Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Konsensus Sebagai Pilar Utama Good Governance Dalam Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat di Kabupaten Kampar Provinsi Riau Oleh : Ahmad Fitra Yuza
Domain governance atau disebut juga pilar good governance merupakan stakeholders yang saling berinteraksi satu sama lain baik dalam bentuk konflik maupun kerjasama. Apabila interaksi dari ketiga pilar ini tidak harmonis, maka ia akan menjadi konflik, tetapi apabila inteaksi itu harmonis, maka ia menjadi kerjasama. yang paling penting dalama pengelolaan kepentingan publik adalah merubah konflik menjadi kerjasama. Adapun judul penelitian adalah Konsensus Sebagai Pilar utama Good Governance dalam penyelesaian konflik tanah ulayat di Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Teori diatas merupakan alternatif konseptual untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam penyelenggalaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Salah satu permasalahan krusial dan urgen untuk dicarikan solusi pemecahannya (Problem solving) adalah konflik pengelolaan tanah ulayat yang melibatkan Pemerintah daerah, Perusahaan Swasta dan Masyarakat Lokal. Sebagai implikasi dari perbedaan pandangan antara perusahaan swasta dan masyarakat lokal dalam pengelolaan lahan/tanah ulayat, terjadi disharmonis interaksi sehingga menimbulkan konflik yang kronis. Perusahaan swasta yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan menggarup lahan lahan di daearah beroperasinya dengan paradigma dan manajemen bisnis bentuk mencari keuntungan. Sedangkan masyarakat lokal yang merupakan masyarakat adat masih terikat dan berpegang teguh kepada nilai-nilai, norma, tradisi dan budaya serta adat-istiadat setempat yang berlakau dan diwariskan secara turun-temurun. Yakni pertama, menentukan batas dan luas lahan yang dipermasalahkan oleh para pihak yang terletak di Desa Senama Nenek kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar (hal ini terlaksana). Kedua, menghitung aset yang ada di atas lahan yang dipermasalahkan berupa investasi yang telah dikeluarkan pihak PTPN V, baik aset tanaman, aset jalan, maupun aset bangunan yang berada di lokasi (hal ini terlaksana). Ketiga, merumuskan pola kemitraan secara berkeadilan dan saling menguntungkan kedua belah pihak (hal ini tidak terlaksana). Keempat, di dalam penyelesaian terdapat permasalahan secara teknis tim dapat mengangkat tenaga ahli sebagai tenaga pendukung (hal ini terlaksana). Kelima, hasil kesepakatan para pihak selanjutnya akan dinotarialkan supaya berkekuatan hukum. Key Word: Konsensus, Good Governance, Konflik Tanah. tunggal yang dapat menyelesaikan konflik disebabkan jenis konflik yang beragam sesuai dengan akar persoalan yang berbeda. Good governance merupakan suatu konsep sebagai alternatif dalam menghadapi kebuntuan pemecahan berbagai problem, yang semula dipopulerkan oleh Worlk Bank dan UNDP telah diaplikasikan pada berbagai institusi dan level pemerintahan. Governance
Pendahuluan Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sosial, berbagai penyebab menjadi sesuatu yang dapat melatarbelakangi konflik baik yang bersifat laten maupun konflik yang bersifat terbuka. Resolusi yang tepat sangat dibutuhkan dalam penyelesaian berbagai persoalan konflik yang ada dimasyarakat. Belum ditemukan resolusi 60
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
mempunyai tiga domain, yakni ; State, private sector dan society telah berkembang dengan berbagai variannya. Apabila konsep good governance diterapkan pada institusi swasta maka ia menjadi good corporate governance. Apabila diterapkan pada masyarakat ia berwujud masyarakat madani, dan apabila diterapkan pada tataran pemerintah lokal maka ia menjadi lokal good governance. Ketiga domain governance atau disebut juga pilar good governance merupakan stakeholders yang saling berinteraksi satu sama lain baik dalam bentuk konflik maupun kerjasama. Apabila interaksi dari ketiga pilar ini tidak harmonis, maka ia akan menjadi konflik, tetapi apabila interaksi itu harmonis, maka ia menjadi kerja sama. Yang paling penting dalam pengelolaan kepentingan publik adalah merubah konflik menjadi kerja sama. Penulis melihat teori diatas merupakan alternatif konseptual untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Kampar propinsi Riau. Salah satu permasalahan krusial dan urgen untuk dicarikan solusi pemecahannya (problem solving) adalah konflik pengelolaan tanah ulayat yang melibatkan pemerintah daerah, perusahaan swasta dan masyarakat lokal. Sebagai implikasi dari perbedaan pandangan antara perusahaan swasta dan masyarakat lokal dalam pengelolaan tanah ulayat, terjadi disharmonis interaksi sehingga menimbulkan konflik yang kronis. Perusahaan swasta yang bergerak di sektor kehutanan dan perkebunan menggarap lahan di daerah beroperasinya dengan paradigma dan manajemen bisnis untuk mencari keuntungan. Sedangkan masyarakat lokal yang merupakan masyarakat adat masih terikat berpegang teguh pada adat-istiadat, nilai-nilai, norma dan tradisi setempat yang berlaku dan diwariskan secara turun temurun. Dilain sisi, pemerintah daerah yang semestinya menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan
seperti regulation, empoweretment dan public service, belum membuat sebuah kebijakan yang mengatur secara baik bagaimana pengaturan tanah ulayat. Agar berhasil dalam mengelola dan mengatasi konflik, kita perlu memahami konflik itu sendiri dengan baik. Memahami berarti mengerti atau mengetahui secara mendalam. Memahami lebih dari sekedar mengetahui yang mensyaratkan penguasaan detail selukbeluk konflik, bahkan asal usul konflik bisa ditelaah sampai keakarnya guna mencari penanganan yang relevan untuk sebuah usaha dalam pengelolaan konflik. Pada dasarnya konflik merupakan fakta kehidupan yang tidak terkait dengan persoalan baik dan buruk, yang penting dalam sebuah konflik pengelolaan konflik secara baik dan benar. Namun sebaiknya konflik tidak sampai memicu korban fisik, oleh karenanya perlu disikapi dengan keterbukaan kedua belah pihak dalam mencari solusi yang terbaik. Perbedaan pendapat yang memicu konflik merupakan hal biasa, sebab perbedaan pendapat atau pertentangan opini merupakan suatu dorongan menuju perubahan dan kemajuan. Pendapat-pendapat bisa diutarakan dengan cara negatif maupun positif. Dalam pandangan Lacey, mengatasi masalah tidak sama dengan menghindari atau menekan konflik. Menangani konflik berarti menggunakan konflik dan mengelolanya sehingga memperoleh keuntungan dari konflik dengan meraih kesempatan untuk terus berkembang (Lacey, 2003 : xi ). Menurut direktur eksekutif scale up harry oktavian telah terjadi 241 konflik sosial yang terjadi diriau pada empat tahun terakhir dari tahun 2008 diantaranya; persoalan pada sektor kehutanan dan perkebunan. Tercatat dari 2,8 juta hektar lahan perkebunan sawit, berkonflik sekitar 342.571 Hektar. Diantara konflik yang terjadi kampar merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai banyak perkebunan sawit, sebagian lahan tersebut adalah tanah ulayat. 61
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Hasil wawancara dengan bapak ibrahim wakil bupati kampar menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir sudah tercatat ada puluhan konflik penggunaan lahan antara pihak masyarakat dengan pihak perusahaan yang masih dalam proses penyelesaian. Adapun konflik penggunaan lahan tersebut adalah desa senamanenek dengan PTPN V dan konflik masyarakat adat suku domo dengan PT. Peputera Masterindo. Peneliti dalam hal ini akan mengelompokkan resolusi berdasarkan pencapaian kesepakatan dalam rangka merubah konflik menjadi kerja sama dapat dikategorikan, yaitu ; pertama, No Consensus yaitu kasus-kasus konflik pengelolaan tanah ulayat yang sama sekali tidak dapat diselesaikan karena tidak tercapai konsensus antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Kedua Artificial Consensus yaitu kasus-kasus konflik pengelolaan tanah ulayat yang telah diselesaikan dengan tercapainya “kesepakatan” (Consensus) antara perusahaan dan masyarakat lokal. Namun dalam implementasinya kesepakatan ini bisa dilanggar oleh salah satu pihak ataupun kedua belah pihak, sehingga konsensus yang telah terbangun menjadi buyar dan konflik kembali terjadi. Dalam mempelajari dinamika konflik pengelolaan tanah ulayat yang berhubungan dengan pemerintah, perusahaan maupun masyarakat adat, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagaimana berikut ini : 1. Mengetahui, memahami dan menjelaskan terhadap berbagai upaya consensus dalam resolusi konflik antara masyarakat dengan Pihak perusahaan dalam pengelolaan tanah ulayat. 2. Sebagai bahan rujukan bagi pengkaji politik lokal yang berminat dalam mengkaji topik yang serupa dan sebagai referensi bagi masyarakat adat serta Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar dalam memberikan alternatif kebijakan
penyelesaian konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan.
Kerangka Teori Dalam kajian ini yang akan dilacak berbagai persoalan yang muncul dalam sebuah proses mencapai konsensus konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan dan berbagai upaya resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Kampar. 1. Konflik Menurut Ross Stagner, konflik adalah suatu situasi dimana dua manusia atau lebih menjadi saling bertentangan. Dalam konflik harus ada setidaknya dua kelompok, masing-masing kelompok memobilisasi energi untuk memperoleh suatu tujuan yaitu objek atau situasi yang diinginkan. Masing-masing kelompok merasakan yang lain sebagai penghalang atau ancaman untuk tujuan tersebut (Ross Stagner 1976). Berkaitan dengan fokus penelitian ini, konflik berupa pertentangan antara masyarakat adat dengan Pihak perusahaan yang berujung pada sebuah konflik terbuka yang menimbulkan korban. 2. Pemerintah Lokal Menurut Sarundajang (2001) pemerintah lokal sebagai suatu sub komponen geografis suatu negara yang berdaulat pemerintah lokal berfungsi memberikan pelayanan umum, dalam suatu wilayah tertentu. Joko Widodo (2001) mengemukakan bahwa pemerintah lokal merupakan pemerintahan yang didekatkan dengan rakyat. Dengan demikian akan dapat mengenali apa yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan dan kepentingan serta aspirasi rakyat secara baik dan benar, karena kebijakanyang dibuat akan mencerminkan apa yang menjadi kepentingan aspirasi rakyat yang dilayaninya. 62
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Sharpe (1985) mengemukakan “lokal government is better able than central government to respond to changes in demand, to experiment and to anticipate future changes. Its provides a form non producer groups can more easily participate”. (pemerintah lokal lebih mampu dari pada pemerintah pusat dalam merespon perubahan tuntutan, melakukan exsperimen dan mengantisipasi perubahanperubahan pada masa mendatang. Pemerintah lokal memberikan bentuk pemerintahan dalam mana rakyat dari kelompok-kelompok diluar pengambil keputusan dapat dengan muda berpartisipasi).
