Kiprah Muslimat NU Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni 1979-1994
Disusun oleh :
Nuril Mahdia Firdausiyah 103022027516
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008
KIPRAH MUSLIMAT NU PADA MASA KEPEMIMPINAN ASMAH SJACHRUNI 1979-1994
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Humaniora
Oleh
NURIL MAHDIA FIRDAUSIYAH NIM : 103022027516
Di Bawah Bimbingan
AWALIA RAHMA, MA NIP : 150 318 444
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2008
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Kiprah Muslimat NU Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni 1979-1994 telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 18 September 2008
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA
Sekretaris Merangkap Anggota
Usep Abdul Matin, S. Ag., MA, MA
NIP : 150 247 010
NIP : 150 283 304
Anggota
Penguji,
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA NIP : 150 247 010
Pembimbing
Awalia Rahma, MA NIP : 150 318 444
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 September 2008
Nuril Mahdia Firdausiyah
ABSTRAKSI
Muslimat NU merupakan organisasi yang berdiri sejak tanggal 29 Maret 1946. Proses berdirinya organisasi ini diwarnai oleh konflik dalam tubuh NU, karena pada saat itu ada sebagian Kyai yang setuju, namun sebagian besar menentang berdirinya organisasi ini. Asmah Sjachruni merupakan ketua PP Muslimat NU selama tiga periode, yaitu dari tahun 1979-1984, 1984-1989, 1989-1994. Ia adalah seorang guru SD yang mengajar di Kalimantan selatan. Sifatnya yang keras dan tegas semakin menonjolkan dirinya sebagai seorang pemimpin hingga ia dipercaya menjadi ketua PP Muslimat NU walaupun bukan berasal dari pulau Jawa dan ia menjadi satu-satunya hingga saat ini mantan ketua PP Muslimat NU non Jawa. Kiprahnya dalam perkembangan Muslimat NU cukup besar. Ia mempelopori pembuatan Kartu anggota Muslimat NU yang hasil pendapatannya digunakan untuk kemaslahatan Muslimat NU. Ia juga mempelopori pendirian cabang-cabang Muslimat di daerah-daerah terpencil untuk menarik anggota dan mendirikan TK-TK sebagai sarana mencerdaskan anak bangsa. Walaupun ia menjabat juga sebagai anggota DPR pada saat ia menjabat sebagai Ketua PP Muslimat NU, namun ia tidak pernah melepaskan tanggung jawab diantara keduanya. Suami dan anak-anaknya sangat mendukung semua kegiannya. Hingga saat ini beliau masih menjabat sebagai Dewan Penasehat di Muslimat NU walaupun ia sempat terkena stroke.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim. Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan kasih sayang-Nya kepada setiap mahluk ciptaan-Nya. Hanya dengan ridho dan inaya-Nya-lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Baginda Nabi Muhammad SAW. Selama dalam proses pembuatan skripsi ini banyak hambatan dan kesulitan yang dialami penulis, baik yang mengenai pengaturan waktu, pengumpulan data, pembiayaan, dan proses penyusunan. Namun berkat limpahan rahmat-Nya dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Illahi Rabbi dan mengucapkan termiakasih serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu. Di kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Abdul Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam tahun angkatan 2003. 2. Bapak Drs. Ma’ruf Misbah, MA dan Bapak Usep Abdul Matin, S. Ag., MA, MA, selaku Ketua dan Sekertaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.
3. Ibu Awalia Rahma, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu bersahabat dalam memberikan pengarahan dan bimbingan. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan, semoga penulis dapat memanfaatkan dan mengamalkan dengan baik sesuai dengan syariat Islam serta berguna bagi agama, nusa dan bangsa. 5. Rasa Ta’zim dan bakti penulis yang tertinggi dan setulus-tulusnya kepada Mama dan Ayahku tercinta dan tersayang yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dalam mengasuh hingga penulis dapat menempuh pendidikan dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada keduanya. Dan untuk adik-adik tercinta (Fikar, Rifki, Fachry, Hani dan Muti), kepada kakak sekaligus tanteku Siti Mutaalimah, Shi, Kepada Suamiku terkasih Sulistya Perdhana Putra, SE yang selalu sabar menungguku. Keberadaan kalian memberikan motivasi kepadaku untuk terus maju. 6. Ibu Hj. Asmah Syachruni, Ibu Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Ibu Hj. Latifah Hasyim, yang telah memberikan banyak informasi, saran-saran, dan datadata yang dibutuhkan penulis dalam penulisan ini. Semoga Allah selalu mengarahkan kita ke Jalan yang Ia Ridhoi dalam perjuangan ini. 7. Untuk teman-temanku di SPI (Aci, Sulis, Ipung, Hamid, Agus, Riza, Willy, Dena, Shinta, dll). Teman-teman kost (teh Nana, Fitri, Dini, Nylam, Ayu, Reny). Sahabat setiaku Putri Permata Sari, SE. kalian yang selalu
memberi kesan tersendiri di hati penulis dan yang tak bisa sebutkan namanya satu-persatu. 8. Seluruh staf akademik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta yang telah banyak membantu memberikan pelayanan bagi penulis. Dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis diterima sebagai amal saleh dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amien. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenya penulis sangat mengharapkan saran dan kritik pembaca sehingga memotivasi penulis untuk dapat berkarya lebih baik lagi dimasa mendatang. Insya Allah.∗
Jakarta, 18 September 2008
Penulis
∗
(email:
[email protected]/ mobile: 085710338544).
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
6
D. Metode Penelitian
6
E. Survei Pustaka
8
F. Sistematika Penulisan
10
SEJARAH BERDIRINYA MUSLIMAT NU A. Latar Belakang Berdirinya Muslimat NU
12
B. Pergerakan Wanita Sebelum Berdirinya Muslimat NU 16 C. Lahirnya Muslimat NU
BAB III
22
RIWAYAT HIDUP ASMAH SJACHRUNI A. Latar Belakang Keluarga
33
B. Latar Belakang Pendidikan
34
C. Perjalanan Karir Politik Dan Organisasi
36
D. Asmah Sjachruni Di Mata Sahabat
42
E. Gambaran Singkat Pengalaman Asmah Sjachruni Dalam Kepemimpinannya Selama Tiga Periode (1979-1994)
45
BAB IV PERANAN MUSLIMAT NU PADA MASA KEPEMIMPINAN ASMAH SJACHRUNI
BAB V
A. Periode Pertama Kepemimpinannya
51
B. Periode Kedua Kepemimpinannya
53
C. Periode Ketiga Kepemimpinannya
56
PENUTUP Kesimpulan
68
DAFTAR PUSTAKA
73
LAMPIRAN
76
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Gerakan-gerakan yang melatar belakangi kelahiran Nahdlatul Ulama adalah Tashwirul Afkar, sebagai lembaga pengembangan pemikiran dan penalaran, Nahdlatul Tujar, organisasi perdagangan, Nahdlatul Wathan, lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan, Nahdlatus Syuban, organisasi kepemudaan, dan lain-lain. Kelahiran Nahdlatul Ulama sendiri dipicu oleh kasus ditolaknya wakil Kyai/Ulama untuk ikut dalam delegasi Islam Indonesia yang akan menghadiri rapat Khilafah di Mekkah atas undangan Raja Saud. Penolakan tersebut dengan alasan wakil Kyai/Ulama tidak memiliki organisasi. Kemudian dibentuklah panitia aksi dengan nama Komite Hijaz yang berhasil menggalang dana dan mengirimkan wakilnya sendiri ke Arab Saudi. Keberhasilan aksi ini, menumbuhkan rasa percaya diri untuk membentuk organisasi permanen berskala Nasional. Organisasi itulah yang kemudian dikenal dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan Ulama. Besarnya pengaruh Kyai/Ulama lewat lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan
NU
cepat
melebarkan
sayap
organisasinya
dengan
pembentukan cabang-cabang. Dan pada saat yang sama, NU kian
menancapkan pengaruh dan peranannya dalam persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan tuntutan kondisi yang ada.1 Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang bersifat tradisional. Meski begitu, bukan berarti dalam NU tidak ada upaya pembaruan, karena tampilnya NU sendiri justru merupakan sebuah gerakan pembaruan di lingkungan kaum santri. Perubahan dan pembaruan yang terjadi di lingkungan NU, antara lain digagas oleh KH Wahid Hasyim. Akan tetapi, di samping beliau, ada lagi seorang tokoh pembaruan NU yang juga amat berpengaruh yakni KH Muhammad Dahlan. Kalau Kiai Wahid membolehkan hakim wanita, maka dalam NU Kiai Dahlan mempelopori berdirinya organisasi Wanita NU
yakni Muslimat. Bahkan dengan
kegigihannya, ia meyakinkan KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Hasbullah, yang akhirnya didukung seluruh Nahdliyin. Kiai. Dahlan adalah seorang organisator yang ulet dan mahir berargumentasi. Bintangnya makin bersinar saat ia menghadiri kongres NU XIII di Menes, Banten pada tanggal 11-16 Juni 1938. Sejarah mencatat bahwa kongres NU di Menes merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses terbentuknya organisasi Muslimat NU. Dalam kongres tersebut, untuk pertama kalinya muncul usulan tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Usul disetujui. Dan sejak itu, kaum wanita secara resmi diterima menjadi anggota NU meski sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan 1
Muchith Muzadi, NU dan Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta, LKPSM NU DIY: 1995)
cet ke 2
pengikut saja, tanpa boleh menduduki kursi kepengurusan. Itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940. Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri dengan mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Kiai Dahlan termasuk pihak yang gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, hingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan. Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat belum didapat. Kiai Dahlan-lah yang berupaya membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani KH Hasyim Asyari dan KH A Wahab Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar. Bersama A Aziz Dijar, Kiai Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari. Bersamaan dengan hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946. Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, yang tak lain adalah isteri Kiai Dahlan.2 Mulai tahun 1946-1952 kongres NU ke XVII di Madiun dan ke XVIII di Jakarta ditandai dengan suasana perjuangan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Kemerdekaan memberikan corak baru
2
http://www.republika.co.id, direkam pada 25 Okt 2007 .
pada pergerakan wanita Indonesia. Organisasi-organisasi dituntut untuk memperkembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman.3 Muslimat NU adalah salah satu organisasi kewanitaan yang cukup tua di Indonesia. organisasi ini banyak memperjuangkan wanita. Organisasi ini bertekad untuk meningkatkan kwalitas perempuan Indonesia yang cerdas, trampil, dan kompetitif, mempersatukan gerak kaum perempuan Indonesia, khususnya perempuan Islam Ahlussunah Waljamaah, serta organisasi ini banyak bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah.4 Hj. Asmah Sjachruni merupakan salah satu ketua Muslimat NU yang memimpin Muslimat selama tiga periode berturut-turut dari tahun 1979-1995. beliau merupakan profil wanita yang pemberani dan berhasil menjalankan kehidupan di Jakarta dari pulau seberang, di pedalaman Kalimantan selatan. Hj. Asmah Sjachruni mulai aktif di PP Muslimat NU pada tahun 1959. pada saat itu dalam kongres VII di Jakarta 1959, Muslimat memberi kepercayaan padanya untuk menangani bidang sosial. Kemudian duduk sebagai ketua II dalam susunan PP Muslimat NU hasil kongres VIII di Solo, tahun 1962 dan kongres IX di Surabaya tahun 1967. baru kemudian duduk sebagai ketua umum tahun 1979, hasil kongres X di Semarang.5 Beliau merupakan ketua ke tiga setelah Hj. Chodidjah Dahlan dan Hj. Mahmudah Mawardi. Kepemimpinan dan ketokohan Ibu Hj. Asmah Sjachruni di kalangan Muslimat NU sangat terasa. Beliau mempunyai ketegasan dan keteguhan 3
Saifuddin Zuhri, dkk, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (PP. Muslimat NU, Jakarta:1979), h. 63 4 http://www.muslimat-nu.or.id . 18 April 2008 5 Asmah Sjachruni, dkk, 50 tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan Bangsa,(LAKPESDAM, Jakarta:1996) h. 139
pendirian. Beliau bersikap proaktif tetapi tetap teguh mengikuti aturan dan ketentuan yang masih berlaku dalam organisasi.6 Berkat kepemimpinannya yang tegas dan konsekwen, banyak pihak menaruh kepercayaan terhadap Muslimat
NU
untuk
membuka
hubungan
kerjasama.
Pemerintah
menempatkan Muslimat NU sebagai mitra pembangunan bangsa dalam berbagai bidang. Dengan alasan itulah, penulis mengajukan judul “Kiprah Muslimat NU Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni 1979-1994” sebagai judul skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
A. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah penulis sampaikan, maka penulis hanya membatasi pada pokok-pokok permasalahan yang berkaitan dengan judul yang penulis ajukan, yaitu tentang “Kiprah Muslimat NU Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni 1979-1994”. Sesuai dengan pengajuan judul tersebut, maka masalah-masalah yang akan penulis kaji adalah: 1. Bagaimana sejarah berdirinya Muslimat NU serta perkembangannya? 2. Apa saja peranan Muslimat NU untuk mengangkat derajat perempuan Muslim Indonesia dalam bidang pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Asmah Sjachruni?
B. Tujuan dan Manfaat penelitian Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak penulis capai adalah:
6
Pendapat Salahuddin Wahid dalam buku Asmah Sjachruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Ali Zawawi, dkk, (Pustaka Indonesia Satu, Jakarta:2002) h. 206
1.
Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Muslimat NU serta perkembangannya
2.
Untuk mengetahui apa saja peranan Muslimat NU untuk mengangkat derajat perempuan Muslim Indonesia dalam bidang pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Asmah Sjachruni Secara akademik, penelitian ini dibuat untuk menambah khazanah
ilmu pengetahuan. Secara praktis, penelitian ini dibuat sebagai informasi eksplisit mengenai sejarah dan perkembangan sebuah organisasi di bawah NU yang bernama Muslimat NU yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan.
C. Metode Penelitian Dalam penelitian mengenai Muslimat NU, penulis merasa perlu melakukan penelitian langsung untuk mendapatkan data-data yang akurat. Tapi, untuk menunjang kevalidan penelitian, penulis juga menggunakan literature yang ada. Untuk itu, penulis menggunakan pendekatan Historical Method yang mencakup Heuristik, Kritik, Interprestasi, dan Historiografi. Heuristik, yaitu pencarian sumber data dari wawancara, berbagai arsip dan berbagai sumber lain baik yang bersifat data primer maupun sekunder. Kritik, yaitu kritik terhadap sumber data yang ada untuk memastikan validitas data dan kecenderungan sumber. Hal ini dilakukan untuk menjaga objektifitas penelitian. Dengan demikian, informasi yang tersaji akan menjadi fakta sejarah yang objektif.
