Perceptions of Head of Libraries and Librarians in Regional Agency for Libraries and Archives (BPAD) towards Librarian Professional Certification by: Ir. Rochani Nani Rahayu M.Si., Drs. Tupan, dan Wahid Nashihuddin, SIP1 In general, this study aims to determine the perceptions of the Head of Libraries and Librarians in the environment of BPAD Province towards the preparation of librarian professional certification program. Whereas, in particular the purposes are to: 1) understand the basic concepts of the definition of the librarian certification; 2) understand the objectives, functions, and benefits from the librarian certification; 3) know the name or type of professional certificate will be given to librarians, 4) understand the requirements and procedures the librarian certification; 5) know the organization of the certification of librarians; 6) know the government and librarians' efforts to prepare to face librarian certification program; and 7) know the constraints faced by governments and librarians in facing certification program. This type of research is exploratory qualitative analyzed by qualitative approach of Miles and Huberman analysis model. Data collection used the method of in-depth interviews by using the interview guide and MP3 Recorder. Informants of this research are the Head of Libraries and Librarians in the environment BPAD Province of DKI Jakarta, Banten, West Java, Central Java, DI Yogyakarta and East Java. There are 23 research informants, consisting of the Head of the Libraries or his representatives (6 people) and BPAD librarians (17 people). The result is a positive response from the informants in welcoming librarian certification program to be implemented in Indonesia. It is proven by the answers of the informants with the word "agree" and they assume that the librarian certification program "very important" for professional development and improving the welfare of librarians. Expectations of the librarians are: 1) to make the requirements and procedures for librarian certification easier, 2) the benefits of certification at least once a basic salary and paid along with the salary, and 3) to actualize the librarian certification program (maximum 3 years). Thus, librarian certification program is not just a "dream" for Indonesian librarians. Keywords: Librarian Certification, Librarian Profession
1.1 PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan profesi pustakawan di Indonesia saat ini belum sepenuhnya mendapatkan pengakuan yang sejajar dengan profesi lain seperti guru, dosen, akuntan, dan apoteker. Hal itu menyebabkan pustakawan belum sepenuhnya percaya diri pada profesinya. Keberadaan suatu profesi tentunya harus mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak secara legal, termasuk juga profesi pustakawan. Secara legal dan formal, eksistensi pustakawan 1
Pustakawan PDII LIPI
1
sebagai suatu profesi dapat dibuktikan misalnya dengan sertifikat profesi. Untuk mendapatkan sertifikat profesi, pustakawan dituntut untuk mengikuti serangkain proses dan prosedur yang disebut dengan sertifikasi. Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional (BNSP, 2004). Adapun tujuan dari sertifikasi pustakawan yaitu untuk mendapatkan pengakuan pengetahuan, ketrampilan, sikap perilaku di bidang ilmu informasi dan perpustakaan. Sertifikat profesi diperlukan pustakawan untuk menjamin eksistensi keilmuan dan kompetensi pustakawan yang lebih berkualitas. Di samping itu, bagi lembaga sertifikasi profesi dan para pustakawan, sertifikasi juga memiliki arti penting bagi peningkatan mutu pustakawan dan ilmu kepustakawanan yang lebih kompeten dan bermartabat sehingga dapat mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang literer, yaitu bangsa yang cerdas, kritis, dan etis (Damayani, 2011). Alasan yang sangat mendasar tentang perlunya sertifikasi bagi pustakawan adalah adanya kualifikasi tentang standar nasional tenaga perpustakaan yang meliputi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi (UU No.43 Tahun 2007 Pasal 11 butir 1b), dan sertifikasi menjadi salah satu harapan besar bagi peningkatan keilmuan dan kesejahteraan pustakawan. Di Indonesia, masalah sertifikasi pustakawan masih dalam tahap perumusan di kalangan para pustakawan dan pemerhati perpustakaan. Pemerintah (PNRI) saat ini masih dalam tahap persiapan penyusunan dan perumusan peraturan tentang sertifikasi dan standar kompetensi pustakawan. Kita bisa lihat model sertifikasi pustakawan yang sudah diterapkan di negara maju seperti Amerika Serikat agar dapat dijadikan bahan masukan dalam penerapan sertifikasi pustakawan di Indonesia. Di Amerika Serikat, seperti di New Mexico State Library’s Certification adalah sebuah lembaga sertifikasi pustakawan yang dibangun dengan tujuan untuk mendorong para pustakawan publik untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan keterampilan, yang dilakukan secara independen dan mandiri guna memenuhi persyaratan misalnya sebagai direktur perpustakaan. Pada penelitian ini akan mengkaji lebih mendalam tentang prosedur dan proses perolehan sertifikasi pustakawan di Indonesia, dan sumber informasinya diperoleh dari persepsi atau pandangan para Kepala Perpustakaan dan Pustakawan yang ada di Lingkungan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi, yang meliputi BPAD Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Diharapkan mereka dapat memberikan pandangan yang objektif dan positif terhadap permasalahan yang diteliti. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, secara umum permasalahan penelitian ini adalah; Bagaimanakah persepsi para Kepala Perpustakaan dan Pustakawan di Lingkungan BPAD Provinsi dalam menanggapi rencana program sertifikasi profesi pustakawan? kemudian dari rumusan masalah tersebut, dijabarkan secara spesifik yaitu: 1) apa yang dimaksud sertifikasi pustakawan?; 2) apa tujuan,
