4 PERAN PENGAWAS DALAM MEREKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM Harinurdi Pengawas Kemenag Kabupaten Trenggalek
[email protected] ABSTRACT: Islamic education is a comprehensive educational and integrative. All the components required to perform its role of Islamic education Islamic education in order to be successful. An Islamic education supervisors to perform its role to the starting point in Islamic values. In the implementation, there are several techniques of Islamic education supervisors who do supervisors. Supervisory duties fostering Islamic education teachers to be able to have a religious type of integration, by modeling or by uswah hasanah, so teachers are also imitating doing the same thing. Supervisors are able to perform its role is always to know and monitor the conditions and the competence of teachers who supervised. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang komprehensif dan integratif. Seluruh komponen pendidikan Islam wajib menjalankan perannya supaya pendidikan Islam tersebut berhasil. Seorang pengawas pendidikan Islam menjalankan perannya dengan bertitik tolak pada nilai-nilai keislaman. Dalam implementasinya, terdapat beberapa teknik supervisi pendidikan Islam yang dapat dilakukan pengawas. Pengawas pendidikan Islam tugasnya membina guru supaya mampu mempunyai tipe yang religius integration, dengan cara modelling atau dengan uswah hasanah, supaya guru juga meniru melakukan hal yang sama. Pengawas yang mampu menjalankan perannya selalu mengetahui dan memantau kondisi dan kompetensi guru yang diawasi. Keyword: Pengawas dan Pendidikan Islam.
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 278
Pendahuluan Pendidikan formal dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan, antara lain sekolah, madrasah, perguruan tinggi dan sebagainya. Sekolah dan madrasah sebagai lembaga pendidikan secara mutlak harus meningkatkan mutu pendidikannya secara integral dan komprehensif. Minimal sekolah tersebut harus memenuhi SNP (Standar Nasional Pendidikan) dan melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). 1 Maka dari itu, untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah dan madrasah keberadaaan supervisor yang berupa kepala sekolah/madrasah dan juga pengawas mutlak diperlukan supaya sekolah/madrasah tersebut mampu melaksanakan manajemen dan mampu memenuhi SNP yang telah ditetapkan. Namun, pengawas yang bagaimana yang bisa menjadi pengawas yang melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawas sehingga peningkatan mutu pendidikan di sekolah atau sekolah bisa ditingkatkan dengan baik. Pengawas yang bagaimana yang bisa berperan untuk melakukan rekonstruksi pendidikan Islam di lembaga pendidikan ini. Kehadiran pengawas dengan keilmuan yang mantap dan kepemimpinan yang handal pada era desentralisasi pendidikan ini sangat diharapkan sebab stagnansi yang terjadi pada tingkat sekolah salah satu penyebabnya karena langkanya panutan yang berkualifikasi dan bisa berpartner dengan guru, sehingga guru kurang mampu mengembangkan potensinya, yang akhirnya mutu pendidikan di lembaga tersebut terhenti berkembang. Keberadaan kepengawasan untuk mengawal desentralisasi sangat dibutuhkan adanya perubahan pelaksanaan kepengawasan baik dalam dimensi konsep, paradigma serta aplikasi di sekolah. Selama ini kehadiran pengawas di sekolah lebih bertindak pengusung ide dari pusat bukan mendorong pengembangan potensi guru menuju profesional dengan kata lain pengembangan leadership instructional kurang terkembangkan di lingkungan sekolah/madrasah. Pengawas tidak mampu membina guru. Atau mungkin barangkali persoalan pokoknya adalah belum fokusnya pembinaan kepada guru yang menekankan help paradigm tetapi control paradigm, di samping itu masih kuat budaya show me pada guru sehingga tidak ada kreativitas dan kontekstual. Budaya masih merasa bahwa guru sekedar pelaksana di sekolah/madrasah dan seolah tidak berhak berapresiasi masih 1
Muhammad Fathurrohman & Sulistyorini, Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Islam: Peningkatan Lembaga Pendidikan Islam Secara Holistik (Teoritik & Praktik), (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 7.
