KOMBINASI HERBISIDA GOLONGAN BIPIRIDILIUM DENGAN GOLONGAN SULFONILURA UNTUK MENGENDALIKAN PAKIS Stenochlaena pallustris Edison Purba Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan ABSTRAK Studi terhadap pengendalian pakis (Stenochlaena pallustris) dilaksanakan di kebun kelapa sawit telah menghasilkan pada lahan gambut. Penelitian bertujuan untuk mengukur efikasi herbisida golongan bipiridilium (paraquat) dicampur dengan dua herbisida golongan sulfonilurea (triasulfuron dan metil metsulfuron) terhadap S. pallustris. Perlakuan terebut dibandingkan dengan perlakuan menggunakan sulfosat, metil metsulfuron dan adjuvant. Aplikasi herbisida bipiridilium, paraquat (300 g b.a./ha) dicampur dengan golongan sulfonilurea (triasulfuron atau metil metsulfuron masingmasing 15 g b.a./ha) tidak hanya menghasilkan tingkat kematian S. pallustris yang lebih tinggi tetapi juga masa penekanan lebih lama dibanding dengan yang dihasilkan pada aplikasi sulfosat (baik secara tunggal maupun kombinasi dengan triasulfuron atua metil metsulfuron), dan paraquat tunggal dosis 300 sampai dengan 300 g b.a/ha. Kata kunci: Paraquat, Sulfosat, Triasulfuron, Metil metsulfuron, Sulfonilurea, Stenochlaena pallustris ABSTRACT Study on fern Stenochlaena pallustris control was conducted in a mature oil alm plantation on peat soil. The study aims to determine the efficacy of bipyridylium herbicide (paraquat) tank-mixed with sulfonyluyreas (triasulfuron and metsulfuron methyl) on S. pallustris. Those treatments compared to other treatments using sulphosate, triasulfuron and metsulfuron methyl alone. Bipyridylium (paraquat) application (30a0 g. a.i/ha) mixed with sulfonylureas (either triasulfuron or metsulfuron methyl) at 15 g a.i/ha not only result in higher mortality but also the longer period of S. pallustris be suppressed compared to the results in sulphosate (either alone or mixed with triasulfuron or metsulfuron meethyl), and paraquat alone at the rate of 300 to 600 g a.i/ha. Keywords:
Paraquat, Sulphosate, Triasulfuron, Sulfonylureas, Stenochlaena pallustris.
PENDAHULUAN Pada tahun-tahun terakhir ini ketersediaan tanah mineral untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin terbatas. Hal ini disebabkan tidak saja oleh tidak adanya pertambahan lahan tanah mineral tetapi jua karena hampir semua lahan tanah mineral yang ada sekarang telah dibagi menurut fungsi tertentu seperti hutan lindung, pertanian tanaman pangan, pemukiman. Oleh sebab itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit
Metsulfuron
methyl,
Bipyridylium,
akhir-akhir ini banyak diarahkan ke daerah lahan gambut. Menurut Chotimah (2000) luas lahan gambut di Indonesia ada sekitar 16 juta hektar dan dari luas tersebut sekitar 5 juta hektar cocok untuk tanaman pertanian. Sejak tahun 1980-an sejumlah perusahaan perkebunan telah mengembangkan kebun kelapa sawit pada lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kebun kelapa sawit adalah aspek pengelolaan gulma. Gulma dapat5 mempengaruhi pertumbuhan dan
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005: 5-8
produksi tanaman, pengawasan pekerja, dan produktivitas kerja karyawan. Keberadaan gulma dalam suatu areal pertanaman bersifat merugikan sebab gulma menjadi pesaing tanaman dalam memperoleh sarana tumbuh, menjadi inang hama dan penyakit, dan menyulitkan dalam manajemen kebun, seperti pemupukan dan pemanenan (Mercado, 1979 dan Zumdahl, 1980). Seperti halnya kebun kelapa sawit pada lahan tanah mineral, kelapa sawit pada lahan gambut juga tumbuh berasosiasi dengan berbagai jenis gulma. Salah satu jenis gulma yang umum dijumpai pada perkebunan kelapa sawit di lahan ambut adalah pakis Stenochlaena pallustris (Barnes & Chan, 1997). Pakis