PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KONFLIK KELAS DALAM DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Gabriela Melati Putri 124114001
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Juni 2016 i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karya ini kupersembahkan bagi keluarga: Darma Widjaja, Endang Pudjiastuti, Kristoforus Gunawan yang selalu mendukung mimpiku sampai saat ini.
Dia adalah SEMAR… Dia Badai dan Topan itu Yang menggeliat karena gencetan Yang bergerak karena penindasan Yang menggilas karena hinaan Yang sanggup mengubah roda zaman (Semar Gugat, Babak 9, N. Riantiarno)
boku dake ga ikeru sekai de juusei ga todoroku mabayui hakanai senkou ga kakete itta “nanika ga owari mata nanika ga hajimarun da” sou kitto sono hikari wa boku ni sou sakenderu (A gunshot roars out in a world only I will go to, as the glaring, transient flash shoots out. “When something ends, something begins again.” Yeah, surely that light is shouting that at me.) “Starting Over”-Mr. Children vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berjudul “Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet”. Tugas akhir ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Studi Sastra Indonesia. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan bisa selesai tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat, penulis secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Yoseph Yapi Taum, M. Hum. selaku Pembimbing I yang telah memberikan waktu, masukan, dukungan, dan bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skrispi ini.
2.
Drs. B. Rahamanto, M.Hum. selaku Pembimbing II yang telah menyediakan waktu, bimbingan, dukungan, dan masukan untuk penulis dalam proses penulisan skrispi ini.
3.
Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas dorongan semangat yang diberikan.
4.
Seluruh Dosen Program Studi Sastra Indonesia: S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum., Dr. Y. Yapi Taum, M. Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Prof. Dr. Praptomo Baryadi, M. Hum., Drs. F.X. Santosa, dan Ibu Dra. Frasnsisca Tjandrasih Adji, M.Hum, atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama studinya di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sanata Dharma. 5.
Seluruh karyawan Fakultas Sastra yang telah membantu penulis dalam administrasi akademik selama masa kuliah.
6.
Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu menyediakan buku-buku referensi yang dibutuhkan peneliti.
7.
Kedua orang tua peneliti, F.X. Darma Widjaja dan Endang Pudjiastuti, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis selama masa studi di Sastra Indonesia USD. Secara khusus, Darma Widjaja yang telah menjadi salah satu teman diskusi penulis dalam penulisan skripsi.
8.
Kakak peneliti, Kristoforus Gunawan, yang telah memberi masukan bagi penulis dalam penyelesaian skripsi.
9.
Sutradara, aktor, penulis naskah, dan seluruh kru pementasan ensembel monolog Benang Merah dari Teater Seriboe Djendela yang telah memperkenalkan peneliti dengan naskah monolog Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet dan “dunia” Marsinah. Pementasan tersebut memberi inspirasi peneliti untuk menulis skripsi ini.
10.
Laura Ariesta, sahabat terbaik yang di sela-sela kesibukannya telah membantu penulis menerjemahkan jurnal-jurnal yang dibutuhkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11.
Agathon Hutama yang di sela-sela kesibukannya memberikan bantuan untuk menerjemahkan abstrak penulis, atas masukan, dan atas dukungan yang diberikan dalam proses penulisan skripsi.
12.
Wendy Nugroho yang sudah menjadi tempat curhat dan diskusi, serta
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memberikan masukan dalam proses penulisan skripsi. 13.
Teman-teman seangkatan dan seperjuangan Program Studi Sastra Indonesia USD Angkatan 2012: Santi, Novi, Peng, Carlos, Willy, Venta, Bella, Dorce, Ovi, Retha, Silvy, Patrick, Lina, Robi, dan Mei. Terima kasih untuk kebersamaan dan semangat untuk lulus bersama yang mendorong peneliti untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
14.
Teman-teman KKN Kelompok 20 Angkatan LI USD, untuk waktu yang menyenangkan dan semangat yang diberikan.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan dalam penelitian ini. Akan tetapi, penulis berharap penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti sastra selanjutnya dan membantu dalam mengembangkan penelitian Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta, 23 Mei 2016
Penulis
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Putri, Gabriela Melati. 2016. Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini menganalisis konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet dengan pendekatan sosiologi sastra. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah yang terdiri atas tokoh dan penokohan, alur, dan latar, serta (2) mendeskripsikan konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Analisis konflik kelas menggunakan perspektif Karl Marx dan Ralf Dahrendorf, yaitu konflik kelas karena adanya kepentingan ekonomi dan konflik kelas karena adanya penggunaan kekuasaan kelas superordinat atas kelas subordinat. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode formal dan metode analisis isi. Metode penyajian hasil analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan analisis alur diketahui bahwa dalam drama terdapat isu-isu ketidaksejahteraan buruh. Isu-isu tersebut meliputi kondisi ekonomi, jaminan kesehatan, pelecehan seksual, dan penegakan hukum yang memihak. Para tokoh protagonis adalah Tokoh (suara utama masyarakat marjinal) dan Kuneng (korban utama ketidakadilan pada kelas bawah). Para tokoh antagonis adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Mereka merepresi masyarakat kecil. Kemudian, tokoh deutragonis adalah Itut dan Nining dan tokoh foil adalah Ibu. Latar tempat dalam drama adalah Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Di Alam Kematian, masalah kelas bawah disuarakan karena mereka tidak dapat menyuarakannya di Alam Kehidupan. Drama ini berada pada peristiwa masa akhir Orde Baru, ketika banyak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan pemerintahan otoriter. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1993 atau setelah kasus Marsinah terjadi. Analisis konflik kelas dibagi menjadi tiga bagian: (1) identifikasi tokohtokoh kelas atas dan kelas bawah, (2) analisis sebab-sebab konflik kelas menurut perspektif Marx, dan (3) analisis sebab-sebab konflik kelas menurut perspektif Dahrendorf. Tokoh-tokoh kelas atas adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Tokoh-tokoh kelas bawah adalah Ibu, Tokoh, Kuneng, Nining, dan Itut. Berdasarkan perspektif Marx, sebab-sebab konflik yang dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dalam drama adalah (1) penyuapan hakim dalam pengadilan, (2) eksploitasi buruh industri, dan (3) tanah dan kekayaan masyarakat yang direbut. Kemudian, berdasarkan perspektif Dahrendorf, sebab-sebab konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan kekuasaan dalam drama adalah (1) penggunaan kekuasaan atas media massa, (2) penyelewengan kekuasaan dalam pengadilan, (3) pembungkaman perlawanan masyarakat kelas bawah, dan (4) kekerasan verbal dan nonverbal atas para buruh. Dapat dilihat bahwa permainan uang dan kekuasaan terjadi dalam konflik kelas. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konflik kelas terjadi tidak hanya karena kepentingan ekonomi, tetapi juga karena kepentingan kekuasaan. x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT Putri, Gabriela Melati. 2016. Class Conflict in Marsinah: Nanyian dari Bawah Tanah Play by Ratna Sarumpaet: A Study of Sociology in Literature. An Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University. This study is based on the class conflict issue found in the play Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah by Ratna Sarumpaet with sociology in literature approach. The purpose of this study is (1) to describe the dramatic elements of the play that consists of characters and characterizations, plot, and settings, and (2) to describe the class conflict seen in the play. Class conflict analysis in this play employs the perspectives of Karl Marx and Ralf Dahrendorf, which point out to the conflict that is formed by the economic interests and by the abuse of power of the superordinate class to the subordinate class. The data collection methods in this analysis are library research and the methods used for the analysis are formal and content analysis methods. The analysis is presented using qualitative-descriptive method. The result of the plot analysis is that there are issues of impoverished labors. Those issues are related to economic condition, health care, sexual abuse, and law enforcement that is harsh to the marginalized. The protagonists of this play are The Character (the main representation of the marginalized society) and Kuneng (the very victim of injustice that happens in the lower class society). The antagonists are Judge, Man II, Cone, and Head of Enforcer. They repress people from lower class society. There are also deuterogamists, Itut and Nining, and Mother as a foil character. This play’s setting of place are the Realm of Death and the Realm of Life. Through the Realm of Death, The Character speaks for the problems of the marginalized society that happened in the Realm of Life. The setting of time is between the year 1993 or thereafter, sometime after Marsinah case. The historical background of this play is the near-closing period of Indonesia’s authoritarian New Order Regime which was corroded by corruption, collusion, and nepotism. The result of the analysis on the class conflict is divided into three parts: (1) There are (1) the identification of upper class characters and lower class characters, (2) causes of class conflicts based on the perspective of Marx, and (3) causes of class conflicts based on the perspective of Dahrendorf. The characters that belong to the upper class are Judge, Man III, Cone, and Head of Enforcer. Lower class characters are Mother, The Character, Kuneng, Nining, and Itut. In this play, according to Marx, the conflicts caused by economic interests are (1) judge bribery in court, (2) industrial working class exploitation, and (3) seizure of lands and valuables of lower class society. Meanwhile, according to Dahrendorf, the class conflict that caused by power interests are (1) the use of power to control mass media, (2) abuse of court authority, (3) silenced lower class society, and (4) verbal and nonverbal violence towards the labors. There can be seen that there is a moneyat-work factor as well as the abuse of power, which culminated into conflicts between upper and lower class society. To conclude, economic factor is not the sole cause of class conflict, but also the abuse of authority. xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………...i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………....ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI……………………………………….iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………….iv PERNYATAAN PERSUTUJUAN PUBLIKASI……………………………….v HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………...vi KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii ABSTRAK……………………………………………………………………….. x ABSTRACT …......……………………………………………………………… xi DAFTAR ISI …………………………………………………………………... xii BAB I: PENDAULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………….1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………..4 1.3 Tujuan Penelitian…………………..…………………………………………..4 1.4 Manfaat Penelitian…………….……………………………………………….4 1.5 Tinjauan Pustaka……………………………………………………………….5 1.6 Landasan Teori………………………………………………………………... 7 1.6.1
Drama………………………………………………………………..7
1.6.2
Unsur-Unsur Drama…………………………………………………8
a. Tokoh dan Penokohan ……………………………………………………8 b. Alur (Plot) ………………………………………………………………..9 c. Latar ...…………………………………………………….…………… 10 1.6.3
Sosiologi Sastra ……………………………………………………10
1.6.4
Konflik Kelas ……………………………………………………... 11
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
a. Konflik Kelas Menurut Karl Marx………………………………………12 b. Konflik Kelas Menurut Ralf Dahrendorf………………………………..13 1.6.5
Situasi dan Kondisi Buruh pada Masa Orde Baru…………………..15
1.7 Metode Penelitian…………………………………………………………….16 1.7.1
Metode Pengumpulan Data………………………………………...16
1.7.2
Metode Analisis Data………………………………………………16
1.7.3
Metode Penyajian Hasil Analisis Data……………………………..17
1.8 Sumber Data………………………………………………………………….17 1.9 Sistematika Penyajian………………………………………………………...17 BAB II: ANALISIS UNSUR DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET 2.1 Pengantar……………………………………………………………………..18 2.2 Alur …………………………………………………………………………..18 2.3 Tokoh dan Penokohan………………………………………………………...24 2.3.1
Tokoh Protagonis ………..…………………………………………24
a. Tokoh……………………………………….…………………………24 b. Kuneng………………………………………..……………………….26 2.3.2
Tokoh Antagonis …..……………………………………………….27
a.
Corong ...……………………………………………………….……..27
b.
Kepala Petugas…………………………………………………..…….29
c.
Lelaki III ………………………………………………………….…...29
d.
Hakim …………………………………………………………….…...30
2.3.3
Tokoh Deutragonis………………...……………………………….33
a. Nining………………………………………………………………...33 b. Itut……………………………………………………………………33 2.3.4
Tokoh Foil………………...………………………………………..34
a. Ibu…………………………………………………………………....34 2.4 Latar………………………………………………………………………….35 2.4.1
Latar Tempat……………………………………………………….35
2.4.2
Latar Waktu…………………………………...……………………37
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.4.3
Latar Peristiwa………………………………..……………………38
2.5 Rangkuman…………………………………………………………………..40 BAB III: ANALISIS KONFLIK KELAS DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET 3.1 Pendahuluan………………………………………………………………….43 3.2 Identifikasi Kelas Atas dan Kelas Bawah…………………………………… 44 3.2.1
Kelas Atas…………………………………………………………. 44
3.2.2
Kelas Bawah………………………………………………………. 47
3.3 Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Marx………………………49 3.3.1
Penyuapan Hakim dalam Pengadilan………………………………50
3.3.2
Eksploitasi Buruh Industri………………………………………… 51
3.3.3
Tanah dan Kekayaan Masyarakat Kelas Bawah yang Direbut……...54
3.4 Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Dahrendorf………………...56 3.4.1
Penggunaan Kekuasaan Atas Media Massa………………………...56
3.4.2
Penyelewengan Kekuasaan dalam Pengadilan……………………..58
3.4.3
Pembangunan Perlawanan Masyarakat Kelas Bawah……………...60
3.4.4
Kekerasan Verbal dan Nonverbal Atas Para Buruh…………………62
3.5 Rangkuman ……………………….………………………………………….64 BAB IV: PENUTUP 4.1 Kesimpulan …………………………………………………………………..67 4.2 Saran………………………………………………………………………….72 DAFTAR PUSTAKA………….……………………………………………...…74 LAMPIRAN 1 …………………………………………………………………..77 LAMPIRAN 2 …………………………………………………………………..79 PROFIL PENULIS ..……………………………………………………………81
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sebuah karya sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono, 1979: 1). Kenyataan sosial yang dimaksud adalah hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat dan individu. Melalui pernyataan ini, kita bisa memahami bahwa karya sastra tidak semata-mata hanya menjadi ekspresi jiwa pengarang (Faruk, 2012:44). Swingewood (dalam Damono, 1979:12) menyatakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat. Sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu. Seperangkat peralatan itu adalah kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (selanjutnya disebut MNdBT) ditulis oleh Ratna Sarumpaet pada tahun 1994 dan dibukukan oleh Bentang pada 1997. Naskah drama ini terbagi menjadi empat adegan. Naskah ini telah dipentaskan beberapa kali oleh Teater Satu Merah Panggung (Sarumpaet, 1997: xx). Selain itu, naskah ini juga telah diadaptasi oleh Ratna Sarumpaet menjadi monolog Marsinah Menggugat pada tahun 1997. Naskah MNdBT ditulis Ratna Sarumpaet sebagai bentuk perlawanan atas kematian Marsinah, seorang buruh yang meninggal setelah diperkosa dan disiksa secara kejam karena menuntut hak-haknya. Pada tanggal 8 Mei 1993, Marsinah, seorang buruh pabrik jam PT Catur Putra Surya Sidoarjo, Jawa Timur, ditemukan mati mengenaskan. Sebelum kejadian itu,
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Marsinah bersama kawan-kawannya menuntut kenaikan upah pada 3 dan 4 Mei 1993. Akan tetapi, upaya itu gagal dan 13 buruh dipecat. Untuk membela temantemannya, ia datang ke Kodim Sidoarjo pada 5 Mei 1993, namun usaha itu gagal. Malam itu ia dijemput seseorang dan sejak saat itu menghilang. Mayatnya ditemukan pada 8 Mei 1993 di hutan jati Wialangan, Nganjuk. Menurut otopsi, ia mati secara tidak wajar. Tulang pinggul, seperti tulang kemaluan, tulang usus kanan, dan tulang duduk remuk. Pada kemaluannya ditemukan serpihan tulang (Gatra, 26 Februari 2000). Sampai saat ini, sudah beberapa kali kasus Marsinah dibuka dan hendak diusut kembali, baik dari kepolisian maupun LSM. Tetapi, hasilnya tidak pernah jelas, dan pembunuhnya tidak pernah ditemukan dan ditangkap. MNdBT menceritakan mengenai seorang roh bernama Tokoh yang tidak bisa beristirahat dengan tenang di Alam Kematian. Dari sana ia mendengar suara rohroh gentayangan lain yang tidak mendapat keadilan selama hidupnya. Ia menyaksikan ketidakadilan yang dialami masyarakat kecil yang terjadi di alam kehidupan yang disebabkan karena penindasan para penguasa yang tidak mempedulikan mereka. Tokoh menyuarakan “nyanyian Marsinah” yang berusaha membela hak-hak rakyat jelata yang tidak mereka dapatkan. Melalui penuturan dan kesaksian para tokoh, drama ini menggambarkan situasi masyarakat pada masa Orde Baru yang penuh tekanan dan pembungkaman. Tidak hanya masalah korupsi dan pembangunan besar-besaran yang terjadi pada masa itu, drama ini pun mengangkat situasi penegakan hukum di Indonesia kala itu yang dikendalikan oleh penguasa. Dalam drama ini, Ratna Sarumpaet menempatkan Marsinah sebagai sosok yang mewakili masyarakat marjinal yang suaranya sering dikesampingkan
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(Sarumpaet, 1997:xv). Karya ini diangkat sebagai objek penelitian karena dua alasan alasan. Alasan pertama adalah karena masalah kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Dalam naskah ini, juga dalam kasus-kasus yang ditemukan dalam realita, masyarakat marjinal adalah pihak minoritas yang sering ditekan oleh penguasa dan kondisi hidup. Mereka menjadi pihak yang tidak memiliki uang maupun kekuasaan untuk melawan penguasa. Dalam kasus buruh, mereka ditekan tidak hanya dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan, tetapi juga dalam hal penegakan hak-hak kemanusiaan, seperti yang dialami Marsinah. Alasan kedua adalah karena penelitian terhadap genre drama dalam sastra Indonesia masih sangat jarang. Dewojati (2010:2) berkata bahwa di Indonesia, hampir sebagian besar pembicaraan tentang drama yang muncul di tengah masyarakat lebih banyak terfokus pada pementasan atau seni lakonnya. Akan tetapi, sebuah drama juga memiliki dua aspek, yaitu aspek naskah dan aspek pementasan, yang mana keduanya sama pentingnya dan saling mengisi. Dalam penelitian ini, penulis akan membahas dua hal, yaitu unsur naskah drama MNdBT dan konflik kelas yang ada dalam MNdBT. Unsur drama MNdBT yang akan dibahas mencakup tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Kemudian, konflik kelas dalam MNdBT akan dikaji menggunakan teori konflik kelas perspektif Karl Marx dan Ralf Dahrendorf.
