KEWENANGAN DPR ERA REFORMASI (STUDI PERBANDINGAN DENGAN MAJELIS SYURA ISLAMI REPUBLIK ISLAM IRAN)
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH Agus Romadoni 05360038
PEMBIMBING: 1. Dr. Ahmad Yani Anshori, M. Ag. 2. Sri Wahyuni S.Ag., M.Ag., M.Hum. PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013
ABSTRAK Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan Majelis Syura Islami Republik Islam Iran adalah lembaga legislatif, lembaga perwakilan rakyat yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Namun lembaga tersebut memiliki kewenangan yang melebihi atau terbatasi dalam menjalankan kekuasaanya, termasuk dalam menjalankan bersama lembaga lain. Setelah adanya amandemen UUD 1945, DPR memiliki kewenangan yang sederajat dengan lembaga lainnya dengan prinsip pemisahan kekuasaan agar konsep checks and balances bisa berjalan dengan mengendalikan dan mengimbangi lembaga lainnya. Berbeda dengan Republik Islam Iran ini memakai konsep wilayatul faqih, bahwa Majelis Syura Islami dalam kewenangannya harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawal dalam membuat undang-undang, sehingga dalam kewenangannya terbatasi adanya Dewan Pengawal. Bila dilihat kewenangan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat era reformasi dan Majelis Syura Islami juga memiliki hubungan tata kerja yang berbeda pula tetapi kekuasaannya berlandaskan dari konsep negara yang dipakai. Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (libary research), yaitu penelitian yang sumber datanya diambil dari buku-buku dan tulisan sebagai sumber utama. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analisis-komparatif, yaitu jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap objek yang diteliti dengan jalan menggambarkan, memilah-milah serta membandingkan antara pengertian satu dengan pengertian yang lain, sehingga dalam objek penelitian dapat diketahui secara lebih tajam dalam memahami adanya persamaan dan perbedaan dalam obyek penelitian. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa adanya perbedaan kewenangan antara Dewan Perwakilan Rakyat era reformasi dengan Majelis Syura Islami. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat era reformasi adalah membuat undang-undang (fungsi legislasi), menetapkan belanja negara (fungsi budgeting) dan pengawasan (fungsi control). Tetapi presiden hanya bisa mengajukan undang-undang, dan bila undang-undang dari DPR tanpa persetujuan dari Presiden bias sah dan berlaku (Pasal 20 ayat (4)). Tetapi berbeda dengan Majelis Syura Islami yang harus mendapatkan persetujuan dengan Dewan Pengawal setelah menetapkan undang-undang dengan Presiden, sebab Dewan Pengawal mempunyai wewenang dalam mengawasi pembuatan undang-undang agar tidak melenceng atau keluar dari prinsip agama. Dalam hubungan tata kerja antar lembaga, Dewan Perwakilan Rakyat era reformasi sudah dapat mengimbangi dan lebih berkoordinatif dengan lembaga lain. Karena prinsip yang dipakai adalah pemisahan kekuasaan dengan menerapkan mekanisme checks and balances, begitu juga dengan Majelis Syura Islami sudah dapat mengimbangi kekuatan dari lembaga lain, dengan memakai konsep wilayatul faqih yang berindikasi ke arah mekanisme cheks and balances. Indikasinya adalah dapat mengimbangi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
ii
MOTTO
) وإلى7( ) فإذا فرغت فانصب6() إن مع العسر يسرا5(فإن مع العسر يسرا )8( ربك فارغب
*Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, * Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, * Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). (Q.S. Alam Nasyrah :94)
vi
PERSEMBAHAN
SKRIPSI INI KU PERSEMBAHKAN KEPADA KEDUA ORANG TUA TERCINTA KAKAK DAN ADIK ALAMAMATER SERTA PARA GURUKU
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tertanggal 22 Januari 1988 Nomor: 157/1987 dan 0593b/1987. A. Konsonan tunggal Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
ا
alif
tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب
ba’
B
be
ت
ta’
T
te
ث
sa’
S
es (dengan titik di atas)
ج
Jim
J
je
ح
ḥ
Ḥ
ha (dengan titik di bawah)
خ
kha’
Kh
ka dan ha
د
dal
D
de
ذ
żal
Ż
zet (dengan titik di atas)
ر
ra’
R
er
ز
zai
z
zet
س
sin
s
es
ش
syin
sy
es dan ye
ص
ṣad
Ṣ
es (dengan titik di bawah)
ض
ḍad
ḍ
de (dengan titik di bawah)
viii
ط
ta’
ṭ
te (dengan titik di bawah)
ظ
ẓa’
ẓ
zet (dengan titik di bawah)
ع
‘ain
‘
Koma terbalik di atas
غ
gain
g
ge
ؼ
fa’
f
ef
ؽ
qaf
q
qi
ؾ
kaf
k
ka
ؿ
lam
l
`el
ـ
mim
m
`em
ف
nun
n
`en
ك
waw
w
W
ق
ha’
h
ha
ء
hamzah
`
apostrof
م
ya’
y
ye
B. Konsonan rangkap karena syaddah ditulis rangkap
متعددة
ditulis
muta’addidah
عدة
ditulis
’iddah
حكمة
ditulis
Ḥikmah
جزية
ditulis
Jizyah
C. Ta’ marbuṭah di akhir kata 1. Bila dimatikan tulis h
ix
(ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya). 2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan ‘h’
كرامة األكلياء
Kara>mah al-auliya>’
ditulis
3. Bila ta’ marbu>ṭah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis t
زكاة الفطر
ditulis
Zaka>h al-fiṭr
D. Vokal pendek
َ ِ ُ
fatḥaḥ
ditulis
a
kasrah
ditulis
i
dammah
ditulis
u
E. Vokal panjang Fatḥaḥ + alif 1.
جاهلية Fatḥaḥ + ya` mati
2.
تنسى Kasrah + ya` mati
3.
كػرمي Ḍammah + wawu mati
4.
فركض
x
ditulis ditulis
a> ja>hiliyah
ditulis ditulis
á tansá
ditulis ditulis
i> kari>m
ditulis ditulis
u> furu>ḍ
F. Vokal rangkap Fatḥaḥ + ya` mati
بينكم
1.
Fatḥaḥ + wawu mati
قوؿ
2.
ditulis ditulis
ai bainakum
ditulis ditulis
au qaul
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof
أأنتم
Ditulis
a`antum
أعدت
Ditulis
u'iddat
لئن شكػرمت
Ditulis
la’in syakartum
Ditulis
al-Qur’a>n
H. Kata sandang alif + lam 1. Bila diikuti huruf Qamariyyah
القرآف القياس
al-Qiya>s ditulis 2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el ) nya.
السمآء ّ الشمس ّ
ditulis
as-Sama>’
ditulis
asy-Syams
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya
ذكل الفركض أهل السنة
ditulis
Żawi al-furu>ḍ
ditulis
Ahl as-Sunnah
xi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الر جيم من يهده,ان الحمد هلل نحمدهو نستعينهو نستغفر هو نعو ذ باهلل من شرور انفسناو من سيئات اعما لنا
و اشهد ان,و اشهد ان ال اله اال اهللو حده ال شر يك له,اهلل فال مضل لهو من يضل فال هادي له
.محمدا عبدهور سو له Segala puji dan Syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunuia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada sang revolusioner sejati dunia Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa ajaran mulia untuk mengarahkan kehidupan manusia dari zaman yang penuh dengan kebodohan dan kezaliman menuju zaman pengetahuan yang penuh cahaya kebenaran. Barang kali apa yang penyusun sajikan ini merupakan karya tulis atau skripsi yang teramat sederhana, atau bahkan kurang dari itu. Sebagai karya tulis atau skripsi yang dipersiapkan guna memenuhi syarat mendapatkan gelar S1 ini, penyusun telah mempersiapkan dalam jangka yang cukup lama, begitu juga telah menguras tenaga dan fikiran. Apapun hasilnya, arti penting bagi penyusun adalah pengalaman batin yang tak tenilai harganya, mudah-mudahan pengalaman tersebut dapat membawa manfa’at bagi penyusun dalam mengarungi dunia.
