Bab Delapan
Kesimpulan
Pendahuluan Ada tiga hal yang menjadi intisari dari penelitian ini, yaitu tentang bagaimana proses transformasi dan mengapa terjadi transformasi di komunitas Blimbingsari serta apa dampak transformasi komunitas Blimbingsari. Pertama, Masyarakat/komunitas Blimbingsari mengalami transformasi dari Bali-Hindu menjadi Bali-Kristen yang sudah dibahas di bab 4. Sehingga ada identitas baru yang muncul, dimana identitas ini menjadi sesuatu yang sangat penting, sebagai Bali-Kristen yang minoritas di Bali dimana mayoritas orang Bali adalah beragama Hindu. Dari Identitas baru dengan semangat Kristiani mampu mengubah hutan menjadi lahan produktif (pertanian, perkebunan dan peternakan), bahkan setelah itu mentransform menjadi desa wisata. Kedua, proses transformasi ini tidak lepas dari peranan pemimpin pemerintah desa (formal) dan pemimpin rohani (informal) dalam menggerakan komunitas Desa Blimbingsari mengalami perubahan, dengan menggerakan empat elemen (spiritual, etos kerja, modal sosial dan kewirausahaan) sehingga terjadi perubahan dari sisi infrastruktrur desa, pembangunan ekonomi dan kelembagaan serta ekonomi kreatif desa. Kalau dilihat dari jangka waktunya, transformasi ini termasuk sangat cepat ketika komunitas ini mengadopsi agama Kristen, mereka mengadopsi nilai-nilai baru dan juga identitas baru sebagai Bali yang Kristen. Ketiga, dampak transformasinya terwujud/terlihat dengan terbentuknya Desa Blimbingsari menjadi satu-satunya desa wisata di Jembrana, dari perspektif pendekatan kelembagaan bahwa posisi saat ini akan terus mengalami perubahan. Peranan pemimpin desa dan 165
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
pemimpin rohani berperan mempengaruhi perubahan di komunitas desa. Kecuali masyarakat menjadi sekuler maka ‘mungkin’ peranan pemimpin formal dan informal tidak penting dalam perubahan yang akan datang. Desa Blimbingsari, baik masyarakatnya, maupun proses transformasinya dari desa miskin tak berpengharapan menjadi desa maju dan makmur, merupakan fenomena sosial yang kompleks dengan latar belakang politik, sosial dan budaya yang dikandungnya, antara lain sebagai berikut: Desa Blimbingsari, sebagai salah satu kawasan yang bagi Pemerintah Belanda pada waktu itu merupakan kawasan transmigrasi/pembuangan untuk mengatasi masalah konflik sosial antara orang Bali-Hindu dan Bali-Kristen. Melalui transformasi sosial yang terencana oleh Pemimpin Lokalnya, desa ini dapat bertumbuh dan berkembang menjadi desa maju dan makmur. Cikal bakal Desa Blimbingsari diawali sebagai kawasan pembuangan bagi orang Bali-Kristen yang merupakan kebijakan Pemerintah Belanda tentang lokasi pembuangan para pelanggar hukum adat. Sesuai dengan pasuwara tahun 1910 dan mengalami revisi tahun 1927 dan tahun 1937, dimana para pelanggar adat ini dibuang ke kawasan yang ditentukan, dan Jembrana merupakan tempat pembuangan. Desa Blimbingsari memang dikonsepkan sebagai desa pembuangan bagi para pelanggar adat, namun desa ini dapat berkembang pesat melalui proses transformasi menjadi desa maju dan makmur. Bagi sebagian orang Bali-Hindu yang merasa bermusuhan dengan kelompok masyarakat yang dibuang ke kawasan Blimbingsari yang awalnya dikenal sebagai kawasan alas cekik, dipersepsikan bahwa kawasan Blimbingsari merupakan akhir bagi kelompok masyarakat Bali-Kristen, namun dalam kenyataannya, hasilnya terbalik, dengan faktor kepemimpinan yang transformatif dan ditunjang oleh faktorfaktor lain, seperti etos kerja, modal sosial, nilai kewirausahaan, dan nilai spiritual, desa ini tidak menjadi miskin dan tak berpengharapan, bahkan menjadi desa yang maju dan makmur. 166
