Keterangan Hadits “MAUKAH AKU BERITAHU SESUATU YANG DAPAT MENGHAPUS KESALAHAN DAN MENINGGIKAN DERAJAT?” Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Shalat lima waktu, dari jum’at kepada jum’at berikutnya, dan ramadhan menuju ramadhan berikutknya adalah pelebur dosa atas apa yang terjadi di antara keduanya apabila menjauhi dosa-dosa besar.” Dan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan, dan meninggikan derajat?’ Shahabat menjawab, ‘tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata,‘Menyempurnakan wudhu’ atas makarih (hal yang tidak disukai), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Yang demikian itu adalah ribath.” (HR. Muslim no.137) =============== Berkata Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Shalat yang lima waktu, dari jum’at kepada jum’at, dan ramadhan kepada ramadhan menjadi pelebur dosa yang terjadi di antara keduanya apabila menjauhi dosa-dosa besar.” Yaitu bahwasanya shalat-shalat yang lima waktu akan menjadi pelebur dosa yang terjadi antara shalat subuh dan shalat zhuhur, antara zhuhur dan ashar, antara ashar dan maghrib, antara maghrib dan isya’, dan antara isya’ dan shubuh. Semua ini menjadi pelebuh dosa yang terjadi di antara keduanya. Maka jika seseorang melakukan kejelekan dan selalu menjaga shalat lima waktu ini, maka shalat-shalat tersebut akan menghapus kesalahan yang dilakukannya. Akan tetapi beliau bersabda, “Apabila menjauhi dosa-dosa besar.”
Dosa besar ialah: setiap dosa yang oleh pembuat syari’at (yaitu Allah,pen) diganjar dengan hukuman khusus. Semua dosa yang pelakunya dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka termasuk dosa besar. Semua dosa yang mendapat hukuman had (qishah) di dunia seperti zina, atau ancaman di akhirat seperti memakan harta riba, atau ada peniadaan keimanan, semisal hadits, “Tidak beriman seorang di antara kalian hingga dia menyukai untuk saudaranya seperti yang dia sukai untuk dirinya sendiri.” Atau ada perlepasan diri semisal hadits, “Barangsiapa berlaku curang maka bukan bagian dari kami.” Atau yang semisalnya maka termasuk dosa besar. Ulama’ bersilang pendapat tentang sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “apabila menjauhi dosa-dosa besar.” Apakah makna hadits ini bahwasanya dosa-dosa kecil akan dihapus apabila menjauhi dosa-dosa besar dan bahwasanya dosa-dosa kecil tidak akan dihapus kecuali dengan dua syarat yaitu shalat lima waktu dan menjauhi dosa besar? Atau makna hadits ini bahwasanya hal itu akan menghapus dosa yang dilakukan di antara keduanya kecuali dosa besar maka tidak akan dihapus. Atas dasar ini maka agar dosa-dosa kecil dapat dihapuskan hanya ada satu syarat yaitu mengerjakan shalat lima waktu, atau jum’at menuju jum’at berikutnya dan demikian pula ramadhan menuju ramadhan berikutnya. Hal ini disebabkan dosa besar harus dengan cara bertaubat, apabila dia tidak bertaubat secara khusus maka amal-amal shalih tidak dapat menghapusnya. Jadi harus dengan taubat secara khusus. Adapun hadits Abu Hurairah yang kedua, disebutkan disitu bahwasanya NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam menawarkan sesuatu kepada para shahabat dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah tahu jawaban yang akan diucapkan oleh shahabat, akan tetapi ini bagian dari metode pengajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dimana beliau sering menawarkan beberapa perkara agar manusia perhatian dengan hal itu dan mengetahui apa yang akan disampaikan kepadanya. Beliau bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan, dan meninggikan derajat?” beliau menawarkan kepada mereka apakah mau diberi khabar itu. Dan sudah diketahui bahwa mereka akan menjawab tentu, ‘tentu wahai Rasulullah, khabarkan kepada kami’ akan tetapi beliau menjadikan uslub ini agar manusia perhatian atas apa yang akan disampaikan kepada mereka. Mereka pun menjawab, “Tentu wahai Rasulullah” yakni khabarkan kepada kami, kami berharap anda memberitahu kami sesuatu yang dapat meninggikan derajat
