KOMBINASI KITOSAN DENGAN KALIUM SORBAT, NATRIUM BENZOAT DAN EKSTRAK TERUNG PUNGO (Solanum sp.) TERHADAP AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN DAYA AWET BANDENG PRESTO
BAGUS FAJAR PAMUNGKAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kombinasi Kitosan dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) terhadap Aktivitas Antibakteri dan Daya Awet Bandeng Presto adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2008
Bagus Fajar Pamungkas NIM. C351050041
ABSTRACT BAGUS FAJAR PAMUNGKAS. The Combination of Chitosan and Potassium Sorbate, Sodium Benzoate, Terung Pungo (Solanum sp.) Extract on the Antibacterial Activity and Preservative Agent of Cooked Milkfish. Supervised by LINAWATI HARDJITO and JOKO SANTOSO The study investigated antibacterial activity of chitosan and its combination of potassium sorbate (S), sodium benzoate (B) and terung pungo (Solanum sp.) extract (T) against Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Combination of 0.05% chitosan with 0.05% S, 0.05% B and 20 µg/ml T did not show synergystic inhibition against bacteria, however 0.1% chitosan showed higher antibacterial activities in comparison to others. Application of 0.1% chitosan in pre-cooked milkfish increased shelflife from 16 to 38 hours at 28-30 o C. Chitosan was able to reduce the formation of TVB and TBA during preservation period. The results indicated that chitosan was an effective preservative agent for cooked milkfish. Keywords: antibacterial activity, chitosan , cooked milkfish preservation
RINGKASAN BAGUS FAJAR PAMUNGKAS. Kombinasi Kitosan dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) terhadap Aktivitas Antibakteri dan Daya Awet Bandeng Presto. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO and JOKO SANTOSO Kitosan dan senyawa turunannya diketahui memiliki aktivitas antibakteri yang bersifat biocompatible, bioantigenik, biofungsional dan tidak toksik, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya awet produk pangan. Permasalahan kitosan sebagai pengawet pangan adalah daya awet yang masih rendah, terutama untuk menggantikan bahan kimia yang dilarang seperti formalin. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian kitosan yang dikombinasikan dengan bahan lain untuk meningkatkan aktivitas antibakteri dan daya awetnya pada produk pangan. Penelitian ini bertujuan mencari aktivitas antibakteri terbaik dari kitosan dan kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak terung pungo (Solanum sp.). Perlakuan yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik selanjutnya diaplikasikan produk bandeng presto untuk mengetahui daya awetnya. Penelitian dilakukan dua tahap, tahap I adalah pengujian aktivitas antibakteri dari kitosan dan kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp., sedangkan tahap II adalah aplikasi dari perlakuan aktivitas antibakteri terbaik tahap I pada bandeng presto untuk mengetahui daya awetnya. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode kontak medium cair dan dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode total plate count (TPC). Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Perlakuan yang digunakan adalah: kitosan 0,1%; kitosan 0,05%; kitosan 0,05% + kalium sorbat 0,05% (KS); kitosan 0,05% + natrium benzoat 0,05% (KB); kitosan 0,05% + ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml (KT), kalium sorbat 0,1% (S), natrium benzoat 0,1% (B); ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml (T); asam asetat 0,07% (AA); kontrol atau tanpa perlakuan (C). Perlakuan terbaik dari penelitian tahap I diaplikasikan pada bandeng presto. Prosedurnya adalah bandeng yang telah diberi bumbu, direndam dalam larutan yang mengandung perlakuan terbaik selama 2x15 menit. Setelah proses pemasakan, dilanjutkan pengemasan nonvacuum dengan plastik HDPE steril dan disimpan pada suhu kamar (28-30 oC). Pengamatan dilakukan setiap 24 jam sampai jam ke 120 dengan parameter yang diamati adalah TPC dan pH, sedangkan TVB, TBA, aw dan kadar air dilakukan pada penyimpanan jam ke 0 dan 72. Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa kombinasi kitosan dengan bahan lain tidak memberikan efek antibakteri yang sinergis. Kitosan 0,05% memiliki aktivitas antibakteri lebih baik daripada KS, KB dan KT dengan jumlah bakteri lebih rendah yaitu 2,21 ± 0,07 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 3,94 ± 0,63 log cfu/ml terhadap E. coli. Jumlah bakteri pada KS sebesar 2,65 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 4,38 ± 0,20 log cfu/ml terhadap E. coli, sedangkan KB sebesar 2,58 ± 0,11 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 4,31 ± 0,10 log cfu/ml terhadap E. coli, dan KT sebesar 2,36 ± 0,01 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 4,20 ± 0,09 log cfu/ml terhadap E. coli. Kitosan 0,1% memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain dengan
jumlah bakteri paling rendah yaitu 1,17 ± 0,06 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 1,43 ± 0,27 log cfu/ml terhadap E. coli, dan dipilih untuk diaplikasikan pada produk bandeng presto Hasil pengamatan jumlah bakteri bandeng presto mengalami peningkatan selama penyimpanan. Berdasarkan SNI 01-4106-1996, jumlah bakteri total yang diijinkan pada bandeng presto adalah < 2 x 105 cfu/g atau sama dengan < 5,3 log cfu/g, sehingga dengan menggunakan model regresi diketahui bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% memiliki daya awet selama 38 jam, sedangkan kontrol hanya 16 jam. Hasil pengamatan nilai pH bandeng presto yang direndam kitosan maupun kontrol relatif sama. Nilai TVB bandeng presto yang direndam kitosan adalah 8,97 ± 0,53 mg N/100 g (jam ke 0) dan 18,95 ± 0,61 mg N/100 g (jam ke 72), sedangkan kontrol adalah 9,14 ± 0,39 mg N/100 g (jam ke 0) dan 23,6 ± 0,81 mg N/100 g (jam ke 72). Nilai TBA bandeng presto yang direndam kitosan tidak mengalami peningkatan signifikan setelah disimpan selama 72 jam yaitu 1,45 ± 0,59 mg mal/kg (jam ke 0) menjadi 1,66 ± 0,31 mg mal/kg (jam ke 72), sedang kontrol mengalami peningkatan nilai TBA yang nyata setelah penyimpanan yaitu 1,45 ± 0,59 mg mal/kg (jam ke 0) menjadi 8,51 ± 0,66 mg mal/kg (jam ke 72). Hasil ini menunjukkan kitosan efektif menghambat terbentuknya basa-basa volatil dan oksidasi lipida pada produk bandung presto. Hasil pengamatan kadar air bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% adalah 68,92 ± 0,32% (jam ke 0) dan 70,94 ± 0,36% (jam ke 72), sedangkan kontrol adalah 68,95 ± 0,27% (jam ke 0) dan 71,08 ± 0,32% (jam ke 72). Nilai aw bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% adalah 0,982 ± 0,001 (jam ke 0) dan 0,963 ± 0,001 (jam ke 72), sedangkan kontrol adalah 0,980 ± 0,001 (jam ke 0) dan 0,964 ± 0,001 (jam ke 72). Hasil pengamatan kadar air dan nilai aw menunjukkan bahwa bandeng presto adalah produk yang memiliki kandungan air yang tinggi dan berpotensi sebagai media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Hasil pengujian aktivitas antibakteri memperlihatkan kombinasi kitosan 0,05% dengan kalium sorbat 0,05%, natrium benzoat 0,05% maupun ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml tidak memberikan efek sinergis. Kitosan 0,1% memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi dengan menekan pertumbuhan bakteri sebesar 1,17 ± 0,06 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 1,43 ± 0,27 log cfu/ml terhadap E. coli. Kitosan 0,1% mampu meningkatkan daya awet produk dari 16 sampai 38 jam pada penyimpanan suhu 28-30 oC. Pemberian kitosan 0,1% pada bandeng presto mampu menekan peningkatan nilai TVB dan TBA pada penyimpanan selama 72 jam.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KOMBINASI KITOSAN DENGAN KALIUM SORBAT, NATRIUM BENZOAT DAN EKSTRAK TERUNG PUNGO (Solanum sp.) TERHADAP AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN DAYA AWET BANDENG PRESTO
BAGUS FAJAR PAMUNGKAS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis : Kombinasi Kitosan dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) terhadap Aktivitas Antibakteri dan Daya Awet Bandeng Presto Nama
: Bagus Fajar Pamungkas
NIM
: C351050041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.S
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 6 Agustus 2008
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat dan pengikutnya. Laporan tesis ini berjudul Kombinasi Kitosan dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) terhadap Aktivitas Antibakteri dan Daya Awet Bandeng Presto. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing yang bersedia membimbing dan sekaligus mendanai sebagian besar penelitian ini.
2.
Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan semangat, saran dan bimbingan selama penelitian dan penyusunan tesis ini.
3.
Bapak Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA sebagai dosen penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran dalam tesis ini.
4.
Rektor Universitas Mulawarman dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul yang telah memberikan rekomendasi tugas belajar.
5.
Isteri tercinta Ita Zuraida, dan Hafidz Zufar Faiz, buah hati kami yang memberikan inspirasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Ibu, Bapak, Mertua dan Kakak-kakak atas segala doa, bantuan dan pengertiannya.
6.
Sahabat-sahabatku di THP dan adik-adikku di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan atas bantuan dan kerjasama yang solid.
7.
Semua pihak yang turut berperan dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Akhirnya penulis hanya dapat memohon agar Allah SWT membalas semua
budi baik yang telah diberikan dan semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Agustus 2008
Bagus Fajar Pamungkas
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Samarinda, tanggal 4 Januari 1980 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara keluarga Bapak Marsono dan Ibu Hj. Nurlianti. Saat ini penulis telah menikah dengan Ita Zuraida dan dikaruniai seorang putra bernama Hafidz Zufar Faiz. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Tahun 2005, penulis mendapat tugas belajar dari Universitas Mulawarman untuk melanjutkan pendidikan magister (S2) dengan mengambil Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Dikti, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar berstatus pegawai negeri sipil di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda sejak tahun 2004. Selama bekerja penulis mendapat tugas membantu mengajar matakuliah Teknologi Hasil Perikanan, Pengolahan Hasil Perikanan dan Matematika, selain diberi amanah sebagai Ketua Laboratorium Nutrisi Ikan di Jurusan Budidaya Perairan FPIK Unmul pada tahun 2005.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xvi
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................
2
1.3. Tujuan dan Manfaat ........................................................................
3
1.4. Hipotesis .........................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Karakteristik Kitosan ...............................................
4
2.2. Kitosan sebagai Antibakteri dan Antioksidan .................................. 2.2.1. Aktivitas antibakteri pada kitosan dan mekanismenya ........... 2.2.2. Aktivitas antioksidan pada kitosan dan mekanismenya ........
5 5 7
2.3. Kombinasi Kitosan dengan Bahan Lain sebagai Bahan Antibakteri ..
10
2.4. Keamanan Kitosan ..........................................................................
12
2.5. Bahan Pengawet Kimiawi ............................................................... 2.5.1. Asam sorbat ......................................................................... 2.5.2. Asam benzoat ......................................................................
13 14 15
2.6. Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) sebagai Bahan Antibakteri ......
15
2.7. Bandeng Presto ................................................................................
16
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
17
3.2. Bahan dan Alat ................................................................................
17
3.3. Tahapan Penelitian .......................................................................... 3.3.1. Penelitian tahap I: pengujian aktivitas antibakteri ................ 3.3.2. Penelitian tahap II: aplikasi perlakuan bahan antibakteri terbaik pada pengawetan bandeng presto ............................
18 18
3.4. Prosedur Analisis ............................................................................ 3.4.1. Jumlah bakteri total (Fardiaz 1993) ....................................... 3.4.2. Nilai pH (AOAC 1995) ........................................................ 3.4.3. Nilai TVB (AOAC 1995)...................................................... 3.4.4. Nilai TBA (Apriyantono et al. 1989) ....................................
21 21 21 22 22
xii
19
3.4.5. Kadar air (AOAC 1995) ...................................................... 3.4.6. Nilai aw (water activity) ....................................................... 3.5. Analisis Statistik .............................................................................
23 23 24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kitosan .......................................................................
25
4.2. Aktivitas Antibakteri pada Kitosan dan Kombinasinya dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak Solanum sp. ..............
26
4.3. Penggunaan Kitosan terhadap Daya Awet Bandeng Presto .............. 4.3.1. Jumlah bakteri total dan nilai pH ......................................... 4.3.2. Nilai TVB ............................................................................ 4.3.3. Nilai TBA ............................................................................ 4.3.4. Kadar air .............................................................................. 4.3.5. Nilai aw ................................................................................
30 30 33 35 39 40
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .....................................................................................
42
5.2. Saran ...............................................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
43
LAMPIRAN ................................................................................................
49
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Persyaratan mutu bandeng presto berdasarkan SNI 01-4106-1996 ..........
16
2. Karakteristik kitosan ..............................................................................
25
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan .................................................
4
2. Diagram alir pengujian aktivitas antibakteri .............................................
19
3. Diagram alir aplikasi bahan antibakteri terbaik pada bandeng presto ........
20
4. Hasil pengujian aktivitas antibakteri .........................................................
27
5. Model regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan jumlah bakteri ..........................................................................................
31
6. Model regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan nilai pH ....................................................................................................
33
7. Perubahan nilai TVB pada bandeng presto ...............................................
34
8. Perubahan nilai TBA pada bandeng presto ...............................................
36
9. Perubahan kadar air pada bandeng presto .................................................
39
10. Perubahan nilai aw pada bandeng presto ..................................................
40
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Hasil perhitungan jumlah bakteri total pada pengujian aktivitas antibakteri .............................................................................................
50
2.
Hasil perhitungan jumlah bakteri total bandeng presto ..........................
56
3.
Hasil perhitungan nilai pH bandeng presto ............................................
60
4.
Hasil perhitungan nilai TVB bandeng presto .........................................
61
5.
Hasil perhitungan nilai TBA bandeng presto ........................................
62
6.
Hasil perhitungan kadar air bandeng presto ...........................................
63
7.
Hasil perhitungan nilai aw bandeng presto .............................................
64
xvi
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kitosan dan senyawa turunannya diketahui memiliki aktivitas antibakteri (Shahidi et al. 1999). Aktivitas antibakteri pada kitosan telah dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan berbagai jenis bakteri seperti Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Darmadji dan Izumimoto 1994; Tsai et al. 2002; Rao et al. 2005), Pseudomonas aeruginosa, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio cholerae (Tsai et al. 2002), serta Bacillus cereus (Devlieghere et al. 2004; Rao et al. 2005). Sifat-sifat kitosan untuk membentuk film dan antimikroba menjadi sumber yang potensial sebagai bahan pelapis dan pengawet produk pangan alami (No et al. 2007). Kitosan memiliki sifat biocompatible, bioantigenik, biofungsional dan tidak toksik, sehingga telah diijinkan sebagai bahan tambahan pangan di Jepang sejak 1983 dan Korea sejak 1995 (No et al. 2007). Sejak tahun 2005, kitosan dari kulit udang diakui sebagai GRAS (generally recognized as safe) oleh US-FDA (US FDA 2008). Berdasarkan SK Badan POM RI No. HK.00.05.52.6581 tahun 2007, kitosan diperbolehkan untuk digunakan pada produk pangan di Indonesia. Kitosan berpotensi sebagai bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan produk-produk pangan (Rhoades dan Roller 2000). Adanya aktivitas antibakteri pada kitosan telah diaplikasikan untuk memperpanjang umur simpan produk pangan, seperti daging (Darmadji dan Izumimoto 1994; Sagoo et al. 2002a; Rao et al. 2005; Kanatt et al. 2008), sayur-sayuran dan buah-buahan (Devlieghere et al. 2004; Park et al. 2005), serta ikan dan produk makanan laut (Skonberg 2000; Jeon et al. 2002; Tsai et al. 2002; Sathivel 2005). Penelitian mengenai kitosan yang dikombinasikan dengan bahan lain sebagai antibakteri sekaligus pengawet pangan telah dilaporkan. Penggunaan kitosan dengan protamin dan lisosim telah dipatenkan sebagai bahan antioksidan dalam makanan kemasan (Ueno et al. 1996). Ouattara et al. (2000) melaporkan peningkatan efektivitas film kitosan sebagai antimikroba dengan menambahkan asam asetat, asam laurat dan asam propionat. Bykova et al. (2001) memiliki paten dari Rusia tentang penggunaan kombinasi kitosan dengan asam sorbat dan bahan
antibakteri lainnya dalam pengawetan caviar. Sagoo et al. (2002b) melaporkan kemampuan kitosan dan natrium benzoat untuk menghambat pertumbuhan khamir. Penambahan lisosim pada film kitosan dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas antibakteri (Park et al. 2004a; Duan et al. 2007). Zivanovich et al. (2005) melakukan penambahan lemak esensial pada film kitosan untuk meningkatkan daya simpan sosis panggang Permasalahan dari kitosan sebagai pengawet pangan adalah daya awet yang masih rendah terutama sebagai alternatif pengganti bahan kimia yang dilarang seperti formalin. Darmadji dan Izumimoto (1994) melaporkan jumlah total bakteri pada daging yang ditambahkan kitosan 1% dan disimpan pada suhu 30 oC telah mencapai 7,32 log cfu/g pada pengamatan jam ke 12. Produk tahu memiliki daya awet 24 jam pada suhu kamar dengan penambahan 0,03% kitosan yang dicampur dalam air rendaman tahu (Hardjito 2006). Oleh karena itu dibutuhkan penelitian kitosan yang dikombinasikan dengan bahan lain untuk meningkatkan aktivitas antibakteri dan daya awetnya pada produk pangan. Ada beberapa bahan sintetis seperti kalium sorbat dan natrium benzoat maupun senyawa alami seperti ekstrak terung pungo (Solanum sp.) yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan diharapkan memiliki efek sinergis bila dikombinasikan dengan kitosan. Kalium sorbat dan natrium benzoat telah digunakan sebagai bahan pengawet pangan yang diijinkan Pemerintah (Depkes 1999). Selain itu, ekstrak terung pungo (Solanum sp.) yang merupakan tanaman pesisir telah dilaporkan mengandung senyawa aktif antibakteri (Haswirna 2006). Upaya untuk meningkatkan aktivitas antibakteri pada kitosan yang dikombinasikan dengan bahan lain masih menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan mencari aktivitas antibakteri terbaik dari kitosan dan kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat, dan ekstrak Solanum sp. Perlakuan yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik selanjutnya diaplikasikan pada produk bandeng presto untuk mengetahui daya awetnya. 1.2. Perumusan Masalah Saat ini pengawetan produk-produk pangan di Indonesia masih ada yang menggunakan bahan-bahan dilarang pemerintah seperti formalin, sehingga
2
diperlukan upaya mencari alternatif lain yang aman. Kitosan memiliki aktivitas antibakteri dan diharapkan dapat sebagai alternatif bahan pengawet yang aman. Upaya meningkatkan aktivitas antibakteri pada kitosan dengan menambahkan bahan antibakteri lainnya, baik yang berasal dari bahan kimia sintetis yang diijinkan pemerintah maupun bahan aktif alami dari tanaman pesisir menarik untuk diteliti dan diharapkan dapat diaplikasikan sebagai bahan pengawet produk pangan terutama pada produk hasil perikanan. 1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Mencari aktivitas antibakteri terbaik dari kitosan dan kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. 2). Mengetahui daya awet bandeng presto dengan penambahan kitosan atau kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. yang memperlihatkan aktivitas antibakteri terbaik. Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai alternatif bahan pengawet makanan bagi masyarakat. Penggunaan kitosan atau kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. diharapkan dapat diaplikasikan sebagai bahan pengawet makanan dan menggantikan bahan kimia yang dilarang digunakan dalam makanan. 1.4. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1). Kombinasi kitosan dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. akan meningkatkan aktivitas antibakteri. 2). Penggunaan kitosan atau kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik akan meningkatkan daya awet bandeng presto.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi dan Karakteristik Kitosan Kitosan merupakan polimer karbohidrat yang diturunkan dari deasetilasi kitin, yang merupakan biopolimer alami yang berlimpah setelah selulosa (No dan Meyers 1995). Kitosan atau β-1,4-glukosamin (2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa) memiliki tiga tipe gugus fungsional reaktif, yaitu sebuah gugus amino serta dua gugus hidroksil primer dan sekunder yang masing-masing berada pada posisi C-2, C-3, dan C-6. Modifikasi kimiawi dari ketiga gugus ini menyebabkan kitosan memiliki banyak kegunaan untuk diaplikasikan pada berbagai bidang (Shahidi et al. 1999). Struktur selulosa, kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Kumar (2000)
Gambar 1. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan
Oleh karena sifat-sifat fungsional yang dimilikinya, kitosan dapat diaplikasikan sebagai bahan antimikroba, edible film, bahan tambahan pangan, perbaikan kualitas gizi pangan, pemulihan bahan-bahan padat dari limbah pengolah makanan, pemurni air dan aplikasi lainnya (Shahidi et al. 1999). Kitosan sebagai antimikroba bersifat bakterisidal (Darmadji dan Izumimoto 1994; Tsai et al. 2002) dan fungisidal (Sagoo et al. 2002b; Park et al. 2005). Kitosan sebagai bahan tambahan pangan antara lain berfungsi sebagai pengemulsi, menstabilkan warna dan bahan pengemulsi (Knorr 1982; Knorr 1983; Cho et al. 1998), bahan pengendali tekstur, penstabil dan pengental (Shahidi et al. 1999), antioksidan (Darmadji dan Izumimoto 1994; Kamil et al. 2002; Kim dan Thomas 2007) serta bahan penjernih dan penurun tingkat keasaman pada jus buah-buahan (Devlieghere et al. 2004; Park et al. 2005). Kitosan dilaporkan bersifat hipokolesterolemik dan hipolipidemik (Winterowd dan Standford 1995) dan bahan enkapsulasi mikronutrien (Han et al. 2008). 2.2. Kitosan sebagai Antibakteri dan Antioksidan 2.2.1. Aktivitas antibakteri pada kitosan dan mekanismenya Kitosan merupakan bahan pengawet pangan alami yang potensial karena memiliki kemampuan aktivitas antimikroba terhadap mikroba perusak makanan maupun patogen, baik bakteri, khamir dan jamur (Sagoo et al. 2002a). Sifat-sifat penting kitosan antara lain disebabkan memiliki muatan positif dalam larutan asam, dimana gugus amina pada molekul kitosan mengikat proton sesuai dengan persamaan reaksi: kitosan-NH2 + H3O+ ↔ kitosan-NH3+ + H2O, dimana kitosan-NH3+
juga
memiliki
aktivitas
antimikroba
terhadap
berbagai
mikroorganisme (Rhoades dan Rastall 2006). Kitosan dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan berbagai jenis bakteri seperti Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Darmadji dan Izumimoto 1994; Tsai et al. 2002; Rao et al. 2005), Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholerae dan V. parahaemolyticus (Tsai et al. 2002), serta Bacillus cereus (Devlieghere et al. 2004; Rao et al. 2005). Yadav dan Bhise (2000) melaporkan bahwa kitosan efektif menghambat pertumbuhan Salmonella enterica var. Parathypi-A dan S. enterica var. Parathypi-B.
