KOMPLEKSITAS OTONOMI DAERAH DI INDONESIA (TELAAH TERHADAP ANTISIPASI KONSEPTUAL, POLITIK DAN BIROKRASI) oleh : Sulaeman Fattah Sulaeman Fattah, adalah Widyaiswara di Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI Makasar. Kini sedang menempuh Program Magister di Program Studi Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia daerah menurut undang-undang tidak cukup tersosialisasi ? Mungkinkah fenomena euforia otonomi merupakan refleksi dari sentralisai yang cukup lama ? Mengapa harus ada otonomi khusus, apakah berarti didaerah lain ketidakadilan itu tidak ada ? dan sampai kapan otonomi khusus itu diperlukan ? sudah siapkah birokrasi pemerintah daerah untuk menjalankan tugas-tugas yang diberikan ?
A. Pendahuluan Sejak otonomi daerah diujicobakan melalui mekanisme pemilihan (penunjukan) beberapa daerah/kota sebagai daerah daerah percontohan otonomi, sesungguhnya indikasi akan adanya masalah (konflik kepentingan) antara pemerintah daerah (kabupaten/kota) dengan pemerintah pusat sudah terbaca dengan sangat gamblang. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah persoalan kewenangan dan urusan terhadap suatu bidang pekerjaan, dimana terlalu sering terdengar dan terbaca dari berbagai keluhan pemerintah daerah tentang “urusan diserahkan tapi kewenangannya tetap dipegang” yang juga populer dengan sebutan kepala diserahkan ekornya tetap dipegang, bahkan sering dengan sinisme yang tinggi dengan ungkapan yang negatif yaitu, bengeknya diserahkan tapi enaknya tetap dikuasai. Begitu juga tentang perbedaan pandangan akan persoalan dan penguasaan terhadap asset-asset tertentu yang ada di daerah.
Tulisan ini mencoba menguraikan dari sisi konsepsi tentang otonomi, persoalan politik (kepentingan pusat dan daerah) dan antsipasi birokrasi yang diperlukan, agar esensi otonomi itu sendiri berjalan pada koridor yang benar. Penulis memandang bahwa ada permasalahanpermasalahan konsepsional yang tidak dipahami secara benar dan seragam sehingga menimbulkan persoalan yang urgen untuk diselesaikan secara cepat dan tepat. Begitu juga tentang persoalan politik dan antisipasi birokrasi, sehingga undang-undang tentang pemerintah daerah yang lebih populer dengan undang-undang otonomi daerah mendesak untuk direvisi.
Mendagri Hari Sabarno mengemukakan bahwa, munculnya berbagai masalah mengenai otonomi daerah dan menjadi perdebatan ramai, karena tidak dipahaminya persoalan tersebut (otonomi) secara menyeluruh dalam bingkai negara kesatuan (Media Indonesia, 19/11/01).
Esensi dari otonomi daerah sesungguhnya adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (UU no 22 tahun 99, Surbarkti Kompas/2001, Elcock, 1993, Wasistiono, 2001, Hoessein/Tempo, Oktober, 2001). Guna mewujudkan pelayanan yang berkualitas (lebih baik) maka perlu pemberdayaan kepada daerah dengan memberi kewenangan kepada daerah untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan daerah. Sehingga masyarakat semakin merasakan adanya
Pertanyaan yang relevan dalam hal ini adalah : pada wilayah (domain) mana persoalan itu tidak dipahami? Apakah terjadi kekaburan makna secara konseptual tentang otonomi daerah di Indonesia ? Ataukah tujuan otonomi
26
27 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002
signifikansi dari kualitas pelayanan.