xii
Dalam penyusunan skripsi ini banyak para pihak yang sangat berarti bagi penyusun, oleh karena itu sebagai tanda syukur dan penghargaan, maka tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga beserta segenap pimpinan Fakultas dan Ketua Jurusan Perbandingan Madzab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 2. Kepada Bapak Dr. Ali sodiqin M.Ag,selaku Ketua Jurusan yang telah memberikan ijin kemudahan dalam penyelesaian skripsi. 3. Bapak Dr. Ahmad Yani Anshori M.Ag Selaku pembimbing I dan Ibu Sri Wahyuni S.Ag, M.Ag, M.Hum selaku pembimbing II, meskipun dalam kesibukan beliau yang luar biasa, masih bisa menyempatkan diri untuk memberikan bimbingan yang tulus dan ikhlas dengan meluangkan waktunya untuk mengarahkan dan membimbing penyusun, sehingga sangat berguna sekali dalam pembahasan dan penulisan skripsi ini. 4. Abah Moh. Maksum dan Ibu Siti Marfu’ah serta saudara-saudaraku yang dijogja Cak Krus, Dek Ari, Mbak Ita, dan yang dirumah Mbak Iin, Mas Udin, Cak Kur, Mbak Bad yang tak henti-henti mengalirkan do'a restunya dalam jiwa-ragaku untuk menyelesaikan masa studi. 5. Serta Mbah Lies dan Mbah Nadzir kami ucapkan banyak terima kasih telah memberikan support dalam penyelesaian skripsi. 6. Yang kami hormati Keluarga Bapak (alm.) Tolchah Mansoer yang selalu memberikan support, terutama kepada beliau Bapak (alm.) Fajrul Falaakh
xiii
SH, MA, MSC, yang memberikan tempat kediaman dan perpustakaannya saat proses menyelesaikan skripsi. 7. Yang kami hormati Pengasuh Ponpes Sunny Darussalam Bapak Abdul Fattah dan Bapak Hanif Anwari memberikan tempat bimbingan belajar agama selama proses pendidikan di jogja. 8. Teman-teman sekelasku dalam proses perjuangan di jogja, mente, luqman, joni, hamam, irfan, goblank (edi), rianto, wahyu, rokhim, yang telah memberikan support semangat hidup selama proses di jogja, 9. Segenap sahabat-sahabat Ngaji iksasuda suby, joni, enceng, walidy, hamdani, yunus, rijal (kehed) dan rijal (cupang), alfath, rudi, huda, seto, nasrudin (unik), mufti, hendi serta anak-anak Adab SKI, segala atas motivasi serta arti kehidupan yang diberikan sehingga penyusun mampu menyelesaikan skripsi. 10. Teman-teman al-Muhsin, baik yang udah keluar maupun masih didalam, terimah kasih telah memberikan semangatku dalam menjalani proses penyelesaian skripsi. Terutama kepada kang ali, kang faiz, kang andung (mbako teles), suqoy, mbah amjad, saropi, fauzan, yunus cilacap dan yunus semarang.
Dengan rendah hati penyusun hanya bisa berdo’a semoga para pihak yang terkait dalam penyusunan skripsi ini senantiasa mendapat balasan dari Allah SWT. Serta mudah-mudahan skripsi ini bermanfa’at bagi penyusun sendiri pada
xiv
khususnya dan para pembaca pada umumnya. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif penyusun terima dengan senang hati.
Yogyakarta: 23 Syawal 1436 30 Agustus 2013 Penyusun
Agus Romadoni NIM: 05360038
xv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i ABSTRAKSI ................................................................................................ ii NOTA DINAS ............................................................................................. iii PENGESAHAN ............................................................................................. v MOTTO ........................................................................................................vi PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...................................... viii KATA PENGANTAR ................................................................................ xii DAFTAR ISI ..............................................................................................xvi BAB I:
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................1 B. Pokok Masalah ..............................................................................12 C. Tujuan dan Kegunaan ....................................................................12 D. Telaah Pustaka ...............................................................................13 E. Kerangka Teoretik .........................................................................16 F. Metode Penelitian ..........................................................................25 G. Sistematika Pembahasan ................................................................26
BAB II:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ERA REFORMASI A.Ruang Lingkup Pembatasan Kekuasaan ..........................................30 B. Definisi Dewan Perwakilan Rakyat .................................................36 C. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat..................................................38 1. Era Orde Lama..........................................................................38
xvi
2. Era Orde Baru ...........................................................................41 3. Era Reformasi ...........................................................................45 D. Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat .....................48 E. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat .......................................51 BAB III : MAJELIS SYURA ISLAMI REPUBLIK ISLAM IRAN A. Ruang Lingkup ..............................................................................55 B. Sejarah Negara Syi’ah Republik Islam Iran ...................................58 C. Dasar Berdiri Negara Republik Islam Iran dari Kerajaan ke Republik .......................................................................................66 D. Pemilihan Anggota Majelis ...........................................................69 E. Fungsi dan Kedudukan Majelis Syura Islami Republik Islam Iran .71 F. Kewenangan Majelis Syura Islami Republik Islam Iran .................75 BAB
IV:
PERBANDINGAN
KEWENANGAN
ANTARA
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA ERA REFORMASI DENGAN MAJELIS SYURA ISLAMI REPUBLIK ISLAM IRAN A.Kewenangan Lembaga Legislatif ....................................................78 1. Persamaan.................................................................................82 2. Perbedaan .................................................................................87 B. Susunan dan Kedudukan Lembaga Legislatif ..................................91 BAB VII: PENUTUP A.Kesimpulan ................................................................................. 102 B. Saran-saran .................................................................................. 104
xvii
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 105 LAMPIRAN-LAMPIRAN I. TERJEMAHAN ..................................................................... I II. BIOGRAFI TOKOH .............................................................. II III. CURRICULUM VITAE ...................................................... .III
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di dalam konsep negara hukum terdapat unsur dalam menyelenggarakan sistem ketatanegaraan, yaitu adanya pemisahan/pembagian kekuasaan. Tujuannya untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka kekuasaan di dalam negara harus dipisah-pisahkan atau dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ negara.1 Dalam organisasi dari sistem pemerintahan negara, baik itu negara serikat atau kesatuan dikenal adanya dua organisasi yang saling melakukan interaksi antara satu dengan lainnya. Yaitu, organisasi sistem pemerintahan dalam garis horizontal dan garis vertikal.
2
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. 3 Pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara ini tidak hanya di maksud dengan lembaga-lembaga negara dalam keadaan tidak bergerak seperti halnya fungsi, kedudukan, serta wewenangnya saja, akan tetapi juga mengenai hubungannya satu terhadap yang lainnya.
4
Pengertian pembagian kekuasaan
adalah berbeda dari dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan
1 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003), hlm. 13. 2
Ibid., hlm. 88.
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press 2005), hlm. 156. 4
Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undangundang Dasar 1945, cet. 7, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 7.
1
2
berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Kemudian pembagian kekuasaan yang berarti kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. 5 Dalam hubungan ini yang dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadaan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-nya, yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang kekuasaan eksekutif atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial. 6 Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legislatif adalah Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat, kekuasaan eksekutif ada pada Presiden atau Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Badan-Badan Kehakiman.7 Pra amandemen UUD 1945, Melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/1978.8 istilah lembaga negara mulai menemukan konsepnya karena ketetapan MPR tersebut membagi lembaga negara menjadi dua kategori, yaitu lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara.9 Pada Pasal 1 dan Pasal 2 UUD 1945 Pra Amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara
5
Moh. Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet 7, (Jakarta: FH Universitas Indonesia, 1994) , hlm. 140. 6
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006),hlm. 12. 7
Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian, …hlm. 31.
8
Lihat Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, Tentang Kedudukan dan Hubungan Tatakerja Tertinggi Negara dengan atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. 9
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), hlm. 34.
3
mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang tertinggi di dalam negara. Kekuasaanya itu tidak terbatas dan tidak ditetapkan secara limitatif melainkan enunsiatif,
10
artinya selain kekuasaannya yang ditetapkan menurut pasal-pasal
dalam UUD 1945, masih mempunyai kekuasaan-kekuasaan lainnya.11 Adapun lembaga tinggi negara dibawah MPR di antaranya adalah Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA. Salah satu perubahan luas menyangkut badan perwakilan rakyat. Status MPR diubah dari organ alat kelengkapan Negara yang dianggap sebagai lembaga tertinggi menjadi sejajar dengan alat kelengkapan Negara lainnya. MPR bukan lagi satu-satunya yang menyelenggarakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Wewenang MPR pun dirubah. Ketentuan baru tidak mengenal GBHN yang selama ini ditetapkan MPR. MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung melalui pemilihan umum. Dan berbagai perubahan lain. Demikian pula berbagai perubahan pada DPR. Misalnya wewenang membentuk undang-undang, cara pengisian anggota DPR, dan lain-lain. Selain perubahan-perubahan ketentuan mengenai MPR dan DPR, dibentuk pula Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai badan perwakilan tingkat pusat yang baru. DPD dibentuk untuk meningkatkan peran serta daerah dalam pengelolaan Negara khususnya pembentukan undang-undang dan pengawasan 10
Enunsiatif adalah salah satu upaya untuk mengetahui jabatan yang wajib menyimpan rahasia dengan dirinci, tetapi tidak lengkap sehingga praktik dapat mengisinya, Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 16., lihat juga Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 49. 11
Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan,. hlm. 44.