2
fungsi, dan manfaat dari sertifikasi pustakawan?; 3) seperti apakah jenis sertifikat profesi yang akan diberikan kepada pustakawan?; 4) bagaimanakah prosedur untuk mendapatkan sertifikasi profesi pustakawan?; 5) lembaga mana yang akan memberikan sertifikat profesi pustakawan?; 6) bagaimana upaya persiapan pemerintah dan pustakawan dalam menghadapi program sertifikasi pustakawan?; serta 7) kendala apa saja yang akan dihadapi pemerintah (PNRI) dan pustakawan dalam menghadapi program sertifikasi pustakawan? 1.3 LANDASAN TEORI 1.3.1 Sertifikasi Pustakawan Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui asesmen kerja nasional Indonesia dan/atau internasional (BNSP, 2006). Sedangkan, sertifikasi pustakawan adalah suatu proses pemberian pengakuan kepada seorang pustakawan yang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan profesi pustakawan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi (Wijayanti, 2010). Dalam sertifikasi, pustakawan dituntut untuk mengikuti serangkaian proses dalam mendapatkan sertifikasi, misalnya untuk mengenali pencapaian sertifikasi, pustakawan harus mengikuti program pendidikan dan pelatihan yang sudah ditentukan, sehingga pustakawan akan memiliki pengalaman dan keahlian yang cukup untuk sertifikasi. Adapun tujuan dari sertifikasi pustakawan adalah untuk: 1) menetapkan kualitas pustakawan pada standar yang telah ditetapkan dalam rangka meningkatkan kualitas layanan perpustakaan, 2) memberikan jaminan terhadap layanan perpustakaan yang terbaik, 3) melindungi dan mengelola sumber informasi yang dimiliki perpustakaan, 4) menjamin berlangsungnya pengelolaan profesi pustakawan yang baik, 5) menjamin terlaksananya program-program perpustakaan, 6) menjamin terpilihnya pustakawan yang memenuhi persyaratan profesi yang sudah ditetapkan, serta 7) mendorong peningkatan pendidikan bagi profesi pustakawan (Wijayanti, 2010). Tujuan di atas dapat tercapai apabila sertifikasi yang diberikan kepada pustakawan memiliki fungsi yang jelas dan nyata. Sebagai bentuk legalitas dari suatu profesi pustakawan, hendaknya sertifikasi dapat berfungsi sebagai: 1. Metode untuk menetapkan standar minimum dan pelatihan untuk kelompok pustakawan, sehingga dapat menjamin tingkat pelayanan yang lebih tinggi kepada masyarakat 2. Penanda batas antara personil profesional dan non-profesional yang bekerja di perpustakaan 3. Pendorong pustakawan baru untuk memenuhi standar pendidikan yang ditetapkan oleh Asosiasi Perpustakaan, sehingga pustakawan senior akan mengakui standar kompetensi profesi yang dimiliki pustakawan baru 4. Alat bantu pustakawan dalam penyusunan administrasi dan akreditasi yang telah dipersyaratkan oleh badan sertifikasi dan akreditasi perpustakaan 5. Kebanggaan (prestise) suatu profesi sehingga dapat meningkatkan kondisi kerja pustakawan (Mildred Jordan dalam Libbey, 1967).
3
Setelah tujuan dan fungsi sertifikat profesi yang diberikan kepada pustakawan berjalan sesuai harapan, maka pustakawan akan mendapatkan manfaat yang positif, diantaranya: 1. Dapat melindungi profesi pustakawan dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi 2. Dapat melindungi masyarakat dari praktik-praktik layanan perpustakaan yang tidak berkualitas dan professional 3. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi lembaga penyelenggara pendidikan, dan pengguna layanan perpustakaan. 4. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan perpustakaan dari keinginan internal dan tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. 5. Memperoleh tunjangan profesi, baik Pustakawan PNS maupun Swasta (Zulfikar Zen, 2009). 1.3.2 Prosedur Sertifikasi Pada umumnya, pelaksanaan sertifikasi profesi dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengumpulan berkas portofolio atau uji kompetensi. Program sertifikasi yang didasarkan atas portofolio itu bersifat administratif, artinya bahwa pustakawan cukup mengumpulkan berkas autentik dari semua kegiatan yang sudah dilakukan. Berkas portofolio berisi sekumpulan informasi pribadi yang merupakan catatan dan dokumentasi atas pencapaian prestasi seseorang dalam pendidikan maupun pekerjaan yang berkaitan dengan profesinya, bentuknya dapat berupa ijasah pendidikan, sertifikat kegiatan diklat/seminar, piagam penghargaan, dan hasil karya tulis yang dapat dijadikan bukti autentik pencapaian hasil kerja seseorang. Akan tetapi, proses dan pelaksanaan sertifikasi pustakawan di Indonesia akan dilaksanakan dengan uji kompetensi secara langsung, yaitu dengan menguji tiap unit kompetensi yang sudah ditetapkan dalam standar kompetensi pustakawan (Kismiyati, 2011). Sebagai gambaran, peneliti mencontohkan tentang prosedur sertifikasi pustakawan yang dilakukan di The University of the State of New York, yaitu: 1. Mengumpulkan catatan kegiatan pustakawan (Portofolio), yang dijadikan sebagai satu syarat kualifikasi kompetensi pustakawan. Penilaian portofolio dilakukan oleh Dewan Pengawas Perpustakaan di Negara bagian tersebut. 