279
Edukasi, Volume 04, Nomor 02, November 2016: 277-290
banyak dimiliki oleh guru di Indonesia. Rendahnya kepercayaan (trust low) dari pemerintah juga telah mengondisikan mental guru untuk tidak melakukan inovasi di level sekolah. Guru dipandang tidak mampu melakukan pekerjaannya sendiri, sehingga guru dianggap sebagai birokrasi di tingkat bawah yang bertugas utama sebagai pelaksana kebijakan pusat di sekolah/madrasah, oleh karena sangat wajar bila di sekolah/madrasah tidak pernah dilengkapi dengan penelitian dan pengembangan (litbang). Maka dari itu, diharapkan pengawas sebagai atasan dari kepala sekolah/madrasah dan juga guru mampu berperan melakukan rekonstruksi pendidikan, terutama pendidikan Islam. Peran yang paling krusial sekarang ini dilakukan oleh pengawas PAIS ataupun pengawas rumpun PAI di madrasah. Pengawas-pengawas ini harus mampu melakukan inovasi dan kreasi terutama memunculkan ide-ide dalam merekonstruksi pendidikan Islam supaya sesuai dengan perkembangan yang terjadi di era modern ini. Konsep Dasar Pengawas Pengawas sekolah atau madrasah dapat dijabarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 yaitu, Pengawas Sekolah adalah guru PNS yang diangkat dalam jabatan pengawas sekolah. Pengawasan adalah kegiatan pengawas sekolah dalam menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan, evaluasi hasil pelaksanaan program dan melaksanakan pembimbingan dan profesional guru.2 Keberadaan kepengawasan untuk mengawal desentralisasi sangat dibutuhkan adanya perubahan pelaksanaan kepengawasan baik dalam dimensi konsep, paradigma serta aplikasi di sekolah. Selama ini kehadiran pengawas di sekolah lebih bertindak pengusung ide dari pusat bukan mendorong pengembangan potensi guru menuju profesional dengan kata lain pengembangan leadership instructional kurang terkembangkan di lingkungan sekolah. Barangkali persoalan pokoknya adalah belum fokusnya pembinaan kepada guru yang menekankan help paradigm tetapi control paradigm, di samping itu masih kuat budaya show me pada guru sehingga tidak ada kreativitas dan kontekstual. Budaya masih merasa bahwa guru sekedar pelaksana di sekolah dan seolah tidak berhak berapresiasi masih banyak dimiliki oleh guru di Indonesia. Rendahnya kepercayaan (trust low) dari pemerintah juga telah mengondisikan mental guru untuk tidak melakukan inovasi di level sekolah. Guru dipandang tidak mampu 2
Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 280
melakukan pekerjaannya sendiri, sehingga guru dianggap sebagai birokrasi di tingkat bawah yang bertugas utama sebagai pelaksana kebijakan pusat di sekolah, oleh karena sangat wajar bila di sekolah tidak pernah dilengkapi dengan penelitian dan pengembangan (LITBANG).3 Kebijakan pembatasan kerja pengawas pada rung lingkup TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) menyebabkan seolah pengawas tugasnya mengabdi pada terlaksananya tugas pokok pengawas tersebut bukan menyelesaikan problema yang menghambat kemajuan sekolah. Dalam konstelasi yang demikian dipahami bahwa sekolah seolah mempunyai problema yang sama yang kemudian diselesaikan dengan penerapan tupoksi secara maksimal, padahal problema sekolah heterogen dan unik.4 Oleh karena keragaman problem sekolah yang demikian maka desentralisasi dan diferensiasi lebih ditonjolkan sebaai tugas pengawas bukan mementingkan keterlaksanaan tupoksi yang sentralistik. Penekanan pada perubahan paradigma kepengawasan yang mengarah pada help memberikan pemahaman bahwa platform pelaksanaan kepengawasan tidak bisa dilakukan secara general yaitu one size fit for all, yaitu layanan sama terhadap