B. Beberapa Indonesia
perbaikan/peningkatan
masalah
desentralisasi
di
Mencermati literatur asing tampak bahwa secara konsepsional pemerintah Indonesia telah mengambil bentuk sendiri dalam format pengertian desentralisasi yang mana desentralisasi di Indonesia tampak disamakan dengan devolusi, yang pada literatur tentang desentralisasi (Cohen dan Peterson, 1999; Hoessein, 2001). Cohen dan Peterson menyebutkan bahwa sebagian besar dari literatur tentang desentralisasi difokuskan pada hanya satu dari empat bentuk desentralisasi (political, spatial, market and administrative) yaitu pada administrative decentralization. Tiga tipe dari desentralisasi administrasi adalah deconcentration, devolution dan delegation (1999:24) sementara itu Hoessein menemukan dari berbagai sumber bahwa konsep inilah yang menghiasi berbagai Laporan Bank Dunia dan organisasi internasional (2001). Definisi dari adminintrative Decentral izion menurut Rondinelli and Nellis, adalah : “…the transfer of responsibility for planning, management, and the raising and allocation of resources from the central gevernment and its agencies to field units of government and its agencies to field units of government agencies, suberdinate units or levels of government, semi autonomous publisc authorities or orporation, area-widw regional or fuctional authorities, or nongovernmental private or voluntary organization” (Cohen dan Peterson, 1999;24)
Pengertian di atas tampak menunjukkan secara jelas bahwa administrative decentralization hanyalah suatu penyerahan sejumlah (beberapa) tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada organ-organ pemerintah dibawahnya atau level pemerintahan di bawahnya. Pengertian ini secara jelas menunjukkan administrative decentralization adalah suatu konsepsi yang jelas berada dan dijalankan dalam bingkai negara sehingga mengherankan bahwa untuk kasus Indonesia terjadi permsalahan yang serius dalam implementasi otonomi daerah. Khususnya munculnya perkembangan dalam pola pemikiran seakan otonomi itu adalah suatu kedaulatan (sovereignty). Pertimbangan konsepsional seperti ini selain munculnya fenomena perilaku beberapa daerah yang kurang kondusif terhadap penegakan negara kesatuan, yang tampak mendasari rencana penggantian kata pemberian “kewenangan” dalam UU No 22 tahun 1999 menjadi pemberian “urusan” dalam rancangan revisi undang-undang 22 tahun 1999. Sementara itu untuk lebih jelas dalam menguraikan tentang desentralisasi (otonomi di Indonesia) perlu diperhatikan pengertian dari tiga tipe administrative decentralization dari Cohen dan Peterson yaitu : 1. deconcentration, is the transfer of authority over specified decisionmaking, financial, and management functions by adminstrative menas to different levels under the jurisdictional authority of the central government (1999;24). 2. devolution, occur when authority is transferred by central gevernment to autonomous local-level governmental units holding corporate status granted under state legislation. However it is possible to yalk about devoluation when a
28 Sulaeman Fattah – Kompleksitas Otonomi Daerah
unitary system decides to adopt a new constitution based on states, regions, or municipalities holding extensive develved powers (1999:26). 3. delegation, refers to the transfer of government decision-making and administrative authority for clearly defined tasks to organizations or firms that are eiher under its indirect control or are independent (1999:27) Cohen dan Peterson tidak menguraikan sama sekali tentang adanya unsur pemisahan (separation) kekuasaan dan kedaulatan antar tingkat pemerintahan sebagai konsekuensi dijalankannya devolution. Dalam hal ini tampak (lebih ditekankan) bahwa devolusi adalah bagian dari desentralisasi yang lebih menekankan pada transfer manajemen pemerintahan. Mengikuti uraian Cohen dan Peterson adalah benar bahwa terjadi diskresi pada tingkat local government sebagai konsekuensi dijalankannya devolusi. Diskresi pada tingkat pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Namun tidak dimaksudkan bahwa pemberdayaan daerah dapat dijadikan dasar untuk memperjuangkan kedaulatan daerah. Serta mengutamakan (mementingkan) daerah masing-masing. Devolusi memerlukan pembuatan perundang-undangan nasional dan dukungan peraturan-peraturan. Rondinelli, Nellis dan Cheema (1983) telah mengingatkan para pembuat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di negara berkembang bahwa formulasi kerangka hukum yang jelas akan berpengaruh terhadap keberhasilan program desentralisasi (Hoessein; 2001). Undang-undang otonomi daerah tampak menjadi dasar untuk berbeda pandangan antara daerah. Anehnya otonomi
daerah tampak menjadi alat (media) bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan kedaulatannya (sovereignity) dibanding mengembang misi utama dari otonomi itu sendiri yaitu bagaimana lebih memberdayakan rakyat (kasus Indonesia). Kecenderungan akan hal ini tampak dari adanya asosiasi pemerintah kabupaten dan kota seluruh Indonesia yang indikasinya tidak hanya merupakan forum komunikasi pembangunan tapi juga forum politik untuk menunjukkan, memperjuangkan dan mempertahankan keberadaannya dewasa ini. Sinjal (Tempo/Oktober 2001) mempertanyakan undang-undang No 22 tahun 1999 yang menghidupkan kembali desa (atau yang disebut dengan nama lain) yang mempunyai susunan asli kedalam subsistem pemerintahan. Menurutnya ini membangun kembali masyarakat hukum adat serta kepemimpinan adat (Tempo:2001). Anekdot yang menarik dalam menanggapi pengaturan batas laut dalam Undang-undang 22 tahun 1999 adalah ketika seorang nelayan Sampang Madura, yang bertikai dengan nelayan dengan nelayan Pamekasan, mereka tidak melanggar batas wilayah laut Kabupaten Pamekasan, mereka hanya mengikuti dan menangkap ikan Sampang yang memasuki wilayah Pamekasan. Beberapa uraian di atas sudah cukup menggambarkan bahwa sesungguhnya terdapat persoalan yang mendasar yang memerlukan pengkajian dan penataan kembali tentang implementasi otonomi daerah di Indonesia. Sebelumnya Cohen dan Peterson telah menekankan bahwa devolusi (desentralisasi di Indonesia) memerlukan banyak peraturan. Namun menurut pandangan pnulis ada dua tingkat masalah yang secara bersama-sama (paralel) mesti dijalankan.