World Bank memberikan definisi “the way state power is used in managing economic and sosial resources for development of society” (governance didefinisikan sebagai cara negara menggunakan kekuasaan dalam mengelola sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat). UNDP memberikan batasan governance is defined as the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs. Governance didefinisikan sebagai pelaksanan kewenangan politik, ekonomi dan adminitrasi dalam mengelola urusanurusan suatu negara). Berdasarkan definisi ini, maka governance mempunyai tiga dominan atau kaki (three legs) yaitu economi, political dan administratif. Economic governance meliputi aktivitas ekonomi dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Political governance adalah proses-proses pembautan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance adalah sistem implementasi kebijakan. Oleh karena itu institusi governance meliputi negara (state), sector swasta (private sector) dan masyarakat sipil (civil society) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif. Sektor swasta menciptakan pekerjaan dan peningkatan pendapatan. Society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Konsep good governance adalah pengemangan ataupun perubahan paradigma dari good governance. Perubahan paradigma ini diaplikasikan dalam bentuk perubahan pola interaksi antara ketiga pilar good governance yakni antara state, private sector dan civil society. Dalam good governance yang diutmakan adalah strategi dari ketiga pilar
3. Good Governance Awal dari popularitas goog gevernance dimotori oleh Worlk Bank pada tahun 1994. Lembaga keuangan internasional ini berkepentingan untuk memastikan kembalinya dana-dana yang dipinjamkan, terutama negara-negara berkembang, namun tidak memiliki leverage untuk melakukan camput tangan dalam pengelolaan negara peminjam. Perintangnya adalah disaklarkanya kedaulatan masing-masing negara. Jadi awalnya good gevernance merupakan kepentingan kapitalisme yang berada dalam kerangka berpikir neo liberalism. Dewasa ini good governance kedaulatan masing-masing negara jadi awal good governance merupakan kepentingan kapitalisme yang berada dalam kerangka berfikir neoliberalis. Dewasa ini good governance banyak diadopsi oleh berbagai negara dalam membenahi sistem penyelenggaraan pemerintahan. Perkembangan ini semakin didorong dengan terbitnya buku reiveranting government karya David Osborn dan Ted Gebler. Beberapa definisi tentang good governance dapat dilihat dari berbagai pendapat para pakar dan institusi yang berkompeten dalam bidang good governance yang dapat dikeumukakan sebagai berikut: 63
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
ini. Penyelenggaraan pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila masingmasing pilar telah mempunyai kesempatan dan akses yang sama dalam berintegrasi menjalankan fungsinya masing-masing. Good governance juga dapat dipahami sebagai arena pengelolaan kepentingan publik.
dengan warga masyarakat. Dalam perkembangan lebih lanjut, konsensus yang dibangun dalam interaksi antar pilar governance kemudian dituangkan dalam suatu aturan hukum yang mengikat pihakpihak yang terlibat dalam pembuatan konsensus itu. Sejumlah nilai yang semula diikuti secara sukarela berubah menjadi aturan hukum yang harus ditaati konsensus dapat dijadikan acuan sebagai pelengkap aturan main yang belum diatur dalam Peraturan Perundangan mapun hukum adat (dalam buku governing hal 17 tahun 1997).
4. Karakteristik Good Governance UNDP menetapakn sembilan belas karakteristik good governance sembilan diantaraanya yang populer yakni : 1. Participation (partisipasi) 2. Rule of Law (pengekana hukum) 3. Transparancy (transparansi) 4. Responsiveness (responsivitas) 5. Consensus Orientation (orientasi kepada kesepakatan) 6. Equity (keadilan dan kesejateraan) 7. Efficiency and Effetiveness (efisiensi dan efektivitas) 8. Accountability (akuntabilitas) 9. Strategic Vision (visi yang strategis)
6. Tanah Ulayat Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 1 berbunyi : a. Hak Ulayat dan hak serupa itu di masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsuangan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adaat tersebut dengan wilayah bersangkutan. b. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Konsensus sebagai karakteristik Good Governance diatas ditetapkan sebagai indikator dalam penelitian ini. 5. Konsensus LAN dan BPKP mengemukakan memalui karakteristik consensus orientation, good governance dapat menjadi mekanisme intermediasi kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan maupun prosedur (dalam sosialisasi LAN dan BPKP, 2000). Ryaas Rasyid 1997 mengemukakan penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu governing process memerlukan seni pemerintah yang menemukan cara pendekatan yang sesuai, yang bisa disebut dengan governing, yaitu suatu proses pengelolaan kekuasaan dimana pemerintahan dijalankan berdasarkan konsensus-konsensus antara mereka yang duduk dalam struktur pemerintahan
7. Defenisi Konseptual a. Konflik adalah perbedaan pandangan, pertentangan/perselisihan antara masyarakat adat dengan perusahaan dalam pengelolaan kelapa sawit.
64
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
b. Institusi good governance meliputi negara (state), sektor swasta (primer sector) dan masyarakat sipil (civil society) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing. c. Konsensus adalah solusi konflik yang dilihat dari kesepakatankesepakatan yang dihasilkan serta implementasi yang dilakukan sebagai upaya dalam sebuah resolusi.
