Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
KETERSEDIAAN SUMBERDAYA GENETIK AYAM LOKAL DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA UNTUK PEMBENTUKAN PARENT DAN GRAND PARENT STOCK (The Availability of Indonesian Native Chicken Genetic Resources and Its Development Strategy for Establishing Parent and Grand Parent Stock) TIKE SARTIKA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
[email protected]
ABSTRACT Native chicken has a potencial genetic resources to meet demand on meat and eggs. Across all islands in Indonesia, there have been several native chicken strains that have specific and not specific characteristics with the number that almost the same of human’s population in Indonesia. Indonesia has been known as one of the center of domesticated native chicken in the world after China and India, even though raised traditionally. It has been a blessing that due to Avian influenza outbreak, native chicken farming has become improved steadily. Most of native chicken were raised extensively and now become in an intensive system raising. This is also supported by goverment program in good farming practice and good breeding practice. Native chicken stocks has needed to meet the quality and sustainability, which until today is still be a constraint while rearing operation has increased significantly. Around 65 – 67% of animal protein consumption has been met by modern poultry chicken, while that of native chicken is 16%. Government has launched a program that native chicken should become a host in the country that targeted native chicken consumption increased from 16 to 25%, which need support from all stakeholders. It has been predicted through involvement of private business to produce native chicken stocks. There is a need to develop native chicken grand parent stock and parent stock to meet a good quality stock and sustainability. Key Words: Native Chicken, Genetic Resources, Improve Breed, Grand Parent Stock, Parent Stock ABSTRAK Ayam lokal merupakan sumberdaya genetik yang potensial dalam penyediaan daging dan telur. Pada seluruh kepulauan di Indonesia tersedia berbagai rumpun ayam lokal yang mempunyai penampilan spesifik ataupun tidak spesifik dengan populasi hampir sama dengan jumlah penduduk di Indonesia. Diketahui Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia setelah China dan India, namun demikian pengelolaan ayam lokal di Indonesia sebagian besar masih dipelihara secara tradisional. Namun demikian, dengan adanya kasus flu burung dapat dikatakan merupakan era bangkitnya peternakan ayam lokal di Indonesia. Ayam lokal yang sebagian besar pemeliharaannya diumbar, saat ini banyak yang sudah diintensifkan, dimana juga didukung oleh program pemerintah dengan menerapkan good farming practice dan good breeding practice. Sampai saat ini penyediaan bibit ayam lokal masih menjadi kendala, sementara usaha budidaya pembesaran ayam lokal terus meningkat. Sekitar 65 – 67% konsumsi protein hewani dipenuhi dari produk ayam ras, sedangkan hal tersebut untuk ayam lokal baru mencapai 16%. Pemerintah telah mencanangkan program agar “Ayam lokal dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri” dengan target meningkatkan konsumsi ayam lokal dari 16 menjadi 25%, dimana hal ini perlu didukung oleh semua pihak. Prediksi ke depan dengan adanya keterlibatan swasta dalam penyediaan bibit ayam lokal, perlu dibangun pembentukan GPS ataupun PS ayam lokal, sehingga bibit ayam lokal mudah dicari dengan mutu bibit yang berkualitas. Kata Kunci: Ayam Lokal, Sumber Daya Genetik, Bibit, Grand Parent Stock, Parent Stock
15
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