S. pallustris umumnya merupakan gulma dominan pada kelapa sawit di lahan gambut. Ada beberapa metode pengendalian yang diterapkan dalam pengelolaan gulma di perkebunan di antaranya secara manual dan kimiawi. Adapun metode kimiawi merupakan metode yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Penggunaan bahan kimia dianggap lebih praktis dan ekonomis terutama kalau dikaitkan dengan ketersediaan tenaga kerja dan waktu. Pemilihan herbisida yang tepat sangat menentukan keberhasilan pengelolaan gulma. Kemampuan mengendalikan gulma sasaran antara satu herbisida dengan herbisida lainnya sangat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti jenis gulma sasaran, jenis dan dosis herbisida, teknik aplikasi dan kondisi lingkungan (Moenandir, 1988). Pengendalian gulma menggunakan herbisida di perkebunan kelapa sawit menunjukkan frekuensi peningkatan dari tahun ke tahun. Dua dari beberapa herbisida yang umum digunakan di perkebunan adalah paraquat dan sulfosat. Herbisida paraquat merupakan salah satu herbisida yang bersifat kontak. Penetrasi herbisida ini pada tanaman melalui daun prosesnya sangat cepat sehingga tidak mudah tercuci oleh air hujan (Kasasian, 1971). Sulfosat merupakan herbisida yang umum digunakan pada perkebunan 6kelapa sawit. Herbisida sulfosat bersifat sistemik sehingga herbisida yang
diaplikasikan ke daun kemudian diangkut juga ke bagian perakaran. Namun kombinasi kedua jenis herbisida, paraquat dan sulfosat, dengan herbisida lain, seperti metil metsulfuron dan triasulfuron untuk mengendalikan gulma S. pallustris belum ada dipublikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi daya kendali paraquat dan sulfosat dicampur dengan herbisida golongan sulfonilurea (metil metsulfuron dan triasulfuron) terhadap pakis S. pallustris pada perkebunan kelapa sawit.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan pada September 2001 sampai dengan Januari 2002 di Afdeling VII Blok 5 Z, Kebun Tahuan Ganda, P.T. Tor Ganda, Aek Korsik, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Kelapa sawit yang terdapat pada areal ditanam pada tahun 1994. pada areal tersebut pakis S. pallustris merupakan species gulma dominan (90%). Alat yang digunakan untuk aplikasi herbisida adalah Lever operated knapsack sprayer “Solo”. Sedangkan bahan yang digunakan terdiri dari herbisida paraquat (Gramoxone), sulfosat (Touchdown), triasulfuron (Logran 20 WDG), metil metsulfuron (Ally 20 WDG), dan surfactan Agristick. Perlakuan yang diuji dalam percobaan ini ada 12 perlakuan seperti tertera di bawah ini No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Herbisida dan Dosis bahan aktif (b.a) per ha Paraquat 200 g Paraquat 200 g + metil metsulfuron 10 g Paraquat 200 g + triasulfuron 15 g Paraquat 300 g Paraquat 300 g + metil metsulfuron 15 g Paraquat 300 g + triasulfuron 15 g Paraquat 600 g Metil metsulfuron 30 g + Agristick 0,2% Triasulfuron 30 g + Agristick 0,2% Sulfosat 720 g Sulfosat 720 g + metil metsulfuron 15 g Sulfosat 720 g + triasulfuron 15
Perlakuan tersebut disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan masing-masing perlakuan dibuat dalam tiga ulangan. Setiap plot perlakuan berukuran 5m x 18m. masing-masing plot ditempatkan pada gawangan (antara dua
Kombinasi Herbisida Golongan Bipiridilium dengan Golongan Sulfonilura untuk Mengendalikan Pakis Stenochlaena pallustris (Edison Purba)