5
Beberapa penelitian mengenai penggunaan kitosan sebagai bahan pengawet pangan telah dilaporkan. Rhoades dan Roller (2000) melaporkan bahwa jus apel yang telah dipasteurisasi dan disimpan pada suhu 7 oC dan ditambahkan 0,3 g kitosan/l dapat mencegah pertumbuhan khamir selama 13 hari pengamatan. Oh et al. (2000) melaporkan penggunaan kitosan untuk menghambat pertumbuhan bakteri perusak pada mayonis yaitu Lactobacillus plantarium, L. fructivorans dan Zygosaccharomyces bailii. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan kitosan pada semua konsentrasi perlakuan (100, 500, 1000 ppm) yang disimpan pada suhu 25 oC mampu mempertahankan stabilitas emulsi mayonis sampai 10 minggu. Aplikasi kitosan untuk memperpanjang umur simpan produk perikanan juga telah dilakukan. Skonberg (2000) melaporkan penggunaan larutan kitosan 1,75% sebagai film pelapis untuk memperpanjang umur simpan filet ikan salmon atlantik dan ikan haddock pada suhu 5 oC. Hasilnya menunjukkan selama 7 hari pertama penyimpanan filet ikan mengindikasikan nilai TVB, pH, dan TPC yang rendah. Jeon et al. (2002) melaporkan pengaruh pelapisan kitosan dengan berat molekul yang berbeda untuk memperpanjang umur simpan filet ikan cod atlantik (Gadus morhua) dan ikan hering (Clupea harangus) yang dievaluasi selama 12 hari penyimpanan dingin (4 ± 1 oC). Hasilnya menunjukkan bahwa pelapisan kitosan pada filet ikan dapat mereduksi oksidasi lemak kitosan dan kerusakan kimiawi seperti basa nitrogen dan hipoksantin. Tsai et al. (2002) juga melaporkan pelapisan kitosan dengan konsentrasi yang bervariasi (0,2%; 0,5%; 1,0%) pada filet salmon yang disimpan pada suhu 4 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang diberikan pada filet ikan, lebih efektif menghambat laju pertumbuhan bakteri psikrotropik dan bakteri mesofilik serta pembentukan basa-basa volatil dibandingkan kontrol setelah 9 hari penyimpanan. Shahidi et al. (1999) menjelaskan bahwa mekanisme kerja kitosan dalam menghambat pertumbuhan mikroba adalah adanya interaksi antara muatan positif (gugus NH3+) pada molekul kitosan dengan muatan negatif pada membran sel mikroba menyebabkan lepasnya unsur-unsur protein dan unsur-unsur lain penyusun intraseluler. Kitosan juga dapat bertindak sebagai pengkelat logam sehingga dapat menghambat produksi toksin dan pertumbuhan mikroba.
6
Tsai dan Su (1999) menjelaskan bahwa kitosan berinteraksi dengan permukaan sel bakteri dimana kemungkinan adanya kekuatan elektrostatis. Setelah
terjadi
pengikatan,
perubahan
dalam
permeabilitas
membran
menyebabkan pecahnya komponen intraseluler seperti glukosa dan laktat dehidrogenase (LDH) yang akhirnya menyebabkan kematian sel. Sejumlah proton bermuatan positif (NH3+) pada kitosan dan elektronegativitas permukaan sel bakteri mempengaruhi interaksi ini. Russel (2005) menjelaskan bahwa bahanbahan pengkelat logam diketahui dapat meningkatkan permeabilitas membran luar pada bakteri Gram-negatif, dimana pengkelatan kation anorganik seperti Mg2+ akan mengekstrak lipopolisakarida, protein maupun lipida. Shahidi et al. (1999) juga menjelaskan bahwa kitosan bertindak sebagai bahan pengikat lemak, dan menghambat berbagai aktivitas enzim. Selain itu, pengikatan kitosan dengan DNA dan penghambatan sintesis mRNA terjadi melalui penetrasi kitosan yang memiliki berat molekul rendah pada nuclei mikroorganisme menyebabkan terhambatnya sintesis mRNA dan protein. Russel (2005) menjelaskan bahwa membran sitoplasma kaya akan enzim yang umumnya berasosiasi dengan rantai transpor elektron yang digunakan pada proton sebagai kekuatan transpor aktif. Beberapa bahan antibakteri akan berinteraksi dengan gugus thiol (sulfihidril, -SH) yang terdapat di dalam struktur protein dan enzim. Gugus thiol yang diturunkan dari residu sistein memiliki peranan penting pada aktivitas sejumlah enzim dan gugus ini bereaksi dengan bahan antimikroba menyebabkan inaktivasi sel bakteri. Rusaknya membran sitoplasma oleh bahan antibakteri umumnya disebabkan oleh lepasnya komponen intraseluler, dimana pada awalnya ion kalium (K+) akan terlepas dilanjutkan fosfat anorganik (Pi), asam-asam amino, kemudian membesarnya berat molekul bahan-bahan (seperti RNA/DNA) sebagai indikasi kerusakan sel bakteri. 2.2.2. Aktivitas antioksidan pada kitosan dan mekanismenya Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa kitosan berpotensi sebagai antioksidan (Darmadji dan Izumimoto 1994; Shahidi et al. 2002; Kim dan Thomas 2007; Yen et al. 2008). Darmadji dan Izumimoto (1994) mencatat bahwa penambahan kitosan 1% pada daging mampu mereduksi nilai TBA sampai 70% setelah
7
penyimpanan selama 3 hari pada suhu 4 oC. Shahidi et al. (2002) melaporkan bahwa kitosan dengan konsentrasi yang rendah (50-200 ppm), mampu melindungi ikan masak terhadap oksidasi dan timbulnya bau (off-flavor) selama penyimpanan dan kitosan dengan viskositas 14 Cp pada konsentrasi 200 ppm sudah sangat efektif dalam mengendalikan oksidasi lipida pada sampel ikan cod. Kim dan Thomas (2007) meneliti nilai TBA pada ikan salmon yang ditambahkan kitosan pada konsentrasi 0,2%, 0,5% dan 1% (w/v) dan disimpan selama 15 hari pada suhu 4 oC. Hasilnya memperlihatkan bahwa nilai TBA tertinggi terdapat pada ikan salmon yang tidak diberi perlakuan (kontrol), sebaliknya nilai TBA terendah terdapat pada ikan salmon yang diberi kitosan. Hasil ini membuktikan bahwa pemberian kitosan mampu menghambat laju oksidasi lipida pada ikan salmon. Yen et al. (2008) melaporkan kitosan yang berasal dari kepiting memiliki sifat-sifat antioksidan yang baik, terutama pada aktivitas antioksidan, kemampuan mengikat gugus radikal hidroksil, dan kemampuan mengkelat ion-ion ferous. Yen et al. (2008) melaporkan dengan menggunakan metode konjugasi diena, kitosan yang berasal dari kepiting memperlihatkan aktivitas antioksidan, yaitu sekitar 58,3–70,2% pada konsentrasi 1 mg/ml dan 79,9–85,2% pada 10 mg/ml. Meningkatnya konsentrasi kitosan akan meningkatkan kemampuan aktivitas antioksidan. Kemampuan kitosan dalam mengikat DPPH (1,1-diphenyl2-picrylhydrazyl) juga telah dilaporkan. Lin dan Chou (2004) melaporkan bahwa turunan kitosan disakarida N-alkilasi pada konsentrasi 0,1 mg/ml memperlihatkan kemampuan mengikat radikal DPPH yang tinggi yaitu 80–95%, namun Xing et al. (2005) melaporkan bahwa turunan kitosan sulfat 0,05 mg/ml kurang efektif mengikat radikal DPPH, dan Yen et al. (2008) melaporkan kitosan yang berasal dari kepiting kurang efektif mengikat radikal DPPH, yaitu sekitar 46,4-52,3%. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan scavenging pada kitosan meningkat setelah proses N-alkilasi disakarida dan menurun setelah proses sulfasi (Yen et al. 2008) Secara umum antioksidan dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya sebagai antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer dapat bekerja sebagai aseptor radikal bebas yang akan menghambat tahap inisiasi atau memecahkan tahap propagasi pada proses autooksidasi. Antioksidan primer bereaksi dengan lipida dan radikal peroksi membentuk suatu molekul yang lebih
8
stabil dan menjadi produk yang tidak radikal. Antioksidan sekunder lebih mengarah kepada pencegahan terhadap proses oksidasi, dimana antioksidan ini bekerja untuk memperlambat laju oksidasi dengan beberapa aksi, namun tidak dapat mengubah radikal bebas menjadi produk yang lebih stabil. Mekanisme kerja antioksidan sekunder antara lain dapat mengkelat logam-logam yang merupakan pro-oksidan dan mendeaktivasi-nya, menyediakan hidrogen untuk antioksidan primer, mendekomposisi hidroperoksida menjadi jenis yang tidak radikal, deaktivasi singlet oksigen, mengabsorbsi radiasi sinar ultraviolet, atau bertindak sebagai pengikat oksigen (Reische et al. 2002). Berdasarkan mekanisme antioksidan tersebut, kitosan dilaporkan dapat bertindak sebagai antioksidan primer maupun antioksidan sekunder (Yen et al. 2008). Park et al (2004b) menjelaskan bahwa kitosan mampu mengurangi berbagai radikal bebas yang bereaksi dengan gugus nitrogen pada posisi C-2. Kim dan Thomas (2007) menyatakan bahwa aktivitas pengikatan radikal bebas oleh kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi dan berat molekulnya. Aktivitas pengikatan radikal pada kitosan mengalami peningkatan pada konsentrasi 0,2% - 1%, namun dilaporkan menurun pada berat molekul tinggi (120 kDa). Mekanisme antioksidan sekunder pada kitosan adalah adanya kemampuan dalam mengkelat logam dan mengikat lipida. Xie et al. (2001) menjelaskan bahwa mekanisme pengikatan radikal bebas oleh kitosan berhubungan dengan fakta bahwa gugus radikal OH• dari proses oksidasi lipida dapat bereaksi dengan ion hidrogen dari gugus ion amonium (NH3+) pada kitosan membentuk suatu molekul yang lebih stabil. Aktivitas pengikatan oleh kitosan terhadap gugus radikal OH• dapat terjadi sebagai berikut: 1.
Gugus hidroksil di dalam unit polisakarida pada kitosan dapat bereaksi dengan OH• oleh tipe reaksi pemutusan gugus atom H.
2.
Gugus OH• dapat bereaksi dengan gugus amino bebas (NH2) membentuk radikal molekul yang stabil.
3.
Gugus NH2 dapat membentuk gugus amonium NH3+ dengan mengabsorbsi ion H+ dari larutan, kemudian bereaksi dengan OH• melalui reaksi lanjutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan kitosan mengkelat ion
lebih kompleks. Inoue et al. (1988) diacu dalam Yen et al. (2008) menjelaskan
9
pengkelatan Cu2+ oleh kitosan terjadi pada gugus hidroksil di C6 dan gugus amino di C2, dan mekanisme serupa juga terjadi pada pengkelatan ion ferous (Fe2+) oleh kitosan. Qin (1993) mengindikasikan bahwa kemampuan mengkelat ion pada kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, dimana keberadaan gugus asetil akan melemahkan aktivitas pengkelatan pada kitosan. Transisi ion-ion logam dapat menginisiasi peroksidasi lipida dan memulai suatu reaksi rantai yang menyebabkan kerusakan citarasa dan bau dalam makanan. Oleh karena ion ferous sangat efektif sebagai pro-oksidan di dalam sistem makanan, maka kemampuan mengkelat ion ferous oleh kitosan akan bermanfaat bila diformulasikan dalam makanan (Yen et al. 2008). Kemampuan kitosan mengikat lipida juga dapat berperan dalam menghambat proses oksidasi. Hennen (1996) menjelaskan bahwa mekanisme kitosan mengikat lipida belum dipahami secara jelas, tetapi ada dua mekanisme dasar yang berperan. Mekanisme pertama melibatkan daya tarik muatan yang berlawanan, dimana muatan positif (NH3+) pada kitosan menarik muatan negatif (ROO-) pada asam lemak. Mekanisme kedua adalah proses penjerapan lipida oleh kitosan dalam suatu jaringan, dimana kitosan memerangkap di sekitar droplet lemak dan mencegah lipida diuraikan oleh enzim-enzim lipida. 2.3. Kombinasi Kitosan dengan Bahan Lain sebagai Bahan Antibakteri Beberapa penelitian mengenai kitosan yang dikombinasikan dengan bahan lain untuk meningkatkan aktivitas antimikroba telah dilaporkan. Keuntungan dari mengkombinasikan kitosan dengan bahan antimikroba lainnya adalah dapat digunakan untuk mengawetkan makanan terutama terhadap kontaminasi bakteri perusak (Cagry et al. 2004). Penggunaan kitosan dengan protamin dan lisosim telah dipatenkan sebagai bahan deoksidasi dalam makanan kemasan (Ueno et al. 1996). Klaim mereka adalah dengan penambahan satu atau lebih bahan tambahan yaitu protamin (2502000 ppm), kitosan (15,6-1000 ppm), dan lisosim (40-500 ppm) dapat digunakan untuk mengawetkan makanan selama penyimpanan dengan mempertahankan konsentrasi oksigen dan merusak mikroba seperti Lactobacilllus casei,
10
Leuconostoc lactis, Streptococcus pyogenes, Saccharomyces cerevisiae, Candida utilis, Cryptococcus laurentii, Rhodotorula rubra, dan Torulopsis candida. Ouattara et al. (2000) mengkaji peningkatan efektivitas film kitosan yang memiliki aktivitas antimikroba dengan menambahkan asam asetat, asam propionat dan asam laurat. Mereka melaporkan karakteristik film kitosan sebagai bahan antimikroba yang ditambahkan dengan bahan-bahan tersebut dan menyarankan dapat diaplikasikan pada pengawetan bahan pangan. Kombinasi kitosan dengan asam sorbat dan bahan antibakteri lainnya (tidak disebutkan) untuk memperpanjang umur simpan caviar (telur ikan salmon dan ikan sejenis) telah dipatenkan di Rusia. Bykova et al. (2001) menggunakan campuran dari 0,05-0,1% kitosan, 0,1% asam sorbat dan 0,3-0,5% antibac yang diklaim
mampu
meningkatkan
aktivitas
antimikroba,
antioksidasi
dan
memperpanjang umur simpan dari caviar. Sagoo et al. (2002b) meneliti aktivitas antimikroba dari kombinasi kitosan dengan natrium benzoat terhadap khamir perusak yaitu Saccharomyces exiguus, S. ludwigii dan Torulaspora delbrueckii. Hasilnya menunjukkan bahwa kitosan 0,005% yang dikombinasikan
natrium benzoat 0,025% mampu menghambat
pertumbuhan khamir hampir dua kali dibandingkan dengan masing-masing bahan diuji tunggal, dimana dapat menghambat pertumbuhan khamir sekitar log 1-2 sampai log 2-4, tergantung pada pH dan jenis organismenya. Park et al. (2004a) melaporkan sifat-sifat antimikroba dari kombinasi kitosan dengan lisosim. Mereka menggabungkan larutan kitosan 2% dengan larutan lisosim 10% dengan rasio pencampuran 0%, 20%, 60%, dan 100% (w lisosim/w kitosan). Hasilnya adalah kecenderungan penghambatan sinergis ada pada perlakuan 60% yang dapat mengurangi jumlah Escherichia coli dan Streptococcus faecalis masing-masing mencapai 3,8 log cfu/g dan 2,7 log cfu/g. Duan et al. (2007) melaporkan kitosan yang ditambahkan 60% lisosim (per berat kering kitosan) untuk digunakan sebagai film pelapis pada keju (mozarella cheese). Keju yang telah dilapisi film kitosan-lisosim kemudian diinokulasi dengan Listeria monocytogens, Escherichia coli dan Pseudomonas fluorescens sebanyak 104 cfu/g, selanjutnya dikemas vakum, disimpan pada suhu 10 oC dan dianalisis pada hari ke 1, 7, dan 14. Hasilnya dapat mereduksi bakteri L.
