KONDISI FISIOLOGIS (HEMATOLOGI, DENYUT JANTUNG, FREKUENSI RESPIRASI, DAN SUHU TUBUH) SAPI PERAH KERING KANDANG DI KPBS PANGALENGAN
KHAIRUL IHSAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut jantung, Frekuensi Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS Pangalengan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Khairul Ihsan NIM B04090142
ABSTRAK KHAIRUL IHSAN. Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut jantung, Frekuensi Respirasi dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS Pangalengan. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan ASEP YAYAN RUHYANA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fisiologis sapi perah Friesian Holstein (FH) kering kandang di KPBS Pangalengan. KPBS Pangalengan berada pada ketinggian 1 000 ̶ 1 400 meter diatas permukaan laut dengan suhu pertahun berkisar 12 ̶ 28 °C dan kelembapan pertahun 60 ̶ 70%. Kondisi lingkungan di KPBS Pangalengan ini dapat memengaruhi kondisi fisiologis sapi perah kering kandang. Kondisi fisiologis ini penting untuk mengetahui kesehatan sapi perah. Penelitian ini menggunakan 46 ekor sapi perah kering kandang yang sehat secara klinis. Pengukuran parameter fisiologis dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari, kemudian hasil yang didapat dihitung rataannya. Kisaran denyut jantung, respirasi, dan suhu tubuh berturut-turut sebesar 52.8−70.2 kali/menit, 18.9−36.6 kali/menit, dan 37.6−38.6 °C. Kisaran hemoglobin, hematokrit, eritrosit, dan leukosit adalah 9.3−11.3 g/dl, 30.4−36.6%, 6.5−8.70 juta/µl, dan 7.4−12.8 ribu/µl. Kisaran diferensial leukosit meliputi limfosit, neutrofil, monosit, eosinofil, dan basophil, berturut-turut sebesar 29.60 ̶ 55.60%, 28.80 ̶ 56.20%, 0.30 ̶ 4.30%, 5.50 ̶ 19.7%, dan 0.00 ̶ 0.00%. Rasio neutrofil/limfosit didapatkan berkisar 0.45 ̶1.91. Secara umum hasil pengukuran kondisi fisiologis sapi perah kering kandang berada pada kondisi normal berdasarkan iklim di wilayah tersebut. Nilai tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan kondisi fisiologis sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan. Kata kunci: Friesian Holstein, KPBS Pangalengan, periode kering kandang , respon fisiologis
ABSTRACT KHAIRUL IHSAN. Physiological Condition (Hematology, Heart Rate, Respiration Frequency, and Body Temperature) of Dairy Cattle in KPBS Pangalengan. Supervised by AGIK SUPRAYOGI and ASEP YAYAN RUHYANA. The objective of this research was aimed to study the physiological condition of Friesian Holstein (FH) dairy cattle during dry period in KPBS Pangalengan. KPBS Pangalengan is located at 1 000–1 420 meters above sea level with temperature about 12-28 °C per year and humidity 60-70% per year. Environmental condition in KPBS Pangalengan will affect physiologic of dairy cattle during dry period. Physiological condition is very important to know the health condition of dairy cattle. This research used 46 dairy cattle during dry period are clinically healthy. Measurement parameter fisiological was done at morning, noon, and evening, then the result obtained calculated average. The range of heart rate, respiration frequency, and body temperature were 52.8−70.2 times/min, 18.9−36.6 times/min, and 37.6−38.6 °C. The range of hemoglobin, hematocrit, erythrocytes, and leukocytes were 9.3−11.3 g/dl, 30.4−36.6%, 6.5−8.70 million/µl, and 7.4−12.8 thousand/µl. The range of differential leukocyte covering lymphocyte,
neutrophils, monocytes, eosinophils, and, basophils, were 29.60 ̶ 55.60%, 28.80 ̶ 56.20%, 0.30 ̶ 4.30%, 5.50 ̶ 19.7%, and 0.00 ̶ 0.00%. The ratio of neutrophils/lymphocytes obtained ranges 0.45 ̶1.91. In general, measurements of physiologic condition of dairy cattle during dry period is at normal conditions based on the climate in the region. The value is expected can be used as reference physiological of dairy cattle during dry period in KPBS Pangalengan. Keywords: dry period, Friesian Holstein, , KPBS Pangalengan, physiological response
KONDISI FISIOLOGIS (HEMATOLOGI, DENYUT JANTUNG, FREKUENSI RESPIRASI, DAN SUHU TUBUH) SAPI PERAH KERING KANDANG DI KPBS PANGALENGAN
KHAIRUL IHSAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut Jantung, Frekuensi Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS Pangalengan Nama : Khairul Ihsan NIM : B04090142
Disetujui oleh
Prof Dr drh Agik Suprayogi, MSc AIF Pembimbing I
drh Asep Yayan Ruhyana Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis sampaikam kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah fisiologis sapi perah kering kandang di daerah tropis, dengan judul Kondisi Fisiologis (Hematologi, Denyut Jantug, Frekuensi Respirasi, dan Suhu Tubuh) Sapi Perah Kering Kandang di KPBS Pangalengan. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan Terima kasih dan penghargaan kepada bapak Prof Dr drh Agik Suprayogi MSc AIF, sebagai dosen pembimbing pertama dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan masukannya hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Bapak drh Asep Yayan Ruhyana selaku pembimbing kedua, atas masukan serta bimbingannya dalam pengambilan data di Pangalengan. Ayah dan bunda yang selalu memberikan motivasi, doa, dan kesabaran. Kementrian Agama RI, bapak Imam, bapak Ruchman, selaku pembina CSS MoRA yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. Sahabat-sahabat CSS MoRA IPB dan Zerlinda Amelia yang memberikan motivasi dan semangatnya. Rekan-rekan satu tim Pangalengan, yang telah membantu selama proses penelitian, Bagus, Ganjar, Risnia, Putra, dan Budi serta warga Pangalengan, Bapak Warsa, Bu Sri dan Bapak Sofyan yang telah banyak membantu selama proses pengambilan data di Pangalengan. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bermanfaat untuk penulis sendiri, pembaca, dan instansi terkait. Kritik dan sarannya dapat disampaikan kepada penulis agar semakin baik kedepannya. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya “ilmu bermanfaat”.
