KETIKA IJIN USAHA PERKEBUNAN (IUP) BERSINGGUNGAN KAWASAN HUTAN Oleh : Sri Sultarini Rahayu Auditor pada Inspektorat IV Kementerian Kehutanan
Perkebunan merupakan salah satu penghasil devisa yang sangat besar. Indonesia dengan luas kebun sawit mencapai 7,2 juta ha menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) sebagai salah satu produk unggulan perkebunan dari komoditi kelapa sawit. Produksinya yang mencapai 19 juta ton per tahun telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, yaitu sebesar 44,5 % dari seluruh produksi di dunia (Transtoto Handadhari, Kompas 9 Oktober, Hal 7). Penghasil devisa lain adalah pertambangan, dengan batubara sebagai salah satu produk andalannya. Batubara berperan strategis dalam penyediaan dan pengembangan energi nasional. Peran dan kontribusinya semakin penting di masa depan dan akan terus meningkat, antara lain karena batubara dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk seperti briket baturbara, Cyrude Synthetic Oil (CSO) dan gasifikasi batubara. Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara (2002) memaparkan produksi batubara pada tahun 1999 sebanyak 73,68 juta ton, kemudian meningkat sebanyak 80,94 juta ton. Angka tersebut terus meroket hingga pada akhir tahun 2010 diprediksi mencapai 320 juta ton. Kisruh Kawasan Tingginya produksi sawit dan batubara menggambarkan keberhasilan perusahaanperusahaan perkebunan maupun pertambangan memberi kotribusi devisa pada negara. Namun, tidak seirama dengan dengungnya devisa yang dihasilkan, kasus tumpang tindih kawasan oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan terus terdengar di wilayah Indonesia dengan modus bervariasi. Sebagian kasus mencuat dengan alasan belum dilakukannya proses paduserasi Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/K) dengan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sebagian lainnya karena tidak adanya koordinasi antara bupati dengan UPT Kementerian Kehutanan di daerah. Modus terakhir ini lebih kerap terjadi dan distimulasi oleh euforia desentralisasi. Pemerintah Daerah (bupati) ingin memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) semaksimal mungkin. Instansi di bawah kewenangan bupati, seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Pertambangan tentu saja membantu kelancaran pengurusan izin perkebunan (izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan) maupun izin pertambangan (Izin Lokasi, Izin Usaha
Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat). Ironisnya, UPT Kementerian Kehutanan di daerah sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan. Di sinilah awal munculnya kisruh kawasan. Polemik selalu mewarnai pengurusan izin perkebunan maupun pertambangan, baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten, kota atau antar sesama pemerintah kabupaten/kota dalam hal kewenangan pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam di dalamnya. Tidak hanya karena aspek kewenangan pengelolaan kawasan yang membuat diperlukannya izin penggunaan kawasan, namun juga kekhawatiran terhadap dampak terkeruknya sumber daya hutan dan berkurangnya luas kawasan hutan. Perlunya koordinasi dengan UPT Kementerian Kehutanan (Lintas Sektoral) didasari terdapatnya skala ekonomis pengusahaan perkebunan maupun pertambangan. Usaha perkebunan harus memiliki jumlah luas areal efektif sedangkan usaha pertambangan harus memiliki sejumlah nilai tertentu deposit mineral atau batubara. Perusahaan perkebunan dengan komoditi terbaharukan cenderung berorientasi pada ekspansi areal, sedangkan perusahaan pertambangan dengan komoditi tak terbaharukan berkonsentrasi pada pencarian potensi maksimal sumber daya mineral dan batubara yang terkandung didalam lapisan permukaan bumi. Perusahaan perkebunan bisa saja memperoleh calon areal perkebunan pada Areal Penggunaan Lain (APL) atau pada areal berstatus kawasan hutan yang dapat dilakukan pelepasan kawasan (Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sesuai Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010). Sedangkan perusahaan pertambangan yang mengincar calon areal potensial sangat sulit untuk membiarkan areal berkandungan mineral dan batubaranya tinggi yang mungkin berstatus kawasan Hutan Produksi (HP) atau Hutan Lindung (HL). Untuk kasus semacam ini maka harus menempuh proses pinjam pakai kawasan (pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/MenhutII/2008). Budaya koordinasi dalam penerbitan izin perkebunan maupun pertambangan telah diupayakan Kementerian Kehutanan melalui berbagai peraturan. Sayangnya, upaya berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan belum tercermin dalam peraturan yang diterbitkan instansi terkait. Undang-Undang Pertambangan Nomor 4 Tahun 2009 tidak menyebutkan tentang keperluan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, juga tidak menyebutkan perlunya rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin pertambangan. Demikian pula Undang- Undang Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 yang hanya mengatur status tanah areal perkebunan (Pasal 9). Tercermin perlunya kearifan instansi terkait untuk mengupayakan regulasi yang mengatur koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dalam hal menghindari terjadinya tumpang tindih izin perkebunan maupun pertambangan dalam kawasan. Kesulitan lainnya, setelah terbit Undang- Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemda (bupati) untuk menerbitkan kuasa pertambangan (KP). Pemerintah provinsi hanya menangani izin jika lokasi tambang berada di perbatasan dua kabupaten. Pemerintah pusat hanya mengeluarkan izin KP untuk lokasi
