JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print)
1
KINETIKA DEGRADASI FOTOKATALITIK PEWARNA AZOIC DALAM LIMBAH INDUSTRI BATIK DENGAN KATALIS TiO2 Mei Sulis Setyowati dan Endah Mutiara Marhaeni Putri Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak— Pada penelitian ini telah dilakukan proses degradasi fotokatalitik pewarna azoic dalam limbah industri batik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kinetika degradasi pewarna azoic yang meliputi kecepatan reaksi, orde dan konstanta laju reaksi secara oksidasi fotokatalitik dengan katalis semikonduktor TiO2 dan sinar UV. Selain itu, perlu juga diketahui kondisi maksimum degradasi fotokatalitik pewarna azoic dalam limbah cair industri batik. Variasi konsentrasi H2O2 sebagai agen pengoksidasi yang digunakan adalah 3 mL (0,1%), 9 mL (0,3%) dan 15 mL (0,5%) dalam campuran 1000 mL limbah zat warna. Hasil analisis menunjukkan bahwa degradasi fotokatalitik pewarna azoic mengikuti pseudo-orde satu dengan konstanta laju reaksi yang semakin naik seiring dengan kenaikan konsentrasi H2O2. Kondisi maksimum dari degradasi fotokatalitik pewarna azoic dalam limbah cair industri batik tercapai pada kondisi menggunakan konsentrasi H2O2 sebesar 0,5%. Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi H2O2 yang digunakan, maka degradasi fotokatalitik pewarna azoic juga akan semakin maksimum. Kata Kunci— Degradasi fotokatalitik, konstanta laju reaksi, orde reaksi, pewarna azoic.
I. PENDAHULUAN
I
NDUSTRI tekstil merupakan industri yang paling polutan diantara sektor industri lainnya. Lebih dari 15% pewarna tekstil lolos kedalam aliran limbah cair selama proses pewarnaan dilakukan [1]. Limbah zat warna dari industri tekstil sangat sulit untuk diolah. Hal ini dikarenakan zat warna tekstil biasanya dibuat secara sintetik dan merupakan senyawa aromatik berstruktur kompleks yang lebih stabil sehingga lebih sulit untuk didegradasi [2] [3]. Zat warna tekstil terbuat dari senyawa-senyawa yang bersifat karsinogen dan mutagen diantaranya senyawa benzidin dan senyawa-senyawa aromatik lainnya [4]. Salah satu zat warna yang bersifat karsinogen dan mutagen adalah pewarna azoic. Pewarna azoic merupakan salah satu pewarna azo yang terbentuk dari komponen kopling berupa Naphtol AS (asam 3hidroksi-2-naphtoat anilida) (atau turunannya) dan garam diazonium (komponen diazo) dalam kondisi tertentu. Pewarna azoic pada dasarnya memiliki gugus azo (–N=N–) dalam struktur molekulnya. Mirkhani dkk. [1] melaporkan bahwa pewarna azo terlarut yang masuk kedalam tubuh manusia
tidak dapat berkoordinasi dan terpecah menjadi amina-amina aromatik oleh enzim-enzim di usus dan hati sehingga dapat menyebabkan kanker didalam tubuh manusia. Meninjau fakta tersebut, zat warna dalam limbah cair tekstil tentunya harus diolah dengan metode yang tepat guna mencegah efek dan bahayanya terhadap kehidupan manusia. Sistem pengolahan limbah cair tekstil secara biologis merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Namun, karena rendahnya kemampuan untuk mendegradasi zat warna dalam limbah cair tekstil, metode ini tidak efisien lagi untuk digunakan. Metode lain yang juga sering digunakan adalah metode pengolahan limbah cair tekstil secara fisik dan kimia. Metode ini meliputi: flokulasi yang dikombinasikan dengan flotasi, elektroflotasi, flokulasi dengan Fe(II)/Ca(OH)2, filtrasi-membran, elektrokinetik koagulasi, dekstruksi elektrokimia, penukar ion, iradiasi, presipitasi serta ozonasi [4]. Sama halnya dengan sistem pengolahan limbah cair tekstil secara biologis, metode pengolahan limbah cair tekstil