Bogor, Februari 2014 Khairul Ihsan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Sapi Friesian Holstein (FH) di Pangalengan
3
Periode Kering Kandang
3
Kondisi Fisiologis Sapi Friesian Holstain (FH)
4
Denyut jantung
4
Frekuensi Respirasi
5
Suhu Rektal
5
Profil Darah dan Komponennya
6
Sel darah merah (eritosit)
7
Sel darah putih (leukosit)
7
METODE
7
Waktu dan Tempat
9
Bahan
9
Alat
9
Prosedur Analisis Data
10
Metode Penelitian
10
Denyut Jantung
10
Frekuensi Respirasi
10
Suhu Rektal
10
Suhu dan Kelembapan
10
Profil Hematologi dan Komponennya
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Kondisi Lingkungan KPBS Pangalengan
11
Kondisi Fisiologis Sapi FH Kering Kandang
12
Profil HematologiTernak Sapi Perah Kering kandang
14
Hemoglobin
14
Hematokrit
15
Jumlah eritrosit
15
Jumlah leukosit
15
Indeks Stres SIMPULAN DAN SARAN
18 17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
17
RIWAYAT HIDUP
21
DAFTAR TABEL
1. Pengamatan denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu rektal ternak 12 sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH pada daerah lain di Pulau Jawa 2. Gambaran parameter fisiologis ternak sapi perah kering kandang di 12 KPBS Pangalengan berdasarkan pembagian waktu 3. Profil hematologi ternak sapi FH kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH di daerah subtropis 4. Diferensial leukosit pada sapi perah kering kandang di Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH di daerah subtropis
14
16
DAFTAR GAMBAR 1. Pembagian sel darah mamalia
7
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi menjanjikan dalam pengembangan sapi perah. Pertumbuhan perekonomian yang semakin baik, berkorelasi positif dengan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi protein asal hewan. Kebutuhan susu di Indonesia pada tahun 2001 sebesar 883 758 ton, meningkat sebesar 1 758 243 ton pada tahun 2007. Nilai tersebut menunjukkan peningkatan kebutuhan susu sebesar 98.9% (Ditjennak 2008). Menurut Yusdja (2005), laju produksi susu hanya dapat memenuhi 30% dari permintaan dalam negeri. Keadaan ini disebabkan produksi peternakan sapi perah di Indonesia belum optimal. Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan merupakan salah satu wilayah peternakan sapi perah di Jawa Barat yang berpotensi menghasilkan produksi susu yang cukup tinggi. Pangalengan termasuk daerah dataran tinggi dengan ketinggian di atas permukaan laut antara 1 000–1 400 m dengan suhu pertahun berkisar 12–28 °C dan kelembapan pertahun berkisar 60–70% (KPBS 2011). Kondisi alam tersebut menunjang keberadaan peternakan sapi perah di Pangalengan, sehingga sebagian besar masyarakat setempat bekerja sebagai peternak dan petani, dengan populasi sapi perah di KPBS pada tahun 2012 berjumlah 16 952 ekor (KPBS 2012). Peternakan sapi perah Pangalengan merupakan peternakan rakyat, dengan jumlah ternak berkisar 2–5 ekor/kepala keluarga. Jenis sapi perah yang diternakkan di Pangalengan adalah Friesian Holstein (FH). Yusdja (2005) menyatakan, untuk saat ini di Indonesia skala usaha sapi perah tidak diimbangi dengan produktifitasnya. Sudono et al. (2003) menjelaskan bahwa sapi FH memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan dengan sapi perah lainnya. Tetapi di Indonesia sapi perah jenis ini hanya mampu memproduksi susu sebanyak 10 L/hari. Keadaan tersebut diakibatkan karena masih lemahnya manajemen peternakan yang diterapkan, terutama manajemen kesehatan. Kering kandang merupakan salah satu periode produksi pada sapi perah yang dapat memengaruhi produktifitas dan dan kualitas produksi susu. Pentingnya manajemen pada masa kering kandang sapi perah dilakukan sebagai upaya untuk mencapai produksi optimal. Pada masa ini alveolus pada kelenjar mamae mengalami restorasi dan proliferasi untuk siap produksi pada saat laktasi berikutnya (Anggraeni et al. 2010). Maraknya isu pemanasan global (Global warming) saat ini, diduga menjadi penyebab penurunan produktifitas akibat pergeseran kondisi fisiologis pada ternak. Pemanasan global dapat memberikan dampak negatif terhadap produktifitas yang mengakibatkan stres cekaman panas dan pertumbuhan penyakit pada sapi perah FH (Bahri dan Syafriati 2011). Pengaruh langsung akibat pemanasan global adalah pertumbuhan yang tidak optimal dan stres, sedangkan pengaruh tidak langsung akibat perubahan iklim tersebut berupa berkurangnya ketersediaan pakan alami yang dipengaruhi oleh curah hujan (Balitbang 2011). Anggraeni (2000) memaparkan kemampuan produksi susu sapi perah merupakan interaksi antara faktor genetik dan lingkungannya. Faktor lingkungan
2 berpengaruh 70 % terhadap produksi susu, yang meliputi faktor eksternal dan internal. Lingkungan eksternal meliputi iklim, pemberian pakan, dan manajemen pemeliharaan, sedangkan lingkungan internal meliputi aspek biologis yaitu lama laktasi, kering kandang, periode kosong dan selang beranak. Global warming merupakan faktor eksternal yang mampu untuk memengaruhi fisiologi ternak, namun sulit untuk diprediksi dan dikendalikan. Sampai saat ini belum banyak orang yang menyadari bahwa kondisi fisiologi sapi perah yang ada di wilayah peternakan telah dan akan bergeser akibat pemanasan global. Oleh sebab itu, perlu adanya kajian disetiap wilayah peternakan tentang kondisi fisiologis terutama sapi perah di KPBS Pangalengan. Sangat penting dilakukan kajian tersebut mengingat peran penting pada periode kering kandang terhadap produksi susu dan kesehatan sapi perah. Kajian ini dilakukan sebagai upaya untuk menilai kondisi fisiologis (denyut jantung, frekuensi repirasi, dan suhu rektal) sapi perah kering kandang berdasarkan iklim di wilayah tersebut. Penelitian ini mengkaji kondisi fisiologis sapi FH kering kandang di daerah Pangalengan, dengan melakukan pengukuran hematologi, denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu rektal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan terhadap kondisi kesehatan fisiologis sapi FH kering kandang untuk wilayah Indonesia khususnya Pangalengan.
Perumusan Masalah Masa kering kandang merupakan periode yang memengaruhi produksi susu, sehingga manajemen pemeliharaan sapi Friesian Holstein (FH) pada masa ini perlu diperhatikan. Salah satu acuan manajemen pemeliharaan adalah kesehatan ternak yang dapat diketahui dari kondisi fisiologisnya. Kondisi lingkungan di Pangalengan dapat memengaruhi kondisi fisiologis ternak sapi perah, sehingga diperlukan pemantauan kondisi fisiologis sapi FH kering kandang di wilayah tersebut. Kondisi fisiologis tersebut penting dilakukan sebagai indikator kesehatan dan produktifitas sapi perah di wilayah tersebut.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi fisiologis sapi perah kering kandang (denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, dan hematologi) di peternakan rakyat KPBS Pangalengan terkait dengan kondisi iklim di wilayah tersebut.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat mengetahui kondisi fisiologis sapi perah kering kandang di Pangalengan, sehingga kondisi umum sapi perah kering kandang normal dan abnormal dapat ditentukan. Kemudian dapat digunakan untuk memetakan kondisi kesehatan dan produktifitas ternak, sebagai informasi dasar kondisi fisiologis normal sapi Friesian Holstein (FH) di daerah tropis terutama di Pangalengan. Pengetahuan tersebut bertujuan memaksimalkan manajemen
3 pemeliharaan kesehatan pada masa kering kandang untuk mencapai produksi optimal.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah kondisi fisiologis sapi FH kering kandang, di daerah tropis seperti Indonesia, terutama Pangalengan. Kondisi fisiologis yang diamati antara lain, hematologi, denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu tubuh.
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein (FH) Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Provinsi Belanda Utara dan Friesland Barat. Sapi jenis ini telah tersebar ke berbagai wilayah di dunia, karena memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan dengan jenis sapi perah lainnya dan memiliki kandungan lemak rendah. Sapi FH memiliki bobot badan ideal untuk betina 628 kg dan jantan 1 000 kg. Bobot anak sapi FH yang baru lahir mencapai 43 kg (Sudono et al. 2003). Sapi FH memiliki corak putih hitam, terkadang merah dan putih. Menurut Santoso (2008), sapi FH yang baik memiliki tubuh luas ke belakang seperti gergaji, bentuk ambing baik dan simetris, rasio pakan terhadap produksi susu baik, dan memiliki temperamen yang jinak. Produksi susu sapi FH di Amerika mencapai 7 245 kg/periode laktasi, dengan kandungan lemak 3.65%, sedangkan di Indonesia rata-rata memproduksi 10 liter/ekor/hari atau lebih kurang 3 050 kg/periode laktasi. Menurut Sudono et al. (2003), keadaan ini akibat kondisi lingkungan di Indonesia berada diluar zona nyaman ternak sapi perah, sehingga sapi FH harus menyesuaikan fisiologis tubuhnya. Yani dan Purwanto (2006) menyatakan, terdapat empat unsur mikro yang memengaruhi produktifitas ternak yaitu suhu, kelembapan, radiasi, dan kecepatan angin. Selain itu, produktifitas ternak juga dipengaruhi unsur tidak langsung, yaitu evaporasi dan curah hujan.