Kesimpulan
Salah satu faktor awal yang mendorong dan memotivasi kelompok masyarakat Desa Blimbingsari mengubah nasib mereka ketika mengawali perjuangannya di Desa Blimbingsari adalah semangat dari nilai Kristiani dengan pengharapan yang kuat bahwa Tuhan-lah yang menempatkan mereka di kawasan Blimbingsari dan kelompok masyarakat ini beriman bahwa tanah ini adalah sebagai tanah pejanjian untuk mereka olah dan usahakan menjadi lahan atau kawasan yang mampu mengubah nasibnya menjadi maju dan makmur. Hal ini tidak berarti menjadi Kristen yang membuat mereka maju, tapi kerja keras mereka yang membawa pada kemajuan. Dengan bermodalkan tekad, semangat dan pengharapan yang kuat, maka lahan yang masih hutan rimba dikerjakannya dan diusahakannya menjadi lahan yang produktif, menjadi lahan yang pada akhirnya mampu menggerakkan sektor pertanian, sektor peternakan, dan sektor perkebunan, dan tentunya tidak berhenti hanya menjadi desa yang konvensional, namun terus bertransformasi menjadi desa yang menerapkan daya ekonomi kreaktif mampu bertumbuh menjadi desa wisata (tourism village).
Peranan Kepemimpinan Dalam Transformasi Sosial Ekonomi Desa Blimbingsari banyak dikunjungi oleh bangsa-bangsa di dunia ini, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara (internasional). Tetapi, hal itu tidak terjadi secara otomatis, sebelum lembaga desa dan individu-individu membangun dirinya sendiri dengan disiplin, serius dan teratur. Untuk kasus komunitas Desa Blimbingsari, para pemimpin yang memulai kegiatannya dimulai dengan tenang, adanya kerendahan hati dan kemauan untuk bekerja dari kepemimpinan (baik aktor rohaniawan dan pemerintah) yang menyebabkan desa yang tadinya ‘miskin’ menjadi desa yang ‘maju’ dan makmur.
167
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
Suatu komunitas desa yang melaksanakan pembangunannya membutuhkan sumber daya manusia yang merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah suatu desa maju atau tidak dalam melaksanakan pembangunan tersebut. Desa Blimbingsari yang pada awalnya melaksanakan pembangunan dalam kondisi yang sulit sangatlah membutuhkan sosok kepemimpinan yang memiliki muatan dan semangat dalam kewirausahaan yang baik dan tepat serta inovasi yang dilakukan dalam melaksanakan pembangunan agar mampu meningkatkan kreativitas anggota masyarakat Desa Blimbingsari kepada suatu kinerja yang benar-benar dapat berproduksi dalam aktivitas pertanian, peternakan dan perkebunan. Desa Blimbingsari yang bergerak dalam pembangunan secara perlahan tapi pasti, setelah melalui berbagai tantangan dan cobaan akhirnya dapat mencapai titik kemajuan yang signifikan dan mampu mensejahterakan masyarakatnya. Salah satu faktor yang menentukan adalah kepemimpinan yang mendorong kewirausahaan kepada setiap anggota masyarakat. Ada dua kata kunci dalam kewirausahaan, yaitu kreaktivitas dan inovasi. Menemukan cara-cara baru yang efisien dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan merupakan cara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa Blimbingsari. Pengelolaan pembangunan yang berinovasi dan berkreatif merupakan tugas dari kepemimpinan agar mampu mendorong seluruh anggota masyarakat Desa Blimbingsari untuk berkarya mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kesejahteraannya. Tentunya sumber daya manusia Desa Blimbingsari adalah aset utama desa yang didukung oleh kepememimpinan yang mampu mendorong anggota masyarakat untuk bermental wirausaha dalam mengusahakan bidang peternakan, pertanian dan perkebunan. Kepemimpinan harus mampu bertindak sebagai pemikir, perencana, dan pengendali aktivitas desa dalam menjalankan pembangunan dengan semangat kewirausahaan. Kepemimpinan merupakan subyek dalam pelaksanaan pembangunan. Kepemimpinan yang mengarahkan perilaku orang lain ke arah pencapaian suatu tujuan tertentu, dalam hal ini tujuan pembangunan untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Kepemimpinan 168
