Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Komitmen Pelaku Kemitraan terhadap Efisiensi dan Keberlanjutan Usahatani Kelapa Sawit Plasma Actors Partnership Commitment to Efficiency and Sustainability Plasma Palm Oil Farming A. Rahman 1*) ) Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijya, Jl. Padang Selasa No. 524, Bukit Besar Palembang 30139 Telp. (0711) 354222 sext.107 Fax. (0711) 320310 *) Corresponding author :
[email protected] 1
ABSTRACT This article discusses the commitment of partnership between the farmers and the core company in the development of palm oil plantations. The purpose of this article is to contribute ideas for sustainable palm oil business smallholders in the context of the partnership to be more efficient and sustainable. The review was based on the alleged lack of commitment of the partnership in implementing the principles of partnership that leads to inefficiency and endangerment of the welfare of farmers and business continuity. Commitment of some core companies and farmers are low and lack of discipline in developing plasma estate led to poor quality of the garden so that the impact on low productivity and income of farmers. Besides, it is also found in the commitment of farmers who are still working on the oil palm plantation with over 25 years of age should have been rejuvenated. In midst ofthese problems, the efforts to renew thepartnershipanddiversificationof farm householdsis a solution thatmust be promotedthroughthe support of variousstakeholdersin order tooil palm farmerscanbuildtheir businessesefficiently and sustainably. Key words:commitmen, palm oil, partnership, smallholders ABSTRAK Artikel ini membahas tentang komitmen pelaku kerjasama kemitraan antara petani plasma dan perusahaan inti dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat. Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi keberlanjutan usaha kelapa sawit rakyat dalam konteks kemitraan agar lebih efisien dan berkelanjutan. Penelaahan didasarkan atas adanya dugaan rendahnya komitmen pelaku kemitraan dalam menjalankan prinsip-prinsip kemitraan sehingga menjurus pada inefisiensi dan terancamnya kesejahteraan petani dan keberlanjutan usaha. Komitmen sebagian perusahaan inti dan petani yang rendah dan kurang disiplin dalam membangun kebun plasma menyebabkan rendahnya kualitas kebun sehingga berimbas pada rendahnya produktivitas dan pendapatan petani. Disamping itu juga ditemukan adanya komitmen petani yang masih menggarap kebun kelapa sawit dengan umur diatas 25 tahun yang seharusnya telah diremajakan. Di tengah permasalahan tersebut maka upaya memperbaharui kerjasama kemitraan dan diversifikasi usaha rumah tangga petani merupakan solusi yang perlu terus didorong melalui dukungan berbagai pihak yang berkepentingan agar petani kelapa sawit dapat membangun usahanya secara efisien dan berkelanjutan. Kata kunci: kelapa sawit, komitmen, kemitraan, plasma
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 PENDAHULUAN Kelapa sawit Indonesia kini luasnya mencapai 8,2 juta ha dengan kontribusi ekspor sebesar 22.892,4 ribu ton minyak sawit senilai US$ 17.464,9 (BPS, 2014) dan berhasil menduduki posisi utama produsen sawit dunia.Pencapaian tersebut semestinya jauh lebih besar lagi jika tidak terjadi disharmoni hubungan antara perusahaan inti dan plasma yang kerap terjadi selama ini. Senjang produktivitas yang cukup lebar dimana rata-rata produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat dikisaran 15 ton tandan buah segar (TBS) per hektar sementara produktivitas perusahaan perkebunan 30-35 ton TBS per hektar. Andaikan produktivitasnya seimbang maka angka ekspor minyak sawit tentu akan lebih besar lagi mengingat proporsi luas areal perkebunan besar