Periode Kering Kandang Periode kering kandang merupakan salah satu periode produksi dari sapi perah, berkisar 2 bulan sebelum partus saat sapi mulai berhenti produksi susu. Sudono (2003) dalam penelitiannya menyatakan, rata-rata masa kering kandang sapi perah di Pangalengan adalah 60-70 hari. Anggraeni et al. (2010) menyatakan, Periode ini merupakan fase saat indukan sapi melakukan perbaikan pada tubuh terutama pada ambing untuk beregresi, berproliferasi, dan berdiferensiasi, sehingga ambing siap untuk memproduksi susu secara optimal sesudah partus. Apabila sapi diberikan kesempatan untuk menjalani masa kering kandang yang optimal, akan mendapatkan kompensasi produksi susu yang lebih banyak pada periode laktasi.
4 Penelitian pada negara beriklim sedang seperti Zimbabwe dan Carolina Utara, menunjukkan periode kering kandang selama 50-70 hari, dapat membuat sapi berproduksi secara optimal pada priode berikutnya (laktasi) (Makuza dan Mcdaniel 1996). Hal ini menunjukkan lama periode kering kandang yang optimal dapat menghasilkan produksi susu yang maksimal. Yafizham (2006) mengatakan, masa kering kandang menjadi masa istirahat induk kering kandang untuk menjaga keseimbangan kalsium (Ca) dalam darah pada proses produksi susu dan pengaturan fisiologis tubuh induk sendiri. Pada periode akhir kebuntingan sekresi hormon paratiroid meningkat, sehingga mobilisasi Ca dari tulang meningkat, absorbsi Ca dalam usus dan reabsorbsi Ca dalam ginjal juga meningkat. Hal ini mengakibatkan kadar Ca dalam darah meningkat, namun akan kembali normal setelah 2 minggu postpartus. Kekurangan Ca pada masa kering kandang dapat menyebabkan kelainan pada fetus, dan gangguan penyakit pada induk sapi seperti milk fever dan downer cow syndrome. Fase kering kandang menjadi periode istirahat dan perbaikan fungsi laktasi ambing, sehingga secara keseluruhan fungsi fisiologis tubuh ternak dapat berubah dari kondisi laktasinya. Pengamatan kondisi fisiologis ini menjadi penting mengingat kondisi ini merupakan indikator kondisi kesehatan dan produktifitas sapi perah di wilayah tersebut. Menurut Anggraini et al. (2010), masa kering kandang dapat memengaruhi produksi susu pada periode laktasi berikutnya, namun masih ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi susu. Komponen tersebut seperti reproduksi, kondisi kesehatan, pemberian pakan, dan kejadian penyakit. Kejadian aborsi juga dapat berpengaruh cukup besar terhadap produksi susu pada sapi FH.
Kondisi Fisiologis Sapi Friesian Holstain (FH) Kondisi fisiologis merupakan respon fungsional tubuh dan reaksi dari metabolisme tubuh secara sistematis yang bertujuan mencapai homeostatis tubuh atau keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Fisiologis tubuh ternak dapat menggambarkan kondisi kesehatan dan produktifitasnya sebagai akibat respon terhadap lingkungan. Sudono et al. (2003) menjelaskan produksi susu sapi FH pada daerah tropis tidak berbeda jauh dengan daerah subtropis apabila berada pada kondisi lingkungan 18.3 °C dengan kelembapan udara 55%. Produksi akan relatif cukup baik hingga suhu 21.1 °C dan akan mengalami penurunan pada suhu lingkungan 27 °C.
Denyut jantung Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transport darah yang yang terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Sistem kardiovaskular berperan mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Jantung merupakan struktur otot berbentuk kerucut yang bekerja otonom, memiliki basis pada bagian dorsalnya dan berongga. Jantung berfungsi untuk memompa darah keseluruh tubuh, sedangkan pembuluh darah berperan untuk mendistribusikan darah ke seluruh tubuh. Kualitas kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdenyut
5 setiap ukuran waktu (menit), yang disebut dengan denyut jantung (Cunningham 2002). Faktor yang memengaruhi denyut jantung antara lain, jenis hewan, ras, jenis kelamin, ukuran tubuh, umur, kebuntingan, aktifitas tubuh, stres, cekaman lingkungan, dan kesehatan (Kelly 1984). Pengamatan denyut jantung bertujuan mengetahui respon fisiologis dan kesehatan ternak terhadap lingkungan di Pangalengan. Frekuensi denyut jantung normal sapi dewasa berkisar antara 60−80 kali/menit (Kelly 1984). Suherman (2013) melaporkan, denyut jantung sapi perah berkisar 67−84 kali/menit, Rakhman (2008) melaporkan berkisar 77−89 kali/menit, hasil penilitian dari Utomo et al. (2009) dan Sudrajad dan Adiarto (2012) kisaran denyut jantung sapi perah laktasi adalah 67.48−73.52 dan 46−84 kali/menit. Kekuatan kontraksi jantung dipengaruhi oleh sistem saraf otonom. Saraf vagus bekerja sebagai penghambat kerja jantung dengan menurunkan kontraksi otot jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. Rangsangan simpatis berfungsi meningkatkan kerja jantung, kontraksi otot dan konduksi impuls. Pada saat sapi perah mengalami peningkatan aktivitas atau mengalami stres, stimulasi simpatis akan meningkatkan aktivitas jantung untuk menyuplai banyak darah ke hati dan otak (Frandson 1992).
Frekuensi Respirasi Sistem pernafasan memiliki fungsi utama untuk menyuplai oksigen (O2) ke seluruh tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari tubuh. Oksigen berfungsi pada proses metabolisme dan pengatur konsentrasi ion hidrogen dalam cairan tubuh sehingga proses metabolisme di dalam tubuh dapat berjalan baik. Pusat pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons. Medulla oblongata memiliki substansi retikularis berfungsi sebagai pengaturan inspirasi dan ekspirasi dalam mengatur irama dasar pernafasan. Pons berfungsi sebagai pusat pneumotaksik dan pusat apneumotaksik yang dapat memengaruhi kecepatan dan irama pernafasan (Frandson 1992). Repiratory rate adalah jumlah frekuensi inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menit. Proses inspirasi dan ekspirasi terjadi akibat selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus disebabkan kerja mekanik otototot di wilayah rongga thoraks (Frandson 1992). Menurut laporan Suherman et al. (2013) dan Rakhman (2008) frekuensi respirasi sapi perah berkisar 27−38 dan 28−40 kali/menit. Utomo et al. (2009) dan Sudrajad dan Adiarto (2012) memaparkan kisaran frekuensi respirasi sapi perah adalah 25.1−28.5 kali/menit dan 25.3−80 kali/menit. Peningkatan atau penurunan frekuensi pernapasan merupakan respon fisiologis tubuh untuk menyesuaikan perubahan suhu tubuhnya terhadap keadaan lingkungan, sehingga dengan mengetahui perubahan frekuensi respirasi dari normalnya, dapat diketahui bahwa ternak sapi perah berada pada kondisi tidak nyaman. Keadaan ini akan mengakibatkan produksi tidak optimal (Mantodang et al. 2012). Kelembapan yang tinggi dan suhu yang terlalu panas dapat meningkatkan laju respirasi pada ternak.
6 Suhu Tubuh Suhu tubuh merupakan ekspresi kemampuan tubuh melepaskan dan menerima panas. Hewan dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan suhu tubuhnya, yaitu hewan berdarah dingin (poikilotermik) dan berdarah panas (homeotermik). Hewan berdarah dingin akan menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu lingkungannya, sedangkan hewan berdarah panas cenderung mempertahankan suhu tubuh nomalnya (Frandson 1992). Sapi perah termasuk jenis hewan yang homeotermik. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi produksi optimal dari sapi perah. Menurut Kelly (1984), suhu tubuh yang terukur dengan termometer merupakan dampak keseimbangan antara suhu yang diproduksi tubuh dan suhu lingkungan. Pengukuran dilakukan melalui suhu rektal. Menurut laporan Utumo et al. (2009) dan Sudrajad dan Adiarto (2012), suhu rektal sapi perah berkisar 26.8−1.7 °C dan 35.6−39.1 °C. Rakhman (2008) pada penelitiannya juga menyebutkan kisaran suhu rektal yaitu 38.3–38.8 °C. Penyeimbang suhu tubuh diatur oleh termoregulator dengan mekanisme umpan balik positif dan negatif (Frandson 1992). Pusat termoregulator tubuh terletak di hipotalamus, sedangkan sensor panas tubuh terdapat diseluruh permukaan kulit (Kelly 1984). Pada saat pusat suhu mendapatkan informasi tubuh terlalu panas atau dingin maka tubuh akan memberikan respon dengan meningkatkan atau menurunkan suhu. Mekanisme penurunan suhu adalah dengan cara berkeringat, vasodilatasi, dan penurunan pembentukan panas tubuh, sedangkan untuk meningkatkan suhu tubuh adalah dengan vasokontriksi, meningkatkan produksi panas tubuh. Pengukuran suhu rektal merupakan salah satu refleksi terhadap suhu yang diproduksi oleh tubuh (Frandson 1992).