tambang yang berada di perbatasan dua provinsi. Desentralisasi membuat eksploitasi dan ekspor bahan tambang semakin tidak terkontrol, terutama batubara. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya – terlebih data jumlahnya – semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. Fenomena ini jamak terjadi di berbagai daerah. Perusahaan perkebunan maupun pertambangan tidak mengindahkan meskipun calon areal kerjanya tumpang tindih dengan Izin Usaha Pengusahaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan atau dengan izin usaha lainnya. Masing-masing perusahaan, baik perusahaan perkebunan maupun pertambanganberkeyakinan dengan melakukan aktivitas di areal yang dimohon (perusahaan perkebunan membuka lahan dan melakukan penanaman sedangkan perusahaan pertambangan melakukan pengeboran titik-titik eksplorasi) maka hal itu menjadi tanda kepemilikan izin operasi terhadap areal yang dimaksud. Kalau saja pengurusan Izin Usaha Perkebunan dan Izin Usaha Pertambangan dilakukan secara lintas sektoral, gubernur/ bupati tidak hanya melibatkan instansi yang berada di bawah kewenangannya namun juga berkoordinasi dengan UPT Kementerian Kehutanan, sehingga prosedur yang ditempuh mengikuti ketentuan dan aturan yang berlaku di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Maka kasus izin perkebunan maupun pertambangan dalam kawasan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku tentu tidak terjadi lagi. Karena langkah koordinasi instansi-instansi terkait belum banyak dilakukan, maka Menteri Kehutanan berupaya mengurangi kasus tumpang tindih kawasan, di antaranya melalui surat Nomor S.31/Menhut-VI/2008 tanggal 23 Januari 2008 yang menyatakan Menteri Kehutanan meminta bantuan gubernur di seluruh Indonesia untuk memerintahkan para bupati untuk segera menutup/mencabut izin-izin usaha perkebunan dan kuasa pertambangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masalah IU Perkebunan Pengembangan usaha perkebunan yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan mengacu kepada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/ Kpts/HK.350/5/2002. Di situ dijelaskan bahwa untuk memperoleh Izin Usaha (IU) Perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat antara lain pertimbangan teknis kesediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan (Pasal 10 butir f ). Kenyataannya, Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH) sering tidak dimintai pertimbangan teknis oleh dinas kehutanan kabupaten dalam rangka penerbitan IU Perkebunan. Selain itu, pengusaha perkebunan sering hanya dengan berbekal IU Perkebunan dari bupati – meskipun areal kerjanya sebagian berada dalam kawasan hutan (HPK) – telah memulai aktivitas, sedangkan proses pelepasan kawasan belum diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Perbedaan persepsi yang sering muncul di antara para pengusaha adalah apakah perusahaan sudah dapat mulai beroperasi jika IUP terbit atau setelah proses pelepasan kawasan disetujui? Dua hal ini bisa dianalogikan seperti mempertanyakan apa yang
dibutuhkan untuk bisa membangun bangunan, sertifikat tanah atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sebenarnya moratorium pelepasan kawasan hutan telah digelontorkan sejak 26 September 2001 melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 1712/MenhutVII/2001. Kemudian dipertegas kembali melalui surat Menteri Kehutanan Nomor S.51/Menhut-VII/2005 tanggal 11 Februari 2005, agar gubernur/bupati tidak menerbitkan IU Perkebunan yang lokasinya berada di kawasan hutan. Selain itu pemegang IU Perkebunan yang berlokasi di kawasan hutan diminta agar menghentikan pembukaan kawasan hutan sebelum ada izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Kelemahan IU Pertambangan Kegiatan penyelidikan umum merupakan tahap awal untuk menentukan titik eksploitasi (pit). Penyelidikan umum sebagai bagian dari tahap eksplorasi dapat dimulai setelah terbit IUP Eksplorasi, sementara tahap eksploitasi dapat dimulai setelah terbit IUP Operasi Produksi. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan pengolahan dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan (Pasal 36 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Biasanya pengusaha tambang tidak ingin membuang-buang waktu, begitu izin ekplorasi dari bupati diterbitkan, perusahaan langsung melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi yang dapat dimulai setelah izin pinjam pakai kawasan diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Kisruh kawasan sering mencuat karena para pengusaha mengartikan operasi pertambangan bisa dimulai sejak IU Pertambangan terbit. Seharusnya, operasi pertambangan di dalam kawasan hutan (HL atau HP) baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan, meski benar, aktivitas di luar kawasan dapat dimulai sejak terbitnya IU Pertambangan. Masalah lainnya adalah meskipun penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan (berada di kawasan hutan atau bukan) kepada pemenang lelang WIUP telah diatur dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 ayat 2, namun jika proses penerbitan IUP oleh gubernur/bupati tidak melibatkan UPT Kehutanan ada kemungkinan informasi status lahan tersebut tidak sesuai dengan peta TGHK yang menjadi acuan status kawasan hutan dan bukan hutan. Modus lainnya adalah seperti yang diilustrasikan berikut ini. Perusahaan B mengajukan IU Pertambangan (atau IU Pertambangan diterbitkan bupati untuk perusahaan B) pada areal yang telah mengantongi IU Pertambangan untuk perusahaan A, sehingga calon areal eksplorasi kedua perusahaan saling tumpang tindih. Secara tempos delicti, tentu perusahaan A berhak memperoleh Izin Eksplorasi pada areal tersebut. Namun jika perusahaan B lebih dahulu mengajukan permohonan pakai pinjam kawasan kepada Menteri Kehutanan, maka perusahaan B-lah yang lebih dahulu diproses permohonannya. Satu hal yang tidak dapat dihindari perusahaan pertambanga adalah pengeboran titik eksplorasi dalam kawasan hutan tidak dibenarkan sebelum terbitnya izin pakai pinjam
kawasan. Seperti suatu aksioma, perusahaan pertambangan sebelum mengajukan permohonan IU Pertambangan pasti telah melakukan deteksi geologi untuk mengetahui kandungan deposit mineral dan batubara, sehingga tidak perlu ada keraguan tentang ada atau tidaknya kandungan batubara/mineral pada titik tertentu. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/ Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan Penerbitan, izin terkait usaha perkebunan maupun pertambangan yang di kemudian hari diketahui tumpang tindih dengan kawasan hutan dapat diselesaikan secara tempos delicti sesuai pasal 2 ayat (1) yang menyatakan kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila: a) telah ditunjuk dengan keputusan menteri; b) telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas; c) Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan oleh menteri; atau d) Kawasan hutan telah ditetapkan dengan keputusan menteri, dan ayat (2) bahwa dalam hal penunjukan suatu areal dengan keputusan menteri, atau suatu areal telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas atau berita acara tata batas telah disahkan oleh Menteri Kehutanan atau tata batas telah ditetapkan oleh menteri atau kawasan hutan telah ditetapkan dengan keputusan menteri, maka yang digunakan sebagai acuan kawasan adalah status yang terakhir.
Tumpang Tindih Kawasan Ringkasnya, permasalahan tumpang tindih kawasan dalam pembangunan usaha perkebunan dan usaha pertambangan, disebabkan oleh faktor-faktor berikut: Perusahaan perkebunan/pertambangan tidak memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Izin Lokasi yang diterbitkan bupati Perusahaan perkebunan langsung melakukan pembukaan lahan dan
penanaman padahal hanya memperoleh Izin Lokasi, sementara persetujuan prinsip belum terbit Perusahaan pertambangan telah melakukan eksploitasi begitu mereka memperoleh Izin KP, padahal persetujuan prinsip belum diterbitkan. Masih banyak daerah yang belum memiliki RTRWP/K yang telah dipaduserasikan dengan Peta TGHK Tidak dilibatkannya BPKH untuk memberikan pertimbangan teknis dalam rangka penerbitan IU Perkebunan maupun IU Pertambangan Tidak berperannya Dinas Kehutanan kabupaten sebagai pemangku kawasan hutan di wilayah kabupaten dalam proses penerbitan Izin Lokasi Perkebunan yakni dalam memberikan pertimbangan teknis ketersediaan lahan eks kawasan Lemahnya pengawasan dan pengendalian Dinas Kehutanan kabupaten terhadap pelaksanaan kegiatan perkebunan, pertambangan dan pengamanan hutan HPH/HPHTI menelantarkan arealnya (tidak melakukan aktivitas di lapangan) Lemahnya pengawasan dan pengendalian oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan, serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan provinsi terhadap pelaksanaan kegiatan HPH/HPHTI Belum adanya koordinas antara Dinas Kehutanan provinsi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten, serta BPKH untuk melakukan rekonstruksi batas kawasan areal HPH/HPHTI Jika faktor-faktor tersebut tidak segera ditindaklanjuti oleh instansi-instansi terkait, dan tidak ada upaya penyadaran atau penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tentu saja kekisruhan kawasan dan permasalahann antar instansi takkan ada habisnya. Sampai kapan kita akan membiarkan faktorfaktor tersebut menjadi budaya kerja di bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan di negeri ini? Sementara hutan-hutan Indonesia yang merupakan sumber cadangan oksigen, air, dan keanekaragaman hayati dunia terus terancam punah, yang tentu saja akan membawa kita ke permasalahan ekologi yang lebih serius lagi