Kesimpulan
mengarahkan dan menyebabkan orang lain bertindak dengan cara tertentu atau mengikuti arah tertentu, yang tentunya dengan muatan dan nilai kewirausahaan untuk lebih meningkatkan kinerja dan hasil yang optimal di bidang pertanian, peternakan dan perkebunan. Kepemimpinan berbasis kewirausahaan memiliki kelebihan dimana kinerja kepemimpinan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa. Kepemimpinan berbasis kewirausahaan lebih memungkinkan memfasilitasi anggota masyarakat dengan seperangkat kemampuan untuk memperbaiki taraf hidupnya dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada di Desa Blimbingsari dalam bidang yang tersedia di desa, antara lain bidang peternakan, pertanian dan perkebunan. Bila dicermati maka dimensi inovasi sangat mempengaruhi hasil dari kinerja anggota masyarakat dalam meningkatkan produktivitasnya. Inovasi yang ditunjang oleh dimensi kreativitas yang akhirnya mengarah pada peningkatan sumber ekonomi sebagai konsekuensi logis dari peningkatan produktivitas. Lingkungan masyarakat desa dalam menjalankan pembangunan dari aktivitas mereka di bidang pertanian, peternakan dan perkebunan semakin menjadi dinamis dan berdaya saing. Masyarakat Desa Blimbingsari akan semakin bergairah untuk mengembangkan dan memasarkan produk dan jasa baru yang berpotensi di desa, yang tentunya dipasarkan di sentra-sentra pasar, baik lintas kecamatan, kabupaten, bahkan lintas provinsi. Salah satu tanggung jawab kepemimpinan yang paling penting dan paling sulit adalah memandu dan memudahkan proses pembuatan suatu perubahan besar dalam komunitas masyarakat. Inovasi adalah proses mengubah ide-ide kreatif menjadi produk atau metode kerja yang berguna. Oleh karena itu, pemimpin yang memiliki mental inovatif akan menularkan virus inovatif secara terusmenerus, juga memiliki kemampuan menyalurkan kreativitasnya kepada anggota masyarakat menjadi hasil yang berguna. Inilah proses yang berkesinambungan dalam menularkan jiwa kewirausahaan dan terus memilihara dan mendorong inovasi, seperti yang dikemukakan oleh Robbins dan Coulter (1994). 169
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
Para pemimpin Desa Blimbingsari dari bebagai generasi memulai kegiatannya dengan menggunakan nilai spiritualitas dan modal sosial sehingga mereka bekerja bersama dan memiliki ketetapan hati yang teguh (melakukan apa yang harus dilakukan). Ternyata para pemimpin komunitas Desa Blimbingsari berhasil. Itu semua karena memiliki kepemimpinan yang rendah hati dan memiliki kemauan. Kepemimpinan seperti ini tidak mempunyai ego atau minat pribadi. Para pemimpin ini ambisius luar biasa, tetapi ambisinya pertama dan paling penting adalah untuk desanya, bukan untuk mereka sendiri (lihat bab 6, khususnya pembuatan saluran irigasi air tepat guna untuk seluruh Desa Blimbingsari). Menurut David M. Walker (2007), saat ini komunitas desa memerlukan lebih banyak pemimpin-pemimpin yang mampu memahami perlunya mentransformasi perubahan yang positif untuk menjadikan desa atau wilayahnya yang dipimpinnya lebih maju dan berdaya saing di masa akan datang. Walker lebih jauh menyatakan, komunitas desa memerlukan pemimpin dalam komunitas yang berpikir strategis, berorientasi jangka panjang, dan berwawasan luas, serta berfokus pada pencapaian hasil saat