KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN RESTRAINING BOX MARK IV
FIKRI MUKHLISINA LATIEF
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Fikri Mukhlisina Latief NIM B04100018
ABSTRAK FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan CHAERUL BASRI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsentrasi hormon kortisol sapi yang disembelih tanpa didahului dengan pemingsanan dengan metode konvensional dan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Sampel darah diambil dari Sapi Brahman cross yang telah dikastrasi (steer) masing-masing 15 ekor (n=30) di beberapa RPH di Jawa Barat dan Banten. Sampel darah dikoleksi dari arteri carotis communis 1 menit setelah penyembelihan. Kadar hormon kortisol di dalam serum diukur dengan metode radioimmunoassay (RIA). Ratarata kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan metode konvensional adalah 44.9 ng/ml dan kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV adalah 24.88 ng/ml. Ada korelasi signifikan (p<0.05) antara kadar kortisol dengan metode penyembelihan yang dilakukan. Penggunaan Restraining Box Mark IV dapat mengurangi efek stres pada sapi. Ditinjau dari aspek kesejahteraan hewan, penyembelihan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV lebih baik daripada metode konvensional. Kata kunci: kortisol, metode konvensional, radioimmunoassay, Restraining Box Mark IV
ABSTRACT FIKRI MUKHLISINA LATIEF. Cortisol Concentrations in Cattle which were Slaughtered by Conventional and Restraining Box Mark IV Methods. Supervised by HADRI LATIF and CHAERUL BASRI The aim of this study was to analyze the cortisol concentrations in cattle which were slaughtered by conventional and Restraining Box Mark IV methods without pre-slaughter stunning. Blood samples were taken from Brahman cross steer 15 each groups (n=30) in several abattoirs in West Java and Banten provinces. Blood samples were collected from carotis communis artery 1 minute post-slaughtering. Cortisol concentrations in serum were measured using radioimmunoassay (RIA). The average of cortisol concentrations in cattle which were slaughtered by conventional method is 44.85 ng/ml and cattle which were slaughtered using Restraining Box Mark IV is 24.88 ng/ml. There was significant correlation (p<0.05) between cortisol concentrations and slaughtering methods. Restraining Box Mark IV appeared to reduce stress in cattle. Slaughtering by using Restraining Box Mark IV was better than conventional method from animal welfare viewpoint. Keyword: conventional method, cortisol, radioimmunoassay, Restraining Box Mark IV
KONSENTRASI HORMON KORTISOL PADA SAPI YANG DISEMBELIH DENGAN METODE KONVENSIONAL DAN RESTRAINING BOX MARK IV
Oleh FIKRI MUKHLISINA LATIEF
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini ialah kesejahteraan hewan, dengan judul Konsentrasi Hormon Kortisol pada Sapi yang Disembelih dengan Metode Konvensional dan Restraining Box Mark IV. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Hadri Latif, M.Si dan Drh Chaerul Basri, M.Epid selaku pembimbing. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Ida dari Laboratorium Terpadu Fisiologi, yang telah membantu selama pengujian sampel dan pengumpulan data. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman satu tim penelitian Drh. Anis Trisna Fitrianti dan Drh. Karunia Maghfiroh yang merupakan mahasiswa S2 Program Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) serta Tri Handoko Lasrianto dan Nadhear Nadadyanha Dannar yang telah memberikan banyak bantuan sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga baru di kampus ungu yaitu DPM Agregat, DPM Avicenna, An Nahl dan Acromion yang telah mewarnai hari-hari perkuliahan selama 3 tahun. Tak lupa juga ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Papa, Mama, serta adikku tersayang Syifa Afiifah, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014 Fikri Mukhlisina Latief
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Rumah Potong Hewan (RPH)
3
Metode Penyembelihan Sapi di RPH
4
Restraining Box Mark IV dan Penggunaannya di RPH
5
Kejadian Stress pada Hewan
6
Pengaruh Stress terhadap Hormon Kortisol
7
Deteksi Hormon Menggunakan Radioimmunoassay
9
METODE Waktu dan Tempat
10
Alat dan Bahan
10
Metode Penelitian
10
Analisis Data
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
DAFTAR TABEL 1 Konsentrasi kortisol dalam serum darah sapi pada penyembelihan tanpa pemingsanan
12
DAFTAR GAMBAR 1 Restraining Box Mark IV 2 Model konsep stres pada hewan 3 Mekanisme pengaruh rasa takut pada peningkatan kadar kortisol di darah 4 Tipikal kurva standar RIA untuk pengujian kortisol 5 Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi
5 6 8 12 13
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan penduduk paling banyak keempat di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa (BPS 2012). Banyaknya jumlah penduduk Indonesia ini menyebabkan pemerintah harus mengawal ketahanan dan ketersediaan pangan. Selain itu juga pemerintah harus menjaga keamanan dan kelayakan pangan yang akan beredar di masyarakat sesuai dengan standar yang berlaku di masyarakat. Banyak hal telah dilakukan pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia, terutama pada ketersediaan pangan sumber protein hewani yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Salah satunya dengan pengadaan rumah potong hewan (RPH) di setiap kota dan kabupaten. Hal ini ditegaskan dalam PP no 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan pasal 8 ayat 1 yang menyebutkan bahwa hewan yang dagingnya akan diedarkan harus disembelih di RPH. Sesuai dengan fungsi pengadaan RPH yang sudah ditetapkan pada Peraturan Menteri Pertanian No.13/Permentan/OT.140/2010 tentang persyaratan rumah pemotongan hewan dan unit penanganan daging, pemotongan hewan di RPH menjamin keamanan dan kelayakan daging yang akan diedarkan. Hal ini dikarenakan pemotongan hewan dilakukan dengan benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama) dan dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem inspection) serta pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia. Walaupun demikian, adanya peraturan-peraturan ini tidak dibarengi dengan penyeragaman standarisasi RPH di setiap daerah. Perbedaan penegakan peraturan pemerintah pada setiap RPH menyebabkan kondisi RPH di setiap daerah berbeda-beda. Sebagian besar penyembelihan hewan di Indonesia menggunakan metode konvensional yaitu penyembelihan di lantai tanpa pemingsanan terlebih dahulu. Kurangnya fasilitas yang memenuhi standar kesejahteraan hewan di sebagian besar RPH yang menerapkan metode penyembelihan tersebut dapat membuat sapi merasa tidak nyaman dan stres. Penyembelihan dengan metode konvensional juga seringkali didahului oleh penanganan dan pengekangan yang kasar serta berlebihan dari petugas RPH. Semua perlakuan yang diterima sapi mulai dari kandang penampungan sampai dengan sebelum disembelih menyebabkan sapi mengalami stres. Stres pada sapi sebelum penyembelihan dapat meningkatkan kadar hormon kortisol darah dan dapat menurunkan kualitas daging serta menurunkan harga jual. Berbagai inovasi dan teknologi telah diciptakan para ilmuwan untuk memudahkan manusia dalam bidang penyembelihan hewan agar tetap sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan, sebagaimana dicanangkan pertama kali oleh Roger Brambell pada tahun 1965 dan saat ini dikenal dengan konsep 5 kebebasan (five freedom). Para ilmuwan dan pemerhati kesejahteraan hewan telah menciptakan teknologi yang dapat meminimalisir rasa sakit, cidera dan penyakit serta rasa takut dan cekaman dalam penyembelihan. Teknologi tersebut
2 diantaranya adalah metode pemingsanan dan restraining box yang menjaga hewan agar tidak bergerak ketika akan disembelih. Metode penyembelihan yang banyak digunakan di negara-negara maju seperti Inggris dan Australia adalah pemingsanan sebelum penyembelihan. Akan tetapi, metode ini masih banyak diperdebatkan kehalalannya oleh beberapa kalangan walaupun sudah diperbolehkan oleh MUI (MUI 2006). Selain itu risiko kematian dan kesalahan stunning sangat tinggi apabila fasilitas pendukung minim serta petugas tidak kompeten dalam menggunakan alat stunning. Beberapa pertimbangan ini membuat penggunaan restraining box dapat menjadi alternatif yang dapat mengurangi pengekangan hewan tetapi hewan tetap sadar sebelum disembelih.
