KEWENANGAN DISKRESI DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI KEPOLISIAN
THE AUTHORITY OF DISCRETION AND LEGAL LIABILITY IN THE IMPLEMENTATION OF POLICE FUNCTION AND TASK
Febriyan, Syukri, Aswanto 1. Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, 2.Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 3.Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat koresponden: Jl. Makio Baji 7, 90222 Makassar, Sulawesi selatan No.Hp: 081241323005, 08992862051 Email:
[email protected]
ABSTRAK Pandangan yang sempit di dalam hukum pidana secara sosiologi akan membawa akibat suatu kehidupan masyarakat menjadi berat, dan tidak menyenangkan, karena segala geraknya di atur dan dikenakan sanksi oleh peraturan dan untuk mengatasi hal itu, maka diserahkan kepada petugas penegak hukum untuk menguji setiap perkara yang masuk di dalam proses untuk dilakukan penyaringan-penyaringan perkara yang dalam hal ini disebut diskresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diskresi dalam menunjang pelaksanaan dan fungsi kepolisian, serta konsekuensi hukum dan moral terhadap penegak hukum yang salah menerapkan atau mengambil kebijakan diskresi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan lokasi penelitian yaitu di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar. Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak-pihak yang terkait, yaitu : Kepolisian Resort Kota Besar Makassar. Dengan menggunakan teknik purposive sampling jumlah keseluruhan responden sebanyak 17 orang. Tindakan diskresi di Polrestabes Makassar menurut data yang diperoleh penulis terungkap bahwa masih banyak perkara ringan yang kurang berarti, kurang efisien dan efektif. Kondisi ini mendorong penyidik mengambil jalan keluar penyelesaiannya secara kompromi, menasehati, memafkan, mendidik, dan perdamaian secara adat istiadat yang tidak bertentangan dengan agama, kesusilaan, hukum dan kesopanan. Ditinjau dari sudut hak asasi manusia pelaksanaan diskresi oleh polisi terkadang menemui pro dan kontra. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa faktor penyebab kesalahan pengambilan kebijakan diskresi oleh penegak hukum dalam hal ini adalah polisi yakni kurang optimalnya profesionalitas dan keahlian polisi, masih lemahnya penegakan hukum, dan kualitas buruk oknum aparat. Untuk mengatasi hal itu, maka tindakan diskresi dibatasi oleh peraturan dan konsekuensi moral yaitu pertama, landasan kode etik dalam pengambilan kebijakan diskresi yaitu peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, kedua konsekuensi praperadilan. Disimpulkan bahwa sejauh ini kebijakan diskresi di Polrestabes Makassar sangat berperan dalam membantu tugas dan fungsi Kepolisian dalam mengatasi jumlah kasus kriminal yang terjadi dan tetap berlandaskan kode etik kepolisian sehingga akan memberikan efisiensi waktu dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar. Kata kunci : Diskresi, pidana, kepolisian ABSTRACT View on the sociology of criminal law will be brought into a society to be heavy and uncomfortable, because every movement on set and sanctioned by the rules and to solve it, then handed over to law enforcement officials to examine every case that goes in the process to do filtering-filtering which in this case is called discretion. This study aims to determine the discretion to support the implementation and functioning of the police, as well as the legal and moral consequences of the wrong law enforcement discretion to apply or take out a policy. This study used a qualitative approach to the study sites in the Great City Police (Polrestabes) Makassar. The population in this study was overall related parties, namely: Big City Police Resort Makassar. By using purposive sampling technique the total respondents were 17 people. Discretionary action in Makassar Polrestabes according to data obtained by the authors revealed that many mild cases that are less meaningful, less efficient and effective. This prompted the investigators took the way out the compromise settlement, advising, forgive, educate, and peace customs that do not conflict with religion, morality, law and decency. Viewed from the angle of human rights enforcement discretion by the police sometimes see the pros and cons. The results of this study revealed that the factors causing errors policymaking discretion by law enforcement in this case is that the police are less optimal professionalism and