sekolah dan warga sekolah yang berbeda. Ketumpulan tugas pengawas seringkali terhambat karena ketidaksesuaian kemampuan pengawas dengan domaian tugas sekolah. Selama ini asumsi pelaksanaan kepengawasan di berbagai kabupaten adalah bahwa sekolah dan siswa serta guru dianggap berkemampuan merata, padahal sekolah dan guru secara alami bersifat heterogen dengan berbeda-bedanya situasi dan kondisi serta kompetensi civitas akademika di masing-masing sekolah. Mestinya penyelenggaraan kepengawasan di sekolah dijalankan dengan mengacu self organization by individuals working with the support and advisory systems provided by professionals. Jika demikian halnya, maka sudah pada saatnya kedudukan pengawas harus menjadi designer sekaligus paymasters dari layanan kepengawasan (deep personalization) bukan mengikuti irama kepengawasan secara umum.5 Untuk menjangkau fungsi kepengawasan yang lebih personal di sekolah, sangat diperlukan kemampuan pengawas antara lain, memiliki pengetahuan yang profesinal, artinya pengawas memang 3
Eko Supriyanto, “Mulai Menokohkan Figur Pengawas dalam Mendinamisasikan Sekolah” dalam Eko Supriyanto dkk, Supervision: Bunga Rampai Supervisi Pendidikan, From Control to Help, (Yogyakarta: Fairuz Media, 2012), hlm. iii. 4 Muhammad Fathurrohman & Hindama Ruhyanani, Sukses Menjadi Pengawas Ideal, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2015), hlm. 15. 5 Edgar Stones, Supervision in Teacher Education: A Counselling and Paedagogical Approach, (London: Methuen & Co.Ltd, 1984), hlm. 95.
281
Edukasi, Volume 04, Nomor 02, November 2016: 277-290
berbekal ilmu kepengawasan, kemampuan mendelegasikan beban tugas secara produktif, kemampuan memahami problema profesional guru, serta kemampuan pengawas dalam menyelenggarakan situasi relasi kerja yang baik antara karyawan, guru dan orang tua. Eksistensi pengawas sekolah dinaungi oleh sejumlah dasar hukum. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah landasan hukum yang terbaru yang menegaskan keberadaan pejabat fungsional itu. Selain itu, Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 (disempurnakan dengan keputusan nomor 091/2001) dan Keputuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 020/U/1998 (disempurnakan dengan keputusan nomor 097/U/2001) merupakan menetapkan pengawas sebagai pejabat fungsional yang permanen sampai saat ini. Secara tegas dikatakan dalam Keputusan Menpan No. 118/1996 sebagai berikut,”Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah.”6 Dengan keluarnya Keputuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, pengawas sekolah dan penilik sekolah (kemudian bernama pengawas sekolah) murni menjadi pejabat fungsional. Jabatan struktural yang melekat padanya dilepaskan oleh keputusan itu itu. Sejak itulah pengawas sekolah bertugas sebagai penilai dan pembina bidang teknik edukatif dan teknik adminsitratif di sekolah yang dibinanya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun dan oleh siapapun yang memarjinalkan dan mengecilkan eksistensi pengawas sekolah. Menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku, keberadaan pengawas sekolah jelas dan tegas. Dengan demikian bukan berarti pengawas sekolah terbebas dari berbagai masalah. Ternyata institusi pengawas sekolah semakin bermasalah setelah terjadinya desentralisasi penanganan pendidikan. Institusi ini sering dijadikan sebagai tempat pembuangan, tempat parkir,dan tempat menimbun sejumlah aparatur yang tidak terpakai lagi (kasarnya: pejabat rongsokan). Selain itu, 6
SK Menpan no 118 Tahun 1996. Lihat juga Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 224.