Perumusan Masalah Penyembelihan sapi dengan menggunakan metode konvensional sangat membuat hewan stres karena adanya penanganan dan pengekangan yang berlebihan serta perlakuan yang kasar. Penggunaan restraining box dapat mengurangi penanganan dan pengekangan sehingga dapat menurunkan tingkat stres pada sapi sebelum disembelih. Tingkat stres pada sapi dapat diketahui dengan mengukur kadar hormon kortisol pada serum darah.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan kadar hormon kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan metode penyembelihan konvesional dan yang menggunakan Restraining Box Mark IV.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pengelola dan petugas RPH mengenai pengaruh metode penyembelihan terhadap tingkat stres pada sapi dan manifestasi dari konsep kesejahteraan hewan pada praktek penyembelihan sapi serta dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan bagi pemerintah.
3
TINJAUAN PUSTAKA Rumah Potong Hewan Rumah potong hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (BSN 1999). Perangkat hukum yang mengatur RPH dan operasionalisasinya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.13/Permentan/OT.140/2010 tentang persyaratan rumah pemotongan hewan dan unit penanganan daging, serta telah ditetapkan pula Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang rumah pemotongan hewan yang pelaksanaannya masih bersifat sukarela bagi pelaku usaha RPH. RPH didirikan hampir di setiap kota dan kabupaten dalam rangka memenuhi aspek higiene dan sanitasi sebagaimana telah diatur di PP tahun 1995 tentang Kesejahteraan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fungsi utama dari RPH adalah selain sebagai tempat pemotongan hewan ternak selain unggas juga sebagai pusat peredaran daging dan jeroan yang akan dipasarkan. Maka dari itu, RPH yang ada harus memenuhi standar yang telah ditetapkan, baik dari segi fasilitas maupun kegiatan di dalamnya. Ketentuan sanitasi dan higiene diatur dalam SNI 01-6159-1999 tentang rumah pemotongan hewan, namun sifat penerapannya masih sukarela sehingga semua RPH tidak dapat dipaksa menerapkannya. Hal ini seharusnya dikoreksi dengan mewajibkan RPH memenuhi persyaratan minimal dalam program higiene dan sanitasi. Fasilitas yang baik dan lengkap serta penanganan hewan sebelum dan sesudah dipotong yang baik sesuai dengan kaidah kesejahteraan hewan (animal welfare) dapat menjamin daging dan jeroan yang akan diedarkan memiliki kriteria makanan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Daging berkualitas yang dihasilkan dari suatu RPH tidak terlepas dari penanganan hewan sebelum pemotongan. Hewan yang akan dipotong, baik sapi, kambing, domba maupun babi harus diperlakukan secara tidak kasar. Penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penggiringan baik penggiringan dari kendaraan pengangkut maupun dari kandang penampungan dan perubuhan sapi. Penanganan ini sebaiknya sesuai dengan kaidah dan ketentuan kesejahteraan hewan dan perilaku alamiahnya sehingga tidak membuat sapi stres. Penanganan dan pengekangan hewan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, apalagi menyiksa karena hewan yang mengalami stres sebelum pemotongan dan bersikap sangat aktif melawan akan mempunyai daging yang keras dan gelap (Grandin 2000). Pelatihan petugas RPH untuk meningkatkan keterampilan dan pemahaman sangat penting dilakukan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hewan di suatu RPH. Secara umum, untuk mengurangi tingkat stres pada hewan RPH sebaiknya, memiliki lantai yang kasar pada jalur penggiringan, tidak gaduh, mempunyai pencahayaan yang cukup, selalu bersih dari darah setelah penyembelihan. Selain itu pada tempat penampungan hewan sebaiknya tidak mencampur hewan yang berasal dari peternakan yang berbeda karena dapat menimbulkan perkelahian antar hewan dan hewan menjadi stres (Grandin 2000).
4
Metode Penyembelihan Sapi di RPH Penyembelihan atau pemotongan hewan adalah menyembelih hewan pada bagian leher dengan cara memutus/memotong tiga saluran yaitu saluran pernafasan, saluran darah, dan saluran makan. Tujuan pemotongan hewan pada umumnya adalah untuk mempercepat pengeluaran darah secara sempurna dan/atau untuk memenuhi persyaratan agama tertentu seperti pemotongan halal pada agama Islam dan pemotongan kosher pada agama Yahudi untuk hewan yang akan dikonsumsi dagingnya oleh manusia seperti sapi, domba, dan ayam (PP No. 95 Tahun 2012). Metode penyembelihan terbagi menjadi dua jenis yaitu konvensional (tanpa pemingsanan) dan pemingsanan. Metode konvensional merupakan metode yang paling banyak digunakan di RPH di Indonesia. Penyembelihan dengan metode konvensional merupakan penyembelihan yang dilakukan di lantai tanpa alat pengekang khusus. Metode ini masih banyak dipertahankan di beberapa kabupaten di Indonesia terutama kabupaten-kabupaten kecil dan berkembang karena memiliki beberapa kelebihan yaitu praktis, tidak perlu banyak peralatan dan murah. Akan tetapi, metode ini memiliki banyak kelemahan yaitu penanganan dan pengekangan yang berlebihan pada hewan serta perlakuan petugas RPH yang cenderung kasar dan tidak memahami kaidah kesejahteraan hewan. Kondisi ini juga diperburuk dengan keengganan pemerintah daerah memperbaiki dan memperhatikan kondisi RPH. Akan tetapi, sejak tahun 2000 kondisi RPH konvensional di beberapa daerah sudah mulai diperbaiki dengan pengadaan restraining box (Whittington dan Hewitt 2009). Restraining box ini dikembangkan oleh Meat and Livestock Association (MLA) dan Livecorp. Restraining box yang banyak digunakan di beberapa RPH di Indonesia adalah Restrainng Box Mark I, copy box (box yang dikembangkan di Indonesia dan meniru desain Restraining Box Mark I) dan Restraining Box Mark IV (Jones 2011). Penilaian yang dilakukan oleh AVCO (2011) menyatakan penggunaan Restraining Box Mark I tidak sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan oleh OIE (2013) pada Kode OIE—Bab 7.5 mengenai penyembelihan hewan karena desain yang mempunyai ujung yang tajam serta lantai yang licin, menimbulkan suara benturan yang keras saat memutar hewan, pengekangan yang berlebihan, dan sering menimbulkan luka memar dan lecet pada hewan. Pengamatan yang dilakukan oleh AVCO juga menunjukkan penggunaan restraining box ini menghasilkan kesejahteraan hewan yang rendah dan diperburuk oleh kurangnya kompetensi dalam penanganan hewan dan infrastruktur yang kurang baik dalam prosedur opersional, peralatan, dan pelatihan. Sedangkan, penggunaan Restraining Box Mark IV dinilai AVCO (2011) sesuai dengan ketentuan OIE pada Kode OIE—Bab 7.5 mengenai penyembelihan hewan. Sehingga penggunaan Restraining Box Mark IV merupakan alternatif terbaik dalam pemilihan restraining box. Metode penyembelihan dengan pemingsanan dibagi menjadi tiga yaitu secara mekanis dengan penggunaan captive bolt stun gun; secara elektris dengan menggunakan aliran listrik yang dialirkan melalui penjepit, penjepitan ini bisa dilakukan hanya di kepala atau di kepala dan tubuh; dan menggunakan gas CO2 dalam kadar tertentu dan waktu tertentu (EFSA 2006). Metode pemingsanan utama yang digunakan untuk sapi adalah penetrating captive bolt stunning, non-
5 penentrative stunning dan electrical stunning. Akan tetapi penetrating captive bolt stunning dan penyetruman hewan pada kepala dan badan tidak sesuai dengan kaidah halal dalam Islam (Nakyinsige et al. 2013).
