Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
i
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
ii
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
KONVENSI NASIONAL PENDIDIKAN INDONESIA (KONASPI) VII 2012 Tanggal 31 Oktober – 3 November 2012
MEMANTAPKAN KARAKTER BANGSA MENUJU GENERASI 2045
Penyunting Utama: Prof. Dr. Nurfina Aznam, S.U., Apt. Reviewer Ahli: Prof. Sofyan Salam, M.A., Ph.D. Prof. Agus Wahyudin, M.Pd. Dr. Agus Wahyudin, M.Si. Prof. Furqon, M.A., Ph.D. Dr. Harold R. Lumapouw, M.Pd. Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd. Prof. Dr. Kisyani, M.Hum. Prof. Dr. Sarson Pamalato Prof. Dr. I Made Sutama Prof. Dr. Hendyat Sutopo, M.Pd. Dr. KMS. Amin Fauzi, M.Pd.
Prof. Dr. Hamsu A. Gani Prof. Dr. Imam Suyitno, M.Pd. Prof. Dr. Rolex Palilingan, M.S. Dr. Lukman Laliyo, MS. Dr. Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si. Dr. B.P. Sitepu, M.A. Prof. Dr. Bambang Yulianto Dr. Didi Sukyadi, M.A. Prof. Dr. Anas Yasin Prof. Dr. Burhan Nurgiyantoro
Diterbitkan Oleh: UNY Press Jl. Affandi (Gejayan), Gg. Alamanda, Kompleks FT Kampus Karangmalang, Yogyakarta Telp. (0274) 589346 Email:
[email protected] ISBN 978-979-8418-88-4
iii
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Pengantar Proceeding Konaspi VII.
Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045 Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, akhirnya melalui kesiapan kita semua buku Proceeding Konaspi VII dapat terbit. Untuk itu, rasa syukur patut kiranya kita panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, demikian halnya, salawat sudah sepantasnya kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw. Semoga kita mendapatkan syafaatnya di Hari Akhir kelak. Amien. Diperkirakan sejak 2010 sampai 2035 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yakni populasi usia produktif paling besar sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Pada periode ini, Indonesia akan melakukan investasi besar-besaran dalam bidang Sumber Daya Manusia, sebagai usaha untuk menyambut satu abad Indonesia Merdeka, pada tahun 2045. Itulah sebabnya mengapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sangat fokus menyambut momentum ini dengan melakukan pelbagai gerakan pembangunan karakter bangsa. Bagaimanapun pendidikan karakter merupakan kunci sukses membangkitkan Generasi Emas alias Generasi 2045. Lantas apakah pendidikan karakter itu? Sebagaimana ditulis Lickona (1992) bahwa pendidikan karakter sangat terkait dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Jika ketiga hal ini diimplementasikan lebih jauh, maka nilai-nilai karakter dapat diwujudkan melalui sikap antara lain: cinta kepada Allah Swt. dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab; disiplin; mandiri; jujur; hormat; santun; kasih sayang; peduli; kerja sama; percaya diri; kreatif; kerja keras; pantang menyerah; keadilan;baik dan rendah hati; toleran; cinta damai; dan persatuan. Nilai-nilai inilah yang menjadi identitas Generasi 2045. Generasi 2045 merupakan generasi yang jauh dari perilaku amoral, destruktif, anarkis, dan korup, serta sangat dekat dengan perilaku cerdas spiritual, emosional, intelektual, dan sosial. Dengan demikian untuk mewujudkan tercapainya Generasi 2045 ini tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Segala upaya, baik itu pemikiran ataupun tanaga harus dioptimalkan seintegral dan sedemikian rupa. UNY sendiri sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan Kemdikbud mengeluarkan slogan Leading in Character Education sebagai bukti dukungan institusi pada nilai-nilai pendidikan karakter. Demikian halnya dengan Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII tahun 2012 bertemakan “Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045” merupakan salah satu bentuk dukungan institusi pendidikan yang bergabung dalam Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI) dan sekaligus upaya strategis untuk terus menyosialisasikan pentingnya pendidikan karakter menuju terbentuknya Generasi 2045. Dengan menghadirkan keynote speakers, seperti Prof. Dr.Ing. BJ Habibie (mantan Presiden RI); Prof. Dr. Ir. Musliar Kasim, MS (Wamendikbud Bidang Pendidikan); Dr (HC.) Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY); Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso (Dirjen Dikti); Dr. (HC.) Ary Ginanjar Agustian (Pendiri The ESQ Way 165); dan Prof. iv
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed. (Tokoh Pendidikan), dan pemakalah utama, serta pemakalah pendamping konvensi ini diharapkan mampu menghadirkan beragam perspektif mengenai pendidikan karakter dalam upaya membentuk Generasi 2045. Saya berharap kekayaan perspektif ini mampu mendorong setiap insan pendidikan, seperti pemerintah, guru, dosen, pemerhati pendidikan, mahasiswa untuk terus mewacanakan pentingnya nilai-nilai pendidikan karakter dalam menjawab tantangan masa kini dan masa depan bangsa ini. Oleh karena itu, kehendak untuk mem-publish hasil-hasil pemikiran Konaspi VII yang diselenggarakan pada 31 Oktober s.d. 3 November 2012 dalam sebuah Proceedings merupakan hal yang patut kita apresiasi. Betapa tidak, pemikiran para enam (6) pemakalah kunci, 15 pemakalah utama, dan 90 pemakalah pendamping merupakan kekayaan yang sangat berharga. Selain itu, upaya ini merupakan tradisi yang patut dilanjutkan karena karya yang dibukukan merupakan cara yang paling strategis untuk mengekalkan ilmu pengetahuan. Jika tidak, maka pemikiran/ilmu akan sirna bersama angin—Scripta Manent Verba Volant—yang tertulis yang abadi; yang tak tertulis sirna bersama angin. Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Yogyakarta, Oktober 2012 Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Selaku Ketua Umum KONASPI VII 2012,
Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
NIP. 19570110 198403 1 002
v
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
