KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY (SPP) DALAM RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN SKRIPSI
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh: Nama : Tri Arni Handayani NIM : 050200301
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY (SPP) DALAM RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN SKRIPSI
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh: Nama : Tri Arni Handayani NIM : 050200301
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh: Ketua Departemen
Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH NIP.131 570 455 Pembimbing I
Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH NIP.131 570 455
Pembimbing II
Dr.Sunarmi,SH,MHum NIP. 131 835 566
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana atas berkat dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi ini. Shalawat beriring salam keharibaan Nabi Muhmmad SAW yang telah menuntun kita dari alam kebodohan menuju alam yang penuh ilmu pengetahuan. Skripsi ini berjudul ” KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY DALAM RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN ” untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan, sehingga penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Namun terlepas dari segala kekurangan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, dan untuk itu Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M. sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. sebagai Ketua Departemen Hukum Ekonomi sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam proses penyusunan skripsi ini. 6. Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Sutiarnoto selaku Dosen Wali yang selalu memberikan arahan, motivasi dan dukungan serta semangat selama berada dalam bangku perkuliahan. 8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah rela memberikan ilmu yang dimiliki. Semoga ilmu ini dapat bermanfaat kelak dan dapat diteruskan ke orang lain. Amin. 9. Seluruh pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama Pengurus Stambuk, Bang Anto yang selalu membantu mengurus birokrasi persyaratan sebagai mahasiswa. 10. Keluarga Besar aku, Pap (Drs. Surya Dharma, S.E.) dan Mam (Yuniar Aswita) yang terus dan tidak pernah bosan memberikan, nasehat, dorongan, dan semangat baik dulu, kini hingga esok. Kakak (Maya Ramadhani) dan Adek (Okto Dhaniansyah) yang turut memberikan dukungan dan motivasi walaupun awalnya tidak mengetahui isi skripsi ini, maklum kita semua beda jurusan. Juga kepada Alm.Kakek Abbas dan Alm. Kakek Arsyim yang telah sempat memberikan makna kehidupan yang berarti dan akan terus diingat. Nek Ribu dan Nek Aji yang selalu memberikan motivasi dalam hidup aku, Ma Apen, Bi Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Upik,, Bi Dina, Kila Arman, serta seluruh keluarga besar lain yang tak bisa disebutkan satu persatu, . 11. Brisixx (Fina, Mira, Ayu, terutama Rina) yang selalu berisik menanggapi apapun terutama menanggapi proses penulisan skripsi ini, padahal semuanya beda jurusan dan membutuhkan penjelasan yang terus menerus dalam membahasnya. 12. 3rd Secret yang selalu memberikan motivasi dan ‘persaingan’ yang membuatku terpacu dalam menyelesaikan skripsi ini tepat waktu, dan telah memberikan motto hidup yang aneh dan nyentrik “LIFE IS FREE”, terutama Ozot dan Abdi yang selalu menenangkanku saat stress sudah melanda atau malah mendorongku dari zona kenyamanan saat terlalu santai. 13. Buat 7 Flowers tersayang (Amel, Grez, Lola, Meutia, Mulfa, Ocha),,makasih buat pesan dan kesan,suka dan duka, hinaan dan pujian mulai saat aku menjabat sebagai mahasiswa serta makasih buat waktu, energi, pikirannya. Jangan lupa semua cerita kita bersama dan khayalan- khayalan untuk masa depan kita. 14. Buat anak D’ Club yang selalu kompak dan ‘kompetitif’ dalam hal akademik yang membuat aku berusaha menjadi yang terbaik, Sri Maria, Dudi, Zul, Berlian, Tina, Anggrek, Ite, Maya, Nova, Yana, Josua, Bona, n smua anak D’Club!! Terutama buat yang wisuda bulan 1 kemaren, kalian berhasil buat aku iri dan terpacu untuk menyelesaikan masa- masa ini. Dan semua anak D’Club yang belum atau masih dalam proses bertobat, aku doakan yang terbaik..SEMANGAT!! Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
15. Buat angkatan 2005 yang tak terkalahkan, semoga kita berhasil merajut masa depan yang cerah, dan kita dapat mengharumkan nama Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Amin.. 16. Buat semua mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu ada dimana-mana, koridor, UPK, Yudisium, Pajus, Kantin, baik senior maupun junior,,yang mampu mengusir rasa sepi. Dan buat anak 2008, seperti baru semalam meng-ospek, sekarang harus berpisah. Teruskan perjuangan kami di tahun 2011!! 17. Buat semua temanku di dunia ‘maya’ yang tak bosan mendengar curhatanku kala senang maupun sedih dalam setiap langkahku, khususnya jatuh bangun saat penulisan skripsi ini. Akhir kata, Penulis mohon maaf yang sebesar- besarnya apabila terdapat kesalahan- kesalahan di dalam skripsi ini, karena sebagai manusia biasa pasti tak luput dari kesalahan seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, sehingga mohon pembaca memaafkan kesalahan- kesalahan yang terdapat di dalamnya. Dan kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
Medan, Januari 2009 Penulis
TRI ARNI HANDAYANI
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY (SPP) DALAM RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN ABSTRAKSI Sejak krisis ekonomi yang turut melanda Indonesia, keterpurukan makin terasa disebabkan salah satu faktor paling berpengaruh yang menyebabkan krisis itu, yaitu kinerja perbankan yang buruk, yang disebabkan tidak mengindahkan peraturan yang ada, peraturan yang tidak sesuai dengan sistem perbankan Indonesia, yang tidak memberikan independensi kepada bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dari kinerja perbankan yang buruk tersebut dianggap perlunya peraturan/ ketentuan yang bertujuan mengatur dan mengawasi perbankan agar memperbaiki kinerja perbankan saat ini. Salah satu fungsi Bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi bank, maka dalam menetapkan kebijakan moneter, Bank Indonesia harus mewujudkan perbankan yang sehat dan kuat. Permasalahan yang dibahas yaitu tentang pelaksanaan Single Presence Policy bagi bank umum di Indonesia serta kewenangan Bank Indonesia dalam Single Presence Policy (SPP). Dalam memperoleh data untuk penulisan skripsi ini, dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan bahan- bahan teori dari kepustakaan seperti bahan hukum primer, yaitu UU No 3 Tahun 2004, Peraturan Bank Indonesia No: 8/16/PBI/2006, bahan hukum sekunder seperti seminar, jurnal hukum, koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini serta bahan hukum tertier seperti kamus atau ensiklopedia. Single Presence Policy dilaksanakan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006, dan agar dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang memiliki fungsi dan kewenangan mengatur dan mengawasi bank berwenang dalam menetapkan peraturan yang mendorong Single Presence Policy dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran kebijakan tersebut. Saran yang diajukan adalah perlu dilakukan restrukturisasi dan privatisasi bank-bank untuk memperkuat sistem pengaturan dan pengawasan agar mampu memperbaiki kinerja perbankan dalam koridor Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dan lebih memberikan kepastian hukum, transparansi yang mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak, serta memperkuat hubungan bank dengan pemerintah, bank dengan perusahaan dan bank dengan masyarakat.
Kata Kunci: Single Presence Policy, Bank Indonesia, perbankan, Bank Umum. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i ABSTRAKSI………………………………….…………………………………..v DAFTAR ISI…………………………………………………………………..…vi BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang……………………………………………………………...1 B. Perumusan Masalah……………………………………………………….10 C.Tujuan Penelitian…………………………………………………………..10 D. Manfaat Penelitian………………………………………………………...11 E.Keaslian Penulisan…………………………………………………………11 F. Metode Penelitian…………………………………………………………12 G. Tinjauan Kepustakaan………………………………………………..…...14 H. Sistematika Penulisan……………………………………………………..16 BAB II
FUNGSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL INDONESIA
A. Sejarah Bank Indonesia Menjadi Bank Sentral…………………………..18 B. Tujuan dan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral 1. Fungsi Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter………...20 2. Fungsi Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran…….23 3. Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank………………………...……26 C. Kewenangan Bank Indonesia dalam Perbankan di Indonesia 1. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengendalian Moneter……...…28 2. Kewenangan Bank Indonesia dalam Sistem Pembayaran…………...32 Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
3. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengawasan Bank……………34
BAB III
PENGATURAN KETENTUAN SINGLE PRESENCE POLICY DALAM HUKUM INDONESIA
A. Latar Belakang Lahirnya Single Presence Policy………………………..47 B. Manfaat Single Presence Policy dalam Dunia Perbankan…………...…..50 C. Prinsip dan Konsep Single Presence Policy…………………………...…52 D. Pengaturan Ketentuan Single Presence Policy dalam Hukum Indonesia 1. Pengalihan Saham Bank……………………………..……………….55 2. Merger atau Konsolidasi Bank……………………………...………..61 3. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company)…71
BAB IV
KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY DALAM RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN
A. Kewenangan Bank Indonesia Menetapkan Peraturan yang Mendorong Single Presence Policy……………………………………………..……77 B. Kompleksitas Pelaksanaan Single Presence Policy 1. Pihak yang Menjadi Pemegang Saham Pengendali………............….80 2. Tinjauan atas Tiga Opsi Single Presence Policy…………………..…82 3. Opsi yang Dipilih Bank BUMN……………………………………...88 C. Kewenangan Bank Indonesia Menerapkan Sanksi dalam Pelaksanaan Single Presence Policy…………………………………………….……..94
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………………………………....99 B. Saran…………………………………………………………………….100
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..………...……ix
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan dunia perbankan itu menjadi sangat krusial dibicarakan karena untuk negara berkembang seperti Indonesia hampir 90 % (Sembilan puluh persen) dunia usaha tergantung dari pembiayaan perbankan, pentingnya peranan perbankan di Indonesia terutama sangat mempengaruhi perekonomian di Indonesia. 1 Oleh sebab itu untuk dunia perbankan diperlukan terwujudnya sistem perbankan nasional yang sehat dan stabil, sehingga dengan itu memungkinkan dunia perbankan mampu memainkan peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Perbankan selain menerapkan prinsip-prinsip perbankan yang sehat dan kebijakan Bank Indonesia dalam usahanya untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat misalnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk mendukung dan meningkatkan bank dalam menjalankan kegiatannya, salah satu kebijakan Bank Indonesia yaitu Single Presence Policy. Konsolidasi perbankan dalam upaya pembiayaan pembangunan serta penguatan industri perbankan dalam koridor Arsitektur Perbankan Indonesia (API) perlu dipercepat pelaksanaannya. Hal itu sebagai respon atas melambatnya 1
http://erwan29680.wordpress.com, SPP Mulai Dilirik oleh Dunia Perbankan, diakses pada tanggal 20 Januari 2009.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
pertumbuhan perekonomian dunia. Krisis ekonomi global tersebut membuat terpuruknya kinerja beberapa bank dunia sehingga financial report beberapa bank besar dunia mengalami loss. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan 1997 akibat buruknya kinerja perbankan nasional saat itu membuat Indonesia makin terpuruk. Krisis ekonomi yang terjadi pada 1997 itu terjadi ketika sistem keuangan global sudah demikian kompleks. Pada sisi internal, krisis ini terjadi karena suatu Negara tidak dapat memecahkan permasalahan yang mendasar pada sektor luar negerinya, dan pada sisi eksternal, krisis ini terjadi karena liberalisasi yang terlalu cepat di sektor keuangan tidak didukung liberalisasi yang serupa di sektor riilnya. 2 Ketika gejolak eksternal timbul, perekonomian nasional yang mengidap kelemahan struktural sangat mudah terkena dampak negatif, sehingga dampak gejolak yang terjadi dalam waktu singkat berubah menjadi krisis. 3 Ketika krisis keuangan dan perbankan itu sudah merebak, Pemerintah akhirnya terpaksa meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dalam rangka standby arrangement untuk memperoleh bantuan finansial sekaligus persetujuan mengenai kebijakan pemerintah, terutama langkah restrukturisasi perbankan. Permohonan bantuan kemudian disepakati dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan Pemerintah. Kesepakatan antara
2
Didik.J. Rachbini, dkk, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta: PT.Mardi Mulyo, 2000), hal.57-58. 3 Agus Budianto, Merger Bank di Indonesia Beserta Akibat- Akibat Hukumnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.50. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Indonesia dan IMF dalam rangka program reformasi ekonomi antara lain sebagai berikut: 4 Penyehatan sektor keuangan Kebijakan bidang fiskal Program bidang moneter, termasuk kurs mata uang Penyesuaian struktural Kehancuran dunia perbankan ditandai dengan penarikan dan pengalihan dana nasabah bank secara besar-besaran yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat kepercayaan terhadap perbankan, baik dalam maupun luar negeri. Nasabah tidak lagi percaya bahwa institusi perbankan sebagai lembaga yang aman untuk menyimpan investasinya. Hal ini disebabkan beredarnya rumor di masyarakat, bahwa bank-bank besar telah mengalami kalah kliring, rugi transaksi valas, larinya para banker ke luar negeri. Selain itu, di masyarakat juga tersebar edaran gelap berupa bank-bank yang akan dilikuidasi. Hal-hal demikian yang menyebabkan bank-bank besar tersebut mengalami rush pengambilan dana simpanan oleh nasabah secara serentak Pada hakekatnya, kebijakan Pakto 88 (Paket 27 Oktober 1988) adalah awal dari kebobrokan perkembangan perbankan di Indonesia, yaitu dengan tidak diterapkannya prinsip prudential banking dengan benar, yang mana prinsip tersebut tidak hanya sekedar diterapkan pada saat akan menyalurkan kreditnya kepada masyarakat saja, namun juga diterapkan pada saat bank tersebut akan mulai beroperasi, yaitu harus dipahami semenjak bank itu akan mendapatkan izin
4
Ibid, hal. 58.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
beroperasi, terhadap pemiliknya apakah juga sebagai pemilik perusahaan lain (grup perusahaan), seorang banker atau bukan, dan kredibilitas atau itikad baik dari pemilik juga harus diperhitungkan. Dengan hanya bermodalkan Rp. 10 Miliar untuk Bank Umum dan Rp. 50 Juta untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat, maka seseorang atau grup perusahaan dapat mendirikan sebuah bank. Semenjak digulirkannya Pakto 88 tersebut, bank-bank di Indonesia memebengkak jumlahnya, yang sampai Oktober 1992 tercatat sebanyak 227 bank umum dan 8.058 bank perkreditan rakyat, dengan jumlah total mencapai 8.285 buah bank. 5 Akibatnya, fungsi utamanya sebagai intermediary tidak dapat berjalan dengan baik. Bank lebih cenderung menyalurkan dana-dananya dalam bentuk kredit dan investasi jangka panjang dan untuk menarik dana-dana dari masyarakat terjadi unfair competition dengan “perang bunga” simpanan dan pemberian hadiah yang menggiurkan, yang pada akhirnya hanya merugikan nasabah penyimpan. Ada beberapa aspek negatif sebagai penyebab dari kesalahan penerapan asas prudential banking, yaitu: 6 Bank-bank yang tumbuh dan berkembang pun adalah bank-bank yang dimiliki oleh pengusaha yang dekat secara kekeluargaan dengan pejabat tertentu. Bankbank tersebut menjadi lahan subur untuk tumbuhnya bibit patronase bisnis melalui praktik- praktik pengucuran kredit yang diizinkan (legal lending limit) diberikan untuk proyek-proyek industri milik para pengusaha bank tadi. Hal ini jelas
5 6
Ibid, hal. 47. Ibid, hal. 47-48
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
menumbuhsuburkan
praktik-praktik
penyimpangan
birokrasi
atau
kolusi
(cronycapitalism). 7 Kedudukan bank sentral yang pada saat itu belum lagi independen dari pengaruh pemerintah telah menyebabkan kepentingan-kepentingan di luar dari tugas bank sentral seringkali menjadi terpaksa harus diakomodir. Hal ini terlihat ketika bank sentral harus menetapkan pilihan atas bank-bank yang akan dilikuidasi pada akhir 1997. Mendahului pelaksanaan program rekapitalisasi perbankan nasional, Presiden Republik Indonesia menerbitkan PP No. 4 Tahun 1999 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal sejumlah BPD dan dua bank umum swasta. Selain itu, juga menerbitkan PP No. 75 Tahun 1999 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Perbankan, juncto Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/ KMK.01/1998 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Bank Mandiri. Artinya adalah, bahwa yang seharusnya bank- bank “pelat merah” tersebut dilikuidasi karena rapor keuangannya jelek, mendadak mendapatkan
7
Kolusi atau Collusion, menurut The Groiler International Dictionary: “ a secret agreement two or more people for deciful or prudelent purpose”. (Artinya : Sebuah persetujuan rahasia di antara dua orang atau lebih dengan tujuan penipuan ata penggelapan). Batasan yang tampak bahwa kebijakan selalu berkonotasi negative karena dilakukan secara rahasia dan ada unsur penipuan dan penggelapan yang dapat dilakukan oleh oknum perbankan itu sendiri. Praktik kolusi baru diketahui apabila kreditnya telah bermasalah atau dipermasalahkan, selama kreditnya lancer sekalipun ada kolusi biasanya tidak terdeteksi. Oleh karena itu, temuan kolusi selalu bersifat reaktif. Untuk kolusi dalam bidang kredit dapat digunakan pendekatan secara financial recasting yang acuannya bersifat proses pengajuan dan pengolahan sejumlah informasi keuangan dengan menggunakan indikator- indikator keuangan yang relevan dan akurat serta dapat dipertanggungjawabkan. Bentuk kolusi yang terjadi pada umumnya tercermin bagaimana bentuk financial recasting- nya, modusnya adalah dalam bentuk adanya overvalue atas sejumlah informasi keuangan sehingga merembet pada pemberian kredit yang berlebihan atau overcredit. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
modal tambahan dari penyertaan modal negara berbentuk saham yang telah disetor dan tertahan dalam bank. Deregulasi perbankan yang demikian bebas dan mengandung kemudahankemudahan yang berlebihan dalam mendirikan dan memperluas kegiatan operasional bank yang telah menyebabkan “span of control” menjadi semakin longgar. Deregulasi pengawasan kepada pihak- pihak di luar bank sentral belum serta merta dilaksanakan, yang mencakup ketentuan perihal penerapan SKAPI (Sistem Keuangan dan Akuntansi Perbankan), PAPI (Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia), dan sebagainya. 8 Pertumbuhan ekonomi yang demikian pesat pada masa orde baru telah membentuk ‘mental’ para pelaku bisnis di Indonesia, yang lebih mementingkan pemupukan keuntungan grup-grup perusahaannya sehingga mempersulit aparat pengawas bank sentral dalam menelusuri sumber-sumber pendanaan modal sendiri bank dan penyaluran dana-dana bank dalam satu grup perusahaan kepada grup-grup perusahaan lainnya. Pada akhirnya, membawa pada lemahnya law enforcement pada dunia bisnis di Indonesia. Aparatur Negara, terlebih lagi aparat penegak hukum, jika berhadapan dengan para pelaku bisnis yang kebanyakan dari golongan non pribumi, sudah terkontaminasi dengan budaya “tebal-tipisnya amplop” dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum. Lancar tidaknya izin untuk membuka atau memperluas kegiatan usaha dan menang tidaknya kasus hukum yang dihadapi oleh para pelaku usaha di Pengadilan, bukan tergantung pada esensi apa yang 8
Masyhud Ali, Restrukturisasi Perbankan & Dunia Usaha, (Jakarta: Elex Media Komputindo (kelompok Gramedia), 2002), hal. 106. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
menjadi pokok persoalan, tetapi tergantung pada moral hazard para aparatur negara dan aparat penegak hukum itu sendiri. Dalam menciptakan sistem perbankan yang sehat dan kompetitif, Pemerintah menetapkan program restrukturisasi perbankan yang sifatnya menyeluruh. Program ini mencakup berbagai langkah strategis yang berintikan kebijakan untuk memperbaiki kondisi solvabilitas dan profitabilitas bank, mempertahankan kelangsungan hidup bank yang berospek baik (viable), dan mengaktifkan kembali fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi. Program tersebut tetap difokuskan pada empat pilar kebijakan, yaitu:
9
1. Program Penyehatan Perbankan, Khususnya Program Rekapitalisasi Perbankan Program ini bertujuan untuk memulihkan dan memperbaiki kondisi solvabilitas dan profitabilitas bank. Perbaikan solvabilitas dilakukan melalui dua sisi, yaitu pada sisi aktiva, dilakukan dengan restrukturisasi kredit dan penyerahan kredit bermasalah kepada Assets Management Unit (AMU) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN); sedangkan pada sisi pasiva, melalui program rekapitalisasi. Sementara itu, upaya pemulihan kondisi profitabilitas dilakukan melalui tiga strategi, yaitu pemberian kemudahan pada debitor; pemberian dukungan kepada bank-bank yang telah disehatkan dan dinilai baik, serta penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi dunia usaha dan perbankan.