Restraining Box Mark IV dan Penggunaannya di RPH Restraining Box Mark IV adalah kotak untuk membatasi gerak hewan ternak terutama sapi saat akan disembelih yang dimodifikasi dengan bentuk miring, dilengkapi dengan kerangka seperti gunting penjepit untuk menahan hewan sebelum dan pada saat perputaran berlangsung. Ketika kotak sudah berputar seluruhnya, hewan berada pada kemiringan 90o dari sisi vertikal (Jones 2011). Contoh dari Restraining Box Mark IV dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Restraining Box Mark IV. Sumber: http://rphkarawaci.com/_content/restraining.jpg (2014). Restraining Box Mark IV merupakan teknologi restraining box yang dikembangkan oleh MLA dan Livecorp, Australia pada tahun 2010. Menurut DAFFAU (2013) restraining box ini pada awalnya dikembangkan untuk memfasilitasi penyembelihan sapi Australia yang sedikit didomestikasi di Indonesia. Sebagaimana pre-stunning tidak banyak diadaptasi di Indonesia, Restraining Box Mark IV menawarkan pengembangan dalam penanganan dan pengekangan hewan sehingga penyembelihan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Restraining Box Mark IV dikembangkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sapi yang akan dipotong sesuai dengan konsep kesejahteraan hewan. Konsep kesejahteraan hewan pertama kali dicanangkan oleh Roger Brambell pada tahun 1965 dalam laporannya mengenai kesejahteraan hewan ternak yang dipelihara secara intensif, lalu disempurnakan pada tahun 1970 menjadi suatu konsep yang saat ini dikenal dengan Five Freedom (Lima Kebebasan) yaitu freedom from hunger and thirst (kebebasan dari rasa lapar dan haus), freedom from discomfort (kebebasan dari ketidaknyamanan), freedom from pain, injury, or disease (kebebasan dari rasa sakit, cidera, dan penyakit), freedom from fear and
6 distress (kebebasan dari rasa takut dan cekaman), freedom to express normal behavior (kebebasan mengekpresikan perilaku alamiah) (FAWC 2009). Pengendalian sapi menggunakan restraining box ini setidaknya memberikan sapi kebebasan dari rasa takut dan sakit serta kebebasan berperilaku secara alamiah.
Kejadian Stres pada Hewan Stres dalam kehidupan sehari-hari sering didefinisikan sebagai suatu kondisi fisiologi yang akan terjadi ketika suatu individu berada dalam keadaan yang sulit dan mengalami banyak tuntutan. Akan tetapi, stres pada hewan memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Chourousos dan Kino (2005) stres didefinisikan sebagai keadaan ketika homeostasis tubuh terancam atau terasa seperti terancam, homeostasis dinormalkan kembali dengan repertoar yang kompleks dari respon adaptasi perilaku dan psikologis suatu organisme. Salah satu model yang banyak menjadi acuan mengenai stres dan bagaimana hal itu mempengaruhi kesejahteraan hewan adalah model yang disampaikan oleh Moberg (2000 dalam Rushen et al 2008) yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Model konsep stres pada hewan Respon stres pada hewan didapatkan dari beberapa tahapan. Tahap awal dari proses ini didahului oleh adanya stressor (sumber stres) yang harus dirasakan dan dievaluasi oleh hewan. Kemudian, perilaku dan respon fisiologis muncul sebagai reaksi pertahanan yang ditunjukkan pada saat berhubungan dengan stressor. Ketika kedua hal ini terlalu sering dialami dan diterima oleh otak hewan maka kondisi prepatologi dapat terjadi dan apabila diteruskan maka akan mengakibatkan penyakit yang berkepanjangan (kondisi patologi). Terdapat dua kunci respon fisiologis yang ditimbulkan ketika hewan mendapatkan gangguan dari lingkungannya yaitu symphathetic-adrenal-medullary (SAM) dan hyptothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Respon dari SAM dan HPA axis bersama-sama menghasilkan suatu keadaan yang biasa disebut sebagai stres respon yang merupakan salah satu dari mekanisme tubuh dalam mengatasi gangguan lingkungan (Möstl dan Palme 2002).
