KINERJA SATUAN ORGANISASI PELAYANAN JASA PEMOTONGAN TERNAK PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BANYUMAS Tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S - 2
Program Studi Magister Administrasi Publik Konsentrasi Management Publik
Kepada PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003
Tesis Ki~rja
Satuan Organisasi Pelayanan Jasa Pemotongan Temak pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Petemakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dipersiapkan d an disu sun oleh
Surya Dewi Anggoro Mumi telah dipertahankan di depan Dewan Pen guji p ada tanggal
04 Februari 2003
Susunan Dewan Penguji
Anggota Dewan Pen guji Lain
,
... ~.~·..~~~s."..~! ..~.~~···································
~.~~. x~.Y~.n...~~.~~~.~.~.~~~. ~.-.~~········ Pembimbing Pendampin g II
Tesis ini telah diterima sebagai salah sah1 p ersyaratan untuk m em peroleh gelar Magister
Pen gelola Program Studi ···MacisteF·Administrasi-·PublikUGM
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta,
Pebruari 2003
~
Surya Dewi Anggoro Murni
Ill
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat hidayahNya
dan
penulis dapat menyelesaikan
tesis tentang
Kinerja
Organisasi Jasa Pemotongan Ternak pada Rumah Pemotongan Hewan Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas.
Tesis
ini
merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat sarjana strata-2 pada Program Studi Magister Administrasi Publik, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik bimbingan, arahan, nasehat maupun dorongan moral, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini penulis mengucapkan banyak terima kasih. Pada kesempatan ini perkenankan penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), yang
telah
pengetahuan
memberikan di
Program
kesempatan Studi
untuk
Magister
menimba
Administrasi
ilmu Publik
Universitas Gadjah Mada. 2. Bupati Banyumas, yang telah memberikan ijin untuk menimba ilmu pengetahuan
di
Program
Studi
Magister
Administrasi
Publik
Universitas Gadjah Mada. 3. Bapak Dr. Warsito Utomo, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.
IV
4. Bapak Drs. Yuyun Purbokusumo, Msi, sebagai Dosen Pembimbing II yang secara intensit memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. 5. Bapak
lr. Soetrisno, MES; Drs. H. Suharyanto, M.Si; dan Drs.
Ratminto, MPA, sebagai dosen penguji. 6. Bapakllbu
dosen
Program
Studi
Magister Administrasi
Publik
Universitas Gadjah Mada untuk segala arahan dan bimbingan dalam memberikan materi perkuliahan. 7. Bapakllbu Pengelola Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada beserta stat yang selalu memberikan bantuan dan pelayanan kepada penulis selama menjadi mahasiswi. 8. Kepala Dinas, Kepala RPH, Kepala Sub RPH dan stat RPH, yang telah bersedia memberikan intormasi data kepada penulis sebagai bahan untuk penyusunan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini jauh dari sempurna, untuk itu tanggapan, kritik dan saran yang bersitat
membangun sangat
diharapkan guna penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat, khususnya bagi peningkatan kinerja organisasi pelayanan publik.
Yogyakarta,
Pebruari 2003
Penulis
v
"Ya Allah rahmat-Mu begitu aku harapkan, maka janganlah Kau pasrahkan urusanku pada diriku sendiri, walaupun sekejap mata dan perbaikilah urusanku semuanya. Tidak ada yang hak melainkan Engkau" (H. R. Abu Dawud) "Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu bersikap lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu janganlah kamu mengatakan, "Seandainya saya dulu berbuat begini, tentu hasilnya akan begitu. Tapi katakanlah, ''Allah sudah menakdirkan dan Allah berbuat apa yang Dia Kehendaki." Sebab sesungguhnya perkataan seandainya akan membukakan pintu perbuatan setan" (H. R. Muslim) "Ketahuilah bahwa jalan keluar beserta kesulitan dan kemenangan disertai kesabaran dan sesungguhnya bersama kesukaran terdapat kemudahan" (H. R. Ahmad) "Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupinya ..... .. " (Q. S. Ath-Thalaq : 3) "Sungguh ajaib urusan seorang mukmi. Setiap urusannya akan mendatangkan kebaikan. Bila dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur, dan syukur itu adalah kebaikan untuknya. Bila dia mendapatkan musibah dia bersabar dan sabar itu adalah kebaikan untuknya. Hal itu tidak dapat diberikan untuk siapapun kecuali untuk seorang mukmin" (H.R. Muslim)
persembahan untuk : lbu dan Almarhum Ayahku, yang selalu menyalakan semangat hidupku Suami, yang selalu menyiramkan kedamaian dalam hatiku Anak-anakku Dea, Awi dan Oppy, yang selalu membangkitkan kerinduan untuk bertemu
VI
DAFTAR lSI
halaman Halaman Judul. ................................................................................... . Halaman Pengesahan ........................................................................
ii
Halaman Pernyataan ................................................................ ..........
iii
Kata Pengantar ...................................................................................
iv
Halaman Motto dan Persembahan .....................................................
vi
Daftar lsi .............................................................................................
vii
Daftar T abel ..................... ...................................................................
x
Daftar Gam bar ....................................................................................
xi
Daftar Lampi ran ..................................................................................
xii
Inti sari ................................................................................................. xiii xiv
Abstract BAB I
PENDAHULUAN .... .... ........ .................. ........ ................. ......
1
A. Latar Belakang
1
B. ldentifikasi dan Perumusan Masalah .............................
13
C. Tujuan Penelitian .... ........................ ...............................
15
D. Manfaat Penelitian .........................................................
15
E. Sistematika Penulisan ................................... ................ 16 BAB II
KERANGKA DASAR TEORI ........ .......................................
18
A. Kinerja Pelayanan ................................................... .......
18
1. Pengertian Kinerja Pelayanan .................................
18
2. Pengukuran Kinerja Pelayanan ................................
20
Vll
a. Akuntabilitas ........................................................ 28
BAB Ill
b. Responsivitas.......................................................
31
c. Efisiensi................................................................
34
d. Orientasi pelayanan ..............................................
36
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pelayanan...
39
1. Sistem lnsentif ..........................................................
41
2. Pendelegasian Wewenang........................................
46
3. Kepem1mp1nan ..........................................................
50
4. Kerjasama.................................................................
54
METODE PENELITIAN .......................................................
60
A. Metodologi Penelitian .................................................... 60
BAB IV
B. Lokasi Penelitian ...........................................................
61
C. Definisi Konsepsional ....................................................
61
D. Definisi Operasional ......................................................
62
E. Sumber Data .................................................................
65
F. Teknik Pengumpulan Data............................................
66
G. Teknik Analisis Data......................................................
68
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ...................................
70
A. Pendahuluan ................................................................. 70
BAB V
B. Tatakerja .......................................................................
71
C. Komposisi Pegawai .......................................................
84
D. Persyaratan, Prosedur dan Biaya Pemotongan Ternak .
86
ANALISIS DAN INTERPRETASI ..........................................
91
Vlll
A. Analisis Kinerja Pelayanan ............................................
91
1. Akuntabilitas ..............................................................
91
2. Responsivitas ............................................................ 101 3. Efisiensi..................................................................... 108 4. Orientasi terhadap Pelayanan .. .. .. .. ... ... ... .. .. .. ... .. .. .. ... 123
B. Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pelayanan .......... ... ................. .............................. .......... 129 1. Sistem lnsentif........................................................... 129
2. Pendelegasian Wewenang ........................................ 137 3. Kepem1mp1nan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 144 4. Kerjasama ............................................... .................. 152 C. lnterpretasi .................................................................... 157 BAB VI
PENUTUP .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 159 A. Kesimpulan .... ..... .. .. ... .... ... .... ..... ..... ... .. .. .. ... ..... ... ... ...... .. 159 B. Saran .............................................................................. 162
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 167 Lampi ran - Lampiran .......................................................................... 170
IX
DAFTAR TABEL
Tabel :
halaman
1. Komposisi Pegawai Negeri Sipil Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas . . . . . . . .
85
2. Komposisi Pegawai Tidak Tetap Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas . . . . . . ..
85
X
DAFTAR GAMBAR
Gambar : 1. Bagan Struktur Organisasi Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
halaman 73
Bagan Struktur Organisasi Rumah Potong Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas............
78
3. Standar Prosedur Operasi Pemotongan Ternak ... ... ... ... ....
88
2.
XI
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Wawancara... ... ... ............ ... ............ ... ... ...... .......
halaman 170
Xll
INTISARI
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan Kabupaten/Kota sebagai titik berat otonomi. Kebijakan Otonomi Daerah dimaksudkan untuk melatih daerah tidak terlalu tergantung kepada Pemerintahan di atasnya. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten 8anyumas mengambil kebijakan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kontribusi Dinas Peternakan dan Perikanan terhadap PAD berasal dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan 8alai 8enih lkan (881). Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan satuan organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pelayanan jasa pemotongan ternak, dituntut untuk menunjukkan kinerja yang baik dilihat dari aspek akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dan orientasi terhadap pelayanan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten 8anyumas yang belum optimal serta untuk mencermati sistem insentif, pendelegasian wewenang, kepemimpinan dan kerjasama dapat mempengaruhi kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten 8anyumas. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data yang berasal dari dalam adalah Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten 8anyumas, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Rumah Pemotongan Hewan (RPH), Kepala Sub RPH, dan Petugas RPH. Sedangkan sumber data yang berasal dari luar yaitu masyarakat yang menggunakan jasa atau pelanggan RPH. Dari hasil analisis dan interpretasi ditemukan bahwa kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) belum optimal dilihat dari aspek akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dan orientasi terhadap pelayanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten 8anyumas belum optimal adalah sistem insentif dan kepemimpinan. Sedangkan pendelegasian wewenang dan kerjasama telah dilaksanakan dengan baik. Agar Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten 8anyumas dapat mencapai kinerja yang optimal disarankan untuk memberikan informasi mengenai besarnya tarif retribusi beserta rinciannya dan prosedur pemotongan ternak. Mengingat fungsi Rumah pelayanan jasa pemotongan Pemotongan Hewan adalah memberikan ternak yang sewaktu-waktu dibutuhkan oleh masyarakat maka hendaknya Rumah Pemotongan Hewan mempunyai jam kerja 24 jam. Selanjutnya untuk kelancaran tugas-tugas tersebut, perlu adanya standarisasi sistem insentif yang disesuaikan dengan jam kerja, beban kerja, dan tingkat kesulitan pekerjaan.
X Ill
ABSTRACT
By the implementation of The Act Number 22, 1999 about The District Government who place the regency or the town as the center of the autonomy. The Purpose of the policy of the district autonomy is to train the independency of the district towards the higher government administration. Because of that, The District of the Banyumas Regency takes the policy to increase The District Original Income. The contribution of the Animal Husbandry and Fishery Department towards The District Original Income is from The Slaughter House and The Green House of the fish. The Slaughter House is an organization unit which gives the service to public in the service of the slaughtering of animal which must to show the good performance based on the aspect of accountability, responsiveness, efficiency, and orientation towards the service. The purposes of this research are to find out the performance of The Slaughter House of The Animal Husbandry and Fishery Department of Banyumas Regency which haven't been optimal and also to observe the incentive system, the delegation of authority, the leadership, and the cooperation which able to influence the performance of The Slaughter House of The Animal Husbandry Department of Banyumas Regency. The method of this research is qualitative descriptive with the observation, the interview, and the documentation as the technical of the data collection. The source of the internal data is from The Head of The Animal Husbandry and Fishery Department, The Head of The Technical Implementer Unit Department of The Slaughter House, The Head of The Sub Slaughter House, and The Officer of The Slaughter House. Whereas, the source of the external data is from The Slaughter House's customer. Based on the result of the analysis and the interpretation is found out that the performance of The Slaughter House haven't been optimal based on the aspect of accountability, responsiveness, efficiency, and orientation to the service. The factors which influence the performance of The Slaughter House of The Animal Husbandry and fishery Department of Banyumas Regency which haven't been optimal are the incentive system and the leadership. Whereas, the delegation of authority and the cooperation have been ran optimally. In order that The Slaughter House of The Animal Husbandry and Fishery Department of Banyumas Regency able to achieve the optimal performance, it is suggested to distribute the information concerning the amount of the retribution tariff with the details and the slaughtering procedure. According to The Slaughter House is to give the service performance of the animal slaughtering that is needed by the public at anytime, so that's why there should have the 24 working hours in the slaughter house. The next for the continuity of the duties, there is needed the standardization of the incentive system which appropriate with the working hours, the loading hours, and the level of the job difficulties.
XIV
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan otonomi daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang
Pemerintah
Daerah yang
pada
pelaksanaannya dilaksanakan dengan memberikan kewenangan penuh kepada daerah bagi penyelenggaraan pemerintah daerah melalui prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan demikian kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah pada dasarnya sudah sepenuhnya menjadi kewenangan daerah kecuali dalam bidang pertahanan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan lainnya yang menjadi kewenangan pusat (Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999) dan bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi (Pasal 9 UU No. 22 Tahun 1999). Kewenangan yang penuh wajib dilaksanakan daerah sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 adalah menyangkut bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanian, koperasi dan tenaga kerja dengan tujuan untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa
dan
peran
serta
masyarakat
serta
mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Namun demikian setiap penyelenggaraan kewenangan, masyarakat harus dilibatkan karena pada
1
dasarnya pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten adalah untuk rakyat. Pemberian kewenangan penuh melalui otonomi daerah dimaksudkan untuk mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara serta untuk mewujudkan pemerintah daerah yang baik dan aparat yang bersih sebagaimana telah diamanatkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kebijakan otonomi telah menempatkan kabupaten/kota sebagai titik berat otonominya, menerbitkan harapan bagi masyarakat untuk dapat memperoleh pelayanan lebih baik. Melalui kebijakan otonomi pula diharapkan hubungan pemerintah dengan rakyatnya akan semakin dekat, dengan demikian pemerintah mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai
dengan
kebutuhan
masyarakatnya.
Dalam
upaya
untuk
mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, sudah tentu dibutuhkan birokrasi yang makin baik dan mengerti terhadap berbagai keinginan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22
tersebut di
atas, daerah dituntut untuk memiliki kreatifitas, inisiatif, prestasi dan motivasi kerja yang tinggi agar otonomi daerah berjalan dengan baik. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu alternatif kebijakan dalam mengurangi ketergantungan kabupaten
Banyumas
2
kepada Pemerintah Pusat, dengan demikian diharapkan Kabupaten Banyumas sedikit demi sedikit akan menjadi daerah yang benar-benar bisa mandiri yang berarti bisa melaksanakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara penuh. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan aturan pelaksanaannya, struktur APBD pada sisi penerimaan secara rinci adalah sebagai berikut : a. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari : Hasil Pajak Daerah Hasil Retribusi Daerah Hasil
Perusahaan
Milik
Daerah
dan
Hasil
Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Syah b. Dana Perimbangan yang terdiri dari : Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Darurat c. Pinjaman Daerah : Pinjaman Dalam Negeri Pinjaman Luar Negeri Ciri
utama yang
berotonomi
menunjukkan
suatu
daerah
otonom
mampu
terletak pada kemampuan keuangan daerahnya, artinya
3
daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan Pemerintah Pusat harus ditekan seminim mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan pembagian keuangan pusat dan daerah. Menurut Hikmah dalam Halim (2001: 24), Kemandirian Daerah antara lain dapat diukur melalui : 1. Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 2. Kebutuhan
Fiskal
(fiscal
need)
dengan
menghitung
lndeks
Pelayanan Perkapita; 3. Kapasitas Fiskal (fiscal capacity); 4. Upaya Fiskal (tax effort). Tetapi
karena biasanya data di daerah tidak mendukung. Derajat
Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rasio sebagai berikut: 1. Pendapatan Asli Daerah dengan Total Pendapatan Daerah 2. Pendapatan
Asli
Daerah
ditambah
Bagi
Hasil
dengan
Total
Pendapatan Daerah 3. Pendapatan Asli Daerah dengan Pengeluaran Rutin 4. Pendapatan Asli Daerah ditambah Bagi Hasil dengan Pengeluaran Rutin Data yang diperoleh dari Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyumas
diolah
dengan
menggunakan
rumus
rasio
4
Pendapatan Asli Daerah dengan Total Pendapatan Daerah, diperoleh hasil mulai tahun 1996/1997 sampai dengan 2001 berkisar antara 8,63% sampai dengan 21,80% dengan rata-rata 13,92%. Angka ini menunjukkan betapa
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Banyumas
masih
sangat
tergantung kepada bantuan Pemerintah Pusat. Tingginya ketergantungan Pemerintah Kabupaten Banyumas terhadap Pemerintah Pusat/lnstansi yang lebih tinggi ditunjukkan dengan tingginya angka bantuan Pemerintah Pusat/lnstansi yang lebih tinggi dalam bentuk Dana Rutin Daerah (ORO) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD) mulai dari tahun 1996/1997 sampai dengan tahun 2001 berkisar antara 66,41%
sampai dengan
83,57% dengan rata-rata 76,26%. Salah satu sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya adalah melalui Pendapatan Asli Daerah yang meliputi pajak, retribusi, laba BUMD dan lain-lain penerimaan. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas merupakan salah satu Din as Teknis yang tugasnya menangani masalah-masalah teknis yang berkaitan dengan bidang peternakan dan perikanan. Dinas Peternakan
dan
Perikanan
memiliki
potensi
yang
cukup
dalam
memainkan perannya, hal ini ditunjukkan dengan mampunya Dinas Peternakan dan Perikanan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli daerah (PAD). Dari jasa pelayanan pemotongan ternak saja, pada tahun 2001
kontribusi terhadap PAD sebesar Rp 317.500.000,00
5
sedangkan
yang
ditargetkan
dari
Pemerintah
Banyumas hanya Rp 300.000.000,00,
Daerah
Kabupaten
dalam bentuk retribusi yang
dipungut dari pemberian pelayanan jasa pemotongan ternak, baik ternak besar yang meliputi ternak sapi dan kerbau maupun ternak kecil yang meliputi kambing, domba dan babi. Jasa pelayanan pemotongan ternak dilaksanakan di Rumah Potong Hewan (RPH) yang telah disediakan oleh Dinas Peternakan dan Perikanan di beberapa lokasi, tetapi jasa pelayanan pemotongan ternak juga dapat diberikan di luar Rumah Potong Hewan (RPH) bagi wilayah-wilayah yang di luar batas Rumah Potong Hewan tetapi tetap dalam pengawasan petugas Dinas Peternakan dan Perikanan, hal ini dilakukan agar ternak yang dipotong tetap terjamin kesehatan dan kehalalannya. Jumlah
pemotongan
ternak
yang
dilaksanakan
di
Kabupaten
Banyumas berkisar antara 15 Sampai dengan 17 perharinya untuk Rumah Potong Hewan Type C, sedangkan untuk Rumah Potong Hewan Type D berkisar antara 2 sampai dengan 4 perhari. Tarif yang dipungut lewat retribusi sebesar Rp 22.000,00 untuk pemotongan ternak besar, yang meliputi pungutan biaya pemeriksaan hewan sebelum dipotong, pemakaian kandang (karantina), pemakaian tempat pemotongan, pemakaian tempat pelayuan dan pemeriksaan daging. Tarif yang dipungut untuk pemotongan ternak kecil Rp 5.000,00, sedangkan tarif retribusi untuk ternak babi sebesar Rp 23.500,00. Tarif ini
6
sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 4 Ta hun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan. Jadwal pemotongan ternak besar biasanya dimulai dari pukul 03.00 sampai dengan 11.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB), sedangkan jadwal untuk pemotongan ternak kecil antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 11.00 kecuali untuk ternak babi yaitu antara pukul 02.00 sampai dengan pukul 05.00. Waktu pemotongan ternak sepenuhnya diserahkan kepada pemilik ternak, karena Rumah Potong Hewan hanya menyediakan tempat untuk memotong dan pemeriksaan kesehatan daging yang akan didistribusikan kepada konsumen, sehingga waktu pemotongan ternak tergantung pada jumlah orang yang mengerjakan pemotongan ternak tersebut, semakin banyak yang mengerjakan akan semakin cepat selesai, demikian juga semakin profesional orang yang mengerjakan akan semakin cepat selesai pula. Umumnya setiap ternak besar membutuhkan waktu lebih kurang dua jam untuk mengerjakannya mulai dari memotong leher sampai dengan membersihkan jeroannya, sedangkan untuk ternak kecil biasanya dibutuhkan waktu lebih kurang satu jam. Pemotongan ternak besar maupun ternak kecil kecuali ternak babi sebenarnya
tidak
ada
batasan
dalam
waktu
pemotongan,
pukul
berapapun tidak menjadi masalah karena tidak ada pengaruh terhadap kualitas daging ternak yang dipotong. Lain halnya dengan ternak babi, ternak babi harus dipotong sepagi mungkin, hal ini dikarenakan daging
7
ternak babi akan berubah warna apabila terkena sinar matahari, daging ternak babi berubah menjadi berwarna pucat. Sehingga konsumen tidak akan tertarik oleh warna pucat tersebut, konsumen cenderung untuk membeli daging ternak babi yang masih berwarna kemerahan. Dengan demikian pemotongan ternak babi dilaksanakan sepagi mungkin agar pemasarannyapun masih terjangkau pagi hari sebelum matahari bersinar. Pemotongan ternak besar dan ternak kecil kecuali ternak babi dapat dilaksanakan kapan saja sepanjang hari, sesuai
kebutuhan pemilik
ternak, asalkan penanganan ternak sebelum dan sesudah pemotongan mengikuti
petunjuk yang berlaku untuk menjaga kesehatan dan
kehalalan daging yang dihasilkan. Saat ini Rumah
Potong Hewan Kabupaten Banyumas belum
dimanfaatkan secara maksimal, karena Rumah Potong Hewan hanya menerima pemotongan
ternak jam-jam tertentu saja yaitu pukul 03.00
sampai dengan pukul 11.00 untuk ternak besar dan pukul 05.00 sampai dengan 11.00 untuk ternak kecil. Sehingga apabila ada pemilik ternak yang akan memotong ternaknya di luar jam-jam tersebut di atas harus menghubungi petugas Rumah Potong Hewan terlebih dahulu, setelah itu mereka baru bisa memotong ternaknya. Adanya
kandang
karantina
atau
lebih
tepatnya
kandang
peristirahatan yang belum digunakan sebagaimana mestinya, kandang karantina atau kandang peristirahatan ini digunakan untuk istirahat ternak sebelum dipotong, hal ini dimaksudkan agar ternak yang akan dipotong
8
bisa diistirahatkan terlebih dahulu dan dipuasakan. Dengan istirahat dan puasa, daging yang dihasilkan akan mempunyai tekstur yang lebih empuk dibanding
dengan
daging
hasil
pemotongan
ternak
yang
tidak
diistirahatkan dan dipuasakan terlebih dahulu. Ruang pelayuan daging juga belum dimanfaatkan secara optimal, masih terlihat banyak yang kosong bahkan kosong setiap harinya, padahal ruang pelayuan ini berguna untuk melayukan daging ternak yang baru dipotong, karena dengan dilayukan dengan waktu dan suhu tertentu tekstur daging ternak yang dipotong akan lebih empuk tekturnya. Empuknya tekstur daging ternak ini disebabkan karena turunnya rigormortis dalam daging ternak tersebut, juga dengan adanya pelayuan kandungan air dalam daging (Daya lkat Air) menurun, faktor ini pula yang menyebabkan tekstur daging menjadi lebih empuk. Pelayanan Publik yang dilaksanakan oleh pemerintah akhir-akhir ini sering menjadi sorotan dari masyarakat. Banyaknya masalah-masalah yang muncul yang disebabkan oleh adanya pelayanan yang kurang memuaskan para pelanggannya. Sehingga seolah-olah telah bergeser fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat menjadi pemerintah dalam hal ini birokrat sebagai majikannya. Hal ini disebabkan karena proses pelayanan publik yang cenderung berbelit-belit, tidak transparan dan
lamban sehingga menyebabkan timbulnya patologi birokrasi.
Patologi birokrasi mempunyai peluang yang sangat besar untuk muncul, karena banyaknya celah-celah yang memang mudah untuk tumbuh dan
9
berkembangnya
patologi
birokrasi
tersebut.
Patologi
birokrasi
sebenarnya tidak hanya diciptakan oleh aparat pemerintah sendiri, tetapi dari kedua belah pihak yaitu aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan
dan
masyarakat atau
pelanggan
sebagai
pihak yang
mendapatkan pelayanan. Kompleknya masalah pelayanan publik tersebut merupakan salah satu sebab yang telah membuat masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan terhadap birokrasi pemerintahannya. Dengan demikian masyarakat cenderung untuk berbuat yang tidak semestinya dilakukan misalnya dengan memberikan uang pelicin atau sogokan, seperti pemberian uang transport, uang rokok dan lain-lain sebagai ganti atau upah pelayanan yang telah diberikan oleh aparat, padahal uanguang tersebut diberikan diluar ketentuan yang telah ditetapkan. Rendahnya kinerja pelayanan publik yang muncul dalam bentuk kualitas pelayanan yang lamban, berbelit-belit dan tidak transparan disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Tidak adanya diskresi, yaitu kebebasan mengambil keputusan sendiri di setiap situasi yang dihadapi. Dalam hal ini diskresi oleh bawahan yang langsung berhadapan dengan masalah. Tidak masuk akal apabila
aparat
yang
bertugas
sehari-hari
tidak
mengetahui
permasalahannya secara detail. Oleh karena itu wajar bawahan diberi wewenang untuk mengambil keputusan apabila sudah dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan terutama yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dengan demikian bagi aparat tersebut tidak
10
perlu menunggu keputusan dari atasannya, dan bagi pelanggan akan menumbuhkan rasa puas dan percaya terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah karena cepatnya pelayanan yang diberikan oleh aparat pemerintah tersebut (Dwiyanto, 2001). 2. Budaya Paternalisme,
adalah suatu budaya yang menempatkan
pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Budaya Paternalisme di bidang pelayanan publik telah menempatkan pimpinan diatas sebagai pihak yang dominan dalam hampir segala urusan atau masalah. Pimpinan ditempatkan di atas yaitu menjadi pihak yang dominan, sehingga bawahan tidak berdaya apapun, semua permasalahan apalagi permasalahan yang penting harus menunggu atasan. Apapun keputusan atasan, senantiasa akan dipatuhi oleh bawahan dan akan dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab,
sehingga aparat
menjadi lupa yang menjadi tugas utamanya yaitu sebagai pelayan masyarakat. Aparat lebih mudah menelantarkan masyarakat daripada tidak mengindahkan perintah atasan. Semua perilaku aparat hampir sepenuhnya berorientasi kepada atasan, kepada kepentingan atasan, karena aparat takut untuk berbuat salah yang akhirnya akan memperburuk hasil penilaian kerja bawahan oleh atasan dalam bentuk DP3 (Dwiyanto, 2001). 3. Tidak transparan, dengan tidak menyebutkan atau mencantumkan tarif pelayanan yang diberikan oleh pemerintah akan membuat celah yang bagus terjadinya korupsi. Dalam pelayanan publik seharusnya
11
pemerintah mencantumkan tarif yang dikenakan untuk semua jenis pelayanan publik, bila mungkin tarif ini tidak hanya tercantum di kantor-kantor yang memberikan pelayanan tersebut, tetapi pemerintah juga dapat menginformasikan lewat radio, koran dan majalah lokal, televisi dan media lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat. Dengan tidak transparannya tarif yang dipungut oleh pemerintah akan menimbulkan
banyak
dugaan
dan
persepsi,
apalagi
ditambah
pelayanan publik yang selama ini dinilai lamban dan berbelit-belit, maka bagi pelanggan yang ingin urusannya cepat selesai akan berbuat menyimpang dari prosedur yang sebenarnya, mereka akan mengambil jalan pintas dengan memberikan imbalan berupa uang transpor maupun uang rokok kepada aparat yang melayani (Dwiyanto, 2001).