4
terhadap jalannya pemerintahan, termasuk gagasan membentuk sistem dua kamar. Teteapi dari berbagai peruabahan tersebut, tidak selalu ada kesejajaran antara gagasan dan realitas. DPD lebih nampak sebagai badan komplementer DPR dari pada sebuah kamar dalam sistem dua kamar.12 Seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1), maka majelis terdiri dari seluruh anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongn-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.13 Pada Pasal 19 Undang-Undang Dasar 1945 Pra Amandemen menetapkan bahwa susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan dengan undang-undang. Menurut Mohamad Yamin, bahwa yang penting Dewan Perwakilan Rakyat itu harus diatur dengan Undang-Undang, sedangkan mengenai anggotanya bisa dipilih atau diangkat. Bila diperhatikan sebutan Dewan Perwakilan Rakyat itu, maka badan itu seharusnya di isi dengan anggota-anggota yang dipilih, karena mereka itulah wakil-wakil rakyat. Tetapi harus diakui bahwa diantara rakyat Indonesia masih terdapat golongan yang tidak dapat melakukan pemilihan berhubung dengan kedudukannya yaitu golongan Angkatan Bersenjata. 14 Untuk memahami lembaga negara yang meliputi definisi, konsepsi dan pelembagaannya harus berpijak pada paradigma baru sistem ketatanegaraan yang
12
Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta, FH-UII Press, 2003), hlm. 3. 13 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cet.2, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1998), hlm. 156. 14
Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan, hlm. 71.
5
telah diwujudkan dalam perubahan UUD 1945 sebagai manifestasi dari kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. 15 Bab III UUD 1945 mengatur tentang kekuasaan pemerintahan negara. Isinya di satu segi menggambarkan proses dan sistem pemerintahan negara. Bahkan sebelum diadakan perubahan pertama (tahun 1999), pengertian pemerintahan negara dalam Bab III Pasal 4 sampai meliputi fungsi legislatif dan eksekutif sekaligus. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang asli yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”. 16
Namun setelah perubahan pertama Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, mulai diadakan pergeseran kekuasaan legislatif dengan mengalihkan lebih banyak peranan dalam membentuk undang-undang dari kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 5 ayat (1) yang semula berbunyi seperti di atas, diubah menjadi: ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal 20 ayat (1), sebaliknya menentukan, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UndangUndang.”. 17
15
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan ..hlm. x.
16
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 38. 17
Ibid, hlm. 39.
6
Pada lembaga legislatif, kontrol Dewan Perwakilan Rakyat dikuatkan terhadap presiden. Struktur lembaga legislatif juga diubah dari awalnya relative unikameral (dengan dominasi kewenangan ada di tangan lembaga tertinggi MPR) menjadi bikameral. Meskipun DPD sebagai upper house mempunyai kewenangan kontitusional yang amat terbatas. Sehingga yang tercipta adalah bikameral yang lemah (weak bicameralism atau soft bicameralism). 18 Salah satu reformasi di bidang legislatif yang paling mengemuka adalah reformasi relasi struktural dan fungsional antara DPR dan DPD. 19 Konsep bukanbukan itu pula yang kita pastikan pada sistem parlemen sekarang bukan unikameral, tetapi bukan pula bikameral, tetapi cenderung trikameral. Lebih tepatnya, sistem trikameral lebih didominasi kekuatan DPR.
20
Saldi Isra
berpendapat bahwa amandemen-amandemen tersebut tidak menghasilkan sebuah parlemen bikameral, tetapi justru menciptakan sebuah parlemen trikameral yang aneh, dengan MPR, DPR, dan DPD. 21 Menurut Abdul Ghani, bahwa eksekutif tidak boleh mendominasi legislatif. Eksekutif tidak boleh mendominasi yudikatif. Prioritas amandemen ini adalah untuk memberdayakan MPR dan DPR. Ini artinya, kalau tidak cukup
18
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta: Buku Kompas, 2008), hlm. 7. 19
Ibid., hlm. 12.
20
Ibid., hlm. 17.
21
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 373.
7
kekuasaan-kekuasaan DPR harus ditambah, kalau kekuasaan presiden terlalu besar, harus dibatasi. 22 Perubahan pertama juga membatasi kekuasaan yudisial presiden dan memberi DPR lebih banyak pengaruh dalam masalah hukum dan kehakiman. Amandemen Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa presiden harus mendengarkan saran-saran DPR sebelum memberikan amnesti atau abolisi. Selain itu, amandemen Pasal 14 ayat (1) juga mengharuskan presiden untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan Mahkamah agung sebelum memberikan grasi dan rehabilitasi. 23 Sejak amandemen, DPR menjadi sebuah lembaga legislatif yang digdaya. Menurut Saldi Isra, amandemen-amandemen itu bahkan telah melahirkan DPR yang unggul. 24 Berkaitan dengan hubungan Islam dan negara di era modern ada tiga pandangan, yaitu teokratis (Islam sebagai agama dan negara seperti Arab Saudi dan Iran), sekuleris (agama dipisahkan dari negara, seperti Turki), dan fiqih (mutual legalitas agama dan negara seperti agama, seperti Indonesia). Dua pandangan pertama bisa disebut dengan pendekatan ideologis dalam hubungan Islam dan negara. Pandangan pertama melihat bentuk negara teokratis sebagai negara bentuk negara ideal yang harus diperjuangkan, sedangkan pendangan kedua berjuang mewujudkan bentuk negara sekuler sebagai model idealnya. Kedalam pendekatan ideologis dapat ditambahkan kelompok komunis yang 22
Ibid, hlm. 195.
23
Ibid., hlm. 197.
24
Ibid., hlm. 369.
8
mendukung negara komunis yang mendukung bentuk negara ideal sebagai komunis. 25 Pandangan ketiga yang dikenal sebagai pendekatan fiqih mengenai hubungan Islam dengan negara meyakini bahwa negara dan agama harus saling memberi legimitasi. Sementara itu, dalam rezim-rezim politik timur tengah memang cenderung konservatif dan menentang perubahan kearah sistem nilai non-Islami, termasuk demokrasi, tetapi penolakan ini, walaupun tak diakui secara resmi, hanya berkaitan dengan kepentingan jangka pendek, yakni mempertahankan status dan kekuasaan serta hak-hak istimewa yang melekat ada raja, sultan, amir, ataupun presiden. 26 Selain menjelaskan teori al-Madinah al-Fadhilah, negara ulama, Ibnu Farabi mengungkapkan konsepsi negara jahiliyah yang terdiri dari empat kategori. Pertama, rezim timokrasi yang yang mengutamakan kehormatan dan kewibawaan. Kedua sistem plutokrasi yang berdasarkan kekuasaan atas dasar kekayaan. Sistem ini mengutamakan kepentingan kelompok elit konglomerat berdasarkan kalkulasi besarnya kekayaan. Ketiga sistem tirani yang mengutamakan pemimpin tiran, militer. Keempat demokrasi yang mengutamakn perwakilan mayoritas. Mesipun farabi menyebut keempat model sistem pemerintahan tersebut sebagai sistem yang buruk. Di tengah pusaran pasar global, demokrasi yang disuarakan dengan lantang oleh negara-negara barat dewasa ini dimaknai dengan spirit kapitalisme, 25
Bagir, Haidar, “Islam dan Politik : Indonesia Menuju Demokrasi Yang Yang Lebih Baik”, dalam Jurnal al-Qurba, Vol. 2 No. 1, (Oktober 2011), hlm. 31. 26
Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. Vii.
