Ketupat Oleh: Bagus Dwi Hananto (Univ. Muria Kudus) BABAK PERTAMA ADEGAN 1 [Setelah Hari Raya Lebaran, di Kudus, kota kecil utara Jawa, tersebutlah sebuah tradisi, atau bila narator di sini katakan—kebiasaan. Para warganya akan ambyuk1 di pinggir jalan, membikin lapak, menyelenggarakan pasar dadakan, untuk menjual janur; bahan dasar membuat ketupat. Tradisi ini dinamakan Bodo Kupat, atau Lebaran Ketupat. Yaitu kegiatan pesta makan ketupat dengan opor ayam, seminggu penuh setelah pekan lebaran Idul Fitri usai. Desa Wergu Wetan selalu ramai bila Bodo Kupat berlangsung. Sepanjang emperan jalan yang melalui desa itu, akan kau temui emak-emak dan pak tua menjual ayam pelbagai jenis; mulai dari negeri hingga kampung. Orang-orang berusaha menawar, menentukan harga yang pantas untuk keperluan merayakan Bodo Kupat. Matahari masih belum terpancang di tengah, dan udara masih pula sejuk. Burung-burung berkicauan, dan suasana rindu tetap saja tertinggal karena Ramadhan telah selesai. Meski begitu, hari itu semua nampak semarak, ceria. Tapi tidak dengan Handoyo yang merengek di atas gerobak bapaknya.] Handoyo: “Pak....Bapak!! Aku mau makan ketupat, Pak. Itu beliin juga manukmanukan dari janur yang dijual di sana!” Pak Mardi [melepas topi kumalnya sembari mendorong gerobak buat mulung]: “Walah, nang2, besok saja. Kita kan, belum dapat uang— tadi ibuk3mu pesan apa sama kamu, hayo.... Kalau ikut bapak, ya jangan nakal!” Handoyo [masih merengek, dengan melompat-lompat kecil di atas gerobak]: “Tapi, aku mau makan ketupat, Pak!”
Pak Mardi : “Ya sabar tho ya....” Handoyo: “Yowes4, Pak, kalau belum boleh makan sekarang. Paling tidak aku dibelikan manuk-manukan5 itu, lho!” [Mereka kemudian menyebrang ke sisi jalan, di mana penjual burung main yang terbuat dari janur itu menjajakan dagangannya.] Pak Mardi [memarkir sebentar gerobaknya, dan menurunkan Handoyo]: “Pak, berapa harga manuk itu?” Penjual [sambil menunjuk]: “Yang ini apa yang di sini?” Pak Mardi: “Lho, malah, yang sampeyan jual, tho ya...” Penjual: “10.000, Pak.” Pak Mardi [mendelik]: “Busyet, larang6!” Penjual: “Lha, emang harganya segitu, saya cuma ambil untung sedikit.” Pak Mardi [menoleh ke anaknya]: “Gimana, nang, mahal kok! Besok saja, tak buatkan sendiri.” Handoyo [menangis.] : “Emoh7, pak...aku mau sekarang!” ** Layar Tutup BABAK PERTAMA ADEGAN 2 [Di sebuah rumah mewah di pinggir kota dalam satu lingkup perumahan orangorang elit, dekat alun-alun Simpang Tujuh-- duduklah seorang bapak-bapak yang usianya menginjak kepala enam, masih saja tampak gagah, dan segar bugar.
Bapak itu tengah duduk-duduk santai di beranda rumahnya yang begitu besar, lengkap dengan air mancur, dan halaman luas tempat pelbagai hewan piaraan terawat dengan baik dan penuh kasih sayang. Di depan rumah itu ada juga pos satpam yang khusus berjaga 24 jam untuk mengamankan rumah yang amat mewah tersebut. Sebut saja namanya Pak Subagio, yang paling dicintainya selain uang, tentu saja perkututnya Si Soplo. Kalau keluarga baginya adalah nomor sekian. Meski begitu, ia sangat memanjakan ketiga anaknya: Shiren, David, dan Luis. Pagi itu, ketupat pesanan Pak Subagio telah datang.] Satpam [berlari kecil dari pos ke beranda]: “Nganu, Pak, Bu Mirah sudah bawa ketupatnya.” Pak Subagio [menurunkan koran paginya dari pandangan]: “Suruh dia ke sini.” [Satpam memanggil Bu Mirah, yang membawa sebakul besar ketupat dan lepet bikinannya.] Bu Mirah: “Ini, Pak, pesanan sampeyan. 300 Ketupat, dan 200 lepet. Semua fresh baru matang. Sampai empat hari lagi gak bakal ngiler8.” Pak Subagio [berjalan mendekat]: “Wah, ya, Bu. Makasih. Ini uangnya.” Bu Mirah [nampak gembira, menghitung empat lembar uang merah gambar Karno-Hatta]: “Maturnuwun9, Pak. Kalau gitu saya pamit dulu.” Pak Subagio : “Yowes, silakan. Titip salam sama Pak Dul.” Bu Mirah: “Inggih10....Assalamualaikum...” Pak Subagio: “Waalaikumsalam....” Satpam [masih berdiri di situ saja]: “Nganu, Pak....” Pak Subagio [tersenyum]: “Ya, aku ngerti. Ini ambil 20 ketupat dan 20 lepet, buat anak-istrimu.”