barisan) kelapa sawit sehingga tidak tergantung saat melakukan pekerjaan lain seperti panen dan pemupukan. Volume semprot yang digunakan pada saat aplikasi 500 l/ha. Air yang digunakan sebagai pengencer herbisida berasal dari sumur karyawan yang terdapat di kompleks perumahan kebun. Aplikasi herbisida dilakukan pada pagi hingga sore hari dengan kondisi cuaca cerah dan tidak turun hujan. Variabel yang diamati dalam studi ini meliputi mortalitas gulma (persentase kematian gulma) pada 1, 2, dan 4 minggu setelah aplikasi (MSA), persentase pertumbuhan – kembali (regrowth) gulma pada 6, 8, 10 dan 12 MSA, dan fitotoksisitas (keracunan) tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji jarak Duncan dan perbedaan di antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas S. pallustris Mortalitas S. pallustris sebesar 83% dijumpai pada perlakuan paraquat 600 g b.a./ha saat pengamatan satu MSA. Angka tersebut cenderung meningkat sampai pada 4 MSA (Tabel 1). Persentase kematian S. pallustris dengan paraquat 600 g b.a/ha tidak berbeda nyata dengan persen kematian pada perlakuan paraquat 300 g b.a/ha + metil metsulfuron 15 g b.a./ha, dan paraquat 300 g b.a/ha + triasulfuron 15 g b.a/ha. Pada pengamatan 4 MSA, aplikasi paraquat 600 g b.a/ha mematikan 91,7% S.pallustris tidak berbeda nyata dengan paraquat 300 g b.a/ha + metil metsulfuron 15 g b.a/ha. Artinya, penambahan 15 g b.a/ha triasulfuron atau 15 g b.a/ha metil metsulfuron kepada paraquat 300 g b.a/ha menghasilkan efikasi yang tidak berbeda nyata dibanding dengan penambahan 300 g b.a/ha paraquat. Sedangkan campuran paraquat 200 g b.a/ha ditambah dengan metil metsulfuron atau triasulfuron sebanyak 10 g b.a/ha hasil pengendaliannya tidak berbeda nyata dengan paraquat 300 g b.a/ha dengan persentase kematian gulma berkisar antara 83 s/d 85%. Aplikasi paraquat 200 g b.a/ha tanpa kombinasi dengan herbisida lain dihasilkan 73% kematian S. pallustris pada 4
MSA. Jadi ada penurunan persentase kematian sebesar 10 sampai 12 % dari aplikasi paraquat 300 g b.a/ha dan paraquat 200 g b.a/ha + metil metsulfuron 10 g b.a/ha dan paraquat 200 g b.a/ha + triasulfuron 10 g b.a/ha. Tabel 1. Persentase kematian gulma S. pallustris pada pengamatan 1, 2 dan 4 MSA Herbisida Paraquat Paraquat + metil metsulfuron Paraquat + triasulfuron Paraquat Paraquat + metil metsulfuron Paraquat +triasulfuron Paraquat Metil metsulfuron + Agristick Triasulfuron + Agristick Sulfosat Sulfosat + metil metsulfuron Sulfosat + triasulfuron
Dosis (g b.a./ha)
1 MSA
2 MSA
200 200+ 10
63,33b 70,00 bc
70,00 b 76,68 bc
4 MSA 73,33 b 83,33 c
200+ 10
73,33 cd
78,33 c
85,00 c
300 300 + 15
75,67 cde 80,00 de
80,00 c 81,67 c
85,00 c 93,00 d
300 + 15
75,00 cde
81,66 c
91,67 d
600 30 + 0,2%
83,00 e 5,00 a
88,33 d 5,00 a
91,67 d 8,33 a
30 + 0,2%
5,00 a
5,00 a
5,00 a
720 I/Ha 720 + 15
5,00 a 5,00 a
5,00 a 5,00 a
5,00 a 5,00 a
720 + 15
5,00 a
5,00 a
5,00 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu komol tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji BNJ
Penambahan surfaktan Agristick 1 l/ha kepada metil metsulfuron 30 g b.a/ha atau kepada triasulfuron 30 g b.a/ha hanya mampu mematikan S. pallustris sebesar 5%. Demikian juga dengan aplikasi sulfosat sebanyak 720 g b.a/ha secara tunggal atau dikombinasi dengan metil metsulfuron atau triasulfuron masing-masing 15 g b.a /ha tidak efektif mengendalikan S. pallustris (persentase kematian hanya 5 %). Pertumbuhan-Kembali (Regrowth) Persentase pertumbuhan-kembali gulma setelah aplikasi herbisida dicantumkan pada Gambar 1. pengamatan terhadap persentase pertumbuhan-kembali dilakukan pada enam minggu sampai 12 minggu setelah aplikasi. Pada hasil pengamatan 6 MSA pertumbuhan gulma masih sekitar 6,7 % pada perlakuan paraquat 600 g b.a/ha dan tidak berbeda nyata dengan 7 perlakuan paraquat 300 g b.a/ha + metil
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005: 5-8
metsulfuron 15 g b.a/ha dan paraquat 300 g b.a/ha + triasulfuron 15 g b.a/ha yaitu sekitar 8,3%. Tidak ada perbedaan pertumbuhan-kembali gulma pada pengamatan 12.