9
bukan yang lain. Demokrasi dalam prinsipnya yang universal seperti kebebasan (liberty), dan kesetaraan (equality) diartikan bingkai kepentingan negara maju terhadap dunia ketiga. 27 Kemenangan revolusi Islam Iran menandai sebuah babak baru sistem politik Islam modern. Namun hingga kinipun sebagian kalangan masih menilai sistem pemerintahan republik Islam yang diterapkan di Iran sebagai sistem yang tidak demokratis dan rakyat dinilai tidak punya peran besar dalam pemerintahan. Namun sebagian lainnya justru berpandangan bahwa Republik Islam Iran dengan sistem wilayatul faqih-nya merupakan salah satu negara Islam yang menerapkan sistem demokrasi. 28 Proses demokrasi yang sekarang berlangsung di Iran tidak dapat dipisahkan dari bahasa politik para mullah. Mereka yang memulai revolusi, mereka pula yang memulai demokrasi, proses demokrasi sudah bermula pada dekade pertama revolusi Iran saat Khomeini masih segar dan menentukan jalannya revolusi. Pada waktu itu sudah timbul pemikiran dan tindakan dari beberapa mullah yang mulai menyadari bahwa revolusi berjalan menyimpang dari harapan yang sudah cukup lama terpendam dihati sebagian rakyat Iran. 29 Perubahan-perubahan politik ke arah transisi menuju demokrasi dari ketidakpuasan sejumlah ayatollah sepuh terhadap pondasi ideologis republik Islam Iran. Konsep wilayatul faqih atau pemerintahan oleh para fuqaha adalah 27
Hidayat, Purkon, “Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi”, dalam Jurnal al-Qurba, Vol. 2 No. 1, (Oktober 2011), hlm. 54. 28
29
Ibid. hlm. 55.
Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran Puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 2.
10
inovasi Imam Khomeini yang sesungguhnya tidak pernah mendapat kesepakatan penuh dari sebagian besar ayatollah sepuh di Iran. Menurut keyakinan mereka, konsep tersebut tidak dikenal dalam sejarah syi’ah karena memang sejak Ali terbunuh di padang karbala oeh pasukan yazid hingga revolusi Iran meletus belum pernah terbentuk pemerintahan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip ciptaan Khomeini di atas.30 Di luar Khomeini sesungguhnya terdapat juga ayatollah-ayatollah lain yang juga sangat terkemuka dan memiliki pengikut yang sangat banyak. Tidak jarang para ayatollah ini berbeda pendapat dengan Khomeini, bahkan setelah sepeninggal Khomeini perbedaan pendapat antar ayatollah tidak juga berakhir. Pada awalnya revolusi Iran melahirkan sebuah partai yang dikenal dengan Partai Republik Islam. Inilah partai terbesar di Iran paska revolusi. Namun, sebagaimana kekuatan politik lain di dunia. PRI tidak bebas dari perbedaan pendapat yang kemudian menjurus menjadi konflik antar berbagai faksi di dalamnya yang senantiasa bersaing satu sama lain. Dalam tubuh partai tersebut terdapat dua kekuatan, yakni faksi konsevatif dan faksi kiri Islam atau sering disebut sebagai faksi radikal. Faksi konservatif adalah faksi yang mengendalikan lembaga-lembaga paling strategis dalam pemerintahan Iran seperti dewan para wali, badan pengadilan, dinas intelijen dan keamanan Iran. Faksi konservatif yang didominasi oleh para ulama senior sangat ketat dalam menjalankan pemerintahan. Mereka
30
Ibid., hlm. 2.
11
berpegang teguh pada wilayatul faqih dan cenderung kurang luwes dalam menterjemahkan prinsip-prinsip dasar konstitusi Iran. 31 Sepeninggal Khomeini polarisasi politik yang telah lama terpendam dengan cepat menemukan jalan keluar. Rafsanjani terpilih sebagai presiden mewakili faksi yang paling moderat di Iran pada akhir dekade 80-an. Posisi sebagai ketua majlis32 digantikan oleh Hojjatol Islam Karubi, salah seorang tokoh faksi kiri terkemuka. Sementara itu, hojjatulIslam ali khamenei sebagai pemegang pucuk pimpinan tertinggi para mullah (rahbar) dan oleh karenanya ia pun mendapatkan gelar ayatollah Ali Khamenei. 33 Koalisi antara faksi pragmatis di bawah Rafsanjani dan faksi konservatif di bawah Ali Khamenei juga mendorong perubahan-perubahan besar dalam pemilihan majelis Iran tahun 1992. Dewan para wali yang memiliki kekuasaan sangat besar dengan sengaja mencoret nama-nama calon anggota majelis dari faksi kiri. Kubu kiri menentang diskualifikasi yang dilancarkan dewan para wali yang mereka pandang otoriter. 34 Perubahan ini sangat menentukan jalannya proses ploitik di Iran karena dengan dikuasainya majlis oleh faksi konservatif mereka memiliki peluang untuk
31
Ibid. hlm. 24.
32
Di Negara Republik Islam Iran terdapat dua Majelis sebagai Lembaga Legislatif, di antaranya Majles-e-Shura-e-Islami (Parlemen, perancang Undang-Undang ) dan Maljes-eKhubragan (Majelis Ahli, memilih dan memberhentikan Imam –Pemimpin-). 33
Ibid. hlm. 26.
34
Ibid. hlm. 29.
12
menentukan jalannya pemerintahan Iran diperkuat dukungan yang mereka peroleh dari ayatollah Khamenei selaku pemimpin tertinggi ulama syi’ah Iran.35 Terkait dengan perbedaan di atas, penyusun tertarik untuk meneliti, membandingkan dan mencari titik temu antara Hukum Tata Negara Indonesia dan Hukum Tata Negara Republik Islam Iran. Kewenangan DPR era reformasi yang telah berubah drastis dari sebelumnya, dengan perubahan sistem dan mekanisme checks and balances di dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia serta diterapkannya wilayatul faqih di Negara Republik Islam Iran sebagai konsep pemerintahannya.
B. Pokok Permasalahan Dari latar belakang di atas, agar dalam pembahasan tidak terlalu melebar, maka penyusun membatasi pada beberapa persoalan, di antaranya adalah : 1. Bagaimanakah perbandingan kewenangan antara DPR era reformasi di Indonesia dan Majelis Syura Islami di Republik Islam Iran ? 2. Bagaimana perbandingan hubungan tata kerja dalam susunan dan kedudukan dalam UUD 1945 antara DPR era reformasi di Indonesia dan Majelis Syura Islami di Republik Islam Iran dengan lembaga lain ?
C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan penyusunan skripsi ini di antaranya adalah :
35
Ibid., hlm. 30.
13
1. Mendiskripsikan perkembangan politik pemerintahan di dalam lembaga legislatif antara DPR era reformasi dan Majelis Shura-e Islami. 2. Mengetahui perbandingan dan persamaan antara kekuasaan DPR era reformasi dan Majelis Shura-e Islami. Kemudian kegunaan penyusunan dintaranya adalah : 1. Bagi ilmu pengetahuan sejarah bisa memberikan wacana sejarah dalam hukum tata negara di Indonesia dan Republik Islam Iran . 2. Bagi pengembangan politik Islam, yaitu memperkaya khazanah pemikiran Islam, khususnya dibidang kajian fiqih siyasah. 3. Bagi kehidupan secara umum, yaitu memberikan kontribusi pemikiran tentang lembaga-lembaga legislatif sebagai bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yang lain.