29 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002
Pertama, pada tingkat pemerintah pusat harus ada kejelasan arah dan kemampuan untuk membuat batasan-batasan yang tegas tentang desentralisasi dengan aturan (regulasi) yang tidak menimbulkan multi interpretasi. Pemerintah pusat juga dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan sosialiasi tentang esensi dari otonomi. Terlepas dari mendesaknya tuntutan otononi sebagai akibat dari kegagalan pemerintah pusat dalam menyentuh setiap lapisan masyarakat. Implementasi otonomi yang sekarang ini berjalan juga dijalankan dengan tergesa-gesa, sehingga memberi kesan akan adanya kebutuhan popularitas politik pemerintahan era Habibie pada saat itu. Kedua, pada tingkat pemerintah daerah diperlukan suatu pra-kondisi yang cukup memadai (sufficient) baik itu dalam elit politik di daerah, birokrasi pemerintah daerah maupun masyarakat daerah. Banyak ketidak harmonisan yang terjadi di daerah selama implementasi otonomi daerah, hal ini disebabkan karena tidak adanya cara pandang yang sama antar semua lapisan (segmen) yang ada dalam suatu daerah, tentang esensi dari otonomi daerah. DPRD telah menjadi musuh politik pemerintah daerah (eksekutif), bupati telah menjadi penguasa yang memiliki otonom secara absolut, hubungan antara pengusaha (dunia swasta) dengan pemerintah yang tidak lagi harmonis, dimana banyak pemerintah daerah yang dengan bangga telah menetapkan Perda yang kemungkinan akan mengusir pengusaha di daerahnya.
C. Pergeseran ParadigmaPemerintahan Pembahasan tentang otonomi daerah sebagai langkah maju pemerintah pusat dalam memberdayakan pemerintah daerah, serta lebih meningkatkan kulitas pelayanan kepada masyarakat luas. Memerlukan pemahaman tentang pergeseran peran pemerintah secara ideal. Sehingga akan tercipta arahan yang harmonis dan terkontrol tentang apa yang akan dicapai melalui otonomi daerah. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pemerintah Indonesia selama ini cukup banyak berpihak pada kekuasaannya sendiri dibanding mengemban amanah konstitusi. Pergeseran peran pemerintah harus melibatkan masyarakat dan dunia swasta secara luas dalam kegiatan pembanguana (Thoha, 1999, Tjokroamidjojo, 1999, Idrus, 1999). Diperlukan perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Sistem kekuasaan tidak boleh lagi hanya berada pada satu pusat kekuasaan, melainkan bisa berada pada beberapa pusat kekuasaan. Desentralisasi kekuasaan merupakan isu paling kuat dalam paradigma baru (Thoha 1999). Pergeseran paradigma dalam pemerintahan dapat dikatakan mendapat perhatian yang cukup serius setelah Osborne dan Gaebler (1992) menulis buku tentang Reinventing Government. Dimana mereka merumuskan sepuluh prinsip pemerintahan wirausaha. Satu diantara prinsip tersebut adalah decentralized government :from hierarchy to participation and teamwork. Pemerintah pusat secara umum dapat nilai lamban dalam mengambil keputusan atau membuat kebijakan yang diperlukan bagi daerah. Birokrasi yang panjang dan sentralistik membuat daerah kabupaten dan kota sering
30 Sulaeman Fattah – Kompleksitas Otonomi Daerah