Gambar 1. Pertumbuhan-kembali (%) S. pallustris dalam 6-, 8-, 10-, dan 12-MSA Pq: paraquat, Ts:triasulfuron, MSM: metsulfuron methyl, Ag: Agristick, S: sulfosat. MSA pada perlakuan paraquat 300 g b.a/ha + metil metsulfuron 15 g b.a/ha, paraquat 300 g b.a/ha + triasulfuron 15 g b.a/ha, dan paraquat 600 g b.a/ha. Pertumbuhan gulma pada ketiga perlakuan tersebut berkisar 30-35%. Ada kecendferungan bahwa dengan penambahan herbisida triasulfuron atau metil metsulfuron kepada paraquat mampu menekan pertumbuhan kembali gulma S. pallustris secara nyata. Pertumbuhan kembali gulma dngan perlakuan paraquat secara tunggal dosis 300 g b.a/ha mencapai 71,7%. Tetapi dengan penambahan metil metisulfuron 15 g b.a/ha atau triasulfuron 15 g b.a/ha pertumbuhan-kembali menjadi lebih kecil, yaitu masing-masing 30%. Jadi, jelas bahwa kedua herbisida golongan sulfonilurea, metil metsulfuron dan triasulfuron, berperan aktif terhadap penekanan S. pallustris bila ditambahkan kepada paraquat. Sebaliknya, dengan aplikasi tunggal triasulfuron dan metil metsulfuron atau ditambahkan kepada sulfosat tidak efektif untuk menekan 720 g b.a/ha pada pengamatan 8 MSA pertumbuhan-kembali gulma telah mencapai 100%. 8
Fitotoksisitas pada Tanaman Pengamatan keracunan tanaman yang dilakukan pada satu sampai 12 MSA menunjukkan tidak ada gelaja keracunan pada tanaman kelapa sawit pada semua perlakuan. Hal ini terbukti dari tidak adanya perubahan warna dan bentuk daun tanaman. Sebagai kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa aplikasi paraquat 200 g b.a/ha + metil metsulfuron 10 g b.a/ha atau paraquat 200 g b.a/ha + triasulfuron 10 g b.a/ha tidak berbeda hasil pengendaliannya terhadap S. pallustris dibandingkan dengan aplikasi paraquat 300 g b.a/ha. Aplikasi paraquat 300 g b.a/ha mengendalikan S. pallustris secara efektif jika dicampur dengan metil metsulfuron 15 g b.a/ha atau dengan triasulfuron 15 g b.a/ha. Triasulfuron dan metil metsufuron meningkatkan kemampuan daya peracunan paraquat tetapi tidak dengan sulfosat. Triasulfuron, metil metsulfuron dan sulfosat tidak efektif mengendalikan S. pallustris secara tunggal ataupun kombinasi dengan sulfonilurea (triasulfuron dan metil metsulfuron).
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada PT. Syngenta, Jakarta, atas dukungan dana dan PT. Tor Ganda atas lokasi percobaan. Bantuan teknis Oleh Mangasi Siagian dan Parulian Simbolon (GRC PT. Tor Ganda), dan James B. Tampubolon (Syngenta) sangat dihargai.
DAFTAR PUSTAKA Barnes, D.E and L. G. Chan. 1997. Common weed of Malaysia and their control. Ancom Berhad, Pesiaran Selangor, Malaysia. Chotimah, H. 2000. Pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman pertanian. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2002. Kasasian, L. 1971. Weed control in the tropic. Leonard Hill, London Mercado, L.B. 1979. Introduction to weed science. SEARCA. College, Laguna. Philippines
Kombinasi Herbisida Golongan Bipiridilium dengan Golongan Sulfonilura untuk Mengendalikan Pakis Stenochlaena pallustris (Edison Purba)
Moenandir, J. 1988. Pengantar ilmu dan pengendalian gulma. Universitas Brawijaya Malang. Rajawali Press. Zimdahi, R.L. 1980. Weed crop competition. International Plant Protection Centre. Oregon State University Carvallis.
9
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005: 5-8