SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOKATALIS CuO/TiO2 YANG DIAPLIKASIKAN PADA PROSES DEGRADASI LIMBAH FENOL
tugas akhir 2 disusun dalam rangka penyelesaian Studi Strata 1 untuk memperoleh gelas Sarjana Sains
Oleh Mastuti Widi Lestari 4350407040 Kimia S1
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tugas Akhir II ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia Ujian Tugas Akhir II Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Semarang, November 2012 Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Subiyanto H.S., M.Si. NIP. 19510421 197501 1 002
Ir. Sri Wahyuni, M.Si. NIP. 19651228 199102 2 001
ii
PERNYATAAN
Penulis menyatakan bahwa yang tertulis di dalam Tugas Akhit II yang berjudul: Sintesis dan Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO 2 yang Diaplikasikan Pada Proses Degradasi Limbah Fenol di susun oleh: nama : Mastuti Widi Lestari NIM
: 4350407040 Benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis
orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam Tugas Akhir II ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, November 2012 Penulis
Mastuti Widi Lestari NIM. 4350407040
iii
PENGESAHAN Tugas Akhir II yang berjudul: ―Sintesis dan Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 yang Diaplikasikan Pada Proses Degradasi Limbah Fenol‖di susun oleh: nama : Mastuti Widi Lestari NIM
: 4350407040
telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Tugas Akhir II FMIPA UNNES pada tanggal
Panitia Ujian, Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. Wiyanto, M.Si. NIP. 19631012 198803 1 001
Dra. Woro Sumarni, M. Si. NIP. 19650723 199303 2 001
Ketua Penguji
Harjito, S.Pd, M.Sc. NIP. 19720623 200501 1 001 Anggota Penguji/ Pembimbing I
Anggota Penguji/ Pembimbing II
Drs. Subiyanto H.S., M.Si. NIP. 19510421 197501 1 002
Ir. Sri Wahyuni, M.Si. NIP. 19651228 199102 2 001
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO A warrior of light knows that the ends do not justify the means, because there are no ends, there are only means. (Paulo Coelho)
PERSEMBAHAN Karya
kecil
ini
kedua orang mendoakanku.
v
ku
tuaku
persembahkan yang
tak
untuk
hentinya
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir II dengan judul Sintesis dan Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 yang Diaplikasikan Pada Proses Degradasi Limbah Fenol. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam penelitian maupun penyusunan Tugas Akhir II. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1.
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
2.
Ketua Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
3.
Bapak Drs. Subiyanto H.S., M.Si., dosen pembimbing I yang telah memberikan ilmu, petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga Tugas Akhir II ini dapat terselesaikan.
4.
Ibu Ir. Sri Wahyuni, M.Si., dosen pembimbing II yang telah memberikan motivasi, bimbingan, pengarahannya dan bantuan baik materiil maupun spiritual sehingga Tugas Akhir II ini menjadi lebih baik.
5.
Bapak Harjito, S.Pd., M.Sc., penguji utama yang telah memberikan pengarahan, motivasi dan bimbingan dalam penyusunan Tugas Akhir II ini.
vi
6.
Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA UNNES yang memberikan bekal ilmu kepada penulis.
7.
Bapak, Ibu atas bantuan doa, finansial dan semangat sehingga Tugas Akhir II ini berjalan lancar.
8.
Nani Maharani dan Binar Panunggal serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan motivasi .
9.
Sahabat-sahabat kimia angkatan 2007 yang sebagai teman bertukar pikiran sekaligus motivator dalam penyelesaian Tugas Akhir II ini.
10. Seluruh teknisi laboratorium kimia UNNES yang dengan kesabaran memberi fasilitas selama penelitian. 11. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyusunan Tugas Akhir II ini. Demikian ucapan terima kasih dari penulis, mudah-mudahan Tugas Akhir II ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan konstribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia penelitian.
Semarang, November 2012
Penulis
vii
ABSTRAK Lestari, Mastuti Widi. 2012. Sintesis dan Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO 2 yang Diaplikasikan Pada Proses Degradasi Limbah Fenol. Tugas Akhir II. Jurusan Kimia, Program Studi Kimia, Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Subiyanto H.S., M.Si., Pembimbing II: Ir. Sri Wahyuni, M.Si. Kata kunci : CuO/TiO2, degradasi fenol. Telah dilakukan sintesis katalis berukuran nanometer CuO/TiO2 dengan metode sol-gel dimodifikasi menggunakan Polietilen Glikol (PEG). CuO/TiO2 yang telah disintesis dan dikarakterisasi kemudian diaplikasikan untuk degradasi fenol. CuO/TiO2 disintesis dengan variasi temperatur kalsinasi, yaitu 400°C, 500°C dan 600°C, yang kemudian diberi nama K-400, K-500 dan K-600. Data XRD menunjukkan bahwa K-400 menunjukkan fasa anatase sedangkan K-500 dan K600 terdapat puncak rutil. Perhitungan ukuran partikel dari data XRD menunjukkan masing-masing ukuran CuO/TiO2, yaitu 6,89 nm, 17,716 nm dan 41,877 nm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur kalsinasi menyebabkan kenaikan ukuran partikel dan terbentuknya fasa rutil. Karakterisasi menggunakan metode BET menunjukkan masing-masing luas permukaan CuO/TiO2 yaitu, 89,2 m2/g, 76,87 m2/g dan 29,94 m2/g. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur kalsinasi akan mengurangi luas permukaan CuO/TiO2. Dari hasil karakterisasi menggunakan XRD dan BET maka dipilih K400 untuk diaplikasikan sebagai katalis. K-400 dikarakterisasi dengan SEM-EDX menunjukkan bahwa morfologi kristal yang terbentuk tidak homogen dan masih terdapat unsur karbon yang berasal dari reaktan pada saat sintesis. Uji aktifitas katalis pada degradasi fenol menunjukkan waktu optimum degradasi pada t=50 menit dengan persentase degradasi 60,625%. Proses degradasi dilakukan menggunakan oksigen sebagai zat pengoksidasi pada reaktor slurry. Hasil analisis GC-MS menunjukkan terbentuknya senyawa 2-propanon yang diduga merupakan hasil oksidasi dari fenol.
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii PERNYATAAN .................................................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN.........................................................................v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi ABSTRAK .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................1 1.1.Latar Belakang ...................................................................................................1 1.2.Permasalahan......................................................................................................3 1.3.Tujuan Penelitian ...............................................................................................4 1.4.Manfaat Penelitian .............................................................................................4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................5 2.1 Fenol ...................................................................................................................5 2.2 Pengolahan Limbah Fenol dengan Degradasi ....................................................7 2.3 Proses Degradasi Katalitik Limbah Fenol........................................................10 2.4 Katalis ..............................................................................................................12 2.5 Nanopartikel CuO/TiO2 untuk Proses Degradasi.............................................14 2.6 Pengukuran Kadar Fenol Menggunakan Spektrofotometer UV-Visible .........16 BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................18 3.1 Populasi dan Sampel ........................................................................................18 3.2 Variabel Penelitian ...........................................................................................18 3.2.1 Variabel Bebas ........................................................................................18
ix
3.2.2 Variabel Terikat ......................................................................................18 3.2.3 Variabel Terkendali.................................................................................18 3.3 Rancangan Penelitian .......................................................................................19 3.3.1 Bahan dan Alat ........................................................................................19 3.3.1.1 Bahan ..........................................................................................19 3.3.1.2 Alat ..............................................................................................19 3.4 Cara Kerja ........................................................................................................20 3.4.1 Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol-Gel Modifikasi .................20 3.4.2 Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 ......................................................21 3.4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2 .........................21 3.4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori CuO/TiO2 .............................................................21 3.4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2 ..........................22 3.4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol ..................23 3.4.4 Pengujian Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar ..23 BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .....................................26 4.1 Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol-Gel Modifikasi ..........................26 4.2 Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 ...............................................................27 4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2 .....................................28 4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari Pori dan Volume Pori CuO/TiO2 .........................................................................30 4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2........................................31 4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol ...........................35 4.4 Analisis Senyawa Hasil Degradasi Fenol ........................................................38 BAB 5. PENUTUP................................................................................................40 5.1 Kesimpulan ......................................................................................................40 5.2 Saran .................................................................................................................41 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................42 LAMPIRAN ..........................................................................................................46
x
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
2.1
Struktur fenol .............................................................................................. 6
2.2
Reaksi oksidasi fenol................................................................................... 9
2.3
Struktur kristal CuO .................................................................................. 14
2.4
Struktur fase Kristal TiO ........................................................................... 15
2.5
Reaksi pengompleksan fenol dan 4-aminoantipirin .................................. 17
3.1
Rangkaian alat proses oksidasi katalitik ................................................... 20
4.1
Pola difraksi sinar-X CuO/TiO2 ................................................................ 28
4.2
Foto SEM K-400 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali ................ 32
4.3
Foto SEM CuO/TiO2 dalam Manivel et al.,2010 dengan perbesaran 3000 kali .................................................................................................... 32
4.4
Spektrum EDX K-400 ............................................................................... 33
4.5
Kurva persentase degradasi berbanding waktu degradasi ......................... 36
4.6
Kromatogram senyawa hasil degradasi fenol ........................................... 38
4.7
Spektrum massa senyawa hasil degradasi fenol........................................ 39
xi
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
2.1
Penelitian oksidasi katalitik senyawa fenol............................................... 12
4.1