secara fisik dan kimia juga kurang efisien dalam menghilangkan zat warna karena metode-metode tersebut menghabiskan banyak biaya serta sedikit dapat beradaptasi terhadap range limbah zat warna yang lebar. Metode degradasi fotokatalitik dengan katalis semikonduktor TiO2 merupakan metode yang paling efisien dalam menghilangkan zat warna dalam limbah cair tekstil. Ketika TiO2 diiradiasi dengan foton yang memiliki energi setara atau lebih tinggi daripada energi gap pitanya (sekitar 380 nm), maka lubang pasangan elektron akan terbentuk. Dalam sistem larutan, lubang tersebut akan bereaksi dengan H2O atau OH- (berasal dari agen pengoksidasi) membentuk radikal-radikal OH . Radikal-radikal OH inilah yang merupakan spesies yang paling efektif dalam mengoksidasi zat warna dalam limbah cair industri tekstil [5]. TiO2 merupakan katalis yang memiliki kelebihan yaitu memiliki aktivitas fotokatalitik yang tinggi, berharga terjangkau, tidak beracun serta ramah lingkungan. Aplikasi TiO2 dalam sistem solar iradiasi juga masih sangat terbatas dikarenakan pita gapnya yang terlalu lebar [6] [7]. Selain itu, informasi mengenai kinetika degradasi fotokatalitik pewarna azoic dengan katalis semikonduktor TiO2 juga masih sangat terbatas sehingga belum dapat diaplikasikan dalam skala
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) industri. Meninjau permasalahan tersebut, pada penelitian ini akan ditunjukkan sebuah penentuan kinetika yang tepat yang akan digunakan untuk mengetahui kondisi maksimum dari proses degradasi fotokatalitik pewarna azoic dalam limbah cair industri batik. Diharapkan dengan adanya kinetika tersebut maka akan mampu menjelaskan kinetika degradasi fotokatalitik pewarna azoic dengan katalis semikonduktor TiO2. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tekstil berwarna merah yang mengandung pewarna azoic yang didapatkan dari sentra batik yang dikelola oleh departemen perindustrian Jawa Timur di Pamekasan, Madura, Naphtol AS (asam 3-hidroksi-2-naphtoat anilida), garam merah R (2-metoksi-5-nitrobenzendiazonium tetraklorozinkat), NaOH pellet, benang wol bebas lemak, asam asetat (CH3COOH) 10% (v/v), amonia (NH4OH) 10% (v/v), Na2SO4 anhidrat, titanium dioksida Degussa P25, hidrogen peroksida (H2O2) 35% (v/v), serta aqua demineralisasi. Sedangkan instrumen yang digunakan adalah Spektrofotometer Genesys 10S UV-vis, serta Spektrofotometer Fourier Transform Infrared Shimadzu. B. Sintesis Pewarna Azoic sebagai Larutan Standar Larutan standar dibuat melalui reaksi kopling antara Naphtol AS dan garam merah R. Langkah pertama adalah pembuatan larutan Natrium naphtolat. Dalam pembuatan larutan Natrium naphtolat, 0,3 gram NaOH pellet dilarutkan dengan aqua demineralisasi hingga volume total larutan 100 mL. 100 mL Larutan NaOH tersebut dipanaskan. Disiapkan 0,5 gram Naphtol AS dalam gelas beaker, kemudian ditambahkan larutan NaOH yang telah dipanaskan. Naphtol AS akan larut sempurna. Langkah kedua adalah pembuatan larutan garam merah R. Larutan ini dibuat dengan cara melarutkan 1 gram garam merah R dengan aqua demineralisasi hingga volume total larutan 100 mL. Larutan Natrium naphtolat dan larutan garam yang telah dibuat selanjutnya dicampurkan dalam erlenmeyer dan warna merah akan terbentuk dalam campuran. Campuran inilah yang akan digunakan sebagai larutan standar. C. Identifikasi Pewarna Azoic dalam Limbah Industri Batik Larutan standar maupun sampel limbah batik selanjutnya ditambahkan 10 mL asam asetat 10% (v/v) dan benang wol bebas lemak. Campuran didihkan selama 10 menit. Benang wol yang telah menyerap pewarna kemudian diangkat dan dicuci dengan aqua demineralisasi hingga bersih. Benang wol dimasukkan kedalam 10 mL amonia 10% (v/v) dan dididihkan. Campuran benang wol dan larutan pewarna kemudian disaring dan filtrat hasil penyaringan ditambahkan Na2SO4 anhidrat dan didiamkan selama 10 menit. Campuran filtrat dan Na2SO4 anhidrat selanjutnya disaring dengan kertas
