Kisah Satu (Oktra)
Mendamba Angin Malam “Hidup adalah tentang berkorban, atau bahkan mengorbankan orang lain untuk hidup kita. Hidup memberikan makna-makna tersirat yang harus kita artikan sendiri sebagai pelajaran yang penuh ilmu. Hidup bukan tentang seberapa parah penyakit yang sedang kita derita, tapi hidup adalah tentang kapan kita akan mengakhiri ceritanya dengan kebaikan”. Kata-kata
itu
terus-menerus
menggulung di dalam pikiranku.
menyeruak
dan
Kilat masih terus menyambar dan menyilaukan mata. Cahaya terangnya masuk melalui celah-celah jendela dan ventilasi udara. Suara petir terus menderu dan begitu menyesakan telinga. Tetes-tetes air terus turun tanpa henti membasahi seluruh permukaan bumi. Daun-daun lusuh berat dibuatnya, rantingranting seolah tak kuasa menahan derasnya air yang menimpa padanya. Pada sebuah kursi panjang di depan sebuah ruangan bertuliskan IGD aku duduk dengan sejuta kegelisahan menimpa hati. Badanku basah kuyup karena kehujanan, warna merah menguasai seluruh badanku kali ini. Warna merah yang paling aku benci dengan bau yang sangat khas. warna yang bisa membuat orang yang mengeluarkannya merasa sangat kesakitan. Inilah merah darah. Suasana hatiku sangat kalut, menanti seseorang keluar dari ruangan ini dan memberikanku kabar bagaimana keadaan dua orang gadis yang sedang aku tunggu kepastian kabarnya. Sesekali aku bangun berjalan kesana kemari tanpa tujuan, menengok ke
sela-sela pintu yang ditutup rapat oleh petugas. Kemudian aku duduk kembali, aku usap mukaku dengan tangan yang masih merah akan darah. Aku jambak rambutku sendiri yang merupakan efek dari kegelisahan yang sedang menguasai hatiku. Aku kemudian kembali bangkit dan mengintip pada celah kecil yang ada di pintu. Aku tidak dapat melihat satu orang pun di dalam sana. Yang aku lihat hanyalah sebuah tirai hijau yang menutupi. Di sebelah kanan, tirai itu menutupi dokter dan seluruh petugas medis yang sedang menangani sang kakak. aku ingat pertama kali bertemu dengan orang yang sedang terbaring lemah di balik tirai sebelah kanan sana. Waktu itu merupakan hari pertaku masuk di perguruan tinggi. Angin pagi yang berhembus mengiringi
perjalananku
untuk
mengikuti
hari
pertama ospek yang diadakan oleh pihak kampus. Busanaku waktu itu masih putih abu-abu. Dengan berjuta atribut yang aku kenakan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh para seniorku.
Waktu itu aku berjalan tergesa-gesa. Karena aku sedikit terlambat datang ke kampus. Dengan barang bawaan yang begitu banyak, aku terus berjalan mencari ruanganku. Koridor-koridor kampus penuh dengan para mahasiswa baru yang penampilannya sama denganku. Tepat berada di persimpangan koridor, dari arah yang berlawanan denganku ada seorang gadis yang sama sedang tergesa-gesa. Karena sama-sama sedang buru-buru kami pun bertabrakan. Semua barang bawaan kami berhamburan dan bergeletakan di lantai. Dengan hati yang kacau karena takut
kena marah oleh senior, aku langsung
mengambil dan membereskan barang bawaanku tanpa menghirukan orang yang tadi bertabrakan denganku. Setelah
mengambil
barang-barangku,
aku
langsung bangkit. Kemudian aku melihat orang yang tadi menabrakku. Dia masih sibuk mengambil barang-barangnya. Gadis itu berkerudung putih panjang. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku kembali berjalan dan sedikit berlari. Setelah agak jauh aku berjalan, perasaanku mulai tidak enak. Mengapa
aku harus egois tanpa menghiraukan orang lain yang sama-sama senasib denganku. Dia juga sedang terburu-buru dan takut kena marah oleh senior. Kemudian aku berbalik arah dan kembali menuju gadis itu. Dengan sigap aku membantu gadis itu membereskan barang bawaanya. Setelah semua selesai aku memberanikan diri bertanya padanya “Apakah masih ada yang kurang?” Mendengar perkataanku, gadis itu kemudian mengangkat kepalanya dan menatap ke arahku. Bagai mendapat angin sejuk secara tiba-tiba dengan aroma wewangin sejuta bunga, seketika hatiku bergetar hebat, tanganku terasa sangat dingin. Gadis dengan balutan kerudung putih itu wajahnya begitu indah, dia seolah rembulan yang mampu memantulkan cahaya matahari di kegelapan malam. Angin lembut dan sejuk langsung menerpa tubuhku dan mencerahkan rona wajahku. Aku sedikit bengong memandang wajahnya. Namun gadis itu langsung bangkit.
“Tidak ada. Terimakasih banyak ya” dan dia bergegas pergi. Aku yang masih terhipnotis oleh keindahan wajahnya bangun dengan perlahan. Aku masih belum bisa mengembalikan akal sehatku. Aku masih berada dalam belenggu keindahan yang dipancarkan olehnya. Aku berjalan perlahan seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Aku kembali tersadar oleh suara bel yang berdering di setiap sudut koridor. Aku kembali teringat bahwa aku sedang buru-buru mencari ruanganku. Aku langsung berlari sekuat mungkin, berlari melebihi laju angin. ***