Satpam [tampak sumringah]: “Wah, makasih, Pak!” Si Soplo [menyahuti mereka berdua]: “Kooor...kooor...koor...koor...” Pak Subagio: “Wah, Plo, Soplo, kamu mau ketupatnya juga?” Si Soplo [menyahut]: “Koor...koor...koor...koor...” Pak Subagio: “Kan, tidak, mungkin tho, perkutut makan ketupat?” [Pak Subagio dan Satpam tertawa bebarengan.] Pak Subagio: “Mak...Mak Nyak! Ini ketupatnya sudah datang, tolong di bawakan!” [Dari dalam rumah, seorang perempuan tua yang gemuk, berjalan cepat dan mengangguk ke arah Pak Subagio] Mak Nyak: “Inggih, Pak!” Pak Subagio: “Oh, iya, apa anak-anak sudah pada bangun?” Mak Nyak [tampak mengerinyutkan dahi]: Waduh, maaf, belum, Pak.” Pak Subagio [menegang]: “Hah, tolong dibangunkan mereka. Sudah jam 9 masak pada masih tidur. Suruh mereka bangun cepat-cepat! Hari Minggu pagi mestinya mereka bangun, olah raga atau bersih-bersih, kek!” Mak Nyak: “Baik, Pak, akan saya bangunkan.” [Maka berjalanlah kembali Mak Nyak ke dalam rumah. Naik tangga menuju lantai dua, melewati koridor yang lumayan luas. Di kamar pertama, pintu kamarnya berwarna merah muda. Shiren, anak perawan Pak Subagio, tidak menyahut waktu Mak Nyak mengetuk pintu kamarnya berkali-kali.] Mak Nyak: “Ren, cah ayu10, ayo bangun. Disuruh papamu olah raga. Kalau gak nanti marah, lho papa!”
[Masih tidak ada jawaban] Mak Nyak: “Shireeen... ayo bangun, anak perawan jangan lama-lama tidur, nanti dikeloni11 Kebo Kemali, gak bisa bangun-bangun lho...!” [Suara mengerang si anak perawan akhirnya muncul.] Shiren: “Huaaaaaaahhh, masih ngantuk, Mak! Ntar aja lah. Lagian ya hari Minggu, waktunya tidur sampai siang....” Mak Nyak: “Lho, bocah dikandani12, malah, ayo bangun!” [Shiren pun sudah tidak lagi bersuara. Kembali masuk dalam alam mimpi.] Mak Nyak [menyerah, beralih ke pintu kamar yang kedua]: “David, Luis, ayo bangun! Sudah siang!” [Kedua anak laki-laki yang bandel itu masih saja di dalam. Tidak ada jawaban dari mereka.] [Dan kemudian datanglah Pak Subagio dari lantai bawah. Langkah kaki orang berwibawa selalu nampak berat dan keras.] Pak Subagio [geleng kepala, sebab melihat Mak Nyak kepayahan karena anakanaknya yang malas]: “Masih belum bangun, Mak?” Mak Nyak: “Belum, Pak. Alasan anak-anak, ini hari Minggu.” Pak Subagio [berdecak]: “Ck, ck, ck, ck...anak jaman sekarang, pada malas semua.” Mak Nyak [mengangguk tanda setuju]: “Betul, Pak!” [Akhirnya, Pak Subagio mesti turun tangan]
Pak Subagio [mengeraskan suaranya]: “Anak-anak ayo pada bangun. Kalau papa hitung sampai tiga belum bangun juga...nanti papa gak bakal ngasih uang jajan buat bulan ini. Satu...dua...ti...” [Sebelum sampai tiga, anak-anak sudah membuka pintu kamarnya.] Pak Subagio : “Kalian, hari sudah mulai siang, masih pada tidur! Ayo cuci muka, olahraga sana di luar!” Shiren: “Ah, malas, Pa. Kan, hari Minggu. Lagian di sekolah juga ada pelajaran olahraga, tiap hari Senin.” Pak Subagio [agak marah]: “Dinasihati malah balikin omongan. Dasar, anak jaman saiki13!” [Dua anak lelaki yang masih kecil pun pada tertawa.] Luis: “Kalau keluar enaknya ya main Pokemon Go, bukan olahraga,hihihi...” David: “Betul katamu!” Pak Subagio: “Ga go ga go, opo maneh iku?14 Ya sudah kalau gak mau olah raga mandi sana, ada ketupat di ruang makan. Kalian makan, habis itu bersih-bersih kamar!” [Anak-anak pak Subagio pun nampak ceria, mendengar ketupat sudah ada di rumah mereka.] Ketiga Anak: “Wahhh, asyikkkkkkkk ketupatnya sudah jadi!” Si Soplo [dari luar menyahut kegaduhan sejenak rumah mewah tersebut]: “Koor...koor...koor....koor....” ** Layar Tutup
