KETIDAK-MUTLAKAN LAKI-LAKI DALAM PERWALIAN NIKAH MENURUT PERSPEKTIF ULAMA TAFSIR
Nasaiy Aziz Fakultas Syari‟ah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam – Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Marriage is legal action which needs basic principles that make it legally valid. Of the basic principles of marriage, the existence of guardian always becomes a complicated problem in the community. The majority of jurists argued that a woman should not marry himself or others. If she marry without a guardian, then the marriage null and void. However, differed with the majority of jurists Abu Hanifa argued that the female adult of normal intelligence has the right to perform the marriage ceremony without a guardian directly, both girls and widows. This is based on al-Baqarah verse 230; 232 and 234. In the third verse is attributed to the contract of women, this suggests that women have the right to perform marriages directly. Differences of opinion among the commentators that occurs is due to the lack of texts that clearly states the problem of wali concept itself. Kata Kunci : Perwalian nikah, Ulama Tafsir Pendahuluan Manusia diciptakan Allah swt. mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Pemenuhan naluri manusiawi manusia, di antara lain keperluan biologis, dapat disalurkan melalui perkawinan. Perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Dalam Islam perkawinan merupakan sunnah Rasul saw. yang di antara lain bertujuan untuk melanjutkan keturunan di samping untuk menjaga manusia supaya tidak terjerumus dalam perbuatan keji yang sama sekali tidak diinginkan oleh syara‟. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, maka perkawinan itu harus dilaksanakan sesuai menurut ketentuan syari‟at Islam, yaitu dengan cara yang sah. Suatu perkawinan baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratsyaratnya. Salah satu rukun atau syarat tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap batal. Di antara salah satu syarat atau rukun perkawinan adalah adanya wali nikah. Dalam al-Qur‟an ada beberapa ayat yang berkenaan dengan wali dalam perkawinan yang menjadi perbedaan pendapat ulama tafsir dalam memahaminya. Sebagian mufasir menganggap khithab yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut khusus ditujukan kepada wali. Sedangkan sebagian mufasir lainnya Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
135
menganggap khithab dimaksud ditujukan kepada semua orang termasuk wali di dalamnya . Melihat penjelasan di atas permasalahan yang ingin diselesaikan di sini adalah Mengapa ulama tafsir berbeda pendapat dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat nikah? Penalaran Ulama Tafsir terhadap Ayat-Ayat Nikah Ayat-ayat yang menjadi pokok kajian penalaran ulama adalah ayat-ayat yang menjadi pegangan ulama empat mazhab dalam menetapkan kedudukan dan kriteria wali dalam pernikahan yaitu: surat al-Baqarah ayat 221, 230, 232 dan 234; surat al-Nur ayat 32 yaitu sebagai berikut : Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
136
Nasaiy Aziz: Ketidak-Mutlakan laki-laki dalam Perwalian...
bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. Dan adapun ulama-ulama tafsir yang dipilih di sini adalah : al-Qurthubi, alThabari, al-Zamakhsyari, al-Qasimi, Ibn al-„Arabi, al-Jashsas dan Rasyid Ridha, dengan pertimbangan uraian mereka paling kurang dapat mewakili keempat mazhab yang dikaji. Pokok perhatian ulama dalam membahas ayat-ayat di atas dikelompokkan kepada (a) sebab turun ayat (b) arti dan cakupan lafazh yang digunakan untuk menunjuk krietria wali dalam pernikahan. Mengenai sebab turun ayat di sini lebih ditekankan kepada ayat yang turunnya lebih erat kaitan dengan masalah perwalian nikah. Selebihnya hanya dikaji cakupan lafazh dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut di atas. Dari beberapa kitab tafsir yang dibaca, dari kelima ayat tersebut di atas sebab turunnya yang erat kaitan dengan masalah tersebut adalah ayat 232 surat alBaqarah. Imam al-Thabari melukiskan beberapa riwayat, sebab turunnya dan dapat dipercaya kebenarannya adalah berkaitan dengan Ma‟qil Ibnu Yasar yang menghalangi saudara perempuannya yang ditalak suami untuk kembali lagi seperti sediakala.1 Hal ini sesuai dengan hadits berikut: Matannya menurut Abu Dawud.2
1
Al Thabari, Tafsir al Thabari, Juz II, (Beirut: Daar al Fikr, 1954), hal. 489 Ahmad al Sahar Nafuri, Bazl al Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz IX, (Bairut: Daar al Kutub al Ilmiyyat), hal. 89 2
Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
137
كانت ىل أخت ختطب إىل فأاتىن ابن عم ىل فانكحتها إايه مث تر كها: عن احلسن أن معقل بن يسار قل ففى: قال, وهللا ال أنكحها (ال انكحتها) أبدا,ال:حىت انقضت عدهتا فلما خطبت إىل خيطبها فقلت فكفرت عن مييىن فأ نكحها إايه: قال. . . نزلت هذه اال ية Artinya: Dari al-Hasan, bahwa Ma‟qil Ibn Yasar berkata: saya punya seorang saudara perempuan yang senang kepada saya, tatkala anak paman datang, maka saya kawinkan dengannya (saudara perempuan tersebut) kemudian ia ceraikannya dengan talak raj‟i dan dibiarkannya sampai selesai „iddah. Manakala saya mau mengawininya datanglah anak paman tadi untuk mengawininya lagi (kembali lagi), lantas saya mengatakan (kepadanya) “demi Allah saya tidak akan mengawinkannya lagi (denganmu) untuk selamanya”, maka turunlah ayat . . . ia berkata saya berikan kafarat sumpah lalu saya kawinkan dia dengan anak paman tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud. Para ulama hadits sering mempertayakan kekuatan hadits yang didalam sanadnya dijumpai Ubad Ibn Rasyid. Menurut keterangan Abu Dawud hadits itu lemah, tetapi beliau tidak menyebutkan lebih lanjut sebab kelemahan riwayatnya. Hal ini didukung oleh Nasaiy yang menyatakan hadits yang berdasarkan dari riwayatnya memang tidak kuat.3 Ulama sepakat menetapkan bahwa hadits tersebut sebagai sebab turun ayat 232 surat al-Baqarah. Menurut keterangan Ahmad al-Sahar Nafuri salah seorang pensyarah sunan Abu Dawud hadits ini termasuk salah satu hadits persyaratan wali dalam pernikahan menurut ulama yang berpendapat demikian. 4 Mengenai percabangan sanad dapat dilihat dalam taswir berikut ini :
3
Ahmad Sahar Nafuri, Bazl al-Juhud, hal. 89 Ahmad Sahar Nafuri, Bazl al-Juhud, hal. 91
4
138
Nasaiy Aziz: Ketidak-Mutlakan laki-laki dalam Perwalian...