dan menghapus dosa-dosa. Rasulullah berkata, ‘Menyempurnakan wudhu’ atas makarih (hal yang tidak disukai), memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Yang demikian itu adalah ribath.” Di sini ada tiga perkata: Pertama: Menyempurnakan wudhu’ atas makarih, yakni menyempurnakan wudhu’ pada musim dingin, karena pada musim dingin air akan menjadi dingin. Maka menyempurnakan wudhu’ pada musim tersebut adalah hal yang sulit bagi jiwa. Maka apabila manusia menyempurnakan wudhu’ walaupun dengan adanya kesulitan semacam ini menunjukkan kesempurnaan imannya, sehingga Allah mengangkat derajat seorang hamba dan menghapus dosa-dosanya dengan sebab itu. Kedua: Memperbanyak langkah menuju masjid, yakni seseorang meniatkan pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya, yang dimaksud disini adalah untuk shalat lima waktu. Walaupun masjidnya jauh, semakin jauh jarak masjid dari rumahnya maka akan semakin bertambah kebaikannya. “Sesungguhnya manusia apabila telah menyempurnakan wudhu’ di rumahnya kemudian keluar menuju masjid karena hendak shalat, tidaklah dia melangkah dengan sekali langkah melainkan Allah angkat derajatnya dan dihapuskan darinya satu kesalahan. Ketiga: Menungguh shalat setelah shalat, yakni seseorang dikarenakan rasa rindunya yang sangat tinggi terhadap shalat, setiap kali selesai shalat hatinya terus bergantung kepada shalat berikutnya sehingga dia menunggunya. Hal ini sebagai bukti atas imannya dan kecintannya terhadap shalat lima waktu yang begitu agung, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentangnya, “Dan dijadikan shalat sebagai penyejuk mataku.” Apabila seseorang menunggu shalat setelah shalat maka hal ini termasuk perkara yang Allah angkat derajat dengannya dan menghapuskan dosa-dosa karenanya. Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , “Yang demikian itu adalah ribath.” Asal dari makna ribath adalah berdiri berjihad melawan musuh dan mengikat kuda serta mengiapkannya. Ribath termasuk perkara yang paling agung. Oleh karena itu beliau menyamakan dengan ribath tersebut amal-amal shalih yang telah disebutkan dalam hadits ini. Maksudnya adalah bahwa senantiasa menjaga thoharoh dan shalat serta ibadah seperti jihad fisabilillah. Ada yang mengatakan bahwa ribath di sini adalah sesuatu untuk mengikat benda.
Maknanya adalah bahwasanya perbuatan ini akan mengikat pelakunya dari perbuatan maksiat yakni menjaganya. Diterjemahkan dari: http://www.sahab.net/home/?p=1328
Secercah Pemuda
Nasehat
‘Tuk
Para
Para pembaca, semoga Allah ‘azza wajalla selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Tidak diragukan lagi bahwa manusia yang memiliki fitrah yang suci pasti mencita-citakan kebahagiaan dan ketentraman dalam kehidupannya, terkhusus pada zaman sekarang yang penuh dengan fitnah. Sesuatu yang diharamkan Allah ‘azza wajalla dianggap sebagai sesuatu yang halal, perbuatan yang melanggar norma-norma agama dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar. Masyarakat pun bertambah hari semakin jauh dari bimbingan Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh dalam kondisi seperti ini seorang hamba sangat butuh dengan pertolongan Allah ‘azza wajalla. Saudaraku seiman… Merupakan fitrah yang telah Allah jadikan pada diri manusia bahwa kaum lelaki memiliki ketertarikan (kecintaan) kepada kaum wanita dan juga sebaliknya, Allah ‘azza wajalla dalam Al-Qur’an menyatakan (artinya); “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada sesuatu yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14) Allah ‘azza wajalla memberitakan bahwa kecintaan kepada kenikmatankenikmatan dunia tersebut ditampakkan indah dan menarik di mata manusia.