11
monocytogenes, E. coli dan P. fluorescens masing-masing 0,32-1,35 log cfu/g, 0,43-1,25 log cfu/g dan 0,40-1,40 log cfu/g pada keju. Zivanovich et al. (2003) meneliti penggunaan kitosan dan minyak esensial sebagai biopestisida untuk mempertahankan mutu buah stroberi, arbei, dan anggur pascapanen. Buah-buah tersebut diberi larutan pembentuk lapisan yang dibuat dari kombinasi kitosan 1% dan minyak esensial 4%, lalu dikemas dalam kantong poliethylene dan disimpan pada suhu 4 oC. Hasilnya menunjukkan semua buah yang diberi pelapisan kitosan-minyak esensial memperlihatkan reduksi mikroba yang sempurna dengan tidak ada pertumbuhan jamur selama 18 hari penyimpanan. Pelapisan kitosan pada buah anggur, arbei dan stroberi mampu mencegah pertumbuhan jamur masing-masing 9 hari, 6 hari dan 0 hari masa penyimpanan, sedangkan buah-buah yang tidak diberi perlakuan memperlihatkan pertumbuhan jamur yang tinggi sejak diawal percobaan. Lebih lanjut, Zivanovich et al. (2005) melakukan penambahan lemak esensial pada film kitosan untuk meningkatkan umur simpan sosis panggang. Mereka melaporkan bahwa kombinasi asam lemak oregano 1% dan 2% pada kitosan dapat mengurangi jumlah Listeria monocytogenes sampai 3,6 log cfu/g dan 4 log cfu/g. 2.4. Keamanan Kitosan Arai (1968), diacu dalam Winterowd dan Sandford (1995) telah melaporkan nilai keamanan pada kitosan dengan menentukan nilai LD50-nya, yaitu > 17,9 g/hari/kg berat badan tikus. Landes dan Bough (1976) diacu dalam Winterowd dan Sandford (1995) melaporkan nilai LD50 kitosan adalah 16,5 g/hari/kg berat badan tikus dan menganjurkan konsentrasi kitosan yang diberikan adalah kurang dari 5% dari total makanan yang dikonsumsi karena tidak ditemukan efek samping yang merugikan. Hennen (1996) menjelaskan faktor keamanan kitosan dengan nilai LD50 16 g/hari/kg berat badan tikus. Tikus bukan manusia, sehingga untuk tujuan keamanan, data yang diperoleh dari tikus dibagi 12 untuk memperoleh nilai ekuivalen pada manusia, sehingga nilai LD50 relatif pada manusia adalah 1,33 g/hari/kg. Bila rata-rata manusia memiliki berat badan 70 kg, artinya kitosan
12
menjadi toksik bagi orang tersebut bila mengkonsumsi > 90 g/hari, namun untuk lebih aman lagi, jumlah tersebut dihitung dibawah tingkat 10% yaitu 9 g/hari. Koide (1998) menjelaskan beberapa efek samping yang dapat terjadi bila mengkonsumsi kitosan. Kitosan adalah suatu serat yang membentuk gel dalam lambung yang bersifat asam. Kitosan memiliki sifat dapat mengikat lipida dan mineral, sehingga berpotensi pula mengikat vitamin larut lemak seperti A, D, E dan K. Defisiensi vitamin tersebut dalam tubuh dapat merugikan dalam jangka panjang. Kitosan dapat mempengaruhi metabolisme tulang karena mengurangi kalsium dan mengabsorbsi vitamin D, sehingga tidak dianjurkan dikonsumsi oleh wanita yang sedang hamil. 2.5. Bahan Pengawet Kimiawi Antimikroba makanan adalah bahan yang
memiliki kemampuan
menghambat mikroorganisme perusak sehingga diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu makanan. Penggunaan antimikroba pada makanan disebut juga sebagai bahan pengawet makanan, meskipun istilah bahan pengawet sering termasuk bahan yang memiliki sifat antioksidan (Davidson dan Harrison 2002) Saat ini, penggunaan bahan pengawet pada makanan yang aman banyak digunakan. Pengertian bahan pengawet menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 adalah senyawa yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan. Departemen Kesehatan RI (Depkes 1999) telah mengijinkan penggunaan bahan-bahan pengawet organik dan anorganik pada batas penggunaan tertentu pada suatu produk pangan. Bahan pengawet organik yang diijinkan antara lain asam benzoat dan garamnya, asam sorbat dan garamnya, asam propionat dan garamnya, asam asetat dan garamnya, dan nisin, sedangkan bahan pengawet anorganik antara lain sulfit, nitrat dan nitrit. Bahan pengawet organik ini lebih banyak dipakai daripada anorganik karena lebih mudah dibuat (Winarno 2004). Bahan-bahan pengawet organik seperti asam
13
sorbat dan asam benzoat diharapkan dapat memberikan efek sinergis dalam memperpanjang umur simpan makanan bila dikombinasikan dengan kitosan. 2.5.1. Asam sorbat Asam sorbat (CH3-CH=CH-CH=CH-COOH) tergolong asam lemak monokarboksilat yang berantai lurus dan mempunyai ikatan tidak jenuh (-diena). Bentuk sorbat yang digunakan umumnya adalah garam Na- dan K- sorbat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang dan bakteri. Sorbat aktif pada pH di atas 6,5 dan aktivitasnya menurun dengan meningkatnya pH (Winarno 2004). Garam kalium sorbat memiliki kelarutan yang lebih besar daripada asamnya, sehingga bentuk garamnya lebih sering digunakan. Garam ini mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan bentuk asamnya, karena pada produk perikanan, garam ini akan dihidrolisis menjadi asam sorbat yang aktif (Germinder 1959, diacu dalam Jenie et al. 1993). Mekanisme asam sorbat dalam mencegah pertumbuhan mikroba adalah dengan mencegah kerja enzim dehidrogenase terhadap asam lemak. Struktur diena pada asam sorbat dapat mencegah oksidasi asam lemak oleh enzim tersebut. Sebaliknya hewan tingkat tinggi dapat memetabolisasi asam sorbat seperti asam lemak biasa (Winarno 2004). Daya kerja efektif sorbat adalah pada pH 6-6,5 (Stophfort et al. 2005). Konsentrasi penghambatan mikroba yang efektif dari asam dan garam sorbat umumnya sekitar 0,05-0,3%. Bakteri yang dihambat pertumbuhannya antara lain Acetobacter, Achromobacter, Clostridium, Escherichia, Pseudomonas, Proteus, Salmonella, Staphylococcus dan Vibrio. Konsentrasi penghambatan ini masih di bawah nilai LD50 untuk sorbat, yaitu pada kisaran 4,2-10,5 g/kg berat badan (Stophfort et al. 2005). Depkes (1999) menentukan batas maksimum asam sorbat dan bentuk garamnya yang boleh digunakan adalah 3 g/kg untuk sediaan keju olahan dan 1 g/kg untuk keju dan margarin. Kalium sorbat telah diteliti secara luas sebagai bahan antimikroba yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan produk hewani dengan menghambat pertumbuhan patogen (Elliot et al. 1985, diacu dalam Jenie et al. 1993). Jenie et al. (1993) melaporkan udang segar direndam kalium sorbat 1%
14
selama 1 menit dan dikemas CO2 yang disimpan pada suhu 4 oC memiliki umur simpan sampai 15 hari. Waliszewski (2000) menggunakan kombinasi potasium sorbat, asam askorbat, dan asam sitrat untuk memperpanjang umur simpan ikan tilapia pada suhu -10 oC. Hasilnya menunjukkan tilapia yang tidak diberi bahan pengawet memiliki kadar hipoksantin yang telah melewati batas konsentrasi, sedangkan yang diberi tambahan bahan pengawet diketahui konsentrasi trimethylamine, hipoksantin dan jumlah bakteri total masih pada angka yang dapat diterima setelah 63 hari penyimpanan. 2.5.2. Asam benzoat Asam benzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunaannya dan sering digunakan pada bahan makanan yang bersifat asam. Bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat efektif pada pH 2,5-4,0. Oleh karena kelarutan garamnya lebih besar maka umumnya digunakan dalam bentuk garam Na-benzoat, sedangkan di dalam bahan makanan, garam benzoat terurai menjadi bentuk efektif yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Tubuh manusia memiliki mekanisme detoksifikasi terhadap asam benzoat, sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan bereaksi dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh (Winarno 2004). Meskipun banyak digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur dan khamir, natrium benzoat dan asam benzoat juga dapat menghambat bakteri pengurai dan patogen, seperti Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, dan Salmonella thypimurium (Cagry et al. 2004). 2.6. Ekstrak Terung Pungo (Solanum sp.) sebagai Bahan Antibakteri Terung pungo (Solanum sp.) merupakan tanaman di daerah pesisir yang telah turun temurun digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Aceh. Tanaman ini terutama daunnya telah dimanfaatkan untuk mengobati sakit gigi. Khasiat dari tanaman ini diduga berasal dari senyawa 1,2-benzenedicarboxylic acid, bis (2-ethylhexyl) ester berdasarkan identifikasi menggunakan GC-MS dan LC-MS yang memiliki kemampuan aktivitas antibakteri (Haswirna 2006). Ekstrak Solanum sp. dengan menggunakan pelarut etil asetat dan metanol memperlihatkan aktivitas antibakteri. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
15
metode difusi agar dengan konsentrasi ekstrak 300 µg/paper disc memperlihatkan zona hambat terhadap pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Meskipun Solanum sp. memperlihatkan aktivitas antibakteri, namun zona hambat yang dihasilkan masih lebih rendah dibandingkan dengan kontrol yang menggunakan kloramfenikol (Haswirna 2006). 2.7. Bandeng Presto Jenis olahan bandeng presto atau bandeng duri lunak merupakan salah satu diversifikasi
pengolahan
hasil
perikanan
terutama
sebagai
modifikasi
pemindangan yang mempunyai kelebihan yaitu tulang dan duri dari ekor hingga kepala menjadi lunak sehingga tidak menimbulkan gangguan pada mulut saat dimakan. Prinsip pengolahan bandeng presto adalah dengan menggunakan suhu tinggi (115-121 oC) dengan tekanan 15 psi. Suhu dan tekanan yang tinggi dapat dicapai dengan menggunakan autoclave atau pressure cooker (Hadiwiyoto dan Naruki 1999). Persyaratan mutu bandeng presto dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persyaratan mutu bandeng presto berdasarkan SNI 01-4106-1996 Jenis Uji
Satuan
a) Organoleptik 1. Nilai minimum 2. Kapang b) Cemaran Mikroorganisme 1. ALT, maksimum 2. Escherichia coli 3. Vibrio cholerae 4. Salmonella 5. Staphylococcus aureus Koagulasi positif, maksimum
Persyaratan Mutu 7 tidak tampak
koloni/g APM/g per 25 g per 25 g koloni/g
2 x 105 <3 negatif negatif 100
c) Cemaran Kimia 1. Timbal, maksimum 2. Tembaga, maksimum 3. Seng, maksimum 4. Timah, maksimum 5. Raksa, maksimum 6. Arsen, maksimum
mg/g mg/g mg/g mg/g mg/g mg/g
2,0 20,0 100,0 40,0 0,5 1,0
d) Kimia 1. Air, maksimum
% bobot/bobot
60
e) Fisika 1. Berat bersih
sesuai label
16
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan sejak Desember 2006 sampai dengan Nopember 2007. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan di Lab. Bioteknologi Hasil Perairan, pembuatan bandeng presto dilakukan di Lab. Pengolahan Hasil Perikanan dan analisis TVB dan pH dilakukan di Lab. Mikrobiologi Hasil Perairan Dep. THP FPIK IPB. Analisis TBA, aw dan kadar air dilakukan di Laboratorium Biokimia PAU-Pangan dan Gizi IPB. 3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1). Kitosan diproduksi oleh PT Araminta Sidhakarya menggunakan teknologi dari Dep. THP FPIK IPB. Stok larutan dibuat 3%, dimana sebanyak 9 g kitosan dilarutkan dalam akuades 300 ml yang telah ditambahkan asam asetat 2%, lalu disaring untuk memisahkan partikel yang tidak terlarut. 2). Kalium sorbat dan natrium benzoat menggunakan bahan teknis yang umumnya dibeli pedagang makanan. Stok larutan yang dibuat adalah 2,5%, dimana sebanyak 125 mg bahan dilarutkan dalam 5 ml akuades. 3). Ekstrak terung pungo (Solanum sp.) diperoleh dari Lab. Bioteknologi Hasil Perairan Dep. THP FPIK IPB. Stok bahan dibuat 0,1% dengan melarutkan 1 mg bahan dalam 1 ml metanol. 4). Media nutrient broth (NB) dibuat dengan melarutkan 10 g peptone, 5 g yeast extract dan 15 g NaCl dalam 1 liter akuades pH 7, kemudian disterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit. Media nutrient agar (NA) dibuat sama seperti NB dengan ditambahkan bacto agar 15 g. 5). Bakteri uji yang digunakan adalah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus diperoleh dari Lab. Bioteknologi Hasil Perairan Dep. THP FPIK IPB. 6). Ikan bandeng (Chanos sp.) segar dan bumbu-bumbu (garam, kunyit, lengkuas dan bawang putih) diperoleh dari pasar lokal dan proses pengolahan bandeng presto mengacu pada Hadiwiyoto dan Naruki (1999).
Alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, timbangan manual, clean bench, grinder, erlenmeyer, kertas saring, hot plate stirrer, corong, evaporator, bunsen, refrigerator, botol ekstrak, spatula, aluminium foil, tabung reaksi, gelas ukur, pipet volumetrik, mikropipet, kapas, autoclave, cawan petri, jarum ose, baki, pisau. Selain itu digunakan pula peralatan untuk pengujian kimia, antara lain cawan conway, gelas porselin, kertas pH-standar dan pH meter, aw meter dan spektrofotometer. 3.3. Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dua tahap. Tahap I adalah pengujian aktivitas antibakteri dari kitosan dan kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. Tahap II adalah aplikasi perlakuan aktivitas antibakteri terbaik dari tahap I pada bandeng presto untuk mengetahui daya awetnya. 3.3.1. Penelitian tahap I: pengujian aktivitas antibakteri Bakteri uji yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri adalah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Sebelum pengujian aktivitas antibakteri, dilakukan penyegaran terlebih dahulu pada bakteri uji. Stok bakteri yang ada dalam agar miring ditanam sebanyak 1 ose ke dalam 20 ml media cair NB pada erlenmeyer 100 ml kemudian digoyang menggunakan shaker selama 18 jam pada suhu ruang. Prosedur pengujian aktivitas antibakteri yaitu menyiapkan media NB steril pada erlenmeyer 250 ml kemudian dimasukkan bahan berdasarkan perlakuan yang dibuat. Setelah itu, bakteri uji diinokulasi sebanyak 1 ml dan diinkubasi menggunakan shaker pada suhu ruang selama 24 jam. Jumlah larutan dalam erlenmeyer 250 ml terdiri dari media NB, bahan antibakteri dan suspensi bakteri adalah 50 ml. Setelah inkubasi, dilakukan analisis kuantitatif menggunakan uji TPC (total plate count) untuk menghitung jumlah populasi bakteri. Prosedur pengujian antibakteri dan perlakuan bahan antibakteri yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.
18
Perlakuan: 1. Kitosan 0,1% 2. Kitosan 0,05% 3. Kitosan 0,05% + Kalium sorbat 0,05% 4. Kitosan 0,05% + Natrium benzoat 0,05% 5. Kitosan 0,05% + Ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml 6. Kalium sorbat 0,1% 7. Natrium benzoat 0,1% 8. Ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml 9. Kontrol (tanpa perlakuan) 10. Asam asetat 0,07%
Media nutrient broth steril 50 ml dalam erlenmeyer 250 ml
Masing-masing bahan dimasukkan dalam media sesuai perlakuan
Bakteri uji diinokulasi 1 ml
Diinkubasi menggunakan shaker pada suhu ruang selama 24 jam
Dilakukan perhitungan kuantitatif dengan uji TPC
Gambar 2. Diagram alir pengujian aktivitas antibakteri 3.3.2. Penelitian tahap II: aplikasi perlakuan bahan antibakteri terbaik pada pengawetan bandeng presto Perlakuan yang memberikan aktivitas antibakteri terbaik dari penelitian tahap I diaplikasikan pada bandeng presto untuk mengetahui daya awetnya. Prosedur pembuatan bandeng presto mengacu pada Hadiwiyoto dan Naruki (1999). Bumbu-bumbu yang digunakan adalah campuran dari garam 100 g, bawang putih 20 g, kunyit 25 g dan lengkuas 15 g yang dilarutkan dalam 1000 ml air. Daun pisang digunakan sebagai pemisah bandeng selama pemasakan agar produk tidak hancur. Pengemasan dilakukan non-vacuum menggunakan plastik jenis HDPE yang telah disterilkan. Proses pemasakan bandeng presto menggunakan autoklaf pada suhu 121 oC dan 15 psi selama 60 menit. Prosedur aplikasi perlakuan bahan antibakteri terbaik pada pengawetan bandeng presto dapat dilihat pada Gambar 3.
19
Bandeng segar
Peredaman (30 menit) Air Dingin + garam 3%
Perendaman bumbu (15 menit)
Penirisan (5 menit)
Perendaman I Bahan antibakteri (15 menit)
Pengeringanginan (5 menit)
Perendaman II Bahan antibakteri (15 menit)
Pengeringanginan (5 menit)
Pemasakan 121 oC, 15 psi, 60 menit
Pengemasan HDPE steril dan non-vacuum
Penyimpanan suhu ruang (28-30oC)
Analisis dan waktu pengamatan TPC & pH: setiap 24 jam selama 120 jam TVB; TBA; aw; kadar air: jam ke 0 & 72
Gambar 3. Diagram alir aplikasi bahan antibakteri terbaik pada bandeng presto
20
3.4. Prosedur Analisis 3.4.1. Jumlah bakteri total (Fardiaz 1993) Perhitungan jumlah bakteri total menggunakan metode total plate count (TPC). Prinsip dari pengamatan ini adalah menentukan populasi bakteri yang terdapat pada bahan pangan. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: (1) Tahap persiapan. Menimbang 5 g sampel secara aseptis dan representatif, dimasukkan dalam blender jars steril dan menambahkan 45 ml NaCl 0,85% steril
lalu di-blender sampai homogen. Larutan yang diperoleh adalah
pengenceran 1:10. (2) Tahap inokulasi. Mengambil 1 ml dari larutan 1:10 untuk dimasukkan dalam cawan petri steril, lalu ditambahkan larutan media plate count agar steril bersuhu 45 0C sebanyak 15 ml dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agar memadat. Proses ini dilakukan juga pada larutan dengan pengenceran 1:100 sampai 1:10.000.000, secara duplo. (3) Tahap inkubasi. Setelah media yang telah diinokulasi memadat, kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37 0C dengan posisi terbalik selama 48 jam (4) Perhitungan jumlah bakteri berdasarkan ISO Standards for Microbiological Methods (Harrigan 1998), yaitu:
N
c (n1 0,1n2 ).d
Dimana: ∑c = jumlah koloni bakteri pada semua cawan yang mengandung 30-300 koloni n1
= jumlah cawan petri yang masuk perhitungan pada pengenceran pertama
n2
= jumlah cawan petri yang pada masuk perhitungan pengenceran berikutnya
d
= faktor pengenceran pertama
3.4.2. Nilai pH (AOAC 1995) Pengukuran nilai pH dilakukan menggunakan pH-meter (TOA HM-11P) yang telah dikalibrasi menggunakan buffer pH 7 dan pH 4. Sampel yang ditambahkan akuades (perbandingan 1:10 w/v), dan dihancurkan dengan homogenizer. Elektroda dicelup dalam larutan sampel sampai diperoleh pembacaan angka yang stabil, lalu nilai pH dicatat.