9
Agus Budianto,Op,cit ,hal. 61-63.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Dalam pelaksanaan program penyehatan perbankan ini, pemerintah melakukan seleksi terhadap: 10 Bank-bank yang tetap dapat diikutsertakan dalam program rekapitalisasi dengan dukungan pemerintah Bank-bank yang tetap dapat beroperasi tanpa perlu mengikuti program rekapitalisasi Bank-bank yang diambil alih kepemilikannya, dan Bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya, karena dinilai sangat tidak solvable dan tidak memiliki prospek untuk diperbaiki. Hasil dari seleksi tersebut adalah pemerintah menutup kegiatan operasional 38 bank swasta nasional dan mengambil alih kepemilikan 7 bank swasta nasional. Secara keseluruhan, sampai akhir Maret 1999, pemerintah telah menutup 48 bank sehingga jumlah bank umum yang beroperasi menjadi 170 bank.
2. Perbaikan Kondisi Internal Perbankan Tujuan program ini adalah meningkatkan daya tahan perbankan terhadap gejolak eksternal yang diwujudkan dengan penyempurnaan ketentuan kehatihatian yang disesuaikan dengan ketentuan perbankan yang berlaku secara internasional dan tidak diskriminatif. Dalam upaya penyempurnaan ketentuan prinsip kehati- hatian bank tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa ketentuan, yaitu antara lain: 11 Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) 10 11
Ibid, hal. 61. Didik J. Rachbini, Op.cit, hal.139.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Kualitas Aktiva Produktif Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Laporan Keuangan Tahunan dan Publikasi Posisi Devisa Neto (PDN) Restrukturisasi kredit Laporan pemantauan likuiditas
3. Penyempurnaan Perangkat Hukum Perbankan Tujuan dari program ini adalah untuk menjamin kepastian dan penegakan hukum. Sebagai perwujudan dari tujuan ini, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sebagai ketentuan pelaksananya, pemerintah dan Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan tentang BPPN dengan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 dan ketentuan tentang Kerahasiaan Bank dengan SK Direksi Bank Indonesia No. 31 /182/KEP/DIR.
4. Peningkatan Fungsi Pengawasan Bank Indonesia Penegakan ketentuan secara lebih tegas dan perubahan pola pengawasan bank dari regulatory authority menjadi supervisory authority. Untuk itu, Bank Indonesia telah melakukan pembenahan internal, antara lain mengubah struktur organisasi satuan kerja sektor perbankan dengan memisahkan fungsi pengawasan tidak langsung (off site supervision) dengan pengawasan langsung (on site supervision). Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Usaha perbaikan perbankan yang dilakukan oleh Pemerintah dimulai karena merupakan bagian penting dari Letter of Intent antara Indonesia dan IMF, dan usaha itu terus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan, sehingga pada pertengahan 2006 lahirlah ketentuan dari Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia yang mengharuskan bank-bank di Indonesia menerapkan single presence policy yaitu kebijakan pemilikan tunggal pada perbankan di Indonesia. Adapun ketentuan single presence policy ini lahir untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank- bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan secara terkonsolidasi oleh Bank Indonesia. 12
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, yang dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia? Bagaimana pengaturan Single Presence Policy dalam ketentuan hukum Indonesia? Bagaimana kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaan Single Presence Policy terhadap bank- bank di Indonesia?
12
Penjelasan bagian Umum Peraturan Bank Indonesia No.8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
C.Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia. Untuk mengetahui pelaksanaan Single Presence Policy dalam ketentuan Hukum Indonesia Untuk mengetahui kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaan Single Presence Policy terhadap bank-bank di Indonesia
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat subjektif dan objektif. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Subjektif Skripsi ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Manfaat Objektif Skripsi ini bermanfaat untuk menerapkan hukum ekonomi yang telah dipelajari, khususnya perbankan nasional guna menjawab permasalahan yang berkaitan dengan pelaksaaan Single Presence Policy atas wewenang Bank Indonesia terhadap bank-bank di Indonesia, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum secara teoritis.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Penulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penulisan tentang Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan belum pernah ditulis sebelumnya. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Skripsi ini juga didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi media cetak dan elektronik. Semuanya merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Metode Penelitian Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dari berbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum yang paling populer dikenal adalah: 13 Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka.
13
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005), hal. 23-24. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan. Pilihan metode suatu penelitian hukum tergantung pada tujuan penelitian itu sendiri. Sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research). Dalam melaksanakan penelitian ini, perlu ditegaskan alat pengumpul data yang dipakai dalam penelitian. Dalam penelitian ini dipakai tiga alat pengumpul data, yaitu: Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badan- badan internasional seperti UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dan peraturan- peraturan lainnya. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah- majalah, Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. Bahan hukum tertier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Dalam penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan menganalisis data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Dengan demikian, tidak merupakan analisis data tanpa menggunakan rumus dan data sistematif.
G. Tinjauan Kepustakaan Bank adalah intitusi yang mempunyai peran yang besar dalam dunia komersil, yang mempunyai wewenang untuk menerima deposito, memberikan pinjaman, dan menerbitkan promissory notes, yang sering disebut bank bills atau bank notes. Namun demikian, fungsi bank yang orisinil adalah hanya menerima deposito berupa uang logam, plate, emas, dan lain- lain. 14 Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia, dimana Bank Indonesia adalah lembaga negara yang berbentuk badan hukum yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak- pihak lainya, kecuali untuk hal- hal yang secara tegas diatur dalam Undang- Undang ini. 15
14
Herry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St.Paul, Minnesota, USA: West Publishing Co. 1968), hal.184. 15 Pasal 4 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Single Presence Policy atau kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) bank. 16 Indonesia hanya mengenal dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan
jasa
dalam
lalu
lintas
pembayaran.
Bank
umum
dapat
mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar pada kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud adalah antara lain melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, kegiatan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha ekonomi lemah/ pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas, dan pengembangan pembangunan perumahan. 17 Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 18
H. Sistematika Penulisan
16
Pasal 1 angka (2) Peraturan Bank Indonesia No.8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 17 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media,2005), hal.20 18 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal.63. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari 5 bab dan sub-sub bab yang diuraikan sebagai berkut:
Bab I :
PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat
penelitian,
keaslian
penulisan,
metode
penulisan, tinjauan kepustakaan dan yang terakhir sistematika penulisan.
Bab II :
FUNGSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL INDONESIA
Bab ini berisi menguraikan tentang sejarah Bank Indonesia sebagai bank sentral, tujuan dan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral, yaitu fungsi menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, fungsi mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan fungsi mengatur dan mengawasi bank, dan kewenangan Bank Indonesia dalam perbankan di Indonesia, yaitu kewenangan Bank Indonesia dalam pengendalian moneter, dalam sistem pembayaran dan kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan bank.
Bab III :
PENGATURAN KETENTUAN SINGLE PRESENCE POLICY DALAM HUKUM INDONESIA
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Bab ini berisi menguraikan tentang latar belakang lahirnya Single Presence Policy, manfaat Single Pesence Policy, prinsip dan konsep Single Presence Policy, dan pengaturan ketentuan Single Presence Policy dalam hukum Indonesia.
Bab IV:
KEWENANGAN BANK INDONESIA PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN
DALAM DALAM
Bab ini berisi menguraikan tentang kewenangan Bank Indonesia menetapkan peraturan yang mendorong Single Presence Policy, kompleksitas pelaksanaan Single Presence Policy,
kewenangan
Bank Indonesia menerapkan sanksi dalam pelaksanaan Single Presence Policy.
Bab V:
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan atas permasalahan yang ada dan Penulis mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan Single Presence Policy baik terhadap Bank Indonesia sebagai bank sentral maupun terhadap bank- bank yang ada di Indonesia.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
BAB II FUNGSI BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL INDONESIA
Sejarah Bank Indonesia Menjadi Bank Sentral Untuk memperbaiki keadaan keuangan sebagai warisan VOC dan Pemerintahan Raffles, Pemerintah Hindia Belanda memerlukan kehadiran lembaga bank, dan pada 10 Oktober 1827 berdirilah De Javasche Bank. 19 Konferensi Meja Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda tahun 1949 dapat dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di Indonesia. Salah satu keputusan penting Konferensi Meja Bundar adalah menunjuk De Javasche Bank NV sebagai bank sentral. De Javasche Bank adalah bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun 1827. Meskipun De Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh Pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda sebagai Bank Sentral, akan tetapi pengaruh kepentingan kolonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada di bawah pengaruh kepentingan lain. 20 Berdirinya De Javasche Bank telah mengawali sejarah perbankan di Indonesia. Sejak berdirinya, ketentuan- ketentuan yang mengatur bekerjanya De Javasche Bank seringkali mengalami perubahan. Yang terakhir, sebelum
19
Ketut Rindjin, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, (Jakarta: PT. Gramedia Puataka Utama, 2000), hal. 29. 20 Didik J. Rachbini, Op.cit, hal. 1. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
nasionalisasi adalah Wet tot Vaststelling van de Javasche Bankwet, Stb. 1922 No. 180. 21 Nasionalisasi De Javasche Bank direalisasikan melalui Keputusan Pemerintah Nomor 118 tertanggal 2 Juli 1951. Titik kulminasi proses nasionalisasi De Javasche Bank terjadi tatkala ditunjuk seorang putra bangsa Indonesia menjadi presiden baru bank tersebut, mengakhiri tradisi sebelumnya yang selalu dijabat oleh orang Belanda. 22 Pada tahun 1953, keluarlah Undang-Undang Pokok Bank Indonesia atau Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 yang dimuat dalam Lemabaran Negara No. 40 Tahun 1953, dimana isinya antara lain mencabut De Javasche Bank wet Stb. 1922 No. 180 dan Stb. 1922 No. 181 dan didirikan Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral sebagai pengganti De Javasche Bank NV sebagai bank nasional kepunyaan negara. 23 Berdasarkan Penetapan Presiden No. 17 Tahun 1965, Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank Koperasi Tani dan Nelayan, Bank Negara Indonesia, Bank Umum Negara dan Bank Tabungan Negara dilebur ke dalam Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Berdasar Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. KEP. 65/ UBS/ 1965, bank-bank tersebut menjalankan usahanya masing-masing dengan nama Bank Negara Indonesia Unit I, Unit II, Unit III, Unit IV, Unit V. Bank Negara Indonesia Unit I berfungsi sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Dan berdasarkan Undang- Undang No. 13 Tahun 1965, 21
Ketut Rindjin, Op.cit, hal. 33. Didik J. Rachbini, Op.cit, hal. 2. 23 Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977), hal. 37. 22
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
bank Unit Indonesia Unit I dipisahkan kembali dari Bank Tunggal dan didirikan sebuah bank sentral di Indonesia dengan nama Bank Indonesia. 24
B. Tujuan dan Fungsi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Pada UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, peran dan tugas utama Bank Indonesia difokuskan pada tiga sub sistem perekonomian yang terdiri atas moneter, perbankan dan pembayaran. Pelaksanaan tiga bidang tugas tersebut akan sangat menentukan keberhasilan Bank Indonesia mencapai tujuan utamanya yaitu mempertahankan dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah adalah kestabilan nilai nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain, dan kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 25
1. Fungsi Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter Lender of Last Resort Peran pokok Bank Indonesia yang tetap dan tidak berubah dari ketentuan UU No.13 tahun 1968 adalah sebagai pemberi pinjaman dalam keadaan darurat (lender of last resort) kepada bank yang mengalami krisis kesulitan pendanaan jangka pendek.
24
Thomas Suyatno, dkk, Kelembagan Perbankan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 7. 25 Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, ( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 38. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Dalam hal ini, Bank Indonesia hanya membantu dengan kriteria mengalami mismatch yang disebabkan oleh resiko kredit dan resiko pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, resiko kredit atau resiko pasar. Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. 26 Untuk mencegah penyalahgunaan kredit dari Bank Indonesia tersebut, maka pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibatasi selama-lamanya 90 hari dan kredit atau pembiayan berdasarkan prinsip syariah itu harus dijamin dengan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, bila kredit dari Bank Indonesia tersebut tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia berhak mencairkan agunan yang dikuasainya. 27 Transparansi Bank Indonesia akan dinilai dari akuntabilitas yang terukur dalam menerapkan formula atau mengkategorikan lembaga keuangan yang patut memperoleh fasilitas pertolongan darurat. Formula seperti itu penting diungkapkan secara terbuka agar publik mempunyai kesempatan menilai kondisi suatu bank sebelum dikategorikan insolvent, bangkrut, mengalami mismatch atau ada indikasi moral bazard di jajaran pengurus atau pemiliknya. Di samping itu juga untuk menepis berkembangnya isu atau desas-desus tidak jelas yang tidak menguntungkan upaya
26 27
Hermansyah, Op.cit, hal. 47. Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang No 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
menciptakan sistem perbankan yang sehat, transparan dan kompetitif. Selain itu, juga untuk menangkal penilaian subjektif seperti ketakutan yang tidak proporsional hanya atas dasar alih penutupan atau pencabutan izin suatu bank akan membawa resiko sistematik berupa domino effect yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan menjadi runtuh. 28
b. Pengendalian Moneter Bank Indonesia berwenang dalam hal menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah, dimana dalam menetapkannya, Pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia menetapkan kebijakan moneter dengan prisip kehatihatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 29 Dalam hal nilai tukar, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden. Fungsi Bank Indonesia dalam hal ini adalah hanya terbatas sekedar memberi usulan kepada Pemerintah dan hanya bertugas menjalankan kebijakan nilai tukar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
28
Didik J. Rachbini, Op.cit, hal.173. O.P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal.23. 29
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar itu antara lain: 30 Devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing dalam sistem nilai tukar tetap (fixed rate). Intervensi pasar dalam sistem nilai tukar mengambang (floating rate) Penetapan nilai tukar harian serta lebar peta intervensi dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating rate). Bank Indonesia juga berwenang melakukan pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, pengaturan kredit atau pembiayaan. 31
2. Fungsi Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Bank Indonesia memiliki wewenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran melaporkan kegiatannya serta menetapkan penggunaan alat pembayaran. 32 Kewajiban menyampaikan laporan secara berkala dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat memantau penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan, penetapan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna, termasuk
30
Malayu S.P.Hasibuan, Dasar- Dasar Perbankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal.34. Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. 32 Pasal 15 Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. 31
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehatihatian. Tuntutan yang mengemuka di masa depan adalah bagaimana Bank Indonesia mampu melengkapi instrumentasi dan keahliannya agar dapat mengikut atau menselaraskan kepesatan kemajuan teknologi dan derivat sistem pembayaran yang telah berkembang demikian canggih dan mengglobal. 33
a. Sistem dan Penyelenggaraan Kliring Bank Indonesia bertugas dalam hal memperluas, memperlancar serta mengatur lalu lintas pembayaran giral antar bank, yaitu kegiatan bayar-membayar dengan warkat bank yang diperhitungkan atas beban dan untuk kepentingan nasabah bank yang telah ditetapkan. 34 Penyelenggaraan kegiatan kliring antar bank serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, dan Bank Indonesia akan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia dalam menetapkan mekanisme untuk meminimalkan resiko kegagalan pemenuhan kewajiban bank dalam penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank. 35
33
Didik.J. Rachbini,Op.cit, hal.178 Thomas Suyatno, Op.cit, hal. 72. 35 Penjelasan Pasal 18 Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. 34
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
b. Mengeluarkan dan Mengedarkan Uang Salah satu fungsi Bank Sentral yang cukup vital adalah kewenangannya dalam menerbitkan uang dari suatu Negara (note issue), dan ini adalah kewenangan yang monopoli dari Bank Sentral36. Sesuai amanat UUD RI 1945, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah. Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. 37 Kewenangan itu adalah mencabut, menarik serta memusnahkan uang, menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas memadai. 38 Uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dibebaskan dari bea materai dan Bank Indonesia dapat mencabut atau menarik uang rupiah dari peredaran dengan memberikan penggantian yang sama nilainya. Dalam hal ini, Bank
36
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Buku Kesatu), ( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.118. 37 Thomas Suyatno, Op.cit, hal 19. 38 Malayu S.P.Hasibuan, Loc.cit. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Indonesia memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan penukaran uang dalam pecahan yang sama.