Profil Hematologi dan Komponennya Darah dalam tubuh ternak berfungsi sebagai pengangkut oksigen, karbondioksida, nutrisi, dan sisa-sisa metabolisme tubuh. Darah tersusun atas plasma dan sel darah. Sel darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Plasma darah mengandung 90% air dan dilengkapi dengan zat terlarut didalamnya seperti, protein plasma dan zat makanan (Isnaeni 2006). Frandson (1992) menjelaskan bahwa, volume darah pada sapi 7.7% dari berat tubuhya dengan kandungan sel darah merah berjumlah 7 juta/mm3 dan sel darah putih 7−10 ribu/mm3. Pembagian sel-sel darah pada mamalia menurut Wardhani (2008) dapat dilihat pada Gambar 1. .
7
Gambar 1 Pembagian sel darah mamalia (Wardhani 2008) Sel darah merah (eritosit) Eritrosit berfungsi sebagai transport oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), serta penyuplai nutrisi untuk tubuh. Persentase eritrosit yang ada dalam darah disebut dengan nilai hematokrit atau dikenal dengan packed cell volume (PCV). Menurut Frandson (1992), hematokrit merupakan perbandingan antara eritrosit dan plasma darah. Jumlah eritrosit normal dalam darah berkisar 4.86‒5.32 juta/µl (Sattar dan Mirza 2009), dan 4.72‒5.88 juta/µl (Mirzadeh et al. 2010). Sattar dan Mirza (2009) dalam penelitiannya melaporkan nilai hematokrit normal berkisar 23.17‒31.67%, rentang kisaran normal hematokrit yang lebih pendek dilaporkan oleh Mirzadeh et al. (2010) yaitu 27.95‒31.55%. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh aktivitas tubuh, ketinggian tempat, dan anemia. Hemoglobin merupakan senyawa kompleks yang memiliki empat pigmen porfirin merah (heme) masing-masing memiliki Fe dan globin. Hemoglobin terdapat didalam eritrosit yang berfungsi mengikat oksigen dan memberi warna merah pada darah. Oksigen yang berikatan dengan hemoglobin akan membentuk oksihemoglobin yang kemudian akan dilepas ke jaringan didalam tubuh. Dengan adanya hemoglobin darah dapat mengangkut oksigen 60 kali lebih banyak dibandingkan dengan air dalam volume yang sama. Sehingga semakin tinggi jumlah hemoglobin akan meningkatkan jumlah oksigen yang dapat diikat oleh darah (Frandson 1992). Jumlah hemoglobin normal dalam darah adalah 7.69‒10.99 g/dl (Sattar dan Mirza 2009), dan 8.89‒9.59 g/dl (Mirzadeh et al. 2010). Menurut Frandson (1992), jumlah eritrosit dalam darah berkorelasi positif dengan persentase hematokrit dan hemoglobin. Sel darah putih (leukosit) Gambaran darah terutama leukosit merupakan salah satu parameter dari pertahanan tubuh. Leukosit bersifat non aktif bila kondisi normal, namun akan meningkat dan dibawa ke jaringan apabila mengalami gangguan dan kerusakan (Frandson 1992). Bila terjadi invasi dari benda asing, leukosit akan menuju benda
8 asing tersebut (khemotaksis) dan melakukan fagositosis apabila organisme tersebut menyerang tubuh. Jumlah leukosit pada sapi perah berkisar 5.83‒12.23 ribu/µl (Sattar dan Mirza 2009), dan 6.78‒8.52 ribu/µl (Mirzadeh et al. 2010). Leukosit dibagi menjadi dua kelompok sel, yaitu agranulosit (monosit dan limfosit) dan granulosit (eosinofil, neutrofil, dan basofil). Setiap jenis sel leukosit memiliki fungsinya masing-masing (Frandson 1992). Leukosit dibentuk di sumsum tulang dan sebagian dibentuk di jaringan limfe (Akers dan Denbow 2008). Limfosit berfungsi sebagai respon kehadiran antigen atau benda asing dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam kekebalan seluler (Frandson 1992). Limfosit merupakan jenis leukosit agranulosit dan bersifat basofilik lemah. Limfosit dibentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, sumsum tulang belakang, tonsil, dan bursa fabrisius (Frandson 1992). Limfosit berdasarkan fungsinya dibagi menjadi sel limfosit B dan T. Sel B berperan sebagai kekebalan humoral dengan memproduksi antibodi dan sel memori. Sel T berfungsi sebagai respon kekebalan perantara seluler (Ganong 2008). Nilai limfosit normal pada sapi perah berkisar 45.9−52.3% (O’Driscol et al. 2009) dan 62.2−68.2% (Sattar dan Mirza 2009). Monosit merupakan calon makrofag yang belum matang yang bekerja sebagai pertahanan saat terjadinya infeksi. Saat masuk ke jaringan, ukuran monosit dapat membesar menjadi 5 kali lipat yang disebut dengan makrofag dan sangat ampuh menyerang agen penyakit (Akers dan Denbow 2008). Monosit memiliki sitoplasma yang banyak, memiliki inti di tengah, dan berbentuk kacang atau melekuk. Peran utamanya adalah melakukan fagositosis dan menghancurkan partikel-partikel asing serta jaringan mati. Kemudian, monosit juga dapat mengolah bahan asing untuk dapat membangkitkan tanggap kebal dan memiliki kerja fagositik seperti neutrofil (Frandson 1992). Nilai monosit pada sapi perah berkisar 2.5‒3.5% (O’Driscol et al. 2009) dan 5.62‒7.18% (Sattar dan Mirza 2009). Neutrofil adalah leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, kemudian masuk ke dalam peredaran darah dan tinggal di dalam pembuluh darah selama 12 jam sebelum berpindah ke dalam pembuluh darah. Neutrofil berperan sebagai garda pertahanan pertama tubuh memiliki fungsi sebagai penghancur benda asing melalui proses fagositosis, kemudian neutrofil mencerna benda asing tersebut dengan melepaskan enzim lisosom. Jumlah neutrofil dalam darah akan meningkat apabila terjadi infeksi akut. (Frandson 1992). Nilai neutrofil normal pada sapi perah berkisar 41.2−47.4% (O’Driscol et al. 2009) dan 20.33−26.27% (Sattar dan Mirza 2009). Eosinofil diproduksi pada sumsum tulang belakang dan termasuk jenis leukosit bergranula. Eosinofil memiliki inti berlobus 2, dengan persentase 2‒3% dari seluruh jumlah leukosit dalam darah. Eosinofil banyak diproduksi apabila terjadi invasi oleh parasit, dengan mekanisme menempel pada pada parasit dan melepaskan bahan-bahan yang dapat mematikan parasit tersebut (Frandson 1992). Nilai eosinofil pada sapi perah berkisar 1.5‒2.9% (O’Driscol et al. 2009) dan 3.76‒4.84% (Sattar dan Mirza 2009). Basofil termasuk leukosit bergranul dan berinti dua. Butir basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, serotonin dan beberapa faktor kemotaksis, sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi (Akers dan Denbow 2008). Basofil jarang dijumpai pada sirkulasi darah sapi perah, namun basofil berperan
9 penting saat terjadi reaksi inflamasi dan memiliki kecenderungan untuk menempel pada sel mast (Frandson 1992). Nilai basofil pada sapi perah berkisar 0.6‒1% (Sattar dan Mirza 2009). Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) Stres merupakan respon tubuh terhadap lingkungan akibat adanya cekaman. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan penurunan produktifitas dan kesehatan pada ternak bahkan kematian. Perubahan pada perilaku dan fisiologis pada ternak dapat dijadikan acuan terhadap adanya cekaman yang mengakibatkan stres (Borell 2001). Kondisi kandang dan manajemen pada peternakan merupakan faktor yang dapat memengaruhi stres, terutama pada proses transportasi, penggiringan ternak, dan saat isolasi (Borell 2001). Menurut Kannan (2000), gambaran leukosit dapat dijadikan indikator terhadap stres dengan menggunakan rasio jumlah neutrofil : limfosit (N/L) untuk mengukur indeks stres pada ternak. Pada kondisi stres hormon kortisol akan meningkat mengakibatkan pelepasan jumlah neutrofil dan perpanjangan umur neutrofil, sedangkan limfosit akan mengalami penurunan jumlah, (Kannan 2000). Menurut O’Driscol et al. (2009), nilai rasio N/L pada sapi perah kering kandang di daerah subtropis berkisar 0.76 ̶1.2.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2012. Pengambilan sampel darah bertempat di peternakan rakyat Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS), Pangalengan, Jawa Barat. Analisis darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Sampel yang digunakan adalah sapi perah kering kandang sehat secara klinis pada periode laktasi 2 dan 3. Jumlah sampel sebanyak 24 ekor untuk pengukuran denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu tubuh dan 22 ekor untuk pengamatan gambaran darah, dipilih secara tak acak dari 13 peternak di KPBS Pangalengan. Bahan yang digunakan antara lain, sampel darah, metanol, larutan pewarna giemsa 10%, alkohol 70%, akuades, ethylene diamine tetra acid (EDTA), asam hidroklorida 0.1 N, larutan turk, dan larutan hayem.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, termometer, stetoskop, stopwatch, pipet tetes, hemoglobinometer sahli (pipet hemoglobin 20 mm3, tabung sahli, dan warna standar pembanding), mikroskop, kamar hitung (hemositometer),
10 sentrifus 10 000-20 000 rpm, alat pembaca mikrohematokrit, tabung kapiler, alat penyumbat tabung kapiler, pipet pengencer, kertas saring, dan kaca preparat.