PENDAHULUAN Indonesia kaya akan sumberdaya genetik termasuk berbagai rumpun ayam lokal yang tersebar diseluruh kepulauan di Indonesia. Ayam lokal tersebut ada yang mempunyai penampilan spesifik seperti ayam Kedu, Sentul, Pelung, Gaok, Nunukan, dan Merawang, tetapi ada juga yang tidak spesifik dan sangat beragam penampilannya yaitu ayam Kampung. Berdasarkan hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang mengidentifikasi berbagai ayam lokal yang ada di Indonesia dengan menggunakan teknik molekuler fragment DNA D-loop mitokondria, diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia setelah China dan India (SULANDARI et al., 2008). Namun demikian perhatian dan pemanfaatan ayam lokal yang kita punyai masih sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan produksi telur dan daging ayam lokal yang diusahakan peternak, relatif rendah. Penyebab utama rendahnya produktifitas ini adalah mutu bibit yang rendah dengan adanya sifat mengeram, disamping sistem pemeliharaan dan pemberian pakan yang seadanya. SARTIKA (2005), mengemukakan bahwa terdapat korelasi negatif antara produksi telur dengan lama mengeram, dengan nilai koefisien korelasi (r) = -0,304 sampai dengan -0,55. Diketahui pula bahwa kemampuan ayam lokal dalam menghasilkan telur perekor induk selama periode produktif sangat bervariasi karena ayam lokal mempunyai keragaman individu cukup tinggi (MANSJOER, 1989; SARTIKA et al., 2004). Bagaimanapun juga, ayam lokal mempunyai peranan penting dalam penyediaan daging unggas yang mempunyai rasa dan tekstur yang khas. Dengan populasi yang mencapai 230 juta ekor, sumbangan ayam lokal terhadap produksi daging nasional sebesar 11,07% atau sebesar 259,9 ribu ton, sedangkan terhadap produksi daging unggas nasional, kontribusinya mencapai 16,9% (DITJEN PKH, 2010). Produksi telur ayam lokal pada tahun 2010 mencapai 168,9 ribu ton atau 12,3% terhadap produksi telur nasional. Adanya kasus flu burung dapat dikatakan merupakan era bangkitnya peternakan ayam lokal di Indonesia. Sejak saat itu pemeliharaan ayam lokal dilakukan secara intensif. Begitu juga dengan dukungan pemerintah cukup
16
kondusif melalui pemberian bantuan modal dan bimbingan Good Farming Practice dan Good Breeding Practice kepada kelompokkelompok peternak ayam lokal. Daging ayam lokal semakin disukai besar masyarakat Indonesia. Berbagai jenis masakan khas Indonesia banyak yang lebih cocok menggunakan ayam lokal. Berbagai restoran banyak menyajikan ayam kampung goreng dan bakar. Ditunjang dengan perkembangan kuliner di Indonesia yang begitu pesat menyebabkan permintaan pasar ayam lokal untuk konsumsi terbuka lebar. Dengan melihat tingginya permintaan daging ayam lokal untuk kebutuhan kuliner tersebut di atas, maka diperlukan perencanaan produksi ayam lokal dengan target produktivitas dan kontinuitas yang jelas. Sampai saat ini penyediaan bibit ayam lokal dengan mutu genetik yang baik sangat sulit diperoleh, karena belum ada bibit ayam lokal hasil pemuliaan dengan struktur breeding yang jelas. Kebanyakan penyediaan bibit ayam lokal yang ada, baru terbatas pada usaha-usaha penetasan untuk keperluan peternak sendiri atau untuk dijual berdasarkan pemesanan terlebih dahulu. Kualitas bibit dalam hal ini tidak didasarkan pada kriteria kualitas tertentu. Bibit yang dipilih berkualitas apa adanya. Bahkan banyak sekali yang berasal dari hasil persilangan dengan ayam ras atau dengan ayam Bangkok atau ayam Arab. Penyediaan bibit hasil silangan seperti disebutkan di atas telah berkembang di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan ayam lokal secara nasional, khususnya dalam upaya penyediaan bibit yang kualitas dan kuantitasnya terjamin dan berkesinambungan, maka diperlukan program pemuliaan khususnya seleksi yang terarah, untuk dapat menghasilkan bibit ayam lokal unggul dan diterima untuk diusahakan secara komersial. KARAKTERISASI SUMBERDAYA GENETIK AYAM LOKAL Upaya identifikasi dan karakterisasi ayam lokal telah banyak dilakukan baik oleh Perguruan Tinggi, LIPI maupun Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Upaya ini dianggap penting karena informasi yang diperoleh, disamping berguna untuk keperluan
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