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian ini adalah
sebagai berikut. 1. Bagaimanakah unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet? 2. Bagaimanakah konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai
berikut. 1. Mendeskripsikan unsur-unsur drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet yang terdiri atas tokoh dan penokohan, alur, dan latar. 2. Mendeskripsikan konflik kelas dalam drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis,
penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan untuk penelitian drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah, karena belum ada yang meneliti konflik kelas dalam drama ini. Meski demikian, sudah ada beberapa tulisan mengenai kehidupan buruh pada masa Orde Baru dan menyinggung kasus Marsinah. Selain itu, penelitian ini juga dapat memperkaya kajian sosiologi sastra yang meggunakan teori konflik
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelas. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa kaum buruh, yang merupakan masyarakat kecil, juga perlu diperhatikan hakhaknya. Melalui kesadaran tersebut, penelitian ini juga bisa memberikan bantuan bagi lembaga hukum untuk mememperkuat perlindungan hukum terhadap buruh.
1.5
Tinjauan Pustaka Salah satu penelitian karya sastra yang menggunakan perspektif Marx
dilakukan oleh Rumbiak (2010). Ia mengangkat topik “Nilai Marxisme dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer”. Dalam penelitian tersebut, ia menyorot Marxisme sebagai pemikiran yang mengandung nilai perjuangan keadilan, nilai penghapusan strata sosial, nilai rasa senasib-sepenanggungan, nilai multikulturalisme, dan nilai anti-kapitalisme atau persaaan. Pemkiran-pemikiran tersebut tercermin dalam novel Bumi Manusia. Selain itu, Sujarwadi (2007) menggunakan teori perjuangan kelas Karl Marx dalam penelitiannya yang berjudul “Perjuangan Kelas Penambang Pasir dalam Novel Kabut dan Mimpi Karya Budi Sarjono”. Dalam penelitian tersebut ia mendeskripsikan proses perjuangan kelas penambang pasir dalam novel Kabut dan Mimpi. Ralf Dahrendorf mengembangkan teori konflik dalam bukunya Class and Class Conflict in Industrial Society (1959). Menurut Dahrendorf, perjuangan kelas tidak hanya semata-mata dilatarbelakangi oleh perebutan sumber daya ekonomi. Konflik dianggapnya timbul karena adanya pihak-pihak dalam kelompok
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat yang memegang wewenang (authority). Noor (2004) menulis mengenai “Kelas Sosial, Kepentingan Kelas, dan Konflik Kelas dalam Novel Saman: Sebuah Tinjauan Sosiologis”. Dalam penelitiannya, ia meneliti novel Saman karya Ayu Utami menggunakan teori Marx dan mengadaptasi beberapa teori Dahrendorf yang lain, seperti kepentingan kelas. Mengenai sosok Marsinah, Goenawan Mohamad (dalam Sarumpaet, 1997:ix) menyebutkan bahwa apa yang terjadi atas Marsinah menunjukkan adanya dua agresi, yaitu agresi terhadap Marsinah sebagai buruh dan agresi terhadap Marsinah sebagai seorang perempuan. Menurutnya, kaum buruh dan kaum perempuan adalah pihak yang berada dalam posisi marjinal. Ia mengatakan bahwa buruh lemah kedudukannya dalam kehidupan sosial-ekonomi, dan perempuan lemah posisinya dalam lingkungan budaya yang memuja Ramboisme. Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah sempat disebutkan oleh Adji (2005: 101) dalam Gender dalam Drama Indonesia. Dalam tulisan tersebut, ia menyebutkan bahwa Tokoh tidak hanya “ditindas” oleh kelas atas (penguasa dalam sistem kapitalisme), tetapi juga “ditindas” oleh sistem patriarki. Selain itu, Atika (2013) meneliti drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah sebagai tugas akhir dengan judul “Drama Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Analisis Struktur dan Tekstur”. Ia meneliti struktur dan tekstur drama tersebut dengan teori George Kernodle. Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah ini belum pernah diteliti dengan perspektif konflik kelas. Oleh karena itu, penelitian ini dapat mengawali penelitian tentang drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah dan memperluas
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
referensi tentang konflik kelas dalam kajian sosiologi sastra di Indonesia.
1.6
Landasan Teori
1.6.1 Drama Drama merupakan salah satu genre karya sastra, selain prosa dan puisi. Luxemburg (1989:158) mendefinisikan teks drama sebagai semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur. Secara lebih lanjut, Harymawan (1986:2) mendefinisikan drama sebagai cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan aksi (action) di hadapan penonton (audience). Effendi (1967:156) berkata bahwa drama menyuguhkan cerita dengan gerak (to act a story), bukan menyuguhkan cerita dengan bercerita (to tell a story). Secara tersirat, Luxemburg (1989:158-159) menjelaskan bahwa naskah drama terdiri dari dua dimensi, yaitu karya sastra dan pengarangnya. Sebaliknya, unsur-unsur yang membangun pementasan drama bersifat multidimensi dan disuguhkan untuk dinikmati semua indra. Dalam pementasan drama, selain pengarang dan naskahnya, terdapat para pemain, sutradara, dan tim-tim tata cahaya, tata ruang, tata rias, dan tata busana. Luxemburg (1989:158) memberi penegasan bahwa ilmu sastra hanya dapat membahas teks-teks tertulis saja. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka diperlukan pembedaan agar tidak terjadi kerancuan antara drama sebagai naskah dan drama sebagai pementasan. Pembedaan ini terletak pada unsur-unsur yang membangun keduanya.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.6.2 Unsur-Unsur Drama Effendi (1967:158) berkata bahwa unsur-unsur drama memiliki kesamaan dengan unsur-unsur fiksi, yaitu tokoh dan penokohan, latar, tema, dan alur. Dalam penelitian ini, unsur-unsur yang dipilih untuk diteliti adalah tokoh dan penokohan, latar, dan alur untuk menganalisis konflik kelas yang ada dalam drama MNdBT.
a. Tokoh dan Penokohan Dewojati (2010: 169) menjelaskan bahwa tokoh adalah bahan yang paling aktif untuk menggerakkan alur. Dalam sebuah drama, bahkan cerita fiksi secara keseluruhan, tokoh tidak hanya menggerakkan alur, ia juga membawa tema dan amanat pengarang dalam cerita itu. Dalam membangun sebuah tokoh diperlukan penokohan atau karakter tokoh. Harymawan (dalam Dewojati, 2010:169) menyebutkan bahwa karakter memiliki sifat multidimensional. Dimensi-dimensi yang dimaksud adalah dimensi fisiologis (keadaan fisik tokoh), dimensi sosiologis (lingkungan hidup tokoh), dan dimensi psikologis (kejiwaan tokoh). Deskripsi dimensi-dimensi ini dapat diketahui melalui percakapan para tokoh, baik secara eksplisit atau implisit, dan melalui teks samping drama. Berdasarkan perannya, tokoh dapat dibedakan menjadi beberapa, yaitu tokoh protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, dan foil. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawa norma-norma dan nilai-nilai yang ideal bagi kita. Melalui tokoh protagonis, pembaca akan berempati dan mengidentifikasikan dirinya dengan protagonis. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah oposisi tokoh protagonis, secara
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
langsung atau tak langsung, fisik maupun batin. Ia adalah tokoh yang menyebabkan konflik dalam cerita (Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiyantoro, 2012:178-179). Tokoh tritagonis adalah pihak ketiga, yang berpihak pada kedua kubu (protagonis dan antagonis) atau tidak di pihak keduanya sama sekali (Hamzah, 1985:106). Tokoh tritagonis adalah tokoh penengah yang bertugas menjadi pendamai atau perantara anatara protagonis dan antagonis. Tokoh foil adalah tokoh yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi, tetapi ia diperlukan guna menyelesaikan cerita (Saptaria dalam Adji, tanpa tahun:13).
b.
Alur (Plot) Altenbernd dan Lewis (dalam Dewojati, 2010:167) membagi struktur drama
menjadi lima tahap: exposition (eksposisi), exciting force/challenge (kekuatan penggerak),
rising
action
(komplikasi),
climax
(klimaks),
dan
denounment/resolution (penyelesaian). Eksposisi adalah bagian pembuka plot. Pada bagian eksposisi, pembaca diberikan informasi yang berkenaan dengan jalannya cerita: para tokoh, latar tempat, latar waktu, dan situasi yang sudah, sedang, dan/atau akan mereka hadapi. Kekuatan penggerak (exciting force/challenge) adalah sumber konflik. Ia menggerakkan para tokoh untuk menimbulkan konflik. Jalinan konflik yang semakin rumit dan semakin intens ini adalah bagian dari komplikasi (rising action). Komplikasi ini kemudian berujung pada klimaks. Klimaks atau titik balik adalah puncak konflik. Bagian terakhir adalah penyelesaian (denouement, resolution) yang “melepaskan ikatan” plot (Altenbernd dan Lewis, 1989:17-24). Pada bagian
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penyelesaian ini, terdapat rahasia motif para tokoh dan akhir cerita (Kernodle dalam Dewojati, 2010:164).
c.
Latar Groote (dalam Adji, tanpa tahun:10) menjelaskan bahwa unsur latar dalam
naskah drama adalah mengenai kapan dan di mana peristiwa terjadi. Oleh karena itu, latar dalam naskah drama dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar peristiwa. Latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa di dalam drama. Penjelasan mengenai latar tempat peristiwa diberikan oleh penulis dalam naskah drama melalui teks samping dan dialog-dialog para tokoh yang sedang berlangsung dalam naskah tersebut. Latar waktu adalah latar yang menjelaskan kapan peristiwa dalam drama terjadi, baik itu dalam adegan, babak, atau keseluruhan drama. Latar waktu terkadang dijelaskan secara eksplisit dalam drama, tetapi ada juga penulis drama yang memberikannya secara implisit. Latar peristiwa adalah peristiwa yang melatari kejadian-kejadian dalam drama. Latar peristiwa ini dapat fiktif atau nonfiktif, tergantung imajinasi penulis drama (Groote dalam Adji, tanpa tahun:1112).
1.6.3
Sosiologi Sastra Damono (1979:2) mendefinisikan sosiologi sastra sebagai pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekatan ini terbagi menjadi dua konsep. Pertama adalah karya sastra sebagai cermin proses
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sosial-ekonomis. Konsep ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Kedua, teks sastra adalah bahan penelaahan untuk memahami mengenai gejala-gejala sosial di luar sastra. Ian Watt (dalam Damono, 1979:3) membicarakan mengenai hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Dalam konteks sosial pengarang, yang dilihat adalah faktor-faktor sosial pengarang dalam masyarakat yang mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra yang dihasilkannya. Kedua, konsep mengenai sastra sebagai cermin masyarakat. Damono (1979:4) menyebutkan bahwa untuk mempergunakan istilah tersebut untuk menilai karya sastra, pandangan sosial pengarang perlu diperhitungkan. Terakhir adalah fungsi sosial karya sastra. Mengenai fungsi sosial ini, Grebstein (dalam Damono, 1979:4) menyebutkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003:11).
1.6.4
Konflik Kelas Peneliti akan menggunakan dua teori untuk menganalisis konflik kelas dalam
MNdBT, yaitu teori Karl Marx dan teori Ralf Dahrendorf. Menurut Marx, konflik
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam masyarakat terjadi karena adanya kepentingan ekonomi di dalam kelas-kelas dalam masyarakat, yaitu borjuis dan proletar. Pemikiran tersebut diangkat oleh Marx untuk mengkritik pembangunan kapitalis (Rahardjo, 1928:75). Berangkat dari pemikiran Marx tersebut, Ralf Dahrendorf kemudian mengembangkan pemikiran bahwa konflik kelas terjadi karena adanya orang-orang yang memiliki kekuasaan dan dikuasai. Meski bertentangan, kedua pemikiran mengenai konflik kelas tersebut saling melengkapi dan keberadaan keduanya ditemukan peneliti dalam drama MNdBT.
a. Konflik Kelas Menurut Karl Marx Faruk (2012:26) menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, terdapat pembagian kelas-kelas sosial yang di dalamnya terdapat pengelompokan sosial dan pembagian kerja yang didasarkan pada pemilikan atas alat-alat produksi. Kelas sosial itu terdiri atas kelas atas yang menguasai sebagai besar alat-alat produksi (kelas borjuis) dan kelas bawah yang tidak menguasai atau hanya memiliki sebagian kecil alat produksi (kelas proletar). Kelas atas pada prinsipnya hidup dari penghisapan tenaga kerja kelas-kelas lain serta menguasai alat-alat negara, dan kelas-kelas bawah dihisap dalam perbagai bentuk (Diharja, 2011:175). Kelas bawah ini dianggap tidak begitu signifikan fungsinya dalam kegiatan produksi (Faruk, 2012:26). Karl Marx menentang pemikiran tersebut. Menurutnya, justru masyarakat kelas bawah adalah pihak yang mendominasi dan menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, dan kultural bangunan kelas atas (Saraswati, 2003:38).
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertentangan kelas sosial tersebut ada karena adanya usaha kelas atas yang ingin mempertahankan kepentingannya, mempertahankan hubungan-hubungan sosial yang ada dalam suatu kondisi produksi tertentu, dan memungkinkan terbangunnya berbagai institusi sosial seperti hukum, politik, agama, seni, keluarga, dan sebagainya, yang menopang hubungan-hubungan tersebut (Faruk, 2012:26-27). Dengan kata lain, Marx membandang bahwa strutkur ekonomi masyarakatlah yang menentukan kehidupan sosial, politik, intelektual, filsafat, agama, seni, dan kebudayan, bahkan menjadi dasar untuk dapat memahaminya (Noor: 1996:25 dan Hook, 1980:113). Menurut Marx, uanglah (yang semula merupakan alat tukar dan pengantara antara manusia dan kebutuhannya) yang menyebabkan manusia menjadi terasing. Uang pekerjaan bukan lagi menjadi realisasi diri manusia, melainkan merosot menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan. (Diharja, 2011:175). Marx memandang bahwa sejarah pada hakikatnya adalah sejarah perjuangan kelas antara kelas-kelas ekonomi. Konflik-konflik yang terjadi dalam masyrakat adalah konflik yang terjadi antara pemilik alat-alat produksi (borjuis) dan golongan yang harus hidup dari penggunaan alat tersebut (proletar). Dalam hubungannya dengan pelaksanaan sebuah negara, negara adalah badan pelaksana kelas ekonomi yang dominan dalam masyarakat (Hook, 1980:114).
b. Konflik Kelas Menurut Ralf Dahrendorf Dalam penelitian ini, teori Ralf Dahrendorf yang digunakan adalah mengenai pandangannya terhadap konflik kelas, yang menurutnya disebabkan karena adanya
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
wewenang (authority). Ia mengembangkan teori ini mengkritisi pemikiran Marx dan teori fungsionalis. Ia mengkritisi pemikiran Marx yang menjadikan ekonomi sebagai landasan tumpu berbagai aspek kehidupan. Dahrendorf berpendapat bahwa wajah masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi seperti yang ditekankan oleh fungsionalisme, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan (Susan, 2009:54-55). Menurut Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan (Susan, 2009:54-55). Wallace dan Wolf (dalam Susan, 2009:55) memahami konsep kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi yang memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, ada konflik kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan yang tidak. Dalam masyarakat modern dan industri, kekuasaan ini diterjemahkan sebgai wewenang. Dahrendorf (1959:166) menjelaskan bahwa wewenang (authority) selalu diasosiasikan dengan posisi atau peran di masyarakat. Wewenang adalah kekuasaan yang terdapat pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto, 1990:294). Contoh orangorang yang memiliki wewenang ini adalah guru, polisi, direktur perusahaan, dan seterusnya. Wewenang ini membagi masyarakat menjadi kelas superordinat (yang mengontrol dan memiliki otoritas) dan subordinat (yang dikontrol dan tidak
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memiliki otoritas). Dahrendorf mengelompokkan semua pihak superordinat sebagai kelas penguasa, tanpa mempedulikan apakah pihak tersebut memiliki alat-alat produksi atau tidak (Okulu, 2014:162). Dalam sudut pandangnya, perebutan kekuasaan inilah yang menjadi sumber konflik.