BABAK PERTAMA ADEGAN 3 [Siang hari mulai datang. Matahari bercokol di tengah, merangkak dari tangga waktu dalam detak jam. Gerobak itu berjalan menyusuri jalanan lengan di sebuah perumahan elit. Di pinggir-pinggir paling tepi rumah-rumah mewah yang berjejeran di sekitar jalan itu, nampak bak sampah dengan kotoran menggunung: mulai dari bungkus makanan siap saji, koran lama, dan pelbagai macam limbah manusia. Handoyo dan bapaknya menyusuri tempat itu sambil menengok kirikanan, untung-untung ada rejeki yang bisa dikais di bak sampah tersebut. Handoyo sudah tidak rewel lagi karena janji bapaknya besok membelikan ketupat dan membuat burung dari janur.] Pak Mardi [sembari menyisir bak sampah menggunakan kait besi berkarat yang dibentuk melengkung ujungnya]: “Nang, botol-botol akua ini, tolong masukkan ke gerobak.” Handoyo [melompat dari atas gerobak, dan menghampiri bapaknya yang sedang bekerja]: “Baik, Pak!” [Bocah kecil itu menangkup sebanyak-banyaknya botol-botol plastik yang dikuak dari bak sampah oleh bapaknya. Saat itu, sebuah mobil jeep hitam mewah berplat merah lewat, dan karena ada kubangan lumpur sehabis hujan malam kemarin, air itu terciprat ke baju Handoyo.] Handoyo [sontak kaget dan marah]: “Asu15! Kurang ajar orang kaya itu.”] Pak Mardi [menoleh ke anaknya dan bergegas mengusap tubuh bocah itu dengan baju kumalnya]: “Huss, gak boleh ngomong gitu. Namanya gak sengaja kok, nang!” Handoyo [ngeyel]: “Tapi, masak, aku di sini gak kelihatan, Pak?!”
Pak Mardi [tersenyum]: “Wes, dimaafkan saja orang kaya itu. Didoakan saja biar kalau berkendara ya selamat. Lagian kamu bisa ngomong kayak gitu tadi belajar dari siapa?” Handoyo [akhirnya kembali ceria]: “Masak nggak ingat, Pak...lha dari bapak tho. Kemarin, kan bilang gitu waktu kalah sabung ayam!” Pak Mardi [mengusap-usap rambut Handoyo sambil tersenyum]: “Lain kali jangan ditiru omongan kayak gitu. Besok kalau sudah besar saja. Kalau sudah punya janggut sama kumis baru kamu boleh ngomong gitu!” Handoyo [menatap bapaknya dengan pandangan lugu]: Ya, Pak. Kalau sudah tumbuh kumis, baru boleh ngomong asu.” Pak Mardi [tertawa]: “Hahaha, yowes, ayo kita kerja lagi, biar besok bisa beli ketupat.” [Handoyo pun mengangguk.] [Mereka pun melanjutkan pekerjaan lagi. Mengais sampah manusia di rumahrumah mewah. Saat menemukan onggokan plastik, Pak Mardi selalu tersenyum dan bersyukur, serasa menemukan harta karun terpendam, untuk menghidupi keluarganya.] Pak Mardi [bersiul riang.] Handoyo [kembali teringat kejadian tadi dan merasa sebal]: “Kenapa tho Pak, orang kaya selalu merasa bahwa jalanan itu punyanya dia?” Pak Mardi [menoleh dengan heran]: “Nang, kamu lho, masih kecil udah mikir kayak gitu. Emang dasar begitu orang kaya. Jaman sekarang itu banyak komunitas motor gede, yang knalpotnya menggelegar, dan ugal-ugalan di jalan. Ya, kita wong cilik16, mau bagaimana lagi. Lebih baik ngalah, lha kebiasaan kita itu ngalah kok dari dulu.”
Handoyo [membantah]: “Tapi gak boleh gitu dong pak, itu serakah namanya.” Pak Mardi [terheran-heran]: “Bocah cilik umur 7 tahun kayak kamu kok bisa ngomong gitu. Besok gede jadi DPR aja, biar bisa sugih17!” Handoyo: “Gak mau, Pak. Nanti ditangkap polisi!” Pak Mardi: “Hahaha...” [Mereka pun melanjutkan perjalanan menyusuri perumahan elit itu, dan hari sudah siang. Pakaian Handoyo mulai mengering, meninggalkan noda lumpur dan menambah kesan amat kumal di bajunya.] ** Layar Tutup BABAK PERTAMA ADEGAN 4 [Sementara, dalam kemewahan terpandang. Dalam kebersihan teratur dan keleluasaan kehidupan, keluarga Pak Subagio berkumpul di meja makan, menantikan opor ayam Mak Nyak yang sudah mulai matang. Bau bawang yang digoreng di wajan menyeruak, membangkitkan selera mereka sekeluarga.] Shiren [sembari memainkan garpunya, dan satu tangannya menyangga dagunya di atas meja; nampak jenuh]: “Pa, kapan Mama pulang dari Semarang?” Pak Subagio : “Besok Jumat, masih beberapa hari lagi penatarannya.” Shiren : “Kira-kira bawa oleh-oleh apa, ya? Moga aja bawa Lunpia!” Pak Subagio: “Makan yang ada aja dulu. Gak usah dipikir oleh-olehnya!”