pengelolaan plasma nutfah Indonesia, juga berguna dalam membantu program pemuliaan. Identifikasi dapat dilakukan terutama pada ciriciri fenotip baik secara kualitatif (warna bulu, kulit, shank, bentuk jengger) maupun secara kuantitatif seperti ukuran-ukuran tubuh (morfometrik), produktivitas, reproduktivitas dan ketahanan terhadap penyakit. Upaya penyimpanan semen beku unggas dapat mendukung program pelestarian ternak unggas langka. Teknik penyimpanan sel germinal premordia (Primordial Germ Cel = PGC) saat ini menjadi topik menarik dalam konservasi ataupun pembuatan chimera, disamping identifikasi fenotipe yang diperlukan untuk mengetahui ciri khas dari satu rumpun ayam lokal yang secara visual dapat dibedakan dari rumpun ayam lokal lainnya. Analisis multivariate dapat digunakan untuk mententukan bagian/ukuran tubuh tertentu yang dapat menjadi ciri (pembeda) dari rumpun suatu ternak. Teknik molekuler, dapat digunakan untuk identifikasi keragaman genetik dan jarak genetik ternak. Selanjutnya informasi jarak genetik diperlukan untuk menunjang program pemuliaan terutama dalam persilangan antar rumpun (crossbreeding). Peningkatan produktivitas melalui crossbreeding sebaiknya dilakukan dengan mengawinkan rumpun yang berkerabat jauh agar diperoleh efek heterosis positif. Selain itu, dengan diketahuinya jarak genetik ayam-ayam lokal, koleksi plasma nutfah dalam keterbatasan dana dapat dilakukan untuk rumpun-rumpun ayam lokal yang mempunyai kekerabatan jauh saja. Sebaliknya apabila satu rumpun mendekati kepunahan, kita tidak usah khawatir karena kita dapat mengatasinya melalui pelestarian rumpun yang berkerabat dekat dengan rumpun yang akan punah tersebut. Studi keragaman genetik dan jarak genetik dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode awal yang dilakukan secara molekuler pada protein polimorfisme melalui penelaahan isoenzim atau allozime. Adapun enzim yang dapat dianalisis dengan penelaahan isoenzim antara lain: Transferrin (Tf), Albumin (Alb), Haemoglobin (Hb), Amylase (Amy), Adenosin deaminase (Ada), dan masih banyak isoenzim lainnya. Analisis keragaman genetik secara molekuler sangat berkembang dengan pesat.
Teknik analisis DNA untuk mengukur keragaman genetik dapat dilakukan dengan berbagai metode antara lain: Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD), Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), analisis sidik jari (finger printing), minisatelit (Variable number tandem repeat/VNTR), mikrosatelit (Short tandem repeat/STR), DNA mitokondria dan sequensing. Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik dan jarak genetik ayam lokal di Indonesia telah dilakukan oleh HASHIGUCHI et al. (1982), yang menelaah jarak genetik antara ayam lokal Indonesia dengan ayam Hutan Merah (Indonesia, Philipina dan Thailand), ayam Hutan Hijau dan ayam Hutan Abu-abu. HASHIGUCHI et al. (1982) dalam studinya menggunakan analisis protein polimorfisme pada 16 lokus (lokasi gen). Mereka mendapatkan 7 lokus polimorfik, yang terdapat perbedaan segregasi pola pita hasil elektroforesis dan 9 lokus monomorfik yang tidak terdapat perbedaan segregasi pola pita hasil elektroforesis. Selanjutnya berdasarkan analisis phylogenik diperoleh bahwa ayamayam lokal Indonesia mempunyai jarak genetik yang dekat dengan ayam Hutan Merah Indonesia. ARDININGSASI et al. (1995) mempelajari perbedaan antara ayam Kedu Hitam yang berasal dari Temanggung dan Magelang, dengan meneliti segregasi protein albumin dan transferrin darah, mereka menemukan tidak adanya perbedaan ayam Kedu Hitam dari kedua lokasi tersebut. YAMAMOTO et al. (1994) dan YAMAMOTO et al. (1996) meneliti keragaman genetik pada ayam Kampung yang berasal dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, dan ayam Pelung, Bangkok, Kedu dengan menggunakan 8 lokus protein polimorfisme dan 4 golongan darah, melaporkan bahwa ayam lokal Jawa dengan ayam Pelung masuk dalam satu rumpun, begitu juga dengan ayam lokal Bali tergolong dalam rumpun yang sama dengan ayam lokal Lombok. Ayam lokal Sulawesi mempunyai jarak genetik yang jauh dengan ayam lokal Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok. Penelitian keragaman genetik dengan menggunakan daerah D-loop mitokondria pada berbagai ayam Kampung di Jawa Barat (SARTIKA et al., 2000), tidak memberikan suatu hasil yang baik, karena metode PCRRFLP dengan lima macam enzim restriksi