DAFTAR ISI Membangun Keunggulan Kompetitif Sumber Daya Manusia di Era Milenium Ketiga Indonesia Melalui Penciptaan Human Capital dan Sosial Capital Tinneke E.M. Sumual Pendidikan Agama Berwawasan Nusantara sebagai Peningkat Pendidikan Karakter Menyongsong Seabad Kemerdekaan 2045 Hamiyati Menggagas Sosok Ideal Generasi Indonesia 2045 yang Berkarakter dan Kompetitif Achmad Dardiri Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi 2045 Dilihat dari Representasi Ideologi Wacana Tujaqi Fatmah AR. Umar Sosok Manusia Indonesia Unggul dan Berkarakter dalam Bidang Teknologi sebagai Tuntutuan Hidup Era Globalisasi Mukhadis Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi Emas 2045 Anik Ghufron Evaluasi Sosok Pendidik Dalam Perspektif Lintas Profesi Dr. Edy Supriyadi Karakter Mahasiswa Dalam Perannya Sebagai Ko-Produser Jasa Pendidikan Tinggi dan Penerus Bangsa Meta Arief Sosok Ideal Lulusan Pendidikan Vokasi Indonesia Generasi 2045 Bernadus Sentot Wijanarka Pendekatan Technosophy Di Era Singularitas : ‘Membentuk Manusia Unggul Berjiwateknosof Di tengah-tengah Gempuran Teknologi Tinggi Made Agus Dharmadi, S.Pd., M.Pd. Sosok Ideal Manusia Indonesia Emas 2045 (Kenyataan dan Harapan) Dr. Elly Malihah, M. Si Karakter Budaya Akademik dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi FE Universitas Negeri Medan Thamrin Upaya Membentuk Generasi Penerus Bangsa yang Berkarakter Melalui Jalur Pendidikan Suci Rahayu Stres Inoculation Training (Sit): Solusi Efektif Mengelola Stres Belajar Siswa Menuju Generasi Unggul dan Berkarakter Farida Aryani Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional Haerani Nur Karya Sastra sebagai Wahana Pendidikan Karakter Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd. Model Pembelajaran 'Tumpang Sari' untuk Membantu Guru Mengatasi Kesulitan dalam Menerapkan Pendidikan Karakter Terintegrasi Dr. Moeljadi Pranata, M. Pd. Kajian Konsep Pendidikan Karakter Menurut K.H. Ahmad Dahlan Dan Ki Hadjar Dewantara Dyah Kumalasari Pengembangan Penyelenggaraan Sekolah Dasar Bilingual Berkarakter di Bali Utara Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A
1
11 25
35
49 70 77
86 100
110 120
132
141
147 161 171
176
194
204
vi
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Pembentukan Insan yang Berkarakter Melalui Penerapan Multilevel Role Model Berlandaskan Trikaya Parisudha di Sekolah Putu Budi Adnyana Strategi Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi Melalui Penerapan Assessment for Learning (AFL) Berbasis Higher Order Thinking Skills (Hots) Widihastuti Pendidikan Transformatif untuk Menyiapkan Generasi Berkarakter Zainuddin Rekulturisasi Pendidikan Karakter Kewirausahaan di SMK Melalui Peran Kepala Sekolah Nuryadin Eko Raharjo, M.Pd. Peran Pendidikan Fisika dalam Pelestarian Pendidikan Karakter Suparwoto Pendidikan Karakter bagi Generasi Muda di Era Digital Ariefa Efianingrum Membentuk Karakter Anti Korupsi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama di Sulawesi Selatan (Berbasis Kearifan Lokal) Asniar Khumas dan Lukman Revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Warga Negara Indonesia Era Global Samsuri Studi Tentang Praktek Plagiat di Kampus sebagai Langkah Srategis dalam Upaya Pembentukan dan Pengembangan Karakter Bangsa Nonny Basalama Desain dan Konten Kurikulum Pendidikan Dasar Berbasis Karakter untuk Generasi Bangsa 2045 Dr. Mohammad Imam Farisi, M.Pd. Personal Prophetic Leadership Sebagai Model Pendidikan Karakter Bersifat Intrinsik Atasi Korupsi Ahmad Yasser Mansyur “Living Values Educational Program” dalam Pembelajaran Sastra Anak untuk Meningkatkan Karakter Siswa SD Muh. Arafik Reorientasi Inovasi Pembelajaran yang Berbasis Hatinurani Dalam Rangka Pembinaan Karakter Peserta Didik Mohammad Efendi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Peningkatan Kesadaran Risiko Siswa (Tantangan Terhadap Isi dan Modus Pembelajaran PKn) Ridwan Effendi Pengembangan Karakter Bangsa di Akademi Kepolisian Subagyo Model Pendidikan Karakter Studi Hukum ( Pendidikan Karakter Berbasis Pada Hukum Responsif – Progresif Pancasilais) Rodiyah Membangun Karakter Berbasis Nilai Konservasi (Kasus Unnes Semarang) Masrukhi Pengembangan Pendidikan Karakter Berorientasi Budaya Lokal di Sekolah Dasar Drs. Ahmad Samawi, M.hum. Pendidikan Karakter dan Pemberdayaan Kearifan Lokal Dalam PAUD Syamsul Bachri Thalib
222
231 246
258 268 279
290
301
313
329
343
359
375
384 400
412 431 444 456
vii
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Peranan Pendidikan Matematika Realistik dalam Pembentukan Siswa yang Literat dan Berkarakter Sugiman Model Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Budaya Sekolah Di Sekolah Islam Terpadu Salman Al Farisi Yogyakarta Muh Khairuddin Mengembalikan Ruh Pendidikan Menuju Kebermaknaan: Bersumber Kearifan Lokal Berwawasan Global Menuju Insan Berkarakter, Taqwa, Mandiri, dan Cendekia Sukarno Teknik Bibliokonseling untuk Mengasah Kesadaran akan Kepedulian Siswa Nur Hidayah Kelas Kewirausahaan Untuk Sekolah Menengah Kejuruan Tata Boga Sebagai Upaya Menyiapkan Generasi 2045 Badraningsih Lastariwati Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas untuk Mengembangkan Karakter Siswa Menjadi Generasi Indonesia 2045 Moerdiyanto Penguatan Soft Skills Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah (PPM) Sebagai Upaya Peneguhan Karakter Pekerja Bidang Boga Dr. Siti Hamidah Model Pembelajaran Fisika Untuk Mengembangkan Kreativitas Berpikir Dan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal Bali I Wayan Suastra Strategi Menyiapkan Generasi 2045 Melalui Pendidikan Karakter Berbasis Taman Pendidikan Al-Qur’an: Pengalaman Tpa Mta Surabaya Ali Imron Keterkaitan Pendidikan Konsumen Dengan Pembentukan Karakter Bangsa Sri Wening ”Komik” sebagai Media Pendidikan Karakter Siswa Sekolah Dasar Dr. Wenny Hulukati, M. Pd. Peran Pendidikan Karakter Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral Dr. Deny Setiawan, M. Si. Strategi UNG Menyiapkan Guru Profesional Melalui Program PPG SM-3T ‘Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia’ Syarifuddin Achmad Pembelajaran Berargumentasi sebagai Wahana Pembentuk Keberadaban Dawud Pendidikan Karakter Berbasis Multiple Intelligence Prof. Dr. Abd. Kadim Masaong, M. Pd. Pendidikan Berbasis Karakter Membangun Mental Yang Sehat Dr. Awalya, M. Pd. Kons. Pendidikan Karakter Untuk Menyiapkan Generasi 2045 Prof. Dr. Belferik Manullang Fostering Character Education Through Mediating Value Based Physical Activities Bambang Abduljabar and Sri Winarni Pendidikan Karakter Untuk Menyiapkan Generasi Indonesia 2045 Fathur Rokhman Pendidik Seni yang Kompeten untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045 Sofyan Salam