expertise police, law enforcement is still weak, and the poor quality of local police officers. To overcome this, the act of discretion is limited by the rules and moral consequences: first, the foundation code of ethics in decision-making discretion the police chief regulatory No. 8 of 2006 on Organization and Work Commission's Code of Police of the Republic of Indonesia, both pretrial consequences. It can be conluded that Polrestabes policy discretion in Makassar was instrumental in helping the duties and functions of the police in dealing with the number of criminal cases that occurred and the police still based code of ethics that will provide time efficiency and effectiveness in the public interest is greater. Keywords: Discretion, criminal, police
PENDAHULUAN Keberhasilan penyelenggaraan fungsi kepolisian tanpa meninggalkan etika profesi sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi yang direfleksikan dalam sikap dan perilaku pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya. Apabila berbicara soal diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana, maka akan ditemukan suatu hubungan antara hukum, diskresi, kepolisian, penyidikan dan sistem peradilan pidana. Maka pokok permasalahan yang akan dikaji pada hakekatnya adalah bekerjanya hukum dan diskresi kepolisian itu. Diskresi dimaknakan sebagai “kemerdekaan dan/atau kewenagan dalam membuat keputusan untuk mengambil tindakan yang dianggap tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan (Erlyn, 2000). Diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri (Simorangkir, dkk., 2002). Gayus (2009) mendefinisikan diskresi sebagai kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Barda N.A (1996) menyatakan kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan yakni diskresi tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan social yang menuju pada perlindungan sosial dan kesejahteraan sosial. Ditinjau dari sudut hukum, setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia. Terkait hak sasi manusia, Marcus (2007) berpendapat penyiksaan dijadikan alat untuk mendapatkan pengakuan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa masalah kebijaksanaan polisi yaitu diskresi kepolisian dalam sistem peradilan pidana ini, menarik perhatian penulis untuk meneliti lebih lanjut dan menulisnya, baik dari segi hukumnya maupun dari segi sosiologisnya. Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme menurut Muladi (1995) yaitu: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara berdasarkan atas hukum tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dan menciptakan kehidupan yang aman, damai dan tenteram. Maka salah satu sarana yang digunakan adalah dengan hukum pidana. Oleh karena itu, sifat hukum pidana sangat keras sanksinya. Penulis berpendapat bahwa keterkaitan hukum pidana dengan diskresi yakni, kekuasaan diskresi yang dimiliki polisi justru akan menjadi suatu permasalahan baru apabila polisi mengambil
tindakan
tidak
menegakkan,
tetapi
memaafkan
dan
mengenyampingkan,
menghentikan atau mengambil tindakan lain diluar proses yang telah ditentukan oleh hukum, sehingga dengan kekuasaan itu seolah-olah justru polisilah yang telah melanggar ketentuan asasasas hukum pidana. Hal ini juga sesuai pendapat Susanto (2004) bahwa berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui diskresi dalam menunjang pelaksanaan dan fungsi kepolisian, dan konsekuensi hukum dan moral terhadap penegak hukum yang salah menerapkan atau mengambil kebijakan diskresi.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Sulawesi selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Populasi penelitian adalah seluruh pihak-pihak yang terkait di Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar, Sulawesi selatan yang berjumlah 17 orang yang ditentukan secara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumen, studi pustaka, dan wawancara. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu digunakan untuk menguraikan secara deskriptif dari hasil wawancara mengenai informasi-informasi yang diperoleh untuk mengetahui bagaimana penerapan diskresi dan konsekuensinya terhadap penegak hokum di Polrestabes Makassar.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jumlah responden sebanyak 17 orang dengan rincian 5 responden atau 29,4% tidak paham mengenai kewenangan diskresi dan 12 responden atau 70,5 % memahami tentang kewenangan diskresi.