1.6.5 Situasi dan Kondisi Buruh pada Masa Orde Baru Wibawanto (1998) menyebutkan bahwa pada masa Orde Baru pembangunan di Indonesia melaju cepat. Dengan banyaknya modal asing yang masuk, industri semakin berkembang dan lapangan kerja terbuka semakin lebar bagi para buruh. Akan tetapi, kemajuan tersebut tidak seimbang dengan kesejahteraan para buruh. Wibawanto (1998:25) menyebutkan beberapa pelanggaran hak-hak buruh yang dialami para buruh: upah, kondisi kerja, kesepakatan kerja, pemutusan kerja, dan serikat buruh. Pelanggaran itu dilaksanakan oleh pihak pabrik, seringkali secara sepihak, seperti penolakan membayar UMR dan THR, pemotongan upah, dan sebagainya. Kondisi di luar pekerjaan mereka pun tidak jauh berbeda: kos-kosan yang kumuh, jam kerja yang tinggi tanpa cuti dan istirahat, ransum yang tidak layak, dan sebagainya. Nasution (dalam Bajeber 1982:6) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan anggota-anggota lapisan bawah masyarakat masih relatif rendah, sehingga mereka tidak tahu hak dan kewajibannya. Akibatnya, mereka tiak tahu kapan haknya dilanggar. Meski demikian, tanpa adanya hal tersebut pun hak-hak buruh untuk bersuara tetap dibatasi. Wibawanto (1998:21) dengan halus menyebutkan bahwa agar kemajuan
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pembangunan di Indonesia tidak terhambat, pabrik harus steril dari dinamika politik. Dengan kata lain, semua potensi yang memungkinkan gejolak politik harus dihilangkan. Yasanti (1998:7) menyebutkan bahwa dalam hal berserikat pun para buruh dikontrol, bahkan dalam keadaan tertentu tidak diperbolehkan.
1.7
Metode Penelitian Metode Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan
data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Berikut adalah penjelesan mengenai metode (1), (2), dan (3). 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka. Studi pustaka yang dilakukan adalah dengan membaca karya yang akan diteliti dan melacak buku-buku teori sastra, jurnal-jurnal yang membahas mengenai teori-teori tersebut, dan artikel-artikel yang berkaitan dengan kasus Marsinah.
1.7.2 Metode Analisis Data Metode analisis data yang dilakukan adalah metode formal dan metode analisis isi. Metode formal sangat lekat dengan strukturalisme, dan oleh karena itu cocok untuk membahas struktur intrinsik karya. Sementara itu, metode analisis isi berhubungan dengan komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam ilmu sosial, isi yang dimaksudkan berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik, termasuk propaganda (Ratna, 2012: 48).
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Metode penyajian hasil analisis data adalah deskripsi kualitatif. Peneliti menganalisis karya sastra dalam bentuk uraian dengan menerapkan teori-teori yang sudah dipilih.
1.8
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah drama Marsinah:
Nyanyian dari Bawah Tanah (1997) karya Ratna Sarumpaet yang diterbitkan oleh Bentang. Drama ini terdiri dari bagian pembuka, empat adegan, serta bagian penutup.
1.9
Sistematika Penyajian Penyajian penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab. Bab I adalah
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian. Bab II berisi tentang analisis unsur karya yang terdiri dari tokoh dan penokohan, alur (plot), dan latar. Bab III berisi mengenai analisis konflik kelas dalam karya ini. Bab IV berisi tentang kesimpulan dan saran.
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II ANALISIS UNSUR DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET
2.1 Pengantar Dalam Bab II ini akan dijabarkan mengenai unsur naskah drama yang terdiri atas alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Analisis mengenai alur dilakukan untuk mengetahui konflik-konflik yang terjadi dalam drama dan sebab-sebabnya. Kemudian, para tokoh dianalisis untuk mengetahui kelas-kelas sosial dalam drama, dan latar dianalisis untuk mengetahui konteks tempat, waktu, dan peristiwa dalam drama ini. Analisis terhadap ketiga unsur ini nantinya akan dikaitkan dengan analisis konflik kelas dalam drama MNdBT yang akan dibahas dalam bab III.
2.2 Alur Bagian Pembuka dan Adegan Pertama adalah bagian eksposisi drama MNdBT. Pada bagian Pembuka, para pembaca diperkenalkan pada situasi di Alam Kematian, sebuah tempat sebelum peradilan agung terjadi, serta para tokoh yang ada di sana (Tokoh, Hakim, dan para roh yang tidak bernama). Pada bagian pembuka, diceritakan mengenai suasana suram Alam Kematian. Ada suara rintihan seorang gadis yang menyayat. Kemudian, pada Adegan Pertama, pembaca diperkenalkan pada isu yang akan diangkat dalam drama serta permasalahannya. Tokoh Ibu, yang tiba-tiba datang ke
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Alam Kematian, berduka karena kehilangan anak-anaknya. Anak-anaknya adalah korban ketidakadilan dan keserakahan manusia di alam kehidupan. Hal tersebut dapat dilihat dalam dialog Ibu pada kutipan (1).
(1)
IBU: Gadis-gadis kecilku, tumbuh sendiri-sendiri… Terempas dari pelukan, mereka tumbuh pesat, melesat di tengah zamannya. Di tengah putaran zaman, di mana keserakahan adalah raja, di mana keserakahan disembah dan dipersembahkan. Tidak pernah betul-betul memahami teduh atau keriaan. Tidak pernah betul-betul memahami kehangatan darah yang mengalir di tubuh Ibunya. Dunia merenggut anak-anak ini, jadi seperti ini… (Sarumpaet, 1997:8-9) Berdasarkan kutipan tersebut, pembaca diberikan isu mengenai ketidakadilan dan ketidaksejahteraan yang dialami masayarakat kecil. Mereka hidup di bawah keserakahan dan tidak dapat menikmati kesejahteraan. Isu ini berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak pernah selesai atau hanya dibiarkan menggantung, seperti kasus Marsinah. Hal tersebut dibuktikan dengan pernyataan Hakim mengenai tidak perlunya mengangkat isu tersebut ketika hal tersebut memang sudah terjadi. Ia merasa bahwa mengangkat isu tersebut tidak mengubah apa-apa dan hanya akan membuka luka yang sudah tertutup. Akan tetapi, Tokoh berpendapat bahwa suara-suara derita yang didengarnya masih ada dan oleh karena itu ia harus memperjuangkannya agar ia dapat beristirahat dengan tenang. Hal tersebut tercermin dalam dialog Tokoh dan Hakim pada kutipan (2).
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(2)
HAKIM: Tapi apa dengan membangunkan setiap orang seperti ini, memaksa mereka mengorek kembali luka-luka lama mereka, perempuan ini lantas berhenti meratap? […] TOKOH: Demi Tuhan aku tidak menginginkan ini. Aku ingin melupakannya. Aku ingin menguburkannya dalamdalam… Tapi bagaimana aku harus mengingkari kesadaranku, sementara dalam ratapan itu aku seperti melihat diriku? (Sarumpaet, 1997:6) Kemudian, Adegan dua diawali dengan adegan para buruh yang sedang bersiap-siap pulang kerja. Pada adegan inilah exciting force/challenge (kekuatan penggerak) pertama muncul. Exciting force/challenge (kekuatan penggerak) yang pertama adalah penyampaian mengenai isu-isu buruh melalui pengalaman Kuneng. Isu pertama adalah mengenai kurangnya jaminan kesehatan. Teman-teman Kuneng, yang kasihan melihat Kuneng tampak lesu dan sakit, melaporkannya kepada Corong, yang menjadi mandor di sana. Tetapi, Corong acuh terhadap situasi tersebut, seperti tergambar dalam kutipan (3).
(3)
ITUT: Dia sakit.
CORONG: Saya tahu. Tapi itu bukan urusan kamu. Urusan kamu pulang, tidur yang banyak, supaya besok bisa kembali bekerja.
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ITUT: Mana petugas kesehatan? CORONG: Itu juga bukan urusan kamu, koplok. Minggir nggak? Minggir!! (Sarumpaet, 1997:18-19) Dalam Adegan Dua ini, tergambar pula suatu isu buruh yang lain, yaitu mengenai pelecehan sosial yang dialami terutama oleh buruh perempuan. Dalam adegan ini pelecehan yang dialami buruh perempuan yang dilakukan Corong kepada Kuneng. Akan tetapi, Kuneng berhasil melawan ditolong oleh Itut dan teman-teman buruhnya yang lain. Isu buruh yang ketiga adalah masalah ekonomi, yang terdapat pada bagian awal Adegan Ketiga. Pada Adegan Kedua, ditunjukkan Kuneng yang lesu sepulang kerja. Kemudian, pada Adegan Ketiga, terungkap bahwa Kuneng sedang kesulitan uang. Selain harus menyekolahkan anak-anaknya, ia juga harus membiayai suaminya yang semena-mena. Upahnya sebagai buruh tidak mencukupi. Kekuatan penggerak kedua yang terdapat dalam Adegan Ketiga, berupa kenihilan sikap pemerintah terhadap isu-isu yang dihadapi buruh. Pada adegan ini, Tokoh dan Hakim bersimpati terhadap keadaan tersebut. Akan tetapi, Tokoh merasa marah karena tidak adannya tindakan yang diambil untuk mengatasinya. Tidak ada penegakan hukum yang adil bagi mereka. Hal tersebut dikatakan Tokoh pada kutipan (4).
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(4)
TOKOH: Apa kamu mau menyangkal kalau hal seperti itu terjadi? Mereka itu memang jarang memperoleh pembelaan yang sungguh-sungguh. Dan kaulihat sendiri tadi betapa tidak berdayanya mereka. Jangankan membeli keadilan. (Sarumpaet, 1997:35-36) Kekuatan penggerak ketiga bersambung pada kematian Kuneng di awal adegan empat, yaitu keadaan Kuneng yang harus menjadi korban karena kemiskinan dan ketidakadilan. Upahnya yang kecil harus ia gunakan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga keluarganya. Selain itu, rumah tempatnya tinggal harus digusur karena adanya rencana pembangunan pabrik.Menghadapi tekanan tersebut, Kuneng akhirnya bunuh diri. Ketiga kekuatan penggerak itu membuat Tokoh mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab atas ketidakadilan tersebut. Pada awalnya, Tokoh menyalahkan Hakim karena hal tersebut, terutama ketika ialah yang memimpin pengadilan pada saat ia masih hidup. Akan tetapi, Hakim menyanggah dengan alasan bahwa ada tangan-tangan lain yang lebih berkuasa daripadanya yang mengendalikan permainan penegakan hukum. Malah, Hakim merasa bahwa tidak ada yang perlu dipersalahkan karena hal itu terjadi untuk pembangunan. Dari sinilah sikap permusuhan Tokoh terhadap Hakim bertambah. Ini adalah konflik pertama dalam drama MNdBT. Kemudian, konflik kedua terjadi diawali dengan kemunculan Lelaki III di Alam Kematian. Dengan pembawaannya yang angkuh dan latar belakangnya sebagai seorang penguasa korup semasa hidup, kemarahan Tokoh semakin bertambah. Ia tahu bahwa Lelaki III ini adalah sumber penderitaan masyarakat
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kecil. Di sisi lain, Lelaki III melakukan pembelaan bahwa segala sesuatu yang ia lakukan adalah demi pembangunan dan kemajuan, yang menurut Tokoh, alasan itu hanyalah omong kosong belaka. Hal tersebut terlihat pada kutipan (5).
(5)
LELAKI III: Kalau upaya meningkatkan kemajuan bangsa kamu sebut penghancuran-penghancuran, aku lagi-lagi salah menilaimu. Kamu ternyata belum mampu melihat, bagaimana pentingnya jasa ilmu pengetahuan pada kepentingan bangsa. […] TOKOH: Tonggak-tonggak raksasa? Industri-industri raksasa? Jembatan-jembatan raksasa? Cerdas membuatmu sombong. Lupa kenapa Tuhan menganjurkan umatnya mencari cerdas. (Sarumpaet, 1997:78-79) Konflik ketiga terjadi antara Lelaki III dan Tokoh ketika Tokoh menyinggung mengenai seorang buruh perempuan “yang dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan. Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib” (Sarumpaet, 1997:88). Tokoh menuntut karena tidak adanya pembelaan bagi perempuan tersebut. Pada titik ini, ia tidak lagi memberikan kesempatan bagi Lelaki III untuk membalas. Pada akhirnya, ia kemudian mengusir Lelaki III yang semakin tersudut oleh Tokoh dan arwah-arwah lain. Ketiga konflik yang muncul ini adalah bagian dari komplikasi (rising action) drama. Pada setiap konflik, emosi Tokoh semakin memuncak dan akhirnya
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berujung pada klimkas. Klimaks ini terjadi ketika, setelah Lelaki III pergi, kemarahan Tokoh semakin tidak terkendali. Ia merasa putus asa dan berteriakteriak, dan akhirnya mengusir Hakim. Penyelesaian drama ini ada pada bagian Penutup, ketika Ibu menghibur dan menenangkan Tokoh. Pada awalnya, Tokoh merasa belum siap untuk beristirahat. Ia masih ingin memperjuangkan teman-temannya. Meski demikian, Ibu menyuruhnya untuk berhenti karena ia sudah meninggal; sudah waktunya untuk berisitrahat. Tokoh pun akhirnya bertemu dengan Suara dari Langit dan dapat menerima kematiannya. Ia akhirnya beristirahat dengan tenang.
2.3 Tokoh dan Penokohan Dalam penelitian ini, hanya sebagian tokoh-tokoh drama MNdBT yang akan dianalisis. Tokoh-tokoh tersebut dipilih dengan melihat kaitannya dengan konflik kelas dalam drama. Dalam drama MNdBT, terdapat beberapa tokoh yang memiliki peran atau pengaruh besar dalam cerita: Tokoh, Hakim, Ibu, Corong, Kepala Petugas, Kuneng, Itut, Nining, Lelaki III. Bagian ini akan membahas mengenai kesepuluh tokoh tersebut. Kesepuluh tokoh tersebut akan dibagi berdasarkan perannya sebagai tokoh protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, dan/atau foil.
2.3.1
Tokoh Protagonis
a. Tokoh Tokoh merupakan tokoh protagonis dalam drama MNdBT. Ia adalah roh yang bergentayangan di Alam Kematian. Dalam drama ini tidak disebutkan nama, jenis
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kelamin, dan latar belakangnya selama ia hidup. Pada awal cerita, Tokoh digambarkan sebagai sosok yang memiliki rasa pahit kepada orang-orang di sekitarnya (dalam drama ini adalah Hakim, yang menjadi “teman” berdebatnya di Alam Kematian). Ia merasa gelisah, sedih, dan sinis karena tidak dapat beristirahat dengan tenang.
(6)
Tokoh menatap Hakim, galau
TOKOH: Tentu kamu telah mati dengan tenang. Diberangkatkan dengan upacara yang berbunga-bunga. Kehidupan yang serba baik membuatmu kehilangan kepekaan. Kehilangan dorongan-dorongan. Tokoh akhirnya menjauh. (Sarumpaet, 1997:7) Dalam kutipan (6) tersirat bahwa Tokoh tidak dapat beristirahat dengan tenang karena suatu alasan. Dengan sinis, ia menyindir Hakim yang dapat mati tenang dengan upcara, dan kehidupan yang baik. Ia merasa bahwa Hakim telah kehilangan kepekaan terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Ia memiliki rasa empati yang besarkepada masyrakat kecil yang sering tidak mendapat hak-haknya dan diperlakukan tidak adil. Ia sangat membenci para penguasa dan para pelaku yang melakukan ketidakadilan. Ia bahkan tidak segansegan melabrak langsung orang-orang yang melakukannya. Terkait dengan kutipan (6), hal tersebutlah yang membuatnya bergentayangan di Alam Kematian. Mengenai rasa empatinya terhadap masyarakat kecil, hal tersebut tercermin dalam kutipan (7).