Allah ‘azza wajalla menyebutkan beberapa jenis kenikmatan dunia secara khusus, karena ia merupakan ujian yang paling dahsyat, sedangkan yang selainnya mengikuti. Tatkala ia ditampakkan indah dan menarik kepada manusia, kemudian disertai faktor lain yang menghiasinya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka pun akan cenderung kepadanya. (Lihat Taisir Al Karimirrahman, hal. 124) Dengan demikian Allah ‘azza wajalla telah menjadikan kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki dan tertarik ketika melihatnya. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan dalam sebuah haditsnya; ﺎءّﺴ اﻟﻨﻦﺎلِ ﻣﺟِ اﻟﺮﻠ ﻋﺮﺿ اﺘْﻨَﺔً ﻫﺪِي ﻓﻌ ﺑﺖﻛﺎ ﺗَﺮﻣ “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnahnya) wanita.” (HR. Al Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880) Akan tetapi Allah ‘azza wajalla dengan hikmah-Nya memiliki syari’at yang mengatur hubungan keduanya (laki-laki dan wanita). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ﻊﺘَﻄﺴ ْﻳ ﻟﻢﻦﻣ وجﻠْﻔَﺮ ﻟﻦﺼﺣاﺮ وﺼﻠْﺒ ﻟﻏَﺾ اﻧﱠﻪ ﻓَﺎجوﺘَﺰةَ ﻓَﻠْﻴﺎء اﻟﺒﻢْﻨﺘَﻄَﺎعَ ﻣ اﺳﻦﺎبِ ﻣ اﻟﺸﱠﺒﺸَﺮﻌﺎ ﻣﻳ ﺎء وِﺟ ﻟَﻪﻧﱠﻪ ﻓَﺎمﻮ ﺑِﺎﻟﺼﻪﻠَﻴﻓَﻌ “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya bersegera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia bershaum (puasa) karena itu adalah pemutus syahwatnya.” (HR. Al Bukhari no. 1905 dan Muslim no. 1400) Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam hafizhahullah menjelaskan bahwa pengkhususan para pemuda dalam hadits diatas karena kebanyakan yang memiliki syahwat kuat adalah para pemuda, dibanding orang lanjut usia. (Taudhihul Ahkam hal. 214) Adapun yang dimaksud dengan َةﺎء( اﻟﺒkemampuan) disini adalah kemampuan untuk menikah baik fisik, maupun harta, berupa pemberian mahar dan nafkah. (Lihat Syarh Bulughul Maram Ibnu ‘Utsaimin)
Sungguh mulianya agama ini, dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam manusia termulia dan paling bertaqwa yang senantiasa membimbing umatnya agar selamat dari makar syaithan yang berupaya menjerumuskan anak manusia kepada kemaksiatan. Dengan menikah, seseorang dapat meraih ketenangan jiwa serta melahirkan kasih sayang antara laki-laki dan wanita dengan penuh keridhaan Ilahi. DEFINISI NIKAH Asy Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa nikah secara bahasa artinya berkumpul. Adapun secara istilah syari’at adalah berkumpulnya antara laki-laki dan wanita yang dibangun diatas aturan syari’at yang khusus, berupa akad nikah dan syarat-syarat yang sudah diketahui bersama. (Syarh Bulughul Maram, Kitabun Nikahhal. 419) Nikah juga bisa diistilahkan dengan sebuah ikatan (akad) antara seorang laki-laki dan wanita yang apabila terpenuhi segala rukun dan syaratnya, maka halal bagi keduanya (untuk bersentuhan atau yang selainnya) dari apa yang dibolehkan dan dihalalkan dalam ketentuan syari’at. Adapun sebelum adanya akad, maka tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang dijelaskan Asy Syaikh Abdullah Al Bukhari hafizhahullah. DISYARI’ATKANNYA NIKAH Menikah, wahai saudaraku muslim merupakan sunnah yang diajarkan dan ditekankan dalam agama ini. Bahkan, ketika seseorang telah menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya. (Lihat Ash Shahihah 2/199). Menikah juga merupakan sunnah para rasul ‘alaihimussalam terdahulu. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya); “Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) Dalam ayat-Nya yang lain pula Allah ‘azza wajalla memerintahkan para wali (orang tua/wali) untuk menikahkan putra-putrinya yang telah mampu untuk menikah. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya); “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya (budak) kalian yang lelaki dan
hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penyampai dan penjelas wahyu ilahi, telah menyampaikan dan menjelaskan tentang sunnah (nikah) tersebut kepada umat ini. Suatu hari datang 3 (tiga) orang kepada istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika diberi kabar bagaimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sepertinya mereka menganggap sedikit apa yang mereka amalkan. Maka diantara mereka berkata, “Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.” Yang lain berkata, “Aku akan puasa terus menerus dan tak akan berbuka.” Yang lainnya lagi berkata, “Aku tak akan menikahi wanita.” Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan diberitahu tentang ucapan mereka ini, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ُﻗُﺪرا وّﻠﺻا وﺮﻓْﻄام و ﻮﺻ اّﻨَ ﻟ ﻟَﻪﻢﺗْﻘَﺎﻛا وﻪ ِﻟﻢﺧْﺸَﺎﻛ ﻻّﻧ اﻪاﻟﺎ وﻣ ا،ﺬَاﻛﺬَا و ﻛ ﻗُﻠْﺘُﻢ اﻟﱠﺬِﻳﻦﻧْﺘُﻢا ّﻨ ﻣﺲ ﻓَﻠَﻴﻨﱠﺘ ﺳﻦ ﻋﻏﺐ رﻦ ﻓَﻤﺎءّﺴ اﻟﻨجوﺗَﺰاو “Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut kepada Allah ‘azza wajalla daripada kalian dan yang paling bertaqwa. Akan tetapi aku sholat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan golonganku (bukan berada diatas sunnahku dan jalanku).” (HR. Al Bukhari dan Muslim) MANFAAT PERNIKAHAN Merupakan suatu yang mustahil jika Allah ‘azza wajalla Yang Maha Pencipta, Pengatur dan Pemelihara alam semesta ini dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pengemban risalah agama ini memerintahkan sebuah amalan ibadah tanpa ada hikmah dan tujuan. Tidak ada amalan ibadah yang diperintahkan dalam syari’at ini melainkan dibalik itu mengandung manfaat yang besar, termasuk pernikahan. Diantara hikmah dan manfaat pernikahan adalah kesempatan menjalankan perintah Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang hakekatnya merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Selain itu akan terjalin kasih sayang antara suami dan istri yang diridhoi oleh Allah ‘azza wajalla, sebagaimana firman-Nya (artinya);
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21) Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat diatas, “Maka dengan adanya istri tersebut dapat diraih kenikmatan dan kelezatan dalam hidup, diperoleh kemanfaatan yang besar berupa (lahirnya) anak-anak, adanya pendidikan terhadap mereka, dan diperoleh juga ketenangan hidup bersamanya (istri). Maka tidaklah engkau dapati pada diri seseorang secara umum seperti yang didapati pada sepasang suami istri dalam hal kasih sayang.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 639). Islam telah menjadikan pernikahan sebagai ibadah, sebab dengan pernikahan tersebut seseorang dapat menjaga dirinya dari keburukan fitnah, membatasi pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Pernikahan juga dapat menjaga dan membentengi diri seseorang dari syaithan yang selalu mengajak dan menjerumuskan anak adam ke dalam perbuatan keji (zina). NASEHAT Wahai para pemuda rahimakumullah… Ketahuilah, seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila ia menjadikan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai prinsip dalam meniti sebuah kehidupan. Karena dengan mengikuti bimbingannya seseorang akan terbimbing untuk menempuh jalan yang lurus, dan tidak akan tersesat. Allah ‘azza wajalla menyatakan (artinya); “Dan jika kalian menaatinya (Rasulullah) niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk” (An-Nur: 54) Jika engkau sudah mampu untuk menikah, menikahlah karena menikah merupakan perintah Allah ‘azza wajalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Janganlah seseorang takut dan tidak menikah karena terpengaruh dengan bisikan syaithan dengan dibayangi kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Hati-hatilah dari membujang (menahan diri dari menikah) hanya karena khawatir tidak mampu menanggung beban hidup. Bertawakallah kepada Allah ‘azza wajalla
dengan disertai ikhtiar, niscaya Allah ‘azza wajalla akan mewujudkan janji-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya); “Dan barangsiapa yang bertawakkal (menyandarkan dirinya) kepada Allah niscaya Allah akan cukupkan keperluannya.” (At-Thalaq: 3) Juga Allah ‘azza wajalla berjanji dalam firman-Nya: “Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (AnNuur: 32) Dalam sebuah hadits, sebagaimana diriwayatkan dari shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ﺪُ ﻓﺎﻫﺠاﻟْﻤ و،ﻔَﺎفﺪُ اﻟﻌﺮِﻳ اﻟﱠﺬِي ﻳﺢاﻟﻨﱠﺎﻛ و،اءدﺪُ اﻻﺮِﻳ ﻳ اﻟﱠﺬِيﺎﺗَﺐ اَﻟْﻤ:ﻢﻧُﻬﻮ ﻋﻞﺟ و ﻋﺰﻪ اﻟَﻠ ﻋﻖﺛَﺔٌ ﺣﺛَﻼ ﻪ اﻟﻞﺒِﻴﺳ.