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 282
pengawas sekolah belum difungsikan secara optimal oleh manajemen pendidikan dikabupaten dan kota. Hal yang paling mengenaskan adalah tidak tercantumnya anggaran untuk pengawas sekolah dalam anggaran belanja daerah (kabupaten/kota). Sekurang-kurangnya fenomena itu masih terlihat sampai sekarang. Penodaan terhadap institusi pengawas sekolah dan belum difungsikannya para pengawas sekolah secara optimal bak lingkaran yang tidak berujung berpangkal. Lingkaran itu susah dicari awalnya dan sulit ditemukan akhirnya. Tidak ada ujung dan tidak ada pangkal. Akan tetapi, jika dimasukil ebih dalam, inti permasalahannya dapat ditemukan. Institusi pengawas sekolah adalah institusi yang sah. Keabsahannya itu diatur oleh ketentuan yang berlaku. Seyogyanya, aturan-aturan itu tidak boleh dilanggar oleh manajemen atau birokrasi yang mengurus pengawas sekolah. Aturan itu ternyata sangat lengkap. Mulai dari aturan merekrut calon pengawas, sampai kepada memberdayakan dan memfugsikan pengawas sekolah untuk operasional pendidikan, ternyata sudah ada aturannya. Pelecehan atau pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada itulah yang merupakan titik pangkal permasalahan pengawas sekolah sebagai institusi di dalam sistem pendidikan. Tugas Pengawas dalam Lembaga Pendidikan Islam Inti tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah/madrasah adalah menilai dan membina. Subjek yang dinilai adalah teknis pendidikan dan administrasi pendidikan. Menurut Kep Menpan No. 118/1996, bab I, pasal 1, ayat (8) menyatakan, ”Penilaian adalah penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolok ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah/madrasah.”7 Begitu pula halnya dengan teknik administrasi. Kepemenpan Nomor 118/1996, Bab I, pasal 1, ayat (9) Pembinaan adalah memberi arahan, bimbingan, contoh, dan saran dalam pelaksanaan pendidikan sekolah, (10) Memberikan arahan adalah upaya Pengawas Sekolah agar guru dan tenaga lain di sekolah yang diawasi dalam melaksanakan tugasnya lebih terarah dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan. (11) Memberikan bimbingan adalah upaya Pengawas Sekolah agara guru dan tenaga lain di sekolah yang diawasi mengetahui secara lebih rinci kegiatan yang harus dilaksanakan dan cara melaksanakannya, (12) Memberikan contoh adalah upaya Pengawas Sekolah yang dilaksanakan dengan cara yang bersangkutan bertindak sebagai guru yang melaksanakan proses belajar mengajar/bimbingan untuk materi 7
S. Kep Menpan No. 118/1996, bab I, pasal 1
283
Edukasi, Volume 04, Nomor 02, November 2016: 277-290
tertentu di depan kelas/ruangan bimbingan dan kenseling dengan tujuan agar guru yang diawasi dapat mempraktikkan model mengajar/membimbing yang baik. (13) Memberikan saran adalah upaya pengawas sekolah agar sesuatu proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah lebih baik dari pada hasil yang dicapai sebelumnya atau berupa saran kepada pimpinan untuk menindaklanjuti pembinaan yang tidak dapat dilaksanakan sendiri. Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 21 Tahun 2010 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya, tugas pokok pengawas sekolah adalah melaksanakan supervisi akademik dan supervisi manajerial pada satuan pendidikan yang meliputi penyusunan program pengawasan, pemantauan pelaksanakan 8 standar nasional pendidikan, penilaian, pembimbingan, dan pelatihan profesional guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas kepengawasan di daerah khusus.8 Rekonstruksi Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah sebuah sarana atau pun furshoh untuk menyiapkan masyarakat muslim yang benar-benar mengerti tentang Islam. Di sini para pendidik muslim mempunyai satu kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lain. Pendidikan Islam lebih mengedepankan nilai-nilai keislaman dan tertuju pada terbentuknya manusia yang ber-akhlakul karimah serta taat dan tunduk kepada Allah semata. Sedangkan pendidikan selain Islam, tidak terlalu memprioritaskan pada unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman, yang menjadi prioritas hanyalah pemenuhan kebutuhan inderawi semata. Pendidikan Islam ke depan harus lebih memprioritaskan kepada ilmu terapan yang sifatnya aplikatif, bukan saja dalam ilmu-ilmu agama akan tetapi juga dalam bidang teknologi. Bila dianalisis lebih jeli selama ini, khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi, ada pemisahan antara keduanya. Sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil atau berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama, begitu juga sebaliknya. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif (bagaimana seharusnya), sedangkan 8
Permenpan & RB Nomor 21 tahun 2010.
