Kondisi Pembelajaran Siswa Gifted Tingkat SMA di Provinsi Jambi Tahun 2010 Agung Sutanto Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak: Kondisi pembelajaran yang dimaksud dalam tulisan ini meliputi kondisi guru, siswa, metode pembelajaran dan bahan ajar. Kondisi guru yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kondisi berkenaan dengan pengalaman pengembangan bahan ajar. Berdasarkan data diperoleh informasi bahwa terdapat guru yang sudah mendapatkan pelatihan pengembangan bahan ajar dan juga ada yang belum pernah mendapatkan pelatihan. Namun, semua guru cerdas istimewa di Provinsi Jambi ternyata belum pernah melakukan pengembangan bahan ajar. Dengan demikian diperoleh kesimpulan kondisi guru berkenaan dengan pengembangan bahan ajar untuk siswa cerdas istimewa belum pernah melakukan pengembangan dikarenakan adanya kesulitan waktu, skil, dan dana. Berdasarkan pengamatan dan angket yang peneliti sebarkan diperoleh informasi kondisi pembelajaran siswa cerdas istimewa. Angket disebarkan kepada guru dan siswa cerdas istimewa. Sedangkan pengamatan dilakukan oleh peneliti selama proses pembelajaran berlangsung. Setelah data kondisi pembelajaran terkumpul penulis mengelompokkan menjadi dua kelompok kondisi: kondisi positif dan kondisi negative dari pembelajaran yang dilangsungkan. Penulis menemukan bahan ajar yang digunakan oleh guru fisika di sekolah penyelenggara layanan pendidikan siswa cerdas istimewa tingkat SMA di Provinsi Jambi adalah buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit. Selain buku teks juga terdapat Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
452 AGUNG SUTANTO kegiatan praktikum di labor. Penulis juga mendapatkan modul belajar yang disusun oleh guru bidang studi. Modul tersebut berisi ringkasan materi dan soal-soal permasalahan fisika. Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang digunakan untuk melayani siswa gifted tersebut belum berbeda atau belum terdifferensiasi dari bahan ajar untuk siswa reguler. Kata Kunci: Kondisi pembelajaran, siswa gifted/cerdas istimewa
A. Pendahuluan UUD 1945 pasal 31 menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Ayat ini mengandung amanat kepada penyelenggara negara untuk menyelenggarakan pendidikan untuk rakyatnya dan sebaliknya memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara. Makna yang tersirat dari ayat ini adalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Hakikat dari pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan adalah mengusahakan suatu lingkungan di mana semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi anak secara optimal. Ini berarti pendidikan harus disesuaikan dengan bakat dan kemampuan anak didik. Implikasi dari UUD 1945 ayat 31 tersebut adalah negara harus memberi pelayanan pendidikan secara khusus untuk warga negara yang memiliki kekhususan, baik dalam kecerdasan bakat dan kondisi fisik/mental. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 4 tertulis “warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Secara eksplisit peruntukan pendidikan khusus juga ditulis dalam pasal 32 ayat 1 undang-undang tersebut. “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Undang-undang ini telah mengamanatkan untuk melakukan identifikasi anak yang memiliki potensi gifted dan menyelenggarakan pendidikan yang berbeda dengan pendidikan Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 453
umumnya sesuai dengan potensi kecerdasan yang istimewa tersebut. Istilah potensi sebagaimana tertulis dalam UU Nomor 20/2003 tersebut bermakna sesuatu yang laten, belum aktual, sehingga perlu langkah identifikasi kecerdasan istimewa. Anak gifted adalah kelompok peserta didik yang memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan kelompok siswa umumnya. Istilah gifted merupakan adopsi dari istilah gifted.1 Metode identifikasi kemampuan anak gifted mengalami perkembangan hingga akhirnya terdapat banyak metode identifikasi gifted. Pada mulanya gifted diidentifikasi dengan skor IQ >130. Metode identifikasi gifted berdasarkan skor IQ banyak ditentang para ahli. Metode yang terkenal dan dipakai secara luas adalah identifikasi karakteristik anak gifted yang diperkenalkan oleh Renzulli dengan nama The Three Ring Interaction.2 Renzulli menuliskan karakteristik anak gifted mencakup tiga hal yakni: skor IQ di atas rata-rata atau >125, kreativitas tinggi, dan komitmen terhadap tugas tinggi. Selain model Renzulli juga ada model identifikasi anak gifted yang lain, misalnya model Gagne. Model ini kurang diterima secara luas karena terdapat pembauran antara karakter gifted dengan Berbakat Istimewa. Amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas, serta konsepsi layanan pendidikan khusus untuk anak yang memiliki potensi gifted sebagaimana tinjauan psikologi, pada tataran operasional belum optimal diberikan. Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini masih bersifat masal, yaitu memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua peserta didik. Secara kelembagaan memang sudah ada layanan pendidikan untuk anak gifted berupa kelas akselerasi atau percepatan waktu tempuh pembelajaran, namun apabila ditilik lebih jauh pelaksanaan pembelajaran di dalamnya tidak berbeda dengan kelas reguler. Perbedaan yang nyata hanyalah waktu tempuh pembelajaran yang lebih pendek. Pelayanan pendidikan semestinya tidak terbatas sampai pada pelembagaan saja. Pelayanan pembelajaran semestinya juga hingga penerapan teknologi pembelajaran/pendidikan yang khusus Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
454 AGUNG SUTANTO
sesuai dengan karakteristik gifted. Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa anak gifted perlu mendapat layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristiknya. Martinson sebagaimana dikutip Widiastomo menuliskan anak gifted yang memiliki kekhususan di antaranya: skeptis, lekas bosan, memaksakan keinginan, mudah tersinggung akan kritik, kurang sabar, membutuhkan dukungan, kurang mampu menyesuaikan diri, suka tantangan dan malas dengan perulangan.3 Senada dengan Martinson, penelitian Widiastomo juga menemukan dampak negatif anak gifted yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai karakternya. Anak ini menjadi suka mengganggu temannya, karena sudah lebih cepat menangkap materi pembelajaran sehingga waktu yang tersisa untuk aktivitas yang tidak berguna. Dampak paling ekstrim anak gifted ini akan menjadi anak yang berprestasi di bawah potensi yang dimilikinya/underachiever. Depdiknas sebagai lembaga pemerintah penyelenggara pendidikan bagi warga negara termasuk bagi anak gifted telah mengakui masih buruknya layanan pendidikan untuk anak gifted. Hasil penelitian Depdiknas menemukan dua hal pembelajaran yang kurang memenuhi karakteristik gifted, yakni: 1) belum terciptanya lingkungan belajar yang menantang, dan 2) model dan metode pembelajaran yang belum kondusif dengan karakteristik gifted.4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 menyatakan bahwa kurikulum dalam setiap pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan: 1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, 2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, 3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan dan perubahan global. Pendidikan diharapkan dapat mengembangkan sikap dan perilaku anak yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepribadian (religius, demokratis, jujur), nilai-nilai keilmuan, dan nilai-nilai kemasyarakatan. Pelaksanaan pendididikan di sekolah selama ini dianggap masih jauh dari idealisme di atas. Buchori dalam Sutiah menilai pendidikan Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 455