4. Diskriminasi, pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah saat ini masih menganut diskriminasi yang dikenakan pada masyarakat atau pelanggan. Diskriminasi ini disebabkan oleh siapa yang membutuhkan pelayanan tersebut, apabila yang membutuhkan pelayanan adalah pejabat maupun saudara atasan, maka proses pelayanan akan cepat bahkan sering tidak dipungut biaya.
Tindakan diskriminasi ini
cenderung disebabkan karena hubungan individual antara atasan dengan bawahan, yang seharusnya hal ini tidak boleh terjadi dalam birokrasi. Semestinya siapapun pelanggan yang harus dilayani tidak
12
dibedakan
dalam
proses
maupun
pembebanan
biaya,
semua
menempuh proses dan biaya yang sama (Dwiyanto, 2001). Merupakan suatu tantangan bagi unit Pelaksana Teknis Rumah Potong Hewan untuk menjalankan fungsinya, karena di satu sisi masyarakat sebagai obyek pendapatan Pemerintah Daerah karena mereka yang memberikan kontribusi melalui retribusi, namun di sisi lain Pemerintah Daerah dalam hal ini Rumah Potong Hewan juga harus memberikan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakatnya. Sebagai organisasi pelayanan publik maka dalam aspek gerak operasionalnya
dituntut
untuk
tidak
bertentangan
dan
mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ukuran ekstemal, seperti nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, peka dan tanggap terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa,
mencurahkan segala sumber daya aparat yang ada untuk
kepentingan pemberian pelayanan. Dengan demikian
Rumah Potong
Hewan secara akumulatif dapat menggambarkan kinerja dan citra yang baik sebagai suatu organisasi pelayanan publik. Menurut Dwiyanto (2002) Sistem pemberian pelayanan yang baik dapat dilihat dari besamya sumber daya manusia yang dimiliki secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pengguna jasa. ldealnya segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki hanya dicurahkan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa.
B. ldentifikasi dan Perumusan Masalah
13
Thema usulan penelitian tesis adalah " terciptanya kinerja organisasi pelayanan
jasa pemotongan ternak yang optimal sesuai dengan
kebutuhan
pelanggan/masyarakat".
Masalah
diartikan
sebagai
penyimpangan antara yang seharusnya terjadi dengan apa yang benarbenar terjadi (Sugiono, 2001: 35). Pada kenyataannya yang terjadi di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas masih ditemukan kekurangan-kekurangan dalam praktek
pelayanan
jasa
pemotongan
ternak
kepada
masyarakat.
Kesenjangan antara pelayanan yang seharusnya dengan pelayanan yang diterima oleh masyarakat dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Masih belum dimanfaatkannya kandang peristirahatan (karantina) ternak sebelum dipotong. Hal ini didukung oleh pernyataan salah seorang pelanggan Sub Rumah
Pemotongan
Hewan Sokaraja
sebagai berikut : Kami memang tidak menggunakan kandang karantina, karena kami repot harus membayar orang untuk menjaga ternak tersebut di Rumah Pemotongan Hewan yang tidak ada penjaganya. 2. Masih belum dimanfaatkannya kamar pelayuan daging, untuk daging yang telah dipotong. Hal ini didukung oleh pernyataan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan Purwokerto Timur sebagai berikut : Ruang pelayuan memang tidak ada yang memanfaatkan, karena keterbatasan waktu dari pelanggan yang harus segera mendistribusikan dagingnya ke konsumen. 3. Masih adanya prosedur yang belum dilaksanakan oleh aparat Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
14
Banyumas. Hal ini ditunjukkan
oleh pemeriksaan ternak
sebelum
dipotong yang kurang dari 12 (dua belas) jam. Berdasarkan
fenomena-fenomena
tersebut,
dapat
dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : 1. Mengapa kinerja pelayanan pemotongan ternak yang dilaksanakan oleh Rumah Potong Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas belum optimal ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja pelayanan Rumah Potong
Hewan
Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas.
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilaksanakan ini adalah untuk mengetahui : 1. Kinerja pelayanan jasa pemotongan ternak yang dilaksanakan oleh Rumah Potong Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas belum optimal. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan Rumah Potong Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
D. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat antara lain : 1. Sebagai
bahan
masukan
bagi
Rumah
Potong
Hewan
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
15
2. Sebagai introspeksi terhadap pekerjaan yang sedang dan akan dilaksanakan E. Sistematika Penulisan
Penulisan dan pembahasan penulisan tesis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : Bab
Pendahuluan,
memuat
tentang
uraian
Latar
Belakang
Masalah,ldentifikasi dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II Kerangka Dasar Teori, menguraikan mengenai Teori dan Konsep yang berhubungan dengan Dependen Variabel dan FaktorFaktor yang mempengaruhi sebagai lndependen Variabel. Bab Ill Metodologi, memuat tentang Metode Penelitian, Lokasi Penelitian, Definisi Konsep, Definisi Operasional, Model Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisa Data. Bab IV Deskripsi Wilayah Penelitian, memuat tentang Pendahuluan, Tata Kerja,
Komposisi
Pegawai,
Persyaratan
dan
Prosedur
Pemotongan Ternak. Bab V
Analisis dan lnterpretasi, memuat tentang Analisa Kinerja Pelayanan, Sistem lnsentif , Kepemimpinan, Pendelegasian Wewenang Rumah
dan Kerjasama
Potong
Hewan
Jasa Pemotongan Ternak pad a
Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten Banyumas.
16
Bab VI
Penutup, memuat kesimpulan pokok dari hasil penelitian dan saran-saran.
17
BAB II KERANGKA DASAR TEORI
A. Kinerja Pelayanan 1. Pengertian Kinerja Pelayanan
Prawirosentono (1999:1) menjelaskan bahwa media Indonesia memberi
padanan
kata
kinerja
dalam
bahasa
lnggris adalah
''performance". Sedangkan arti performance dalam Kamus
Bahasa
lnggris - Indonesia (1997:425) adalah dayaguna, hasil, prestasi, yang berarti prestasi atau hasil yang dicapai dalam melaksanakan tugas. Definisi kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 :570) adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan kerja. Dengan kata lain kinerja merupakan tingkatan sejauhmana proses kegiatan organisasi itu memberikan hasil atau mencapai tujuan. Kemudian kinerja atau performance menurut
Prawirosentono
( 1999 : 2) adalah : Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(2001 :754)
moral
didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; susila. Etika didefinisikan sebagai ilmu tentang yang
mengajarkan
18
mengenai apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 :309). Berdasarkan pendapat Prawirosentono diatas, dapat dijelaskan bahwa kinerja berhubungan dengan bagaimana melakukan suatu pekerjaan dan menyempurnakan hasil pekerjaan sesuai dengan tujuan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab namun tetap mentaati segala peraturan-peraturan yang berlaku dengan benar. Sedangkan pengertian dari pelayanan menurut Moenir (2000:27) adalah: Pelayanan hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu ia merupakan proses. Sebagai proses, pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan orang dalam masyarakat. Selanjutnya Menpan (1993) menyatakan pelayanan adalah : segala bentuk kegiatan pelayanan dalam bentuk barang atau jasa dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 :646) pelayanan didefinisikan sebagai perihal atau cara melayani. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja pelayanan adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh suatu organisasi dalam mencapai tujuannya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut di atas
Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
19
sebagai
instansi/organisasi
pemerintah
memberikan jasa pelayanan
yang
mempunyai
tugas
berupa pemotongan ternak kepada
masyarakat harus memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan wewenang dan tanggung
jawabnya.
Masyarakat
yang
dilayani
oleh
Rumah
Pemotongan Hewan tersebut di atas adalah para pengguna jasa atau pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Petemakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. 2. Pengukuran Kinerja Pelayanan
Pengukuran kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengukur berhasil tidaknya suatu
organisasi
dalam
mencapai
tujuannya.
Bagi
Organisasi
pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang telah diberikan oleh organisasi pelayanan itu, apakah telah memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa/pelanggan atau masih jauh dari harapan pelanggan/pengguna jasa. Pengukuran kinerja pelayanan publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus dilihat juga dari indikator-indikator
yang
melekat
pada
pengguna
jasa,
seperti
kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsibilitas. Dalam pengukuran kinerja pelayanan publik, ada beberapa indikator yang
20
sering digunakan dalam mengukur kinerja pelayanan publik seperti yang dikemukakan oleh Dwiyanto (1995) dalam Dwiyanto (2001 :48), ada 5 (lima) konsep yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja organisasi
publik,
yakni
Produktivitas,
Kualitas
Pelayanan,
Responsivitas, Responsibilitas dan Akuntabilitas. Menurut
Dwiyanto
dan
Kusumasari
(2001
1)
dalam
penjelasannya mengenai kegunaan pengukuran terhadap kinerja adalah sebagai berikut : Penilaian terhadap kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, efisiensi pelayanan, memotivasi, memonitor para birokrat pelaksana mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani, dan menuntut perbaikan dalam pelayanan publik. Dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, banyak indikator yang bisa dipergunakan. Usaha-usaha
yang
dilakukan
dapat
untuk
meningkatkan
pelayanan, sebagaimana disebutkan Parasuraman, Zeithaml dan Berry (dalam Yamit, 2001
:32) adalah menyangkut faktor-faktor
sebagai berikut:
a.
Reliabilty
1). Pengaturan fasilitas 2). Sistem dan prosedur dilaksanakan taat azas 3). Meningkatkan efektifitas jadwal kerja 4). Meningkatkan koordinasi antar bagian b.
Responsiveness
1). Mempercepat pelayanan
21
c.
d.
e.
f.
2).
Pelatihan karyawan
3).
Komputerisasi dokumen
4).
Penyederhanaan sistem dan prosedur
5).
Pelayanan yang terpadu (one-stop-shoping)
6).
Penyederhanaan Birokrasi
7).
Mengurangi pemusatan keputusan
Competence 1).
Meningkatkan profesionalisme karyawan
2).
Meningkatkan mutu administrasi
Credibility 1).
Meningkatkan sikap mental karyawan untuk bekerja giat
2).
Meningkatkan kejujuran karyawan
3).
Menghilangkan kolusi
Tangible 1).
Perluasan kapasitas
2).
Penataan fasilitas
3).
Meningkatkan infrastruktur
4).
Menambah peralatan
5).
Menambah/menyempurnakan fasilitas komunikasi
6).
Perbaikan sarana dan prasarana
Understanding 1).
Sistem dan prosedur pelayanan yang menghargai konsumen
2).
Meningkatkan keberpihakan pada konsumen
22
g.
Communication
1). Memperjelas pihak yang bertanggung jawab dalam setiap kegiatan 2). Meningkatkan efektifitas komunikasi dengan klien 3)
Membuat
sistem
informasi
manajemen
(SIM)
yang
terintegrasi. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kinerja dikatakan baik apabila kedua belah pihak, yaitu pemberi dan penerima pelayanan merasa nyaman di lingkungan kerja atau di tempat pemberian pelayanan seperti adanya ruang tunggu dan ruang kerja yang memadai, pelayanan yang benar, baik, ramah dan memberi perhatian kepada pengguna jasa/pelanggan serta adanya kepastian pelayanan atau pelayanan yang dapat dipercaya.
Disamping seperti
yang tersebut di atas juga memiliki peralatan kerja yang menunjang pelaksanaan pekerjaan,
memiliki sarana komunikasi dan peralatan-
peralatan lainnya serta dilakukan oleh karyawan yang memiliki keterampilan. Untuk lebih baiknya organisasi tersebut juga dapat memberikan informasi yang akurat mengenai bagaimana pelayanan tersebut diberikan,
seperti adanya pengumuman-pengumuman baik yang
berhubungan dengan peraturan-peraturan atau prosedur-prosedur pelayanan. Dilain pihak pengguna jasa/pelanggan juga berharap adanya daya tanggap yang baik dari pihak penyedia pelayanan dan menindak lanjuti apa yang menjadi kebutuhan dan keluhan pengguna 23
jasa/pelanggan. Dalam
melaksanakan
dituntut memiliki
tugasnya,
pihak
penyedia
pelayanan
kompetensi, profesionalisme , keramah tamahan,
dapat dipercaya serta adanya jaminan untuk merasa aman termasuk kepedulian karyawan terhadap pengguna jasa. Sudjatmo (2000 : 5) mengemukakan tentang prinsip-prinsip pemberian pelayanan umum yang dilaksanakan oleh unit-unit kerja Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu dengan menerapkan prinsip akuntabilitas, pertimbangan efisiensi dan tanpa menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi. Selanjutnya Zauhar ( 1996 : 9) menyebutkan : . . . . peningkatan kinerja individu dapat dilihat dari ketrampilannya, kecakapan praktisnya, kompetensinya, pengetahuan dan informasinya, keluasan pengalamannya, sikap dan perilakunya, kebijakannya, kreativitasnya, moralitasnya dan lain-lain. Kinerja kelompok dilihat dari aspek kerjasamanya, keutuhannya, disiplinnya, loyalitasnya dan lain-lain. Sedangkan kinerja institusi dapat dilihat dari hubungannya dengan institusi lain, fleksibilitasnya, pemecahan konflik dan lain-lain. Berdasarkan pendapat di atas, kinerja sangat kompleks dan memiliki derajat yang tinggi dari suatu hasil pada kondisi tertentu, baik dilihat secara individu, kelompok dan Organisasi. Karena kinerja organisasi ditentukan oleh kinerja individu dan kelompok yang ada di dalamnya. Kinerja merupakan salah satu ukuran berhasil atau tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Organisasi yang baik adalah organisasi yang mempunyai kinerja yang baik dalam pencapaian
24
tujuannya, sedangkan organisasi yang jelek adalah organisasi yang mempunyai
kinerja
yang
jelek
dalam
mencapai
tujuan
dari
organisasinya. Oleh karena itu pengukuran kinerja sangat diperlukan oleh suatu organisasi, karena dengan adanya pengukuran kinerja organisasi dapat memonitor dan mengevaluasi kinerjanya, dengan demikian organisasi akan segera memperbaiki kinerjanya apabila dipandang
kinerjanya
kurang
baik
dan
mempertahankan
atau
meningkatkan kinerjanya apabila dipandang kinerjanya sudah baik. Sebagaimana dikatakan
Dwiyanto (2001 ), dengan kinerja yang
baik pemerintah bisa membangun hubungan yang baik dengan masyarakatnya dan memperluas legitimasinya dimata publik. Sedangkan kinerja pelayanan publik yang buruk merupakan hasil dari kompleksitas permasalahan yang ada ditubuh birokrasi Indonesia, seperti: a.
Tidak ada sistem insentif untuk melakukan perbaikan.
b.
Buruknya tingkat diskresi
atau
pengambilan
inisiatif dalam
pelayanan publik, yang ditandai dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada aturan formal (rule driven) dan petunjuk pimpinan dalam melakukan tugas pelayanan.
Pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah digerakkan oleh peraturan dan anggaran bukan oleh misi. Dampaknya adalah pelayanan menjadi
kaku
mengakomodasi
dan
tidak
inovatif
kepentingan
sehingga
masyarakat
tidak
mampu
yang
selalu
25
berkembang. c.
Budaya paternalisme yang tinggi, artinya aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas utama, bukan kepentingan masyarakat.
d.
Diskriminasi dalam pemberian pelayanan publik, yaitu perlakuan diskriminatif petugas penyedia pelayanan terhadap pengguna jasa. Selanjutnya Osborne dan Gaebler (2000 : 168) mengemukakan
tentang kekuatan pengukuran kinerja, yaitu : organisasi-organisasi yang
mengukur
menghubungkan
kinerja
mereka
pembiayaan
-
atau
meskipun
imbalan
mereka
dengan
tidak
hasilnya -
menyadari bahwa informasi mengubah mereka. Dari pendapat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila dilakukan penilaian atau pengukuran terhadap kinerja suatu organisasi, maka hasil penilaian tersebut sangat berpengaruh terhadap bagaimana seharusnya roda organisasi itu dijalankan dalam rangka pencapaian tujuannya. Karena hasil dari pengukuran/penilaian kinerja ini dapat dijadikan
acuan/patokan
untuk
menjalankan
roda
organisasi
selanjutnya atau di masa yang akan datang. Apabila organisasi selalu melaksanakan pengukuran terhadap kinerja, hal ini sangat bermanfaat bagi organisasi yang bersangkutan karena adanya hasil pengukuran kinerja tersebut organisasi dapat menentukan
atau
mengambil
langkah-langkah
yang
dilaksanakan oleh organisasi dalam pencapaian tujuannya.
harus Dengan
26
demikian peranan pengukuran kinerja menjadi sangat penting bagi jalannya roda organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2000 : 3) menegaskan bahwa pengukuran kinerja penting peranannya sebagai alat manajemen untuk : a.
Memastikan pemahaman para pelaksana akan ukuran yang digunakan untuk pencapaian kinerja.
b.
Memastikan tercapainya rencana kinerja yang telah disepakati.
c.
Memonitor
dan
mengevaluasi
pelaksanaan
kinerja
dan
membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja. d.
Memberikan penghargaan dan hukuman yang obyektif atas prestasi
pelaksana yang telah diukur sesuai dengan sistem
pengukuran kinerja yang telah disepakati. e.
Menjadi alat
komunikasi antar bawahan dan pimpinan dalam
rangka upaya memperbaiki kinerja organisasi. f.
Mengidentifikasikan
apakah
kepuasan
pelanggan
sudah
terpenuhi. g.
Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah.
h.
Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif.
1.
Menunjukkan peningkatan yang diperlukan.
27
j.
Mengungkapkan permasalahan yang terjadi Dalam
LAN-BPKP (2000:5),
Wittaker menyebutkan dalam
bukunya "The Government Performance Result Act of 1993" bahwa Pengukuran
Kinerja
merupakan
suatu
alat
manajemen
yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Berdasarkan beberapa pendapat dan penjelasan
di atas, baik
mengenai konsep-konsep atau pengertian tentang kinerja, pengukuran kinerja, pentingnya pengukuran kinerja dan bagaimana mengukur kinerja, maka penelitian ini menggunakan indikator : Akuntabilitas, Responsivitas, Efisiensi dan Orientasi pelayanan sebagai indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja dalam penelitian ini. Untuk
memperjelas
penggunaan
indikator
tersebut
berikut
dikemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan teori dan konsep dari masing-masing indikator, yaitu :
a. Akuntabilitas Gafar (1999 : 7) mendefenisikan akuntabilitas sebagai berikut : Akuntabilitas adalah setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggung jawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau katakatanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang bahkan akan dijalaninya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pejabat yang dipilih oleh rakyat benar-benar harus bisa mempartanggung
28
jawabkan segala kebijaksanaan yang hendak, sedang dan akan dilaksanakan, demikian juga dengan ucapan atau kata-katanya dan perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang bahkan yang akan dijalaninya kepada yang memilihnya yaitu rakyat/masyarakat. Sedangkan
Lembaga
Administrasi
Negara
(1999
3)
mengartikan : Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif dari suatu yang memiliki hak atau organisasi kepada pihak berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Selanjutnya Dwiyanto (1995 ) dalam Dwiyanto (2002:49) mengemukakan bahwa : Dalam konteks Indonesia, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Karena itu, dilihat dari dimensi ini, kinerja organisasi publik tidak bisa hanya dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, pencapaian target. Kinerja sebaliknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Dwiyanto (2002:55) juga menyebutkan Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholders.
29
Nilai mempunyai arti harga; mutu; sifat-sifat yang penting atau berguna bagi manusia
kemanusiaan;
sesuai
dengan
sesuatu yang
hakikatnya
(Kamus
menyempurnakan Besar Bahasa
Indonesia 2001 : 783). Sedangkan norma mempunyai arti aturan atau ketentuan yang mengikat
warga
kelompok
di
masyarakat;
dipakai
sebagai
panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku yang sesuai; aturan, ukuran atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001: 787). Dari pendapat dan penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa kinerja organisasi dianggap atau mempunyai akuntabilitas yang baik apabila organisasi tersebut dalam melaksanakan kegiatannya dalam mencapai tujuan tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya Osborne dan Plastrik (2001 : 47) mengemukakan sejumlah pernyataan tentang akuntabilitas dalam hubungannya dengan strategi pelanggan yang merupakan salah satu unsur dari lima strategi, dimana strategi pelangganlah yang paling erat hubungannya dengan persoalan tanggung jawab. Sehubungan dengan hal itu dijelaskan bahwa: Penciptaan pertanggungjawaban kepada pelanggan semakin menekan organisasi-organisasi Pemerintah untuk memperbaiki hasil-hasil mereka, tidak sekedar mengelola sumber daya mereka. Strategi ini menciptakan informasi - Kepuasan
30
pelanggan terhadap pelayanan dan hasil-hasil tertentu dari pemerintah yang sulit diabaikan oleh pejabat terpilih, manajer pemerintah dan Pegawai. Kemudian pada bagian lain disebutkan pula bahwa strategi ini bisa
berjalan
baik
apabila
pejabat
terpilih
menyelaraskan
pertanggung jawaban ganda ini dengan cara menyatakan tujuan mereka sesuai dengan kepuasan pelanggan dan menjaga agar organisasi
bertanggung
jawab
untuk
memenuhi
kebutuhan
pelanggan. Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa
penyelenggaraan
akuntabilitas
pelayanan
bertentangan
dengan
berkembang
dalam
nilai
adalah
publik dan
masyarakat,
yang norma
suatu sesuai
yang
fleksibel
kegiatan atau
tumbuh
serta
tidak dan
mendorong
kreativitas dalam memberikan pelayanan publik.
b. Responsivitas Sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja pelayanan publik,
responsivitas secara sederhana dapat diartikan mau
mendengarkan saran (Echols dan
Shadily, 1997 : 481).
Dari
pengertian di atas terlihat adanya komunikasi dalam bentuk aspirasi atau kehendak dari satu pihak kepada pihak lain serta memperhatikan apa yang disampaikan oleh komuniken. Menurut Dwiyanto dan Kusumasari (2001 : 2), responsivitas penting dalam hubungannya dengan penilaian kinerja, yaitu : 31
Dalam kaitannya dengan penilaian kinerja pelayanan publik, responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bentuk kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan dari masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan programprogram pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa responsivitas
adalah
kemampuan
birokrasi
untuk
mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan
dan
dikatakan
bahwa
aspirasi
masyarakat.
responsivitas
ini
Secara
singkat dapat
mengukur daya tanggap
birokrasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa/pelanggan. Organisasi yang dalam melaksanakan tugasnya
mempunyai
peran sebagai pelayan publik dituntut harus peka terhadap apa yang
menjadi
kebutuhan
atas
tuntutan
dari
pengguna
jasa/pelanggan. Organisasi tersebut harus mengerti kebutuhan, keinginan dan aspirasi masyarakat, selanjutnya bisa menerapkan dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan sehingga pelayanan yang diberikan
kepada
pengguna
jasa/pelanggan
sesuai
dengan
harapan dan kebutuhan masyarakat/pengguna jasa. Sejalan dengan itu, Osborne dan
Plastrik (2001 : 185)
mengemukakan bahwa Sistem Keluhan Pelanggan menelusuri dan menganalisa keluhan pelanggan, memastikan respon segera dan 32
menciptakan metode dimana organisasi bisa belajar dari kesalahan tersebut untuk memperbaiki pelayanan mereka. Karena dengan mempelajari dan menganalisa keluhan pelanggan, organisasi akan segera mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan pelanggan/pengguna jasa dengan demikian organisasi akan lebih mudah memperbaiki pelayanan yang mereka berikan. Masih kaitannya dengan responsivitas, Osborne dan Gaebler (2000 : 192) menyebutkan bahwa : Pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya. Bisnis ada untuk memperoleh profit. Dan karena itulah tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Selanjutnya pada bagian lain disebutkan bahwa : Satu-satunya cara terbaik untuk membuat pemberi jasa publik merespon kebutuhan pelanggan mereka adalah menempatkan sumber daya ditangan pelanggan dan membiarkan mereka memilih. Dengan berpedoman pada beberapa pendapat di atas, bahwa organisasi publik harus mau dan mampu mendengarkan serta peka terhadap
apa
yang
menjadi
tuntutan
dan
kebutuhan
dari
masyarakaUpengguna jasa. Lebih penting lagi adalah mewujudkan keinginan-keinginan
dan
kebutuhan-kebutuhan
masyarakaUpengguna jasa tersebut kedalam praktek kegiatan pelayanan yang diberikan kepada masyarakaUpengguna jasa. Dengan demikian akan tercapai suatu kinerja organisasi yang baik dalam arti dapat memuaskan pengguna jasa/pelanggan, dilain
33
pihak pemberi pelayanan akan merasa puas karena dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pengguna jasa/pelanggan. Semakin peka organisasi mengenali dan memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat/pengguna jasa kemudia merefleksikan dalam kegiatan pelayanan maka akan semakin baik kinerja organisasi tersebut. Secara
sederhana
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
responsivitas dalam penelitian ini adalah kemampuan aparat Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
Oinas
Petemakan
dan
Perikanan Kabupaten Banyumas untuk mengenali kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam hal ini pengguna jasa/pelanggan yang direfleksikan kedalam program dan kegiatan pelayanan yang nyata berpihak kepada pengguna jasa/pelanggan.
c. Efisiensi Echols dan Shadily (1997:207) menyebutkan bahwa efisien padanan kata dari efficient yang berarti tepat guna atau berdaya guna, sedangkan efisiensi atau efficiency berarti ketepatgunaan. Menurut Dwiyanto (2002:73) efisiensi adalah perbandingan terbaik antara input dan output pelayanan. Secara ideal pelayanan akan efisien apabila birokrasi pelayanan dapat menyediakan input pelayanan seperti biaya dan waktu pelayanan yang meringankan masyarakat pengguna jasa.
Demikian pula pasa sisi output 34
pelayanan,
birokrasi
secara
ideal
harus dapat memberikan
pelayanan yang berkualitas, terutama pada aspek biaya dan waktu pelayanan. Pelayanan
dikatakan
publik
efisien
apabila
pengguna
pelayanan dapat dilayani dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan
biaya yang
semurah-murahnya.