1) Keterlibatan pemerintah daerah dalam implementasi consensus Perdamaian. 2) Resolusi konflik oleh pemerintah daerah. 3) Berbagai upaya pemerintah daerah dalam mewujudkan consensus konflik.
Metode Penelitian Untuk menganalisis secara mendalam tentang masalah penelitian. Maka pendekatan penelitian yang diajukan untuk diterapkan adalah: Pendekatan Kualitatif. Devine (dalam Usa Harrison, 2007) mengatakan bahwa : Keuntungan dari pendekatan kualitatif dalam ilmu politik sering diabaikan, padahal kekuatannya terletak dalam dalam fakta bahwa riset ini membuat periset terlibat dalam setting sosial yang menjadi tujuan penelitiannya, membuat periset bisa engamati sendiri orangorang dalam sitauasi sehari-hari dan ikut serta beraktivitas bersama mereka. Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yaitu Data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian, berupa hasil wawancara dengan tokoh masyarakat yang terdiri dari kepala desa dan Ketua Pemuda. Pihak perusahaan terdiri dari Kepala bagian community development. Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini kepala seksi administrasi pertanahan. Bupati atau wakil Bupati Kabupaten Kampar. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kampar dalam hal ini adalah anggota komisi III DPRD Kampar yang menjadi tim Hearing. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, mekalah dan dokumendokumen yang berhubungan dengan penelitian konflik yang dilakukan. Dokumen yang akan ditelaah berupa buku, artikel, majalah, koran, undang-undang, dokumen administrasi lembaga terkait.
8. Definisi Operasional Menurut Soejono Soekamto defenisi operasional dijadikan pegangan dalam melakukan penelitian, adapun defenisi operasional ini dimaksudkan untuk memperjelas dan meperinci konsep yang telah dikemukakan. Definisi operational mengubah konsep dengan suatu pengukuran menggunakan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejalagejala yang dapat diuji atau diamati (Soejono Soekamto, 187:220). Sebagai pedoman dalam melakukan penelitian, indicator-indikator yang digunakan adalah analisis dengan melihat terjadinya perubahan sosial pada struktur masyarakat dan mendeskripsikan upaya resolusi konflik yang dilakukan pemerintah daerah. Hal tersebut diukur sistematis yang meliputi: a. Keadaan yang mengkondisikan konflik 1) Prilaku masyarakat terhadap tanah, baik dalam tanah perkebunan sampai pada tata cara pembagian tanah ulayat. 2) Sikap masyarakat, perusahaan dan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan tanah. 3) Keadaan sosial ekonomi masyarakat. 4) Profil PTP V dan PT. Peputera Masterindo b. Peran pemerintah daerah dalam upaya konsesus pengelolaan konflik.
65
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 12 tahun 1999 tentang tanah ulayat, perjanjian konsensus. Disamping itu Peneliti juga menelaah Koran Riau Post dan Tribun yang terkait pemberitaan konflik antara PT Pepeutera Masterindo dengan masyarakat. Dokumen pemetaan tanah di BPN Kabupaten Kampar dan Dokurnen tentang penguasaan tanah ualayat. Lokasi dalam penelitian ini adalah di Desa Senamanenek da Desa Sei Jalau, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Lokasi ini dipilih dengan berbagai pertimbangan diantaranya adalah : Pertama, kekayaan alam dilokasi penelitian sangat melimpah namun tidak ada manajemen yang baik sehingga masyarakat sekitar bisa memanfaatkan potensi kekayaan alam. Kedua, Status tanah di masyarakat adalah tanah ulayat sehingga sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kesejateraan masyarakat adat setempat, Ketiga Konflik antara PTPN V dan PT. PEPUTERA dengan masyarakat adat sudah lama terjadi dan sampai dengan saat ini belum terselesaikan dengan baik. Proses pengumpulan dan memperoleh data dilakukan dengan cara studi kepustakaan, wawancara mendalam dan observasi. Studi pustaka dilakukan dengan mendalami dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini diantaranya Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 12 tahun 1999 tentang Tanah Ulayat, Perjanjian Kerjasama Perdamaian. Disamping itu Peneliti juga menelaah koran Riau Post dan Tribun yang terkait pemberitaan konflik antara PT Pepeutera Masterindo dengan masyarakat. Dokumen pemetaan Tanah di BPN Kabupaten Kampar dan Dokumen tentang penguasaan tanah Ulayat. Wawancara dilakukan dengan teknik snowball, yakni dengan mengajukan pertanyaan secara mendalam dan berkembang selama berkaitan dengan topik penelitian, selain itu teknik ini juga digunakan dengan terus mengembangkan
responden yang merujuk pada responden sebelumnya, juga untuk memperkuat data sebelumnya. Peneliti terlebih dahulu menetukan key informan (informan kunci) setelah itu baru mengalir ke informaninforman yang lain, peneliti memulai wawancara dari kepala desa kemudian mengalir ke informan-informan yang lain sesuai dengan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Kemudian observasi dilakukan oleh peneliti dengan pengamatan langsung yaitu mengunjungi langsung lokasi penelitian dan melihat kondisi riil di lapangan. Penulis pertama kali melahrkan kunjungan ke lokasi penelitian pada tanggal 20 Desember 2010. Pada kunjungan awal ini peneliti menemui Kepala Desa untuk memperoleh data-data awal yang dibutuhkan dalam penelitian. Dalam menganalisis data penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan dua teknik analisis kualitaif, yaitu model Miles-Huberman dan analisa data model Spradley. Cara menganalisis model Miles dan Huberman: analisa data dilakukan dengan mendasarkan diri pada penelitian lapangan, kemudian dilakukan pemetaan atau deskripsi tentang data ke dalam matriks. Dalam proses ini peneliti menelaah dan menganalisis terlebih dahulu data yang sudah ada. Atas dasar pemahaman tentang data yang ada lalu dilakukan pemetaan atau deskripsi data kedalam matriks. Analisa data menggunakan matriks. Cara menganalisis model Spradley: dalam model ini analisis data tidak terlepas dari keseluruhan proses penelitian. Analisis data menyertakan teknik pengumpulan data. Keseluruhan proses analisis terdiri atas: pengamatan, deskrispsi, analisa domain, pengamatan terfokus, analisa taksonomi, pengamatan terpilih, analisa komponensial dan diakhiri dengan analisa tema. Model analisa siklus dengan memanfaatkan hubungan semantik.