sanad hadits tentang sebab turunnya ayat 232 surat al-Baqarah.5 Sejalan dengan pendapat di atas --melihat kepada sebab turunnya ayat--alThabari juga menyatakan yang pasti ayat tersebut berkenaan dengan larangan para wali menghalangi atau menimbulkan kemudharatan terhadap perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk kembali lagi dengan bekas suaminya atau kawin dengan lelaki lain yang ia sukai.6 Abubakar al-Jashsas seorang mufasir bermazhab Hanafi berkesimpulan ayat tersebut diturunkan khusus untuk para wali tidak mesti demkian. Menurut beliau kesimpulan semacam itu sulit dipertahankan kebenarannya, disebabkan khitab ayat tersebut terlalu umum mencakup semua orang termasuk suami.7 Kesimpulan ini sama seperti yang dijelaskan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manaar. Menurut beliau walaupun turun ayat tersebut dikarenakan sebab yang khusus tetapi hukumnya berlaku umum. Termasuk ke dalamnya suami yang menghalangi isteri yang sudah diceraikan untuk kawin dengan lelaki lain yang ia sukainya.8 Berkenaan dengan arti dan cakupan lafazh yang digunakan untuk menunjuk perwalian nikah dapat dijelaskan sebagai berikut: Al-Qurthubi menjelaskan kalimat “wa laa tunkihuu al-musyrikiin” yang terdapat dalam ayat 221 surat al-Baqarah khitabnya khusus ditujukan kepada wali. Oleh karena itu -- menurut beliau -- wali dilarang mengawinkan anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya dengan laki-laki musyrik. Bahkan ayat tersebut merupakan dasar utama disyaratkan wali dalam perkawinan. Hadits-hadits yang berkaitan dengan perkawinan dianggap sebagai penafsir ayat tersebut. Hal ini terlihat ketika ia memahami hadits “al-ayyimu ahaqqu bi nafsiha”. Beliau mengartikan perkawinan itu harus didasarkan atas keredhaan orang perempuan, bukan berarti perempuan tersebut yang berhak melaksanakan akad nikah sendiri.9 Keterangan tersebut menunjukkan wali (laki-laki) sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah. Sejalan dengan penafsiran di atas apa yang dikemukakan Ibn al-„Araby -seorang mufassir yang bermazhab Maliki -- berikut ini. Kebenaran kesimpulan di atas cukup beralasan, karena dengan didummahkan “ta” (dibariskan di hadapan) pada kalimat “wa laa tunkihu”--secara jelas-- menunjukkan ada pihak lain yang mengurus masalah nikah, dalam hal ini wali bukan perempuan itu sendiri.10 Beralih kepada ayat 230 surat al-Baqarah, kalimat “nikah” yang terdapat dalam ayat tersebut --menurut Ibn al-„Araby-- mengandung dua pengertian yaitu; (1) diartikan dengan “akad” dalam bentuk yang tersurat (2) diartikan dengan jimak dalam bentuk yang tersirat. Andaikata pengertian diartikan dalam bentuk 5
Ibn Qayyim al Jauziyyat, Aun al Ma‟buud Syarh Sunan Abi Daawud, Jilid VI, (Beirut: Dar al Fikr, t.t.), hal. 109; Ahmad Sahar Nafuri, Bazl al Juhuud fii Hal Abi Dawud, Juz IX, hal. 89; Ibn Hajar al „Ashqalany, Fath al Baary, Juz XI, (Mesir: Musthafa al Baabii al Halaby, 1959), hal. 91 6 Al Thabari, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 487 7 Al Jashsas, Ahkaam al Qur‟an, Juz II, (Kairo: Mathba‟at Abd Rahman, t.t.), hal. 101 8 Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, (Al Qahirat: Maktabat, t.t.), hal. 401-402 9 Al Qurthuby, Al Jaami‟ al Ahkam al Qur‟an, Juz III, (Cairo: Daar al Kitaab al „Araby, 1967), hal. 72-73 10 Ibn al „Araby, Ahkaam al Qur‟an, Tahqiq Al Bujawy, Juz, (Beirut: Isaa al Baabii al Halabii, 1950), hal. 197 Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
139