“Tiga golongan yang Allah pasti akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah dengan tujuan menjaga kehormatanya dari perkara-perkara yang diharamkan, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa’i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3218, 3120). Hilangkan bayangan kemiskinan dan kesengsaraan, sebab semua urusan di tangan Allah ‘azza wajalla, Allah akan bukakan jalan keluar dari berbagai kesulitan dalam hidup ini jika kita berusaha sekuat tenaga untuk bertaqwa kepada-Nya. Allah ‘azza wajalla berfirman (artinya); “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan jadikan untuknya jalan keluar. Dan memberi rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.” (At-Thalaq: 2-3) Para pemuda, semoga Allah ‘azza wajalla merahmati kita semua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberi solusi bagi pemuda yang belum mampu untuk menikah agar ia berpuasa. Dengan berpuasa ia lebih mampu untuk mengendalikan hawa nafsunya, lebih menjaga kehormatan dan pandangannya dari perkara yang diharamkan, sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas. Bukan dengan cara-cara yang tidak syar’i, seperti onani, karena yang demikian juga diharamkan.
PENUTUP Para pembaca yang kami cintai, dengan ini marilah kita bersama-sama berusaha menjadikan petunjuk Allah ‘azza wajalla dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah di pahami dan dipraktekkan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai jalan satu-satunya meraih keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup ini. Dengan mengamalkannya, hidup kita akan senantiasa terjaga dan diliputi ridha dari Yang Maha Pencipta, Pemilik, Pengatur dan Pemelihara alam ini. Wallahu a’lam bish shawaab.
Buletin Islam AL ILMU Edisi: 11/III/VIII/1431
Waktu dan Tempat Menghafal Ilmu Seseorang hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkan sisa umurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya. Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur. Waktu terbaik untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal pagi. Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang. Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari. Al-Khathib rahimahullahu berkata: “Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur, setelah itu pertengahan siang, kemudian waktu pagi.” Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, dan menghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”
Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan.” Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yang menghijau, atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnya akan menghalangi kosongnya hati.”
(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullahu, hal. 72-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=875 Sumber: http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1641
Awas! Jangan Dekati Zina ًﺒِﻴ ﺳﺎءﺳﺸَﺔً وﺎنَ ﻓَﺎﺣ ﻛﻧﱠﻪِﻧَﺎ اﻮا اﻟﺰﺑ ﺗَﻘْﺮو “Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32) Penjelasan makna ayat ِﻧَﺎﻮا اﻟﺰﺑ ﺗَﻘْﺮو Dan janganlah kalian mendekati zina. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457)
ًﺸَﺔﺎنَ ﻓَﺎﺣ ﻛﻧﱠﻪا Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dosa yang sangat besar.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55) Asy-Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah subhanahu wata’ala menyifati perbuatan ini dan mencelanya karena ia (ًﺸَﺔﺎنَ ﻓَﺎﺣ )ﻛadalah perbuatan keji. Maksudnya adalah dosa yang sangat keji ditinjau dari kacamata syariat, akal sehat, dan fitrah manusia yang masih suci. Hal ini dikarenakan (perbuatan zina) mengandung unsur melampaui batas terhadap hak Allah dan melampaui batas terhadap kehormatan wanita, keluarganya dan suaminya. Dan juga pada perbuatan zina mengandung kerusakan moral, tidak jelasnya nasab (keturunan), dan kerusakan-kerusakan yang lainnya yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457) ًﺒِﻴ ﺳﺎءﺳو dan (perbuatan zina itu adalah) suatu jalan yang buruk. Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Dan zina merupakan sejelekjelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelekjelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam.” (Tafsir AthThabari, 17/438)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan lafazh ayat (yang artinya) “suatu jalan yang buruk” dengan perkataannya, “Yaitu jalannya orang-orang yang berani menempuh dosa besar ini.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457) Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala mengabarkan tentang akibat perbuatan tersebut. Bahwasannya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan. Karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 206)
Hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan zina Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Islam menutup rapat-rapat semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan dan kebinasaan. Atas dasar ini, disaat Allah subhanahu wata’ala melarang perbuatan zina, maka Allah subhanahu wata’ala melarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Disebutkan dalam kaedah fiqih:
ِﺪﻘَﺎﺻﺎﻟْﻤﻮرِ ﻛﻣ اْﻻﻞﺎﺋﺳو Perantara-perantara seperti hukum yang dituju. Zina adalah perbuatan haram, maka semua perantara/wasilah yang dapat mengantarkan kepada zina juga haram hukumnya. Diantara perkara yang dapat mengatarkan seseorang kepada zina adalah: 1. Memandang wanita yang tidak halal baginya Penglihatan adalah nikmat Allah subhanahu wata’ala yang sejatinya disyukuri hamba-hambanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (AnNahl: 78). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Justru digunakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Untuk melihat wanita-wanita yang tidak halal baginya. Terlebih di era globalisasi ini dengan segenap kecanggihan teknologi dan informasi, baik dari media cetak maupun
elektronik, seperti internet, televisi, handphone, majalah, koran, dan lain sebagainya, yang notabene-nya menyajikan gambar wanita-wanita yang terbuka auratnya. Dengan mudahnya seseorang menikmati gambar-gambar tersebut. Sungguh tak sepantasnya seorang hamba yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu. Pandangan adalah sebab menuju perbuatan zina. Atas dasar ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai nabi), kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka.” (An-Nur: 30-31) Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman, baik lakilaki maupun perempuan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari: zina, homosex, lesbian, dan agar tidak tersingkap serta terlihat manusia. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, Al-Imam Asy-Syinqithi 6/126) Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah perintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari apa yang diharamkan. Maka janganlah mereka memandang kecuali kepada apa yang diperbolehkan untuk dipandangnya. Dan agar mereka menjaga pandangannnya dari perkara yang diharamkan. Jika kebetulan pandangannya memandang perkara yang diharamkan tanpa disengaja, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku bertanya kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/399) Manakala perbuatan zina bermula dari pandangan, Allah subhanahu wata’ala menjadikan perintah menahan pandangan lebih dikedepankan ketimbang
menjaga kemaluan. Karena semua kejadian bersumber dari pandangan. Sebagaimana api yang besar bermula dari api yang kecil. Bermula dari pandangan, lalu terbetik di dalam hati, kemudian melangkah, akhirnya terjadilah perbuatan zina. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 207)
2.
Menyentuh wanita yang bukan mahramnya
Menyentuh wanita yang bukan mahram adalah perkara yang di anggap biasa dan lumrah ditengah masarakat kita. Disadari atau tidak, perbuatan tersebut merupakan pintu setan untuk menjerumuskan anak Adam kepada perbuatan fahisyah (keji), seperti zina. Oleh karena itu, Islam melarang yang demikian itu, bahkan mengancamnya dengan ancaman yang keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ﻟَﻪﻞ ﺗَﺤةً ﻻاﺮ اﻣﺲﻤنْ ﻳ اﻦ ﻣﺮﺪِﻳﺪٍ ﺧَﻴ ﺣﻦ ﻣﻂﺨْﻴ ﺑِﻤﻞﺟسِ را ر ﻓﻦﻄْﻌنْ ﻳﻻ “Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881) Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Hadits tersebut juga sebagai dalil tentang haramnya berjabat tangan dengan wanita (yang tidak halal baginya). Dan sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini terjerumus dalam masalah ini. (Lihat Ash-Shahihah, no. 1/395) Dalam hadits lain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ُﺎعﻤﺘﺳﺎ اﻻﻤذُﻧَﺎنِ زِﻧَﺎﻫاْﻻ وﺎ اﻟﻨﱠﻈَﺮﻤﻨَﺎنِ زِﻧَﺎﻫﻴﺎﻟَﺔَ ﻓَﺎﻟْﻌﺤ ﻣﻚَ ﻻﺪْرِكٌ ذَﻟﻧَﺎ ﻣِ اﻟﺰﻦ ﻣﻪﻴﺒ ﻧَﺼم آدﻦ اﺑَﻠ ﻋﺐﺘﻛ جﻚَ اﻟْﻔَﺮ ذَﻟﺪِّقﺼﻳ وﻨﱠﺘَﻤﻳى وﻮﻬ ﻳاﻟْﻘَﻠْﺐﺎ اﻟْﺨُﻄَﺎ و زِﻧَﺎﻫﻞﺟِاﻟﺮ وﻄْﺶﺎ اﻟْﺒﺪُ زِﻧَﺎﻫاﻟْﻴ ومﻼْ اﻟﺎنُ زِﻧَﺎهّﺴاﻟﻠو ﻪﺬِّﺑﻳو “Ditetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina akan diperoleh hal itu tidak mustahil. Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram). Kedua telinga zinanya adalah mendengarkan (yang haram). Lisan zinanya adalah berbicara (yang haram). Tangan zinanya adalah memegang (yang haram). Kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang diharamkan). Sementara hati berkeinginan dan
berangan-angan, sedang kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
3.