472
481
491 500
511
520
534
544
561 568 578 585
596 608 623 634 648 658 668 681
viii
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Kompetensi Nyata yang Harus Dimiliki oleh Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai Ujung Tombak Pembentukkan Karakter Anak Bangsa Sejak Usia Dini Karmila Machmud, M. A., Ph. D Guru Inovatif dan Kreatif untuk Menyiapkan Generasi 2045 Haryanto,S.Pd.Si. Sosok Guru Ideal dalam Pembangunan Karakter Bangsa: Terus Menerus Belajar Djamilah Bondan Widjajanti Upaya Membudayakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan untuk Menjamin Terwujudnya Guru Profesional Sukir Guru Profesioanal Menuju Generasi Emas Antara Harapan dan Kenyataan Dr. I Wy Dirgayasa, M.Hum Tantangan Kompetensi Guru SD dalam Menangani Anak Kesulitan Membaca Permulaan ( Analisis Kebutuhan Guru SD di Kota Madya Yogyakarta) Pujaningsih, M. Pd. Akukah, sosok Guru yang Dirindukan ? Novri Y. Kandowangko Pembentukan Karakter Calon Guru Teknik (SMK) Yang Humanis Melalui Pengembangan Pendidikan Afeksi Model Konsiderasi dan Rasional Wahid Munawar Membangun Karakter Bangsa Indonesia Masa Depan Melalui Revitalisasi Pendidikan Agama Di Sekolah Dr. Marzuki, M. Ag. Pengembangan Model Inkulkasi Untuk Mempersiapkan Calon Pendidik Profesional yang Berkarakter Dr. Kun Setyaning Astuti, M. Pd. Transformasi Karakter Transendensi Calon Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Prof. Dr. Sri Milfayetty, M. S. Kons. Pembentukan Karakter Kerja Calon Guru Vokasi di LPTK Melalui Pembelajaran Berbasis Kerja di Era Indonesia Emas Budi Tri Siswanto Sistem Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Untuk Mempersiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045 Hasanah Rekonstruksi Desain Sistem Pendidikan untuk Menghasilkan Guru Yang Kompeten dalam Membangun Generasi 2045 yang Berkarakter Lisyanto Leadpreneurial: Sebuah Intangible yang Diperlukan oleh Guru (Pendidik) untuk Menyiapkan Generasi Indonesia 2045 R.A. Hirmana Wargahadibrata, Drs., M. Sc. Ed, CHRP Pendidikan Profesi Guru, Problematika, Dan Alternatif Solusi Luthfiyah Nurlaela Pengembangan Model Pre, In, dan On Service Education untuk Meningkatkan Mutu Tenaga Pendidik Dan Kependidikan di Indonesia Bambang Budi Wiyono Desian Kerja untuk Staff Pengajar untuk Mencapai Kesesuaian dan Kepuasan Kerja Setyabudi Indartono Manajemen Strategi Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi Persaingan Mutu Tri Atmadji Sutikno
690 701 708
715 726
740 754
761
772
785 800
809
821
830
841 849
858 872 887
ix
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Model Pelatihan untuk Mengembangkan Kompetensi Kepribadian Guru Melalui PLPG Sultoni Kemampuan Guru Pendidikan Jasmani dalam Menyusun Rencana Dan Praktek Pembelajaran Bervisi Karakter Dimyati Inovasi Sinergitas Triple Helix dalam Menciptakan Generasi Emas Indonesia yang Berbudi Luhur Raghel Yunginger Evaluasi Kinerja Pengawas Sekolah Menengah di Provinsi Gorontolo Dr. Hamka A. Husain, M.Pd. Pengembangan Guru Berkarakter dalam Perspektif Otonomi Daerah yang Akuntabel Dr. Bambang Ismanto, M.Si Menerobos Absurditas Manajemen Pendidikan Dra. Meike Imbar, M. Pd. Keterampilan Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Berkarakter dalam Upaya Peningkatan Mutu Pembelajaran Karwanto Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Era Otda Nugroho Profesionalitas Pamong Belajar dan Pola Pengelolaan untuk Peningkatannya Dr. M. Djauzi Moedzakir, M. A. Disain Diklat Prajabatan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUDNI, Menyiapkan Fasilitator Bagi Generasi 2045 Supriyono Penguatan Komputer Profesional Tenaga Edukatif sebagai Salah Satu Alternatif Peningkatan Daya Saing Pendidikan Prof. Dr. J. F. Senduk, M. Pd. Model Manajemen Sinergis, Seimbang, dan Setara Antara Pendidik dan Tenaga Kependidikan untuk Mewujudkan Program Continuous Profesional Development Nurul Ulfatin Strategi Pengembangan Kualifikasi dan Kompetensi Guru Program Produktif SMK Samsudi Preparing Education for 21st Century: Inclusive and Education for Sustainable Development (ESD) Case Studies in SMP Tumbuh Yogyakarta (Menyiapkan Pendidikan di Abad 21: Inklusi dan Pendidikan Bagi Pembangunan Yang Berkelanjutan Studi Kasus di SMP Tumbuh Yogyakarta) Sari Oktafiana, S. Sos.
896
910
917 924
939 948
955 970 980
990
1003
1015 1026
1032
x
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Desain dan Konten Kurikulum Pendidikan Dasar Berbasis Karakter untuk Generasi Bangsa 2045 Dr. Mohammad Imam Farisi, M.Pd. FKIP Universitas Terbuka, UPBJJ Surabaya
Abstrak Kelahiran generasi bangsa 2045 diprediksi akan diiringi, dibentuk, dan dicirikan oleh dua fenomena penting, yaitu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dan keterbukaan pemanfaatan kemajuan TIK sebagai konsekuensi globalisasi. Dalam konteks ini, peran pendidikan nasional sangat strategis dan mendasar untuk menyiapkan generasi 2045 yang secara intelektual ”melek TIK” dan secara sosiokultural ”tetap santun dan hormat” terhadap keberagaman khasanah kearifan lokal (local wisdom) yang telah membentuk jatidirinya sebagai bangsa yang beradab. Kurikulum merupakan salah satu komponen penting pendidikan nasional yang bernilai strategis bagi proses penyiapan generasi 2045 yang demikian, karena merupakan bentuk akuntabilitas pendidikan terhadap masyarakat, baik dalam bentuk "academic accountability" maupun "legal accountability". Makalah ini akan mengkaji dan mendeskripsikan tentang desain dan konten kurikulum yang secara struktural dan substansial dikembangkan berdasarkan ”prinsip eklektik”. Sebuah desain dan konten kurikulum yang diharapkan mampu memadukan dua kekuatan karakter generasional yang bersifat komplementer, yaitu “ekologisme” personal dan sosio-kultural, dan “egoisme” keilmuan dan teknologi. Eklektisisme kedua karakter dalam desain dan konten kurikulum ini secara lebih intensif perlu dikembangkan pada jenjang pendidikan dasar, karena pada jenjang ini kurikulum secara lebih sistemik sudah harus mampu mengembangkan dasar-dasar pembentukan ”kecerdasan jamak” sebuah generasi, mencakup kecerdasan sipiritual, linguistikal, matematik, spasial, musikal, kinestetik, inter dan intra-personal, naturalistik, dan eksistensial. Kata kunci: kurikulum, pendidikan dasar, karakter, generasi 2045.