D. Telaah Pustaka Hasil pengamatan penyusun, sebenarnya sudah banyak pembahasan yang mengatur tentang ketatanegaraan di Indonesia dan bukanlah hal yang baru, Cukup banyak buku yang menjadi literatur dalam pembahasan ketatanegaraan Indonesia. Diantara penyusun yang sudah berhasil telusuri di antaranya adalah : Buku yang membahas tentang lembaga negara yang ditulis Firmansyah Arifin, dkk berjudul Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Dalam buku ini merupakan hasil penelitian terhadap keberadaan lembaga-lembaga negara pascaamandemen UUD1945. Yang pertama adalah proses perubahan UUD 1945 telah menyusun struktur ketatanegaraan baru,
14
dengan prinsip cheks and balances dalam pelaksanaan kekuasaannya, yang kedua dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai badan kekuasaan kehakiman selain Mahakamah
Agung
dengan
kewenangannya
menyelesaikan
sengketa
antarlembaga negara. Kemudian dalam buku karya Bagir Manan, dengan judul DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, adalah buku yang membahas tentang perubahan dalam kewenangan lembaga legislatif, yang dijelaskan dalam setiap pasalpasalnya pada amandemen UUD 1945. Buku karya Jimly Asshiddiqie, judul Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, membahas tentang teori konstitusi, dan seputar konstitusi yang berkembang di era sekarang, serta perkembangan konstitusi indonesia dan lembaga-lembaga negara. Buku ini banyak menjelaskan tentang teori-teori permasalahan seputar hukum, perundangan-undangan dan lembaga negara. Kemudian dalam buku seputar ketatanegaraan Republik Islam Iran di antaranya adalah Bambang Cipto, yang berjudul Dinamika Politik Iran Puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatami, membahas tentang gejolak pemerintahan Iran dimasa presiden Rafsanjani dan presiden Khatami. Gejolak yang bersamaan dengan pembangunan demokrasi di Negara tersebut, adalah gejolak antara Dewan Pengawal dan Dewan Parlemen (Majelis Shura Islami). Kemudian Akhmad Satori dengan judul Sistem Pemerintahan Iran Modern Konsep Wilayatul Faqih Imam Khomeini Sebagai Teologi Politik Dalam Relasi Agama dan Demokrasi, buku ini menjelaskan politik yang berkembang di
15
negara iran disaat masa penetapan dan penggunaan konsep Wilayatul Faqih hingga setelah amandemen Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran. Karya Imam Khumaini yang berjudul Pemikiran Politik Islam dalam Pemerintahan Konsep Wilayah Faqih sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, yang menjelaskan tentang pemikirannya dalam kebutuhan akan terbentuknya dan terpeliharanya institusi politik Islam, dengan kata lain para ulama (fuqaha) untuk membentuk negara Islam, dan mengambil peran dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep tentang pemerintahan yang dikepalai oleh seorang faqih (Wilayatul Faqih) yang dilandasi oleh penegakan yang religious (penegakan ajaran-ajaran Islam). Untuk membuktian keaslian dari penulisan karya ilmiah ini dan tidak terjadinya duplikasi dari karya orang lain, penyusun telah berhasil menelusurinya, di antaranya adalah skripsi milik Yudi Hardeos dengan judul Hubungan Antar Lembaga
Negara
(Kajian
Pemikiran
Montesquieu
dan
Al-Maududi),
pembahasannya seputar telaah pemikiran dari mereka. Montesquieu menggunakan prinsip teori trias politica yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif sedangkan alMaududi menggunakan prinsip khilafah sebagai eksekutif, ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai anggota dewan perwakilan dari rakyat dan pengadilan Islam sebagai lembaga yudikatif dengan dipimpin qodhi’. Kemudian skripsi dari Nurhalis dengan judul Lembaga Negara Dalam Perspektif Fiqh Siyasah Studi Terhadap Tugas dan Wewenang MPR dan DPR Dalam UUD 1945 Pasca Amandemen, pembahasannya tentang legislatif negara MPR dan DPR, yang telah terjadi perubahan struktur kelembagaan negara pasca
16
amandemen dengan pemisahan kekuasaan dengan sistem checks and balances di semua lembaga negara. Kemudian dalam fiqh siyasah dikenal adanya ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai pisau analisisnya. Dari skripsi dari Putri Kumala Tsani dengan judul Sistem Pemerintahan Wilayah Al-Faqih ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan Islam (Studi Kritis Terhadap Sistem Pemerintahan Wilayah al-Faqih dan Konstitusi Negara Republik Islam Iran Ditinjau Dari Nilai Nilai Ketatanegaraan Dalam Al-Qur'an. Membahas konsep wilayatul faqih yang dipakai oleh ketatanegaraan Republik Islam Iran dalam sudut pandang al-Qur’an, bahwa seorang faqih adalah seorang pemimpin agama juga sebagai pemimpin Negara. Dan skripsi Ahmad Syukron Jazuly yang berjudul Sistem Presidensial : Komparasi Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 dan Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran, pembahasannya tentang perbandingan sistem pemerintahan negara yang dipakai pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Republik Islam Iran. Konsep yang digunakan Indonesia adalah trias politica sedang Iran menggunakan wilayatul faqih. Dari karya ilmiah di atas belum ditemukan pembahasan tentang perbandingan kewenangan legislatif antara DPR Era Reformasi dan Majelis Shura Islami Republik Islam Iran.
E. Kerangka teoritik Selanjutnya untuk mempertajam dan menghindari deskripsi dan eksplanasi yang kurang penting, penyusun akan menggunakan kerangka teori sebagai
17
panduan dan pembatas. Lebih dari itu, kerangka teori ini juga penting untuk mempertajam kepekaan dalam melihat data. Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa inggris disebut the rule of law atau dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Pembatasan itu dilakukan
dengan
hukum
ini
yang
kemudian
menjadi
dasar
paham
konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum juga disebut negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.36 Pembentukan lembaga negara akan selalu terkait dengan sistem penyelenggaraan negara, yang di dalamnya termuat antara fungsi setiap organ yang di bentuk dan hubungan-hubungan yang dijalankan. Dalam konteks itu, paling popular dan banyak diadopsi berbagai negara adalah konsep trias pilitika. Yang dikemukakan oleh John Locked dan Baron De Montesquie membagi kekuasaan negara dalam tiga macam, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurut montesquie, ketiga jenis kekuasaan tersebut harus dipisahkan satu sama lain (separation of power), baik fungsi maupun organ yang menyelenggarakannya37. Para ahli biasa menggunakan pula istilah pembagian
36
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,,,, hlm. 11.
37
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Lembaga, …. hlm. 15.
18
kekuasaan sebagai terjemahan division of power atau distribution of power.38 Separation of power di artikan oleh O. Hood Phillips dan yang lainnya sebagai the distribution power of geverment among different organs. Dengan perkataan lain, kata separation of power diidentikkan dengan distribution of power. 39 Dalam demikian, dapat dibedakan penggunaan istilah pembagian dan pemisahaan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kukuasaan yang bersifat horizontal atau vertical. Dalam konteks vertical, pemisahaan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state). 40 Untuk membatasi pengertian separation of power itu, dalam bukunya Constitutional Theory, G. Marshall membedakan ciri-ciri doktrin pemisahaan kekuasaan itu kedalam lima aspek, yaitu; 1. Differentiation. 2. Legal incompatibility of office holiding. 3. Isolation, immunity, independence. 4. Cheks and balances. 5. Co-ordinate status and luck of accountability.
38
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata….hlm. 18.
39
Ibid., hlm. 19.
40
Ibid., hlm. 20.
19
Pertama, bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial; kedua, menghendaki orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislatif.; ketiga, masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ lain; empat, adanya prinsip cheks and balances, dimana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang lain; kelima, prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga (tinggi) negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif, mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu dengan yang lain. 41 Implementasinya dari pemisahan kekuasaan dilakukan dengan membentuk organ-organ
negara
yang
memiliki
kewenangan
berbeda
tetapi saling
berhubungan sehingga dapat mencegah terjadinya dominasi satu cabang kekuasaan.42 Salah satu gagasan perubahan yang ketika itu ditawarkan adalah usulan tentang sistem dan mekanisme cheks and balances di dalam sistem poitik dan ketatanegaraan. Usulan itu penting artinya karena selama era dua orde sebelumnya dapat dikatakan bahwa cheks and balances itu tidak ada. Selama orde baru, tak pernah ada RUU dating inisiatif dari DPR. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam membuat, melaksanakan dan menafsirkan UU menjadi begitu kuat di dalam
41
Ibid., hlm. 21.
42
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan,..hlm 15.
20
sistem politik yang executive heavy karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan UU. 43 Yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukkan sistem cheks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan anatara presiden dan DPR, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR.44 Cabang kekuasaan legisatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. 45 Para pakar hukum Islam sepakat bahwa perlu adanya batasan antara kekuasaan dengan masyarakat, sehingga mungkin seimbang antara kekuasaan penguasa dan kebebasan masyarakat.46 Al-ustad al-Imam berkesimpulan adanya kewajiban bermusyawarah atas para pemimpin dan member nasehat, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dalam Islam wajib dibentuk seraya berkomentar “sesungguhnya menasehati dan bermusyawarah itu tidak akan sempurna kecuali membentuk badan musyawarah dan penasehat,
43
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2007), hlm. 56. 44
Ibid., hlm. 66.
45
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, hlm. 32.
46
Abdul Wahhab Khlmlaf, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainuddin Adnan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994),hlm. 17.
21
karena peran ulama tidak akan menjadi luas kecuali dengan lembaga itu”.