7 Secara singkat, aktivasi dari SAM axis karena suatu masalah akan terjadi dalam beberapa detik dan terutama terdiri dari aktivasi sistem saraf otonom dan menyebabkan terjadinya sekresi katekolamin, adrenalin dan noradrenalin. Respon fisiologis kedua, yaitu HPA axis meliputi sekresi hormon kortikosteroid yang pengeluarannya tergantung pada hewan itu sendiri. Fase akut dari respon HPA ini dapat bertahan beberapa menit sampai beberapa jam setelah hewan mendapatkan gangguan dari lingkungannya. Aktivasi dari SAM dan HPA axis dapat menjadi mekanisme efektif untuk membantu hewan dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan karena proses fisiologis seperti penyesuaian dalam laju metabolisme, fungsi jantung, tekanan darah, sirkulasi perifer, pernafasan, ketajaman penglihatan, dan ketersediaan energi serta pemakaiannya. Semua hal ini menyebabkan sapi menghadapi tantangan secara fisik dan emosi (Hemsworth et al. 2011). Penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penggiringan baik penggiringan dari kendaraan pengangkut maupun dari kandang penampungan dan perubuhan sapi. Penanganan ini sebaiknya sesuai dengan kaidah dan ketentuan kesejahteraan hewan dan perilaku alamiahnya sehingga tidak membuat sapi stres. Hewan terutama sapi dapat mengalami stres ketika ia dihadapkan pada sesuatu yang membuatnya takut atau tidak nyaman seperti transportasi sapi dengan menggunakan truk, perlakuan yang kasar ketika vaksinasi, mencap, kastrasi, dehorning, implantasi hormon, adapatasi yang lemah terhadap pakan baru, keadaan kandang atau lingkungan yang panas, banyak lalat dan debu, banyak suara berisik, manajemen kandang yang tidak benar, terserang penyakit dan parasit, serta perlakuan kasar sebelum penyembelihan. Rasa takut pada sapi dapat terlihat dari defekasi secara involunteer, meningkatnya detak jantung, tekanan darah serta kadar kortisol dalam plasma meningkat, menolak untuk bergerak, kepala menunduk dengan dagu yang terlihat memanjang, kepala menggeleng dan melenguh. Sedangkan ketidaknyamanan pada sapi dapat terlihat ketika ia mengibaskan ekornya dengan kuat, kepalanya menggeleng-geleng, inkontensia, lubang hidung melebar, tubuh gemetar secara tidak teratur, mata berkedip-kedip, kepala ditarik kedalam dan mata menutup (Gregory 1998).
Pengaruh Stres terhadap Hormon Kortisol Kortisol atau glukokortikoid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal bagian korteks pada zona reticularis. Sama seperti hormon steroid yang lain, kortisol tidak disimpan tetapi disintesis berdasarkan perubahan akut yang bisa memacu hormon ini disintesis. Sebagian besar hormon kortisol yang beredar di pembuluh darah diikat oleh cortisol binding globulin (CBG). Kortisol bebas hanya terjadi ketika memasuki organ target. Sirkulasi hormon kortisol pada darah diatur oleh corticotropin-releasing hormon (CRH) yang dilepaskan dengan ritme kira-kira 2-3 kali setiap jam sesuai dengan siklus sirkadian dan memiliki ritme amplitudo yang lebih besar pada awal pagi (Tsigos dan Chrousos 2002). Fungsi utama dari hormon ini adalah meningkatkan asam lemak bebas dan glukosa pada sirkulasi darah. Kortisol cenderung meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara mendorong terjadinya glukoneogenesis, meningkatkan pelepasan glukosa hepatik dan menghambat penyerapan glukosa pada otot serta
8 lemak. Hormon kortisol mempunyai peran yang berbeda-beda pada setiap organ. Peran kortisol pada kulit yaitu menghambat pembelahan keratinosit dan sintesis kolagen. Kortisol mempunyai efek katabolik sehingga pada otot, kortisol menyebabkan atrofi karena mengurangi sintesis protein. Lalu pada tulang menyebabkan perubahan osteoblas menjadi osteoklas yang mengakibatkan osteoporosis. Peran hormon ini pada sistem syaraf sangat kompleks, disesuaikan dengan potensi kortisol untuk menyebabkan selang dari gejala emosi, mulai dari euphoria sampai depresi. Kortisol juga mempunyai efek anti-inflamasi yang banyak dimanfaatkan untuk pengobatan. Kortisol menyebabkan limfosit-T dan eosinofil yang bersirkulasi menjadi menurun, akan tetapi neutrofil meningkat. (Holt dan Hanley 2007).
Gambar 3 Mekanisme pengaruh rasa takut pada peningkatan kadar kortisol di darah Tingginya kadar kortisol dalam darah dapat menyebabkan penyerapan glukosa tidak maksimal, kelemahan otot dan tulang karena glikogen dalam otot dirombak menjadi glukosa, ketidakseimbangan nitrogen karena perubahan asam amino menjadi glukosa pada proses glukoneogenesis di hati, dan meningkatkan
9 ekskresi air (Cunningham dan Klein 2007). Kadar kortisol dalam darah akan meningkat ketika hewan mengalami stres psikologis (Grandin 2000), sehingga hormon ini dapat menjadi indikator stres yang sering digunakan dalam penilaian kesejahteraan hewan pada aspek transportasi dan penanganan hewan sebelum penyembelihan (Shaw dan Tume 1992). Proses dan pengaruh stres pada peningkatan kadar kortisol diterangkan oleh Gregory (1998) melalui Gambar 3. Pengukuran dan pembandingan kadar kortisol antar individu hewan harus memperhatikan beberapa pertimbangan. Hal ini karena kadar kortisol dapat bervariasi pada beberapa individu hewan. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda perilaku yang aktif biasanya mempunyai kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan hewan yang tenang (Grandin 2000). Kadar kortisol pada beberapa hewan juga dipengaruhi oleh siklus sirkadian. Sekresi dari hormon kortisol dan pemicunya seperti CRH dan adrenocortcotropic hormon (ACTH) diatur oleh berbagai input dari sistem saraf pusat menuju pusat jam biologis yang berada di nukleus suprachiasmic dari hipotalamus. Hewan yang aktif pada siang hari seperti sapi, babi, domba, dan kuda memiliki kadar kortisol beberapa kali lipat lebih tinggi pada awal hari dibandingkan pada malam hari. Begitu pula hewan yang aktif di malam hari mempunyai keadaan sebaliknya (Martin dan Crump 2003).