3. Fungsi Mengatur dan Mengawasi Bank Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap bank, baik dengan cara pengawasan langsung (on site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off site supervision). Pengawasan tidak langsung adalah dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan Bank. Pengawasan dini dilakukan dengan cara sebagai berikut:39 Bank Indonesia mewajibkan setiap bank untuk memenuhi beberapa kewajiban yakni kewajiban untuk memberikan dan menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya dan kewajiban bank untuk menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya yang berkaitan dengan operasional bank. 40 Laporan keterangan dan penjelasan tersebut disampaikan secara tertulis sesuai dengan ketentuan yang dtetapkan oleh Bank Indonesia. Kewajiban penyampaian laporan ini dapat dikenakan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank bila mereka mendapat fasilitas tertentu dari bank atau diduga mempunyai peran dalam kegiatan operasional bank. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pada dasarnya, pemeriksaan yang dilakukan 39 40
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal.101. Peraturan Bank Indonesia No.3/ 22/ PBI/ 2001 tentang Operasional Bank.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu, untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek perbankan yang sehat. 41
C. Kewenangan Bank Indonesia dalam Perbankan di Indonesia Krisis ekonomi pada 1997 menyebabkan banyak pihak mempertanyakan mengenai sejauh mana Bank Indonesia telah melaksanakan tiga fungsi utamanya secara maksimal. Jawaban atas pertanyaan tersebut berkaitan dengan aspek- aspek internal Bank Indonesia yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan ketiga fungsi Bank Indonesia. Aspek- aspek internal tersebut terdiri dari dari kemampuan Bank Indonesia sebagai lembaga, kepekaan Bank Indonesia terhadap permasalahan lingkungan, serta daya antisipatif Bank Indonesia dalam menghadapi situasi yang akan datang dan penelaahan terhadap aspek-aspek internal ini harus diletakkan pada kedudukan Bank Indonesia yang sesuai dengan UU No. 13 Tahun 1968 merupakan bagian Pemerintah. 42 Keberadaan bank sentral yang independen di Indonesia merupakan prasyarat bagi pengendalian moneter yang efektif dan efisien. Pencatuman status independen dalam UU No. 23 Tahun 1999 diperlukan untuk memberikan dasar hukum yang kuat, menjamin kepastian hukum dan konsistensi status kelembagaan 41 42
Abdulkadir Muhammad, Loc.cit. Didik J. Rachbini, Op.cit, hal.113.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Bank Indonesia. Sebagai lembaga independen, Bank Indonesia memiliki otonomi penuh dalam pelaksanaan tugasnya, dan untuk menjamin independensi tersebut, kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah Republik Indonesia. 43 Sesuai dengan status independen, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 44
1. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengendalian Moneter Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan sasaran operasional, yaitu uang primer (base money) dan selanjutnya untuk mengamati perkembangan indikator-indikator yang memberikan tekanan pada harga dan nilai tukar rupiah. Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu:
a. Menggunakan Operasi Pasar Terbuka Operasi pasar terbuka dilaksanakan utuk mempengaruh likuiditas rupiah di pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi pasar terbuka dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia dan intervensi rupiah. 45
43
Malayu S.P. Hasibuan,Op.cit, hal.31. Pasal 9 Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. 45 Iswardono, Uang dan Bank, edisi keempat, cetakan pertama, (Yogyakarta: BPFE, 1991), hal. 125-126. 44
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Penjualan Sertifikat Bank Indonesia dilakukan melalui lelang sehingga tingkat diskonto yang terjadi benar-benar mencerminkan kondisi likuiditas pasar uang,. Sedangkan kegiatan intervensi rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyesuaikan kondisi pasar uang, baik likuiditas maupun tingkat suku bunga.
b. Penentuan Tingkat Diskonto Fasilitas ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan pendanaannya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjaminan surat berharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat digunakan adalah Sertifikat Bank Indonesia dan atau Surat Berharga Pasar Uang yang dikeluarkan bank lain. 46
c. Pengaturan Kredit atau Pembiayaan Pengaturan kredit merupakan pengawasan terhadap praktek perkreditan yang dijalankan oleh perbankan dan membatasi pemberian kredit untuk kestabilan dan mencegah terjadinya inflasi. 47
d. Penetapan Cadangan Wajib Minimum bagi Perbankan Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva lancar yang besarnya adalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini, kebjakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 5 % 46 47
Ibid, hal.127. Ibid, hal. 128.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
(lima persen) dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter, maka cadangan wajib tersebut dapat ditingkatkan., dan demikian pula sebaliknya. 48
e. Persuasi Moral (Moral Suasion) Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau menghimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit dan realistis. Kebijakan persuasi moral ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme pasar. 49
Alur mekanisme transmisi kebijakan moneter berawal dari operasi kebijakan moneter yang diarahkan untuk mempengaruhi suku bunga jangka pendek sebagai target operasional, dimana perubahan suku bunga jangka pendek mempengaruhi berbagai variabel seperti suku bunga jangka panjang, harga aset, variabel ekspektasi dan nilai tukar. 50
48
Ibid, hal. 129. Dahlan Siamat, Op.cit, hal. 64 50 Juli Irmayanto dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2004), hal.38 49
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Kebijakan pengendalian moneter dimaksudkan untuk memberikan kepercayaan kepada perbankan dan sektor swasta untuk mengatur dirinya sendiri dalam
memaksimalkan
dan
mengefisiensikan
sumber-sumber
pendanaan
masyarakat pada sektor-sektor yang memerlukan bantuan kedit perbankan. 51 Demikian pula dalam mengelola cadangan devisa negara yang dikuasainya, Bank Indonesia berwenang menyelenggarakan berbagai jenis transaksi devisa (menjual, membeli, dan/ atau menempatkan devisa, emas, dan surat-surat berharga secara tunai atau berjangka termasuk pemberian pinjaman) serta dapat menerima pinjaman luar negeri. Tiga azas utama yang menjadi pegangan Bank Indonesia dalam mengelola cadangan devisa adalah likuiditas (liquidity), keamanan (security), dan pendapatan yang optimal (profitability). 52 Untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, Bank Indonesia
menyusun rencana devisa dengan memperlancar usaha-usaha
pembangunan ekonomi nasional serta memperhatikan posisi likuiditas dan solvabilitas internasional. Rencana devisa yang disusun digunakan untuk menyusun rencana sistem moneter. 53 Berkaitan
dengan tugas dan wewenang
Bank
Indonesia dalam
pengendalian moneter, maka terdapat kewajiban menyelenggarakan survey, makro maupun mikro secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk memperoleh data atupun informasi ekonomi dan keuangan secara tepat waktu dan akurat.
51
Bank Indonesia Cabang Banjarmasin, Perlindungan Hukum Nasabah terhadap Produk Perbankan Dewasa Ini, disampaikan pada Dialog Hukum Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Konferensi Wilayah XI Kalimantan di Banjarmasin. Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat. 52 Didik J. Rachbani,dkk, Op.cit, hal.177. 53 O.P. Simorangkir, Op.cit, hal. 25. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Kegiatan survey itu dapat dilakukan Bank Indonesia itu sendiri maupun pihak lain yang ditunjuk dan setiap badan wajib memberikan keterangan atau data yang diperlukan dengan catatan akan dijamin kerahasiannya, kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-Undang.
2. Kewenangan Bank Indonesia dalam Sistem Pembayaran Sistem pembayaran tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan teknis berkaitan dengan kegiatan kliring antar bank. Tetapi sebenarnya sistem pembayaran setidaknya terdiri dari lima sub sistem yang berada di dalamnya. Sub-sub sistem itu adalah, pertama, instrumen pembayaran yang dapat berupa alat pembayaran tunai maupun elektronik. Kedua, lembaga-lembaga peserta kliring yang terdiri dari bank dan lembaga non bank yang bisa mengeluarkan alat pembayaran yang berlaku dalam sistem pembayaran. Yang dimaksud dengan lembaga non bank adalah perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit. Sebagai anggota dan peserta kliring, maka bank dan lemabga keuangan non bank berada dalam pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia berkaitan dengan upaya menjaga kelancaran sistem pembayaran. Ketiga adalah prosedur pembayaran, dari sisi Bank Indonesia sebagai pengatur sistem pembayaran, prosedur yang dikehendaki adalah yang mampu meminimalkan resiko dan mengupayakan proses pembayaran sesingkat
mungkin.
Bank
Indonesia
bertanggung jawab menjaga agar proses perputaran uang dalam sistem pembayaran berjalan dengan cepat, sehingga setiap orang yang membutuhkan uangnya dapat segera menerima uangnya tanpa harus menunggu terlalu lama. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Makin cepat uang diterima oleh pihak yang berhak, dengan sendirinya resiko yang harus dihadapi oleh pihak-pihak yang bersangkutan termasuk Bank Indonesia juga makin kecil.
54
Sub sistem keempat dalam sistem pembayaran adalah infrastruktur yang tersedia. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur sistem pembayaran sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi sistem pembayaran oleh Bank Indonesia maupun lembaga-lembaga peserta kliring. Kelancaran sistem pembayaran juga ditentukan oleh teknologi yang memadai, sangat penting dalam memberikan jaminan kepastian sebagai bentuk perlindungan kepentingan masyarakat luas, sehingga masyarakat selalu merasa aman saat memasukkan dananya ke dalam sistem perbankan.
55
Sistem pembayaran merupakan urat nadi sistem perekonomian suatu negara, yang efektivitas pengelolaannya akan menentukan kelancaran roda perekonomian. Sistem pembayaran yang teratur dan terjaga kelancarannya, merupakan kondisi tak terpisahkan dari setiap pelaksanaan kebijakan moneter dan segala upaya mewujudkan sistem perbankan yang sehat berdasar prinsip kehatihatian.
56
Bank Indonesia menangkap setiap masalah sistem pembayaran nasional yang sedang dan akan berkembang, Bank Indonesia selalu menyerap dan mempelajari masukan-masukan dan informasi dari seluruh anggota kliring. Selain hubungan-hubungan non formal dengan peserta kliring dalam sistem pembayaran
54
Didik J. Rachbini, Op.cit, hal. 149-150. Ibid, hal. 150. 56 Ibid. 55
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
nasional, Bank Indonesia juga aktif melakukan hubungan dengan pihak-pihak luar negeri. Hubungan itu dilakukan melalui forum pertemuan bank-bank sentral negara lain. Melalui forum internasional itu, Bank Indonesia mendapatkan informasi mengenai perkembangan yang terjadi pada sistem pembayaran di masing-masing negara peserta. Informasi-informasi tersebut dibandingkan dengan kondisi sistem pembayaran nasional dan dipelajari kemungkinan penerapannya. 57 Wewenang Bank Indonesia dalam kelancaran sistem pembayaran adalah: 58 Melaksanakan dan memberikan persetujuan dari izin atas penyelenggaraan jasa sistem perbankan. Menetapkan penggunaan alat pembayaran. Mengatur sistem kliring antar bank, baik dalam mata uang rupiah maupun asing. Menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank. Menetapkan macam, harga, cirri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dari peredaran, termasuk memberikan penggantian dengan nilai yang sama.
Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengawasan Bank Kewenangan dalam Menetapkan Regulasi
57
Ibid, hal. 156- 157. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 172. 58
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Dalam membina bank, Bank Indonesia memberikan petunjuk- petunjuk secara umum ataupun secara individual dalam menyelenggarakan manajemen yang baik. 59 Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yang akan memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, yang antara lain memuat: 60 perizinan bank; kelembagaan bank, termasuk kepengurusan dan kepemilikan; kegiatan usaha bank pada umumnya; kegiatan usaha bank berdasarkan Prinsip Syariah; merger, konsolidasi, dan akuisisi bank sistem informasi antar bank; tata cara pengawasan bank; sistem pelaporan bank kepada Bank Indonesia; penyehatan perbankan; pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank; lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan. Kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan regulasi terhadap bank merupakan wujud pelaksanaan kewenangan Bank Indonesia untuk dapat melakukan dalam hal mengatur dan pengawasan bank. Hal ini menjadi urgen karena bank sebagai lembaga kepercayaan dalam menghimpun dana masyarakat
59 60
O. P. Simorangkir, Op.cit, hal.31. Penjelasan Pasal 25 ayat (2) Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
memiliki karakteristik khusus dibanding jenis usaha lainnya. Dan bank dalam kesatuannya dengan sistem perbankan memiliki peran sentral dan strategis dalam menggeraktumbuhkan perekonomian suatu negara. 61 Tujuan inti dari penetapan regulasi terhadap bank adalah melindungi kepentingan masyarakat penyimpan (deposan dan kreditor) yang mempercayakan dananya pada bank untuk memperoleh pembayaran kembali manfaatnya dari bank sesuai dengan sifat, jenis dan cara pembayaran yang telah dijanjikannya. 62 Sejalan dengan harapan-harapan tersebut, Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mempunyai peran pula dalam menentukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kelembagaan dan kegiatan perbankan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Adapun pembinaan dan pengawasan tersebut ditempuh melalui upayaupaya tertentu baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasehat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan perbaikan. 63 Untuk mengakomodasi perkembangan di sektor perbankan termasuk derasnya pengaruh lingkungan perbankan internasional yang banyak dipengaruhi
61
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 1. 62 Ibid, hal. 11. 63 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 104. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
oleh Bank for International Settlement (BIS), 64 Bank Indonesia dari waktu ke waktu senantiasa melakukan penyesuaian terhadap peraturan agar dapat menerapkan prinsip-prinsip perbankan yang sehat sesuai dengan praktik-praktik internasional yang lazim (international best practises). 65
b. Kewenangan dalam Memberikan dan Mencabut Izin Atas Kelembagaan dan Kegiatan Usaha Tertentu dari Bank Dalam hal pemberian dan pencabutan izin atas suatu bank, Bank Indonesia berwenang memberikan dan mencabut izin usaha bank, memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, dan memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. 66 Pengaturan tersebut merupakan suatu strategi pembuka (entry strategy), dalam pengaturan bank guna melakukan seleksi terhadap integritas dari calon pemilik dan pengurus, kecukupan modal guna mendukung perkembangan dan resiko usaha, profesionalisme manajemen untuk mengelola bank secara sehat dan bertanggung jawab, serta feasibilitas dan prospek usaha yang layak, sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi sistem perbankan yang sehat. 67
64
Bank for International Settlement adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1930 di Basel, Swiss, bertujuan menjalin hubungan kerja sama antara bank sentral di seluruh dunia dalam mengembangkan aktivitas keuangan Pemerintah, melayani transaksi pembayaran, dan bertindak sebagai penjamin IMF yang memberikan pinjaman kepada Negara berkembang. (Ralona M, Kamus Istilah Ekonomi Populer, (Jakarta: Gorga Media, 2006) hal. 32. 65 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan Perbankan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005), hal. 193. 66 Pasal 26 Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. 67 Permadi Gandapradja, Op.cit, hal. 9. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Pengaturan terhadap pemilik merupakan aspek pokok, karena motivasi dan arah perkembangan bank ditentukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham sehingga penilaian terhadap integritas, reputasi, dan komitmen pemegang saham terutama pemegang saham mayoritas atau pemegang saham yang memiliki kontrol suara merupakan syarat yang sangat penting bagi terwujudnya usaha bank yang sehat. Oleh karena itu, aspek pengaturan perizinan ini juga mencakup syarat perizinan bagi perubahan pemegang saham, terutama pemegang saham yang memegang kontrol terhadap bank, serta perubahan pemegang saham dalam rangka akuisisi, merger dan konsolidasi. 68 Pada dasarnya pengaturan aspek ini mencakup pemberian arah dan pedoman bagi bank tentang: 69 Kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh bank Manajemen bank berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang sehat. Prinsip-prinsip manajemen resiko yang hati-hati dan dapat diandalkan. Kewajiban untuk menyelenggarakan administrasi, dokumentasi dan akuntansi yang lengkap, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan, baik untuk kepentingan manajemen bank maupun untuk informasi yang diperlukan untuk pengawasan bank. Penetapan sanksi terhadap penyimpangan dan pelanggaran terhadap ketetapanketetapan. Hal-hal lain yang dinilai penting dan mengandung resiko yang dapat merugikan masyarakat dan atau kepentingan sistem perbankan yang sehat. 68 69
Ibid. Ibid, hal. 10.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
c. Kewenangan dalam Pengawasan Bank Dalam Bank Indonesia terdapat beberapa satuan kerja di bidang pengawasan dan pengaturan bank. Unit kerja pengaturan bank itu sendiri dari Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan (UPPB). Di unit ini disusun peraturan mengenai ketentuan permodalan, batas maksimum pemberian kredit (BMPK), rasio kecukupan modal (CAR), nisbah antara pinjaman dan simpanan (LDR) dan sebagainya. Pengawasan itu sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu pengawasan langsung yang ditangani oleh Urusan Pemeriksaan Bank (UPmB), dan pengawasan tidak langsung dilakukan oleh Urusan Pengawasan Bank (UPwB).70 Bank Indonesia tidak gegabah dalam memberikan bantuan kepada bankbank yang bermasalah. Hanya bank-bank yang dinilai viable saja yang mendapatkan pertolongan. Bank-bank yang tidak sehat atau rusak, apalagi jika biaya untuk “memperbaiki” lebih besar ketimbang probabilitas untuk meraih keuntungan, tidak dapat dikategorikan “patut” ditolong. Untuk melihat bahwa bank- bank itu dinyatakan sehat, maka Bank Indonesia menetapkan pengkualifikasian terhadap bank dalam melihat tingkat kesehatan bank. Tingkat Kesehatan Bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan
70
Didk J. Rachbini, Op.cit, hal. 125.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
sensitivitas terhadap resiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan
melalui
penilaian
kuantitatif
dan
atau
kualitatif
setelah
mempertimbangkan unsur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional. 71 Ketentuan tingkat kesehatan bank dimaksudkan sebagai: 72 Tolak ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank yang telah dilakukan sejalan dengan azas-azas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tolak ukur untuk menetapkan azas pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun perbankan secara keseluruhan. Penilaian tingkat kesehatan Bank mencakup penilaian terhadap faktorfaktor CAMELS yang terdiri dari: 73 Permodalan (Capital) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku; komposisi permodalan;
71
Bab I bagian Umum Surat Edaran No. 6/ 23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. 72 Surat Edaran Direksi Bank Indonesia Nomor 26/23/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Tata Cara Penilaian Kesehatan Bank. 73 Bab II bagian Faktor Penilaian Surat Edaran No. 6/ 23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
trend ke depan/proyeksi KPMM; aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan modal Bank; kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan (laba ditahan); rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha; akses kepada sumber permodalan; dan kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan permodalan Bank.