dan perkebunan rakyat hampir sebanding. Dari data Ditjen Perkebunan (2014), luas areal perkebunan besar kurang lebih 4,5 juta ha dan perkebunan rakyat lebih kurang 3,7 juta ha. Sejak awal perkebunan kelapa sawit rakyat dibangun dengan pola kerjasama kemitraan yang melibatkan Perusahaan Negara (Program Perusahaan Inti Rakyat/PIR) maupun Perusahaan Swastadengan program KKPA (Kredit Koperasi Primer pada Anggota/KKPA). Dengan Undang-Undang Perkebunan serta program Revitalisasi maka mitra usaha usaha petani tidak saja perusahaan negara dan swasta nasional, tetapi juga perusahaan asing.Kemitraan (partneship) dimaksud adalah kerjasama antara perusahaan selaku inti dengan petani selaku plasma dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan maksud meningkatkan kapasitas hidup dan kehidupan usaha secara bersama, berimbang, efisien dan berkelanjutan.Keberlangsungan kerjasama tersebut sangat bergantung kepada seberapa kuat komitmen diantara pihak yang bermitra. Kerjasama yang telah dibangun pada hampir di semua basis kelapa sawit ternyata belum dilandasi oleh komitmen yang kuat dari pelaku kemitraan.Kerjasama kemitraan yangdibangunjustru telah melahirkan berbagai masalah yang menjurus ke arah konflik dan pelanggaran hak asasi manusia diantara kedua pihak inti-plasma. Padahal jauh sebelum ada kemitraan konflik tersebut tidak pernah terjadi dan seharusnya hal itu tidak perlu terjadi jika prinsip-prinsip kemitraan benar-benar dijalankan oleh pelaku kemitraan. Konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitarnya hingga kini masih terus berlanjut tanpa penyelesaian yang mendasar dan adil. Kasus perampasan tanah masyarakat di Buol, di Papua dan tanah SAD (suku anak dalam) di Jambi, dan penembakan petani oleh aparat karena tuduhan mencuri dan menduduki kebun inti di Jambi dan banyak lainnya lagi adalah contoh rendahnya komitmen pelaku kemitraan terhadap pengembangan kebun plasma.Hampir dapat dipastikan bahwa konflik kelapa sawit yang terjadi di Indonesia memiliki kesamaan kronologis permasalahan dan cara penanganan yang pada umumnya menempatkan petani pada posisi yang lemah. Modus pengingkaran terhadap komitmen dapat dilihat dari berlarutnya penyelesaian masalah dan cenderung mengulur waktu, sementara operasional perusahaan terus berjalan. Komitmen adalah suatu perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu yang telah dijanjikan. Makalah ini berusaha untuk menelaah komitmen pelaku kemitraan dilihat dari aspek tujuan pengembangan kebun plasma yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat/petani. Untuk itu penulis mencoba melakukan pendekatan kesejahteraan tersebut dari aspek kepemilikan lahan dan tingkat pendapatan/penerimaan petani yang sekaligus menggambarkan efisiensi dan kepastian keberlanjutan berusaha.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 HAKIKAT KEMITRAAN Konsep kemitraan disektor perkebunan antara perusahaan inti dan pekebun plasma telah diatur secara jelas dalam peraturan Menteri Pertanian nomor 33/Permentan/OT.140/2006 tentang revitalisasi perkebunan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007tentang pedoman izin usaha perkebunan yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 98 tahun 2013 tentang perizinan usaha perkebunan. Setiap perusahaan yang berinvestasi di bidang perkebunan memiliki kewajiban untuk bermitra dengan masyarakat sekitarnya berdasarkan pada asas manfaat dan berkelanjutan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab dan saling memperkuat. Hal ini dimaksudkan guna pemberdayaan dan peningkatan nilai tambah bagi pekebun, karyawan dan/atau masyarakat sekitar, serta untuk menjamin keberlanjutan usaha perkebunan. Dalam peraturan tersebut juga diatur mengenai jenis kemitraaan yang dapat