17
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
(Alu1, HpaII, MboI, RsaI, NlaIII dan HaeIII) kurang akurat. Kemudian SARTIKA et al. (2004) mempelajari kekerabatan genetik ayam Kampung, Pelung, Sentul dan Kedu Hitam dengan menggunakan marker mikrosatelit. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 73 alel dari sembilan lokus mikrosatelit yang dianalisa pada 4 rumpun ayam lokal dan satu rumpun ayam ras White Leghorn sebagai outgrup. Jumlah alel berkisar 3 – 17 dari mikrosatelit terpilih. Alel terbanyak diperoleh ayam Kampung yaitu sebesar 60 alel (82,2%), hasil ini menunjukkan keragaman genetik ayam Kampung cukup tinggi. Dari keempat rumpun ayam lokal tersebut hasil dendogramnya menunjukkan ayam Kampung dan ayam Sentul mempunyai hubungan kekerabatan yang paling dekat (satu kelompok) diikuti ayam kedu Hitam dan Pelung, sehingga dapat disimpulkan bahwa keempat rumpun tersebut berasal dari nenek moyang yang sama. Hal tersebut telah dikonfirmasi FUMIHITO et al. (1994 dan 1996) bahwa ayam-ayam lokal Indonesia berasal dari satu nenek moyang yaitu ayam Hutan Merah. SARTIKA et al. (2004) mempelajari sembilan rumpun ayam lokal Indonesia yang dibandingkan dengan ayam lokal Jepang. Dengan menggunakan 32 marker mikrosatelit maka diperoleh keterangan bahwa kelompok ayam lokal Indonesia berbeda dari kelompok ayam lokal Jepang. Penelitian terakhir yang paling komprehensif adalah karakterisasi ayam lokal Indonesia (SULANDARI et al., 2008) yang menggunakan 15 rumpun ayam lokal dan ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan ayam Hutan Hijau (Gallus varius) sebagai pembanding. Dengan menggunakan analisisi sekuen variable 1 di daerah D-loop mitokondria DNA, menunjukkan bahwa ayam lokal Indonesia berasal dari ayam Hutan merah yang mengelompok pada clade II, salah satu dari sistem pengelompokkan berdasarkan Clade (SULANDARI et al., 2008). Hal terpenting lainnya berkaitan dengan molekuler adalah pembuatan pustaka genom (Genomic libraries) dari plasma nutfah ternak asli Indonesia. Pada pembuatan pustaka genom ini terlebih dahulu harus dilakukan pemetaan gen. Bila terdapat fragmen DNA spesifik yang menjadikan ciri dari jenis ternak tertentu, fragmen DNA tersebut dapat diperbanyak dengan penggunaan alat PCR (polimerase
18
chain reaction), yang dapat membuat cloning dari gen-gen spesifik. Pustaka genom dapat dimanfaatkan dalam menunjang program pemuliaan rekayasa genetik, dengan menyelipkan gen-gen yang diinginkan pada saat pembelahan sel fase meiosis, disamping teknik pembuatan chimera, untuk memperoleh ternak unggul. Upaya-upaya melalui teknik rekayasa genetik ini masih memerlukan pertimbangan bioetika. PENINGKATAN KUALITAS DAN KUANTITAS SUMBERDAYA GENETIK AYAM LOKAL Upaya peningkatan kualitas dan kuantitas rumpun ayam lokal dapat dilaksanakan dengan pemurnian dan persilangan rumpun-rumpun ayam lokal. Pemurnian rumpun ayam lokal Program pemurnian rumpun ayam lokal bertujuan untuk melestarikan, memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya genetik (SDG) ayam lokal. Langkah-langkah pelaksanaan program pemurnian sebagai berikut: 1. Identifikasi karakteristik spesifik ayam lokal. Ayam lokal yang ada di Indonesia berjumlah lebih dari 30 rumpun dengan karakteristik spesifik yang berbeda-beda, belum seluruhnya dikenal umum. Tergantung tujuan pemanfaatan ayam lokal, karakteristik yang perlu diidentifikasi adalah bentuk kepala, warna bulu, paruh, jengger, pial, warna kaki, dan suara. 2. Pengembangbiakan pada populasi dasar untuk mencapai populasi yang aman untuk dimanfaatkan. 3. Seleksi kinerja sekurang-kurangnya 30% tertinggi dari total populasi selama sekurang-kurangnya 4 generasi sampai menghasilkan bibit murni. 4. Pada ketiga langkah angka 1, 2 dan 3 di atas harus selalu dilakukan pencatatan. SELEKSI/PEMURNIAN Dari segi genetik, seleksi diartikan sebagai suatu tindakan menentukan ternak mana yang