pertama, maka --berdasarkan ayat tersebut - perempuan boleh mengawinkan diri sendiri karena nikah tersebut diidhafatkan kepadanya. Akan tetapi kalau diartikan dalam bentuk yang kedua, maka kandungan ayat tersebut berarti perempuan kapanpun tidak boleh mengawinkan diri sendiri ataupun orang lain karena zhahir ayat tidak menunjukkan demikian. Dalam hal ini beliau lebih condong kepada pengertian kedua, dengan alasan hadits-hadits yang berkaitan dengan nikah mendukung kearah tersebut.11 Berbeda dengan pemahaman di atas, al-Jashsas berpendapat sebaliknya. Penafsirannya lebih condrong pada bentuk pertama bahkan pengertian semacam itulah yang dikehendaki oleh ayat. Menurut beliau ada dua kalimat dalam ayat tersebut yang mendukung kesimpulannya yaitu; (1) kalimat “hatta tahkina zaujan ghairah” menunjukkan pengertian bahwa yang melangsungkan akad nikah adalah perempuan sendiri, dan (2) Kalimat “falaa junaaha „alaihimaa an yataraa ja‟a” diartikan dengan suami isteri yang telah terjadi perceraian punya hak untuk ruju‟ (kembali lagi kepada perkawinan semula) tanpa memerlukan kepada wali.12 Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa perbedaan penafsiran kedua penafsir tersebut besar kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, (1) perbedaan dalam mengartikan kalimat yang dianggap sebagai kunci pemahaman ayat. Satu pihak lebih mementingkan arti secara zhahir (tersurat), sementara di pihak lain lebih mementingkan arti secara tersirat; (2) sedikit banyaknya dipengaruhi oleh latar belakang mazhab yang mereka anut. Hal ini dapat dilihat kepada kebiasaan kedua penafsir dalam memahami nash. Ibn al-„Araby seorang mufassir yang bermazhab Maliki -- dalam tulisan ini dimasukkannya kedalam kelompok jumhur-kebiasaan dalam penafsiran nash lebih mengarahkan kepada arti yang tersurat. Akan tetapi di sini -- besar dugaan -- kecondongan penafsirannya kepada arti yang tersirat disebabkan latar belakang mazhab yang dianutnya (tidak membolehkan wanita menjadi wali dalam pernikahan). Begitu juga sebaliknya al-Jashsas-penafsir bermazhab Hanafi--kebiasaannya menafsirkan nash lebih condong kepada arti yang tersirat tetapi di sini sebaliknya. Beralih kepada penafsiran ayat 232 surat al-Baqarah.Ulama tafsir sepakat menetapkan bahwa kata “al-„dal” yang terdapat dalam kalimat “falaa ta‟dhuluu hunna” mengandung arti “al-habs (menghambat), al-man‟ (menghalangi) dan altadhyiiq (menyukarkan)”. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan khitab yang terkandung dalam ayat tersebut. Ibn al-„Araby menilai ayat tersebut berkenaan dengan larangan Allah terhadap para wali yang menghalangi perempuan yang ada di bawah perwaliannya untuk kawin dengan lelaki lain yang ia sukai. Menghalangi kawin di sini berarti wali tidak mau (enggan) mengawinkan perempuan tersebut dengan lelaki yang ia sukainya. Andaikata perampuan punya hak untuk mengawinkan diri sendiri, tentu tidak mungkin ada larangan “menghalangi” yang terdapat dalam ayat tersebut. Oleh karena itu tepatlah dikatakan bahwa khitab ayat tersebut khusus ditujukan kepada wali yang tidak mau mengawinkan anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya.13 Sejalan dengan penafsiran di atas, al-Qurthuby juga mengatakan walaupun ada orang yang mengatakan bahwa khitab tersebut ditujukan kepada suami yang menghalangi bekas isterinya kawin dengan lelaki lain agak sulit 11
Ibn al Arabi, Ahkam al-Qur‟an…, hal. 197 Al Jashash, Ahkaam al Qur‟an, Juz II, hal. 101 13 Ibn al „Araby, Ahkam al-Qur‟an…, hal. 197 12
140
Nasaiy Aziz: Ketidak-Mutlakan laki-laki dalam Perwalian...