dilakukan yaitu kemitraan pengolahan dan kemitraan usaha. Kemitraan pengolahan dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, terbentuknya harga pasar yang wajar, dan terwujudnya peningkatan nilai tambah kepada pekebun sebagai upaya pemberdayaan pekebun. Kemitraan usaha dapat dilakukan dengan pola penyediaan sarana produksi, kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerjasama operasional, kepemilikan saham dan/atau kerjasam penyediaan jasa pendukung lainnya. Baik kemitraaan pengolahan maupun kemitraan usaha dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban, pembinaan dan pengembangan usaha, pendanaan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan yang ditandatangani keduabelah pihak dengan diketahui oleh bupati/walikota. Model kerjasama kemitraan inti-plasma kelapa sawit sudah lama diterapkan di industri kelapa sawit yaitu sejak dimulainya program PIR (Perusahaan Inti Rakyat) pada tahun 80-an. Keberhasilan pola PIR tersebut menginspirasi kebijakan pemerintah pada periode berikutnya dengan meluncurkan program KKPA (Kredit Koperasi Primer pada Anggota) dan kemudian memperluasnya dengan mengundang investor swasta nasional bahkan asing dalam Program Revitalisasi Perkebunan.Ada kurang lebih 644 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi saat ini dan bergabung dalam wadah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Inonesia (GAPKI). Landasan hukum pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah (Ditjen Perkebunan, 2013):a) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan;b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan;c). Perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri Keuangan/ Dirjen Perbendaharaan dengan Bank Pelaksana (PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera Barat/ Bank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur). Dalam perjanjian antara perusahaan inti dan plasma dapat dipastikan bahwa pembangunan kebun inti dan plasma merupakan satu paket yang utuh tanpa perbedaan perlakuan. Pelaksanaan pembangunan kebun harus memenuhi standar pembangunan unit kebun kelapa sawit yang dapat diukur dari jumlah tegakan dan produksi. Jumlah pokok menurut rekomendasi beberapa lembaga penghasil benih adalah 136pokok/hauntuk jenis tanah mineral dan 150 pokok/ha untuk jenis tanah gambut. Dengan perawatan standar maka pada usia 4 tahun (3 tahun setelah tanam) sudah menghasilkan ±8-12 ton/ha (Pahan, 2002).
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 KOMITMEN PELAKU KEMITRAAN 1. Komitmen Perusahaan terhadap Pembagian Lahan Plasma Peraturan Menteri tersebut merupakan pintu masuk yang sangat lebar bagi para investor khususnya investor swasta untuk berinvestasi di perkebunan kelapa sawit. Pertumbuhan investasi yang terjadi sungguh amat pesat yaitu 14 % per tahun. Luas areal perkebunan besar negara dan swasta lebih kurang 3,5 juta ha jauh melampaui perkebunan besar negara yang berkisar 650 ribu ha (BPS, 2013). Karena semakin terbatasnya lahan, maka hutan dengan hak ulayat atau tanah adat dan tanah masyarakat yang bersedia dikonversi merupakan sasaran ekspansi perusahaan. Dalam melakukan ekspansinya perusahaan mempunyai 2 cara yaitu : 1) bujukan; 2) kekerasan (DTE/http://www.downtoearth-indonesia.org). Cara pertama yaitu melalui bujukan dengan memberikan janji-janji tentang peningkatan kesejahteraan, antara lain dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat desa dengan upah yang layak, menjadikan para petani sebagai petani plasma dengan hasil yang menguntungkan di kebun perusahaan, dan tentang pembangunan infrastruktur dan berbagai kemudahan yang diperlukan oleh desa, seperti sekolah, sarana kesehatan, dan jalan. Pada kenyataannya hampir semua janji tersebut tidak