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(7)
TOKOH: Itu anak-anak Ibu yang sekarang punya kekuasaan memperjualbelikan adab. Memperjualbelikan hati nurani, hukum, bahkan Tuhannya… Memperjualbelikan apa saja yang pernah ibu ajarkan pada mereka. Punya kemampuan bertindak keji pada anak-anaknya, pada saudara kandungnya, bahkan pada Ibu kandungnya sendiri. Punya kekayaan menghalalkan segala bentuk kekejian. Menindas, menganiaya, memperkosa, termasuk membunuh… (Sarumpaet, 1997:105) Tokoh juga orang yang sangat menjunjung kebebasan bicara. Ia tidak senang dikekang. Dalam drama ini, ialah yang menyuarakan pendapatnya mengenai kebobrokan penguasa dan penderitaan yang dialami masyarakat kecil. Ia seperti merepresentasikan sosok Marsinah yang dalam kehidupan nyata membela temantemannya sesama buruh. Hal tersebut terlihat dalam kutipan (8). (8)
TOKOH: Kenapa? Alam kita sekarang ini alam bebas. Bebas bicara. Bebas mempertanyakan segala kejanggalan yang di masa hidup kita mustahil kita pertanyakan. (Sarumpaet, 1997:68) b. Kuneng Kuneng adalah salah satu tokoh manusia di alam kehidupan. Ia memiliki peran penting sebagai buruh yang sering ditindas oleh penguasa. Kuneng adalah seorang buruh yang bekerja sangat keras. Ia menghidupi anak-anak dan suaminya yang pengangguran. Kuneng termasuk orang yang tidak tinggal diam ketika terjadi pelanggaran hak. Melalui penuturan Nining, diceritakan bahwa Kampung Ijo, tempat Kuneng tinggal, akan digusur. Teman-teman sekampungnya sudah hampir menyerah, tetapi Kuneng tidak. Ia berusaha mempertahankan kampung tersebut,
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meski akhirnya penggusuran itu terjadi juga. Secara tidak langsung, disebutkan bahwa Kuneng memliki kecantikan atau kemolekan tubuh, karena Corong tampak senang menggodanya. Meski demikian, ia memiliki harga diri dan tidak takut untuk memperjuangkan haknya. Hal itu tercermin dalam dua kutipan (9). Dalam kutipan tersebut, Kuneng dengan berani menghindar dari Corong meski ia tahu Corong bisa saja membalas bersikap kasar padanya.
(9) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil. CORONG: Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini… Kuneng berdiri, marah. KUNENG: Jangan sentuh aku! (Sarumpaet, 1997:20) 2.3.2 Tokoh Antagonis a. Corong Corong adalah salah satu tokoh manusia dalam cerita ini. Ia adalah sosok yang kasar dan tidak segan-segan melakukan pelecehan terhadap perempuan. Ia merasa memilki kekuasaan lebih dibandingkan buruh. Mengetahui hal ini, ia pun sering menindas para buruh, baik secara verbal maupun nonverbal. Hal tersebut terlihat dalam kutipan (10) dan (11) sebagai berikut. (10) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil.
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
CORONG: Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini… (Sarumpaet, 1997:20) (11)
CORONG: Tidak ada orang-orang di sini Neng.Tinggal kau dan aku. Sekarang pikir cepat! Berbaik-baik denganku, atau… Kuneng mendorong Corong, terjungkal. KUNENG: Anjing!!! CORONG: Sombong kamu ya.Bagaimana kalau begini. Corong seperti mendapat gagasan, ia mengancam Kuneng dengan pentungan di tangannya. CORONG: Ayo! Berteriaklah! KUNENG: Jangan!! Jangan lakukan ini! CORONG: Diam kamu! Kamu memang perlu diberi pelajaran. Bagaimana kalau begini? […] Corong mengejar Kuneng mengitari gundukan tanah, sampai Kuneng akhirnya terjatuh. (Sarumpaet, 1997:22-24) Dalam kutipan (10), terlihat bahwa Corong sedang melecehkan Kuneng, baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam kutipan (11), terlihat bahwa Corong mengancam Kuneng dengan kekerasan fisik ketika ia menolak untuk berhubungan dengan Corong.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Kepala Petugas Kepala Petugas adalah atasan Corong. Ia memiliki peran kecil namun penting dalam drama ini. Ia merepresentasikan kekuasaan yang lebih besar dari Corong yang dibenci oleh para buruh. Kepala Petugas, sama seperti Corong, memiliki karakter yang kasar. Ia tidak segan-segan bermain kasar meski lawannya perempuan, bila hal itu memang diperlukan. Meski demikian, ia memiliki pegangan moral. Ia tidak setuju dengan main hakim sendiri. Hal tersebut tercermin dalam kutipan (12).
(12)
KEPALA PETUGAS: Kamu memang kurang ajar. Dengar perempuan! Barangkali kamu kira kamu pintar, ya? Atau pemberani? Baik. Tapi sekarang ini, kamu tidak punya pilihan selain menjawab pertannyaanku dengan baik dan sopan. Dan ingat. Ini yang terakhir saya bertanya. Siapa yang bertanggungjawab atas pengeroyokan tadi? (Sarumpaet, 1997:26) c. Lelaki III Lelaki III adalah salah seorang roh lain di Alam Kematian. Saat ia masih hidup, Lelaki III adalah orang yang berkuasa. Ia cerdas dan pandai berdiplomasi. Ia memiliki pembawaan yang tenang dan tidak terpancing emosi. Dalam drama ini ia disiratkkan sebagai pihak yang berperan besar atas penderitaan kepada rakyat kecil. Hal tersebut tergambar dalam kutipan (13) dan (14).
(13)
TOKOH: […] Laki-laki sialan ini merampok hajat hidup orang banyak. Merampok satu koma tiga trilyun rupiah, hanya
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
denagn mengandalkan sebuah pena, sambil nyengarnyengir dan itu hak rakyat. (Sarumpaet, 1997:66-67) (14)
LELAKI III: Itu berarti aku sedang berhadapan dengan seorang yang betul-betul pemberani. Seseorang yang sakit. Dan demi nama Tuhan yang telah memberiku begitu banyak peluang di masa hidupku, aku berjanji akan memulihkannya. Pertama, aku lebih pandai membawa diri. Kedua, dengan cermat aku membaca situasi dan tahu bagaimana memanfaatkannya. Ketiga, aku tidak melawan arus. Dan inilah kesalahanmu yang paling buruk. Kamu melawan arus, padahal dunia di mana kamu tumbuh tidak menyukai itu. Kesalahan yang lain, kamu terlalu menjunjung tinggi kebenaran di dunia di mana kebenaran justru sedang beramai-ramai dikhianati. Aku heran ini luput dari pengamatanmu. (Sarumpaet, 1997:73) d. Hakim Dalam drama ini, Hakim memiliki peran sebagai tokoh antagonis. Hakim adalah salah satu roh yang ada di alam kematian. Sebagai tokoh antagonis, Hakim adalah sosok yang paling sering beradu pendapat dengan Tokoh. Hal ini terutama disebabkan karena representasinya sebagai sistem penegakan hukum yang tidak memihak orang-orang kecil. Ia banyak berpihak kepada Lelaki III.
(15)
TOKOH: Lalu saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.Dan kamu Ibu Hakim, tidak tahu apa-apa? HAKIM: Apa yang kamu cari sebenarnya? TOKOH:
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Apa? Hati nurani… Apa kamu pikir yang hilang, ketika ketidakadilan menghujam di ulu hatimu, dan kamu bungkam? HAKIM: Kegilaanmu ini membuatku gila. (Sarumpaet, 1997:43) (16)
HAKIM: Kemajuan dan pembangunan itu punya risiko. Ada perencanaan yang harus ditaati. Ada tata kota. Ada masalah kepadatan penduduk. Ada urbanisasi yang sukar dibendung. (Sarumpaet, 1997:53) Hakim adalah tokoh oportunis. Ketika dituduh oleh Tokoh bahwa ia mengetahui bahwa ada saksi palsu dalam sebuah pengadilan yang ia tangani, ia mengakuinya. Hal tersebut tercermin dalam kutipan (15). Dalam kutipan (16), terlihat bahwa ia pun mengikuti arus terhadap keputusan yang sudah dibuat orangorang yang lebih berkuasa darinya. Dengan bersikap oportunis dan berpura-pura tidak tahu mengenai saksi palus tersebut, ia mencuci tangan dengan berkata bahwa ia “hanya menjalankan tugas” dan bahwa ia “hanyalah salah satu bagian yang dikuasai oleh para penguasa”. Hal itu terlihat seperti dalam kutipan (17).
(17)
HAKIM: (Enteng) Tapi aku hanya seorang Hakim. Aku bukan juru selamat. TOKOH: Justru karena kamu seorang Hakim. Jabatan Hakim adalah jabatan paling terhormat dalam kehidupan manusia… Karena apa pun keputusan yang mereka buat,
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pertanggungjawabannya dicatat di meja Tuhan. HAKIM: Tapi itu tidak berarti kemalangan buruh, penindasan, masalah-masalah ketidakadilan yang ada di muka bumi ini, lantas jadi tanggung jawab kami sepenuhnya. Putusan akhir memang ada di tangan seorang hakim… TOKOH: Dan sudahkah kamu memberikan putusan akhir yang terbaik untuk mereka? HAKIM: Berdasarkan fakta-fakta yang ada; Berdasarkan aturan main yang berlaku, kami melakukan yang terbaik. (Sarumpaet, 1997:36-37) Meski demikian, Hakim bukanlah sosok yang sepenuhnya apatis terhadap ketidakadilan sistem penegakan hukum yang terjadi. Meski ia adalah pihak yang menyelewengkan penegakan hukum, ia juga menyadari bahwa ada tangan-tangan yang lebih berkuasa darinya, yang mengendalikan permainan lembaga peradilan. Hal ini tercermin dalam kutipan pengakuannya pada kutipan (18).
(18)
HAKIM: Baik. Kalau kamu ingin mencari hati nurani, Lembaga Peradilan bukan tempatnya. Karena di dalam kedudukan kami, di dalam keputusan dan pertimbanganpertimbangan yang kami buat, hati nurani tidak punya tempat. Itu keberadaan kami. Itu satu-satunya kebenaran yang kami mengerti. Jadi jangan pernah berpikir lembaga peradilan adalah segalanya. Tidak! Lembaga peradilan bukan segalanya (Menarik napas panjang, berat). Ada kekuatan lain di sana… (Sarumpaet, 1997:44)
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tokoh Deutragonis
2.3.3
a. Nining Nining adalah salah satu teman Kuneng sesama buruh.Ia memiliki sifat yang keras. Sifatnya itu cenderung ia terapkan pula kepada orang lain. Hal itu tergambar seperti dalam kutipan (19).
(19)
NINING: Kenapa Neng? Sakit lagi? Marah pada siapa kita Kuneng? Ha? Pada siapa kita harus marah? Ini nasib kita Kuneng, dan akan selalu begini. Mengeluh, menangis, hanya membuat kita semakin menderita. Yang bisa kita lakukan hanya menerima, pura-pura melupakan sakitnya. Karena tidak aka nada yang membaik. Perbaikan bukan utuk kita, Neng… Ngerti nggak? […] Aku cuma nggak mau dia cengeng. Dia harus ngerti, tidak ada yang bisa menolong dirinya, selain dirinya sendiri. Supaya dia jangan mimpi. Supaya jangan dia kira bakal ada Malaikat yang akan datang menolongnya. (Sarumpaet, 1997:16-17) b. Itut Itut adalah salah seorang teman Kuneng sesama buruh. Ia keras, tetapi dapat bersikap lebih sabar terhadap sahabat-sahabatnya. Ia setia terhadap sahabatnya, dan jika ada ketidakadilan terjadi, ia berani untuk melawannya. Hal itu tercermin dalam kutipan (20).
(20)
ITUT: Bisa!! Untuk lapar apa pun bisa. Bapak pikir saya main-main? Bapak pikir, nyawa saya, nyawa mereka-
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka ini, atau nyawa Kuneng tadi main-main? Kalau Bapak, atau orang-orang semacam Bapak, membutuhkan penyakit atau peristiwa-peristiwa besar untuk mati, kami tidak. Lapar cukup membuat kami mampus seketika. Itu sebab bagi kami, lapar membuat semua perbuatan jadi pantas.Mau jadi pelacur, maling, perampok, termasuk pembunuh. (Sarumpaet, 1997:28) Tokoh Foil
2.3.4 a. Ibu
Ibu dalam drama ini adalah salah seorang roh yang anak-anaknya hilang karena banyak alasan: anak yang termakan janji-janji manis dan kosong, anak yang harus berjuang keras agar bisa bertahan hidup, dan anak yang hilang karena memperjuangkan keadilan. Ia selalu berduka. Peran Ibu dalam drama ini hanya menjadi seorang pengawas kehidupan anak-anaknya. Di akhir drama, meski tidak dapat berbuat banyak, ia berusaha menghibur Tokoh dan menenangkan kemarahannya. Ibu dalam drama ini adalah ibu milik semua orang, yang bersedih atas kehilangan anakanaknya.seperti yang ada dalam kutipan (21).
(21)
TOKOH: Ibu adalah ketabahan, ketegaran, berhasta kepalangan dada… Tapi Ibu jugalah mata air yang tak henti mengucur meratapi bumi yang dilahirkannya, yang memelihara bara api di dada, mengira dapat menahannya dari kobaran, hanya dengan keikhlasan. Ibu adalah luka, yang menata di relung hatinya kepedihan-kepedihan yang lahir di rahim sendiri… (Sarumpaet, 1997:103-104)
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.4 Latar Latar yang dianalisis dalam MNdBT adalah latar tempat, latar waktu, dan latar peristiwa. Ketiga latar ini terkait erat dengan konflik kelas dalam MNdBT.
2.4.1 Latar Tempat Dalam drama ini ada dua latar tempat, yaitu Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Di Alam Kematian inilah para arwah, termasuk Tokoh dan Hakim, membuka cerita. Di sinilah para arwah membicarakan mengenai ketidakadilan dan penindasan yang diungkapkan para tokoh di Alam Kehidupan. Hal tersebut diungkapkan dalam bagian pembuka pada kutipan (22) dan (23). (22)
PEMBUKA
Pertunjukan ini mengambil tempat di alam mati atau Alam Kematian, alam sebelum Peradilan Agung itu terjadi. Di bagian belakang sebauh altar/ruang, tampak sederetan Roh/Arwah duduk bersila, membelakangi Penonton. (Pada kesempatan lain, arwah-arwah ini akan berperan sebagai bruh, juga sebagai koor). (Sarumpaet, 1997:2) (23)
HAKIM: Ini benar-benar menyakitkan.
Tokoh memperlambat langkahnya, lalu berhenti sama sekali. TOKOH: Aku melihat muka-muka yang terharu, kepala yang tertunduk sedih. Aku menyaksikan pasukan amal menyerbu mengulurkan pertolongan… Tapi kenapa? Kenapa tontonan menyakitkan seperti ini harus terjadi? Siapa yang bertanggungjawab di sini? Siapa yang menyulut api membakar rumah-rumah, memusnahkan kampung-kampung? (Sarumpaet, 1997:51-52)
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Alam Kehidupan adalah tempat Kuneng, Nining, Itut, dan manusia lain berada. Latar ini menggambarkan pabrik tempat Kuneng, Nining, dan Itut bekerja, serta di sebuah lokasi tempat pemakaman Kuneng dilaksanakan. Di Alam Kehidupan inilah digambarkan mengenai peristiwa-peristiwa penindasan dan ketidakadilan, juga masalah-masalah kemiskinan, penegakan hukum, dan isu-isu masyarakat marjinal. Hal tersebut tergambar pada kutipan (9) dan (24).
(9) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil. CORONG: Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini… Kuneng berdiri, marah. KUNENG: Jangan sentuh aku! (Sarumpaet, 1997:20) (24)
KUNENG MATI Para arwah di bagian belakang altar terdengar membacakan ayat-ayat untuk jenazah Kuneng.
(Sarumpaet, 1997: 45) Dalam drama ini, Alam Kematian merupakan representasi dari Alam Kehidupan. Di Alam Kehidupan, meski para tokoh marjinal berusaha mengungkapkan perlawanan, pada akhirnya mereka selalu dibungkam kembali. Hal tersebut terutama dialami oleh Kuneng. Akan tetapi, di Alam Kematian inilah para arwah, terutama Tokoh, dapat menyuarakan konflik kelas yang terjadi di
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat. Ia dapat menyuarakan pembelaan mereka kepada Hakim dan Lelaki III yang merupakan representasi sosok penguasa.