Interpretasi, dilakukan terhadap fakta sejarah yang telah diseleksi melalui proses diatas dan disajikan dengan menggunakan pendekatan multidimensional agar fakta-fakta tersebut menjadi sebuah kisah sejarah yang menarik bagi berbagai kalangan. Historiografi, yaitu penulisan sejarah. Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai kajian tersebut, metode penelitian yang penulis gunakan, yaitu; 1. Teknik Pengumpulan Data Penelian ini menggunakan wawancara langsung dengan pihak yang berkaitan selain juga menggunakan study kepustakaan (Library Reseach) yaitu penelitian dari literatur-literatur yang ada. 2. Metode Analisa Data Setelah data-data yang diperlukan telah terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan identifikasi untuk selanjutnya mengkaji secara analitis dengan menggunakan pendekatan yang akurat dengan metode induksi, yaitu metode berfikir yang bertitik tolak pada data-data yang bersifat khusus yang mempunyai kesamaan, kemudian di implikasi menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Kemudian penulis juga menggunakan metode analisa (Content Analysis), yaitu suatu analisa tentang pesan yang tersirat dari komunikasi yang penulis lakukan pada pihak-pihak yang bersangkutan dan analisa dari isi yang terkandung dalam suatu data kemudian diolah dan disusun secara logis. Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Sumber Data Primer
Yaitu berupa wawancara langsung dengan Asmah Sjachruni dan bukubuku yang beliau tulis langsung. 2. Sumber Data Sekunder Yaitu dengan mengumpulkan data-data melalui wawancara dengan orang terdekat, buku-buku, artikel dan berita dari situs internet, serta makalahmakalah yang berhubungan dengan Muslimat NU dan perkembangannya Pada Masa Kepemimpinan Asmah Sjachruni. Mengenai teknik penulisan, penulisan skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang disusun oleh TIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
D. Survei Pustaka Survei pustaka yang penulis lakukan adalah dengan membaca bukubuku berkaitan dengan Muslimat NU dan kiprah Asmah Sjachruni dalam Muslimat NU. Buku pertama adalah Buku yang ditulis oleh Asmah Sjachruni, dkk, 50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan Bangsa. Buku ini memuat perjuangan Muslimat untuk tetap eksis dan diakui oleh Nahdlatul Ulama juga oleh pemerintah. Hingga saat ini Muslimat diakui sebagai salah satu organisasi Perempuan yang eksis dan diakui dunia Internasional.7 Buku kedua yang penulis baca adalah buku karangan Ali Zawawi yang berjudul Asmah Sjachruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Jakarta:Pustaka Indonesia Satu, 2002. Buku ini memuat tentang Kiprah Asmah Sjachruni dalam beberapa bidang yang Ia geluti terutama dalam 7
Asmah Sjachruni, dkk, 50 tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan Bangsa,(LAKPESDAM, Jakarta:1996)
bidang ke muslimatan. Ia sangat mencintai Muslimat NU hingga saat ini. Walaupun Ia telah melepaskan jabatan dari Ketua Umum, namun Ia masih mendampingi Muslimat dan kader-kader Muslimat NU dalam berbagai aktivitas. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa Asmah Sjachruni hingga saat ini merupakan satu-satunya Ketua Muslimat yang berasal dari luar Jawa dan berhasil memimpim Muslimat dalam tiga periode yaitu dari tahun 1979-1984, kemudian dipercaya lagi untuk memimpin Muslimat pada periode 1984-1989, selanjutnya berliau menjabat lagi sebagai ketua Muslimat NU pada periode 1989-1994. Hal itu membuktikan bahwa selain beliau cukup di hargai dan mendapatkan penghormatan dari kalangan warga Nahdliyin, beliau juga memiliki kecakapan dalam memimpin Muslimat NU.8 Buku ini menjadi buku primer sekaligus sekunder penulis dalam pembuatan skripsi ini Buku ketiga yang menjadi bahan rujukan penulis adalah Buku Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama yang ditulis oleh Tim Sejarah Muslimat NU di terbitkan tahun 1979 oleh PP Muslimat NU Jakarta. Dalam buku itu dijelaskan mengenai sejarah berdirinya Muslimat NU. Dari mulai pergerakan perempuan sebelum Muslimat muncul sampai perjuangan Nyai-Nyai untuk melahirkan Muslimat NU di tengah-tengah Mahdlatul Ulama yang di dominasi oleh laki-laki.9 Buku ini menjadi sumber sekunder bagi penulis dalam menjelaskan mengenai sejarah keorganisasian Muslimat NU.
8 Ali Zawawi, dkk, Asmah Sjachruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman dari Kalangan Nahdlatul Ulama, (Jakarta:Pustaka Indonesia Satu, 2002) 9 Tim sejarah Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP. Muslimat Nahdlatul Ulama, 1979)
E. Sistematka Penulisan Secara sistematis, penulisan skripsi ini terbagi dari lima bab yang berisikan: BAB I
Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metotologi penelitian, survey Pustaka, dan sistematika penulisan
BAB II
Bab ini akan membahas mengenai keadaan dunia dan Indonesia menjelang berdirinya Muslimat NU, sejarah pergerakan perempuan dari sebelum berdirinya Muslimat NU sampai lahir dan berkembangnya Muslimat NU.
BAB III
Bab ini membahas tentang biografi Asmah Sjachruni yang akan membahas tentang latar belakang keluarga dan pendidikan beliau, perjalanan politik dan organisasinya dalam Muslimat NU, pendapat orang-orang terdekat mengenai beliau, serta gambaran singkat pengalaman Ibu Asmah Syahruni dalam kepemimpinannya selama tiga periode
BAB IV
Bab ini membahas mengenai periode-periode kepemimpinan beliau selama tiga periode dalam Muslimat NU, kemudian peranan organisasi Muslimat NU dalam bidang Pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Ibu Asmah Sjachruni
BAB V
Merupakan bab penutup yang akan menguraikan beberapa kesimpulan dari materi yang telah di uraikan.
BAB II SEJARAH BERDIRINYA MUSLIMAT NU
A. Latar Belakang Berdirinya Muslimat NU 1. Kondisi Di Dunia Secara umum Menjelang Berdirinya Muslimat Menjelang berdirinya Muslimat NU di Asia sedang mengalami perang yang berkembang sangat cepat. Ditambah dengan Rusia yang kemudian mengumumkan perang dengan Jepang, yang mengakibatkan Jepang mengalami kekalahan-kekalahan. Puncaknya Pada tanggal 6 Agustus 1945 kota Hiroshima dibom atom. Di India, sedang terjadi pergolakan menjelang berdirinya Muslimat NU. Timbul pemikiran mengenai berdirinya tanah air Muslim yang diprakarsai oleh Muhammad Iqbal pada tahun 1930. Dalam sebuah pertemuan akbar di tahun 1930, Ia menyerukan penggabungan Punjab, provinsi perbatasan di wilayah barat laut, Sind, dan Baluchistan menjadi sebuah Negara tunggal. Dari tahun 1938-1945 propaganda dilancarkan untuk menggalang kekuatan Muslim menuju perjuangan yang telah jelas itu. Setelah pemilu tahun 1945 gerakan menuju sebuah negara nasional Muslim tidak dapat dibendung. Pada tahun 1946 partai kongres maupun Liga Muslim menolak rencana Inggris untuk membentuk sebuah pemerintahan federal. Akhirnya, pada tanggal 14 Agustus 1947 lahirlah
Negara Pakistan, dan pada tanggal 15 Agustus Pakistan menjadi Negara Merdeka.10 Perang Dunia ke II mengakibatkan terjadinya perubahan besar terhadap kehidupan Melayu, hal ini disebabkan oleh penyerahan kekuasaan Inggris kepada aristokrasi Melayu dan pembentukan negara Melayu yang merdeka di perintah oleh elit tradisionalnya. Kemerdekaan Melayu bermula pada tahun 1946, dengan rencana Inggris membentuk sebuah kesatuan Melayu yang digabungkan atau melepaskan beberapa Negara kesultana Melayu, Singapura, Malaka, dan Penang. Inggris ingin mengakhiri kesultanan dan membentuk sebuah pemerintahan pusat dan menberikan kesempatan pada imigran Cina dan India untuk mengakses kekuasaan politik. Rencana tersebut ditentang oleh aristokrasi Melayu yang pada tahun 1946 membentuk Organisasi Kesatuan Nasional Melayu. Perlawanan tersebut memaksa pihak Inggris memodifikasi rencana tersebut dengan sebuah Pemerintahan federasi Melayu pada tahun 1948 dengan tetap mempertahankan keberadaan sejumlah pemerintahan Melayu dan menjamin supremasi kepentingan warga Melayu.11
2. Kondisi Di Indonesia Secara Umum Menjelang Berdirinya Muslimat Pada tahun 1938-1945 terjadi Perang Dunia ke II antara Jerman, Itali dan Jepang berhadapan dengan sekutu yang terdiri dari Inggris, Perancis, Rusia, ditambah dengan Amerika. Hindia Belanda di bawah jajahan Belanda mengumumkan perang kepada Jepang. Dengan demikian, 10
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian ke III, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1999) h. 298 11 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam… h. 355-356
Indonesia menjadi salah satu sasaran Jepang, hal ini mengakibatkan satu per satu wilayah Hindia Belanda yang menjadi sumber minyak dikuasai Jepang. Tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Jawa. Bandung yang saat itu menjadi pusat pertahanan Belanda dibombardir Jepang hingga Belanda menyerah tanpa syarat.12 Mulai saat itu Indonesia di kuasai Jepang sampai tahun 1945. Gerakan pemberontakan Islam yang terbesar adalah Dar al-Islam, yang didirikan oleh mantan aktivis Sarekat Islam bernama Kartosuwiryo. Pada tahun 1940 Kartosuwiryo mendirikan lembaga Suffah sebagai pusat propaganda dan pusat pelatihan untuk menghasilkan kader-kader untuk tugas dakwah Islam dan untuk pasukan militer Muslim, Hizbullah yang diorganisir Jepang atas bantuan Masyumi. Pada tahun 1945, ia ditunjuk untuk mengelola unit-unit militer Masyumi di Jawa Barat. Ia berperang melawan Belanda pada tahun 1947 dan pada tahun 1948 ia tidak mau menerima perjanjian Renville13 antara Indonesia dan kekuatan Belanda, keluar dari partai Masyumi, dan menyatakan dirinya sebagai Imam untuk sebuah pemerintahan
Islam
sementara,
Negara
Islam
Indonesia.
Pertempuran militer melawan Belanda dan berlanjut menjadi melawan pemerintahan Indonesia terus berlangsung hingga gerakan ini akhirnya dibasmi pada tahun 1962.14
12
Taufik Abdullah, (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Majels Ulama Indonesia,
1991) h. 272 13
Perjanjian Renville ditandatangani tanggal 17 Januari 1948. Isi perjanjian terdiri atas persetujuan gencatan senjata, prisip politik, dan beberapa prinsip tambahan dari KTN. Perjanjian Renville mengakibatkan wilayah Indonesia semakin sempit dan dikurung oleh wilayah pendudukan Belanda. 14 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam… h. 341
Menjelang berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama, Indonesia dalam keadaan mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah. Pada bulan Januari 1946, pendudukan kembali Belanda atas Jakarta semakin kuat sehingga diputuskan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta, yang tetap menjadi ibukota Indonesia yang merdeka selama masa revolusi.15 Pada tanggal 10 Februari 1946 konsesi Belanda yang maksimal terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia diumumkan16 yang intinya adalah Belanda menolak kemerdekaan bagi Indonesia. Pengumuman ini segera melahirkan reaksi-reaksi baik dari kalangan rakyat Indonesia maupun kalangan Belanda. Namun demikian, dengan ini mulailah secara resmi diplomasi antara Indonesia dan Belanda untuk menentukan nasib nusantara. Pertempuran-pertempuran di Jakarta meluas ke luar kota, dari Bogor sampai Bandung terjadi pertempuran setiap hari. Diplomasi yang dijalankan antara Indonesia dan Belanda terus berlangsung. Di Sumatera Timur, kelompok-kelompok bersenjata yang sebagian besar terdiri atas orang-orang Batak dan di pimpin oleh kaum kiri, menyerang raja-raja Batak Simalungun dan Batak Karo pada bulan Maret 1946, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1942. Kabinet Syahrir dengan dukungan penuh Soekarno-Hatta berjuang menhadapai dua Front, front terhadap Belanda, dan front dalam negeri, yang sama-sama mengancam. Keadaan rakyat semakin sulit. Bahan
15 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2007) h. 443 16 A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid III, (Bandung, Angkasa,1978) h. 22
makanan dan pakaian mulai susah didapatkan karena terjadi peperangan dimana-mana setiap hari.
B. Pergerakan Wanita Sebelum Berdirinya Muslimat NU Pada Permulaan abad ke-20, gerakan perjuangan Bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya mengalami perubahan. Apabila perjuangan merebut kemerdekaan sebelumnya sangat bergantung pada kharisma seorang pemimpin, maka sejak tahun 1908 tidak demikian lagi karena yang menentukan adalah tata nilai baru yang dilembagakan dalam bentuk organisasi yang maju. Rakyat bergerak dengan teratur, tersusun dalam suatu himpunan. Sedangkan pemimpinnya dipilih dan ditunjuk oleh orang-orang yang tergabung dalam organisasi tersebut.17 Kesadaran historis yang senantiasa menghendaki adanya perubahan ke arah perbaikan melahirkan perubahan-perubahan di berbagai bidang, yang layak disebut dengan kesadaran harga diri sebagai bangsa dan manusia. Dengan kesadaran harga diri itulah kemudian bangkit gerakan-gerakan kemerdekaan untuk memerdekakan dan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Dalam konteks Indonesia, kesadaran baru itu ditandai dengan lahirnya Budi Oetomo tahun 1908 yang kemudian disusul dengan berbagai organisasiorganisasi lainnya termasuk organisasi wanita. Pergerakan kaum wanita Indonesia sangat erat kaitannya dengan pergerakan kebangsaan Indonesia, dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan organisasi17
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat Nu Berkhidmad untuk Agama dan Bangsa, (Jakarta: Lakpesdam, 1996) h.2
organisasi kebangsaan lainnya. Seiring dengan lahirnya organisasi-organisasi kebangsaan, lahir pula organisasi-organisasi kebangsaan wanita Indonesia, dengan berbagai latar belakang budaya dan trdisinya. Pergerakan wanita Indonesia pada permulaan abad ke-20 merupakan lanjutan sejarah perjuangan wanita sebelumnya. Kesadaran itu telah dirintis oleh para tokoh-tokoh pahlawan dan perintis wanita, seperti RA. Kartini dari Jawa Tengah, Martha Christina Tiyahahu dari Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia dari Aceh, Nyai Ahmad Dahlan dari Yogyakarta, Rahmah el-Yunusiyah dari Sumatera Barat dan Dewi Sartika dari Jawa Barat. Secara langsung atu tidak langsung mereka telah memberikan inspirasi dan dorongan yang sangat berharga bagi perkembangan pergerakan wanita di Indonesia. Pada tahun 1904, ketika RA. Kartini wafat, tidak tercatat reaksi langsung dari bangsa sendiri, maupun Bangsa Belanda, kecuali dari kawan dekat dan keluarga. Namun demikian, pengaruh atau tanggapan terhadap sikap dan keteguhan hati Kartini, pada hakikatnya cukup nyata, baik dalam meneladani sikap dan mengikuti jejak Kartini. Banyak wanita tidak segansegan lagi untuk menuntut pendidikan setaraf dengan kaum pria. Pemerintah Belanda maupun swasta mulai memperbolehkan perempuan dari berbagai kalangan untuk bersekolah. Selain itu, di kalangan keluarga yang berada, banyak wanita membuka kelas-kelas pengajaran di rumah untuk mendidik gadis-gadis di wilayah sekitarnya. 18 Secara umum ada tiga aliran dalam pergerakan wanita Indonesia. Pertama adalah golongan kebangsaan yang liberal. Kedua golongan agama. 18
Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli, Kartini Pribadi Mandiri, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990) h. 105
Ketiga golongan feminis demokrat yang perjuangannya tak berbeda dengan wanita barat, bergumul dengan masalah kedudukan wanita.19 Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan latar belakang budaya, ideologi dan tradisi yang hidup dalam masing-masing komunitas organisasi. Bagaimanapun, pergerakan yang terjadi di Indonesia merupakan perjuangan seluruh komponen bangsa yang saling mempengaruhi. Dinamika politik kebangsaan sangat diwarnai dengan keterlibatan kaum wanita. Hal ini dapat dilihat tidak hanya dari aktivitas organisasi remaja Islam yang berpusat di sekolah-sekolah agama, tetapi juga pada kegiatan wanita dalam partai radikal, seperti Perhimpunan Musliman Indonesia (Permi) di Sumatera Barat. Bahkan ketika tokoh partai laki-laki ditangkap dan dibuang serta beberapa tokoh wanita dipenjarakan, partai radikal yang revolusioner ini dengan berani menampilkan wanita sebagai ketua umum. Tokoh wanita Permi yang dipenjarakan ialah Rangkayo Rasuna Said dan Rasimah Ismail, gadis yang berusia 18 tahun pada tahun 1932, sedangkan wanita yang kemudian tampil menjadi pemimpin Permi adalah Ratna Sari di tahun 1933.20 Gerakan organisasi kebangsaan dengan berbagai nuansa dan corak kegiatannya ini mempunyai satu visi dan orientasi, yaitu memerdekakan bangsa Indonesia. Perbedaannya hanya dalam pendekatan cara perjuangannya. Beberapa menggunakan cara radikal revolusioner, beberapa lagi menggunakan pendekatan kultural dengan memanfaatkan pendidikan sebagai basis perjuangannya.