2. Menentukan standar kompetensi pustakawan, yang disesuaikan dengan kebutuhan kompetensi perpustakaan. Jadi, yang menentukan standar kompetensi pustakawan adalah lembaga perpustakaannya, bukan dari Lembaga Sertifikasi Negara. 3. Persyaratan sertifikasi disesuaikan dengan standar kompetensi lokal, dengan mengikuti kualifikasi dan standar baku sistem sertifikasi nasional. 4. Uji Kompetensi, dilaksanakan apabila ketiga syarat diatas sudah terpenuhi. 5. Peningkatan standar pelayanan. Pustakawan yang sudah tersertifikasi harus mampu menyusun standar pelayanan yang memenuhi kebutuhan perpustakaan (Winsdor, 1917). Apabila kelima prosedur di atas terpenuhi, maka pustakawan dianggap layak untuk mendapatkan sertifikat. Berdasarkan uraian contoh prosedur
4
sertifikasi pustakawan di The University of the State of New York, maka hal tersebut dapat digambarkan dengan alur di bawah ini. Gambar 1. Prosedur Sertifikasi Pustakawan Model The University of the State of New York PORTOFOLIO PERSIAPAN SERTIFIKASI
STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI LOKAL
UJI KOMPETENSI
PENINGKATAN STANDAR PELAYANAN
SERTIFIKASI
1.3.3 Jenis Sertifikat dan Lembaga Sertifikasi Mengenai jenis sertifikat profesi pustakawan, dapat dilihat dari beberapa contoh jenis sertifikat profesi pustakawan di Negara Bagian Amerika Serikat, seperi di Kentucky, Oklahoma, dan Wisconsin. 1. Di Kentucky, sertifikat profesi pustakawan diberikan oleh American Library Association (ALA) dan berlaku 5 tahun. Terdapat tujuh jenis sertifikat profesional pustakawan yang diberikan, yaitu: Sertifikat Professional I, Sertifikat Professional II, Sertifikat Professional III, Sertifikat Professional IV, Sertifikat Para Professional, dan Sertifikat Pengalaman di Perpustakaan. 2. Di Oklahoma, sertifikat profesi pustakawan diberikan oleh American Library Association (ALA) dan berlaku 3-5 tahun. Terdapat tujuh jenis sertifikat profesi pustakawan yang dibedakan berdasarkan levelnya, yaitu: Sertifikat level I, Sertifikat Level II, Sertifikat Level III, Sertifikat Level IV, Sertifikat Level V, Sertifikat Level VI, dan Sertifikat Level VII 3. Di Wisconsin, sertifikasi pustakawan diberikan oleh bagian atau divisi yang berbeda-beda dan berlaku maksimal 4 tahun. Terdapat tiga jenis sertifikat profesi pustakawan yang diberikan yaitu: a) Reguler Certification (diberikan oleh Divisi Administrasi Perpustakaan Dasar/Publik, Divisi Administrasi Perpustakaan, Divisi Organisasi dan Manajemen Koleksi, dan Divisi Layanan Masyarakat Umum); b) Temporary Certification (Divisi Sertifikasi), dan c) lapsed certification (Divisi Sertifikasi). Berdasarkan ke tiga jenis sertifikat profesi pustakawan yang diberikan oleh ketiga Negara Bagian di atas, diketahui bahwa namanya juga berbeda-beda tergantung pada lembaga pemberi sertifikasi pustakawan. Terkait dengan lembaga sertifikasi pustakawan (LSP), di Negara Bagian Kentucky, sertifikat profesi pustakawan diterbitkan oleh American Library Association (ALA), dan pemberi sertifikatnya adalah konsultan yang bekerja di The Kentucky State Board for the Certifiation (yang didirikan oleh Kentucky General Asembly tahun 1938). Lembaga tersebut didirikan dengan tujuan memenuhi Hukum Kewenangan (Statutory Authory) KRS 171.230-300 yang isinya tentang proses dan prosedur sertifikasi profesi bagi pustakawan publik.
5
Sementara itu, yang menjadi anggota lembaga sertifikasi pustakawan di Kentucky State Board for the Certifiation antara lain; 1) dua pustakawan pemerintah, 2) dua pustakawan profesional yang dapat bekerja full time, 3) dua orang dari Dewan Pengawas Perpustakaan, dan 4) satu orang pustakawan dari suatu sekolah jurusan ilmu perpustakaan atau informasi. Sedangkan, untuk menjadi anggota lembaga sertifikasi tersebut minimal masa kerja pustakawan sudah 4 tahun menjadi pustakawan di lembaga pemerintah, dan mereka dapat menjadi anggota tetap dan aktif mengikuti kegiatan pertemuan badan yang dilakukan minimal 1 kali setahun. Adapun tugas dari anggota lembaga sertifikasi pustakawan di Kentucky adalah: a) me-review pertanyaan proses sertifikasi, b) mendengarkan banding terhadap proses sertifikasi, c) memberikan persetujuan/rekomendasi terhadap materi kelas perpustakaan, dan d) menerbitkan sertifikat dan memperpanjang/memperbaharui masa berlaku sertifikat. Kesempatan naik banding diperbolehkan apabila pustakawan yang disertifikasi merasa tidak puas, kerena kualifikasinya kurang atau tidak memenuhi persyaratan. 1.3.4