Deteksi Hormon menggunakan Radioimmunoassay Radioimmunoassay (RIA) adalah suatu uji immunoassay ‘sejati’ yang menggunakan isotop radioaktif sebagai label atau tracer seperti iodin-125 (125I) yang menghasilkan sinyal kuantitatif untuk uji ini. Metode dari uji ini didasarkan pada observasi pertama kali yang dilakukan oleh Yalow dan Berson pada tahun 1959 (Ashkar 1983) bahwa ada kompetisi antara antigen yang dilabel radioaktif dan yang tidak untuk antibodi spesifik (binding protein) yang berhubungan dengan fungsi kuantitatif. Uji ini memiliki inhibisi kompetitif antara ikatan dari antigen yang dilabel (Ag*) dan antigen yang tidak dilabel (Ag) dengan antibodi spesifik (Ab). Semakin tinggi konsentrasi dari antigen yang tidak dilabel (Ag) maka radioaktifitas dari kompleks ikatan antigen dan antibodi semakin rendah (Ag*-Ab) dan konsentrasi dari antigen dilabel yang bebas pun semakin tinggi (Ag*). Kompleks ikatan antigen yang dilabel dipisahkan dari antibodi yang tidak dilabel, sehingga fraksi dapat dihitung dan juga dapat dibandingkan dengan kurva standar. Pengikatan antigen dengan antibodi mengikuti hukum kesetimbangan dan dapat ditulis secara sederhana seperti berikut : k1 [Ag] + [Ab] [Ag – Ab] k2
Sensitivitas dari reaksi tergantung pada energi dari ikatan antara antigen dengan antibodi atau aviditas (K) sebagaimana digambarkan dalam rumus K = [Ag-Ab] / [Ag] [Ab]. Antigen yang digunakan untuk pengukuran dan pendeteksian hormon adalah hormon dalam serum yang akan diuji. Isotop radioaktif yang biasa digunakan adalah 125I, 131I, 3H, dan 14C. Radioisotop 125I lebih banyak digunakan karena merupakan isotop pilihan dari semua isotop yang bisa digunakan untuk emiter gamma karena karakteristik fisik yang dimilikinya. Radioisotop 125I
10 memiliki waktu paruh yang panjang dan memiliki kemampuan untuk dideteksi dengan sensitivitas yang tinggi dengan gamma counter (Hunter dalam Ashkar 1983). Pengukuran radioaktivitas 125I juga lebih mudah karena menggunakan metode solid scintillation counting (SSC) yaitu menghitung endapan sedangkan radioisotop 3H penghitungannya menggunakan metode liquid scintillation counting (LSC) (Gosling 1994)
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di beberapa RPH di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Karawang, Kota Depok, Kota Tangerang dan Kabupaten Bogor dari bulan Juli 2013 sampai bulan Februari 2014. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian adalah tabung reaksi dan penutup, rak, tabung Eppendorf, cool box, spidol, pipet, stopwatch, mikropipet, shaker plate, alat sentrifuse, dan Automatic Gamma Counter A 6.24 (Vienna, Austria). Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serum darah sapi, kit radioimmunoassay (RK-240CT, Izotop Budapest), kantung plastik, kertas saring, label, dan kertas tissue. Kit RIA terdiri dari 1 vial tracer 55 ml/vial berisi <260 kBq 125I –Cortisol dalam buffer 0.1% NaN3, 6 vial standar 0.5 ml/vial berisi 0.4, 100, 250, 650, 1600 nmol/l kortisol dalam serum dengan 0.1% NaN3, 1 vial antiserum 55 ml/vial berisi polyclonal anti-Cortisol (kelinci) IgG dalam buffer 0.1% NaN3 , 1 vial serum kontrol berisi serum lyophilised manusia dengan 0.1% NaN3, dan 2 kotak berisi tabung yang sudah dilapisi (coated tube) 2x50 pcs, 12x75 mm.
Metode Penelitian Pengambilan dan koleksi sample Sampel darah diambil dari 30 ekor sapi Brahman Cross yang telah dikastrasi (steer). Sebanyak 15 sampel masing-masing diambil dari sapi yang disembelih dengan menggunakan metode konvensional dan dari sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Darah ditampung dari arteri carotis communis 1 menit setelah sapi disembelih. Selanjutnya darah dibiarkan pada suhu ruang selama minimal 1 jam, kemudian darah disimpan dalam refrigerator selama 24 jam sampai serum terpisah. Setelah itu, serum dipindahkan ke tabung Eppendorf dan disentrifus sebelum diuji dengan kit RIA.
11
Deteksi hormon kortisol dalam serum Penelitian ini menggunakan RIA untuk mengukur konsentrasi hormon kortisol dalam serum sapi. Uji ini berdasarkan pada kompetisi antara kortisol yang tidak dilabel dan kortisol yang dilabel 125I (tracer) dalam jumlah yang tetap pada tempat pengikatan antibodi spesifik kortisol yang terbatas. Sebelum sampel diuji, reagen penguji dibuat terlebih dahulu. Serum kontrol lyophilised ditambah dengan 500 μl akuades lalu dihomogenkan dengan pelan-pelan. Setelah air dan serum tercampur merata, larutan dikalibrasi pada suhu ruangan minimal 20 menit. Metode pengujian sampel adalah sebagai berikut: 1. Sampel yang akan diuji dikalibrasi di suhu ruang selama satu jam. 2. Coated tube diberi label standar (S1-S6), kontrol (C), sampel (Sx), tabung yang belum dilapisi untuk jumlah total (T). 3. Semua reagen dan sampel dihomogenisasi dengan dikocok secara pelanpelan untuk menghindari terbentuknya buih. 4. Selanjutnya setiap standar, kontrol, dan sampel dimasukkan sebanyak 10 μl ke dalam tabung sesuai dengan labelnya. 5. Tracer dimasukkan pada semua tabung masing-masing sebanyak 500 μl. 6. Antiserum dimasukkan pada semua tabung kecuali tabung T sebanyak 500 μl. 7. Semua standar dan sampel dibuat menjadi dua tabung. Rak tabung-tabung yang akan diuji kemudian difiksasi pada shaker plate. Semua tabung ditutup dengan menggunakan plastik. Kemudian dihomogenkan. 8. Setelah selesai, tabung-tabung diinkubasi selama 2 jam pada suhu ruang. 9. Supernatan dari setiap tabung diaspirasi atau dituang dengan cara membalik rak lalu dialasi kertas saring dan didiamkan selama 2 menit. Selanjutnya setiap endapan pada tabung dihitung dengan gamma counter selama 60 detik.
Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Perbandingan konsentrasi hormon kortisol pada dua kelompok sapi yang diperoleh diuji dengan menggunakan Uji Mann Whitney dan dianalisis menggunakan software SPSS 21. Uji Mann Whitney merupakan uji signifikansi hipotesis komparatif variabel numerik yang tidak menyebar normal pada dua rata-rata sampel yang tidak berpasangan (Sugiyono 2011). Uji ini digunakan untuk membuktikan apakah penggunaan Restraining Box Mark IV memberikan perbedaan yang bermakna pada kadar kortisol sapi yang disembelih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Metode RIA merupakan metode gold standard untuk mengukur konsentrasi kortisol pada serum (Proverbio et al. 2013). Pengukuran kadar kortisol dengan
12 menggunakan metode RIA mengacu pada kurva tipikal standar sehingga B/B0% yang didapatkan dari sampel disesuaikan dengan kurva tersebut untuk mengetahui konsentrasi kortisol. Tipikal kurva standar dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Tipikal kurva standar RIA untuk pengujian kortisol (1 nmol/l = 0.362 ng/ml) Limit deteksi dari RIA adalah 1.05 ng/ml. Pengukuran kadar kortisol dalam serum darah sangat baik digunakan sebagai metode untuk mengevaluasi tingkat stres yang dialami hewan secara akut, seperti penanganan dan pengekangan (Siegel dan Gross 2000). Kadar kortisol akan mencapai puncaknya pada 15-20 menit setelah hewan mengalami stres dan akan kembali pada konsentrasi basal setelah 1 jam (Lay et al. 1998; Veissier dan Le Neindre 1988). Pengujian kadar kortisol pada serum darah dapat menunjukkan tingkat stres pada sapi. Hal ini karena kortisol merupakan hormon indikator stres selain katekolamin dan β endorfin (Grandin 2000). Pengujian kadar kortisol pada kelompok sapi yang disembelih dengan menggunakan metode konvensional memiliki rata-rata kadar kortisol 44.85 ng/ml dan kelompok sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV memiliki rata-rata kadar kortiol 24.88 ng/ml. Hasil pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan konsentrasi kortisol dalam serum darah sapi Metode
n (ekor)
Kadar Kortisol (ng/ml)
Rerata
maks
min
±sd
Konvensional
15
44.85
99.61
11.4
26.59
Mark IV
15
24.88
61.71
6.38
18.76
Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi dideskripsikan dengan menggunakan diagram box plot yang menggunakan quartil sebagai
13 pembagi distribusi frekuensi data menjadi empat sama besar (Harinaldi 2005). Gambar diagram box plot ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Distribusi kadar hormon kortisol pada dua kelompok sapi Diagram box plot konsentrasi kortisol pada penyembelihan dengan metode konvensional menunjukkan kadar kortisol memiliki nilai minimum 11.4 ng/ml, 25% distribusi data kadar kortisol berada di bawah nilai Q1 yaitu 20.7 ng/ml, 50% distribusi data dibagi oleh nilai median yaitu 45.05 ng/ml, 75% distribusi data dibatasi oleh nilai Q3 yaitu 56.23 ng/ml dan nilai maksimum 99.61 ng/ml. Melalui diagram ini diketahui sebagian besar kadar kortisol sapi yang disembelih dengan metode konvensional memiliki nilai di bawah rata-rata. Kemudian diagram box plot konsentrasi kortisol pada penyembelihan dengan metode Restraining Box Mark IV menunjukkan kadar kortisol memiliki nilai minimum 6.4 ng/ml, 25% distribusi data kadar kortisol berada di bawah nilai Q1 yaitu 8.97 ng/ml, 50% distribusi data dibagi oleh nilai median yaitu 18.18 ng/ml, 75% distribusi data dibatasi oleh nilai Q3 yaitu 39.67 ng/ml dan nilai maksimum 61.72 ng/ml. Berbanding terbalik dengan metode konvensional sebagian besar kadar kortisol sapi yang disembelih dengan metode restraining box Mark IV memiliki nilai di atas rata-rata. Hasil analisis data dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV nyata lebih rendah (p<0.05) daripada sapi yang disembelih dengan metode konvensional. Hal ini menunjukkan penggunaan Restraining Box Mark IV signifikan dalam menurunkan kadar hormon kortisol. Kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional menunjukkan angka yang tinggi dengan rata-rata 44.85 ng/ml. Kadar ini melebihi kadar normal plasma kortisol pada sapi yang sehat yaitu 6.74 sampai 56.30 nmol/L atau 2.44 sampai 20.38 ng/ml (Proverbio et al. 2013). Peningkatan ini
14 terjadi terutama karena stres yang dialami sapi sebelum pemotongan. Sapi yang disembelih dengan metode konvensional cenderung mendapatkan perlakuan yang kasar dari petugas RPH sehingga menimbulkan rasa takut pada sapi. Ketakutan ini merupakan stresor yang dapat membuat sapi merasa stres dan meningkatkan kadar kortisol dalam plasma darah. Sapi yang disembelih di RPH konvensional umumnya mendapatkan perlakuan kasar dari petugas yang meliputi penarikan paksa, pemukulan, hentakan, dan perubuhan sebelum penyembelihan. Penelitian yang dilakukan Hemsworth et al. (2011) membuktikan peningkatan interaksi petugas RPH dengan suara seperti berbicara dan berteriak pada sapi serta interaksi sentuhan seperti tekanan, pemukulan dan penggunaan tongkat sebelum penyembelihan berasosiasi dengan peningkatan kadar kortisol sapi setelah penyembelihan. Perlakuan petugas yang kasar membuat sapi yang sudah gelisah semakin stres. Penelitian yang dilakukan Lensink et al. (2001) menunjukkan bahwa kehadiran manusia dapat menjadi penyebab utama hewan stres selama pemeliharaan dan penyembelihan. Selain perlakuan kasar, kondisi RPH yang tidak memenuhi standar seperti kandang penampungan yang sempit, pencampuran dengan sapi dari peternakan lain, kurangnya pencahayaan, lantai yang licin, dan banyaknya suara juga dapat membuat sapi stres dan meningkatkan kadar kortisol. Luas ruang minimum yang pada kandang penampungan yang dibutuhkan ketika menampung sapi kurang dari 24 jam adalah 1.6 m2 untuk sapi yang tidak bertanduk dan 1.85 m2 untuk sapi yang bertanduk (Grandin 2000). Walaupun demikian tidak semua RPH yang menggunakan metode konvensional memperlakukan sapi dengan kasar sebelum penyembelihan, ada juga yang tetap memperhatikan kaidah kesejahteraan hewan sehingga hewan tidak stres. Hal ini dapat terlihat pada konsentrasi kortisol minimum sapi yang disembelih dengan cara konvensional yaitu 11.4 ng/ml. Kadar kortisol sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV memiliki rata-rata kadar kortisol yang cukup rendah bila dibandingkan dengan metode konvensional. Kadar kortisol rata-rata pada sapi yang disembelih dengan metode ini adalah 24.88 ng/ml. Meskipun kadar kortisol sapi yang disembelih menggunakan Restraining Box Mark IV relatif rendah, namun kadar ini lebih tinggi dari kisaran maksimal kadar normal. Meningkatnya kadar kortisol ini dapat terjadi karena bisingnya RPH akibat pergerakan restraining box pada saat memutar hewan 90o dan proses pemutaran itu sendiri. Kebisingan dan pemutaran ini adalah salah satu kelemahan dari Restraining Box Mark IV. Menurut Grandin (2000) suara dengan nada tinggi dari sistem hidrolik sangat mengganggu sapi. Baik suara mesin maupun suara manusia merupakan stressor bagi sapi. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Waynert et al. (1999) membuktikan bahwa sapi lebih terganggu dan kaget oleh suara manusia daripada suara mesin. Kebisingan ini dapat diatasi dengan penambahan bantalan karet pada sisi-sisi restraining box, pemutaran musik pada RPH atau pembangunan dinding yang dapat meredam suara (Grandin 2000). Proses pemutaran sapi pada restraining box dapat membuat sapi terkejut dan berpotensi menimbulkan stres. Menurut Grandin (2014) sapi melawan pembalikan, terutama perputaran 180o. Dunn (1990) juga menyatakan sapi yang disembelih pada restraining box yang membalikan posisi sapi mempunyai ratarata kadar kortisol 93 ng/ml. Walaupun demikian pemotongan sapi dalam posisi
