KOMODIFIKASI KEBENARAN PALSU LEWAT BINGKAI-BINGKAI TONTONAN TELEVISI Artikel Tidak Dipublikasikan Oleh : Yan Yan Sunarya Program Doktor Ilmu Seni Rupa & Desain, Pascasarjana ITB, 2009
Pendahuluan Di era informasi kini, televisi tidak hanya berfungsi sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan, dan kebudayaan, tetapi juga telah tumbuh sebagai sarana bisnis. Informasi telah menjadi komoditas yang dapat diatur menurut selera kekuasaan: kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik, kekuasaan citra, bahkan kekuasaan palsu. Perkembangan yang terjadi menunjukkan bahwa sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi komunikasi, televisi telah tumbuh menjadi industri yang vital dalam pengendalian opini, jajak-pendapat, pencitraan, dst. Denis McQuail (1989) mengatakan, “Media massa (televisi) adalah suatu industri yang tumbuh, yang menciptakan lapangan kerja, memproduksi barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait; media massa juga merupakan suatu institusi yang memiliki aturan dan norma yang menghubungkan dirinya dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya.” “Televisi telah mengurangi dominasi acara fiksinya, namun justru menekankan substansi, semuanya bisa jadi menghadirkan suatu tontonan yang abstrak, selama fragmen-fragmen di dalam tontonan tersebut berinteraksi dengan dunia keseharian yang nyata namun dengan frekuensi intensif dan radikal (During, 2005). Dengan demikian, komodifikasi dalam bingkai tontonan televisi menjadi sorotan saya dalam mengulas kebenaran-kebenaran palsu yang melekat di dalamnya. Era Pertelevisian Semua media televisi tak pernah lepas dari kedua komoditas yang ditawarkannya, yaitu berita yang dijual ke pemirsa, dan pemirsa yang dijual ke kekuasaan pasar. Hal ini menyangkut kekuatan di balik media televisi yang memegang kekuasaan dalam mendefinisikan apa dan siapa yang penting untuk diketahui (berita), apa yang benar (pembentukan opini), maupun apa yang dianggap baik dan buruk (pembentukan nilainilai). Tercatat bahwa, setiap gaya tarik-menarik antara politik dan ekonomi, kebijakan
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 1
pemerintah dan kekuatan pasar, mewarnai setiap pesan yang ditayangkan. Pembahasan yang masuk dalam kategori ini mampu mementahkan euphoria sebagian masyarakat yang menyambut televisi sebagai elemen pendukung demokrasi yang siap menggulingkan para penguasa. Kekuasaan media televisi sebagai tirani, berpusat pada muatan sosiologis pesan-pesan yang ditayangkan dalam bingkai-bingkai tontonan. Neil Postman (1985), mengulas bagaimana televisi sebagai suatu teknologi mempengaruhi cara berpikir kita serta sistem yang kita pakai dalam mencari kebenaran. Berbicara mengenai tontonan televisi, kini bertendensi sebagai wahana pemenuhan kebutuhan psikologis penonton, dan di sisi lain ia tak semata-mata sebagai hiburan, melainkan bermuatan nilai-nilai. Di samping itu, dalam kehidupan sosial kita, terdapat kelompok yang tidak lagi mungkin hidup dalam tataaturan lama. Mereka membutuhkan idiom lain, simbol lain, dan pandangan dunia yang berbeda dibandingkan dengan tatanilai sebelumnya. Hal inilah, sebagian menjadi pemicu tumbuh suburnya kesempatan bagi ruang realitas semu serta kesadaran palsu yang membuahkan kebenaran palsu. Di dalam masyarakat informasi, rata-rata mereka telah mempunyai kesadaran memanfaatkan informasi, mengandalkan informasi dalam segala bidang kehidupan, serta mampu menghasilkan, mengolah, dan memanfaatkan informasi secara efektif dan efesien. Teknologi informasi lantas membudaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Tetapi kesadaran informasi di masyarakat kita masih belum memadai, tercermin pada cara penanganan informasi serta perilaku berkomunikasi. Begitu