[125] Mengambil Jalan Perjuangan
Monday, 05 May 2014 09:00
KH Tubagus “Abah Entus” Zaenul Arifin
Musytasyar PWNU Banten
Penampilannya nyentrik. Janggut putih panjangnya jadi perhatian banyak orang. Tapi jangan tanya soal sikapnya. KH Tubagus Zaenul Arifin sangat tegas. “Barang siapa yang menyangka demokrasi itu bagus, maka dialah orang yang paling jelek!” tegasnya dalam forum Mudzakarah Ulama di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (8/3),
Ulama asal Banten yang akrab disapa Abah Entus ini, bersama 378 kyai, ustadz dan habib se-Indonesia sengaja berkumpul dalam mudzakarah tersebut untuk menyeru ulama lainnya agar sadar diri sebagai pewaris nabi yang harus menyelamatkan negeri dengan meninggalkan demokrasi. Lalu, bergabung dengan jamaah yang menjadikan syariah sebagai solusi serta menjadikan perjuangan menegakkan khilafah sebagai harga mati.
Memang hampir setahun ini, aktivitasnya bersama Hizbut Tahrir Indonesia semakin intensif. Kegiatan di tingkat daerah hingga nasional kerap dihadirinya. Menurutnya, perjuangan penegakan syariah dan khilafah adalah jalan yang tidak bisa ditawar lagi. “Semua Muslim harus setuju. Khilafah adalah perintah Allah SWT, demokrasi harus ditinggalkan,” ungkapnya kepada Media Umat di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Padahal awal tahun lalu, sebelum bertemu dengan aktivis HTI, Abah Entus masih berpandangan buruk terhadap jamaah dakwah yang menyerukan tegaknya khilafah. Antara
1/6
[125] Mengambil Jalan Perjuangan
Monday, 05 May 2014 09:00
lain, dengan menuding Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang ekstrim dan pemberontak.
Ia mengaku, pandangan itu diterimanya dari lingkungan ulama. Karena terus menerus diberikan berita yang miring, maka lama-lama Abah pun antipati. “Ada kesan, bahwa Hizbut Tahrir itu NII,” lontarnya sambil tersenyum malu.
Tercerahkan
Pertama kali ia bertemu dengan aktifis HTI awal tahun 2013. Saat itu, delegasi Lajnah Khusus Ulama (LKU) HTI Pandeglang bersilaturahmi ke rumahnya untuk menyosialisasikan Muktamar Khilafah yang akan diselenggarakan pada 2 Mei di Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Silaturahmi pertama itu tidak membuahkan apa-apa. Meski mendapatkan penjelasan tentang Hizbut Tahrir secara lengkap, ia tetap bergeming. Tanpa banyak bicara, ia hanya merespon pendek, yaitu dengan kata “oh” atau “ya”. Sesekali mengelus jenggotnya.
Kali kedua, responnya pun dingin. Hanya diam. Tanpa komentar panjang dan jauh dari harapan.
Abah pun mengungkap mengapa dirinya saat itu diam. “Abah bertanya dalam hati, ini justru yang benar. Ini yang Abah inginkan. Tapi, tapi.... Abah masih terus bertanya-tanya. Ragu. Karena kok beda dengan yang Abah pikirkan selama ini,” ujarnya.
Hingga akhirnya pertemuan-pertemuan berikutnya. Abah Entus berubah. Responnya positif, lugas, jelas, dan penuh keikhlasan.
“Abah lihat, Hizbut Tahrir tidak mengiming-imingi sesuatu. Abah perhatikan, apa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang benar. Yang haq. Abah tidak ragu lagi, perjuangan Hibut Tahrir adalah perjuangan kami, ya perjuangan Abah,” ujarnya tegas, kala itu.
2/6
[125] Mengambil Jalan Perjuangan
Monday, 05 May 2014 09:00
“Pandangan Abah semakin jelas setelah aktivis Hizbut Tahrir sering silaturahmi. Sambil memberi Media Umat, Al Waie, Al Islam. Dari bacaan itu, Abah jadinya semakin yakin. Hizbut Tahrir adalah satu-satunya kelompok yang memperjuangan Islam sebenar-benarnya. Hizbut Tahrir mengajak kita ke surga. Rasanya, yang lain non sense,” jelasnya.
Maka dengan senang hati, Abah pun menyatakan siap menyukseskan Muktamar Khilafah 2013.
Turut Berjuang
Tempat tinggalnya yang jauh dari jalan raya – tempat dirinya dijemput panitia pemberangkatan--, tidak membuatnya menggugurkan tekad untuk turut gerakan bumikan khilafah (GBK). Maka, meski acara baru dimulai pada pukul 9 pagi, sekitar pukul 01.30 dini hari, ia menyusuri jalan kecil yang gelap menuju jalan raya, dengan lampu senter seadanya.