Semakin
efisien
suatu
pelayanan, maka kinerja pelayanan yang dihasilkan semakin baik (Dwiyanto dan Kusumasari, 2001 :3). Jelas kiranya bahwa efisiensi sangat erat hubungannya dengan biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jasa/pelanggan untuk memperoleh
pelayanan
dari
birokrasi
yang
berkualitas
dan
memuaskan pelanggan. Dalam hal ini biaya yang dibayarkan oleh pengguna jasa/pelanggan adalah
retribusi,
dengan demikian
pengguna jasa/pelanggan wajib menikmati manfaat yang diberikan oleh birokrasi sehubungan dengan pelayanan yang diberikan. Sehingga dengan demikian efisiensi benar-benar dirasakan oleh pengguna jasa/pelanggan. Dalam rangka pemberian pelayanan kepada publik, satu hal yang sangat penting adalah dengan tetap memperhatikan efisiensi pelayanan. Karena efisiensi ini penting, maka ia dijadikan salah satu ukuran atau indikator untuk mengukur kinerja pelayanan publik dengan
memasukkan
unsur
efisiensi.
Efisiensi
disini
lebih
menekankan pada kepuasan yang dirasakan oleh pengguna jasa
35
yang diukur melalui penggunaan waktu yang dibutuhkan dan biaya yang dikeluarkan. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin efisien pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pelayanan maka akan semakin baik kinerja organisasi pelayanan tersebut, hal ini karena biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jasalpelanggan dengan
sesuai
pelayanan
yang
diterima
oleh
pengguna
jasa/pelanggan dari birokrasi pelayanan tersebut, sehingga akan menumbuhkan kepuasan pada diri pengguna jasa/pelanggan. Semakin
efisien
suatu
pelayanan
sehubungan
dengan
kepuasan yang dirasakan oleh pengguna jasalpelanggan dalam penggunaan waktu dan biaya maka akan semakin baik kinerja organisasi pelayanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin
singkat
waktu
yang
dibutuhkan
oleh
pengguna
jasalpelanggan dan semakin murah biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jasa/pelanggan dalam memperoleh jasa pelayanan maka
semakin
efisien
organisasi
pelayanan
melaksanakan
tugasnya yang berarti kinerja organisasi pelayanan tersebut semakin baik.
d. Orientasi terhadap pelayanan
Ukuran lain dari kinerja pelayanan publik adalah Orientasi terhadap pelayanan. Kehadiran organisasi publik adalah suatu alat untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan publik
36
atau
masyarakat.
Organisasi publik tugas utamanya adalah
melayani kepentingan publik, bukan mencari profit karena profit adalah kepentingan pihak swasta dalam mencapai tujuannya, sedangkan organisasi publik tujuannya adalah melayani publik agar publik terpenuhi kebutuhannya.
Jadi kinerja organisasi publik
dapat dikatakan berhasil apabila ia mampu mewujudkan apa yang menjadi
tugas
dan
fungsi
utama
dari
organisasi
yang
bersangkutan. Untuk itu maka organisasi maupun karyawan yang melaksanakan suatu kegiatan harus selalu berorientasi dan berkonsentrasi terhadap apa yang menjadi tugasnya. Sehubungan dengan itu, Dwiyanto dan Kusumasari, (2001 : 2) memberikan pengertian bahwa : Orientasi pelayanan menunjuk pada ukuran seberapa besar sumber daya yang dimiliki oleh petugas digunakan untuk melayani pengguna pelayanan. ldealnya, sumber daya yang dimiliki oleh petugas hanya digunakan untuk melayani masyarakat. Dengan demikian, apabila petugas tidak memiliki pekerjaan dan tugas lain diluar pekerjaan penyelenggaraan pelayanan, akan semakin baik kinerjanya karena semua sumber daya yang dimiliki dapat dicurahkan untuk melayani masyarakat pengguna pelayanan. Kemudian Dwiyanto (2002:67) menjelaskan bahwa orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan dikatakan baik , dapat dilihat dari besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pengguna jasa.
37
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak ada alasan bagi karyawan untuk tidak berkonsentrasi terhadap tugas yang dibebankan oleh organisasi, termasuk didalamnya untuk mengeksploitasi segala sumber daya yang karyawan
dimiliki
guna
menunjang
kegiatan
pelaksanaan
organisasi untuk memuaskan pengguna jasa. Apabila pengguna jasa
merasa puas, inilah hasil dari organisasi pelayanan publik.
ldealnya segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa. Dengan
demikian
maka
semakin
tinggi
prosentase
penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu organisasi pelayanan untuk melayani kepentingan pengguna jasa/pelanggan maka semakin baik kinerja organisasi pelayanan tersebut. Kinerja organisasi pelayanan adalah hasil kerja atau prestasi yang dicapai oleh suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Berdasarkan uraian di atas, maka kinerja organisasi pelayanan yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah kinerja organisasi
pelayanan jasa pemotongan ternak yang dilaksanakan oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya.
38
Dari konsep tersebut dapat ditegaskan bahwa kinerja organisasi pelayanan jasa pemotongan ternak yang dilaksanakan oleh Rumah Pemotongan Hewan
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas dalam penelitian ini diukur dari : a. Akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian antara penyelenggara pemerintahan dengan ukuranukuran eksternal yang ada di masyarakat seperti nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat tersebut. b. Responsivitas adalah kemampuan untuk mengenali kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang direfleksikan kedalam program dan kegiatan
pelayanan
yang
secara
nyata
berpihak
kepada
masyarakat. c. Efisiensi adalah penggunaan waktu yang relatif cepat serta dengan biaya
yang
murah,
pengguna jasa
sudah
mendapat
hasil
pelayanan yang baik. d. Orientasi Terhadap Pelayanan adalah seberapa besar sumber daya yang dimiliki oleh aparat /petugas hanya digunakan untuk melayani pengguna jasa/pelanggan.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Pelayanan
Kinerja pelayanan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor, baik dilihat dari
aspek
Responsivitas,
Akuntabilitas,
Efisiensi
dan
Orientasi
pelayanan, keterbukaan, wewenang dan tanggung jawab, moral dan etika dan lain sebagainya. 39
Dalam meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat atau pengguna jasa/pelanggan, harapan pengguna jasa/ pelanggan terhadap kinerja pelayanan merupakan dasar yang digunakan untuk meningkatkan kinerja pelayanan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas ada beberapa faktor yang menjadi penghambat peningkatan kinerja pelayanan, sehingga pelayanan yang diberikan oleh organisasi pelayanan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pengguna jasa/pelanggan. Faktor-faktor yang menjadi penghambat kinerja pelayanan menurut Yamit ( 2001 : 32), yaitu: a. Kurang otoritas yang diberikan pada bawahan. b. Terlalu
birokrasi
sehingga
lambat
dalam
menanggapi
keluhan
konsumen. c. Bawahan tidak berani
mengambil keputusan sebelum ada ijin dari
atasan. d. Petugas sering bertindak kaku dan tidak memberi jalan keluar yang baik. e. Banyak instansi atau bagian lain yang terkait f.
Tidak ada keselarasan antar bagian dalam memberikan layanan
g. Belum ada sistem informasi manajemen (SIM) yang terintegrasi h. Petugas sering tidak ada ditempat pada waktu jam kerja sehingga sulit untuk dihubungi.
i.
Banyak interest pribadi
j.
Budaya tip
40
k. Aturan main yang tidak terbuka dan tidak jelas. I.
Disiplin kerja sangat kurang dan tidak tepat waktu
m. Ada diskriminasi dalam memberikan pelayanan Robbins (2001 : 273) mengatakan: Sejumlah faktor struktural menunjukkan suatu hubungan kinerja. Diantara faktor yang lebih menonjol adalah persepsi peran, norma, inekuitas status, ukuran kelompok, susunan demografinya, tugas kelompok, dan kekohesifan. Lebih lanjut dikatakan Robbins (2001 : 273): Norma mengendalikan perilaku anggota kelompok dengan menegakkan standar-stan dar mengenai apa yang benar dan salah. Jika para manajer mengetahui norma dari suatu kelompok tertentu, perilaku anggota-anggotanya dapat dibantu dijelaskan. Bilamana norma mendukung keluaran tinggi, para manajer dapat mengharapkan kinerja akan tinggi daripada norma yang bertujuan merintangi. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktorfaktor yang dapat mempengaruhi peningkatan
kine~a
pelayanan antara
lain: 1. Sistem lnsentif Definisi
sistem
menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(2001: 1076) adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya; metode. Sedangkan definisi
insentif menurut
Kamus
Besar Bahasa
Indonesia (2001 :435) adalah tambahan penghasilan berupa uang , barang dan sebagainya yang diberikan untuk meningkatkan gairah kerja, singkat kata insentif adalah uang perangsang.
41
lnsentif merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat, karena dengan adanya penerapan sistem insentif akan memotivasi aparat dalam melaksanakan pekerjaannya. Menurut Dwiyanto (2002:202) Sistem insentif merupakan elemen yang penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan dalam mencapai prestasi kerja yang diinginkan. lnsentif yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan materi maupun non materi, sedangkan untuk karyawan yang tidak berprestasi mendapatkan disinsentif berupa teguran, peringatan, penundaan pangkat/penurunan pangkat bahkan pemecatan. Dengan demikian insentif merupakan sarana atau alat dari motivasi, insentif dapat diprogramkan secara sederhana melalui tunjangan seperti : asuransi kesehatan dan jiwa, penghargaanpenghargaan, kompensasi pendapatan tambahan di luar gaji serta fasilitas-fasilitas lainnya. Dalam kaitannya dengan pelayanan publik, Dwiyanto (2001 :4) menegaskan tentang sistem insentif sebagai berikut : Perlu dilakukan pemberian penghargaan terhadap pegawai. penghargaan ini dapat berupa moril maupun materiil atas kinerja pegawainya. Seperti peningkatan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi atau pemberian uang dengan sejumlah nominal tertentu. Penghargaan ini diberikan atas usaha seseorang pegawai yang telah berinovasi menciptakan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat pengguna jasa. Selain itu sangsi yang tegas juga diberlakukan apabila pegawai tidak menunjukkan kinerja yang baik. Dari uraian Dwiyanto (2002:202), sistem insentif merupakan elemen yang penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi
42
karyawan dalam mencapai prestasi kerja yang dicapai. Dengan memperhatikan definisi tersebut di atas maka sistem insentif merupakan suatu totalitas yang meliputi insentif dan disinsentif, dimana pemberian insentif itu karena prestasi yang diperoleh oleh aparat dalam mencapai tujuannya sedangkan disinsentif merupakan suatu peringatan karena kelalaian yang diperbuat oleh aparat dalam mencapai tujuannya. lnsentif diberikan kepada aparat yang berprestasi yaitu penghargaan berupa materi maupun non materi, sedangkan diinsentif diberikan dalam bentuk teguran lisan maupun tulisan, penundaan
kenaikan
pangkat,
penurunan
pangkat
maupun
pemecatan. Dari uraian mengenai arti dan pentingnya sistem insentif serta bentuk-bentuk insentif, maka sistem insentif merupakan bagian dari daya dorong yang menyebabkan orang bertindak atau bertingkah laku tertentu yang disebut dengan motivasi. Moenir
(2000: 136)
menyebutkan
bahwa
motivasi
adalah
rangsangan dari luar dalam bentuk benda atau bukan benda yang dapat menumbuhkan dorongan pada orang untuk memiliki, menikmati, menguasai atau mencapai benda/bukan benda tersebut. Sedangkan menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(2001 :756)
motivasi
didefinisikan sebagai dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau
43
kelompok orang tertentu bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Sistem insentif diberikan untuk memotivasi berarti untuk merangsang karyawan agar dapat berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan organisasi, sehingga apa yang diperbuat oleh karyawan tersebut adalah benar-benar tumbuh dari dalam dirinya, dengan demikian apa yang diperbuat oleh karyawan tersebut dapat mendatangkan kepuasan pada dirinya. Motivasi merupakan salah satu unsur pokok dalam perilaku man usia (Thoha, 2002: 177). Perilaku man usia pada hakekatnya adalah berorientasi kepada tujuan dengan kata lain bahwa perilaku seseorang itu pada umumnya dirangsang oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan. Sedangkan satuan dasar dari perilaku adalah kegiatan, sehingga dengan demikian semua perilaku adalah serangkaian
kegiatan-kegiatan
atau
aktivitas-aktivitas.
Motivasi
merupakan daya dorong yang terdapat dalam diri seseorang untuk bertindak atau bertingkah laku tertentu yang disebut motif. Seseorang bertindak atau
bertingkah
laku tertentu
didorong oleh
adanya
keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. Sehubungan dengan itu Utomo dan Abidin (2000:43) yang menyunting teori hierarkhi dari Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan manusia tersusun secara berjenjang, Maslow menghipotesiskan bahwa di dalam diri setiap manusia melakukan 5 (lima) jenjang kebutuhan sebagai berikut :
44
1. Kebutuhan fisiologis (faal),
antara lain
rasa lapar,
haus,
perlindungan (sandang dan papan), seks dan kebutuihan ragawi lainnya. 2. Kebutuhan rasa aman, antara lain : keselamatan, perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. 3. Kebutuhan sosial yang mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima baik dan persahabatan. 4. Kebutuhan akan penghargaan yang mencakup faktor internal seperti harga diri, bebas mengambil keputusan dan prestasi, sedangkan
faktor
eksternal
seperti
status,
pengakuan
dan
perhatian. 5. Kebutuhan aktualisasi diri mencakup dorongan untuk menjadi diri sendiri dalam kapasitas yang optimum, meraih potensi dan pemberdayaan diri. Berdasarkan
pendapat
disimpulkan
bahwa
setiap
manusia
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya secara bertingkat. Apabila kebutuhan dasarnya telah terpenuhi, maka akan menyusul kebutuhan yang lain, demikian seterusnya hingga pada hierarkhi yang tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Dengan demikian kebutuhan akan penghargaan bagi seseorang merupakan kebutuhan yang tertinggi, oleh
sebab itu seseorang akan
merasa sangat puas apabila
memperoleh suatu penghargaan. Sasaran utama penerapan insentif menurut Gibson Et.al (1996)
45
dalam Dwiyanto (2002:202) adalah menarik orang yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi, mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja dan memotivasi karyawan untuk mencapai prestasi tinggi.
Pemberian insentif kepada karyawan harus diberikan secara
terbuka, merata dan dikaitkan dengan prestasi kerja. Hal ini akan memacu karyawan bekerja lebih keras untuk mencapai prestasi. lnsentif diberikan kepada karyawan yang mempunyai prestasi dan kinerja yang baik dalam melaksanakan pekerjaannya, semakin baik prestasi yang diraih seseorang semakin tinggi pula insentif yang diterimanya. Dari uraian tersebut di atas, jelas kiranya sistem insentif diterapkan dalam suatu organisasi untuk dapat
memotivasi karyawan untuk
mencapai tujuan organisasi. Karena dengan adanya sistem insentif diharapkan
karyawan
akan
terdorong
memperolehnya
untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan demikian karyawan akan semakin mudah diarahkan karena dalam dirinya telah muncul kesadaran untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dengan penerapan sistem insentif akan meningkatkan kinerja pelayanan yang diberikan oleh organisasi terse but.
2. Pendelegasian wewenang Pendelegasian
wewenang
didefinisikan
sebagai
penyerahan
wewenang dari atasan kepada bawahan di lingkungan tugas tertentu
46
dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang menugasi (
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
2001 :247).
Pendelegasian
wewenang sangat penting artinya dalam suatu kegiatan organisasi agar lancar pada proses pencapaian tujuan, hal ini ditunjukkan dengan adanya penyerahan wewenang
kepada bawahan maka proses
pencapaian tujuan akan semakin cepat/lancar. Selanjutnya Siagian (1994:151) mengatakan bahwa organisasi yang dikelola secara demokratis salah satu perwujudannya adalah kesediaan seorang pejabat pimpinan untuk mendelegasikan wewenangnya kepada para bawahannya untuk mengambil keputusan sesuai dengan hirarki jabatannya dalam organisasi. Rumus yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa pada tingkat manajemen puncak keputusan yang diambil adalah yang bersifat strategis, para pimpinan di tingkat madya mengambil keputusan yang bersifat taktis dan para pimpinan di tingkat rendah mengambil keputusan teknis dan operasional. Dilihat dari kinerja manajerial penerapan prinsip pendelegasian wewenang sangat penting karena : a. Mutu keputusan yang diambil akan semakin tinggi b. Bagi setiap pimpinan tersedia waktu yang lebih banyak
untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi manajerial yang lain c. Operasionalisasi keputusan akan semakin efektif karena rasa tanggungjawab para pengambil keputusan pada berbagai tingkat akan semakin besar d. Para pimpinan yang lebih rendah merasa mendapat kepercayaan
47
dari atasan masing-masing. Pendelegasian wewenang terhadap bawahan sangat penting karena bawahan itu sebenarnya yang mengetahui secara langsung kebutuhan masyarakat. Aparat pelayanan adalah orang yang paling dekat dengan masalah dan peluang. Mereka lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi jam demi jam, hari demi hari dan jika memperoleh dukungan dari pimpinan, mereka dapat menciptakan solusi yang terbaik untuk memperbaiki organisasi sebagai satu kesatuan. Apabila pimpinan
mempercayai
pegawai
bawahannya
untuk
mengambil
keputusan penting, berarti pimpinan menghargai bawahan/pegawainya (Dwiyanto,2001 :4). Pendelegasian wewenang terhadap bawahan akan merangsang
pemunculan
inovasi-inovasi
yang
berkembang
dari
pegawai yang melaksanakan pekerjaan dan berhubungan dengan pelanggan/masyarakat.
Dampaknya adalah
munculnya semangat
kerja pegawai yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih produktif. Robbins (1994 : 275) menyebutkan wewenang sebagai hak untuk bertindak atau untuk memerintahkan orang lain untuk bertindak kearah pencapaian
tujuan
organisasi.
Pendelegasian
wewenang
dari
pimpinan ke bawahan akan memudahkan para pejabat di level menengah dan bawah untuk bertindak cepat serta dapat memutuskan sesuatu dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, hal ini disebabkan karena mereka tidak lagi menunggu perintah dari atasan mereka karena wewenang yang telah didelegasikan kepada mereka. Pendelegasian wewenang hanya mungkin berlangsung dengan baik 48
apabila penerima delegasi wewenang itu menunjukkan kematangan, tidak hanya dalam arti teknis, tetapi juga secara psikologis dan mental intelektual. Wewenang tidak dapat dilepaskan dengan tanggung jawab. Jika wewenang dapat diartikan sebagai hak menyuruh atau melarang orang lain melakukan sesuatu, tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul segala konsekuensi yang mungkin timbul karena penggunaan wewenang. Siagian ( 1994 : 152) mengatakan : Jika wewenang seseorang tidak diimbangi oleh tanggung jawab, tidak mustahil membuka peluang untuk bertindak otoriter atau diktatorial. Sebaliknya, jika seseorang hanya dibebani dengan tanggung jawab tanpa diimbangi oleh wewenang, mungkin seseorang akan ragu-ragu melakukan sesuatu karena takut jika tindakannya itu melampaui wewenangnya. Dengan demikian perlunya menekankan keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab karena keduanya dapat berdampak positif pada kinerja organisasi. Apabila seseorang diberi wewenang, maka ia dapat bertindak dan memutuskan sesuatu sesuai dengan wewenang yang diberikan kepadanya, sedangkan tanggung jawab adalah orang yang diberi wewenang harus bisa mempertanggung jawabkan semua tindakannya kepada yang memberi wewenang. Dengan demikian apabila pemberian wewenang disertai dengan tanggung jawab, maka proses pendelegasian wewenang akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan akan meningkatkan kinerja pelayanan. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
49
pendelegasian wewenang adalah pemberian hak untuk bertindak atau memutuskan sesuatu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan adanya pendelegasian wewenang dari atasan kepada bawahan, maka kinerja pelayanan akan semakin baik karena dengan adanya pendelegasian wewenang dari atasan kepada bawahan akan mempercepat proses pelayanan sehingga pengguna jasa/pelanggan akan segera dapat dilayani tanpa harus menunggu terlalu lama. Pendelegasian wewenang harus diikuti dengan kemampuan dan tanggung jawab dari petugas yang diberi wewenang tersebut, karena dengan
kemampuan
yang
dimiliki
aparat dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, sedangkan tangung jawab dibutuhkan untuk mempertanggung jawabkan semua tindakan yang dilakukan oleh aparat tersebut. 3. Kepemimpinan Kepemimpinan memimpin
didefinisikan
(Kamus
Besar
sebagai Bahasa
perihal
pemimpin,
Indonesia,
cara
2001 :874).
Kepemimpinan sering diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan (Thoha, 2001 :5). Kepemimpinan yang efektif perlu diikuti oleh sistem informasi pelayanan yang menyediakan segala macam data dan informasi yang tepat untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kualitas pelayanan yang menjadikan semua orang terlibat dengan pelayanan
50
baik langsung maupun tidak langsung mengarah pada tujuan yang sama, yaitu memberikan pelayanan dengan kualitas prima kepada pelanggan. Kepemimpinan kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan. Kepemimpinan merupakan suatu konsep yang abstrak, tetapi hasilnya nyata. Kadang kala kepemimpinan mengarah pada seni tetapi seringkali pula berkaitan dengan ilmu. Pada kenyataannya kepemimpinan merupakan seni sekaligus ilmu. Katz dan Kahn (1966) dalam Steers (1985:181) mendefinisikan kepemimpinan
sebagai tambahan
pengaruh yang
melebihi dan
mengatasi kepatuhan mekanis pada pengarahan rutin organisasi, dengan kata lain kepemimpinan terjadi jika seorang individu dapat mendorong orang lain mengerjakan sesuatu atas kemauannya sendiri dan bukan mengerjakannya karena wajib atau takut akan konsekuensi dari ketidakpatuhan. Kepemimpinan mempunyai peran yang sangat penting dalam struktur organisasi, karena melalui kepemimpinan organisasi dapat mengerahkan sumber dayanya untuk mencapai tujuan. Steers ( 1985 : 182) mengatakan : Karena tidak mungkin merancang organisasi yang "sempurna" dan mempertanggung jawabkan kegiatan setiap anggota disetiap waktu, dibutuhkan sesuatu yang dapat memastikan bahwa tingkah laku manusia dikoordinasikan dan diarahkan pada penyelesaian tugas. Sesuatu ini adalah kepemimpinan. Kepemimpinan menurut Terry dalam Thoha (2002:220) adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang agar diarahkan mencapai
51
tujuan organisasi. Sedangkan
kepemimpinan
menurut Robbins dalam Suwarto
(1999: 179) adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan. Dari
pendapat Terry dan
Robbins tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi
orang-orang
dalam
pencapaian
tujuan
organisasi. Dalam memimpin, seorang pemimpin tidak terlepas dari cara atau gaya
mereka
memimpin
organisasi.
Bagaimana
cara
mereka
mempengaruhi dan membawa orang-orang dalam organisasinya dalam mencapai tujuan organisasi. Secara teoritis ada bermacammacam Gaya kepemimpinan. Dalam penulisan teori dan konsep mengenai gaya kepemimpinan ini mengetengahkan Teori Path-Goal. Teori Path-Goal ini secara pokok adalah menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap kepuasan dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya. Teori Path-Goal versi House (Thoha, 2000 : 259) memasukkan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan sebagai berikut : 1) Kepemimpinan Direktif. Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis. Bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pimpinan. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan. 2) Kepemimpinan
yang
mendukung
(Supportive
Leadership).
52
Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang mumi terhadap para bawahannya. 3) Kepemimpinan Partisipatif. Gaya kepemimpinan ini, pimpinan berusaha meminta dan mempergunakan saran-saran dari para bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya. 4) Kepemimpinan yang beriorientasi pada prestasi. Dapat dijelaskan bahwa Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berprestasi. Pada
bagian lain juga dijelaskan, secara sederhana Gaya
Kepemimpinan ini dibagi menjadi dua kategori yang ekstrem, yaitu Gaya
Kepemimpinan
Otokratis,
dan
Gaya
Demokratis.
Gaya
Kepemimpinan Otokratis dipandang sebagai gaya yang berdasar atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas.
Sementara itu gaya
Kepemimpinan Demokratis dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Pada
saat
ini
kepemimpinan
yang
cocok
adalah
tipe
kepemimpinan yang bergaya demokratis, dalam arti kepemimpinan yang memungkinkan dan memberikan ruang bagi bawahan untuk berpartisipasi
dalam
mengambil
keputusan
organisasi
dan
kepemimpinan yang mau mendengarkan masukan dan kritikan dari bawahan sehingga terjadi komunikasi yang sifatnya 2 (dua) arah. 53
Akan tetapi untuk permasalahan-permasalahan yang sifatnya penting, mendesak
dan
bawahan
tidak
terlalu
memahaminya
maka
kepemimpinan otokratis akan lebih tepat, karena pemimpin disini menggunakan kekuatan posisi dan otoritasnya. Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila kepemimpinan
seorang
atasan
dapat
mempengaruhi
para
bawahannya dalam pencapaian tujuan, yaitu pelayanan sehingga kinerja pelayanan semakin meningkat maka kepemimpinan tersebut berhasil membawa organisasi dalam mencapai tujuannya.
4. Kerja sama Kerjasama merupakan salah satu faktor yang penting dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 :554) kerja sama didefinisikan sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga,pemerintah dan sebagainya) untuk mencapai tujuan bersama. Selanjutnya Pareek ( 1996 : 187) menyebutkan bahwa : Kerja sama dapat didefinisikan dalam kaitan dengan seseorang yang bekerja dengan orang lain atau lebih untuk mencapai suatu tujuan yang dianggap dapat dibagi. Dalam definisi-definisi ini kriterion pokok untuk perilaku kerjasama atau persaingan ialah persepsi tentang tujuan. Jika tujuannya dianggap dapat dibagi, bekerja dengan orang lain untuk mencapai tujuan itu merupakan perilaku kerja sama. Lebih jauh Pareek (1996 : 140) berpendapat bahwa ... suatu sistem yang mengharuskan orang-orang dari berbagai bagian atau
54
seksi atau tingkat untuk bertemu dan berdiskusi dan mengambil putusan, akan memperkuat motivasi pergaulan (kerjasama). Lebih jauh ia memberikan pendapat bahwa peran utama kerjasama sebagai berikut: 1) Membangun
kebersamaan,
kerjasama
membantu
pembinaan
hubungan kebersamaan dan pengakuan atas kekuatan masingmasing (sumbangan yang dapat diberikan oleh orang lain), penerimaan sumbangan ini dan memaksimumkan sumbangan orang lain. Hubungan seperti ini membantu organisasi dan orangorang untuk mengembangkan rasa saling hormat dan saling menerima dalam konteks kerja. Hal ini juga membantu mereka untuk mengakui kekuatan berbagai orang, menggunakannya dan menyambung perkembangannya lebih lanjut. 2) Membangkitkan ide-ide dan alternatif, dalam suatu hubungan kerjasama, orang-orang saling merangsang pembentukan ide-ide pemikiran masalah dan ancang-ancang pemecahan alternatif. Dalam kerjasama beberapa orang yang terlibat menghasilkan berbagai ide dan penyelesaian alternatif. 3) Membangun
dukungan
dan
penguatan
bersama,
hubungan
kerjasama memainkan peran emosional yang berarti. Hubungan itu memperkuat usaha para anggota untuk saling membantu. Dalam kerjasama, orang-orang yang menyumbang kepada suatu masalah tertentu mendapatkan umpan balik langsung dari para rekan kerjanya dan hal ini tidak hanya membantu mereka menggunakan umpan balik itu, tetapi juga memberikan umpan balik kepada
55
rekan-rekan itu. Dalam proses umpan balik dan dukungan terus menerus
ini,
keberhasilan
diperkuat,
hal
ini
membantu
pembentukan kelompok yang kuat. 4) Mengembangkan
sinergi,
hubungan
kerjasama
menghasilkan
sinergi. lni merupakan pelipat gandaan bakat dan sumber daya yang tersedia dalam kelompok itu karena rangsangan terus menerus, ide-ide yang dihasilkan dalam kerjasama mungkin jauh lebih besar daripada jumlah ide yang masing-masing dapat disumbangkan
secara
perorangan.