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 284
sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Sebagai permisalan tentang sains, sering kali umat Islam Phobia dan merasa sains bukan urusan agama begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja. Di sini sangat jelas pemisahan dikotomi ilmu tersebut. Islam bukanlah agama sekuler yang memisahkan urusan agama dan dunia. Dalam Islam, agama mendasari aktivitas dunia, dan aktivitas dunia dapat menopang pelaksanaan ajaran agama. Islam bukan hanya sekedar mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagaimana yang terdapat pada agama lain, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan dunia. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Islam pada hakikatnya, membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengatur satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengambil berbagai aspek itu ialah Al-Qur`an dan al-Sunnah. Apabila ingin merekonstruksi pendidikan Islam di era modern ini, persoalan pertama yang harus di tuntaskan adalah persoalan “dikotomi”. Artinya harus berusaha mengintegrasikan kedua ilmu tersebut baik secara filosofis, kurikulum, metodologi, pengelolaan, bahkan sampai pada departementalnya. Perubahan orientasi pendidikan Islam harus dilakukan yaitu “bukan hanya bagaimana membuat manusia sibuk mengurusi dan memuliakan Tuhan dengan melupakan eksistensinya, tetapi bagaimana memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dengan eksistensinya di dunia ini.9 Artinya, bagaimana pendidikan Islam harus mampu mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin sehingga menghasilkan manusia yang memahami eksistensinya dan dapat mengelola dan memanfaatkan dunia sesuai dengan kemampuannya. Dengan dasar ini, maka materi pendidikan Islam harus di desain untuk dapat mengakomodasi persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kebutuhan manusia, yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, teknologi, seni serta budaya, sehingga mampu melahirkan manusia yang berkualitas, handal dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, unggul dalam moral yang di dasarkan pada nilai-nilai ilahiah sebagai produk pendidikan Islam. Dengan kata lain pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, akan menghasilkan 9
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003), hlm. 98.
285
Edukasi, Volume 04, Nomor 02, November 2016: 277-290
ilmuan yang tidak hanya unggul dalam ilmu sains akan tetapi juga ilmuan yang tahu posisinya sebagai khalifah di muka bumi, yang bertakwa kepada Allah SWT, serta menjalankan apa yang diperintah dan menjauhkan apa yang dilarang oleh-Nya. Dalam kehidupan sosial, institusi pendidikan baik umum maupun Islam, mendapat tugas suci untuk mengemban misi mulia agar membenahi kualitas hidup manusia jadi lebih baik. Suatu misi (risalah) kemanusiaan yang sangat bermanfaat dalam rangka membentuk sikap mental lulusan yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai insani. Pendidikan Islam harus menjadi kekuatan (power) yang ampuh untuk menghadapi wacana kehidupan yang lebih krusial. Refleksi pemikiran dan rumusan persoalan pendidikan Islam harus bernafaskan kekinian (up to date). Jika dipandang secara historis, memang adanya suatu kejadian yang telah lalu, dapat dijadikan sebuah pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi, tapi jangan sampai melupakan perhatian yang perlu diberikan di masa kini dan masa mendatang. Pendidikan Islam harus menjadi terobosan baru untuk membentuk pola hidup umat yang lebih maju dan terbebas dari kebodohan dan kemiskinan. Sebab secara filosofi yang sudah tidak asing lagi untuk diketahui bahwa antara kebodohan dan kemiskinan itu merupakan dua sifat manusia