian lainnya, yaitu mencapai 163,74 ppb. Sedangkan konsentrasi 2AP pada ketinggian 500-800 m dpl menunjukkan rerata konsentrasi yang paling rendah.
Tabel 1. Konsentrasi senyawa 2AP pada beras yang ditanam di tiga ketinggian yang berbeda. Konsentrasi 2AP (ppb) Varietas
(>800 m dpl)
(500-800 m dpl)
(<500 m dpl)
4
KDM
158,44
158,04
157,58
HSPR
165,51
162,95
177,01
milky rice
167,23
160,77
158,96
Sintanur
163,77
170,01
158,34
Rerata
163,74
162,94
162,97
Konsentrasi 2AP (ppb)
163.8 163.6 163.4 163.2 163 162.8 162.6 162.4 >800 m dpl
500-800 m dpl
<500 m dpl
Ketinggian pertanaman Gambar 1. Rata-rata konsentrasi senyawa 2AP pada beras yang ditanam di tiga ketinggian yang berbeda.
Meskipun rerata konsentrasi 2AP beras aromatik yang ditanam pada ketinggian >800 m dpl merupakan yang tertinggi, namun variasi konsentrasi 2AP dari tiap varietas di ketinggian berbeda tidak menunjukkan pola yang seragam. Sebagai contoh pada varietas milky rice menunjukkan korelasi yang positif antara konsentrasi 2AP dan ketinggian tempat, semakin tinggi tempat pertanaman maka konsentrasi 2AP semakin tinggi juga. Namun hal ini tidak terjadi pada varietas lainnya. KDM dan milky rice memperlihatkan konsentrasi yang lebih tinggi apabila ditanam pada ketinggian >800 m dpl, namun HSPR menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi apabila ditanam pada ketinggian <500 m dpl, sedangkan Sintanur menunjukkan konsentrasi 2AP paling tinggi apabila ditanam pada ketinggian 500– 800 m dpl. Hal ini mengindikasikan adanya faktor lain disamping ketinggian yang mempengaruhi sintesis 2AP selama masa pertumbuhan tanaman padi. Meskipun demikian, terlihat bahwa varietas aromatik yang ditanam pada ketinggian >800 m dpl memiliki konsentrasi 2AP yang lebih stabil dan rerata yang lebih tinggi dibandingkan ketinggian yang lainnya.
5
2AP yang merupakan senyawa paling penting pada beras aromatik, mempunyai kekuatan aroma yang berbeda-beda selama pertanaman, penyimpanan, penggilingan, dan pemasakan beras. Nakamura (1998) melaporkan bahwa beras aromatik yang ditanam di dataran tinggi biasanya memiliki aroma 2AP yang lebih kuat dibandingkan yang ditanam di dataran rendah. Meskipun demikian, genetik dari tiap varietas turut memberikan pengaruh terhadap korelasi sintesis 2AP dengan tempat pertanaman. Oleh karena itu Agricultural Cooperative Association of Kochi dalam Itani et al. (2004) menyarankan beberapa langkah sebelum menanam beras aromatik, yaitu pemilihan varietas padi aromatik yang tepat, pertanaman di daerah yang dingin dan dataran tinggi, mengaplikasikan kandungan nitrogen yang rendah, serta memanen lebih cepat dari biasanya.
Senyawa Heksanal Senyawa volatil yang juga berkontribusi penting dalam menentukan kualitas beras aromatik adalah senyawa heksanal yang dihasilkan dari oksidasi lipid. Heksanal memiliki deskripsi aroma tengik, sehingga keberadaan senyawa ini menjadi salah satu penunjuk kualitas beras yang buruk. Keberadaan heksanal telah digunakan dalam menentukan offflavor pada beras (Bergman et al., 2000). Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada ketinggian >800 m dpl kisaran senyawa heksanal adalah 145 – 235,66 ppb, pada ketinggian 500-800 m dpl 233,95-236,10 ppb, dan pada ketinggian <500 m dpl 228,64-233,24 ppb. Sementara
itu,
Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi heksanal pada beras yang ditanam di ketinggian <500 m dpl merupakan yang paling rendah (232,39 ppb), sedangkan yang ditanam di ketinggian 500-800 m dpl merupakan yang paling tinggi (235,55 ppb).