19 20
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.4 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.5
Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, berbagai organisasi lain menyusul dibentuk, termasuk juga organisasi wanita. Pada tanggal 22 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kongres ini berhasil membentuk Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang merupakan asal-usul historis badan federasi yang saat ini dinamakan Kowani.21 Pada tahun 1929 PPPI berubah menjadi Perserikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPPI), kemudian berubah lagi menjadi Kongres Perempoean Indonesia pada tahun 1935. Pada tanggal 15-17 Desember 1945 bertempat di Klaten diadakan kongres wanita untuk pertama kali setelah proklamasi kemerdekaan. Perkumpulan yang sama azas tujuannya masuk dalam gabungan baru yang bernama Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang membentuk suatu badan fusi, diantaranya Perwani, Wani, dan lain-lain. Perkumpulanperkumpulan lain seperti PPI (Pemuda Puteri Indonesia), Muslimaat, Aisyiah, Persatuan Wanita Kristen, dan lain-lain tidak termasuk dalam fusi itu. Sebagai lanjutan dari putusan kongres yang pertama tersebut, maka pada tanggal 24-26 Februari 1946 diadakan konvensi di Solo yang berhasil membentuk suatu badan gabungan yang bernama Badan Kongres Wanita Indonesia.22 Akhirnya, pada bulan Juni tahun 1946 menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) sampai saat ini.23 Kiprah perjuangan wanita merupakan artikulasi yang berkembang dalam masyarakat. Kejadian-kejadian yang dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan perikemanusiaan menjadi
21
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.6 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia: Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1981) h. 179 23 http://www.kowani.or.id 22
dorongan munculnya perjuangan kaum wanita untuk meninggikan harkat dan martabatnya.
Tujuan didirikannya KOWANI yaitu: 1. menggalang persatuan dan membina kerjasama segenap potensi wanita Indonesia, 2. menggariskan
dan
melaksanakanpokok-pokok
perjuangan
wanita
Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang menjamin pelaksanaan hak-hak wanita Indonesia debagai manusia dan wanita, 3. melaksanakan Ampera dalam rangka mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menempatkan wanita di dalam masyarakat sesuai dengan kedudukan fungsi dan profesinya, 4. menjelmakan pribadi wanita Indonesia yang mampu menjalankan dan meyalurkan fungsi dan profesinya dengan baik serta mengintensifkan partisipasi kaum wanita dalam pembangunan negara, 5. memupuk dan memelihara perdamaian dunia serta membina persahabatan antar bangsa berdasarkan persamaan hak dan derajat.24 pada tahun 1930, didirikanlah Perkumpulan Pembasmi Penjualan Perempuan dan Anak-anak (P4A), karena pada saat itu banyak gadis-gadis anak petani miskin yang dijual pada Cina mendering (rentenir Tionghoa) untuk menebus hutang petani tersebut. Dibentuk juga Komite Pembela Buruh Perempuan Indonesia untuk membantu buruh perempuan yang diperlakukan 24
Hoeve, 1983) .
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Indonesia Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
secara kejam di pabrik-pabrik di berbagai tempat.25
Tujuan utama
dibentuknya P4A dan Komite Pembela Buruh Perempuan Indonesia adalah untuk melindungi hak-hak wanita sebagai manusia, juga memerangi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada saat itu. Kowani berhasil menggabungkan berbagai organisasi wanita yang saat itu sudah ada di Indonesia dengan corak yang berbeda-beda. Kowani hadir menyatukan visi dan misi berbagai organisasi yang bergabung dengan corak yang berbeda-beda, agar menjadi kekuatan untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, terkadang perbedaan yang tidak dapat dikesampingkan oleh masing-masing anggota menjadi potensi konflik yang menyebabkan perkembangan Kowani mengalami pasang surut. Kowani kemudian mendapatkan kesulitan lagi pada saat terjadinya Gerakan 30 September 1965, karena ada pemimpin Kowani yang mendukung gerakan ini. Kemudian timbulah Kesatuan Aksi Wanita (KAWI), yang merupakan gabungan organisasi-organisasi Islam. KAWI mengadakan kegiatan bersama dengan kesatuan aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), untuk melawan
gerakan-gerakan
pendukung
Gerakan
30
September
1965
(G30S/PKI).26 Selain KOWANI, berdiri juga Perkumpulan Istri Sedar pada tahun 1930. Pendirinya adalah Suwarni Pringgodigdo. Perkumpulan ini tidak mau 25 26
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.8 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.6.
bergabung dengan Kowani. Mereka berpendirian bahwa bagi bangsa yang dijajah, agar cepat memperoleh kebebasan, kaum wanita harus sederajat kedudukannya dengan kaum pria. Padahal tujuan keduanya sama, yaitu terwujudnya hak dan kedudukan yang sama antara pria dan wanita untuk mempercepat pencapaian kemerdekaan Indonesia.
C. Lahirnya Muslimat NU Organisasi wanita Islam disemangati ajaran tentang kesederajatan antara sesama manusia di sisi Allah SWT. Gerakan wanita ini pada awalnya lebih cenderung bergerak dalam bidang pendidikan. Kesadaran berpendidikan bagi wanita muncul hamper serempak di berbagai wilayah Indonesia berkat hadirnya RA. Kartini. Para remaja Islam perempuan mulai masuk sekolah umum dan madrasah. Sekolah-sekolah mulai menerima murid perempuan, dan tidak sedikit juga yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk perempuan. Sepanjang sejarahnya, Organisasi Wanita Islam di Indonesia, tidak tampil sebagai pencetus gagasan dan pemikiran sosial baru. Organisasi wanita baru muncul sebagai pencetus gagasan atau ide dalam hal-hal yang khusus menyangkut masalah kewanitaan dan keperempuanan. Organisasi wanita lebih banyak memainkan peranan sebagai penafsir dalam tindakan, pembela dalam diskursus dan penunjang dalam gerakan sosial politik dari para pemula gagasan baru. Andaipun ada yang baru, hal itu baru menyangkut masalah kewanitaan yang eksklusif. Dalam sejarah, organisasi wanita kelihatan lebih menampilkan diri sebagai pelaksana misi daripada pencetus gagasan.
Di Sumatera misalnya, hampir di seluruh pelosok ada sekolah-sekolah Thawalib dan Diniyah yang menerima murid laki-laki dan perempuan. Sekolah yang menerima murid perempuan adalah Diniyah Puteri di Padang Panjang. Sekolah-sekolah Sumatera Thawalib juga mendirikan Perkumpulan Sumatera Thawalib pada tahun 1922. Perkumpulan inilah yang menjadi basis berdirinya Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) pada tahun 1930 di Sumatera Barat. Permi adalah gerakan politik revolusioner yang menuntut Indonesia merdeka. Dalam sejarah, Permi pernah dipimpin oleh seorang wanita setelah pemimpin prianya ditangkap dan dipenjarakan. Permi kemudian dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937. Di Jawa, pesantren-pesantren yang semula hanya menerima santri lakilaki, membuka pintu untuk murid-murid perempuan. Pesantren pertama yang menerima santri-santri perempuan adalah Pesantren Denanyar, Jombang pada tahun 1930. Di kalangan pesantren lahir pula madrasah-madrasah khusus perempuan seperti Madrasatul Banaat di Malang, Surabaya, Solo, Menes dan tempat-tempat
lainnya
di
seluruh
Pulau
Jawa.
Aisyiyah
(Wanita
Muhammadiyah) di Yogyakarta mendirikan macam-macam sekolah umum dan kejuruan, kebidanan, dan sekolah guru untuk wanita di seluruh Indonesia.27 Gerakan kemajuan ini berjalan terus. Sekolah-sekolah menghasilkan gadis-gadis dan wanita-wanita terpelajar. Bersamaan dengan itu, munculah gerakan-gerakan dan perserikatan-perserikatan wanita, baik yang bercorak
27
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.11-12
kebangsaan maupun keagamaan. Salah satunya adalah lahirnya Muslimat Nahdlatul Ulama. Ciri khas yang membedakan ormas perempuan Islam dengan organisasi-organisasi perempuan pada umumnya yaitu pada upaya dan kerjakerja mereka dalam melapangkan dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan pada tataran normatif ajaran agama dengan realitas kehidupan sehari-hari. Terutama menyangkut perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Karena itu ormas-ormas perempuan Islam lebih banyak menekuni program-program yang menggugah kesadaran masyarakat dan adanya perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini yang memunculkan kesadaran bersama antara ormas-ormas perempuan Islam untuk bergerak bersama dalam melawan diskriminasi.28 Proses lahirnya Muslimat Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari perkembangan Nahdlatul Ulama (NU). Pada suatu perkembangan tertentu NU memerlukan hadirnya peranan wanita untuk menangani masalah kewanitaan di kalangan wanita Ahlusunah wal-Jamaah yang pada saat itu hanya memiliki hak untuk mendengarkan dan memberikan saran pemikiran, hingga Muktamar NU ke-19 di Palembang pada tahun 1952.
Sebenarnya, gagasan tentang pentingnya dibentuknya Muslimat Nahdlatul Ulama sudah muncul sejak Muktamar NU yang pertama pada tahun 1926. Hal ini ditandai dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan, meskipun
28
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Perempuan Pembaharu Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2005)
saat itu perempuan belum menjadi bagian dari NU.29 Sejak didirikannya NU hingga Kongres ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938 yang diwarnai dengan perdebatan sengit, kaum wanita telah aktif berorganisasi. R. Djuarsih dan Siti Syarah tampil sebagai pembicara, mewakili warga jamaah perempuan. Setahun kemudian, ide tentang Muslimat NU kiat terasa kuat ketika berlangsung Muktamar ke-14 di Magelang tahun 1939.30 Nahdlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 merupakan potensi kejuangan para ulama Indonesia yang setia terhadap komitmennya pada perjuangan Bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, NU mempunyai pengalaman perjuangan yang cukup panjang dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, NU ikut berperan secara aktif, bahkan salah satu perumus UUD 1945.31 Kegigihan NU inilah yang menggugah kaum perempuan Nahdlatul Ulama untuk menghimpun potensi dirinya untuk bersama NU melakukan perjuangan Indonesia dari penjajahan, terutama kemerdekaan kaum perempuan. Rumusan mengenai pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi mulai diakui saat Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahu 1940, yaitu dengan diterimanya rumusan pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi NU, masyarakat pendidikan dan dakwah dengan Anggaran Dasar dan pengurus besarnya. Tetapi pada saat itu Muslimat NU belum mendapat pengakuan resmi dari peserta Muktamar. Lahirnya Muslimat NU didorong oleh rasa
29
Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta, PP. Muslimat NU, 1979) Asmah, Sjachruni, dkk, 50 Tahun.. h. 21 31 Sejarah Singkat Muslimat NU, (Yogyakarta: Seksi Publikasi dan Dokumentasi Muktamar NU ke 28, 1989) 30
keprihatinan yang mendalam terhadap keadaan sikap, pandangan dan perlakuan yang dirasakan tidak adil terhadap wanita. Latar belakang paham Ahlussunah wal Jamaah sebagai paham keagamaan menjadi motivasi bagi berdirinya Muslimat NU, karena warga jamaah wanita NU sebagai satu kesatuan budaya dan paham keagamaan merasa terpanggil untuk bersama-sama warga Jam’iyah pria mengusahakan berlakunya paham tersebut di kalangan wanita. Pengertian Ahlussunah wal Jamaah yang menjadi paham Muslimat NU adalah paham yang menjadikan Islam sebagai nilai universal yang mencakup segala aspek kehidupan dan tolok ukur perjuangan Muslimat NU. Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan dengan 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jamaah wanita NU untuk berorganisasi diterima dengan suara bulat oleh para utusan Muktamar NU di Purwokerto, dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM).32 Diresmikannya Muslimat NU sebagai bagian NU merupakan tuntutan sejarah yang dinilai oleh Jamiah NU pada saat itu sudah sampai pada tahap perkembangan yang memerlukan hadirnya wanita dalam kancah perjuangan dan organisasi. Pandangan ini dikemukakan hanya oleh sebagian kecil ulama NU, seperti KH. Muhammad Dahlan, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Syaifuddin Zuhri. Lambang Muslimat NU sama dengan lambang NU, yaitu gambar bola dunia diikat dengan tali, dilingkari lima bintang diatas garis khatulistiwa dan yang terbesar diantaranya terletak di bagian atas. Sedangkan empat bintang
32
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.20
lainnya terletak di bawah khatulistiwa, sehingga jumlah seluruhnya adalah sembilan bintang serta terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab yang melintasi bola dunia dan menyelusuri garis khatulistiwa. Lambang tersebut dilukiskan dengan warna putih di atas dasar warna hijau. Dalam Forum Komite Nasional Indonesia (KNIP) setelah Proklamasi Kemerdekaan, Muslimat NU diwakili oleh Chadidjah Dahlan (1948-1956). Pada kongres NU ke-19 tahun 1952 di Palembang, Muslimat NU memperoleh status sebagai organisasi otonomi NU. Hal itu berarti Muslimat NU dapat mengatur rumah tangganya sendiri, tanpa terlalu banyak campur tangan dari Nahdlatul Ulama. Dengan otonomi itu, Muslimat NU lebih bebas bergerak dalam memperjuangkan hak-hak wanita maupun kepentingan nasional lainnya secara mandiri. Kelahiran Muslimat NU membuktikan bahwa kepedulian ulama wanita yang hidup di alam pesantren tidak kalah dengan potensi-potensi perjuangan wanita Indonesia yang lain. Pada perkembangan berikutnya, Muslimat NU berperan dalam perjuangan kemerdekaan, baik perjuangan fisik maupun non fisik. Dalam perjuangan fisik, tercatat bahwa Muslimat NU tergabung dalam barisan perjuangan revolusi, seperti menjadi kurir, melaksanakan dapur umum, mengumpulkan bahan makanan, pakaian, obatobatan hingga pada perjuangan memanggul senjata. Mereka tergabung dalam barisan Hizbullah, Sabilillah, Palang Merah Indonesia (PMI) dan kesatuankesatuan perjuangan lainnya.33
33
Muktamar NU ke-28, (Yogyakarta: Sie. Publikasi NU, 1989) h.33
Dalam
perkembangannya,
Muslimat
NU
bekerjasama
dengan
organisasi wanita Indonesia lainnya. Misalnya, Muslimat NU bergabung dengan KOWANI, sebuah federasi organisasi wanita tingkat nasional. Dengan kehadirannya di badan federasi itu, Muslimat NU memiliki peranan cukup penting. Hal ini terbukti dari adanya beberapa posisi yang ditempati tokoh Muslimat •
Tahun 1956-1965 Anggota Presidium KOWANI Machmudah Mawardi
•
Tahun 1966-1968 Anggota DP KOWANI HSA. Wahid Hasyim
•
Tahun 1968-1973 Anggota DP KOWANI Asmah Syachruni
•
Tahun 1978-1981 Anggota DP KOWANI Dra. Farida Purnomo34 Selain menjadi anggota KOWANI, Muslimat NU juga aktif dalam
Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI), suatu badan yang bertugas melakukan riset tentang kedudukan wanita yang dibentuk pemerintah bersama-sama dengan KOWANI dan KAWI tahun 1956. Muslimat NU di KNKWI di wakili oleh •
Chadijah Imron Rosyadi pada tahun 1968-1970
•
Malichah Agus pada tahun 1970-197335 Untuk mempersatukan langkah wanita Islam dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan bersama, Muslimat NU juga ikut mendirikan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) pada tahun 1967. Keanggotaan dari badan ini adalah pusat dari organisasi Islam Wanita Indonesia. Yang pernah duduk sebagai anggota presidium BMOIWI adalah
34
Team Sejarah Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PP Muslimat NU, 1979) h.65 35 Muktamar NU ke 28, (Yogyakarta: Sie. Publikasi NU, 1989)
Machmudah Mawardi (1967-1977) dan Asmah Sjachruni (1977-1979). Dalam melakukan kegiatannya badan ini bekerja sama dengan Departemen Agama, Departemen Sosial dan Majelis Ulama Indonesia. Pada masa perjuangan penegakan Orde Baru, Muslimat NU membantu untuk menentang komunisme yang merajalela di Indonesia.36 Muslimat NU bekerjasama dengan ABRI. Kerjasama ini tidak hanya pada saat meletusnya G30S/PKI, tetapi jauh sebelumnya dalam usaha ketahanan nasional. Dalam badan kerjasama militer, HSA. Wahid Hasyim dari Muslimat NU duduk sebagai bendahara, kemudian Malichah Agus antara tahun 1960-1962.37 Dari segala upaya Muslimat NU dalam perkembangannya, Muslimat NU melahirkan tonggak-tonggak sejarah yang cukup penting. Yang dimaksud dengan
tonggak
perkembangan
adalah
peristiwa-peristiwa
penting
perkembangan sejarah Muslimat NU yang dilahirkan secara langsung atau tidak langsung oleh gagasan-gagasan, ide-ide, pokok-pokok pikiran, pandangan atau pendirian Muslimat NU mengenai berbagai masalah yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat bangsa dari masa ke masa. Arah dan tonggak-tonggak perjuangan Muslimat NU senantiasa mengikuti perkembangan pandangan, pendirian dan visi tentang berbagai masalah serta prinsip-prinsip yang dianutnya. Di bidang internasional, Muslimat NU aktif dalam penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika di Bandung tahun 1964. Dalam bidang legislative, Muslimat NU bergabung dalam Partai NU, baik ketika Pemilu 1955 maupun Pemilu 1971. Salah satu hasil yang terasa hingga saat ini adalah 36 37
Muktamar NU ke-28 h.34 Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.25-27
perjuangan Muslimat NU untuk menentang RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah (1974) dan melalui juru bicara PPP antara lain Ny. Asmah Syahruni, RUU Perkawinan tersebut dihapus dari ketentuan yang berlawanan dengan Agama Islam. Saat ini, Muslimat NU berkarya di bidang kemasyarakatan setelah NU kembali ke Khittah (1926). Fokus kegiatannya secara garis besar adalah bidang pendidikan, dakwah dan sosial. Dalam bidang pendidikan, Muslimat NU mendirikan Yayasan Pendidikan Muslimat yang bertugas mengelola proyek/ kegiatan pendidikan yang terdiri dari pendidikan formal (sekolah) dan non formal (luar sekolah). Pendidikan formal yang dikelola Muslimat NU difokuskan pada Taman Kanak-kanak (TK). Di bidang pendidkan non formal, Muslimat NU melakukan upaya pemberantasan buta huruf Arab dan latin, disamping kegiatan-kegiatan pendidikan keterampilan. Dalam bidang dakwah, Muslimat NU terutama mengarahkan pada upaya amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, bentuknya pun bermacammacam, dari yang berupa pengajian-pengajian, majelis taklim, ceramah, seminar maupun penerbitan jurnal dan buku-buku. Bidang sosial merupakan yang paling penting bagi Muslimat NU. Yang ditangani adalah kesehatan ibu dan anak, serta panti-panti asuhan anak yatim. Untuk itu, Muslimat NU mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) yang mengelola Rumah Sakit Bersalin, BKIA, Klinik KB, Panti Asuhan Yatim Piatu, Poliklinik dan sebagainya.38.