Kualitas Aset (Asset Quality) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor kualitas asset antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan dengan total aktiva produktif; debitur inti kredit di luar pihak terkait dibandingkan dengan total kredit; perkembangan aktiva produktif bermasalah/ non performing asset dibandingkan dengan aktiva produktif; tingkat kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP); kecukupan kebijakan dan prosedur aktiva produktif; sistem kaji ulang (review) internal terhadap aktiva produktif; dokumentasi aktiva produktif; dan kinerja penanganan aktiva produktif bermasalah.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Manajemen (Management) Penilaian terhadap faktor manajemen antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: manajemen umum; penerapan sistem manajemen risiko; dan kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku serta komitmen kepada Bank Indonesia dan atau pihak lainnya.
Rentabilitas (Earnings) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: return on assets (ROA); return on equity (ROE); net interest margin (NIM); Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional (BOPO); perkembangan laba operasional; komposisi portofolio aktiva produktif dan diversifikasi pendapatan; penerapan prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya; dan prospek laba operasional.
Likuiditas (Liquidity) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva likuid kurang dari 1 bulan; 1-month maturity mismatch ratio; Loan to Deposit Ratio (LDR); proyeksi cash flow 3 bulan mendatang; ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti; kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities management/); kemampuan Bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang, pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya; dan stabilitas dana pihak ketiga (DPK).
Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity to Market Risk) Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap resiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponenkomponen sebagai berikut: modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga; modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan kecukupan penerapan sistem manajemen resiko pasar.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Tahap pertama tingkat kesehatan bank tersebut dilakukan dengan mengkuantifikasi komponen dari masing-masing faktor. Hasil kuantifikasi dari komponen-komponen tersebut dinilai lebih lanjut dengan memperhatikan informasi dan aspek-aspek lain yang secara materil berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan masing-masing faktor. 74 Bank wajib memelihara kesehatan bank tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku dan wajib menyampaikan semua informasi yang dibutuhkan oleh Bank Indonesia dan wajib pula menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. 75 Selain menggunakan CAMELS untuk menilai tingkat kesehatan bank, juga ditentukan oleh hal-hal yang dapat menurunkan tingkat kesehatan bank. Predikat tingkat kesehatan bank atau cukup sehat atau kurang sehat, akan diturunkan menjadi tidak sehat apabila terdapat:76 perselisihan internal yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam bank yang bersangkutan; campur tangan dari pihak-pihak luar bank dalam kepengurusan (manajemen) bank termasuk di dalamnya kerja sama yang tidak wajar yang mengakibatkan salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri;
74
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia), hal. 26. 75 Kasmir, Dasar- Dasar Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.55. 76 Rachmadi Usman,Op.cit, hal.132. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
“window dressing” dalam pembukuan dan/ atau laporan bank yang secara materiil dapat berpengaruh terhadap keadaan keuangan bank, sehingga mengakibatkan penilaian yang keliru terhadap bank; Praktek “bank dalam bank” atau melakukan usaha bank di luar pembukuan bank; Kesulitan
keuangan
yang
mengakibatkan
penghentian
sementara
atau
pengunduran diri dari keikutsertaan dalam kliring; atau Praktek perbankan lain yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank dan/ atau menurunkan kesehatan bank. Apabila menurut penilaian, Bank Indonesia menilai suatu bank mengalami kesulitan dan membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar: 77 Pemegang saham menambah modal; Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank; Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
77
Kasmir, Op.cit, hal.56.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar Pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. 78 Lembaga ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia atas keterangan dan data makro yang diperlukan.
78
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal.126. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
BAB III PENGATURAN KETENTUAN SINGLE PRESENCE POLICY DALAM HUKUM INDONESIA
Latar Belakang Lahirnya Single Presence Policy Single Presence Policy sesungguhnya merupakan salah satu rangkaian upaya Bank Indonesia dalam menegakkan Pilar I Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yaitu penguatan struktur perbankan nasional dan Pilar III yaitu peningkatan fungsi pengawasan. Di samping itu, penegakan Arsitektur Perbankan Indonesia tersebut sebenarnya juga merupakan implementasi atas 25 Core Principles of Banking Supervision yang diterbitkan oleh Basle Committee Banking for Supervision. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah kerangka menyeluruh, meliputi arah, bentuk dan tatanan industri perbankan Indonesia dalam jangka lima sampai sepuluh tahun ke depan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. 79
79
http://www.bi.go.id, diakses pada tanggal 27 Januari 2009.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Arsitektur Perbankan Indonesia bukan hanya merupakan suatu policy recommendation bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang, melainkan juga menjadi policy direction mengenai arah yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, arsitektur perbankan itu merupakan suatu blue print mengenai tatanan industri perbankan ke depan, bagaimana arah serta bentuknya dan menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan seperti misalnya kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan, dan lembaga penunjang lainnya. Walaupun bersifat policy direction, arsitektur perbankan tersebut juga harus memuat tahapan dan langkah kegiatan (action plans) yang konkret mengenai implementasinya. 80 Sesuai dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), struktur dan sasaran yang ingin diciptakan dalam penataan dan penciptaan struktur perbankan yang optimal adalah sebagai berikut: 81 Terdapat 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas 50 triliun rupiah. Terdapat 3 sampai 5 bank nasional yang memeiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara 10 triliun rupiah sampai dengan 50 triliun rupiah.
80
Agus Sugiarto, Arsitektur Perbankan Indonesia Kebutuhan dan Tantangan Perbankan ke Depan, http://www.kompas.com, diakses pada tanggal 27 Januari 2009. 81 Muhammad Faiz Aziz, Artikel tentang Single Presence Policy, Konsolidasi perbankan, Opsi yang Seharusnya Diterapkan Dalam Rangka Implementasi Single Presence Policy, http://www.cfisel.blogspot.com, diakses pada tanggal 27 Januari 2009. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Terdapat 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing- masing bank. Bankbank tersebut memiliki modal antara 100 miliar rupiah sampai dengan 10 triliun rupiah; dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah 100 miliar rupiah. Untuk mempermudah pencapaian visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), ditetapkan sasaran yang berupa 6 (enam) pilar yang menjadi tools dalam membantu perwujudan visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yaitu: 82 Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif Menciptakan industri perbankan yang kuat Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional Mewujudkan infrastruktur yang lengkap Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan Untuk mewujudkan 6 (enam) pilar di atas yang juga merupakan program Arsitektur Perbankan Indonesia (API), enam pilar atau program tersebut dilaksanakan secara bertahap dan diberikan tenggat waktu hingga tahun 2010, sehingga pada tahun 2011 telah tercapai struktur perbankan ideal sesuai visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Single Presence Policy ini merupakan implementasi dari Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dan dibuat dengan latar 82
http://cfisel.blogspot.com, Ibid.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
belakang dalam rangka penciptaan tatanan dan stuktur perbankan yang kuat, sehat, dan kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Penciptaan ini lebih lanjut dilatarbelakangi pengalaman krisis yang melanda Indonesia tahun 19971998, yang membuat bank-bank Indonesia berjatuhan dan berguguran, dan krisis ini disebabkan salah satunya oleh karena fundamental perbankan Indonesia yang pada saat itu belum kuat. Sebagaimana
diketahui,
kebijakan
Single
Presence
Policy
ini
mengharuskan kepada seluruh pemilik bank khususunya pemegang saham pengendali untuk mengonsolidasikan kepemilikannya di bank-bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu hingg tahun 2010. Ada 3 (tiga) opsi yang ditawarkan oleh Bank Indonesia melalui kebijakan tersebut yaitu pengalihan saham-saham miliknya, merger atau konsolidasi, dan yang terakhir adalah pembentukan perusahaan induk di bidang perbankan. Hakekat dari kebijakan ini adalah penguatan struktur perbankan dan efisiensi penerapan fungsi pengawasan. Apa yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum penerbitan kebijakan ini tentunya telah diperhitungkan dan dipertimbangkan secara matang. Persinggungan penerapan kebijakan ini dengan beberapa kebijakan ini dengan beberapa kebijakan maupun regulasi lain di bidang perbankan, pasar modal, korporasi, Badan Usaha Milik Negara, dan persaingan usaha tentunya juga telah dipelajari dengan seksama dan hati-hati agar tidak terjadi pertentangan satu sama lain.
Manfaat Single Presence Policy Dalam Dunia Perbankan Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Indonesia adalah salah satu negara yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor perbankan, maka diperlukan perbankan yang sehat sebagai penggerak perekonomian nasional. Perbankan yang sehat di sini menyangkut; Pertama, bank-bank dalam arti mikro harus sehat dalam aspek yang menyangkut permodalan, manajemen dan kegiatan, sesuai dengan peraturan dan pengawasan perbankan yang berlaku. Kedua, adanya pengaturan dan pengawasan yang efektif yang dilakukan oleh lembaga yang secara independen bertanggung jawab untuk itu. Ketiga, adanya kelembagaan
yang
mendukung
bekerjanya
perbankan,
selain
lembaga
pengawasan dan pengaturannya, termasuk pula hukum dan peradilan. Keempat adanya kerjasama serta koordinasi internasional yang menjalankan surveillance secara efektif. 83 Bank Indonesia telah mengeluarkan Single Presence Policy melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/ 16/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Nasional, dan diharapkan langkah-langkah konsolidasi perbankan yang telah diambil tersebut mampu mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat seperti yang menjadi visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Single Presence Policy dikeluarkan lembaga otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia, yang memang memiliki kewenangan mengatur perbankan nasional.
83
Soedradjad Djiwandono, Menuju Sistem Perbankan Untuk Mendukung Pembangunan Nasiona, http://kolom.pacific.net.id, diakses pada tanggal 20 Januari 2009. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Layaknya sebuah kebijakan publik, esensi Single Presence Policy ditujukan untuk peningkatan nilai tambah (value added) atas kebijakan-kebijakan sebelumnya. 84 Konsolidasi perbankan bertujuan untuk memperkokoh dari sisi modal dan Sumber Daya Manusia sebagai aset. Dengan konsolidasi perbankan akan mampu memperbaiki kinerja perbankan sehingga fungsi intermediasi sebagai pelumas roda ekonomi nasional berjalan lancar. 85 Bank
Indonesia
memandang
perlunya
menata
kembali
struktur
kepemilikan perbankan melalui Single Presence Policy sebagai bagian dari konsolidasi perbankan untuk mempermudah pengaturan dan pengawasan. Dengan adanya pengendalian satu pihak terhadap lebih dari 1 (satu) bank menjadikan pengawasan bank menjadi kurang efisien dan terjadi benturan kepentingan dalam grup bank yang dikendalikan atau dimiliki. Dengan Single Presence Policy, Bank Indonesia disamping bermaksud untuk menguatkan struktur perbankan, namun juga bermaksud untuk meningkatkan efisiensi pengawasan. 86 Segala usaha yang dilakukan Bank Indonesia tidak akan berhasil jika tidak direncanakan pelaksanaannya secara berhati-hati, sistematis dan dengan kerja keras, apalagi tidak didukung oleh para pelaku ekonomi. Direncanakan berarti bahwa berbagai strategi atau kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia yang akan
84
Krisna Wijaya, Bank- Bank BUMN Kebijakan Kepemilikan Tunggal dari Sudut Kebijakan Publik, http://www.infobanknews.com, diakses pada tanggal 29 Januari 2009. 85 http://www.surya.co.id, Urgensi Bank Holding Company, diakses pada tanggal 20 Januari 2009. 86 http://cfisel.blogspot.com, Op.cit. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
dilaksanakan merupakan sebuah rangkaian program kegiatan yang bersifat sequential dan saling mengisi. 87
Prinsip dan Konsep Single Presence Policy Untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional kiranya konsolidasi perbankan menjadi sebuah keharusan. Asumsinya perbankan sebagai katalisator roda perekonomian nasional, karena gerak ekonomi nasional dipengaruhi baik langsung maupun tidak langsung oleh kinerja perbankan. Dan Single Presence Policy dianggap sebagai bagian dari konsolidasi perbankan. Penerapan Single Presence Policy ini berlaku untuk semua bank umum. Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.tidak termasuk kantor cabang bank asing. Kebijakan Single Presence Policy jelas mengikat dan harus dilaksanakan. Sikap yang baik atas kebijakan Single Presence Policy adalah bila tidak ada distorsi dalam bentuk pengecualian. Karena, adanya pengecualian yang tidak punya alasan yang rasional dan relevan merupakan bentuk ketidakdisiplinan. Ketidakdisiplinan sangat pasti akan mengganggu implementasi disiplin pasar yang
87
Marsuki, Analisis Sektor Perbankan, Moneter, dan Keuangan Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2005), hal. 5. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
memang sangat diperlukan bagi industri perbankan yang bercirikan sebagai lembaga kepercayaan.
88
Single Presence Policy atau kebijakan kepemilikan tunggal, termasuk kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank, memberikan pengecualian bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum World Trade Organization untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank). 89 Demikian juga pengecualian diberikan bagi Pemegang Saham Pengendali yang mengendalikan 2 (dua) bank yang masing- masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis bank dimaksud lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah. 90
D. Pengaturan Ketentuan Single Presence Policy Dalam Hukum Indonesia Diberlakukannya Single Presence Policy ini berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 Tanggal 5 Oktober 2006, maka Pemegang Saham Pengendali yang memiliki saham 25 % (dua puluh lima persen) dari total saham, mempunyai hak opsi, menjalankan manajamen, dan mempengaruhi kebijakan 88
http://www.infobanknews.com, Op.cit. Penjelasan Peraturan Bank Indonesia No.8/ 16/PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada perbankan Indonesia. 90 Ibid. 89
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
bank dan yang memiliki saham lebih dari satu bank diberikan tiga opsi. Pertama, melepas sahamnya di salah satu bank kepada investor lain sehingga tinggal menyisakan kepemilikan pada satu bank saja. Kedua, melakukan penggabungan bank-banknya. Ketiga, menempatkan bank-banknya dalam satu perusahaan induk. 91
Pengalihan Saham Bank Pengalihan sebagian atau seluruh saham Pemegang Saham Pengendali kepada pihak lain dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang Akuisisi Bank Umum dan pembelian Saham Bank Umum. 92 Menurut Black’s Law Dictionary, akuisisi didefinisikan sebagai berikut: “the act of becoming the owner off certain property, the act by which one acquires or purchases in anything.”93 Akuisisi saham merupakan salah satu bentuk akuisisi yang paling umum ditemui dalam hampir setiap kegiatan akuisisi. Akuisisi tersebut dapat dilakukan dengan cara: 94
91
http://haryantoruz.wordpress.com, Wajah Perbankan Indonesia sesudah SPP, diakses pada tanggal 23 Desember 2008 92 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Bank Indonesia No.8/ 16/PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 93 Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co.,1990), hal. 24 Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
membeli seluruh maupun sebagian saham-saham yang telah dikeluarkan oleh perseroan; maupun dengan atau tanpa melakukan penyetoran atas sebagian maupun seluruh saham yang belum dan akan dikeluarkan perseroan; yang mengakibatkan penguasaan mayoritas atas saham perseroan oleh perusahaan yang melakukan akuisisi tersebut, yang akan membawa ke arah penguasaan manajemen dan jalannya perseroan. Pengambilalihan tersebut dapat dilakukan oleh suatu badan hukum, baik yang berupa suatu perseroan terbatas, atau badan hukum lainnya maupun perseorangan.