Perubahan warna dan kenampakan CuO/TiO2 berdasarkan perlakuan temperatur kalsinasi .................................................................................. 27
4.2
Komposisi fase kristal TiO2 pada CuO/TiO2 ............................................ 29
4.3
Ukuran partikel kalsinasi CuO/TiO2 dari analisis XRD ........................... 30
4.4
Hasil karakterisasi luas permukaan spesifik, rerata jari-jari pori dan volume total CuO/TiO2 ............................................................................. 31
4.5
Komposisi padatan CuO/TiO2................................................................... 33
4.4
Analisis kadar fenol sisa degradasi ........................................................... 36
4.5
Analisis kromatogram senyawa hasil degradasi fenol .............................. 38
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Skema Cara Kerja .................................................................................. 51 2. Hasil Karakterisasi Menggunakan XRD ................................................ 55 3. Perhitungan Ukuran Kristal.................................................................... 58 4. Hasil Karakterisasi Menggunakan BET ................................................. 60 5. Hasil Karakterisasi Menggunakan SEM-EDX....................................... 66 6. Perhitungan Kadar Fenol Sisa Degradasi ............................................... 68 7. Hasil Analisis Fenol Sisa Degradasi Menggunakan GC-MS................. 70 8. Dokumentasi Penelitian ......................................................................... 73
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Aktivitas perindustrian yang semakin pesat menghasilkan berbagai jenis
limbah logam berat dan organik yang dapat menjadi permasalahan serius bagi kesehatan dan lingkungan (Slamet et al., 2005). Limbah yang mengandung senyawa beracun tidak dapat digunakan kembali secara ekonomi dan pada banyak hal, pengolahan secara biologis tidak dapat dilakukan karena limbah tidak biodegradable (Sadana dan Katzer; dalam Massa et al., 2004). Komponen-komponen organik yang berbahaya diantaranya adalah fenol yang terdapat dalam limbah cair sebagai hasil buangan dari industri penyulingan minyak bumi, gas, farmasi, tekstil, dan industri rumah tangga. Limbah fenol berbahaya karena merupakan limbah organik yang termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya Beracun (B3) (Swantomo et al., 2009). Senyawa ini dapat dikatakan aman bagi lingkungan jika konsentrasinya berkisar antara 0,5 s.d 1,0 mg/L sesuai dengan KEP No.51/MENLH/10/1995 dan ambang batas fenol dalam air baku air minum adalah 0,002 mg/L seperti dinyatakan oleh BAPEDAL (Slamet et al., 2005). Beberapa metode telah dilakukan untuk pengolahan limbah; recovery, pengabuan, adsorbsi, pengolahan secara biologis dan oksidasi kimia. Oksidasi senyawa organik dalam katalis padat telah dikembangkan. Senyawa organik dapat diubah menjadi karbondioksida dan air pada temperatur dan tekanan yang relatif
1
2
rendah melalui proses oksidasi katalitik (Stuber et al., 2001). Sebagai oksidator, digunakan gas seperti oksigen, ozon, H2O2, permanganat, klorin dan hipoklorit pada tekanan atmosfer dan diatas tekanan atmosfer pada beberapa katalis seperti mangan oksida (Hamilton et al.; dalam Harmankaya dan Gündüz, 1998). Perkembangan penggunaan katalis untuk proses oksidasi katalitik masih belum memuaskan. Seperti misalnya, katalis yang digunakan untuk mengoksidasi hanya bekerja pada konsentrasi rendah dalam media encer dan tidak dapat dipisahkan pada akhir proses (Sadana dan Katzer; dalam Massa et al., 2004). Umumnya katalis yang digunakan adalah katalis heterogen. Katalis heterogen yang digunakan biasanya dalam bentuk logam murni atau oksidanya. Kesulitan yang sering dijumpai dalam penggunaan katalis logam murni antara lain memiliki stabilitas termal yang rendah dan mudah mengalami penurunan luas permukaan akibat pemanasan dan sintering. Hal inilah yang mendorong untuk memperbaiki kinerja dan mengatasi kelemahan katalis logam murni dengan mendispersikan komponen logam pada pengemban yang memiliki luas permukaan besar. Pemakaian pengemban dapat memperpanjang waktu pakai katalis dan luas permukaan pengemban yang besar akan meningkatkan dispersi logam. Pengemban yang sering digunakan adalah senyawa logam transisi (Sariman; dalam Wardhani, 2009). Katalis heterogen berbasis tembaga oksida seperti CuO/Al2O3 mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam proses oksidasi fenol dan beberapa senyawa berbahaya lainnya (Luna et al., 2009). Pada temperatur 160-250oC, tembaga oksida merupakan katalis yang paling aktif untuk oksidasi fenol dan aktivitasnya
3
dapat bertambah jika dicampur dengan Co, Zn dan Ti (Pintar dan Levec, 1992; dalam Silva et al., 2003). Dari pernyataan tersebut, akan dilakukan penelitian yang bertujuan mensintesis nanokatalis CuO/TiO2 dengan menambahkan larutan polimer Polyethylene Glycol (PEG). PEG berfungsi sebagai zat pendispersi. Katalis yang disintesis diharapkan mampu menghasilkan katalis dengan luas permukaan yang besar dan dapat diaplikasikan untuk degradasi limbah fenol. Kelebihan dari metode ini adalah prosesnya yang tidak rumit, tidak membutuhkan waktu yang lama dan ukuran kristal mencapai nanometer (1-100 nm). Katalis dengan kristalinitas yang baik dan luas permukaan yang besar diperoleh dengan melakukan variasi terhadap temperatur pemanasan. Variasi temperatur dilakukan untuk mendapatkan karakter kristal terbaik. Apabila temperatur kalsinasi terlalu rendah, maka PEG tidak akan terdekomposisi sempurna sehingga menjadi pengotor bagi kristal yang dihasilkan. Sedangkan temperatur yang terlalu tinggi, menyebabkan hilangnya sebagian komponen penyusun kristal, dalam hal ini CuO dan TiO2. Untuk mengetahui perbandingan komposisi CuO dan TiO2 pada katalis maka perlu diuji menggunakan SEM-EDX. Kristalinitas yang baik, luas permukaan yang besar dan komposisi antara CuO dan TiO2 yang sesuai, diharapkan mampu diperoleh hasil degradasi fenol yang baik pula.
1.2
Perumusan Masalah Beberapa hal penting yang ingin diketahui dari degradasi dengan katalis
CuO/TiO2 adalah :
4
1. Bagaimana pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakter kristal yang dihasilkan? 2. Berapa pengaruh variasi waktu degradasi limbah fenol menggunakan katalis CuO/TiO2 terhadap konsentrasi fenol sisa.
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pengaruh variasi temperatur kalsinasi CuO/TiO2 terhadap karakter kristalnya. 2. Mengetahui pengaruh waktu degradasi terhadap konsentrasi fenol tersisa dari proses degradasi menggunakan katalis CuO/TiO2.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi mengenai cara sintesis nanokatalis CuO/TiO2 dengan menggunakan larutan polimer. 2. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi temperatur kalsinasi CuO/TiO2 terhadap karakteristik kristal. 3. Memberikan informasi mengenai proses degradasi katalitik limbah fenol menggunakan katalis padat.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Fenol Pencemaran lingkungan karena adanya limbah perlu mendapat perhatian
serius, salah satunya pencemaran perairan yang disebabkan oleh limbah cair. Limbah cair mengandung logam berat dan senyawa aromatik. Pada konsentrasi tertentu, limbah ini dapat merusak ekosistem perairan. Industri di bidang farmasi, petrokimia, tekstil, cat dan pestisida menghasilkan limbah yang mengandung senyawa organik, salah satunya adalah fenol (Wardhani, 2009). Dalam industri tekstil, fenol terdapat dalam zat warna sebagai senyawa organik tidak jenuh. Zat warna tekstil merupakan gabungan dari senyawa organik tidak jenuh, kromofor dan auksokrom (Sari, 2011). Fenol adalah senyawa aromatik yang mengandung gugus hidroksi yang terikat pada cincin benzena. Pada keadaan murni, fenol berbentuk padatan putih. Rumus molekul fenol adalah C6H5OH, mempunyai berat molekul 94,12 g/mol, densitas 1,0576 g/cm3 pada 20°C dan kelarutannya dalam air 87 g/L pada 25°C (Baron; dalam Sari, 2011). Senyawa fenol mempunyai titik didih yang tinggi karena adanya ikatan hidrogen. Titik leleh fenol sebesar 43°C sedangkan titik didihnya yaitu 182°C. Fenol larut dalam air tetapi sebagian besar turunan fenol tidak larut dalam air (Ruswiyanto; dalam Astutik, 2010). Dalam Prabowo dan Wijayanto (2010), disebutkan bahwa ukuran molekul fenol adalah 6Å. Gugus hidroksil dalam fenol menyebabkan kereaktifannya tinggi. Fenol
5
6
memiliki sifat yang cenderung asam artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5Oyang dapat dilarutkan dalam air dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya. Sifat asam fenol dapat dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH. Fenol dapat melepaskan H+ pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu (Fessenden dan Fessenden, 1992).
OH
Gambar 2.1. Struktur Fenol (Fessenden dan Fessenden, 1992) Jumlah fenol yang besar dalam air dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut sehingga fenol disebut polutan. Akibat berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam sistem perairan, akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas lagi, misalnya menganggu ekosistem kehidupan hewan dan tumbuhan dalam air, juga dapat mematikan secara langsung bakteri aerob (Baron; dalam Sari, 2011). Senyawa fenol dapat memberikan efek yang buruk terhadap manusia pada konsentrasi tertentu, antara lain berupa kerusakan hati dan ginjal, penurunan tekanan darah, pelemahan detak jantung, hingga kematian. Senyawa ini dapat dikatakan aman bagi lingkungan jika konsentrasinya berkisar antara 0,5 s.d 1,0 mg/L sesuai dengan KEP No.51/MENLH/ 10/1995 dan ambang batas fenol dalam baku air minum adalah 0,002 mg/L seperti dinyatakan oleh BAPEDAL (Slamet et al., 2005).
7
2.2
Pengolahan Limbah Fenol dengan Degradasi Pada tahun-tahun terakhir, banyak dilakukan solusi pengolahan limbah
fenol agar dapat dibuang ke saluran umum dengan aman. Metode pengolahan limbah cair secara umum dibagi menjadi tiga, pengolahan secara biologi, fisika dan secara kimia. Pengolahan limbah secara biologi yang sering digunakan adalah pengolahan limbah dengan lumpur aktif. Pengolahan limbah secara fisik, meliputi flotasi, filtrasi, aerasi, ozonisasi dan membran. Sedangkan pengolahan limbah secara kimia, meliputi penukaran ion, elektrolisis, adsorpsi, UV dan oksidasi (Sari, 2009). Pengolahan limbah fenol secara biologi tidak dapat dilakukan apabila fenol dalam konsentrasi tinggi sedangkan pengolahan limbah secara fisika membutuhkan biaya yang relatif mahal, proses operasi yang sukar dan membutuhkan tenaga yang besar. Maka dari itu, dipilih pengolahan limbah fenol secara kimiawi. Pengolahan limbah kimiawi secara oksidasi memberikan solusi alternatif saat konsentrasi fenol yang terkandung dalam limbah tinggi dan senyawa harus diolah pada suhu yang tinggi. Proses oksidasi kimiawi dimaksudkan untuk mendegradasi senyawa fenol menjadi CO2 dan H2O yang lebih ramah lingkungan. Maka dari itu, dapat juga disebut sebagai proses degradasi. Merujuk pada Harmankaya-Gunduz (1998), proses oksidasi dilakukan dengan mereaksikan senyawa organik dengan oksigen sebagai sumber oksidan. Sumber oksidan lain dapat berupa ozon, H2O2, permanganat, klorin dan hipoklorit. Menurut Devlin dan Harris dalam Luna et al. (2009), degradasi fenol dimulai dengan pembentukan hidroquinon dan katekol. Senyawa yang terbentuk
8
ini kemudian teroksidasi selama proses reaksi untuk menghasilkan senyawa organik seperti quinon, aldehida dan keton. Asam-asam organik, CO2 dan produk polimerisasi biasanya terbentuk pada akhir reaksi. Devlin dan Harris telah melakukan
analisis
menyeluruh
baik
untuk
mengindentifikasi
senyawa
intermediet yang terbentuk dan juga untuk mengemukakan jaringan reaksi oksidasi fenol, yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Proses oksidasi senyawa organik membutuhkan waktu yang panjang (sekitar 1 jam), temperatur yang relatif tinggi (200-450°C) dan tekanan yang besar (70-250 atm) (Meytal-Sheintuch, 1998). Dalam studi tentang proses oksidasi fenol, terdapat dua keadaan yang berbeda, yaitu keadaan induksi dan keadaan tetap (steady state). Lamanya keadaan induksi diketahui bergantung pada kondisi proses, seperti termperatur, tekanan parsial oksigen dan penambahan katalis. Penambahan parameter-parameter tersebut dapat menurunkan lama waktu saat keadaan induksi (Harmankaya-Gunduz, 1998) dan selektivitas dari pembentukan CO2 dapat dipengaruhi oleh tipe katalis dan kondisi operasional (Katzer et al.; dalam Luna et al., 2009).