Prosedur Analisis Data Parameter fisiologis meliputi denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, dan nilai hematologi dianalisis secara deskriptif. Pengukuran parameter fisiologis meliputi denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu tubuh pada 3 (pagi, siang, dan sore) waktu yang berbeda dianalisis menggunakan metode analyse of variance (Anova) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan untuk membandingkan perbedaan antar waktu.
Metode Penelitian Denyut Jantung Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan merasakan pulsus tiap menit pada arteri coxygea, selain itu, dapat pula dilakukan pengukuran dengan mengukur jumlah denyut jantung pada daerah intercostae 2 sampai 5 dengan menggunakan stetoskop. Penghitungan diulang sebanyak 2 kali dalam setiap pengambilan data denyut jantung pada pagi (06.00–08.00), siang (12.00–14.00), dan sore (16.00–18.00). Frekuensi Respirasi Pengukuran frekuensi respirasi dilakukan dengan mengamati gerakan daerah thoraks atau kembang kempisnya daerah abdomen tiap menit. Penghitungan diulang sebanyak 2 kali dalam setiap pengambilan data frekuensi respirasi, pada pagi (06.00–08.00), siang (12.00–14.00), dan sore (16.00–18.00). Suhu Rektal Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan memasukkan termometer klinik ke dalam rektum sapi perah. Penghitungan diulang sebanyak 2 kali dalam setiap pengambilan data suhu tubuh ternak, pada pagi (06.00–08.00), siang (12.00–14.00), dan sore (16.00–18.00). Suhu dan Kelembapan Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat termohigrometer pada daerah sekitar kandang. Pengukuran dilakukan setiap jam selama 3 hari berturutturut, hasil yang didapat merupakan rata-rata perhari. Profil Darah Sampel darah dari ternak sapi perah diambil sebanyak 20 ml dari vena coxygea ventralis. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam tabung darah yang telah ditambahkan antikoagulan EDTA dan disimpan di dalam termos es. Satu tetes darah diambil untuk pembuatan preparat ulas darah, kemudian difiksasi menggunakan metanol selama 5 menit. Preparat ulas digunakan untuk menghitung jumlah diferensial leukosit sedangkan darah yang ditambahkan EDTA digunakan untuk menganalisis
11 komponen darah meliputi butir darah merah (BDM), hemoglobin, hematokrit, dan butir darah putih (BDP). Analisis dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisiologis ternak dapat dijadikan indikator kesehatan ternak. Semakin baik kesehatan ternak maka akan berpengaruh positif terhadap produksi ternak. Sapi perah dapat hidup dengan nyaman jika faktor internal dan eksternalnya berada pada batas yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Suhu dan kelembapan merupakan faktor eksternal yang dapat memengaruhi kenyamanan dan produktifitas sapi perah. Sapi perah yang mengalami cekaman panas dapat mengakibatkan produksi yang tidak optimal. Cekaman panas akan menyebabkan sapi FH membutuhkan energi yang lebih besar untuk melepaskan panas tubuh ke lingkungan, sehingga produksi sapi perah tidak maksimal (Suherman et al. 2013). Kondisi cekaman tersebut dapat diketahui melalui hasil pengukuran parameter fisiologis meliputi denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu tubuh, dan hematologi pada sapi perah.
Kondisi Lingkungan KPBS Pangalengan Hasil pengamatan didapatkan suhu lingkungan 17.8±1.46 °C dengan kelembapan 63.99±2.74%. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di KPBS Pangalengan berada pada kisaran zona termonetral, sehingga mampu memengaruhi kesehatan dan produktifitas sapi perah. Lingkungan dengan suhu dan kelembapan tersebut dapat memberikan kenyamanan pada sapi perah, karena tidak membutuhkan energi berlebih untuk menyeimbangkan kondisi tubuh dalam proses metabolisme pelepasan dan penyimpanan panas tubuh. Menurut McNeilly (2001), sapi FH akan nyaman apabila kondisi lingkungan berada pada Thermo Neutral Zone (ZTN), dengan kisaran suhu 13–25 °C dan kelembapan 50–60%. Di luar kondisi tersebut sapi akan mudah mengalami stres cekaman suhu, terutama panas. Hal tersebut mengakibatkan tubuh tidak dapat mengeluarkan lagi panas yang diterima dari lingkungan, sehingga tubuh dipaksa untuk meningkatkan laju metabolisme dalam proses pelepasan panas. Keadaan tersebut akan meningkatkan kebutuhan energi dan berdampak pada menurunnya produksi. Kelembapan yang tinggi akan mengakibatkan persentase molekul oksigen di dalam udara berkurang akibat tingginya kadar air diudara, sehingga kandungan oksigen lebih sedikit dan sapi FH harus menyesuaikan secara fisiologis dan secara tingkah laku. Menurut Yani dan Purwanto (2006), pengaruh akibat cekaman panas adalah: 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) peningkatan katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas dari tubuh; 5) peningkatan suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan.
12 Kondisi Fisiologis: Denyut Jantung, Respirasi, dan suhu tubuh Sapi FH Kering Kandang Periode kering kandang dapat memengaruhi respon fisiologis tubuh dan produktifitas ternak, namun hingga saat ini masih belum banyak dilakukan kajian mengenai hal tersebut, sehingga masih sulit menemukan pustaka fisiologis sapi FH pada periode kering kandang terutama di Indonesia. Hasil pengukuran denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH dengan kondisi laktasi dan dara pada daerah lain di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 1 Kisaran nilai parameter fisiologis sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan pada waktu pagi, siang, dan sore hari disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Pengamatan denyut jantung, frekuensi respirasi, dan suhu rektal ternak sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan peternakan sapi FH pada daerah lain di Pulau Jawa.