[Dua anak lelaki Pak Subagio nampak berkeliaran di sekitar ruang makan yang luas itu, sambil mengarahkan handphonenya kesana-kemari. Melihat hal tersebut, Pak Subagio jengkel.] Pak Subagio: “Nang, kalian berdua, sini, duduk. Kalau waktunya makan, jangan main hape terus!” Luis [masih konsentrasi dengan hapenya, menjawab omongan papanya]: “Tanggung, Pa. Sedikit lagi Pokemonnya ketangkap!” Pak Subagio [jengkel]: “Pokemon maneh! Walah!” [Tepat pada saat itu, opor bikinan Mak Nyak sudah jadi. Seekor ayam berwarna kuning karena bumbu bercampur kunyit, nampak di antara kuah opor di atas piring besar yang pasti mahal harganya. Sarapan pun berlangsung. Meski begitu, sesekali anak-anak Pak Subagio nampak terpekur, memelototi gadget mereka masing-masing. Berasyik-masyuk dengan kesibukan di dunia maya. Jaman memang benar-benar berubah. Pak Subagio, meskipun juga pengguna gadget, namun tahu saat yang tepat; kapan gadget digunakan, dan kapan gadget atau hape tidak harus digunakan. Maka dia hanya bisa geleng-geleng melihat ketiga anaknya, sibuk bermain dengan gadgetnya.] Shiren [memotret piring lengkap dengan lauk dan ketupatnya sambil tersenyum girang]: “Bagus ini, buat diabadikan.” Pak Subagio [melihat itu lalu tersenyum]: “Di fesbuk papa liat, kalau orang Kristen sebelum makan itu berdoa dengan menggenggam kedua tangan saling berkaitan; kalau Islam sebelum makan berdoa sambil kedua tangannya disatukan; tapi kalau orang atheis makan difoto dulu makanannya terus disebar ke internet. Kalau papa pikir-pikir ada benarnya juga lelucon itu!” Shiren [manyun, dan agak protes]: “Papa itu lho, masak anaknya dibilang atheis. Ini kan buat instagram, biar ramai!”
Pak Subagio [tertawa]: “Ngahahaha... lha cuma lelucon, kok! Ayo dimakan dulu makanan kalian...sebelum papa sita hape kalian. Kalian mau?!” [Mendengar hal itu, ketiga anaknya langsung patuh karena takut. Acara sarapan pun berlanjut dan hidangan yang menggugah selera itu habis dengan kelambanan khas kaum priyayi bilamana bersantap.] Pak Subagio: “Nah, sudah selesai. Sekarang, biar kalian tidak jenuh, papa ajak kalian jalan-jalan, gimana, mau?” [Ketiga anak Pak Subagio pun semangat lagi. Mereka semua bersorak gembira]: “Mauuuuuuuuuu!” ** Layar Tutup BABAK KEDUA ADEGAN 1 [Dari garasi keluarlah toyota Fortuner hitam kinclong. Setelah semuanya siap, mereka berempat bermobil ke timur. Ke desa Tenggeles di mana diadakan Pasaran, dalam rangka Bodo Kupat. Ketiga anak tersebut tidak tahu akan dibawa kemana mereka. Pikir mereka, mungkin akan ke mall, atau luar kota, tetapi ketika ayahnya berbelok di sebuah jalan kecil dan memarkir mobil mewahnya di lahan sempit untuk parkir—tahulah mereka, bahwa mereka berada di sebuah pasar dengan dagangan barang-barang tradisional khas kota Kudus. Ada mainan masak-masakan yang terbuat dari tanah liat yang dicat dengan warna nyalang bertujuan untuk menarik minat anak-anak kecil; ada pula celengan sapi dan macan terbuat dari tanah liat, benda khas dalam perayaan hari-hari besar agama Islam di kota itu; dan ada pula bebek-bebek mini di dalam plastik dengan air warna biru kesumba, khas kota itu: sebuah mainan yang tak lekang oleh waktu.