Pemahaman personel tentang diskresi Dari hasil wawancara dengan 17 responden penelitian dapat disimpulkan bahwa sebanyak 29,4% kewenangan diskresi masih belum banyak diketahui oleh setiap anggota Polri dan bagaimana seorang anggota Polri melakukan diskresi tersebut sedangkan 70,5% anggota Polri hanya tahu tentang diskresi tapi tidak jelas bagaimana melaksanakannya dan apa akibatnya bila diskresi tersebut disalahgunakan. BRIPDA Yunus berpendapat bahwa penggunaan kewenangan diskresi yang dilakukan oleh polisi secara legal saat menjalankan tanggungjawabnya untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum masih juga menimbulkan persoalan yang mengurangi legitimasi polisi. Ketidakselarasan antara teori dan praktik membuktikan bahwa pekerjaan kepolisian mengandung unsur diskriminasi, maka kesimpulannya pada saat penerapan diskresi, kemungkinan di dalamnya terjadi diskriminasi yang disebabkan oleh penggunaan diskresi yang tidak teratur dan terkontrol, sehingga penyalagunaan diskresi seperti ini dapat menjatuhkan wibawa institusi kepolisian. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. mengenai data anggota Polri yang melanggar kode etik profesi, misalnya pelanggaran anggota polisi yang tidak profesional dalam menangani kasus sehingga pihak pelapor merasa keberatan, dan anggota BRIPTU terlibat kasus tawuran antar warga dan mahasiswa palopo dan menyimpan motor orang lain selama 3 bulan. Sanksi putusan terhadap kasus ini yaitu melalui sidang disiplin berupa pindah tugas ke jabatan yang berbeda, proses sidang, maupun penundaan pendidikan selama 1 tahun. Peraturan yang menjadi dasar hukum diskresi oleh polisi Pemberian wewenang diskresi yang biasanya berupa penyaringan perkara di dalam proses didasarkan pada peraturan perundang-undangan maupun atas dasar aspek sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Polrestabes Makassar diperoleh keterangan bahwa setiap anggota kepolisian di Polrestabes Makassar memiliki hak untuk melaksanakan diskresi didalam mencari penyelesaian permasalahan demi kemanfaatan yang lebih luas bagi masyarakat pada umumnya dan komponen sistem peradilan pidana pada khususnya. AKP. Andi Tonra Lipu (Kaur Rapkum Sub Bagkum Bag. Sumda Polrestabes, wawancara tanggal 11 Desember 2012). Penerapan dan pelaksanaan dari diskresi itu sendiri sangat tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan kondisi yang ada di lapangan yang dialami oleh polisi tersebut. Sekalipun diskresi kepolisian bersifat situasional dan subejktif, namun diskresi juga terdapat dasar hukumnya, sehingga bukan asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan dalam
undang undang kepolisian baik yang lama maupun yang terbaru yaitu UndangUndang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 18 yang memberikan kesempatan pada polisi untuk menyelesaikan masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa untuk diberlakukan aturan hukum secara kaku atau bahkan belum terdapat pengaturannya sama sekali. Tentunya hal tersebut memerlukan suatu kebijaksanaan dari polisi itu sendiri, sekalipun undang-undang memberikan kesempatan bagi polisi untuk melakukan diskresi, namun polisi sebagai penyidik di Polrestabes Makassar tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa batas. Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan (Rahardjo, 2003). Persoalan hukum di masyarakat dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa hukum adat, yang berpedoman pada adat kebiasaan yang ada di masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada. Tujuannya untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang lain. Begitu pula penyelesaian perkara atau mengenyampingkan perkara-perkara pidana yang ringan biasanya ditempuh berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis karena apabila dipaksakan berlakunya hukum pidana justru akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga adat kebiasaanlah yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena bagaimanapun juga hal itu dirasa lebih praktis dan lebih murah daripada diselesaikan lewat sistem peradilan pidana. Misalnya saja ditempuh dengan upaya kekeluargaan yang dirasa bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan hubungan yang ada di masyarakat tadi menjadi renggang atau pecah. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa hukum adat yang berlaku di masyarakat juga mempunyai peranan di dalam pelaksanaan diskresi oleh polisi. Penerapan diskresi kepolisian di Polrestabes Makassar Dalam melakukan penyelidikan, peluang-peluang melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang untuk tujuan tertentu bukan mustahil sangat mungkin terjadi (Yesmil,dkk., 2009). Hasil penelitian yang disajikan pada tabel 1. menunjukkan penerapan diskresi oleh anggota Polri yang melanggar kode etik profesi dari tahun 2010 hingga 2011. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh penyidik tentang penerapan diskresi kepolisian pada wawancara penulis dengan pihak kepolisian yaitu penyidik, bapak Suaib, pada hari Rabu 12 desember 2012 dikantor Polrestabes Makassar, dalam kasus yang dijelaskan diatas, pihak penyidik kepolisian memerintahkan kepada tersangka yang tidak ditahan untuk melakukan wajib
lapor. Tujuannya adalah untuk mengontrol keberadaan tersangka yang tidak ditahan guna memastikan proses pidana yang dilakukan penyidik kepolisian dapat berjalan dengan baik. Adapun data yang diperoleh berupa kasus kriminal yang terjadi di tahun 2010 hingga 2011 dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan data pada tabel 2. tampak, bahwa jumlah kasus kriminal yang terjadi di tahun 2010 hingga 2011 mengalami peningkatan 50%, dari jumlah kasus 2010 sebanyak 103 kasus menjadi 162 kasus pada tahun 2011, sehingga jumlah keseluruhan kasus kriminal yang terjadi dari tahun 2010 hingga 2011 sebanyak 265 kasus. Hasil wawancara dengan narasumber AKP. Andi Tonra Lipu (Kaur Rapkum Sub Bagkum Bag. Sumda Polrestabes, wawancara tanggal 11 Desember 2012), menyatakan dari 265 kasus dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kasus yang tidak dapat didiskresi dan kasus yang memungkinkan dapat didiskresi. Kasus yang tidak dapat didiskresi yakni kasus perkosaan, pencabulan, dan pembunuhan. Sedangkan kasus yang dapat didiskresi adalah perjudian, penipuan, atau membawa senjata tajam. Penerapan dan pelaksanaan dari diskresi itu sendiri sangat tergantung pada masalah yang dihadapi juga situasi dan kondisi yang ada di lapangan yang dialami oleh polisi tersebut. Sekalipun diskresi kepolisian bersifat situasional dan subejktif, namun diskresi juga terdapat dasar hukumnya, sehingga bukan asal-asalan saja. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan dalam undang undang kepolisian baik yang lama maupun yang terbaru yaitu UndangUndang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 18 yang memberikan kesempatan pada polisi untuk menyelesaikan masalah di lapangan yang terkadang tidak bisa untuk diberlakukan aturan hukum secara kaku atau bahkan belum terdapat pengaturannya sama sekali. Tentunya hal tersebut memerlukan suatu kebijaksanaan dari polisi itu sendiri, karena jika sudah berada di lapangan terutama di dalam menghadapi situasi yang harus diselesaikan dengan segera, maka akan sulit jika polisi tersebut harus meminta pertimbangan dan pendapat terlebih dahulu kepada pimpinannya yang tidak ikut serta di lapangan tersebut.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di Polrestabes Makassar pada tanggal 10 Desember 2012 terdapat beberapa perkara pidana yang tidak diproses walaupun semua perkara itu merupakan tindak pidana, yaitu pertama, kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetapi pihak kepolisian menggunakan cara mediasi atau damai sehingga perkara tersebut tidak diproses
lebih lanjut. Kedua, tindakan pencurian ringan polisi bisa melepaskan pelakunya apabila pemilik barang yang dicuri ternyata merelakan barang miliknya tersebut. Ketiga, Penjualan barangbarang yang mereknya dipalsukan oleh pedagang asongan walau dianggap pelanggaran, tetapi petugas seringkali tidak menindaknya apabila jumlah yang beredar di masyarakat sedikit dan tidak membahayakan. Keempat, Penghentian penyidikan terhadap pelaku pengerusakan telepon koin untuk diambil uangnya karena pelaku menderita sakit asma yang akut dan uang curiannya tersebut untuk biaya pengobatan penyakitnya. Beberapa contoh perkara tersebut termasuk perbuatan pidana tetapi seringkali dilakukan diskresi oleh penyidik dengan dikesampingkan, karena perkara tersebut terlalu ringan, pihak yang dirugikan tidak menuntut malah memanfaatkannya. Pengeyampingan perkara itu didasari oleh kebutuhan praktek, bukan saja dipandang dari segi hukum semata, tetapi dari kebutuhan sosial budaya setempat serta pembinaan dan bimbingan masyarakat (Hasil wawancara dengan AKP Andi Tonra Lipu. SH selaku Kaur Rapkum Sub Bangkum Bag. Sumda pada tanggal 11 Desember 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan diskresi yang diterapkan di Polrestabes Makassar mendukung tugas dan fungsi kepolisian.. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Budhi (2009) yang juga menunjukkan bahwa kewenangan diskresi mendukung tugas dan fungsi kepolisian dalam menangani perkara baik perkara berat maupun perkara ringan. Hasil penelitian yang dilakukan Soehardi (2008) menyatakan bahwa banyak pekerjaan polisi harus melibatkan diri pada konflik orang lain dan harus menangani berbagai macam perilaku menyimpang, dan terkadang polisi harus menggunakan tindakan diskresi Perkara yang selama ini pernah didiskresikan dalam proses penyidikan di Polrestabes Makassar adalah jenis perkara baik terhadap harta benda (harta), kehormatan, badan jiwa dan lainnya. Sesungguhnya perkara yang menyangkut jiwa manusia merupakan hal yang sulit untuk didiskresikan, namun pada kenyataannya bisa saja terjadi, terutama pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 359 KUHP, yaitu yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan atau kelalaian. Hal ini biasanya karena kecelakaan lalu-Iintas. Walau termasuk tindak pidana, tetapi jalan keluar yang diambil biasanya dengan perdamaian. Meskipun undang-undang memberikan kesempatan bagi polisi untuk melakukan diskresi, namun polisi sebagai penyidik di Polrestabes Makassar tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa batas. Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan (Rahardjo, 2003). Terdapat
pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan diskresi itu. Pelaksanaan diskresi harus sesuai dengan kebijakan dari pimpinan, kebijakan sosial dan kriminal. Sekalipun sangat subyektif tetapi tidak boleh diskriminatif. Adanya diskresi bertujuan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas, jadi tidak dibenarkan jika pelaksanaannya demi memperkaya dan menguntungkan diri sendiri. Dengan demikian maka setiap keputusan terhadap diskresi dapat diminta untuk pertanggungjawabannya. Box (1983) dalam tulisannya yang berjudul Power, Crime and Mystication mengidentifikasi bermacam-macam bentuk kebrutalan (kejahatan) polisi dalam proses penyelesaian perkara
pidana antara lain: (1) membunuh atau menyiksa tersangka; (2)
mengancam, menahan, mengintimidasi dan membuat “catatan hitam” bagi orang-orang yang tidak bersalah, dan (3) melakukan korupsi, antara lain dengan cara menrima suap supaya tidak melakukan atau menjalankan hukum, dan memalsukan data atau fakta atau keterangan dan menghen\tikan pengusutan perkara pidana baik secara langsung atau tidak langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan. Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1), polisi dapat mengambil tindakan lain pada saat penyidikan selain yang telah disebutkan pada aturan perundang-undangan tersebut selama demi kepentingan tugas-tugas kepolisianMeskipun polisi telah diberikan kewenangan oleh undangundang untuk mengambil tindakan lain tersebut tetap saja polisi harus bisa untuk mempertanggungjawabkan atas segala tindakan dan keputusan yang telah diambil di dalam melaksanakan tugasnya. Hal demikian dimaksudkan agar polisi tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, mengingat kewenangan untuk melakukan tindakan lain oleh polisi pada saat penyidikan tersebut demikian luasnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa diskresi kepolisian itu memiliki landasanlandasan hukum, namun para petugas kurang memahaminya. Tindakan mereka untuk menggunakan kebijaksanaan diskresi dalam praktek biasanya berdasarkan situasi dan kondisi yang
dirasakan
sebagai
sesuatu
kebutuhan
untuk
membuat
suatu
kebijakan
yang
bertanggungjawab secara moral dan hukum. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung yang penulis laksanakan di Polrestabes Makassar, dapat diambil kesimpulan tentang faktor penyebab kesalahan pengambilan kebijakan diskresi oleh penegak hukum dalam hal ini adalah polisi yakni Kurang optimalnya profesionalitas dan keahlian polisi, Masih lemahnya penegakan hukum, dan Oknum aparat yang mudah di suap. Oleh karena itu bentuk
pertanggungjawaban seorang personel kepolisian yang melakukan penyimpangan kewenangan atas nama diskresi dapat diselesaikan melalui Komisi Kode Etik Kepolisian. Penyidikan dilaksanakan bukan sekedar didasarkan pada dugaan-dugaan belaka, tetapi suatu asas dipergunakan adalah bahwa penyidikan bertujuan untuk membuat suatu perkara menjadi terang dengan menghimpun pembuktian-pembuktian mengenai terjadinya suatu perkara pidana (Bawengan, 1997).