Parameter Denyut jantung (Kali/menit) Frekuensi respirasi (Kali/menit) Suhu rektal (°C) Suhu Lingkungan (°C) Kelembapan lingkungan (%)
Hasil Pengamatan
Rakhman (2008) Lembang
Suherman Utomo et al. Sudrajad et al. (2010) dan Adiarto (2013) Boyolali (2012) Bogor Baturaden
52.8−70.2
77–89
67-84
67.5−73
18.9−36.6
28–40
27-38
25.1−28.5
25.3-80
37.6−38.6
38.3–38.8
-
35.6−37.0
35.6-39.1
16.4−19.2
18–27
22.8-32
22.7−25.1
22-31
61.2−66.6
75–80.5
60-86.6
81.8−85.2
68-100
46-84
Tabel 2 Gambaran parameter fisiologis ternak sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan berdasarkan pembagian waktu Waktu Siang Pagi a 14 63.4±7.9 59.1±8.8a Denyut jantung (Kali/menit) 14 28.3±8.4a 34.6±8.4a Frekuensi Respirasi (Kali/menit) 14 37.6±0.8a 38.3±0.5b Suhu Rektal (°C) Keterangan: Superscript huruf yang berbeda pada baris yang sama perbedaan yang nyata pada taraf p< 0.05 Respons Fisiologis
N
Sore 57.1±7.1a 32.6±4.7a 38.2±0.5b menunjukkan
Pengamatan kondisi fisiologis sapi FH kering kandang di KPBS Pangalengan menunjukkan kisaran denyut jantung 52.8−70.2 kali/menit. Secara umum nilai tersebut tidak menunjukkan perbedaan dengan pustaka yang ada. Hasil pengamatan yang didapat masih dalam kisaran yang sama dengan hasil penelitian sapi FH laktasi yang dilakukan oleh Utomo et al. (2010) di Boyolali yaitu, 67.5−73 kali/menit,
13 Sudrajad dan Adiarto (2012) pada sapi FH laktasi 46−84 kali/menit di wilayah Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Baturraden, dan Suherman et al. (2013) pada sapi FH dara adalah 67−84 kali/menit di daerah Bogor. Namun sedikit ada perbedaan dengan data yang dilaporkan oleh Rakhman (2008) pada sapi FH laktasi di Lembang, yaitu 77–89 kali/menit. Hal ini kemungkinan karena dilaporkannya keadaan manajemen perkandangan dan pakan yang buruk pada peternakan dilokasi tersebut, sehingga kondisi ternak tidak nyaman. Lingkungan yang tidak nyaman dapat direspon oleh ternak dengan pelepasan panas tubuh ke lingkungan sebagai mekanisme termoregulasi. Salah satu upaya ternak adalah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung untuk mempercepat pelepasan panas metabolisme tubuh melalui sirkulasi perifer (Suprayogi et al. 2013). Selain lingkungan, kualitas pakan dapat memengaruhi peningkatan frekuensi denyut jantung. Hasil penelitian Utomo et al. (2010) menunjukkan, sapi FH yang diberikan kandungan protein 12% pada pakannya, memiliki denyut jantung yang lebih tinggi dibandingkan pemberian protein 10%. Hal ini dikarenakan pakan berkualitas baik akan menghasilkan panas fermentasi yang lebih cepat di rumen, yang berkolerasi positif dengan denyut jantung. Pengamatan kisaran frekuensi respirasi sapi perah di Pangalengan adalah 18.9−36.6 kali/ menit. Secara umum nilai tersebut tidak menunjukkan perbedaan dengan pustaka yang ada. Nilai yang didapatkan masih dalam kisaran yang sama dengan yang dilaporkan pada daerah Bogor oleh Suherman et al. (2013) melaporkan frekuensi respirasi sapi perah berkisar antara 27-38 kali/menit. Laporan Rakhman (2008) pada daerah Lembang berkisar antara 28-40 kali/menit dan Utomo et al. (2010) pada daerah Boyolali 25.1−28.5 kali/menit. Namun nilai tersebut sedikit berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Sudrajad dan Adiarto (2012), yaitu frekuensi respirasi memiliki kisaran 25.3−80 kali/menit. Perbedaan nilai frekuensi respirasi dengan pustaka, diduga akibat perbedaan suhu dan kelembapan lingkungan dari Pangalengan. Frekuensi respirasi merupakan gambaran kebutuhan tingkat metabolisme gas dan pembuangan hasil metabolisme gas dan panas tubuh. Peningkatan frekuensi respirasi salah satu upaya adaptasi ternak dalam melepas panas tubuh ke lingkungan saat heat stress dan mendapatkan O2 yang lebih sedikit di udara akibat kelembapan yang tinggi (Utomo et al. 2010). Menurut Suherman et al. (2013), sistem respirasi pada alveolus dapat mengatur suhu dan kelembapan udara yang masuk ke dalam tubuh agar sesuai dengan suhu tubuh. Peningkatan suhu rektal terjadi apabila tubuh tidak dapat menjaga keseimbangan panas dengan peningkatan frekuensi respirasi dan denyut jantung saat terjadi cekaman panas dari suhu dan kelembapan lingkungan (Sudrajad dan Adiarto 2012). Hasil pengukuran kisaran suhu rektal sapi perah kering kandang adalah 37.6−38.6 °C, nilai tersebut masih berada dalam kisaran yang sama dengan yang dilaporkan Sudrajad dan Adiarto (2012) kisaran suhu rektal pada sapi perah di Baturraden adalah 35.6−39.1 °C dan Utomo et al. (2010) di Boyolali adalah 35.6−37.0 °C. Pengamatan fisiologis sapi perah pada Tabel 2 menunjukkan frekuensi jantung dan respirasi tidak berbeda nyata (P>0.05) pada periode waktu pagi, siang dan sore hari. Hal ini menunjukkan bahwa denyut jantung dan frekuensi respirasi pada sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan secara umum telah beradaptasi terhadap iklim di wilayah tersebut. Namun perbedaan suhu rektal terlihat pada siang dan sore hari, menunjukkan peningkatan dibanding dengan pagi
14 hari. Hal ini diduga akibat perubahan suhu dan kelembapan lingkungan pada siang dan sore hari. Kondisi tersebut merupakan mekanisme homeotermi pada sapi perah yang cenderung mempertahankan panas tubuhnya. Panas yang tersimpan di dalam tubuh akan dilepas secara bertahap sebagai dampak peningkatan suhu dan kelembapan lingkungan pada siang dan sore hari(Frandson 1992). Kondisi fisiologis (denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan suhu rektal) sapi perah berdasarkan iklim di wilayah tersebut, masih berada pada toleransi homeostatis fisiologis sapi perah. Perbedaan suhu dan kelembapan di wilayah KPBS Pangalengan pada pagi, siang, dan sore hari masih dalam kisaran zona termonetral, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap perubahan denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu tubuh sapi perah kering kandang pada periode waktu tersebut.
Kondisi Fisiologis: Profil Hematologi Sapi Perah Kering kandang Kondisi fisiologis sapi perah dapat diamati melalui parameter hematologi, walaupun sampai saat ini masih sulit ditemukan nilai hematologi sapi perah kering kandang di Indonesia, khususnya di Pangalengan. profil hematologi sapi perah kering kandang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Profil hematologi ternak sapi FH kering kandang di KPBS Pangalengan dibandingkan dengan sapi FH kering kandang di daerah subtropis. Nilai Komponen Darah
Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%) Eritrosit (juta/µl) Leukosit (ribu/µl) *
T: 16.4−19.2 °C RH: 61.2−66.6% 9.3−11.3 30.4−36.6 6.5−8.70 7.4−12.8
Sattar dan Mirza (2009) Pakistan T: 11−28 °C* RH: 30−75%* 9.95−11.81 28.14−30.32 4.29−4.81 7.34−8.86
Mirzadeh et al. (2010) Iran T: 18−30 °C* RH: 21−57%* 8.25−11.97 25.89−36.01 5.02−5.54 6.5−11.50
Sumber: World Weather and Climate Information (2013) Hemoglobin Hasil pengamatan sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan didapatkan kisaran nilai hemoglobin adalah 9.3−11.3 g/dl, nilai ini berada dalam kisaran sama dengan yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009) di daerah Pakistan yaitu sekitar 9.95−11.81 g/dl dan juga Mirzadeh et al. (2010) yaitu sekitar 8.25−11.97 g/dl di daerah Iran. Menurut Santosa et al. (2012), kebutuhan O2 meningkat ketika ternak mengalami stres, sehingga berdampak pada peningkatan hemoglobin. Kondisi tersebut mengakibatkan meningkatnya laju metabolisme dari tubuh saat cekaman panas. Selain itu kadar O2 yang tipis di udara sebagai akibat relatif tingginya kelembapan udara juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah. Penelitian ini tidak menunjukkan tanda-tanda adanya peningkatan hemoglobin.