Pengambilalihan
hanyalah
pengambilalihan
yang
skenario
pengambilalihannya disusun oleh pengurus (Direksi) perseroan yang akan diambil alih, bersama dengan pengurus badan hukum atau orang perseorangan yang akan mengambil alih. 95 Akibat hukum dari pengambilalihan secara akuisisi ini adalah; Pertama, baik melalui pengambilalihan saham bank secara langsung maupun melalui bursa efek, yang mengakibatkan kepemilikan saham oleh pemegang saham perorangan atau badan hukum menjadi lebih dari 25 % (dua puluh lima persen) dari saham bank yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara dianggap mengakibatkan beralihnya pengendalian bank, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Kedua, pengambilalihan saham yang mengakibatkan kepemilikan saham oleh pihak yang mengambil alih menjadi 25% (dua puluh lima persen) atau
94
Gunawan Widjaja, Merger dalam Perspektif Monopoli, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 51. 95 Ibid, hal.68-69. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
kurang dari saham bank yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara dianggap tidak mengakibatkan beralihnya pengendalian bank, kecuali yang bersangkutan menyatakan kehendaknya untuk mengendalikan atau dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan secara langsung atau tidak langsung mengendalikan bank tersebut. Akibat hukum lainnya adalah segala perbuatan hukum perusahaan target dengan pihak ketiga tetap menjadi tanggung jawab perusahaan target.96 Pelaksanaan akuisisi Bank Umum melalui beberapa tahap, yaitu: 97 Tahap persiapan pelaksanaan akuisisi Pihak yang akan mengakuisisi menyampaikan maksud untuk melakukan akuisisi kepada direksi bank yang diakuisisi. Kemudian direksi bank yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi masing- masing menyusun usulan rencana akuisisi, yang wajib mendapat persetujuan dari komisaris bank yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi. Usulan rencana akuisisi Bank Umum tersebut merupakan bahan rancangan akuisisi yang disusun oleh direksi Bank Umum yang diakuisisi bersama pihak yang akan mengakuisisi yang sekurang- kurangnya memuat hal- hal yang tercantum dalam usulan rencana akuisisi. Sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Bank Umum yang akan diakuisisi, direksi bank umum yang diakuisisi wajib mengumumkan ringkasan rancangan akuisisi,
yang dilakukan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham atau 96 97
Agus Budiyanto, Op.cit, hal.104. Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 100-102.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Rapat Anggota dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas dan 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota, kepada karyawan Bank Umum secara tertulis.
Tahap pelaksanaan akuisisi bank Rancangan akuisisi berikut konsep akta akuisisi wajib mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota bank umum yang akan diakuisisi dan pihak yang akan melakukan akuisisi. Selanjutnya rancangan akuisisi berikut konsep akta akuisisi yang telah disetujui tersebut, setelah memperoleh izin Bank Indonesia, dituangkan dalam akta akuisisi. Tahap pengajuan permohonan izin akuisisi Permohonan untuk memperoleh izin akuisisi diajukan direksi bank umum yang akan diakuisisi bersama dengan pihak yang akan mengakuisisi kepada Direksi Bank Indonesia dengan melampirkan rancangan akuisisi beserta dokumen pendukungnya. Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin akuisisi yang disampaikan, Bank Indonesia melakukan penelitian kelengkapan dan kebenaran dokumen dan wawancara terhadap pihak yang akan mengakuisisi. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin akuisisi diberikan oleh Bank Indonesia dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. Bank Indonesia akan menjelaskan alasan penolakan kepada Menteri Hukum dan HAM dengan tembusan izin akuisisi, apabila terdapat perubahan anggaran dasar. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Tahap pelaporan pelaksanaan akuisisi Akuisisi Bank Umum mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan akta akuisisi. Direksi Bank Umum wajib menyampaikan laporan pelaksanaan akuisisi kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal penandatanganan akta akuisisi tersebut dilampirkan dengan fotokopi akta akuisisi.
Pemerintah mengurangi sebagian atau seluruh bagian saham milik pemerintah dengan cara sebagai berikut: 98 Selama jangka waktu tiga tahun sejak penandatanganan Perjanjian Rekapitalisasi, pemegang saham yang membeli saham biasa yang diterbitkan dalam rangka program rekapitalisasi bank dapat membeli kembali sebagian atau seluruh saham milik Pemerintah dengan hak opsi (call option). Hasil penagihan kredit dan penjualan asset, wajib digunakan oleh seluruh pemegang saham untuk membeli sebagian atau seluruh saham milik pemerintah pada Bank Umum. Selama jangka waktu tiga tahun, Pemerintah mengalihkan sisa kepemilikan saham pada bank kepada masyarakat dengan terlebih dahulu menawarkan kepada pemegang saham bank umum. Pengalihan seluruh sisa kepemilikan saham pemerintah pada bank umum dilakukan selambat-lambatnya dua tahun setelah berakhirnya jangka waktu tiga tahun sejak penandatanganan Perjanjian Rekapitalisasi;
98
Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 152-153
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Harga pengalihan sisa kepemilikan saham pemerintah pada bank sebagaimana dimaksud didasarkan pada nilai yang ditetapkan oleh penilai independen pada awal periode dua tahun sebagaimana dimaksud.
Apabila akuisisi tersebut (dalam hal ini akuisisi saham) dilakukan terhadap perusahaan terbuka, ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pasar modal menyatakan bahwa haruslah dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut: Harus dilakukan lewat pasar modal, biasanya juga dilakukan dengan semacam pengikatan jual beli saham sebelum akuisisi tersebut dilaksanakan. Pada prinsipnya hars dilakukan lewat mekanisme khusus untuk itu, yaitu apa yang disebut “ tender offer”. Untuk suatu akuisisi yang melibatkan perusahaan terbuka, maka Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dari perusahaan terbuka tersebut dalam rangka memenuhi unsur disclosure haruslah mengikuti peraturan yang berlaku di pasar modal, yaitu adanya pemanggilan untuk Rapat Umum Pemegang Saham dan pengumuman dilakukannya Rapat Umum Pemegang Saham harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar kepada publik. 99 Selain itu, dipandang perlu melakukan pengkajian lebih lanjut untuk menggunakan beberapa ketentuan seperti pengalihan kepemilikan, penerbitan saham tanpa nilai nominal, penyederhanaan proses pendirian dan perubahan anggaran dasar perseroan. 100
99
Munir Fuady, Op.cit, hal. 75 Peraturan No. IX.J.I tentang Cara Pemindahan Hak atas Saham dan Peraturan X.K.I tentang keterbukaan informasi kepada publik. 100
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Mengenai pelaksanaan akuisisi pada Badan Usaha Milik Negara tidak banyak perbedaan dengan akuisisi yang menyangkut dengan Perseroan Terbatas biasa. Hanya saja, karena dalam Perseroan Terbatas Bada Usaha Milik Negara tersangkut unsur pemerintah sebagai pemegang saham, maka ada prosedur khusus yang harus dipenuhi. Birokrasinya lebih rumit, dan pelaksanaan akuisisi tersebut haruslah dengan suatu peraturan khusus sebagai dasar hukum dari akuisisi yang bersangkutan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan dengan seksama tentang berbagai peraturan perundang- undangan yang khusus mengatur tentang Badan Usaha Milik Negara. 101
2. Merger atau Konsolidasi Bank Kepemilikan bank dapat beralih kepada pihak lain melalui penyatuan usaha (combination atau business amalgamation) bank dalam rangka memperkuat dirinya guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, efisien, dan mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. 102 Menurut The World Book Encyclopedia, merger didefinisikan sebagai berikut: “Merger is the combination of two more independent companies into a single corporation. In moat mergers, a firm acquires the assets and liabilities of a smaller enterprise by purchasing its capital stock. It then takes over the operation
101
Munir Fuady, Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal.84. 102 Rachmadi Usman, Op.cit,hal. 84. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
of the smaller firm and drops that firm’s name. In some mergers, firms of similar size joint to form an entirely new corporation.” 103
Merger adalah penggabungan dari dua bank atu lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu dari bank yang ikut merger dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. 104 Konsolidasi perusahaan terjadi jika sebuah perusahaan baru dibentuk untuk mengambil alih net asset dari dua perusahaan lainnya yang telah dikombinasi. 105 Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank- bank yang ikut konsolidasi tersebut tanpa melikuidasi terlebih dulu. 106 Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dapat dilakukan atas: 107 inisiatif Bank yang bersangkutan; atau permintaan Bank Indonesia; atau inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Merger atau konsolidasi bank mengakibatkan: 108
103
The World Encyclopedia, (USA: World Book Inc.,1989),hal.4488. Kasmir, Op.cit, hal.47. 105 Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, (New York: Barron’s Aducational Series.Inc, 1987), hal. 2. 106 Kasmir, Loc. Cit. 107 Pasal 3 Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. 108 Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank. 104
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Pemegang saham bank yang melakukan merger atau konsolidasi menjadi pemegang saham bank hasil merger atau bank hasil konsolidasi; Aktiva dan pasiva bank yang melakukan merger atau konsolidasi, beralih karena hukum kepada bank hasil merger atau bank hasil konsolidasi. Merger atau konsolidasi merupakan masalah yang kompleks yang memerlukan beberapa tahapan yang sangat penting. Adapun tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan merger atau konsolidasi adalah sebagai berikut: 109 Tahap persiapan merger atau konsolidasi Direksi Bank yang akan menggeabungkan diri dan menerima penggabungan masing- masing, menyusun usulan rencana merger atau konsolidasi, yang wajib mendapat persetujuan dari dewan komisaris masing- masing bank. Usulan rencana merger atau konsolidasi dimaksud merupakan bahan rancangan merger atau konsolidasi yang disusun secara bersama-bersama oleh direksi bank yang akan melakukan merger atau konsolidasi dengan memuat hal-hal yang terdapat dalam usulan rencana merger atau konsolidasi dan penegasan dari bank hasil merger atau konsolidasi mengenai penerimaan pengalihan segala hak dan kewajiban dari bank akan merger atau konsolidasi. Kemudian sebelum Rapat Umum Pemegang Saham diselenggarakan, direksi bank yang akan melakukan merger atau konsolidasi wajib mengumumkan ringkasan rancangan merger atau konsolidasi, selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum Rapat umum Pemegang Saham, dalam 2 (dua) surat kabar harian yang
109
Rachmadi Usman, Op.cit, hal.90-95.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
mempunyai peredaran luas dan 14 (empat belas) hari dari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham, kepada karyawan masing-masing Bank secara tertulis. Keberatan terhadap pelaksanaan merger atau konsolidasi oleh kreditor dan pemegang saham minoritas dapat diajukan selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham. Jika dalam jangka waktu tersebut, kreditor dan pemegang saham minoritas tidak mengajukan keberatan, maka kreditor dan pemegang saham minoritas dianggap menyetujui merger atau konsolidasi. Selanjutnya keberatan tersebut disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang
Saham
guna
mendapat
penyelesaian.
Pengertian
mengenai
penyelesaian di sini tidak harus berarti pembayaran kembali piutang seketika, tetapi dapat juga berupa kesepakatan tentang penyelesaian keberatan kreditor dan pemegang saham minoritas. Selama penyelesaian dimaksud tadi belum tercapai, merger atau konsolidasi tidak dapat dilaksanakan.
Tahap pelaksanaan merger atau konsolidasi Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota masingmasing bank yang akan menggabungkan diri dan menerima penggabungan guna memberikan persetujuan terhadap rancangan merger atau rancangan konsolidasi dan konsep akta merger atau konsep akta konsolidasi. Konsep akta merger atau konsep akta konsolidasi yang telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota tersebut, kemudian dituangkan dalam akta merger atau akta konsolidasi dan akta perubahan anggaran dasar atau
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
akta pendirian termasuk anggaran dasar, yang dibuat di hadapan notaries dalam bahasa Indonesia.
Tahap permohonan izin merger atau konsolidasi Setelah memperoleh persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham atau rapat Anggota untuk melakukan merger atau konsolidasi, direksi masing- masing bank secara bersama-sama mengajukan permohonan izin merger atau konsolidasi kepada Direksi Bank Indonesia selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari dengan tembusan kepada Menteri Hukum dan HAM. Permohonan izin merger atau konsolidasi diajukan dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: Notulen Rapat Umum Pemegang Saham/ Rapat Anggota Akta merger atau akta konsolidasi Akta perubahan anggaran dasar bank hasil merger atau akta pendirian termasuk anggaran dasar bank hasil konsolidasi Bukti pelaporan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan pengumuman kepada investor, bagi bank yang tercatat di pasar modal Bukti pengumuman mengenai ringkasan rancangan merger atau rancangan konsolidasi. Kemudian Bank Indonesia dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin merger atau konsolidasi tadi melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen dan wawancara terhadap calon anggota Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
dewan komisaris dan direksi hasil merger atau konsolidasi. Jawabannya akan diberikan oleh Direksi Bank Indonesia dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. Jika dalam batas waktu dimaksud, Bank Indonesia tidak memberikan tanggapan atas permohonan izin merger atau konsolidasi tersebut, maka Bank Indonesia dianggap telah menyetujui permohonan izin merger atau konsolidasi tersebut. Dalam hal permohonan ditolak, maka penolakan tersebut diberitahukan Bank Indonesia kepada pemohon secara tertulis beserta alasannya. Baik tembusan persetujuan dan penolakan permohonan izin merger atau konsolidasi disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Menteri Hukum dan HAM. Dalam waktu yang bersamaan dengan pengajuan permohonan izin merger atau konsolidasi kepada Bank Indonesia, direksi bank hasil merger atau konsolidasi wajib mengajukan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar atau persetujuan atas akta pendirian termasuk anggaran dasar hasil bank konsolidasi kepada instansi yang berwenang dengan tembusan kepada Bank Indonesia. Menteri Hukum dan HAM hanya dapat memberikan persetujuan atas perubahan anggaran dasar bank hasil merger atau pengesahan akta pendirian termasuk anggaran dasar bank hasil konsolidasi setelah memperoleh tembusan izin merger atau konsolidasi dari Bank Indonesia. Persetujuan atau penolakan Menteri Hukum dan HAM atas permohonan tersebut, diberikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah diperolehnya izin merger atau konsolidasi dari Bank Indonesia. Dalam hal permohonan ditolak atau permohonan pengesahan ditolak,
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
maka penolakan tersebut diberitahukan kepada permohonan secara tertulis beserta alasannya oleh Bank Indonesia. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak akta perubahan anggaran dasar atau akta pendirian bank hasil konsolidasi memperoleh persetujuan atau pengesahan dari Mneteri Hukum dan HAM, direksi bank hasil merger atau konsolidasi wajib mendaftarkan akta perubahan anggaran dasar atau akta pendirian bank hasil konsolidasi dalam daftar perusahaan dan mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Secara khusus perubahan anggaran dasar bank hasil merger tidak memerlukan persetujuan Menteri Hukum dan HAM, maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak Rapat Umum Pemegang Saham, direksi bank hasil merger wajib melaporkan akta merger dan akta perubahan anggaran dasar tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM. Atas laporan tersebut, Menteri Hukum dan HAM akan mengeluarkan surat tanda penerimaan laporan jika izin merger dari Bank Indonesia telah diperolehnya, selanjutnya direksi bank hasil merger mendaftarkan akta merger dan akta perubahan anggaran dasar anak hasil merger dalam daftar perusahaan serta mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara.
Tahap berlakunya izin merger atau konsolidasi Izin merger atau konsolidasi bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas berlaku sejak:
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar atau akta pendirian termasuk anggaran dasar oleh Menteri Hukum dan HAM. Tanggal pendaftaran akta merger dan perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan Menteri Hukum dan HAM. Izin merger atau konsolidasi bagi bank yang berbentuk hukum selain Perseroan Terbatas berlaku sejak: Tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar atau akta pendirian termasuk anggaran dasar dari instansi yang berwenang. Tanggal pendaftaran akta merger dan perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan apabila perubahan anggaran dasar tidak memerlukan persetujuan dari instansi yang berwenang.