38
Muktamar NU ke-28, h.35
Namun dalam skripsi ini penulis hanya membatasi kiprah Muslimat NU pada bidang pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Hj. Asmah Sjahruni (1979-1994).
BAB III RIWAYAT HIDUP ASMAH SYAHRUNI
Dalam sejarah gerakan bangsa-bangsa di dunia dan komunitas pemeluk agama, selalu lahir pemimpin dan orang-orang yang ditokohkan dalam banyak persoalan kehidupan. Pemimpin tokoh-tokoh itu lahir di masa dan komunitas tertentu sesuai kebutuhan sejarah yang memanggilnya serta komitmen yang dimilikinya. Terlepas apakah pemimpin dan tokoh itu yang mengubah sejarah atau boleh jadi sebaliknya, kekuatan sejarah yang tak gampang dipahami itu sendiri yang secara sengaja sesuai dengan logika sejarah yang melahirkan sang pemimpin dan sang tokoh. Tetapi sesuatu yang sulit diingkari adalah bahwa ketokohan seseorang atau sekelompok orang hanya ada di dalam dan dari sebuah komunitas. Tidak bisa dilepaskan pula salah satu tokoh muslimat NU yang satu ini. Salah seorang pemimpin organisasi kewanitaan yang ada di tubuh NU ini telah membawa organisasi tersebut mampu menunjukkan kekuatannya. Ia adalah orang yang mampu membawa organisasi kewanitaan ini berkembang dan memiliki kekuatan yang sejajar dengan organisasi-organisasi wanita lainnya. Keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan yang korup tidak disangkal lagi. Ia adalah sosok wanita pemberani dalam menyuarakan Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masanya.39
39
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Bangsa dan Negara, P.P. Muslimat NU, Jakarta, 1996, h. 137, 140.
A. Latar Belakang Keluarga Asmah lahir pada tanggal 28 Februari 1927 di Rantau, Kandangan, Kalimantan Selatan dari pasangan Buhajar dan Imur. Kedua orang tuanya adalah orang yang sangat teguh memegang tradisi. Ia adalah anak pertama dari sembilan bersaudara, delapan perempuan dan satu laki-laki. Ketiga adik perempuannya meninggal dunia di saat mereka masih kecil. Sebagai anak yang paling tua, Asmah selalu dekat dengan keluarga dan senantiasa menggantikan peran orang tua dalam hal tanggung jawab. Waktu Asmah masih di Sekolah Dasar, bibinya sudah menjadi guru. Ia mulai menyadari bahwa bibinya adalah seorang nasionalis tulen. Dia diajari oleh bibinya sebuah syair yang mengandung makna perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Menurutnya pada saat itu, syair seperti itu tidak ada yang berani melantunkannya secara terbuka. Begitupun dengan Asmah dan bibinya. Mereka hanya membaca atau melantunkan syair itu di dalam kamar. Syair itu berjudul “Di Timur Matahari” yang berbunyi: “ Di Timur Matahari, mulai bercahya, bangun dan berdiri kawan semua, marilah mengatur barisan kita, pemuda-pemudi Indonesia”. Asmah bersuami bernama Syahruni. Syahruni termasuk orang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan dirinya. Kedua orang tua mereka dari pihak ayah masih sepupu. Asmah dan Syahruni sama-sama sebagai seorang guru. Syahruni adalah kakak kelasnya dalam satu perguruan. Mereka menikah tiga bulan setelah pertunangannya. Selain gaji bulanan sebagai seorang guru, untuk menunjang ekonomi keluarga Asmah dan suaminya juga memiliki kebun karet yang hasilnya cukup untuk menambah biaya hidup
rumah tangga.40 Ketika lahir anaknya yang pertama, dia dan suaminya sudah memiliki rumah sendiri hasil dari jerih payahnya sebagai seorang guru dan kebun karet yang digarapnya. Sebagai anak dari orang yang tahu agama, Asmah kerap diajari oleh ayahnya bagaimana cara membaca Al-Qur’an dengan baik, fiqih dan tauhid sebagai dasar. Sejak kecil Ia sudah pandai membaca Al-Qur’an. Namun, ayahnya juga menginginkan agar Asmah mengecap pendidikan umum untuk bekal masa depannya. Untuk masuk dalam pendidikan umum, agak sulit didapatkan, walaupun hanya pada tingkat SR (Sekolah Rakyat).
B. Latar Belakang Pendidikan Pada saat itu bisa dikatakan bahwa perempuan masih sulit mendapatkan hak pendidikan. Mungkin sebuah kenyataan yang harus dipahami bahwa; pertama, anggapan sebuah keluarga yang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting bagi anak perempuan, kedua, tenaga kerja diperlukan untuk terjun ke sawah dan sebagainya, oleh karenanya anak perempuan harus segera dicarikan suami untuk menambah tenaga kerja dalam keluarga, ketiga, adalah aib kalau anak perempuannya tidak segera menikah. Yang terakhir ini mungkin budaya yang diciptakan penjajah terhadap orang pribumi agar tidak pernah maju.41 Hal di atas tidak berlaku dalam diri Asmah Syahruni. Sebagai orang yang ingin maju, dia teguh dalam pendiriannya untuk masuk ke sekolah umum. Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada akhirnya Asmah 40
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 10, 17, 18. 41 Ibid, h. 19.
Syahruni bisa dengan mudah masuk ke sekolah umum. Kakeknya sebagai tokoh masyarakat dan bibinya sebagai guru telah memudahkannya untuk bisa masuk ke sekolah umum, walaupun sekolah itu harus ditempuh dengan jarak jauh dan berjalan kaki. Sekolah umum di daerahnya pada waktu itu hanya ada di kecamatan. Itupun hanya (Sekolah Rakyat), lima tahun yang dibuat dua jenjang. Jenjang pertama dari kelas satu sampai dengan kelas tiga, dan mendapatkan ijazah. Lalu dilanjutkan ke jenjang yang kedua yaitu dari kelas empat sampai dengan kelas lima. Sejak masuk kelas empat, Asmah Syahruni mulai merasakan perbedaan cara berfikir dirinya dengan orang tuanya. Pandangannya mulai jauh ke depan. Meski perempuan, dia bisa menikmati pendidikan, meskipun terkadang muncul pertentangan dengan keluarga, terutama dari keluarga ayahnya. Kebetulan dalam keluarga ayahnya tidak ada saudara perempuannya yang sekolah. Saat itu ia juga sempat diberhentikan sekolah oleh ayahnya selama dua tahun. Dan meneruskannya kembali, akhirnya pada usia 14 tahun dia lulus kelas lima. Setelah menikah dia mengajar di SR III, sementara suaminya mengajar di SR I.42 Dengan bekal pendidikan itu, Asmah Syahruni menjadi guru selama kurun waktu 1943-1954. Dengan Beslit Mienseibu Tjokan (saat ini disebut Departeman Pendidikan dan Kebudayaan ), dia menjadi guru pembantu pada Futsu Tjo Gakko (setingkat SD bentukan Jepang) di Rantau I, kemudian menjadi Wakil Kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III. Selanjutnya ia terus
42
Ibid. h. 14, 21.
malang melintang sebagai pendidik. Ia juga menjadi guru SR VI di Rantau III, SR VI Batang Kulur Kandangan dan SR VI di Ulin Kandangan. Pergulatan Asmah Syahruni di dunia pendidikan sebenarnya tidak terbatas pada pendidikan umum saja, melainkan pendidikan agama. Bersamaan dengan karirnya sebagai seorang guru, Asmah Syahruni juga aktif dalam mengikuti pendidikan keagamaan. Berdasarkan rasa kekurangannya dalam soal agama, membuat tokoh yang satu ini kerap mengikuti pengajianpengajian yang diadakan oleh kiai-kiai NU. Hal ini juga memberikan hikmah tersendiri baginya. Karena dengan aktivitasnya sebagai seorang jam’iyah pengajian pada waktu itu, membuatnya bisa mengenal dan dikenal oleh tokohtokoh NU. Menurut pengakuannya, dari aktivitasnya dalam mengikuti pengajian inilah yang pada akhirnya membuat dirinya faham akan NU, bergabung dengan NU dan pada akhirnya dapat aktif dalam Muslimat NU.43 Pada tahun 1952, Asmah Syahruni diangkat menjadi konsulat Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan sampai 1956. Sejak saat itulah ia mengubah arah kehidupannya, dari dunia pendidikan ke dunia politik dan organisasi.44
C. Perjalanan Karir Politik dan Organisasi Abad XX adalah abad kebangkitan bangsa-bangsa dunia. Bangkitnya bangsa di Timur Asia melahirkan gerakan-gerakan kemerdekaan di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20, kebangkitan yang bersifat perlawanan
43
Wawancara pribadi dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008. Tanggal, 6 Juni 2008 44 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, H. 138.
terhadap keadaan dan penderitaan mulai bersifat gerakan-gerakan sosial. 45 Kondisi seperti itu kerap terjadi dalam kurun waktu selama puluhan tahun hingga datangnya Jepang ke wilayah nusantara. Kondisi di atas tentu saja mempengaruhi pola dan perilaku hidup untuk mencari jalan bagaimana keadaan seperti itu bisa di atasi dengan membawa bendera perjuangan dan kemerdekaan. Getaran dari berbagai irama yang bergolak di kalangan masyarakat itu telah mewarisi semangat perjuangan bagi bangsa yang beragam ini. Sendi-sendi perjuangan untuk memajukan bangsa masuk dalam tiap jiwa yang sadar akan kemampuan dirinya tanpa memandang perbedaan gender. Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan seorang Asmah Syahruni merubah arah hidupnya dari dunia pendidikan ke dunia politik dan organisasi. Pada zaman pendudukan Jepang, Asmah Syahruni aktif di Fujinkai, perkumpulan wanita bentukan Jepang di daerah-daerah yang diketuai oleh bupati. Fujinkai adalah perkembangan lanjut dari impian Jepang Asia Timur Raya dengan gerakan AAA (atau Tiga A – Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia dan Nippon cahaya Asia). Saat itu, semua organisasi wanita pribumi yang ada dibubarkan. Ia mengawali dunia barunya ketika NU menyatakan sikapnya keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri pada tahun 1952.46 Aktivitas Asmah Syahruni di organisasi wanita mengundang dirinya untuk berkiprah lebih luas. Ia merasakan itu ketika bergabung dalam organisasi kewanitaan NU. Ia beranggapan bahwa ajaran NU yang selalu 45
PP. Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta, 1979, h. 39. Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 138.
46
mengikuti petunjuk wanita ternyata tidak mengekang wanita. Ia aktif di Muslimat NU sejak tahun 1952. Ia kemudian diberi kepercayaan untuk memimpin Muslimat NU di Kalimantan Selatan dan mendapat hak untuk membentuk beberapa cabang.47 Kronologi awal keterlibatan Asmah Syahruni dalam Muslimat NU tidak bisa dilepaskan dengan aktivitasnya dalam mengikuti pengajian rutin yang diadakan oleh kiai-kiai NU di daerahnya seperti yang telah dijelaskan di atas di satu sisi, dan seorang teman seprofesinya (seorang guru) yang membuatnya dapat dikenal oleh tokoh-tokoh NU di sisi lain.48 Otonomi organisasi wanita dalam tubuh NU ini dicapai pada saat ia menjabat sebagai ketua wilayah. Ini memang merupakan salah satu cita-cita utama dalam kepemimpinannya dalam ketua PP Muslimat NU yang akan dibicarakan pada bab berikutnya. Pada tahun 1954 diadakan muktamar NU sekaligus kongres Muslimat NU di Surabaya. Dari situ dia mulai dikenal banyak kalangan, bukan hanya dari kalangan wilayahnya sendiri di Kalimantan, tapi juga di luar Kalimantan seperti Jawa dan lain-lain.