Sesungguhnya
sinergi
membangkitkan lebih banyak sumberdaya yang kuat dalam kelompok dan dalam arti itu mempunyai pengaruh pelipat gandaan sumber daya suatu organisasi. 5) Mengembangkan tindakan bersama, jika orang-orang bekerjasama dalam suatu kelompok atau suatu tim, keterikatan mereka kepada tujuan akan meningkat, keberanian mereka untuk mempertahankan tujuan itu dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan jauh lebih tinggi lagi. Makin tinggi tingkat kerjasama, makin besar kekuatan suatu kelompok untuk bertindak bersama. 6) Menambah keahlian,
keuntungan terbesar
ke~asama
adalah
didobraknya keterbatasan diri tiap pribadi sendiri. Kekurangan keahlian orang-orang dalam beberapa bidang tidak menghalangi tercapainya tugas-tugas tertentu. Orang-orang yang berlainan mempunyai kekuatan yang berlainan pula dan ketika bekerjasama mereka menghimpun berbagai keahlian yang tersedia. Akibatnya kelompok yang bekerjasama itu mampu menentukan penyelesaian56
penyelesaian multi dimensional dan tidak terbatas pada satu dimensi saja, yang mungkin akan terjadi jika seseorang bekerja sendirian dalam memecahkan suatu persoalan. Kerja sama merupakan salah satu unsur fundamental dalam organisasi. Organisasi merupakan suatu kelompok yang mempunyai tujuan bersama. Untuk itu kerja sama sangatlah dibutuhkan oleh suatu organisasi karena : a. Pemikiran dari satu orang atau lebih cenderung lebih baik daripada pemikiran satu orang saja. b.
Konsep Sinergi (1 +1 >2), yaitu bahwa hasil keseluruhan jauh lebih baik daripada jumlah bagiannya (anggota individual)
c.
Anggota dapat saling mengenal dan saling percaya , sehingga mereka dapat saling bantu membantu
d.
Kerja sama dapat menyebabkan komunikasi terbina dengan baik (Tjiptono dan Diana, 2002: 165). Secara umum dikatakan bahwa
ke~a
sama merupakan suatu hal
yang sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Tidak ada satupun organisasi yang dapat mencapai tujuannya tanpa melalui kerja sama yang baik. Kerja sama tersebut harus terus dikembangkan baik antar-intern karyawan sebagai pemberi jasa, pimpinan maupun pengguna jasa. Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud kerja sama adalah hubungan yang harmonis dan saling bantu membantu antar karyawan dan antar unit yang berbeda tugas
57
dalam mencapai tujuan organisasi yang secara sadar bahwa mereka adalah Team work. Dengan adanya kerja sama dalam organisasi pelayanan akan meningkatkan kinerja dari organisasi tersebut, karena kerja sama akan mempercepat proses kegiatan pelayanan. Disamping para karyawan mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya
masing-masing,
karyawan juga saling bantu membantu dalam pelaksanaan tugas mencapai tujuan organisasi termasuk didalamnya menggantikan tugas karyawan lain yang berhalangan sehingga tidak menyebabkan proses pencapaian organisasi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan jasa pemotongan ternak pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, meliputi : a. Sistem lnsentif, adalah elemen yang penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan dalam mencapai prestasi kerja yang diinginkan. b. Pendelegasian wewenang, adalah pemberian hak untuk bertindak atau memutuskan sesuatu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan organisasi. c. Kepemimpinan, adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang dalam pencapaian tujuan organisasi. d. Kerjasama, adalah hubungan yang harmonis dan saling bantu 58
membantu antar karyawan dan antar unit yang berbeda tugas dalam mencapai tujuan organisasi yang secara sadar bahwa mereka adalah Team work.
59
BAB Ill METODE PENELITIAN
A. Metodologi Penelitian Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban, dengan ungkapan lain metodologi adalah
suatu
pendekatan umum
untuk menguji topik
penelitian (Mulyana, 2002:145). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif (descriptive research), yaitu untuk mengungkapkan secara cermat terhadap fenomena sosial tertentu, ....
peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta
tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989 : 4). Sedangkan menurut Hadari Nawawi (1998 : 63) metode deskriptif diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek yang diteliti, seperti individu, lembaga, masyarakat dan lain-lain, pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Berdasarkan uraian tersebut di atas,
penelitian ini ditujukan untuk
mempelajari kasus atau fenomena yang terjadi pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu organisasi yang memberikan jasa pelayanan publik berupa jasa pemotongan ternak.
60
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas ini dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Banyumas Nomor 44 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Tugas Pokok, Uraian Tugas dan Tatakerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Sedangkan alasan pemilihan lokasi tersebut adalah : 1. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya langsung berhadapan dengan masyarakat atau pengguna jasa. 2. Dilain pihak masyarakat memiliki tingkat kepentingan yang besar terhadap Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
C. Definisi Konsepsional Definisi konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu (Sofian Effendi, 1989 : 34). Peranan konsep dalam penelitian sangat pentingkarena menghubungkan dunia teori dengan dunia observasi, antara abstraksi dengan realita. Penggunaan konsep diharapkan dapat menyederhanakan pemikiran
61
dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu sama lainnya. Definisi konsep dari masing-masing variabel tersebut adalah sebagai berikut: 1. Definisi konsep Dependen Variabel : Kinerja organisasi adalah hasil kerja atau prestasi kerja yang dicapai oleh suatu organisasi dalam mencapai tujuannya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. 2. Definisi konsep lndependen Variabel : a. Sistem
lnsentif adalah
elemen
yang
penting
dalam
suatu
organisasi untuk memotivasi karyawan dalam mencapai prestasi kerja yang diinginkan. b. Pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang dan tanggungjawab kepada orang lain. c. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang
mempengaruhi
orang lain untuk menjalankan tugas dan fungsinya guna mencapai tujuan organisasi. d. Kerjasama adalah hubungan yang harmonis dan saling bantu membantu dalam melaksanakan tugas antar karyawan dan antar bidang yang berbeda dan secara sadar mereka mengakui bahwa mereka adalah team work.
D. Definisi Operasional
62
Definisi operasional sering dijelaskan sebagai suatu spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur variabel. Menu rut Sofian Effendi (1989 : 46), variabel operasional dijelaskan sebagai unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi operasional akan mampu menjelaskan suatu fenomena secara tepat. Definisi operasional variabel-variabel yang hendak diteliti adalah sebagai berikut: 1. Kinerja Organisasi Pelayanan Publik (Dependen Variabel), dengan operasional variabel sebagai berikut : 1. 1 Akuntabilitas a. Peraturan yang menjadi acuan atau petunjuk pelaksanaan. b. Pemenuhan peraturan yang menjadi acuan atau petunjuk pelaksanaan. c. Tanggapan masyarakat terhadap penerapan acuan atau petunjuk pelaksanaan. 1.2 Responsivitas a. Membuka saluran komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakatlpengguna jasa. b. Mengenali dan memahami apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam hubungannya dengan pelayanan.
63
c. Merealisasi aspirasi masyarakat ke dalam program-program pelayanan. 1.3 Efisiensi a. Penetapan standar waktu dan biaya pelayanan. b. Standar waktu pelayanan yang diterima oleh masyarakat. c. Standar biaya yang dibayar oleh masyarakat/pengguna jasa. d. Kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan manfaat yang diterima. e. Tanggapan masyarakat terhadap standarisasi waktu dan biaya. 1.4. Orientasi terhadap pelayanan a. Jumlah sumber daya aparatur. b. Orientasi pelayanan dari sumber daya aparatur. 2. Sistem insentif, Pendelegasian wewenang, Kepemimpinan dan Kerjasama (lndependen Variabel), dengan operasional masingmasing variabel sebagai berikut : 2.1
Sistem lnsentif a. Pemberian insentif dalam bentuk materiil dan non materiil b. Penerapan disinsentif kepada aparat c. Pengaruh pemberian insentif dan disinsentif terhadap kinerja aparat.
2.2 Pendelegasian wewenang a. Jenis delegasi wewenang yang diberikan kepada bawahan
64
b. Kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas. c. Tanggung jawab bawahan dalam melaksanakan tugas. 2.3 Kepemimpinan a.
Pendekatan
yang
digunakan dalam
memimpin
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) b. Gaya
kepemimpinan
yang
digunakan dalam
memimpin
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) c. Tanggapan bawahan terhadap kepemimpinan atasan 2.4
Kerjasama a. Hubungan kerjasama antar karyawan dalam satu RPH. b. Hubungan kerjasama Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan Sub Dinas pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
Variabel terpengaruh (Dependen Variabel )
Variabel pengaruh (lndependen Variabel)
Kinerja Sistem lnsentif -----...,. Pendelegasian Wewenang Kepemimpinan Kerjasama
Akuntabilitas
...
Responsivitas Orientasi Pelayanan Efisiensi
E. Sumber Data 65
Sumber data dalam penelitian adalah pejabat yang dianggap mempunyai informasi kunci (key information). Adapun pejabat yang mempunyai informasi kunci dalam penelitian ini adalah : Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas,
Kepala
Rumah
Pemotongan Hewan dan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Keseluruhan informan tersebut merupakan sumber data yang bersifat internal. Sedangkan sumber data yang bersifat eksternal adalah pelanggan yang menggunakan jasa pelayanan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan beberapa
teknik
data yang digunakan dalam yaitu
wawancara
mendalam
penelitian (indepth
ini ada interview),
observasi (observation) dan dokumentasi (documentation). Sehubungan dengan teknik yang digunakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : F.1.
Wawancara
mendalam
(indepth
interview),
bertujuan
untuk
memperoleh data dan informasi kualitatif secara langsung dari sumber data. Responden yang diwawancarai adalah Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, Kepala RPH, Kepala Sub RPH, pegawai RPH dan pelanggan RPH. Sedangkan teknik wawancara bersifat terbuka dengan tujuan agar responden dapat memberikan jawaban dan pandangan yang seluas-luasnya.
66
Agar tetap berada dalam konteks penelitian , wawancara disertai pedoman wawancara (interview guide). F.2. Observasi (observation), untuk melengkapi hasil penelitian dilakukan pula pengamatan langsung di lapangan terhadap objek penelitian baik mengenai perilaku pegawai, mekanisme tata kerja , tata hubungan baik yang bersifat internal service maupun yang bersifat external service. a.
Perilaku pegawai saat melayani pengguna jasa/pelanggan
b.
Pemotongan
ternak
sesuai
dengan
peraturan
yang
telah
ditetapkan c.
Proses pemotongan ternak sesuai dengan prosedur yang berlaku
d.
Hubungan antara sesama pegawai Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
e.
Hubungan antara pegawai Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan pengguna jasa/pelanggan
F.3.
Dokumentasi (documentation), dengan cara mengumpulkan data sekunder (Peraturan Perundang-Undangan dan data yang relevan lainnya yang berfungsi untuk memperkuat data primer. a.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong Dan Penanganan Daging Serta Hasillkutannya
b.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor : 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Banyumas 67
c.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor : 4 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan
d.
Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 124 Tahun 2000 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tatakerja Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
e.
Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 44 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Tugas Pokok, Uraian Tugas dan Tatakerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
Untuk menjaga validitas data digunakan teknik triangulasi, yaitu suatu teknik pemeriksaan keabsahan suatu data dengan memanfaatkan data ataupun
informasi
pengumpulan
data
pembanding yang
yang
berbeda
diperoleh
yaitu
melalui
pengamatan
teknik
lapangan
(observation), wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi (documentation).
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik anal isis kualitatif yang tidak menggunakan instrumen statistik. Dalam pemecahan masalah yang diteliti, memerlukan data primer dan data sekunder, kemudian semua data-data tersebut dihimpun dan selanjutnya
disusun
untuk
dianalisis
dan
diinterpretasikan,
yang
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang logis sebagai hasil penelitian, sehingga akan memperoleh kejelasan dan diyakini mengandung suatu kebenaran.
68
Penelitian yang dilakukan adalah pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dengan menggunakan nara sumber Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan, Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Penelitian terhadap pelanggan dilakukan selama 10 (sepuluh) hari ketika dilakukan penelitian yang sekaligus mengamati pelanggan yang menggunakan jasa pemotongan ternak.
69
BAB IV DESKRIPSI WI LAYAH PENELITIAN
A. Pendahuluan Kabupaten Banyumas merupakan salah satu bagian wilayah Propinsi Jawa Tengah terletak diantara 108 derajat 39' 17" - 109 derajat 27' 15" Bujur Timur dan 7 derajat 15' 05" - 7 derajat 37' 10" Lintang Selatan. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 Kecamatan dan berbatasan dengan wilayah beberapa Kabupaten yaitu : -
Sebelah Utara dengan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang
-
Sebelah
Timur
dengan
Kabupaten
Purbalingga,
Kabupaten
Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen -
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Cilacap
-
Sebelah Barat dengan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten brebes
Kabupaten Banyumas mempunyai luas wilayah 132.759 Ha yaitu sekitar 4,08% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah ( 3.254 juta Ha), dengan jumlah penduduk sampai dengan tahun 2001 sebanyak 1.498.122 jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 0,83%. Kabupaten Banyumas memiliki letak yang strategis, karena selain didukung oleh transportasi darat yang relatif mudah juga dekat dengan Kabupaten Cilacap yang memiliki pelabuhan, sehingga dengan demikian akan memudahkan transportasi perdagangan baik yang bersifat lokal, nasional maupun internasional.
70
Dalam era globalisasi Negara Kesatuan republik Indonesia dituntut untuk ikut aktif dalam perdagangan dunia, untuk itu Kabupaten Banyumas juga harus segera mempersiapkan diri dalam perdagangan tersebut, meliputi komoditas yang berasal dari pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan, perindustrian dan lain sebagainya. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas merupakan bertanggung jawab terhadap
Dinas teknis yang
komoditas
hasil
peternakan dan perikanan, oleh karenanya semua hasil peternakan dan perikanan dalam wilayah Kabupaten Banyumas menjadi tanggung jawab Dinas
Peternakan
dan
Perikanan,
baik dalam
kuantitas
maupun
kualitasnya. Berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Banyumas, serta untuk memperlancar tugas-tugas Dinas maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Bupati Banyumas Nomor 124 Tahun 2000 tentang Tugas Pokok, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
B. Tata Kerja Tata kerja Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 23 Tahun
71
2000 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Banyumas yang dilengkapi dengan Keputusan Bupati Kabupaten Banyumas Nomor 124 Tahun 2000 tentang Tugas Pokok, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada bagan berikut (Gam bar 1) : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
sebagai
Dinas teknis bertanggung jawab terhadap komoditas yang berasal dari ternak dan ikan, karenanya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mempunyai pejabat yang mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda, adapun
fungsi
dan
tugas
masing-masing
pejabat
dalam
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sebagai berikut : Kepala Dinas peternakan dan Perikanan mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan di bidang peternakan dan Perikanan. Wakil Kepala Dinas mempunyai tugas pokok membantu Kepala Dinas dalam bidang perencanaan, pengawasan dan pengendalian kegiatan Dinas Peternakan dan Perikanan. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas tersebut dibantu oleh 1 (satu) Bagian Tata Usaha, 3 (tiga) Sub Dinas, 3 (tiga) Sub Bagian dan 9 (sembilan) Seksi, dengan masing-masing tugas sebagai berikut:
1).
Bag ian
Tata
Usaha
mempunyai
tugas
pokok
melaksanakan
pengelolaan administrasi keuangan rutin dan pembangunan, umum, perlengkapan,
kepegawaian,
perencanaan umum program dan
kegiatan Dinas Peternakan dan Perikanan, melaksanakan
72
Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
Kepala Dinas
I Kelompok Jabatan Fungsional
BagTU
I
I
Sub Bag Bina Program
Sub Bag Keuangan
Sub Bag Umum
Sub Dinas Kes Hewan
Sub Dinas Produksi
Seksi Prod. Peter nak an
Seksi Prod. Peri Kan an
Seksi Pa kan
Seksi Pela Yan an Kes.
Seksi Kes. Masy Vet.
Sub Dinas Agribisnis
Seksi Penyi dikan
Seksi Bina Usa ha
Seksi Sara na& Prasa ran a
Seksi SDM & Kele mba gaan
l
Cabang Dinas
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas No.23 Tahun 2000.
73
monitoring, evaluasi, pengendalian dan pelaporan kegiatan Dinas Peternakan dan Perikanan. Bagian Tata Usaha terdiri dari : a. Sub Bagian Umum mempunyai tugas pokok melaksanakan kegiatan administrasi umum, perlengkapan dan kepegawaian. b. Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan bahan penyusunan rencana anggaran pendapatan dan belanja Dinas Peternakan dan Perikanan, pembukuan, perhitungan anggaran rutin dan pembangunan, verifikasi serta mengelola urusan perbendaharaan. c. Sub
Bagian
Bina
Program
mempunyai
tugas
pokok
melaksanakan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data statistik bidang peternakan dan perikanan, menyiapkan bahan perencanaan umum program dan kegiatan Dinas Peternakan dan Perikanan, melaksanakan monitoring dan pengendalian program dan
kegiatan
melaksanakan
Dinas
Peternakan
evaluasi
dan
dan
pelaporan
Perikanan
serta
kegiatan
Dinas
Peternakan dan Perikanan. 2) Sub Dinas Pengembangan
Produksi mempunyai tugas pokok
melaksanakan kegiatan pengembangan dan produksi peternakan dan perikanan. Sub Dinas Pengembangan Produksi terdiri dari :
74
a. Seksi
Produksi
melaksanakan
Peternakan bimbingan
mempunayi
dan
tugas
pengawasan
pokok
penyebaran,
pengembangan, produksi dan redistribusi ternak. b. Seksi Produksi Perikanan mempunyai tugas pokok melaksanakan bimbingan dan pengawasan penyebaran, pengembangan dan produksi perikanan. c. Seksi Pakan mempunyai tugas pokok melaksanakan
bimbingan
penyusunan kebutuhan, pengujian dan pengawasan mutu pakan ternak dan ikan.
3) Sub Dinas Perlindungan dan Kesehatan Hewan mempunyai tugas pokok
melaksanakan
pelayanan
kesehatan
hewan,
kesehatan
masyarakat veteriner, penyidikan, pencegahan, pengendalian dan pembnerantasan penyakit hewan. Sub Dinas Perlindungan dan Kesehatan Hewan terdiri dari : a. Seksi
Pelayanan
Kesehatan
mempunyai
tugas
pokok
melaksanakan bimbingan teknis dan pelayanan kesehatan serta melaksanakan pemantauan peredaran obat hewan/ikan. b. Seksi Kesehatan Masyarakat Veteriner mempunyai tugas pokok mengawasi hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan dan perikanan, mengelola rumah potong hewan dan rumah potong unggas serta memantau perlindungan kesehatan hewan.
75
c. Seksi Penyidikan, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit mempunyai tugas pokok melaksanakan penyidikan, pengamatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit.
4) Sub Dinas Agribisnis mempunyai tugas pokok melaksanakan proses pemberian perijinan usaha peternakan dan perikanan, pengembangan sarana
dan
prasarana
produksi
peternakan
dan
perikanan,
penyuluhan dan pembinaan terhadap kelembagaan petani dan tenaga penyuluh. Sub Dinas Agribisnis terdiri dari : a. Seksi Bina Usaha mempunyai tugas pokok melaksanakan proses pemberian
perijinan
usaha
peternakan
dan
perikanan,
melaksanakan pengawasan perijinan dan melaksanakan analisa usaha tani peternakan dan perikanan. b. Seksi
Sarana
melaksanakan
dan
Prasarana
pemantauan
mempunyai dan
tugas
mengajukan
pokok usulan
pengembangan sarana dan prasarana produksi peternakan dan perikanan. c. Seksi Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan mempunyai tugas pokok melaksanakan penyuluhan, pembinaan kelembagaan petani dan petugas penyuluh serta melaksanakan pelatihan teknis bagi petani dan petugas penyuluh peternakan dan perikanan. Dalam Bagan Struktur Organisasi dan Tata Kerja terlihat bahwa Unit Pelaksana Teknis. Dinas (UPTD)
yang terdiri dari Rumah
76
Pemotongan Hewan (RPH) dan Balai Benih lkan (BBI) bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu koordinasi dengan Sub Dinas - Sub Dinas pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, terutama Sub Dinas Perlindungan dan Kesehatan Hewan. Sedangkan untuk koordinasi di luar Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, Banyumaslah
Dinas yang
Peternakan
dan
melaksanakan
Perikanan
tugas
Kabupaten
koordinasi
tersebut
mengingat Rumah Pemotongan Hewan merupakan bagian dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yaitu sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Sesuai dengan Keputusan Bupati Banyumas Nomor 44 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Tugas Pokok, Uraian Tugas dan Tata Kerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas disebutkan bahwa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Peternakan dan Perikanan, Rumah Pemotongan Hewan dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Bagan Struktur Organisasi Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sebagai berikut :
77
Adapun fungsi dan tugas masing-masing pejabat di dalam Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas adalah sebagai berikut : Gambar 2. Bagan Struktur Organisasi Rumah Potong Hewan pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
I
KEPALA
I
Urusan Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Sub RPH Purwokerto Timur Sub RPH Wangon Sub RPH Sokaraja
Sumber: Keputusan Bupati Banyumas No. 44 Tahun 2001.
Kepala Rumah Pemotongan Hewan mempunyai tugas pokok melaksanakan
kegiatan
dalam
bidang
pengelolaan
Rumah
78
Pemotongan Hewan (RPH) milik Pemerintah dan pengawasan kesehatan ternak serta pemotongan hewan ternak besar, kecil dan unggas baik di dalam kring maupun di luar kring (pengertian di dalam dan di luar kring adalah ternak yang dipotong di dalam Rumah Pemotongan Hewan atau Tempat Pemotongan Hewan dan di luar Rumah Pemotongan Hewan atau Tempat Pemotongan Hewan). Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud di atas, Kepala RPH mempunyai fungsi : a. penyusunan rencana dan program kerja RPH b. pengelolaan seluruh unit RPH c. pengawasan kesehatan hewan ternak besar, kecil dan unggas yang akan dipotong d. pengawasan dan pemantauan pemotongan hewan ternak besar, kecil dan unggas e. pelaksanaan urusan ketatausahaan f.
pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas
Uraian tugas Kepala RPH sebagai berikut: a. menyusun rencana dan program kerja RPH sebagai bahan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan b. membagi tugas kepada bawahan baik secara tertulis maupun lisan sesuai dengan permasalahan dan bidang tugasnya masing-masing
79
c. menelaah dan mempelajari permasalahan di bidang pengawasan kesehatan dan pemotongan hewan ternak besar, kecil dan unggas serta mencari alternatif pemecahannya d. melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam bidang pemotongan
ternak
kecil
besar,
dan
unggas
agar terjalin
kerjasama yang baik dan saling menunjang e. menyelia
pelaksanaan
tugas
bawahan
berdasarkan
rencana
kegiatan yang telah ditetapkan, agar realisasinya sesuai dengan rencana f.
memonitor pelaksanaan kegiatan bawahan di lingkungan seluruh unit RPH agar tercapai hasil kerja yang optimal
g. melaksanakan kebijakan teknis, pelaksanaan dan pengawasan di bidang kesehatan dan pemantauan pemotongan ternak besar, kecil dan unggas h. mengelola seluruh unit RPH yang menjadi tanggung jawabnya i.
melaksanakan pengawasan kesehatan ternak besar, kecil dan unggas yang akan dipotong
j.
melaksanakan
kegiatan
pengawasan
dan
pemantauan
pemotongan ternak besar, kecil dan unggas k. menyelenggarakan urusan ketatausahaan
I.
memberikan penilaian DP3 bawahan
80
m. membuat laporan pelaksanaan kegiatan RPH sesuai dengan sumber data yang dapat digunakan sebagai bahan masukan atasan n. memberi saran dan pertimbangan kepada atasan o. melaksanakan tugaslain yang diberikan oleh Kepala Dinas Urusan Tata Usaha mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan urusan surat menyurat, kearsipan, kerumahtanggaan, administrasi umum, kepegawaian dan keuangan serta pemeliharaan sarana dan prasarana. Uraian tugas Urusan Tata Usaha sebagai berikut: a. menyususn rencana kerja Urusan Tata Usaha sebagai bahan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan b. membagi tugas kepada bawahan baik secara tertulis maupun lisan sesuai dengan permasalahan dan bidang tugasnya masing-masing c. menelaah
dan
mempelajari
permasalahan
di
bidang
ketatausahaan serta mencari alternatif pemecahannya d. melaksanakan koordinasi dengan instansi terkait dalam bidang ketatausahaan agar terjalin kerjasama yang baik dan saling menunjang e. menyelia pelaksanaan tugas bawahan berdasarkan rencana kegiatan yang telah ditetapkan, agar realisasinya sesuai dengan rencana
81
f.
memonitor pelaksanaan kegiatan bawahan di lingkungan Urusan Tata Usaha agar tercapai hasil kerja yang optimal
g. mengelola urusan surat menyurat dan kearsipan h. melaksanakan pengelolaan urusan rumah tangga seluruh unit RPH 1.
melaksanakan pengelolaan administrasi umum
j.
melaksanakan pengelolaan administrasi kepegawaian
k. melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan, verifikasi dan perbendaharaan
I.
melaksanakan pemeliharaan sarana dan prasarana seluruh RPH
m. memberikan rekomendasi kepada atasan tentang penilaian DP3 bawahan n. membuat laporan pelaksanaan kegiatan Urusan Tata Usaha sesuai dengan sumber data yang dapat digunakan sebagai bahan masukan atasan o. memberi saran dan pertimbangan kepada atasan p. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala RPH
Sub RPH mempunyai tugas pokok mengelola dan melaksanakan pengawasan kesehatan ternak besar dan kecil yang akan dipotong serta melaksanakan pemotongan hewan ternak besar/kecil di dalam RPH. Uraian tugas Sub RPH sebagai berikut :
82
a. menyusun rencana dan program kerja Sub RPH sebagai bahan untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan b. membagi tugas kepada bawahan baik secara tertulis maupun lisan sesuai dengan permasalahan dan bidang tugasnya masing-masing c. menelaah dan mempelajari permasalahan di bidang pengawasan kesehatan dan pengawasan pemotongan ternak besar/kecil di Sub RPH serta mencari alternatif pemecahannya d. melaksanakan koordinasi dengan lnstansi terkait dalam bidang pengawasan kesehatan dan pengawasan pemotongan temak besar/kecil
agar
terjalin
kerjasama
yang
baik
dan
saling
menunjang e. menyelia
pelaksanaan
tugas
bawahan
berdasarkan
rencana
kegiatan yang telah ditetapkan, agar realisasinya sesuai dengan rencana f.
memonitor pelaksanaan kegiatan bawahan di lingkungan Sub RPH agar tercapai hasil kerja yang optimal
g. melaksanakan kebijakan teknis, pelaksanaan dan pengawasan di bidang kesehatan dan pemotongan ternak besar/kecil di Sub RPH h. mengelola Sub RPH dan RPH yang menjadi tanggung jawabnya 1.
melaksanakan kegiatan pemeriksaan kesehatan ternak besar/kecil sebelum dipotong
J.
menyelenggarakan pemotongan ternak besar/kecil
83
k. memberikan rekomendasi kepada atasan tentang penilaian DP3 bawahan I.
membuat laporan pelaksanaan kegiatan Sub RPH sesuai dengan sumber data yang digunakan sebagai bahan masukan atasan
m. memberi saran dan pertimbangan kepada atasan n. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala RPH Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan kegiatan yang menunjang pelaksanaan tugas RPH sesuai dengan keahlian dan kebutuhan masing-masing. Jumlah jabatan fungsional ditentukan berdasarkan sifat, jenis dan beban kerja. Pembinaan terhadap Tenaga Fungsional dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
C. Komposisi Pegawai Komposisi pegawai yang mendukung Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya adalah
32 (tiga puluh dua) orang
pegawai, 26 (dua puluh enam) orang Pegawai Negeri Sipil dan 6 (enam) orang Pegawai Tidak Tetap. Komposisi Pegawai Negeri Sipil yang meliputi golongan, tingkat pendidikan dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :
84
Tabel1. Komposisi Pegawai Negeri Sipil Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas Golongan!Ruang
No
SD
1. 2. 3.