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
dapat dipilih untuk bereproduksi berdasarkan keunggulannya dan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan manusia (NOOR, 1996). Seleksi akan mengubah frekuensi gen, yaitu frekuensi gen-gen yang diinginkan akan meningkat dan frekuensi gen-gen yang tidak diinginkan akan menurun. Perubahan frekuensi gen ini akan meningkatkan rataan fenotipe dari ternak terseleksi dibandingkan dengan rataan fenotipe sebelum diseleksi. Perbedaan rataan ini disebut diferensial seleksi, dinyatakan dengan rumus (FALCONER dan MACKAY, 1996): S = XS - X S XS
= Diferensial seleksi = Rataan fenotipe populasi terseleksi
X
= Rataan fenotipe populasi sebelum seleksi
Respons seleksi adalah perubahan rataan populasiyang dihasilkan dari seleksi (FALCONER dan MACKAY, 1996). Selanjutnya dinyatakan bahwa respons seleksi adalah perbedaan rataan nilai fenotipik anak dengan rataan nilai fenotipik tetua sebelum diseleksi, respons seleksi demikian disebut realized selection response (FALCONER dan MACKAY, 1996). Respons seleksi (R) dapat juga diduga berdasarkan rumus: R = S x h2, S adalah diferensial seleksi dan h2 adalah nilai heritabilitas sifat yang diseleksi, dugaan respons seleksi ini disebut expected selection response. Beberapa penelitian terdahulu mengenai seleksi ayam Kampung telah menunjukkan adanya respons seleksi positif. Hal tersebut dikemukakan SUWINDRA et al. (1993) yang melakukan seleksi pada ayam Kampung Bali dengan kriteria seleksi produksi telur selama 6 bulan lebih besar 100 butir/ekor/6 bulan mendapatkan respons seleksi sebesar 5,4 butir pada turunan pertama (G1) yaitu dari produksi telur pada populasi dasar (G0) sebesar 88,46 butir menjadi 93,86 butir/ekor/6 bulan pada generasi G1. Pada turunan kedua (G2) dan ketiga (G3) respons seleksinya masing-masing 3,77 dan 1,03 butir atau sebesar 1,86% per generasi. Demikian halnya SIDADOLOG et al. (1996) melakukan seleksi ayam Kampung dengan kriteria seleksi bobot badan umur 12 minggu, dapat meningkatkan produksi telur henday dari produksi awal sebesar 29,45% (G0) menjadi masing-masing sebesar 35,25%,
38,73%, 40% dan 43,69% pada generasi G1, G2, G3 dan G4. Respons seleksi yang diperoleh sebesar 3,56% per generasi. YUWONO et al. (1999) melakukan seleksi pada ayam Kedu dengan kriteria seleksi produksi telur 50% terbaik. Dari hasil seleksi tersebut menghasilkan produksi telur henday selama tiga bulan dari yang semula sebesar 28,3% pada G0 meningkat menjadi 41,4% pada generasi G1 dan 41,6% pada generasi G2. Respons seleksi yang diperoleh sebesar 6,65% per generasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya seleksi dapat meningkatkan keragaan produksi dari ayam-ayam Kampung Indonesia. Strategi pemuliaan ayam Kampung untuk memperoleh bibit yang baik, salah satunya dengan melakukan seleksi. Pada ayam Kampung, seleksi sangat tepat untuk dilakukan mengingat variasi genetik maupun fenotipe ayam Kampung cukup tinggi. Keakuratan seleksi salah satunya ditentukan oleh kriteria dan intensitas seleksi (FALCONER dan MACKAY, 1996). Tingginya intensitas seleksi tergantung dari populasi ternak seleksi. Balitnak telah melakukan seleksi ayam Kampung selama 6 generasi dengan intensitas seleksi sebanyak 50% terbaik, saat ini telah menghasilkan rataan produksi telur henday 50% dengan puncak produksi 65 – 70%. Kriteria seleksi untuk memilih galur betina dan galur jantan dapat disajikan pada Tabel 1. Untuk memudahkan seleksi sebaiknya dipilih paling banyak dua kriteria seleksi, sebagai seleksi utama. Contoh seleksi pada pemurnian ayam lokal Populasi dasar untuk seleksi pada pemurnian Bibit ayam lokal berjumlah minimal 500 ekor induk ayam. Skema perkawinan pemurnian ♂ G0 x ♀ G0, F G0 (turunan populasi dasar, dibesarkan 1000 DOC) Menghasilkan (500 induk, 50 jantan G0), diamati produksi telur selama 6 bulan, setelah itu seleksi 30% terbaik, jadi ada 150 induk ayam terbaik, pilih 30 ekor jantan terbaik untuk dikawinkan (rasio ♂ : ♀ = 1 : 5) dan ditetaskan untuk menghasilkan G1.