Upaya dan Kendala Pemerintah Persiapan yang sudah dilakukan pemerintah (Perpustakaan Nasional RI) adalah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang sertifikasi pustakawan, kemudian sosialisasi secara bertahap dan merata ke berbagai daerah serta merumuskan standar dan uji kompetensi pustakawan. Beberapa persiapan seritifikasi pustakawan yang sudah dilakukan PNRI antara lain: 1. Menyiapkan standar dan uji kompetensi pustakawan 2. Menyiapkan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pustakawan, disertai dengan syarat: a) memiliki buku panduan atau pedoman mutu; b) menyiapkan materi uji kompetensi; c) memiliki tempat uji kompetensi; dan d) mendapatkan lisensi dari BNSP. 3. Menyiapkan Tim Penilai Sertifikasi (Asesor). Saat ini sudah tersedia tenaga asesor kompetensi dan asesor lisensi yang telah mengikuti diklat di BNSP. Asesor kompetensi bertugas menguji kompetensi pustakawan, sedangkan asesor lisensi bertugas menilai LSP dan Tempat Uji Kompetensi (TUK) apakah layak atau tidak. 4. Menyiapkan Tunjangan Profesi Sertifikasi. Mengenai besar kecilnya biaya sertifikasi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai media implementasi pelaksanaan UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, khususnya yang terkait dengan standar nasional tenaga perpustakaan (Kismiyati, 2011). Dalam upaya persiapan sertifikasi pustakawan di atas, tentunya pemerintah juga akan mengalami kendala atau hambatan. Beberapa kendala yang mungkin dihadapi pemerintah dalam merealisasikan program sertifikasi pustakawan adalah: belum terdatanya seluruh jumlah pustakawan dan sarjana ilmu perpustakaan secara detail dan kongkret, biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan sertifikasi pustakawan cukup besar, dan belum dilakukannya sosialisasi tentang program sertifikasi pustakawan secara menyeluruh ke berbagai daerah di Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah belum mendapatkan masukan yang banyak dari
6
berbagai pihak tentang penerapan program sertifikasi pustakawan secara efisien dan efektif. 1.4 METODOLOGI PENELITIAN 1.4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, terhitung dari tanggal 11 Oktober sampai 10 Nopember 2011, dan dilaksanakan di 6 lokasi di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi yang ada di Jawa, yaitu: BPAD DKI Jakarta, BPAD Provinsi Banten, BPAD Provinsi Jawa Barat, BPAD Provinsi Jawa Tengah, BPAD Provinsi DI Yogyakarta, dan BPAD Provinsi Jawa Timur. 1.4.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, artinya peneliti menggali informasi secara mendalam tentang permasalahan yang sedang diteliti. Melalui penelitian kualitatif-eksploratif peneliti dapat mengupas secara tuntas dari setiap topik yang dikaji. Dengan cara tersebut, peneliti dapat mengungkap secara keseluruhan dari objek permasalahan yang diteliti. 1.4.3 Informan Penelitian Dalam menggali informasi di lapangan, peneliti telah menentukan beberapa informan yaitu satu Kepala Perpustakaan (atau perwakilannya) serta tiga orang Pustakawan BPAD Provinsi. Kriteria pemilihan informan adalah; 1) memahami atau menguasai suatu permasalahan, 2) memiliki wawasan, pengetahuan, dan pengalaman yang cukup luas, 3) bersedia dan mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi, dan 4) memiliki peran dan kontribusi terhadap perumusan kebijakan pemerintah khususnya di bidang kepustakawanan. 1.4.4 Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, yaitu proses untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan, dengan menggunakan pedoman wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan alat bantu seperti pedoman wawancara, lembar kesediaan informan, buku catatan, dan MP3 recorder. 1.4.5 Analisis Data Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan model interaktif Miles dan Huberman, yaitu melakukan reduksi dan penyajian data dengan memperhatikan hasil data yang dikumpulkan, kemudian hasil tersebut diproses untuk ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008). Mengacu pada model analisis interaktif Miles dan Huberman (1992), tahapan analisis datanya meliputi pengumpulan data, transkip data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Ke lima tahapan tersebut dilakukan secara sistematis dan interaktif, maksudnya bahwa kegiatan ini dikerjakan secara teratur dan saling berhubungan selama proses penelitian ini berlangsung. Sehingga, data yang diperoleh tidak menjadi kaku dari tahap awal sampai tahap akhir penelitian.
7
1.5
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara, dapat dijelaskan bahwa semua informan menyatakan “setuju” dan menganggap bahwa program sertifikasi pustakawan itu “sangat penting” bagi pengembangan profesi dan peningkatan kesejahteraan pustakawan. Hal itu terlihat dari berbagai tanggapan prositif yang disampaikan para informan, baik dari segi pemahaman konsep/definisi, tujuan, fungsi, manfaat, jenis, prosedur, lembaga, persiapan, dan kendala dalam pelaksanaan sertifikasi pustakawan. 1.5.1 Definisi Sertifikasi Pustakawan Terkait dengan makna dan pengertian sertifikasi pustakawan, para informan mengatakan bahwa sertifikasi profesi pustakawan adalah sebagai suatu bentuk penilaian (assessment), pengakuan profesi, penghargaan (reward), bukti kompetensi, tuntutan/persyaratan profesi, pemberdayaan, dan penyegaran keilmuan. Beberapa definisi tersebut antara lain: 1. Sertifikasi pustakawan adalah proses menilai kompetensi pustakawan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, atau dianggap sebagai suatu proses penilaian kompetensi pustakawan untuk mencapai suatu tingkat pendidikan dan pelatihan, serta mendapatkan predikat profesi yang profesional. 2. Sertifikasi pustakawan adalah suatu bentuk pengakuan terhadap diri pustakawan dalam rangka mewujudkan jiwa profesionalisme, khususnya dalam pekerjaannya. 3. Sertifikasi pustakawan adalah suatu penghargaan atas kinerja seorang pustakawan di lembaga atau perpustakaannya. Pemberian penghargaan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pustakawan. Bentuk penghargaannya berupa tunjangan atau insentif sertifikasi. 