21
3.4.3. Nilai TVB (AOAC 1995) Prinsip penetapan total volatile bases (TVB) adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, di-, tri- metil amin, dll) di dalam ekstrak sampel yang bersifat basa pada suhu 35 0C selama 2 jam atau suhu kamar selama semalam. Senyawa-senyawa tersebut akan diikat oleh asam borat kemudian dititrasi dengan HCl. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: 1). Menimbang 25 g sampel, kemudian menggilingnya dengan ditambahkan 75 ml larutan TCA 7% (w/v) dengan homogenizer selama 1 menit. Larutan disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat yang jernih. 2). Menyiapkan cawan conway, yaitu dengan menuang 1 ml asam borat dalam inner chamber, sedangkan filtrat dan K2CO3 jenuh dituang dalam outer chamber pada arah yang berlawanan masing-masing sebanyak 1 ml. 3). Setelah cawan ditutup rapat (ditambahkan vaseline), kemudian dimasukkan dalam inkubator (suhu 35 0C) selama 2 jam dan sebelumnya cawan digoyang dengan hati-hati sampai filtrat dan K2CO3 bercampur. 4). Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam inner chamber dititrasi dengan larutan HCl N/70 sampai larutan asam borat berubah warna. 5). Pada blanko, filtrat diganti dengan TCA 7% dengan prosedur sama dengan poin (1) sampai (4). 6). Nilai TVB diukur dengan persamaan sebagai berikut:
TVB (mg N/100 g) (a - b) N HCl 14,007
100 100 g sampel 1
Dimana : a = ml titrasi HCl pada sampel b = ml titrasi HCl pada blanko 3.4.4. Nilai TBA (Apriyantono et al. 1989) Prinsip analisis adalah malonaldehida pada sampel direaksikan dengan 2thiobarbituric acid (pereaksi TBA) membentuk warna merah. Intensitas warna yang terbentuk diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dan dilaporkan sebagai nilai TBA, dinyatakan dalam mg malonaldehida/kg sampel. Prosedur kerjanya sebagai berikut: 1). Menimbang bahan sebanyak 10 g, dimasukkan dalam waring blender dan ditambahkan 50 ml akuades dan dihancurkan selama 2 menit.
22
2). Memindahkan secara kuantitatif dalam labu distilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml akuades, nilai pH diatur dengan menambahkan ± 2,5 ml HCl 4 M. 3). Melakukan destilasi dengan pemanasan tinggi, sampai diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. 4). Destilat yang diperoleh diaduk merata dan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi tertutup. 5). Menambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih 6). Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi, dan dilakukan seperti penetapan sampel. 7). Tabung reaksi didinginkan dengan air pendingin selama ± 10 menit, lalu diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. 8). Perhitungan nilai TBA dinyatakan dalam mg malonaldehida / kg sampel. Nilai TBA = 7,8 D x 10/g berat sampel 3.4.5. Kadar air (AOAC 1995) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 g. Cawan yang telah berisi sampel dimasukkan dalam oven bersuhu 105 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang. Pengeringan di oven dilakukan kembali sampai berat sampel konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut: kadar air (%)
berat awal - berat akhir x 100% berat awal
3.4.6. Nilai aw (water activity) Pengukuran nilai aw menggunakan aw-meter (Shibawa aw-meter WA-360). Cara pengoperasian alat adalah sebagai berikut: 1). Memastikan probe dan tempat sampel bersih, kering dan bebas lemak. 2). Alat dihubungkan dengan arus listrik, lalu menekan tombol Power “on/off”. 3). Menekan tombol Menu dan dipilih Mode menggunakan tanda panah turun, dipilih “standard”, kemudian menekan Enter.
23
4). Didiamkan selama 30 menit. 5). Sebelum pengujian sampel, dilakukan kalibrasi menggunakan humidity standard berturut-turut 35% RH, 80% RH, 95% RH, 10% RH, dan 0,5% RH. Bila sampel yang diukur memiliki nilai rata-rata RH di bawah 20% RH, maka cukup dikalibrasi menggunakan humidity standard 80% RH. 6). Memasukkan ± 3 g sampel (telah dihancurkan) pada probe dan Enter ditekan. 7). Pembacaan dianggap stabil apabila tanda panah pada monitor tidak berubah. 8). Mencatat nilai aw dan suhu yang tertera pada layar. 9). Ditekan Enter untuk keluar dari Data. 10). Mematikan alat dengan menekan Power “ on/off” dan stop kontak dicabut. 3.5. Analisis Statistik Rancangan percobaan pada penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan selang kepercayaan 95%. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dua kali ulangan dan pembuatan bandeng presto dilakukan tiga kali ulangan pada setiap perlakuan. Data hasil pengamatan diolah dengan analisis keragaman (ANOVA), dan bila memperlihatkan pengaruh nyata, dilanjutkan uji Tukey pada α = 5%. Analisis model regresi dilakukan pada perubahan nilai TPC dan pH bandeng presto selama penyimpanan. Analisis data menggunakan program software SPSS 12.0 for windows.
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Kitosan Karakteristik kitosan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Kadar air, kadar abu, derajat deasetilasi dan logam berat pada kitosan masih berada pada angka yang masih diijinkan oleh BPOM RI. Menurut No dan Meyers (1995) produk kitosan komersial memiliki kadar air < 10%, kadar abu < 2% dan derajat deasetilasi > 70%. Tabel 2. Karakteristik kitosan Deskripsi
Parameter
a
Kadar air (%) Kadar Abu (% bk) Total Nitrogen (% bk) Derajat Deasetilasi (%) Warna larutan Viskositas (cps) (1%) Kandungan logam (ppm) As Cd Hg Pb Cu Zn
2,77 0,5 4,85 80,45 bening 210
b < 10,0% < 2,0% > 80% -
< 0,003 < 0,002 < 0,001 < 0,1 3,38 6,48
<5 <5 <5 <5 -
a. Kitosan produksi PT Araminta Sidhakarya (Maulana 2007) b. Berdasarkan SK Badan POM RI No. HK.00.05.52.6581 tentang kitosan dalam produk pangan
Pengukuran
kadar
abu
merupakan
indikator
keefektifan
proses
demineralisasi untuk membuang kalsium karbonat dari kulit udang sebagai bahan baku. Kadar abu pada kitosan merupakan parameter penting yang dapat mempengaruhi kelarutan mengakibatkan viskositas yang rendah atau dapat mempengaruhi karakteristik pada produk akhir (No dan Meyers 1995). Adanya kandungan nitrogen pada kitosan kemungkinan disebabkan adanya residu protein. Protein terikat secara kovalen dengan kitosan membentuk struktur yang stabil dengan kitin dan kitosan sehingga sulit untuk menghasilkan produk yang bebas dari residu protein (Austin et al. 1981), dan jika proses deproteinasi lengkap, nitrogen masih terdapat pada kitosan yang memiliki gugus amino (No dan Meyers 1995).
4.2. Aktivitas Antibakteri pada Kitosan dan Kombinasinya dengan Kalium Sorbat, Natrium Benzoat dan Ekstrak Solanum sp. Penelitian aktivitas antibakteri menggunakan E. coli dan S. aureus sebagai bakteri uji. Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, selain ikut berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. E. coli merupakan bakteri Gram-negatif yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia, sehingga sering dijadikan bakteri indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi (Fardiaz 1993). Tidak semua jenis E. coli menyebabkan penyakit pada manusia, namun ada potensi bahaya bila jenis bakteri ini terdeteksi pada makanan dan dikonsumsi manusia (Batt 1999). Bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm dan tumbuhnya secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang menyebabkan keracunan dan sering ditemukan pada jenis makanan yang mengandung protein tinggi seperti ikan, telur dan daging. Enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus bersifat tahan panas dan masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100 oC selama 30 menit (Fardiaz 1993). Bahan antibakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah kitosan dan kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. Perlakuan yang digunakan adalah: kitosan 0,1%; kitosan 0,05%; kombinasi kitosan 0,05% dengan kalium sorbat 0,05%; kombinasi kitosan 0,05% dengan natrium benzoat 0,05%; dan kombinasi kitosan 0,05% dengan terung pungo 20 µg/ml. Dilakukan juga pengujian untuk kontrol (tanpa diberi perlakuan); kalium sorbat 0,1%; natrium benzoat 0,1%; ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml; dan asam asetat 0,07%. Hasil pengujian aktivitas antibakteri disajikan pada Gambar 4 dan hasil perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 1. Kombinasi kitosan dengan kalium sorbat, natrium benzoat maupun ekstrak Solanum sp., tidak memberikan efek antibakteri yang sinergis. Hal ini terlihat pada kitosan 0,05% yang memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi daripada kombinasinya dengan kalium sorbat, natrium benzoat maupun ekstrak Solanum sp., yang memiliki jumlah bakteri sebesar 2,21 ± 0,07 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 3,94 ± 0,63 log cfu/ml terhadap E. coli. Kitosan 0,1% memiliki aktivitas antibakteri paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain dengan
26
jumlah bakteri paling sedikit, baik terhadap S. aureus yaitu 1,17 ± 0,06 log cfu/ml maupun terhadap E. coli yaitu 1,43 ± 0,27 log cfu/ml. 10
Jumlah bakteri (log cfu/ml)
9
Bakteri uji: Escherichia coli
d
cd
cd
cd
B
T
AA
C
f
f
AA
C
c
8 7 6 5
b
b
b
b
0,05
KS
KB
KT
4 3 a 2 1 0 0,1
S
Perlakuan antibakteri 10 9
Jumlah bakteri (log cfu/ml)
Bakteri uji: Staphylococcus aureus
e
8
d
d
S
B
reus
7 6 5 4 3 2
c
bc
KS
KB
b
bc
a
1 0 0,1
0,05
KT
T
Perlakuan antibakteri Keterangan: Perlakuan: 0,1 = kitosan 0,1%; 0,05 = kitosan 0,05%; KS = kitosan 0,05% + kalium sorbat 0,05%; KB = kitosan 0,05% + natrium benzoat 0,05%; KT = kitosan 0,05% + ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml; S = kalium sorbat 0,1%; B = natrium benzoat 0,1%; T = ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml; AA = asam asetat 0,07%; dan C =kontrol (tanpa diberi perlakuan). Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (uji Tukey α = 5%).
Gambar 4. Hasil pengujian aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri pada kitosan 0,05% yang dikombinasikan dengan kalium sorbat 0,05% memiliki jumlah bakteri sebesar 2,65 ± 0,01 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 4,38 ± 0,20 log cfu/ml terhadap E. coli, sedangkan
27
kombinasi kitosan 0,05% dengan natrium benzoat 0,05% memiliki jumlah bakteri sebesar 2,58 ± 0,11 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 4,31 ± 0,10 log cfu/ml E. coli. Kombinasi yang dilakukan antara kitosan dengan kalium sorbat ataupun natrium benzoat tidak memberikan efek sinergis karena diduga terjadi reaksi saat kedua bahan dikombinasikan. Kitosan yang memiliki gugus muatan positif NH3+ pada struktur molekulnya diduga bereaksi dengan gugus sorbat dan benzoat yang bermuatan negatif membentuk garam. Hal ini dapat diamati secara visual saat mencampurkan kitosan dan kalium sorbat maupun natrium benzoat pada media cair yang terlihat keruh dan membentuk flokulan berwarna putih susu pada media. Percobaan yang dilakukan dengan menambahkan kalium sorbat lebih banyak pada media yang mengandung kitosan (di luar metode penelitian), memperlihatkan terbentuknya gumpalan-gumpalan berwarna putih yang lebih besar. Proses inilah yang diduga melemahkan aktivitas antibakteri pada kitosan, sehingga kombinasi kitosan dengan kalium sorbat dan natrium benzoat justru memiliki aktivitas antibakteri yang tidak sinergis. Kombinasi kitosan 0,05% dengan ekstrak terung pungo (Solanum sp.) 20 µg/ml memperlihatkan aktivitas antibakteri dengan jumlah bakteri sebesar 2,36 ± 0,01 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 4,20 ± 0,09 log cfu/ml terhadap E. coli. Aktivitas penghambatan bakteri dari kombinasi ini tidak berbeda nyata dibandingkan kitosan 0,05%. Hal ini menunjukkan kedua bahan ini tidak memberikan efek antibakteri yang sinergis bila dikombinasikan. Hasil ini memperlihatkan kemampuan aktivitas antibakteri pada kitosan lebih baik dibandingkan kombinasi kitosan dengan kalium sorbat, natrium benzoat dan ekstrak Solanum sp. Penelitian ini juga melakukan pengujian aktivitas antibakteri pada kalium sorbat 0,1%, natrium benzoat 0,1%, asam asetat 0,07% dan kontrol (tanpa perlakuan) sebagai pembanding. Pengujian aktivitas antibakteri pada kalium sorbat 0,1% memiliki jumlah bakteri sebesar 7,35 ± 0,04 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 7,89 ± 0,26 log cfu/ml terhadap E. coli, sedangkan pada natrium benzoat 0,1% memiliki jumlah bakteri sebesar 7,24 ± 0,07 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 7,92 ± 0,26 log cfu/ml terhadap E. coli. Hal ini menunjukkan kemampuan kalium sorbat dan natrium benzoat kurang kuat dalam menghambat
28
pertumbuhan bakteri bila dibandingkan kitosan 0,1%. Pengujian aktivitas antibakteri pada terung pungo 20 µg/ml memperlihatkan kemampuan yang rendah, dengan jumlah bakteri sebesar 7,75 ± 0,25 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 8,42 ± 0,05 log cfu/ml terhadap E. coli. Dilakukan juga pengujian aktivitas antibakteri terhadap asam asetat, karena senyawa ini digunakan dalam melarutkan kitosan. Konsentrasi 0,07% dihitung dari jumlah asam asetat untuk melarutkan kitosan 0,1%. Aktivitas antibakteri asam asetat 0,07% menunjukkan rendahnya aktivitas penghambatan bakteri dari senyawa ini dengan jumlah bakteri sebesar 8,46 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 8,87 ± 0,04 log cfu/ml terhadap E. coli, sedangkan kontrol adalah 8,66 ± 0,04 log cfu/ml terhadap S. aureus dan 8,95 ± 0,09 log cfu/ml terhadap E. coli. Mekanisme antibakteri pada kitosan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Menurut Tsai dan Su (1999), aktivitas antibakteri pada kitosan tergantung pada muatan positif pada kitosan dan muatan negatif pada permukaan mikroba yang diperlihatkan oleh kekuatan elektrostatis antara proton gugus NH2 pada kitosan dan residu negatif pada permukaan sel bakteri. Oleh karena itu, kitosan yang memiliki derajat deasetilasi (DD) tinggi akan memiliki muatan positif yang tinggi menyebabkan adanya aktivitas antibakteri yang tinggi pula, dimana keberadaan sejumlah gugus NH2 terprotonasi pada kitosan akan meningkat dengan meningkatnya DD (Tsai et al. 2002). Aktivitas antibakteri pada kitosan tergantung pada beberapa faktor antara lain DD, suhu dan berat molekul. Kitosan dengan DD yang tinggi lebih efektif melawan mikroorganisme. Kitosan dengan berat molekul yang rendah dapat masuk dalam sel-sel mikroba dan merusak metabolisme pada sel, dan pada kitosan dengan berat molekul tinggi akan membentuk film di sekitar sel, sehingga menghambat masuknya nutrisi dalam sel (Zheng dan Zhu 2003). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kitosan juga memiliki kemampuan
menghambat
S.
aureus
(bakteri
Gram-positif)
lebih
baik
dibandingkan terhadap E. coli (bakteri Gram-negatif). Zheng dan Zhu (2003) menjelaskan adanya mekanisme antibakteri yang berbeda pada kitosan terhadap dua jenis bakteri yang diamati, yaitu E. coli dan S. aureus. Mekanisme pertama adalah kitosan pada permukaan sel bakteri dapat membentuk suatu membran
29
polimer (film) sehingga menghambat absorbsi nutrisi ke dalam sel. Mekanisme kedua adalah kitosan dengan berat molekul yang rendah mampu menembus masuk ke dalam sel sehingga mampu mengabsorbsi senyawa elektronegatif dan memflokulasinya, mengakibatkan terjadi kerusakan pada aktivitas fisiologis bakteri dan akhirnya membunuhnya. Mekanisme pertama lebih dominan terhadap S. aureus dan mekanisme kedua terhadap E. coli. Tsai dan Su (1999) melaporkan bahwa kitosan menyebabkan lepasnya glukosa dan laktat dehidrogenase dari sel E. coli. Menurut Liu et al. (2004), kitosan dapat meningkatkan permeabilitas membran luar (outer membrane) dan membran dalam (inner membrane) dan akhirnya merusak membran sel pada bakteri dengan melepaskan kandungan seluler. Kerusakan ini diduga disebabkan oleh interaksi elektrostatis antara gugus NH3+ pada kitosan asetat dengan gugus fosforil dari komponen fosfolipida pada membran sel. 4.3. Penggunaan Kitosan terhadap Daya Awet Bandeng Presto Tujuan penelitian ini adalah menggunakan bahan yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik dari penelitian tahap I untuk diaplikasikan sebagai bahan pengawet pada produk perikanan. Hasil penelitian tahap I memperlihatkan bahwa kitosan dengan konsentrasi 0,1% memiliki kemampuan antibakteri lebih baik dibandingkan dengan kitosan yang dikombinasikan dengan kalium sorbat, natrium benzoat maupun ekstrak Solanum sp. Produk yang digunakan dalam penelitian ini adalah bandeng presto yang disimpan pada suhu kamar (28-30 oC). 4.3.1. Jumlah bakteri total dan nilai pH Parameter mikrobiologis pada produk perikanan merupakan faktor kunci dalam menentukan keamanan untuk konsumsi manusia. Kontaminasi bakteri pada produk perikanan dapat terjadi saat panen, penanganan, distribusi maupun penyimpanan dan proses pengolahan (Wekell et al. 1994). Oleh karena itu, lembaga standardisasi pangan di beberapa negara telah mengatur batasan jumlah bakteri total yang aman pada produk pangan untuk dikonsumsi. Menurut Sikorski et al. (1990), bakteri sangat berperan dalam proses pembusukan ikan. Bakteri pada awal penyimpanan produk umumnya tidak ditemukan, tetapi produk metabolitnya dapat masuk ke dalam lapisan daging ikan.