19
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
Tabel 1. Kriteria seleksi ayam lokal Kriteria seleksi galur betina Sifat kuantitatif
Mengeram
Kriteria seleksi galur jantan Sifat kuantitatif
FCR
Produksi telur
Pertumbuhan
Fertilitas
Fertilitas
Daya tetas
Daya tetas
FCR
Mortalitas
Pertumbuhan
Produksi telur
Mortalitas Sifat kualitatif
Warna bulu
Warna bulu Kulit, kaki
Postur tubuh
Postur tubuh
♂ G1 x ♀ G1 F G1 (turunan generasi G1, dibesarkan 1000 DOC) Menghasilkan (500 induk dan 50 jantan FG1) diamati produksi telur selama 6 bulan, setelah itu seleksi 30% terbaik untuk betina, jadi ada 150 induk ayam terbaik, pilih 30 ekor jantan terbaik untuk dikawinkan (rasio ♂ : ♀ = 1 : 5) dan ditetaskan untuk menghasilkan G2. ♂ G2 x ♀ G2
F G2 (turunan generasi G2, dibesarkan 1000 DOC) Menghasilkan (500 induk, dan 50 jantan FG2) diamati produksi telur selama 6 bulan, setelah itu seleksi 30% terbaik utk betina, jadi ada 150 induk ayam terbaik, pilih jantan 30 ekor terbaik untuk dikawinkan (rasio ♂ : ♀ = 1 : 5) dan ditetaskan untuk menghasilkan G3. ♂ G3 x ♀ G3
F G3 (turunan generasi G3, dibesarkan 1000 DOC) Menghasilkan (500 induk dan 50 jantan FG3,) diamati produksi telur selama 6 bulan, setelah itu, seleksi 30% terbaik, jadi ada 150 induk ayam terbaik, pilih 30 ekor jantan terbaik untuk dikawinkan (rasio ♂ : ♀ = 1 : 5), dan ditetaskan untuk menghasilkan G4 dan
20
Sifat kualitatif
Kulit, kaki
seterusnya dengan metode yang sama sampai produksi stabil menjadi galur produksi telur. G0 = Ayam lokal (populasi dasar) G1...n = Generasi ke-1....ke-n
CROSS BREEDING/PERSILANGAN Persilangan adalah perkawinan antara ternak ayam jantan dengan ayam betina dari rumpun yang berbeda. Hal ini bukan berarti perkawinan asal saja antar rumpun yang berbeda, namun yang diartikan dengan persilangan adalah penggunaan sumberdaya genetik yang sistematik dengan perencanaan sistem perkawinan untuk mendapatkan hasil persilangan yang spesifik dengan tujuan tertentu. Persilangan dilakukan agar hasil persilangannya lebih unggul dari rumpun murninya. Persilangan ayam lokal bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ayam lokal dengan memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya genetik melalui persilangan. Persyaratan pelaksanaan persilangan adalah: 1. Menggunakan rumpun pada kondisi populasi aman dan/atau terkendali, 2. Menggunakan rumpun/galur ayam murni yang mempunyai spesifikasi jelas, 3. Untuk menghasilkan final stock, dilakukan persilangan 1 (satu) tahap dari rumpun berbeda, – Untuk pembentukan rumpun/galur baru: (a) dilakukan persilangan pada 2 (dua) rumpun/galur yang berbeda dan
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
dilaksanakan minimal 4 (empat) generasi dengan perkawinan interse-nya stabil; (b) dilakukan persilangan 3 (tiga) atau lebih rumpun/galur yang berbeda, dilaksanakan hingga mencapai kestabilan genetik dan performa produksi stabil, 4. Melakukan pencatatan pada setiap pelaksanaan persilangan, 5. Menjamin kelestarian sumber daya genetik ayam lokal. Langkah-langkah pelaksanaan persilangan sebagai berikut: 1. Menetapkan tujuan persilangan yaitu untuk mendapatkan final stock atau galur baru dengan tujuan untuk menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dari tetua asalnya, 2. Melakukan identifikasi dari rumpun/galur murni yang akan disilangkan 3. Melakukan persilangan antar rumpun/galur yang berbeda dengan pola perkawinan yang jelas dan benar, 4. Melakukan pengembangbiakan hasil silangan untuk disebarluaskan di luar wilayah pemurnian, 5. Melakukan pengendalian dalam pemanfaatan ayam lokal murni yang digunakan untuk menjadi tetua dalam melaksanakan program persilangan untuk mencegah pengurasan populasi bibit ayam murninya. PEMBENTUKAN GRAND PARENT STOCK Untuk mendapatkan struktur pembibitan yang jelas dalam pembentukan Grand Parent Stock paling tidak harus dibentuk dari 4 pure line. Dua pure line galur jantan dan dua pure line galur betina. Dalam hal ini ayam KUB adalah salah satu galur betina pure line dengan keunggulan produksi telur tinggi, galur lainnya untuk pure line jantan adalah dapat dipilih ayam Sentul dan Gaok yang mempunyai bobot badan yang tinggi, serta calon pure line betina lainnya yang mempunyai prospek produksi telur yang bagus yaitu ayam Merawang. Pemilihan galur-galur tersebut didasarkan pada penampilan performannya dan jarak genetik