dipenuhi.Ketika cara pertama karena tidak bisa membuat masyarakat bersedia menyerahkan lahannya, maka biasanya perusahaan akan menggunakan cara kedua yaitu paksaan atau kekerasan. Indikasi tersebut amat jelas, misalnya melakukan tekanan melalui aparat desa atau kepolisian, atau menggunakan jasa preman untuk mengancam dan menakut-nakuti masyarakat. Dalam proses pendekatan tersebut, pembangunan sekurang-kurangnya 20 % lahan plasma di kebun inti untuk masyarakat, petani atau pekebun yang tertuang dalam peraturan menteri pertanian diterjemahkan dengan cara bagi lahan milik masyarakat yaitu 20 persen untuk petani dan 80 persen untuk perusahaan. Penelitian Mukhlis et al. ( 2011) mengungkapkan bahwa perubahan secara sepihak isi perjanjian bagi lahan yang semula sudah disepakati oleh perusahaan inti 60:40 dimana 60 % bagian masyarakat dan sisanya bagian perusahaan inti menjadi 50:50 telah terjadi di Kabupaten Muaro Jambi. Namun bagi hasil itu masih lebih baik karena masih diatas ketentuan minimal 20 %, meskipun lebih buruk dari program PIRmaupun KKPA yang menempatkan plasma pada porsi 70 persen. Pendekatan perolehan dan pembagian lahan yang dilakukan oleh perusahaan inti diatas pada prakteknya sangat merugikan (inefisiensi) bagi lahan plasma. Kesadaran masyarakat akhirnya muncul karena eksploitasi dan pengembangan atau perluasan kebun yang diterapkan justru menyebabkan pemiskinan, kehilangan akses ke sumber-sumber kehidupan tradisional (mencari ikan, berburu, tanaman obat), pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan. KKN dan konflik berkepanjangan dalam hubungan perusahaan dan masyarakat yang berhubungan dengan lahan.Padahal di dalam UU Perkebunan no 39 tahun 2014 negara mewajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan berdasarkan ketentuan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Dalam ketentuan tersebut perusahaan perkebunan wajib memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup dan membangun perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dengan pembangunan kebun kelapa sawit yang kepemilikan lahannya oleh masyarakat. Tidak sekedar status pemilikan kebun tetapi tentunya kebun masyarakat yang memenuhi Good Agricultural Practice (GAP).
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 2. Komitmen Perusahaan terhadap Efisiensi Kebun Plasma Tabel 1 berikut ini menggambarkan produksi per hektar kebun plasma kelapa sawit yang berada dibawah binaan beberapa dari perusahaan perkebunan swasta nasional yang ada di Provinsi Jambi. Penulis tidak bermaksud men-generalisir data karena data hanya diambil dari catatan bagi hasil transaksi beberapa perusahaan dengan KUD atau kelompok tani pada tahun 2010.Penulis hanya mencoba menunjukkan bahwa ada fakta dimana derita petani tidak sejalan dengan keberhasilan pembangunan kelapa sawit dengan gelimang devisanya. Tabel. Cuplikan Produksi dan Pendapatan Petani Plasma di Provinsi Jambi No Perusaha- Lokasi Umur Hasil TBS Kondisi dan Masalah yang dihadapi an Inti Tanaman (ton petani /ha/bulan 1 PT Kab.Batang 7 tahun 0,128 Kebun Rusak, tegakan kurang, RKK*) hari pada Nilai hutang standar, belum lunas (2010) 2 PTBB*) Kab. Muaro 14 tahun 0,858 Swakelola, kredit lunas Jambi (2010) 3 PTTL**) Kab.Batang 7 tahun 0,22 Kebun dengan tegakan kurang, nilai hari (pada hutang standar, pemilikan lahan 2010) belum pasti, perebutan lahan dengan inti 4 PTSN***) Kab. 7 tahun 0,198 Nilai hutang standar, belum lunas Tanjung (2010) Jabung Barat Sumber : *) KUD ; **) Kelompok Tani; ***) Tim Penetapan Harga TBS Provinsi Jambi Dari Tabel diatas menunjukkan betapa lemahnya posisi petani dalam hubungan kemitraan. Meskipun hasil penelitian Ernawati (2011) menyatakan bahwa hubungan kemitraan kelapa sawit telah memberikan hasil positif berupa peningkatan pendapatan di Provinsi Jambi, akan tetapi fakta ini sungguh amat berbeda.Sebagai bahan renungan, jika hasil kebun seperti tertera di Tabel di atas, maka dapatlah diperkirakan berapa penerimaan petani plasma pada masa itu. Jika harga pada tahun itu berdasarkan ketetapan Tim Penetapan Harga TBS Provinsi sebesar Rp. 1400.