30
Selama proses pembusukan, jumlah bakteri proteolisis dari jumlah bakteri total dalam daging ikan sekitar 30%, sehingga bakteri dapat berperan nyata dalam proses hidrolisis protein pada proses kerusakan ikan. Hasil analisis regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan jumlah bakteri disajikan pada Gambar 5 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
y = 1,32 + 0,30x – (3,82 × 10-3)x2 + (2,0 × 10-5)x3 R2 = 0,99
Jumlah bakteri (log cfu/g)
10,0
8,0 y = 1,22 + 0,15x – (1,3 × 10-3)x2 + (5,0 × 10-6)x3 R2 = 0,99
6,0
5,30 (SNI 01-4106-1996) 4,0
kontrol kitosan Poly. (kontrol) Poly. (kitosan)
2,0 16,15
38,10
24
48
0 0
72
96
120
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 5. Model regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan jumlah bakteri Jumlah bakteri total yang diamati pada bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% maupun kontrol pada pengamatan jam ke-0 adalah < 1,20 ± 0,17 log cfu/g dan < 1,10 ± 0,17 log cfu/g. Jumlah total bakteri yang rendah pada jam ke 0 disebabkan oleh proses pemasakan pada suhu 121oC, tekanan 15 psi selama 60 menit (Hadiwiyoto dan Naruki 1999) menyebabkan bakteri akan mati karena kondisi pengolahannya sama dengan proses sterilisasi bahan pangan. Batasan maksimal jumlah bakteri total berdasarkan SNI 01-4106-1996 pada produk bandeng presto adalah 2 x 105 cfu/g yang sama dengan 5,3 log cfu/g. Oleh karena itu, dengan menggunakan model regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan jumlah bakteri menunjukkan bahwa kitosan
31
mampu memperpanjang umur simpan bandeng presto dari 16 sampai 38 jam pada penyimpanan suhu kamar (28-30 oC). Perendaman bandeng menggunakan kitosan membentuk suatu lapisan yang dapat melindungi produk dari kontaminasi. Darmadji dan Izumimoto (1994) menduga bahwa model penghambatan yang dilakukan oleh kitosan terhadap pertumbuhan beberapa bakteri perusak pada daging disebabkan adanya interaksi antara kitosan dengan membran atau komponen dinding sel bakteri, mengakibatkan peningkatan permeabilitas pada membran dan lepasnya material sel dari jaringan, atau karena kemampuan mengikat air dan penghambatan berbagai enzim oleh kitosan. Selain itu kitosan juga memiliki aktivitas bioabsorbansi dan dapat mengabsorbsi nutrisi pada bakteri sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Jeon et al. (2002) menjelaskan bahwa kitosan diduga mengkelat ion-ion dari lapisan lipopolisakarida pada membran luar, menyebabkan permukaan sel luar menjadi lebih permeabel, selanjutnya akan melepaskan komponen-komponen sel bakteri. Pelapisan kitosan juga bertindak sebagai penghambat terhadap transfer oksigen, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan bakteri aerobik. Hasil analisis regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan nilai pH disajikan pada Gambar 6 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 3. Model regresi waktu penyimpanan terhadap nilai pH bandeng presto, baik yang direndam kitosan 0,1% dengan kontrol relatif sama. Perubahan nilai pH penting diamati pada proses kerusakan daging ikan. Penurunan nilai pH berkaitan dengan proses hidrolisis ATP. Tekstur pada ikan yang telah dimasak berhubungan dengan nilai pH postmortem pada daging ikan segar, dimana nilai pH yang rendah akan menguatkan teksturnya (Fennema 1996). Penurunan nilai pH pada penyimpanan jam ke 24 disebabkan oleh bahan baku bandeng ketika diolah sudah memasuki fase post-rigor, sehingga masih terjadi proses glikolisis. Perubahan derajat keasaman (pH) pada ikan terjadi karena terurainya glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan nilai pH menurun, dilanjutkan bebasnya fosfat anorganik dan amoniak yang disebabkan degradasi enzimatis pada ATP yang menyebabkan nilai pH meningkat (Sikorski et al. 1990). Selain itu, peningkatan nilai pH setelah penyimpanan jam ke 24 juga disebabkan oleh
32
terurainya protein sebagai penyusun makromolekul tubuh ikan menjadi komponen-komponen biogenik amina (Hadiwiyoto 1992). 7,0
Nilai pH
6,8
y = 5,96 – (8,7 × 10-3)x + (3,0 × 10-4)x2 – (1,0 × 10-6)x3 R2 = 0,93
6,6 6,4 6,2
y = 5,96 – (8,5 × 10-3)x + (2,0 × 10-4)x2 – (4,0 × 10-7)x3 R2 = 0,95
6,0
Kontrol Kitosan Poly. (Kontrol) Poly. (Kitosan)
5,8 5,6 0
24
48
72
96
120
Waktu pengamatan (jam)
Gambar 6. Model regresi waktu penyimpanan bandeng presto terhadap perubahan nilai pH 4.3.2. Nilai TVB Perubahan mutu ikan dan produknya dapat diketahui dengan mengamati perubahan kimiawi seperti total volatile bases (TVB). Senyawa-senyawa volatil seperti
trimethylamine atau TMA ((CH3)3N), dimethylamine atau DMA
((CH3)2NH) dan amoniak (NH3) adalah produk dari degradasi mikroba dan diketahui sebagai TVB. Oleh karena itu nilai TVB berpotensi sebagai indikator kerusakan ikan (Botta 1994; Pacquit et al. 2006). Trimethilamine oxide (TMAO) yang secara alami terdapat pada ikan akan tereduksi menjadi TMA, amoniak dan amina yang merupakan basa-basa volatil menjadi indikator proses kerusakan ikan. Reduksi ini dapat disebabkan oleh bakteri karena adanya korelasi antara peningkatan TMA dengan bakteri pereduksi TMAO (Fardiaz dan Jenie 1988). Sejumlah bakteri mampu menghasilkan TMA, bertanggungjawab terhadap bau ikan (fishy odor) dan mampu memanfaatkan TMAO sebagai terminal aseptor elektron (Sikorski et al. 1990). Bakteri jenis Aeromonas spp., Enterobacteriaceae, Pseudomonas phosphoreum, Shewanella putrefaciens dan Vibrio spp., dapat mereduksi TMAO menjadi TMA (Gram dan Dalgaard 2002). Oleh karena itu, dilakukan pengamatan perubahan TVB selama
33
penyimpanan bandeng presto. Perubahan nilai TVB pada bandeng preto disajikan pada Gambar 7 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4. 30
Nilai TVB (mg N/100 g)
Kontrol
Kitosan 0,1% c
25
b
20 15 10
a
a
5 0 0
72
Waktu pengamatan (jam) Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (uji Tukey α = 5%)
Gambar 7. Perubahan nilai TVB pada bandeng presto Nilai TVB bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% adalah 8,97 ± 0,53 mg N/100 g pada jam ke 0 dan 18,95 ± 0,61 mg N/100 g pada jam ke 72. Nilai TVB pada kontrol adalah 9,14 ± 0,39 mg N/100 g pada jam ke 0 meningkat menjadi 23,6 ± 0,81 mg N/100 g pada jam ke 72. Pengamatan nilai TVB bandeng presto menunjukkan bahwa produk yang direndam kitosan 0,1% mampu menghambat proses pembentukan basa nitrogen. Darmadji dan Izumimoto (1994) melaporkan bahwa selama penyimpanan daging yang mengandung kitosan pada berbagai suhu penyimpanan memiliki nilai TVB yang lebih rendah daripada kontrol. Beberapa bakteri perusak seperti Pseudomonas sp., menghasilkan enzim-enzim proteolisis yang berperan dalam degradasi protein. Proses ini menyebabkan pembusukan pada daging dan menghasilkan basa-basa nitrogen yang bersifat
volatil,
namun kitosan
memperlihatkan kemampuannya menghambat pertumbuhan bakteri jenis ini. Jeon et al. (2002) membuktikan bahwa pelapisan dengan kitosan mampu mengurangi kerusakan kimiawi (TVB-N, TMA, dan Hx), oksidasi lipida dan pertumbuhan mikroorganisme pada filet ikan Gadus morhua dan Clupea harengus dibandingkan kontrol (tidak dilapisi kitosan) yang disimpan selama 12 hari pada suhu 4 oC. Mereka menyimpulkan bahwa kitosan sebagai edible coating mampu meningkatkan mutu produk perikanan selama penyimpanan.
34
4.3.3. Nilai TBA Daging dan produknya rentan terhadap oksidasi lipida yang menyebabkan cepatnya terjadi proses ketengikan. Oksidasi lipida diawali dengan pembentukan radikal bebas yang bereaksi dengan oksigen membentuk hidroperoksida yang terdegradasi pada berbagai senyawa aldehida. Malonaldehida dan senyawasenyawa aldehida lainnya merupakan penyusun terbesar dari reaksi pembentukan TBA (Al Kahtani et al. 1996). Pengujian nilai TBA digunakan untuk mengevaluasi tingkat proses ketengikan oksidasi lipida pada produk pangan. Ketengikan suatu produk pangan diekspresikan dengan nilai TBA (miligram malonaldehida per kilogram sampel). Malonaldehida adalah produk dari proses auto-oksidasi berbagai asam lemak tak jenuh dan merupakan reaksi kuat dikarbonil yang berkondensasi dengan dua molekul TBA (2-thiobarbituric acid) membentuk warna merah (Piccini et al. 1986). Produk-produk perikanan sangat rentan terhadap kemunduran mutu karena terjadinya oksidasi lipida pada asam-asam lemak tak jenuh, yang dikatalisis oleh keberadaan senyawa hematin dalam konsentrasi yang tinggi dan ion-ion logam dalam otot ikan. Selain itu, mutu produk perikanan juga dipengaruhi oleh autolisis, adanya kontaminasi dan pertumbuhan mikroorganisme, dan hilangnya sifat-sifat fungsional protein (Jeon et al 2002). Rao et al. (2005) melaporkan bahwa daging masak rentan terjadi peroksidasi lipida, karena proses pemasakan akan merusak komponen antioksidan alami, merusak struktur sel yang menyebabkan membran lipida tidak terlindungi. Umur simpan daging mentah dan daging olahan banyak dipengaruhi oleh perubahan oksidasi. Daging yang dimasak lebih sensitif terhadap oksidasi lipida dibandingkan daging mentah, karena kerusakan struktur dan denaturasi protein dalam membran yang disebabkan oleh pemanasan (Gray et al. 1996), sehingga dibutuhkan antioksidan sebelum proses pemasakan untuk menghambat oksidasi lipida pada produk daging (Kanatt et al. 2008). Jumlah lipida total dalam ikan bandeng rata-rata adalah 4,5-4,9%, dimana jenis ikan ini dapat diklasifikasikan sebagai ikan yang berlemak (fatty fish). Komposisi asam lemak tak jenuh mencakup > 60% dari total lipid pada bandeng, dimana sebagian besar asam lemak tak jenuh pada bandeng air tawar merupakan
35
C16:1 (15,8%), C18:1 (12,96%), dan C18:3 (7,87%), sementara pada bandeng air payau adalah C18:1 (10,15%), C20:1 (5,17%), C22:1 (6,05%), C20:2 (6,34%) dan C20:5 (6,22%) (Bautista et al. 1991). Oleh karena itu produk olahan dari ikan bandeng rentan terhadap proses oksidasi lipida. Peningkatan umur simpan produk pangan terutama ikan dapat dilakukan dengan menggunakan antioksidan, dan kitosan memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antibakteri (Kamil et al. 2002; No et al. 2002), sehingga dapat memperlambat oksidasi lipida dan menghambat pertumbuhan bakteri perusak selama penyimpanan. Hasil pengamatan nilai TBA pada bandeng presto disajikan pada Gambar 8 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Nilai TBA (mg malonaldehida/kg )
10
Kontrol
Kitosan 0,1%
b
8
6
4
2
a
a
a
0 0
72
Waktu pengamatan (jam) Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (uji Tukey α = 5%)
Gambar 8. Perubahan nilai TBA pada bandeng presto Nilai TBA (mg malonaldehida/kg) bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% adalah 1,45 ± 0,59 pada pengamatan jam ke 0 dan 1,66 ± 0,31 pada jam ke 72, sedangkan nilai TBA pada kontrol pada jam ke 0 adalah 1,45 ± 0,59 meningkat menjadi 8,51 ± 0,66 pada jam ke 72. Hasil ini membuktikan bahwa kitosan berpotensi sebagai antioksidan untuk menghambat kemunduran mutu bandeng presto yang disebabkan oksidasi lipida. Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa kitosan dapat menghambat peningkatan nilai TBA pada suatu bahan pangan. Darmadji dan Izumimoto (1994) melaporkan bahwa penambahan kitosan pada konsentrasi 0,2%, 0,5% dan 1% menghasilkan penurunan nilai TBA masing-masing sekitar 10%, 25% dan 40% pada daging pada hari pertama penyimpanan, dan pada
36
pengamatan hari ke 3 penyimpanan pada suhu 4 oC, kitosan 1% mampu mengurangi nilai TBA sampai 70% pada daging. Kim dan Thomas (2007) meneliti nilai TBA pada ikan salmon yang ditambahkan kitosan pada konsentrasi 0,2%, 0,5% dan1% (w/v) dan disimpan selama 15 hari pada suhu 4 oC. Hasilnya memperlihatkan bahwa nilai TBA tertinggi terdapat pada ikan salmon yang tidak diberi perlakuan (kontrol), sebaliknya nilai TBA terendah terdapat pada ikan salmon yang diberi kitosan. Hasil ini membuktikan bahwa pemberian kitosan mampu menghambat laju oksidasi lipida pada ikan salmon. Shahidi et al. (2002) melaporkan bahwa aktivitas antioksidan
pada
kitosan dengan viskositas berbeda terhadap ikan cod masak disebabkan kemampuannya dalam mengkelat logam. Beberapa sumber logam besi yang berikatan dengan protein terdapat dalam jaringan ikan seperti myoglobin, feritin, dan transferin. Besi yang terikat dengan protein akan terlepas selama proses penyimpanan dan pemasakan, sehingga mengaktivasi oksigen dan menginisiasi oksidasi lipid. Proses oksidasi ikan selama proses pemasakan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan ikan segar. Lee dan Toledo (1977) menemukan bahwa proses pemasakan berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai TBA pada daging lumat ikan mulet selama penyimpanan suhu beku. Proses pemasakan akan menyebabkan lipida berinteraksi dengan oksigen dengan cepat atau melepaskan besi dengan merusak sistem membran otot (Love dan Pearson 1976). Kitosan memiliki sejumlah gugus amina dalam struktur kimianya yang dapat mengkelat logam dan selanjutnya mengurangi aktivitas pro-oksidan (Winterowd dan Sanford 1995; Peng et al. 1998). Perbedaan viskositas pada kitosan diketahui mampu melidungi ikan cod masak dari oksidasi dengan berbagai tingkatan, disebabkan perbedaan derajat deasetilasi ataupun berat molekul yang mempengaruhi proposi gugus amino dalam molekul kitosan (Shahidi et al. 2002). Aktivitas antioksidan pada kitosan yang diaplikasikan pada produk perikanan dipengaruhi oleh viskositas dan berat molekulnya (Kamil et al. 2002; Kim dan Thomas 2007). Pengaruh antioksidan yang bervariasi pada ikan salmon dengan penambahan kitosan yang memiliki berat molekul berbeda disebabkan pengekalatan ion-ion logam. Gugus kation pada kitosan memberikan kekuatan daya tolak elektrostatik intramolekuler, yang meningkatkan volume hidrodinamik
37
dengan perluasan konformasi rantai. Hal inilah yang bertanggungjawab rendahnya kemampuan mengkelat logam pada kitosan yang memiliki berat molekul tinggi (Kamil et al. 2002). Kitosan dengan berat molekul tinggi menyebabkan daya tolak tinggi pada gugus NH3+ dalam molekul kitosan menyebabkan penurunan kemampuan aktivitas antioksidan pada kitosan (Kim dan Thomas 2007). Xue et al. (1998) menjelaskan bahwa mekanisme antioksidan pada kitosan dilakukan dengan mengkelat ion-ion logam atau berikatan dengan lipida. Kitosan dapat menghambat oksidasi lipida dengan mengkelat ion-ion logam, sehingga mengurangi aktivitas pro-oksidan pada ion-ion besi (Fe2+) atau mencegah terjadinya konversi menjadi ion-ion ferric (Fe3+). Gugus amino pada kitosan juga berperan sebagai pengkelat ion-ion logam (Peng et al. 1998). Aksi perlindungan oleh kitosan efektif saat diterapkan pada bentuk film yang dapat memperlambat oksidasi lipida dan kerusakan produk oleh mikroba dengan bertindak sebagai pembatas antara produk dan lingkungannya (Jeon et al. 2002; Sathivel 2005). Selain itu, kitosan juga dilaporkan mampu mengikat radikal bebas yang diubah menjadi molekul yang lebih stabil (Xie et al. 2001). Yen et al. (2208) melaporkan kitosan 10 mg/mL memperlihatkan kemampuan mengikat gugus radikal (OH•) sebesar 88,7–94,1%, hal ini menunjukkan bahwa kitosan memiliki kemampuan dalam mengikat gugus radikal hidroksil Produk perikanan rentan terhadap kerusakan mutu karena oksidasi lipida pada asam lemak tak jenuh yang dikatalisis oleh senyawa hematin dan ion-ion logam dalam daging ikan (No et al. 2007), selain juga dipengaruhi oleh autolisis, kontaminasi dan pertumbuhan bakteri, serta rusaknya sifat-sifat fungsional protein (Jeon et al. 2002). Kitosan berpotensi sebagai antioksidan karena memiliki gugus amina pada struktur kimia yang mampu mengikat radikal bebas (Xie et al. 2001; Yen et al. 2008) dan mengkelat logam untuk mengurangi aktivitas pro-oksidan (Peng et al. 1998; Kamil et al. 2002),
namun mekanisme yang tepat pada
pengendalian oksidasi pada lipida ikan oleh kitosan masih membutuhkan klarifikasi lebih lanjut (Shahidi et al. 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan memperlihatkan kemampuan menghambat oksidasi lipida lebih baik dibandingkan menghambat pertumbuhan bakteri dan pembentukan basa-basa nitrogen pada produk. Adanya pemberian
38
bumbu-bumbu seperti bawang putih, kunyit dan lengkuas berpotensi memberikan efek sinergis pada kitosan sebagai antioksidan. Bawang putih diketahui mengandung senyawa alisin dan kunyit mengandung senyawa kurkumin yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dan antioksidan. 4.3.4. Kadar air Hasil pengamatan kadar air pada bandeng presto disajikan pada Gambar 9 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Kadar air bandeng presto, baik yang direndam kitosan 0,1% maupun kontrol memiliki nilai yang tidak berbeda nyata pada pengamatan jam ke 0 dan 72. Pengamatan kadar air bandeng presto yang direndam kitosan 0,1% menunjukkan peningkatan dari 68,92 ± 0,32% pada jam ke 0 menjadi 70,94 ± 0,36% pada jam ke 72, sedangkan pada kontrol adalah 68,95 ± 0,27% pada jam ke 0 menjadi 71,08 ± 0,32% pada jam ke 72. Produk yang disimpan pada suhu kamar banyak mengeluarkan lendir dan terlihat berair pada penyimpanan jam ke 72, hal ini diduga karena terdenaturasinya protein yang memiliki kemampuan mengikat air akibat adanya proses kemunduran mutu pada produk (Fennema 1996). Pertumbuhan bakteri pada makanan menghancurkan senyawa-senyawa pembentuk tekstur dan menyebabkan produk sangat berair dan lunak (Fardiaz dan Jenie 1988). 100 Kontrol
Kitosan 0,1%
80
Kadar air (%)
a
b
b
a
60
40
20
0 0
72
Waktu pengamatan (jam) Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (uji Tukey α = 5%)
Gambar 9. Perubahan kadar air pada bandeng presto Jeon et al. (2002) melaporkan bahwa kitosan efektif mengurangi hilangnya air selama penyimpanan filet ikan cod, karena permeabilitas air tergantung
39
polaritas relatif pada polimer-polimer karbohidrat. Sathivel (2005) mengevaluasi pengaruh kitosan sebagai edible coating terhadap mutu filet ikan salmon (Oncorhynchus gorbuscha) tanpa kulit selama 3 bulan penyimpanan beku. Pelapisan kitosan efektif mengurangi sekitar 50% hilangnya kandungan air pada filet dibandingkan kontrol selain menghambat oksidasi lipida, namun dilaporkan bahwa filet ikan salmon yang telah dilapisi kitosan maupun kontrol memiliki kadar air yang tidak berbeda setelah dilakukan proses pemasakan. Pengaruh kadar air dalam produk makanan terhadap pertumbuhan bakteri lebih banyak dikaitkan dengan besarnya aktivitas air (Hadiwiyoto 1993). 4.3.5. Nilai aw Kebutuhan air bagi pertumbuhan bakteri dalam produk pangan digambarkan dengan istilah aktivitas air atau aw (Jay et al. 2005). Aktivitas air (aw) adalah suatu indeks yang merefleksikan ketersediaan air dalam reaksi biokimia (seperti oksidasi lipida, reaksi enzimatis, reaksi Maillard) dan pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu aktivitas air merupakan parameter yang dapat memprediksi kerusakan suatu bahan pangan (Comaposada et al. 2000). Hasil pengujian nilai aw pada bandeng presto disajikan pada Gambar 10 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Kontrol 1,0
Kitosan 0,1% a
a
b
b
Nilai a w
0,8
0,6
0,4
0,2
0 0
72
Waktu pengamatan (jam)
Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (uji Tukey α = 5%)
Gambar 10. Perubahan nilai aw pada bandeng presto
40
Nilai aw bandeng presto memperlihatkan nilai yang berpotensi terhadap pertumbuhan bakteri. Produk yang direndam kitosan 0,1% maupun kontrol memiliki nilai aw yang relatif sama pada pengamatan jam ke 0 yaitu masingmasing 0,982 ± 0,001 dan 0,980 ± 0,001. Nilai aw bandeng presto yang diamati pada jam ke 72 penyimpanan suhu kamar juga menunjukkan nilai tidak berbeda nyata, baik yang direndam kitosan 0,1% yaitu 0,963 ± 0,001 maupun kontrol yaitu 0,964 ± 0,001. Tsai et al. (1998) menyatakan bahwa nilai aw memperlihatkan ketersediaan molekul air dalam suatu reaksi. Nilai aw yang tinggi memperlihatkan molekul air berasosiasi bebas dengan komponen lain dan dapat bertindak bebas sebagai pelarut maupun reaktan, sedangkan pada aw yang rendah mengindikasikan air lebih terikat kuat dengan komponen makromolekul seperti protein. Nilai aw merupakan salah satu faktor intrinsik pada ikan yang dapat mendorong pertumbuhan mikroba (Hadiwiyoto 1993). Menurut Fardiaz (1992), bakteri memerlukan aw lebih dari 0,9 untuk pertumbuhannya. Berdasarkan nilai aw-nya, bandeng presto yang diamati sudah menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri sejak awal penyimpanan. Hal ini berkaitan dengan karakteristik bandeng presto yang mengandung kadar air dan kelembaban tinggi akibat kondisi penyimpanan suhu kamar sehingga mempengaruhi nilai aw. Nilai aw pada produk daging yang mengandung kadar air tinggi dapat mengalami penurunan dari 0,98-0,99 menjadi 0,96 dengan adanya penambahan bahan-bahan seperti natrum klorida, nitrat, nitrit dan gula, sedangkan komponen makanan yang tidak larut air seperti lemak dan protein tidak memberi pengaruh terhadap penurunan nilai aw. Aktivitas air dalam makanan juga dapat dipengaruhi oleh keberadaan garam-garam anorganik dan senyawa terlarut lainnya (asam organik, nitrogen bukan protein, dll.) yang dilepaskan selama proses penyimpanan, dan NaCl merupakan penurun (depressor) nilai aw yang utama pada produk daging (Fernandez-Salguero et al. 1994). Menurut Fardiaz dan Jenie (1988), bakteri yang tumbuh pada makanan juga dapat mempengaruhi nilai a w dengan melepaskan air metabolik atau mengubah substrat menjadi air bebas.