-
IIUa- IIUd IVa- IUd Va- I/d Jumlah
7 4 11
Tingkat Pendidikan SLTP SLTA D.3 1 5 4 2 1 9 3 1
S.1 2
-
-
2
Jenis Kelamin Pr Lk 2 6 13 5 2 24
Sumber : UPTD RPH Dinas Peternakan dan Penkanan Kabupaten Banyumas. Sedangkan untuk Pegawai Tidak Tetap, komposisi yang meliputi tingkat pendidikan dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel2. Rumah Pemotongan Hewan Tetap Tidak Komposisi Pegawai Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas No
Tingkat Pendidikan
1. 2. 3. 4.
SD SLTP SLTA D.3 Jumlah
Jenis Kelamin Perempuan Lakli-laki
-
2 I
1
2 6 Sumber: UPTD RPH Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
1 dan 2 tersebut tergambar bahwa Rumah
Data dari tabel Pemotongan Banyumas
Perikanan
Hewan Dinas Peternakan dan dalam
menjalankan
tugas
dan
fungsinya
Kabupaten sebagai
penyelenggara pelayanan publik dalam pemotongan ternak didukung oleh
32
(tiga
puluh
dua) orang
pegawai
yang
sebagian besar
85
berpendidikan SO yaitu sebanyak 13 (tiga betas) orang, SLTA sebanyak 10 (sepuluh) orang, SL TP sebanyak 4 (empat) orang, 0.3 sebanyak 3 (tiga) orang dan S.1 sebanyak 2 (dua) orang. D. Persyaratan, Prosedur dan Biaya Pemotongan Ternak
0.1. Persyaratan Persyaratan jasa/pelanggan
harus
yang Rumah
dipenuhi
Pemotongan
Hewan
oleh
pengguna
(RPH)
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992 Tentang Pemotongan Hewan Potong Dan Penanganan Daging Serta Hasil lkutannya, adalah sebagai berikut : 1. disertai surat pemilikan 2. disertai bukti pembayaran retribusi/pajak potong; dan 3. memiliki surat ijin potong 4. dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan dilakukan 5. diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan 6. penyembelihannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan
86
7. pelaksanaan pemotongan hewan potong dilakukan di bawah pengawasan dan menurut petunjuk-petunjuk petugas pemeriksa yang berwenang 8. tidak dalam keadaan bunting 9. penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam
0.2. Prosedur Prosedur Pemotongan
pemotongan Hewan (RPH)
temak
yang
dilakukan
Dinas Petemakan dan
di
Rumah
Perikanan
Kabupaten Banyumas adalah sebagai berikut :
87
Gambar3. Standar Prosedur Operasi Pemotongan Ternak
Pra Penyembelihan 1. Ada tempat khusus istirahat hewan 2. Hewan tidak stress (cukup istirahat), minimal 12 iam setelah transportasi.
I Saat Penyembelihan 1. Penyembelih beragama Islam 2. Menggunakan pisau tajam 3. Menyebut nama Allah saat menyembelih 4. Disunatkan menghadapkan hewan ke Kiblat 5. Penyembelih tidak bersikap kejam terhadap hewan 6. Darah mengalir sesempurna mungkin dengan memotong dua vena jugularis, jalan pernafasan dan jalan makanan
I Pasca Penyembelihan 1. Pengaliran listrik untuk membantu pengeluaran darah, pengulitan atau pemotongan kepala hanya dapat dilakukan setelah hewan mati sempurna 2. Ada pemisahan an tara lokasi penanganan jeroan (visceral) dengan daging (karkns)
I Penanganan Karkas Karkas dapat dilayukan dalam kamar pendingin (0- 4 derajat Celcius) selama beberapajam atau didistribusikan langsung sesuai dengan kebutuhan.
I Transportasi I. Penggunaan mobil berpendingin sangat disarankan 2. Mobil khusus untuk daging halal tidak dicampur dengan daging tidak halal atau mobil bekas membawa daging haram
I Pemasaran I. Tidak dicampur dengan daging haram baik tempat maupun alat-alatnya (wadah, pisau, penjual) 2. Disirnpan dalam suhu 0 - 4 derajat Celcius
Sumber : UPTD RPH Banyumas.
Dinas Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
88
0.3. Biaya Pemotongan Temak Biaya pemotongan temak yang dikenakan kepada pengguna jasa/pelanggan
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sesuai dengan dasar
pengenaan
Kabupaten
retribusi
berdasarkan
Peraturan
Daerah
Banyumas Nomor 4 Tahun 1998 tentang Retribusi
Rumah Potong Hewan adalah pemakaian jasa pelayanan di Rumah Pemotongan Hewan yang meliputi kegiatan : a. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong; b. Pemakaian kandang (karantina); c. Pemakaian tempat pemotongan; d. Pemakaian tempat pelayuan daging e. Pemeriksaan daging. Besarnya retribusi sebagaimana dimaksud di atas, ditetapkan perekor sebesar : a. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong : - Sapi/Kerbau .......................................... Rp 5.000,00 - B a b i ................................................. Rp 5.000,00
- Kambing/Domba
................................. Rp 1.000,00
b. Pemakaian kandang (karantina) : - Sapi/Kerbau
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Rp 7. 500,00
- B a b i ................................................. Rp 3.000,00
- Kambing/Domba
.............................. Rp
500,00
89
c. Pemakaian tempat pemotongan : - Sapi/Kerbau
....................................... Rp 2.500,00
- B a b i ................................................. Rp 2.500,00
- Kambing/Domba
................................. Rp 1.000,00
d. Pemakaian tempat pelayuan daging : - Sapi/Kerbau
...................................... Rp 2.000,00
- B a b i ................................................. Rp 2.000,00
- Kambing/Domba .................................... Rp
500,00
e. Pemeriksaan daging : - Sapi/Kerbau ....................................... Rp 10.000,00 - B a b i ................................................. Rp 11.000,00
- Kambing/Domba ................................. Rp 2.000,00
90
BABV ANALISIS DAN INTERPRETASI
Rumah
Pemotongan
Hewan
Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten Banyumas merupakan satuan organisasi pelayanan publik yang memberikan
pelayanan kepada
masyarakat dalam hal ini pengguna
jasa/pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) berupa pelayanan jasa pemotongan ternak. Organisasi yang baik dan berhasil dalam pencapaian tujuan, salah satunya ditunjukkan oleh
kinerja yang baik. Kinerja Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya dalam memberikan pelayanan jasa pemotongan ternak kepada masyarakat dalam hal ini pengguna jasa/pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dilihat dari aspek Akuntabilitas,
Responsivitas, Efisiensi dan Orientasi pada
pelayanan adalah sebagai berikut :
A. Analisis Kinerja Pelayanan
1. Akuntabilitas Kinerja suatu organisasi dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan tugas dan kegiatannya sesuai dengan peraturanperaturan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai dan norma
yang
berkembang
dalam
masyarakat,
fleksibel
serta
mendorong kreativitas dalam memberikan pelayanan publik.
91
1. 1. Penerapan aturan yang menjadi acuan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 413/Kpts/TN. 310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan
Penanganan
Daging
Serta
Hasil
lkutannya.
Seperti
dinyatakan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas sebagai
berikut: Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan jasa pemotongan ternak mengacu pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.31 0/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging Serta Hasil lkutannya (9 Nopember 2002). Adapun syarat-syarat yang diperlukan dalam pemotongan ternak menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 413/Kpts/TN.310/7/1992 adalah sebagai berikut: a. disertai surat pemilikan b. disertai bukti pembayaran retribusi/pajak potong; dan c. memiliki surat ijin potong d. dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan dilakukan
92
e. diistirahatkan paling sedikit 12 jam sebelum penyembelihan dilakukan f.
penyembelihannya dilakukan di rumah pemotongan hewan atau tempat pemotongan hewan
g. pelaksanaan pemotongan hewan potong dilakukan di bawah pengawasan
dan
menurut
petunjuk-petunjuk
petugas
pemeriksa yang berwenang h. tidak dalam keadaan bunting i.
penyembelihannya dilakukan menurut tata cara agama Islam Persyaratan
untuk
memperoleh
pelayanan
pemotongan
ternak di Rumah Pemotongan Hewan atau Tempat Pemotongan Hewan adalah seperti tersebut di atas, persyaratan tersebut sudah merupakan ketentuan/peraturan yang harus dipenuhi oleh semua pengguna jasa/pelanggan dalam
memperoleh jasa
pemotongan ternak. Disamping pelaksanaan Peternakan
peraturan Rumah
dan
melaksanakan
tersebut
Pemotongan
Perikanan
tugasnya,
yang
menjadi
Hewan
Kabupaten
berdasarkan
petunjuk
(RPH)
Dinas
Banyumas
dalam
Peraturan
Daerah
Kabupaten Banyumas Nomor 4 Ta hun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas menetapkan biaya yang harus dibayar oleh para pengguna
93
jasa/pelanggan Peternakan
dan
Rumah Pemotongan Hewan Perikanan
Kabupaten
(RPH) Dinas
Banyumas
adalah
sebagai berikut: - Retribusi keseluruhan untuk pemotongan ternak besar (sapi dan kerbau) sebesar Rp 22.000,00 - Retribusi
keseluruhan
untuk
pemotongan
ternak
kecil
(kambing dan domba) sebesar Rp 5.000,00 - Retribusi keseluruhan untuk pemotongan ternak babi sebesar Rp 23.500,00 Berdasarkan pengamatan di Sub RPH Sokaraja ternyata besarnya retribusi yang dipungut oleh Sub RPH Sokaraja untuk pemotongan ternak besar
(sapi dan kerbau) sebesar Rp
24.000,00 (=Dua puluh empat ribu rupiah=), jumlah ini melebihi ketentuan yang berlaku sebesar Rp 2.000,00 (=Dua ribu rupiah=) karena pungutan retribusi yang sebenarnya untuk pemotongan ternak besar (sapi dan kerbau)
sebesar Rp
22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=). Hasil wawancara dengan beberapa pelanggan Sub RPH Sokaraja adalah sebagai berikut : Kami membayar retribusi sebesar Rp 24.000,00 (=Dua puluh empat ribu rupiah=), memang seharusnya kami membayar Rp 22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=) sesuai dengan yang tertera pada bukti pembayaran retribusi, tetapi tambahan tersebut digunakan petugas untuk sarapan karena kami memotongkan ternak terlalu pagi sebelum jam kerja dimulai sehingga petugas RPH bel urn sempat sara pan ( 18 Nopember 2002).
94
Dari uraian masalah pemungutan retribusi tersebut
dapat
digambarkan bahwa kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
khususnya pada Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja kurang baik karena tidak sesuai dengan peraturan yang
menjadi
landasan
dasar
pengenaan
retribusi
yaitu
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 4 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH), dan pungutan yang besarnya melebihi dari aturan yang sebenarnya merugikan pengguna jasa/pelanggan
bahkan
bisa
dikatakan sebagai
pungutan liar karena disamping retribusi ini tidak sesuai dengan aturan yang sebenarnya juga tidak sesuai dengan retribusi yang dikenakan pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas selain Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja.
1.2. Pemenuhan peraturan yang menjadi acuan atau petunjuk pelaksanaan Dalam memperoleh jasa pemotongan ternak di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau Tempat Pemotongan Hewan menurut
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
413/Kpts/TN. 31 0/7/1992 adalah seperti terse but di atas. Namun pada kenyataannya yang terjadi di Rumah Pemotongan Hewan
95
(RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas persyaratan huruf a dan d tersebut di atas belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena : a.
Disertai surat pemilikan Surat tanda pemilikan ternak potong dan silsilah ternak potong penting sekali. Surat tanda pemilikan sebagai bukti bahwa ternak potong tersebut ada yang memiliki, sehingga akan menghindarkan kemungkinan pemotongan ternak hasil curian. Silsilah ternak potong akan memudahkan pemeriksa mengontrol apakah ternak tersebut berasal dari kandang yang terbebas dari penyakit hewan menular, baik terhadap ternak lain maupun terhadap manusia. Pada kenyataannya surat tanda kepemilikan dan silsilah ternak potong sulit didapatkan. Apabila ternak akan keluar dari suatu tempat biasanya memperoleh surat keterangan dari desa bahwa ternak tersebut keluar dari wilayah desa yang bersangkutan (surat pas). Untuk
mengantisipasi
tidak
adanya
surat
tanda
kepemilikan ini, Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas mengambil suatu kebijakan menggantinya dengan surat tanda pembelian (kuitansi) ternak yang akan dipotong, sebagai pengganti dari persyaratan yang telah ditetapkan.
96
Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Sebagai ganti surat tanda kepemilikan kami meminta tanda bukti pembelian ternak yang berupa kuitansi dari pelanggan yang akan memotongkan ternaknya, sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh jasa pemotongan ternak (9 Nopember 2002). b. Dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas pemeriksa yang
berwenang
paling
lama
24
jam
sebelum
penyembelihan dilakukan. Pada kenyataannya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas menetapkan 12 (dua belas jam) sebelum penyembelihan dilakukan, hal ini berkaitan dengan lama peristirahatan ternak sebelum disembelih yaitu paling sedikit 12 jam . Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Rumah Pemotongan
Hewan
(RPH)
Dinas
Peternakan
dan
Perikanan Kabupaten Banyumas : Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas telah menetapkan pemeriksaan ante mortem oleh petugas yang berwenang adalah 12 jam sebelum ternak disembelih ( 9 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Dinas
Peternakan
Banyumas tersebut
dan
Perikanan
Kabupaten
dapat digambarkan bahwa Rumah
97
Pemotongan Perikanan
Hewan
(RPH)
Kabupaten
Dinas
Banyumas
Peternakan
dalam
dan
menerapkan
persyaratan pemotongan ternak tidaklah mutlak harus memenuhi disesuaikan
persyaratan
yang
dengan
keadaan
telah
ditetapkan
masyarakat
hal
ini
Kabupaten
Banyumas. Sehingga dari hasil pengamatan dalam hal penerapan Pemotongan
persyaratan Hewan
pemotongan
(RPH)
Dinas
ternak,
Rumah
Peternakan
dan
Perikanan Kabupaten Banyumas mempunyai akuntabilitas yang tinggi, karena dalam menerapkan peraturan tidak mutlak tetapi disesuaikan dengan keadaan masyarakat di Kabupaten Banyumas sepanjang tidak merugikan semua pihak. Apabila suatu organisasi mempunyai akuntabilitas yang tinggi, yaitu menerapkan peraturan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat serta tidak menimbulkan akibat yang
merugikan maka organisasi
tersebut dikatakan mempunyai kinerja yang baik.
1.3.
Tanggapan masyarakat terhadap penerapan peraturan yang manjadi acuan
Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas Masyarakat yang menerima jasa pemotongan ternak dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah para pengguna jasa/pelanggan yang membutuhkan jasa pemotongan ternak
98
dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten
Banyumas.
Para
pengguna
jasa/pelanggan dalam memperoleh jasa pemotongan ternak pada umumnya tidak keberatan dalam memenuhi
peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Kebanyakan dari para pelanggan tidak dapat memenuhi 2 persyaratan dari 9 persyaratan yang telah ditetapkan yaitu surat tanda kepemilikan ternak,
pemeriksaan ante mortem oleh
petugas pemeriksa yang berwenang paling lama 24 jam sebelum penyembelihan dilakukan, dan peristirahatan ternak paling sedikit 12 jam sebelum ternak disembelih. Hal ini disebabkan karena pada umumnya ternak potong tidak memiliki surat-surat
tanda
pemilikan
yang
dimiliki
oleh
peternak,
sedangkan pemeriksaan ante mortem dan peristirahatan ternak yang
kurang
dari
persediaan
ternak
pelanggan
yang
12 jam disebabkan oleh oleh memiliki
para
pelanggan
keterbatasan
keterbatasan
(biasanya dana)
para
sehingga
pelanggan harus mencari ternak yang akan dipotong untuk keesokan harinya, dengan demikian pemeriksaan ante mortem dan peristirahatan ternak menjadi kurang dari ketentuan yang telah ditetapkan yaitu paling sedikit 12 jam. Berikut hasil
99
wawancara penulis dengan salah seorang pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Kami sering memasukkan ternak ke kandang karantina yang ada di RPH pada malam hari, sehingga kami melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh RPH Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, tetapi apa boleh buat kami baru memperoleh ternak tersebut pada malam hari. Tetapi pihak RPH Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas cukup bijaksana, mereka memaklumi keadaan kami (11 Nopember 2002). Selanjutnya hasil wawancara dengan Kepala Sub RPH Purwokerto Timur mengenai pemeriksaan ante mortem dan peristirahatan ternak yang kurang dari 12 jam adalah sebagai berikut: Kami memang tetap menyembelih ternak yang masa pemeriksaan ante mortem dan peristirahatannya kurang dari 12 jam sepanjang hasil pemeriksaan ternak tidak menunjukkan gejala-gejala klinis yang mengarah kepada penyakit yang membahayakan terhadap ternak lain dan manusia (11 Nopember 2002). Dari penjelasan pelanggan RPH dan Kepala Sub RPH Purwokerto Timur Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas tersebut dapat digambarkan bahwa RPH Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas mempunyai akuntabilitas yang tinggi karena dalam menerapkan peraturan yang telah ditetapkan tidak kaku dan fleksibel sepanjang tidak menimbulkan dampak-dampak yang negatif bagi semua pihak. Dengan
penerapan
peraturan
yang
fleksibel
tetapi
tidak
100
menimbulkan akibat yang merugikan bagi semua pihak maka Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas mempunyai akuntabilitas yang tinggi, dengan demikian kinerjanyapun juga baik. Sedangkan bagi pengguna jasa/pelanggan kelonggaran ketentuan dari RPH Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas tersebut sangat diperlukan karena dengan demikian pelanggan akan terbebas dari kesulitan karena keterbatasan dana.
2. Responsivitas Responsivitas merupakan suatu kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan,
serta
mengembangkan
program-program
pelayanan
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
2. 1.Saluran
komunikasi
untuk
menampung
aspirasi
masyarakat/pengguna jasa Berdasarkan hasil pengamatan, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas belum mempunyai saluran-saluran komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat/pengguna jasa, hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya kotak saran dan kritik yang disediakan oleh pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas untuk menampung aspirasi masyarakat/pengguna
jasa
yang
ditujukan
kepada
Rumah
101
Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Disamping itu juga tidak ada kegiatankegiatan
dari
Pemotongan
Rumah
Perikanan
Peternakan
dan
memberikan
kesempatan
untuk
menyampaikan
wicara.
Sehingga
Kabupaten
kepada
aspirasinya,
dalam
(RPH)
Dinas
Banyumas
yang
Hewan
pengguna jasa/pelanggan kegiatan
temu
aspirasinya
para
misalnya
penyampaian
pelanggan/pengguna jasa biasanya mengemukakannya secara tidak langsung kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pada saat memotongkan ternaknya. Hasil wawancara dengan
Kepala
Peternakan dan
Rumah
Pemotongan
Perikanan
Hewan
Kabupaten
(RPH)
Dinas
Banyumas adalah
sebagai berikut : Selama ini kami memang tidak menyediakan saluran komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat/pengguna jasabaik dalam bentuk penyediaan kotak kritik dan saran maupun kegiatan-kegiatan rutin seperti temu wicara yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dengan para pelanggan (9 Nopember 2002). Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa saluran
komunikasi yang ada di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas tidak efektif, karena
penyampaian
aspirasi
dan
keluhan
pengguna
jasa/pelanggan disampaikan secara tidak langsung kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
102
dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang tidak berkepentingan sehingga
menyebabkan
penanganan
maupun
penyelesaian
keluhan maupun aspirasi pengguna jasa/pelanggan menjadi lam bat. Apabila kinerja organisasi pelayanan publik oleh
penanganan
maupun
penyelesaian
digambarkan
keluhan-keluhan
pengguna jasa/pelanggan yang lambat maka kinerja organisasi tersebut menjadi kurang baik.
Demikian juga dengan kinerja
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas yang kurang baik karena
penanganan dan penyelesaian keluhan pengguna jasa/pelanggan berlangsung lambat.
2. 2. Pengenalan
dan
pemahaman
kebutuhan
masyarakat/pengguna jasa Untuk merespon kebutuhan pelanggan, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
mengambil
kebijakan
bahwa
pemeriksaan
ante
mortem dilaksanakan paling lama 12 jam dan ternak berada pada kandang karantina boleh kurang dari 12 jam, hal ini untuk memudahkan bagi pelanggan yang tidak memiliki stok ternak karena mereka baru memperolehnya. Disamping itu Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas juga tidak mengharuskan daging hasil
103
pemotongan ternak setelah memperoleh pemeriksaan daging harus dilayukan terlebih dahulu dalam ruang pelayuan, hal ini mengingat
karena
kebutuhan
pelanggan
untuk
segera
memasarkan (mendistribusikan) dagingnya. Berkenaan dengan hal tersebut, berikut hasil wawancara dengan Kepala RPH : Kami memang tidak kaku dalam menerapkan peraturan bahwa ternak harus masuk kandang karantina 12 (dua betas) jam sebelum ternak dipotong, hal ini mengingat kemampuan pelanggan-pelanggan kami, karena ada sebagian pelanggan kami yang tidak memiliki stok ternak sehingga setiap akan memotong ternak mereka harus mencari terlebih dahulu (9 Nopember 2002). Dari hasil pengamatan tidak semua Sub RPH menggunakan kandang karantinanya untuk menampung ternak-ternak yang akan dipotong, hal ini disebabkan karena tidak adanya penjaga malam di Rumah Pemotongan Hewan, sehingga bagi para pelanggan yang akan memanfaatkan kandang karantina harus menyediakan
sendiri
penjaganya,
karenanya
pengguna
jasa/pelanggan lebih senang menampung ternaknya di kandang sendiri. Disamping itu Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas juga tidak mengharuskan
daging
hasil
pemotongan
ternak
setelah
memperoleh pemeriksaan daging harus dilayukan terlebih dahulu dalam ruang pelayuan, hal ini mengingat karena kebutuhan pelanggan
untuk
segera
memasarkan
(mendistribusikan)
104
dagingnya. Berkenaan dengan hal tersebut, hasil wawancara dengan Kepala Sub RPH Purwokerto Timur sebagai berikut : Ruang pelayuan tidak ada yang dimanfaatkan oleh para pelanggan untuk melayukan daging, alasan pelanggan tidak memanfaatkan ruang pelayuan karena sebagian besar (lebih kurang 90%) dari konsumen adalah pedagang bakso yang membutuhkan daging segar untuk pembuatan bakso, sedangkan dari konsumen rumah tangga sebagian besar mereka tidak mengetahui bahwa daging yang berkualitas adalah daging yang telah dilayukan terlebih dahulu pada temperatur tertentu, sehingga kadar aimya sedikit dan keempukan daging meningkat (11 Nopember 2002). Disamping
pengenalan
jasa/pelanggan
seperti
terhadap
tersebut
yang
kebutuhan
pengguna
menunjukkan
tingkat
responsivitas tinggi, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Petemakan
dan
responsivitasnya jasa/pelanggan
Perikanan rendah
yang
Kabupaten
terhadap
berhubungan
Banyumas
kebutuhan dengan
pengguna
fasilitas-fasilitas
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) seperti tangga penggantung daging,
kran
air dan lain-lain,
sehingga
sering
pengguna
jasa/pelanggan memenuhi kebutuhan tersebut secara bersamasama
dengan
pengguna jasa/pelanggan yang
lain
karena
realisasi kebutuhan pengguna jasa/pelanggan dari pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang terlalu lamban. Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Purwokerto Timur : Sering kebutuhan pengguna jasa/pelanggan seperti kran air dan tangga penggantung daging pemenuhannya terlambat, hal ini disebabkan karena kami harus melaporkan kebutuhan
105
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) kepada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, sehingga realisasinya menjadi lama. Dari pihak pengguna jasa/pelanggan sering memenuhi sendiri kebutuhan tersebut, karena mereka sangat memerlukannya (11 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut tergambar betapa responsivitas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten rendah terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pengguna jasa/pelanggan
yang
berhubungan
dengan
fasilitas-fasilitas
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
2.3. Realisasi aspirasi masyarakat ke dalam program-program pelayanan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas memang tidak menyediakan saluran
komunikasi
untuk
menampung
aspirasi
masyarakat/pengguna jasa/pelanggan, oleh karena itu apabila ada keluhan-keluhan dari pengguna jasa/pelanggan yang secara tidak langsung didengar oleh petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) maka petugas tersebut segera melaporkannya kepada Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang bersangkutan. Apabila keluhan-keluhan tersebut masih bisa diselesaikan oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) maka pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang menyelesaikannya,
106
tetapi apabila pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tidak mampu menyelesaikannya maka pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) akan melanjutkan ke Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten
Banyumas.