Mereka sekeluarga melihat-lihat, dan Pak Subagio berhenti di depan lapak Mbah Parjo, penjual celengan macan dan sapi. Meski ketiga anaknya enggan, Pak Subagio mengabaikannya.] Pak Subagio: “Mbah, celengan ini harganya berapa?” Mbah Parjo: “Lima puluh ribu saja, nang.” Pak Subagio [mencoba menawar]: “Kalau empat puluh lima, boleh?” Mbah Parjo [menimbang-nimbang]: “Emmm...yoweslah, ambil saja!” Pak Subagio [lantas menyuruh putrinya]: “Shiren, tolong Papa bawakan celengan ini!” Shiren [agak sebal]: “Nggak mau, Pa!” Pak Subagio [marah]: “Disuruh orang tua, kok gak mau. Ntar Papa beliin ayam crispy18 di mall.” Shiren: “Okelah, Pa. Ayo, sekarang aja!” Pak Subagio: “Papa masih pingin melihat-lihat!” [Ketika Pak Subagio menoleh ke kedua anak lelakinya; bocah-bocah itu masih sibuk dengan handphone mereka masing-masing. Pak Subagio menjadi jengkel.] Pak Subagio: “Hei, anak-anak, kita ke sini bukan untuk main go di hapemu; melainkan untuk lihat-lihat tradisi kota kita ini. Masak kalian tidak tertarik dengan orang yang jualan aneka benda unik di sini? Tuh, lihat, ada bebekbebekan dari lilin. Dulu papamu biasa dibelikan kakek!” David [menyahut sambil tertawa]: “Ngahaha, yaelah, Pa, mending pokemon bebek ketimbang lilin-lilinan itu, buat apa coba?” Luis : “Benar, Pa, apa katanya David.”
[Untuk kesekian kalinya, Pak Subagio geleng-geleng.] ** Layar Tutup BABAK KEDUA ADEGAN 2 [Di malam hari, lingkungan kumuh di pinggir jembatan kota itu, tampak hening. Sesekali, ketika waktu menunjukkan magrib atau isya; azan berkumandang menyerukan panggilan untuk orang-orang agar beribadah. Di ambin rangka kasur yang tak terpakai, yang kini ditempatkan di luar rumahnya, Pak Mardi nampak duduk termenung-menung memikirkan hari esok. Hasil memulungnya seharian itu tidak begitu memuaskan karena dipotong hutang di warung. Sementara Handoyo sudah tertidur pulas di kamar ditemani ibunya. Pak Mardi memikirkan janji yang diucapkannya kepada Handoyo: janji akan mainan burung dan ketupat lebaran.] Pak Mardi [termenung]: “Bagaimana aku akan menepati janjiku pada Handoyo besok? Sementara uang di saku tinggal beberapa lembar ribuan; tak cukup buat beli ketupat.” [Bu Maryam, istri Pak Mardi, mendengar keluhan yang diucap suaminya, beranjak dari tempat tidur, menuju luar rumah. Pak Mardi tidak tahu bahwa istrinya masih belum tidur.] Bu Maryam: “Tidak usah dipikir, Pak. Besok cari rejeki lagi, nanti juga bisa kebeli ketupatnya.” Pak Mardi: “Kasihan Handoyo, Bu...tadi di pasar nangis terus minta mainan burung sama ketupat.”
Bu Maryam: “Gini saja, Pak. Besok sampeyan perginya pagi-pagi saja. Biar Handoyo nanti tak kasih tahu. Ditinggal saja dulu anak itu.” Pak Mardi [nampak sedih]: “Ibuk tahu sendiri, anak itu semangat sekali bantu bapaknya. Kasihan kalau ditinggal.” Bu Maryam [mengelus punggung suaminya dengan lembut]: “Sudah, tidak apaapa. Nanti biar ibu yang menenangkan dia.” ** Layar Tutup BABAK KEDUA ADEGAN 3 [Malam pun berangsur-angsur lingsir; dan bulan kembali ke peraduannya bersama bintang-bintang. Bumi malih cerah kembali. Fajar datang ditandakan suara azan dari masjid-masjid di desa kecil itu. Subuh. Udara dingin itu tidak menyurutkan Pak Mardi untuk mengais rejeki sisa orang-orang berada. Dengan gerobak andalannya, ia pergi meninggalkan Handoyo yang masih tidur dan bermain di alam mimpinya. Ia mulai berjalan keluar desanya, menuju perumahan elit, tempat ia biasa memulung. Ketika hari sudah terang, sampailah Pak Mardi di perumahan.] Pak Mardi [berbicara sendiri]: “Di kota kecil seperti ini, ternyata sampahnya banyak juga. Baru kemarin aku memulung di sini, ditinggalkan sehari sudah menggunung lagi. Orang-orang jaman sekarang memang suka belanja. Kalau istilahnya di tivi-tivi...kosuntip19, ya, kosuntip atau apalah.... Sekarang banyak sekali sampah di sana-sini.” [Ketika sampai di depan rumah Pak Subagio, ia melihat tiga ikat ketupat yang diletakkan di meja beranda rumah mewah tersebut. Kebetulan satpam yang jaga