Tabel 2. Konsentrasi senyawa heksanal pada beras yang ditanam di tiga ketinggian yang berbeda. Varietas
Konsentrasi heksanal (ppb) (>800 m dpl)
(500-800 m dpl)
(<500 m dpl)
KDM
235,34
235,97
230,67
HSPR
233,78
234,62
235,89
milky rice
235,41
235,83
230,49
Sintanur
235,56
235,79
232,50
Rerata
235,02
235,55
232,39
6
Konsentrasi heksanal (ppb)
236 235.5 235 234.5 234 233.5 233 232.5 232 231.5 231 230.5 >800 m dpl
500-800 m dpl
<500 m dpl
Ketinggian pertanaman
Gambar 2. Rata-rata konsentrasi senyawa heksanal pada beras yang ditanam di tiga ketinggian yang berbeda Dari Gambar 2 diketahui bahwa sintesis heksanal dengan ketinggian pertanaman tidak menunjukkan pola korelasi terhadap ketinggian tempat pertanaman. Semakin rendah konsentrasi heksanal yang terdapat pada beras maka kualitas beras tersebut semakin bagus. Hal ini karena heksanal dideskripsikan memiliki baunya yang tengik dan odor-threshold yang rendah (5 ppb). Hal ini menyebabkan heksanal dengan cepat terdeteksi oleh hidung manusia (Buttery et al., 1988) oleh karena itu digunakan sebagai indikator penurunan kualitas dan offflavor beras.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan : 1. Secara umum, untuk menghasilkan beras aromatik dengan aroma yang paling baik adalah pada ketinggian >800 m dpl, karena dapat menghasilkan rata-rata konsentrasi 2AP yang paling tinggi dan menghasilkan rata-rata konsentrasi heksanal yang tidak terlalu tinggi. 2. Varietas yang ditanam pada ketinggian >800 m dpl memiliki rata-rata konsentrasi 2AP paling tinggi, sedangkan varietas yang ditanam pada ketinggian 500-800 m dpl menghasilkan beras dengan rata-rata konsentrasi 2AP paling rendah 3. Pengaruh ketinggian tempat terhadap konsentrasi senyawa heksanal menunjukkan bahwa varietas yang ditanam pada ketinggian <500 m dpl menghasilkan beras dengan 7
konsentrasi heksanal yang paling rendah, sedangkan pada ketinggian 500-800 m dpl menghasilkan beras dengan konsentrasi heksanal yang paling tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Suhartini, S.TP atas literatur yang diberikan dan kepada Elsera Br. Tarigan, S.Si atas bantuannya dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Bergman, C.J., J. T. Delgado, R. Bryant, C. Grimm, K.R. Cadwallader, dan B.D. Webb. 2000. Rapid Gas Chromatographic Technique for Quantifying 2-Acetyl-1-Pyrroline and Hexanal in Rice (Oryza sativa, L.) Cereal Chem. 77(4). pp 454–458. Buttery, R., Turnbaugh, J., and Ling, L. 1988. Contributions of volatiles to rice aroma. J. Agrie. Food Chem. 36:1006-1009. Champagne, Elaine T. 2008. Rice Aroma and Flavor: A Literature Review. Cereal Chem. 85(4):445-454 Hori K, Purboyo RBRA, Akinaga Y, Okita T, Itoh K. 1992. Knowledge and preference of aromatic rice by consumers in East and South-east Asia. J Consum Stud. Home Econ 16:199–206. IRRI. 2007. Masalah Lapang: Hama, Penyakit, Hara Pada Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Itani, T., M. Tamaki, Y. Hayata, T. Fushimi, dan K. Hashizume. 2004. Variation of 2-acetyl1-pyrroline concentration in aromatic rice grains collected in the same region in japan and factors affecting its concentration. Plant Prod. Sci. 7 (2) 178-183. Lehto, S., S. Laakso, dan P. Lehtinen. 2003. Enzymatic oxidation of hexanal by oat. Journal of Cereal Science 38. pp 199–203. Mardiah, Z., Suhartini, dan B. Kusbiantoro. 2010. 2-Acetyl-1-Pyrroline: Senyawa volatil Penting pada Beras Aromatik. Buku 3 Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian 2009. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. pp 1069-1080. Nagarajan, S., S.V.K. Jagadish, A.S. Hari Prasad, A.K. Thomar, A. Anand, M. Pal, and P.K. Agarwal. 2010. Local climate affects growth, yield and grain quality of aromatic and non-aromatic rice in Northwestern India. Agriculture, Ecosystems and Environment 138 (2010) 274–281. Yang, D.S., R. Shewfelt, K.S. Lee, dan S.J. Kays. 2008. Comparison of odor-active compounds from six distinctly different rice flavor types. J. Agric. Food Chem. Vol. 56. pp. 2780–2787.
8
Yoshihashi, T., N. T. Thu Huong, V. Surojanametakul, P. Tungtrakul, dan W. Varanyanond. 2005. Effect of Storage Conditions on 2-Acetyl-1-pyrroline Content in Aromatic Rice Variety, Khao Dawk Mali 105. Journal of Food Science. Vol. 70(1). Yoshihashi, T., T.T.H. Nguyen, dan H. Inatomi. 2002. Precursors of 2-acetyl-1-pyrroline, a potent flavor compound of an aromatic rice variety. J. Agric. Food Chem. Vol. 50(7). pp. 2001–2004. Yoshihashi, T., T.T.H. Nguyen, dan N. Kabaki. 2004. Area dependency of 2-Acetyl-1Pyrroline content in an aromatic rice variety, Khao Dawk Mali 105. JARQ Vol. 38 (2). pp. 105–109.
9