Pembahasan 1. Penguasaan Ulayat 66
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Ulayat merupakan tanah adat berupa hutan yang dikuasai oleh pemerintah adat secara penuh. Penguasaan ini dilakukan secara turun temurun sebagai warisan nenek moyang yang terkaper dalam sebuah suku. Desa senama nenek terdiri dari beberapa suku yang mempunyai ulayat, diantaranya suku Domo dan suku Pitopang. Secara garis keturunan suku tersebut di wariskan pada sistem matrilinear atau sang ibu. Tanah persukuan tidak mempunyai surat, namun hal ini diyakini penguasaannya secara turun temurun. Jauh sebelum reformasi dahulu kala hutan ini dimanfaatkan masyarakat setempat untuk mencari kayu dan berladang dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Tergambarkan lahan yang dimiliki suku ini pada awalnya seluas 5000 Hektar, namun sesuai dengan perkembangan zaman sebagian lahan ini telah digarap oleh suku Domo dan Suku pitopang. Selain pemukiman lahan ini digunakan untuk perkebunan rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
dalam upaya pengembalian lahan yang menjadi milik masyarakat adat setempat. 3. Upaya Penuntutan Lahan
2. Kehadiran PTP II Kehadiran perusahaan merupakan suatu dinamika perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini bermula pada pembukaan lahan yang dilakukan perusahaan pada tahun 1983, berdasarkan SK Menteri pertanian No.178/Kpts/UM/III/1997, SK Gubernur riau KDH Tk.I:Kpts.131/V/1983 dan SK Menteri Kehutanan NO.403/KPTS-II/1996 27 serta penertiban HGU seluas 27.348,888 HA, yang diterbitkan secara bertahap mulai dari tahun 1997 hingga tahun 2001. Ini merupakan landasan hukum dalam penggarapan yang dilakukan PTP II diganti nama menjadi PTPNV. Penggarapanpun terjadi, membuat masyarakat melakukan berbagai pergerakan dalam menuntut lahan seluas 2.800 Hektar. Lahan tersebut merupakan tanah ulayat masyarakat adat setempat yang dijadikan sebagai sumber penghidupan. Berbagai gejolakpun terjadi 67
Pada tahun 1995 masyarakat melakukan pengaduan terhadap persoalan ini Kepada KBMR (keluarga besar melayu riau) yang di pimpin oleh Nurmansyarah abdul wahab. Berbagai pertemuanpun dilakukan dengan berbagai pihak termasuk Dprd kabupaten kampar yang ditandai dengan surat tim pelaksana kerja desa senama nenek No.08/LK/III/1999 tentang pengembalian lahan tersebut. Hal ini direspon oleh bupati dengan menyurati gubernur riau yang isinya tentang pencabutan pencadangan lahan 30.000 Hektar dan mengeluarkan lahan seluas 2.800 Hektar kepada masyarakat. pemerintah provinsi melalui surat badan koordinasi penanaman modal yang ditujukan kepada direktur PTPN V memberikan alternatif untuk menyerahkan lahan tersebut atau membuat sistem PIR. PTPNV menanggapi dengan balasan surat atas persetujuan membuat pola KKPA untuk masyarakat. akan tetapi hal ini tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Gejolakpun muncul ditengah masyarakat, konflikpun menjadi terbuka dengan ditandai aksi penyerangan terhadap PTPNV yang beroperasi di daerah desa senama nenek. Sudah tercatat telah terjadi puluhan konflik yang terjadi dilokasi perkebunan antara masyarakat dengan karyawan PTPNV. 4. Dinamika Sikap Pemerintah dalam Penyelesaian Konflik 4.1. Pemerintah Daerah Menyikapi persoalan ini, maka pemerintah propinsi riau mengeluarkan Surat No 525/BPKPMD/1050 Tgl 8 Mei 2000 kepada Kakanwil BPN Propinsi Riau yang isinya agar dilakukan pengukuran terhadap peta lahan seluas 30.000 Hektar yang didalamnya terdapat 2.800 Hektar diperuntukkan untuk masyarakat senama nenek dengan pola PIR.