Berkhalwat (berduaan) di tempat sepi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dalam haditsnya yang agung: ُﻄَﺎنﺎ اﻟﺸﱠﻴﻤﺜَﻬﺎنَ ﺛَﺎﻟ ﻛﻻ اةاﺮ ﺑِﺎﻣﻞﺟنﱠ رﺨْﻠُﻮ ﻳﻻ “Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) Betapa banyak orang yang mengabaikan bimbingan yang mulia ini, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kita berlindung kepada-Nya dari perbuatan tersebut. Ber-khalwat (berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya adalah haram. Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya kecuali ketiganya adalah setan. Apa dugaan anda jika yang ketiganya adalah setan? Dugaan kita keduanya akan dihadapkan kepada fitnah. Termasuk berkhalwat (yang dilarang) adalah berkhalwat dengan sopir. Yakni jika seseorang mempunyai sopir pribadi, sementara dia mempunyai istri atau anak perempuan, tidak boleh baginya membiarkan istri atau anak perempuannya pergi berduaan bersama si sopir, kecuali jika disertai mahramnya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Asy-Syaikh Al-’Utsaimin,6/369)
4. Berpacaran Berpacaran adalah suatu hal yang lumrah di kalangan muda-mudi sekarang. Padahal, perbuatan tersebut merupakan suatu perangkap setan untuk menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam perbuatan zina. Dalam perbuatan berpacaran itu sendiri sudah mengandung sekian banyak kemaksiatan, seperti memandang, menyentuh, dan berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, yang notabene merupakan zina mata, lisan, hati, pendengaran, tangan, dan kaki.
Itulah diantara hal-hal yang dapat mengantarkan anak cucu Adam kepada perbuatan zina. Barangsiapa menjaganya, selamatlah agamanya, insya Allah. Sebaliknya, barangsiapa lalai dan menuruti hawa nafsunya, kebinasaanlah baginya. Kita berlindung kepada Allah ٍSubhanahu wa Ta’ala dari kejelekan diridiri kita. Amin. Kerusakan yang disebabkan perbuatan zina Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina adalah termasuk kerusakan yang sangat berat. Diantaranya adalah merusak tatanan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan) maupun penjagaan kehormatan, dan menyebabkan permusuhan diantara sesama manusia. Al Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina.” Kemudian beliau v menyebutkan ayat ke-68 sampai ayat ke-70 dari surat Al Furqan. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi, hal 207)
Nasehat untuk kaum muslimin Para pembaca yang kami muliakan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati seorang hamba, itu semua akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak. Yang pada hari itu anggota badan seorang hamba; tangan, kaki, dan kulit akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka perbuat. Manusia adalah tempat kesalahan dan dosa. Semua anak cucu Adam pernah berbuat kesalahan. Sebaikbaik orang yang berbuat kesalahan adalah yang paling cepat bertaubat. Tolak ukur kebaikan seorang hamba bukanlah terletak pada pernah atau tidaknya dia berbuat kemaksiatan. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah orang yang segera bertaubat manakala berbuat kemaksiatan, serta tidak terus menerus berada dalam kubangan kemaksiatan. Segeralah bertaubat, wahai hamba-hamba Allah, sebelum ajal menjemputmu! Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (An-Nisaa’: 17-18)
Wallahu a’lam bishshowab. Dari: Buletin Islam AL ILMU Edisi: 16/IV/VIII/1431 Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=483
Mereka Bukan Penuntut Ilmu! (Asy-Syaikh An-Najmi) Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi Rahimahullah, Seorang Ulama Ahlus Sunnah yang sangat terkenal menukil ucapan Asy-Syaikh Al-Ghudayan Hafizhahullah: “SeSeorang yang tidak mengahabiskan waktunya selama 16 jam siang dan malam untuk muthola’ah (membaca dan membahas kitab), maka ia bukanlah seorang penuntut ilmu (sejati).” File suara tafadhol didownload disini:
Silahkan Didapat dari: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?p=86542#post86542