Hasil wawancara dengan
Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Purwokerto Timur adalah sebagai berikut : Keluhan-keluhan dari para pengguna jasa/pelanggan apabila masih bisa kami selesaikan ya kami selesaikan sendiri, tetapi apabila kami tidak bisa menyelesaikannya, kami segera melaporkan ke Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sebagai lnstansi lnduk kami (11 Nopember 2002) Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Rumah Hewan
Pemotongan
(RPH)
Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten Banyumas memiliki responsivitas yang tinggi terhadap kebutuhan para pengguna jasa/pelanggannya, terutama dalam hal pemanfaatan ruang pelayuan karena hal ini tidak bertentangan dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dan tidak mengurangi kadar gizi daging tersebut, tetapi mempunyai responsivitas yang rendah terhadap pengenalan kebutuhan pengguna jasa/pelanggan yang berhubungan dengan fasilitas-fasilitas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang seharusnya selalu dalam keadaan baik
dan
layak
penampungan
digunakan.
aspirasi
Kemudian
tidak
masyarakaUpengguna
adanya jasa
sarana sehingga
107
penampungan aspirasi
masyarakat/pengguna jasa dan realisasi
terhadap kegiatan pelayanan berjalan lamban dan tidak efektif. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ukuran kinerja organisasi pelayanan dikatakan baik apabila organisasi tersebut mampu mengenali dan memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam
hal
ini
pengguna jasa/pelanggan
kemudian
mewujudkannya dalam program-program kegiatan pelayanan secara cepat, sehingga aspirasi dan kebutuhan pengguna jasa/pelanggan tersebut
segera
dapat
terpenuhi
dengan
demikian
pengguna
jasa/pelanggan merasa puas dengan kegiatan pelayanan yang diterimanya. Demikian juga dengan kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang dalam kinerjanya kurang optimal karena belum bisa mengenali dan memahami keluhan dan kebutuhan pengguna jasa/pelanggan secara keseluruhan dan merefleksikan ke dalam kegiatan pelayanan sehingga akhirnya mempengaruhi kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
3. Efisiensi Organisasi pelayanan publik dapat dikatakan efisien apabila pengguna jasa/pelanggan dapat dilayani dalam waktu yang relatif cepat serta dengan biaya yang murah. Semakin efisien suatu pelayanan maka kinerja pelayanan yang dihasilkan menjadi semakin
108
baik,
disamping
juga
itu
kepuasan
pihak
dari
pengguna
jasa/pelanggan semakin tinggi. 3.1. Penetapan standar waktu dan biaya pelayanan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas tidak menetapkan waktu yang harus digunakan oleh para pengguna jasa/pelanggan dalam menggunakan tempat pemotongan dan tempat pelayuan daging dalam memotongkan ternaknya. Dari pengamatan di lapangan, dengan tidak ditetapkannya waktu untuk pemakaian tempat pemotongan dan tempat pelayuan daging akan memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk memotong seekor ternak, hal ini disebabkan karena Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
hanya
menyewakan tempat pemotongan ternak sedangkan tenaga kerja untuk
penyelesaian
pengguna
pemotongan
jasa/pelanggan,
ternak
dengan
berasal demikian
dari
para
pengguna
jasa/pelanggan merasa tidak terikat oleh waktu yang telah ditetapkan.
Hasil
wawancara
dengan
Kepala
Sub
RPH
Purwokerto Timur mengenai hal tersebut di atas sebagai berikut : Walaupun kami tidak menetapkan waktu untuk penggunaan tempat pemotongan ternak, pelanggan tidak akan berlamalama menggunakan tempat pemotongan ternak tersebut, hal ini disebabkan karena pelanggan juga diharuskan segera memasarkan dagingnya (11 Nopember 2002).
109
Disamping tidak menetapkan waktu untuk penggunaan tempat pemotongan ternak, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dalam memungut retribusi pemotongan ternak yang meliputi 5 (lima) buah retribusi yaitu : a. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong b. Pemakaian kandang (karantina) c. Pemakaian tempat pemotongan d. Pemakaian tempat pelayuan daging e. Pemeriksaan daging Pada kenyataannya ada
retribusi yang tidak dapat dirasakan
manfaatnya oleh para pengguna jasa/pelanggan yaitu pemakaian kandang (karantina) dan pemakaian tempat pelayuan daging (oleh Sub Rumah Pemotongan Hewan Sokaraja) dan pemakaian tempat pelayuan daging oleh Sub Rumah Pemotongan Hewan Purwokerto Timur dan Sub Rumah Pemotongan Hewan Wangon. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas menetapkan biaya yang harus dibayar oleh para pengguna jasa Rumah Pemotongan Hewan Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 4 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH) adalah sebagai berikut :
110
a. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong : - Sapi/Kerbau .............................................. Rp 5.000,00 - Babi ........................................................... Rp 5.000,00 - Kambing/Domba........................................ Rp 1. 000,00 b. Pemakaian kandang (karantina) : - Sapi/kerbau ............................................... Rp 7. 500,00 - Babi ........................................................... Rp 3.000,00 - Kambing/Domba ........................................ Rp
500,00
c. Pemakaian tempat pemotongan : - Sapi/Kerbau ............................................... Rp 2.500,00 - Babi ........................................................... Rp 2.500,00 - Kambing/Domba ........................................ Rp 1.000,00 d. Pemakaian tempat pelayuan: - Sapi/Kerbau ............................................... Rp 2.000,00 - Babi ........................................................... Rp 2.000,00 - Kambing/Domba ........................................ Rp
500,00
e. Pemeriksaan daging : - Sapi/Kerbau............................................... Rp 10.000,00 - Babi ........................................................... Rp 11.000,00 - Kambing/Domba ........................................ Rp 2.000,00 Dengan
adanya
penetapan
waktu
dan
biaya
dalam
memperoleh pelayanan diharapkan organisasi pelayanan publik dapat melaksanakan tugasnya dengan transparan dan waktu
Ill
yang relatif cepat kepada pengguna jasa/pelanggan sehingga kinerja organisasi pelayanan publik tersebut baik. Demikian juga dengan kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang kinerjanya kurang optimal karena tidak adanya penetapan waktu dalam memperoleh pelayanan. 3.2. Standar waktu yang diterima oleh masyarakat/pengguna jasa Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Banyumas tidak menetapkan standar waktu yang dikenakan kepada para pelanggan/pengguna jasa dalam memotongkan ternaknya terutama dalam penggunaan tempat pemotongan ternak dan ruang pelayuan daging. Dengan demikian para pelanggan/pengguna jasa akan leluasa dalam menggunakan fasilitas tempat pemotongan ternak dan ruang pelayuan, hal ini disebabkan karena tidak adanya peraturan yang menetapkan lamanya penggunaan tempat pemotongan maupun ruang pelayuan. Berdasarkan pengamatan, dengan tidak ditetapkannya waktu untuk
pemakaian
tempat
pemotongan
ternak
dan
tempat
pelayuan daging akan memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk memotong seeker ternak, hal ini disebabkan karena Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas hanya menyewakan tempat pemotongan
112
ternak sedangkan tenaga kerja untuk penyelesaian pemotongan ternak berasal dari para pelanggan. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pengguna jasa/pelanggan Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Purwokerto Timur : Dalam memotong ternak, kami tidak dibatasi oleh waktu karena memang tidak ada peraturan yang mengaturnya, namun kami tau dirilah karena masih banyak pengguna jasa lain yang memerlukannya. Jadi kami mengatur sendiri waktu pemotongan ternak dan ini sudah menjadi kebiasaan kami sejak dulu, lagipula untuk apa kami berlama-lama menggunakan tempat pemotongan ternak toh kami juga harus cepat-cepat memasarkan daging (11 Nopember 2002). Dari
penjelasan pengguna jasa I pelanggan tersebut
tergambar betapa leluasanya para pengguna jasa/pelanggan menggunakan tempat pemotongan ternak karena tidak adanya standar
waktu
pemotongan
yang ternak
berlaku walaupun
dalam dari
pemakaian pihak
tempat
pengguna
jasa/pelanggan mengakui bahwa mereka tidak akan berlamalama menggunakan tempat pemotongan ternak tersebut. Tetapi apabila tidak ada standar waktu yang ditetapkan dari pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dalam pemakaian tempat pemotongan ternak, maka pengguna jasa/pelanggan cenderung untuk bersikap seenaknya sendiri dalam pemakaian tempat pemotongan ternak tersebut oleh karena itu penetapan standar waktu tetap dibutuhkan agar pemakaian waktu menjadi lebih efisien. Suatu organisasi dapat dikatakan mempunyai kinerja pelayanan yang baik, salah satunya apabila dapat menggunakan
113
waktu dengan berkualitas.
seefisien mungkin dengan hasil yang tetap
Dengan
demikian
jelaslah
kiranya
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas kurang optimal dalam kinerjanya karena dengan
tidak
ditetapkannya
standar
waktu
menyebabkan
kegiatan pelayanan berjalan lamban. 3.3. Standar biaya yang dibayar oleh masyarakat/pengguna jasa Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 4 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH). Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Banyumas menetapkan biaya yang harus dibayar oleh para pengguna jasa/pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas adalah seperti yang tersebut di atas. Namun pada kenyataannya berdasarkan pengamatan di Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja ternyata besarnya retribusi
yang
dipungut
oleh
Sub
RPH
Sokaraja
untuk
pemotongan ternak besar sebesar Rp 24.000,00 (=Dua puluh empat ribu rupiah=), jumlah ini melebihi ketentuan yang berlaku sebesar Rp 2.000,00 (=Dua ribu rupiah=) karena pungutan retribusi yang sebenarnya untuk pemotongan ternak besar sebesar Rp 22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=). Hasil
114
wawancara
dengan
beberapa
pelanggan
Sub
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja adalah sebagai berikut : Kami membayar retribusi sebesar Rp 24.000,00 (=Dua puluh empat ribu rupiah=), memang seharusnya kami membayar Rp 22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=) sesuai dengan yang tertera pada bukti pembayaran retribusi, tetapi tambahan tersebut digunakan petugas untuk sarapan karena kami memotongkan ternak terlalu pagi sebelum jam kerja dimulai sehingga petugas RPH bel urn sempat sara pan ( 18 Nopember 2002). Berkenaan dengan masalah pemungutan retribusi yang melebihi dari
standar
yang
telah
ditetapkan,
berikut
adalah
hasil
wawancara dengan petugas Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja : Kami memang memungut retribusi sebesar Rp 24.000,00 (=Dua puluh empat ribu rupiah=) untuk setiap pemotongan ternak besar, kelebihan pungutan sebesar Rp 2.000,00 (=Dua ribu rupiah=) kami gunakan untuk sara pan karen a harus berangkat pagi-pagi jadi kami belum sempat sarapan (18 Nopember 2002). Masih masalah pemungutan retribusi yang melebihi standar, petugas Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja menambahkan : Kami memungut retribusi sebesar Rp 24.000,00 (=Dua puluh empat ribu rupiah=) tidak asal pungut, tetapi kami musyawarahkan terlebih dahulu dengan para pengguna jasa/pelanggan dan ternyata pengguna jasa/pelanggan tidak keberatan (18 Nopember 20002). Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat disimpulkan
bahwa
pemungutan retribusi yang melebihi dari ketentuan yang berlaku (dilakukan
oleh
petugas Sub
Rumah
Pemotongan
Hewan
115
Sokaraja) akan menimbulkan rasa tidak puas pada pihak pengguna
jasa/pelanggan,
karena
Sub-Sub
pada
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) yang lain pemungutan retribusi tetap seperti
berlaku,
ketentuan yang
padahal
Sub-Sub Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) tersebut juga buka sebelum jam kerja pegawai negeri sipil dimulai bahkan sering lebih pagi dari Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja. Suatu mempunyai
organisasi kinerja
pelayanan yang
baik
publik apabila
dapat dapat
dikatakan menerapkan
peraturan yang berlaku sesuai dengan norma dan nilai yang berkembang pada masyarakat, oleh karena itu Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sokaraja mempunyai kinerja yang kurang baik dalam hal pemungutan retribusi yang telah ditetapkan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang lain di wilayah Kabupaten Banyumas,
padahal
peraturan
mengenai dasar pengenaan
retribusi sama yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nom or 4 Tahun 1998 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (RPH).
3.4. Kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan manfaat yang diterima Sebagai bukti pemungutan biaya (retribusi) pemotongan ternak, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan
116
Perikanan Kabupaten Banyumas memberikan secarik kertas tanda pembayaran retribusi kepada setiap pelanggan yang memotongkan ternaknya. Tanda bukti tersebut di atas hanya menyebutkan retribusi pemotongan ternak besar (untuk sapi dan kerbau), ternak kecil (untuk ternak kambing dan domba) dan ternak babi, tetapi dalam tanda bukti pembayaran retribusi tersebut tidak disebutkan bahwa pembayaran retribusi sejumlah tersebut untuk biaya (retribusi) apa saja. Padahal dari sejumlah retribusi yang dipungut oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas meliputi : a.
retribusi pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong,
b.
pemakaian kandang (karantina),
c.
pemakaian tempat pemotongan,
d.
pemakaian tempat pelayuan daging dan
e.
pemeriksaan daging.
Dalam tanda bukti pembayaran retribusi hanya disebutkan retribusi untuk ternak besar (sapi dan kerbau) sebesar Rp 22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=), ternak kecil (kambing dan domba) sebesar Rp 5.000,00 (=Lima ribu rupiah=) dan ternak babi sebesar Rp 23.500,00 (=Dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah=). Disamping tidak ada kejelasan dari perincian retribusi yang dipungut, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
117
dan Perikanan kabupaten Banyumas juga tidak memasang tarif retribusi untuk masing-masing ternak beserta rinciannya pada dinding
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
sebagai
pemberitahuan kepada setiap pengguna jasa/pelanggan yang memotongkan ternak. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Purwokerto Timur saat diwawancarai : Kami selalu mengedarkan setiap ada Peraturan Daerah baru tentang perubahan tarif retribusi pemotongan ternak kepada semua pelanggan kami, sehingga kami tidak perlu memasang tarif pemotongan ternak beserta rinciannya pada Rumah Pemotongan Hewan karena kami menganggap pelanggan sudah mengerti (11 Nopember 2002). Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pemungutan rteribusi semua pengguna jasa/pelanggan dianggap sudah mengetahui karena petugas telah mengedarkan kepada pengguna jasa/pelanggan setiap ada perubahan biaya retribusi. Teta pi bagaimana dengan pengguna jasa yang baru karena mereka belum mengetahui retribusi yang dikenakan kepada pengguna jasa dalam setiap memotongkan ternaknya. Dalam hal tersebut di atas, penulis mempunyai pendapat bahwa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten
Banyumas
kinerjanya
masih
rendah,
karena Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tidak dapat bersikap transparan
terhadap
pengguna
jasa/pelanggan
bahwa
pemungutan retribusi sejumlah sekian untuk keperluan apa saja.
118
Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pengguna Rumah
Sub
jasa/pelanggan
Pemotongan
(RPH)
Hewan
Purwokerto Timur : Kami tidak mengetahui untuk retribusi apa saja dari sejumlah uang yang kami bayarkan setiap memotongkan ternak. Kami hanya mengetahui setiap memotongkan ternak besar harus membayar retribusi sebesar Rp 22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=) (9 Nopember 2002). Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menetapkan tarif retribusi kurang efisien karena ada pemungutan sebagian retribusi yang pengguna jasa tidak merasakan manfaat dari
pelayanan jasa tersebut
dengan
demikian
sebaiknya
penetapan tarif retribusi diperbaiki karena para pengguna jasa dalam hal ini para pelanggan Rumah Pemotongan Hewan tidak jasa
menggunakan
yang
telah
disediakan
oleh
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) yaitu pemakaian kandang (karantina) untuk Sub RPH Sokaraja dan pemakaian tempat pelayuan daging untuk Sub RPH Purwokerto Timur, Sub RPH Wangon dan Sub RPH
Sokaraja.
disesuaikan
Dengan
dengan
demikian
manfaat
yang
pemungutan diperoleh
retribusi oleh
para
pelanggan, apabila pelanggan hanya memperoleh 3 (tiga) jenis manfaat pelayanan maka yang wajib dibayarkan retribusinya oleh
pelanggan
adalah
3 (tiga) jenis retribusi
tersebut,
selanjutnya yang memperoleh 4 (empat) jenis manfaat pelayanan
119
maka
yang
wajib
dibayarkan
retribusinya
oleh
pengguna
jasa/pelanggan adalah 4 (empat) jenis retribusi tersebut. Dengan demikian manfaat yang diperoleh oleh pengguna jasa/pelanggan benar-benar dari biaya retribusi yang dibayarkan pengguna jasa/pelanggan kepada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Dengan kata lain apa yang diperoleh pengguna jasa/pelanggan sebagai manfaat adalah merupakan hasil dari biaya yang dikeluarkan
oleh
pengguna
jasa/pelanggan
sebagai
biaya
retribusi. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa apa yang dikeluarkan sebagai input oleh pengguna jasa/pelanggan efisien, karena pengguna jasa/pelanggan akan memperoleh manfaat
yang
benar-benar
dirasakan
oleh
pengguna
jasa/pelanggan sehingga pengguna jasa/pelanggan akan merasa puas. Organisasi pelayanan yang mempunyai kinerja baik adalah organisasi yang mampu melaksanakan tugasnya dengan efisien, dari input yang dikeluarkan dengan outputlhasil yang diterima. Demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang belum bisa mencapai kinerja yang baik karena belum efisien dalam
120
mengelola input yang diterima dengan output yang diberikan kepada pengguna jasa/pelanggan. 3.5. Tanggapan masyarakat terhadap standarisasi biaya Sebagai bukti pemungutan biaya (retribusi) pemotongan ternak, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas memberikan secarik kertas tanda pembayaran retribusi kepada setiap pelanggan yang memotongkan
ternaknya.
Tanda
bukti
tersebut
hanya
mencantumkan retribusi untuk ternak besar (sapi dan kerbau) sebesar Rp 22.000,00 (=Dua puluh dua ribu rupiah=), ternak kecil (kambing dan domba) sebesar Rp 5.000,00 (=Lima ribu rupiah=) dan ternak babi sebesar Rp 23.500,00 (=Dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah=). Tetapi dalam tanda bukti pembayaran retribusi tersebut tidak disebutkan bahwa pembayaran retribusi sejumlah tersebut untuk biaya (retribusi) apa saja. Padahal dari sejumlah retribusi yang dipungut oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas meliputi : a. retribusi pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong, b. pemakaian kandang (karantina), c. pemakaian tempat pemotongan, d. pemakaian tempat pelayuan daging dan e. pemeriksaan daging.
121
Ketetapan biaya retribusi seperti yang tersebut sebenarnya tidak memberatkan bagi para pelanggan/pengguna jasa di saat pengguna jasa/pelanggan memotongkan ternaknya dengan berat badan 300 -
500 kilogram (ternak besar), tetapi apabila
pengguna jasa/pelanggan memotongkan ternaknya yang hanya seberat 100 kilogram (ternak besar) maka biaya retribusi tersebut akan terasa berat. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang pelanggan/pengguna jasa Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Di saat kami memotongkan ternak sapi yang mempunyai berat badan 300-500 kilogram memang biaya retribusi tidak terasa memberatkan kami, karena saat kami memotong ternak sapi yang besar berarti permintaan pasar juga tinggi, tetapi apabila kami memotong ternak sa pi yang hanya 100 kilogram, biaya retribusi tersebut terasa memberatkan kami, karena permintaan pasar terhadap daging sapi juga sedang rendah (18 Nopember 2002). Dari
uraian
tersebut
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
besarnya pemungutan retribusi sebenarnya tidak memberatkan bagi pengguna jasa/pelanggan di saat permintaan pasar sedang tinggi, tetapi menjadi berat di saat permintaan pasar sedang rendah. Dalam menetapkan tarif retribusi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas kurang efisien karena ada pemungutan sebagian retribusi yang pengguna jasa tidak merasakan manfaat dari pelayanan jasa tersebut dengan demikian sebaiknya penetapan tarif retribusi
122
diperbaiki karena para pengguna jasa dalam hal ini para pelanggan
Rumah
Pemotongan
(RPH)
Hewan
tidak
menggunakan semua jasa yang telah disediakan oleh Rumah Pemotongan
Hewan
(RPH).
Dengan
apabila
demikian
pemungutan retribusi disesuaikan dengan manfaat yang diterima oleh pengguna jasa/pelanggan akan efisien. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas akan mempunyai kinerja yang baik apabila dapat menerapkan tarif retribusi sesuai dengan manfaat yang diberikan kepada pengguna jasa/pelanggan. 4. Orientasi terhadap Pelayanan Organisasi
yang
mempunyai
tugas
memberikan
pelayanan
kepada masyarakat, sudah menjadi kewajibannya untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki oleh organisasi pelayanan tersebut untuk
melayani
kebutuhan
masyarakat
sesuai
dengan
tujuan
organisasi. Demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, semua sumber daya yang dimiliki diperuntukkan bagi pelayanan jasa pemotongan ternak kepada masyarakat dalam hal ini para pengguna jasa/pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
4. 1. Jumlah sumber daya aparatur
123
Dalam menjalankan tugas dan fungsi organisasi, Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas didukung oleh 32 (tuga puluh dua) orang pegawai, 26 (dua puluh enam) orang Pegawai Negeri Sipil dan 6 (enam) orang Pegawai Tidak Tetap. Dari hasil pengamatan, jumlah sumber daya aparatur yang tersedia di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas masih sangat kurang, hal ini mengingat jumlah yang hanya 32 (tiga puluh dua) orang harus terbagi ke dalam 3 (tiga) Sub RPH dan 6 (enam) RPH Pembantu, dengan demikian jumlah sumber daya aparatur yang sangat terbatas
ini
tidak
akan
mampu
mengoperasikan
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) secara optimal sehingga kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas menjadi rendah dan tidak dapat memenuhi fungsi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) secara maksimum. Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Sumber daya manusia yang ada di Rumah Pemotongan Hewan memang sangat kurang apabila dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawabnya, karena itu di dalam pelaksanaan tugasnya belum maksimal, hal ini bisa terlihat dari terbatasnya jam kerja Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas (7 Nopember 2002)
124
Dari penjelasan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah
sumber
daya
manusia
yang
di
tersedia
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas masih sangat kurang apabila dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Keterbatasan sumber daya manusia inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas
belum
bisa
mencapai
kinerja
yang
diharapkan. Karena keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia
di
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
akan
menyebabkan kinerja dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) menjadi tidak maksimal.
Hal ini mengingat fungsi
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) sebagai penghasil daging yang layak konsumsi yaitu menghasilkan daging yang ASUH (asli sehat utuh dan halal) sudah sewajarnya apabila Rumah Pemotongan Hewan (RPH) mempunyai 24 (dua puluh empat) jam harinya
atau
jasa/pelanggan
dengan
kata
membutuhkan
lain
ke~a
dalam setiap
sewaktu-waktu
Rumah
pengguna
Pemotongan
Hewan
(RPH) untuk memotongkan ternaknya, maka Rumah Pemotongan Hewan (RPH) selalu dalam keadaan siap.
125
Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas tidak dapat maksimal apabila ketersediaan
sumber daya
manusia
yang
mengoperasikan
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sangat terbatas. 4.2 Orientasi pelayanan dari sumber daya aparatur Hasil pengamatan, fungsi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah untuk menghasilkan daging yang ASUH (asli, sehat, utuh dan halal) yang akan dikonsumsi oleh masyarakat terutama masyarakat Kabupaten Banyumas dan daerah sekitarnya. Karena fungsi Rumah Pemotongan Hewan sebagai penghasil daging yang ASUH tersebut maka seharusnya semua pemotongan ternak dilaksanakan di dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) atau Tempat Pemotongan Hewan, dengan demikian prosedur pemotongan ternak akan berlangsung dengan baik dan benar terutama dalam pemeriksaan daging yang akan didistribusikan kepada konsumen sehingga daging yang dihasilkan benar-benar terbebas dari penyakit terutama yang menular kepada manusia (zoonosis). Mengingat fungsi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut, sebaiknya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) bekerja 24 (dua puluh empat jam) dalam seharinya dengan kata lain Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) bekerja non stop setiap
126
harinya, hal ini untuk menjaga agar apabila sewaktu-waktu pelanggan
membutuhkan jasa Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH) karena ada kecelakaan ternak yang tidak terduga maka Rumah Pemotongan Hewan (RPH) siap menanganinya. Hasil wawancara dengan Kepala Sub RPH Wangen mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut : Kami hanya melayani pemotongan ternak dari jam 02.00 WIB sampai dengan jam 11.00 WIB, karena hanya saat-saat itulah pelanggan kami memotongkan ternaknya, sedangkan apabila ada kejadian kecelakaan ternak yang membutuhkan penanganan untuk segera dipotong maka pelanggan akan menghubungi petugas Rumah Pemotongan Hewan di rumahnya untuk memotongkan ternaknya di RPH karena di RPH tidak ada petugas yang sedang bertugas (11 Nopember 2002). Sedangkan
hasil
wawancara
dengan
Kepala
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dalam hal yang sama adalah sebagai berikut : Memang seharusnya Rumah Pemotongan Hewan bekerja 24 (dua puluh empat) jam setiap harinya, namun mengingat keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia) yang kami miliki hal ini tidak dapat kami laksanakan, tetapi kami akan berusaha untuk waktu ke depan (7 Nopember 2002). Dari hasil wawancara tersebut tergambar bahwa orientasi terhadap pelanggan belum dilaksanakan secara maksimal oleh Rumah
Pemotongan
keterbatasan
SDM
Hewan (Sumber
hal Daya
ini
disebabkan
Manusia)
yang
karena dapat
mendukung Rumah Pemotongan Hewan (RPH) untuk bekerja penuh selama 24 (dua puluh empat) jam. Walaupun pada
127
kenyataannya semua petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) bekerja sesuai dengan jam kerja Pegawai Negeri Sipil (lebih kurang 7 jam perhari). Hasil wawancara dengan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas mengenai masalah pekerjaan sambilan para karyawannya adalah sebagai berikut: Karyawan kami boleh dikatakan tidak ada yang mempunyai pekerjaan sambilan, apalagi sampai yang menyita waktu dari pekerjaan utamanya sebagai karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Ada satu orang yang mempunyai pekerjaan sambilan tetapi juga tidak mengganggu pekerjaan utamanya sebagai karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Mereka hanya bekerja di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) (9 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat diambil kesimpulan bahwa semua karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas hanya mempunyai satu pekerjaan yaitu sebagai karyawan Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, dengan demikian semua sumber daya yang dimiliki oleh aparat Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas diorientasikan kepada pengguna jasa/pelanggan dalam rangka memberikan pelayanan jasa pemotongan ternak.
128
Apabila
suatu
mengorientasikan
organisasi
semua
pelayanan
sumber daya
publik
bisa
dimiliki
oleh
yang
organisasi pelayanan tersebut untuk mencapai tujuan organisasi yaitu
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
maka
organisasi pelayanan tersebut mempunyai kinerja yang baik, demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat menjadi organisasi pelayanan publik yang mempunyai kinerja yang baik karena memiliki sumber daya manusia yang hanya diorientasikan kepada
pelayanan
pengguna
jasa/pelanggan
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. B. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pelayanan 1. Sistem lnsentif Sistem insentif merupakan elemen yang penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan dalam mencapai kinerja yang diinginkan.
Oleh karena itu sistem insentif merupakan
salah satu
faktor yang menentukan tingkat kinerja aparat. Penerapan sistem insentif akan memotivasi aparat dalam melaksanakan tugasnya (pekerjaannya).