ini, dengan penuh rasa tangung jawab. Desa Blimbingsari untuk masa yang akan datang akan terus maju sejahtera, bila para pemimpinya dapat melakukan hal ini dengan efektif dan optimal, seperti yang telah dilakukan sejak awal berdirinya atau terbentuknya desa Blimbingsari pada tahun1939. Pemahaman kita mengenai “transformasi kepemimpinan” tidak merujuk pada pandangan spesifik James McGregor Burns (2007), melainkan secara luas mengenai bagaimana landscape kepemimpinan diubah atau ditransformasi bagaimana konteks kepemimpinan yang senyatanya ditransformasi, bagaimana praktik kepemimpinan ditransformasi, dan bagaimana cara kita berpikir mengenai kepemimpinan yang ditransformasi. Ketiga wujud transformasi tersebut saling berpengaruh satu sama lain dan terkait dengan berbagai aspek, terutama perubahan konteks yang mengarah pada perubahan praktik kepemimpinan, perubahan praktik yang mengarah pada perubahan cara berpikir tentang kepemimpinan dan perubahan cara 170
Kesimpulan
mengkonseptualisasikan kepemimpinan. Hal tersebut akan menajamkan praktik kepemimpinan dan pada gilirannya akan menajamkan konteks kepemimpinan. Kepemimpinan dengan pencapaian seperti apa? Tentunya suatu kepemimpinan yang dapat meningkatkan ekonomi wilayah atau desa dimana masyarakat amat membutuhkan kemajuan di bidang ekonomi ini, dimana hasil panen dari Desa Blimbingsari dapat dipasarkan dan dapat memiliki nilai ekonomi yang optimal. Menurut Morse dan Burns (2007), pada dekade terakhir para pakar kepemimpinan mengungkapkan kasus yang menandai perubahan lingkungan dalam bentuk kajian pembangunan sebagai pembaharu. Pembaharuan ini dipahami lebih dari sekedar apa yang dikerjakan oleh para pemimpin, melainkan mencakup pula tindakantindakan kolektif untuk memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, dan apa yang masyarakat butuhkan. Isu pembaharuan ini mengubah penekanan dari peran agen ke arah penggunaan “instrumen” secara luas yang mencakup ide-ide dan inovasi untuk memecahkan masalah yang ada. Transformasi menuju pembaharuan ini perlu dipadukan dengan transformasi kepemimpinan di masyarakat pada era globalisasi untuk peningkatan sektor ekonomi. Komunitas Desa Blimbingsari memerlukan kepemimpinan model ini untuk menggerakkan ekonomi desa menjadi bermanfaat bagi perubahan ekonomi yang semakin meningkat. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah perubahan kontekstual berupa globalisasi menjadi prasyarat transformasi dalam cara berpikir dan menerapkan kepemimpinan yang berorientasi pada pembangunan? Jawabannya adalah ya dan jika meminjam analogi Thomas Friedman, terdapat prasyarat berupa kemajuan luar biasa dalam bidang teknologi transportasi, komunikasi dan informasi yang telah mengubah wajah dunia, atau menjadikan dunia “datar”. Tentu saja perubahan lingkungan yang mempengaruhi keberadaan desa dengan problematikanya di pelbagai sektor sebagai akibat dari globalisasi terkait dengan perubahan di bidang sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Desa Blimbingsari telah melalui dan menjalani 171
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