47
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang, h. 30. Sebelum muktamar NU di palembang tahun 1952, Asmah Syahruni dipanggil oleh pimpinan NU di wilayahnya atas usulan teman seprofesinya (seorang guru) yang bernama Asri. Asri menceritakan beberapa kelebihan yang dimiliki Asmah sebagai seorang yang layak dijadikan pemimpin dalam memajukan Muslimat NU di wilayah itu. Dalam sebuah pertemuan kecil 1952 dibentuklah ketua wilayah (saat itu di tubuh Muslimat NU belum ada ketua wilayah untuk Daerah Kalimantan Selatan, walaupun sudah memiliki beberapa cabang). Asri mencalonkan Asmah Syahruni yang saat itu mengungsi di rumah dirinya untuk dijadikan sebagai ketua wilayah. Atas dukungan Ahmad Efendi selaku ketua cabang NU sekaligus sebagai orang yang aktif di departemen penerangan dan dukungan dari berbagai pihak termasuk tokoh-tokoh NU di wilayah itu, akhirnya Asmah Syahruni siap untuk mengemban amanat berat sebagai ketua Wilayah Muslimat NU. (Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008). Tanggal 6 Juni 2008 48
Apalagi topik sentral yang dibahas dalam muktamar adalah persiapan pemilu yang akan dilaksanakan pada 1955 dan ia dipilih sebagai anggota Panitia Penyusunan Calon anggota konstituante dan DPR untuk maju dalam pemilu mendatang. Tetapi pada akhirnya Muslimat menunjuknya sebagai wakil ketua. NU pada saat itu belum diperhitungkan sebagai partai yang dapat memenangkan pemilu. Namun kenyataannya, NU menang mutlak di Kalimantan Selatan. Dari enam calon masuk DPR Pusat, tiga kursi disapu oleh NU. Masyumi memperoleh dua kursi dan satu kursi diraih Partai Nasional Indonesia (PNI).49 Saat itulah ia terpilih menjadi anggota DPR dari daerah Kalimantan Selatan. Akhirnya dia berangkat ke Jakarta. Pada tahun 1959 di Jakarta, ia mulai aktif di Pucuk Pimpinan (PP) Muslimat NU di samping di DPR. Kongres VII di Jakarta pada 1959 memberi kepercayaan pada dirinya untuk menangani bidang sosial. Kemudian duduk sebagai Ketua II dalam susunan PP Muslimat hasil Kongres VIII di Solo tahun 1962 dan Kongres IX di Surabaya tahun 1967. Akhirnya pada tahun 1979, hasil kongres X di Semarang mengangkatnya sebagai ketua umum.50 Titik balik seseorang dalam menempuh perjuangannya tentu tidak bisa dilepaskan dari kekuatan mental, keberanian dan pengorbanan. Hal ini juga dialami oleh Asmah Syahruni ketika Ia melangkahkan kakinya di Ibu Kota demi cita-cita besar dalam perjuangannya.51
49
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang, h. 33, 36. Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 139. 51 Demi tercapainya cita-cita besar serta pemenuhan tanggung jawab sebagai anggota DPR sekaligus aktivis Muslimat, Asmah Syahruni rela menjual rumahnya untuk mengongkosi keberangkatan bersama suaminya. Ketika sesampainya di Jakarta Ia hanya memegang uang sisa untuk mengontrak rumah tanpa perabotan, walaupun pada akhirnya, lewat pengurus NU di Jakarta 50
Dalam setiap kepemimpinan di organisasi manapun, sang pemimpin sebagai individu pasti memiliki model atau ciri khas tersendiri. Begitu pun dengan wanita yang satu ini. Banyak dari kalangan Muslimat yang menyatakan bahwa model kepemimpinan Asmah Syahruni sangat luwes, responsif dan sikap yang diambilnya dalam menanggapi berbagai persoalan bangsa berorientasi pada pemahaman fiqh dan tradisi keilmuan ulama. Sebagai organisasi otonom yang berada dalam tubuh NU, sikap ini mungkin wajar. Hampir semua kebijakan Muslimat NU selalu berpedoman pada fatwa ulama syuriah NU. Ketika NU menuntut pembubaran PKI tahun 1965 Asmah Syahruni tampil memimpin demontrasi besar yang diikuti wanita-wanita ibu kota, jauh sebelum muncul kesatuan-kesatuan aksi menuju Kostrad.52 Sebelum menginjakkan kakinya ke dunia politik, Asmah Syahruni memang lebih dulu aktif di organisasi yang didirikan pada 1926 di Surabaya itu. Dari situ ia mulai dikenal oleh banyak orang. Lewat karirnya yang lebih awal sebagai pengurus Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan, lalu dia terpilih sebagai anggota konstituante dan DPR Pusat untuk menghadapi Pemilu 1955 pada Muktamar NU di Surabaya. Akhirnya dia terpilih sebagai salah satu kandidat anggota dewan untuk wilayah pilihan Kalimantan Selatan dan dia berhasil meraih suara terbanyak. Dari situlah dia memulai karirnya di dunia politik. Namun demikian, bukan berarti dia meninggalkan aktivitasnya
Syaifuddin Zuhri, Ia mendapat bantuan dari Wahab untuk dapat mengontrak rumah plus perabotan, mengingat pada saat itu anggota DPR tidak diberikan fasilitas oleh pemerintah. Ia pun terharu kalau mengingat hal itu. (Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008). Tanggal 6 Juni 2008 52 Di atas tank, Asmah Syahruni menyerukan kutukan terhadap PKI dan menuntut agar ABRI bertindak untuk membubarkan PKI. Lih. Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat untuk Agama, Negara dan Bangsa, P.P. Muslimat NU, Jakarta, 1996, h. 140
sebagai salah satu aktivis perempuan di tubuh NU. Dia menjadi anggota parlemen sekaligus menjadi anggota Pimpinan Pusat Muslimat NU. Ketua PP Muslimat NU pada masa sesudahnya menyatakan bahwa Asmah Syahruni adalah tokoh yang pemberani, pemimpin yang pintar dan bijak serta memiliki rasa hormat kepada kawannya yang lebih tua dan mencintai kawan-kawannya yang lebih muda. Keberaniannya dalam dunia politik tidak dipungkiri lagi. Kekuatan dan kiprahnya sebagai Pimpinan Pusat Muslimat NU tercermin dalam pidatonya pada kongres Muslimat NU ke XII di Yogyakarta. Dalam sambutannya, Asmah Syahruni menekankan pentingnya peranan wanita dalam perjuangan untuk membangun bangsa. Dia memberi contoh kepada para wanita untuk bisa bangkit dari kelemahan dan kebodohan. Ia bertolak pada pengalaman-pengalaman wanita di luar Indonesia seperti Benazir Butto sebagai seeorang wanita yang menjabat Perdana Menteri di Pakistan, Cori Aquino sebagai seorang wanita yang menjabat presiden Pilipina. Ia juga menekankan akan pentingnya organisasi wanita sebagai wadah aspirasi kaum hawa dalam mengaplikasikan langkah perjuangannya. 53 Kekuatan yang dimilikinya sebagai seorang ketua telah membawa organisasi kewanitaan yang ada di tubuh NU ini mampu menyeimbangi kekuatan organisasi wanita lain seperti Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah dari Muhammadiyah, Organisasi Peristri dari Persis, wanita Syarikat Islam dari Sarikat Islam (SI) dan lain-lain.
53
Keputusan Kongres Muslimat NU KE-XII, Yogyakarta, 1989, h. 165-1966.
Asmah Syahruni menjabat sebagai ketua PP Muslimat NU selama tiga periode yaitu, periode pertama pada tahun 1979 dalam Kongres X di Semarang, periode kedua pada tahun 1984 pada Kongres XI di Probolinggo dan periode ketiga pada tahun 1989 pada Kongres XII di Yogyakarta. Ia merupakan pemimpin ketiga dalam organisasi tersebut setelah Chodidjah Dahlan dan Mahmudah Mawardi.54
D. Asmah Syahruni Di mata Sahabat Sebagai seorang pimpinan selama tiga periode dalam Muslimat NU, tentunya Asmah Syahruni telah memunculkan kesan tersendiri di mata orang lain dan para sahabatnya. Aisyah Aminy sebagai seorang ketua PPP pada saat itu menyatakan bahwa Asmah adalah seorang pejuang perempuan yang membela dan mendukung kaum perempuan untuk menjadi pemimpin parpol. Di samping itu, menurutnya Asmah adalah sosok yang bisa bergaul dengan siapapun dan dari manapun latar belakangnya. Lain halnya dengan Aisyah Aminy, Aisyah Hamid Baidlowi mengatakan bahwa Asmah adalah seorang pemimpin yang luwes namun berwatak keras. Menurutnya, Asmah adalah sosok pemimpian perempuan yang memiliki banyak gagasan, kritis dan kooperatif terhadap pemerintah dan warga Muslimat NU.55 Hampir sama dengan pendapat Aisyah Aminy, Husin Kasah mengatakan bahwa Asmah adalah seorang pelopor pejuang perempuan. Menurut wakil gubernur Kalimantan Selatan ini Asmah adalah sosok seorang politikus yang cukup disegani dan memiliki strategi yang cukup matang. 54
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 137. Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h 108 55
Sosok Asmah bagi masyarakat Kalimantan Selatan tidaklah asing, karena pengaruhnya dalam organisasi sosial politik dan kemasyarakatan sangat membekas.56 Lathifah Hasyim berpendapat bahwa Asmah merupakan sosok yang energik dan dinamik. Dalam setiap pengambilan keputusan ia mampu menampung masukkan dari berbagai pendapat dan mencernanya dengan baik. Menurutnya Asmah adalah pemimpin yang pintar dan bijak serta tetap hormat kepada kawan-kawannya yang lebih tua dan sangat menghormati kawankawannya yang lebih muda.57 Lain lagi dengan kesan yang disampaikan oleh Maftuchah Yusuf. Menurut mantan ketua PP Aisyiah dan mantan anggota DPR ini Asmah adalah sosok perempuan yang mampu menjinakkan pemimpin laki-laki dan teguh dalam memegang prinsip. Hal ini juga senada dengan pendapat Moeinah Wahyudi (mantan anggota DPR RI) dan Slamet Effendy Yusuf (Mantan Anggota DPR RI dan mantan ketua PP GP Ansor).58 Pendapat senada disampaikan juga oleh Aisyah Hamid Baidlowi. Ia menyampaikan bahwa Asmah merupakan tipe perempuan pejuang yang mampu menunjukkan kekuatannya di muka publik. Ia terkenang saat Asmah dengan bijak menasehatinya saat ia menggantikan Asmah sebagai pemimpim Muslimat NU di periode 1995-2000. Walaupun Asmah memiliki sifat yang
56
Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h 138 57 Wawancara Pribadi dengan Lathifah Hasyim ( Kalibata, Jakarta Selatan, 2008). Tanggal 24 april 2008 58 Musthafa Helmy, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h 158
keras, serius, dan sering tidak cocok dengan Gus Dur, namun ia mampu memisahkan antara urusan politik dan pribadi.59 Salahuddin Wahid selaku ketua PBNU dan ketua Badan Pendiri Forum Indonesia Satu menyatakan bahwa Asmah Syahruni adalah tokoh pejuang gerakan perempuan berparadigma Islam. Menurutnya semenjak Asmah memangku jabatan ketua PP Muslimat NU, gerakan untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan martabat perempuan kian meluas dan kian semarak. Kepemimpinan dan ketokohan Asmah di kalangan Muslimat NU sangat terasa. Ia memiliki ketegasan dan keteguhan pendirian. Ia bersifat proaktif tetapi tetap teguh mengikuti aturan dan ketentuan yang masih berlaku.60 Terlepas dari beberapa pendapat di atas mengenai Asmah Syahruni, kesan yang paling menonjol tokoh perempuan yang satu ini di mata orang lain atau teman terdekatnya adalah sikap yang dimilikinya sebagai ciri khas seorang Asmah yaitu; seorang yang pemberani, teguh pendirian dan kuat dalam prinsip. Namun yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa tak ada satupun manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Betatapun seorang Asmah Syahruni banyak memiliki kelebihan di mata orang lain atau para sahabat, itu tidak bisa menghindari bahwa ia adalah manusia biasa yang masih memiliki kekurangan.
59 Wawancara pribadi dengan Aisyah Hamid Baidlowi ( Kemang, Jakarta Selatan). Tanggal 10 Maret 2008 60 Hal ini terlihat ketika Asmah menolak tawaran untuk duduk dalam Dewan Syuro DPP PKB. Ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa ia masih menjadi salah satu ketua DPP PKU..
E. Gambaran
Singkat
Pengalaman
Asmah
Syahruni
dalam
Kepemimpinannya Selama Tiga Periode Sebagai seorang pimpinan organisasi selama tiga periode, tentunya Asmah mengalami berbagai macam peristiwa dari satu periode ke periode berikutnya selama ia menjabat. Dan dari periode satu ke periode yang lainnya, tentunya memiliki persoalan yang berbeda sesuai dengan kondisi yang mengitarinya.61 Walaupun pada periode pertama kepemimpinannya masih perupakan kelanjutan dari program kerja yang belum sempat terlaksanakan oleh pimpinan pada periode sebelumnya. Namun pada periode kedua dan ketiga jabatannya banyak hal-hal yang diambil oleh Asmah sebagai benang merah untuk merealisasikan program-programnya sesuai dengan kondisi sosial masyarakat dan negara pada saat ia masih menjabat sebagai PP Muslimat NU.62 Pada periode pertama kepemimpinannya, Asmah Syahruni lebih menekankan kegiatannya pada konsolidasi. Persoalan yang dihadapai pada periode pertama ini adalah hilangnya beberapa cabang kantor Muslimat. Ini terjadi karena adanya pengelompokan wanita pegawai. Dari mulai istri-istri pegawai, lurah, dan guru. Mereka semua dikelompokkan dan dijadikan satu wadah menjadi PKK. Pada saat itu ada larangan bagi wanita-wanita tersebut untuk ikut dalam organisasi wanita NU (Muslimat NU), padahal banyak dari wanita-wanita tersebut adalah orang NU, dan banyak dari mereka yang sudah menjadi anggota Muslimat NU terpaksa keluar karena adanya larangan. Lambat laun, hilanglah beberapa cabang Muslimat akibat dari kebijakan 61
Lih. Mustafa Helmy, Saifullah Ma’shum, Asmah Syahruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 206 62 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 140.