Jika itu merupakan kewajiban atas pemimpin dan rakyat, maka lembaga tersebut tidak akan sempurna kecuali dengan bantuan para ahli. 47 Abu al A’la al-maududi membagi kekuasaan dalam tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif. Menurut maududi bahwa pemegang kekuasaan dalam pemerintahan dalam Islam harus bertanggung kepada rakyat dan Tuhan sebagai pemilik kekuasaan mutlak terhadap kekuasaan tersebut, sehingga pendapat Maududi tentang pemerintahan tersebut dinamakan teo-demokrasi, artinya disamping pemegang kekuasaan tersebut harus bertanggung jawab kepada rakyat juga bertanggung jawab kepada Tuhan.48 Bahwasanya kekuasaan dan kedaulatan hukum tertinggi di dalamnya adalah sepenuhnya bagi Allah sendiri sampai batas yang bersesuaian dengan teori teokrasi, sebagai ganti keistimewaan suatu kelas tertentu dari kaum pendeta atau kaum sesepuh dan lain-lainnya berkenaan dengan perwakilan dari Allah. Menurut Mubarak berpendapat bahwa sistem pemerintahan dalam Islam ialah pemerintahan yang tegak atas prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang di bawa Islam, karena al-qur’an dan as-sunnah tidak mengharuskan untuk mengikuti satu bentuk-bentuk pemerintahan yang bagian dan perinciannya telah ditetapkan.49
47
Ibid., hlm. 20.
48
Abu al A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 245-249. 49
Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Islam, alih bahasa Firman Harianto, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 55.
22
Prinsip-prinsip tersebut meliputi : 1)
Prinsip amanah,
2)
Prinsip keadilan (keselarasan),
3)
Prinsip ketaatan (disiplin),
4)
Prinsip musyawarah untuk mufakat dengan referensi alqur’an dan as-sunnah.
Prinsip-prinsip inilah yang merupakan landasan tegaknya bangunan negara dan sistem pemerintahan.50 Menurut imam Khomeini pemerintahan Islam bersifat konstitusional dalam arti bahwa penguasa tunduk pada serangkaian persyaratan dalam memerintah dan mengatur negara, yakni ditetapkan al-qur’an dan as-sunnah. Hukum-hukum dan ajaran Islam itulah yang harus dijalankan. Karena itu pemerintahan Islam dapat di katakan sebagai hukum Allah atas manusia.51 Sementara itu, Khomeini mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam sebagai sistem yang berdasarkan (mengaplikasikan) hukum Ilahi (Tuhan) atas manusia (makhluk), dalam serangkaian kuliahnya di Najaf pada tahun 1970 mengatakan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam dibutuhkan adanya lembaga-lembaga politik yang dapat memberikan efek sistematika praktis pada syari’at dan faqih harus berperan utama dalam pemerintahan itu, Khomeini juga
50
Umarudin Masdar, Membaca Pemikiran Gusdur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Januari 1999), hlm. 13. 51
Ayatollah Ruhullah Khomeini, “Sebuah Pandangan Tentang Pemerintahan Islam “ dalam Salim Azam (ed,), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, cet. ke-2, (Bandung : Mizan 1990), hlm. 127-128, bandingkan dengan Imam Khomeini, “Sistem Pemerintahan Islam”, alih bahasa Muhammad Anis Maulachela, (Jakarta: Pustaka Az-Zahra, 2002), hlm. 47.
23
mengatakan bahwa untuk melaksanakan dan menegakkan hukum diperlukan kekuasaan eksekutif. Walaupun
Khomeini
tidak
membahas
spesifik
tentang
struktur
institusional pemerintahan Islam akan tetapi perkataannya tersebut di atas mengindikasikan bahwa di satu pihak Khomeini menekan adanya pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. dipihak lain, dibuat ketentuan agar ulama bisa mengawasi dengan seksama aktifitas pemerintahan dan jabatan faqih dilembagakan.52 Menurut Nashiruddin Thusi, adanya dua kelompok unsur dalam pemikiran-pemikiran politik. Yakni, ada pemikiran politik yang merupakan bagian dari kategori filsafat politik: pemikiran ini mengandung pemikiran asasasas statis (ushul tsabitah). Ada pula pemikiran politik yang pada umumnya bagian dari fikih politik dan dinamis seiring dengan perubahan kondisi, masa, keragaman bangsa, dan negeri. Asa-asas statis dalam pemikiran dan pandangan imam Khomeini yang sesuai dengan kebutuhan zaman di antaranya adalah53 1)
Asas tugas,
2)
Asa maslahat Islam,
3)
Asas maslahat muslimin,
4)
Asas dakwah Islam,
5)
Asas antidominasi asing,
52
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, III:221 lihat Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, hlm 23. 53
Akbar Najaf Lakza’i, Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini, alih bahasa Muchtar Luthfi, (Jakarta: Shadra Press, 2010), hlm. 133.
24
6)
Asas yang terpenting di atas yang penting,
7)
Asas kadar kesanggupan,
8)
Asas keadilan,
9)
Asas keniscayaan pemerintahan,
10)
Asas kepemimpinan Ilahi,
11)
Asas kebertahapan,
12)
Asas ruang dan waktu,
13)
Asas ijtihad.
Dalam pandangan syi’ah, kepemimpinan berpangkal pada konsep wilayah dan imamah. Wilayah adalah konsep luas yang juga meliputi imamah dan Wilayah bathiniyah, sedangkan imamah adalah kepemimpinan dan pemerintahan dalam urusan dunia dan agama, seperti yang terdapat pada diri nabi Muhammad SAW dan para imam sesudah nabi.54 Dengan demikian, teori Wilayah Al-Faqih muncul yang merupakan kelanjutan dari doktrin imamah, karena ia melaksanakan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat, berbeda dengan diangkatnya imam oleh Allah. Tetapi faktor utama kekuasaan individu seorang pemimpin kharismatis tetap tidak berubah.55
54
Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Kontemporer, (Yogyakarta: Ide Pustaka, 2009) hlm. 150. 55
Ahmad Mousavi, Teori Wilayat Al-Faqih: Asal-Usul Dan Penampilan Dalam Literature Hukum Syi’ah Dalam Masalah-Masalah Teori Politik Islam, alih bahasa Enna Hadi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129.
25
F. Metode Penelitian Dalam
rangka
untuk
memperoleh
kajian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka penelitian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka yang ada relefansinya dengan masalah yang dibahas. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif56-analitik, yaitu menggambarkan dan menguraikan pokok permasalahan yang diteliti secara proporsional dengan sistem pemerintahan yang digunakan melalui proses analisis. 3. Pendekatan Pendekatan yang peneliti gunakan untuk memperoleh kejelasan dari pemahaman yang diajukan dalam skripsi ini, untuk memperoleh pengetahuan yang benar, adalah, pendekatan normatif57-komparatif58. Yaitu pendekatan yang mengacu pada konstitusi dan sistem pemerintahan kemudian membandingkan dari keduanya yang mempunyai kaitan dengan masalah penelitian.
56
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
57
Ibid., hlm.13.
58
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 132.
hlm. 8.
26
4. Tehnik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengumpulan data yang diambil dari buku-buku yang secara langsung berbicara permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data yang secara tidak langsung membicarakannya namun relevan untuk dikutip sebagai pembanding. 5. Analisis Data Metode yang dipakai dalam menganalisa data supaya diperoleh data yang memadai dalam penelitian ini menggunakan analisis komparatif. Yaitu membandingkan kelembagaan di parlemen Indonesia dan Republik Islam Iran. Dalam hal ini penyusun akan mengkaji DPR era reformasi dan majles e-syura-e-Islami, yang sangat berkaitan dengan latar belakang kekuasaan dan hak-hak dalam menurut konstitusi. Disitulah penyusun akan mengkaji persamaan dan perbedaan diantara keduanya.
G. Sistematika Pembahasan Agar diperoleh bentuk tulisan ilmiah, efektif dan kronologis, penjabaran skripsi ini dalam pembahasannya terbagi menjadi dalam beberapa bab dan tiap bab terbagi atas sub-sub bab dengan perincian sebagai berikut: Bab pertama adalah pendahuluan merupakan penguraian yang terdiri dari tujuh sub bahasan yaitu, pertama, latar belakang masalah yang memuat alasanalasan masalah yang akan diteliti. Kedua, pokok permasalahan merupakan penegasan permasalah dari latar belakang. Ketiga, tujuan dan kegunaan, tujuan
27
dan kegunaan dalam penulisan skripsi. Keempat, telaah pustaka, yaitu berisi literature yang telah ada sebelumnya dan yang ada kaitannya dalam penyusunan skripsi ini. Kelima, kerangka teoritik, yang digunakan dalam kerangka berfikir dalam memecahkan masalah. Keenam, metode penelitian, penjelasan dalam pengumpulan dan menganalisis data.