yang mengkristal dan menjadi musuh bebuyutan pendidikan. Dalam upaya merekonstruksi pendidikan Islam, kita perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan Islam, yang meliputi: (1) pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem kehidupan Islam, yaitu suatu proses internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai moral Islam melalui sejumlah informasi, pengetahuan, sikap, prilaku dan budaya, (2) pendidikan Islam merupakan sesuatu yang integrated artinya mempunyai kaitan yang membentuk suatu kesatuan yang integral dengan ilmu-ilmu yang lain, (3) pendidikan Islam merupakan life long process sejak dini kehidupan manusia, (4) pendidikan Islam berlangsung melalui suatu proses yang dinamis, yakni harus mampu menciptakan iklim dialogis dan interaktif antara pendidik dan peserta didik, (5) pendidikan Islam dilakukan dengan memberi lebih banyak mengenai pesan-pesan moral pada peserta didik. Prinsip-pinsip di atas akan membuka jalan dan menjadi fondasi bagi terciptanya konsep pendidikan Islam. Dengan tawaran prinsip inilah, konsep pendidikan Islam lebih pas apabila diletakkan dalam
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 286
kerangka pemahaman, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam, bukan pendidikan tentang Islam. Pendidikan Islam hendaknya bukan saja berusaha meningkatkan kesadaran beragama, melainkan juga untuk melihat perubahan-perubahan sosial dan perspektif transedental, dan menempatkan iman sebagai sumber motivasi perkembangan dalam menyelami dan menghayati ilmu pengetahuan modern.10 Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan Islam terkandung upaya peningkatan kemampuan mengintegrasikan akal dengan nurani dalam menghadapi masalah perubahan sosial. Dengan begitu diharapkan pendidikan Islam dapat memenuhi fungsi yang luhur dalam menghadapi perkembangan sosial, apabila dalam proses belajar mengajar menggunakan pola pengajaran innovative learning, yakni: (1) berusaha memupuk motivasi yang kuat pada peserta didik untuk mempelajari dan memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada, (2) berusaha memupuk sikap berani menghadapi tantangan hidup, kesanggupan untuk mandiri dan berinisiatif, peka terhadap kepentingan sesama manusia dan sanggup bekerja secara kolektif dalam suatu proses perubahan sosial. Heteroginitas informasi yang telah disadap yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengolahan dan interpretasi akan menumbuhkan kemampuan berpikir secara holistik dan integratif. Bila kemampuan ini telah dimiliki seseorang, maka untuk mengantisipasi perubahan yang menumbuhkan kesadaran internal dan ketrampilan memecahkan masalah bukannya sesuatu yang memberatkan. Adalah tidak mungkin, bahwa persoalan informasi mempunyai korelasi akseptabilitas dengan dunia pendidikan (baca:pendidikan Islam), bahkan dengan fungsi informasi, pendidikan Islam akan mampu mengimbangi kemajuan zaman. Korelasi ini terletak pada persoalan substansi materi pendidikan Islam itu sendiri. Dalam spektrum yang lebih makro, seberapa jauh alih nilai moral mampu membekali peserta didik untuk menghadapi sekaligus memecahkan persoalan secara proporsional sekaligus mampu mengembangkan budaya religius. Spektrum tersebut menuntut peran pendidik (guru, dosen, ustadz dst) untuk mampu tampil lebih profesional di hadapan peserta didik dengan menyertakan menu-menu materi yang bersifat kontekstual, dinamis dan berorientasi ke masa depan. Semua ini akan didapatkan jika tradisi menyadap banyak informasi menjadi tuntutan setiap saat bagi para pendidik. Pendidikan sebagai proses penyiapan peserta didik agar memiliki kemampuan mengantisipasi persoalan hari 10
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), t.h.