pula dengan kesadaran menjaga kemutakhiran dan kemurnian informasi, serta kebiasaan menelaah dan mempertanyakan informasi secara terinci belum nampak jelas. Namun demikian, teknologi komunikasi kini telah mengetuk pintu kita untuk dipersilakan atau tidak, ia menjadi tamu penting dalam rumah peradaban kita. Bersamaan dengan perkembangan teknologi yang menopang media televisi, berkembang pula tingkat efektivitas pengaruh media terhadap masyarakat. Kini ia menjadi alat ampuh untuk mengubah budaya. Apalagi televisi sudah menjadi berkaitan dan berpadu dengan media lain. Tatkala kolom-kolom berita suratkabar mengamati monitor televisi untuk mengikuti berita-berita yang paling segar. Begitu pula produser dialog di televisi memperoleh subjek dan tetamunya melalui berita suratkabar. Fiske dan Hartley (1988 : 15) mengatakan, bahwa kata tertulis mempromosikan konsistensi, perkembangan naratif dari sebab ke akibat, universalitas dan abstraksi, kejelasan, dan
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 2
sebuah suara dengan nada tunggal. Televisi, di pihak lain, bersifat sementara, episodik, spesifik, kongkrit dan dramatis. Maknanya disampaikan melalui pembedaan dan penjajaran isyarat yang kontradiksi dan logikanya adalah lisan/gambar (Ahmed, 1993).
Gambar 1: Demontrasi kasus Bank Century yang marak akhir-akhir ini, menampilkan para tokoh yang terlibat, dihadirkan dalam bingkai-bingkai tontonan televisi yang dramatis; walaupun belum tentu benar dan salahnya (Sumber : aneka situs, 2009).
Adapun stasiun televisi telah menjadi simbol demokratisasi di tahun 2010 ini, salah satunya : Metro TV. Menyuguhkan komentar politik yang canggih, kekerasan yang brutal, satir yang biadab, langkah yang cepat, kecaman terhadap kelompok elite yang tak kenal belas kasih, dan eklektikisme yang memesona dalam bingkai-bingkai tontonan untuk menyihir setiap mata pemirsa. Bingkai-Bingkai Tontonan Bingkai-bingkai tontonan di dalam televisi merupakan wujud citraan-citraan yang dibesar-besarkan efeknya, baik itu menghadirkan sesuatu yang penting, atau bahkan menghilangkan yang penting di dalam suatu kekuasaan dalam membingkai tontonan. Bingkai tontonan itu sangatlah kompleks bergantung kepada ideologi, keyakinan, profesi, epistemologi bahkan kekuasaan ekonomi dan politik media. Salah satu poin yang menarik dalam bingkai tontonan ini, bahwa berpikir dalam memersepsi bingkai tontonan itu tidak melulu berpusat di otak, melainkan bergulir di keseluruhan tubuh melalui jaringan hormon dan enzim; dan sifat kimiawi dari hormon dan enzim itu juga tergantung pada “bagaimana kita memandang dan memersepsi dunia yang melingkupi kita” (Marianto, 2006). Dalam bingkai tontonan ini pula, bercerita tentang
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 3
kompleksitas terhadap bingkai-bingkai tontotan berbagai persoalan kemanusiaan. Kompleksitas itu, dan keterbatasan kemampuan manusia menguasainya, lalu mengandaikan keterbukaan terhadap variasi persepsi, penafsiran, dan akhirnya, perbedaan pendapat. Sifat relatif persepsi, penafsiran, dan pendapat seseorang itulah tak lantas mengharuskan kita kehilangan kepercayaan terhadap kemungkinan bahwa di satu sisi, yang disebut suatu kebenaran itu benar-benar ada; dan bahwa di sisi lain, manusia mungkin mencapainya – betapapun mencapai di sini mesti ditafsirkan sebagai (makin) mendekati. Unsur ini memang harus segera disusulkan jika pengakuan terhadap keterbatasan pemikiran manusia vis a vis kompleksitas persoalan yang dihadapinya, cenderung disimplifikasi, terkadang pakai kacamata kuda, pada saat lain, mengidap miopi. Bukan itu saja, “yang lebih parah lagi, batas yang dipaksakan atas persoalan nan kompleks itu sering berupa wujud sikap egoistik kita” (Bagir, 2006).