masih gagal. Kegagalan ini disebabkan praktik pendidikan masih menekankan aspek kognitif daripada perkembangan psikomotor dan perkembangan sikap. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan karya produktif, inovatif, dan mentalitas anak bangsa.5 Pendidikan sains khususnya Fisika masih belum berhasil bila dilihat dari parameter pengembangan anak yang produktif, inovatif, dan kreatif. Praktik pendidikan fisika masih menekankan kemampuan kognitif, yaitu: pengetahuan, dan hafalan konsep dan teori fisika. Kegiatan pembelajaran praktik fenomena fisika dan konstruksi pengetahuan fisika secara mandiri kurang ditekankan. Apalagi pembelajaran fisika yang menumbuhkan budaya penelitian dan menghasilkan karya inovatif belum diterapkan. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pembelajaran fisika, karena fisika adalah ilmu tentang fenomena alam dalam ranah fisik. Pembelajaran fisika harus bermula dari eksplorasi fenomena, memahami fenomena alam, dan dengan pemehaman tersebut mampu merekayasa fenomena alam menjadi kemanfaatan bagi umat manusia. Selain kondisi pembelajaran fisika secara umum kurang tepat secara metodologis filosofis sebagaimana di uraikan di atas, guru semestinya memperhatikan perkembangan lingkungan pendidikan. Penerapan ilmu fisika telah melahirkan perkembangan teknologi yang luar biasa pesat. Produk dan konsep keilmuan baru lahir secara eskalatif. Sementara pendidikan fisika di sekolah masih menghafal teks, belum mengeksplorasi perkembangan teknologi dan ikut berpartisipasi mengembangngkan teknologi. Baru pada tahun 2009 pemerintah merangsang budaya riset produktif inovatif berbasis pembelajaran sains dalam bentuk olimpiade penelitian. Sebuah upaya pendidikan yang responsif sekaligus kontributif terhadap perkembangan teknologi. Sesuai dengan tantangan dan tuntutan pendidikan seperti telah diungkapkan di atas, seharusnya pembelajaran fisika lebih ditekankan pada pemberian kesempatan kepada anak untuk membangun Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
456 AGUNG SUTANTO
pengetahuan dan kebiasaan berfikir tingkat tinggi. Khusus untuk siswa gifted, pembelajaran yang membangun pengetahuan dan berfikir tingkat tinggi adalah mutlak diselenggarakan karena siswa tersebut memiliki potensi kecerdasan yang lebih dari siswa reguler. Kelebihan ini lah yang menjadi dasar perlunya pemberian layanan yang lebih untuk mengembangkan kelebihan potensinya. Tinjauan filsafat keilmuan fisika adalah memahami fenomena fisik dari alam semesta, maka pembelajaran fisika haruslah bermula dari observasi fenomena, deskripsi fenomena, relasi berbagai fenomena, dan rekayasa fenomena. Dengan demikian pembelajaran fisika berada pada konteksnya, bukan pada konsep atau teori. Konsep atau teori diperoleh dari pemahaman akan fenomena. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran fisika dengan demikian tepat untuk diterapkan. Pendekatan kontekstual berfokus pada upaya menciptakan kondisi pembelajaran yang membuat siswa menemukan makna dalam belajar, dengan diberikan materi yang dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Komponen utama pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning)/CTL meliputi konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian otentik. Metode pembelajaran dalam terminologi teknologi pendidikan meliputi materi, matode, media.6 Metode sangat berperan dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Penerapan metode mestilah disesuaikan dengan kondisi pembelajaran.7 Kondisi pembelajaran meliputi kondisi siswa, kondisi lingkungan pendukung, dan kondisi materi pembelajaran. Dengan demikian penyediaan metode pembelajaran pertama harus disesuaikan dengan karakteristik siswa yang dibelajarkan.
B. Kondisi Pembelajaran Fisika Siswa gifted Rasionalitas dibutuhkannya pelayanan pendidikan khusus bagi anak cerdas istimewa dimulai dengan keadaan psikologis intelektual yang Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 457
berbeda dengan siswa regular. Karakteristik khusus anak cerdas istimewa member implikasi pada pelayanan pembelajaran yang mesti diberikan. Salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa adalah ketersediaan bahan ajar yang sesuai dengan keberadaannya. Data empiris yang diperoleh dari pengamatan, wawancara kepada guru dan siswa cerdas istimewa di Provinsi Jambi, yakni SMAN 1 Kota Jambi, SMAN 3 Kota Jambi, dan SMA Titian Teras Kab. Muaro Jambi akan dipaparkan di bawah. Kondisi Guru Kondisi guru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi berkenaan dengan pengalaman pengembangan bahan ajar. Kondisi guru siswa cerdas istimewa diketiga sekolah penyelenggara pelayananan pendidikan cerdas istimewa Provinsi Jambi sebagai berikut: PENGALAMAN PENGEMBANGAN
SMAN 1
SMAN 3 SMA TT
Pelatihan Pembuatan Modul
Sudah
Belum
Belum
Melakukan Pengembangan
Belum
Belum
Belum
Produk Pengembangan
—
—
—
Mengalami Kesulitan Pengembangan
Ya
Ya
Ya
Kesulitan Melakukan Pengembangan
Waktu
SDM
SDM
Berdasarkan data di atas diperoleh informasi bahwa terdapat guru yang sudah mendapatkan pelatihan pengembangan bahan ajar dan juga ada yang belum pernah mendapatkan pelatihan. Namun, semua guru cerdas istimewa di Provinsi Jambi ternyata belum pernah melakukan pengembangan bahan ajar. Meraka menyatakan pentingnya pengembangan bahan ajar disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan lingkungan pembelajaran. Alasan mereka belum melakukan pengembangan diantaranya adalah kesulitan menyediakan waktu untuk focus pada
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
458 AGUNG SUTANTO
pengembangan. Sedangkan alasan lain adalah sumber daya yang belum mendukung. Ketika ditanya lebih lanjut apa yang dimaksud sumber daya, Burhani mengatakan: Untuk mengembangkan butuh skill, metode, dan pembimbing yang berpengalaman agar diperoleh produk yang baik dan benar. Semua hal tersebut tidak guru peroleh selama menjalankan tugas di sekolah.