287
Edukasi, Volume 04, Nomor 02, November 2016: 277-290
ini dan esok harus dilihat dari dimensi informasi. Dengan kata lain, kemampuan tersebut akan dicapai hanya melalui intensitas mencari, mengolah dan mengintepretasikan informasi. Menguasai informasi hari ini berarti mampu menguasai informasi hari esok. Menguasai permasalahan hari ini berarti menguasai permasalahan hari esok. Sekarang dan esok sebenarnya bersifat saling berkaitan dan merupakan jaringan-jaringan masalah yang kompleks meski dengan tingkat kompleksitas yang beragam. Dengan gelombang informasi, maka proses belajar-mengajar akan terhindar dari diskontinuitas kesejarahan dan sistem nilai dalam pendidikan kemarin, sekarang dan esok. Sehingga pendidikan sebagai alih nilai (transfer of value) tidak hanya memberi materi sesuai dengan program of studies yang ada dalam jadwal kelas, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan yang memungkinkan dirinya secara optimal dan menjadi berkualitas tinggi sesuai tuntutan zaman Peran Pengawas dalam Pendidikan Islam Peran supervisor akademik pada masa sekarang ini adalah membantu guru mengembangkan kemampuannya mengelola akademik. Dalam pendidikan Islam, pengawas berperan untuk mengembangkan kreativitas guru supaya guru melakukan inovasi dalam pembelajaran, guru melakukan kreasi dalam pembelajaran pendidikan Islam. Selanjutnya, Wiles mendeskripsikan dengan bidang khusus kompetensi supervisi (special areas to supervision competence), yang menurut penulis merupakan peran-peran supervisor dalam melakukan supervisi akademik pada lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini dapat dibagi menjadi delapan peran sebagai berikut:11 1. supervisors are developers of people 2. supervisors are curriculum developers 3. supervisors are instructional specialist 4. supervisors are human relations workers 5. supervisors are staff developers 6. supervisors are administrators 7. supervisors are managers of change 8. supervisors are evaluators Dari kedelapan peran tersebut, dalam pendidikan Islam perlu ditambah nilai-nilai keislaman. Jadi seorang pengawas pendidikan Islam menjalankan perannya dengan bertitik tolak pada nilai-nilai 11
Kimbals Wiles, Supervision for Better School, (New Jersey: Prentice Hall, 1986), hlm. 17-23.
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 288
keislaman. Dalam implementasinya, terdapat beberapa teknik supervisi pendidikan Islam yang dapat dilakukan pengawas. Teknikteknik tersebut dibedakan antara yang bersifat individual dan kelompok. Pada setiap teknik supervisi tentunya terdapat kekuatan dan kelamahan. Ada bermacam-macam teknik supervisi akademik dalam upaya pembinaan guru. Teknik tersebut antara lain: pertemuan staf, kunjungan supervisi, buletin profesional, perpustakaan profesional, laboratorium kurikulum, penilaian guru, demonstrasi pembelajaran, pengembangan kurikulum, pengambangan petunjuk pembelajaran, darmawisata, lokakarya, kunjungan antarkelas, bacaan profesional, dan survei masyarakat sekolah. Teknik supervisi tersebut perlu dikembangkan dengan cara induksi konfirmasi dalam pendidikan Islam dengan nilai-nilai keislaman. Sedangkan menurut Gwyn, teknik-teknik supervisi itu bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu. teknik supervisi individual, dan teknik supervisi kelompok.12 Dua teknik supervisi ini individual dan kelompok tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, seperti saling menghargai, menghormati, toleransi terhadap sesama, menolong yang lemah, dan sebagainya. Karakter yang dimiliki guru berpengaruh terhadap performa guru di depan kelas. Karakter ini perlu ditingkatkan dengan melalui pemahaman integrasi keilmuan. Hal ini diperuntukkan supaya guru mempunyai karakter spiritual religius. Menurut Bennet dalam Glickmann13 dijelaskan karakter guru berdasarkan daya kepekaan pada budaya, terdiri dari 6 karakter yaitu: 1. Tipe Denial, adalah orang yang tidak mampu melihat perbedaan budaya, mengisolasi diri dalam kelompoknya sendiri dan membeda-bedakan anggota dari kelompok budaya lain. 2. Tipe Defense, adalah orang yang mengenal perbedaan budaya, namun menganggapnya sesuatu yang negatif, tidak mau berurusan dengan budaya yang berbeda, menganggap budayanya dalah yang terbaik, dan mencermarkan budaya lainnya. 3. Tipe Minimization, atau kelompok “buta warna”. Adalah mereka yang mengenal dan menerima perbedaan budaya namun hanya pada permukaan saja. Sebagai contoh tentang 12
J.M. Gwynn, Theory and Practice of Supervision, (New York: Dodd, Mead & Company, 1961), t.h. 13 Carl D.Glickman, dan Gordon, Supervision and Instructional Leadership, (Boston: Pearson Education, 2010), t.h.