4. Sertifikasi pustakawan adalah suatu tanda bukti kompetensi pustakawan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Sertifikasi yang sudah dimiliki pustakawan dapat menjadi bukti kompetensi profesinya. Bukti sertifikasi dapat digunakan sebagai barometer kompetensi dari jabatan fungsional pustakawan yang sudah ditetapkan dalam standar kompetensi pustakawan sesuai dengan tingkatannya, baik pustakawan tingkat terampil maupun ahli. 5. Sertifikasi pustakawan adalah sebuah tuntutan bagi seorang pustakawan untuk bekerja atau menjalankan tugasnya sesuai dengan keahlian profesinya. Dengan sertifikasi, pustakawan dituntut untuk lebih berkreasi dan maju sehingga mereka dapat bersaing dengan jabatan fungsional yang lain. Seseorang dapat disebut pustakawan professional jika dia sudah tersertifikasi. Persyaratan sertifikasi ini diperlukan karena kondisi dan latar belakang pendidikan pustakawan kita yang masih berbeda-beda, tidak semua pustakawan kita itu berasal dari jurusan ilmu perpustakaan. 6. Sertifikasi pustakawan adalah pemberdayaan pustakawan secara maksimal. Jika pustakawan tidak mampu mendayagunakan segala potensinya, maka perpustakaan sebagai tempat bekerja juga tidak akan maju. 7. Sertifikasi pustakawan adalah penyegaran keilmuan pustakawan khususnya ilmu perpustakaan dan informasi. Penyegaran keilmuan pustakawan sangat
8
diperlukan karena ilmu perpustakaan dan informasi juga selalu berkembang. Untuk itu, pustakawan harus mampu mengimbangi kemajuan ilmunya, baik melalui pendidikan atau pelatihan dalam rangka meningkatkan kompetensinya. Dari ke tujuh definisi sertifikasi pustakawan di atas, terlihat bahwa program sertifikasi pustakawan sudah dinanti oleh para pustakawan Indonesia, sehingga perlu untuk diimplementasikan secepatnya. Beberapa alasan yang mendasar tentang perlunya sertifikasi pustakawan, yaitu: a) membuat pustakawan lebih diakui oleh masyarakat, b) memotivasi diri pustakawan untuk maju, c) membuat pemerintah lebih memperhatikan profesi pustakawan, d) memberikan rasa keadilan bagi pustakawan, serta e) dapat digunakan sebagai standar minimal kemampuan pustakawan. Dengan adanya sertifikasi, kompetensi dan profesinalisme pustakawan dapat terukur dengan jelas. 1.5.2
Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Sertifikasi Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa program sertifikasi pustakawan memiliki tujuan baik dan positif, yaitu: a) meningkatkan kesejahteraan pustakawan (ekonomi), b) menciptakan pustakawan yang kompeten dan professional di bidangnya (librarianship, competitiveness, dan social communication), c) menyusun standar kompetensi pustakawan, d) mengukur prestasi pustakawan (bentuk akuntabilitas pustakawan terhadap bidang dan tupoksi di lembaga induknya, serta e) memotivasi pustakawan untuk kreatif dalam membuat karya tulis, baik di majalah, jurnal, atau buku. Melihat dari kelima tujuan tersebut, maka sertifikasi pustakawan dapat berfungsi sebagai: alat kesejahteraan (mendapatkan “poin dan koin”), bukti pengakuan (legalitas profesi), alat motivasi (pemicu kompetensi), standar kompetensi (ukuran nilai), kebanggaan (Prestise), alat jaminan profesi, dan standar pendidikan pustakawan. Program sertifikasi pustakawan yang akan dilaksanakan di Indonesia memiliki dua manfaat yaitu bagi pustakawan dan pihak lain. Beberapa manfaat sertifikasi pustakawan, bagi pustakawan yaitu: a) mendapatkan pengakuan profesi di masyarakat, b) kesejahteraan hidup yang lebih baik, c) menghilangkan dikotomi antar-pustakawan (PNS ataupun swasta), d) aktualisasi diri dalam karir, dan e) dapat menarik minat orang lain untuk menjadi pustakawan. Sedangkan manfaat bagi pihak lain antara lain: 1. Lembaga induk pustakawan; meningkatkan citra lembaga atau tempat bekerja pustakawan. 2. Masyarakat/pemustaka; mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka. 3. Lembaga penyelenggara pendidikan perpustakaan; mampu menghasilkan lulusan mahasiswa perpustakaan yang lebih berkualitas dan mampu menarik minat orang untuk belajar ilmu perpustakaan. 4. Lembaga Pemerintah dan Swasta; mampu menempatkan posisi jabatan dan pekerjaan pustakawan sesuai dengan bidang dan tupoksinya, sehingga pustakawan dapat menempati jabatan yang strategis di setiap lembaga pemerintah dan swasta.
9
5. Organisasi profesi; akan bangga apabila memiliki anggota yang tersertifikasi, karena mereka mampu membawa kemajuan organisasi pustakawan. 6. Keluarga; dapat meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan ekonomi anggota keluarga si pustakawan. 7. Teman sejawat pustakawan; sebagai motivasi bagi rekan-rekan pustakawan untuk secepatnya mengikuti sertifikasi profesi pustakawan, karena dengan sertifikasi kehidupan pustakawan akan terjamin, baik secara karir maupun finansial. 1.5.3