15 Hematokrit Hematokrit atau packed cell volume (PCV) merupakan persentase volume darah yang terdiri dari sel-sel darah merah (Frandson 1992). Hasil perhitungan PCV pada sapi perah kering kandang di Pangalengan adalah 30.4−36.6%, nilai tersebut masih berada dalam kisaran sama dengan yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009) yaitu 28.14−30.32%, dan Mirzadeh et al. (2010), yaitu 25.89−36.01%. Cekaman panas dapat mengakibatkan peningkatan nilai hematokrit, hal tersebut diakibatkan oleh meningkatnya produksi eritrosit dan penurunan plasma darah (Santosa et al. 2012). Peningkatan eritrosit memang terlihat dalam penelitian ini seperti yang disajikan pada tabel 3. Jumlah eritrosit Hasil perhitungan menunjukkan nilai eritrosit pada sapi perah kering kandang Pangalengan adalah 6.5−8.70 juta/µl. Nilai tersebut sedikit lebih tinggi apabila di bandingkan dengan laporan Sattar dan Mirza (2009) berkisar 4.29−4.81 juta/µl, dan Mirzadeh et al. (2010) berkisar 5.02−5.54 juta/µl. Jumlah eritrosit yang tinggi inilah kemungkinan dapat meningkatkan nilai PCV. Tingginya jumlah eritrosit pada sapi perah kering kandang di Pangalengan, diduga merupakan mekanisme adaptasi fisiologis tubuh terhadap kelembapan yang memang relatif lebih tinggi di Pangalengan (63.99±2.74%) dibandingkan dengan kelembapan di Pakistan (30−75%) dan Iran (21−70%) Kondisi tersebut mengakibatkan kadar O2 lebih sedikit di udara. Menurut Ganong (2008) keadaan hipoksia dan berada pada ketinggian tertentu dapat mengakibatkan produksi dari sel darah merah meningkat juga diakibatkan oleh peningkatan laju metabolisme dalam tubuh, salah satunya akibat adanya stres. Jumlah leukosit Menurut Akers dan Denbow (2008) leukosit memiliki perbedaan dengan adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Leukosit memiliki proporsi 1% dari total darah di dalam tubuh, namun memiliki fungsi yang sangat penting dalam sistem imun. Hasil perhitungan leukosit pada sapi perah di Pangalengan adalah 7.4−12.8 ribu/µl. Jumlah tersebut masih dalam rentang yang sama dengan laporan Sattar dan Mirza (2009) berkisar 7.34−8.86 ribu/µl, dan Mirzadeh et al. (2010) 6.5−11.50 ribu/µl. Secara umum gambaran leukosit ini tidak menunjukkan adanya gangguan (infeksi atau peradangan) pada sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan. Profil diferensial leukosit ini dapat dilihat pada tabel 4.
16
Tabel 4. Diferensial leukosit pada sapi perah kering kandang di Pangalengan dibandingkan dengan sapi FH kering kandang di daerah subtropis.
Parameter Leukosit Limfosit (%) Neutrofil (%) Monosit (%) Eosinofil (%) Basofil (%) Rasio N/L
Nilai T: 16.4−19.2 °C RH: 61.2−66.6% 29.60 ̶ 55.60 28.80 ̶ 56.20 0.30 ̶ 4.30 5.50 ̶ 19.7 0.00 ̶ 0.00 0.45 ̶ 1.91
Sattar dan Mirza (2009) Pakistan T: 11−28 °C* RH: 30−75%* 61.39 ̶ 67.21 20.70 ̶ 25.10 5.42 ̶ 15.10 4.16 ̶ 6.64 0.75 ̶ 1.45 -
O’Driscol et al. (2009) Indiana T: 5−28 °C* RH: 43−93%* 45.9 ̶ 52.3 41.2 ̶ 47.4 2.5 ̶ 3.5 1.5 ̶ 2.9 0.76 ̶1.2
*
Sumber: World Weather and Climate Information (2013).
Tabel 4 menunjukkan hasil perhitungan diferensiasi leukosit. Pengamatan terhadap nilai limfosit sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan adalah sekitar 29.60 ̶ 55.60 %. Nilai ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang dilaporkan O’Driscol et al. (2009) yaitu 45.9 ̶ 52.3%. Namun nilai yang didapatkan sedikit lebih rendah dari kisaran yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009) yaitu 61.39 ̶ 67.21. Gambaran nilai neutrofil sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan didapatkan kisaran yaitu 28.80 ̶ 56.20%. Nilai tersebut masih dalam kisaran serupa seperti dilaporan O’Driscol et al. (2009) yaitu nilai neutrofil pada sapi FH kering kandang berkisar 41.2 ̶ 47.4%. Namun nilai neutrofil tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009) yaitu 20.70 ̶ 25.10%. Gambaran nilai monosit pada sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan adalah 0.30 ̶ 4.30%, jumlah tersebut masih dalam rentang yang sama dengan laporan O’Driscol et al. (2009) pada daerah Indiana berkisar 2.5 ̶ 3.5%. Tetapi hasil yang didapatkan terlihat masih berada dibawah kisaran nilai monosit yang dilaporkan Sattar dan Mirza (2009), yaitu 5.42 ̶ 15.10%. Gambaran nilai eosinofil pada sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan adalah 5.50 ̶ 19.7%. Nilai ini sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan laporan Sattar dan Mirza (2009) pada sapi perah kering kandang di Pakistan berkisar 4.16 ̶ 6.64% dan O’Driscol et al. (2009) di Indiana berkisar 1.5 ̶ 2.9%. Tingginya jumlah eosinofil pada sapi perah kering kandang di Pangalengan diduga merupakan respon hipersensitifitas akibat adanya invasi oleh parasit dan alergi. Menurut Susilawati dan Affandy (2004), kelembapan dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan invasi ektoparasit dan endoparasit pada peternakan sapi. Gambaran diferensial leukosit lain, yaitu basofil tidak ditemukan dalam analisis. Perbedaan gambaran diferensial leukosit ini mungkin saja terjadi mengingat kondisi iklim dan situasi yang berbeda untuk setiap wilayah.
17 Indeks Stres Menurut Kannan (2000), gambaran leukosit dapat dijadikan indikator terhadap stres dengan menggunakan rasio jumlah neutrofil : limfosit (N/L) untuk mengukur indeks stres pada ternak. Pada Tabel 4 dapat diketahui nilai rasio N/L menurut O’Driscol et al. (2009) pada sapi perah kering kandang di daerah subtropis berkisar 0.76−1.2. Nilai tersebut relatif masih berada pada rentang yang serupa dengan hasil pengamatan N/L yang didapatkan pada sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan berkisar antara 0.45−1.91. Sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan di KPBS Pangalengan masih dalam kondisi nyaman dan tidak mengakibatkan cekaman stres terhadap ternak sapi perah di wilayah tersebut. Walaupun diketahui bahwa kondisi stres tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, namun juga kualitas pakan, manajemen kesehatan, kondisi kandang, dan tranportasi (Borell 2001).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi fisiologis sapi perah kering kandang di peternakan rakyat KPBS Pangalengan masih dalam kisaran normal untuk kondisi iklim di wilayah tersebut. Berdasarkan nilai parameter fisiologi meliputi hematologi, denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu rektal menunjukkan lingkungan di wilayah KPBS Pangalengan berada dalam kondisi yang nyaman untuk sapiperah kering kandang. Nilai rasio N/L memberikan gambaran bahwa lingkungan KPBS Pangalengan masih sesuai untuk ternak sapi perah kering kandang dan tidak menunjukkan tandatanda adanya cekaman terhadap ternak sapi perah.