1. Pendahuluan Fenomena penting yang diprediksi akan mengiringi kelahiran, menjadi karakteristik utama, sekaligus pembentuk generasi bangsa 2045 adalah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dan keterbukaan pemanfaatan kemajuan TIK. Pertama, dewasa ini kemajuan TIK dengan segala keunggulannya sudah menyentuh hampir semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali bidang pendidikan. Implikasinya adalah bahwa aktivitas pembelajaran tidak lagi hanya didefinisikan sebatas proses interaksi dan transaksi antara pembelajar dan pebelajar yang terjadi di dalam kelas, melainkan proses berkelanjutan yang dapat berlangsung di dalam maupun di luar kelas. Kedua, keterbukaan pemanfaatan kemajuan TIK sebagai implikasi dari
329
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
globalisasi. Di era keterbukaan TIK ini, tak ada lagi sekat-sekat pemisah sosial, kultural, maupun politik dalam hal penyediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan sumber-sumber belajar bagi peserta didik. Kecenderungan baru dalam hal pengembangan konten belajar berupa sumber-sumber belajar terbuka (open educational resources) menjadikannya semakin bebas dan terbuka, dengan segala dampak negatif atau positifnya (Hylén, 2005; OECD, 2007). Kedua fenomena penting tersebut disadari atau tidak akan mempunyai implikasi dan pengaruh langsung terhadap proses dan hasil pembelajaran, maupun terhadap pola berpikir dan perilaku para peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan yang ideal hakikatnya harus senantiasa bersifat “antisipatoris” dan “prepatoris”, yakni selalu mengacu ke masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, bermutu, dan bermakna (Buchori, 2001). Kurikulum sebagai salah satu komponen penting pendidikan nasional yang bernilai strategis, karena secara substantif kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas pendidikan terhadap masyarakat, baik dalam bentuk "academic accountability" maupun "legal accountability". Prinsip akuntabilitas ini meniscayakan perlunya dikembangkan desain dan konten kurikulum yang tidak boleh hanya membatasi diri pada pengembangan kekuatan intelektualitas (cultivation of the rational powers: academic excellence; atau academic excellence dan cultivation of intellect), karena hanya akan menjadikan pendidikan sebagai institusi “menara gading” (ivory tower), dan melahirkan sebuah generasi bangsa yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat (Hasan, 2006). Berdasarkan prinsip akuntabilitas ini pula, desain dan konten kurikulum khususnya pada jenjang pendidikan dasar juga harus fleksibel terhadap dinamika dan berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yang kini banyak ditengarai dihadapkan pada ”krisis nilai-nilai karakter bangsa”. Komitmen bangsa untuk membangun karakter bangsa melalui pendidikan karakter sebagai grand design bangsa untuk kehidupan generasi mendatang juga harus dianggap sebagai tuntutan, kepedulian dan masalah kurikulum. Secara singkat, desain dan konten kurikulum juga perlu memuat struktur normatif berkenaan dengan nilai-nilai etika, moral, dan kultural dalam realitas kehidupan sosial dan atau konstruksi masyarakat madani masa depan. Desain dan konten kurikulum yang secara struktural dan substansial dipandang mampu mewadahi komitmen dan harapan di atas adalah kurikulum yang dikembangkan berdasarkan ”prinsip eklektik”. Sebuah desain dan konten kurikulum yang dipandang mampu memadukan dua kekuatan karakter generasional yang bersifat komplementer, yaitu “ekologisme” personal dan sosio-kultural, dan “egoisme” keilmuan dan teknologi. Eklektisisme kedua karakter dalam desain dan konten kurikulum ini secara lebih intensif perlu dikembangkan pada jenjang pendidikan dasar, karena pada jenjang ini kurikulum secara lebih sistemik sudah harus mampu mengembangkan dasardasar pembentukan ”kecerdasan jamak” sebuah generasi, mencakup kecerdasan sipiritual, linguistikal, matematik, spasial, musikal, kinestetik, inter dan intra-personal, naturalistik, dan eksistensial. Makalah ini menawarkan paradigma konstruktivisme dan posmodernisme sebagai “structural organizer” kurikulum, khususnya terkait dengan teori “skema” (scheme) atau “skemata” (schemas, schemata), yang dipandang cukup terbuka bagi penerapan prinsip-prinsip kurikulum eklektik.
330
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
2. Pembahasan 2.1. Karakteristik Generasi Bangsa 2045 Istilah ”Generasi 2045” atau ”Generasi Emas Indonesia” (Indonesian Golden Generation) pertama kali dikemukakan oleh Prof. Muhamad Nuh, Mendikbud dalam raker dengan Komisi X DPR tanggal 3 Maret 2011. Mereka adalah anak-anak usia dini (2-5 tahun) yang saat ini mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan akan mengawal bangsa Indonesia pada usianya yang ke-100 tahun. Sebuah rentang waktu yang kerap menandai kebangkitan sebuah peradaban. Mereka yang sekarang pada masa usia dini akan menjadi generasi yang mengendalikan bangsa ini pada tahun 2045”. Tahun 2045 ini, akan menjadi tonggak sejarah bangsa ini karena pada tahun itu Bangsa Indonesia memperingati 100 tahun Kemerdekaannya. Pada tahun itu, bangsa Indonesia akan sudah 100 tahun bebas dari penjajahan. Adalah suatu kewajaran atau bahkan suatu keharusan bahwa tahun 2045 itu dijadikan benchmark untuk menentukan kinerja bangsa ini selama seratus tahun merdeka dari penjajahan dan menentukan daya saing di arena internasional. (Indriyanto, 2012).
Grand design Kemendikbud untuk menyiapkan generasi emas 2045 mendapatkan momentum yang sangat tepat, karena periode tahun 2010—2035 merupakan periode “bonus demografi Indonesia” (demographic dividend), di mana potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif merupakan yang terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia (Kompas, 2012). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 2010 usia muda lebih banyak dibandingkan dengan usia tua. Jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta, sedangkan anak usia 1019 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa. Diprediksi, bahwa pada 2045, mereka yang usia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan yang usia 10-20 tahun berusia 45-54. Pada usia-usia itu merekalah yang akan memegang peran di suatu negara (PRLM, 2012). Berdasarkan isyarat awal yang dikemukakan oleh Mendiknas, ada dua fenomena penting yang dapat diprediksi akan mengiringi kelahiran, sekaligus akan menjadi karakteristik utama, dan pembentuk generasi bangsa 2045. Kedua fenomena tersebut adalah: kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan keterbukaan pemanfaatan kemajuan TIK. Pertama, kemajuan TIK dengan segala keunggulannya sudah menyentuh hampir semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali bidang pendidikan. Revolusi spektakuler teknologi internet (WWW) dari Web 1.0 (1993) ke Web 2.0 (2004), bahkan kini dengan dukungan teknologi tiga dimensi (3-D), telah mampu menciptakan sebuah lingkungan pembelajaran baru di dunia maya (virtual world learning environments) yang lebih menarik dan menantang bagi peserta didik, tak terkecuali mereka yang kini ada di pendidikan dasar (PAUD, TK, SD, dan SMP). Berbagai situs internet nasional dan dunia, menyediakan ruang-ruang dan media-media jejaring sosial online/virtual yang dapat digunakan tidak saja bagi orang dewasa, tetapi juga oleh peserta didik pada pendidikan dasar, baik untuk kepentingan belajar, bermain, maupun untuk membangun relasi-relasi sosial dengan sebaya mereka.