di sana tidak nampak. Nurani Pak Mardi tercerai, melahirkan Iblis dan Malaikat dalam dua kutub yang saling berlawanan.] Iblis [berbisik ke telinga kirinya, dengan hasutan mautnya]: “Sudahlah Mardi, ambil saja....Lihat, kan, tidak ada penjaganya rumah itu. Ambil, lalu pergi. Gampang, kan? Tidak ada yang tahu. Ayo, buruan!” Malaikat [berbisik ke telinga kanannya, membawa himbauan yang baik]: “Jangan, Mardi. Itu bukan hakmu. Ketupat itu bukanlah milikmu. Itu dosa.” Iblis [membalas]: “Halah, peduli amat dosa. Ntar taubat, kan bisa! Ayo, kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya!” Malaikat: “Jangan Mardi, dosa itu tidak akan terhapus kalau kamu berpikir nanti bisa taubat dengan melakukan kejahatan yang sudah kamu rencanakan!” Iblis: “Sudah, tidak usah dengarkan dia! Dia itu pengecut. Ini buat anakmu, Handoyo! Lagian tidak ada yang melihat. Ini kesempatanmu!” [Pak Mardi kebingungan. Ketupat itu menggantung di sana; nampak gemukgemuk karena isinya. Pak Mardi membayangkan, Handoyo pasti bahagia bisa makan ketupat biarpun lauknya seadanya; entah itu telor atau tempe. Handoyo akan gembira asal ada ketupat bersanding dengan lauknya. Karena sekarang lebaran, dan dia ingin ikut dalam kegembiraan seperti orang-orang pada umumnya.] Malaikat [berseru untuk terakhir kalinya]: “Itu dosa, Mardi. Jangan lakukan!” [Tapi terlambat, tangan Pak Mardi sudah menggapai ketupat itu. Dia hampir keluar dari pagar rumah ketika dari belakangnya berseru suara perempuan tua.] Mak Nyak: “Malinggggggggggggggggggggggggg! Maling ketupat!”
[Pak Mardi terkaget-kaget. Bukannya lari lintang pukang; justru ia berdiri beku tak berkutik. Satpam rumah itu pun terbangun dari tidurnya di lantai pos, sontak langsung membekuk Pak Mardi.] Satpam [sambil menduduki Pak Mardi]: “Heh, maling kamu, ya!” Pak Mardi [meronta-ronta]: “Ampun, Pak!” Satpam: “Gak ada ampun. Kamu mau maling ketupat!” Pak Mardi [nampak menyedihkan]: “Buat anak saya ketupat itu. Saya terpaksa, gak ada uang!” Satpam: “Halah, banyak alasan!” [Mendengar keributan itu, para tetangga beranjak ke rumah Pak Subagio. Saat itu Pak Subagio baru saja selesai sarapan ketika mendengar keramaian di beranda rumahnya. Anak-anaknya pun baru selesai berpakaian sebelum sarapan lalu pergi ke sekolah.] Tetangga 1 [mendaratkan bogem mentah ke wajah Pak Mardi]: “Ini rasain kamu!” Tetangga 2 [menambahkan bogem mentah ke wajah Pak Mardi]: “Ini juga!” [Yang lain pada ikut-ikutan, tapi dilerai Pak Subagio sebelum Pak Mardi babak belur.] Pak Subagio: “Stop, stop. Ada apa ini? Jangan main hakim sendiri!” Mak Nyak [angkat bicara]: “Ini Pak, dia tadi mau ngambil sisa ketupat yang sampeyan berikan ke saya pagi ini.” Pak Subagio [menatap Pak Mardi yang tampak mengibakan itu]: “Betul begitu, Pak?”
Pak Mardi [mengangguk]: “Ya, Pak. Maafkan saya...” [Di belakang punggung papa mereka, anak-anak tersebut berkata seenaknya.] David: “Udah, Pa, seret saja ke penjara. Dia maling!” Shiren: “Betul, tuh, Pa. Masukkan saja dia ke penjara.” Luis [mengangguk]: “Iya, dia, kan sudah bersalah!” [Para tentangga pun setuju untuk menyeret Pak Mardi ke penjara. Bahkan ada yang bersiap untuk menelepon polisi sebelum dicegah Pak Subagio.] Pak Subagio: “Kita dengarkan dulu penjelasan orang ini, saudara-saudara— kenapa sampai mencuri ketupat!” Pak Mardi [menangis terisak]: “Ma-maaf, saya ambil ketupatnya untuk anak saya. Dia mau makan ketupat, tapi saya tidak punya uang. Saya mohon maaf, Pak. Janganlah saya diadukan ke polisi. Saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Maafkan saya, Pak....” [Mendengar hal itu, hati Pak Subagio trenyuh. Ia merasa iba akan keadaan Pak Mardi. Bila dia pikirkan lagi, nasib orang yang berada di depannya, agak mirip dengan nasib ayahnya dulu. Hanya saja ayahnya buruh tani; sedangkan orang di depannya pemulung. Sama-sama mengais dari milik orang lain.] Pak Subagio [menatap seluruh hadirin yang berada di halaman rumahnya]: “Semuanya bubar. Saya membebaskan orang ini dari tuduhan. Kasihan orang tua ini. Saya memaafkannya, mohon saudara-saudara jangan main hakim sendiri lagi. Sekarang kalian semua bisa meninggalkan kediaman saya.” [Para tetangga pun berangsur-angsur bubar sambil kasak-kusuk, dan memelototi Pak Mardi yang terbaring dengan sangat hina di lantai halaman rumah Pak Subagio. Hanya satpam dan Mak Nyak yang tersisa; dengan perasaan yang sama seperti para tetangga.]