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Selanjutnya Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Nomor : 500/1114/BPN.TGL, 11 November Tahun 2000 Kepada Bupati Kampar yang menyatakan bahwa : Sesuai permohonan hak guna usaha PTPN V Sei Terantam yang semula seluas 17.333, 089 Ha. Telah dilakukan revisi Peta bidang tanah permohonan HGU yang diproses panitia B Provinsi Riau adalah seluas 14.537.099 Ha. Sedangkan inclave seluas 2.800 Ha. Diarahkan untuk masyarakat tempatan melalui pola kemitraan.
d. Segala biaya dalam proses penyelesaian ini ditalangi oleh PTPN V yang diperhitungkan kemudian untuk menjadi beban bersama. 5.2. Kesepakatan Tahap Kedua Berdasarkan SK Gubernur Nomor 470/KPTS/XII/2007 dibentuk Tim Penyelesaian lahan Senama Nenek yang beranggotakan pihak masyarakat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Kampar, PTPN V, Deputi BUMN dan Direksi PTPN V mempunyai tugas pokok sebagai berikut: a. Menentukan batas dan luas lahan yang dipemasalahkan oleh para pihak yang terletak di Desa Senama Nenek kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar. b. Menghitung aset yang ada di atas lahan yang dipermasalahkan berupa investasi yang telah dikeluarkan pihak PTPN V, baik aset tanaman, aset jalan, maupun aset bangunan yang berada di lokasi. c. Merumuskan pola kemitraan secara berkeadilan dan saling menguntungkan kedua belah pihak. d. Di dalam penyelesaian terdapat permasalahan secara teknis Tim dapat mengangkat tenaga ahli sebagai tenaga pendukung. e. Hasil kesepakatan para pihak selanjutnya akan dinotarialkan supaya berkekuatan hukum.
4.2. PTPN V Menyikapi hal ini Menteri BUMN merespon persoalan tersebut dengan menyurati direksi PTPN V yakni : Surat Menteri BUMN Nomor : 3113/D3.MBU/2003 tanggal 4 Agustus 2003 kepada Direksi PTPN V menyatakan bahwa Direksi PTPN V bertanggungjawab penuh atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan perusahaan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai degan Undang-Undang Nomor 19 tahun 200 tentang BUMN. 5. Kesepakatan Antara Pemerintah Daerah, PTPN V dan Masyarakat 5.1. Kesepakatan Tahap Pertama Notulen Rapat Pertemuan Dalam Penyelesaian Kasus Lahan Senama Nenek PTPN V (Persero) Tempat Hotel Arya Duta Pekanbaru, 28 November 2007. Dalam rapat tersebut menghasilkan beberapa point yaitu : a. Menyepakati penyelesian kasus kebun di atas tanah ulayat Senama Nenek secara saling menguntungkan antara pihak PTPN V (Persero) dan masyarakat adat Senama Nenek. b. Hal-hal yang menyangkut status tanah dan luasnya, mengikuti ketetapan BPN. c. Penyelesaian kasus pada butir 1 diagendakan selesai dalam sejak terbentuknya tim kerja.
6. Implementasi Kesepakatan Antara PTPN V dan Masyarakat Senama Nenek 6.1. Menentukan Batas Dan Luas Lahan Yang Dipemasalahkan Oleh Para Pihak Yang Terletak di Desa Senama Nenek kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar Hal ini telah terlaksana dengan diadakannya inventarisasi batas lahan yang dilakukan oleh BPN Provinsi Riau dengan Surat Nomor 600/367/IV/08 perihal 68
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
penegasan area seluas 2.800 Ha Kebun PTPN V Sei Kencana Desa Senama Nenek yang menyimpulkan sebagai berikut : a. Sesuai hasil kesimpulan hari selasa tanggal 22 Januari 2008 telah dilaksanakan inventarisasi lapangan areal kebun PTPN V Desa Senama Nenek Kecamatan Tapung Hulu dalam rangka penyelesaian masalah tanah masyarakat Senama Nenek dengan PTPN V dengan mempedomani Peta Bidang Tanah atas nama PT. Perkebunan Nusantara V tanggal 26 – 7 – 199 dengan DI 302 No.9/99 tanggal 6 – 3 – 1999. b. Kegiatan inventarisasi adalah melaksanakan staking out (rekuntruksi batas) atau pengambilan batas areal seluas 2.800 Ha yang merupakan areal iclave dari peta bidang tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1.
Hal ini belum terlaksana sebagaimana mestinya menurut Bapak Abdul Rozak selaku tokoh adat masyarakat Senama Nenek menyatakan bahwa : PTPN V berusaha membuat pengurus tandingan yang mengatasnamakan Desa Senama Nenek hal ini tentunya ditolak keras oleh penguasa ulayat dan masyarakat Senama Nenek. Namun masyarakat Senama Nenek telah membuat KUD Ulayat Negeri Senama Nenek untuk melakukan pola kemitraan yang saling menguntungkan. Berdasarkan surat Gubernur Riau kepada Menteri BUMN Nomor : 593/Tapem/4608 Tanggal 30 Maret 2009 yang menyatakan : a. Agar PTPN V menyerahkan lahan 2.800 Ha kepada masyarakat. b. Dari hasil appraisal PTPN V berhutang kepada masyarakat Rp. 5.379.807.000,c. Masyarakat Senama Nenek dan PTPN V akan menjalin kerjasama dalam bentuk pola kemitraan dengan wadah KUD Ulayat Negeri.
6.2. Menghitung Aset Yang Ada Di Atas Lahan Yang Dipermasalahkan Berupa Investasi Yang Telah Dikeluarkan Pihak PTPN V, Baik Aset Tanaman, Aset Jalan, Maupun Aset Bangunan Yang Berada Di Lokasi.