331
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Kedua, keterbukaan pemanfaatan kemajuan TIK sebagai implikasi dari globalisasi. Di era keterbukaan TIK ini, tak ada lagi sekat-sekat pemisah sosial, kultural, maupun politik dalam hal penyediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan sumber-sumber belajar bagi peserta didik. Kecenderungan baru dalam hal pengembangan konten belajar berupa sumber-sumber belajar terbuka (open educational resources) menjadikan pemanfaatannya semakin bebas dan terbuka, dengan segala dampak negatif atau positifnya (Hylén, 2005; OECD, 2007). Kedua fenomena di atas akan menyebabkan terjadinya mobilitas fisik dan nonfisik (termasuk kebudayaan dan peradaban) yang semakin tinggi, dan akan memunculkan dominasi peradaban tertentu, benturan antar peradaban atau terbentuknya konvergensi peradaban. Dalam konteks ini, peran dunia pendidikan menjadi sangat penting dalam membangun peradaban bangsa yang didasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Generasi bangsa 2045 yang harus dibangun oleh sistem pendidikan nasional pun haruslah sebuah “generasi baru” (new generation) yang cerdas komprehensif, yaitu sebuah generasi yang secara intelektual melek TIK, produktif, dan inovatif; dan secara sosio-kultural bermartabat, berahlak mulia, memiliki integritas, damai dalam interaksi sosialnya, sehat dan menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul; ”tetap santun dan hormat” terhadap keberagaman khasanah ”kearifan lokal” (local wisdom) yang telah membentuk jatidirinya sebagai bangsa yang beradab. Karakter generasi baru ini merupakan sebuah keniscayaan generasional, karena kehancuran sebuah bangsa diawali dai kehancuran moral generasi mudanya. 2.2. Peran Kurikulum (Pendidikan Dasar) Menghadapi kedua fenomena penting yang diprediksi akan mengiringi kelahiran, sekaligus akan menjadi karakteristik utama, dan pembentuk generasi bangsa 2045, peran pendidikan, khususnya pendidikan dasar sangat strategis dan mendasar. Koefisien korelasi pendidikan terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) secara keseluruhan adalah 0.99. Hal itu berarti bahwa pendidikan memiliki kontribusi terhadap peningkatan indeks kesehatan dan indeks kesejahteraan (pendapatan per kapita) (Kompas, 2012). Oleh sebab itu, pendidikan dasar perlu didesain lebih cermat sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, serta mampu meletakkan dasar-dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, disamping menyiapkan mereka dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut (UU No. 19/2005). Salah satu komponen atau sub-sistem penting dalam Sisdiknas—khususnya pendidikan dasar—adalah kurikulum. Di dalam makalah ini kurikulum digunakan dalam pengertian ”sebagai ide/pemikiran” (curriculum is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas) (Oliva, 1997:12), bukan kurikulum sebagai dokumen tertulis yang memuat seperangkat rencana dan pengaturan tertulis mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20/2003). Para pakar kurikulum seperti Unruh dan Unruh (1984), Klein (1989), Marsh (1997), dan Olivia (1997) memandang bahwa kurikulum memiliki posisi dan pengaruh strategis dalam keseluruhan proses dan hasil pendidikan. Mereka juga sepakat menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan, sebagai desain
332
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
proses dan hasil pendidikan, dan jantung pendidikan. Dalam posisi demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa proses dan hasil pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan kriteria yang ada dalam kurikulum. Sentralitas peran kurikulum dalam sistem pendidikan dimungkinkan karena kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat, baik dalam bentuk "academic accountability" dan "legal accountability" (Hasan, 2006). Karena itu, desain dan konten kurikulum tidak boleh hanya membatasi diri pada konten semata yang berkenaan dengan bidang kajian keilmuan bagi pengembangan kekuatan intelektualitas (cultivation of the rational powers: academic excellence; atau academic excellence dan cultivation of intellect) (cf. Tanner & Tanner, 1980; Schubert, 1986; Longstreet & Shane, 1993; Print, 1993; Olivia, 1997; Jacobs, 1999). Pembatasan desain dan konten kurikulum hanya pada substansi keilmuan atau intelelektual hanya akan menjadikan pendidikan sebagai institusi “menara gading” yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Desain dan konten kurikulum juga harus fleksibel terhadap dinamika dan berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, yang kini banyak ditengarai dihadapkan pada ”krisis nilai-nilai karakter bangsa”. Komitmen bangsa untuk membangun karakter bangsa melalui pendidikan karakter (Kemkokesra, 2010 ; Kemendiknas, 2010) sebagai grand design bangsa untuk kehidupan masa mendatang juga harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepedulian dan masalah kurikulum. Secara singkat, desain dan konten kurikulum juga perlu memuat struktur normatif berkenaan dengan nilai-nilai etika, moral, dan kultural dalam realitas kehidupan sosial dan atau konstruksi masyarakat madani masa depan, seperti dalam pemikiran kurikulum rekonstruksionisme (cf. Brameld, 1955; 1966; McNeil, 1977); konstruktivisme (Brooks, 1987); dan posmodernisme (Doll, 1993). 2.3. Realitas Kurikulum Pendidikan Dasar Hasil refleksi kritis dan mendalam Buchori (2001) atas pemikiran dan praktik kurikulum di Indonesia hingga dewasa ini, menengarai bahwa sifat ideal kurikulum yang antisipatoris dan prepatoris telah kehilangan momentum untuk mengikhtiarkan pembentukan dan pengembangan kesadaran akan harkat dan martabat bangsa. Dalam analisis dan refleksinya, Buchori mencatat bahwa fenomena tersebut terjadi semenjak tahun 1960-an, di mana sejak itu kurikulum pendidikan telah kehilangan watak kultural yang patut dibanggakan, dicirikan oleh makin menurunnya daya juang generasi di dalamnya dan menipisnya semangat kritis yang telah terbangun. Sistem pendidikan yang kemudian terejawantah dalam kurikulum pendidikan nasional tak ubahnya seperti mesin, sedangkan remote control-nya sepenuhnya berada di birokrasi. Institusi sekolah sama sekali tak memiliki ruang dan daya untuk mengembangkan diri, hanya mengabdi semata-mata pada keputusan dari atas yang lebih sering tak tepat pemikiran dasar maupun praktik pelaksanaannya. Tentang salah kaprah dunia pendidikan di Indonesia tersebut, Buchori menunjuk pada diabaikannya pendidikan kepribadian siswa. Tingkat prestasi, keberhasilan, dan kesuksesan siswa pun, semata diukur dari perolehan nilai yang didapat siswa bersangkutan. Akibatnya, evaluasi program dan evaluasi siswa memiliki ruang masing-masing. Hasil analisis dan refleksi Supriyoko (2001) juga mengungkapkan bahwa kurikulum nasional tidak berhasil menghasilkan kader-kader bangsa yang berkemauan
333
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
tulus dan berkemampuan profesional. Akibatnya, kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, khususnya di bidang sosial dan budaya dicirikan oleh semakin hilang dan menjauhnya jatidiri bangsa dari perilaku masyarakat, utamanya para elite, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Studi Koster (2000) juga mengungkap bahwa dari pembentukan sikap, watak, dan kepribadian siswa, ternyata kurikulum pendidikan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini dapat diamati dari kecenderungan terjadinya kenakalan remaja, kemerosotan moral, dan perilaku menyimpang dari etika kehidupan dan budaya bangsa. Sekolah yang diharapkan menjadi salah satu wahana terjadinya proses transformasi nilai-nilai dan norma-norma sebagai bagian dari pembentukan kepribadian siswa belum menjadi kenyataan. Padahal sekolah dituntut sebagai agen perubahan dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang tidak hanya pandai secara akademik, yang mempunyai keahlian, keterampilan, dan kemampuan intelektual dalam memecahkan masalah, tetapi juga mempunyai integritas moral yang baik.
Hasan juga berpendapat bahwa: Pendidikan kita seringkali hanya sebatas transfer ilmu dan tidak membangun karakter anak didik. Siswa tidak diberi kesempatan untuk merefleksikan dan memposisikan dirinya dalam sistem pendidikan yang semata-mata untuk kepentingan dunia kerja. Kegiatan refleksi yang di dalam pendidikan itu sangat penting, kini telah kehilangan tempat, karena pendidikan kita seringkali hanya berupa transfer ilmu…kurikulum berdasarkan kompetensi juga tidak mengarah ke sana (pembentukan karakter) dan masih berbasis disiplin ilmu... (Pikiran Rakyat, 29 Nopember 2002:20).
Refleksi Suyanto (2003) terhadap terjadinya perubahan kurikulum juga menyimpulkan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia, hingga dengan kurikulum 1994/1999 ternyata tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi tidak bermakna bagi kehidupannya. Menurutnya, pendidikan di Indonesia--mengutip pendapat Freire--mengikuti “banking concept of education”. Lombok (2003) juga memandang bahwa kurikulum menjadi faktor strategis yang telah mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan dasar (SD). Menurutnya, kelemahan pokok kurikulum yang hingga kini masih dipandang menjadi sasaran kritik tajam adalah rendahnya tingkat relevansi, kurang memberi pengalaman belajar kepada siswa untuk membentuk kompetensi, dan lebih ”content oriented”. Padahal, dari total alokasi waktu belajar satu tahun yang berlaku selama ini menurut Lombok yang tertinggi bila dibandingkan dengan Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Di Indonesia seorang siswa menghabiskan waktu untuk belajar di kelas selama 1.428 jam pelajaran, di Korea Selatan 1.156 jam, di Jepang 1.050 jam, dan di Cina 1.124 jam. Artinya terdapat indikasi bahwa efektivitas belajar dan mutu proses pembelajaran tidak berjalan seiring dengan alokasi waktu yang tersedia untuk belajar.