2.4.2
Latar Waktu Secara tekstual, tidak ada penunjuk waktu yang disebutkan secara eksplisit
dalam drama MNdBT. Tetapi, mengingat kapan karya ini ditulis dan latar belakang proses penulisan drama ini, dapat diasumsikan bahwa ini terjadi di sekitar tahun 1993 atau setelahnya, yaitu suatu waktu setelah pengadilan kasus Marsinah digelar. Hal ini diperkuat ketika Tokoh menyinggung seorang buruh perempuan yang mati secara tidak manusiawi tanpa pembelaan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (25).
(25)
TOKOH: Karena aku muak. Karena aku tidak sanggup, di liang kubur ini aku masih harus mencium bau kemunafikan. Seorang perempuan, seorang buruh kecil dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan.Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib. Kalian ada di sana waktu itu. Kalian tahu persis kenapa, dan bagaimana perempuan itu diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan.Apa yang kalian lakukan waktu itu? (Berteriak) Apa yang kalian lakukan? (Sarumpaet, 1997:88) Dalam drama ini terdapat seorang tokoh penguasa otoriter yang secara implisit merepresentasikan Soeharto. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa saat cerita ini terjadi Soeharto masih hidup (pada zaman Orde Baru). Hal itu ditunjukkan dalam kutipan (26).
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(26)
TOKOH: Satu saat, dia mengeluarkan sebuah surat keputusan, yang membuat orang-orang yang senasib denganku betulbetul merana. Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. (Sarumpaet, 1997:64)
2.4.3
Latar Peristiwa Dalam drama ini diceritakan mengnai keadaan masyarakat yang tidak
menentu, seperti pada situasi masa akhir Orde Baru; banyak terjadi pembangunan yang tidak berjalan lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Melalui penuturan Tokoh, dapat diketahui banyak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi. Salah satu contoh praktik korupsi diceritakan melalui penuturan Tokoh. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan (27).
(27)
TOKOH: [….] Laki-laki sialan ini merampok hajat hidup orang banyak. Merampok satu koma tiga trilyun rupiah, hanya dengan mengandalkan sebuah pena, sambil nyengarnyengir dan itu hak rakyat. (Sarumpaet, 1997:67) Dalam penegakan hukum pun terjadi praktik kolusi. Hal ini terlihat melalui penuturan Tokoh dan Hakim. Dalam kutipan ini, ditunjukkan ketidakberdayaan lembaga peradilan sebagai penegak hukum. Keputusan mereka sering dipengaruhi oleh campur tangan penguasa. Hal tersebut diungkapkan Tokoh seperti dalam kutipan (28).
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(28)
TOKOH: Lalu saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.Dan kamu, Ibu Hakim, tidak tahu apa-apa? [….] HAKIM: […] Tidak! Lembaga peradilan bukan segalanya (Menarik napas panjang, berat) ada kekuatan lain di sana... (Sarumpaet, 1997:43-44) Selain ketidakadilan dalam penegakan hukum, dalam kutipan tersebut disebutkan pula mengenai kasus Marsinah yang belum tuntas (belum ditemukan siapa pelakunya). Dalam kasus Marsinah, para terdakwa dalah atasan-atasan Marsinah dan seorang tentara (Forum Keadilan, No. 2, 28 April 2002). Sama seperti pada masa Orde Baru, banyak orang yang dibungkam ketika menyuarakan perlawanan. Pembungkaman tersebut berakhir dengan kehilangan atau kematian seseorang. Hal tersebut tercermin ketika Itut dan Nining berusaha membela Kuneng, tetapi kemudian ditekan oleh petugas. Selain itu, dikisahkan juga mengenai sosok Ibu yang kehilangan “anak-anaknnya” ketika menyammpaikan hak-hak mereka. Pembungkaman ini dipertegas melalui penuturan Tokoh pada kutipan (29).
(29)
TOKOH: […] Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh. Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. (Sarumpaet, 1997:64)
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.5
Rangkuman Pada pembahasan Bab II mengenai analisis unsur drama MNdBT, dapat
disimpulkan beberapa hal yang menyangkut tiga unsur drama, yaitu alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Melalui analisis alur, diketahui bahwa dalam drama ini disinggung mengenai adanya isu atau situasi pelanggaran hak yang dilakukan atas masyarakat marjinal dan kepentingannya mengangkat isu tersebut. Fokus utama masyarakat marjinal dalam drama ini adalah para buruh dan situasinya. Isu-isu buruh yang menjadi keprihatinan adalah mengenai kondisi ekonomi yang tidak stabil, jaminan kesehatan yang tidak terjamin, pelecehan seksual yang terjadi atas buruh perempuan, serta penegakan hukum yang tidak adil (lebih banyak memihak para penguasa). Akan tetapi, meski ada kondisi-kondisi demikian, tidak ada yang bergerak untuk membela mereka. Hal-hal inilah yang memicu konflik dalam drama. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi kehidupan masyarakat yang pada saat itu tidak stabil. Para jajaran atas banyak melakukan praktik korupsi dan tindakan otoriter, seperti yang dilakukan oleh Lelaki III. Pembangunan bangsa yang disebut olehnya banyak merugikan masyarkat marjinal Akibat kondisi-kondisi itu, seorang buruh perempuan mati setelah disiksa dan diperkosa, bahkan tanpa pembelaan. Tokoh yang berperan penting yang ada dalam drama MNdBT adalah Tokoh, Hakim, Ibu, Kuneng, Nining, Itut, Corong, Kepala Petugas, dan Lelaki III. Tokoh protagonis adalah Tokoh dan Kuneng. Tokoh adalah suara utama dalam drama ini, yang menyuarakan permasalahan-permasalahan masyarakat marjinal. Kuneng
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah tokoh yang menjadi bukti utama atas akibat permasalahan-permasalahan itu. Tokoh deutragonis adalah Itut dan Nining. Itut dan Nining adalah tokoh-tokoh yang menyadari bahwa mereka ditindas dan berusaha untuk membela hak-hak mereka meski menemui halangan. Tokoh foil adalah Ibu. Ia adalah tokoh yang mencoba untuk menerima kehilangan anak-anaknya yang disebabkan karena perlawanan mereka. Corong, Kepala Petugas, Lelaki III, dan Hakim adalah tokoh antagonis. Hakim, Corong, Kepala Petugas, dan Lelaki III adalah tokoh-tokoh yang mewakili penguasa. Mereka merepresi masyarakat bawah menggunakan uang dan kekuasaan. Latar tempat dalam drama ini adalah Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Alam Kehidupan adalah tempat para manusia berada. Di Alam Kehidupan inilah Kuneng para buruh mengalami ketidakadilan dan penindasan oleh aparat. Melalui Alam Kematian, tempat para arwah berada, Tokoh menyampaikan suara-suara mereka kepada Hakim dan Lelaki III, yang merupakan representasi penguasa. Latar waktu dalam drama ini terjadi sekitar tahun 1993 atau setelah kasus Marsinah terjadi. Latar peristiwa drama ini adalah mengenai kondisi masyarakat yang tidak menentu pada akhir masa Orde Baru yang diwarnai praktik korupsi dan kolusi. Penegakan hukum dikendalikan oleh mereka yang memiliki uang atau pengaruh. Selain itu, segala bentuk perlawanan akan dibungkam, entah dengan disiksa atau dibunuh. Tokoh Ibu kehilangan anak-anaknya yang berusaha melawan, sementara para buruh pabrik yang melawan ditekan dengan kekerasan oleh para petugas yang memiliki status lebih tinggi dari mereka. Melalui analisis unsur, kita dapat melihat situasi dan kondisi orang-orang kecil serta para penguasa pada drama MNdBT. Para tokoh marjinal direpresi oleh
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tokoh-tokoh penguasa, dan bahwa konflik-konflik di antara mereka terjadi karena adanya isu-isu kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami oleh para tokoh marjinal. Isu-isu tersebut terjadi terutama karena situasi dan kondisi pada masa rezim Orde Baru. Konflik kelas masyarakat kelas bawah dan kelas atas akan dibahas lebih lanjut dalam Bab III.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III ANALISIS KONFLIK KELAS DALAM DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET
3.1 Pendahuluan Pada Bab III ini, penulis akan membahas mengenai konflik kelas yang terdapat dalam drama MNdBT. Dalam drama MNdBT terdapat dua aspek yang menyebabkan terjadi konflik kelas dalam drama ini, yaitu konflik yang disebabkan karena adanya kepentingan ekonomi dan konflik yang disebabkan karena adanya supresi pihak yang memiliki wewenang. Marx memandang bahwa konflik kelas terjadi karena adanya perjuangan kelas yang dilakukan karena motif kepentingan ekonomi. Pemikirannya merupakan bentuk perlawanan bagi sistem kapitalisme yang membagi kelas sosial menjadi kelas atas dan kelas bawah. Peneliti melihat bahwa hal ini terjadi pula dalam drama MNdBT. Ada kepentingan-kepentingan ekonomi yang memicu konflik kelas dalam MNdBT. Akan tetapi, konflik kelas dalam drama MNdBT ini tidak berhenti hanya sampai pada konflik yang disebabkan oleh masalah ekonomi saja. Dalam drama ini, Ratna Sarumpaet pun mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi masyarakat pada saat itu, yaitu bahwa ada supresi kekuasaan atas masyarakat marjinal yang menimbulkan konflik-konflik dalam drama. Kedua teori konflik yang berbeda inilah yang akan diaplikasikan dalam
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
analisis konflik kelas dalam MNdBT. Bab III ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah identifikasi kelas atas dan kelas bawah yang memiliki peran utama dalam konflik kelas. Bagian kedua adalah analisis sebab-sebab konflik kelas menurut pemikiran Marx, yaitu konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi. Kemudian, bagian ketiga adalah analisis sebab-sebab konflik kelas menurut pemikiran Ralf Dahrendorf, yaitu konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan kekuasaan.
3.2 Identifikasi Kelas Atas dan Kelas Bawah 3.2.1 Kelas Atas Kelas atas dalam drama ini adalah Corong, Kepala Petugas, Lelaki III, dan Hakim. Meskipun disebut sebagai kelas atas, beberapa dari mereka bukanlah pemilik alat produksi. Mereka memiliki karakteristik utama, yaitu seseorang yang memiliki posisi lebih tinggi daripada kelas bawah. Selain itu, mereka juga orangorang yang tidak segan melakukan apapun selama mereka akan diuntungkan. Hal tersebut terlihat dalam ucapan Corong kepada Kuneng dalam kutipan (30).
(30)
CORONG: Jangan takut dulu, goblok! Dengan pentungan ini aku bisa menolongmu. Dengan pentungan ini, aku bisa memaksa Kepala Sekolah yang mata duitan itu menerima anakmu, tanpa uang muka yang gila-gilaan itu. Paham? Kamu memang luar biasa… (Sarumpaet, 1997:21) Kemudian, Kepala Petugas sendiri adalah orang yang menggunakan
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kekuasaannya untuk mendapatkan apa yang ia mau. Meski Corong melakukan kekerasan verbal dan nonverbal kepada buruh, tetapi Kepala Petugas tetap membelanya tanpa mempedulikan para buruh. Hal tersebut tercermin dalam kutipan (31).
(31)
KEPALA PETUGAS: Perempuan sial kamu! Kamu nantang ya? Kamu kira ini main-main? Kamu kira nyawa petugas yang kalian keroyok itu main-main? Kalian hampir saja membunuh seorang petugas. Seorang veteran, yang sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya pada nusa dan bangsa. (Ke Itut) Dan kamu kira lapar bisa membebaskan kamu dari tanggung jawab? (Sarumpaet, 1997:27) Hakim sendiri juga tidak jauh berbeda, karena pada saat ia hidup, ia tidak memberikan keputusan yang adil di meja pengadilan. Ia mengaku bahwa ia ditekan oleh penguasa dalam bentuk uang dan kekuasaan. Meski ia tahu bahwa hal itu salah, tetapi ia merasa bahwa hal itu adalah hal yang sewajarnya. Hal tersebut diungkapkan olehnya dalam kutipan (32). (32)
HAKIM: Baik.Gagap memang. Ragu-ragu memang… Sudah dari mula aku katakan, hakim, lembaga peradilan, bahkan hukum itu sendiri bukan segalanya… Hukum itu gagap. Lembaga peradilan itu gagap. Kenapa? Karena di atas meja di mana keadilan mestinya ditegakkan, di situlah uang, darah, dan peluru lebih dahulu saling melumuri. (Sarumpaet, 1997:60-61) Sementara itu, Lelaki III adalah orang yang memegang kendali atas
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
eksploitasi tanah dan uang rakyat. Selain kaya, ia pun adalah orang yang berpengaruh. Meggunakan kekuasaannya, ia juga menekan masyarakat kelas bawah. Hal ini tercermin seperti dalam kutipan (33), (34), dan (35).
(33)
HAKIM: Kenapa? Di masa hidupnya, hampir semua orang ingin bicara dengannya, karena pentingnya dia. Hampir semua tonggak-tonggak kemajuan dirancang berdasarkan gagasan dan pikiran-pikirannnya. Itulah yang membuatnya jadi sangat penting. Dan saya pikir, kemajuan memang penting. (Sarumpaet, 1997:70) (34)
TOKOH: Sebagai penguasa, sebagai Penentu, kedudukan kalian jauh di atas. Berada di atas seperti itu, aturan dan ketentuan-ketentuan yang kalian buat mustahil bisa selaras dengan apa yang kami rindukan. […] TOKOH: Keputusan-keputusan yang kalian buat seringkali membingungkan kami. Berada di atas, kalian tidak mendengar bagaimana kami mengeluh, bagaimana kami mengeluh… [...] TOKOH: Tetapi berhubung aturan dan ketentutan-ketentuan dibuat demi bangsa, demi kemajuan dan pembangunan bangsa, kami tentu harus patuh. Sebab menolaknya, berarti mengganggu stabilitas Bangsa, dan kami bisa dengan mudah dikecam berkhianat pada bangsa, kami akan dikecam Gerakan Pengacau Keamanan. (Sarumpaet, 1997:75-76) (35)
LELAKI III: Merusak? Pada saat semua orang tersenyum
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menyongsong kemajuan itu; Pada saat orang-orang dengan riang menikmati hasil pembangunan itu, kamu menganggapnya merusak? Kenapa? TOKOH: Karena dia membuat kami merasa tidak aman. Dia membuat kami kebingungan. Dia memasuki kehidupan kami, ibarat pisau yang langsung menghujam ke ulu hati, dan kami tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolaknya. (Sarumpaet, 1997:81-82) Dalam kutipan (33), ditunjukkan tokoh Hakim yang memihak kepada Lelaki III yang memiliki kekuasaan. Ia menyebutkan monopoli kekuasaan yang dilakukan Lelaki III. Segala bentuk keputusan yang berjalan di negeri ini dicetuskan oleh Lelaki III. Akan tetapi, dalam kutipan (34) dan (35), disebutkan oleh Tokoh bahwa tidak semua keputusan-keputusan yang dicetuskan oleh Lelaki III itu baik. Alasannya, banyak bagian minoritas yang ditekan. Dan dalam kutipan (34), Tokoh menyebutkan bahwa dalam monopoli kekuasaan yang disebut membangun bangsa itu, ketika ada pihak yang menentangnya, mereka akan disebut “mengganggu stabilitas bangsa” dan “dengan mudah dikecam berkhianat pada bangsa”. Hal-hal tersebut menunjukkan betapa berkuasanya Lelaki III dalam banyak hal.
3.2.2 Kelas Bawah Kelas bawah dalam drama ini adalah Tokoh, Ibu, Kuneng, Nining, dan Itut. Sebagai kelas bawah, adalah tokoh-tokoh yang tidak hanya sebagai proletar (yang tidak memegang alat produksi), tetapi juga sebagai kelas subordinat, yang menjadi pihak yang dikuasai. Tokoh, yang tidak bisa beristirahat dengan tenang karena adanya ketidakadilan tersebut, sering mempertanyakannya kepada hakim. Dalam
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
setiap penyuaraannya, Tokoh selalu memposisikan dirinya sebagai kelas bawah, seperti pada kutipan berikut.
(36)
TOKOH: Menyadari apa… Siapa yang peduli ketidakadilan selain korban ketidakadilan itu? Lapar membungkam mereka. Lapar membuat mereka tidak mampu mengatatakan ‘tidak’. Membuat mereka tidak mampu berpaling, melangkah meninggalkan majikannya, dan ini membuat para majikan tidak pernah memperoleh pengalaman ditinggalkan. Kesadaran seperti apa yang bisa diharapkan dari mereka? (Sarumpaet, 1997:32-33) Kemarahan Tokoh selalu terkait dengan hal-hal yang dialami oleh masyarakat kecil, yang biasanya selalu terkait dengan ketidakadilan. Ibu, seorang roh di Alam Kematian, adalah orang yang meratapi kehilangan anak-anaknya. Ia adalah korban tidak langsung dari tindakan sewenang-wenang para penguasa dan pemilik modal. Adapun Kuneng, Nining, dan Itut adalah tiga orang buruh wanita yang berjuang menghadapi tekanan dari atasan dan situasi hidup yang tidak menentu. Kuneng adalah buruh yang dalam drama ini mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi. Hal tersebut tercermin dalam kutipan (37).