dipertahankan kebenarannya, karena kalau keadaannya demikian -- melihat kepada sebab turun ayat -- tidak mungkin larangan tersebut ditujukan kepada Ma‟qil kalau saudaranya dapat melaksanakan akad nikah sendiri tanpa adanya (Ma‟qil).14 Dua penafsir berikutnya al-Zamakhsyary dan Rasyid Ridha menegaskan ada dua kemungkinan tujuan khitab yang terkandung dalam ayat tersebut; (1) dilihat dari segi turun ayat ditujukannya kepada wali; (2) bila dikaitkan dengan kalimat “wa idzaa tallaqtum al-nisaa‟” yang terdapat di permulaan ayat menunjukkan larangan tersebut ditujukan kepada suami. Keduanya tidak menegaskan mana yang lebih benar dari kedua alternatif tersebut.15 Namun dilihat dari segi cara penafsiran keduanya dapat dinyatakan bahwa penafsirannya masih berkisar pada perempuan tidak punya hak untuk mengurus sendiri masalah pernikahannya. Penafsiran yang agak berbeda dari apa yang telah disebutkan di atas diberikan oleh al-Jashsas. Menurut beliau ayat tersebut merupakan dasar utama tentang pembolehan wanita mengurus dan melaksanakan akad nikah sendiri, di samping ayat-ayat lain sebagai pendukungnya. Bahkan beliau membantah pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak punya hak mengurus pelaksanaan akad nikah. Dia tidak mementingkan tujuan khitab yang terkandung dalam ayat tersebut; kepada siapapun khitab itu ditujukan pengertiannya tetap seperti tersebut di atas. Ada dua kalimat--sebagai dasar pertimbangannya--yang dapat mendukung kearah pemikiran yang disebutkan. Kalimat pertama “falaa ta‟dhuluuhunna an yankihna azwaajahunna” dipahami bahwa perempuan tidak boleh dihalangi untuk melaksanakan akad nikah sendiri dengan lelaki pilihannya. Kalimat kedua “al ma‟ruf” diartikan dengan “sekufu” atau “sejodoh” dan “mahar misil”. Dua kalimat tersebut secara keseluruhan beliau pahami “seorangpun tidak punya hak menghalangi perkawinan yang dilaksanakan oleh perempuan sendiri atas dasar sejodoh dan bermahar misil”. Kalau khitab tersebut ditujukan kepada wali misalnya -- secara mukhalafah -- berarti wali baru punya hak untuk menghalangi atau membatalkan perkawinan tersebut melalui hakim bila bukan dengan lelaki yang sejodoh dengan perempuan tersebut dan juga tidak dengan mahar misil.16 Dari uraian di atas dapat dinyatakan, perbedaan penafsir dalam memahami ayat tersebut dikarenakan berbeda mereka dalam mengnisbahkan nikah itu sendiri. Al-Jashsas nikah tersebut dinisbahkan kepada perempuan dengan pertimbangan dua kalimat tersebut di atas. Jadi penafsiran ayat yang dilakukannya lebih bersifat menyeluruh. Sedangkan penafsiran-penafsiran lainnya --menyangkut dengan ayatayat tersebut -- nikah itu dinisbahkan kepada wali. Oleh karena itu lelaki merupakan syarat mutlak untuk sahnya pernikahan. Pemahaman seperti ini lebih erat kaitannya dengan pendapat jumhur ulama. Sebaliknya pemahaman dalam bentuk pertama lebih mengacu kepada pendapat mazhab Hanafi. Beralih kepada ayat 234 surat al-Baqarah. Kunci pokok yang menjadi pemahaman ulama-ulama tafsir ayat dalam tersebut adalah kalimat “falaa junaaha „alaikum fii maafa‟alnaa fii anfusinnaa bi al ma‟ruuf”. Tiga mazhab
14
Al Qurthuby, Al Jaami‟ al Ahkam al Qur‟an, Juz III, hal. 158-159 Al Zarkhsyary, al Kasysyaaf, Juz I, al intsyaarat, Taheran, hal. 369; Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, hal. 401-402 16 Al Jahshas, Ahkaam al Qur‟an, Juz II, hal. 101 15
Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
141