9
fenol
katekol
hidrokuinon
o-benzokuinon p-benzokuinon
asam propanoat
asam 2,5-diokso3-heksenadionat
asam mukonat
asam suksinat
asam akrilik 1,4-diokso2-butena
asam 4-okso-2butenoat
asam maleat asam 3-hidroksi-propanoat
asam 3-okso-propanoat
glioksal
asam glioksilat asam oksalat asam malonat
asam formiat
asam asetat
Gambar.2.2. Reaksi oksidasi fenol (Devlin dan Harris; dalam Eftaxias (2002)
10
Katalis telah diterapkan dalam proses proses oksidasi senyawa organik, namun perkembangannya belum optimal. Laju reaksi relatif lambat karena belum ditemukan katalis padat yang cocok dan mampu beroperasi secara stabil. Selain itu, proses tersebut mahal apabila digunakan untuk mencapai oksidasi sempurna senyawa organik menjadi CO2 dan H2O, maka diperlukan alternatif oksidasi parsial agar dapat diolah lebih lanjut menggunakan metode lain (misalnya secara biologi) (Hamilton et al.; dalam Harmankaya-Gunduz, 1998). Penambahan katalis yang cocok sangat membantu untuk memperlunak kondisi operasi selama proses oksidasi limbah fenol.
2.3
Proses Degradasi Katalitik Limbah Fenol Proses degradasi katalitik sering disebut sebagai proses oksidasi katalitik,
atau CWAO (Catalytic Wet Air Oxidation). Oksidasi katalitik membutuhkan energi yang lebih rendah dan dapat mempercepat laju reaksi dibandingkan oksidasi non-katalitik. Proses oksidasi katalitik juga fleksibel digunakan untuk berbagai pengolahan polutan organik maupun anorganik, seperti nitrogen (N), halogen (X), belerang (S) dan fosfor (P). Selain itu, katalis yang digunakan dapat diregenerasi (Golestani et al., 2011). Mekanisme reaksi oksidasi katalitik senyawa fenol telah dipelajari dalam bentuk senyawa murni. Fenol dapat didegradasi walaupun prosesnya diikuti pembentukan sejumlah senyawa intermediet. Distribusi senyawa intermediet yang mirip satu sama lain ditunjukkan pada kehadiran katalis padat. Pembentukan katekol, hidrokinon, asam maleat dan asam oksalat terjadi pada proses
11
menggunakan katalis tembaga oksida (Eftaxias, 2002). Katalis yang biasa digunakan dalam proses ini adalah katalis heterogen. Katalis heterogen yang telah digunakan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu logam mulia berpenyokong, oksida logam, dan karbon aktif. Katalis logam mulia meliputi Pt, Pd, Ru dan Ag dengan berpenyangga TiO2, γ-Al2O3, MnO2, CeO2 dan ZrO2. Sedangkan katalis oksiga logam meliputi CuO, CoO, Cr2O3, MnO2, Fe2O3, ZnO dan TiO2 (Luna et al., 2009). Pada aplikasinya, katalis logam mulia biasanya lebih stabil, namun dari segi ekonomi, katalis ini cenderung mahal. Katalis oksida logam cukup efisien dalam proses degradasi katalitik, namun memiliki ketidaksempurnaan yaitu komponen aktif biasanya dapat terlepas dari katalis dikarenakan kondisi pada saat reaksi (Pestunova, 2003). Pada Tabel 2.1, ditunjukkan penelitian mengenai proses degradasi katalitik senyawa fenol dengan menggunakan berbagai katalis.
12
Tabel 2.1. Penelitian oksidasi katalitik senyawa fenol Peneliti
Katalis yang Digunakan
Hasil
Harmankaya dan Gunduz, 1998
Membandingkan keaktifan lima katalis yaitu : - CuO-ZnO/Al2O3 - CuO/Al2O3 - CuO/Silika gel - MnO2 - V2O5
Katalis CuO-ZnO/Al2O3 adalah katalis yang paling aktif. Laju reaksi pada periode induksi meningkat seiring dengan bertambahnya waktu.
Pestunova et al., 2003
Membandingkan katalis logam murni Fe, Mn dan Cu masing-masing berpenyangga α-Al2O3, TiO2 dan CeO2
Sumber oksidan adalah H2O2. Katalis Cu adalah katalis yang paling aktif. Namun katalis Fe berpenyangga α-Al2O3 cukup aktif, paling selektif pada pembentukan CO2.
Wardhani, 2009
ZnO/Zeolit Alam
Konsentrasi maksimum ZnO yang terdopan pada zeolit adalah 4,67 mmol/gram dengan 36,57 % fenol terdegradasi.
Golestani et al., Komposit MnO2/CeO2 2011
2.4
Oksidasi katalitik dalam fixed bed dengan temperature 80°C dan tekanan 0,5 MPa, mendegradasi fenol sebesar 62,3 %.
Katalis Katalis adalah substansi yang dapat meningkatkan laju reaksi pada suatu
reaksi kimia yang mendekati kesetimbangan namun tidak terlibat secara permanen dalam reaksi tersebut (Agustine, 1996). Jadi reaksi katalitik adalah reaksi yang mengalami perubahan laju reaksi yang disebabkan oleh keberadaan katalis. Katalis yang memperlambat laju reaksi disebut sebagai inhibitor (Triyono, 2002). Katalis hanya mempercepat reaksi, tidak memulai reaksi yang secara termodinamika tidak dapat berlangsung. Entalpi reaksi dan juga faktor-faktor termodinamika yang lain hanya merupakan keadaan alami dari reaktan dan produk sehingga tidak dapat berubah oleh adanya katalis. Faktor kinetik yang
13
dipengaruhi oleh katalis adalah laju reaksi, tenaga pengaktifan dan keadaan transisi (Triyono, 2002). Katalis juga mampu memperbesar kemungkinan terjadinya tumbukan efektif antara molekul reaktan, karena molekul-molekul reaktan akan teradsorpsi pada permukaan aktif katalis sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan antar molekul-molekul reaktan akan semakin besar (Ulyani, 2008). Menurut Suwanprasop (2005), proses keseluruhan reaksi katalitik dibagi menjadi tujuh, meliputi : (1) Difusi reaktan melalui batas layer pada permukaan katalis. (2) Difusi reaktan ke dalam pori-pori. (3) Adsorpsi reaktan pada permukaan dalam pori-pori katalis. (4) Reaksi kimia pada permukaan katalis. (5) Desorpsi produk dari permukaan katalis. (6) Difusi produk keluar dari pori-pori. (7) Difusi produk menjauh dari katalis melalui batas layer dari katalis menjadi fase gas. Komponen aktif merupakan pusat aktif katalis yang berfungsi untuk mempercepat dan mengarahkan reaksi yang berhubungan dengan aktivitas dan selektivitas. Sedangkan pengemban memberikan tiga fungsi yang penting pada sistem katalis. (1) menambah luas permukaan dari logam atau oksida logam dengan menyediakan matriks yang memungkinkan penyebarannya sebagai partikel yang sangat kecil. (2) mencegah sintering pada material katalis aktif, menambah sifat hidrofobik dan kondisi termal, hidrolitis, dan stabilitas kimia. (3) Kestabilan penyangga akan sangat mempengaruhi umur katalis (Meytal dan Sheintuch, 1998). Dalam Meytal-Sheintuch (1998) dituliskan, katalis yang digunakan pada
14
proses oksidasi katalitik memiliki sifat sebagai berikut : 1)
Menghasilkan tingkat oksidasi yang tinggi,
2)
Non-selektif dan menunjukkan oksidasi lengkap,
3)
Stabil secara fisik dan kimiawi dalam larutan asam yang panas,
4)
Mempertahankan aktivitas yang tinggi untuk penggunaan jangka panjang dan insensitif terhadap racun dalam aliran,
5)
2.5
Kuat secara mekanik dan tahan erosi.
Nanopartikel CuO/TiO2 untuk Proses Degradasi Tembaga mempunyai dua macam oksida yang telah diketahui yaitu
tenorite (CuO) dan cuprite (Cu2O). Keduanya termasuk dalam semikonduktor tipe –p (Johan et al., 2011). CuO adalah senyawa semikonduktor dengan struktur monoklinik. CuO merupakan anggota paling sederhana senyawa tembaga dan menunjukkan berbagai sifat fisik yang berguna seperti superkonduktivitas suhu tinggi, efek korelasi elektron dan dinamika putar. Sebagai semikonduktor tipe-p, CuO telah digunakan dalam banyak aplikasi seperti dalam gas sensor, katalis, baterai, superkonduktor suhu tinggi, konversi energi surya dan bidang emisi (Ghane et al., 2010). Gambar 2.3 menunjukkan struktur kristal CuO.
Gambar 2.3 Struktur kristal CuO (Wang, 2006)
15
Dalam Wang (2006), CuO murni adalah sebuah padatan hitam dengan kepadatan 6,4 g/cm3, mempunyai titik leleh yang tinggi yaitu 1330°C dan tidak larut dalam air. Titanium dioksida (TiO2) adalah senyawa yang tersusun atas ion Ti4+ dan O2 dalam konfigurasi oktahedron. Kristal TiO2 mempunyai tiga macam bentuk yang telah dikenal, yaitu rutil, anatase, dan brukit, tetapi hanya rutil dan anatase yang mudah diamati di alam sedangkan brukit sulit diamati karena tidak stabil (Wijaya et al., 2006). Fase brukit dan anatase berubah menjadi rutil ketika sampel dikalsinasi pada suhu yang tinggi. Akan tetapi, brukit dan anatase dapat stabil pada temperatur tinggi jika terdapat dopan pada saat sintesisnya, yang juga berguna untuk menghindari berubah menjadi fase rutil (Fransisco dan Mastelaro, 2002). Jenis struktur yang berbeda berpengaruh pada perbedaan massa jenis (3,9 g/cc untuk anatase dan 4,2 g/cc untuk rutil), dan hal ini berpengaruh pada luas permukaan dan sisi aktif dari TiO2 tersebut (Arutanti et al., 2009). Gambar 2.4 menunjukkan struktur kristal fase-fase TiO2.