tersebut. Alasan inilah yang mendasari Asmah Syahruni pada periode pertamanya lebih pada kegiatan konsolidasi. Walaupun kegiatan ini dilakukan dengan cara diam-diam. Pada periode kedua kepemimpinannya, program yang direalisasikan Asmah Syahruni penekanannya lebih pada pemeliharaan cabang-cabang baru, menekankan kembali Muslimat NU sebagai organisasi yang mampu berdiri sendiri, pemantapan organisasi, mengadakan kegiatan yang bertaraf nasional dan melakukan evaluasi. Adapun pada periode ketiga kepemimpinannya, ia lebih menekankan program kegiatannya pada suatu kelanjutan dari program periode kedua, yaitu pemantapan organisasi. Namun program utama dari perode ini tetap dijalankan, yaitu mengembalikan program-program yang menjadi andalan Muslimat NU diantaranya: Kegiatan dalam bidang pendidikan, bidang dakwah dan bidang sosial. Pada masa kepemimpinannya, Asmah Syahruni berhasil mendirikan beberapa yayasan yang dimiliki Muslimat NU; Yayasan Haji, Yayasan Sosial dan lain-lain.63 Selain itu, hubungan kelembagaan yang dibangun pada masa kepemimpinannya juga meningkat dari tahun ke tahun, bukan hanya dari frekuensi dan kuantitas, tapi juga kualitasnya. Berkat kepemimpinannya, banyak pihak menaruh kepercayaan terhadap Muslimat NU untuk membuka hubungan kerja sama. Dengan pemerintah, Muslimat NU menempatkan diri sebagai mitra pembangunan bangsa dalam berbagai bidang. Kepercayaan itu diwujudkan dalam berbagai bentuk kerja sama. Bahkan, Bank Dunia 63
Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali Baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008. tanggal 6 Juni 2008
menawarkan penanganan salah satu segmen kegiatan program desa tertinggal. Kepercayaan juga datang dari lembaga-lembaga donor dalam dan luar negeri, yang kemudian membantu program-program Muslimat. Di lingkungan organisasi-organisasi wanita, Muslimat NU juga terlibat secara aktif dalam KOWANI, badan federasi yang dibentuk pada Kongres Perempuan Indonesia yang pertama pada 22 Desember 1928. Pada tahun 1985, KOWANI memberikan penghargaan kepada Asmah sebagai “Tokoh Wanita Indonesia”, atas jasa dan pengabdiannya dalam meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita.64 Banyak hal yang mendasari langkah-langah Asmah Syahruni dalam Muslimat NU. Langkah-langkah itu juga sesuai dengan tujuan organisasi tersebut di antaranya : 1. Melaksanakan tujuan jam’iyah NU di kalangan kaum wanita untuk mengadakan dan mengusahakan ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam masyarakat. 2. Meningkatkan kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara bagi kaum wanita Islam Indonesia. 3. Menyadarkan wanita Indonesia akan hak dan kewajibannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. 4. Meningkatkan kemampuan kaum wanita untuk lebih berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Beberapa hal yang paling menonjol berkaitan dengan ranah perjuangan yang dimainkan wanita asal Kalimantan Selatan ini adalah penekanannya pada
64
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 140
independesi organisasi Muslimat NU. Ia berupaya untuk menjadikan organisasi
ini
menjadi
sebuah
organisasi
yang
independen
tanpa
menggantungkan diri dengan NU. Ia memulainya dengan merubah mental wanita NU dari sikap ketergantungannya kepada NU berubah menjadi sikap yang mampu berdiri sendiri. Apa yang telah melekat dalam dirinya adalah sebuah prinsip bahwa “kemampuan harus dibangun dari diri sendiri, bukan mendompleng pada orang lain”.65 Adapun salah satu hal yang menonjol berkenaan dengan persoalan yang dihadapi Asmah Syahruni ketika ia menjabat sebagai ketua PP Muslimat NU adalah ketika NU menyatakan kembali ke Khittah 1926 dan meninggalkan kancah politik praktis tahun 1984. Asmah sebagai salah seorang tokoh perempuan yang mendukung penuh keterlibatan perempuan dalam politik mengalami dilema. Di satu sisi ia dituntut untuk menarik kader-kadernya dari gelanggang politik praktis, di sisi lain dia ingin membiarkan saja tapi dengan konsekuensi kehilangan kader-kader terbaiknya karena harus hengkang dari Muslimat. Dan persoalan inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik internal yang cukup tajam dalam organisasi tersebut. Walaupun pada akhirnya ia menerima dengan arif keputusan NU untuk kembali ke Khittah dan melepaskan kader-kader terbaiknya untuk mengabdikan dirinya di medan yang lain.66
65
Wawancara dengan Asmah Syahruni, Kali baru, Senen, Jakarta Pusat, 2008. tanggal, 6 Juni 2008 66 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 tahun Muslimat NU, h. 141.
Sikap Asmah di atas terlihat dalam laporan pertanggung jawabannya pada Kongres Muslimat NU XII. 67 Dari keputusan yang diambil terkait kembalinya Kittah NU 1926, nampak sikap Asmah yang selalu berhati-hati dalam melakukan kebijakan pada kadernya sebagai ketua PP Muslimat. Terkait dengan hal di atas, nampak pula dalam laporannya pada Kongres XIII tahun 1995, dimana ia mulai mengakhiri jabatannya sebagai ketua PP Muslimat NU dalam tiga periode berturut-turut. Beberapa point penting yang disinggung dalam laporannya adalah : 1. Pemasyarakatan Khittah 1926 sejatinya dihayati oleh pelaksana organisasi maupun anggota. Pengertian Khittah sendiri secara istilah masih perlu ditingkatkan sesuai dengan perkembangan bahasa dan aspek-aspek hokum yang ditimbulkannya. 2. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan organisasi dari tingkah laku politik praktis masih perlu pendekatan psikologis dengan pribadi-pribadi yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan unsur-unsur pribadi yang memilih minat terhadap politik praktis. 3. Khittah 1926 dalam pengertian secara fisiknya tetap memberikan kesempatan kepada para anggotanya untuk memilih aliran politik dalam pemilu, baik sebagai pemilih juga aktif dalam kepemimpinan aliran politik yang bersangkutan.68
67
Upaya memasyarakatkan Khittah 1926, menjaga jarak yang sama dengan tiga golongan politik pada pemilu 1987, tetapi tetap berpartisipasi sebagai warga negara dalam pemilu (tidak golput) dan usaha memelihara persatuan dan kesatuan organisasi. Sebagai organisasi wanita, Muslimat NU senantiasa berusaha menjaga kedudukan Muslimat sebagai bagian dari organisasi keagamaan. Lih. Laporan Pertanggung Jawaban PP Muslimat NU pada Kongres XII, Kaliurang, Yogyakarta, 1989, h. 11. 68 Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU pada Kongres Muslimat NU XIII, Jakarta, 1995, h. 9.
Sikap Asmah dalam Kongres XIII ini nampak keberatan akan tidak adanya keterlibatan sama sekali antara kader atau anggota Muslimat dengan politik. Sejak awal semangatnya untuk memajukan kaum wanita dalam berbagai bidang memang tidak dipungkiri. Maka dari itu, sebuah keberhasilan yang menonjol selama ia memimpin organisasi wanita Islam ini adalah kemampuannya dalam mengangkat organisasi itu sejajar dengan organisasiorganisasi wanita lainnya.69 Penekanan ini nampak dalam Kongresnya yang ke-12.70 Ia berhasil membawa Muslimat pada suatu terminal perkembangan di mana anggota-anggotanya tidak merasa kecil di tengah-tengah pergumulan wanita di Tanah Air. Masa-masa krisis yang menyertai perkembangan Muslimat NU berhasil dilewatinya dengan selamat, tanpa gejolak. Hubungan kelembagaan dengan berbagai pihak terbina dengan baik. 71 Tidak sampai di situ, ia juga berhasil membawa Muslimat NU menjadi organisasi yang otonom dan mandiri.
69
Saifullah Ma,shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 137. Sebagai organisasi wanita, Muslimat NU senantiasa berusaha menjaga keseimbangan antara Muslimat NU sebagai organisasi dengan kedudukan Muslimat sebagai bagian dari organisasi keagamaan Islam. Diskusi-diskusi mengenai kedudukan mitra sejajar dengan kaum pria, pembahasan peran ganda wanita, perubahan nilai disebabkan peningkatan peran wanita baik dalam karis maupun di lingkungan kemasyarakatan, kemajuan di bidang IPTEK, suasana alih teknologi dan sebagainya diikuti oleh Muslimat NU. Lih. Laporan Pertanggung Jawaban P.P. Muslimat NU pada Kongres Muslimat NU XII, Kaliurang, Yogyakarta, 1989, h. 11. 71 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 137. 70
BAB IV PERANAN MUSLIMAT NU PADA MASA KEPEMIMPINAN ASMAH SYACHRUNI
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa kepemimpinan Asmah Syahruni dalam Muslimat NU cukup lama yaitu, selama tiga periode. Periode pertama pada tahun 1979 dalam Kongres X di Semarang, periode kedua pada tahun 1984 pada Kongres XI di Probolinggo dan periode ketiga pada tahun 1989 pada Kongres XII di Yogyakarta.72 Peranannya dalam Muslimat NU tentunya bisa dilihat dalam tiga periode ini, dimana ia menjabat sebagai pucuk pimpinannya. Berikut adalah beberapa peranan yang dimainkan oleh Asmah Syahruni. Namun, sebelum menjelaskan mengenai bidang-bidang garapan yang dimainkan Asmah Syahruni, penulis akan mencoba menguraikan terlebih dahulu gambaran singkat peranan Asmah Syahruni dari satu periode ke periode berikutnya.
A. Periode Pertama Kepemimpinannya Secara singkat telah dijelaskan dalam bab tiga bahwa pada periode pertama kepemimpinannya, Asmah Syahruni lebih menekankan kegiatannya pada konsolidasi. Karena bertepatan dengan masa awal kepemimpinannya itu, Muslimat NU mengalami persoalan intern yang harus dibenahi dari dalam. Namun demikian, bukan berarti hal-hal yang menyangkut dengan programprogram Muslimat itu diabaikan.
72
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU Berkhidmat Untuk Agama, Negara dan Bangsa, P.P. Muslimat NU, Jakarta, 1996, h. 137.
Kongres X di Semarang telah menetapkan program Bidang Sosial Kesehatan dan mengamanatkan kepada PP Muslimat NU Bidang Sosial dan segenap jajarannya untuk melaksanakan program tersebut. Dalam periode 1979-1984, kegiatan di bidang sosial-kesehatan makin berkembang dan mantap, penghayatan terhadap tugas-tugas sosial-kesehatan makin mendalam. Sejak diputuskan dalam kongres VIII bahwa tanggal 10 Muharam dijadikan titik awal langkah sosial Muslimat NU, maka PP Muslimat Bagian Sosial senantiasa memberikan tuntunan dan petunjuk sehingga Hari Sosial Muslimat NU telah memasyarakat dan bahkan membudaya di lingkungan warga Muslimat. Di luar itu, pada periode pertama kepemimpinannya, Asmah Syahruni juga telah menampilkan peranannya dalam pelaksanaan program selain yang disebutkan di atas. Di antara peranan penting yang dimainkan Asmah Syahruni pada periode pertama kepemimpinannya yaitu: 1. Menyelenggarakan
Konferensi
antar
wilayah
untuk
mentakhfidz
keputusan Kongres pada 25 s/d 27 Maret 1981 diteruskan dengan Diskusi Panel tentang : a. Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaannya b. Kedudukan wanita dalam Hukum Islam dan Hukum Negara 2. Bagian Dakwah telah mengadakan Lokakarya Peningkatan Dakwah Wanita
Muslimat.
3. PP. Muslimat NU menerima tawaran kerja sama dari The Pathfinder Fund Indonesia dalam upaya memasyarakatkan Undang-Undang Perkawinan.
Oleh PP. Muslimat NU ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk mengadakan peninjauan ke daerah-daerah.73 Adapun terkait peranannya dalam bidang-bidang garapannya yang merupakan program inti dari Muslimat NU akan dibahas paba sub-bab di bawah. Karena bagaimanapun juga, ketika kita bicara mengenai peranan yang dimainkan oleh seorang tokoh dalam sebuah periode dalam sebuah organisasi, tentunya tak bisa dilepaskan dari peranannya untuk melaksanakan programprogram inti dari organisasi itu sendiri. Betapapun ada beberapa kegiatan yang menonjol dalam suatu periode tertentu, ini tidak bisa menghalangi organisasi ini untuk melaksanakan program inti yang telah ditetapkan. Begitu juga dengan seorang Asmah Syahruni yang merupakan Pucuk Pimpinan organisasi kewanitaan Islam ini. Dalam setiap periode, kendatipun mengalami berbagai macam persoalan yang mengitari organisasinya, ia tetap melaksanakan program-program utama dari organisasi itu di samping berimprovisasi untuk melaksanakan program lain yang sesuai dengan tuntutan isu yang berkembang, baik lokal maupun nasional.
B. Periode Kedua Kepemimpinannya Periode kedua kepemimpinan Asmah Syahruni memperlihatkan kegiatannya pada cakrawala yang lebih luas. Tidak hanya pada batas-batas untuk melanjutkan program-program baku yang sudah ditetapkan dalam organisasi seperti kegiatan di bidang sosial, kesehatan, dakwah dan lain-lain. Lebih dari itu, isu-isu politik dan isu-isu penting terkait adanya Khittah NU 73
Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU Periode 1979-1984, Probolinggo Jawa Timur, 1984.
1926, membawanya dalam suatu tindakan di mana ia harus mampu memposisikan organisasi yang dipimpinya itu berada dalam posisi yang proporsional. Dalam laporannya, ia menyatakan; upaya memasyarakatkan Khittoh NU 1926, menjaga jarak yang sama dengan tiga golongan politik pada pemilu 1987, tetapi tetap berpartisipasi sebagai warga negara dalam pemilu (tidak golput) dan usaha memelihara persatuan dan kesatuan organisasi. Sebagai organisasi wanita, Muslimat NU senantiasa berusaha menjaga keseimbangan antara Muslimat NU sebagai organisasi, dengan kedudukan Muslimat NU sebagai bagian dari organisasi keagamaan Islam. Dalam realisasi kembali ke Khittah 1926, PP. Muslimat berusaha menjelaskan pengertian itu, karena ada pihak Muslimat yang mengaggap bahwa dengan Khittah tersebut Muslimat tidak usah mengurus organisasi secara khusus sebab semuanya akan diurus oleh NU sampai kepada pemberian Tanda Anggota. Sementara di lain pihak NU yang mengharuskan agar segala yang menyangkut Muslimat diurus oleh NU saja mulai dari pembentukan cabang-cabang baru. Asmah Syahruni sebagai pimpinan Muslimat yang memiliki cita-cita penuh dalam kemandirian organisasi yang dipimpinnya itu dengan sekuat tenaga memperkuat organisasi ini agar tetap menjadi badan otonom. Dengan keberhasilannya mempertahankan otonomisasi organisasi tersebut, maka diadakanlah kerjasama dengan organisasi otonom/lembaga NU seperti lembaga pendidikan, yayasan dan lain-lain.
Hal-hal yang terkait dengan program jangka panjang antara lain : 1. Mengusahakan terselenggaranya Penataran P4 bagi anggota Muslimat NU. 2. Mengadakan kursus kader usaha bagi anggota Muslimat NU. 3. Mengadakan kursus administrasi kesekretariatan . 4. Mengadakan kursus manajemen dan kursus lainnya. 5. Mengintensifkan kader Muslimat NU. 6. Mengadakan supervisi ke TK Muslimat. 7. Melaksanakan tentang struktur/mekanisme kerja di bidang pendidikan yang disesuaikan dengan struktur jam’iyah NU. Adapun hal-hal yang terkait dengan program jangka pendek adalah : 1. penyelenggaraan KPPD (Kursus Pembinaaan Pengetahuan Dasar) KEJAR “Kerja dan Belajar”. 2. Memasyarakatkan Program PKK. 3. Penyuluhan Undang-Undang perkawinan melalui pengajian dan kursus serta penataran bagi penyelenggaraan TK di cabang-cabang. Di atas merupakan gambaran umum dan dan khusus mengenai kegiatan yang dijalankan oleh organisasi. 74 Selain beberapa kegiatan di atas yang direalisasikan Asmah Syahruni pada periode kedua, program lain yang direalisasikannya pada periode itu adalah pemeliharaan cabang-cabang baru, menekankan kembali Muslimat NU sebagai organisasi yang mampu berdiri sendiri, pemantapan organisasi, mengadakan kegiatan yang bertaraf nasional dan melakukan evaluasi seperti apa yang telah disebutkan dalam bab tiga. 74
Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU pada Kongres Muslimat NU XII, Kaliurang, Yogyakarta, 1989, h. 14, 23, 25.