1.1 Pemberian insentif dalam bentuk materiil dan non materiil
129
lnsentif yang diberikan dalam bentuk materiil adalah segala sesuatu yang sifatnya materi dan diberikan sebagai penghargaan untuk memotivasi agar bisa meningkatkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Dari hasil pengamatan, insentif dalam bentuk materiil yaitu berupa tambahan penghasilan belum diberikan oleh pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) maupun Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas kepada para petugas Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Para
petugas
Rumah
Pemotongan
Hewan
hanya
memperoleh penghasilan sebagai Pegawai Negeri Sipil setiap bulannya,
sedangkan
memperoleh
honor
bagi dari
Pegawai Pemerintah
Tidak
Tetap
Daerah
hanya
Kabupaten
Banyumas setiap bulannya, kemudian ditambah dengan uang lembur yang
berdasarkan
Surat
Keputusan
Kepala
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dibayarkan pada setiap hari libur selama 4 (empat) jam perharinya dan mulai diterimakan bulan Juli 2002. Uang lembur yang dibayarkan kepada para petugas Rp 1.000,00 perjam ditambah uang makan Rp 5.000,00 perorang. Sehingga apabila hari libur dan Minggu para petugas Rumah Pemotongan Hewan akan memperoleh uang lembur sebesar Rp 4.000,00 ditambah uang makan Rp
130
5.000,00. Berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas: Selain uang gaji dan honor, kami memperoleh uang lembur yang besarnya Rp 4.000,00 dan uang makan Rp 5.000,00 perhari perorang. Uang ini diberikan karena pada hari libur kami tetap melaksanakan tugas (9 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat diambil kesimpulan bahwa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas belum memberikan insentif dalam bentuk materi sebagai tambahan penghasilan karena kinerja yang dicapainya. Sedangkan pemberian insentif non materiil diberikan dalam bentuk penghargaan, jaminan kesehatan, rekreasi dan lain sebagainya. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas memberikan insentif dalam bentuk non materi berupa bimbingan pembuatan pupuk organik yang berasal dari limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Dari hasil pengamatan, Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas memberikan bimbingan langsung kepada para karyawan dalam pembuatan pupuk organik yang bahan bakunya berasal dari
131
limbah
Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) Dinas Peternakan
dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Hasil wawancara dengan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas adalah sebagai berikut : Kami memberikan bimbingan langsung kepada para petugas Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas untuk memanfaatkan limbah Rumah Pemotongan Hewan, daripada limbah tersebut tidak bermanfaat dan menyebabkan polusi. Limbah tersebut kami buat jadi pupuk organik yaitu kompos. Sedangkan pengelolaannya kami serahkan kepada para petugas Rumah Pemotongan Hewan (9 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas memberikan insentif dalam bentuk non materi berupa bimbingan pembuatan pupuk organik yang bahan bakunya berasal dari limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH), hal ini dimaksudkan untuk mengisi waktu luang saat karyawan bertugas di
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH),
dengan
demikian
diharapkan dapat meningkatkan gairah kerja karena pengelolaan pupuk organik tersebut seluruhnya diserahkan kepada karyawan. Dari uraian tersebut
jelaslah bahwa pemberian insentif di
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah untuk meningkatkan gairah kerja, dengan meningkatnya gairah kerja diharapkan kinerja dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
132
dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan. 1.2. Penerapan Disinsentif Kepada Aparat Disinsentif dapat berupa teguran lisan maupun tulisan, peringatan, mutasi, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat bahkan pemecatan. Disinsentif dikenakan kepada aparat yang melanggar tata tertib maupun peraturan yang berlaku dalam organisasi. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas merupakan satuan organisasi pelayanan publik
yang memberikan jasa pelayanan kepada
masyarakat
berupa
jasa
pemotongan
berhadapan
dengan
masyarakat
dalam
ternak, hal
ini
langsung pengguna
jasa/pelanggan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugasnya, aparat Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Banyumas dituntut untuk mempunyai
dedikasi yang baik, karena dalam pelaksanaan tugas di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dibutuhkan pengorbanan waktu, pikiran serta kedisiplinan. Berkenaan dengan masalah penerapan disinsentif kepada aparat Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten
Banyumas,
berikut
hasil wawancara
133
dengan
Kepala
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Selama ini belum ada karyawan yang terkena hukuman skorsing, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat apalagi pemecatan, paling hanya teguran lisan karena mereka lalai tidak memberitahukan kepada kami saat mereka tidak masuk kerja. Dengan tidak adanya pemberitahuan menyebabkan kami kewalahan dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa/pelanggan karena belum adanya pembagian kerja sehubungan dengan tidak masuknya salah satu karyawan (9 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut
tergambar
betapa
pentingnya
yang
ijin
harus
disampaikan kepada atasan saat aparat berhalangan masuk kerja, oleh karena itu penerapan disinsentif wajib bagi suatu organisasi pelayanan demi lancarnya kegiatan sehingga
tidak
mengecewakan
pengguna
pelayanan
jasa/pelanggan.
Demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, kinerjanya dapat ditingkatkan dengan adanya disinsentif, karena adanya disinsentif karyawan akan merasa takut bila melanggar peraturan yang berlaku dengan demikian maka kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat mencapai kinerja yang diharapkan.
1.3. Pengaruh pemberian insentif dan disisentif terhadap kinerja Pengaruh pemberian insentif terhadap kinerja petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan
134
Kabupaten
Banyumas
menunjukkan
peningkatan,
walaupun
insentif yang diberikan adalah non materiil, tetapi pemberian uang lembur juga telah meningkatkan kinerja para petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Banyumas. Berikut wawancara dengan salah seorang petugas Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Sejak bulan Juli 2002 kami memperoleh uang lembur yang besarnya Rp 4.000,00 dan uang makan Rp 5.000,00 perhari, uang lembur ini dibayarkan karena kami tetap bertugas pada hari libur, lumayanlah membuat kerja jadi lebih bergairah (18 Nopember 2002). Selanjutnya tanggapan petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas terhadap insentif non materiil yang diberikan oleh Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas berupa bimbingan pembuatan pupuk
organik yang berasal dari limbah Rumah Pemotongan Hewan (RPH) berdasarkan hasil wawancara adalah sebagai berikut : Kami sangat senang dengan adanya bimbingan pembuatan pupuk organik yang berasal dari limbah Rumah Pemotongan Hewan oleh Kepala Rumah Pemotongan Hewan kami, dengan demikian kami dapat memanfaatkan waktu luang saat tugas di Rumah Pemotongan Hewan sudah selesai. Kami memperoleh penghasilan tambahan dari hasil penjualan pupuk yang pengelolaannya oleh kami sendiri para petugas Rumah Pemotongan Hewan (11 Nopember 2002). Sedangkan tanggapan mengenai disisentif yang diterapkan kepada
aparat
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
Dinas
135
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang aparat Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Wangon adalah sebagai berikut : Kami memang salah jadi sudah selayaknya kami ditegur, tetapi apa boleh buat saat itu kami harus pergi mendadak karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditunda sehingga kami harus pergi meninggalkan peke~aan tanpa ijin. Tentu saja kami tidak akan mengulanginya lagi, nggak enak ditegur sama atasan (11 Nopember 2002). Dari
uraian tersebut tergambar bahwa
pemberian
insentif
menimbulkan motivasi karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas
untuk meningkatkan kinerjanya, sedangkan penerapan disisentif membuat karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas merasa takut berbuat kesalahan, dengan adanya rasa takut berbuat kesalahan akan mendorong karyawan terus bekerja. Dengan demikian maka kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat mencapai sesuai dengan yang diharapkan. Berkenaan dengan hal tersebut dapat diambil kesimpulan, insentif dalam bentuk materi hendaknya diberikan kepada para petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) karena Petugas RPH bekerja di luar jam kerja Pegawai Negeri Sipil Uam 07.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB) agar dapat memotivasi petugas RPH
136
dalam melaksanakan pekerjaan sehingga akan meningkatkan kinerja sesuai yang diharapkan. 2. Pendelegasian Wewenang
Adanya pendelegasian wewenang dari atasan kepada stat yang berada di bawahnya dalam suatu organisasi akan mempercepat dan memperlancar proses penyelesaian suatu pekerjaan agar mencapai pula halnya dengan Rumah
tujuan yang diinginkan. Demikian Hewan
Pemotongan Kabupaten
(RPH)
Banyumas
Dinas
dalam
dan
Peternakan
memberikan
Perikanan
pelayanan
jasa
pemotongan ternak kepada masyarakat. 2. 1. Jenis delegasi wewenang yang diberikan kepada bawahan Dari hasil pengamatan oleh
Kepala
delegasi wewenang yang diberikan
Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas kepada bawahan yaitu petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ditunjuk berupa seleksi ternak-ternak yang akan
dipotong.
Pendelegasian
wewenang
ini
seharusnya
diserahkan kepada dokter hewan, tetapi mengingat keterbatasan jumlah dokter hewan yang ada dan dokter hewan yang ada telah menduduki
jabatan-jabatan
struktural,
maka
pendelegasian
wewenang ini diberikan kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang telah
memiliki sertifikat Keur Master.
Sedangkan dalam pelaksanaan tugasnya, apabila ada kesulitan-
137
kesulitan (RPH)
di lapangan petugas Rumah Pemotongan Hewan
berhubungan dengan dokter hewan-dokter hewan yang
ada di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Berikut
adalah
hasil
wawancara
dengan
Kepala
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas : Delegasi wewenang yang diberikan penuh dari Kepala Dinas kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan yang ditunjuk sesuai dengan Surat Keputusan adalah wewenang untuk menseleksi ternak-ternak yang akan dipotong (7 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, adanya pendelegasian wewenang ini diharapkan
untuk
mempercepat dan
memperlancar proses
kegiatan pelayanan, karena apabila pemeriksaan kesehatan ternak
harus oleh
dokter hewan
maka
proses
ini
akan
membutuhkan waktu yang tidak sedikit karena keterbatasan jumlah dokter hewan. Oleh karena itu Kepala Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten
Banyumas memberikan delegasi
penuh kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang telah ditunjuk dengan persyaratan tertentu untuk menseleksi ternak-ternak yang akan dipotong. Dengan
adanya
pendelegasian
wewenang
tersebut
diharapkan proses kegiatan pelayanan akan berlangsung dengan cepat dan lancar sehingga organisasi pelayanan dapat mencapai kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga dengan
138
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, dengan adanya pendelegasian wewenang
dari
Kepala
Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten Banyumas kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang ditunjuk dipotong
akan
berupa seleksi ternak yang akan
meningkatkan
kinerja
sesuai
dengan
yang
diharapkan, karena dengan adanya pendelegasian wewenang tersebut proses kegiatan pelayanan jasa pemotongan ternak akan berlangsung cepat dan lancar. 2.2. Kemampuan bawahan dalam melaksanakan tugas Pendelegasian
wewenang
yang
dimaksudkan
dalam
penelitian ini adalah hak untuk bertindak dan memutuskan sesuatu
dengan
memberikan
wewenang
pelayanan
jasa
dan
tanggung
pemotongan
jawab ternak
dalam kepada
masyarakat (para pelanggan). Petugas
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan dan perikanan Kabupaten Banyumas adalah petugas yang telah mempunyai kemampuan dan keahlian didalam seleksi terhadap ternak-ternak yang akan dipotong. Petugas-petugas tersebut memiliki pengetahuan yang memadai untuk mendeteksi gejalagejala klinis baik secara eksterior maupun interior ternak-ternak
139
yang akan dipotong. Dengan demikian Kepala Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
sepenuhnya
mendelegasikan wewenangnya kepada para petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang telah ditunjuk untuk menseleksi ternak-ternak yang akan dipotong. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut hasil wawancara dengan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas: Saya selaku Kepala Dinas telah mendelegasikan kepada para petugas RPH yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutuskan ternak yang akan dipotong, petugas-petugas yang ditunjuk tersebut memiliki kemampuan dalam bidang kesehatan hewan dan dilengkapi dengan sertifikat Keur Master, sehingga mereka benar-benar mrmiliki kemampuan dalam bidang tersebut (7 Nopember 2002). Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa Petugas RPH yang telah ditunjuk diberi wewenang penuh untuk memeriksa dan memutuskan ternak yang akan dipotong dan ternak yang harus ditolak untuk dipotong (ditunda pemotongannya) sampai ada hasil pemeriksaan lebih lanjut. Petugas yang diberi wewenang juga memiliki kemampuan dalam bidang teknis yaitu kesehatan hewan, sehingga petugas yang diberi wewenang tersebut akan mampu melaksanakan tugas yang didelegasikan. Apabila suatu organisasi dalam melaksanakan tugasnya ada pendelegasian wewenang kepada staf yang berada di bawahnya dan staf tersebut memiliki kemampuan yang memadai untuk
140
melaksanakan tugas tersebut, maka organisasi tersebut akan mencapai kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, karena delegasi wewenang yang
diberikan
Kepala
Dinas
kepada
Petugas
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) yang ditunjuk secara penuh dan petugas yang diberi wewenang tersebut mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas tersebut, maka rumah Pemotongan Hewan (RPH) dapat mencapai kinerja sesuai dengan yang diharapkan. 2.3. Tanggung jawab bawahan dalam melaksanakan tugas Petugas
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang telah ditunjuk oleh Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas menjalankan tugasnya
dengan penuh tanggung
jawab. Berdasarkan
pengamatan,
sebelum
ternak
dipotong
mendapatkan pemeriksaan yaitu pemeriksaan ante mortem. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian apakah ternak tersebut boleh dipotong atau tidak. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan eksterior ternak, yaitu pemeriksaan terhadap gejala-gejala klinis yang diperlihatkan oleh ternak yang dapat dideteksi dari luar. Apabila ternak menunjukkan gejala-gejala klinis yang mengarah
141
ke
penyakit
tertentu
maka
pemeriksaan
dilanjutkan
ke
laboratorium dengan mengambil speciment dari ternak tersebut. Selama menunggu hasil dari laboratorium, ternak mendapatkan perlakuan khusus dengan dikarantina (dipisah pada kandang khusus) terpisah dari ternak-ternak lain,
apabila diindikasi
penyakit tersebut dapat menular ternak yang lain. Berikut hasil wawancara dengan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan Purwokerto Timur : Kami selalu memeriksa ternak yang akan dipotong. Apabila ada ternak-ternak yang menunjukkan gejala-gejala klinis tertentu, kami akan memisahkannya dan mengadakan pemeriksaan lebih intensif. Apabila ternak tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terdapat infeksi penyakit yang berbahaya maka kami segera mengambil tindakan, apakah ternak tersebut harus dimusnahkan sebagian atau seluruhnya (11 Nopember 2002). Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan bahwa petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang telah diberi wewenang untuk mengadakan seleksi terhadap ternak-ternak
yang akan
dipotong benar-benar telah dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian para petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
telah
melaksanakan tugas yang diamanatkan dengan penuh tanggung jawab Berkenaan dengan hal tersebut, pendelegasian wewenang kepada aparat yang mempunyai tanggung jawab tinggi akan memperlancar dan mempercepat proses kegiatan pelayanan,
142
karena dengan tanggung jawab tersebut aparat akan bertindak waspada dan tidak menimbulkan kesalahan. Karena kesalahan yang diperbuatnya berarti kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan
kepada atasan yang
mendelegasikan wewenang
tersebut. Akibatnya apabila petugas yang diberi wewenang tersebut tidak melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dapat berakibat pencabutan terhadap wewenang tersebut. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila petugas yang menerima wewenang mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap wewenang yang diterimanya, maka proses kegiatan pelayanan akan berlangsung dengan cepat dan lancar sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, aparat yang diberi wewenang memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap wewenang yang diterimanya sehingga mereka dalam melaksanakan tugas yang didelegasikannya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat meningkatkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan karena memiliki petugas yang memiliki
tanggung
jawab
terhadap
pekerjaan
yang
dilaksanakannya.
143
3. Kepemimpinan
Salah satu faktor yang menentukan organisasi dalam mencapai tujuannya adalah kepemimpinan. Karena kepemimpinan mempunyai peran yang sangat panting dalam organisasi, melalui kepemimpinan seseorang dapat mempengaruhi bawahan
untuk mengerahkan
sumber dayanya dalam mencapai tujuan. Kepemimpinan dalam penelitian
ini
adalah
mempengaruhi bawahan
kemampuan
seorang
pimpinan
untuk
untuk menjalankan tugas dan fungsinya
guna mencapai tujuan organisasi. 3. 1. Pendekatan
yang
digunakan
dalam
memimpin
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang dipimpin oleh Kepala UPTD RPH, Kepala UPTD RPH ini bertangung jawab langsung kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Dari hasil pengamatan di lapangan, pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dalam memimpin organisasinya adalah sebagai berikut : Pendekatan formal Sesuai dengan Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 44 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Tugas
144
Pokok, Uraian Tugas dan Tata Kerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
pada
Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas, telah diatur hubungan yang bersifat struktural antara Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dengan para Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan, Kasubbag Tata Usaha dan petugas-petugas Rumah Pemotongan Hewan. Pendekatan formal adalah pendekatan yang bersifat struktural yang didasarkan pada garis komando hubungan antara atasan dan bawahan yang bersifat vertikal. Dimana atasan karena posisi dan otoritasnya dapat memerintah para bawahannya. Dalam penggunaan
posisi
dan
otoritasnya
atasan
mengadakan
pendekatan kepada bawahan berupa hubungan formal seperti adanya
rapat
staf
Unit
Pelaksana
Pemotongan Hewan (UPTD RPH) setiap bulan sekali yaitu
Teknis
Dinas
Rumah
yang rutin diselenggarakan
tanggal 7. Rapat tersebut membahas
masalah-masalah tugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) khususnya pada pemenuhan target kontribusi Pendapatan Asli Daerah
(PAD)
Peternakan dan
yang
telah
ditetapkan
oleh
Perikanan
Kabupaten
Banyumas,
Kepala
Dinas
evaluasi
terhadap pelayanan jasa pemotongan ternak, evaluasi terhadap masalah-masalah
yang
terjadi
serta
mencari
alternatif
pemecahan masalah dan memberikan instruksi-instruksi yang
145
berkenaan dengan kebijakan pelayanan jasa pemotongan ternak serta mendengarkan saran dan masukan dari bawahan guna peningkatan kinerja pelayanan jasa pemotongan ternak pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Berkenaan
dengan
hal
tersebut,
Kepala
UPTD
RPH
mengatakan bahwa : Rapat staf UPTD RPH ini gunanya untuk mengevaluasi pelaksanaan tugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH), menampung masalah-masalah yang terjadi di lapangan, bertukar pendapat, serta menerima masukan dan saran sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan pelayanan. Kami memberikan pengarahan dan instruksi demi kelancaran pelaksanaan tugas organisasi (9 Nopember 2002 ). Dari penjelasan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas terlihat adanya kesempatan menyampaikan
yang
diberikan
masalah-masalah
kepada yang
bawahan
untuk
dihadapinya
selama
bertugas di lapangan serta menerima saran dan masukan yang berguna
bagi
kelancaran
pelaksanaan
tugas
organisasi.
Disamping itu juga terdapat instruksi atau perintah yang harus dilaksanakan oleh bawahannya, ini sesuai dengan posisinya sebagai pimpinan. Dengan demikian terjalin
hubungan yang
efektif antara atasan dan bawahan yang dapat menunjang kinerja pelayanan jasa pemotongan ternak pada Rumah Pemotongan
146
Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Pendekatan informal Pendekatan informal adalah pendekatan yang tidak diatur dengan peraturan. Pendekatan informal ini merupakan inisiatif yang timbul dalam diri pimpinan untuk mendekatkan diri kepada para bawahannya. Dalam pendekatan informal ini pimpinan berusaha mendengarkan langsung pendapat dan saran bawahan yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Selain itu juga bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada bawahan secara kekeluargaan. Dengan pendekatan informal pimpinan dapat merubah sikap sungkan dari bawahan terhadap atasan, sehingga pimpinan dapat
mengetahui
secara
dalam
keadaan
bawahan
yang
sebenarnya. Pendekatan informal ini sangat efektif bagi pimpinan untuk
mempengaruhi
bawahan
dalam
mencapai
tujuan
organisasi. Pendekatan informal inilah yang digunakan oleh Kepala UPTD RPH untuk dapat mendekatkan hubungan dan mencairkan kekakuan hubungan antara atasan dan bawahan. Berikut adalah wawancara dengan salah seorang petugas Rumah Pemotongan
147
Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas: Beliau pimpinan yang baik, menjalin tali silaturakhmi dengan para bawahan, menjenguk apabila ada bawahan yang kesusahan (18 Nopember 2002). Dari penjelasan salah seorang petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut di atas tergambar bahwa pendekatan informal yang dilakukan oleh Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas diterima dengan baik oleh para karyawannya, oleh karenanya ini merupakan kesempatan yang sangat efektif digunakan oleh Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) untuk mempengaruhi dan mengarahkan bawahan dalam mencapai tujuan.
3.2.Gaya kepemimpinan yang digunakan dalam memimpin Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Sesuai 2000:259),
dengan
teori
Path-Goal
versi
House
(Thoha,
gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Kepala
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kabupaten Banyumas dalam memimpin bawahannya adalah gaya kepemimpinan partisipatif, yaitu
gaya
kepemimpinan
yang
berusaha
meminta
dan
mempergunakan saran-saran dari para bawahannya. Berkenaan dengan hal tersebut berikut adalah hasil wawancara dengan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Wangen :
148
Kepala Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas paling sedikit sekali dalam kami staf-stafnya untuk sebulan mengumpulkan mengevaluasi kinerja kami dan mencari pemecahan apabila terjadi masalah-masalah dalam tugas-tugas kami. Pada kesempatan ini kami diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, sehingga akhirnya dipilih jalan keluar yang dianggap terbaik dari hasil musyawarah ini (11 Nopember 2002). Dari penjelasan Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Wangon tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bawahan merasa nyaman dengan cara kepemimpinan Kepala Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, karena mereka dapat dengan leluasa mengemukakan pendapatnya maupun keluhannya dalam rangka pelaksanaan tugas. Gaya kepemimpinan partisipatif memang baik , karena masalah yang terjadi di lapangan dipecahkan dengan cara musyawarah yang berarti melibatkan buah pikiran lebih dari satu orang, dengan demikian tentu saja hasilnya akan lebih baik bila dibandingkan dengan buah pikiran satu orang. Tetapi apabila setiap
permasalahan
harus
dimusyawarahkan
akan
membutuhkan waktu yang terlalu lama juga membuat Kepala Sub Rumah Pemotongan Hewan (RPH) menjadi tergantung dan tidak memiliki keberanian untuk mengambil keputusan. Demikian juga dengan
Kepala
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH),
tidak
seharusnya semua permasalahan diselesaikan dengan gaya
149
kapamimpinan partisipatif karana harus manunggu masukan dan saran
dari
para
bawahan
sahingga
gaya
kapamimpinan
partisipatif kurang sasuai bila digunakan untuk parmasalahan yang sifatnya panting dan sagara apalagi parmasalahan yang tidak dikuasai olah bawahan. Gaya kapamimpinan otokratis juga parlu ditarapkan sabagai kombinasi dari gaya partisipatif, dangan damikian untuk parmasalahan yang sifatnya panting dan sagara dapat dangan capat diputuskan jalan kaluarnya.
3.3. Tanggapan bawahan tarhadap kapamimpinan atasan Kapamimpinan Kapala Rumah Pamotongan Hawan (RPH) Dinas Patamakan dan Parikanan Kabupatan Banyumas yang barsifat
partisipatif
dangan
malibatkan
bawahan
untuk
pangambilan kaputusan, sangat mamudahkan bawahan untuk manyampaikan saran dan masukan yang barhubungan dangan kasulitan-kasulitan ataupun kandala-kandala yang dihadapinya dalam palaksanaan tugas. Barikut hasil wawancara dangan Kapala Sub Rumah Pamotongan Hawan Wangen : Kapala Rumah Pamotongan Hawan Dinas Patarnakan dan Parikanan Kabupatan Banyumas paling sadikit sakali dalam sabulan mangumpulkan kami staf-stafnya untuk mangavaluasi kinarja kami dan mancari pamacahan apabila tarjadi masalah-masalah dalam tugas-tugas kami. Pada kasampatan ini kami dibari kababasan untuk mangamukakan pandapat, sahingga akhirnya dipilih jalan kaluar yang dianggap tarbaik dari hasil musyawarah ini ( 11 Nopambar 2002).
150
Dari
hasil
wawancara
dengan
Kepala
Sub
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Wangon tersebut dapat digambarkan bahwa bawahan merasa nyaman dengan cara kepemimpinan Kepala Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, karena mereka dapat dengan leluasa mengemukakan pendapatnya maupun keluhannya dalam rangka pelaksanaan tugas. Kemudian
dalam
pendekatan
yang
bersifat
informal,
bawahan merasa senang dengan hubungan persaudaraan yang dijalin oleh pimpinan, sehingga hubungan antara pimpinan dan bawahan, maupun antar bawahan terasa akrab. Berikut adalah hasil wawancara dengan salah seorang petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) : Beliau adalah pimpinan yang baik, memperhatikan kami para bawahannya dan sering menanyakan keadaan kami. Kadangkadang memberikan jalan keluar apabila kami mendapatkan kesulitan (18 Nopember 2002). Dari
hasil
wawancara
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
hubungan antara atasan dengan bawahan sangatlah erat, bagaikan hubungan orang tua dengan anaknya. Dimana orang tua akan memberikan jalan keluar apabila anaknya mendapatkan kesulitan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan Kepala UPTD RPH cenderung bersifat partisipatif
151
dengan menerima saran dan masukan dari bawahan, kemudian dalam pengambilan keputusan senantiasa meminta pendapat dan pertimbangan dari bawahan. Keadaan yang demikian dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja pelayanan karena para bawahan dapat mempengaruhi keputusan pimpinan, sehingga menjadikan pimpinan tidak tegas dalam bertindak. Oleh karena itu Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) juga harus menggunakan gaya kepemimpinan otokratis yang menggunakan kekuatan posisi dan otoritasnya sebagai kombinasi dari gaya kepemimpinan
partisipatif
untuk
mengeliminasi
pengaruh-
pengaruh yang kurang baik dari bawahannya, sehingga Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tetap mempunyai ketegasan dalam bertindak. Dengan demikian kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas dapat mencapai sesuai dengan yang diharapkan.
4. Kerjasama Kerjasama adalah hubungan yang harmonis dan saling bantu membantu dalam melaksanakan tugas antar karyawan dan bidang yang berbeda yang secara sadar mereka adalah suatu team work. Kerjasama dalam penelitian ini adalah kerjasama antar karyawan dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan antar karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan Sub Dinas-Sub Dinas dalam
152
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Sedangkan untuk kerjasama dengan instansi lain di luar Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas menjadi tanggung jawab Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, hal ini disesuaikan dengan posisi UPTD Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang merupakan bagian dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas. Kerjasama merupakan salah satu faktor yang menentukan kinerja suatu organisasi, karena dengan kerjasama individu-individu dalam suatu organisasi akan saling bantu-membantu dalam mencapai tujuan organisasi. Demikian juga dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
Ke~asama
mutlak diperlukan, sebab dengan terjalinnya kerjasama yang baik akan berpengaruh positif terhadap pelayanan jasa pemotongan ternak yang diberikan kepada masyarakat dalam hal ini para pengguna jasa/pelanggan. 4. 1. Kerjasama dalam Rumah Pemotongan Hewan Hubungan yang harmonis dan saling bantu membantu antar karyawan dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
mutlak
diperlukan. Hal ini mengingat fungsi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai organisasi pelayanan publik yang melayani masyarakat berupa jasa pemotongan ternak.