Rutile Anatase Gambar 2.4 Struktur Fase Kristal TiO2 (Morales, 2007)
16
TiO2 dalam bidang industri berperan sebagai pigmen, adsorben, pendukung katalitik, dan semikonduktor. Senyawa ini mempunyai banyak kelebihan, antara lain nontoksik, stabil, nonkorosif, dan ramah lingkungan (Wijaya et al., 2006). Nanokatalis CuO/TiO2 telah diaplikasikan dalam beberapa penelitian. Lee et al. (2002) mensintesis tembaga oksida tersupport TiO2 dengan metode sol-gel kemudian diaplikasikan pada proses pembakaran benzena. CuO yang tersebar pada permukaan TiO2 berperan sebagai situs aktif pada dekomposisi oksidatif benzena. Aktifitas katalitik meningkat pada katalis yang mengandung TiO2
-
anatase. Dalam penelitian Slamet et al. (2007) hasil karakterisasi XRD CuO/TiO2 pada peak 2θ=35,6° menunjukkan fase CuO dimana prekursor Cu yang digunakan adalah Cu-Asetat dan Cu-Nitrat. Secara fotokatalitik, katalis CuO/TiO2 mempunyai kemampuan mendegradasi fenol lebih baik dibandingkan hanya TiO2 yaitu sebesar 97,18%, sedangkan pada TiO2 sebesar 93,81%.
2.6
Pengukuran Kadar Fenol Menggunakan Spektrofotometer UV-Visible Pengukuran kadar fenol secara spektrofotometer UV-Vis menggunakan 4-
aminoantipirin sebagai zat pengompleks. Prinsip kerjanya adalah semua fenol dalam air akan bereaksi dengan 4-aminoantipirin pada pH 7,9±0,1 dalam suasana larutan kalium ferisianida dan akan membentuk warna kecoklatan dari antipirin (SNI 06-6989.21-2004 Cara Uji Fenol secara spektrofotometri). Menurut Kidak dan Ince; dalam Lestari (2011) reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
17
CH3
OH
O H2N
N N
H3C
C6 H 5
C6 H5 +
CH3
N
OH-
N
N O
CH3 Amino antipirin
[Fe(CN)6]3- + 6[AMPH]-
O-
Phenol
[AMPH]- (Amino antipirin phenol)
[Fe(AMPH)6]3- +
CN-
Amino antipirin Fe3+
Gambar 2.5 Reaksi Pengompleksan fenol dan 4-aminoantipirin Sebelum pengukuran kadar fenol sisa, kompleks fenol diukur panjang gelombang maksimumnya. Dalam Ali dan Siew (2006), untuk menghitung persentase degradasi (%D) digunakan persamaan: %𝐷 =
𝐶0 − 𝐶𝑡 . 100% 𝐶0
dengan C0 adalah pada saat 0 menit (mula-mula) dan Ct adalah konsentrasi pada saat t menit.
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah larutan fenol yang telah mengalami
proses degradasi katalitik. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah cuplikan dari larutan fenol yang telah mengalami proses degradasi katalitik.
3.2
Variabel Penelitian
3.2.1
Variabel Bebas Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka variabel yang
akan dipelajari dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Variasi temperatur kalsinasi yaitu 400°C, 500°C dan 600oC.
2)
Variasi waktu proses degradasi limbah fenol dengan katalis CuO/TiO2 yaitu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit.
3.2.2
Variabel Terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah :
1. Karakter Kristal CuO/TiO2 yang meliputi tipe kristal, ukuran kristal, luas permukaan dan bentuk morfologi kristal. 2. Konsentrasi limbah fenol yang berkurang setelah proses degradasi. 3.2.3
Variabel Terkendali Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah : 1. Waktu pengadukan pada saat sintesis katalis.
18
19
2. Temperatur pada saat proses degradasi limbah fenol dan laju alir gas oksigen.
3.3
Rancangan Penelitian
3.3.1
Bahan dan Alat
3.3.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cu(NO3)2.3H2O p.a (E.Merck), Titanium Isopropoxide (TiIPP) p.a (Sigma Aldrich, 97%), Polyethilene glycol (PEG) (BM 4000), HCl p.a (E.Merck, 37%), Etanol p.a (E.Merck, 99%), Fenol p.a (E.Merck), NH3 p.a (E.Merck, 25%), K2HPO4 p.a(E.Merck), KH2PO4 p.a (E.Merck), 4-aminoantipirin p.a (E.Merck), K3Fe(CN)6 p.a (E.Merck), larutan Ca(OH)2, aquademin, dan gas oksigen (PT. Samator Gas). 3.3.1.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas (Pyrex), magnetik stirrer (IKAMAG), cawan crus, termometer, hot plate, oven (Memmert), furnace (Barnstead Thermolyne 1400), X-Ray Diffractometer (XRD) (PANalytical PW3373), Gas Sorption Analyzer NOVA
1000
(Quantachrome),
Gas
Chromatography-Mass
Spectrophotometer (GC-MS) (Shimadzu QP-2010s), Scanning Electron Microscope Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDX) (LEO 1530VP) dan Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu). Rangkaian alat
20
proses oksidasi katalitik limbah fenol ditunjukkan seperti pada Gambar 3.1. termometer Air keluar Pendingin air
Labu leher 3
Air masuk Gas keluar Air kapur
Magnet pengaduk Penangas air
O2
Hotplate stirrer
Gambar 3.1. Rangkaian alat proses oksidasi katalitik
3.4
Cara Kerja
3.4.1
Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol – Gel Modifikasi Metode preparasi nanokatalis CuO/TiO2 diadaptasi dari penelitian Tuan et
al. (2009) dan Liherlinah et al. (2009). Pada gelas kimia A, garam Cu(NO3)2.3H2O sebanyak 0,76 gram dilarutkan dengan 2,2 ml aquademin. Pada gelas kimia B, campuran 3,6 ml etanol dan 1,2 ml HCl diaduk selama 30 menit. Kemudian ditambahkan 18,4 ml TiIPP. Campuran diaduk sebentar dan ditambahkan dengan 4,5 ml aquademin. Campuran pada gelas B diaduk selama 1 jam. Larutan pada gelas piala A dimasukan kedalam gelas piala B sambil terus diaduk. Campuran ditambahkan dengan larutan PEG (5 gram dalam 50 ml aquademin). Penambahan PEG dilakukan tetes demi tetes sambil terus diaduk. Hasilnya dituang ke cawan porselin untuk diuapkan ke dalam oven. Setelah
21
kering, campuran dipindahkan ke dalam cawan krus untuk dipanaskan pada suhu 400°C, 500°C dan 600°C selama 2 jam. Padatan CuO/TiO2 yang dihasilkan dibiarkan dingin kemudian digerus menggunakan lumpang alu sampai halus. 3.4.2
Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 Nanokatalis CuO/TiO2 yang telah disintesis dikarakterisasi menggunakan
XRD untuk mengetahui fase kristal, kristalinitas dan ukuran kristal, Gas Sorption Analyzer NOVA-1000 untuk mengetahui luas permukaan, rerata jari-jari pori dan volume pori, dan SEM-EDX untuk melihat morfologi permukaan kristal dan komposisinya. 3.4.2.1
Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2 Fase kristal dan ukuran CuO/TiO2 didapat dari analisis kromatogram XRD. Penentuan ukuran kristal dilakukan dengan metode persamaan Scherrer : 𝐷≈𝐾
𝜆 𝐵 𝑐𝑜𝑠𝜃𝐵
dengan D adalah ukuran (diameter) kristalin, λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, θB adalah sudut Bragg, B adalah FWHM satu puncak yang dipilih dan K adalah konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang umumnya dipakai untuk K≈0,9 (Abdullah dan Khairurrijal, 2010). 3.4.2.2
Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori Penentuan luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori katalis menggunakan instrumen Sorption Analyzer NOVA 1000 dengan metode BET (Brunauer-Emmet-Teller). Pada pengukuran BET, sampel
22
divakumkan agar tidak ada atom-atom gas yang menempel pada permukaan sampel. Gas dalam jumlah tertentu dialirkan dan menghasilkan tekanan awal P0. Suhu diatur serendah mungkin dan tetap konstan. Sebagian atom gas lalu menempel pada permukaan sampel (teradsorpsi). Semakin lama jumlah molekul gas yang menempel pada permukaan sampel semakin banyak dan hingga akhirnya seluruh permukaan sampel tertutup penuh oleh molekul gas. Tidak ada molekul gas yang teradsorpsi lebih lanjut sehingga tekanan dalam kamar tidak berubah lagi atau disebut dengan tekanan kesetimbangan (P). Perbedaan tekanan awal (P0) dan tekanan kesetimbangan (P) memberikan informasi jumlah atom gas yang diadsorpsi permukaan sampel (Abdullah dan Khairurrijal, 2010). Alur perolehan data pengukuran sampel dengan metode BET dan perhitungan data BET dicantumkan dalam lampiran. 3.4.2.3
Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2 Analisis morfologi CuO/TiO2 menggunakan instrumen SEM. Sedangkan EDX digunakan untuk menentukan persen komposisi Cu pada Titania. CuO/TiO2 yang dikarakterisasi menggunakan SEM-EDX adalah salah satu dari hasil sintesis CuO/TiO2 dengan variasi temperatur kalsinasi. Hasil analisis SEM adalah gambar foto kenampakan padatan, sedangkan EDX adalah kurva komposisi penyusun sampel. Foto kenampakan yang didapat, menunjukkan homogenitas morfologi kristal pada sampel dan adanya sintering yang mungkin
23
terjadi. Sedangkan pada kurva komposisi, akan ditunjukkan komposisi persen massa dari CuO dan TiO2. Dari data ini, maka dapat dihitung massa CuO yang teremban pada TiO2. Pada penelitian diharapkan adanya sejumlah CuO yang teremban pada TiO2, namun tidak melampaui batas acuan massa CuO dalam sintesis sebesar 5% dari massa nanokatalis CuO/TiO2. 3.4.3
Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol Larutan fenol 100 ppm sebanyak 250 ml ditambah dengan 0,5 gram katalis
CuO/TiO2 ditempatkan ke dalam labu leher tiga alas bulat. Campuran diaduk hingga homogen. Botol berisi larutan Ca(OH)2 dihubungkan pada reaktor labu alas bulat untuk mengetahui adanya gas CO2 yang terbentuk. Campuran fenol dan katalis dipanaskan hingga temperatur 70°C. Pada saat temperatur mencapai 70°C, gas oksigen dialirkan dengan kecepatan 200 ml/menit. Pemanasan dilanjutkan hingga suhu 90°C. Reaksi dilakukan dengan variasi waktu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit pada suhu 90°C. Setelah reaksi selesai, campuran dibiarkan dingin dan di-sentrifuge, selanjutnya filtrat sebanyak 10 ml diencerkan dengan aquademin sampai volume 200 ml. Larutan ini digunakan sebagai sampel pada uji fenol terdegradasi menggunakan Spektrofotometer UVVis. Untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam fenol terdegradasi, filtrat diuji menggunakan GC-MS. 3.4.4