334
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Munculnya persoalan-persoalan kurikulum di atas, jelas bukan sebatas persoalan di tingkat instrumental, metodologikal, atau praktikal. Melainkan sudah pada tataran paradigmatik, yakni kekurangakurasian paradigma yang digunakan sebagai kerangka pemikiran di dalam mengembangkan konstruksi kurikulum (cf. Winataputra, 2001a; 2001b; Hursh & Ross, 2000). Hasil kajian penulis (2001) terhadap kurikulum PIPS-SD, baik kurikulum 1994 (dengan perubahannya tahun 1999), maupun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dasar memperlihatkan pada orientasi paradigma kurikulum “esensialisme”, yang dasardasar teoretiknya dikembangkan menurut “teori struktur pengetahuan” (structure of knowledge theory) dari Jerome Seymour Bruner; Joseph Schwab; M. Belth; Paul Hirst; A.R. King, Jr. & J.A. Brownell, dan R. Peters & Paul Hirst (Price, 1962; Gardner, 1975; Kozulin, 1998). Pada era 1960an, orientasi esensialistik-akademik memang dipandang sebagai “single ruling doctrine for curriculum reform” di Amerika Serikat (Tanner & Tanner, 1980). Dari sisi siswa, kelemahan utama kurikulum esensialistik terletak pada pandangan bahwa mendidik, mendisiplinkan, dan mengajarkan anak hanya bisa dibenarkan manakala mengikuti prosedur dan standar yang sama seperti yang berlaku pada ilmuwan; dan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, dan nilai-nilai, dapat ditransmisikan oleh peserta didik kepada para siswa. Dalam hal ini, siswa hanya diperankan sebagai “penerima pasif” (passive recipient) terhadap realitas dan kebenaran yang secara ontologis berada di luar dirinya (Winataputra, 2001a; 2001b). Sementara menurut pandangan mutakhir, siswa hakikatnya sebagai “subjek pendidikan” (students as a subject of education), sekaligus sebagai “user” dan “sasaran akhir” (the ultimate target), yang eksistensi serta segala kapabilitasnya harus diakui dan dihargai (Sumaatmadja, 2003). Hasil-hasil kajian mutakhir dari perspektis multikultural, juga sampai pada keyakinan bahwa keniscayaan kurikuler esensialistik semacam itu, dapat menghambat perkembangan tahapan progresif kognitif anak, mendistorsi atau merusak “genuine concepts”, “indigenous science”, atau “spontaneous concept” siswa tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari keseharian pengalaman personal, sosial dan kulturalnya di masyarakat; mencabut siswa dari situasi nyata yang menjadi basis pembentukan dan penggunaannya; kurang bermakna bagi siswa; dan menunjukkan adanya “hegemoni atau imperialisme pendidikan” atas diri siswa (Ellis, 1998; Jegede & Aikenhead, 2000; Zamroni, 2001; Stanley & Brickhouse, 2001; Ogawa, 2002). Bahkan, lebih jauh kurikulum esensialistik diyakini dapat mendistorsi atau merusak self-concept siswa yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan identitas atau karakter siswa (Sumantri, 2002). 2.4. Kurikulum Eklektik: Sebuah Rekonstruksi Berdasarkan realitas kurikulum pendidikan dasar di atas, dan sejalan dengan terjadinya perubahan paradigma pendidikan semenjak medio 1980an, dari paradigma “Mainstream Academic Knowledge” ke paradigma “Transformative Academic Knowledge” (Banks, 1995), maka desain dan konten kurikulum pendidikan dasar perlu direkonstruksi tidak hanya berpijak pada satu orientasi pemikiran atau filsafat. Untuk mengakomodasi tantangan dan kebutuhan pembentukan generasi bangsa 2045, maka desain dan konten kurikulum pendidikan dasar perlu direkonstruksi
335
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
menggunakan model pengembangan kurikulum yang bersifat eklektik, berdasarkan prinsip-prinsip “eklektisisme”. Yaitu prinsip yang menegaskan perlunya memilih terbaik dari unsur-unsur struktural kurikulum yang sudah ada sebelumnya, dan mengorganisasi kembali menjadi struktur kurikulum “baru”. Pengembangan kurikulum secara eklektik juga akan menghasilkan struktur kurikulum yang lebih berkualitas, fungsional, ekspresif, kreatif, fleksibel, berimbang, dan holistik terhadap dinamika peserta didik. Meminjam istilah Capra (2000), prinsip eklektisisme di dalam pengembangan struktur kurikulum akan memberikan dua kekuatan yang bersifat komplementer, yaitu “ekologisme” personal dan sosio-kultural dan “egoisme” keilmuan. Dalam upaya merekonstruksi desain dan konten kurikulum pendidikan dasar, makalah ini menawarkan konstruktivisme dan posmodernisme sebagai “structural organizer”, khususnya terkait dengan teori “skema” (scheme) atau “skemata” (schemas, schemata), yang dipandang cukup terbuka bagi penerapan prinsip-prinsip kurikulum eklektik (Farisi, 2006). Dalam kaitan ini, Winataputra (2001a ; 2001b) memprediksi bahwa pandangan konstruktivisme akan menjadi salah satu pilar dari social studies abad 21, menggeser pandangan behaviorisme. Kecenderungan untuk menerima paradigma konstruktivisme juga terlihat di dalam KBK dan KTSP, baik sebagai salah satu prinsip dalam pengembangan kurikulum (Depdiknas, 2002a); maupun dalam pendekatan dan prinsip pengelolaan dan pengembangan kegiatan belajar mengajar (Depdiknas, 2002b). Suyanto (2003) juga memberikan dukungan atas signifikansi paradigma konstruktivisme dalam konteks pemberlakuan KBK/KTSP, karena dipandang lebih mampu memberikan pengalaman bermakna kepada siswa selama proses belajar mereka, dan bisa melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna pula. Skema atau skemata adalah “the structure or organization of actions”, organisasi sistemik, tubuh informasi dan keyakinan individu yang saling berkaitan satu dengan lain sebagai suatu jaringan struktural-fungsional. Skema merupakan bangunan dasar dari pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakan individu terhadap objek, serta menjadi kerangka acuan bagi individu di dalam mengerti, menilai, bersikap, dan bertindak atas objek, yang terdiri dari 3 unsur struktural, yaitu: isi/muatan (content), operasi (operations) atau proses/prosedur (sintax), dan konteks (context) (Piaget & Inhalder, 1971; Kozulin, 1998; Vygotsky, 1986). Isi/muatan (content) adalah jalinan struktural atau organisasional dari pengetahuan individu terhadap objek, serta menjadi kerangka acuan bagi individu di dalam mengerti, menilai, bersikap, dan bertindak atas objek secara rasional-akademis-ilmiah. Operasi (operations) atau proses/prosedur (sintax) adalah operasi-operasi”; atau proses/prosedur (sintax) yang memungkinkan individu memanipulasi, mentransformasikan, menggunakan, dan mengontrol objek dan struktur masing-masing skema sehingga mencapai suatu pengertian dan membangun sebuah struktur operasi. Konteks (context) adalah situasi atau lingkungan—fisikal, psikologis, sosial, dan kultural—yang merupakan bagian integral dan berpengaruh terhadap di dalam cara-cara berpikir, bersikap, menilai, dan bertindak individu terhadap dunianya, serta bagaimana pikiran, sikap, nilai, dan tindakan subjek tersebut dibangun, ditafsirkan, dan dimaknai (Cornbleth, 1991; Gauvain, 2001; Johnson, 2002).