dari keempat galur tersebut. Skema pembentukan GPS dapat dilihat pada Gambar 1. Grand parent stock (GPS) Pada setiap pembentukan galur murni (pure line) dilakukan seleksi yang terus menerus seperti pada contoh, pemurnian ayam lokal di atas. Setiap Galur murni mempunyai ciri spesifik yang khas, misalnya galur produksi telur untuk galur betina (female line) dan galur pertumbuhan cepat untuk galur pejantan (male line). Pembentukan galur murni (pure line) dapat dilakukan dari rumpun yang sama (within lines selection) ataupun rumpun yang berbeda. Reciprocal recurrent selection dapat dilakukan untuk mendapatkan GPS dengan: 1. Line cross breeding/linecrossing (between line within breed crossing) 2. Kombinasi hasil persilangan dengan performans terbaik Produk akhir dari pembentukan GPS, adalah hasil dari persilangan 4 galur yang berbeda (4-way-crossing), dengan produk GP untuk menghasilkan pure line dan PS untuk menghasilkan hybrid. STRATEGI PENGEMBANGAN Program pengembangan bibit terutama dalam pembentukkan GPS maupun PS ayam lokal, sebaiknya melibatkan swasta yang bergerak dalam pembibitan, terutama yang telah berpengalaman dalam perbanyakan GPS ayam ras, agar prosedur perbanyakannya dapat diaplikasikan secara langsung. Selain itu, usaha perbibitan memerlukan modal besar sehingga keterlibatan swasta yang mempunyai modal kuat sangat dibutuhkan. Realisasi saat ini, Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan pusat pembibitan ayam KUB-1 di 10 provinsi, sehingga dalam waktu dekat diharapkan penyediaan DOC ayam kampung potong telah tersedia di pusat-pusat pembibitan di setiap provinsi. Selain itu, ayam KUB-1 telah dilisensi oleh swasta untuk perbanyakan bibit, sehingga permintaan bibit ayam KUB-1 dapat disuplai oleh pihak swasta tersebut.
21
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
PERSILANGAN AYAM LOKAL 1) Persilangan 2 (dua) rumpun yang berbeda, untuk menghasilkan final stock ♂Ax♀B
F1 AB, final stock 2) Persilangan 2 (dua) rumpun yang berbeda, untuk menghasilkan galur baru ♂Ax♀B
♂ Bx♀ A
F AB (evaluasi)
F BA (evaluasi)
AB x BA
F ABBA (galur baru evaluasi sampai stabil, minimal 4 generasi) 3) Persilangan 3 (tiga) rumpun yang berbeda, untuk menghasilkan galur baru Model 1. ♂A x ♀ B F AB (evaluasi) ♂AB x ♀ C F ABC (evaluasi sampai stabil minimal 4 generasi, galur baru) Model 2. ♂Ax♀B
♂ Ax♀ C
♂Bx♀C
F AB (evaluasi)
F AC (evaluasi)
F BC (evaluasi)
F ABAC (galur ♀) X F BC (galur♂) Galur baru
(evaluasi sampai stabil minimal 4 generasi)
A
Pure line Grand parent
A
B
A
B
C
B
Parent stock
D
C
AB Final stock
C
D CD
ABCD
Gambar 1. Skema pembentukan grand parent stock
22
D
Workshop Nasional Unggas Lokal 2012
PENUTUP Ketersediaan sumber daya genetik ayam lokal diIndonesia cukup banyak dan perlu pengelolaan dalam pemanfataannya. Pembentukan bibit GPS maupun PS ayam lokal dapat dibangun dengan seleksi pure line dan 4 ways crossing dari pure line yang sudah ditentukan, sehingga prediksi ke depan untuk pembentukkan GPS ayam lokal dapat dilaksanakan. Perbanyakan bibit GPS maupun PS ayam lokal sebagai usaha komersial dapat dilakukan bekerja sama dengan swasta. DAFTAR PUSTAKA ARDININGSASI, S.M., A.M. UMIYATI dan I.K. SUMEDIONO. 1995. Tinjauan genetik pada ayam Kedu melalui pengamatan karakteristik polimorfisme albumin (Alb) dan Transferrin (Tf) darah. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan, Balitnak. DITJEN PKH. 2010. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Jakarta. FALCONER, D.S. dan T.F.C. MACKAY. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Ed. 4th, Longman, England. FUMHITO, A., T. MIYAKE, S. SUMI, M. TAKADA, S. OHNO and N. KONDO. 1994. One subspecies of the red jungle fowl (Gallus gallus gallus) suffices as the matriarchic ancestor of all indigenous breeds. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 91: 12505 – 12509.