Fiqh --al-Thabary, Ibn al-„Araby dan al-Qurthuby --17sepakat menetapkan bahwa khitab yang terkandung dalam kalimat “falaa junaaha „alaikum” adalah ditujukan kepada para wali. Begitu juga kalimat “fii maa fa‟alna” mereka maksudkan dengan “perkawinan” dan kalimat “bi al ma‟ruuf” semua perbuatan yang diizinkan syara‟ berkaitan dengan perkawinan seperti memilih calon suami, menentukan mahar dan sebagainya, kecuali melaksanakan akad, karena itu hak wali.18 Dari keterangan di atas dapat dinyatakan bahwa tidak ma‟ruf dan berlawanan dengan ayat apabila masalah pelaksanaan nikah dikuasakan kepada wanita. Penafsiran yang agak berbeda dari apa yang dikemukakan di atas diberikan oleh Zamakhsyary. Menurut beliau khitab yang terkandung dalam kalimat “falaa junaaha „alaikum” mencakup semua orang Islam baik pimpinan, maupun seluruh masyarakat Islam. Sedangkan kalimat “fii maa fa‟alna bi alma‟ruuf”--yang dipahami oleh penafsir terdahulu dengan segala perbuatan yang ada kaitannya dengan nikah-- menurut pemahamannya adalah segala perbuatan dan tindakan yang sesuai dengan keinginan syara‟, tidak terkecuali yang berkaitan dengan nikah. Dengan demikian para pimpinan dan seluruh orang Islam merasa berdosa apabila seorang perempuan yang baru selesai dari iddah wafat suaminya mengerjakan seluruh perbuatan yang dibenci syara‟.19 Melihat kepada penafsiran yang diberikan oleh al-Zamakhsyari di atas -besar dugaan-- beliau tidak menganggap ayat ini berhubungan dengan perwalian nikah. Andaikata kesimpulan ini mau dipertahankan kebenarannya tak ada salahnya kalau dikatakan bahwa dalam perkawinan beliau masih menganggap lelaki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah. Hal ini jelas terlihat bila dibandingkan dengan penafsirannya berkenaan dengan ayat 232 di belakang. Terhadap penafsiran yang diberikan oleh penafsir di atas di bantah oleh alJashsas. Menurut beliau keumuman khitab yang terkandung dalam ayat tersebut tercakup ke dalamnya akad nikah yang dilaksanakan oleh wanita sendiri. Kalimat “falaajunaaha „alaikum fii maa fa„alna fii anfusinna bial-ma‟ruuf” masih dapat diartikan dengan wali tidak ada hak campur tangan terhadap segala perbuatan yang dikerjakan oleh perempuan yang baru selesai iddahnya asal saja tidak di benci syara‟, termasuk ke dalamnya akad nikah. Persyaratan wali (laki-laki) dalam akad nikah berlawanan dengan ayat ini. Terhadap pendapat yang mengatakan bahwa dalam masalah perkawinan hak seorang perempuan yang berkisar pada penentuan calon suami dan kadar maskawin, tidak terhadap pelaksanaan akad nikah tertolak dengan alasan wali sama sekali tidak dapat melaksanakan akad nikah tersebut tanpa persetujuan seorang perempuan. Penentuan calon suami dan maskawin sama sekali tidak punya artinya apabila perkawinannya tidak terlaksana.20 17
Kendatipun dia mengatakan bahwa khitab tersebut berlaku untuk semua orang, tetapi pada hakikatnya juga bertujuan kepada wali. Hal ini terlihat jelas tatkala ia memahami kalimatkalimat berikutnya dalam ayat tersebut. Bahkan suatu bukti yang meyakinkan di tempat lain ia pernah menegaskan yang berwenang mengurus masalah tersebut adalah para wali, al Qurthuby, Al Jaami‟ al Ahkam al Qur‟an, Juz III, hal. 187 18 Al Thabary, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 516; Ibn al Araby, Ahkaam al Qur‟an, Tahqiq Al Bujawy, Juz I, hal. 212; Al Qurthuby, Al Jaami‟ al Ahkam al Qur‟an, Juz III, hal. 187 19 Al Zamakhsyary, al Kasysyaaf, Juz I, hal. 372 20 Al Jashash, Ahkaam al Qur‟an, Juz II, hal. 101
142
Nasaiy Aziz: Ketidak-Mutlakan laki-laki dalam Perwalian...