Hal ini tidak ditanggapi dengan baik oleh Menteri BUMN yang menyatakan bahwa permintaan tersebut tidak mempunyai kekuatan Hukum yang kuat. Dilihat dari realitas bahwa tim yang dibentuk ini juga melibatkan pihak BUMN dan PTPN V, maka dapat kita simpulkan bahwa Kementrian BUMN dan PTPN V tidak konsisten terhadap hasil kesepakatan yang telah dibentuk bersama.
Aset-aset PTPN V (Persero) yang berada di atas tanah seluas 2.800 Ha tersebut telah diinventarisasi dihitung dan dinilai oleh konsultan Appraisal PT Survindi Putra Pratama sesuai Surat Perjanjian Kerja dengan kesimpulan nilai pasar sebesar Rp. 116.990.780.000,- biaya investasi sebesar Rp. 58.692.193.000,- dan pendapatn PTPN V (Persero) sebesar Rp. 64.072.000.000,- sehingga selisih biaya investasi dengan pendapatan PTPN V (Persero) berhutnag kepada masyarakat sebesar Rp. 5.379.807.000,-
7. Ledakan Konflik Masyarakat Senama Nenek dengan Pihak PTPN V 7.1. Konflik Kekerasan Puluhan warga dan bertugas keamanan PTPN V terluka, bahkan satu orang warga bernama Junaidi tertembak peluru tajam di bagian betis sebelah kanan.
6.3. Merumuskan Pola Kemitraan Secara Berkeadilan Dan Saling Menguntungkan Kedua Belah Pihak 69
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Tidak hanya itu, bentrokan ini menyebabkan enam sepeda motor dibakar. Bentrokan ini dipicu, saat ratusan masyarakat Desa Senama Nenek, Senin pagi sekitar pukul 09.30 WIB melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu masuk ke dalam kebun Sei Kencana PTPN V. Masyarakat ini menuntut pengembalian lahan seluas 2.800 hektar yang dikuasai PTPN V. Aksi unjuk rasa ratusan masyarakat Desa Senama Nenek ini dihadang ratusan petugas keamanan PTPN V, aparat keamanan Polres Kampar dan anggota TNI. Aksi unjuk rasa ini kemudian berakhir ricuh, ketika terjadi saling cekcok antara warga Senama Nenek dengan pihak pengamanan PTPN V yang kemudian berlanjut dengan aksi kejar-kejaran antara pihak keamanan dan karyawan PTPN V dengan warga Desa Senama Nenek. Pihak Polres Kampar yang berjaga-jaga berusaha menghalau aksi massa. Bahkan beberapa anggota Polres Kampar berusaha melakukan negosiasi dengan warga dan meminta warga untuk pulang dan membubarkan diri. Permintaan pihak keamanan ini dibantah warga dan mereka akan membubarkan diri kalau pihak PTPN V juga keluar dari lahan yang disengketakan. Bentrokan ini kembali pecah, dan hujan batu kembali terjadi. Aksi saling kerjarkejaran dengan senjata tajam dan kayu kembali terjadi. Bahkan hingga pukul 12.00 WIB aksi kejar-kejaran ini terjadi dalam beberapa kali gelombang. Setelah massa mengejar ke arah Kebun Sei Kencana kemudian mundur karena dikejar karyawan dan pihak keamanan PTPN V. Hujan batu dan ketapel terjadi diantara kedua belah pihak. Beberapa warga terluka, diantaranya Jumani, Yakub, Kartini, Idar, Reki, Bobi, Sardan, Ukum, Sriyah, Idrus dan Sapridin, Nanang, Eman, Ermi, Hendri, Kairul, Idar, Ukan dan Sariba. Satu orang warga bernama Junadi juga mengalami luka tembak di betis sebelah kanan. Beberapa orang warga
kemudian tidak terima dengan penanganan keamanan yang dilakukan Polres Kampar. Harusnya membubarkan aksi massa ini, ditembak dengan gas air mata, bukan dengan peluru tajam, teriak beberapa orang warga. Bentrokan ini kemudian semakin memanas, setelah sekitar tujuh sepeda motor milik warga atas nama Yarmiet, Bustari, Tabani, Sukur, Nazarman dan Doni dibakar pihak pengaman PTPN V. 7.2. Sikap PTPN V Pihak PTPN V (Persero) yang merasa memiliki hak atas tanah seluas 2.800 hekter yang berada dalam area PTPN V (Persero) mengaku tanah ini sudah dibukukan sejak tahun 1989. Bahkan PTPN V (Persero) juga mengaku sudah memberi ganti rugi atas pembebasan tanah ini kepada masyarakat adat Senama Nenek. Disamping itu PTPN V (Persero) juga merasa mengkantongi Hak Guna Usaha (HGU). Dengan HGU ini PTPN V (Persero) merasa berhak untuk memaksimalkan tanah yang mereka miliki. Alasannya, jika tidak dimaksimalkan, PTPN V Persero akan mengalami kerugian dan bukan tidak mungkin akan digarap oleh orang lain lagi (Riau Pos : 23 Oktober 2013). Menurut Bapak Abdul Rozak penguasaan ulayat menyatakan bahwa lahan yang diganti rugikan tersebut bukan lahan yang dimaksud. Melainkan lahan yang diserahkan pada tahun 1989 adalah ladang masyarakat dan bukan tanah ulayat yang dituntut.
Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat menyimpulkan baik secara teoritis maupun secara praksis yang menggambarkan tentang beberapa kegagalan kesepakatan yang telah dibuat yakni : Konflik telah terjadi dari tahun 1995 hingga sekarang yang mempunyai berbagai persoalan baik dalam kebijakan pemerintah maupun proses kesepakatan itu 70
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
sendiri. Sudah tercatat terjadi 2 konsensus secara garis besar yang melibatkan masyarakat, PTPN V, Pemerintah Pusat dan Daerah namun, kesepakatan ini tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Yakni pertama, menentukan batas dan luas lahan yang dipermasalahkan oleh para pihak yang terletak di Desa Senama Nenek kecamatan Tapung Hulu kabupaten Kampar (hal ini terlaksana). Kedua, menghitung aset yang ada di atas lahan yang dipermasalahkan berupa investasi yang telah dikeluarkan pihak PTPN V, baik aset tanaman, aset jalan, maupun aset bangunan yang berada di lokasi (hal ini terlaksana). Ketiga, merumuskan pola kemitraan secara berkeadilan dan saling menguntungkan kedua belah pihak (hal ini tidak terlaksana). Keempat, di dalam penyelesaian terdapat permasalahan secara teknis tim dapat mengangkat tenaga ahli sebagai tenaga pendukung (hal ini terlaksana). Kelima, hasil kesepakatan para pihak selanjutnya akan dinotarialkan supaya berkekuatan hukum. Secara teoritis penyelesaian konflik ini termasuk jenis artificial consensus yaitu kasus-kasus konflik pengelolaan tanah ulayat yang telah diselesaikan dengan tercapainya “kesepakatan” (consensus) antara perusahaan dan masyarakat lokal. Namun dalam implementasinya kesepakatan ini bisa dilanggar oleh salah satu pihak ataupun kedua belah pihak, sehingga konsensus yang telah terbangun menjadi buyar dan konflik kembali terjadi.
semua pihak yakni bekerjasama dalam pola kemitraan. 3. Bagi masyarakat adat, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dapat dibentuk desa adat sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Agar dapat meminimalisir pihak-pihak yang berusaha memainkan konflik atas lahan tersebut. 4. Pada dasarnya luas lahan 2.800 Ha adalah milik masyarakat adat yang perlu dilakukan PTPN V adalah membuka ruang dalam bekerjasama untuk membangun pola kemitraan yang saling menguntungkan dalam meredam konflik.
Daftar Pustaka 1. Buku Beteille, A. social Inequality. Penguin Education. California. 1970. Bunga Rampai. Perebutan Hak atas Kelola sumber Daya. Katsa, Yogyakarta 2007. Douglas, J.D. Introduction to Sociology ; Situations and Structures The Free Press. New York. l98l. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT Gramedia, Jakarta 1991. Kornblum, W. Sociology In Changing World. Holt, Rinchart and Winston New York. 1988.
2. Saran Berdasarkan dinamika konflik dalam upaya penyelesaian dan kesepakatan yang telah dicapai, peneliti dapat memberikan saran yaitu : 1. Pemerintah pusat maupun daerah harus memberikan penekanan kebijakan agar terdorongnya penyerahan lahan atau pola kemitraaan yang dibangun. 2. Beberapa point yang telah disepakati harus dipatuhi oleh
Kusnaka, Adimihardja, Hak Sosial budaya Masyarakat Adat dalam menggugat posisi masyarakat adat terhadap Negara, AMAN kerja sama dengan LSPP dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Lederach J.P, In Pressure Of Dialogue. Concilition Quarterly, 1989. Linton, R. Status and Role dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg 71
Jurnal Kajian Ilmu Pemerintaha Journal of Government. Social and Politics
jkp Volume 3, Nomor2 September 2014
Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York 1967.
Soetrisno, Lukman, Konflik Sosial, Studi Kasus Indonesia, Tajidu Press, Yogyakarta, 2003.
LAN dan BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta.
Sosrodihardjo, S.. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta. 1972. Strasser, H. and S.C. Randall. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul. 1981.
Moleong, Lexy, Metodologi Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1997.
Subakti Ramlan, Memahami llmu Politik, Gramedia Jakarta, l992.
Mulkhan A Munir dkk, Kekerasan Dan Konflik Tantangan Bagi Demokrasi, Forum. LSM DIY, Yogyakarta.
Sugiono, Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, Alfabeta Bandung, 2006.
Muhammad Rasyid-Riyas, 1997, Makna Pemerintahan, Yasrip Watampone, Jakarta.
Supranto J, Metode Riset, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Sharpe
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Cet IX, Rajawali press, Jakarta, 1995. Nat
J Coletta, Kebudayaan dan Pembangunan : Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan, Umar Khayam, (Ptrjm), Yayasan Obor lndonesia. Jakarta 1987.
Nugroho, Heru, Negara Pasar, dan Keadilan Sosial, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001. Paul, Conn, Conflik And Decision Making An Introduction To Political Science, New York; Horper dalam Row Publisher, 1971. Sarman, M.. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No.7, 1994. Skockpol, Theda, Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif tentang Prancis, Rusia dan Cina (Erlangga, Jakarta1991). Soetomo, Masalah Sosial dalam Upaya Pemecahannya, Pustaka Pelajar.Yogyakarta, 2008.
72
dalam Smith, 1985, Local Government, New York, USA