C. Periode Ketiga Kepemimpinannya Masa bakti 1989-1995 yang merupakan periode ketiga dalam kepemimpinan Asmah Syahruni ditandai dengan berbagai peristiwa nasional kenegaraan maupun perkembangan di lingkungan khusus. Pemasyarakatan Khittah 1926 makin dihayati oleh pelaksana organisasi maupun oleh anggota. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan organisasi dari tingkah laku politik praktis masih perlu pendekatan psikologis dengan pribadi-pribadi yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan unsur-unsur pribadi yang memilih minat terhadap politik praktis. Khittah NU dalam pengertian secara fisiknya tetap memberikan kesempatan kepada para anggotanya untuk memilih aliran politik dalam pemilu, baik sebagai pemilih juga aktif dalam kepemimpinan aliran politik yang bersangkutan. Konsolidasi yang dilakukan di beberapa daerah luar Jawa telah mampu membangkitkan rasa percaya diri kepada anggota masyarakat warga Muslimat NU, sehingga daerah-daerah yang sebelumnya dianggap rawan konsolidasi berjalan dengan lancar. Keikutsertaan Muslimat NU dalam badan-badan, lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti MUI, Forum Lembaga Dakwah, Persaudaraan Haji Indonesia dan sebagainya telah memberi arti penting akan kehadiran organisasi ini. Kerjasama dengan LSM, Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan, pelatihan-pelatihan untuk peningkatan pandapatan keluarga dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) meningkat tajam, baik dari program fisik,
seperti pemasyarakatan vitamin A, operasi mata katarak, pemberian modal kerja, pemberian alat medis di Rumah Bersalin di lingkungan Muslimat NU. Jaringan kerjasama dengan LSM dalam negeri maupun dengan badan atau lembaga bantuan luar negeri telah menimbulkan dampak yang cukup mengesankan, baik tentang hasil yang dirasakan secara fisik maupun dampak yang diperoleh oleh organisasi. Program
yang
menyangkut
pelayanan
masyarakat
seperti
peningkatan pengetahuan calon jama’ah haji, peningkatan dakwah yang sifatnya monolog menjadi dakwah yang dialogis dengan materi dakwah yang bervariasi, misalnya memberikan jasa konsultasi keluarga, perkawinan, pertanahan, waris dan lain-lain.75 Di atas adalah gambaran beberapa kegiatan yang dilaksanakan Muslimat NU pada periode ketiga. Namun secara keseluruhan, pada periode ini dapat dikatakan lebih menekankan program kegiatannya pada suatu kelanjutan dari program periode kedua, yaitu pemantapan organisasi. Namun program utama dari perode ini tetap dijalankan, yaitu mengembalikan program-program yang menjadi andalan Muslimat NU di antaranya: Kegiatan dalam bidang pendidikan, bidang dakwah dan bidang sosial. Ketiga bidang itu merupakan harga mati bagi organisasi ini. Karena sejak didirikannya hingga sekarang, organisasi wanita ini tidak pernah melepaskan kegiatannya dari ketiga bidang utama itu.
75
Laporan Pertanggungjawaban PP. Muslimat NU Pada Kongres XIII Periode 19891994, H. 9, 10, 12, 13.
Selanjunya, sebagai interpretasi terkait peranan yang dimainkan Asmah Syahruni selama ia menjabat sebagai PP. Muslimat NU, akan dibahas pada sub-bab di bawah. a) Bidang Pendidikan Seperti dalam organisasi lainnya bahwa setiap pimpinan pada masing-masing periode bisa dipastikan memiliki perbedaan dalam beberapa hal yang paling menonjol. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa pimpinan dalam periode tersebut terkadang hanya melanjutkan atau menyempurnakan program yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh pimpinan dalam periode sebelumnya. Hal ini juga terjadi dalam kepemimpinan Muslimat NU pada masa Asmah Syahruni. Namun, yang menarik dalam organisasi kewanitaan ini adalah adanya tiga periode dalam kepemimpinan oleh orang yang sama. Artinya orang tersebut memegang Pucuk Pimpinan selama tiga periode berturutturut. Ini bisa dikatakan bahwa dalam periode pertama jabatannya sebagai pimpinan, Ia hanya melanjutkan atau menyempurnakan program-program yang telah dilaksanakan oleh pimpinan pada periode sebelumnya. Asmah Syahruni sebagai orang yang menjabat ketua umum dalam periode ini menyatakan dalam laporan pertanggung jawabannya dalam periode 1979/1984 (periode ini adalah periode di mana Ia menjabat sebagai ketua umum yang pertama Muslimat NU) pada Kongres Muslimat NU ke-XI bahwa periode ini merupakan (masih berada) pada sisa-sisa transisi sebagian permasalahan
yang
belum terselesaikan
dalam
periode
sebelumnya. Periode ini juga merupakan sebagai penyempurnaan program
kerja, misalnya tentang atribut Taman Kanak-Kanak, tentang sikapnya terhadap PKK dan lain-lain.76 Berbicara mengenai pendidikan, keberadaan Muslimat NU memang tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Sejak semula, dunia pendidikan mempunyai tempat tersendiri dan perhatian khusus di organisasi ini. Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Muslimat NU dengan tegas dinyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan derajat kehidupan masyarakat, terutama kaum wanita Indonesia. Hal ini tentunya harus ditunjang dengan pendidikan. Pandangan Muslimat NU tentang pendidikan tercermin dalam hasil kongres pertama. Pembangunan materil hanya berhasil jika diimbangi dengan pembangunan spiritual. Oleh karena itu harus ada usaha untuk mengintensifkan dan memperluas lembaga-lembaga pendidikan bagi kaum
wanita
untuk
menyadarkan
para
wanita
Indonesia
akan
kewajibannya agar menjadi ibu yang sejati. Sehingga mereka dapat ikut serta memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan dan melestarikan agama Islam.77 Usaha bidang pendidikan secara lebih jelas lagi dirumuskan dalam kongres ke III. Dalam kongres yang berlangsung di Jakarta, 30 April – 3 Mei 1950 disahkan orientasi program dalam menangani kegiatan pendidikan khususnya pendidikan bagi anak-anak dan kaum wanita dalam urgensi programnya. 78
76 Asmah Syahruni, Laporan Pertanggung Jawaban P.P. Muslimat NU Periode 1979/1984 pada Kongres Muslimat NU KE-XI, Probolinggo, 1984. h. 3. 77 Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 31 78 Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, P.P. Muslimat NU Jakarta, 1979. h. 79
Dalam Kongres VIII di Solo Desember 1962, diputuskan program organisasi bidang pendidikan. Pada tiap-tiap cabang Muslimat NU harus diusahakan paling tidak berdiri satu Sekolah Taman KanakKanak (STK). Pada kongres ini Muslimat NU juga membuat rekomendasi yang ditujukan pada LP Ma’arif NU agar lembaga itu mendirikan akademi dakwah. 79 Hal ini bertujuan untuk menciptakan kader-kader dakwah yang pada saat itu dirasa sangat penting. Saat itu Muslimat telah memiliki 400 STK di seluruh Indonesia.80 PP LP Ma’arif dalam konferensi besarnya tanggal 30 Agustus 1969
menyerahkan tugas pengelolaan taman kanak-kanak kepada
Muslimat NU. Saat itu Muslimat telah lama mengintruksikan kepada cabang-cabangnya untuk mensukseskan pendidikan pra-sekolah dengan mendirikan STK Muslimat NU disetiap ranting. Dasar pemikiran ini adalah karena taman kanak-kanak merupakan lembaga pendidikan yang pertama kali memberikan bimbingan dan pembinaan rohani maupun jasmani untuk perkembangan anak di bawah tujuh tahun secara sistematis.81 Pada tahun 1987 Muslimat menempuh Langkah strategis dan berjangka panjang. Untuk menangani kegiatan bidang pendidikan yang semakin besar jumlah dan tuntutannya, Muslimat membentuk Yayasan Bina Bakti Wanita. Yayasan ini pada mulanya memang hanya menangani kegiatan pendidikan dan latihan keterampilan bagi perempuan, hasil
79
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 34 Ali Zawawi, dkk, Asmah Sjahruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman dari kalangan Nahdlatul Ulama, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2002, h. 65 81 Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 133 80
kerjasama Muslimat dengan Depnaker. Namun, sejak 12 Oktober 1990, yayasan ini tidak hanya berfungsi mengelola kegiatan pendidikan dan latihan keterampilan, tapi juga mulai dilimpahi tugas untuk mengelola seluruh kegiatan pendidikan yang bernaung di bawah bendera Muslimat NU. Untuk keperluan itu, maka Yayasan Bina Bakti Wanita pada tanggal 1 April 1992 diubah namanya menjadi Yayasan Pendidikan Islam Muslimat NU Bina Bakti Wanita (YPM NU Nabawi). Sampai tahun 1995, yayasan ini telah berkembang di enam Provinsi dan delapan Kabupaten. Untuk menjalankan program bidang pendidikan, yayasan menjalin kerjasama dengan beberapa instansi dan LSM di dalam dan luar negeri sebagai mitra, seperti Depnaker, YIS, Yayasan Melati, Unicef, AIDAB, HKI, dan WHO. 82
Pada masa kepemimpinan Asmah Syahruni tahun 1989, Muslimat NU telah berhasil membangun 3.916 buah TK dan 56 buah Diniyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian pada masanya, Muslimat NU telah mengikutsertakan anggotanya untuk mengikuti kursus administrasi kesekretarisan yang diadakan KOWANI. 83 Setelah ia melepaskan jabatannya pada tahun 1995 jumlahnya meningkat menjadi 4.491 STK dan 1.525 TPQ. Pada
tahun
1993,
Muslimat
menyusun
buku
panduan
penyelenggaraan STK dan TPQ serta panduan pelaksanan pesantren kilat. Selain itu juga menyelenggarakan lokakarya pembangunan dan pembinaan pendidikan 82
Muslimat
NU.
Keinginan
Muslimat
untuk
bisa
Saifullah Ma’shum, Ali Zawawi, 50 Tahun Muslimat NU, h. 41 Laporan Pertanggung Jawaban PP MUslimat NU Pada Kongres Muslimat NU Ke XII, Kaliurang, Yogyakarta, 1989. 83
menyelenggarakan kegiatan pendidikan selain STK dan TPQ cukup besar, terutama untuk bidang-bidang pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan sumber daya manusia wanita. Selain
lembaga
pendidikan
formal,
Muslimat
juga
menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan non-formal. Misalnya Muslimat menjalin kerjasama dengan pengasuh pesantren putri untuk meningkatkan pendidikan dan pengajaran di kalangan santri putri. Pesantren putri merupakan basis Muslimat dan para santrinya merupakan calon kader-kader pimpinan Muslimat NU. Kegiatan pendidikan yang dikelola Muslimat NU secara garis besarnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu TK/TPQ dan Madrasah Diniyah (MD), Majlis Taklim Ibu-ibu dan pelatihan keterampilan. Untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan ini, Muslimat NU bekerjasama dengan Departemen tenaga Kerja Republik Indonesia dan Lakpesdam (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia). b) Bidang Dakwah Dakwah adalah salah satu karakteristik yang sangat menonjol pada NU, begitupun pada Muslimat NU. Tradisi kehidupan mimbar sangat identik dengan warga nahdliyin. Banyak Da’iyah yang ternama di Muslimat. Penggalangan potensi dalam bidang ini menjadi salah satu kegiatan yang juga memperoleh perhatian intensif dari Muslimat NU untuk menunjang program penyuluhan dan bimbingan keagamaan di kalangan wanita Indonesia. Peranan yang dimainkan Muslimat NU pada
masa Asmah Syahruni juga tidak lepas dari kegiatan dalam bidang dakwah tersebut. Pada tanggal 30 April 1981, dibentuk Perhimpunan Dakwah Indonesia (NADWAH) untuk menunjang kegiatan Nahdliyin. Namun sangat disayangkan pada saat itu wadah ini belum terbina dengan baik mengenai nama maupun mengenai pembinaan wadah ini. Walaupun belum terbina dengan baik, namun dibeberapa daerah telah ada cabang NADWAH yang berjalan dengan baik.84 Untuk menggalang potensi dalam bidang ini dan untuk mengefektifkan dalam bidang dakwah, maka para da’iyah Muslimat NU bersama Fatayat NU pada tahun 1984 dalam Kongres XI di Paiton, Jawa Timur membentuk Himpunan Da’iyah Muslimat dan Fatayat (HIDMAT) NU. Melalui wadah inilah Muslimat NU secara terencana dan intensif melakukan kegiatan penerangan dan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Pengajian atau tabligh akbar merupakan salah satu kegiatan rutin yang diselenggarakan wadah ini. Bagi Muslimat NU, dakwah merupakan panggilan hidup untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu forum-forum pengajian, ceramah-ceramah, dan sejenisnya berkembang sangat pesat. Bahkan forum seperti itu pada mulanya dinilai cukup efektif untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengadakan transformasi sosial di kalangan warga Muslimat NU.
84
Laporan Pertanggung Jawaban PP. Muslimat NU Periode 1979-1984 h. 6
Beberapa kegiatan yang dilakukan HIDMAT NU, antara lain pengajian rutin, lailatul ijtima’, peringatan hari-hari besar Islam, tahlil kubro, tabligh akbar, dan kegiatan dakwah Islamiyah lainnya. Untuk mengefektifkan kegiatan dakwah, selain menempuh jalur penerangan dan dakwah secara oral, Muslimat juga memanfaatkan media penerbitan. Selain mengadakan orientasi dan kursus junalistik, PP Muslimat NU pernah menerbitkan Risalah Muslimat NU, Gema Muslimat dan Gema Harlah Muslimat serta bulletin Yasmin yang diterbitkan secara berkala. Pemberitaannya perkembangan
mencakup Muslimat
segala
NU,
bidang
serta
dan
sebagai
perkembangan-
sarana
memelihara
kelangsungan komunikasi antara pusat dan daerah. Pada periode ini, Muslimat pernah mendapat kesempatan mengikuti seminar Dakwah Wanita di Kuala Lumpur yang diwakili oleh Aisyah Dahlan yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua III PP Muslimat juga ketua bidang dakwah. 85 Sejauh
mana
mengukur
keberhasilan
Asmah
Syahruni
dalam
kepemimpinan Muslimat NU, bisa kita bandingkan dengan tokoh perempuan lain dalam suatu organisasi lain pula yang sezaman dengannya. Muslimah Humam, ia adalah salah satu dari sekian tokoh Nasyi’atul Aisyiyah (NA), suatu organisasi keputrian yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Dalam membandingkan ketokohan seseorang pada sebuah oragnisasi, tentu kita tidak bisa mengukurnya hanya pada tataran pribadi orang itu sendiri. Lebih dari itu, bagaimana orang tersebut memiliki kemampuan dalam
85
Laporan Pertanggung Jawaban PP. Muslimat NU Periode 1979-1984 h. 2
melaksanakan program-programnya. Adapun untuk mengukur suatu keberhasilan dari sebuah organisasi di mana mereka terlibat, tentunya kita bisa melihat program-program apa saja yang telah direalisasikan sesuai dengan amanat organisasi tersebut. Untuk itu sebagai perbandingan, di sini penulis mencoba mengukurnya melalui program-program pada masing-masing organisasi yang telah diamanatkan kepada tokoh organisasi itu sendiri. Secara garis besar, kedua organisasi ini memiliki program-program baku yang telah ditetapkan sejak didirikannya. Namun yang membedakan di sini adalah, jika Asmah Syahruni sebagai tokoh Muslimat dari satu periode ke periode berikutnya mampu mengembangkan program-programnya,86sementara Muslimah Humam sebagai tokoh Nasyi’atul Aisyiah memiliki kemampuan melanjutkan pelaksanaan program-program yang telah ditetapkan oleh organisasinya.87 Namun demikian,
bisa
dilihat bahwa
Asmah Syachruni dalam
kepemimpinannya mencoba untuk merealisasikan semua program-program yang telah ditetapkan, sementara Muslimah Humam mengambil prioritas utama dalam pelaksanaan program dalam setiap periode. Di antara lima program yang telah ditetapkan, prioritas utama yang dijalankan Muslimah Humam adalah kaderisasi (1985-1990) dan kemubalighatan (1990-1995).88
86
Pada periode pertama jabatannya sebagai Pucuk Pimpinan Muslimat NU, programprogram atau bidang garapan Asmah Syahruni adalah; Bidang Sosial/Kesehatan, Bidang pendidikan, Bidang Dakwah, Bidang Usaha/Ekonomi dan proyek khusus Penataran UndangUndang Perkawinan. Pada periode kedua di tambah satu bidang Ikatan Hajjah Muslimat (IHM). Pada periode ketiga bidang IHM tidak ada lalu diganti Bidang Organisasi dan Litbang. Lih. Asmah Syachruni, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 1979-1984, 1984-1989, 1989-1995, h. 4, 6, 19-20. 87 Bidang-bidang kelanjutan yang dijalankan kedua tokoh Nasyi’atul Aisyiah adalah; Bidang Konsolidasi Organisasi, Bidang Kaderisasi, Bidang Dakwah, Bidang Kemasyarakatan dan Bidang Pengkajian. Lih. Pengurus Pusat Nasyi’atul Aisyiah, Keputusan Munas Nasyi’atul Aisyiah II, Yogyakarta, 1995. 88 Pengurus Pusat Nasyi’atul Aisyiah, Sejarah Singkat Nasyi’atul Aisyiyah dan Khittah Perjuangannya, Ypgyakarta, 1996.