Sesampainya di tempat acara ia tidak menyangka, ternyata di GBK berkumpul pula sekitar seratus ribu kaum Muslim yang sama-sama merindukan tegaknya khilafah. “Teu asup akal. Hizbut Tahrir bisa kieu . Kumaha ieu, bisa kieu ,” ungkapnya dengan suara bergetar.
Matanya nanar, berkaca-kaca, lebih-lebih takbir serta seruan syariah dan khilafah bergema se-antero stadion. Bibirnya bergumam dengan tahlil, tahmid, dan takbir. Abah sesekali menengok ke kiri dan ke kanan menyaksikan suasana yang terus bersemangat.
Usai muktamar, semangat perjuangan begitu terlihat. Tanpa menghiraukan rasa letih,
3/6
[125] Mengambil Jalan Perjuangan
Monday, 05 May 2014 09:00
malamnya ia pun mengikuti forum silaturahmi dengan para pembicara muktamar hingga dini hari. Meski tiba di rumahnya pukul 04.00 WIB subuh, Abah Entus tetap terlihat semangat. Derai senyum yang diiringi salam perjuangan itu terasa mengalir. “Abah akan ikut berjuang,” tekadnya.
Sejak saat itu, Abah bertekad membersihkan pandangan negatif para ulama di sekitarnya terhadap Hizbut Tahrir. Bahkan, kakek dari 33 cucu ini berharap bisa merekrut teman-teman yang banyak. “Insya Allah, Abah harus berjuang. Ingin bergerak terus. Dari hati ke hati. Pelan-pelan. Hingga cita-cita ini terwujud,” tegasnya.
Khilafah dan Demokrasi
Muktamar Khilafah 2013 adalah memontum terbaik bagi Abah Entus untuk memantapkan diri sebagai pejuang syariah dan khilafah. Dengan kegiatan kolosal tersebut, keyakinan atas terwujudnya perjuangan semakin dekat. “Dari berbagai negara menyerukan (kata) yang sama, menyebut Khilafah. Muslim harus setuju. Sistem yang harus diubah. Demokrasi tidak berlaku. Harus dibuang,” ujarnya.
Sikap Abah yang tegas membuat khawatir keluarganya. Namun, setelah dijelaskan, maka semuanya tenang dan ikut bersama mendukung. “Kalau soal Pemilu, sikap Abah tegas. Kalau keluarga, yang penting sudah Abah jelaskan,” tuturnya.
Demokrasi, lanjutnya, sistem yang tidak pernah memberikan keadilan. Juga tidak akan pernah memberikan jalan terbaik untuk kehidupan. Malah, demokrasi adalah racun yang harus ditinggalkan. “Memang banyak ulama yang masih tidak paham tentang demokrasi. Sehingga dijadikan alat politik. Tapi, bagi Abah, secara logika demokrasi itu menyamaratakan suara. Ini tidak jelas. Masa suara kyai disamakan dengan suara anak-anak,” pendapatnya.
Di akhir pertemuan, Abah Entus berpesan kepada pembaca, ulama, atau masyarakat umum untuk tidak segera mengambil kesimpulan yang buruk atas Hizbut Tahrir. Ia berharap segala sesuatunya perlu mendapatkan penjelasan dari sumber yang jelas. “Jangan mudah cemburu. Hati-hati. Lebih baik didalami, dibuktikan, dimasuki dulu. Baru menilai,” pesan Abah.[] dadan/g us jun/joy
4/6
[125] Mengambil Jalan Perjuangan
Monday, 05 May 2014 09:00
BOKS
Abah Entus
KH Zaenul Arifin lahir di Menes, Pandeglang tahun 1939. Hidup di lingkungan pesantren membuat Zaenul kecil ditempa ilmu-ilmu keislaman. Orang tuanya Tb Zainuddin dan Rt Halimatussa’diyah meninggal di saat dirinya masih berusia 3 tahun. Sehingga, jalan hidup saat itu benar-benar penuh dengan perjuangan.
Menginjak dewasa, ia memutuskan untuk memasuki pesantren di Sempur, Plered, Purwakarta. Diasuh oleh Mama Bakri, Abah Entus saat itu fokus untuk memahami keislaman lebih mendalam. Selepas mondok, kembali ke kampung halaman menjadi pilihan. Dengan niat mengabdikan diri kepada masyarakat untuk menyemai Islam.
“Abah jadi guru. Terus masuk ke KUA, pegawai negeri,” tutur warga Kampung Kananga, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang tersebut.
Meski demikian, sebagai pemuda, aktif di organisasi adalah pilihan penting untuk perjuangan. Karena itu, Gerakan Pemuda Anshor, Banser NU, hingga akhirnya menjadi pengurus PCNU, dimasuki. “Hingga saat ini, selain ngaji, Abah masih aktif di NU. Yaitu Musytasyar PWNU Banten,” tutupnya.[]dadan/joy
5/6
[125] Mengambil Jalan Perjuangan
Monday, 05 May 2014 09:00
6/6