[Anak-anaknya pun protes]: “Papa, kok dimaafkan, sih! Harusnya diseret ke penjara!” Pak Subagio [dengan tegas berkata]: “Diam kalian. Ini urusan Papa. Kalian kembali saja sana ke dalam.” [Maka anak-anaknya pun kembali ke dalam rumah dengan lesu karena tidak bisa membujuk papa mereka.] Pak Subagio : “Mak, di dapur masih ada sisa opor, kan?” Mak Nyak [tampak kebingungan]: “Iya, Pak.” Pak Subagio [sembari mendirikan Pak Mardi yang tadi terkulai di tanah]: “Tolong ambilkan. Bungkus buat bapak ini.” [Mak Nyak agak kecewa dengan Pak Subagio lantas ke dalam mengambil opor ayam.] Pak Subagio [sekarang berkata pada Satpam]: “Kamu, balik sana ke posmu!” Satpam [juga dengan perasaan kecewa atas sikap Pak Subagio]: “Siap, Pak!” Pak Mardi [terharu atas pemaafan akibat perbuatannya, menyalami Pak Subagio secara berlebihan]: “Maturnuwun, Pak. Saya sudah diampuni....Saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi!” Pak Subagio: “Sudah, sudah, Pak. Tidak apa-apa. Ketupatnya bawa saja.” Pak Mardi: “Saya tidak bisa menerimanya, Pak. Tadi saya mau mencurinya!” Pak Subagio: “Oh, tidak apa-apa.Bawa saja. Saya ikhlas.” Pak Mardi [lagi-lagi terharu atas kebaikan Pak Subagio]: “Terima kasih, Pak, terima kasih!”
[Sebelum urung dari kediaman Pak Subagio, Pak Mardi ditahan orang dermawan itu. Mak Nyak sudah nampak keluar.] Pak Subagio: “Eh, tunggu dulu, Pak. Ini opornya!” Pak Mardi [menangis gembira]: “Terima kasih, Pak. Sekali lagi, terima kasih!” [Di belakang Pak Subagio, Mak Nyak masih saja memelototi Pak Mardi yang mulai beranjak dari halaman rumah mewah itu. Ketika Pak Subagio menoleh, ia bisikkan kata-kata kepada Mak Nyak.] Pak Subagio: “Nanti ketupatmu saya ganti, Mak!” Mak Nyak [masih tidak mau menerima kejadian tadi]: “Ya, Pak. Tapi tadi, kenapa dia dilepaskan?” Pak Subagio: “Kasihan, aku teringat bapakku!” [Dan pagi masih berlangsung. Di dalam kamar, sebelum beranjak pergi ke sekolah, anak-anak Pak Subagio masih sempat memainkan handphone mereka dan mengabarkan kepada dunia maya tentang kejadian pagi itu. Ada yang memuji papa mereka, ada pula yang menyayangkan tindakan ayah mereka itu. Tapi toh, dengan begitu, kejadian yang terjadi tadi akan dibicarakan temanteman mereka yang juga kaya raya, dan mereka akan jadi pusat sorotan; walaupun hanya sebentar.] ** Layar Tutup BABAK KEDUA ADEGAN 4 [Siang itu, setiap orang yang berpapasan dengan Pak Mardi selalu memerhatikan wajahnya yang bengkak kebiru-biruan. Dua pukulan tadi begitu menyakitkan,
menghinakan. Dia merasakan pedih, dalam hatinya berkecamuk rasa malu yang luar biasa. Apa kata istrinya nanti bila melihat wajahnya babak belur begitu? Dia mesti mengarang alasan supaya istrinya tidak cemas. Lagipula dia sudah menepati janji buat membawakan Handoyo ketupat yang kemarin begitu ia inginkan. Sepanjang jalan, diliputi pelbagai rasa antara malu dan gembira, ia menyusuri kota yang makin ramai oleh lalu lintas kendaraan. Ambivalensi perasaannya membuatnya begitu menyedihkan.] Pak Mardi [dalam hatinya]: “Biarpun badan babak belur, asal kenang20ku Handoyo bisa makan ketupat, tidaklah mengapa. Hari masih panjang, hasil belum segitu banyak. Aku harus semangat, meski habis dihajar orang-orang. Ini semua kesalahanku sendiri. Dan aku harus menanggungnya. Tuhan [sembari mendongak ke langit], tolong beri hambamu ini pengampunan.” [Jalanan kota terasa kian panas. Terik matahari siang, dan luka di wajahnya, makin memperberat dirinya. Meski begitu, lama-kelamaan, dari satu tong sampah ke tong sampah lainnya, hasil yang ia harapkan terkumpul juga. Sekarang ia bergerak menuju tempat penampungan sampah tersebut. Sesampainya di sana, ia langsung disambut oleh Babah Lung, bos penampungan sampah.] Babah Lung [menaikkan kacamatanya hingga pas dan menengok gerobak yang dibawa Pak Mardi]: “Dapat banyak, Mardi?” Pak Mardi [mulai mendekat dan menurunkan bak gerobaknya]: “Iya, Bah. Alhamdulillah.” [Dari dekat, nampak jelas muka Pak Mardi yang babak belur.] Babah Lung: “Mukamu kenapa gosong begitu?” Pak Mardi: “Aduh, tadi jatuh kebentur batu besar di jalan!”