Sedangkan Encu Rusmana mengatakan: Pengembangan bahan ajar mempunyai kaidah tertentu dan dibutuhkan dana yang cukup. Kalaupun guru mau melakukan pengembangan bahan ajar, namun sekolah belum tentu mau membantu pendanaannya.
Dengan demikian diperoleh kesimpulan kondisi guru berkenaan dengan pengembangan bahan ajar untuk siswa cerdas istimewa belum pernah melakukan pengembangan dikarenakan adanya kesulitan waktu, skil, dan dana. Kondisi Siswa Berdasarkan wawancara dengan kepala sekolah, diperoleh informasi bahwa untuk mengidentifikasi keberadaan siswa cerdas istimewa telah dilakukan tes psikologi. Tes psikologi ini akan memberikan informasi skor IQ, skor CQ, dan skor TCQ. Setelah diperoleh skor tes tersebut bapak dan ibu guru memutuskan siswa yang akan mengikuti layanan pembelajaran siswa cerdas istimewa. Selain menggunakan tiga indicator cerdas istimewa tersebut juga ditambahkan rekomendasi dari guru (Edy Purwanta, Kepsek SMA Titian Teras). Pengakuan yang sama juga diberikan oleh Kepsek SMAN 1 Kota Jambi dan SMAN 3 Kota Jambi. Peneliti tidak meminta keterangan lebih lanjut mengenai validitas tes indicator cerdas istimewa dan hal ihwal pengambilan keputusan keberadaan siswa yang ikut layanan cerdas istimewa. Kondisi Pembelajaran Berdasarkan pengamatan dan angket yang peneliti sebarkan diperoleh informasi kondisi pembelajaran siswa cerdas istimewa. Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 459
Angket disebarkan kepada guru dan siswa cerdas istimewa. Sedangkan pengamatan dilakukan oleh peneliti selama proses pembelajaran berlangsung. Setelah data kondisi pembelajaran terkumpul penulis mengelompokkan menjadi dua kelompok kondisi: kondisi positif dan kondisi negative dari pembelajaran yang dilangsungkan. KONDISI POSITIF
KONDISI NEGATIF
Suasana pembelajaran disenangi
Interaksi pembelajaran berupa
Strategi pembelajaran efektif
belajar kelompok dan tanya-
Partisipasi siswa dalam
jawab rendah
pembelajaran tinggi
Buku ajar yang sesuai dengan
Guru memberi ruang kepada siswa untuk merekonstruksi pemahamannya secara individual
karakteristik cerdas istimewa sulit/tidak diperoleh Pembelajaran fisika (materi/ metode) belum melibatkan kognisi tingkat tinggi (SMAN 1, SMA TT) Pembelajaran fisika belum merangsang kreativitas Pembelajaran fisika belum memberikan tugas yang menantang dan produktif Masih mengalami kesulitan mengukur hasil belajar pada aspek afektif, kognitif, dan psikomotor Alokasi waktu untuk pembelajaran fisika masih kurang relatif terhadap beban kompetensi
Kondisi Bahan Ajar Penelitian mengenai ketersediaan bahan ajar dan kondisi Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
460 AGUNG SUTANTO
pembelajaran fisika untuk siswa cerdas istimewa dilakukan di tiga SMA di Provinsi Jambi, yakni SMAN 1 Kota Jambi, SMAN 3 Kota Jambi, dan SMA Titian Teras Kabupaten Muaro Jambi. Setelah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan observasi ke sekolah, wawancara dengan guru dan siswa, serta menyebarkan angket kebutuhan pembelajaran untuk siswa cerdas istimewa, diperoleh gambaran kondisi pembelajaran terutama keadaan bahan ajar yang digunakan. Penulis menemukan bahan ajar yang digunakan oleh guru fisika di sekolah penyelenggara layanan pendidikan siswa cerdas istimewa tingkat SMA di Provinsi Jambi adalah buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit. Selain buku teks juga terdapat Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk kegiatan praktikum di labor. Penulis juga mendapatkan modul belajar yang disusun oleh guru bidang studi. Modul tersebut berisi ringkasan materi dan soal-soal permasalahan fisika. Berikut ini tabel buku ajar yang digunakan di ketiga sekolah di atas: SEKOLAH
JUDUL
PENERBIT
PENULIS
SMA TT
Fisika
ESIS
Mikrajudin
Fisika Mudah
BSD MIPA
Yohanes Surya
Fisika
Erlangga
Bob Foster
Fisika
Erlangga
Marthen Kanginan
Physics
Yudhistira
Purwoko
Fisika
Erlangga
Giancoli
Fisika Mudah
BSD MIPA
Yohanes Surya
Fisika
Erlangga
Marthen Kanginan
Fisika
Grafindo
Kamajaya
SMAN 1
SMAN 3
Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang digunakan untuk melayani siswa gifted tersebut belum berbeda atau belum terdifferensiasi dari bahan ajar untuk siswa reguler.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 461
C. Pemecahan Masalah Kondisi Pembelajaran Pengembangan ini dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan kondisi ideal dengan kondisi real yang ada di lapangan khususnya masalah ketersediaan bahan ajar yang baik, yakni: efektif, efisien, dan menarik. Bahan ajar yang baik tersebut juga harus sesuai dengan karakteristik peserta didik, yakni siswa cerdas istimewa. Pelayanan pembelajaran cerdas istimewa mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dengan basis karakteristik anak cerdas istimewa, yakni: melibatkan kognisi tinggi, mengutamakan kreatifitas, dan komitmen pada tugas. Inilah kondisi ideal yang diharapkan. Kondisi real pelayanan pembelajaran siswa cerdas istimewa sebagaimana terungkap dalam pendefinisian adalah: 1. Kondisi pembelajaran: a) Interaksi pembelajaran berupa diskusi belajar kelompok, Tanya jawab rendah.b) Buku ajar yang sesuai dengan karakteristik cerdas istimewa sulit/tidak diperoleh.c) Pembelajaran fisika (materi/metode) belum melibatkan kognisi tingkat tinggi (SMAN SMA 1, SMA TT); d) Pembelajaran fisika belum merangsang kreatifitas (SMAN 1); c) Pembelajaran fisika belum memberikan tugas yang menantang dan produktif; d) Masih mengalami kesulitan mengukur hasil belajar pada aspek afektif, kognitif, dan psikomotor; e) Alokasi waktu untuk pembelajaran fisika masih kurang relative terhadap beban kompetensi 2. Bahan ajar adalah buku dari berbagai penerbit dan bahan ajar tersebut sama dengan yang dipakai oleh siswa regular. 3. Guru belum memiliki pengalaman dan belum pernah melakukan pengembangan bahan ajar. 4. Kondisi bahan ajar menurut penilaian guru sebagai berikut: Berdasarkan kondisi pembelajaran fisika siswa cerdas istimewa di tiga SMA tersebut diperoleh kesimpulan terdapat permasalahan pembelajaran terutama kondisi bahan ajar yang digunakan apalagi bila menggunakan ukuran karakter siswa cerdas istimewa. Dengan demikian dibutuhkan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik siswa cerdas istimewa. Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
462 AGUNG SUTANTO
KARAKTERISTIK BUKU
NILAI
SEBUTAN
2
Cukup
3
Baik
Konstruktif
2
Cukup
Materi disajikan dalam bentuk proyek
1
Kurang
Kontekstual
2
Cukup
Membangun pemahaman secara individual