Dari uraian di atas dapat dinyatakan pengkhususan khitab yang terkandung dalam ayat tersebut kepada perwalian nikah dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perempuan hanya punya hak untuk menentukan calon suami dan kadar maskawin, tidak selainnya (melangsungkan akad nikah) -- laki-laki sebagai syarat mutlak dalam perwalian nikah -- tanpa menyebutkan dalil lain sebagai pendukung sulit dipertahankan kebenarannya, karena keumuman ayat tidak menghendaki demikian. Begitu juga sebaliknya dikarenakan keumuman khitab yang terkandung dalam ayat tersebut menganggap pembahasan perwalian ini berlawanan dengan ayat tersebut. Beralih kepada penafsiran surat al-Nur ayat 32.Sasaran utama yang menjadi kajian penafsiran ayat tersebut adalah kalimat “wa ankihuu al-ayaamaa minkum”. Dari beberapa kitab tafsir yang dibaca kebanyakan ulama tafsir mengartikan kata “al-ayyima” kepada “orang yang hidup sendirian baik laki-laki atau perempuan, sudah pernah kawin atau belum (laki-laki yang tidak punya isteri dan sebaliknya)”21 kecuali Ibn al-„Araby. Menurut beliau kata tersebut lebih dapat diartikan kepada perempuan yang tidak bersuami baik karena sudah cerai atau belum kawin sama sekali.22 Menyangkut dengan kata “ankihuu” ulama berbeda pendapat tentang khitab yang terkandung dalam kata tersebut. Al-Qasimy, al-Qurthuby dan Ibn al„Araby menganggap khitab yang terkandung dalam kata tersebut ditujukan khusus untuk para wali. Dibandingkan dengan al-Qasimy, Ibn al-„Araby lebih terperinci menjelaskan masalah tersebut. Menurut beliau walaupun ada orang yang mengatakan khitab yang terkandung dalam kata tersebut ditujukan kepada suami, tertolak dengan alasan kata “wa akinhuu” dengan memakai “hamzat” tidak bisa ditujukan kepada suami tanpa ada dalil yang menjelaskannya.23 Akan tetapi al-Thabary dan al-Jashsas mengatakan khitab tersebut masing-masing ditujukan kepada seluruh orang mukmin dan kepada semua orang tanpa kecuali.24 Melihat kepada pengertian kata “al-ayyima” dan “akinhuu” yang ditafsirkan di atas perlu dicatat bahwa ada kemungkinan ayat tersebut tidak termasuk dalam kategori ayat perwalian nikah bila dilihat dari segi tujuan khitab ditujukan kepada semua orang, dan pengertian kata “al-ayyima” semua orang yang hidup sendirian baik laki-laki atau perempuan; yang sudah pernah kawin atau belum seperti yang dipahami oleh kebanyakan ulama tafsir di atas. Layaknya dapat dikatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan anjuran kawin terhadap laki-laki yang tidak punya isteri dan sebaliknya, baik sudah pernah kawin atau belum. Pengkhususan keumuman khitab yang terkandung dalam ayat tersebut kepada para wali dan orang-orang perempuan yang tidak bersuami tanpa
21
Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, (Mesir: Isa al Babii al Halabii, 1959), hal. 4516; al Zamakhsyary, al Kasysyaaf, Juz III, hal. 63; Al Jahshash, Ahkaam al Qur‟an, Juz III, hal. 319; al Thabary, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 125 dan al Qurthuby, Al Jaami‟ al Ahkam al Qur‟an, Juz XII, 239, hal. 239 22 Ibn al Araby, Ahkaam al Qur‟an, Tahqiq Al Bujawy, Juz. III, hal. 1364 23 Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, hal.4517; Ibn al Araby, Ahkaam al Qur‟an, Tahqiq Al Bujawy, Juz. III, hal. 1364 dan hal. 1367 24 Al Thabary, Tafsir al Thabari, Juz II, hal. 126; Al Jashash, Ahkaam al Qur‟an, Juz II, hal. 320
Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
143