Gambar 2: Tatapan SBY bak permainan demokrasi visual saja, tanpa memaknai demokratisasi atas kinerja 100 hari pemerintahannya. Demokrasi visual SBY, sebagai pencitraan, bahwa ihwal yang benar-benar dalam realitas itu penting, malah tidak tersentuh! (Sumber : situs, 2009).
Realitas dan ilusi saling berpadu dalam bingkai-bingkai tontonan televisi. Melihat sosok SBY dalam “Today's Dialog” Metro TV dan melihatnya beberapa menit kemudian dalam berita-berita televisi, sudah menciptakan perasaan tidak seimbang. Manakah SBY yang sebenarnya? Ini merupakan konsep pembingkaian, media tidak hanya mendistorsi, tetapi bisa menciptakan karakternya sendiri, melenyapkan yang orisinal. Sekarang masker yang atraktif bisa menyembunyikan persoalan substansial.
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 4
Komodifikasi Segala Ihwal Tontonan Perbincangan mengenai televisi tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut, yaitu kepentingan ekonomi dan kekuasaan, yang membentuk isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkan. Di antara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan yang lebih mendasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai media ruang publik, disebabkan oleh kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri. Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah yang sesungguhnya menjadikan media tidak dapat netral, jujur, adil, objektif, dan terbuka. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Kepentingan ekonomi dan kekuasaan poltik akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh media mengandung kebenaran atau kebenaran palsu; menyampaikan objektivitas atau subjektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas atau mensimulasi realitas. Selain itu, perbincangan mengenai media dalam konteks kepentingan di baliknya, pada kenyataannya, tak dapat dilepaskan dari paradoks pengetahuan yang dihasilkannya: objektivitas/subjektivitas, kebenaran/kepalsuan,
realitas/simulakra,
fakta/rekayasa,
transparansi/kekaburan,
kejujuran/kepalsuan, keadilan/keberpihakan. Berbagai paradoks pengetahuan ini muncul ketika media menjadi bagian dari sebuah sistem ideologi (ideologi ekonomi atau politik) dan sistem kekuasaan, yang sangat menentukan arah perkembangannya dengan mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas (Piliang, 2005).
Gambar 3:
Bingkai-bingkai tontonan yang menggambarkan ketidakpedulian lagi pada akar rumput yang sudah demikian sakit hatinya. Tokoh-tokoh ini telah tercerabut dari kehidupan nyata, mereka hidup di dalam gelimang kompleksitas hiperealitas (Sumber : aneka situs, 2009).
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 5
Komodifikasi ruang publik politik di dalam sistem komunikasi massa kapitalistik (khususnya televisi), secara radikal menghancurkan karakternya sebagai medium ruang publik, disebabkan ruang-ruang kritik yang seharusnya ada di dalam ruang publik kini digantikan oleh model-model komunikasi industri budaya dengan segala aspek permukaan, banalitas, libidinalitas, dan sensasional yang dieksplorasi di dalamnya, dalam rangka meningkatkan penjualan dan keuntungan, yang menciptakan proses depolitisasi, mistifikasi, bahkan sensualisasi ruang publik. Ruang publik politik yang telah ditransformasikan menjadi ruang publik kapitalistik, kini menjadi sebuah panggung fatamorgana, yang di dalamnya dipertunjukkan berbagai kemahiran dalam manipulasi trik dan sensasi citra dalam rangka membangun opini publik yang kini tidak lagi dapat disebut opini publik (Piliang, 2004). Kebenaran-Kebenaran Palsu Tontonan televisi kini, tak lagi merupakan wacana untuk mengkomunikasikan produk baru, ia telah berkembang menjadi bentuk tontonan massa. Citraan tontonan bukan sekadar berupaya untuk menarik perhatian pemirsa guna menonton, melainkan menggiring mereka untuk mempercayai apa-apa yang ditawarkannya. Peran televisi telah mengubah tekanan pada skala dan lokasi usaha dalam memperluas kekuasaannya. Ada kecenderungan baru, bahwa individu dapat mempengaruhi realitas dengan mengenali arah yang dituju oleh masyarakat. Dengan mengenali kekuatan yang membentuk masa depan, dan bukannya kekuatan yang membatasi masa lalu, orang akan memiliki kekuatan untuk menghadapi realitasnya. Yaitu dengan menangkap adanya kesadaran mengunyah informasi yang sama sekali lain. Tiba-tiba saja informasi itu secara tidak disengaja telah memberikan kesadaran baru mengenai realitas lain kepada masyarakat. Di