2
Cukup
Merangsang rasa ingin tahu dan sikap kritis
2
Cukup
Menggiring problem solving
2
Cukup
Menggiring belajar bersama
2
Cukup
Menggiring melakukan penelitian/penemuan
1
Kurang
Menggiring untuk menemukan kebermaknaan
2
Cukup
Memuat penilaian diri dan refleksi
1
Kurang
Efektif untuk tujuan pembelajaran siswa
2
Cukup
3
Baik
2
Cukup
Mengasah aspek afektif, kognitif, dan psikomotor tingkat tinggi Terdapat materi pembelajaran yang disajikan dalam bentuk praktik
belajar
cerdas istimewa Efisien untuk pembelajaran siswa cerdas istimewa Menarik untuk pembelajaran siswa cerdas istimewa
Berdasarkan rasional keberadaaan dan karakter anak cerdas istimewa maka bahan ajar yang dibutuhkan berbentuk modul. Sebagimana sebuah modul, maka bahan ajar dimaksud dapat dipergunakan secara mandiri maupun bersama di sekolah. Berbeda dengan kebanyakan modul pada umumnya, modul ini mengutamakan kerangka modul dari pada materi di dalam modul. Maksudnya adalah modul memiliki kerangka yang sesuai dengan peruntukkannya, selanjutnya materi disajikan di dalam kerangka tersebut. Sedangkan modul pada umumnya mengutamakan materi, materi disajikan sesuai dengan urutan materi. Modul pada umumnya tersebut tidak memiliki Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 463
kerangka khusus sesuai dengan peruntukkan (karakter tertentu). Karakter modul menjadi hal utama dibandingkan materi yang tersaji di dalamnya. Penyusunan materi berdasarkan orientasi kerangka konseptual telah dilakukan oleh Sjarkawi dalam penelitian tesis.8 Hasil penelitian tersebut mengkonfirmasi bahwa penyusunan berdasarkan kerangka konseptual memberikan hasil belajar yang lebih baik daripada materi disusun secara urutan materi (konvensional).
D. Desain dan Pengembangan Modul Desain dan model bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik pengguna adalah modul yang berisikan: 1. Kegiatan Belajar I : Pembelajaran Berbasis Praktik 2. Kegiatan Belajar II : Penanjakan Konseptual Mandiri 3. Kegiatan Belajar III : Pembelajaran Berbasis Proyek 4. Evaluasi : tes tertulis dan praktik/laporan proyek. Inilah kerangka modul sebagai hasil analisis model modul yang dikembangkan. Desain ini lahir dari tahap pendefinisian dan juga idealisme siswa cerdas istimewa. Mengikuti model R2D2 desain bisa berubah sesuai dengan kondisi/kontekstualitas dan pendapat para partisipatori. Differensiasi Produk/Modul relative terhadap modul lainnya: 1. Penanjakan kegiatan kognitif (>C3) 2. Diversifikasi metode (pembelajaran berbasis praktik, studi mandiri, pembelajaran berbasis proyek). 3. Pengayaan pengalaman belajar ( karya dan penelitian ilmiah). 4. Modul disusun berdasarkan aktifitas kegiatan belajar, bukan berdasarkan urutan materi. Pembelajaran Berbasis Praktik, Kreatif, dan Eskalatif Karakteristik siswa cerdas istimewa adalah kreatif, cerdas di atas ratarata, dan memiliki keterlekatan pada tugas yang tinggi. Layanan pembelajaran yang dapat memenuhi karakter tersebut adalah Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
464 AGUNG SUTANTO
pembelajaran berbasis praktik. Modul ini diawali dengan menyajikan pembelajaran berupa praktikum. Praktikum diselenggarakan selama pertemuan pertama (90 menit). Selama waktu tersebut siswa cerdas istimewa dituntut menyelesaikan lima materi praktik. Materi praktik dipandu di dalam modul. Berbeda dengan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang umum digunakan sebagai modul praktik, panduan ini menyediakan ruang kreasi bagi siswa. Kreasi ini juga ditagih dalam ruang evaluasi praktik. Selain kreatif, pembelajaran berbasis praktik ini juga berciri eskalatif. Sebagaimana diketahui, siswa cerdas istimewa memiliki kemampuan berfikir tingkat tinggi, maka pembelajaran yang diselenggarakan harus memuat eskalasi kompetensi. Apabila pembelajaran praktik untuk siswa pada umumnya diwujudkan dalam bentuk siswa melakukan apa yang telah tertulis/tergambar dalam LKS kemudian mencatat datanya, tidak demikian pada modul ini. Pembelajaran berbasis praktik dalam modul ini memandu siswa untuk a) mengambil kesimpulan berdasarkan data, b) melakukan generalisasi, c) mengevaluasi rangkaian, dan d) memberikan saran untuk tujuan tertentu. Keempat aktifitas pembelajaran di atas adalah bentuk aktifitas berpikir tingkat tinggi (high order thingking). Pembelajaran Penanjakan Konseptual Mandiri Salah satu ciri anak cerdas istimewa adalah keterlekatan pada tugas yang tinggi. Maksudnya, anak cerdas istimewa memiliki tanggung jawab personal untuk mendapatkan hasil, bekerja hingga daya yang terakhir untuk memperoleh hasil tanpa pengawasan dari orang lain. Dengan demikian pembelajaran lebih didorong untuk dilakukan secara mandiri. Fakta menunjukkan kecepatan menyerap materi pembelajaran siswa cerdas istimewa sangat tinggi. Akibatnya, waktu untuk mencapai kompetensi lebih cepat. Untuk mengisi kelebihan waktu belajar, maka modul menyajikan eskalasi/penanjakkan konseptual. Konsep-konsep fisika yang merupakan kompetensi dasar tidak layak
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 465
diberikan kepada siswa cerdas istimewa. Penanjakan konseptual yang dimaksud dalam modul ini berupa pendalaman materi fisika, bahkan hingga materi fisika universitas pada tingkat dasar. Kegiatan belajar pada modul ini dilakukan secara mandiri. Guru bertugas memeriksa kemajuan belajar dan memberikan tagihan. Pemeriksaan kemajuan belajar untuk mengetahui capaian belajar mandiri siswa cerdas istimewa. Tagihan adalah bentuk evaluasi hasil belajar mandiri siswa cerdas istimewa. Pemeriksaan kemajuan belajar dapat dilakukan selama 90 menit. Sedangkan tagihan dapat dilakukan selama 45 menit. Pembelajaran Berbasis Proyek Salah satu maksud pembelajaran berbasis proyek adalah mendekatkan materi dan aktivitas pembelajaran dengan kontekskonteks keilmuan. Selain itu menegaskan kegunaan ilmu yang dipelajari untuk memecahkan permasalahan atau menghasilkan produk yang sesuai. Proyek dianggap sebagai metode yang tepat untuk rasionalitas di atas. Selain dari segi metode pembelajaran, anak cerdas istimewa merupakan anak yang kreatif, menyukai tantangan, dan bertanggung jawab. Modul ini menyajikan pembelajaran berbasis proyek. Siswa cerdas istimewa di dorong untuk melakukan observasi masalah di sekitar. Melakukan penelitian dan menghasilkan solusi bagi permasalahan yang ditemukannya dengan memanfaatakan kelimuan yang dimilikinya. Guru memandu untuk menjalankan proyek dan menagih proyek tersebut secara portofolio.