kehilangan momentum yang penting untuk kepentingan pembangunan daerahnya. Menurut Hardjosoekarto desentralisasi berbagai dimensi fungsi dan kewenangan birokrasi ternyata memang menjadi kebutuhan riil pembangunan masa kini (1995). Dalam konteks pergeseran paradigma pemerintah daerah menurut pandangan Leach dan Stewart, ada tiga dimensi yang dapat diidentifikasi dalam arah local government yaitu : 1. dimensi ekonomi; yaitu melihat pada perbedaan pandangan (penekanan) dalam melihat pilihan antara pasar dan lembaga sektor publik dalam pengadaan dan pendistribusian barang (kebutuhan) daerah dan pemberian pelayanan. 2. dimensi pemerintahan; yaitu membedakan antara peran pemerintah daerah yang lemah dan peran pemerintah daerah yang kuat. Hal ini menunjukkan dilema yang sudah populer dari hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang telah berlangsung lama dalam perdebatan tentang peran pemerintah daerah. 3. dimensi bentuk demokrasi lokal (daerah) ; dimensi ini membedakan antara dua dasar (pondasi) yang berbeda atas jangkauan keputusan pemerintah daerah. Hal ini dilihat pada perbedaan penekanan atas
representative democracy dan participatory democray (Leach dkk, 1994:236-237) Secara konsepsional dikenal empat tipe dari sistem pemerintahan daerah yaitu : traditional bureaucrate authority, the residual enabling authority, the market oriented enabler, dan the community oriented enabler (Leach, Stewart, Walash, 1994:283). Menurut Leach dkk, tingkat pilihan yang paling signifikan yang dapat dipilih oleh pemerintah daerah dalam menilai arti dan implikasi dari peran yang dimungkinkan untuk dipilih juga menunjukkan phenomena yang beragam, sebagaimana diungkapkan berikut ini “A few enthusiastically moved in the direction of the residual authority. Many more have operated in a way which is consistent with the position of marketorinted enabler. But the majority of authorities have come to see themselves as community-oriented enablers, at least in the sense of embrancing resposbility for identifying and dealing, directlyor indirecly, with a wide variety of community needs” (1994:243). Proses arah perubahan pemerintah daerah dari tradisional birokrasi ke tiga model peran pemerintah daerah yang lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan digambarkan sebagai berikut :
31 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002
RESIDUAL AUTHORITY
Strong Market Emphasis
Weak Local Government
COMMUNITY ORIENTED ENABLER
Strong Public Sector Emphasis
TRADITIONAL BUREAUCRATIC AUTHORITY
MARKET ORIENTED ENABLER
Menurut Leach dkk (1994 :8) kerangka kerja dan konsep analisis dalam perubahan organisasi dan manajemen sesungguhnya dimodifikasi secara sederhana dari format 7’s dari Mc.Kensey 9shared values, strategy, structure, system, style, staff and skill).
Strong Local Govenment
Dimensi kunci dari analisis perubahan organisasi itu adalah : organisational role and purpose , strategy, structure, culture, processes and system, style, staff management. Leach dkk, melihat bahwa struktur, proses, strategi dan budaya orgnisasi yang
32 Sulaeman Fattah – Kompleksitas Otonomi Daerah
tepat yang diterapkan oleh pemerintah daerah, diharapkan merupakan interpretasi dari format birokrasi pemerintah daerah yang dimungkinkan “enabling” diterapkan. Menurutnya tidak seperangkat unsur spesifik yang seragam untuk manajemen yang baik dalam keadaan sekarang ini (1994:2). Uraian diatas menunjukkan bahwa yang mendesak untuk dilakukan sesungguhnya adalah penataan birokrasi pemerintah agar dapat mengembang implementasi otonomi daerah itu sendiri. Menurut Hardjosoekarto perlu langkah-langkah antisipasi birokrasi untuk menghadapi tantangan strategi pembangunan nasional. Untuk itu perlu dilakukan : (1) peningkatan terus menerus efensial internal organisasi birokrasi Indonesia ; dan (2) peningkatan dan perluasan terusmenerus keunggulan kompetitif segala sektor kehidupan termasuk beroperasinya birokrasi (1995).