Kekerabatan genetik ayam Kampung, Pelung, Sentul dan Kedu Hitam dengan menggunakan penanda DNA mikrosatelit. I. Grup pemetaan pada makro kromosom. JITV 9(2): 81 – 86. SARTIKA T. 2000. Studi keragaman fenotipik dan genetik ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) pada populasi dasar seleksi. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. SARTIKA, T. 2005. Peningkatan mutu bibit ayam Kampung melalui seleksi dan penggunaan penanda genetik promotor prolaktin dalam MAS (Marker Assisted Selection) untuk mempercepat seleksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. SARTIKA, T., M. MINEZAWA, H. HIHARA, L.H. PRASETYO and H. TAKAHASHI. 2004. Genetic relationships among Japanese and Indonesian native breeds of chicken based on microsatellite DNA polymorphism. Proc. 29th International Conference on Animal Genetics, ISAG-2004, Tokyo. SIDADOLOG J.H, T. YUWANTA dan H. SASONGKO. 1996. Pengaruh seleksi terhadap perkembangan sifat pertumbuhan, produksi dan reproduksi ayam Kampung legund dan normal. Bull. Peternakan 20(2): 85 – 97. SULANDARI, S., M.S.A. ZEIN and T. SARTIKA. 2008. Molecular characterization of Indonesian Indigenous chickens based on Mitochondrial DNA Displacement (D)-loop Sequences. Hayati J. Biosciences 15(4): 145 – 154. SUWINDRA, I.N., K. ASTININGSIH dan W. IKA. 1993. Seleksi dan Pembibitan Ayam Kampung di Daerah Bali. Laporan Penelitian, Fapet, Universitas Udayana Bali.
FUMIHITO, A., T. MIYAKE, M. TAKADA, R. SHINGU, T. ENDO, T. GOJOBORI, W. KONDO and S. OHNO.1996. Monophyletic originand unique dispersal patterns of indigenous fowl. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 93: 6792 – 6795.
YAMAMOTO, Y., T. NAMIKAWA, I. OKADA, M. NISHIBORI, S.S. MANSJOER and H. MARTOJO. 1996. Genetical studies on native chickens in Indonesia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 9(4): 405 – 410.
HASHIGUCHI,T., T. NISHIDA, Y. HAYASHI and S.S. MANSJOER. 1982. Blood protein variations of the native and the jungle fowls in Indonesia. The origin ang phylogeny of Indonesian native livestock, Part III. Research report by the research group of overseas scientific survey.
YAMAMOTO. Y., T. NAMIKAWA, I. OKADA, M. NISHIBORI, S.S. MANSJOER dan H. MARTOJO. 1994. Genetical studies on native chickens in Indonesia. Proc. of the 7th AAAP Animal Science Congress, Bali, Indonesia.
MANSJOER, S.S. 1989. Pengembangan ayam Kampung di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Peran Unggas Lokal di Indonesia. Semarang, 28 September 1989. Lustrum V, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.
YUWONO, D.M., MURYANTO, SUBIHARTA dan W. DIRJOPRATONO. 1999. Peningkatan pendapatan peternak ayam Kedu melalui penerapan teknologi seleksi secara sederhana. J. Pengembangan Peternakan Tropis Edisi Khusus. hlm. 223 – 229.
NOOR, R.R. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. SARTIKA, T., S, ISKANDAR, L.H. PRASETYO, H. TAKAHASHI dan M. MINEZAWA. 2004.
23