Tahap pelaporan pelaksanaan merger atau konsolidasi Menyusun neraca penutupan masing-masing bank yang melakukan merger atau konsolidasi. Menyusun neraca pembukaan bank dari hasil merger atau konsolidasi Mengumumkan hasil merger atau konsolidasi disertai dengan neraca pembukaan bank hasil merger atau konsolidasi dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal berlakunya izin merger atau konsolidasi. Menyampaikan laporan pelaksanaan merger atau konsolidasi kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal pengumuman Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
dengan melampirkan fotokopi akta perubahan anggaran dasar atau fotokopi akta pendirian, termasuk anggaran dasar yang telah mendapat persetujuan dari instansi berwenang, dan guntingan surat kabar harian mengenai pengumuman hasil merger atau konsolidasi. Dalam melakukan merger, harus memperhatikan kepentingan perseroan, kreditur, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan yang bersangkutan serta kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan kegiatan usaha. 110 Beberapa hambatan yang mungkin ditemukan dalam melakukan merger bank, yaitu: 111 Negosiasi yang alot di antara dua atau lebih bank- bank yang akan melakukan merger tersebut untuk menemukan apa yang disebut win win solution. Management style antara bank- bank yang akan merger tersebut yang berbeda satu sama lain. Corporate culture yang berbeda. Sistem penggajian dan insentif yang berbeda. Bargaining untuk mendapatkan posisi-posisi bagus dan komposisi kepemilikan saham pada bank yang bertahan.
110 111
Agus Budiyanto, Op.cit, hal.90. Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1999)
hal.177. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Jika salah satu atau lebih bank yang melakukan merger tersebut merupakan perusahaan terbuka, maka untuk melaksanakan merger tersebut perlu pula mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Adanya asas keterbukaan informasi yang sangat dominan pada pasar modal,
mengharuskan
bank-bank
yang
melakukan
merger
mengadakan
pemanggilan untuk Rapat Umum Pemegang Saham, proses pelaksanaan merger atau konsolidasi wajib diumumkan pada 2 (dua) surat kabar harian dengan jangka waktu yang ditentukan. Aspek lain yang yang harus diperhatikan dalam rangka melakukan merger bank adalah aspek saham dan jual beli saham di pasar sekunder. Banyak yang harus dilakukan dalam hubungan dengan saham itu sendiri. Misalnya, melakukan penukaran saham dengan saham dari perusahaan yang masih eksis, pemusnahan saham lama, dan lain-lain masalah teknis yang berlaku di Bursa Efek dimana saham tersebut diperdagangkan. 112 Banyak ketentuan di bidang pasar modal yang bermuara ke arah perlindungan pemegang saham minoritas/ publik.Beberapa di antaranya adalah bila merger terjadi penyertaan oleh perusahaan terbuka, saham dan aset perusahaan target harus diaudit dan dinilai penilai independen dan dapat mengadakan Rapat Umum pemegang Saham (RUPS) pemegang saham independen jika terjadi benturan kepentingan, misal terhadap merger dalam 1 (satu) grup perusahaan. 113
112 113
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Buku Kesatu), Op.cit, hal.52 Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, Op.cit, hal. 78.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Apabila di antara bank yang melakukan merger tersebut terdapat juga perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka harus diperhatikan ketentuan yang berkenaan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketentuan yang harus dipatuhi di antaranya adalah sebagai berikut: 114 Apakah merger diperbolehkan untuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang yang bersangkutan. Apakah boleh dilakukan merger dengan perusahaan yang bergerak di bidang yang bersangkutan. Apakah merger tersebut sesuai dengan policy di bidang swastanisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang yang bersangkutan. Perlu diperhatikan tentang adanya perizinan/ pelaporan dari tindakan merger tersebut terhadap instansi terkait/ Departemen Keuangan atau bahkan terhadap Presiden Republik Indonesia.
3. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) Ada kalanya, bisnis dari suatu perusahaan sudah sedemikian besar dan melebar sehingga perusahaan itu sendiri perlu dipecah-pecah menurut penggolongan bisnisnya. Pecahan-pecahan perusahaan tersebut bersama dengan perusahaan-perusahaan lain yang mungkin telah terlebih dahulu ada, dengan pemilik yang sama atau minimal ada hubungan khusus, dimiliki dan dikomandani oleh suatu perusahan yang mandiri pula. Perusahaan pemilik (dan pengomando) ini yang disebut sebagai perusahaan holding. Perusahaan holding sering disebut
114
Ibid, hal. 79- 80.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
juga dengan holding company, parent company, atau controlling company. Yang dimaksud dengan perusahaan holding adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/ atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut. 115 Konsep Bank Holding Company pertama dikenalkan di Amerika Serikat dengan pada saat dikeluarkanya The Bank Holding Company Act pada tahun 1956. Menurut Undang-undang ini Bank Holding Company adalah setiap perusahaan yang memiliki saham minimal 25% pada suatu bank. Bank Holding Company dimaksudkan untuk menghindari pembatasan pendirian cabang antar negara bagian (interstate branching) yang waktu itu diterapkan di Amerika Serikat dan juga untuk kepentingan pajak. Konsep Bank Holding Company kemudian diperluas menjadi Financial Holding Company melalui Gramm Leach Bliley Act yang ditandatangani Presiden Clinton pada November 1999. Dan keduanya berada di bawah pengawasan bank sentral Amerika Serikat yaitu Federal Reserve. 116 Seringkali suatu perusahaan holding mempunyai kepentingan pengawasan dalam perusahaan lainnya. Terhadap perusahaan publik di Amerika Serikat misalnya, Public Utility Act di sana memberikan pengertian kepada perusahaan holding sebagai perusahaan yang memiliki/ mengawasi atau mempunyai
115
Munir Fuady, Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 83-84. 116 http://hukum-perbankan.blogspot.com, Merger, Akuisisi, Konsolidasi Perbankan Relevansinya Dengan Kebijakan Single Presence Policy, diakses pada tanggal 20 Januari 2009. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
kekuasaan untuk memberikan suara terbanyak sebanyak 10 % (sepuluh persen) dari suatu perusahaan publik. 117 Secara umum, pembentukan Holding company dilakukan dengan tiga prosedur, yaitu: 118 1. Prosedur Residu Dalam hal ini, perusahaan asal dipecah sesuai masing-masing sektor usaha. Perusahaan yang dipecah tersebut telah menjadi perusahaan mandiri, sementara sisanya (residu) dari perusahaan asal dikonversi menjadi perusahaan holding, yang juga memegang saham pada perusahaan pecahan tersebut dan perusahan-perusahaan lainnya jika ada.
2. Prosedur Penuh Prosedur ini sebaiknya dilakukan jika sebelumnya tidak terlalu banyak pemecahan/ pemandirian perusahaan, tetapi masing-masing perusahaan dengan kepemilikan
yang
sama/
berhubungan
saling
terpencar-pencar,
tanpa
terkonsentrasi dalam suatu perusahaan holding. Yang menjadi perusahaan holding bukan sisa dari perusahaan asal seperti pada prosedur residu, tetapi perusahaan penuh dan mandiri. Perusahaan mandiri calon perusahaan holding ini dapat berupa: a. Diambil salah satu dari perusahaan yang sudah ada tetapi masih dalam kepemilikan yang sama atau berhubungan, ataupun 117
A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), hal. 225. 118 http://www.surya.co.id, Urgensi Bank Holding Company, diakses pada tanggal 23 Januari 2009 Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
b. Diakuisisi perusahaan yang lain yang sudah terlebih dahulu ada, tetapi dengan kepemilikan yang berlainan dan tidak mempunyai keterkaitan satu sama lain.
3. Prosedur terprogram. Dalam prosedur ini pembentukan perusahaan holding telah direncanakan sejak awal start bisnis. Karenanya, perusahaan yang pertama sekali didirikan dalam grupnya adalah perusahaan holding. Kemudian untuk setiap bisnis yang dilakukan, akan dibentuk atau diakuisisi perusahaan lain. Di mana perusahaan holding sebagai pemegang saham biasanya bersama-sama dengan pihak lain sebagai partner bisnis. Dalam hal ini. jumlah perusahaan baru sebagai anak perusahaan dapat terus berkembang jumlahnya seirama dengan perkembangan bisnis dari grup usaha yang bersangkutan. 119 Salah satu upaya untuk melindungi kepentingan pihak- pihak tertentu dari desakan-desakan oleh pihak perusahan holding terhadap manajemen anak perusahaan adalah dengan memberikan garis pembatas bahwa perusahaan holding semata-mata pemegang saham. Karena itu, perannya juga hanya sebatas peran yang dapat dimainkan oleh pemegang saham. Jadi, perusahaan holding tidak boleh mencampuri urusan manajemen perusahaan, apalagi yang bersifat day to day operation, yang merupakan wewenang direktur. Perusahaan holding juga tidak boleh mensupervisi perusahaan sejauh hal itu merupakan wewenang
119
Munir Fuady, Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis), Op.cit, hal.88.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
komisaris. Sebagai pemegang saham, perusahaan holding hanya dapat bertindak lewat mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham saja. 120 Adanya teori Deep Pocket Theory yang mengajarkan bahwa sesuatu pihak dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan tanggung jawabnya atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Teori ini berdasarkan atas prinsip- prinsip yang disebut Imputed Liability ataupun disebut juga Vicarious Liability (tanggung jawab pengganti). Dalam hal ini, tanggung jawab hukum dibebankan kepadanya karena: “…not because he is personally cognizant of it or responsible for it, but because another person is, overwhom he has control or for whose acts or knowledge he is responsible.” 121 Aplikasi teori ini untuk dapat memintakan tanggung jawab perusahaan holding terhadap bisnisnya ank perusahaan, dapat didasari atas doktrin joint enterprise, yakni adanya semacam partnership, atau lebih tepat disebut sebagai analogi dari hukum tentang partnership. 122 Dari berbagai akibat hukum dari ikut campurnya pihak perusahaan holding ke dalam bisnis anak perusahaan tersebut, ada yang dapat diterapkan secara bersama-sama (kumulatif), dan ada pula yang hanya bersifat alternatif. Ini sangat bergantung kepada fakta yang ada, para pihak yang melakukannya atau yang dirugikan, bagaimana struktur dan besarnya grup perusahaannya tersebut, dan berbagai pertimbangan faktual lainnya.
120
Ibid, hal. 113-114. Henry Campbell, 1968, Op.cit, hal.891. 122 Page T. Keeton, Prosser and Keeton on Torts, (St. Paul, USA: West Publishing Co.,1984), hal.516. 121
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Seperti juga perusahaan holding yang merupakan badan hukum (legal entity) yang mandiri dan terpisah dengan badan hukum lainnya, maka anak perusahaan juga pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas, yang juga mempunyai kedudukan yang mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri, yang terpisah secara yuridis dengan harta kekayaan pemegang sahamnya. Tidak kecuali apakah pemegang sahamnya itu merupakan perusahaan holding ataupun tidak. 123
123
Munir Fuady, Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis), Op.cit, hal.
133. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
BAB IV KEWENANGAN BANK INDONESIA DALAM PELAKSANAAN SINGLE PRESENCE POLICY DALAM RANGKA PENGAWASAN PERBANKAN
A. Kewenangan Bank Indonesia Menetapkan Peraturan yang Mendorong Single Presence Policy Bank Indonesia mengeluarkan 14 Peraturan Bank Indonesia yang merupakan langkah implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia. Aturan baru ini Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
diharapkan mampu memperkuat industri perbankan Indonesia. Kebijakan 14 Peratuan Bank Indonesia (PBI) ini dikenal dengan Paket Kebijakan Perbankan Oktober
2006.
Kebijakan
relaksasi
atas
beberapa
ketentuan
untuk
mengoptimalkan intermediasi perbankan dituang dalam 11 Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan 3 Peraturan Bank Indonesia lainnya terkait upaya penguatan struktur industri perbankan nasional, dan salah satunya adalah Peraturan Bank Indonesia mengenai Single Presence Policy. 124 Bank Indonesia dalam rangka mewujudkan Single Presence Policy ini memberikan dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 9/ 12/ PBI/ 2007 tentang perubahan atas Perubahan Bank Indonesia No 8/ 17/ PBI/ 2006 mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan yang memberikan sejumlah insentif kepada perbankan nasional untuk mempercepat melakukan konsolidasi atau merger. 125 Ada enam bentuk insentif yang dimaksudkan yaitu kemudahan dalam pemberian izin menjadi bank devisa, kelonggaran sementara atas kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah, perpanjangan jangka waktu penyelesaian Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang timbul sebagai akibat merger atau konsolidasi. Insentif lain adalah kemudahan dalam pemberian izin pembukaan kantor cabang bank, penggantian sebagian biaya konsultan pelaksana due diligence dan kelonggaran sementara atas pelaksanaan beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Good 124
http://www.bi.go.id, Kebijakan Baru BI Akan Mendorong Intermediasi dan Konsolidasi Perbankan, diakses pada tanggal 12 Januari 2009. 125 http://www.beritasore.com, BI Keluarkan Peraturan Baru Insentif Konsolidasi Bank diakses pada tanggal 12 Januari 2009. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Corporate Governance bagi bank umum. Bank Indonesia juga menggunakan persyaratan modal minimum 80 milar rupiah pada September 2007 dan 100 miliar rupiah pada tahun 2010 kepada bank- bank kecil untuk mempercepat konsolidasi itu. 126 Harapan Bank Indonesia untuk mempercepat konsolidasi bank-bank swasta lokal mungkin tidak banyak membuahkan hasil kalau hanya dengan mengandalkan Single Presence Policy ini. Tahap-tahap implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia, khususnya yang menyangkut persyaratan modal minimum, perlu ditinjau lagi. Kalau semula untuk bank- bank yang sudah beroperasi hanya dipersyaratkan menaikkan modalnya menjadi Rp100 milyar pada tahun 2010, mungkin perlu dinaikkan menjadi minimal 500 milyar rupiah atau 1 trilyun rupiah. Kalau secara legal Bank Indonesia tidak bisa memaksa pemilik- pemilik bank untuk melaksanakan Single Presence Policy, sebagai regulator perbankan, Bank Indonesia mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur persyaratan modal minimum. 127 Kemudahan pemberian izin menjadi bank devisa berlaku dalam jangka dua tahun sejak berlakunya izin merger atau konsolidasi dengan ketentuan bank hasil merger atau konsolidasi telah memiliki modal inti minimal sebesar 100 miliar rupiah dan bank hasil merger memiliki peringkat komposit sekurang- kurangnya
126
http://www.beritasore.com, Ibid. http://www.haryantoruz.wordpress.com, Wajah Perbankan Indonesia Sesudah SPP, diakses pada tanggal 12 Januari 2009. 127
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
dua, dengan peringkat faktor manajemen sekurang- kurangnya tiga pada dua posisi terakhir. 128 Sementara itu, tujuan dari perubahan Peraturan Bank Indonesia tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bank umum adalah untuk memperkuat industri perbankan nasional sesuai Arsitektur Perbankan Indonesia antara lain melalui
peningkatan
kualitas
penerapan
Good
Corporate
Governance,
peningkatan peran Dewan Komisaris dan Direksi serta memperjelas definisi komisaris independen dan pihak independen. Dengan dikeluarkannya paket kebijakan ini, akan semakin membuka ruang gerak perbankan dalam menyalurkan kredit dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian serta mendorong agar bank-bank melakukan konsolidasi seperti dengan merger, akuisisi dan pembentukan holding yang diharapkan dapat mengurangi jumlah perbankan nasional, sehingga tercapainya konsolidasi perbankan pada 2010.
B. Kompleksitas Pelaksanaan Single Presence Policy Penyesuaian struktur kepemilikan melalui tiga opsi yang diberikan dalam kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010. Tetapi Bank Indonesia dapat
128
http://www.haryantoruz..wordpress.com, Ibid.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
memberikan perpanjangan jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan berdasarkan permintaan Pemegang Saham Pengendali dan bank-bank yang dikendalikannya, apabila menurut penilaian Bank Indonesia kompleksitas permasalahan yang tinggi yang dihadapi Pemegang Saham Pengendali dan atau bank-bank yang yang dikendalikannya menyebabkan penyesuaian struktur kepemilikan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang ditentukan. 129 Ada tiga masalah yang timbul dalam implementasi Single Presence Policy. Pertama, penentuan pihak yang menjadi Pemegang Saham Pengendali bank. Hal ini terkait dengan ketentuan tentang ultimate shareholder dalam menetapkan pemilik bank. Kedua, pilihan yang ideal dari tiga opsi yang ditentukan dan ketiga, khusus untuk bank milik pemerintah opsi apa yang sebaiknya dipilih. 130
Pihak yang Menjadi Pemegang Saham Pengendali Dalam menetapkan pemilik bank, Bank Indonesia menerapkan konsep ultimate owner. Berdasarkan konsep ini pemilik adalah pihak yang menerima manfaat atas kepemilikan tersebut (beneficial owner). Pihak yang menerima manfaat tersebut dapat berbeda dengan legal owner. Oleh karena itu, pihak yang menerima manfaat dari kepemilikan bank wajib diungkapkan. Kewajiban untuk mengungkapkan juga berlaku untuk perusahaan terbuka. Hampir di semua negara
129
Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 130 http://www.hukum-perbankan.blogspot.com, Merger, Akuisisi, Konsolidasi Perbankan Relevansinya Dengan Kebijakan Single Presence Policy,diakses pada tanggal 21 Januari 2009. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
maju terdapat ketentuan yang mewajibkan untuk mengungkapkan kepentingan substantif suatu pihak terhadap perusahaan terbuka. 131 Adanya kewajiban agar suatu pihak yang memiliki secara substantif saham suatu perusahaan publik untuk mengungkapkan kepemilikannya kepada perusahaan dan kepada bursa dimana saham tersebut diperdagangkan. Berdasarkan ketentuan tersebut kewajiban tersebut muncul bilamana suatu pihak memiliki hak suara pada suatu perusahaan sebesar 5% (lima persen). Kewajiban untuk mengungkapkan kepemilikan dilandasi beberapa alasan. Pertama, identitas pemegang saham pengendali atau calon pemegang saham pengendali suatu perusahaan merupakan informasi investasi yang penting. Kedua, dalam rangka akuisisi keterbukaan informasi atas kepemilikan dimaksudkan untuk menjamin agar peralihan pengendalian perusahaan berlangsung secara terbuka dan efisien. Ketiga, untuk mencegah terjadinya insider trading dan manipulasi pasar. 132 Pemegang saham pengendali adalah badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang: 133 Memiliki saham bank sebesar 25 % (dua puluh lima perseratus) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara; Memiliki saham bank kurang dari 25 % (dua puluh lima perseratus) dari jumlah saham yang dikeluarkan bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian bank baik secara langsung maupun tidak langsung. 131
http://www.hukum-perbankan.blogspot.com,Ibid Ibid 133 Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 132
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank. Dari pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa kebijakan kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy berlaku terhadap pemegang saham pengendali pada lebih dari 1 (satu) bank, dan pemegang saham pengendali yang dimaksud wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya pada bank- bank yang dikendalikannya.