dalam
kaitannya
dengan
tontonan
televisi,
teori
simulasi
Baudrillard
memandangnya hanya merupakan tanda yang tidak memiliki padanan, kosong atau hampa, tanpa perasaan atau roh, mustahil, apabila diterapkan secara bombastis dan penuh pemaksaan makna. Ia membawa kita melampaui dasar-dasar kenyataan yang merupakan model dari suatu kenyataan tanpa keaslian, namun berubah menjadi sesuatu yang nyata. Dengan frekuensi tontonan dari menit ke menit, menyebabkan kondisi pemirsa akhirnya terbiasa oleh tayangannya. Sehingga tak dapat membedakan
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 6
lagi mana yang merupakan kebutuhan pokok dan mana yang hanya polesan kekuasaan media. Tontonan televisi mempunyai resonansi, apapun konteks sesungguhnya, ia berkemampuan terbang jauh meninggalkan konteks yang terbatas untuk mendapatkan hal kebaruan. Karena caranya mengarahkan kita untuk mengatur pikiran serta menyatukan pengalaman keduniawian, ia meninggalkan bekas yang mendalam pada alam kesadaran dan institusi sosial kita dengan bentuk beragam. Terkadang media tersebut mempunyai daya besar untuk melibatkan dirinya dalam mewujudkan konsepkonsep kesalehan, kebaikan, dan kebenaran. Selain itu ia juga ikut terjalin dalam caracara mendefinisikan serta mengatur konsep-konsep mengenai kebenaran-kebenaran palsu, artifisial, dan penampakan-penampakan. Di satu sisi, ada konsekuensi dari revolusi elektronik ini, bahwa dunia yang diberikan kepada kita melalui tontonan televisi kelihatannya tidak ganjil. Karena hilangnya perasaan ganjil ini, merupakan tanda-tanda bahwa kita telah menyesuaikan diri, dan batasan penyesuaian ini merupakan ukuran batasan perubahan yang telah kita alami. Tetapi penyesuaian diri budaya kita pada epistemologi televisi belumlah lengkap. Sebab kita terlanjur menerima sepenuhnya definisi yang disodorkannya mengenai kebenaran, kaweruh, dan realitas akan ketakselarasan dari apa-apa yang terlihat penuh makna, juga ketakberkaitan logis dari apa-apa yang terlihat sangat masuk akal. Kita semua adalah korban dari model media massa yang menumpu pada hubungan dengan kekuasaan: sebuah transmiter yang tersentralisir, lengkap dengan berbagai rencana politik dan pedagogi yang presisi, yang dikontrol oleh kekuasaan (ekonomi atau politik), mengirimkan berbagai pesan melalui tayangan televisi pada pemirsa. Kita hanya perlu mengajari pemirsa bagaimana cara “membaca” pesan, mengkritisi, hingga terbuka peluang untuk meraih era kebebasan intelektual, era kesadaran kritikal. Kita mengenal televisi pada masa kini, yang menyuguhkan pesan-pesan majemuk yang tak terkontrol, yang dipergunakan oleh setiap individu sebagai bahan untuk menggubah komposisinya sendiri, dengan memencet-mencet tombol remote-control. Apabila performansi budaya akan mengikuti cara ini, akan sangat sedikit kekayaan pemaknaan yang dapat kita raih. bukan karena pertunjukannya ini bersifat “budaya”, tapi ia merupakan sebuah “pertunjukan” dalam pengertian terburuk: sebuah kepalsuan hidup dicuplik di atas panggung agar para penyaksi, dalam keheningan, dapat mengantongi ilusi kehidupan melalui seorang mediator. Sesungguhnya, semua ini merupakan
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 7
kemerosotan masyarakat yang dikenal sebagai “theaterical”. Budaya sebagai bisnis pertunjukan, sebagaimana yang telah kita bicarakan, tidak dapat dielakkan lagi, merupakan produk dari masyarakat teaterikal (Eco, 1987).