Pengujian Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar Metode adisi standar dilakukan dengan menambahkan larutan standar (Vs)
pada salah satu dari dua cuplikan sampel (Hendayana, 1994). Sampel fenol
24
terdegradasi pada masing-masing variasi waktu (8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit, 155 menit) diambil 10 ml kemudian ditempatkan dalam labu ukur 200 ml. Masing-masing sampel diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Ke dalam labu ukur 500 ml, dimasukkan larutan fenol 100 ppm sebanyak 25 ml kemudian diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Larutan ini disebut larutan standar fenol. Pada sampel 8 menit, diambil sebanyak 25 ml dan ditempatkan ke dalam erlenmeyer A dan 25 ml ke dalam erlenmeyer B. Pada erlenmeyer A ditambahkan aquademin sampai volume total 50 ml. Pada erlenmeyer B ditambahkan 25 ml larutan standar fenol. Masing-masing larutan ditambahkan 1,25 ml NH4OH 0,5 N dan pH diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga fosfat. Larutan dikomplekskan dengan 0,5 ml 4-aminoantipirin 2% dan ditambah dengan 0,5 ml larutan kalium ferisianida 8% sambil terus diaduk sampai timbul warna merah. Untuk pengujian sampel 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit dilakukan hal yang sama seperti pada sampel 8 menit. Masing masing larutan diukur absorbansinya menggunakan UV-Vis. Perhitungan konsentrasi fenol sisa menggunakan persamaan sebagai berikut: 𝐴1 =
𝐴2 =
𝜀 𝑏 𝑉𝑥 𝐶𝑥 𝑉𝑡
𝜀 𝑏 𝑉𝑥 𝐶𝑥 𝜀 𝑏 𝑉𝑠 𝐶𝑠 + 𝑉𝑡 𝑉𝑡
dimana A1 dan A2 adalah absorbansi cuplikan encer dan cuplikan plus standar encer, ε adalah absorbtivitas molar, b adalah tebal kuvet, Vx adalah volume sampel, Vt adalah volume total, Cs adalah konsentrasi larutan standar dan Cx
25
adalah konsentrasi sampel. Perhitungan Cx dilakukan dengan membagi persamaan kedua dengan pertama menghasilkan: 𝐶𝑥 =
𝐴1 𝑉𝑠 𝐶𝑠 (𝐴2 − 𝐴1 )𝑉𝑥
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol-Gel Modifikasi Sintesis nanokatalis CuO/TiO2 dilakukan dengan metode sol gel
dimodifikasi menggunakan PEG sebagai zat pendispersi. Prekusor yang digunakan adalah TiIPP dan garam Cu(NO3)2.3H2O. Pada sintesis ini juga menggunakan etanol, HCl dan air. Etanol berfungsi sebagai agen pembentuk sol, HCl sebagai pencegah terbentuknya agregat dan air sebagai zat penghidrolisis. Pada saat HCl dan etanol diaduk, didapat campuran tak berwarna. Sol berwarna putih didapat ketika TiIPP ditambahkan pada campuran HCl dan etanol. Sol putih memadat ketika ditambahkan air. Hal ini dikarenakan terjadinya hidolisis TiIPP oleh air. Padatan putih menjadi biru ketika ditambahkan larutan Cu(NO3)2. Pembentukan gel oleh PEG tidak berhasil. Hal ini mungkin dikarenakan oleh kurangnya jumlah PEG yang ditambahkan dan pengadukan yang relatif singkat. Tahapan reaksi sintesis TiO2 secara sol-gel menurut Sanchez et al., (2011) adalah sebagai berikut: Ti(C3H7O)4 + 2HO(CH2CH2O)nH TiIPP
PEG
Ti[O(CH2CH2O)n]2 + 4H2O Ti-polimer
Air
Cu(NO3)2.3H2O + H2O Tembaga (II) nitrat trihidrat
Ti[O(CH2CH2O)n]2 + 4C3H7OH
Air
Ti-polimer
Isopropanol
Ti(OH)4 + 2OH(CH2CH2O)nH Ti(IV)hidroksida
Cu(NO3)2 + 4H2O Tembaga (II) nitrat
26
Air
(4.1)
(4.2)
PEG
(4.3)
27
Cu(NO3)2
+ HO(CH2CH2O)nH
Tembaga (II) nitrat
PEG
CuO(CH2CH2O)n + 2H2O Cu-polimer
Ti(OH)4
CuO(CH2CH2O)n + 2HNO3
Air
+ Cu(OH)2
Cu-polimer
Asam nitrat
Cu(OH)2 + HO(CH2CH2O)nH Cu(II)hidroksida
TiCu(OH)6
kalsinasi
(4.4)
(4.5)
PEG
CuO/TiO2 (anatase)
(4.6)
Ti(IV)hidroksida Cu(II)hidroksida
Hasil kenampakan padatan CuO/TiO2 dapat dilihat di Tabel 4.1. Tabel 4.1. Perubahan warna dan kenampakan CuO/TiO2 berdasarkan perlakuan temperatur kalsinasi Temperatur Kode Sampel Warna Kenampakan Kalsinasi (°C) Sampel CuO/TiO2 400 K-400 Hitam Halus CuO/TiO2 500 K-500 Hitam Halus CuO/TiO2 600 K-600 Abu-abu Halus K-400 berwarna hitam, hal ini menunjukkan adanya Cu, demikian juga pada K-500. Warna hitam K-400 lebih pekat dibandingkan dengan K-500. Sedangkan K-600 sampel yang dihasilkan berwarna abu-abu. Pemanasan dengan suhu semakin tinggi menyebabkan warna nanokatalis CuO/TiO2 semakin muda. Menurut Yang (2008:35), warna abu-abu disebabkan karena auto-reduksi Cu(II) menjadi Cu(I). Kristal yang terbentuk kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD dan BET. Kristal yang memenuhi kriteria sebagai katalis yang baik, diuji menggunakan SEM-EDX untuk mendapatkan informasi bentuk morfologi dan komposisi kristalnya.
4.2
Hasil Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 Karakterisasi nanokatalis CuO/TiO2 dilakukan untuk mengetahui karakter
senyawa yang telah disintesis. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini
28
antara lain untuk mengetahui hasil pola difraksi; luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori; dan analisis morfologi dan komposisi nanokatalis CuO/TiO2. 4.2.1
Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2 Sampel yang telah disintesis diamati pola difraksi untuk selanjutnya
dianalisis fasa kristalnya dalam sampel. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh temperatur kalsinasi terhadap fasa kristal dari katalis CuO/TiO2 yang disintesis dengan metode sol gel modifikasi. CuO
i n t e n s i t a s
i n t e n s i t a s
R
800
A
R
AR
R
A
o
CuO/TiO2 600 C K-600
400 800
20
400
800
20
A
40
60
o
A 40
CuO/TiO2 500 C K-500 60
80 o
400 800
80
CuO/TiO2 400 C K-400
A 20
40
60
80
CuO #800076
400 0 800
20
40
60
400
80
TiO2 anatase #751537
0 20
40
60
80
2
Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-X CuO/TiO2 Pada Gambar 4.1 puncak yang ditandai ―A‖ dan ―R‖ menerangkan fasa anatase dan rutil TiO2. Berdasarkan data Powder Diffraction File (PDF) #751537, TiO2 anatase mempunyai struktur kristal yang berbentuk tetragonal dengan panjang sumbu a=b=3730 Å, c=9370 Å. Pada K-400, K-500 dan K-600 muncul puncak difraktogram pada 2θ = 25,6° yang menunjukkan kecocokan difraktogram PDF standar TiO2 anatase yaitu pada 2θ = 25,69°. Selain itu pada K-400, 2θ = 54,72°
29
menunjukkan kecocokkan terhadap difraktogram standar yaitu pada 2θ = 54,775°. Pada K-500 dan K-600, 2θ = 54,72° mengalami pergeseran ke 2θ = 54,48° dan 54,59°. Namun pada K-500 dan K-600 terbentuk fase TiO2 rutil yang ditunjukkan pada masing-masing 2θ = 27,56°; 36,16° dan 27,46°; 36,34° yang mirip dengan PDF standar TiO2 rutil #781510. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan terlalu tinggi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO2. Tabel 4.2 menunjukkan perbandingan komposisi fase anatase dan rutil kristal TiO2 pada masing-masing sampel. Tabel 4.2 Komposisi fase kristal TiO2 pada CuO/TiO2 Kode Sampel
Anatase
Rutil
K-400 K-500 K-600
16,27% 11,322% 8,964%
6,104% 8,167%
Berdasarkan data difraktogram standar CuO PDF #800076 puncak khas CuO terlihat pada 2θ = 35,54°, 38,97° dan 48,85°. Difraktogram pada K-500 dan K-600 menunjukkan kecocokan dengan difragtogram standar CuO pada masingmasing 2θ = 38,94° dan 38,95°. Pada K-400, terdapat pergeseran difraktogram pada 2θ = 38,18° dan 48,47. Kenaikan temperatur kalsinasi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO2. Dalam Zhu et al. (2011), TiO2 rutil lebih stabil pada suhu tinggi, namun mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan TiO2 anatase. Hal ini menyebabkan TiO2 rutil kurang baik untuk diaplikasikan sebagai support. Dari hasil analisis fasa kristal TiO2, K-400 memiliki kriteria untuk diaplikasikan sebagai support karena mempunyai fasa anatase lebih banyak dibandingkan dengan K-500 dan K-600. Puncak CuO pola difraksi K-400 yang tidak terlihat
30
pada 2θ = 38,9° disebabkan CuO terdispersi pada permukaan TiO2. Hal ini mirip dengan penelitian Ding et al. (2005) yang menyatakan bahwa puncak CuO tidak terlihat pada pola difraksi CuO/Ti0.5Zr0.5O2 karena luas permukaan Ti0.5Zr0.5O2 yang besar, sehingga partikel CuO terdispersi pada permukaan Ti0.5Zr0.5O2. Maka pada K-400 mempunyai situs aktif CuO yang menempel pada permukaan TiO2. Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis ukuran kristal CuO/TiO2 melalui metode Debye-Scherer. Tabel 4.3 Ukuran partikel katalis CuO/TiO2 dari analisis XRD Ukuran Partikel Kode Sampel (nm) K-400 6,890 K-500 17,716 K-600 41,877 Pada Tabel 4.3, ukuran kristal menunjukkan kenaikan seiring dengan penambahan temperatur kalsinasi. Hal ini disebabkan pemanasan pada suhu terlalu tinggi menyebabkan terjadinya sintering. K-400 menunjukkan ukuran kristal yang paling kecil. Ukuran kristal yang semakin kecil akan meningkatkan luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2 sehingga aktifitas katalitiknya akan semakin baik. 4.2.2
Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori CuO/TiO2 Luas permukaan katalis yang semakin besar menyebabkan kontak yang
terjadi antara reaktan dan permukaan katalis juga semakin besar sehingga fenol yang terdegradasi lebih banyak. Selain luas permukaan katalis, ukuran jari-jari pori yang besar dapat membantu molekul fenol untuk dapat masuk ke dalam pori katalis. Data hasil karakterisasi kristal CuO/TiO2 menggunakan metode BET ditunjukkan pada Tabel 4.4.