336
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Sejalan dengan struktur skematik tersebut, maka rekonstruksi desain dan konten kurikulum pendidikan dasar secara eklektik mengintegrasikan tiga struktur skematik secara seimbang, yaitu: Pertama, struktur substantif, struktur konseptual, atau ekologi konseptual (Philips, 1987; Suparno, 1997), yang dalam konsep Piaget disebut “isi/muatan”. Struktur substantif/konseptual kurikuler ini terdiri dari bahan-bahan kajian teoretik-keilmuan bidang studi/mata pelajaran. Struktur substantif/konseptual ini sangat dibutuhkan oleh peserta didik sebagai bekal untuk mengembangkan intelektualitasnya (competence to how). Kedua, struktur sintaktik (Philips, 1987), atau dalam konsep Piaget disebut “operasi-operasi”; atau proses/prosedur (sintax) di dalam memperoleh pengetahuan atau bahan-bahan kajian teoretik-keilmuan bidang studi/mata pelajaran. Struktur sintantik/prosedural ini diperlukan oleh peserta didik sebagai bekal untuk mengembangkan keterampilan motoriknya (competence to do). Ketiga, struktur normatif/afektif (Cornbleth, 1991) atau dalam konsep Piaget sebagai “affective schemes” (Thomas, 1979) yang merupakan konteks (context) bagi individu peserta didik untuk mengembangkan, meningkatkan, dan mengontrol muatanmuatan substantif/konseptual dan sintantik/prosedural kurikuler. Struktur normatif/afektif ini sangat dibutuhkan oleh peserta didik sebagai bekal untuk mengembangkan kompetensi kepribadian dan sosialnya (competence to live together, competence to live with others ; competence to discovering others and working toward common values, morales, ethics, norms, or cultures; and competence to be). Dalam keseluruhan unsur-unsur desain struktural kurikulum, konten normatif/afektif ditempatkan pada posisi sentral, dan memiliki tiga fungsi pokok, yakni organisasi, adaptasi, dan kontrol (internal-psikologis, dan eksternal-sosiokultural). Fungsi organisasi adalah fungsi skematik dari konten normatif/afektif kurikulum yang memungkinkan peserta didik mampu melakukan sistematisasi atau penataan pengetahuan intelektualnya menjadi sebuah kesatuan stuktur skematik yang berpijak pada nilai, moral, etika, norma, dan kultur dasar/utama yang melekat pada jatidiri atau karakter dirinya, masyarakat bangsa dan dunia. Fungsi adaptasi adalah fungsi skematik dari konten normatif/afektif kurikulum yang memungkinkan peserta didik mampu menciptakan keseimbangan (equlilibrium) antara proses penyaringan atau modifikasi masukan (assimilation) substantif-akademis dan sintaktik-pedagogis ke dalam konten normatif/afektif kurikulum, sehingga lebih cocok dengan realitas kontekstual peserta didik sebagai bagian dari masyarakat bangsa dan dunia (accomodation). Fungsi kontrol merupakan fungsi strategik atau fungsi eksekutif dari konten normatif/afektif kurikulum, yang memungkinkan peserta didik mampu melakukan kontrol terstruktur terhadap kedua konten komponensial lainnya (substantif dan sintaktik), sehingga tercipta keseimbangan di dalam keseluruhan konten kurikulum yang dipelajarinya. Fungsi kontrol ini sekaligus merupakan “operasi meta-skematik” (metaschematic operation) dalam teori skema, dan memainkan peran penting dalam keseluruhan proses skematisasi dan rekonstruksinya, dan beroperasi sebagai “central values system” bagi individu peserta didik. Beberapa prinsip dasar yang mendasari pemikiran kurikulum eklektik-skematik adalah:
337
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
(1) setiap muatan kurikulum didesain sejalan dengan mekanisme fungsi, operasi, dan struktur skematik yang “internalizable and connected in the form of structured wholes” (cf. Piaget & Inhalder, 1971) (2) pengembangan struktur kurikulum disesuaikan dengan keragaman konteks daerah/ karakteristik daerah, peserta didik, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik (UU no. 15/2005, psl. 17). Dengan demikian pengembangan struktur kurikulum menekankan pada makna negotiating, interacting, dan dialoging dengan keragaman konteks implementasi kurikulum (3) sekuensi atau tata urutan muatan kurikulum diorganisasi atau distruktur berdasarkan prinsip “sirkularitas” (siklus berjenjang). Dalam teori kurikulum ini dikenal sebagai model “continuous spiral” (Russell, 1993); “spiral curriculum” (Bruner, 1978), “a broder horizon” (Saxe, 1991), “widening horizon” (Banks, 1995). Ketiga prinsip kurikulum tersebut sangat penting, agar peserta didik/calon peserta didik mampu mencapai “a develop-mental journey of continuous reconstruction-reweaving the "web of meaning" (Vygotsky, 1986) melalui penyinambungan, penguatan, dan perluasan struktur internal dan sosiokultural peserta didik/calon peserta didik yang terorganisasi secara sistemik. Prinsip ini sangat mengakomodasi pemikiran “kurikulum posmodernisme” yang sangat respek terhadap realitas pendidikan dan sosial yang “kontekstual-fenomenalistik-holistik” (Russell, 1993; Winataputra, 2001a). Dengan demikian, gagasan “kurikulum eklektik-skematik” (eclectical scheme based curriculum) adalah pemikiran yang memandang kurikulum sebagai jalinan struktural-fungsional atau sebagai suatu kesatuan organis dan sistemik dari struktur afektif-normatif; substantif-konseptual; dan sintaktik-prosedural. Gagasan kurikulum ini bersifat ”character based curriculum”, yang diharapkan mampu melahirkan sosok peserta didik berkarakter dan berbudaya dalam konteks kehidupan pribadinya, maupun sebagai warga dan abdi masyarakat, bangsa, dan dunia. Penempatan sentralitas gagasan kurikulum pendidikan dasar pada struktur normatif/afektif sejalan dengan ”paradigma” atau ”mind-set” pembangunan bangsa (Kemkokesra, 2010), dan pendidikan nasional (Kemendiknas, 2010) yang menekankan pada pembangunan karakter bangsa. Gagasan kurikulum ini juga diharapkan dapat menjadi upaya strategis untuk mengantisipasi terjadinya ”krisis nilai-nilai karakter peserta didik”, seperti yang marak terjadi belakangan ini.