Tinjauan atas Tiga Opsi Single Presence Policy Di Indonesia terdapat enam kelompok bank, yaitu Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Swasta Devisa, Bank Swasta Non Devisa, Bank Pembangunan Daerah, Bank Asing, dan Bank Campuran dengan karakteristik kepemilikan yang beragam. Maka diperlukan kecermatan bagi pengambil keputusan untuk memilih yang sesuai dengan kebutuhan juga diperlukan penelitian. 134 Untuk mengetahui opsi mana yang seharusnya diterapkan dari kebijakan Single Presence Policy tersebut, terdapat satu hal penting yang harus kita perhatikan yaitu konsolidasi, karena konsolidasi perbankan inilah yang menjadi alat untuk penguatan struktur perbankan yang sehat, kuat, efisien dan kompetitif. 135
a. Pengalihan Saham 134
http://www.erwan29680.wordpress.com, Single Presence Policy Mulai Dilirik Dunia Perbankan, diakses pada tanggal 12 Januari 2009. 135 http://www.cfisel.blogspot.com, diakses pada 27 Januari 2009, Artikel tentang Single Presence Policy, Konsolidasi perbankan, Opsi yang Seharusnya Diterapkan Dalam Rangka Implementasi Single Presence Policy,oleh Muhammad Faiz Aziz. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Konsentrasi kepemilikan bank baik bank milik pemerintah (state-owned bank) maupun bank milik swasta telah menimbulkan permasalahan tersendiri dalam pengawasan. Oleh karena itu penerapan kebijakan Single Presence Policy dalam kerangka konsolidasi perbankan perlu dilakukan untuk merestrukturisasi kepemilikan bank. Efektifitas pengawasan terkait erat dengan pola dan struktur kepemilikan bank. Pola dan struktur kepemilikan bank merupakan suatu yang sangat kritis dalam mencapai praktik perbankan yang sehat. Konsentrasi kepemilikan bank misalnya memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank. Situasi ini mengakibatkan fungsi pengawasan internal sebagai first line of defenses menjadi kurang efektif menyebabkan pengawasan bank tergantung sepenuhnya kepada pengawas eksternal. Bahkan untuk pengawasan bisnis sehari-hari (day to day business). 136 Terjadinya cross-ownership yang pada gilirannya menimbulkan benturan kepentingan dan membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bank untuk mendukung kepentingan usaha pribadi pemegang saham maupun pengurus. Jalan keluar yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan adalah dengan mengefektifkan pengawasan internal. Pengawasan internal akan berjalan efektif apabila bank dimiliki oleh banyak pemegang saham. Tidak adanya pemegang saham mayoritas akan menciptakan pengurus bank dilakukan oleh para profesional berdasarkan kompetensi yang mereka miliki, bukan atas dasar
136
http://www.hukum-perbankan.blogspot.com, Op.cit.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
besarnya saham yang dimiliki. Tersebarnya kepemilikan juga akan menciptakan terjadinya pengawasan di antara para pemilik. 137
b. Merger atau konsolidasi Bila opsi merger yang dipilih adalah masalah monopoli dan pengusaan pasar. Merger yang menyebabkan suatu perusahaan menguasai pasar dan meningkatkan konsentrasi pasar, besar kemungkinan menurunkan persaingan secara substantif dan oleh karenanya harus dicegah kecuali dapat dibuktikan bahwa merger tersebut tidak menimbulkan anti persaingan. Undang- Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat penting disimak agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Undang-Undang ini mengatur tentang perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang. Untuk itu dapat digunakan dua acuan yaitu pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal menitikberatkan pandangan pada perilaku pengusaha tanpa terlalu mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan sosial secara luas. Sedangkan pendekatan rule of reason mempertimbangkan prinsip efisiensi dengan turut mempertimbangkan akibat negatif dan positif dari suatu tindakan terhadap proses persaingan. Tujuan keberadaan undang-undang tersebut adalah untuk efisiensi ekonomi, kesetaraan dalam kesempatan masuk pasar, pengurangan regulasi, menghindari konsentrasi pasar oleh beberapa pelaku usaha. 138
137 138
http://www.hukum-perbankan.blogspot.com, Ibid http://www.hukum-perbankan.blogspot.com, Ibid.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Pilihan merger akan menciptakan suatu bank besar yang dapat berfungsi sebagai bank internasional dalam pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia. Pilihan merger merupakan pilihan yang didorong agar dilakukan oleh industri perbankan, meski tidak begitu diinginkan alasannya pemilik bank-bank kecil enggan melepaskan kepemilikannya tanpa mendapatkan insentif khusus. Keengganan pemilik melakukan merger menimbulkan pertanyaan tentang kewenangan yang dimiliki regulator. Singkatnya, apakah Bank Indonesia sebagai regulator berwenang memaksa pemilik bank untuk melakukan merger. Pasal 26 huruf c UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia menetapkan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank. 139 Upaya paksa yang dimiliki oleh Bank Indonesia ditetapkan dalam Pasal 37 UU No.10 Tahun 1998. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37 dibatasi untuk bank yang mengalami kesulitan keuangan. Klausula tersebut sejalan dengan prinsip kebebasan individu untuk memiliki hak milik pribadi. Hak milik pribadi hanya dapat diambil negara bilamana berbenturan dengan kepentingan umum. Bank yang sedang mengalami kesulitan keuangan tentunya merugikan masyarakat sehingga dapat dipaksa mengambil langkah-langkah tertentu untuk melindungi dana masyarakat yang disimpan di bank. Salah satu langkah tersebut adalah memaksa bank untuk merger. Paksaan ini sulit diterapkan pada bank yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Upaya maksimal yang dapat dilakukan oleh
139
Ibid.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
regulator adalah menciptakan iklim yang dapat mendorong terjadinya merger secara sukarela.
140
Ada beberapa kunci sukses merger. Satu, dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan dan menutupi kekurangan yang dimiliki bank peserta. Dua, bank yang akan merger perlu memiliki kemiripan budaya dan falsafah perusahaan yang tidak jauh bertolak belakang. Tiga, bank yang akan melakukan merger memiliki pimpinan perusahaan yang berdedikasi dan mampu menyelesaikan konflik secara cepat, bijak, arif, dan tidak bersifat otoriter.141 Berdasarkan catatan Biro Riset Bank, ada tiga sebab mengapa merger sulit dilakukan perbankan di Indonesia. Pertama, perbedaan visi, misi, dan budaya kerja tiap bank, yang tentu membutuhkan waktu penyesuaian. Karena itu, sulit sekali terjadi fleksibilitas dalam memadukan kapabilitas, finansial, dan infrastruktur. Jadi, merger yang dipaksakan antar bank dengan pemilik yang beragam akan sulit menghasilkan bank yang sehat. Kedua, konflik kepentingan antar pemilik bank sekaligus ada kebanggaan memiliki bank sehingga timbul rasa gengsi untuk merger. Ada dikenalnya pernyataan, lebih baik menjadi raja di bank kecil dibandingkan menjadi leher di bank besar hasil merger. Jadi, langkah merger dinilai akan menghilangkan pengaruh dan reputasi pemilik bank. Ketiga, masalah perpajakan yang sangat memberatkan. Tepatnya tidak adanya insentif dalam soal
140
http://www.hukum-perbankan.blogspot.com, Ibid. http://www.infobanknews.com, Mewaspadai Konflik Pasca Merger antar Bank, diakses pada tanggal 29 Januari 2009 141
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
perpajakan dalam rangka merger atau insentif lain seperti kemudahan untuk melakukan ekspansi atau kemudahan dalam membuka cabang. 142 c. Bank Holding Company Sehubungan dengan tujuan konsolidasi perbankan, upaya ini bisa menjadi jalan keluar di samping merger karena lebih murah . Dengan upaya ini, Pemegang Saham Pengendali membentuk bank induk yang hanya memiliki kegiatan sebagai holding company. Holding company tersebut mengkonsolidasikan kegiatan bankbank yang berada di bawahnya. Namun, melalui upaya ini jumlah bank bukannya berkurang, namun bertambah, dan ini tidak pula dapat mencapai tujuan dari konsolidasi
perbankan
maupun
akan
peningkatan
efisiensi
pengawasan
perbankan. 143 Mendirikan perusahaan holding tidak saja menimbulkan kerumitan hukum karena Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan setiap perusahaan memiliki kegiatan usaha. Peraturan Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 menetapkan bahwa perusahaan holding tidak boleh melakukan kegiatan usaha selain menjadi pemegang saham bank. Bank Holding Company wajib bertindak sebagai penentu arah strategis bagi bank-bank yang menjadi anak perusahaannya dan sekaligus mengkonsolidasikan laporan keuangan bank-bank tersebut. Perusahaan holding dapat berupa hasil pendirian badan hukum baru atau menunjuk salah satu bank sebagai holding. Kerumitan yang lain adalah
142 143
http://www.cfisel.blogspot.com, Op.cit. http://www.cfisel.blogspot.com, Ibid.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
memperpanjang mekanisme pengambilan keputusan. Tambahan birokrasi berupa perusahaan holding tentu akan menimbulkan biaya. 144
Opsi yang Dipilih Bank BUMN
Single Presence Policy yang digagas Pemerintah sebenarnya bertujuan mengurangi atau penguasaan satu pihak terutama asing terhadap sejumlah bank hasil divestasi pasca krisis lalu. Contoh penguasaan perusahaan asal Malaysia terhadap Lippo Bank dan BCA serta Temasek terhadap bank Danamon dan BII. Namun karena berada di Indonesia, bank Pemerintah mau tak mau juga harus ikut aturan tersebut
145
Polemik soal kepemilikan tunggal di perbankan nasional (Single Presence Policy) kini mencuat kembali. Pastilah polemik ini tak terkait dengan bank- bank swasta, melainkan kepada kelompok bank milik pemerintah (Badan Usaha Milik Negara). Pemerintah tampak berkeinginan agar Single Presence Policy yang bakal diberlakukan pada 2010, dapat dikecualikan atas bank- bank Badan Usaha Milik Negara. Masalahnya, Bank Indonesia harus adil dan konsisten dengan aturan yang dibuatnya, Jadi, harus equal treatment agar tidak memancing kecemburuan. 146 Implementasi Single Presence Policy terhadap bank BUMN tidak hanya mempertimbangkan perbankannya, tapi juga harus melihat faktor ekonomi dan
144
http://www.hukum-perbankan.blogspot.com, Op.cit. http://www.suaramerdeka.com, Pemerintah Diminta Buat Holding, diakses pada tanggal 20 Januari 2009. 146 Ryan Kinarto, Perlu Hati-Hati mengonsolidasikan Bank BUMN, http://www.majalahtrust.com, diakses pada tanggal 20 Januari 2009. 145
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
sosial, serta sektor bisnis perbankan itu sendiri dan perlu dicermati secara mendalam dan melihat consensus nasional untuk menentukan arah Indonesia. 147 Terdapat
beberapa
hal
yang
menyebabkan implementasi Single
Presence Policy bagi bank Badan Usaha Milik Negara ini tidak bisa berjalan lancar. Pertama, pemerintah memang bisa menjual kepemilikan mayoritasnya di bank Badan Usaha Milik Negara sehingga nantinya tinggal menjadi Pemegang Saham Pengendali di satu bank saja. Namun, pilihan ini jelas tidak strategis. Keberadaan pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di sejumlah bank tetap dibutuhkan. Kedua, terdapat hambatan regulasi bila pemerintah menempuh solusi merger atau konsolidasi.
148
Hambatan regulasi tersebut, antara lain berasal dari Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank yang hingga kini masih berlaku. Pasal 8 Butir c menyebutkan bahwa pada saat terjadinya merger atau konsolidasi, jumlah aktiva bank hasil merger atau konsolidasi dimaksud tidak melampaui 20% (dua puluh persen) dari jumlah aset keseluruhan bank di Indonesia. Padahal, posisi saat ini menunjukkan bahwa jumlah total aset bank-bank Badan Usaha Milik Negara mencapai 36% (tiga puluh enam persen) dari total aset perbankan nasional. Selain itu konsolidasi juga akan menjadi suatu tantangan tersendiri mengenai siapa yang akan menjadi bank induk. 149 Hambatan regulasi lainnya adalah bisa berasal dari Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 62. Dengan 147
http://www.stratos-online.org, BI Masih Mendiskusikan serta Menunggu Masukan dari Perbankan dan Berbagai Pihak Terkait., diakses pada tanggal 20 Januari 2009. 148 http://www.wealthindonesia.com, Pelaksanaan Single Presence Policy di Bank BUMN, diakses pada tanggal 21 Januari 2009. 149 http://www.wealthindonesia.com,Ibid. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
ketentuan ini, karena sebagian besar bank Badan Usaha Milik Negara telah go public, pemerintah harus mempersiapkan diri sebagai pembeli siaga (standby buyer) apabila terdapat pemegang saham yang tidak setuju dengan kebijakan merger atau konsolidasi. Persoalannya, mampukah pemerintah membeli kembali saham-saham dari pemegang saham minoritas tersebut. 150 Dampak pemberlakuan Single Presence Policy Bank BUMN: 151 1. Tidak fokusnya pangsa pasar Empat perbankan tersebuut memiliki pangsa pasar yang berbeda- beda, Bank Tabungan Negara lebih berfokus pada pemberian kredit rumah pada kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi bawah, Bank Rakyat Indonesia lebih terfokus pada usaha kecil dan menengah serta masyarakat pedesaan, Bank Mandiri lebih berfokus pada korporasi, sedangkan fokus Bank Negara Indonesia lebih kepada masyarakat luas.
2. One Presence Policy dikhawartikan akan menyebabkan ketidakadilan Penyatuan keempat bank Badan Usaha Milik Negara menjadi satu akan menyebabkan
ketidakadilan.
Hal
ini
dikarenakan
masing-masing
bank
berkeinginan utuk menjadi bank tunggal.