E. Pembahasan Modul Dalam konteks tulisan ini penyediaan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik gifted menjadi kebutuhan. Berdasarkan pengamatan terlibat (sebagai guru siswa akselerasi) maupun tidak terlibat, penulis menemukan fakta bahwa guru belum menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik gifted. Meskipun buku teks fisika yang Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
466 AGUNG SUTANTO
didesain oleh penerbit sudah mendekati model bahan ajar, buku tersebut masih mengikuti karakteristik siswa umum/reguler. Penelitian mengenai ketersediaan bahan ajar dan kondisi pembelajaran fisika untuk siswa gifted dilakukan di tiga SMA di Provinsi Jambi, yakni SMAN 1 Kota Jambi, SMAN 3 Kota Jambi, dan SMA Titian Teras Kabupaten Muaro Jambi. Setelah melakukan studi pendahuluan dengan melakukan observasi ke sekolah, wawancara dengan guru dan siswa, serta menyebarkan angket kebutuhan pembelajaran untuk siswa gifted, diperoleh gambaran kondisi pembelajaran terutama keadaan bahan ajar yang digunakan. Penulis menemukan bahan ajar yang digunakan oleh guru fisika di sekolah penyelenggara layanan pendidikan siswa gifted tingkat SMA di Provinsi Jambi adalah buku teks yang diterbitkan oleh berbagai penerbit. Selain buku teks juga terdapat Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk kegiatan praktikum di laboratorium. Penulis juga mendapatkan modul belajar yang disusun oleh guru bidang studi. Modul tersebut berisi ringkasan materi dan soal-soal permasalahan fisika. Wawancara dengan guru fisika SMAN 1 pada tanggal 5 Januari 2010, menghasilkan data kondisi pembelajaran fisika siswa gifted, “Bahan ajar yang merangsang siswa gifted untuk belajar mandiri dan tidak tergantung pada guru belum saya temukan. Mungkin diperlukan bahan ajar seperti modul sehingga anak lebih mandiri”. Selanjutnya Suwanto merinci beberapa kelemahan buku ajar fisika yang telah digunakan untuk siswa gifted: 1) materi yang disajikan dalam buku ajar yang digunakan belum merangsang siswa untuk mengkonstruksi hasil belajar secara individu, 2) tidak ada materi yang disajikan dalam bentuk proyek untuk kreasi inovatif siswa, 3) materi kurang dikontekskan dengan kehidupan, 4) tidak ada kegiatan belajar yang reflektif dan mampu menilai kemampuan diri. Guru fisika siswa gifted SMA TitianTeras, pada tanggal 10 Januari 2010 mengatakan, “buku ajar yang digunakan untuk siswa gifted sama dengan buku ajar untuk siswa reguler sehingga tingkat kesulitannya kurang menantang. Perlu dikembangkan buku ajar/ Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 467
modul khusus untuk siswa gifted sehingga ada tantangan baru yang diperoleh siswa”. Selanjutnya Burhani memberikan daftar kelemahan buku ajar fisika siswa gifted yang telah diselenggarakannya: 1) materi yang disajikan dalam buku ajar yang digunakan belum merangsang siswa untuk mengkonstruksi hasil belajar secara individu, 2) penyajian materi dalam buku ajar kurang integratif antara pembelajaran kognisi, psikomotor, dan afeksi, 3) tidak ada materi yang disajikan untuk melakukan penemuan/penelitian, 3) tidak ada buku yang menyediakan sarana penilaian otentik dalam mengukur hasil belajar, 4) materi kurang dikontekskan dengan kehidupan, 5) tidak ada kegiatan belajar yang reflektif dan mampu menilai kemampuan diri. Guru fisika siswa gifted SMAN 3 Kota Jambi, pada tanggal 5 Januari 2010 mengatakan, “ buku ajar fisika untuk siswa gifted kurang mengasah kreatifitas. Padahal kreatifitas adalah salah satu karakteristik siswa gifted. Bahan ajar yang merangsang kreatifitas perlu dikembangkan”. Adapun kelemahan buku ajar yang selama ini telah digunakan disampaikannya sebagai berikut: 1) materi yang disajikan dalam buku ajar yang digunakan belum merangsang siswa untuk mengkonstruksi hasil belajar secara individu, 2) tidak ada materi yang disajikan dalam bentuk proyek untuk kreasi inovatif siswa, 3) materi belum mengasah aspek afektif, kognitif, dan psikomotor tingkat tinggi, 4) penyajian materi dalam buku ajar kurang integratif antara pembelajaran kognisi, psikomotor, dan afeksi, 4) uraian materi tidak merangsang untuk bertanya dan berpikir kritis, 5) tidak ada materi yang disajikan untuk melakukan penemuan/ penelitian, 6) tidak ada kegiatan belajar yang reflektif dan mampu menilai kemampuan diri. Kondisi ketersediaan bahan ajar sebagaimana terungkap di atas sepadan dengan pendapat Supriyanto mengenai penggunaan kurikulum yang memuat dan menerapkan standar ketuntasan/ standar isi/standar kompetensi sebagai threshold atau batas ambang bawah/minimal. Menurutnya, penerapan kurikulum reguler dengan batas ambang bawah seperti ini janggal karena siswa gifted memiliki Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
468 AGUNG SUTANTO
potensi kecerdasan di atas siswa reguler.9 Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Joyce Van Tassel-Baska berhasil mengidentifikasi permasalahan-permasalahan penyelenggaraan pembelajaran siswa gifted. Permasalahan differensiasi kurikulum terutama differensiasi materi yang tersaji dalam bahan ajar berada pada kelompok permasalahan level pertama.10 Berkenaan kondisi pembelajaran, angket yang disebar kepada responden di tiga SMA tersebut di atas memberikan gambaran kondisi pembelajaran fisika siswa gifted sebagai berikut: 1) strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru atau yang disarankan oleh buku kurang efektif dan kurang menarik bagi siswa gifted, 2) interaksi pembelajaran masih rendah, 3) pembelajaran tidak merangsang kreatifitas dan komitmen pada tugas, 4) jumlah jam belajar fisika kurang relatif terhadap beban kompetensi, 5) buku ajar yang sesuai dengan karakter siswa gifted sulit ditemukan, 