289
Edukasi, Volume 04, Nomor 02, November 2016: 277-290
makana, musik dan kegiatan rekreasi. Namun mereka berangapan bahwa setiap orang memiliki dasar yang sama. Kelompok ini adalah kelompok dengan jumlah terbesar. 4. Tipe Acceptance. Adalah kelompok guru yang menerima perbedaaan budaya dan mengangggapnya sebagai suatu alternatif. Kelompok ini belum mampu mengembangkan kemampuannya untuk bekerjasama secara efektif. 5. Tipe Adaptation, adalah sekelompok orang yang mampu menggeser kerangka budayanya sendiri dengan budaya lain. Guru ini mau memodifikasi cara mengajarnya dengan budaya lain tadi sehingga bervariasi. 6. Tipe Integration, adalah kelompok guru yang memiliki referensi secara internal menghadapi perbedaan budaya. Mereka merasa nyaman pada kelompok budaya lain dan bahkan mampu menjadi jembatan antar budaya. Dari keenam tipe guru tersebut, tipe guru yang keenam yang digabungkan dengan karakter religius akan menjadikan guru yang mampu membangun dan mempunyai peran dalam pendidikan Islam. Guru yang bertipe religius integration ini mampu berbuat yang lebih untuk pendidikan Islam, karena dalam mendidik tidak hanya mengajar atau transfer of knowledge, namun juga inculnation of islamic value baik dengan uswah hasanah maupun pembiasaan kepada peserta didik. Sehingga pada akhirnya peserta didik mempunyai karakter yang unggulan yang religius. Akhir yang diharapkan pada proses ini yaitu peserta didik akan menjadi ulama yang cendekia atau cendekia yang ulama atau dalam bahasa lain, tidak hanya pandai dalam akademik namun juga mampu mengimplementasikan nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan sehari-hari. Pengawas pendidikan Islam tugasnya membina guru supaya mampu mempunyai tipe yang religius integration, dengan cara modelling atau dengan uswah hasanah, supaya guru juga meniru melakukan hal yang sama. Pengawas yang mampu menjalankan perannya selalu mengetahui dan memantau kondisi dan kompetensi guru yang diawasi. Penutup Dari pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: Seorang pengawas pendidikan Islam menjalankan perannya dengan bertitik tolak pada nilai-nilai keislaman. Dalam implementasinya, terdapat beberapa teknik supervisi pendidikan Islam
Peran Pengawas dalam Merekontruksi Pendidikan Islam – Harinurdi 290
yang dapat dilakukan pengawas. Pengawas pendidikan Islam tugasnya membina guru supaya mampu mempunyai tipe yang religius integration, dengan cara modelling atau dengan uswah hasanah, supaya guru juga meniru melakukan hal yang sama. Pengawas yang mampu menjalankan perannya selalu mengetahui dan memantau kondisi dan kompetensi guru yang diawasi. Daftar Pustaka Engkoswara, Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010. Fathurrohman, Muhammad, Hindama Ruhyanani, Sukses Menjadi Pengawas Ideal, Yogyakarta: Arruzz Media, 2015. Fathurrohman, Muhammad, Sulistyorini, Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Islam: Peningkatan Lembaga Pendidikan Islam Secara Holistik (Teoritik & Praktik), Yogyakarta: Teras, 2012. Glickman, Carl D., Gordon, Supervision and Instructional Leadership, Boston: Pearson Education, 2010. Gwynn, J.M., Theory and Practice of Supervision, New York: Dodd, Mead & Company, 1961. Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003. Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2008 Permenpan & RB Nomor 21 tahun 2010. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2008. SK Menpan no 118 Tahun 1996. Stones, Edgar, Supervision in Teacher Education: A Counselling and Paedagogical Approach, London: Methuen & Co.Ltd, 1984. Supriyanto, Eko, “Mulai Menokohkan Figur Pengawas dalam Mendinamisasikan Sekolah” dalam Eko Supriyanto dkk, Supervision: Bunga Rampai Supervisi Pendidikan, From Control to Help, Yogyakarta: Fairuz Media, 2012. Wiles, Kimbals, Supervision for Better School, New Jersey: Prentice Hall, 1986.