(37)
CORONG: Ait, galak kamu ya. Kenapa? Karena ku tidak setaraf dengan langganan-langgananmu itu? Kamu ini cantik, tapi bodoh. Kamu tidak tahu siapa yang harus dirangkul, siapa yang harus dijauhi. Kita ini sama Neng. Sama-sama tidak punya pilihan.Sama-sama melahap sisa-sisa terakhir dari perusahaan sialan ini. Dan aku hormat sama kamu. Kamu tidak sadar kan, kalau semua orang mencibir sama kamu? Aku tidak. Menyediakan masa depan yang lebih baik untuk
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anak, itu luhur. Dan kamu tidak perlu menggadaikan kehormatanmu untuk itu, kalau kamu tahu siapa orang yang bisa menolongmu. Kau lihat pentungan ini? (Sarumpaet, 1997:21) Sebagai golongan subordinat (yang dikuasai), mereka tidak dapat melawan orang-orang yang lebih berkuasa daipada mereka. Hal ini terlihat dalam kutipan (38). Dalam kutipan tersebut, para buruh surut di hadapan Kepala Petugas, meski mereka sangat ingin melawannya.
(38) Para buruh itu surut, mengelompok, menatap Kepala Petugas dedngan tatapan benci, dan tak seorang pun membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Kepala Petugas. Kepala Petugas menatap Itut yang berdiri di baris terdepan, lalu menunjukkan pertanyannya kepada Itut. (Sarumpaet, 1997:25) 3.3 Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Marx Pada Bab I sebelumnya, telah dijelaskan mengenai pemikiran Marx bahwa konflik dan perjuangan kelas dalam sejarah manusia dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi. Dalam subbab ini, peneliti menemukan adanya konflikkonflik yang disebabkan oleh karena adanya kepentingan ekonomi di dalam drama MNdBT. Konflik-konflik itu adalah (1) Penyuapan hakim dalam pengadilan, (2) Eksploitasi buruh industri, dan (3) Perebutan tanah dan uang rakyat. Masingmasing konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan ekonomi di baliknya.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3.3.1 Penyuapan Hakim dalam Pengadilan Dalam drama MNdBT, terjadi konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi berupa penyuapan hakim dalam pengadilan. Dalam lembaga hukum, Hakim mengakui adanya praktik suap-menyuap yang dilakukan antara lembaga hukum dengan kelas atas lain yang memiliki uang dan kekuasaan. Para kelas atas yang menjadi pelaku kejahatan dapat lolos karena mereka dapat membayar lembaga pengadilan untuk menutup sebelah mata atas kesalahan mereka. Contoh praktik suap tersebut adalah ketika Tokoh, dalam kemarahannya kepada Lelaki III dan Hakim, mengingatkan mereka atas kebungkaman mereka saat seorang buruh perempuan mati tanpa pembelaan yang pantas untuknya. Hal tersebut disebutkan oleh Tokoh dalam kutipan (26).
(26)
TOKOH: Karena aku muak. Karena aku tidak sanggup, di liang kubur ini aku masih harus mencium bau kemunafikan. Seorang perempuan, seorang buruh kecil dianiaya, disiksa, dibunuh dengan keji, hanya karena dia ingin mengubah nasibnya, lepas dari kungkungan kemiskinan.Hanya karena dia membela kawan-kawannya senasib. Kalian ada di sana waktu itu. Kalian tahu persis kenapa, dan bagaimana perempuan itu diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan. Apa yang kalian lakukan waktu itu? (Berteriak) Apa yang kalian lakukan? (Sarumpaet, 1997:88) Dalam kutipan (26) kasus yang disebut Tokoh menyiratkan pada kasus Marsinah, yang memang mati diperkosa dan dibunuh karena berusaha membela teman-temannya sesama buruh. Dalam kasus Marsinah, belum ada penyelesaian
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang jelas dalam bidang hukum. Meski ada pihak-pihak yang disebut sebagai terdakwa, belum ditemukan pelaku sebenarnya. Kemarahan Tokoh, terkait dengan kenyataan bahwa tidak ada pembelaan yang adil bagi perempuan tersebut. Pembelaan yang tidak seimbang tersebut menunjukkan adanya supremasi kelas atas kepada kelas bawah dalam bentuk kekayaan atau uang. Hukum menjadi komoditi ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Bagaimanapun, kelas bawah, yang dalam drama ini adalah para buruh, tidak dapat membela diri mereka karena tidak memiliki kekayaan. Hal ini mengakibatkan kelas bawah yang tidak terbela. Keadaan ini pun diakui oleh Hakim, seperti dalam kutipan (32). Dalam kutipan tersebut, Hakim menyebutkan uang sebagai salah satu faktor yang mendahului penegakan keadilan.
(32)
HAKIM: Baik. Gagap memang. Ragu-ragu memang… Sudah dari mula aku katakan, hakim, lembaga peradilan, bahkan hukum itu sendiri bukan segalanya… Hukum itu gagap. Lembaga peradilan itu gagap. Kenapa? Karena di atas meja di mana keadilan mestinya ditegakkan, di situlah uang, darah, dan peluru lebih dahulu saling melumuri. (Sarumpaet, 1997:60-61) 3.3.2 Eksploitasi Buruh Industri Dalam drama ini, terdapat masalah buruh yang dieksploitasi. Eksploitasi ini terutama mengenai kondisi ekonomi, jaminan hak, kebebasan berpendapat, dan kesejahteraan buruh. Kuneng adalah korban utama eksploitasi tersebut dalam drama ini. Sebagai seorang buruh perempuan, ia tidak diberi jaminan kesehatan dan
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengalami pelecehan seksual. Menurut penuturan Nining pun diketahui bahwa Kuneng mengalami masalah ekonomi dan keluarga. Ia harus bersusah-payah mendapat uang agar keluarganya dapat hidup dan anak-anak dapat bersekolah. Hal tersebut disampaikan oleh Nining dalam kutipan (39) berikut.
(39)
NINING: Nekan apanya? Kamu tahu nggak apa masalah yang paling merongrong Kuneng? Laki’nya. Dari tahun lalu, kampung Ijo itu sudah semestinya dikosongin. Ada pabrik besar bakal dibangun di sana. Tapi Kuneng, teman-teman Kuneng yang percaya omongan Kuneng, mbangkang, karena ganti ruginya nggak jelas. Hampir setahun Kuneng bolak-balik ke kantor DPR dan dia yakin usahanya bakal berhasil. Kemaren, rumah Kuneng, separoh dari Kampung Ijo itu sudah digilas rata, digilas sama traktor. Kenapa? Laki’nya Kuneng, tapi setahu Kuneng sudah ngambil ganti rugi. Nah, kalau kamu ingin tahu siapa yang sialan, Laki’nya itu. Kerjanya cuma garokgarok, sombong. Yang cari duit buat keluarganya, Kuneng… Yang sekolahin anak-anaknya, yang cari cicilan buat rumahnya, Kuneng. Semua Kuneng. Semua Kuneng berikan pada keluarganya. Tapi pada gilirannya Kuneng ingin sesuatu, ingin mempertahankan rumah yang hasil keringatnya itu, Kuneng harus telan ludah. (Sarumpaet, 1997: 47-48) Sebagai pilar produksi ekonomi, buruh dituntut untuk bekerja keras, tetapi mereka tidak mendapat hak yang sesuai. Pembangunan negara, yang banyak disebut dalam drama, tidak disertai dengan kesejahteraan bangsanya sendiri. Mereka dipandang sebagai komoditi untuk menghasilkan produk, bahkan bagi buruh perempuan seperti Kuneng mereka dipandang sebagai komoditi untuk memuaskan nafsu. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan (37).
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(37)
CORONG: Ait, galak kamu ya. Kenapa? Karena aku tidak setaraf dengan langganan-langgananmu itu? Kamu ini cantik, tapi bodoh. Kamu tidak tahu siapa yang harus dirangkul, siapa yang harus dijauhi. Kita ini sama Neng. Sama-sama tidak punya pilihan. Sama-sama melahap sisa-sisa terakhir dari perusahaan sialan ini. Dan aku hormat sama kamu. Kamu tidak sadar kan, kalau semua orang mencibir sama kamu? Aku tidak. Menyediakan masa depan yang lebih baik untuk anak, itu luhur. Dan kamu tidak perlu menggadaikan kehormatanmu untuk itu, kalau kamu tahu siapa orang yang bisa menolongmu. Kau lihat pentungan ini? (Sarumpaet, 1997:21) Karena tuntutan untuk mencari upah dan bertahan hidup, para buruh tidak dapat serta-merta melawan para majikan mereka. Hal tersebut diungkapkan oleh Tokoh dalam kutipan (36).
(36)
TOKOH: Menyadari apa… Siapa yang peduli ketidakadilan selain korban ketidakadilan itu? Lapar membungkam mereka. Lapar membuat mereka tidak mampu berkata ‘tidak’. Membuat mereka tidak mampu berpaling, melangkah meninggalkan majikannya, dan ini membuat para majikan tidak pernah memperoleh pengalaman ditinggalkan. Kesadaran seperti apa yang bisa diharapkan dari mereka? (Sarumpaet, 1997:32-33) Situasi eksploitasi buruh dan kondisi masyarakat kelas bawah lain yang menderita karena kepentingan ekonomi yang lebih dikedepankan juga diungkapkan oleh Tokoh dalam kutipan (40).
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(40)
TOKOH: Jadi kamu tidak tahu, hubungan isi perut buruh-buruh tadi itu dengan citra dan kemauan bangsamu? Hakim berpaling jengkel, tidak menjawab. TOKOH: Kamu tidak tahu, bahwa demi mengalirnya investasi, demi maraknya industri-industri di negerimu, atau demi gagahnya bangsamu di mata perekonomian dunia, mereka itu tadi harus rela lapar. (Sarumpaet, 1997:40)
3.3.3 Tanah dan Kekayaan Masyarakat Kelas Bawah yang Direbut Dalam drama ini disebutkan mengenai tanah dan kekayaan kelas bawah yang direbut oleh kelas atas. Kelas bawah adalah masyarakat subordinat dan para buruh, sementara kelas atas adalah para pengusaha dan pihak-pihak birokrasi. Dalam kutipan (41), melalui Hakim diketahui bahwa di alam kehidupan, terjadi banyak pembangunan dan pertumbuhan di kota. Masyarakat semakin berkembang dan semakin maju. Hal ini pun menjadi penanda kemajuan negara. Akan tetapi, kemajuan itu disertai dengan kemalangan yang dialami masyarkat kecil.
(41)
HAKIM: Tidak tepat menggunakan kata “Siapa” dalam hal ini. Ada rancangan pembangunan untuk kepentingan yang lebih besar. Ada tantangan kemajuan yang harus dihadapi. Jawaban Hakim membuat Tokoh terperangah, marah. TOKOH: Berarti demi kemajuan, demi kemalangan mereka itu sah?
54
pembangunan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HAKIM: Aku tidak berkata begitu. Tapi bagaimanapun, kemajuan itu penting. TOKOH: Untuk siapa? HAKIM: (Jengkel) Untuk siapa… Untuk bangsa. TOKOH: (Tertawa panjang, sinis) Bangsa yang mana? Kalau semua itu disebut demi bangsa, lalu kenapa mereka itu tadi sebagai masyarakat terbanyak justru harus menderita, harus tertindas, demi kemajuan itu? HAKIM: Kemajuan dan pembangunan itu punya risiko.Ada perencanaan yang harus ditaati. Ada tata kota. Ada masalah kepadatan penduduk. Ada urbanisasi yang sukar dibendung. (Sarumpaet, 1997:52-53) Penderitaan dan ketertindasan yang dialami kelas bawah itu disebutkan oleh seorang tokoh dalam pemakaman Kuneng. Dalam kutipan (42) tokoh tersebut menyebutkan mengenai tanah-tanah masyarakat kecil yang diambil untuk pembangunan negara.
(42)
LELAKI II: Hari ini kita menikmati buah dari kesabaran kita selama ini.Kita rasakan pahitnya tergusur oleh kesabaran sendiri. Kita rasakan getirnya tertindas oleh ketabahan dan keikhlasan yang kita berikan sendiri.Mereka todongkan senapan ke hidung kita, kita surut. Mereka gilas rumah-rumah kita dengan traktor, kita bungkam. Mereka menyulut api memusnahkan kampungkampung, kita terdiam. Hari ini, kita membacakan dosa-
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dosa kita, lalu merayakannya dengan air mata kita sebagai saksinya. Kita dosa membiarkan orang-orang mengira mereka bisa berbuat sesukanya. Kita dosa tidak mempertahankan hak kita atas tanah yang diberikan para leluhur kita pada kita. Kita dosa membiarkan tanah ini, yang diperoleh dari tangan Penjajah dengan keringat dan darah, dikangkangi Penjajah-penjajah baru… (Sarumpaet, 1997:50) Dalam kutipan tersebut, tercermin suatu kondisi bahwa uang dan tanah milik masyarakat kelas bawah tidak diakui oleh kelas atas. Penggusuran yang disebutkan oleh Lelaki II dilakukan atas nama pembangunan negara, seperti yang disebutkan oleh Tokoh. Hal tersebut menyiratkan klaim masyarakat kelas atas akan tanah dan uang masyarakat kelas bawah.
3.4 Analisis Sebab-Sebab Konflik Kelas: Perspektif Dahrendorf Dahrendorf memandang bahwa konflik kelas terjadi karena penggunaan kekuasaan oleh para penguasa (dalam masyarakat kekuasaan ini disebut sebagai wewenang). Pihak yang menguasai adalah kelas superordinat, dan pihak yang dikuasai adalah kelas subordinat. Dalam drama MNdBT, terdapat konflik-konflik yang disebabkan oleh karena adanya penggunaan wewenang atas kelas subordinat. Sebab-sebab konflik-konflik itu adalah 1) Penggunaan kekuasaan atas media massa, 2) Penyelewengan kekuasaan dalam pengadilan, 3) Pembungkaman perlawanan kelas bawah, dan 4) Kekerasan verbal dan nonverbal atas para buruh.
3.4.1 Penggunaan Kekuasaan Atas Media Massa Dalam MNdBT, terdapat penggunaan kekuasaan atas media massa.
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penggunaan kekuasaan tersebut terjadi dalam bentuk informasi yang ditutup-tutupi atau tidak disiarkan. Dalam drama MNdBT, Tokoh mempertanyakan mengenai kebenaran media dalam penyampaian kebenaran. Ia merasa bahwa apa yang disampaikan dalam media masih perlu diragukan, terutama karena ada kepentingan-kepentingan tertentu yang melatarbelakangi informasi yang disiarkan.
(43)
TOKOH: Kenapa Berita Acara diterima sebagai sesuatu yang mutlak, sementara sebuah hasil pemeriksaan bukan mustahil diselusupi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. HAKIM: Kepentingan-kepentingan apa? TOKOH: Penyalahgunaan wewenang misalnya. Atau penyuapan. Kenapa kamu pikir yang membahas dan mengatur-atur masalah buruh-buruh itu tadi orang-orang yang duduk di kursi empuk, yang tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya lapar? (Sarumpaet, 1997:40) Dalam kutipan (43), Tokoh membicarakan mengenai kasus-kasus yang tidak jelas penyelesaiannya, seperti kasus Marsinah. Ia menyebut bahwa ada kebenaran yang ditutup-tutupi yang disiarkan di media massa. Pemeriksaan atas kasus yang tidak menyeluruh dan ditutup-tutupi tersebut berimbas pada penyiarannya di media. Idealnya, media memiliki peran sebagai penyampai informasi dan pembentuk opini publik. Akan tetapi, media massa harus tunduk oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tersebut. Terkait dengan latar waktu dan peristiwa drama ini, yaitu pada masa Orde
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Baru, pembungkaman media memang benar-benar terjadi. Ketika media tersebut menyiarkan berita yang merugikan penguasa, maka mereka akan dianggap mengganggu stabilitas bangsa dan dipaksa untuk menggulung tikar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa media massa tidak hanya menjadi properti penguasa untuk menyuarakan kekuasaannya, tetapi juga sebagai kelas subordinat yang menerima tekanan dari penguasa.