2
Whatman no.42. Filtrat hasil penyaringan baik larutan standar dan sampel limbah kemudian dianalisis dengan Spektrofotometer Fourier Transform Infrared Shimadzu dan spektrofotometer Genesys 10S UV-vis D. Degradasi Fotokatalitik Pewarna Azoic dengan Pengenceran 5 Kali Sampel limbah batik dengan pengenceran 5 kali yang telah diketahui absorbansi awalnya kemudian ditambahkan H2O2 sesuai variasi pada tabel 1. hingga volume total campuran 1000 mL. Campuran selanjutnya dimasukkan kedalam reaktor dan ditambahkan TiO2 sebanyak 100 mg. Campuran diaduk dengan magnetic stirrer hingga homogen. Campuran sampel dengan pengenceran 5 kali yang telah homogen selanjutnya didegradasi dibawah lampu UV 6 W (λ=254 nm) sambil diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 jam dengan catatan setiap dua jam sekali diambil sampel sebanyak 10 mL untuk dianalisis absorbansinya menggunakan spektrofotometer Genesys 10S UV-vis. Tabel 1. Variasi konsentrasi H2O2 dalam campuran Persentase H2O2 dalam campuran (%) 0,1% 0,3% 0,5%
Komposisi Volume H2O2 (35% v/v) dalam campuran (mL) 3 mL 9 mL 15 mL
Gambar 1. Ilustrasi reaktor degradasi zat warna.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Identifikasi Pewarna Azoic dalam Limbah Batik Larutan standar yang digunakan pada identifikasi pewarna azoic dalam limbah batik dibuat melalui reaksi kopling antara Naphtol AS (asam 3-hidroksi-2-naphtoat anilida) dengan garam merah tua R (2-metoksi-5-nitrobenzendiazonium tetraklorozinkat). Dalam pembuatan larutan standar ini, Naphtol AS perlu dilarutkan dalam larutan NaOH yang
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) bertujuan supaya Naphtol AS berubah menjadi spesies yang dapat larut dalam air. Christie [8] melaporkan bahwa fenol dan naphtol biasanya mengalami reaksi kopling dengan komponen diazo (garam diazonium) pada kondisi alkali. Pada kondisi ini, fenol atau naphtol (ArOH) akan dikonversi menjadi anion fenolat atau anion naphtolat (Ar–O-). Spesies anion ini lebih mudah larut dalam air daripada fenol atau naphtol. Sebelum dianalisis dengan inframerah transformasi fourier (FTIR), zat warna azoic dalam larutan standar dan sampel diekstraksi menggunakan metode serapan benang wol. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan zat warna dari air dikarenakan sampel yang akan dianalisis menggunakan FTIR liquid harus bebas dari air. Spektra FTIR larutan standar dan
3
gugus C–N stretching. Dari hasil penentuan gugus fungsi pada spektra FTIR larutan standar dan sampel batik yang telah disebutkan tersebut, maka dapat diketahui pewarna azoic yang diidentifikasi mengandung gugus-gugus khas seperti: gugus – OH, gugus C–H sp3, gugus azo (–N=N–), gugus N–O
Gambar 3. Spektra UV-vis sampel limbah batik dan larutan standar.
simetris, gugus karbonil (C=O) amida serta gugus C–N stretching. Dari pengukuran absorbansi maksimum sampel limbah batik dan larutan standar, dapat diketahui bahwa zat warna azoic muncul pada panjang gelombang maksimum 409 nm. Gambar 3. menunjukkan absorbansi maksimum dari larutan standar dan sampel yang berada pada panjang gelombang 409 nm. Panjang gelombang inilah yang akan digunakan sebagai dasar pengukuran selanjutnya. Gambar 2. Spektra FTIR larutan standar dan sampel.