31
Tabel 4.4 Hasil karakterisasi luas permukaan spesifik, rerata jari-jari pori dan volume total CuO/TiO2 Kode Sampel K-400 K-500 K-600
Luas Permukaan Spesifik (m2/g) 89,2 76,87 29,94
Rerata Jari-jari Pori (Å) 36,53 52,91 102,5
Volume Pori (cc/g) 0,1667 0,2033 0,1505
Luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2 semakin rendah pada kenaikan suhu pemanasan. Hal ini disebabkan terjadinya sintering pada pemanasan yang terlalu tinggi. Menurut Wardhani (2009), sintering merupakan suatu proses berkumpulnya partikel-partikel logam
secara
kompak
yang membentuk
gumpalan-gumpalan pada permukaan pori pengemban sehingga menutup sebagaian pori dan sisi aktif katalis. Data tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ukuran kristal dan luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2. Kenaikan suhu pemanasan menyebabkan ukuran kristal nanokatalis CuO/TiO2 semakin besar dan memiliki luas permukaan yang semakin kecil. Ukuran rerata jari-jari pori semakin besar pada kenaikan suhu pemanasan. Namun pada volume pori tidak menunjukkan suatu keteraturan berdasarkan kenaikan suhu pemanasan. 4.2.3
Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2 SEM digunakan untuk mengetahui bentuk morfologi padatan yang telah
dipreparasi. Analisis menggunakan SEM-EDX dilakukan setelah memilih nanokatalis CuO/TiO2 yang paling memenuhi syarat sebagai katalis diantara tiga katalis yang disintesis dengan variasi temperatur kalsinasi. Hasil pengujian XRD dan BET, padatan yang mempunyai ukuran partikel paling kecil dan luas permukaan paling besar ditunjukkan pada K-400. Padatan tersebut kemudian dianalisis menggunakan SEM-EDX. Hasil analisis SEM yang berupa foto
32
kenampakan padatan, ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali. Foto SEM tersebut kemudian dibandingkan dengan foto SEM CuO/TiO2 dalam penelitian Manivel et al.(2010), yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. Menurut Manivel et al.(2010), warna putih dalam gambar menunjukkan partikel TiO2 dan dopan CuO adalah bidang-bidang kecil berwarna abu-abu. Dopan CuO menempati bagian dalam pori TiO2. TiO2
CuO
Gambar 4.2. Foto SEM K-400 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali
Gambar 4.3 Foto SEM CuO/TiO2 dalam Manivel et al., 2010 dengan perbesaran 3000 kali
33
Pada Gambar 4.2, warna abu-abu menyebar hampir pada seluruh permukaan partikel. Hal ini menunjukkan bahwa partikel CuO hanya tersebar pada permukaan TiO2, tidak sampai terdopan pada pori TiO2. Kristal yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak homogen dan masih terdapat agregat. Hal ini disebabkan oleh pengadukan yang kurang lama dan penambahan PEG yang belum optimal. Gambar 4.4 menunjukkan hasil analisis EDX komposisi kristal CuO/TiO2 dan Tabel 4.5 menunjukkan komposisi CuO dan TiO2 pada padatan CuO/TiO2.
Gambar 4.4 Spektrum EDX K-400
Tabel 4.5 Komposisi padatan CuO/TiO2 Senyawa
% Massa
C Cl TiO2 CuO
7,75 2,33 85,64 4,29
Spektrum EDX memperlihatkan munculnya puncak Ti dan Cu pada kristal CuO/TiO2. Puncak Ti ditunjukkan dengan warna hijau, sedangkan puncak Cu ditunjukkan dengan warna merah. Hasil analisis berdasarkan EDX, diketahui %
34
massa CuO yang terdapat pada kristal CuO/TiO2 adalah 4,29%. Hal ini berbeda dengan massa CuO acuan pada saat sintesis kristal CuO/TiO2. Massa CuO yang ditambahkan sebesar 5% dari berat keseluruhan. Terdapatnya perbedaan % massa dikarenakan sebagian kecil logam Cu berkurang pada saat proses sintesis. Dari data EDX juga menunjukkan bahwa masih adanya unsur karbon dalam kristal CuO/TiO2. Hal ini disebabkan pada saat akan dilakukan kalsinasi padatan belum kering. Maka senyawa organik dari reaktan pada saat sintesis tidak terdekomposisi sempurna. Berdasarkan
hasil
karakterisasi
nanokatalis
CuO/TiO2
didapatkan
informasi bahwa kristalinitas CuO/TiO2 tidak semakin baik pada penambahan suhu pemanasan. Semakin tinggi suhu menyebabkan fase TiO2 berubah menjadi rutil dan ukuran kristal yang semakin besar karena terjadinya sintering. Hasil analisis data XRD ditunjukkan terbentuknya fasa rutile pada K-500 dan K-600. Luas permukaan yang semakin besar berbanding terbalik dengan penambahan suhu pemanasan, namun ukuran pori semakin besar seiring dengan semakin tinggi suhu pemanasan. K-400 menunjukkan luas permukaan yang paling besar, namun memiliki rerata jari-jari pori paling kecil, yaitu 36,53 Å. Katalis dengan ukuran pori tersebut dianggap cocok untuk diaplikasikan pada proses oksidasi fenol karena tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil untuk menyerap molekul fenol yang berukuran 6 Å. Analisis menggunakan SEM-EDX menunjukkan bahwa morfologi kristal K-400 masih belum homogen.
35
4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol Limbah fenol yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah fenol sintetis dengan konsentrasi fenol 100 ppm. Kandungan fenol tersisa diketahui dengan uji spektrofotometer menggunakan metode adisi standar. Proses degradasi limbah fenol dengan nanokatalis CuO/TiO2 menggunakan gas oksigen sebagai zat pengoksidasi. Katalis yang digunakan dalam proses ini adalah K-400. Pengambilan sampel dilakukan pada saat proses proses degradasi dengan waktu yang bervariasi. Sebelum pengukuran kadar fenol sisa, kompleks fenol diukur panjang gelombang maksimumnya. Berdasarkan data penelitian diperoleh absorbansi maksimum kompleks fenol pada panjang gelombang maksimum 507 nm. Hasil analisis kadar fenol tersisa bergantung waktu disajikan dalam Tabel 4.6 dan Gambar 4.5. Tabel 4.6 Analisis kadar fenol sisa degradasi menggunakan katalis CuO/TiO2 Kadar fenol Sampel Absorbansi %D sisa (ppm) 8 menit A1 0.034 10.625 36.25 A2 0.05 15 menit A1 0.03 7.895 52.632 A2 0.049 30 menit A1 0.029 7.25 56.5 A2 0.049 50 menit A1 0.021 6.563 60.625 A2 0.037 110 menit A1 0.032 9.412 43.529 A2 0.049 155 menit A1 0.033 9.706 41.765 A2 0.05 Sebelum A1 0.04 16.667 A2 0.052 Keterangan : A1 = Absorbansi cuplikan sampel
36
A2 = Absorbansi cuplikan sampel+standar %D = % fenol terdegradasi
70
%Degradasi
60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
waktu degradasi (menit)
Gambar 4.5 Kurva persentase degradasi berbanding waktu degradasi Hasil pengukuran kadar fenol tersisa dalam proses degradasi fenol menggunakan nanokatalis CuO/TiO2 menunjukkan waktu optimum pada saat t=50 menit yaitu sebanyak 60,625%. Gambar 4.4 menunjukkan penurunan persentase degradasi pada t=110 menit. Hal ini kurang sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu degradasi, maka semakin banyak persentase degradasi yang diperoleh. Waktu optimum proses degradasi didapat dari data persentase degradasi yang tidak mengalami perubahan signifikan dengan bertambahnya waktu proses. Ketidaksesuaian ini diakibatkan oleh fenol yang telah jenuh oleh CuO/TiO2, maka pemisahan fenol dengan CuO/TiO2 menjadi lebih sukar. Larutan yang jenuh mempengaruhi proses pembacaan absorbansi pada sampel. Pada saat pengukuran sampel juga dijumpai kesulitan yaitu pengaturan pH agar homogen pada setiap
37
sampel. Hal ini juga mempengaruhi kelinieran absorbansi fenol sisa bergantung waktu. Pada proses oksidasi katalitik telah diketahui bahwa terjadi reaksi radikal bebas di permukaan katalis (Eftaxias, 2002). Menurut Wu et al. (2003), mekanisme radikal pada proses oksidasi katalitik fenol adalah sebagai berikut:
OH C6H4
O H + CuO/TiO2
CuO/TiO2
O
O C6H4
H+ H
C6H4
H + O2
C6H4
H
OO OH
O C6H4
H + C6H4
OH H
C6H4
O OOH + C6H4
H
OO Pada mekanisme tersebut, C6H4•H=O adalah radikal penoksi dan C6H4HO—OO• adalah radikal peroksi. Aktivasi kedua radikal diinisiasi dari reaksi antara fenol, oksigen dan katalis. Menurut Gates (1991) dalam Wu et al. (2003), pada proses dimana logam transisi memudahkan radikal bebas pada reaksi, kemungkinan logam bereaksi secara cepat dengan polutan organik.
4.4 Analisis Senyawa Hasil Degradasi Fenol Analisis senyawa hasil degradasi fenol dilakukan dengan menggunakan instrumen Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer (GC-MS). Hasil yang dipilih untuk dianalisis menggunakan GC-MS adalah hasil degradasi dengan waktu reaksi 50 menit. Kromatogram GC hasil degradasi fenol dengan waktu
38
reaksi 50 menit disajikan pada Gambar 4.6, sedangkan analisis kromatogram GC senyawa hasil degradasi fenol disajikan pada Tabel 4.7.
Gambar 4.6 Kromatogram senyawa hasil degradasi fenol Tabel 4.7 Analisis kromatogram senyawa hasil degradasi fenol Waktu Retensi Kelimpahan Kemungkinan Puncak (menit) (%) Senyawa 1 2,152 36,53 3-nonuna-2-ol 2 2,319 63,47 2-propanon Dari keterangan pada Tabel 4.7, kromatogram GC hasil degradasi fenol memunculkan 2 puncak dengan puncak paling dominan yaitu nomor 2 dengan kelimpahan 63,47% dan waktu retensi 2,319 menit. Puncak nomor 1 dengan kelimpahan 36,53% diduga adalah pengotor dari sampel fenol sisa degradasi. Analisis MS menunjukkan puncak nomor 2 adalah 2-propanon. Spektrum massa puncak nomor 2 disajikan pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Spektrum massa senyawa hasil degradasi fenol Munculnya puncak ion molekul pada m/z=58 menyatakan bahwa massa molekul senyawa tersebut sama dengan massa molekul 2-propanon. Ion molekul dengan
39
m/z=58 melepas –CH3 membentuk pecahan molekul dengan m/z=43. Berikut fragmentasi yang terjadi : CH3
O
O C
CH3 CH3
CH3
C
+
Hasil analisis menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa waktu retensi 2,319 menit merupakan puncak dominan dengan persentase 63,47%. Puncak tersebut diduga sebagai senyawa hasil degradasi fenol. Senyawa hasil degradasi fenol berupa 2-propanon diduga diperoleh dari oksidasi fenol menjadi alkohol sekunder yang teroksidasi lebih lanjut menjadi 2-propanon.