3.4.2 Penyelewengan Kekuasaan dalam Pengadilan Dalam drama ini, salah satu pihak yang termasuk kelas atas adalah mereka yang duduk dan berkuasa di birokrasi, seperti Lelaki III. Mereka digambarkan sebagai sosok-sosok yang melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dengan kedudukan yang mereka miliki, mereka berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dalam MNdBT, pihak-pihak yang berkuasa itu menggunakan kekuasaannya dalam pengadilan untuk menang. Dalam drama MNdBT contoh utama kasus yang digunakan adalah kasus Marsinah, yang pengadilannya tidak pernah jelas penyelesaiannya, meski sudah ada para terdakwa dan bukti-bukti kekerasan atas diri Marsinah. Situasi pengadilan Marsinah tersebut kerap disinggung oleh Tokoh. Pada dasarnya, pengadilan adalah tempat keadilan ditegakkan. Hakim memiliki yurisdiksi untuk memberikan keputusan akhir atas pelaku kejahatan. Akan tetapi, seperti yang diungkapkan Hakim dalam kutipan (18), tugas tersebut tidak selalu dapat berjalan dengan lancar karena adanya tekanan dari para penguasa.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(18)
HAKIM: Baik. Kalau kamu ingin mencari hati nurani, Lembaga Peradilan bukan tempatnya. Karena di dalam kedudukan kami, di dalam keputusan dan pertimbanganpertimbangan yang kami buat, hati nurani tidak punya tempat. Itu keberadaan kami. Itu satu-satunya kebenaran yang kami mengerti. Jadi jangan pernah berpikir lembaga peradilan adalah segalanya. Tidak! Lembaga peradilan bukan segalanya (Menarik napas panjang, berat). Ada kekuatan lain di sana… (Sarumpaet, 1997:44) Dalam kutipan tersebut, Hakim, meski di satu sisi adalah tokoh yang berada di pihak Lelaki III, menyadari bahwa ada penyelewengan kekuasaan tersebut. Akan tetapi, sejak awal ia mengetahui bahwa meski terdapat banyak aksi dan suara yang diberikan untuk masyarakat kelas bawah yang tidak atau belum terbela, hal itu siasia ketika ada kekuasaan yang menekan. Hal tersebut diungkapkan dalam kutipan (44). (44)
HAKIM: Tapi apa dengan membangunkan setiap orang seperti ini, memaksa mereka mengorek kembali luka-luka lama mereka, perempuan ini lantas berhenti meratap? TOKOH: Mereka terjaga karena suara itu terdengar memang. Mereka jadi gelisah karenanya, tentu karena mereka masih punya kesadaran. HAKIM: Tapi menangis pun kita sekuat-kuatnya, meratap kita sepuas-puasnya, apa yang kita lakukan sekarang ini adalah pekerjaan sia-sia. (Sarumpaet, 1997:6)
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3.4.3 Pembungkaman Perlawanan Masyarakat Kelas Bawah Dalam Bab II, telah dijelaskan bahwa drama ini diangkat dengan mengambil latar waktu dan peristiwa pada akhir Orde Baru dengan rezim otoriternya. Pada masa itu, situasi politik dan ekonomi di Indonesia mengalami kekacauan. Pemerintahan otoriter pada masa itu membuat kata “demokrasi” di Indonesia hanya menjadi hiasan. Meski demikian, dalam drama MNdBT, ada beberapa pihak dari masyarakat kelas bawah yang melakukan perlawanan, seperti yang diungkapkan Ibu dalam kutipan (45).
(45)
IBU: Satu kali, dia berdiri di hadapanku, marah. Matanya berkilat-kilat seperti mengeluarkan percikan-percikan api. Bibirnya bergetar, berkata: “Anti demokrasi dimulai dari rumah-rumah.” Aku tertegun, terdiam lama, mencoba memahami ucapannya. Selanjutnya, aku jadi sangat ketakutan. Aku seperti melihat bahaya mengintainya. Aku seperti melihat kobaran api berkejaran menghampirinya… (Sarumpaet, 1997:12) Pada masa itu, siapa yang dianggap melawan negara akan dibungkam. Situasi tersebut terutama terjadi kelas bawah yang merupakan masyarakat subordinat. Ketika mereka ditekan, mereka tidak dapat melawan. Jika mereka dilawan, mereka akan dibungkam seperti yang diungkapkan oleh Tokoh dalam kutipan (26).
(26)
TOKOH: Satu saat, dia mengeluarkan sebuah surat keputusan, yang membuat orang-orang yang senasib denganku betulbetul merana. Jangankan protes. Mengeluh kami. Hanya mengeluh.
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebuah senapan sudah melotot di depan hidung kami. (Sarumpaet, 1997:64) Dalam kutipan tersebut, situasi yang tercermin adalah masyarakat kelas bawah yang mengungkapkan ketidakpuasan atas suatu surat keputusan yang disampaikan oleh Lelaki III (dia) kepada mereka. Akan tetapi, ungkapan tersebut dibalas dengan senapn yang melotot. Hal tersebut menyiratkan mengenai pembungkaman dalam bentuk pembunuhan atas pihak-pihak yang melawan. Penggunaan kekuasaan untuk membungkam masyarakat kelas bawah dirasakan oleh banyak pihak masyarakat kelas bawah, seperti yang dialami oleh Ibu dan para buruh. Tekanan tersebut diungkapkan oleh Ibu dalam kutipan (1).
(1)
IBU: Gadis-gadis kecilku, tumbuh sendiri-sendiri… Terempas dari pelukan, mereka tumbuh pesat, melesat di tengah zamannya.Di tengah putaran zaman, di mana keserakahan adalah raja, di mana keserakahan disembah dan dipersembahkan. Tidak pernah betul-betul memahami teduh atau keriaan.Tidak pernah betul-betul memahami kehangatan darah yang mengalir di tubuh Ibunya. Dunia merenggut anak-anak ini, jadi seperti ini… (Sarumpaet, 1997:8-9) Para buruh, ketika hendak melawan atasan yang semena-mena pun turut dibungkam. Hal ini terjadi ketika teman-teman Kuneng berusaha menolong Kuneng yang sedang dilecehkan, seperti pada kutipan (38).
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(38) Para buruh itu surut, mengelompok, menatap Kepala Petugas dedngan tatapan benci, dan tak seorang pun membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Kepala Petugas. Kepala Petugas menatap Itut yang berdiri di baris terdepan, lalu menunjukkan pertanyannya kepada Itut. (Sarumpaet, 1997:25) 3.4.4 Kekerasan Verbal dan Nonverbal Atas Para Buruh Dalam drama ini, masyarakat kelas bawah, secara khusus kaum buruh, mengalami kekerasan verbal dan nonverbal sebagai bentuk kekuasaan atau represi kelas atas (superordinat) terhadap kelas bawah (subordinat). Contoh yang paling nyata atas kekerasan nonverbal adalah yang dialami Kuneng ketika Corong menyiksanya dengan pentungan.
(46) Corong seperti mendapat gagasan, ia mengancam Kuneng dengan pentungan di tangannya. CORONG: Ayo! Berteriaklah! KUNENG: Jangan!! Jangan lakukan ini! CORONG: Diam kamu! Kamu memang pelajaran.Bagaimana kalau begini?
perlu
diberi
[…] Corong mengejar Kuneng mengitari gundukan tanah, sampai Kuneng akhirnya terjatuh. (Sarumpaet, 1997:23)
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kekerasan nonverbal ini juga terjadi ketika Corong melakukan pelecehan seksual atas Kuneng. Kuneng yang sebelumnya sudah tertekan, menjadi tambah ketakutan atas tindakan Corong. Tindakan tersebut terlihat kutipan (10).
(10) Corong makin bernafsu. Ia bicara sambil menggunakan tangannya, jahil. CORONG: Masa? Lalu bagaimana dengan muka pucatmu ini? Keringat dingin yang membasahi lehermu yang bagus ini… (Sarumpaet, 1997:20) Dalam kutipan (10), Kuneng, sebagai seorang buruh perempuan, menjadi pihak subordinat yang ditekan oleh atasannya (Corong). Ia menjadi objek pelecehan seksual. Dalam adegan tersebut, pelecehan seksual ini tidak hanya terjadi melalui perkataan, tetapi juga tindakan. Corong sendiri melakukannya karena merasa memiliki kekuasaan yang lebih daripada Kuneng, dan Kuneng tidak dapat banyak melawannya. Kekerasan verbal juga lahir sebagai bentuk konflik antara Kepala Petugas dengan para buruh. Hal ini terlihat dalam kutipan (47). (47)
KEPALA PETUGAS: Kamu memang kurang ajar. Dengar perempuan! Barangkali kamu kira kamu pintar ya? Atau pemberani? Baik. Tapi sekarang ini, kamu tidak punya pilihan selain menjawab pertanyaanku dengan baik dan sopan. Dan ingat. Ini yang terakhir saya bertanya. Siapa yang bertanggungjawab atas pengeroyokan tadi? Mengira ucapannya sudah cukup jitu dan akan menundukkan, Kepala Petugas menatap para buruh, pongah, dan dia jadi sangat terkejut/panik ketika Itut kembali menjawabnya dengan jawaban yang menjengkelkannya. (Sarumpaet, 1997:26-27)
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam kutipan (47), Kepala Petugas mengidentifikasikan buruh sebagai “perempuan”. Ia tidak memanggilnya dengan nama, tetapi dengan gender. Akan tetapi, panggilan tersebut dapat disebut sebagai kekerasan verbal karena ia mengungkapkannya dengan kemarahan dan penghinaan terhadap Itut. Dalam kutipan tersebut, ia terlihat sangat ingin menekan Itut dengan merendahkannya: menganggapnya tidak berpendidikan atau tidak dapat melawannya.
3.5 Rangkuman Berdasarkan analisis konflik dalam drama MNdBT, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, kelas atas dalam drama ini tidak hanya borjuis atau pemilik modal, tetapi juga mereka yang memiliki kekuasaan, yang dapat pula disebut sebagai kelas superordinat. Mereka adalah Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Salah satu ciri mereka sebagai pihak kelas atas adalah peran mereka yang merepresi kelas bawah dalam bentuk uang dan/atau kekuasaan. Kelas bawah dalam drama ini adalah Tokoh, Ibu, Kuneng, Itut, dan Nining. Sama seperti kelas atas, dalam drama ini MNdBT juga tidak hanya mereka yang menjadi buruh atau pekerja saja, tetapi juga mereka yang menjadi masyarakat subordinat, yang dikuasai oleh superordinat. Sebagai kelas bawah, mereka adalah pihak yang direpresi oleh kelas atas. Konflik dalam drama ini lahir dari pertentangan kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas melakukan represi atas kelas bawah. Tokoh mengangkat isu-isu represi tersebut, seperti hukum yang tidak ditegakkan, media yang dibungkam, tanah rakyat yang direbut, dan sebagainya. Keprihatinannya juga tertuju karena tidak ada
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tindakan lebih lanjut untuk menyelesaikannya. Kelas atas, sebagai pihak mayoritas dan yang memiliki uang dan kedudukan dalam masyarakat, adalah pihak yang akan selalu memenangkan konflik tersebut. Penyebab konflik kelas dalam drama ini terbagi menjadi dua berdasarkan hal yang melatarbelakanginya. Pertama, ada konflik kelas yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi, berdasarkan pemikiran Marx. Sebab-sebab konflik kelas dalam drama MNdBT berdasarkan perspektif Marx adalah 1) Penyuapan hakim dalam pengadilan, 2) Eksploitasi buruh industri, dan 3) Tanah dan kekayaan masyarakat kelas bawah yang direbut. Dalam konflik kelas tersebut, lembaga hukum, buruh, dan kepemilikan masyarakat kelas bawah adalah properti ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Kedua, berdasarkan perspektif Dahrendorf terdapat konflik kelas yang disebabkan karena adanya kepentingan kekuasaan. Hal ini berdasarkan pemikiran Ralf Dahrendorf mengenai konflik kelas. Sebab-sebab konflik kelas yang dilatarbelakangi oleh kepentingan kekeuasaan dalam drama MNdBT adalah 1) Pengguanaan kekuasaan atas media massa, 2) Penyelewengan kekuasaan dalam pengadilan, 3) Pembungkaman perlawanan masyarakat kelas bawah, dan
4)
Kekerasan verbal dan nonverbal atas para buruh. Dalam drama MNdBT terdapat penggunaan uang dan kekuasaan yang muncul bersama, seperti dalam meja pengadilan. Di meja pengadilan, seperti yang telah disampaikan oleh Hakim, ada uang dan kekuasaan yang bermain. Hukum menjadi sebuah komoditi ekonomi yang dapat dikendalikan dengan uang dan kekuasaan.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain meja pengadilan, hal tersebut terjadi pula dalam isu-isu yang dialami oleh para buruh. Di satu sisi, para buruh dikendalikan dengan upah yang diberikan oleh majikan. Dengan eksploitasi, sama seperti pengadilan, mereka menjadi komoditi ekonomi. Di sisi lain, para buruh juga ditekan dengan kekuasaan oleh para majikan. Hal tersebut terjadi seperti ketika Kepala Petugas menekan para buruh untuk menanyai mereka. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa perspektif Marx dan perspektif Dahrendorf mengenai konflik kelas dapat digunakan secara bersamasama untuk memahami drama MNdBT. Menurut Marx, konflik kelas disebabkan karena adanya faktor ekonomi. Sebaliknya, Dahrendorf berpendapat bahwa kepentingan kekuasaan menyebabkan konflik kelas terjadi. Akan tetapi, dalam drama ini kedua sebab konflik kelas terjadi tidak hanya karena kepentingan ekonomi saja, tetapi juga karena adanya kepentingan kekuasaan.
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Penelitian ini berjudul “Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Penelitian ini menggunakan teori Karl Marx dan Ralf Dahrendorf untuk menganalisis konflik kelas. Penelitian ini terdiri atas dua bagian, yaitu analisis unsur naskah drama dan analisis konflik kelas. Dalam analisis unsur naskah drama, aspek-aspek yang diteliti adalah alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Ketiga unsur tersebut dipilih karena terkait erat dengan analisis konflik kelas. Hasil analisis ketiga unsur tersebut digunakan sebagai pijakan untuk menganalisis konflik kelas dalam drama MNdBT. Melalui analisis unsur, dapat diketahui bahwa drama ini banyak menyinggung mengenai isu-isu yang dialami masyarakat marjinal, terutama para buruh. Mereka kerap mengalami pelanggaran hak, seperti kondisi ekonomi yang tidak stabil karena upah yang kecil dan/atau tidak menentu, jaminan kesehatan yang tidak pasti, pelecehan seksual yang terjadi atas buruh perempuan, dan penegakan hukum yang tidak seringkali tidak memihak pada mereka. Isu-isu atau situasi tersebut menyebabkan para buruh sering mengalami tekanan, bahkan memicu konflik antartokoh (Tokoh, Hakim, dan Lelaki III). Tokoh juga menyebutkan mengenai kematian seorang buruh perempuan yang mati setelah disiksa dan diperkosa tanpa pembelaan.