6) pembelajaran fisika bagi siswa gifted belum menyentuh level kognisi tinggi. Dari keenam temuan kondisi pembelajaran di atas poin 5) dan 6) adalah kondisi yang ada di ketiga SMA itu. Temuan kondisi pembelajaran fisika siswa gifted sebagaimana terungkap di atas memberikan gambaran bahwa tidak terjadi differensiasi kurikulum bagi siswa dimaksud. Pendidikan anak gifted membutuhkan kurikulum berdifferensiasi, yakni kurikulum yang memberikan tugas dan kegiatan belajar yang berbeda dari anak-anak seusianya. Differensiasi kurikulum mencakup elemen: materi, proses, produk, dan lingkungan belajar.11 Differensiasi materi belum disajikan dengan memperhatikan karakteristik berpikir tingkat tinggi (high order thinking), kreatif, dan menantang. Materi pembelajaran fisika yang disajikan masih sama dengan materi reguler. Padahal sudah semestinya guru memiliki bahan ajar yang memuat diferensiasi materi. Salah satu upaya differensiasi materi adalah dengan kegiatan pengayaan dan penanjakan. Level pembelajaran berdasarkan taksonomi ranah kognitif ala Bloom terbagi menjadi 6 tingkatan, yaitu: pengetahuan, pemahaman, Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 469
aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 12 Menurut Anderson & Krathwohl, tingkat pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi adalah golongan aktivitas berpikir tingkat rendah. 13 Sedangkan analisis, evaluasi, dan kreasi adalah golongan aktivitas berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Berkenaan dengan level kognitif pembelajaran tersebut, pendidikan di Indonesia sebagian besar (96%) hanya mampu mencapai level pengetahuan sampai aplikasi, 4-5% mencapai level analisis, dan sama sekali tidak mampu mencapai level lebih tinggi.14 Metode pembelajaran untuk siswa gifted semestinya juga berbeda dari metode yang diterapkan kepada siswa reguler. Kegiatan pembelajaran untuk siswa gifted difokuskan pada upaya pengaktifan kemampuan berfikir tingkat tinggi. Davis & Rimm mengatakan upaya pengaktifan berpikir tingkat tinggi dilakukan dengan rekayasa metode pembelajaran (metode, materi, media). 15 Metode pembelajaran didesain untuk menyajikan materi sehingga siswa aktif berbuat seperti mengobservasi, mempraktikkan, memecahkan masalah, melaporkan/ mengkomunikasikan perolehan belajarnya. Tampak bahwa tuntunan para ahli pembelajaran gifted di atas sepadan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Kontekstualisasi materi pembelajaran menghendaki setiap siswa membuat keterhubungan antara materi pembelajaran dengan fenomena nyata di kehidupan. Selain itu kontekstualisasi juga mengajarkan proses belajar secara inquiri yakni siswa menemukan hasil pembelajaran secara aktif. Berdasarkan pengamatan penulis, kontekstualisasi pembelajaran fisika masih merupakan yang sulit dilakukan oleh guru. Guru masih kesulitan menerapkan kontekstualisasi pembelajaran. Padahal, pembelajaran fisika adalah pembelajaran tentang objek dan fenomena alam. Sudah semestinya pembelajaran fisika bermula dan berujung pada alam. Fisika bukanlah sekumpulan rumus yang mesti dihafalkan oleh siswa, kemudian siswa berlatih soal untuk menggunakan rumus tersebut. Rumus /hukum/dalil/konsep dalam fisika diperoleh dari observasi dan rasionalisasi sebuah objek dan Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
470 AGUNG SUTANTO
fenomena alam. Contoh, hukum Newton diperoleh dari fenomena jatuhnya benda ke bumi. Dengan demikian pembelajaran hukum Newton seharusnya melibatkan observasi fenomena, dan bermuara pada rekayasa fenomena dengan memanfaatkan hukum Newton tersebut. Masalah kontekstualisasi yang berkaitan dengan keberadaan bahan ajar adalah bahan ajar yang tersedia belum mendorong terjadinya proses kontekstualisasi, berpikir tingkat tinggi, kreatif, dan menantang. Adalah kesalahan belajar fisika adalah menghafal rumus dan memasukkan angka-angka ke dalam rumus belaka tanpa pemahaman yang tepat tentang fenomena sebenarnya yang didekati dengan rumus tersebut.16 Model bahan pembelajaran fisika yang dibahas dalam tulisan ini menggunakan pendekatan kontekstual dengan alasan kesesuaian dengan materi fisika juga kesesuaian dengan karakteristik gifted yang menuntut kontekstualisasi pembelajaran. Siswa gifted memilki potensi berfikir tingkat tinggi, kreatifitas, dan suka tantangan. Tiga ciri pokok gifted ini menuntut penyelenggaraan pembelajaran yang khusus, termasuk penyediaan bahan ajar yang sesuai. Dengan menggunakan indikator penilaian keefektifan, efisiensi, dan daya ta rik modul untuk digunakan sebagai bahan ajar listrik dinamis, penelitian pengembangan bahan ajar ini memperoleh temuan sebagai berikut. Pembelajaran fisika listrik dinamis untuk siswa cerdas istimewa menggunakan modul ini memiliki efektifitas yang sangat tinggi. Tujuan pembelajaran, kompetensi dasar, dan eskalasi kompetensi sesuai dengan karakter siswa cerdas istimewa telah tertulis dengan jelas di dalam modul. Kejelasan tujuan pembelajaran ini menjadikan hasil pembelajaran lebih terukur. Adanya eskalasi kompetensi yang nyata membuat modul ini memiliki kekhasan yang berguna untuk siswa cerdas istimewa. Efisiensi pencapaian tujuan pembelajaran sangat baik. Namun, terdapat keluhan siswa kurang bias menggunakan modul ini secara mandiri sepenuhnya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena modul ini Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 471