41
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil pengujian aktivitas antibakteri memperlihatkan kombinasi kitosan 0,05% dengan kalium sorbat 0,05%, natrium benzoat 0,05% maupun ekstrak Solanum sp. 20 µg/ml tidak memberikan efek sinergis, dan kitosan 0,1% memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi dengan menekan pertumbuhan jumlah bakteri sebesar 1,43 ± 0,27 log cfu/ml terhadap E. coli dan 1,17 ± 0,06 log cfu/ml terhadap S. aureus. Kitosan 0,1% mampu meningkatkan daya awet bandeng presto dari 16 sampai 38 jam pada penyimpanan suhu 28-30 oC. Pemberian kitosan 0,1% pada bandeng presto mampu menekan peningkatan nilai TVB dan TBA selama 72 jam penyimpanan. Hasil ini mengindikasikan bahwa kitosan efektif menjadi bahan pengawet pada bandeng preto. 5.2. Saran Hasil ini menyarankan adanya penelitian lanjutan untuk meningkatkan konsentrasi kitosan lebih tinggi lagi pada pengawetan produk pangan. Selain itu, kombinasi kitosan dengan bumbu-bumbu bandeng presto seperti bawang putih, lengkuas dan kunyit dan bahan-bahan lain yang mengandung senyawa-senyawa aktif dan memiliki aktivitas antibakteri maupun antioksidan berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dan diharapkan dapat meningkatkan daya awet pada produk pangan. Penggunaan bakteri perusak makanan dalam pengujian aktivitas antibakteri sebaiknya
digunakan pada
penelitian selanjutnya.
Pengujian
organoleptik pada produk pangan sebaiknya juga dilakukan untuk menentukan umur simpan produk pangan.
DAFTAR PUSTAKA Al-Kahtani HA, Abu-Tarboush HM, Bajaber AS, Atia M, Abou-Arab AA, ElMojaddidi MA. 1996. Chemical changes after irradiation and postirradiation storage in tilapia and Spanish mackerel. J Food Sci 61: 729-732. [AOAC] Association Official Agricultural Chemistry. 1995. Official Methods of Analysis of Association Official Agricultural Chemistry. Washington DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Pr. Austin PR, Brine CJ, Castle JE, Zikakis JP. 1981. Chitin: New facets of research. Science 212: 749-753. Batt CA. 1999. Eschericihia coli. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encycolopedia of Food Microbiol. Vol 1. San Diego: Academic Pr. hlm 633-645. Bautista MN, del Valle MJ, Orejana FM. 1991. Lipid and fatty acid composition of brackishwater- and freshwater-reared milkfish (Chanos chanos Forskal). Aquaculture 96: 24l-248. Botta JR. 1994. Freshness quality of seafoods: a review. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional. hlm 140-167. Bykova VM, Varlamov VP, Grigorenko IB, Krivoshena LI, Kobzeva NS, Nemtsev SV, Nikitin AM, Albulov AI, Ilina AV. 10 Juli 2001. Fish caviar preservation method. RU Patent 2170022. Cagry A, Ustunol Z, Ryser ET. 2004. Antimicrobial edible films and coating. J Food Prot 67: 833-848. Cho YI, No HK, Meyers SP. 1998. Physicochemical characteristics and functional properties of various commercial chitin and chitosan products. J Agric Food Chem 46: 3839-3843. Comaposada J, Gou P, Arnau J. 2000. The effect of sodium chloride content and temperature on pork meat isotherms. Meat Sci 55: 291- 295. Darmadji S, Izumimoto M. 1994. Effect of chitosan in meat preservation. Meat Sci 38: 243-254. Davidson PM, Harrison MA. 2002. Resistance and adaptation to food antimicrobials, sanitizers and other process controls. IFT Scientific Status Summary. Food Technol. 56(11): 69-78. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI No: 1168/MEN-KES/PER/X/99 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MEN-KES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta. Devlieghere F, Vermeulen A, Debevere J. 2004. Chitosan: antimicrobial activity, interaction with food components and applicability as a coating on fruit and vegetables. Food Microbiol 21: 703-714.
Duan J, Park SL, Daeschel MA, Zhao Y. 2007. Antimicrobial chitosan-lyzozyme (CL) films and coatings for enhancing microbial safety of mozarella cheese. J Food Sci 72: M355-M362. Fardiaz S, Jenie BSL. 1988. Mikrobiologi Pangan II. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Fardiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa. Fernandez-Salguero J, Gomez R, Carmona MA. 1993. Water activity in selected high-moisture foods. J Food Compost Analys 6: 364-369. Fernandez-Salguero J, Gomez R, Carmona MA. 1994. Water activity of Spanish intermediate-moisture meat products. Meat Sci 38: 341-346. Fennema OR. 1996. Water and Ice. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker. hlm 17-94. Gram L, Dalgaard P. 2002. Fish spoilage bacteria – problems and solutions. Current Opinion Biotechnol 13: 262–266. Gray JI, Gomaa EA, Buckley DJ. 1996. Oxidative quality and shelf life of meats. Meat Sci 43: S111-S123. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Yogyakarta: Liberty. Hadiwiyoto S, Naruki S. 1999. Optimasi waktu pemasakan bandeng presto. Agritech 19(1): 21-24. Han J, Guenier AS, Salmieri S, Lacroix M. 2008. Alginate and chitosan functionalization for micronutrient encapsulation. J Agric Food Chem 56: 2528–2535. Hardjito L. 2006. Aplikasi chitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. Di dalam: Santoso J, Trilaksani W, Nurhayati T, Suseno SH, editor. Prospek Produksi Kitin-Kitosan sebagai Bahan Alami dalam Membangun Kesehatan Masyarakat dan Menjamin Keamanan Produk. Prosiding Seminar Nasional Chitin-Chitosan. 16 Mar 2006. Bogor: THP FPIK IPB. hlm 1-13. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. Ed ke-3. San Diego: Academic Pr. Haswirna CS. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa antibakteri daun terong pungo (Solanum sp.) hasil penapisan tanaman dan hewan obat Aceh [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Hennen WJ. 1996. Chitosan. Pleasant Groove: Wood Publishing. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. Ed ke-7. Springer: New York.
44
Jenie BSL, Sunarya, Yvonne MM. 1993. Pengawetan udang menggunakan kalium sorbat dan pengemasan dengan karbondioksida [laporan penelitian]. Bogor: Fateta IPB. Jeon YJ, Kamil JYVA, Shahidi F. 2002. Chitosan as an edible invisible film for quality preservation of herring and atlantic cod. J Agric Food Chem 50: 5167-5178. Kamil JYVA, Jeon YJ, Shahidi F. 2002. Antioxidative activity of chitosans of different viscosity in cooked comminuted flesh of herring (Clupea harengus). Food Chem 79: 69–77. Kanatt SR, Chander R, Sharma A. 2008. Chitosan and mint mixture: a new preservative for meat and meat products. Food Chem 107: 845-852. Kim W, Thomas RL. 2007. Antioxidative activity of chitosans with varying molecular weights. Food Chem 101:308-313. Knorr D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. J Food Sci 47: 593595. Knorr D. 1983. Dye binding properties of chitin and chitosan. J Food Sci 48:3637 & 41. Koide SS. 1998. Chitin-chitosan: properties, benefits and risks. Nutr Res 18: 1091-1101. Kumar R. 2002. A review of chitin and chitosan applications. Reactive Function Polym 46: 1–27. Lee CM, Toledo RT. 1977. Degradation of fish muscle during mechanical deboning and storage with emphasis on lipid oxidation. J Food Sci 42: 1646-1649. Lin HY, Chou CC. (2004). Antioxidant activities of water-soluble disaccharide chitosan derivatives. Food Res Int 37: 883–889. Liu H, Du Y, Wang X, Sun L. 2004. Chitosan kills bacteria through cell membrane damage. Int J Food Microbiol 95: 147-155. Love JD, Pearson AM. 1976. Metmyoglobin and non-heme iron as prooxidants in egg yolk phospholipid dispersions and cooked meat. J Agric Food Chem 42: 494-498. Maulana DH. 2007. Stabilitas larutan kitosan 1,5% sebagai antibakteri pada penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Bogor: FPIK IPB. No HK, Meyers SP. 1995. Preparation and characterization of chitin and chitosan–a review. J Aquat Food Prod Technol 42(2): 27-52. No HK, Park NY, Lee SH, Meyers SP. 2002. Antibacterial activity of chitosans and chitosan oligomers with different molecular weights. Int J Food Microbiol 74: 65–72. No HK, Meyers SP, Prinyawiwatkul W, Xu Z. 2007. Applications of chitosan for improvement of quality and shelf life of foods: a review. J Food Sci 72: R87-R100.
45
Oh HI, Kim YJ, Jang JH, JO DH. 2000. Antimicrobial activities of chitosan and their effect of addition on the storage stability of mayonnaise. IFT Ann Meet: Dallas, Texas 10-14 Juni 2000. 14B-24. Ouattara B, Simard RE, Piette G, Bégin A, Holley RA. 2000. Diffusion of acetic and propionic acids from chitosan-based antimicrobial packaging films. J Food Sci 65: 768-773. Pacquit A, Laua KT, McLaughlin H, Frisby J, Quilty B, Diamond D. 2006. Development of a volatile amine sensor for the monitoring of fish spoilage. Talanta 69: 515–520. Park SI, Daeschel MA, Zhao Y. 2004a. Functional properties of antimicrobial lysozyme-chitosan composite films. J Food Sci 69: 215-21. Park PJ, Je JY. Kim SW. 2004b. Free radical scavenging activities of different deacetylated chitosans using an ESR spectrometer. Carbohydr Polym 55: 17–22. Park SI, Stan SD, Daeschel MA, Zhao Y. 2005. Antifungal coatings on fresh strawberries (Fragaria × ananassa) to control mold growth during cold storage. J Food Sci 70: M202-M207. Peng C, Wang Y, Tang Y. 1998. Synthesis of crosslinked chitosan-crown ethers and evaluation of these products as adsorbents for metal ions. J Appl Polym Sci 70: 501–506. Piccini JL, Quaranta HO, Rosario. 1986. Comparison of TBA number of irradiated fish with sensory quality. Food Chem 19: 163-171. Qin Y.1993. The chelating properties of chitosan fibers. J App Polym Sci 49: 727–731. Rao MS, Chander R, Sharma A. 2005. Development of shelf-stable intermediatemoisture meat product using active edible chitosan coating and irradiation. J Food Sci 70: M325-M331. Reische DW, Lillard DA, Eitenmiler RR. 2002. Antioxidants. Di dalam: Akoh CC, Min DB, editor. Food Lipids: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. New York, Basel: Marcel Dekker. hlm 489-516. Rhoades J, Roller S. 2000. Antimicrobial actions of degraded and native chitosan against spoilage organisms in laboratory media and foods. Appl Environ Microbiol 66: 80-86. Rhoades J, Rastall B. 2006. Chitosan as an antimicrobial agent. http://www.fpiinternational.com. [21 Apr 2006]. Russel AD. 2005. Mechanisms of action, resistance, and stress adaptation. Di dalam: Davidson PM, Sofos JN, Branen AL, editor. Antimicrobial in Food. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr. hlm 633-657. Sathivel S. 2005. Chitosan and protein coatings affect yield, moisture loss, and lipid oxidation of pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha) fillets during frozen storage. J Food Sci 70: E455–459.
46
Sagoo SK, Board R, Roller S. 2002a. Chitosan inhibits growth of spoilage microorganisms in chilled pork products. Food Microbiol 19: 175-182. Sagoo SK, Board R, Roller S. 2002b. Chitosan potentiates the antimicrobial action of sodium benzoates on spoilage yeasts. Lett Appl Microbiol 44: 168-172. Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosan [review]. Trends Food Sci Technol 10: 37-51. Shahidi F, Kamil J, Jeon YJ, Kim SK. 2002. Antioxidant role of chitosan in a cooked cod (Gadus morhua) model system. J Food Lipids 9: 57-64. Sikorski ZE, Kolakowska A, Pan BS. 1990. Postharvest biochemical and microbial change. Di dalam: Sikorski ZE, editor. Seafood: Resources, Nutritional Composition and Preservation. Boca Raton, Florida: CRC Pr. hlm 55-76. Skonberg DI. 2000. Extending shelf life of fresh fish fillets with a chitosan coating. IFT Annual Meeting: Dallas, Texas 10-14 Juni 2000. 51A-30. Stophfort JD, Sofos JN, Busta FF. 2005. Sorbic acids and sorbates. Di dalam: Davidson PM, Sofos JN, Branen AL, editor. Antimicrobial in Food. Ed ke3. Boca Raton: CRC Pr. hlm 49-90. Tsai SJ, Unklesbay N, Unklesbay K, Clarke A. 1998. Water and absorptive properties of restructured beef products with five binders at four isothermal temperatures. Lebens-Wiss-u-Technol 31: 78–83. Tsai GJ, Su WH. 1999. Antibacterial activity of shrimp chitosan against Escherichia coli. J Food Prot 62: 239–243. Tsai GJ, Su WH, Chen HC, Pan CL. 2002. Antimicrobial activity of shrimp chitin and chitosan from different treatments and applications of fish preservation. Fish Sci 68: 170–177. Ueno R, Fujita Y, Nagamura Y, Kamino Y, Tabata A, penemu; Kabushiki Kaisha Ueno Seiyaku Oyo Kenkyujo. 27 Agustus 1996. Preservation of food by the combined action of a natural antimicrobial agent and separately packaged deoxidizing agent. US patent 5549919. US FDA/CFSAN. 2006. Inventory of GRAS notices: summary of all GRAS notices. http://www.cfsah.fda.gov/∼rdb/opa-gras.html. [22 Mei 2008]. Waliszewski K. 2000. Tilapia shelflife by storage in crushed ice at -1 °C with some additives. IFT Ann Meet: Dallas, Texas 10-14 Juni 2000. 51A-24. Wekkel MM, Manger R, Colburn K, Adams A, Hill W. 1994. Microbiological quality of seafoods: viruses, bacteria and parasites. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic & Professional. hlm 196-219. Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winterowd JG, Standford PA. Chitin and Chitosan. Di dalam: Stephen M.A, editor. Food Polysaccharides and Their Applications. New York, Basel, Hongkong: Marcel Dekker. hlm 441-461.
47
Xie W, Xu P, Liu Q. 2001. Antioxidant activity of water-soluble chitosan derivatives. Bioorg Med Chem Lett 11: 1699–1701. Xing R, Yu H, Liu S, Zhang W, Zhang Q, Li Z. (2005). Antioxidative activity of differently regioselective chitosan sulfates in vitro. Bioorg Med Chem 13: 1387–1392. Xue C, Yu G, Hirata T, Terao J, Lin H. 1998. Antioxidative activities of several marine polysaccharides evaluated in a phosphatidylcholine-liposomal suspension and organic solvent. Biosci Biotechnol Biochem 62: 206-209. Yadav AV, Bhise SB. 2004. Chitosan: a potential biomaterial effective against thypoid. Current Sci 87: 1176-1178. Yen MT, Yang JH, Mau JL. 2008. Antioxidant properties of chitosan from crab shells. Carbohydr Polym. [article in press]. Zheng LY, Zhu JF. 2003. Study on antimicrobial activity of chitosan with different molecular weights. Carbohydr Polym 54: 527-530. Zivanovic S, Mount JR, Draughon FA, Sams CE. 2003. Edible chitosan coating as novel effective biopesticide. Southern Region Small Fruit Consortium Research Project. Progress Report for 2003 Grant. Zivanovic S, Chi S, Draughon AF. 2005. Antimicrobial activity of chitosan films enriched with essential oils. J Food Sci 70: 45-51.