-/kg, maka seorang petani plasma yang memiliki 2 ha lahan akan menerima pendapatan kotor sebesar 2 x 128 x Rp 1400,- = Rp 358400.-. Jika dipotong cadangan kredit sebesar 30 persen dan fee KUD, transpor, upah panen, pupuk dan lain-lain sebesar 20% maka petani petani akan menerima pendapatan bersih sebesar Rp 179.200,- per bulan. Sungguh amat jauh dari UMR provinsi yang ditetapkan pemerintah provinsi manapun di Indonesia.. Kegiatan kebun yang paling penting dan berperan langsung menentukan pendapatan adalah panen. Dari hasil panen akan terlihat seberapa besar kemampuan kebun menghasilkan TBS, dan sekaligus menggambarkan kualitas kebun dan efisiensi usaha. Secara agronomi diperkirakan bahwa pada usia 7 tahun hingga 15 tahun produksi TBS dapat mencapai 26 ton/ha (Pahan, 2002). Kondisi pada Tabel diatas telah membuktikan bahwa komitmen pelaku kemitraaan khususnya perusahaan inti sangat rendah dalam membangun usahatani kelapa sawit yang efisien. Dalam konteks keberlanjutan usaha jika dilihat dari pendapatan petani, maka kemampuan petani untuk melanjutkan usahanya setelah satu siklus tanam patut diragukan.Oleh karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi usahatani perlu dilakukan.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 PEREMAJAAN DAN DIVERSIFIKASI USAHA Keberlanjutan usahatani kelapa sawit plasma akan terjadi jika produktivitasnya memungkinkan untuk itu. Akan tetapi kendala yang dihadapi petani dengan produksi dan pendapatan yang rendah perlu diminimalkan dengan mencari tahu penyebabnya. Masalah rendahnya produksi TBS plasma tidak saja diakibatkan oleh mismanajemen pembangunan kebun plasma seperti tidak menerapkan GAP dan benih asalan, tetapi hal yang sama juga diakibatkan oleh umur tanaman yang sudah sangat tua yang memerlukanperemajaan. Pengetahuan yang cukup tentang permasalahan agribisnis kelapa sawit sangat diperlukan agar kebijakan yang diambil tepat dan pembangunan kebun menjadi lebih efisien. Direktur Jenderal Perkebunan(2012) mencatat berbagai permasalahan di sekitar perkelapasawitan yaitu : 1. Produktivitas rendah, khususnya Perkebunan Rakyat (PR) (a) tidak menerapkan GAP (b) benih asalan/tidak bersertifikat ; (c). PR sudah memasuki umur peremajaan 2. Infrastruktur terbatas (jalan kebun, jalan produksi, jalan ke pelabuhan),sehingga memerlukan waktu lebih dari 24 jam TBS sampai ke PKS; 3. Biaya investasi cukup besar , sedangkan perbankan belum cukup mendukung; 4. Industri hilir belum berkembang (ekspor Indonesia 64,53% CPO, Malaysia 31,47% CPO) nilai tambah rendah 5. Isue Pembangunan berkelanjutan, alih fungsi lahan, CO2 emision, pemanasan global, berkurangnya satwa langka, terpinggirkannya masyarakat lokal dll. Selain rendahnya produksi untuk kebun-kebun plasma yang masih produktif karena persoalan mismanajemen pembangunan kebun, persoalan lainnya adalah banyaknya kebun-kebun plasma yang berusia diatas 30 tahun yang belum diremajakan. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya komitmen petani untuk mempersiapkan cadangan modal melalui kegiatan menabung. Untuk kebun-kebun tua maupun rusak tersebut sudah selayaknya dilakukan peremajaan dengan menjalankan prinsip-prinsip GAP agar ke depan produktivitasnya menjadi lebih baik. Kendalanya adalah petani akan kehilangan sementara penghasilan dari kebun sawitnya. Setiap permasalahan perlu diikhtiarkan jalan keluarnya. Oleh karena itu menurut Zahri (2013) alternatif untuk menjamin terlaksananya keberlanjutan ekonomi rumah tangga dapat dikembangkan oleh petani, seperti adanya usaha menabung ketika hasil kebunnya cukup baik dan pemanfaatan sumber-sumber domestik untuk pengembangan diversifikasi usaha. Usaha penabungan mungkin hanya dapat dilakukan ketika hasil kebun kelapa sawit melebihi keperluan untuk memenuhi rumah tangga petani. Dari uraian di atas maka sangat diperlukan dukungan dari berbagai pihak terutama dari unsur perbankan, perusahaan mitra dan kebijakan pemerintahuntuk menjaga keberlanjutan usaha dan mempertahankan kehidupan ekonomi rumah tangga petani plasma. Dalam hal ini dukungan secara melembaga dalam peremajaan dan pengembangan diversifikasi usaha disertai pemecahan masalah lainnya secara menyeluruh dan terukurmerupakan jalan keluar yang terbaik. KESIMPULAN Masih banyaknya kasus-kasus okupasi lahan, bagi hasil/lahan, diskriminasi terhadap kualitas kebun plasma kelapa sawit menunjukkan bahwa komitmen kerjasama kemitraan inti-plasma khususnya dalam proses perolehan lahan kelapa sawit dan pembangunan kebun masih terkendala sehingga belum efisien.Kemitraan kelapa sawit belum sepenuhnya
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 menjalankan asas manfaat dan berkelanjutan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab dan saling memperkuat. Kapasitas petani plasma yang masih sangat rendah memerlukan penumbuhan komitmen yang kuat dari perusahaan mitra melalui mediasi dalam kesepahaman membangun kebersamaan. Salah satu upaya meningkatkan kapasitas petani adalah dengan melembagakan program diversifiksi usaha di tengah keterbatasan petani yang menunggu uluran tangan.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada khususnya Bapak Prof. Imron Zahri, yang banyak menginspirasi penulis dalam menyusun artikel ini dan Bapak Prof. Fachrurrozy Sjarkowie yang menambah wawasan penulis mendalami persoalan hubungan inti-plasma. Kemudian kepada pengurus Koperasi, Kelompok Tani Sawit dan Tim Penetapan Harga TBS Provinsi Jambi yang telah memberikan data yang sangat berguna dalam melengkapi artikel ini. Kepada Ketua Prodi Doktor Ilmu Pertanian Unsri Bapak Dr. Umar Harun dan Panitia Seminar Lahan Suboptimal Unsri penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas fasilitasinya. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia Ernawati. 2012. Implementasi Kemitraan Agribisnis Kelapa Sawit di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Agribisnis 11 Februari 2012. Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Jambi. ISBN 978-602-97051-5-7. Direktur Jenderal Perkebunan. 2012. Kebijakan Pengembangan Komoditas Perkebunan Strategis. Kertas Kerja DisampaikanpadaRapat Kerja Akselerasi Industrialisasi Dalam Rangka Mendukung Percepatan dan Pembangunan Ekonomi. Hotel Grand Sahid Jakarta, 1 Pebruari 2012. Ditjen Perkebunan, 2013. Pedoman Teknis Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Kakao, Karet). Departemen Pertanian Ri, Jakarta. http://www.downtoearth-indonesia.org. Seabad Kelapa Sawit Indonesia, April 2011. Mukhlis. F, et al. 2011. Analisis Respon Petani terhadap Sosialisasi Rencana Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Pola Kemitraan oleh PT. Kirana Sekernan Desa Lubuk Ruso Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari. Jurnal Penelitian Universitas Jambi. Seri Humanioran. Volume 13 Nomor 1, Januari – Juni 2011. ISSN 0852-8340. Pahan,I. 2002. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Zahri, I. 2013. Gagasan Mengatasi masalah Ekonomi Rumah Tangga Petani dalam Kemitraan Inti-Plasma Pola PIR Kelapa Sawit. Prosiding Seminar nasional Perhepi. Kemitraan dalam Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal. ISBN 978-979-8420-13-9. Pp 36-41.