didesain tidak sepenuhnya untuk belajar mandiri. Guru mesti memandu dan memantau perkembangan kemajuan belajar siswa. Kemenarikan modul ini masih kurang baik. Hal ini terjadi karena pemakaian jenis huruf, ukuran huruf, ilustrasi yang kurang memadai. Pengembang telah melakukan perbaikan. Berkenaan dengan ilustrasi, Paulina Panen menjelaskan arti penting ilustrasi: 1) memperjelas pesan yang ingin disampaikan, 2) member variasi pada bahan ajar sehingga menarik, motivatif, dan membantu retensi.17 Berkenaan dengan tujuan pembelajaran cerdas istimewa, yakni mengasah kognisi tingkat tinggi, modul ini telah memenuhi tujuan tersebut. Namun demikian, peranan guru dan kondisi siswa sangat mempengaruhi proses belajar pada level kognisi tingkat tinggi. Tomlinson mengatakan untuk melakukan pembelajaran secara differensiasi di local, seorang guru harus bisa membuat siswa belajar sebaik mungkin siswa dapat belajar. Selanjutnya dijelaskan juga perlakuan guru terhadap siswa agar siswa menjalani pembelajaran secara optimum, yakni: 1) memeriksa kemampuan awal siswa (prasyarata) yang berkaitan dengan materi, 2) guru harus mengenali dan menyajikan materi sesuai dengan ketertarikan siswa, 3) mengenali apa dan bagaimana yang membuat siswa dapat belajar secara optimum, 4) pembelajaran harus menyentuh perasaan siswa.18 Tomlison tampaknya menekankan pentingnya mengenal peserta didik dalam pembelajaran berdiferensiasi. Modul ini telah menampilkan ruang cek kemampuan untuk memeriksa kemampuan awal siswa. Modul juga mengatur tugas guru dan aktivitas siswa sehingga tampak jelas differensiasi pembelajarannya dari siswa reguler. Pada Kegiatan Belajar 2 terdapat materi Fisika dasar tingkat Universitas. Hal ini merupakan bentuk pendalaman dan pengayaan materi. Pada Kegiatan Belajar 3, pembelajaran dilaksanakan dalam bentuk proyek kelistrikan dinamis. Siswa harus menemukan dan merumuskan permasalahan, menginventaris alternative solusi dan menetapkan solusi atas permasalahan. Tampak bahwa modul ini menyediakan pembelajaran problem solving. Problem solving Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
472 AGUNG SUTANTO
merupakan metode pembelajaran berpikir tingkat tinggi.19 Berkenaan dengan tujuan pembelajaran cerdas istimewa, yakni merangsang dan meningkatkan kreatifitas, modul ini telah memenuhi tujuan tersebut. Kreatifitas yang dimaksud adalah kreativitas berpikir dan kreativitas produk. 20 Kreativitas berasosiasi dengan inovasi, keaslian, kejujuran, dan keunikan. Modul ini memfasilitasi kreatifitas sejak sesi Kegiatan Belajar 1, yakni kegiatan praktik kreatif eskalatif. Di dalam kegiatan tersebut siswa diberikan ruang berkrasi untuk mencoba rangkaian yang berbeda, mencatat hasil dan membuat pemahaman baru yang kemudian dicocokkan dalam Kegiatan Belajar 2. Ini merupakan kreativitas berpikir. Sedangkan kegiatn belajar 3, yakni pembelajaran berbasis proyek penelitian maupun produksi kelistrikan sangat menonjolkan kreativitas. Kreativitas pertama adalah jeli dan dapat merumuskan permasalahan. Selanjutnya kreativitas memberi solusi dan melakukan ujicoba. Berkenaan dengan tujuan pembelajaran cerdas istimewa, yakni melatih komitmen pada tugas, modul ini telah memenuhi tujuan tersebut. Kegiatan Belajar 1 memuat praktikum yang mesti diselesaikan dalam waktu 90 menit. Ini merupakan control bahwa pelaksanaan praktikum harus tertib dan selesai tepat waktu. Kegiatan Belajar 2 adalah belajar konseptual secara mandiri. Modul dilengkapi dengan tagihan dan diselenggarakan pertemuan kedua dengan guru.pertemuan ini untuk memeriksa kemajuan belajar dan pengumpulan tagihan. Sedangkan Kegiatan Belajar 3 membuat proyek penelitian atau produk. Terselesaikannya proyek adalah bentuk tanggung jawab akan tugas. Selain kendali seperti di atas, modul juga menyarankan kegiatan belajar dilakukan secara kelompok. Kegiatan belajar secara kelompok merupakan upaya pembangunan social skills.21 Berkenaan dengan evaluasi hasil belajar, modul telah memuat evaluasi kognitif, evaluasi afektif dan psikomotor. Penilaian hasil belajar kognitif dilakukan dengan memandu siswa untuk mengerjakan tes tertulis dan mencocokkan jawaban. Sedangkan afeksi siswa tampak dalam kegiatan praktik, pemeriksaan kemajuan Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 473
belajar dan pengerjaan proyek. Psikomotor siswa dievaluasi dalam ujian praktik dan pelaksanaan proyek. Penilaian afeksi dan psikomotor mengikuti model penilaian portofolio. Haladyna menyebutkan, portofolio dapat berupa kumpulan tugas siswa, tugas yang bermanfaat, dan hasil kerja siswa/proyek. Penilaian portofolio berisi perencanaan, hasil, laporan proyek dan juga memuat sikap, dan penilaian afektif lainnya sesuai dengan pembelajaran yang dilangsungkan.22 Salah satu kegiatan pembelajaran yang disarankan untuk siswa cerdas istimewa adalah inquiri atau menemukan hasil belajar secara mandiri. Modul ini menggiring siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi perolehan belajarnya secara mandiri. Hal ini tampak sejak KB 1 hingga KB 3. Pada setiap Kegiatan belajar siswa dirangsang dan diperintahkan untuk membuat pertanyaan dan mencari jawaban melalui praktikum, belajar konseptual mandiri, dan proyek. Pembelajaran disebut inquri bila terpenuhi dua syarat: 1) membuat pertanyaan penelitian, dan 2) mencari jawaban atas permasalahan dengan melakukan analisis data hasil penelitian.23 Modul ini juga sudah mendidikkan siswa untuk merumuskan masalah melakukan eksperimen untuk mendapatkan data, mengolah data untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan. Modul juga memandu siswa untuk membuat hipotesis, menentukan variable penelitian. Menurut L. Bell eksperimen harus memenuhi adanya hipotesis dan ada varibel eksperimen. Catatan: 1. Semiawan C., Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, (Jakarta: PT Gramedia Widya Sarana Indonesia, 1997). 2. Renzulli, Josep S., Identification of Student for Gifted and Talented Program, (California: Corwin Press Inc., 2004); Renzulli, Joseps S., “The Three Ring Conception of Giftedness”, dalam Robert J. Sternberg, Conception of Giftedness, (New York: Cambridge University Press, 2005). 3. Widiastomo (2005) 4. Anonim, Penatalaksanaan Psikologi Program Akselerasi, (Jakarta: Dir. PPLB Depdiknas, 2007). 5. Sutiah (2008) Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