sampel ditunjukkan melalui gambar 2. Dari spektra FTIR larutan standar dan sampel tersebut, dapat diketahui terdapat serapan pada daerah 3450 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus –OH pada senyawa yang diidentifikasi. Pada spektra FTIR larutan standar terdapat serapan pada daerah 2972,82 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C–H sp3 dari metoksi dan serapan pada daerah ±1400,22 cm-1 yang menunjukkan adanya ikatan –N=N– milik gugus azo. Pada spektra FTIR sampel limbah juga muncul serapan pada kedua daerah bilangan gelombang tersebut (2972,82 cm-1 dan ±1400,22 cm-1), namun serapan yang muncul cukup lemah apabila dibandingkan dengan serapan pada spektra FTIR larutan standar. Serapan pada daerah 1273 cm-1 yang menunjukkan gugus N–O simetris juga muncul pada spektra FTIR larutan standar, namun serapan pada daerah tersebut tidak muncul (sangat lemah) pada spektra FTIR sampel limbah batik. Salah satu puncak cukup tajam yang muncul pada spektra FTIR larutan standar dan sampel batik adalah serapan pada daerah 1641,31 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus karbonil (C=O) amida dan serapan pada daerah 1045,35 cm-1 yang menunjukkan adanya
B. Orde Reaksi dan Konstanta Laju Reaksi dari Degradasi Fotokatalitik Pewarna Azoic Hukum pada reaksi degradasi fotokatalitik pewarna azoic dengan menggunakan hidrogen peroksida diidentifikasi melalui reaksi degradasi pewarna azoic yang dituliskan sebagai berikut: zat warna azoic + OH produk degradasi
(1)
dari persamaan reaksi tersebut, kecepatan oksidasi pewarna azoic disederhanakan menjadi persamaan (2) dan (5) berikut ini: n
(2)
n
(3)
- d[Azoic]/dt = k [Azoic]
- [Azoic]/t = k [Azoic]
n
v = k [Azoic]
(4)
dan log v = log k + n log[Azoic]
(5)
k menunjukkan konstanta laju reaksi degradasi fotokatalitik pewarna azoic. Plot antara log[Azoic] yang merupakan konsentrasi atau absorbansi pewarna azoic terhadap log v akan
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) menghasilkan sebuah garis lurus dengan kemiringan n yang menunjukkan orde reaksi degradasi pewarna azoic. Gambar 4. menunjukkan plot antara log[Azoic] dan log v yang menghasilkan garis lurus dengan gradien (n) yang bernilai sebanding dengan 1.0. Dengan demikian reaksi antara
Gambar 4. Plot log[Azoic] dan log v.