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1. Pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakter kristal CuO/TiO2 yang dihasilkan adalah: a. Kristal CuO/TiO2 yang disintesis dengan metode sol-gel modifikasi larutan polimer PEG, mempunyai fase TiO2 anatase pada temperatur kalsinasi 400°C dan pada kenaikan temperatur kristal akan berubah fase menjadi TiO2 rutil. b. Kenaikan temperatur kalsinasi mengakibatkan kenaikan ukuran kristal CuO/TiO2 karena terjadi sintering. c. Pada pengukuran menggunakan metode BET, luas permukaan nanokatalis
CuO/TiO2
mengalami
penurunan
pada
kenaikan
temperatur kalsinasi. Analisis menggunakan SEM-EDX menunjukkan bahwa nanokatalis CuO/TiO2 yang disintesis menggunakan metode sol-gel modifikasi mempunyai bentuk yang belum homogen dan pendistribusian CuO pada TiO2 juga belum homogen. 2. Nanokatalis CuO/TiO2 dapat diaplikasikan sebagai katalis degradasi fenol dengan waktu optimum t=50 menit sebesar 60,625%.
40
41
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan optimalisasi lebih lanjut terhadap metode sintesis nanokatalis CuO/TiO2 yaitu dari segi waktu reaksi, waktu kalsinasi, jumlah CuO yang ditambahkan, dan lain-lain. 2. Perlu dilakukan optimasi lebih lanjut mengenai konsentrasi katalis dan tekanan pada proses oksidasi katalitik fenol. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan ulang katalis yang telah digunakan untuk proses degradasi.
42
DAFTAR PUSTAKA Abdullah M. & Khairurrijal, 2010. Karakterisasi Nanomaterial; Teori, Penerapan, dan Pengolahan Data. Bandung: CV. Rezeki Putera. Agustine, R. L. 1996. Heterogeneous Catalyst for the Synthetic Chemist. New York: Marcel Dekker Inc. Ali, R. & O.B. Siew. 2006. Photodegradation of New Methylene Blue N in Aqueous Solution Using Zinc Oxide and Titanium Oxide as Catalyst. Jurnal Teknolog 45(F): 31-42. Arutanti, O., dkk. 2009. Penjernihan Air Dari Pencemar Organik dengan Proses Fotokatalis pada Permukaan Titanium Dioksida (TiO2). Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. ISSN 1979-0880. Astutik, P. 2010. Efektivitas Degradasi Fenol Secara Fotokatalitik Menggunakan Padatan ZnTiO3 yang Dipreparasi Dengan Metode Sol-Gel. Tugas Akhir 2. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang. Ding, G. H., X. Y. Jiang & X. M. Zheng. 2005. Effect of Carrrier on CuO/TiO2 and CuO/Ti0.5Zr0.5O2 Catalysts in the NO+CO Reaction. Chinese Chemical Letters Vol.16, No.2: 275-278. Eftaxias, A. 2002. Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol in a Trickle Bed Reactor: Kinetics and Reactor Modelling. Dissertation. Taragona: Rovira Virgili University. Fessenden, R. J. & J. S. Fessenden. 1992. Kimia Organik. Jilid II. Jakarta : Erlangga. Fransisco, M. S. P. & V. R. Mastelaro. 2002. Inhibition of the Anatase-Rutile with Addition of CeO2 to CuO-TiO2 System: Raman Spectroscopy, X-ray Diffraction, and Textural Studies. Chem Mater,14: 2514-2518. Ghane, M., et al. 2010. Synthesis and Characterization of a Bi-Oxide nanoparticle ZnO/CuO by Thermal Decomposition of Oxalate Precursor Method. International Journal of Nano Dimension. ISSN : 2008-8868. Golestani, A., et al. 2011. Modeling of Catalyst Deactivation in Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol in Fixed Bed Three-Phase Reactor. Worls Academy of Science and Technology 73. Harmankaya, M. & G. Gündüz. 1995. Catalytic of Phenol in Aqueous Solution. Tr. J. of Engineering and Environmental Sciences. 1998:9-15.
43
Hendayana, S., dkk. 1994.Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP Semarang Press Johan, M. R., et al. 2011. Annealing Effect on the Properties of Copper Oxide Thin Films Prepared by Chemical Deposition. Int. J. Electrochem., 6(2011): 6094-6104. Lee, G. H., et al. 2002. Catalytic Combustion of Benzene Over Copper Oxide Supported on TiO2 Prepared by Sol-Gel Method. J. Ind. Eng. Chem., Vol.8, No. 6: 572-577. Lestari, D. S. 2011. Preparasi Nanokomposit Zno/Tio2 Dengan Metode Sonokimia Serta Uji Aktivitasnya Untuk Fotodegradasi Fenol. Tugas Akhir 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Liherlinah et al. 2009. Sintesis Nanokatalis CuO/ZnO/Al2O3 untuk Mengubah Metanol Menjadi Hidrogen untuk Bahan Bakar Kendaraan Fuel Cell. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. ISSN 1979-0880 Luna, A. J., et al. 2009. Total Catalytic Wet Oxidation Of Phenol and Its Chlorinated Derivates With MnO2/CeO2 Catalyst In A Slurry Reactor. Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 26 No.03: 493-502. Meytal, Y. I. M. & M. Sheintuch. 1998. Catalytic Abatement of Water Pollutants. Ind. Eng. Chem. Res., 37: 309-326. Massa, P. A., et al. 2004. Catalyst System For The Oxidation of Phenol In Water. Latin American Applied Research, 34: 133-140. Manivel, A., et al. 2010. CuO-TiO2 Nanocatalyst for Photodegradation of Acid Red 88 in Aqueous Solution. Science of Advanced Materials Vol.2, 5157. Pestunova, O. P. , O. L. Ogorodnikova & V. N. Parmon. 2003. Studies on the Phenol Wet Peroxide Oxidation in the Presence of Solid Catalysts. Chemistry for Sustainable Development 11: 227-232. Prabowo, A. R. & Wijayanto, H. 2010. Penurunan Kadar Fenol dengan Memanfaatkan Baggase Fly Ash dan Chitin sebagai Adsorben. Surabaya: Institut Teknologi Surabaya Sanchez, K. D. A, et al. 2011. Preparation, Characterization and Photocatalytic Properties of TiO2 Nanostructured Speres Synthesized by Sol-Gel Method Modified with Ethylene Glycol. J. Sol-Gel Technol. 58:360365.
44
Sari, A. P. 2011. Penurunan Kadar Fenol Secara Fotokatalitik Menggunakan SrTiO3 Dalam Limbah Industri Tekstil di Sungai Jenggot Kota Pekalongan. Tugas Akhir 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Silva, A. M. T., et al. 2003. Catalytic Studies in Wet Oxidation of Effuents From Formaldehyde Industry. Chemical Engineering Science: 963-970. Slamet, R. Arbianti & Daryanto. 2005. Pengolahan Limbah Organik (Fenol) dan Logam (Cr6+ atau Pt4+) Secara Simultan Dengan Fotokatalis TiO2, ZnOTiO2 dan CdS-TiO2. Makara Teknologi, Vol. 9 No. 2. Slamet, R. Arbianti & E. Marliana. 2007. Pengolahan Limbah Cr(VI) dan Fenol dengan Fotokatalis Serbuk TiO2 dan CuO/TiO2. Reaktor, Vol. 11 No.2, Desember 2007, Hal. : 78-85. Stuber, F. et al. 2001. Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol Using Active Carbon: Performance of Discontinuous and Continuous Reactors. Jurnal of Chemical Technology and Biotechnology, 76:743-751. Suwanprasop, S. 2005. Oxidation of Phenol on Fixed Bed of Active Carbon. Thesis. Toulouse: INP Toulouse France. Swantomo, D., N. A. Kundari & S. L. Pambudi. 2009. Adsorpsi Fenol Dalam Limbah Dengan Zeolit Alam Terkalsinasi. Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir. ISSN 1978-0176. Tuan, N. M. et al. 2009. Low Temperature Synthesis of Nano-TiO2 anatase on Nafion Membrane for Using on DMFC. Journal of Physics: Conference Series 187. Triyono. 2002. Kimia Katalis. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam: Universitas Gadjah Mada. Ulyani, V. 2008. Reaksi Katalisis Oksidasi Vanili Menjadi Asam Vanilat Menggunakan Katalis TiO2-Al2O3 (1:1) Yang Dibuat Dengan PEG 6000. Skripsi. Depok: FMIPA Universitas Indonesia. Wardhani, S. 2009. Studi Pengaruh Konsentrasi Zn(II) Pada Preparasi Katalis Zeolit-Zno Terhadap Oksidasi Fenol. Malang : Universitas Brawijaya. Wang,
L. 2006. Preparation and Characterization of Properties of Electrodeposited Copper Oxide Films. Disertation. Texas: The University of Texas at Arlington.
45
Wijaya, K., et al. 2005. Synthesis of Fe2O3- montmorillonite and its application as a photocatalyst for degradation of congo Red Dye. Indonesian Journal of Chemistry, 5 (1) 41-47. Wu, Q., X. Hu & P. L. Yue. 2003. Kinetic Study on Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol. Chemical Engineering Science 58: 923-928. Yang, X. 2008. Sol-Gel Synthesized Nanomaterials for Environmental Applications. Dissertation. Manhattan: Kansas State University. Zhu, H., L. Dong & Y. Chen. 2011. Effect of Titania structure on the Properties of It’s Supported Copper Oxide Catalysts. Journal of Colloid and Interface Science 357: 497-503.