3. Ketenagakerjaan
150
http://www.wealthindonesia.com, Ibid. Permata Wulandari, Dampak Pemberlakuan Single Presence Policy Bank BUMN, http://www. vibiznews.com, diakses pada 14 Januari 2009 151
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Akibat penggabungan keempat bank pemerintah tersebut, masalah selanjutnya adalah status karyawan yang bekerja pada keempat bank tersebut. Jika terjadi merger, maka kemungkinan besar akan terjadi efisiensi pula dalam ketenagakerjaan. Terkait dengan kebijakan kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP) dari Bank Indonesia, tampaknya pemerintah memilih membentuk holding atau perusahaan induk bagi bank BUMN dibandingkan opsi lain. 152 Biaya sosial yang mesti dikeluarkan pemerintah terhadap pembentukan holding plus merger tidak akan terlalu besar. Alasannya, tidak perlu ada Pemutusan Hubungan Kerja, kendati secara riil biaya ekonomi yang dikeluarkan menjadi besar, karena ada sejumlah biaya yang dikeluarkan, seperti buyback saham bank yang masuk pasar modal. 153 Pertimbangan pembentukan Bank Holding Company untuk melakukan optimalisasi Sumber Daya Manusia, kemampuan mengevaluasi dan memilih portofolio bisnis potensial demi efektivitas modal yang ditanamkan, serta perbaikan manajemen dan perencanaan pajak yang lebih baik. Bank Holding Company memungkinkan perusahaan membangun, mengendalikan, mengelola, mengkonsolidasikan dan mengkoordinasikan aktivitas dalam sebuah lingkungan multibisnis. Yang terpenting dari Bank Holding Company adalah membangun
152
http://www.jkt2.detikhot.com, Terkait Kebijakan Single Presence Policy Pemerintah Pilih Holding Bank BUMN, diakses pada tanggal 12 Januari 2009. 153 http://www.suaramerdeka.com, Op.cit. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
sinergi antar perusahaan yang tergabung dalam holding company serta memberikan support demi terciptanya efisiensi serta efektivitas. 154 Terdapat dua skenario Bank Holding Company yang bisa dikaji untuk diimplementasikan terhadap bank-bank BUMN. Pertama, dengan menunjuk salah satu bank BUMN menjadi Bank Holding Company. Kedua, dengan membentuk perusahaan baru sebagai Bank Holding Company. Mengacu pada Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Bank Indonesia 8/16/2006, sepertinya bentuk Bank Holding Company yang dikehendaki Bank Indonesia memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, menambah rentang birokrasi dan biaya. Kedua, tidak ada manfaat sinergi. Ketiga, kurang memiliki nilai tambah di mata investor, sehingga saat initial public offering (IPO) kurang menguntungkan. Keempat, adanya pajak ganda antara holding dengan anak perusahaan. Kelima, struktur ini kurang dikenal dalam sistem hukum kita. 155 Untuk pilihan bentuk Bank Holding Company yang kedua juga memiliki kendala. Kendala pertama, Peraturan Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank Holding Company adalah hanya Pemegang Saham Pengendali. Dalam konteks bank BUMN, kepemilikan Bank Holding Company adalah Pemerintah Republik Indonesia. Pertanyaannya, lalu dimana posisi pemegang saham minoritas?. 156 Untuk menjaga agar pemegang saham minoritas tidak terabaikan, mereka perlu tetap dilibatkan dalam struktur kepemilikan Bank Holding Company. Caranya, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Bank Holding Company 154
http://www.surya.co.id, Urgensi Bank Holding Company, diakses pada tanggal 27 Januari 2009 155 Sunarsip, Single Presence Policy dan Opsinya bagi Bank BUMN, http://www.web.bisnis.com, diakses pada tanggal 29 Januari 2009. 156 http://www.web.bisnis.com, Ibid Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
baru dengan kepemilikan 100%. Kemudian, Bank Holding Company melakukan initial public offerring dan pemilik saham minoritas menukar saham di anak perusahaan dengan saham Bank Holding Company dengan rasio yang telah disepakati. Kendala kedua, Peraturan Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank Holding Company baru yang diizinkan adalah Bank Holding Company yang tidak melakukan kegiatan usaha lain selain menjadi pemegang saham Bank. Itu berarti Bank Holding Company yang terbentuk nantinya haruslah berbentuk nonoperating holding atau investment holding. 157 Agar Bank Holding Company nantinya sesuai harapan pemerintah dan BI untuk menopang perekonomian nasional, seyogyanya pemahaman seputar definisi, karakteristik, serta faktor kunci penunjang kesuksesan sebuah holding company perlu diperhatikan. Dan terpenting keseriusan melihat wacana Bank Holding Company sebagai kebutuhan investasi negara dan bukan kepentingan institusi atau individu saja. Di perbankan, pemerintah telah menunjuk Dana reksa sebagai investment holding untuk membiayai proyek- proyek jangka panjang. Pilihan tersebut paling tidak akan menjawab masalah Single Presence Policy bank Badan Usaha Milik Negara. Bahkan Dana Reksa ke depan akan dijadikan model pembentukan bank pembangunan dan tentu pemerintah akan menambah dananya. Pembentukan holding tersebut akan mengonsolidasikan bank- bank Badan Usaha Milik Negara, seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan Negara. Artinya, langkah merger pun hampir tidak mungkin dilakukan
157
http://www.web.bisnis.com, Ibid
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
pemerintah. Perusahaan asuransi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara pun akhirnya akan dikonsolidasikan ke investment holding itu. 158
C. Kewenangan Bank Indonesia Menerapkan Sanksi dalam Pelaksanaan Single Presence Policy Kewajiban-kewajiban yang berlaku pada setiap bank sesuai dengan aturan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia berdasarkan kewenangannya sebagai bank sentral harus dipatuhi dan dijalankan
sebagaimana
mestinya.
Bila
tidak
terpenuhinya
kewajiban,
mengakibatkan pengenaan sanksi oleh Bank Indonesia sesuai dengan peraturan yang berlaku. 159 Dalam penerapan sanksi terhadap pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia, dalam Pasal 31 Undang- Undang No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi apabila menurut penilaian Bank Indonesia, transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan. Demikian pula, jika menurut Bank Indonesia, suatu bank dapat membahayakan kelangsungan bank yang bersangkutan dan/ atau membahayakan
158
Eko B. Supriyanto, Siapa Bos ‘Partai’ BI? Upaya Menghapus Gang of Central Bankers (Majalah Info Bank No.348/ Maret 2008/ Vol.XXX), hal. 6. 159 Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 101. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Perbankan yang berlaku. 160 Dalam penetapan sanksi terdapat metode pemberian hukuman. Pengenaan sanksi bergantung berat ringannya pelanggaran yang dilakukan,dan sanksi yang ditetapkan terhadap pelanggaran ketentuan yang wajib ditaati oleh setiap bank. 161 Ada yang mengatakan bahwa secara hukum juga tidak ada masalah kalau Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai Single Presence Policy tidak dipatuhi, dengan pertimbangan dasar hukumnya tidak kuat karena tidak diatur dalam Undang-Undang Perbankan. 162 Kebijakan Single Presence Policy harus diyakini merupakan bagian dari upaya membangun suatu sistem perbankan yang kuat sekaligus sehat. Mengingat karakteristik utama bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan atas dasar kepercayaan, maka diperlukan berbagai peraturan sekalipun belum dipayungi oleh Undang-Undang.
163
Peraturan Bank Indonesia bagaimanapun sudah menjadi domain kebijakan publik yang mengikat bagi pelaku bisnis perbankan. Memang ada kesan perbankan Indonesia over regulated but under supervised, tetapi bukan berarti usaha-usaha untuk mengatur lantas dihentikan.
164
Kajian-kajian teoritis mengenai perbankan memberikan indikasi bahwa bisnis perbankan mempunyai kekhasan karena unsur kepercayaan yang melekat 160
Muhammad Djumhana, Op.cit, hal. 106. Muhammad Djumhana, Rahasia Bank (Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.29. 162 Krisna Wijaya, Masalah Single Presence Policy (SPP) Bank Pemerintah, http://www.unisosdem.org, diakses pada tanggal 21 Januari 2009, 163 http://www.unisosdem.org, Ibid. 164 Ibid. 161
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
pada perbankan tidak dimiliki entitas bisnis lainnya. Pertama yang berkaitan dengan apa yang disebut asymmetric information dimana ketersediaan informasi mengenai bank dan nasabah sama-sama tidak tersedia secara bebas dan terbuka. Kedua yang berkaitan adverse selection yaitu pengambilan keputusan yang salah karena adanya asymmetric information. 165 Dengan asumsi bahwa para pemilik dan pelaku perbankan adalah kelompok yang menjunjung tinggi kepercayaan, maka sekalipun Single Presence Policy tidak dalam bentuk undang-undang, maka sudah seharusnya harus dipatuhi. Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka peraturan-peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil. Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/16/PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia, Bank Indonesia memuat ketentuan mengenai sanksi terhadap pihak- pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut. Pemegang saham pengendali yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagaimana opsi yang ditawarkan dalam Single Presence Policy dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010, dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masingmasing bank lebih dari 10 % (sepuluh persen) dari jumlah saham bank. 166 Bank-bank dengan Pemegang Saham pengendali yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu tersebut, wajib mencatat
165
Ibid. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 166
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
kepemilikan saham dengan hak suara bagi yang bersangkutan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham bank, dan memberikan hak suara bagi yang bersangkutan dalam Rapat Umum Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh perseratus) dari jumlah saham bank. Bank- bank tersebut wajib menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10 % (sepuluh perseratus) milik Pemegang Saham Pengendali sebagai saham tanpa hak suara sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain. 167 Bila ketentuan ini dilanggar oleh bank, maka bank dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). 168 Pemegang Saham Pengendali yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu tersebut, wajib mengalihkan saham tanpa hak suara yang diberikan bank kepada pihak lain paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan. Saham tanpa hak suara tersebut tidak diperhitungkan dalam menentukan kuorum Rapat Umum Pemegang Saham yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau Anggaran Dasar.
169
Bila Pemegang Saham Pengndali melanggar ketentuan ini, dikenakan sanksi administratif berupa larangan menjadi Pemegang Saham Pengendali pada seluruh bank di Indonesia untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dan
167
Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 168 Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 169 Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
pengenaan sanksi ini tidak menghilangkan kewajiban Pemegang Saham Pengendali dimaksud untuk tetap mengalihkan saham tanpa hak suaranya kepada pihak lain. 170 Selain terhadap pemegang Saham Pengendali, Bank Indonesia juga memberikan sanksi kepada Bank Holding Company yang ditunjuk oleh Pemegang Saham Pengendali bila nantinya melakukan kegiatan usaha lain selain menjadi pemegang saham bank, yaitu sanksi administratif berupa penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test) terhadap pengurus. 171 Dengan batas waktu hingga tahun 2010 dan sanksi yang akan diterapkan oleh Bank Indonesia jika kebijakan tersebut dilanggar dan tidak dipenuhi, hal ini tentunya menjadi pekerjaan yang cukup berat yang harus dijalankan oleh masingmasing Pemegang Saham Pengendali bank.
170
Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. 171 Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia No. 8/ 16/ PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari uraian bab-bab di muka, dapat disimpulkan sebagai berikut: Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki fungsi dalam hal pengendalian moneter, sistem pembayaran dan dalam hal pengaturan dan pengawasan bank. Dan dalam menjalankan fungsi tersebut, Bank Indonesia memiliki kewenangankewenangan dalam dunia perbankan di Indonesia, salah satunya dalam hal menetapkan regulasi dan pengawasan terhadap bank umum, dimana Bank Indonesia demi mewujudkan perbankan yang sehat dan kuat, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Single Presence Policy atau kebijakan kepemilikan tunggal.pada perbankan Indonesia. Pelaksanaan Single Presence Policy bagi bank umum yaitu mengenai penyesuaian kepemilikan
saham
yang
dimiliki
Pemegang
Saham
Pengendali
yang
mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank umum di Indonesia. Adapun pemegang Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
saham pengendali yang dimaksud diberikan tiga pilihan untuk menyesuaikan sahamnya, yaitu pengalihan sebagian atau seluruh saham Pemegang Saham pengendali kepada pihak lain, melakukan merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikannya, ataupun membentuk bank/ menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai bank
holding company. Namun, ketentuan Single
Presence Policy ini dikecualikan bagi kantor cabang asing dan bank campuran, dan juga memberi pengecualian terhadap Pemegang Saham Pengendali yang mengendalikan 2 (dua) bank yang masing-masing kegiatan usahanya berbeda, yaitu secara konvensional dan syariah. Kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan Single Presence Policy didukung dengan dikeluarkannya insentif konsolidasi perbankan, dimana adanya kemudahan-kemudahan yang diberikan Bank Indonesia untuk mendorong terwujudnya konsolidasi perbankan. Maka, pihak-pihak yang terkait perlu melakukan penelitian yang cermat atas menentukan pilihan yang ditawarkan kebijakan Single Presence Policy agar pelaksanaan atas pilihan tersebut tidak menimbulkan kekacauan atau malah ketidakefektifan dalam dunia perbankan, dan adanya kewenangan Bank Indonesia dalam menerapkan sanksi turut mendorong bank dan pemegang saham pengendali agar melaksanakan ketentuan Single Presence Policy.
B. Saran 1. Bagi negara-negara yang perekonomiannya sangat dipengaruhi sistem perbankan, perlu dilakukan restrukturisasi dan privatisasi bank-bank untuk Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
memperkuat sistem pengaturan dan pengawasan agar mampu memperbaiki kinerja perbankan sehingga perekonomian nasional berjalan lancer dan upaya pembiayaan pembangunan serta penguatan industri perbankan dalam koridor Arsitektur Perbankan Indonesia (API) perlu dilaksanakan semaksimal mungkin. 2. Lebih memberikan kepastian hukum, meningkatkan potensi perbankan menjadi kuat dan sehat, transparansi yang mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak, dan pengembangan sistem pengawasan perbankan yang efektif dan independen serta memperkuat hubungan bank dengan pemerintah, bank dengan perusahaan dan bank dengan masyarakat.
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdurrahman, A., Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1991. Ali, Masyhud, Restrukturisasi Perbankan & Dunia Usaha, Jakarta, Elex Media Komputindo, 2002.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, St.Paul, Minnesota, West Publishing Co., 1968. ___________, Black’s Law Dictionary, St.Paul Minn, West Publishing Co., 1990. Budianto, Agus, Merger Bank di Indonesia Beserta Akibat- akibat Hukumnya, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004. Coyle, Brian, Mergers and Acquisitions, New York, Amacom, 2000. Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. ____________, Rahasia Bank (Ketentuan dan Penerapannya di Indonesia), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Friedman, Jack P., Dictionary of Business Terms, New York, Barron’s Aducational Series.Inc., 1987. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern (Buku Kesatu), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003. ___________, Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001. ___________, Hukum Tentang Merger, Bandung,PT. Citra Aditya Bakti , 1999. ___________, Hukum Perusahaan (Dalam Paradigma Hukum Bisnis), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002. ___________, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Hasibuan, Malayu S.P., Jakarta, Dasar- Dasar Perbankan, Bumi Aksara, 2001. Hay, Marhainis Abdul, Hukum Perbankan di Indonesia (buku pertama), Jakarta, Pradnya Paramita, 1977. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2005. Irmayanto, Juli, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2004. Kasmir, Dasar- Dasar Perbankan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002. _______, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Keeton, Page T., Prosser and Keeton on Torts, St. Paul, West Publishing Co., 1984. Latumaerissa, Julius R, Mengenal Aspek- Aspek Operasi Bank Umum, Jakarta, Bumi Aksara, 1999.
M, Ralona, Kamus Istilah Ekonomi Populer, Jakarta, Gorga Media, 2006. Marsuki, Analisis Sektor Perbankan, Moneter, dan Keuangan Indonesia, Jakarta, Mitra Wacana Media, 2005. Muhammad, Abdulkadir, Rilda Muniarti, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004. Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Rachbini,Didik.J, Suwidi Tono dkk, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta, PT.Mardi Mulyo, 2000. Rindjin, Ketut, Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan Perbankan, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005. Simorangkir, O.,P., Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2000. Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2005. Soemarsono, Djoko Sarwono, Himpunan Perundang-undangan Bank Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta, Dempo Djaja, 1970. Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1995. Suyatno, Thomas, dkk, Kelembagan Perbankan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991. The World Encyclopedia, USA, World Book Inc., 1989. Usman, Rachmadi, Aspek- Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama , 2001. Wijaya, Farid, Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga- Lembaga Keuangan dan Bank (Perkembangan, Teori dan Kebijakan), Yogyakarta, BFE, 1991. Widjaja,
Gunawan, Merger dalam Perspektif RajaGrafindo Persada, 2002.
Monopoli,
Jakarta,
PT.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka Utama Grafiti, 1995.
B. MAJALAH
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
Eko B. Supriyanto, Siapa Bos ‘Partai’ BI? Upaya Menghapus Gang of Central Bankers, Majalah Info Bank Vol.XXX/ No.348/ Maret 2008.
C. PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang - Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Undang- Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1999 Tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Peraturan Bank Indonesia No.8/ 16/PBI/ 2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Peraturan No. IX.J.I tentang Cara Pemindahan Hak atas Saham dan Peraturan X.K.I tentang Keterbukaan Informasi Kepada Publik. Peraturan Bank Indonesia No.3/ 22/ PBI/ 2001 tentang Operasional Bank. Surat Edaran No. 6/ 23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Surat Edaran Direksi Bank Indonesia Nomor 26/23/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 tentang Tata Cara Penilaian Kesehatan Bank.
C. INTERNET
http://www.bi.go.id http://www.beritasore.com , BI Keluarkan Peraturan Baru Insentif Konsolidasi Bank Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
http:/www./cfisel.blogspot.com,
Artikel tentang Single Presence Policy, Konsolidasi perbankan, Opsi yang Seharusnya Diterapkan Dalam Rangka Implementasi Single Presence Policy
http:/www.erwan29680.wordpress.com, SPP Mulai Dilirik oleh Dunia Perbankan http://www.haryantoruz.wordpress.com, Wajah Perbankan Indonesia sesudah SPP
http://www.hukum-perbankan.blogspot.com,
Merger, Akuisisi, Konsolidasi Perbankan Relevansinya Dengan Kebijakan Single Presence Policy.
http://www.infobanknews.com, Bank- Bank BUMN Kebijakan Kepemilikan Tunggal dari Sudut Kebijakan Publik http://www.infobanknews.com, Mewaspadai Konflik Pasca Merger antar Bank
http://www.jkt2.detikhot.com,
Terkait Kebijakan Single Presence Pemerintah Pilih Holding Bank BUMN
Policy
http://www.kolom.pacific.net.id, Menuju Sistem Perbankan Untuk Mendukung Pembangunan Nasional http://www.kompas.com, Arsitektur Perbankan Indonesia Kebutuhan Tantangan Perbankan ke Depan
dan
http://www.majalahtrust.com, Perlu Hati-Hati mengonsolidasikan Bank BUMN http:/www.stratos-online.org, BI Masih Mendiskusikan serta Menunggu Masukan dari Perbankan dan Berbagai Pihak Terkait http://www.suaramerdeka.com, Pemerintah Diminta Buat Holding http://www.surya.co.id, Urgensi Bank Holding Company. http://www.unisosdem.org, Masalah Single Presence Policy (SPP) Bank Pemerintah http://www. vibiznews.com Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009
http://www.wealthindonesia.com, Pelaksanaan Single Presence Policy di Bank BUMN http://www.web.bisnis.com, Single Presence Policy dan Opsinya bagi Bank BUMN
Tri Arni Handayani : Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pelaksanaan Single Presence Policy (SPP) Dalam Rangka Pengawasan Perbankan, 2009. USU Repository © 2009