D. Reposisi peran pemerintah daerah Suatu hal yang ironi mengharapkan simpati masyarakat terhadap pemerintah daerah (pemerintah secara umum) jika kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat nya tidak pernah memuaskan. Secara umum disepakati bahwa pmerintah daerah tidak mungkin dapat memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan jika kewenangan dan pemberdayaan terhadap pemerintah daerah juga rendah. Pertanyaan yang muncul adalah seperti apa kewenangan yang harus diberikan kepada pemerintah daerah ? Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah bukan berarti segala urusan tibatiba menjadi milik daerah, sehingga untuk berkoordinasi dengan gubernupun menjadi tidak relevan lagi. Kewenangan lebih tepat diposisikan sebagai media pengaturan dalam rangka lebih meningkatkan partisipasi
masyarakat bangunan.
dalam
kegiatan-kegiatan
pem-
Tema-tema management baru yang bermunculan dalam pelaksanaan pemerintah daerah di baewah pemerintah Consevative pada era kekuasaan Margaret Thatcher misalnya dapat dijadikan sebagai referensi dalam menata pemberdayaan daerah dalam rangka otonomi daerah yaitu : 1. an emphasis on the achievement of the ‘three Es’economy, efficiency, and effectiveness. 2. the need to regard the authority’s clients as costumers whose wishes and needs must be considered in the process of providing public services for them. 3. the establishment of market conditions, through transfering services or assets to private ownership, encouranging competitive tendering for services or ceating internal markets. (Elcock, 1993:155). Mewujudkan hal ini memerlukan proses timbl balik yang memadai, dimana pemerintah daerah namun tidak melepaskan begitu saja kewenangan tanpa arah dan bimbingan yang membuat beberapa pejabat pemerintah daerah mengalami kekagetan kekuasaan. Pada tingkat pemerintah daerah akan lebih baik melakukan penilaian terhadap kondisi internalnya, dan perlu sungguh menumbuhkan komitmen sesuai dengan arah otonomi daerah. Secara sederhana jika kekuasaan itu adalah milik rakyat, ditempatkan pada level maupun kekuasaan itu mesti diamanatkan untuk kepentingan rakyat. Satu hal yang menjadi pertanyaan mungkinkah nasib Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 akan sama dengan undang-undang yang sebelumnya ada. Presiden Megawati dalam sambutannya pada dialog Pusat-Daerah soal penanggulangan kemiskinan menguraikan
33 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002
pelaksanaannya terjadi benturan yang tidak perlu. Pemerintah hanya akan menata ulang sistem tersebut. (Media Indonesia, 19/11/01).
bahwa otonomi hanya sekedar wahana dan sarana untuk mendukung upaya Indonesia membangun dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera, kuat, maju dan mandiri seperti yang dicita-citakan dalam kehidupan berbangsa.
Untuk melihat kemungkinan perubahan undang-undang tersebut dan solusi yang sebaiknya dilakukan menurut salah seorang anggota penyusun undang-undang 22 tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini :
Pemerintah tidak akan menghapus penerapan sistem otonomi daerah untuk kembali ke pola sentralistik, meskipun dalam
1.
2.
3.
4.
5.
Ramlan Surbakti (Anggota Penyusun UU 22/1999) Bupati dan walikota yang tidak bersedia di koordinasi oleh Gubernur. Solusi titik berat otonomi daerah ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi DPRD yang bertindak terlalu jauh melebihi kewenangannya. Solusi satukan kembali Kepala Daerah dengan DPRD tidak lagi sebagai lembaga legislative melainkan hanya sebagai lembaga pengaturan daerah Daerahisme semakin menonjol dalam dua wujud. Solusi (1) perangkat daerah dilepaskan dari kedudukan sebagai bagian pemerintah daerah sehingga terlepas dari intervensi politik (2) sekertaris daerah dan kepala dinas/kepala badan kabupaten/kota diangkat oleh gubernur, sedangkan sekretaris daerah, kepala dinas, kepala badan provinsi diangkat oleh Menteri Dalam Negeri Daerah mengkapling wilayah laut masingmasing. Solusi wilayah laut tidak lagi menjadi bagian dari wilayah daerah otonomi melainkan semata-mata sebagai wilayah kekuasaan pusat Daerah dinilai tidak bertanggung jawab dalam mengelola hutang dalam wilayahntya. Solusi kehutanan tidak lagi menjadi bidang kewenangan daerah otonom melainkanditarik menjadi kewenangan pusat.