46
LAMPIRAN Lampiran 1 Skema Cara Kerja A. Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 diaduk 30 menit
0,76 gram Cu(NO3)2.3H2O + 2,2 ml H2O
3,6 ml etanol
1,2 ml HCl
ditambah 18,4 ml TiPP + 4,5 ml H2O diaduk 1 jam dicampur sambil diaduk Campuran TiO2
TiO2
ditambah
5 gram PEG dalam 50 ml H2O diaduk 1,5 jam Campuran CuO/TiO2 dan PEG Furnace 400°C, 600°C Nanokatalis CuO/TiO2
pada 500°C
suhu dan
47
B. Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 CuO/TiO2
CuO/TiO2 400°C
CuO/TiO2 500°C
XRD dan BET
SEM-EDX
CuO/TiO2 600°C
48
C. Proses Degradasi Senyawa Fenol 0,5 gram katalis CuO/TiO2
100 ppm Fenol 250 ml
Diaduk hingga homogen dalam labu alas bulat leher tiga Campuran fenol dan katalis Dipanaskan hingga suhu 70°C Dialiri oksigen 200 ml/menit
Campuran Fenol teroksidasi Pemanasan hingga suhu 90°C dan dilanjutkan bereaksi selama (8, 15, 30, 50, 110, 155) menit Fenol teroksidasi
CO2(g)
Dibiarkan sampai dingin kemudian disaring
Residu
Filtrat
Diuji dengan IR dan GC-MS
Diencerkan dengan H2O Diuji dengan spektro UV-Vis
Sampel
49
D. Uji Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar Fenol terdegradasi 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit, 155 menit masing-masing diencerkan 20 kali Sampel fenol terdegradasi 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit, 155 menit masing-masing 25
ml ditempatkan + H2O 25 ml
Erlenmeyer A ditambah
Fenol 100 ppm diencerkan Fenol 5 ppm = Larutan standar diambil 25 ml sebanyak 6 kali dan masingmasing ditempatkan Erlenmeyer B ditambah
1,25 ml NH4OH dan pH diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga fosfat
1,25 ml NH4OH dan pH diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga fosfat
Dikomplekskan dengan 0,5 ml larutan 4-aminoantipirin 2%, dan ditambah larutan kalium ferisianida 8% 0,5 ml
Dikomplekskan dengan 0,5 ml larutan 4-aminoantipirin 2%, dan ditambah larutan kalium ferisianida 8% 0,5 ml
Diaduk dan didiamkan 15 menit
Diaduk dan didiamkan 15 menit
Dianalisis dengan Spektrofotometer UV-Vis
50
Lampiran 2 Hasil Karakterisasi Menggunakan XRD A. Hasil XRD K-400
B. Hasil XRD K-500
51
C. Hasil XRD K-600
D. Difraktogram standar TiO2 anatase sebagai pembanding hasil analisis XRD
52
E. Difraktogram standar TiO2 rutile sebagai pembanding hasil analisis XRD
F. Difraktogram standar CuO sebagai pembanding hasil analisis XRD
53
Lampiran 3 Perhitungan Ukuran Kristal a. K-400 2θ = 25,57°; 23,1733°; 48,4716°
2θ = 25,57°
𝐷=
𝑘𝜆 𝐵 𝑐𝑜𝑠𝜃
𝐷=
0,9 . 0,154 0,02065 . cos 12,785
𝐷 = 7,1895 𝑛𝑚
2θ = 23,1733°
𝐷=
𝑘𝜆 𝐵 𝑐𝑜𝑠𝜃
𝐷=
0,9 . 0,154 0,0190 . cos 11,5867
𝐷 = 7,7679 𝑛𝑚
2θ = 48,4716°
𝐷=
𝑘𝜆 𝐵 𝑐𝑜𝑠𝜃
𝐷=
0,9 . 0,154 0,0278 . cos 24,2358
𝐷 = 5,7141 𝑛𝑚 Ukuran kristal rata-rata =
7,1895+7,7679+5,7141 3
= 6.8905 nm
Keterangan : D = ukuran (diameter) kristalin (nm) λ = panjang gelombang sinar-x yang digunakan. Dalam data XRD tercantum 1,54 Å atau sama dengan 0,154 nm θ = sudut Bragg (2θ/2) B = FWHM satu puncak yang dipilih
54
K
= konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang umumnya dipakai untuk K≈0,9
Dilanjutkan pengukuran untuk K-500 dan K-600 dengan cara yang sama.
Kode Sampel K-400
K-500
K-600
FWHM (rad) 1.1866 1.0933 1.5967 0.3653 0.8934 0.4644 0.23 0.1992 0.2116
FWHM (deg) (B) 0.02064684 0.01902342 0.02778258 0.00635622 0.01554516 0.00808056 0.004002 0.00346608 0.00368184
Keterangan : 1 rad = 57,324 deg 1 deg = 0,0174 rad
K 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94 0.94
λ (nm) 0.154 0.154 0.154 0.154 0.154 0.154 0.154 0.154 0.154
Ukuran Rata-rata Kristal (nm) (nm) 12.785 0.9752 7.189543066 11.58665 0.97962 7.767876906 6.89049872 24.2358 0.9118638 5.714076177 13.78265 0.9712 23.4498992 12.78 0.97523 9.548745656 17.7159281 27.23945 0.8891 20.14913955 13.8467 0.97094 37.25453071 27.29425 0.888663 46.9972984 41.8774825 18.16955 0.950138 41.38061826 Θ
Cos θ
55
Lampiran 4 Perhitungan Komposisi Fase Kristal TiO2 pada CuO/TiO2 Perhitungan komposisi fase kristal TiO2 pada CuO/TiO2 dilakukan dengan menimbang berat kurva hasil analisis XRD. 1. K-400 Berat kertas kurva
= 0,236 gram
Berat kurva anatase = 0,0384 gram % 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 . 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎
% 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 =
0,0384 . 100% 0,236
= 16,27% 2. K-500 Berat kertas kurva = 0,4063 gram Berat kurva anatase = 0,046 gram Berat kurva rutil = 0,0248 gram % 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 . 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎
% 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 =
0,046 . 100% 0,4063
= 11,3217% % 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑙 =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑙 . 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎
% 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑙 =
0,0248 . 100% 0,4063
= 6,104%
56
3. K-600 Berat kertas kurva = 0,2008 gram Berat kurva anatase = 0,018 gram Berat kurva rutil = 0,0164 gram % 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 . 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎
% 𝑎𝑛𝑎𝑡𝑎𝑠𝑒 =
0,018 . 100% 0,2008
= 8,964% % 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑙 =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑙 . 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑡𝑎𝑠 𝑘𝑢𝑟𝑣𝑎
% 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑙 =
0,0164 . 100% 0,2008
= 8,167%
57
Lampiran 5 Hasil Karakterisasi Menggunakan BET A. K-400
58
59
B. K-500
60
61
C. K-600
62
63
Lampiran 6Alur Perolehan Data BET Nanokatalis CuO/TiO2
Luas Permukaan Spesifik
Ukuran Pori
Volume Pori
BET
Data tekanan relatif (P/P0) dan jumlah gas yang diadsorbsi (n)
Kurva 𝑃 1 𝑐−1 𝑃 = + . 𝑛(𝑃 − 𝑃0 ) 𝑐 𝑛𝑚 𝑐 𝑛𝑚 𝑃0
𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥
Keterangan :
n nm c
meliputi alur kerja instrumen yang digunakan = jumlah atom gas yang diadsorpsi (mol/gram) = jumlah atom gas yang menempel pada permukaan sampel untuk membentuk satu lapisan penuh (mol/gram) = konstanta BET dalam adsorbs monolayer
64
Lampiran 7 Alur Perhitungan Data BET Kurva 𝑃 1 𝑐−1 𝑃 = + . 𝑛(𝑃 − 𝑃0 ) 𝑐 𝑛𝑚 𝑐 𝑛𝑚 𝑃0
𝑦 = 𝑎 + 𝑏𝑥
𝑚∅ = 𝜌𝑉𝑝 massa pori total
konstanta
Didapat nilai c dan nm jumlah total atom gas yang menempel
𝑚∅ = 𝑁𝑚1
𝑚1 = 𝜌𝑉𝑝1
𝑁 = 𝑁𝐴 𝑛𝑚 luas permukaan spesifik
𝑉𝑝1 =
𝜋𝐷𝑝 3 6
𝑠 = 𝑁𝜍 = 𝑁𝐴 𝑛𝑚 𝜍 diameter ratarata partikel
6 𝜌𝑠 𝜋𝐷3 𝑉1 = 6 𝑆1 = 𝜋𝐷2
𝑠 = 𝑆 + 𝑆𝑝 𝑆𝑝 = 𝑁𝑆𝑝1 𝑆𝑝1 = 𝜋𝐷𝑝 2
𝐷=
𝑆 = 𝑁𝑆1
Keterangan : NA = bilangan Avogadro (6,625x1023) σ = luas satu atom gas N2 (16,2x10-20 m2) ρ = massa jenis sampel (gram/m3) S1 = luas permukaan satu partikel (m2/gram) Sp = luas permukaan pori (m2/gram) Sp1 = luas permukaan satu pori (m2/gram) Dp = rata-rata jari pori (m3) Vp1 = volume satu pori (m3) m1 = massa satu partikel sampel (gram)
65
Lampiran 8 Hasil Karakterisasi Menggunakan SEM-EDX A. Foto morfologi K-400 perbesaran 500x
B. Foto morfologi K-400 perbesaran 20000x
66
C. Foto morfologi nanokatalis K-400 perbesaran 40000x
D. Komposisi senyawa nanokatalis CuO/TiO2 400°C
67
Lampiran 9 Perhitungan Kadar Fenol Sisa Degradasi dengan Metode Adisi Standar Sampel 8 menit 15 menit 30 menit 50 menit 110 menit 155 menit Sebelum
Absorbansi A1 A2 A1 A2 A1 A2 A1 A2 A1 A2 A1 A2 A1 A2
0.034 0.05 0.03 0.049 0.029 0.049 0.021 0.037 0.032 0.049 0.033 0.05 0.04 0.052
Vs (ml) 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
Vx (ml) 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25
Cs (ppm) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
A1.Vs.Cs
A2-A1
Kadar fenol sisa
4.25
0.016
10.625
3.75
0.019 7.894736842 52.63158
%D 36.25
3.625
0.02
7.25
56.5
2.625
0.016
6.5625
60.625
4
0.017 9.411764706 43.52941
4.125
0.017 9.705882353 41.76471
5
0.012 16.66666667
68
Perhitungan kadar fenol sisa 𝐶𝑥 =
𝐴1 𝑉𝑠 𝐶𝑠 (𝐴1 − 𝐴2 )𝑉𝑥
𝐶𝑥 =
0,034 . 25 𝑚𝑙 . 5 𝑝𝑝𝑚 0,05 − 0,034 25 𝑚𝑙
𝐶𝑥 = 10,625 𝑝𝑝𝑚 Perhitungan % degradasi %𝐷 =
𝐶0 − 𝐶𝑡 𝑥 100% 𝐶0
%𝐷 =
16,667 − 10,625 𝑥 100% 16,667
%𝐷 = 36,25%
Kemudian dilanjutkan untuk variasi waktu degradasi fenol menggunakan cara yang sama.
69
Lampiran 10 Hasil Analisis Fenol Sisa Degradasi Menggunakan GC-MS
70
71
72
Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian
Katalis setelah dioven
Sintesis Nanokatalis CuO/TiO2
Katalis setelah dikalsinasi
Hasil katalis variasi suhu
73
Reaktor degradasi fenol Gelembung CO2
Pengambilan sampel
74
Pengaturan pH sampel
Sampel yang dikomplekskan