3. Penutup Generasi bangsa 2045 adalah sebuah generasi yang secara intelektual ”melek TIK” dan secara sosio-kultural ”tetap santun dan hormat” terhadap keberagaman khasanah kearifan lokal (local wisdom) yang telah membentuk jatidirinya sebagai bangsa yang beradab. Untuk membentuk generasi yang demikian, kurikulum memiliki peran strategis sebagai bentuk akuntabilitas pendidikan terhadap masyarakat. Oleh karena itu, desain dan konten kurikulum perlu didesain berdasarkan ”prinsip eklektik”. Sebuah desain dan konten kurikulum yang diharapkan mampu memadukan dua kekuatan karakter generasional yang bersifat komplementer, yaitu “ekologisme” personal dan sosio-kultural, dan “egoisme” keilmuan dan teknologi. Eklektisisme kedua karakter dalam desain dan konten kurikulum ini secara lebih intensif perlu
338
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
dikembangkan pada jenjang pendidikan dasar, karena pada jenjang ini kurikulum secara lebih sistemik sudah harus mampu mengembangkan dasar-dasar pembentukan ”kecerdasan jamak” sebuah generasi, mencakup kecerdasan sipiritual, linguistikal, matematik, spasial, musikal, kinestetik, inter dan intra-personal, naturalistik, dan eksistensial.
Referensi Banks, J.A. (1995). Transformative challenges to the social sciences disciplines: Implications for social studies teaching and learning. Theory and Research in Social Education, XXIII(1), 2-20. Brameld, T. (1955). Education as Power. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Brameld, T. (1966). Philosophy of Education in Cultural Perspective. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Brooks, M. (1987). Curriculum development from a constructivist perspective. Educational Leadership, 44(4), 63-67 Bruner, J.S. (1978). The Process of Education. Cambrigde: Harvard University Press. Buchori, M. (2001). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius. Capra, F. (2000). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. M. Thoyibi (pen). Yogyakarta: Bentang Budaya. Cornbleth, C. (1991). Research on context, research in context. dalam Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 265-275. Depdiknas. (2002a). Draft Naskah Akademik mengenai Rancangan Undang Undang Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusbangkurrandik. Depdiknas. (2002b). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusbangkurrandik, Depdiknas. Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University Ellis, A.K. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. (6th ed). Boston: Allyn & Bacon. Farisi, M.I. (2001). Rekonstruksi dasar-dasar pemikiran pendidikan IPS berdasarkan perspektif konstruktivisme. Disertasi tidak diterbitkan, Bandung: PPS-UPI. Farisi, M.I. (2006). Dari teori skema ke teori kurikulum: Rekomendasi untuk kurikulum pendidikan IPS-SD. Didaktika, Vol.1 No.2 September 2006:156-175 Gardner, P.L. (1975). Science and the structure of knowledge. Dalam P.L. Gardner (eds). The Structure of Science Education. Australia: Longman. 1-40. Gauvain, M. (2001). The Social Context of Cognitive Development. New York: The Guilford Press. Hasan, S.H. (2002, 29 November). Pendidikan sering hanya sebatas transfer ilmu, tidak membangun karakter siswa dan nilai sosial. Pikiran Rakyat.
339
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Hasan, S.H. (2006). Kurikulum dan tujuan pendidikan. Makalah disampaikan dalam studium generale siswa baru sekolah pascasarjana UPI tahun akademik 20062007. Bandung: PPS-UPI. Hursh, D.W. & Ross, E.W. (2000). Democratic social education: social studies for social change. dalam Hursh, D.W. & Ross, E.W. (eds). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. New York & London: Falmer Press. 1-22. Hylén, J. (2005). Open educational resources: Opportunities and challenges. Retrieved from www.oecd.org/dataoecd/5/47/37351085.pdf Indriyanto, B. (2012, 30 Maret). Menyiapkan generasi 2045. tersedia di: http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-generasi-2045. Jacobs, M. (1999). Curriculum, in Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton: Heinemann Higher and Further Education. Jegede, O.J. & Aikenhead, G.S. (2000). Transcending Cultural Border: Implications for Science Teaching. Tersedia di: http://www.
[email protected]. Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Leraning. California:Corwin Press, Inc. A Sage Publications Company. Kemendiknas. (2010) Disain Induk Pendidikan Karakter, Jakarta: Kemdiknas. Kemkokesra. (2010) Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa , Jakarta: Kemko Kesejahteran Rakyat. Klein, M.F. (1986). Curriculum reform in the elementary school: Creating your own agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University Kompas. (2012, 17 Agustus). Mendikbud kembali ingatkan soal bonus demografi. Tersedia di: http://www.dikti.go.id/?p=5094&lang=id Koster, W. (2000). Pengaruh input sekolah terhadap outcome sekolah: Survai di SLTP negeri DKI Jakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No.025, edisi September. Tersedia di: www.depdiknas.go.id/jurnal/25/wayankoster.html. Kozulin, A. (1998). Psychological Tools: A Socio-cultural Approach to Education. London: Harvard University Press. Lombok, J.L.L. (2003). Peningkatan mutu luaran pendidikan dasar dan menengah dalam mendukung terwujudnya perguruan tinggi yang tangguh. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No.044, edisi September. Tersedia di www.depdiknas.go.id/jurnal/25/lombok.html. Longstreet, W.S. & Shane, H.G. (1993). Curriculum for A New Millenium. Boston: Allyn & Bacon. Marsh,C.C. (1997). Planning, management and ideology: Key concepts or undertanding curriculum. London: The Falmer Press. McNeil, J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
340
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
OECD. (2007). Giving knowledge for free: The emergence of open educational resources, Retrieved from http://tinyurl.com/62hjx6 Ogawa, M (2002). Science as the culture of scientist: How to cope with scientism?. Tersedia di: www.ouhk.edu.hk/cridal/misc/ogawa.htm. Olivia, P.F. (1997). Developing the Curriculum. 4th edition. New York: Longman Philip, D.C. (1987). Philosophy, Science and Social Inquiry: Contemporary Methodological Controversies in Social Science and related Applied Fields of Research. Oxford: Pergamon Press. Piaget, J., & Inhelder, B. (1971). The Psychology of the Child. New York: Basic Books Price, K. (1962). Education and Philosophical Thought. Boston: Allyn & Bacon, Inc. Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd. PRLM. (2012, 1 Mei 2012). Hardiknas 2012, Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tersedia di www.pikiran-rakyat.com/node/186763 Russell, D.R. (1993). Vygotsky, Dewey, and Externalism: Beyond the Student/Discipline Dichotomy. Tersedia di http://archive.org/web/20010617154226/http://jac.gsu.edu/Jaconl.html. Saxe, D.W. (1991). Social Studies in Schools: A History of The early Years. New York: State University of New York Press. Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan Stanley, W.B. & Brickhouse, N.W. (2001). The multicultural question recisited. Science Education. 85(1). 35-48. Sumaatmadja, N. (2003). Pembelajaran ilmu pengetahuan sosial pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI, edisi Januari – Juni 2003. 28-35. Sumantri, M. (2002). Pengembangan Potensi Siswa dengan Kurikulum Terpadu untuk menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap dalam bidang Ilmu Perencanaan Kurikulum pada FIP-UPI. Bandung:UPI. Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Supriyoko, Ki. (2001). Menuai dampak pendidikan. Suara Pembaharuan Daily. Suyanto, (2003, 6 Oktober). Persoalan implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Didaktika.. Tanner, D. & Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc. Thomas, R.M. (1979). Comparing Theories of Child Development. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, Inc. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Unruh, G.G. dan Unruh,A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation
341
Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta, 2012
Vygotsy. L. (1986). Thought and Language. Trans. and ed. Alexey Kozulin. Cambridge, MA: MIT P. Winataputra, U.S. (2001a). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS). Disertasi tidak diterbitkan, Bandung: PPS-UPI. Winataputra, U.S. (2001b). Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Mengantisipasi Perubahan Sosial di Era Global. Makalah Seminar Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober. Zamroni. (2001). School and University Colaboration for Improving Science and Mathematics Instruction in School. Paper presented in National Seminar on Science and Mathematic Education. Bandung, August, 21, 2001.
342