15 90o mempunyai kelebihan dibandingkan posisi berdiri yang dilakukan pada metode pemotongan kosher yaitu mengurangi aspirasi darah pada saluran pernafasan dan mempercepat hewan kehilangan kesadaran sehingga mengurangi penderitaan sapi saat penyembelihan (Gregory et al. 2008; Velarde et al. 2014) Kadar kortisol pada hewan dengan kondisi normal diatur dan dibatasi oleh sistem feedback negatif pada hipotalamus. Akan tetapi, ketika hewan mengalami stres sistem feedback tidak terjadi. Corticotropic releasing factor (CRF) atau corticotropic relasing hormon (CRH) adalah hormon utama yang mengatur respon hewan terhadap stres. Semua bentuk stres, baik karena fisik, kimia, suhu, mikroba dan faktor lainnya menimbulkan efek mendalam yang menstimulasi hipotalamus mensekresikan CRH. Sekresi CRH yang diinduksi oleh stres dapat meningkatkan kadar kortisol sampai 20 kali lipat. Hal ini menandakan bahwa peningkatan CRH dan kortisol dapat mengesampingkan feedback negatif basal pada hipotalamus dan kelenjar pituitari sepenuhnya serta mengacaukan ritme diurnal dan nokturnal dalam pengaturan kadar kortisol (Martin dan Crump 2003). Kadar kortisol yang beragam pada setiap individu sapi, baik pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional maupun dengan menggunakan Restraining Box Mark IV dapat terjadi karena perbedaan respon dan adaptasi setiap individu terhadap stressor. Menurut McEwen et al. (1997) kemampuan hewan untuk menanggapi suatu situasi sebagai situasi yang membuat stres tergantung pada pengalaman-pengalaman yang dirasakan sebelumnya dan riwayat perkembangannya terhadap situasi tersebut. Kombinasi dari kedua hal itu membuat hewan peka atau melindungi hewan dari perubahan tertentu. Penggunaan Restraining Box Mark IV untuk penyembelihan dapat mengurangi stres pada hewan dan meningkatkan kesejahteraan hewan. Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2010) menunjukkan penggunaan restraining box juga meningkatkan kualitas daging. Daging yang dihasilkan dari sapi yang disembelih menggunakan restraining box memiliki pH yang relatif lebih rendah daripada sapi yang disembelih dengan metode konvensional walaupun tidak berbeda nyata. Nilai pH ini akan berkaitan dengan kualitas daging yang lain seperti daya ikat air dan keempukkan. Daya ikat air daging dari yang disembelih dengan menggunakan restraining box lebih tinggi melalui pengujian cooking loss dan drip loss daripada daging yang dihasilkan dari sapi yang disembelih tanpa restraining box. Cooking loss adalah pengerutan daging saat dimasak akibat denaturasi protein dan pengeluaran air, adapun drip loss adalah cairan atau eksudat yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar (Lukman et al. 2012). Daging dengan nilai cooking loss yang rendah memiliki kualitas daging relatif lebih baik karena kehilangan nilai nutrisi yang lebih rendah pada saat pemasakan, sehingga daging tetap terasa juicy dan segar (Warris 2004). Daging yang berasal dari sapi yang disembelih dengan menggunakan restraining box mempunyai tekstur yang lebih empuk. Stres yang dialami sapi sebelum penyembalihan akan mengakibatkan peningkatan kortisol dan menyebabkan deplesi glikogen. Deplesi dari glikogen otot menyebabkan pH daging menjadi tinggi, daging berwarna gelap dan keras (Mounier et al. 2006). Selain kortisol, hormon indikator stres yang lain seperti katekolamin juga mempengaruhi keempukkan daging. Soeparno (2011) menyatakan pada ternak yang mengalami stres sebelum pemotongan, terjadi pembebasan katekolamin
16 dengan cepat dan mengakibatkan deplesi glikogen otot. Daging yang dihasilkan oleh sapi yang stres ini adalah dark- cutting beef (DCB). Daging yang dihasilkan dari RPH konvensional seringkali memiliki nilai sensorik yang kurang baik akibat adanya memar pada bagian tubuh yang terbentur ketika proses perubuhan sebelum disembelih dan penanganan yang tidak baik sebelum penyembelihan. Daging yang memar dinilai sebagai daging berkualitas buruk sehingga mengurangi harga jual karkas (Jarvis et al. 1995).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsentrasi kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional lebih tinggi daripada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Tingginya kadar kortisol pada sapi yang disembelih dengan metode konvensional menggambarkan tingkat stres pada sapi yang disembelih dengan metode tersebut lebih tinggi daripada sapi yang disembelih dengan menggunakan Restraining Box Mark IV. Ditinjau dari aspek kesejahteraan hewan, penyembelihan dengan menggunakan Restraining Box Mark IV lebih baik daripada metode konvensional. Saran Aspek kesejahteraan hewan pada penyembelihan di RPH harus diperhatikan terutama pada RPH yang masih menggunakan metode konvensional. Sosialisasi penggunaan Restraining Box Mark IV di RPH konvensional sebaiknya dilakukan untuk mengurangi tingkat stres pada sapi sebelum penyembelihan.
DAFTAR PUSTAKA Ashkar FS. 1983. Radiobioassay. Florida (US): CRC Pr. [AVCO] Australian Chief Veterinary Officer. 2011. An assessment of the ongoing appropriateness of Mark I and IV restraint boxes. [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 2]. Tersedia pada http://www.daff.gov.au/_data/ assets/pdf_file/0010/1999099/acvo-assessment-of-restraining-boxes.pdf. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 2000, 2010. [Internet]. [diacu 2014 Mei 20]. Tersedia pada http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=12. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1999. SNI 01-6159-1999 Rumah Pemotongan Hewan. BSN (ID): Jakarta. Chrousos GP, Kino T. 2005. Interactive functional specificity of the stress and immune responses: the Ying, the Yang, and the defense against 2 major classes of bacteria. J Infect Dis. 192 (4):551–555.
17 Cunningham JG, Klein BG. 2007. Textbook of Veterinary Physiology. St. Louis, Missouri (US): Elsevier Science. [DAFFAU] Department of Agricultural, Fisheries, and Forestry Australia. 2013. Review of modified and copy Mark IV type restraint boxes. [Internet]. [diacu 2013 Sept 19]. Tersedia pada http://www.daff.gov.au/_data/ assets/ pdf_file/ 0007/2328208/mark-iv-review.pdf. Dunn CS. 1990. Stress reaction of cattle undergoing ritual slaughter using two methods of restraining. Vet Rec. 126 (21):522-525. [EFSA] European Food Safety Authority. 2009. The welfare aspects of the main systems of stunning and killing applied to commercially farmed deer, goats, rabbits, ostriches, ducks, geese, and quail. EFSA J. 326:1-18. [FAWC] Farm Animal Welfare Council. 2009. Farm animal welfare in Great Britain: past, present and future. [Internet].[diunduh 2014 Agust 24].Tersedia pada https://www.gov.uk/government/ uploads/ system/ uploads/ attachment_data/file/319292/Farm_Animal_Welfare_in_Great_Britain__Past__Present_and_Future.pdf. Gosling JP. 1994. Á la carte immunoassay. Biochem Educ. 22 (4):174-191. Grandin T. 2000. Handling and welfare of livestock in slaughter plants. Di dalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 2nd Edition. New York (US): CABI Publishing. Grandin T. 2000. Improving welfare and reducing stress on animals in slaughter plants. Di dalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 4th Edition: Theories and Applications. Boston (US): CABI Publishing. Gregory NG. 1998. Animal Welfare and Meat Science. New York (US): CABI Publishing. Gregory NG, Grandin T. 2007. Animal Welfare and Meat Production 2nd ed. Oxfordshire (GB): CABI. Gregory NG, von Wenzlawowicz M, von Holleben K. 2008. Blood in the respiratory tract during slaughter with and without stunning in cattle. Meat Sci. 82:13–16. Harinaldi. 2005. Prinsip-prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Jakarta (ID): Erlangga Hemsworth PH, Rice M, Karlen MG, Calleja L, Barnett JL, Nash J, Coleman GJ. 2011. Human–animal interactions at abattoirs: Relationships between handling and animal stress in sheep and cattle. Appl Anim Behav Sci. 135:24-33. Holt, RIG, Hanley NA. 2007. Essential Endocrinology and Diabetes. Massachusetts (US): Blackwell Publishing. Jarvis AM, Selkirk L, Cockram MS. 1995. The influence of source, sex class and pre-slaughter handling on the bruising of cattle at two slaughterhouses. Livest Prod Sci. 43:215-224. Jones B. 2011. The slaughter of Australian cattle in Indonesia: an observational study. [Internet]. [diacu pada 2013 Okt 24]. Tersedia pada www.rspca.org.au. Lay DC, Friend TH, Randel RD, Bowers CL, Grissom KK, Neuendorff DA, Jenkins OC. 1998. Effects of restricted nursing on physiological and behavioral reactions of Brahman calves to subsequent restraining and weaning. Appl Anim Behav Sci. 56:109-119.