terhadap ln[A0/At] tersebut juga didapatkan konstanta laju (dari gradien persamaan garis) sebesar 0,002 jam-1. Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan konstanta laju yang diperoleh dari penentuan orde reaksi (0,002007 jam-1), konstanta laju untuk sampel 1 (pengenceran 5 kali) tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Tabel 2. merupakan rekapitulasi harga konstanta laju reaksi degradasi pewarna azoic (pengenceran 5 kali) menggunakan beberapa variasi konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2). Hasil pada tabel 2. menunjukkan bahwa degradasi fotokatalitik pewarna azoic dapat berlangsung secara maksimum menggunakan hidrogen peroksida 0,5%. Semakin banyak jumlah hidrogen peroksida yang ditambahkan, maka semakin banyak pula jumlah OH yang mampu mendegradasi Tabel 2. Konstanta laju pseudo-orde satu dari degradasi pewarna azoic menggunakan konsentrasi H2O2 yang berbeda (% v/v) H2O2
pewarna azoic dengan hidrogen peroksida mengikuti pseudoorde satu. Dari persamaan garis yang didapat melalui plot antara log[Azoic] dan log v tersebut juga didapatkan konstanta laju pseudo-orde satu sebesar 0,002007 jam-1 untuk sampel dengan pengenceran 5 kali menggunakan konsentrasi H2O2 0,1%. Harga konstanta laju reaksi yang didapat ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mirkhani dkk. [1] yang mendegradasi pewarna azo Metil oranye (Methyl orange) menggunakan fotokatalis semikonduktor TiO2 anatase dan Tanaka dkk. [9] yang mendegradasi pewarna azo Congo merah (Congo red) menggunakan fotokatalis semikonduktor TiO2 anatase. Kedua penelitian tersebut juga dilakukan pada kondisi pseudo-orde satu dengan konstanta laju sebesar 0,00764 menit-1 [1] dan 0,007 menit-1 [9]. Karena reaksi degradasi pewarna azoic dengan hidrogen peroksida diidentifikasi mengikuti pseudo-orde satu, maka
4
k1 × 103 (jam-1)
0,1% 2,0 0,3% 13,0 0,5% 31,4 k1 = konstanta laju sampel pengenceran 5 kali
pewarna azoic berstruktur molekul kompleks yang stabil. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa degradasi fotokatalitik pewarna azoic dalam limbah cair industri batik mengikuti pseudo-orde satu dengan konstanta laju reaksi yang semakin naik seiring dengan kenaikan konsentrasi H2O2. Kondisi maksimum degradasi fotokatalitik pewarna azoic tercapai pada kondisi menggunakan konsentrasi H2O2 sebesar 0,5%. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis M.S.S. mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Endah Mutiara Marhaeni Putri, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama proses penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2] Gambar 5. Plot t (waktu) terhadap ln[A0/At]. [3]
dilakukan plot antara waktu t terhadap ln[A0/At] sebagai pembuktian yang ditunjukkan pada gambar 5. Dari gambar 5. tersebut dapat diketahui bahwa plot antara waktu t terhadap ln[A0/At] akan menghasilkan garis lurus dengan konstanta korelasi (R2) sebesar 0,9928. Dari persamaan garis yang didapatkan melalui plot antara waktu t
[4]
[5]
V. Mirkhani, S. Tangestaninejad, M. Moghadam, M. H. Habibi, and A. Rostami-Vartooni, “Photocatalytic degradation of azo dyes catalyzed by Ag doped TiO2 photocatalyst,” Journal of the Iranian Chemical Society, vol. 6, no. 3 (2009) 578–587. C. A. Fewson, “Biodegradation of xenobiotic and other persistent compounds: the causes of recalcitrance,” Trends Biotechnol, vol. 6 (1988) 148–153. K. Seshadri, P. L. Bishop, and A. M. Agha, “Anaerobic/aerobic treatment of selected azo dyes in wastewater,” Waste Manage, vol. 15 (1994) 127–137. I. M. Banat, P. Nigam, D. Singh, and R. Marchant, “Microbial decolorization of textile-dye-containing effluents: a review,” Bioresource Technol, vol. 58 (1996) 217–227. N. Barka, S. Qourzal, A. Assabbane, A. Nounah, and Y. Ait-Ichou, “Factors influencing the photocatalytic degradation of Rhodamine B by TiO2-coated non-woven paper,” Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, vol. 195 (2008) 346–351.
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 2, No.1, (2013) 2337-3520 (2301-928X Print) [6]
[7]
[8] [9]
D. Chen and A. K. Ray, “Removal of toxic metal ions from wastewater by semiconductor photocatalysis,” Chemical Engineering Science, vol. 56, no. 4 (2001, Feb.) 1561–1570. A. A. Khodja, T. Sehili, J.-F. Pilichowski, and P. Boule, “Photocatalytic degradation of 2-phenylphenol on TiO2 and ZnO in aqueous suspensions,” Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, vol. 141, no. 2–3 (2001, Jul.) 231–239. R. M. Christie, Colour Chemistry. UK: The Royal Society of Chemistry, (2001). K. Tanaka, K. Padermpole, and T. Hisanaga, “Photocatalytic degradation of commercial azo dyes,” Water Research, vol. 34, no. 1 (2000, Jan.) 327–333.
5