Jenis Sertifikat Profesi Dari hasil wawancara diperoleh bahwa perlu ada pembedaan terhadap jenis sertifikat profesi pustakawan. Pembedaan sertifikat tersebut dilihat dari jenjang kepangkatan, tingkat pendidikan, tingkat keahlian, dan jenis perpustakaan yang dimiliki dan ditempati oleh pustakawan. Beberapa nama atau jenis sertifikat profesi pustakawan yang diusulkan antara lain: 1. Sertifikat profesi pustakawan terampil dan ahli. 2. Sertifikat profesi pustakawan terampil, ahli, dan madya. 3. Sertifikat profesi pustakawan umum, sekolah, dan khusus. 4. Sertifikat profesi pustakawan muda, madya, dan utama. 5. Sertifikat profesi pustakawan level 1, level 2, dan level 3. Sementara itu, ada tiga informan yang mengusulkan bahwa jenis sertifikat profesi pustakawan itu “disamakan saja”, dengan alasan bahwa: a. Masalah sertifikasi sudah diatur dalam SK BKN dan MENPAN. Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa prosedur untuk mendapatkan sertifikasi sama halnya dengan mengumpulkan angka kredit jabatan fungsional pustakawan. Sertifikasi pustakawan hanya cukup dilakukan satu kali dengan satu uji kompetensi, dan tetap berlaku selama SK pengangkatan profesinya itu masih menjabat sebagai fungsional pustakawan. b. Sertifikasi pustakawan masih tahap awal maka dapat dijadikan sebagai percontohan. Maksudnya bahwa program sertifikasi yang akan diberikan kepada pustakawan hendaknya dapat menjadi percontohan bagi peningkatan kompetensi pustakawan, baik PNS maupun swasta. Apabila program sertifikasi pustakawan sudah berhasil, maka untuk tahap berikutnya jenis sertifikat profesi pustakawan dapat dibedakan berdasarkan tingkat keahlian dan golongan pustakawan. c. Pembedanya hanyalah jabatan pustakawan. Pada dasarnya sertifikat profesi itu sama jenisnya, dan yang membedakan hanyalah jabatan fungsional pustakawan, apakah pustakawan terampil, ahli, dan madya. Jelasnya bahwa nama atau jenis sertifikat profesi yang akan diberikan kepada pustakawan adalah tanggung jawab lembaga penerbit dan pemberi sertifikasi. Sedangkan tugas pustakawan adalah sebatas memahami tingkat penjenjangan profesi pustakawan dan mengikuti prosedur sertifikasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
10
1.5.4
Prosedur Sertifikasi Dalam pelaksanaan program sertifikasi, pustakawan dituntut untuk memenuhi persyaratan dan prosedur yang sudah ditentukan oleh lembaga sertifikasi pustakawan. Sebagai contoh, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pustakawan ketika akan mengikuti sertifikasi yaitu: 1. Melengkapi berkas portofolio, seperti ijazah pendidikan (minimal S1 Perpustakaan), catatan/bukti kegiatan harian, SK PNS dan Fungsional Pustakawan, Surat Keterangan Tugas dari Atasan, Curricullum Vitae (CV). 2. Mendapatkan pengakuan dari masyarakat perpustakaan, tujuannya agar lebih layak dan pantas disertifikasi. 3. Mengikuti uji kompetensi, dengan syarat pemerintah harus mempersiapkan tim penilai, tempat dan materi uji kompetensi, tes psikologi (psikotes), serta tes wawancara. Setelah ketiga persyaratan di atas terpenuhi, kemudian pustakawan dapat mengikuti proses sertifikasi sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh lembaga sertifikasi pustakawan. Usulan prosedur yang harus ditempuh pustakawan antara lain: 1. Mengisi formulir sertifikasi (form pendaftaran). 2. Mengumpulkan berkas portofolio (berkas autentik). 3. Mengikuti pendidikan khusus sertifikasi (diklat). 4. Uji kompetensi, yang dinilai oleh tim assessment center. 5. Pendidikan profesi lanjutan (pengembangan profesi). Berdasarkan usulan prosedur di atas, maka dapat digambarkan bahwa prosedur sertifikasi pustakawan yang akan dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut. Gambar 2 Usulan Prosedur Sertifikasi Pustakawan di Indonesia PORTOFOLIO UJI KOMPETENSI
FORMULIR PENDIDIKAN KHUSUS
SERTIFIKASI
PENDIDIKAN LANJUTAN
Selain prosedur di atas, hal lain yang perlu diingat adalah mengenai masa berlaku sertifikat profesi dan biaya untuk mendapatkan sertifikasi. 1. Masa berlaku sertifikat Batasan waktu sertifikat profesi dapat berlaku sampai masa pensiun atau dalam kurun waktu tertentu, misalnya setelah masa sertifikasinya habis, pustakawan harus melakukan uji kompetensi ulang atau hanya melengkapi kekurangan administrasi saja (portofolio). Namun jika sertifikasi akan dievaluasi ulang maka juga perlu dilakukan uji kompetensi ulang dengan persyaratan ujian ulangan harus dipermudah. Terkait dengan batasan waktu dari masa berlaku sertifikat profesi adalah: a) 2 tahun sekali dan dievaluasi; b) 3 tahun sekali dan dievaluasi; c) 4 tahun sekali dan dievaluasi; d) 5 tahun sekali dan dievaluasi.
11
2. Biaya sertifikasi Semua informan menyatakan bahwa biaya sertifikasi pustakawan sebaiknya dibebankan kepada pemerintah, karena sertifikasi merupakan program pemerintah yang berlaku secara nasional dan terkait dengan urusan kedinasan lembaga induknya. Terkait anggaran, pemerintah harus mempersiapkan dari segi, biaya, pendidikan dan pelatihan, proses pelaksanaan uji kompetensi, sampai dengan tunjangan sertifikasi yang harus tersusun dengan jelas. Namun, apabila biaya sertifikasi akan dibebankan kepada pustakawan syaratnya harus terjangkau oleh kemampuan financial pustakawan, jumlah tunjangan sertifikasi harus lebih besar dari tunjangan fungsional pustakawan, serta harus disesuaikan dengan durasi waktu pelaksanaan pendidikan untuk menempuh sertifikasi. Para informan mengusulkan jumlah biaya sertifikasi profesi pustakawan sebesar Rp 100.000,00 sampai Rp 500.000,00. 1.5.5