48
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil perhitungan jumlah bakteri total pada pengujian aktivitas antibakteri Bakteri uji: Staphylococcus aureus (ulangan 1)
10-0
(2) :
11
Kitosan 0,05% (0,05) 10 (1) : 145 10-0 (2) : 215
10-1
(1) :
1
10-1 (1) :
2
10-1
(2) :
5
10-1 (2) :
1
10-2
(1) :
0
10-2 (1) :
1
10
-2
(2) :
1
10
(2) :
0
10
(2) :
11
10
(2) :
14
10
(2)
:
128
10-3
(1) :
0
10-3 (1) :
0
10-8 (1) :
0
10-3 (1) :
0
10-8 (1)
:
36
10-3
(2) :
0
10-3 (2) :
0
10-8 (2) :
1
10-3 (2) :
9
10-8 (2)
:
30
-0
10
Kitosan 0,1% (0,1) (1) : 16
1,4x101 cfu/ml
-0
-2
1,8x102 cfu/ml
Kalium sorbat 0,1% (S) 10 (1) : 180 10-5 (2) : 205 -5
10-6 (1) :
38
10-6 (2) :
36
10-7 (1) :
18
-7
2,1x107 cfu/ml
K0,05% + Sorbat 0,05% (KS) (1) :
10
10-0 (2) :
TBUD
10-5 (2)
:
TBUD
10-1 (1) :
50
10-6 (1)
:
TBUD
10-1 (2) :
39
10-6 (2)
:
281
10-2 (1) :
7
10-7 (1)
:
114
10
-2
Nilai pH: 6
Nilai pH: 7
Nilai pH: 8
Natrium benzoat 0,1% (B) 10-5 (1) : 155
K 0,05% + Na. B 0,05% (KB) 10-0 (1) : 264
Ekstrak Solanum 20 µg/ml (T)
Kontrol (C) : TBUD
TBUD
-0
-5
4,5x102 cfu/ml
-7
(1)
Nilai pH: 7
Nilai pH: 8
K 0,05% + Sol 20 µg/ml (KT) 118 10-0 (1) :
4,9x108 cfu/ml
10-5 (2) :
157
10-0 (2) :
218
10-5 (2) :
TBUD
10-0 (2) :
219
Asam asetat 0,07% (AA) 10 (1) : TBUD 10-5 (2) : TBUD
10-6 (1) :
56
10-1 (1) :
150
10-6 (1) :
88
10-1 (1) :
84
10-6 (1)
:
257
10-6 (2) :
55
10-1 (2) :
71
10-6 (2) :
57
10-1 (2) :
79
10-6 (2)
:
241
10-7 (1) :
21
10-2 (1) :
27
10-7 (1) :
21
10-2 (1) :
4
10-7 (1)
:
70
10-7 (2) :
18
10-2 (2) :
16
10-7 (2) :
30
10-2 (2) :
5
10-7 (2)
:
68
10-8 (1) :
3
10-3 (1) :
0
10-8 (1) :
7
10-3 (1) :
2
10-8 (1)
:
12
10-8 (2) :
0
10-3 (2) :
0
10-8 (2) :
5
10-3 (2) :
0
10-8 (2)
:
12
Nilai pH: 8
1,9x107 cfu/ml
Nilai pH: 7
3,2 x102 cfu/ml
-5
10
(1) :
TBUD
Nilai pH: 8
8,3 x107 cfu/ml
Nilai pH: 7
50
2,3 x102 cfu/ml
-5
Nilai pH: 7
2,9x108 cfu/ml
Bakteri Uji: Staphylococcus aureus (ulangan 2) Kitosan 0,1% (0,1)
Kitosan 0,05% (0,05)
Kalium sorbat 0,1% (S)
K 0,05% + Sorbat 0,05% (KS)
Kontrol (C)
10-0
(1) :
24
10-0 (1) :
124
10-5 (1)
:
223
10-0 (1) :
TBUD
10-5
(1)
:
TBUD
10-0
(2) :
9
10-0 (2) :
162
10-5 (2)
:
231
10-0 (2) :
259
10-5
(2)
:
TBUD
10-1
(1) :
6
10-1 (1) :
24
10-6 (1)
:
42
10-1 (1) :
124
10-6
(1)
:
288
10-1
(2) :
0
10-1 (2) :
8
10-6 (2)
:
31
10-1 (2) :
117
10-6
(2)
:
TBUD
10-2
(1) :
0
10-2 (1) :
0
10-7 (1)
:
4
10-2 (1) :
31
10-7
(1)
:
91
10-2
(2) :
0
10-2 (2) :
0
10-7 (2)
:
0
10-2 (2) :
11
10-7
(2)
:
75
10-3
(1) :
0
10-3 (1) :
0
10-8 (1)
:
5
10-3 (1) :
11
10-8
(1)
:
34
10-3
(2) :
0
10-3 (2) :
0
10-8 (2)
:
1
10-3 (2) :
0
10-8
(2)
:
21
1,7 x101 cfu/ml
Nilai pH: 6 Natrium benzoat 0,1% (B)
1,4 x102 cfu/ml
2,4 x107 cfu/ml
4,4 x102 cfu/ml
Nilai pH: 7
Nilai pH: 8
Nilai pH: 7
K 0,05% + Na. B 0,05% (KB)
Ekstrak Solanum 20 µg/ml (T)
K 0,05% + Sol 20 µg/ml (KT)
Nilai pH: 8 Asam asetat 0,07% (AA)
10-5 (1) :
141
10-0 (1) :
TBUD
10-5 (1)
:
TBUD
10-0 (1) :
TBUD
10-5
(1) :
TBUD
10-5 (2) :
144
10-0 (2) :
TBUD
10-5 (2)
:
214
10-0 (2) :
187
10-5
(2) :
TBUD
10-6 (1) :
25
10-1 (1) :
35
10-6 (1)
:
88
10-1 (1) :
69
10-6
(1) :
251
10-6 (2) :
41
10-1 (2) :
57
10-6 (2)
:
111
10-1 (2) :
25
10-6
(2) :
279
10-7 (1) :
0
10-2 (1) :
2
10-7 (1)
:
10-2 (1) :
9
10-7
(1) :
45
10-7 (2) :
5
10-2 (2) :
0
10-7 (2)
:
20 41
10-2 (2) :
22
10-7
(2) :
58
10-8 (1) :
2
10-3 (1) :
0
10-8 (1)
:
1
10-3 (1) :
0
10-8
(1) :
8
10-8 (2) :
0
10-3 (2) :
0
10-8 (2)
:
8
10-3 (2) :
0
10-8
(2) :
18
Nilai pH: 8
1,6 x107 cfu/ml
Nilai pH: 7
4,6 x102 cfu/ml
Nilai pH: 8
3,8 x107 cfu/ml
Nilai pH: 7
51
4,2 x108 cfu/ml
2,3x102 cfu/ml
Nilai pH: 7
2,9 x108 cfu/ml
Bakteri uji: Staphylococcus aureus (log cfu/ml) Deskripsi
Plk
N
0,1 0,05 KS KB KT S B T AA C Total
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20
Mean 1,1750 2,2100 2,6450 2,5800 2,3650 7,3500 7,2350 7,7450 8,4600 8,6550 5,0420
Std. Deviation 0,06364 0,07071 0,00707 0,11314 0,00707 0,04243 0,06364 0,24749 0,00000 0,04950 2,97661
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 0,6032 1,7468 1,5747 2,8453 2,5815 2,7085 1,5635 3,5965 2,3015 2,4285 6,9688 7,7312 6,6632 7,8068 5,5214 9,9686 8,4600 8,4600 8,2103 9,0997 3,6489 6,4351
Std. Error 0,04500 0,05000 0,00500 0,08000 0,00500 0,03000 0,04500 0,17500 0,00000 0,03500 0,66559
Min
Max
1,13 2,16 2,64 2,50 2,36 7,32 7,19 7,57 8,46 8,62 1,13
1,22 2,26 2,65 2,66 2,37 7,38 7,28 7,92 8,46 8,69 8,69
ANOVA Source of Variance Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 168,252 0,091 168,344
df 9 10 19
Mean Square 18,695 0,009
F 2043,136
Sig. 0,000
Homogeneous Subsets Tukey HSD Perlakuan
N
Subset for alpha = 0,05 c d
a b 0,1 2 1,1750 0,05 2 2,2100 KT 2 2,3650 2,3650 KB 2 2,5800 2,5800 KS 2 2,6450 B 2 S 2 T 2 AA 2 C 2 Sig. 1,000 0,057 0,213 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
52
e
f
7,2350 7,3500 7,7450
0,956
1,000
8,4600 8,6550 0,595
Bakteri uji: Escherichia coli (ulangan 1) -0
10
Kitosan 0,1% (0,1) 21 (1) :
Kitosan 0,05% (0,05) 201 10 (1) : -1
Kalium sorbat 0,1% (S) -5
10
K 0,05% + Sorbat 0,05% (KS)
(1) :
113
10
(1) :
TBUD
-1
Kontrol (C) 10
(1) :
TBUD
-5
10-0 (2) :
33
10-1 (2) :
TBUD
10-5 (2) :
143
10-1 (2) :
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-1 (1) :
9
10-2 (1) :
81
10-6 (1) :
54
10-2 (1) :
234
10-6 (1) :
TBUD
10-1 (2) :
7
10-2 (2) :
89
10-6 (2) :
51
10-2 (2) :
236
10-6 (2) :
TBUD
10-2 (1) :
2
10-3 (1) :
0
10-7 (1) :
2
10-3 (1) :
143
10-7 (1) :
82
10-2 (2) :
5
10-3 (2) :
1
10-7 (2) :
6
10-3 (2) :
122
10-7 (2) :
71
10-3 (1) :
0
10-4 (1) :
0
10-8 (1) :
2
10-4 (1) :
25
10-8 (1) :
11
10-3 (2) :
0
10-4 (2) :
0
10-8 (2) :
6
10-4 (2) :
19
10-8 (2) :
3
2,7 x101 cfu/ml
Nilai pH: 6
3,1 x103 cfu/ml
Nilai pH: 7
Natrium benzoat 0,1% (B)
5,1 x107 cfu/ml
Nilai pH: 8
K 0,05% + Na. B 0,05% (KB)
Nilai pH: 7
Ekstrak Solanum 20 µg/ml (T)
(1) :
TBUD
10
(1) :
TBUD
10
10-5 (2) :
TBUD
10-1 (2) :
10-6 (1) :
95
10-6 (2) :
141
10-7 (1) :
18
10-7 (2) :
3,3 x104 cfu/ml
Nilai pH: 8
K0,05% + Sol 20 µg/ml (KT)
Asam asetat 0,07% (AA)
(1) :
TBUD
10
-1
(1) :
TBUD
10
(1) :
TBUD
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-1
(2) :
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-2 (1) :
159
10-6 (1) :
255
10-2
(1) :
136
10-6 (1) :
TBUD
10-2 (2) :
150
10-6 (2) :
228
10-2
(2) :
140
10-6 (2) :
TBUD
10-3 (1) :
3
10-7 (1) :
13
10-3
(1) :
12
10-7 (1) :
64
45
10-3 (2) :
57
10-7 (2) :
5
10-3
(2) :
0
10-7 (2) :
75
10-8 (1) :
8
10-4 (1) :
0
10-8 (1) :
2
10-4
(1) :
0
10-8 (1) :
10
10-8 (2) :
7
10-4 (2) :
0
10-8 (2) :
9
10-4
(2) :
0
10-8 (2) :
8
-5
10
Nilai pH: 8
1,3 x108 cfu/ml
-1
Nilai pH: 7
-5
1,7 x104 cfu/ml
Nilai pH: 8
2,4 x108 cfu/ml
Nilai pH: 7
53
7,7 x108 cfu/ml
1,4 x104 cfu/ml
-5
Nilai pH: 7
7,0 x108 cfu/ml
Bakteri uji: Escherichia coli (ulangan 2) -1
10
Kitosan 0,1% (0,1) 53 (1) :
Kitosan 0,05% (0,05) 10
-1
Kalium sorbat 0,1% (S)
(1) :
TBUD
10
-5
K 0,05% + Sorbat 0,05% (KS)
Kontrol (C)
(1) :
TBUD
10
(1) :
TBUD
10
(1) :
TBUD
-1
-5
10-1 (2) :
77
10-1 (2) :
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-1 (2) :
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-2 (1) :
2
10-2 (1) :
115
10-6 (1) :
84
10-2 (1) :
161
10-6 (1) :
TBUD
10-2 (2) :
2
10-2 (2) :
143
10-6 (2) :
97
10-2 (2) :
158
10-6 (2) :
TBUD
10-3 (1) :
0
10-3 (1) :
34
10-7 (1) :
68
10-3 (1) :
32
10-7 (1) :
111
10-3 (2) :
0
10-3 (2) :
29
10-7 (2) :
20
10-3 (2) :
30
10-7 (2) :
94
10-4 (1) :
0
10-4 (1) :
0
10-8 (1) :
14
10-4 (1) :
0
10-8 (1) :
21
10-4 (2) :
0
10-4 (2) :
0
10-8 (2) :
7
10-4 (2) :
3
10-8 (2) :
14
6,5 x101 cfu/ml
Nilai pH: 6
Nilai pH:7
Natrium benzoat 0,1% (B) -5
10
(1) :
2,4 x104 cfu/ml
10
TBUD
Nilai pH: 8
K 0,05% + Na. B 0,05% (KB) -1
1,2 x108 cfu/ml
Nilai pH: 7
Ekstrak Solanum 20 µg/ml (T)
(1) :
TBUD
10
-5
1,7 x104 cfu/ml
Nilai pH: 8
K0,05% + E.Sol 20µg/ml (KT)
(1) :
TBUD
10
-1
Asam asetat 0,07% (AA)
(1) :
TBUD
10
(1) :
TBUD
-5
10-5 (2) :
261
10-1 (2) :
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-1 (2) :
TBUD
10-5 (2) :
TBUD
10-6 (1) :
143
10-2 (1) :
123
10-6 (1) :
272
10-2 (1) :
160
10-6 (1) :
TBUD
10-6 (2) :
153
10-2 (2) :
215
10-6 (2) :
249
10-2 (2) :
158
10-6 (2) :
TBUD
10-7 (1) :
41
10-3 (1) :
97
10-7 (1) :
32
10-3 (1) :
45
10-7 (1) :
70
10-7 (2) :
38
10-3 (2) :
94
10-7 (2) :
61
10-3 (2) :
43
10-7 (2) :
86
10-8 (1) :
0
10-4 (1) :
16
10-8 (1) :
7
10-4 (1) :
5
10-8 (1) :
5
10-8 (2) :
0
10-4 (2) :
16
10-8 (2) :
12
10-4 (2) :
12
10-8 (2) :
9
Nilai pH: 8
5,2 x107 cfu/ml
Nilai pH: 7
2,4 x104 cfu/ml
Nilai pH: 8
2,8 x108 cfu/ml
Nilai pH: 7
54
1,0 x109 cfu/ml
1,8 x104 cfu/ml
Nilai pH: 7
7,8 x108 cfu/ml
Bakteri uji: Escherichia coli (log cfu/ml) Deskripsi Plk N 0,1 0,05 KS KB KT S B T AA C Total
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 20
Mean 1,6200 3,9400 4,3800 4,3100 4,2050 7,8900 7,9250 8,4150 8,8650 8,9450 6,0495
Std. Dev 0,26870 0,63640 0,19799 0,09899 0,09192 0,25456 0,28991 0,04950 0,03536 0,09192 2,56382
Std. Error 0,19000 0,45000 0,14000 0,07000 0,06500 0,18000 0,20500 0,03500 0,02500 0,06500 0,57329
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound -0,7942 4,0342 -1,7778 9,6578 2,6011 6,1589 3,4206 5,1994 3,3791 5,0309 5,6029 10,1771 5,3202 10,5298 7,9703 8,8597 8,5473 9,1827 8,1191 9,7709 4,8496 7,2494
Min 1,43 3,49 4,24 4,24 4,14 7,71 7,72 8,38 8,84 8,88 1,43
Max 1,81 4,39 4,52 4,38 4,27 8,07 8,13 8,45 8,89 9,01 9,01
ANOVA Source of Variance Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
124,194 0,696 124,890
9 10 19
13,799 0,070
198,367
0,000
Homogeneous Subsets Tukey HSD Subset for alpha = 0,05 b c
Perlakuan N a 0,1 2 1,6200 0,05 2 3,9400 KT 2 4,2050 KB 2 4,3100 KS 2 4,3800 S 2 B 2 T 2 AA 2 C 2 Sig. 1,000 0,791 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
55
7,8900 7,9250 8,4150 8,8650 0,073
d
7,9250 8,4150 8,8650 8,9450 0,057
Lampiran 2. Hasil perhitungan nilai jumlah bakteri total bandeng presto TPC bandeng presto tanpa perlakuan (kontrol) Pengamatan jam ke-0 Ulangan 1 10
-1
10
-1
10
-2
10
-2
(2)
:
0
10-3
(1)
:
0
10
-3
10
-4
10
-4
(1)
:
(2)
:
(1)
:
(2)
:
(1)
:
(2)
:
Ulangan 2
2 0 1 2,0 x10 cfu/ml
1
0 0 0
10
-1
10
-1
10
-2
10
-2
(2)
:
1
10-3
(1)
:
0
(1)
:
(2)
:
(1)
:
Ulangan 3
2
(2)
:
0
10
-4
(1)
:
2
10
-4
(2)
:
0
:
0
(2)
:
1
-2
(1)
:
0
-2
(2)
:
0
10-3
(1)
:
0
-3
(2)
:
0
10
0
10
(1)
-1
10
2
-3
-1
10 2,0 x10 cfu/ml
1
10 10
1,0 x101 cfu/ml
Pengamatan jam ke-24 Ulangan 1 10
-3
10
-3
10
-4
10
-4
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-5 (1)
:
40
10
-5
10
-6
10
-6
(2) (1) (2)
: : :
Ulangan 2
7,0 x10 cfu/ml
6
45 39 30
10
-3
10
-3
10
-4
10
-4
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-5 (1)
:
136
10
-5
10
-6
10
-6
(2) (1) (2)
: : :
Ulangan 3
1,6 x10 cfu/ml
7
122 57 41
10
-3
(1)
:
TBUD
10
-3
(2)
:
TBUD
10
-4
(1)
:
TBUD
10
-4
(2)
:
TBUD
10-5
(1)
:
91
10
-5
(2)
:
118
10
-6
(1)
:
12
10
-6
(2)
:
18
1,0 x107 cfu/ml
Pengamatan jam ke-48 Ulangan 1 10
-3
10
-3
10
-4
10
-4
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-5 (1)
:
TBUD
10
-5
10
-6
10
-6
(2) (1) (2)
: : :
Ulangan 2
2,6 x10 cfu/ml
8
TBUD
283 241
10
-4
10
-4
10
-5
10
-5
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-6 (1)
:
215
10
-6
10
-7
10
-7
10
-5
10
-5
10
-6
10
-6
(2) (1) (2)
: : :
Ulangan 3
2,8 x10 cfu/ml
8
241 77 84
10
-5
(1)
:
TBUD
10
-5
(2)
:
TBUD
10
-6
(1)
:
264
10
-6
(2)
:
233
10-7
(1)
:
94
10