153
Berikut adalah hasil wawancara dengan salah seorang petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas sehubungan
dengan
kerjasama antar karyawan dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH): Kami bekerja saling bantu-membantu, apabila ada rekan kerja kami yang berhalangan masuk kerja, salah seorang dari kami selalu menggantikannya dan itu juga berlaku sebaliknya, pokoknya kami selalu bekerjasama agar pekerjaan kami tidak ada yang terbengkalai ( 11 Nopember 2002).
Dari penjelasan karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kerjasama yang terjalin diantara karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas terjalin sangat baik dan erat, hal ini terlihat dari bagaimana mereka saling menggantikan pekerjaan temannya yang berhalangan masuk kerja demikian juga sebaliknya dengan demikian tidak ada pekerjaan yang tertunda apalagi terbengkalai. Apabila organisasi dapat menjalin hubungan kerjasama yang baik antar karyawan, maka kinerja organisasi dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga halnya dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, dengan adanya
ke~asama
yang baik antar karyawan dalam Rumah Pemotongan Hewan
154
(RPH) akan meningkatkan kinerja organisasi sesuai dengan yang diharapkan. 4.2. Kerjasama Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan Sub Dinas-Sub
Dinas
pada
Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten Banyumas Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kinerja organisasi adalah kerjasama, kerjasama ini meliputi kerjasama antar bidang yang sama maupun antar bidang yang berbeda dalam organisasi. Hubungan kerjasama antar bidang yang sama dalam penelitian ini adalah
ke~asama
yang
te~alin
antar karyawan dalam Rumah
Pemotongan Hewan (RPH), sedangkan kerjasama antar bidang yang berbeda adalah
ke~asama
yang terjalin antara Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) dengan Sub Dinas-Sub Dinas pada Dinas
Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas.
Hubungan kerjasama antar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan Sub Dinas-Sub Dinas pada Dinas Peternakan dan Perikanan juga sangat diperlukan. Sebab dalam operasionalnya antara Rumah Pemotongan Hewan dengan Sub Dinas-Sub Dinas tersebut saling berhubungan, misalnya dengan Bagian Tata Usaha dalam pemakaian kendaraan dinas untuk keperluan tinjauan teknis ke Sub RPH-Sub RPH atau ke Sub Sub RPH sedangkan dengan Sub Dinas Perlindungan dan Kesehatan Hewan dalam hal pengendalian penyakit hewan menular. Rumah
155
Pemotongan Hewan (RPH) akan segera menginformasikan kepada Sub Dinas Perlindungan dan Kesehatan Hewan apabila ada gejala-gejala penyakit hewan akan
dipotong,
dengan
menular pada ternak yang
demikian
staf
dari
Sub
Dinas
Perlindungan dan Kesehatan Hewan segera memeriksa penyakit tersebut dan melacak darimana ternak tersebut berasal apabila penyakit hewan menular tersebut membahayakan bagi manusia dan hewan-hewan yang lain. Hasil wawancara dengan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas sehubungan dengan masalah kerjasama adalah sebagai berikut : Kami selalu mengadakan koordinasi dengan Subdin-subdin dan Bagian Tata Usaha, dengan Bagian Tata Usaha dalam hal ketatausahaan sedangkan dengan subdin-subdin dalam bidang teknis, terutama dengan Subdin Perlindungan dan Kesehatan Hewan dalam penanganan penyakit hewan menufar (9 Nopember 2002). Dari pernyataan Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tersebut
menunjukkan
bahwa
kerjasama
dalam
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) maupun antar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan Subdin-subdin dan Bagian Tata Usaha pada Dinas Peternakan dan Perikanan berjalan dengan baik, keadaan demikian tentu saja akan berdampak positif terhadap kinerja pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan jasa pemotongan ternak. Dengan demikian kinerja organisasi dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
156
C. lnterpretasi
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Banyumas adalah merupakan suatu satuan organisasi
pemerintah yang dalam pelaksanaan tugasnya langsung berhadapan dengan masyarakat yaitu memberikan pelayanan jasa pemotongan ternak. Sebagai satuan organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, darinya dituntut suatu kinerja yang baik. Sebab kinerja yang baik sebagai salah satu ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi. Dalam penelitian ini data diperoleh dan
dokumentasi-dokumentasi
yang
melalui wawancara, observasi telah
disajikan
sebelumnya,
berdasarkan data yang telah diperoleh tersebut ternyata kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas belum optimal dilihat dari aspek akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dan orientasi terhadap pelayanan. Kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang belum optimal ini dipengaruhi oleh faktor sistem insentif dan kepemimpinan. Dari aspek sistem insentif, belum adanya insentif yang merupakan penghargaan kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai imbalan pada
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
karena petugas
Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Banyumas bekerja di luar jam kerja sebagaima mestinya jam kerja Pegawai Negeri Sipil. Apalagi kalau mengingat fungsi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai penghasil daging yang ASUH
157
dan akan dikonsumsi oleh masyarakat, sudah seharusnya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) bekerja penuh selama 24 (dua puluh empat jam) perhari dan siap memberikan pelayanan jasa pemotongan ternak setiap dibutuhkan , ini berarti tidak ada libur bagi Rumah Pemotongan Hewan RPH). Dengan demikian semestinyalah
diperhitungkan insentif
yang harus diberikan kepada karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH),
agar para
karyawan
Rumah
Pemotongan
Hewan
(RPH)
termotivasi untuk mencapai kinerja yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan dari aspek kepemimpinan, karena gaya kepemimpinan yang digunakan adalah kepemimpinan partisipatif, dimana atasan selalu menggunakan pada
saran dan masukan dari para bawahan dalam
pengambilan keputusan. Ketergantungan yang tinggi terhadap bawahan akan berakibat kurang baik terhadap kepemimpinan, karena hal ini bisa disalahgunakan oleh bawahan untuk mempengaruhi atasan dalam pengambilan
keputusan.
Disamping
itu
ketergantungan juga akan
mempengaruhi pimpinan dalam bertindak dan mengambil keputusan, yaitu kurang adanya ketegasan.
158
BABVI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan di lapangan, kinerja pelayanan jasa pemotongan ternak pada Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas belum optimal dilihat dari aspek akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dan orientasi terhadap pelayanan. 1. Aspek Akuntabilitas a.
Dalam pemberian tanda bukti pemungutan retribusi pemotongan ternak pihak Rumah Pemotongan Hewan tidak mencantumkan perincian
retribusi
apa
saja,
sehingga
pelanggan
hanya
mengetahui jasa pelayanan pemotongan ternak saja, tetapi tidak mengetahui
secara
rinci
manfaat
apa
saja
yang
dapat
diperolehnya. b.
Adanya tambahan pungutan retribusi pemotongan ternak sebesar Rp 2.000,00 (=Dua ribu rupiah=), ini dapat dianggap sebagai pungutan liar karena tidak ada peraturan yang mendasarinya.
2. Aspek Responsivitas a.
Belum tersedianya saluran komunikasi berupa kotak saran dan kritik
yang
disediakan
bagi
masyarakat
yaitu
pengguna
jasa/pelanggan Rumah Pemotongan Hewan (RPH}, sehingga
159
pengguna
jasa/pelanggan
agak
kesulitan
apabila
hendak
menyampaikan saran dan kritiknya. b.
Pengenalan
dan
pemenuhan
kebutuhan
pengguna
jasa/pelanggan yang lamban terutama yang berhubungan dengan kelengkapan fasilitas-fasilitas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) seperti kran air dan tangga penggantung ternak. 3. Aspek Efisiensi a.
Belum
adanya
ketentuan
waktu
untuk
pemakaian
tempat
pemotongan ternak, sehingga para pelanggan tidak dibatasi oleh waktu dalam pemakaian tempat pemotongan ternak. b.
Adanya beberapa fasilitas pelayanan yang tidak dimanfaatkan oleh para pelanggan, yaitu kandang (karantina) dan tempat pelayuan daging.
c.
Pemungutan retribusi yang tidak disesuaikan dengan manfaat yang
diterima
oleh
pengguna
jasa/pelanggan
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH). 4. Aspek Orientasi terhadap Pelayanan Aspek orientasi terhadap pelayanan masih rendah.
Hal ini
disebabkan karena Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
belum
mampu
melayani
masyarakat selama 24 (dua puluh empat jam) dalam hal pelayanan jasa pemotongan ternak.
160
Sedangkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kinerja
satuan
organisasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas adalah : 1. Sistem lnsentif Belum adanya pemberian insentif sebagai penghargaan kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang bekerja di luar jam kerja Pegawai Negeri Sipil, hal ini dapat menghambat kinerja yang ingin dicapai. 2. Pendelegasian Wewenang Pendelegasian wewenang mengenai seleksi terhadap ternak-ternak yang akan dipotong telah didelegasikan penuh kepada petugas Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang telah ditunjuk, sehingga hal ini akan mempercepat dan memperlancar proses kegiatan pelayanan kepada pengguna jasa/pelanggan. 3. Kepemimpinan Gaya
kepemimpinan
yang
digunakan
oleh
Kepala
Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) dalam mempengaruhi bawahan bersifat partisipatif, pimpinan menerima saran dan kritik dari bawahan dan keputusan diambil berdasarkan hasil musyawarah dengan para bawahan. Kepemimpinan partisipatif menyebabkan ketergantungan yang tinggi pimpinan kepada bawahan, sebaliknya bawahan dapat memperalat pimpinan dengan saran-saran yang diberikan. Dengan demikian berakibat pimpinan kurang tegas dalam bertindak dan
161
mengambil keputusan. Akibatnya kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dapat terhambat karena lambannya keputusan dan tindakan. 4. Kerjasama Kerjasama yang terjalin antar karyawan dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan antara Rumah Pemotongan Hewan dengan Sub Dinas-Sub Dinas pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas cukup baik, mereka bekerjasama dan saling bantu membantu dalam pencapaian tujuan. Kerjasama yang demikianlah dapat meningkatkan kinerja Rumah Pemotongan Hewan sesuai dengan yang diharapkan.
B. Saran Upaya untuk meningkatkan kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas agar optimal dilihat dari aspek akuntabilitas, responsivitas, efisiensi dan orientasi kepada pelayanan, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas, yaitu: 1. Akuntabilitas a.
Dalam pemberian tanda bukti pemungutan retribusi pemotongan ternak
pihak
Rumah
Pemotongan
Hewan
seharusnya
mencantumkan perincian retribusi apa saja yang dipungut, sehingga pelanggan dapat mengetahui apa saja jasa pelayanan yang diperolehnya saat memotongkan ternaknya.
162
b.
Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas seharusnya memasang besarnya tarif retribusi pemotongan ternak beserta perinciannya di tempattempat yang mudah dilihat oleh para pelanggan yang datang, hal ini untuk menghindari adanya pungutan-pungutan lain di luar yang telah ditetapkan.
c.
Rumah Pemotongan Hewan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas seharusnya menginformasikan prosedur pemotongan ternak kepada pelanggan dengan melalui gambar yang dipasang pada tempat-tempat yang mudah dilihat mulai dari ternak masuk kandang karantina, pemeriksaan kesehatan ternak sebelum dipotong, pemotongan ternak, pemeriksaan daging dan pelayuan daging. Dengan demikian pelanggan akan memahami prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh pelayanan jasa pemotongan ternak.
2. Responsivitas a.
Penyediaan saluran komunikasi yang dapat menampung aspirasi masyarakat dalam hal ini pengguna jasa/pelanggan, sehingga dapat segera ditindak lanjuti dalam program-program kegiatan pelayanan.
b.
Pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) hendaknya lebih tanggap dalam mengenali dan memahami kebutuhan-kebutuhan
163
pengguna jasa/pelanggan terutama yang berhubungan dengan kelengkapan fasilitas Rumah Pemotongan Hewan (RPH). 3. Efisiensi a.
Perlu adanya standar waktu yang digunakan oleh pengguna jasa/pelanggan dalam menggunakan tempat pemotongan ternak.
b.
Apabila memang kandang karantina dan tempat pelayuan daging tidak
dimanfaatkan
oleh
para
pengguna
jasa/pelanggan,
sebaiknya pihak Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan
dan
Perikanan
Kabupaten
Banyumas
tidak
mengadakan tempat tersebut, hal ini untuk efisiensi Rumah Pemotongan
Hewan
(RPH)
dalam
biaya
pengadaan
dan
perawatan. c.
Dalam
memungut
retribusi
hendaknya disesuaikan dengan
manfaat yang diterima oleh pengguna jasa/pelanggan, apabila pengguna jasa/pelanggan hanya menerima 3 (tiga) manfaat maka yang
wajib
dibayarkan
retribusinya
oleh
pengguna
jasa/pelanggan adalah 3 (tiga) retribusi tersebut. 4. Orientasi terhadap pelayanan Mengingat fungsi Rumah Pemotongan Hewan sebagai satuan organisasi pelayanan publik yang bertugas memberikan pelayanan jasa pemotongan ternak, sebaiknya mempunyai jam kerja 24 (dua puluh empat) jam setiap harinya. Dengan demikian siap melayani
164
masyarakat yang membutuhkan pelayanan jasa pemotongan ternak setiap waktu. Sedangkan
faktor-faktor
yang
perlu
diperhatikan
oleh
Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas agar kinerja Rumah Pemotongan Hewqan (RPH) mencapai hasil yang optimal adalah : 1. Sistem lnsentif Perlu adanya insentif sebagai penghargaan bagi para karyawan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas yang mempunyai jam kerja di luar jam kerja Pegawai Negeri Sipil dan pemberian insentif ini disesuaikan dengan jam kerja, bobot pekerjaan dan tingkat kesulitan pekerjaan sehingga dapat memotivasi mereka untuk
mencapai kinerja sesuai dengan
yang diharapkan. Sebagai dasar pemberian insentif kepada petugas RPH digunakan perhitungan lembur untuk setiap jam kelebihan jam kerja. 2. Pendelegasian Wewenang Pendelegasian wewenang berupa seleksi terhadap ternak-ternak yang akan dipotong telah dilaksanakan dengan baik, karena petugas yang ditunjuk benar-benar mampu dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Pendelegasian wewenang dalam bentuk lain yang dapat memperlancar dan mempercepat proses kegiatan pelayanan perlu diberikan agar kinerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dapat ditingkatkan lagi kinerjanya.
165
3. Kepemimpinan Kepemimpinan yang digunakan oleh Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas hendaknya kombinasi antara partisipatif dengan otokratis, gaya kepemimpinan partisipatif digunakan untuk mengetahui keinginan bawahan dan melatih bawahan dalam pengambilan keputusan dengan
cara
melibatkan
bawahan.
Sedangkan
kepemimpinan
otokratis digunakan saat pimpinan dihadapkan pada permasalahan yang
panting
dan
segera
serta
bawahan
tidak
memahami
permasalahan tersebut. 4. Kerjasama Kerjasama yang terjalin antar karyawan dalam Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan antara Rumah Pemotongan Hewan dengan Sub Dinas-Sub Dinas pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas cukup baik. Agar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dapat mencapai kinerja sesuai dengan yang diharapkan, maka kerjasama yang telah terjalin baik tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Demikian semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
166
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus dan Kusumasari, Baveola., 2001, Policy Brief : Kinerja Pelayanan Publik, No. 01/PB/2001. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus dan Kusumasari, Baveola., 2001, Policy Brief : Budaya Paternalisme Dalam Birokrasi Pelayanan Publik, No. 02/PB/2001. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus dan Kusumasari, Baveola., 2001, Policy Brief : Diskresi Dalam Pemberian Pelayanan Publik, No. 03/PB/2001. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus dan Kusumasari, Baveola., 2001, Policy Brief: Rente Dalam Birokrasi Pelayanan Publik, No. 04/PB/2001. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Echols, Jhon M., dan Shadily, Hasan, 1997, Kamus lnggris Indonesia : An English - Indonesian Dictionary, PT Gramedia, Jakarta. Gaffar, Afan, 1999, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Moenir, H.A.S. 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru 1/mu Komunikasi dan 1/mu Sosial Lainnya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Nawawi, Hadari., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Press, Yogyakarta. Osborne, David dan Gaebler, Ted, 2000, Mewirausahakan Birokrasi, PPM, Jakarta (terjemahan). Osborne, David dan Plastrik, Peter, 2001, Memangkas Birokrasi-Lima
167
Strategi Menuju (terjemahan).
Pemerintahan
Mewirausaha,
PPM,
Jakarta
Pareek, Udai, 1996, Perilaku Organisasi : Pedoman Kearah Pemahaman Proses Komunikasi antar Pribadi dan Motivasi Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Prawirosentono, Suyadi., 1999, Manajemen Sumber Daya ManusiaKebijakan Kinerja Karyawan-Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia, BPFE, Yogyakarta. Robbins, P. Stephen, 1994, Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi, Arcan, Jakarta (terjemahan). Robbins, P. Stephen, 2001, Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Prenhallindo, Jakarta (terjemahan). Siagian,
Sondang P, 2000, Organisasi, Kepemimpinan Administrasi, PT. Gunung Agung, Jakarta.
dan
Perilaku
Siagian, Sondang P, 1994, Patologi Birokrasi, Ana/isis, ldentifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonesia. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian, 1995, Metode Penelitian Survai, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. Steers, Richard. M, 1985, Efektivitas Organisasi, LPPM dan Erlangga, Jakarta (terjemahan). Sudjatmo, 2000, Seminar Nasional : Profesionalisasi Birokrasi dan Peningkatan Kinerja Pelayan Publik - Profesionalisasi Pelayanan Publik Daerah, dilaksanakan oleh Jurusan AN. FISIP UGM, Yogyakarta. Suwarto,
FX, 1999, Yogyakarta.
Perilaku
Keorganisasian,
Universitas
Atmajaya,
Thoha, Miftah, 2002, Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa & lntervensi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Thoha, Miftah, 2001, Kepemimpinan dalam Manajemen : Suatu Pendekatan Perilaku, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Thoha, Miftah, 2002, Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
168
Tjiptono, Fandy, 2001, Total Quality Service (TQS), Andi Yogyakarta. Tjiptono, Fandy dan Diana, Anastasia, 2001. Total Quality Management (TQM), Andi, Yogyakarta. Utomo, Warsito dan Abidin, Zaenal, 2001. Ana/isis Organisasi Publik, Hand Out pada Program Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Yam it, Zulian, 2001, Manajemen Kualitas Produk dan Jasa, Ekonisia, Yogyakarta. Zauhar, Soesilo, 1996, Reformasi Administrasi Strategi, Bumi Aksara, Jakarta .
Konsep, Dimensi dan
............, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah . ............ , Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong Dan Penanganan Daging Serta Hasil lkutannya . ............ , Pengukuran Kinerja lnstansi Pemerintah (Modul 3 dari 5), 2000 Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas lnstansi Pemerintah (AKIP), LAN-BPKP.
............, Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor : 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tatakerja Dinas Daerah Kabupaten Banyumas . ............, Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas tentang Retribusi Rumah Potong Hewan .
Nomor : 4 Tahun 1998
............, Keputusan Bupati Banyumas Nomor : 124 Tahun 2000 tentang Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tatakerja Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
............ , Keputusan Bupati Banyumas
Nomor : 44 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, Tugas Pokok, Uraian Tugas dan Tatakerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas.
............ , Banyumas Dalam Angka, 2001, Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas.
169
PEDOMAN WAWANCARA ( INTERVIEW GUIDE)
DITUJUKAN KEPADA KEPALA DINAS
A. Kepemimpinan 1. Pendekatan-pendekatan apa saja yang bapak gunakan dalam memimpin Dinas Peternakan dan Perikanan ? 2. Apakah dalam memimpin Dinas Peternakan dan Perikanan bapak memberi ruang kepada bawahan untuk berkreasi ? 3. Apakah dalam kepemimpinan,
pendekatan diskusi pernah
dilakukan dan apakah pendekatan tersebut dapat membangun terciptanya komunikasi dua arah ? 4. Sejauh mana bapak melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan? 5. Apakah dengan model kepemimpinan bapak saat ini dapat mendorong karyawan untuk peningkatan kinerja ? dan apa contoh nyatanya ?
B. Delegasi Wewenang 1. Sehubungan dengan adanya Kepala Rumah Pemotongan Hewan
(RPH),
apakah
bapak
melakukan
pendelegasian
wewenang kepada Kepala RPH tersebut ? 2. Apabila ya, delegasi wewenang apa saja yang bapak berikan ?
170
3. Apabila
tidak,
mengapa
bapak
tidak
memberikan
pendelegasian wewenang kepada kepala RPH ? 4. Dari keseluruhan RPH yang berada di bawah pimpinan bapak, apakah kemampuan kepala RPH sudah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya ? 5. Apabila tidak, mengapa mereka menduduki jabatan tersebut ? Apakah tidak ada karyawan lain yang lebih pantas untuk mendudukinya?
DITUJUKAN KEPADA KEPALA RPH, SUB RPH DAN PETUGAS RPH
A Kinerja Organisasi Pelayanan Publik A 1. Akuntabilitas 1. Dalam memberikan pelayanan, biasanya ada acuan seperti juklak. Sehubungan dengan itu, bagaimana dan apa yang bapaklibu lakukan kalau ada pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan administrasi seperti dalam acuan juklak
?
171
2. Dan bagaimana kalau sebagian acuan tersebut dianggap oleh pengguna jasa sebagai wahana yang menjadi pokok persoalan yang dikeluhkan oleh pengguna jasa ? 3. Apakah dalam
menjalankan tugas pelayanan, kepentingan
pengguna jasa merupakan prioritas utama ? A.2. Responsivitas 1. Bagaimana cara RPH menampung aspirasi baik dalam bentuk saran, kritik maupun keluhan-keluhan pengguna jasa ? 2. Selain
dari
aspirasi
pengguna jasa,
apakah
bapaklibu
memahami atau mengenali apa saja yang menjadi kebutuhan pengguna jasa dalam hubungannya dengan pelayanan ini ? 3. Sejauh mana aspirasi tersebut telah direalisasikan atau hasil dari pemahaman terhadap kebutuhan-kebutuhan pelayanan ? 4. Serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh RPH dalam
mengakomodasikan
aspirasi
tersebut
ke
dalam
RPH
dalam
program dan kegiatan pelayanan ? 5. Bagaimana
cara
yang
dilakukan
oleh
meminimalisir hambatan-hambatan tersebut ? A.3. Orientasi Terhadap Pelayanan 1. Apakah bapaklibu mempunyai pekerjaan sampingan baik yang bersifat rutin maupun yang bersifat insidentil selain sebagai karyawan ini ?
172
2. Misalnya
ada,
mengapa
bapaklibu
melakukannya
dan
bagaimana tanggapan pimpinan atau rekan bapaklibu ? 3. Jika memang memiliki pekerjaan sampingan, bagaimana sikap bapaklibu apabila dihadapkan pada keadaan dimana pekerjaan sampingan tersebut berbenturan dengan pekerjaan utama, mana yang didahulukan ? 4. Pernahkah bapaklibu menggunakan peralatan kantor untuk membantu pekerjaan tersebut ? A.4.
Efisiensi
1. Apakah ada standar waktu dan biaya dalam pelayanan jasa pemotongan ternak ? 2. Pada kenyataannya waktu yang dibutuhkan lebih singkat atau lebih lama ? 3. Bagaimana menurut pendapat bapaklibu standarisasi biaya yang dibayarkan pengguna jasa, apakah sesuai dengan hasil yang diperoleh pengguna jasa ? 4. Misalnya ada pengguna jasa yang sangat membutuhkan pelayanan jasa pemotongan ternak yang sangat mendesak dan di luar jam kerja RPH, apa yang dilakukan oleh bapaklibu? B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan publik B. 1. Kepemimpinan
173
1. Pendekatan-pendekatan
apa
saja
yang
digunakan
pimpinan bapaklibu dalam memimpin organisasi ini
oleh
(atasan
langsung, Kepala Dinas untuk Kepala RPH dan Kepala RPH untuk petugas RPH) ? 2. Apakah diberi ruang untuk berkreasi oleh atasan ? 3. Apakah
dalam
memimpin,atasan
bapaklibu
pernah
menggunakan pendekatan diskusi dan apakah pendekatan tersebut dapat membangun terciptanya komunikasi dua arah ? 4. Sejauh
mana
bapaklibu
dilibatkan
oleh
atasan
dalam
pengambilan keputusan ? 5. Apakah dengan model kepemimpinan yang diciptakan oleh atasan bapak/ibu saat ini dapat mendorong karyawan untuk meningkatkan kinerja ? dan apa contohnya ? 8.2.
Sistem lnsentif 1. Selain gaji pokok, penghargaan materiil apa saja yang pernah bapaklibu terima sebagai bentuk kompensasi dari kinerja bapaklibu?
2. Bagaimana proses sehingga diberikan penghargaan tersebut ? 3. Apa sebenarnya yang mendasari bapaklibu untuk memperoleh penghargaan
tersebut
?
dan
adakah
bentuk-bentuk
penghargaan lainnya selain penghargaan materiil ? contohnya
?
174
4. Apakah pernah diberikan sanksi atau hukuman terhadap karyawan yang dinilai melanggar peraturan kepegawaian ? 5. Apa bentuk-bentuk sanksi yang pernah diberikan kepada karyawan? 6. 8erdasarkan kenyataan yang bapaklibu lihat dan mungkin pernah dirasakan, apakah sistem insentif dapat merubah atau mendorong kinerja karyawan ? 8.3. Delegasi Wewenang 1. Sehubungan dengan adanya Rumah Pemotongan Hewan (RPH), apakah bapak melakukan pendelegasian wewenang kepada bawahan bapaklibu? 2. Apabila ya, delegasi wewenang apa saja yang diberikan oleh atasan bapaklibu ? 3. Apabila tidak, mengapa bapaklibu tidak memberikan delegasi wewenang kepada bawahan bapaklibu ? 8.4. Kerjasama 1. Tentu bapaklibu pernah tidak masuk kerja, sedangkan tugastugas
pelayanan
menjadi
tanggung
jawab
bapaklibu.
Sehubungan dengan itu apakah tugas pelayanan tersebut masih tetap akan berjalan ?
175
2. Ketika bapaklibu menghadapi kesulitan dalam melaksanakan tugas pelayanan, apakah rekan kerja yang lain bersedia untuk membantu? 3. Bagaimana bapaklibu melakukan hubungan kerja baik antar individu dalam RPH maupun antar RPH ? 4. Bagaimana tanggapan rekan kerja bapaklibu baik hubungan antar individu dalam RPH maupun antar RPH ? 5. Apa yang menjadi kendala dalam menjalin hubungan tersebut
?
DITUJUKAN KEPADA PENGGUNA JASA 1. Bagaimana proses pelayanan yang diberikan oleh RPH ? 2. Berapa beban biaya yang dikenakan kepada pengguna jasa ? 3. Apakah bapaklibu mengetahui berapa beban biaya yang seharusnya dan digunakan untuk apa saja ? 4. Apa hambatan/keluhan yang dirasakan dalam proses pelayanan ? 5. Apakah bapaklibu merasa nyaman berurusan dengan RPH ?
176