474 AGUNG SUTANTO 6. Dalam I.N.S. Degeng, Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel, (Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1989). 7. W. Dick & L. Carey, Systematic Design of Instructional, (Illionis: Scott Foresman Company, 1978). 8. Sjarkawi, “Pengaruh Cara Pengorganisasian Pengajaran Melalui Penyampaian Struktur Orientasi Konseptual terhadap Perolehan Belajar Siswa”, tesis di IKIP Malang, 1989. 9. Dalam Anonim, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa, (Jakarta: Dir. PPLB Depdiknas, 2007). 10. Joyce Van Tassel-Baska (2006) 11. Davis&Rimm, 1998. 12. Bloom (1956) 13. O.W. Anderson & D.R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing: A revision of Bloom’s, taxonomy of educational objectives, (New York: Longman, 2001). 14. Dikutip dari R. Asyhar, “Pengaruh Pembelajaran Konstruktivistik Dan Level Kognisi Terhadap Hasil Belajar”, 2009. 15. Davis & Rimm (1998) 16. (Yohanes Surya, 2004) 17. Paulina Pannen, Penulisan Bahan Ajar dalam Mengajar di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Pusat Antar Universitas UT., 1997), hlm. 38. 18. Carol A. Tomlinson, Fulfilling the Promise of the Differentiated Classroom, (Virginia: ASCD Alexandria, 2003), hal 2. 19. Thomas N. Haladyna, Writing Test Items ti Evaluate Higher Order Thinking, (Boston: Pearson Education Inc., 1997), hlm. 97; Daniel Muijs & David Reynold, Effective Teaching; Evidence and Practice, (London: SAGE Publication Ltd., 2005), hlm. 120. 20.Haladyna, Writing Test, hlm. 28. 21. Muijs & Reynold, Effective Teaching, hlm. 138. 22. Haladyna, Writing Test, hlm. 177. 23. Randy L. Bell, Teaching Nature Science; Process Skills, (Boston: Pearson Education Inc., 2008), hlm. 181.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
KONDISI PEMBELAJARAN SISWA GIFTED 475
DAFTAR PUSTAKA Anderson, O.W., and Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing: A revision of Bloom’s, taxonomy of educational objectives. New York: Longman. Anonim, 2007, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa, Jakarta: Dir. PPLB Depdiknas. Anonim, 2007, Penatalaksanaan Psikologi Program Akselerasi, Jakarta: Dir. PPLB Depdiknas. Anonim, 2009, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas. Dalam situs www.depdiknas.go.id Asyhar, R., 2009, Pengaruh pembelajaran konstruktivistik dan level kognisi terhadap hasil belajar, dalam jurnal Atwi Suparman, 2001, Desain Instruksional, Jakarta: Pusat Antar Universitas UT. Baska, Joyce V. T., 2003, Domain Spesific Giftedness; Aplication in School and Life, dalam Sternberg, Robert J., 2005, Conception of Giftedness, New York: Cambridge University Press. Bell, Randy L., 2008, Teaching Nature Science; Process skills, Boston: Pearson Education Inc. Semiawan C., 1997, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: PT Gramedia Widya Sarana Indonesia. CORD, 2001, Contextual Learning, diakses dari www.cord.org/ contextual-learning-definition. David Halliday, Robert resnick, dan Jean Walker, 2004, Fundamentals of Physics (Extended) 6th Ed., Singapore: John Wiley & Sons, Inc. Degeng, I. N. S., 1989, Ilmu Pengajaran; taksonomi Variabel, Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dick, W., Carey, L., 1978, Systematic Design of Instructional, Illionis: Scott Foresman Cmpany. Elaine B. Johnson, 2002, Contextual Teaching and Larning, California: Corwin Press Inc. Feldhusen, John F., Giftedness, Talent, Expertia, and Creative Achievement, dalam Sternberg, Robert J., 2005, Conception of Giftedness, New York: Cambridge University Press. Haladyna, Thomas N., 1997, Writing Test Items ti Evaluate Higher Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011
476 AGUNG SUTANTO
Order Thinking, Boston: Pearson Education Inc. Kitano & Kirby (1986), Motivation for achievement, New Jersey: Lawrence Publisher inc. Kun Song, 2004, A Recursive, Reflective, and Development Model, Summary Handout. Monk, Franz J., Giftedness and Gifted Education, dalam Sternberg, Robert J., 2005, Conception of Giftedness, New York: Cambridge University Press. Muijs, Daniel., Reynold, David., 2005, Effective Teaching; Evidence and Practice, London: SAGE Publication Ltd. Pannen, Paulina., 1997, Penulisan Bahan Ajar, dalam Mengajar di Perguruan Tinggi, Jakarta: Pusat Antar Universitas UT. Paul Tippler, 1998, Physics for Scientist and Engineers 3 th Ed. (terjemah)., Jakarta: PT. Erlangga Renzulli, Josep S., 2004, Identification of Student for Gifted and Talented Program, California: Corwin Press Inc. Renzulli, Joseps S., The Three Ring Conception of Giftedness, dalam Sternberg, Robert J., 2005, Conception of Giftedness, New York: Cambridge University Press. Sjarkawi, 1989, Pengaruh Cara Pengorganisasian Pengajaran Melalui Penyampaian Struktur Orientasi Konseptual terhadap Perolehan Belajar Siswa, Tesis, Malang: IKIP Malang Supriyanto, dalam Anonym, 2007, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk Peserta Didik Berkecerdasan Istimewa, Jakarta: Dir. PPLB Depdiknas. Tomlinson, Carol A., 2003, Fulfilling the Promise of the Differentiated Classroom, Virginia: ASCD Alexandria. Went, Gerald., 1962, 700 Science Experiments for Everyone, New York: UNESCO. Willis, Jerry., 2000, A General Set of Procedures for C-ID, dalam Willis, Jerry., 2009, Constructivist Instructional Design (C-ID), USA: IAP Inc.
Media Akademika, Vol. 26, No. 4, Oktober 2011