-7
(2)
:
67
10
-8
(1)
:
15
10
-8
(2)
:
6
10
-5
(1)
:
TBUD
10
-5
(2)
:
TBUD
10
-6
(1)
:
TBUD
10
-6
(2)
:
TBUD
10-7
(1)
:
194
10
-7
(2)
:
128
10
-8
(1)
:
46
10
-8
(2)
:
29
3,0 x108 cfu/ml
Pengamatan jam ke-72 Ulangan 1 10
-5
10
-5
10
-6
10
-6
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-7 (1)
:
181
10
-7
10
-8
10
-8
(2) (1) (2)
: : :
Ulangan 2
177 29 25
1,8 x10 cfu/ml
9
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-7 (1)
:
160
10
-7
10
-8
10
-8
(2) (1) (2)
: : :
56
Ulangan 3
118 27 23
1,4 x10 cfu/ml
9
1,8 x109 cfu/ml
Pengamatan jam ke-96 Ulangan 1 10
-5
10
-5
10
-6
10
-6
(1) (2) (1)
:
TBUD
:
TBUD
:
TBUD
(2)
:
TBUD
10-7 (1)
:
182
10
-7
10
-8
10
-8
(2) (1) (2)
Ulangan 2
:
2,1 x10 cfu/ml
9
160
:
48
:
61
10
-5
10
-5
10
-6
10
-6
(1)
:
(2)
TBUD
:
(1)
Ulangan 3
TBUD
:
TBUD
(2)
:
TBUD
10-7 (1)
:
133
10
-7
(2)
:
161
10
-8
(1)
:
38
10
-8
(2)
:
26
1,6 x10 cfu/ml
9
10
-6
(1)
:
TBUD
10
-6
(2)
:
TBUD
10
-7
(1)
:
139
10
-7
(2)
:
155
10-8
(1)
:
34
-8
(2)
:
49
10
1,7 x109 cfu/ml
Pengamatan jam ke-120 Ulangan 1 10
-7
10
-7
10
-8
(1) (2)
:
284
:
261
(1)
:
75
10-8 (2)
:
66
10
-9
10
-9
(1) (2)
Ulangan 2
:
3,1 x10 cfu/ml
9
3
:
1
10
-7
10
-7
10
-8
(1)
:
(2)
312
:
276
(1)
:
123
10-8 (2)
:
96
10
-9
10
-9
(1)
:
(2)
Ulangan 3
3,7 x10 cfu/ml
9
16
:
9
10
-7
(1)
:
TBUD
10
-7
(2)
:
255
10
-8
(1)
:
88
10-8 (2)
:
92
10
-9
(1)
:
2
10
-9
(2)
:
11
3,6x109 cfu/ml
TPC bandeng presto dengan perlakuan kitosan Pengamatan jam ke-0 Ulangan 1 10
-1
10
-1
10
-2
10
-2
(2)
:
0
10-3
(1)
:
2
10
-3
10
-4
10
-4
(1)
:
(2)
:
(1)
:
(2)
:
(1)
:
(2)
:
Ulangan 2
3 1 0 2,0 x10 cfu/ml
1
0 0 0
10
-1
10
-1
10
-2
10
-2
(2)
:
0
10-3
(1)
:
1
10
-3
10
-4
10
-4
(1) (2) (1)
(2) (1) (2)
:
Ulangan 3
1
:
1
:
0
:
1,0 x10 cfu/ml
1
0
:
0
:
0
10
-1
(1)
:
0
10
-1
(2)
:
1
10
-2
(1)
:
0
10
-2
(2)
:
2
10-3
(1)
:
0
10
-3
(2)
:
0
10
-4
(1)
:
0
10
-4
(2)
:
0
1,0 x101 cfu/ml
Pengamatan jam ke-24 Ulangan 1 10
-2
10
-2
10
-3
10
-3
(1) (2) (1)
: : :
TBUD 50
:
70
10-4 (1)
:
13
10 10
-5
10
-5
(2) (1) (2)
: : :
10
TBUD
(2)
-4
Ulangan 2
19 3 1
6,0 x 10 cfu/ml
4
-2
10
-2
10
-3
10
-3
(1) (2) (1)
: : :
173 185 96
(2)
:
88
10-4 (1)
:
8
10
-4
10
-5
10
-5
(2) (1) (2)
: : :
57
Ulangan 3
13 7 3
2,5 x104
10
-2
(1)
:
216
10
-2
(2)
:
186
10
-3
(1)
:
104
10
-3
(2)
:
77
10-4 (1)
:
23
10
-4
(2)
:
18
10
-5
(1)
:
9
10
-5
(2)
:
1
2,7 x104 cfu/ml
Pengamatan jam ke-48 Ulangan 1 10
-2
10
-2
10
-3
10
-3
(1) (2) (1)
: : :
TBUD 214
:
241
10-4 (1)
:
67
10 10
-5
10
-5
(2) (1) (2)
: : :
10
TBUD
(2)
-4
Ulangan 2
5
2,6x10 cfu/ml
45 18 5
-2
10
-2
10
-3
10
-3
(1) (2) (1)
:
TBUD
:
TBUD
:
284
(2)
:
TBUD
10-4 (1)
:
58
10
-4
10
-5
10
-5
10
-4
10
-4
10
-5
10
-5
10
-6
10
-6
10
-7
10
-7
(2) (1) (2)
Ulangan 3
:
3,3 x10 cfu/ml
5
54
:
9
:
1
10
-2
(1)
:
TBUD
10
-2
(2)
:
TBUD
10
-3
(1)
:
271
10
-3
(2)
:
233
10-4 (1)
:
67
10
-4
(2)
:
55
10
-5
(1)
:
21
10
-5
(2)
:
6
2,8 x105 cfu/ml
Pengamatan jam ke-72 Ulangan 1 10
-4
10
-4
10
-5
10
-5
10
-6
10
-6
10
-7
10
-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
: : : : : : : :
Ulangan 2
TBUD TBUD 189 166 16
7
1,8x10 cfu/ml
14 5 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
:
Ulangan 3
TBUD
:
TBUD
:
233
:
214
:
38
:
7
2,4x10 cfu/ml
48
:
0
:
0
10
-4
(1)
:
TBUD
10
-4
(2)
:
TBUD
10
-5
(1)
:
155
10
-5
(2)
:
188
10
-6
(1)
:
38
10
-6
(2)
:
48
10
-7
(1)
:
1
10
-7
(2)
:
0
2,0x107 cfu/ml
Pengamatan jam ke-96 Ulangan 1 10
-4
10
-4
10
-5
10
-5
(1) (2) (1)
: : :
TBUD TBUD TBUD
(2)
:
TBUD
10-6 (1)
:
164
10
-6
10
-7
10
-7
(2) (1) (2)
: : :
Ulangan 2
1,5 x10 cfu/ml
8
119 34 22
10
-4
10
-4
10
-5
10
-5
(1) (2) (1)
:
TBUD
:
TBUD
:
TBUD
(2)
:
TBUD
10-6 (1)
:
187
10
-6
10
-7
10
-7
(2) (1) (2)
Ulangan 3
:
1,7 x10 cfu/ml
8
145
:
21
:
26
10
-5
(1)
:
TBUD
10
-5
(2)
:
TBUD
10
-6
(1)
:
159
10
-6
(2)
:
168
10-7 (1)
:
45
10
-7
(2)
:
21
10
-8
(1)
:
12
10
-8
(2)
:
8
1,8 x108 cfu/ml
Pengamatan jam ke-120 Ulangan 1 10
-6
10
-6
10
-7
(1) (2)
: :
TBUD TBUD
(1)
:
180
10-7 (2)
:
233
10
-8
10
-8
(1) (2)
: :
Ulangan 2
55 53
2,4 x10 cfu/ml
9
10
-7
10
-7
10
-8
(1) (2)
: :
312 276
(1)
:
123
10-8 (2)
:
96
10
-9
10
-9
(1) (2)
: :
58
Ulangan 3
0 9
1,0 x10 cfu/ml
9
10
-7
(1)
:
246
10
-7
(2)
:
271
10
-8
(1)
:
88
10-8 (2)
:
102
10
-9
(1)
:
2
10
-9
(2)
:
1
3,2 x109 cfu/ml
Rekapitulasi nilai TPC (log cfu/g) bandeng presto Perlakuan
Waktu Pengamatan (Jam)
Ulangan 0
24
48
72
96
120
1
1,30
6,85
8,42
9,25
9,31
9,49
2
1,30
7,21
8,45
9,14
9,21
9,56
3
1,00
7,02
8,48
9,26
9,23
9,56
Rata-rata Std. Dev
1,20 0,17
7,02 0,18
8,45 0,03
9,22 0,06
9,25 0,05
9,54 0,04
1
1,30
4,78
5,41
7,25
8,18
9,37
2
1,00
4,39
5,52
7,38
8,22
9,02
3
1,00
4,42
5,45
7,29
8,25
9,51
Rata-rata Std. Dev
1,10
4,53
5,46
7,31
8,22
9,30
0,17
0,21
0,05
0,07
0,03
0,25
Kontrol
Kitosan
Analisis model regresi (SPSS 12.0) Dependent Kontrol Kontrol Kontrol Kitosan Kitosan Kitosan
Mth Linier Quadratic Cubic Linier Quadratic Cubic
Rsq. 0,676 0,934 0,992 0,942 0 ,980 0,987
d.f. 16 15 14 16 15 14
F 33,35 106,10 568,95 259,59 360,87 363,43
Sig F 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
b0 3,9381 1,9583 1,3180 2,1351 1,4319 1,2151
b1 0,0585 0,1822 0,3041 0,0642 0,1081 0,1494
b2
b3
-0,0010 -0,0038
1,5E-05
-0,0004 -0,0013
5,2E-06
Gambar kurva model regresi perubahan waktu penyimpanan terhadap perubahan jumlah bakteri Kontrol
Kitosan
Observed
10.00
Linear
Observed
10.00
Linear
Quadratic
Quadratic
Cubic
Cubic
8.00
8.00
6.00
6.00
4.00
4.00
2.00
2.00
0.00
0.00 0
20
40
60
80
100
120
0
Waktu
20
40
60
Waktu
59
80
100
120
Lampiran 3. Hasil perhitungan nilai pH bandeng presto Data nilai pH Perlakuan
Ulangan
0 6,02 5,76 6,06 5,95 0,16 5,97 5,92 5,93 5,94 0,03
1 2 3 Rata-rata Std. Dev 1 2 3 Rata-rata Std. Dev
Kontrol
Kitosan
24 5,96 5,91 5,95 5,94 0,03 5,92 5,91 5,91 5,91 0,01
Waktu Pengamatan (Jam) 48 72 5,95 6,17 5,92 6,29 5,94 6,38 5,94 6,28 0,02 0,11 5,85 5,98 5,89 6,05 5,90 6,01 5,88 6,01 0,03 0,04
96 6,52 6,53 6,47 6,51 0,03 6,52 6,46 6,38 6,45 0,07
120 6,79 6,66 6,62 6,69 0,09 6,65 6,81 6,59 6,68 0,11
Analisis model regresi (SPSS 12.0)
Dependent Kontrol Kontrol Kontrol Kitosan Kitosan Kitosan
Mth Linier Quadratic Cubic Linier Quadratic Cubic
Rsq. 0,829 0,902 0,928 0,735 0,941 0,945
d.f. 16 15 14 16 15 14
F 77,62 68,97 59,72 44,31 120,04 79,56
Sig. F 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
b0 5,8052 5,9165 5,9616 5,7565 5,9456 5,9622
b1 0,0069 -1,E-04 -0,0087 0,0065 -0,0053 -0,0085
b2
b3
5,8E-05 0,0003 -1,E-06 9,8E-05 0,0002 -4,E-07
Gambar kurva model regresi perubahan waktu penyimpanan terhadap perubahan nilai pH Kitosan
Kontrol
Observed
6.80
Linear
Quadratic
Quadratic Cubic
Cubic
6.60
6.80
6.40
6.60
6.20
6.40
6.00
6.20
5.80
6.00
5.60
5.80 0
20
40
60
80
100
Observed
7.00
Linear
120
0
Waktu
20
40
60
Waktu
60
80
100
120
Lampiran 4. Hasil perhitungan nilai TVB bandeng presto Pengamatan Jam ke-0 Kode Perlakuan Ulangan A Kontrol B C D kitosan E F
ml titrasi HCl 1 2 0,100 0,079 0,095 0,080 0,100 0,090 0,090 0,080 0,100 0,090 0,090 0,084
1 10,08 9,58 10,08 9,07 10,08 9,07
Nilai TVB (mg N/100 g) 2 Rata-rata 7,96 9,02 9,14 ± 0,39 8,06 8,82 9,07 9,58 8,06 8,57 8,97± 0,53 9,07 9,58 8,47 8,77
Pengamatan Jam ke-72 Kode Perlakuan Ulangan T Kontrol U W X Kitosan Y Z
ml titrasi HCl 1 2 0,210 0,270 0,240 0,235 0,250 0,200 0,200 0,190 0,178 0,190 0,190 0,180
1 21,17 24,19 25,20 20,16 17,94 19,15
Nilai TVB (mg N/100 g) 2 Rata-rata 27,22 24,19 23,60 ± 0,81 23,69 23,94 20,16 22,68 19,15 19,66 18,95 ± 0,61 19,15 18,55 18,14 18,65
ANOVA Var Nilai TVB
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 480,583 2,947 483,529
df 3 8 11
Mean Square 160,194 0,368
Tukey HSD Subset for alpha = 0,05 a b c Kitosan Jam 0 3 8,9733 Kontrol Jam 0 3 9,1400 Kitosan Jam 72 3 18,9533 Kontrol Jam 72 3 23,6033 Sig. 0,986 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Perlakuan
N
61
F 434,926
Sig. 0,000
Lampiran 5. Hasil perhitungan nilai TBA bandeng presto Data Pengamatan Jam ke-0 Berat Kode Plk sampel ulgn (g) A-1 10,1146 A-2 10,0168 B-1 10,2134 Kontrol B-2 10,0145 C-1 10,3403 C-2 10,0266 D-1 10,4102 D-2 10,0344 E-1 10,3690 Kitosan E-2 10,0595 F-1 10,0968 F-2 10,0375
Absorbans (528 nm) 1 2 0,160 0,177 0,161 0,170 0,125 0,122 0,126 0,123 0,266 0,296 0,255 0,285 0,256 0,260 0,253 0,258 0,154 0,151 0,155 0,153 0,125 0,125 0,121 0,121
Nilai TBA (mg/kg malonaldehida) 1 1,234 1,254 0,955 0,981 2,007 1,158 1,918 1,967 1,158 1,202 0,966 0,940
2 1,365 1,324 0,932 0,958 2,233 1,948 2,006 2,783 1,136 1,186 0,966 0,940
Rata-rata 1,30 1,29 0,94 0,97 1,93 1,99 1,15 1,19 0,77 0,81 0,97 0,94
1,29 0,96
1,45 ± 0,59
2,11 1,96 1,17
1,36 ± 0,53
0,95
Data Pengamatan Jam ke-72 Absorbans Berat Nilai TBA (mg/kg malonaldehida) Kode (528 nm) Plk sampel ulgn (g) 1 2 1 2 Rata-rata T-1 10,0162 1,008 1,021 7,850 7,951 7,90 7,82 T-2 10,0351 1,003 0,988 7,796 7,679 7,74 8,51 V-1 10,0764 1,102 1,008 8,530 7,803 8,17 Kontrol 8,57 ± V-2 10,0595 1,167 1,148 9,049 8,901 8,98 0,66 W-1 10,0355 1,173 1,154 9,117 8,969 9,04 9,13 W-2 10,0175 1,181 1,185 9,196 9,227 9,21 X-1 10,0893 0,258 0,260 1,995 2,010 2,00 2,01 X-2 10,0744 0,260 0,262 2,013 2,029 2,02 1,66 Y-1 10,0520 0,199 0,200 1,544 1,552 1,55 Kitosan 1,54 ± Y-2 10,0350 0,196 0,199 1,523 1,547 1,54 0,31 Z-1 10,0045 0,194 0,173 1,513 1,349 1,43 1,42 Z-2 10,0144 0,190 0,170 1,480 1,324 1,40 ANOVA Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 110,871 3 36,957 127,240 0,000 Within Groups 2,324 8 0,290 Total 113,195 11 Tukey HSD N Subset for alpha = 0,05 Perlakuan a b Kitosan jam 0 3 1,3611 Kontrol Jam 0 3 1,4535 Kitosan Jam 72 3 1,6565 Kontrol Jam 72 3 8,5057 Sig. 0,905 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
62
Lampiran 6. Hasil perhitungan kadar air bandeng presto Pengamatan Jam ke 0 Perlakuan Kontrol Kitosan
1 68,67 69,08
Ulangan 2 68,96 68,55
3 69,21 69,13
68,95 68,92
Std Dev. (%) 0,27 0,32
Rata-rata (%) 71,08 70,94
Std Dev. (%) 0,32 0,36
Rata-rata (%)
Pengamatan Jam ke 72 Perlakuan Kontrol Kitosan
1 70,77 70,60
Ulangan 2 71,41 70,90
3 71,06 71,32
ANOVA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 12,968 0,820 13,788
df 3 8 11
Mean Square 4,323 0,102
Tukey HSD Subset for alpha = 0,05 a b Kitosan jam 0 3 68,9200 Kontrol Jam 0 3 68,9467 Kitosan Jam 72 3 70,9400 Kontrol Jam 72 3 71,0800 Sig. 1,000 0,948 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Perlakuan
N
63
F 42,190
Sig. 0,000
Lampiran 7. Hasil perhitungan nilai aw bandeng presto Pengamatan jam ke-0 Perlakuan Kontrol
Kitosan
Kode ulangan A B C D E F
Pengamatan jam ke-72 Kode Perlakuan ulangan Kontrol T V W Kitosan X Y Z
1 0,979 0,981 0,979 0,982 0,984 0,982
Nilai Aw 3 Rata-rata 0,978 0,978 0,980 ± 0,001 0,981 0,981 0,980 0,980 0,980 0,981 0,982 ± 0,001 0,982 0,983 0,981 0,982
2 0,978 0,980 0,980 0,982 0,982 0,982
Nilai Aw 1 0,968 0,963 0,963 0,963 0,962 0,962
2 0,960 0,963 0,968 0,961 0,967 0,962
Rata-rata 0,964 0,963 0,966 0,962 0,965 0,962
0,964 ± 0,001
0,963 ± 0,001
ANOVA Nilai aw
Between Groups Within Groups Total
Tukey HSD Perlakuan
Sum of Squares ,001 ,000 ,001
df 3 8 11
Mean Square ,000 ,000
N
Subset for alpha = 0,05 a b Kitosan jam 72 3 0,96300 Kontrol jam 72 3 0,96433 Kontrol jam 0 3 0,97967 Kitosan jam 0 3 0,98200 Sig. 0,694 0,285 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
64
F 137,679
Sig. ,000