menyertai dalil lain sebagai mukhassis-nya seperti yang dipahami oleh al-Qasimy dan Ibn al-„Araby memerlukan penelitian lebih lanjut. Kembali kepada penafsiran yang dilakukan mufasir-mufasir di depan terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan nikah dapat dinyatakan --secara umum-penafsiran mereka dipengaruhi oleh latar belakang mazhab yang dianutnya. Ibn al-„Araby misalnya walaupun dalam beberapa ayat yang ditafsirkannya menyatakan bahwa khitab yang terkandung dalam ayat-ayat nikah di belakang khusus ditujukan kepada para wali (ayat 221 surat al-Baqarah dan ayat 32 surat alNur), tetapi di pihak lain masih terbuka kemungkinan bahwa khitab dalam ayat nikah ditujukan kepada selain wali; seperti ketika ia menafsirkan ayat 230 surat al-Baqarah. Hal seperti ini juga diikuti oleh penafsiran-penafsiran lainnya. Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan yang terjadi di kalangan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan sama seperti yang terjadi di kalangan ulama-ulama fiqih berkisar antara apakah khitab ayat-ayat tersebut khusus ditujukan kepada para wali dalam mengurus pernikahan anak perempuan yang ada di bawah perwaliannya atau ditujukan kepada semua orang termasuk wali ke dalamnya. Di sini yang dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mufasir dan fuqaha‟ dalam memahami ayat-ayat tersebut wajar sekali, karena sifatnya terlalu umum. Kesimpulan Dari semua uraian dan penjelasan di atas dapat diberikan kesimpulan bahwa Keumuman lafazh yang terdapat dalam ayat-ayat nikah seperti yang telah dijelaskan di depan merupakan salah satu factor penyebab terjadi perbedaan pendapat ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat nikah. Ulama tafsir yang dimaksud menganggap khitab yang terkandung dalam ayat-ayat nikah tersebut khusus ditujukan kepada wali, maka lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Sebaliknya jika khitab yang terkandung dalam ayat-ayat nikah tersebut tidak khusus ditujukan kepada wali dalam arti untuk semua orang-termasuk perempuan di dalamnya-- maka lelaki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Keterikatan para mufasir dengan mazhab yang mereka anut juga merupakan factor tersendiri yang dapat mempengaruhi mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat nikah dimaksud. Mufasir yang bermazhab Hanafi mengatakan khithab yang tersebut di dalam ayat-ayat nikah dimaksud tidak khusus ditujukan kepada para wali, maka laki-laki bukan syarat mutlak dalam perwalian nikah. Sebaliknya mufasir yang bermazhab selain Hanafi --Maliki, Syafii dan Hanbali-- khithab yang terkandung dalam ayat-ayat nikah di atas khusus ditujukan kepada para wali, maka lelaki merupakan syarat mutlak dalam perwalian nikah.
144
Nasaiy Aziz: Ketidak-Mutlakan laki-laki dalam Perwalian...
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad al Sahar Nafuri, Bazl al Juhuud fii hil Abi Dawud, Juz IX, Bairut: Daar al Kutub al Ilmiyyat. Al Jashsas, Ahkaam al Qur‟an, Juz II, Kairo: Mathba‟at Abd Rahman, t.t. Al Qasimy, Tafsiir al Qaasimy, Juz XII, Mesir: Isa al Babii al Halabii, 1959. Al Qurthuby, Al Jaami‟ al Ahkam al Qur‟an, Juz III, Cairo: Daar al Kitaab al „Araby, 1967. Al Thabari, Tafsir al Thabari, Juz II, Beirut: Daar al Fikr, 1954. Al Zarkhsyary, al Kasysyaaf, Juz I, al intsyaarat, Teheran. Ibn al „Araby, Ahkaam al Qur‟an, Tahqiq Al Bujawy, Juz, Beirut: Isaa al Baabii al Halabii, 1950. Ibn Hajar al „Ashqalany, Fath al Baary, Juz XI, Mesir: Musthafa al Baabii al Halaby, 1959. Ibn Qayyim al Jauziyyat, Aun al Ma‟buud Syarh Sunan Abi Daawud, Jilid VI, Beirut: Dar al Fikr, t.t. Rasyid Ridha, Tafsiir al Manaar, Juz II, Al Qahirat: Maktabat, t.t.
Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
145