1.
2. 3. 4.
5.
Tim Kerja Penyempurnaan UU No. 22/1999 Pasal 4 ayat 2 UU No. 22/1999 daerah tidak mempunyai hirarki satu sama lain. Hal ini merupakan masalah dalam negara kesatuan. Solusi adalah integrasi yang dimodifikasi yang berbeda dengan (sbelumnya) yaitun murni integrated antara desantralisasi dan dekonsentrasi. Juga dipertegas dalam revisi bahwa otonomi tersebut bukan “otonomi kedaulatan”. Istilah “urusan” dalam draf revisi akan dipakai untuk mengganti istilah “kewenangan”. Yang dipikirkan untuk diseragamkan untuk menjadi kompetensi inti adalah pendidikan dasar, kesejahteraan social, ketentraman dan ketertiban, transportasi local dan pelestariaan lingkungn hidup. Laut yang dianggap sebagai pemersatu nasional akan dikembalikan menjadi urusan nasional.
Sumber : disarikan dari harian Kompas, 2 September 2001
Dalam revisi undang-undang nomor 22 tahun 1999, menurut Sudarsono (Kompas, 2 September 2001), tiga unsur utama yang ditonjolkan yaitu kemandirian, kesejahteraan
dan keserasian. Menurutnya hal ini disebabkan karena otonomi daerah ini dilaksanakan dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan antara
34 Sulaeman Fattah – Kompleksitas Otonomi Daerah
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam revisi nanti akan lebih bersifat koordinatif, sub-ordinatif dan bergantung (Kompas, 2 September 2001) Menanggapi usulan rencana revisi undang-undang tersebut, menurut Surbakri pemerintahan Presiden Megawati hanya berlangsung sekitar tiga tahun sampai 2004, karena itu lebih baik memfokuskan diri pada implementasi daripada merevisi sesuatu yang tidak saja belum jelas betul permasalahan sesungguhnya tetapi juga akan menimbulkan reaksi dan goncangan politik yang tidak perlu. Surbakti mengusulkan kepada pemerintah untuk lebih memfokuskan kepada : pertama merumuskan peraturan pelaksanaan yang diperlukan baik secara eksplisit maupun secara implisit yang diperintahkan UU No. 22 th 99, seperti pedoman tentang standar pelayanan minimal dan kriteria dan prosedur pelaksanaan sejumlah bidang kewenangan pemerintah. Kedua membentuk semacam badan pengembangan otonomi daerah yang dipimpin Mendagri. Ketiga, mengambil langkah-langkah awal untuk merevisi UU No. 22 th 99 sebagaimana diperintahkan oleh ketetapan MPR berupa pemberian tugas kepada badan pengembangan otonomi daerah untuk melakukan evaluasi dan kajian awal terhadap isi dan implementasi UU otonomi daerah tersebut. Dua pandangan utama yang mewakili kelompok berbeda tentang otonomi daerah di Indonesia. Tampak diperhadapkan pada polarisasi kekuasaan, yaitu kelompok yang telah berada diluar sistem kekuasaan yang memberikan titik berat otonomi pada kabupaten/kota dan yang sementara berada dalam lingkar kekuasaan yang melihat perlunya penekanan kendali kekuasaan atas nama kerangka Negara Kesatuan. Pemberdayaan daerah melalui otonomi daerah itu disepakati penting tapi bingkai
negara kesatuan adalah jauh lebih penting lagi. Hal ini nampak menjadi tema sentral dari wilayah (domain) perdebatan. Dimana kedua kelompok menjadikan alasan disitegrasi sebagai titik sentral. Secara tersirat bahwa otonomi Indonesia akan kembali kepada setting sentralistik, meskipun di istilahkan dengan integrasi yang dimodifikasi. Menempatkan kembali Bupati dan Walikota sebagai bawahan Gubernur sebagai perangkat pusat, cukup kuat menunjukkan bahwa ada perubahan yang signifikan yang melepaskan kecenderungan munculnya kedaulatan bagi daerah. Suatu kondisi yang secara umum disepakati sebagai suatu kekeliruan dalam kerangka negara kesatuan dalam satu sisi. Namun pada sisi yang lain diharapkan bahwa revisi UU No. 22 1999 tersebut, tidak semakin menimbulkan sinisme dan antipati yang tinggi bagi pemerintah daerah, megingat ditekankannya istilah pemberian “urusan” menggantikan pemberian “kewenangan”. Menurut Hoessein, secara teoritis dan empirik diakui bahwa desentralisasi (devolusi) dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam organisasi negara bangsa. Hubungannya