Ketujuh,
sistematika pembahasan,
merupakan akhir dalam sub bahasan yang bertujuan supaya penelitian yang dilakukan menjadi terarah dan sistematis. Bab kedua menguraikan tentang kewenangan (kekuasaaan) DPR era reformasi, bab ini akan membahas mengenai pembatasan kekuasaan DPR era reformasi yang terdiri dari lima sub bahasan di antaranya, pertama, ruang lingkup pembatasan negara, memuat tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan negara, kedua, definisi DPR, memuat tentang pengertian dewan perwakilan rakyat sebagai legislatif dilihat dari segi norma hukum, ketiga, sejarah DPR, berisi tentang terbentuknya dewan perwakian rakyat di Indonesia saat kemerdekaan hingga pasca reformasi yang tediri dari tiga bahasan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat era orde lama pada awal kemerdekaan, Dewan Perwakilan Rakyat era orde baru, dan Dewan Perwakilan Rakyat era pasca reformasi, keempat kedudukan dan hubungan kerja legislatif, memuat tentang hubungan tatakerja
antar lembaga, yaitu
hubungan kerja dengan eksekutif dan yudikatif menurut undang-undang, kelima wewenang DPR, berisi tentang kekuasaan sebagai fungsi control kepada eksekutif dan wewenang atau hak-hak yang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat yang berdasarkan undang-undang, Sehingga dari penjelasan dari Bab II ini dapat
28
diketahui secara garis besar mengenai awal konsep kewenangan badan Negara, sejarah terbentuknya, hingga hak dan kewajiban DPR era reformasi. Bab ketiga menjelaskan seputar parlemen Republik Islam Iran (Majelis Shura Islami), yang terbagi dari lima sub bab, di antaranya adalah, pertama, ruang lingkup negara Republik Islam Iran, yang menjelaskan tentang konsep wilayatul faqih sebagai konsep pemerintahan, serta beberapa penjelasan munculnya konsep wilayatul faqih, kedua, sejarah negara syi’ah Republik Islam Iran, berisi tentang awal sejarah perkembangan syi’ah setelah sahabat Ali terbunuh hingga sampai menjadi negara Republik Islam Iran. Disini menjelaskan tentang beberapa Dinasti Syi’ah yang berkembang setelah pertempuran dengan muawiyah kemudian menetap di Persia (Iran) hingga terbentuk negara Republik yang melepaskan kekerajaannya. ketiga, legislatif Republik Islam Iran, yang memuat tentang beberapa majelis di negara Republik Islam Iran. Penjelasan disini adalah menerangkan tiga legislatif yang termuat dalam undang-undang. Di antaranya adalah Majelis Shura Islami, Majelis Ahli, dan Dewan Wali. Keempat, kedudukan parlemen Republik Islam Iran, menjelaskan tentang kekuasaan Majelis Shura Islami sebagai parlemen berdasarkan undang-undang. Disini penjelasannya meliputi kekuasaan ketiga legislatif. Kelima, kedudukan dan kewenangan parlemen Republik Islam Iran. Parlemen yang dimaksud adalah Majelis Shura Islami, karena setelah amandemen UUD Republik Islam Iran tahun 1989 parlemen sudah dipegang sepenuhnya oleh Majelis Shura Islami. Bab keempat, analisis komparatif tentang DPR era reformasi dan Majelis Shura Islami Republik Islam Iran dengan memperhatikan antara kedua pandangan
29
dan latar belakang yang mempengaruhi keduanya. Dalam menganalisis kedua pandangan tersebut, penyusun menggunakan metode analisa komparatif, yaitu metode analisis perbandingan. Konsentrasi pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada sumber dan dasar pijakan, sifat dan pola konsepsi yang berdasarkan pada undang-undang yang secara khusus memuat tentang legislatif. Dengan demikian, akan ditemukan persamaan dan perbedaan diantara keduanya, baik perbedaan dan persamaan secara prinsip atau nilai-nilai yang terkandung di dalam keduanya maupun perbedaan dan persamaan materi muatan. Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan untuk menjawab pokok-pokok masalah yang telah dirumuskan pada rumusan masalah sebelumnya. Bab ini juga memuat saran-saran yang diharapkan berguna bagi penyusun pribadi serta kesinambungan bagi peneliti selanjutnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan sekaligus menjawab permasalahan yang menjadi pokok kajian pada skripsi ini.
1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Majelis Syura-e Islami Republik Islam Iran mempunyai kewenangan yang sama yang ditetapkan dalam undang-undang, diantaranya adalah membuat undang-undang (fungsi legislasi), menetapkan belanja Negara (fungsi budgeting), dan pengawasan (fungsi control). Legislatif ini sama-sama menetapkankannya dengan lembaga eksekutif, dengan menetapkan bersama menunjukkan bahwa fungsi lembaga tersebut terpisah secara horizontal, dalam pengertian pemisahan kelembagaan. Sehingga presiden mempunyai batasan kekuasaan dalam membuat undang-undang, hanya dapat mengajukan dan menetapkan bersama. Ihwal pembentukan undang-undang adalah wilayah natural lembaga legislatif. Tetapi di Majelis Syura-e Islami Republik Islam Iran setelah penetapan bersama dengan lembaga eksekutif undang-undang harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwalian (pasal
102
103
72), sehingga undang-undang tidak bisa langsung diberlakukan. Sebab wewenang Dewan Perwalian adalah mengawasi Majelis Syura-e Islami dalam
merancang
pembuatan
undang-undang
tidak
keluar
dari
prinsip-prinsip agama dan presep-presep Undang-Undang Dasar atau agama.
No 1. 2. 3.
Kewenangan Fungsi Legislasi Fungsi Kontrol Fungsi Anggaran
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasal 20 ayat (1) Pasal 20A ayat (1) dan (2) Pasal 23
Majelis Shura-e Islami Pasal 71 Pasal 72 Pasal 75
2. Dalam hubungan tata kerja antar lembaga, Dewan Perwakila Rakyat Republik Indonesia dan Majelis Syura-e Islami Republik Islam Iran sudah sesuai dengan prinsip check and balances, karena setiap lembaga dapat mengendalikan
dan
mengimbangi
kekuatan
antar
lembaga
lain,
implementasinya adalah pemisahan kekuasaan antar lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan yang berbeda tetapi saling berhubungan dan dapat mencegah dominasi kewenangan satu lembaga. Prinsip yang dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pemisahan kekuasaan antar lambaga, sehingga koordinasi dan kesederajatan dari semua lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif, mempunyai kedudukan yang sederajat. Sedangkan Republik Islam Iran memakai konsep wilayatul faqih yang gagasannya dimasukkan ke dalam
104
Undang-Undang Republik Islam Iran, dalam prinsipnya menganut sistem demokrasi terikat. Dengan berdasarkan konsep wilayatul faqih, ada upaya atau indikasi ke arah mekanisme check and balances, indikasinya adalah untuk dapat mengimbangi antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi Majelis Syura-e Islami saat meminta persetujuan Dewan Perwalian dengan tujuan bahwa undang-undang yang akan diberlakukan tidak menyimpang atau bertentangan dengan undang-undang dasar atau agama, sehingga Dewan Perwalian dapat menolak atau membatalkannya apabila bertentangan dengan Islam.