Babah Lung: “Kau mesti obatin mukamu!” Pak Mardi: “Iya, Bah.” [Setelah ditampung dan ditimbang. Hasil Pak Mardi hari itu terbilang cukup. Dengan gerobak yang kosong dan bingkisan tadi, maka pulanglah ia kembali ke rumahnya.] ** Layar Tutup BABAK KEDUA ADEGAN AKHIR Pak Mardi: “Assalamualaikum....bapak pulang!” Handoyo [mendengar suara bapaknya, langsung keluar rumah]: “Bapakkk..., kenapa tadi ditinggal aku?” Pak Mardi: “Maaf, nang. Ini bapak bawa ketupat sama opor buat kamu. Ibukmu mana?” Handoyo [sangat senang]: “Asyikkkkkkk, ibuk di dapur, merebus air.” [Bocah itu langsung masuk lagi.] Pak Mardi [melepas topi dan meletakkannya di cantolan paku di tembok]: “Bu, bapak pulang.” Bu Maryam [suara dari dapur]: “Lho, bapak sudah pulang. Minum kopi?” Pak Mardi: “Boleh, Bu. Tolong.” Bu Maryam: “Ya, sebentar.”
[Beberapa saat kemudian, Bu Maryam keluar dari dapur, membawa secangkir kopi. Ketika menatap wajah Pak Mardi, ia terkejut.] Bu Maryam: “Lho, Pak. Kok mukamu bengkak semua!” Pak Mardi: “Ya, bu, anu...tadi, waktu bapak nyari sampah, jatuh kebentur batu besar. Terus muka bapak jadi begini...” [Lantas Bu Maryam kembali ke dapur mengambil air panas dan handuk untuk mengompres luka di wajah Pak Mardi.] Bu Maryam: “Lain kali hati-hati, Pak. Kalau bapak sakit, siapa yang nanti cari duit?” Pak Mardi: “Sudahlah, bu. Tidak apa-apa. Yang penting, Handoyo senang sudah tak bawakan ketupat sama opor.” Bu Maryam: “Wah, ada opor sama ketupat. Bapak beli, ya tadi?” Pak Mardi [agak ragu]: “Be-belilah, masak nyolong?” [Bu Maryam pun nampak senang.] [Di meja makan yang kecil itu, mereka bertiga makan dengan lahap dan penuh rasa syukur. Handoyo mendapat paha ayam; Bu Maryam dapat sayap; dan Pak Mardi cukup puas hanya kuah plus dua iris ketupat. Lampu teplok yang temaram, menerangi meja makan kecil itu dalam suasana penuh rahmat dan kasih Tuhan.] Handoyo [berceloteh sesaat setelah makan]: “Pak, manuk-manukannya besok, ya!” Pak Mardi: “Walahhh, nang, nang. Masih juga kamu ingat itu!” [Maka mereka sekeluarga pun tertawa bersama-sama. Dalam suasana Bodo Kupat yang ikut mereka rasakan kegembiraannya. Dalam lindungan Tuhan, meski
bisikan iblis sempat menyelimuti hati Pak Mardi. Tuhan Maha Baik, Ia limpahkan berkah bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam tanggungjawab menghidupi anak dan istri.] *** Selesai Layar Tutup Keterangan: 1: artinya tumpah. 2: artinya nak, dalam sapaan kepada anak 3: tambahan fonem ‘k’ agar terkesan medhok dalam dialek Jawa 4: ya sudah 5: burung-burungan; mainan burung 6: mahal 7: tidak 8: busuk: keadaan berlendir ketika kadaluarsa 9: terima kasih 10: anak manis 11: ditiduri 12: diberitahu 13: sekarang 14: apa lagi itu? 15:anjing 16: orang kecil 17: kaya 18: (Ing) artinya renyah 19: maksudnya konsumtif 20: anak