18 Lensink BJ, Fernandez X, Cozzi G, Florand L, Veissier I. 2001. The influence of farmers’ behavior on calves’ reactions to transport and quality of veal meat. J Anim Sci. 79:642–652. Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR. 2012. Penuntun Praktkum Higiene Pangan Asal Hewan. H Pisestiyani, editor. Bogor (ID): IPB Pr. Martin PA, Crump MH. 2003. McDonald’s Veterinary Endocrinology and Reproduction 5th ed. M H Pineda dan MP Dooley, editor. Iowa (US) : Blackwell Publishing. McEwen BS, Biron CA, Brunson KW, Bulloch K, Chambers WH, Dhabhar FS, Goldfarb RH, Kitson RP, Miller AH, Spencer RL, Weiss JM. 1997. The role of adrenocorticoids as modulators of immune function in health and disease: neural, endocrine and immune interactions. Brain Res Rev. 23(1-2):79–133. Möstl E, Palme R. 2002. Hormones as indicators of stress. Domest Anim Endocrinol. 23 (2002):67–74. Mounier L, Dubroeucq H, Andanson S, Veissier I. 2006. Variations in meat pH of beef bulls in relation to conditions of transfer to slaughter and previous history of the animals. J Anim Sci. 84:1567-1576. [MUI] Majelis Ulama Indonesia. 2006. Keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa seIndonesia kedua. [Internet]. [diunduh pada 2014 Jul 1]. Tersedia pada http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/Ijtima-Ulama-Lampiran1.pdf. Nakyinsige K, Che Man YB, Aghwan ZA, Zulkifli I, Goh YM, Abu Bakar F, AlKahtani HA, Sazili AQ. 2013. Stunning and animal welfare from Islamic and scientific perspectives. Meat Sci 95:352–361. [OIE] Office des International Epizooties. 2013. Slaughter Animal. [Internet]. [diunduh 2014 Jul 10]. Tersedia pada http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/ Health_standards/tahc/2010/chapitre_1.7.5.pdf. Proverbio D, Perego R, Spada E, de Giorgi GB, Belloli A, Pravettoni D. 2013. Comparison of VIDAS and Radioimmunoassay Methods for Measurement of Cortisol Concentration in Bovine Serum. Sci World J. 2013:1-5. Rumah Potong Hewan Karawaci. Restraining box. [Internet]. [diunduh 2014 Sept 2]. Tersedia pada http://rph-karawaci.com/_content/restraining.jpg. Rushen J, de Passile AM, von Keyserlingk MAG, Weary DM.. 2008. The Walfare of Cattle. Dordrecht (NL): Springer Publishing. Shaw FD, Tume RK. 1992. The assesment of pre-slaughter dan slaughter treatments of livestock by measurement of plasma constituent-a review of recent work. Meat Sci. 32:311-329. Siegel PB, Gross WB. 2000. General principles of strss and well-being. Didalam Grandin T, editor. Livestock Handling and Transport 2nd Edition. New York (US): CABI Publishing. Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Sugiyono. 2011. Statistik Nonparametris. Bandung (ID): CV Alfabeta Tsigos C, Chrousos GP. 2002. Hypothalamic-pituitaryadrenal axis, neuroendocrine factors and stress. J Psychosom Res. 53( 4):865–871. Veissier I, Le Neindre P. 1988. Cortisol responses to physical and pharmacological stimuli in heifers. Reprod Nutr Dev. 28:553–562.
19 Velarde A, Rodriguez P, Dalmau A, Fuentes C, Llonch P, von Holleben KV, Anil MH, Lambooij JB, Pleiter H, Yesildere T, Cenci-Goga BT. 2014. Religious slaughter: Evaluation of current practices in selected countries. Meat Sci. 96:278–287. Warris PD. 2004. Meat Science: An Introductory Text. Cambridge (US): CABI Publishing. Waynert DF, Stookey JM, Schwartzkopf-Genswein KS, Watts JM , Waltz CS. 1991. The response of beef cattle to noise during handling. Appl Anim Behav Sci. 62(1):27-42. Whittington P dan Hewitt L. 2009. Review of the Mark I, II and III cattle restraining boxes. [Internet].[diunduh pada 2014 Jul 2]. Tersedia pada: http://www.livecorp.com.au/sites/default/files/rd_report/project_file/w.liv_.037 1_review_of_the_mark_i_ii_and_iii_cattle_restraining_box.pdf. Wicaksono A. 2010. Penggunaan restraining box dalam pemotongan sapi di RPH dan karakteristik fisik daging [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
20
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang, 17 Desember 1991. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mahbudin Latief dan Tuti Martini Hidayat. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Pupuk Kujang Cikampek, pada tahun 2005, pendidikan menengah pertama di SMPIT Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah (YAPIDH) Bekasi, Jawa Barat pada tahun 2008 dan pendidikan menengah atas di MA. Husnul Khotimah Kuningan, Jawa Barat pada tahun 2010. Penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanaian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pelarajaran Agama Islam (PAI), Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan (PKHL), Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis (PKTT), Ektoparasit, dan Patologi Sistemik II. Penulis juga aktif sebagai staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa BEM TPB IPB periode 2010-2011, Bendahara 2 Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKH periode 2011-2012, Bendahara umum DPM FKH periode 2012-2013 dan Kadiv. Keputrian Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) An-Nahl periode 2013-2014. Penulis merupakan 10 besar mahasiswa berprestasi Fakultas Kedokteran Hewan IPB 2014 dan menulis PKM P yang didanai oleh DIKTI pada tahun 2013.