Lembaga Sertifikasi Profesi Badan atau lembaga pemberi sertifikasi pustakawan yang diusulkan adalah Perpustakaan Nasional RI (PNRI), Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dan Lembaga Sertifikasi Pustakawan (LSP). Hal itu didasarkan pada alasan berikut ini. 1. PNRI sebagai lembaga induk pembina pustakawan di Indonesia dan lembaga yang mengetahui tentang kebutuhan dari pelaksanaan sertifikasi pustakawan. PNRI dapat menjadi lembaga sertifikasi pustakawan dengan syarat harus mandiri dan independen. Tidak lagi tergantung dengan lembaga pemerintah yang lain, seperti Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). 2. IPI merupakan organisasi pustakawan terbesar di Indonesia dan memiliki anggota yang profesional tentang kepustakawanan. Meskipun tidak semua anggota IPI berasal dari pustakawan, tetapi masalah sertifikasi pustakawan harus ditangani oleh organisasi profesi. 3. BNSP adalah lembaga nasional yang diberi tugas untuk memberikan sertifikasi kepada profesi yang ada di Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaan sertifikasi pustakawan, BNSP harus berkoordinasi dengan IPI dan PNRI. BNSP hanya bertugas menerbitkan sertifikasi, IPI bertugas menguji kompetensi, dan PNRI bertugas sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi pustakawan 4. LSP lebih bersifat mandiri dan independen, sehingga lebih fair dan adil bagi pustakawan. Hal yang perlu diingat adalah sertifikasi pustakawan itu berlaku bagi seluruh daerah di Indonesia, baik yang di pusat maupun di daerah . Oleh karena itu, dalam proses pelaksanaan program sertifikasi, Pemerintah Pusat (PNRI) dapat memberikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk memberikan sertifikasi kepada pustakawan yang ada di daerah. Di daerah, sertifikasi pustakawan dapat diwakilkan kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) atau BPAD tingkat provinsi untuk melaksanakan sertifikasi pustakawan yang ada di daerah. Jadi sistemnya sama dengan pengurusan kenaikan pangkat jabatan fungsional pustakawan, misalnya di saat pengangkatan fungsional
12
pustakawan golongan IVa ke atas dilakukan oleh PNRI, sedangkan golongan IIId ke bawah dapat di lakukan oleh BKD. Ketika lembaga pemberi sertifikasi pustakawan sudah terbentuk, maka langkah berikutnya adalah menentukan anggota yang ditunjuk menjadi tim penilai (asesor) sertifikasi. Lembaga sertifikasi pustakawan dapat menunjuk orang-orang yang berasal dari Pustakawan PNRI, Dewan Pertimbangan Perpustakaan, Organisasi IPI (pusat dan daerah), Akademisi (Dosen Jurusan Ilmu Perpustakaan), Praktisi Perpustakaan, Pustakawan Senior (Pustakawan Madya ke atas), Pustakawan PDII LIPI, Pegawai BKN, BNSP, dan BSN, serta pustakawan daerah yang berasal dari BPAD Provinsi. Adapun tugas dari tim penilai sertifikasi tersebut antara lain: a) memberikan penilaian secara objektif terhadap pustakawan yang akan disertifikasi, b) memberikan rekomendasi kepada LSP mengenai layaktidaknya pustakawan tersebut disertifikasi, c) memantau dan mengevaluasi proses pelaksanaan sertifikasi pustakawan, serta d) memberikan motivasi kepada pustakawan yang akan disertifkasi agar selalu meningkatkan kompetensinya. Sedangkan kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi seorang anggota atau tim penilai sertifikasi pustakawan yaitu: 1) minimal S1-Perpustakaan, 2) berkompeten dan ahli di bidang kepustakawanan, 3) pengalaman kerja (minimal 5 tahun), 4) memiliki karya tulis ilmiah bidang kepustakawanan, 5) menjadi pustakawan senior (minimal Pustakawan Madya), 6) aktif di organisasi profesi kepustakawanan (minimal 3 tahun), 7) pernah bekerja di sekretariat perpustakaan, 8) sudah tersertifikasi, serta 9) memiliki waktu untuk menilai. Dengan demikian, proses penilaian dapat dilaksanakan secara objektif dan professional, artinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki pustakawan. 1.5.6
Upaya Pemerintah dan Pustakawan Menurut para informan, apabila sertifikasi pustakawan ingin tercapai maka pemerintah (PNRI) harus berupaya keras untuk mengimplementasikannya. Di samping itu, pustakawan harus mempersiapkan diri secara maksimal. Terkait dengan upaya sertifikasi, PNRI harus mempersiapkan beberapa hal diantaranya: 1) sosialisasi program sertifikasi pustakawan secara menyeluruh; 2) menyiapkan PP tentang Sertifikasi Pustakawan; 3) mengadakan diklat-diklat persiapan sertifikasi pustakawan; 4) membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi Pustakawan; 5) membuat instrumen dan perangkat sertifikasi pustakawan; 6) menyediakan anggaran sertifikasi pustakawan,; serta 7) mendata jumlah pustakawan dan sarjana perpustakaan di Indonesia secara menyeluruh. Ke tujuh upaya tersebut dipersiapkan dalam kurun waktu secepatnya (maksimal 3 tahun), karena program sertifikasi sudah sangat dinantikan oleh para pustakawan Indonesia. Sementara itu, agar pustakawan tetap optimis dan sukses dalam mencapai sertifikasi, maka harus mempersiapkan beberapa hal yaitu: 1) mengikuti pendidikan formal dan non-formal perpustakaan; 2) aktif membuat karya tulis dan mengikuti lomba kepustakawanan; 3) berusaha menjadi narasumber dalam kegiatan seminar atau sosialisasi; 4) menjalin kerjasama dengan rekan kerja dan instansi lain; 5) melakukan promosi perpustakaan dan diri sendiri ke masyarakat; serta 6) memberikan jasa layanan prima kepada masyarakat. Singkat kata, ketika
13
pustakawan sudah siap untuk disertifikasi, mereka harus mempersiapkannya secara matang, baik pikiran, waktu, maupun biaya untuk sertifikasi. 1.5.7