Gambar 4:
Paradoks dan ironi yang menjadi motor penggerak bingkai-bingkai tontonan televisi yang saat ini amat populer (Sumber : aneka situs, 2009).
Selanjutnya, pada tataran relevansi sosial dan politik, tentang banyaknya tontonan yang telah mencoba memecahkan masalah yang kompleks ini, bahwa sebuah pernyataan tokoh politik sentral di televisi jika cukup banyak pemirsa yang mempercayainya, maka penyataannya tersebut dianggap kuat. Bisa-bisa apapun yang terjadi sebaliknya dari pernyataan tokoh politik di atas –dikarenakan konsensusnya demikian, maka jadilah keabsurdanpun dapat dirayakan dalam wadah-wadah diskusi atau wacana atas nama penjunjungan kebenaran palsu. Apapun resiko dari komitmen atas kepercayaan yang salah sekalipun. Konsekuensinya ada bagian fakta-fakta yang dinafikan secara sewenang-wenang (arbitrary). Kenyataan ini amat menafikan karakter dasar kenyataan, jadi apa yang dinamakan kebenaran yang sesungguhnya dan kebenaran yang palsu, itu hanyalah permainan manusia dalam meyakinkan para pemirsanya untuk tunduk, laksana kerbau yang dipasangkan cincin di atas hidungnya, yang selalu menurut kemana-mana saat tuannya berjalan. Atau bentuk “ketaklidan”, yaitu memercayai secara membabi-buta, tanpa mengindahkan bahwa ada kebenaran lain di atas kebenaran yang berlaku umum atau tanpa mengkritisi sebelumnya. Permainan yang dimainkan para tokoh politik di atas bingkai-bingkai tontonan televisi ini adalah memberikan kesan kebenaran sejati bagi para pemirsa, atau apapun sebutan namanya, mereka berlomba-lomba mendapat pengabsahan dari kuantitas para pemirsa
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 8
sebanyak-banyaknya.
Jadi
netralitas
bingkai-bingkai
tontonan
televisi
perlu
dipertanyakan sebaik apapun ia mensejahterakan dan mencerahkan umat manusia. Ternyata lantas diam-diam, bahwa isu sentral ini disirami terus-menerus agar berbuah menjadi komoditas yang menguntungkan, ia dikomodifikasikan hingga ke kerakkeraknya, ia tidak pernah dicari jalan keluar atau jalan tengah sebagai manusia yang intelek dan beradab. Masuk ke dalam pergulatan antargladiator-gladiator politik, memperebutkan seonggok citraan-citraan atas kebenaran palsu, demi penyelamatan keabadian kekuasaan.\
Referensi Ahmed, Akbar S., 1993, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Terj., Bandung: Mizan Bagir, Haidar, 2006, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan; During, Simon, 2005, Cultural Studies: A Critical Introduction, NY: Routledge Taylor & Francis Group Eco, Umberto, 1987, Tamasya Dalam Hiperealitas, Terj., Yogyakarta: Jalasutra Marianto, M. Dwi, 2006, Quantum Seni, Semarang: Dahara Prize; Piliang, Yasraf Amir, 2004, Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra; Postman, Neil, 1995, Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi, Terj., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius; Situs : http://kabarnet.wordpress.com/20.../page/4/ (diakses: 12 des 2009) http://parlemen.inilah.com/profi...i-utomo/ (diakses: 12 des 2009) http://www.askindonesia.com/tag/...century/(diakses: 12 des 2009) http://kabarnet.wordpress.com/20.../page/4/(diakses: 12 des 2009) http://thejakartaglobe.com/edito...h/347894 (diakses: 12 des 2009)
Komodifikasi Kebenaran Palsu Lewat Bingkai-Bingkai Tontonan Televisi, Yan Yan Sunarya --- 9