dengan sentralisasi bukan bersifat dikotomi, tetapi merupakan kontinum. Dengan demikian dianutnya desentralisasi dalam organisasi negara bangsa tidak perlu meninggalkan sentralisasi. Tidak ada negara yang menganut desentralisasi 100 % atau sentralisasi 100 % (Hoessein,2001). Pandangan ini dapat menjadi jembatan (pelerai debat) antara dua pandangan yang nuansa politiknya saat ini terasa menjadi lebih kental. Tampak bahwa semakin diperlukan analisis ilmiah yang kritis untuk memposisikan desentralisasi sesuai dengan arwahnya, dibanding berlomba menonjolkan bahwa inilah desentralisasi Indonesia. Mengutip Kelsen (1973) tidak mungkin terdapat total centralization atau total decentralization. Disamping itu, selalu terdapat sejumlah urusan
35 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002
pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi, tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang sepenuhnya diselenggarakan secara desentralisasi. (Hoessein, 2001) Mengikuti uraian di atas tampak bahwa wilayah perdebatan dalam wacana desentralisasi mestinya (harusnya) semua difokuskan pada bagaimana menata sistem pelayanan dan pemberdayaan yang lebih baik pada masyarakat. Tampaknya semakin diperlukan pengkajian yang lebih kritis dan obyektif diantara semua yang berkepentingan. Tanpa terpola ini pusat dan itu daerah.
E. Penutup Mencermati implementasi otonomi daerah di Indonesia dewasa ini dengan dasar
UU No 22 tahun 1999, tampak bahwa ada benih konflik yang belum terselesaikan dengan baik dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah. Implementasi otonomi dijalankan dengan sangat tergesa-gesa yang lebih menonjolkan pendekatan politik, ketimbang melakukan antisipasi birokrasi. Semestinya otonomi daerah adalah transfer manajemen dan bukan transfer politik (kekuasaan atau kedaulatan). Diperlukan sosialisasi dari analisis ilmiah untuk mendudukan desentralisasi dalam perspektif pembangunan negara bangsa. Sehingga pemerintah (negara kesatuan) tidak menjalankan otonomi sebagai kebijaksanaan untuk berbagi kekuasaan. Pemerintah daerah juga perlu memahami esensi dari otonomi itu sendiri, untuk kemudian dapat menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
DAFTAR PUSTAKA Cohen John M. dan Peterson Stehen B, :“Administrative Decentralization”(strategi for Developing Countries) Kumarian Press. USA. 1999 Elcock Howard: Local Governmet dalam “Managing the New Public Services” Edited by David Farnham and Sylvia Horton. The MacMilan.Press Ltd. 1993 Hardjosoekarto Soedarsosno : “Antisipasi birokrasi Menghadapi Tantangan Strategis Pembangunan Nasional”.CSIS. Jakarta, 1995. Hoessein Bhenyamin : “Strategis Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi daerah Dalam Kerangka Good Governance di Indonesia”.Semiloka Nasional LAN, Jakarta 2001 Idrus Muhammad:Sistem pengawasan dan perimbangan untuk mewujudkan Good Governance dalam admnistrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani”. LAN RI, Jakarta 1999 Leach Steve Stewrt John dan Walsh Kieron : ‘The Changing Organisation and management of local Government”.MacMillan Press LTD. England. 1994 Osborne David dan Gaebler Ted (1992) :“Reinventing Government”: How the Enterpreneurial Sprit is Transforming the Public Sector (edisi terjemahan). Pustaka Binaman Pressindo.Jakarta
36 Sulaeman Fattah – Kompleksitas Otonomi Daerah
Thoha Miftah : Membangun Kembali Birokrasi Pemerintah dalam Administrasi Negara Demokrasi dan Masyarakat Madani”. LAN RI, Jakarta 1999. Tjokroamidjojo Bintoro: Agenda Aksi Reformasi Birokrasi dalam admnistrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani”. LAN RI, Jakarta 1999 Wasistono Sadu : “Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah”Alqprint Jatinangor, 2001 Media Indonesia, 19 November 2001 Kompas, 2 September 2001 Tempo, 28 Oktober 2001
37 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002
39 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. April 2002