KESIMPULAN DAN SARAN Sejauh ini kebijakan diskresi sangat berperan dalam membantu Polri mengatasi banyaknya jumlah kasus kriminal yang terjadi, salah satunya dilakukan dengan penyaringan perkara berdasarkan tingkat besar dan kecilnya perkara tersebut. Tindakan diskresi dilakukan berlandaskan kode etik profesi kepolisian dan tidak melanggar hak asasi manusia sehingga penerapan diskresi tetap berada pada batas-batas norma hukum yang berlaku. Polisi dan masyarakat diharapkan lebih memahami tentang tindakan diskresi yang bertujuan mewujudkan agar keadaan yang aman dan tentram.
DAFTAR PUSTAKA Barda, dkk. (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti Bawengan, W.G.(1997). Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta: Pradnya Paramita Budhi, S. (2009). Penerapan Diskresi Dalam Menunjang Tugas Kepolisian. Skripsi tidak terpublikasi. Universitas Hasanuddin. Box, S. (1983). Police Crime dalam Power, Crime and Mystification. London & New York: Tavistok Publications Faal. (1991). Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi. Jakarta: Pradnya Paramita Gayus T. L. (2009). Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi Pejabat Publik, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 26 November Erlyn. (2000). Diskresi Polisi. Semarang : Lembaga Penerbit Universitas Diponegoro Marcus. (2007). Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia dalam Dinamika Global. Jurnal Mimbar Hukum, Vol.19.No.2, hal.265 Muladi. (1995). Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Undip Rahardjo, S. (2003). Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 173-177 & 168-172
Simorangkir, dkk. (2002). Kamus Hukum. Jakarta. Sinar Grafika.Susanto, Anthon F. 2004. Wajah Peradilan Kita. Bandung:Refika Aditama. Susanto. (2004). Wajah Peradilan Kita. Bandung:Refika Adiatma Soehardi. (2008). Polisi dan Profesi. Semarang Soekanto.(1983). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta:Rajawali. Yesmil, dkk. 2009. Sistem Peradilan Pidana: Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia.Widya Padjajaran.Bandung __________. (2005). Membangun POLRI Macan Asia). Jakarta. Mitra Hardhasuma __________. (2007), 28 Februari 2007.
Dibutuhkan
yang
Independensi
Kuat Polri,
(Belajar
Dan
Macan-
www.faiar.co.id
tanggal
LAMPIRAN Tabel 1. Data Anggota yang Melanggar Kode Etik Profesi Tahun 2010-2011 NO.
Laporan Polisi
1.
LP/504/K/IV/2010
2.
Lp/84/xi/2011/Si Propam
3.
LP/83/XI/2011/Si Propam
Jenis Pelanggaran
Pelanggaran pasal
Putusan
Terperiksa tidak professional dalam penanganan kasus sehingga pelapor merasa keberatan BRIPTU A tidak masuk kantor terhitung tgl 1 oktober 2011 hingga 8 november 2011 tanpa keterangan
Perkap No.7 tahun 2006, Pasal 3huruf (b dan c), Pasal 5 (b dan e), Pasal 10 ayat 1
Melalui sidang kode etik: Dipindah tugaskan ke jabatan yang berbeda
AIPTU M tidak masuk kantor terhitung tgl 1 oktober 2011 hingga 8 november
Pasal 4 huruf Siap Sidang (d,f dan m) PP RI No.2 thn 2003, Pasal 14 angka 1 huruf (a) PP RI No.1 thn 2003 dn Pasal 3 huruf (b) Pasal 4 huruf Dalam Proses (d,f dan m) PP RI No.2 thn 2003, Pasal 14 angka 1 huruf (a) PP RI No.1
2011 tanpa keterangan 4.
LP/32/IV/2010/P3D BRIPTU S terlibat dalam kasus tawuran antar warga dan mahasiswa palopo dan menyimpan motor orang lain selama 3 bulan
thn 2003 dn Pasal 3 huruf (b) Pasal 3 huruf (g), Pasal 5 huruf (a) dan Pasal 6 huruf (r), PP RI No.2 Tahun 2003
Tabel 2. Perbandingan data kasus kriminal Tahun
2010
2011
Kasus Siap Sidang Kasus dalam Proses Kasus yang Selesai Jumlah Kasus
7 15 81 103
21 66 75 162
% 10,56% 30,56% 58,86% 100%
Melalui Sidang Disiplin: penundaan pendidikan selama 1 tahun