B. Saran 1. Seorang wakil harus datangnya dan ditentukan oleh yang diwakilinya, yang dalam hal ini adalah rakyat. Penentuan wakil tersebut dapat dipilih (kalau banyak), maupun diangkat atau ditunjuk saja olah oleh rakyat sendiri. Datangnya wakil tersebut harus dari rakyat yang merupakan kepercayaan rakyat itu sendiri, bukan ditentukan/didatangkan pihak lain yang bukan diwakilinya, kalau datangnya dari pihak lain, maka rakyat akan terus mencurigai atau bahkan akan memusuhi wakil tersebut. 2. Sebagai negara hukum yang berdasarkan UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi dalam Negara Indonesia harus mencerminkan sikap yang lebih
105
progesif-akomodatif dalam bentuk konsensus bersama, demi terciptanya rasa kekeluargaan dan terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Tafsir Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1979. Kelompok Ushul Fiqh / Fiqh Al-Maududi, Abu al A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1993) ___________________, Khilafah dan Kerajaan, alih bahasa Muhammad alBaqir, (Bandung: Mizan, 2007) Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemerintahan Dalam Islam, terj: Firman Harianto, cet. I (Solo: Pustaka Mantiq, 1995) Anam, Khoirul, SHI., MSI., Fikih Siyasah dan Wacana Kontemporer, (Yogyakarta: Ide Pustaka, 2009) Azzam, Salim, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1983) Cipto, Bambang, Dr., M.A., Dinamika Politik Iran puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatami, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Undang-Undang Republik Islam Iran, (Jakarta: t. p, 2003) Khomeini, Ayatollah Ruhullah, “Sebuah Pandangan Tentang Pemerintahan Islam “ dalam Salim Azam (ed), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, cet. Ke-2, (Bandung : Mizan 1990) Khomeini, Imam, Sistem Pemerintahan Islam, terj. Muhammad Anis Maulachela, (Jakarta: Pustaka Az-Zahra, 2002) Lakza’i, Akbar Najaf, Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini, alih bahasa Muchtar Luthfi, (Jakarta: Shadra Press, 2010) Masdar Umarudin, Membaca Pemikiran Gusdur dan Amien Rais Tentang Demokrasi cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Januari 1999) Pulungan, J. Suyuthi, Dr., M.A.,Fikih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997)
106
107
Satori, Akhmad, Sistem Pemerintahan Iran Modern Konsep Wilayatul Faqih Imam Khomeini Sebagai Teologi Politik Dalam Relasi Agama dan Demokrasi, (Yogyakarta, Rausyan Fikr Institute, 2012) Wahhab Khallaf, Abdul, Politik Hukum Islam, alih bahasa Zainuddin Adnan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) Kelompok Lain _______________,Symposium UUD ’45 Pasca Amandemen Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: The Habibie Center,2004) Asshidiqie, Jimly, Prof. Dr. S.H, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Yogyakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) __________________________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi press 2005). __________________________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) Arifin, Firmansyah, dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005)
Handoyo, Hestu Cipto, B., SH. M.Hum., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003). Indrayana, Denny, S.H., LL.M., Ph.D, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, (Jakarta: Buku Kompas, 2008) ___________________, Amandemen UUD Pembongkaran, (Bandung: Mizan, 2007)
1945
Antara
Mitos
dan
Kansil, C.S.T., Drs., S.H., Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, cet.2, (Jakarta: Ghalia Indonesia,) Komisi Yudisial, Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, (Jakarta, Komisi Hukum Yudisia Republik Indonesia, 2009) Kusnadi, Moh., S.H., Bintan R. Saragih, S.H. Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-undang Dasar 1945, cet. 7, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994)
108
Kusnardi, Moh., S.H., Harmaily Ibrahim, S.H., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet 7, (Jakarta: FH Universitas Indonesia, 1994) Lubis, M. Solly S.H., Asas- Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1982) Mahfud MD, Moh., Prof, Dr. S.H., S.U., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2007) ________________, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1998) ________________, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) Manan, Bagir, Prof.Dr. H. S.H, M.CL.DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003) Mansoer, Moh. Tolchah, Dr. S.H., Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977) Marzuki, Peter Mahmud Prof. Dr., S.H.,M.S., LL.M., (Jakarta: Kencana, 2005)
Penelitian Hukum,
Pakpahan, Muchtar, Dr., S.H., M.A., DPR RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994) Sagala, Budiman B. S.H, Tugas dan Wewenang MPR Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982) Subekti, Valina Singka, Menyusun Konstitusi Transisi Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran Dalam Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008) Waluyo, Bambang, S.H., Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002) Windhu, Warsana, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) Lihat Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, Tentang Kedudukan dan Hubungan Tatakerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan Atau Antar LembagaLembaga Tinggi Negara. Kelompok Jurnal Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, III:221
109
Bagir, Haidar, Islam dan Politik : Indonesia Menuju Demokrasi Yang Yang Lebih Baik, dalam Jurnal al-Qurba, Vol. 2 No. 1, Oktober 2011 Hidayat, Purkon, Wilayah Faqih, Sebuah Revisi Demokrasi, dalam Jurnal alQurba, , Vol. 2 No. 1, Oktober 2011 Manan, Bagir, Beberapa Persoalan Paradigma Setelah Perubahan atau Akibat Perubahan UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 2, November 2010 Iskandar, Rusli K., Kedudukan dan Eksistensi Parlemen dalam UUD 1945 Baru, dalam Jurnal Konstitusi, Vol II, No. 1, Juni 2010 Harijanti, Susi Dwi, Reformasi Perwakilan Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2009
TERJEMAHAN
NO
Halaman
Footnote
Terjemahan
BAB III 1
71
132
2
71
133
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka Pada sa'at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu
BIOGRAFI TOKOH
1. Imam Khomeini Lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24 September 1902 – meninggal di Tehran, Iran, 3 Juni 1989 pada umur 86 tahun, sebagai tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung Iran pertama. Lahir di Khomeyn, Iran. Ia belajar teologi di Arak dan kemudian di kota suci Qom, di mana ia mengambil tempat tinggal permanen dan mulai membangun dasar politik untuk melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah Mohammed Reza Pahlavi. Pada 1978 pemerintahan Shah meminta Irak untuk mengusirnya dari Najaf, lalu ia menuju Paris selama sementara profilnya berkembang sebagai refleksi langsung kejatuhan Shah. Peringatan menggelikan yang terkemudian di Persepolis mulai grate dengan orang banyak dan menyusul rangkaian kekacauan keluarga Shah meninggalkan negeri pada Februari 1979, meratakan jalan untuk kembalinya Khomeini dan 'Permulaan Revolusi Islamnya'. Khomeinipun menjadi pemimpin spiritual. Teheran menjadi kursi kekuatan, jauh dari jantung kota Qom. Khomeini meninggal di Teheran pada 3 Juni 1989. 2. Montesquieu Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10 Februari 1755 pada umur 66 tahun, atau lebih dikenal dengan Montesquieu, adalah pemikir politik Perancis yang hidup pada Era Pencerahan (bahasa Inggris: Enlightenment). Ia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur pada diskusi-diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan pada banyak konstitusi di seluruh dunia. Ia memegang peranan penting dalam memopulerkan istilah "feodalisme" dan "Kekaisaran Bizantium" 3. Moh. Mahfud MD Lahir di Madura pada tanggal 13 Mei 1957. Lulus dari jenjang S-1 jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UII, pada tahun 1983. Keresahan dan kegelisahannya ketika melihat hukum selalu diintervensi oleh politik sehingga tidak “supreme” telah membawanya untuk belajar ilmu politik. Program Pasca Sarjana Ilmu Politik di UGM diselesaikannya pada tahun 1989 yang kemudian diteruskan ke program pendidikan doctor (S-3), juga di UGM, hingga lulus tahun 1993 dengan disertasi tentang Politik Hukum. Ia telah banyak menulis buku, makalah, dan aktif menulis artikel di berbagai media massa. Tugas pokoknya selain menjadi dosen, ia pernah memegang jabatan struktural sebagai Pembantu Rektor I dan Direktur Pscasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan pernah menjabat Menteri Pertahanan (Menham) bersamaan saat Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia.
4. Jimly Asshiddiqie Lahir di Palembang pada tanggal 17-04-1956, Pendidikan dasar mengenai di Palembang, tamat/lulus 1973. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1977 – 1982 (Sarjana Hukum). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1984 – 1986, (Magister Hukum). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan Van Vollenhoven Institute, serta Rechts-Faculteit, Universiteit, Leiden, program doctor by research dalam bidang ilmu hukum (1988-1990). Legal Research di Law School of the University of Washington, Seattle, USA, 1989, Post-Graduate Summer Course on Legal Theories, Harvard Law School, Cambridge, Massachussett, 1994. Pengabdian dalam Tugas Pemerintahan dan Jabatan Publik lainnya : Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1981. Sejak tahun 1998 diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, dan sejak 16 agustus 2003 berhenti sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama menduduki jabatan Hakim Konstitusi, sehingga berubah status menjadi Guru Besar Luar Biasa. Guru Besar Luar Biasa Hukum Tata Negara pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sejak 2002; Anggota Tim Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 1988-1993. Anggota Kelompok Kerja Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhankamnas), 1985-1995. Sekretaris Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum (DPKSH)