Kendala dan Harapan Menurut para informan, program sertifikasi pustakawan di Indonesia belum segera dapat terwujud karena masih banyak kendala yang dialami oleh pemerintah (PNRI) atau pustakawan. Kendala yang dihadapi PNRI adalah masalah anggaran, sosialisasi program, instrumen dan perangkat, sistem birokrasi, pendataan jumlah seluruh pustakawan dan sarjana perpustakaan, koordinasi dengan Pemerintah Daerah, serta konsistensi pemerintah yang belum siap untuk merealisasikan program sertifikasi pustakawan. Adapun kendala dari pustakawan adalah kurangnya persiapan diri, biaya sertifikasi (apabila dibebankan kepada pustakawan), kurangnya formasi pustakawan di instansi pemerintahan, ketidaksesuaian tugas pustakawan yang diberikan pimpinan lembaganya, kurangnya diklat persiapan sertifikasi, belum terpenuhinya standar minimal pendidikan pustakawan, serta persyaratan sertifikasi yang mungkin memberatkan pustakawan untuk mendapatkan sertifikasi. Pada prinsipnya bahwa kendala yang dihadapi oleh pemerintah dan pustakawan harus diatasi dan dicari solusinya agar program sertifikasi pustakawan dapat terwujud. Beberapa solusi yang diusulkan ke pemerintah adalah: 1) segera menerbitkan PP tentang sertifikasi pustakawan, 2) sosialisasi program secara menyeluruh, 3) diklat persiapan sertifikasi pustakawan, 4) pendataan jumlah pustakawan dan sarjana perpustakaan secara akurat, serta 5) menyiapkan seluruh anggaran untuk sertifikasi pustakawan. Harapannya adalah program sertifikasi pustakawan dapat berjalan lancar dan cepat terwujud (minimal 1-3 tahun). Terkait dengan kesejahteraan, para pustakawan menginginkan besarnya tunjangan sertifikasi adalah 1 kali gaji dan pembayarannya melekat digaji. Diupayakan program sertifikasi dilaksanakan secara menyeluruh dan merata, baik di kalangan pustakawan PNS maupun swasta, Pada hakekatnya, semua pustakawan adalah sama-sama memiliki kontribusi yang besar dalam memajukan dunia kepustakawanan di Indonesia. 1.6 KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar informan menyatakan “setuju” terhadap pelaksanaan program sertifikasi pustakawan. Hal itu terlihat dari berbagai masukan, jawaban, dan tanggapan positif terhadap konsep, prosedur, persiapan, dan solusi yang diusulkan demi terwujudnya program sertifikasi pustakawan di Indonesia. Sertifikasi pustakawan dapat dilaksanakan secara profesional apabila pemerintah (PNRI) sudah mempersiapkan segala sesuatunya, baik dari segi teknis, administratif, maupun manajerial. Harapan terbesar para pustakawan adalah adanya peningkatan kesejahteraan hidup dan pengakuan kompetensi profesi secara total dari masyarakat dan pemerintah. 1.7 PENUTUP Pada bagian penutup ini, peneliti menyarankan agar PNRI melakukan sosialisasi secara lebih gencar dan menyeluruh kepada masyarakat dan
14
pustakawan di Indonesia tentang rencana program sertifikasi pustakawan. Tujuannya agar mereka lebih memahami program sertifikasi dan dapat berperan aktif dalam memberikan masukan kepada pemerintah. Dengan demikian, program sertifikasi pustakawan dapat berjalan secara lancar dan sukses. DAFTAR PUSTAKA 1. BNSP. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. 2. BNSP. 2006. Persyaratan Umum Tempat Uji Sertifikasi. Jakarta: Badan Nasional Sertifikasi Profesi. 3. Damayani, Ninis Agustini. Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan: Ditinjau dari Kesiapan Dunia Pendidikan Ilmu Perpustakaan (makalah). Disampaikan pada tanggal 14 September 2011, di IPB-ICC Bogor. Diakses tanggal 3 Oktober 2011, dalam http://perpustakaan.ipb.ac.id. 4. Evers, Tony. 2011. Certification Manual for Wisconsin Public Library Directors. Wisconsin Department of Public Instruction. Diakses tanggal 3 Oktober 2011, dalam dpi.wi.gov/pld/cert.html. 5. Kentucky Certification and Recertification Manual for Librarians. Diakses tanggal 22 Juni 2011, dalam http://kdla.ky.gov/librarians/staffdevelopment/ Documents/manual.pdf 6. Kismiyati, Titiek. Kesiapan Sertifikasi Pustakawan (makalah). Disampaikan pada tanggal 14 September 2011, di IPB-ICC Bogor. Diakses tanggal 3 Oktober 2011, dalam http://perpustakaan.ipb.ac.id. 7. Libbey, Miriam Hawkins. MLA Certification:The Certification Program and Education for Medical Librarianship. Atlanta: A. W. Calhoun Medical Library Emory University. Bulletin of the Medical Library Association, 1967. Diakses tanggal 3 Oktober 2011, dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC198486/pdf/mlab 00170-0024.pdf. 8. Oklahoma Certification Manual for Public Librarians; 2006. Diakses tanggal 3 Oktober 2011, dalam http://www.odl.state.oke.us/servlib/certman. 9. PNRI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Jakarta: PNRI 10. Wijayanti, Luki. Profesi Pustakawan di Perguruan Tinggi; Reenginering (Penataan Ulang) dengan Sertifikasi dan Uji Ulang Kompetensi (makalah). Disampaikan pada tanggal 8-10 Nopember 2010. Diakses tanggal 27 Juni 2011 dalam http://perpustakaan.bppt.go.id/. 11. Windsor, P.L. Standardization Of Libraries And Certification Of Librarians. Bulletin of the American Library Association, Vol. 11, No. 4, Papers Andproceedings Of The Thirty-Ninth Annual Meeting Of The American Libraryassociation (July 1917), pp. 135-140. Diakses tanggal 27 Juni 2011, dalam http://www.jstor.org/stable/25685536. 12. Zulfikar Zen. Kompetensi dan Sertifikasi Pustakawan (makalah). Makalah Workshop on IAIN and UIN Librarians and Libraries, Dilaksakanan atas kerjasama antara: IAIN Ar Raniri, Depag RI, Mcgill University and CIDA di Banda Aceh, 2-3 Maret 2009.
15