Saran Penampilan ternak yang baik tidak cukup hanya ditinjau melalui kondisi fisiologis saja, perlu dilakukan kajian terhadap efisiensi kecernaan, produktifitas, dan kualitas susu. Perlu dilakukan pengulangan pengukuran pada waktu yang berbeda dengan penambahan jumlah sapi perah, sehingga nilai yang diperoleh dapat menjadi baseline kondisi fisiologis normal sapi perah kering kandang di KPBS Pangalengan .
DAFTAR PUSTAKA Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animal : USA: Blackwell Publishing Ltd Anggraeni A. 2000. Keragaman produksi susu sapi perah: kajian pada faktor koreksi lingkungan internal. Wartazoa. 9(2): 41-49.
18 Anggraeni A, Y Fitriyani, A Atabany, C Sumantri, dan I Komala. 2010. Pengaruh masa kering kandang, masa kering, masa kosong dan selang beranak pada produksi susu sapi Friesian Holstein di BPPT SP Cikole, Lembang. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor; Indonesia. (ID): Institut Pertanian Bogor. Bahri S, Syafriati T. 2011. Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Strategi di Indonesia Terkait dengan Pemanasan Global dan Perubahan Iklim. Wartazoa Vol. 21 No. 1 Th. 2011. [Balitbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Borell EH. 2001.The biology of stress and its application to livestock housing and transportation assesment. J. of Animal Sci. 79: E260-E267 Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Philadephia (UK): Saundes Company. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Statistik Peternakan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologis Ternak. Ed ke-4. Srigandono B, Praseno K, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animal. Ed ke-4. Ganong W. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah MD, Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, penerjemah; Widjajakusumah MD, editor. Jakarta (ID): EGC. Isnaeni W. 2006. Fisiologis Hewan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea & Febiger Kannan G, Terrill TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S, Amoah EA, Samake S. 2000. Tranportation of goats : effects on physiologica stress respons and live weight loss. J. of Animal Sci. 78: 1 450-1 457. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. Ed ke-2. London (UK): Bailliere Tindall. KPBS. 2011. Latar belakang. [internet]. [diunduh pada 10 agustus 2013]. Tersedia pada http://kpbspangalengan.blogspot.com/ [KPBS] Koperasi Pangalengan Bandung Selatan. 2012. Rekapitulasi Pelayanan Kasus 4 Tahun Terakhir (2009-2012). Bandung (ID): KPBS Pangalengan. McNeilly AS. 2001 Reproduction, fertility, and development. CSIRO Publishing 13:583-590 Mirzadeh KH, Tabatabaei S, Bojarpour M, Mamoei M. 2010. Comparative Study of Hematological parameter according strain, age, sex, physiological kondisi, and season in Iranian cattle. JAVA. 9(16): 2123-2127. Makuza SM, Mcdaniel BT. 1996. Effects of days dry, previ ous days open, and current days open on milk yield of cows in Zimbabwe and North Carolina. J. Dairy Sci. 79:702-709. Mantodang R H, Talib C, Herawati. 2012. Prospek Pengembangan Sapi Perah di Luar Pulau Jawa Mendukung Swasembada Susu di Indonesia. Wartazoa. 22:4 O’Driscoll KKM, Schutz MM, Lossie AC, Eicherl SD. 2009. The effect of floor surface on dairy cow immune function and locomotion score. J dairy Sci. 92(9): 4249-4261.
19 Rakhman A. 2008. Studi pengaruh unsur cuaca terhadap respon fisiologis dan produksi susu sapi perah PFH di desa Cibogo dan Langesari, Lembang, Bandung Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Santosa U, Tanuwiria UH, Yulianti A, Suryadi U. 2012. Pemanfaatan Kromium organik limbah penyamakan kulit untuk mengurangi stres transportasi. JITV. 17(2): 132-141 Santoso. 2008. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Santosa U, Tanuwiria UH, Yulianti A, Suryadi U. 2012. Pemanfaatan Kromium organik limbah penyamakan kulit untuk mengurangi stres transportasi. JITV. 17(2): 132-141 Sattar A, Mirza RH. 2009. Haematological parameters ini exotic cows during gestation and lactation under subtropical conditions. Pakistan Vet J. 29(3): 129-129-132. Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah secara Intensif. Ed ke-2. Bogor (ID): Agromedia Pustaka. Sudrajad P, Adiarto. 2012. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu sapi Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul sapi perah di Baturraden. Di dalam: Prasetyo LH, Damayanti R, Iskandar S, Herawati T, Priyanto D, Puastuti W,Anggraeni A, Tarigan S, Wardhana AH, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2011 jun 7-8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm 341-346. Suherman D, Purwanto BP, Manalu W, Perman IG. 2013. Simulasi artificial neural network untuk menentukan suhu kritis pada sapi Fries Holland berdasarkan respon fisiologis. JITV. 18(1):70-80 Suprayogi A, Satrija F, Tumbelaka LITA, Indrawati A, Purnawarman T, Wijaya A, Noviana D, Ridwan Y, Yudi. 2013. Pengelolahan Kesehatan Hewan dan Lingkungan. Suprayogi A, editor. Bogor (ID): IPB Pr Susilawati T, Affandy L. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produktifitas sapi potong melalui teknologi reproduksi. Lokakarya Sapi Potong. Malang (ID) : Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. hlm : 88-93 Utomo B, Miranti DP, Intan GC. 2010. Kajian termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2009 Agu 13-14; Bogor, Indonesia. Ungaran (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. hlm 263-268. Wardhani S. 2008. Penyimpanan Darah Tali Pusat Prospek Kebutuhan Trend Mimpi Bioteknologi. Program Master Graduate School of Phamaceutical Science, Departement of Pharmacology, Tohuko University Japan World Weather and Climate Information. 2013. Average monthly rainfall temperature sunshine in Pakistan. [Internet]. [diunduh 2013 agus 2]. Tersedia pada: www.weather-and-climate.com/average-monthly-rainfall-temperaturesunshine-in-Pakistan. World Weather and Climate Information. 2013. Average monthly rainfall temperature sunshine in Iran. [Internet]. [diunduh 2013 Agus 2]. Tersedia pada: www.weather-and-climate.com/average-monthly-rainfall-temperaturesunshine-in-Iran.
20 World Weather and Climate Information. 2013. Average monthly rainfall temperature sunshine in Indiana. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 2]. Tersedia pada: www.weather-and-climate.com/average-monthly-rainfall-temperaturesunshine-in-Indiana Yafizham CE. 2006. Gambaran kalsium darah pada periode kebuntingan dan kandungan kalsium dalam susu pada kambing peranakan etawah. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yani A, Purwanto BP. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktifitasnya [ulasan]. Media Petern. 29(1):35-46. Yusdja Y. 2005. Kebijakan ekonomi industri agribisnis sapi perah di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 3(3):257-268.
21
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 13 Juni 1991 dari pasangan Bapak Yasril Islami dan Ibu Fera Indra Yeni. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Penulis lulus dari SMA Pesantren Unggul Albayan Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2009 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama pada Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai Wakil Ketua Kontes Ayam Ketawa Nasional IPB (2012), Kepala Departemen Sosial dan Lingkungan BEM FKH IPB (2011-2012), pengurus Departemen Sosial dan Lingkungan BEM FKH IPB (2012-2013), serta pengurus Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (2011-2013). Selain itu, penulis juga aktif di kegiatan luar kampus sebagai Ketua CSS Mora IPB (2011-2012) Ketua pelaksana Pekan Santri Berprestasi Nasional CSS Mora IPB (2011), tim pengawas Gebyar Prestasi Santri Nasional (2012), pengurus Departemen Minat dan Bakat CSS MoRA IPB (2010), dan pengurus OMDA Minang (2010-2011)