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tokoh-tokoh yang dianalisis dalam drama ini adalah Tokoh, Kuneng, Itut, Nining, Ibu, Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas. Kesepuluh tokoh ini dipilih karena mereka berkaitan erat dengan konflik kelas yang terjadi dalam drama MNdBT. Tokoh, yang merupakan salah satu protagonis dalam drama, adalah pihak yang selalu menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat marjinal. Kuneng, protagonis kedua dalam drama, digambarkan sebagai korban atas ketidakadilan tersebut. Itut dan Nining, yang merupakan tokoh deutragonis dalam drama, adalah teman-teman Kuneng sesama buruh yang menyadari ketertindasan mereka dan berusaha untuk lepas dari hal tersebut, meski sering menemui halangan. Tokoh foil dalam drama ini adalah ibu, yang mendamaikan hati Tokoh yang gundah. Ia kehilangan anak-anaknya yang menjadi korban ketidakadilan dan berusaha untuk menerima hal tersebut. Kemudian, tokoh anatagonis dalam drama ini adalah Corong, Kepala Petugas, Lelaki III, dan Hakim. Mereka digambarkan sebagai sosok yang merepresi orang-orang yang posisinya berada di bawah mereka. Analisis latar dalam drama ini terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar peristiwa. Latar tempat dalam drama terdiri atas Alam Kematian dan Alam Kehidupan. Alam Kehidupan menjadi tempat penggambaran situasi dan kondisi masyarakat kelas bawah dan masalah-masalah yang mereka alami. Di Alam Kematian, Tokoh mengungkapkan suara-suara masyarakat kelas bawah (yang tidak bisa mereka ungkapkan di Alam Kehidupan) kepada Hakim dan Lelaki III, yang merupakan representasi para penguasa. Latar waktu dalam drama ini adalah sekitar tahun 1993 atau setelahnya, yaitu ketika sidang Marsinah sudah digelar. Latar waktu ini diperkuat dengan kasus
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Marsinah yang disinggung oleh Tokoh sebagai salah satu bukti ketidakadilan yang terjadi atas masyarakat marjinal. Latar peristiwa dalam drama ini adalah pada masa akhir Orde Baru. Pada masa ini, rezim otoriter Soeharto masih sangat kuat. Mereka yang melawan akan dibungkam. Selain itu, dalam masa akhir Orde Baru, banyak pula terjadi masalah dalam bidang ekonomi dan politik. Pembangunan besarbesaran terjadi di Indonesia, akan tetapi hal tersebut tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat kecil. Selain itu, banyak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemerintahan. Latar waktu dan peristiwa dalam drama yang dipenuhi dengan pemerintah otoriter dan praktik KKN itulah yang menyebabkan kemarahan Tokoh. Karena halhal tersebut, masyarakat marjinal menjadi korban. Mereka menjadi pihak yang tidak diperhitungkan dalam pembangunan, bahkan ada sosok Marsinah yang menjadi korban atas ketidakadilan penegakan hukum dan situasi ekonomi yang tidak menentu. Ia mengungkapkan hal tersebut di Alam Kematian, ketika Kuneng dan para tokoh marjinal lainnya tidak dapat bersuara di Alam Kehidupan. Berdasarkan analisis unsur, peneliti melakukan analisis konflik dalam drama MNdBT. Analisis konflik ini dibagi menjadi tiga subbab. Pertama adalah identifikasi tokoh kelas atas dan kelas bawah dalam drama. Kedua adalah analisis sebab-sebab konflik dalam drama MNdBT berdasarkan perspektif Marx. Ketiga adalah analisis sebab-sebab konflik dalam drama MNdBT berdasarkan perspektif Dahrendorf. Hakim, Lelaki III, Corong, dan Kepala Petugas adalah tokoh-tokoh kelas atas. Meski disebut sebagai kelas atas, namun mereka tidak memiliki status sebagai
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
majikan dalam konsep pemikiran Marx. Meski demikian, mereka semua memiliki kedudukan dan kekuasaan yang lebih besar dibandingkan tokoh-tokoh kelas bawah. Tokoh seperti Lelaki III bahkan memiliki uang yang lebih banyak dibandingkan tokoh-tokoh lainnya. Hal tersebut memperkuat kedudukan Lelaki III sebagai penguasa. Setiap tokoh kelas atas dalam drama ini berperan sebagai sosok yang menekan tokoh kelas bawah. Kemudian, Tokoh, Kuneng, Nining, Itut, dan Ibu adalah tokoh-tokoh kelas bawah. Beberapa dari mereka adalah buruh (Kuneng, Nining, dan Itut). Tetapi, tokoh lain seperti Tokoh dan Ibu tidak dapat digolongkan sebagai buruh atau kelas pekerja lainnya. Meski demikian, sebagai masyarakat kelas bawah, mereka memiliki kesamaan, yaitu dalam hal posisi dan situasi. Dalam drama ini suara mereka tidak diperhitungkan dan mereka direpresi oleh masyarakat kelas atas. Menurut perspektif Marx, penyebab terjadinya konflik kelas adalah karena adanya kepentingan ekonomi. Dalam drama MNdBT, konflik-konflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi tersebut adalah, 1) Penyuapan hakim dalam pengadilan, 2) Eksploitasi buruh industri, dan 3) Tanah dan kekayaan masyarakat kelas bawah yang direbut. Berdasarkan perspektif Marx, pengadilan, buruh, serta kepemilikan masyarakat adalah komoditi ekonomi bagi masyarakat kelas atas yang dapat diperjualbelikan atau dikendalikan dengan uang. Kemudian, menurut perspektif Dahrendorf, penyebab terjadinya konflik kelas adalah karena adanya kepentingan kekuasaan. Dalam drama MNdBT, konflikkonflik yang dilatarbelakangi oleh kepentingan kekuasaan adalah 1) Penggunaan media massa, 2) Penyelewengan kekuasaan dalam pengadilan, 3) Pembungkaman
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perlawanan masyarakat kelas bawah, dan 4) Kekerasan verbal dan nonverbal atas para buruh. Berdasarkan perspektif Dahrendorf, media massa (termasuk orangorang yang terlibat di dalamnya), para buruh, dan masyarakat kelas bawah lainnya adalah masyarakat subordinat yang ditekan oleh para penguasa dan harus tunduk kepada perintah mereka. Dalam MNdBT, dapat dilihat bahwa permainan uang dan kekuasaan berjalan bersama menjadi faktor konflik kelas, seperti tercermin dalam apa yang dialami dalam pengadilan dan oleh para buruh. Dalam pengadilan, hukum menjadi produk ekonomi yang dapat ditransaksikan, akan tetapi di sisi lain penegakannya juga dikendalikan oleh ancaman penguasa. Para buruh, selain menjadi komoditi ekonomi yang dikendalikan dengan upah kerja, juga dikendalikan oleh kekuasaan atasan mereka. Berdasarkan analisis konflik tersebut, disimpulkan bahwa faktorfaktor yang memicu konflik kelas tidak hanya karena adanya kepentingan ekonomi seperti pemikiran Marx, tetapi juga karena adanya kepentingan kekuasaan, seperti yang dicetuskan oleh Dahrendorf. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan terhadap naskah drama ini, dapat dilihat pula bahwa hal yang sama juga terjadi dalam kasus Marsinah pada 1993. Marsinah bersama teman-temannya meminta kenaikan upah buruh (yang memang pada masa Orde Baru jumlahnya di bawah kelayakan), akan tetapi hal tersebut tidak dikabulkan. Dalam kasus tersebut, Marsinah dan teman-temannya adalah buruh yang tenaganya juga dieksploitasi oleh para kapitalis (para pemilik pabrik) dan tidak mendapat upah yang layak, sama seperti yang dialami oleh Kuneng dan kawan-kawannya.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam Gatra, 26 Februari 2000, disebutkan bahwa ada sembilan tersangka pembunuh Marsinah. Mereka adalah para pemimpin perusahaan tempat Marsinah bekerja. Mereka sempat dipenjarakan sementara, meski dalam pengadilan selanjutnya mereka dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Mengingat bahwa sebelum kejadian tersebut Marsinah dan teman-temannya meminta kenaikan upah, ini adalah suatu kebetulan yang patut diperhitungkan. Memang tidak dapat diketahui sampai sekarang apakah sembilan orang tersebut bertanggungjawab terhadap kematian Marsinah atau tidak, akan tetapi, hal yang pasti diketahui adalah bahwa keadilan untuk Marsinah dan apa yang Marsinah perjuangkan belum selesai sampai saat ini. Marsinah memang memperjuangkan para buruh, akan tetapi hal yang kemudian diangkat oleh Ratna Sarumpaet dalam drama ini adalah bahwa yang menjadi objek permainan uang dan kekuasaan bukan hanya para buruh, tetapi juga masyarakat marjinal lainnya. Konflik-konflik yang terjadi dalam sejarah bangsa ini juga disebabkan juga karena adanya perebutan alat ekonomi dan kekuasaan.
4.2 Saran Dalam penelitian ini, analisis drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah difokuskan pada konflik kelas dengan perspektif Marx dan Dahrendorf. Perbedaan antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah dalam drama ini sangat kontras, dan terlihat bahwa ada permainan uang dan kekuasaan di dalamnya. Akan tetapi, masih cukup banyak aspek yang dapat diteliti dalam drama ini, seperti sosok perempuan yang dalam MNdBT selalu menjadi pihak marjinal, atau proses perjuangan kelas
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
para masyarakat kelas bawah untuk dapat mencapai kesejahteraan. Selain itu, menarik pula untuk menyinggung naskah ini berdasarkan sisi historis yang melatarbelakangi penulisan drama, yaitu terkait dengan Marsinah dan isu buruh di Indonesia pada masa Orde Baru.
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Adji, S.E. Peni. 2005. “Gender Dalam Drama Indonesia”. Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis. Vol. 3, No. 4, April 2005: Hlm. 95-103. Adji, S.E. Peni. tanpa tahun. Modul Mata Kuliah Kajian Drama Indonesia. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Altenbernd, Lynn dan Lesli L. Lewis. 1989. A Handbook for The Study of Drama. New York: University Press of America. Atika, Clara. 2013. “Drama Marsinah, Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Analisis Struktur dan Tekstur”. Skripsi. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Bajeber, Zain H., Abdul Rachman Saleh, Tuty Hutagalung. 1982. Tanya-Jawab Masalah Perburuhan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, Anggota IKAPI, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Stanford University Press. Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud. Dewojati, Cahyaning. 2010. Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Diharja, Prapta J. 2011. “Dari Marxis ke Komunis Sampai Lekra: Pemikiran Kritis” dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Hlm. 152-170 Effendi, S. 1967. “Belajar Memahami Drama” dalam Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai Tjermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung. Hlm. 173-187 Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamzah, A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda. Harymawan, RMA. 1986. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda. Hook. 1980. Marxisme dalam Percakapan dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat. Jakarta: Djambatan. Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan William G. Weststeijn. 1989. Pengantar Ilmu 74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia. Mohammad, Hery, Taufik Abriyansah. 2000. “Kasus Marsinah: Babak Baru yang Pesimistis”. Gatra. 26 Februari 2000: Hlm. 84-85 Mustopa. 2002. “Mencari Kembali Pembunuh Marsinah”. Forum Keadilan. No. 2, 28 April 2002: Hlm. 29. Noor, Rusdian. 2004. “Kelas Sosial, Kepentingan Kelas, dan Konflik Kelas dalam Novel Saman: Sebuah Tinjauan Sosiologis”. Wacana Akademika. Vol. II, No. 5, Janunari 2004: Hlm. 61-72. Novri, Susan. 2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana. Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Okulu, Elmadağ Polis Meslek Yüksek. 2014. “Karl Marx and Ralf Dahrendorf: A Comparative Perspective on Class Formation and Conflict”. Eskişehir Osmangazi Üniversitesi İİBF Dergisi. Agustus 2014, Vol. 9 No. 2: Hlm. 151167. Rahardjo, M. Dawan. 1982. “Kritik Terhadap Marxisme dan Marxisme Sebagai Kritik Terhadap Pembangunan Kapitalis”. Prisma. 1 Januari 1982: Hlm. 7591 Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rumbiak, Novalin Donna Ekawati. 2010. “Nilai Marxisme dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer”. Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas Sanata Dharma. Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Press Sarumpaet, Ratna. 1997. Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Yogyakarta: Bentang. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali. Sujarwadi, Andreas Teguh. 2007. “Perjuangan Kelas Penambang Pasir dalam Novel Kabut dan Mimpi karya Budi Sardjono”. Skripsi. Yogyakarta: Sastra 75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Wibawanto, Agung, Imam Baskara, Jirnadara. 1998. Seri Perburuhan: Siasat Buruh di Bawah Represi. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Yasanti. 1995. Lika-Liku Kehidupan Buruh Perempuan: Hasil Penelitian Kehidupan Buruh Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 1
SINOPSIS DRAMA MARSINAH: NYANYIAN DARI BAWAH TANAH KARYA RATNA SARUMPAET Drama ini menceritakan mengenai Tokoh, seorang roh yang berada di Alam Kematian. Ia tidak dapat beristirahat dengan tenang karena selalu mendengar suarasuara menyayat yang seperti jeritan dan tangisan. Tidak satupun roh di Alam Kematian yang tahu siapa pemilik suara itu. Yang jelas, pemilik suara itu adalah seorang perempuan. Ibu, salah seorang roh lain yang mendiami Alam Kematian, muncul mengisahkan kesedihannya karena anak-anaknya yang dicuri oleh kekuasaan dan ketamakan. Karena anak-anaknya melawan para manusia penguasa, mereka hilang. Sementara itu, di Alam Kehidupan, di sebuah pabrik, ada para buruh yang baru saja selesai bekerja. Di tengah-tengah kerumunan para pekerja itu, terdapat Corong, seorang kepala ruang para buruh yang meneriaki mereka untuk bergerak pulang. Akan tetapi, Kuneng, salah seorang buruh, tampak sakit dan berjalan lesu dan lambat. Teman-temannya, Nining dan Itut, berusaha membantu dan menyemangatinya, tetapi diusir oleh Corong, meninggalkan Kuneng dan Corong berdua saja. Akhirnya, diketahui bahwa Corong ternyata melakukan pelecehan seksual kepada Kuneng. Ia mengancam Kuneng dengan kekerasan bila Kuneng tidak mau melayaninya. Pada akhirnya, ditolong oleh teman-temannya, Kuneng bisa kabur dari situasi tersebut, meski pertolongan itu sempat tercekal oleh seorang Kepala Petugas yang lebih membela Corong. Menyaksikan kejadian tersebut dari Alam Kematian, Tokoh merasa marah dan sedih karena tidak ada satu pun para penguasa yang membela mereka (para buruh). Mereka selalu menjadi pihak yang dipersalahkan, bahkan termasuk juga masyarakat kecil lainnya. Ia sendiri marah kepada Hakim, salah seorang roh lain di Alam Kematian, yang hanya bisa menyayangkan kejadian itu dan tidak berbuat apa-
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
apa. Ia merasa bahwa Hakim seseorang yang tidak memiliki hati nurani. Sebaliknya, Hakim tidak ingin dipersalahkan, terutama karena ia merasa bahwa kesalahan tidak bisa ditimpikan hanya padanya. Ia menganggap bahwa bentuk penegakan keadilan apapun yang ada di pengadilan, akan tetap ada kekuatan lain yang mengendalikannya. Kemudian, di Alam Manusia, diketahui bahwa ternyata Kuneng meninggal bunuh diri. Latar belakangnya adalah tekanan hidup yang dialaminya. Rumahnya akan digusur, upah kerjanya kecil, padahal ia harus menghidupi keluarganya dan sekolah anak-anaknya, dan suaminya sendiri seorang pengangguran. Melihat hal tersebut, Tokoh bertambah marah dan sedih, karena Kuneng menjadi bukti bahwa masyarakat kecil sebagai korban para penguasa yang korup. Akan tetapi, Hakim merasa bahwa Tokoh seharusnya tidak terus-menerus menyalahkan penguasa, karena mereka telah menentukan kebijakan-kebijakan untuk membangun bangsa dan negara. Tokoh menepis pernyataan itu karena kebijakan-kebijakan itu tidak pernah memihak masyarakat kecil. Karena kebenciannya terhadap para penguasa, kebijakan-kebijakan yang mereka buat, dan kesewenang-wenangan kekuasaan mereka itulah Tokoh tidak ingin menemui Lelaki III, salah seorang roh lain di Alam Kematian yang pada saat hidup adalah seorang penguasa. Lelaki III terutama adalah seorang penguasa yang korup dan memerintah dengan otoriter. Hakim sendiri merasa bahwa Lelaki III bukanlah tokoh yang perlu ditentang. Hal tersebutlah yang membuat kemarahan Tokoh semakin menjadi-jadi. Dengan kemarahan Tokoh itu, satu per satu roh lain di Alam Kematian pergi dan meninggalkannya sendirian. Ibu, roh yang masih ada di Alam Kematian itu berusaha menenangkan kemarahan Tokoh, membujuknya untuk melepaskan penyesalannya agar dapat beristirahat dengan tenang. Akan tetapi Tokoh menolaknya. Kemudian, datanglah Suara Dari Langit yang akhirnya membuat Tokoh berpasrah dengan kematiannya dan beristirahat dengan tenang.
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN 2
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PROFIL PENULIS
Gabriela Melati Putri lahir di Jakarta pada 23 Agustus 1994. Pada tahun 20002006, ia menempuh pendidikan SD di SD Notre Dame. Pada tahun 2006-2009, ia menempuh pendidikan SMP di SMP Notre Dame. Pada tahun 2009-2012, ia menempuh pendidikan SMA di SMA Notre Dame. Kemudian, ada tahun 2012 ia memulai studi S1-nya di Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia menjadi anggota aktif Teater Seriboe Djendela dari tahun 2012-2015 dan menjadi pengurus Rumah Tangga dan Kepustakaan Teater Seriboe Djendela periode 2013-2015. Selama masa aktifnya, ia telah terlibat dalam beberapa pementasan teater, baik sebagai aktor, tim penulis naskah, tim artistik, maupun tim produksi. Selain itu, ia juga terlibat dalam kegiatan workshop artisitik yang diadakan oleh Bengkel Sastra sebagai tim publikasi. Pada tahun 2016, ia mengakhiri masa studinya dengan penelitian untuk tugas akhirnya yang berjudul “Konflik Kelas dalam Drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah Karya Ratna Sarumpaet: Tinjauan Sosiologi Sastra”.
81