Secara keseluruhan, perbandingan di antara kedua tokoh organisasi wanita ini adalah; Asmah Syahruni dalam membidangi organisasinya lebih fleksibel, dalam arti ia adalah sosok yang bisa beradaptasi dengan keadaan atau kultur yang ada di organisasi yang memang berkultur Islam tradisional ini. Ini mungkin bisa dipahami bahwa dari dulu pendekatan-pendekatan yang dilakukan para tokoh NU dari pimpinan sampai bawahan lebih bersifat kekeluargaan, bukan bersifat keorganisasian. Ini juga diperkuat dengan adanya slogan “manut ulama”. Maka tak heran jika Asmah Syahruni dalam kepemimpinannya sama sekali tidak menunjukkan superioritas dalam organisasinya. Hal ini bisa berpengaruh pada sebuah pelaksanaan program yang lebih bersifat semangat kekeluargaan yang terkesan tidak formal. Walau demikian program tetap terlaksana. Karena itu merupakan langkah strategis bagi kalangan Muslimat NU dalam merealisasikan program-program garapannya. Lain halnya dengan Muslimah Humam, sebagai orang yang bernaung dalam organisasi yang lebih modern, ia selalu melaksanakan program-programnya sesuai dengan aturan-aturan formal dan prosedural. Ini memang sudah menjadi ciri daripada organisasi yang menaunginya, yaitu Muhammadiyah. Bagaimana jika dibandingkan dengan Aisyiyah, sebuah organisasi wanita Muhammadiyah. Di mana letak kekurangan dan kelebihan kedua organisasi wanita tersebut. Sulit untuk mencari kelebihan dan kekurangan sebuah organisasi tanpa kita, minimal pernah mengalami atau ikut terlibat langsung dalam kedua organisasi tersebut. Walau demikian, ini tidak menghalangi suatu penilaian terhadap sebuah organisasi.
Secara organisatoris, Aisyiyah memiliki program utama di antaranya, bidang kesehatan, tablig, pengkaderan dan pembinaan generasi muda, pendidikan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan sosial, partisipasi kebangsaan serta konsolidasi. Namun seiring jalannya waktu, Aisyiyah juga menambah agenda kegiatan berupa pengkajian dan iptek, hukum dan hak asasi manusia. Ini bisa dilihat dari muktamar-muktamar yang diadakannya, di mana Aisyiyah selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan perannya dalam memperjuangkan terbentuknya masyarakat madani.89 Mufnaetty Shofa, sebagai orang yang pernah menjadi tokoh Aisyiyah pada masanya telah mampu membawa Aisyiyah menjadi organisasi wanita yang cukup berpengaruh di Indonesia. Dengan kemampuannya, ia membawa organisasi ini mampu bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta dalam maupun luar negeri serta kerjasama dengan organisasi wanita setingkat. Dalam kepemimpinannya, ia mengedepankan kekompakan dan kerjasama. Menurutnya, untuk memperoleh kualitas kepemimpinan tersebut dari satu orang bukanlah hal yang mudah, tetapi karena kepemimpinan bersifat kolegial, kualitas tersebut dapat dipenuhi dengan kepemimpinan kolektif dalam sebuah tim yang terdiri dari berbagai keahlian. Kepemimpinan kolegial akan bermakna ketika pimpinan mampu menghidupkan kerjasama dalam menghimpun dan mengkombinasikan sumberdaya yang ada serta mampu menghidupkan permusyawaratan. 90
89
Mufnaetty Shofa, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah, www.suaramerdeka.com, 02 Juli
2005. 90
Mufnaetty Shofa, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah.
BAB V KESIMPULAN
Dari pembahasan skripsi ini dapat diambil kesimpulan bahwa menjelang berdirinya Muslimat Nahdlatul Ulama, Indonesia dalam keadaan mempertahankan kemerdekaan dari para penjajah. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, berbagai organisasi lain menyusul dibentuk, termasuk juga organisasi wanita. Pada tanggal 22 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Kongres ini berhasil membentuk Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI), yang merupakan asal-usul historis badan federasi yang saat ini dinamakan Kowani. Pada tahun 1929 PPPI berubah menjadi Perserikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPPI), kemudian berubah lagi menjadi Kongres Perempoean Indonesia pada tahun 1935. Sekolah-sekolah mulai menghasilkan gadis-gadis dan wanita-wanita terpelajar. Bersamaan dengan itu, munculah gerakan-gerakan dan perserikatanperserikatan wanita, baik yang bercorak kebangsaan maupun keagamaan. Salah satunya adalah lahirnya Muslimat Nahdlatul Ulama. Gagasan tentang pentingnya dibentuknya Muslimat Nahdlatul Ulama sudah muncul sejak Muktamar NU yang pertama pada tahun 1926. Hal ini ditandai dengan hadirnya beberapa tokoh perempuan, meskipun saat itu perempuan belum menjadi bagian dari NU.
Sejak didirikannya NU hingga
Kongres ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938 yang diwarnai dengan perdebatan sengit, kaum wanita telah aktif berorganisasi. R. Djuarsih dan Siti Syarah tampil sebagai pembicara, mewakili warga jamaah perempuan. Setahun
kemudian, ide tentang Muslimat NU kian terasa kuat ketika berlangsung Muktamar ke-14 di Magelang tahun 1939. Pada tanggal 29 Maret 1946, bertepatan dengan 26 Rabiul Akhir 1365 H, keinginan jamaah wanita NU untuk berorganisasi diterima dengan suara bulat oleh para utusan Muktamar NU di Purwokerto, dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM).91 Diresmikannya Muslimat NU sebagai bagian NU merupakan tuntutan sejarah yang dinilai oleh Jamiah NU pada saat itu sudah sampai pada tahap perkembangan yang memerlukan hadirnya wanita dalam kancah perjuangan dan organisasi. Pandangan ini dikemukakan hanya oleh sebagian kecil ulama NU, seperti KH. Muhammad Dahlan, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Syaifuddin Zuhri. Kemudian Mulimat di pimpin oleh Hj. Chodijah Dahlan dalam dua periode dan Mahmudah Mawardi dalam satu periode Asmah Syahruni merupakan pemimpin setelah Mahmudah Mawardi. Ia memimpin Muslimat NU cukup lama yaitu, selama tiga periode. Periode pertama pada tahun 1979 dalam Kongres X di Semarang, periode kedua pada tahun 1984 pada Kongres XI di Probolinggo dan periode ketiga pada tahun 1989 pada Kongres XII di Yogyakarta. Perkembangan selanjutnya dalam beberapa periode kepemimpinannya, Asmah Syahruni telah mampu membawa organisasi ini mampu berdiri sendiri sebagai organisasi kemuslimatan. Ia juga mampu merubah organisasi wanita ini menjadi sebuah organisasi yang besar, di mana kebesaran organisasi ini sejajar dengan organisasi wanita lain yang ada di Indonesia.
91
Asmah Sjahruni, dkk, 50 Tahun Muslimat.., h.20
Sebagai seorang pimpinan, Asmah Syahruni selalu bersikap tegas. Namun demikian, bukan berarti ia otoriter dalam kepemimpinannya. Sikap ketegasannya diiringi dengan sikap ramahnya terhadap sesama anggota. Ia selalu kuat dalam keputusannya. Namun demikian, tidak jarang ia bersikap lentur terhadap apa yang telah menjadi keputusan para kiai NU. Ciri khas kepemimpinan Asmah Syahruni melalui cara pendekatan kekeluargaan telah membawa organisasi ini semakin memiliki banyak anggota. Dengan cara itu pula organisasi ini pada akhirnya mampu menjalankan programprogramnya. Beberapa program yang telah direalisasikan Asmah Syahruni selama tiga periode dalam kepemimpinannya di Muslimat NU adalah : 1. Mengadakan konsolidasi dengan para anggota 2. Menyelenggarakan Konferensi antar wilayah untuk mentakhfidz keputusan Kongres pada 25 s/d 27 Maret 1981 diteruskan dengan Diskusi Panel tentang : a. Undang-Undang Perkawinan dan pelaksanaannya b. Kedudukan wanita dalam Hukum Islam dan Hukum Negara 3.
Bagian Dakwah telah mengadakan Lokakarya Peningkatan Dakwah Wanita
4.
Muslimat.
Pelaksanaan tawaran kerja sama dengan The Pathfinder Fund Indonesia dalam upaya memasyarakatkan Undang-Undang Perkawinan. Oleh PP. Muslimat NU ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk mengadakan peninjauan ke daerah-daerah.
5.
Mengadakan kegiatan sosial. Ini merupakan kegiatan rutin yang selalu dijalankan oleh Muslimat dalam setiap periode.
Di atas merupakan kegiatan yang direalisasikan Asmah Syahruni dalam periode pertama kepemimpinannya. Periode kedua kepemimpinan Asmah Syahruni memperlihatkan kegiatannya pada cakrawala yang lebih luas. Tidak hanya pada batas-batas untuk melanjutkan program-program baku yang sudah ditetapkan dalam organisasi seperti kegiatan di bidang sosial, kesehatan, dakwah dan lain-lain. Lebih dari itu, isu-isu politik dan isu-isu penting terkait adanya Khittah NU 1926, membawanya dalam suatu tindakan di mana ia harus mampu memposisikan organisasi yang dipimpinnya itu berada dalam posisi yang proporsional. Asmah Syahruni sebagai pimpinan Muslimat yang memiliki cita-cita penuh dalam kemandirian organisasi yang dipimpinnya itu dengan sekuat tenaga memperkuat organisasi ini agar tetap menjadi badan otonom. Dengan keberhasilannya
mempertahankan
otonomisasi
organisasi
tersebut,
maka
diadakanlah kerjasama dengan organisasi otonom/lembaga NU seperti lembaga pendidikan, yayasan dan lain-lain. Selain beberapa kegiatan di atas yang direalisasikan Asmah Syahruni pada periode kedua, program lain yang direalisasikannya pada periode itu adalah pemeliharaan cabang-cabang baru, menekankan kembali Muslimat NU sebagai organisasi yang mampu berdiri sendiri, pemantapan organisasi, mengadakan kegiatan yang bertaraf nasional dan melakukan evaluasi. Masa bakti 1989-1995 yang merupakan periode ketiga dalam kepemimpinan Asmah Syahruni ditandai dengan berbagai peristiwa nasional kenegaraan maupun perkembangan di lingkungan khusus.
Pemasyarakatan Khittah 1926 makin dihayati oleh pelaksana organisasi maupun oleh anggota. Salah satu tujuan Khittah 1926 melepaskan organisasi dari tingkah laku politik praktis masih perlu pendekatan psikologis dengan pribadipribadi yang terkait dari unsur kepemimpinan organisasi dan unsur-unsur pribadi yang memilih minat terhadap politik praktis. Secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa, sebagai orang yang memiliki tiga periode dalam kepemimpinannya, Asmah Syahruni mengalami beberapa peristiwa penting yang melingkupinya, baik peristiwa lokal yang ada di dalam Muslimat NU sendiri, maupun peristiwa nasional yang akan berpengaruh pada roda kepemimpinannya. Hal ini pada akhirnya membuat Asmah Syahruni memiliki kekuatan tersendiri dalam memimpin organisasinya dengan cara mencari alternatif sebagai improvisasi untuk melaksanakan kegiatannya sesuai dengan isu yang dihadapi pada masanya. Tak heran jika dikatakan bahwa Asmah Syahruni merupakan orang yang memiliki kemampuan dalam memimpin organisasinya dalam berbagai kondisi atau keadaan suatu bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, (ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991 Abdullah, Taufik, dalam Ensiklopedi Indonesia Jilid IV, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1983 Hasyim, Wahid, A, Mengapa Memilih NU? Konsepsi Tentang Agama, Pendidikan dan Politik, Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985 Helmi, Mustafa, Asmah Sjachruni; Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002 Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta: DEPAG RI, 2004 Kartodirdjo, Sartono, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4, Jakarta: Balai Pustaka, 1977 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Garamedia Pustaka, 1974 Lapidus, Ira, M, Sejarah Sosial Umat Islam Bag III, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999 Muhammadiyah, Hilmy, NU, Identitas Islam Indonesia, Jakarta: Elsas, 2004 Muzadi, A Mukhith, NU dan Fiqh Kontekstual, Yogyakarta: LKPSM NU, 1995 Nasution, AH, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid III, Bandung: Angkasa, 1978 PP Muslimat NU, Ibu Kartini Seratus Tahun, Jakarta: LAKPESDAM, 1979 PP. Muslimat NU, Keputusan Kongres ke-XII, Yogyakarta: 1989
PP. Muslimat NU, laporan Muktamar NU ke 28 PP Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 19791984 PP Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 19841989 PP. Muslimat NU, Laporan Pertanggungjawaban PP Muslimat NU Periode 1989-1994 PP. Muslimat NU, Sejaraht Muslimat NU, Jakarta: LAKPESDAM, 1979 Ricklefs, MC, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007 PP Muslimat NU, Laporan Pertanggung Jawaban PP Muslimat NU Periode 1984-1994 PP. Muslimat NU, Sejarah Singkat NU, Yogyakarta: Sie. Publikasi dan Dokumentasi Muslimat NU, 1989 Situmpul, Einar Mahatan, NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989 Sjachruni, Asmah, dkk, 50 tahun Muslimat NU, Berkhidmat Untuk Agama dan Bangsa, Jakarta:LAKPESDAM, 1996 Soebadio, Haryati, Kartini Pribadi Mandiri, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990 Suryochondro, Sukanti, Potret Pergerakan Wanita Indonesia Cet. 1, Jakarta: CV Rajawali, 1984 Suwondo, Nani, kedudukan Wanita Indonesia: Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981
Tim Sejarah Muslimat NU, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP. Muslimat Nahdlatul Ulama, 1979 Zuhri, Syaefuddin, dkk, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, Jakarta: PP. Muslimat Nahdlatul Ulama, 1979 Zawawi, Ali, dkk, Asmah Sjachruni, Muslimah Pejuang Lintas Zaman, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002 Wawancara Pribadi dengan Aisyah Hamis Baidlowi, Jakarta: 10 Maret 2008 Wawa.cara pribadi dengan Asmah Sjachruni, Jakarta: 6 Juni 2008 Wawancara pribadi dengan Lathifah Hasyim, Jakarta:24 April 2008 www.gp-ansor.org , sabtu, 4 Agustus 2007 www.kapanlagi.com/h/0000197812.html , 13 November 2007 www.kowani.or.id , 11 April 2007 www.muslimat-nu.or.id, 18 April 2008 www.pikiran-rakyat.com , 8 November 2007 www.republika.co.id , 25 Oktober 2007 www.suaramerdeka.com , Shofa, Mufnaetty, Aisyiyah dan Dinamika Dakwah, 2 Juli 2005 www.tempointeraktif.com , 31 Maret 2006