proses ini sebagai suatu proses perubahan sosial melalui peran pemimpinnya. Mencermati kondisi saat ini dimana kita telah berada dalam millenium ketiga, maka kita pun berada dalam konteks tahap baru globalisasi yang oleh Friedman diberikan label “Globalisasi 3.0” yang dibangun berdasarkan fondasi sosial, ekonomi, dan politik. Menurutnya, “Globalisasi 1.0” (1492-1800) ditandai dengan negara bangsa yang “menghilangkan pembatas dan bersama-sama merangkul dunia, mengarahkan integrasi global, lihat bahasan Morse et al tahun. Dunia berubah dari ukuran “besar” menjadi “medium”. “Globalisasi 2.0” (1800-2000) ditandai dengan ekspansi perusahaan multinasional. Kemajuan dalam aspek perangkat keras seperti perkeretaapian yang terjadi pada tahun awal dan telekomunikasi pada tahun akhir, telah mengarahkan peningkatan integrasi global dan mengubah wajah dunia menjadi ukuran “kecil”, lihat pula Morse et al 2007. Menurut Freidman, kurun waktu dalam millenium baru, yang disebut “globalisasi 3.0” saat ini ditandai dengan konvergensi beragam kekuatan, karena itu bukti yang paling nyata terlihat adalah adanya kemajuan pada aspek perangkat lunak dan infrastruktur teknologi informasi. Dunia saat ini berukuran “mungil” dan bidang permainan bagi setiap individu adalah datar dan datar. Desa Blimbingsari telah dan akan dilanda oleh kemajuan ini, dan suka atau tidak suka akan terkena dampaknya. Untuk itu kepemimpinan yang kuat yang dimiliki oleh Desa Blimbingsari telah mampu menghadapi segala konsekuensi dari perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu akibat masuk dalam era globalisasi dan perdagangan dunia. Produk-produk dari sentrasentra desa akan bergulir ke pasar dunia, dan menjadi peluang untuk mengubah wajah ekonomi desa, yang selama ini dikatakan masih terbelakang. Kemajuan yang signifikan akan dialami bagi desa yang siap untuk masuk dalam putaran perubahan, termasuk juga Desa Blimbingsari. Dunia yang datar seperti digambarkan oleh Friedman, mengarahkan kapitalisme global yang menjadikan Indonesia dan negara manapun tidak memiliki batas -batas dan “pembatas” lain tidak 172
Kesimpulan
bermakna (borderless). Tatanan dunia beranjak dari “model kreasi nilai (kendali dan kontrol) vertikal utama, ke arah penguatan model (koneksi dan kolaborasi) horizontal yang “mempengaruhi segala sesuatu” tentang bagaimana komunitas dan perangkat-perangkat kelembagaan yang ada dapat memahami dirinya sendiri serta dimana memulai dan berhenti, bagaimana individu atau anggota masyarakat menyelaraskan identitasnya yang berbeda, apakah sebagai konsumen, pekerja, sebagai wirausaha, serta apa saja peran-peran yang harus dimainkan oleh para pemimpin yang ada di masing-masing komunitas. Dan bagi masyarakat Desa Blimbingsari juga mulai terkena imbasan dari dampak ini, yang pada akhirnya harus diatasi dengan bantuan kepemimpinan transformatif. Pertanyaan yang belum terjawab dalam analisis Friedman di atas adalah pengaturan dan pembaharuan yang harus diusung oleh para pemimpin merupakan tugas yang harus dilakukan. Selanjuntnya, bagaimana tugas tersebut didefinisikan kembali, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, apakah semua itu bermakna bagi komunitas, anggota masyarakat desa, atau masyarakat kota, akan ditentukan oleh peran para pemimpin untuk membawa komunitas atau masyarakat ke dunia yang lebih nyaman atau dunia yang tidak dapat dikontrol lagi. Bagi para pemimpin di Desa Blimbingsari, telah mempersiapkan diri untuk mengahadapi tantangan-tantangan seperti ini. Setelah dipahami makna dan signifikansi kepemimpinan, perlu dipahami pengertian kepemimpinan komunitas berdasarkan tiga perspektif menurut Morse dan Buss (2007), sebagai berikut; pertama, kepemimpinan yang mampu memainkan permainan politik lokal, artinya ia terpilih karena keteladanannya dan mampu memajukan kehidupan masyarakat; kedua, kepemimpinan komunitas yang terfokus pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan terbukti membangun desa, sebagaimana yang telah dialami Desa Blimbingsari; ketiga, gaya kepemimpinan yang bersifat kolaboratif/bekerja sama yang diungkap juga oleh Vroom (1974), dan disebut sebagai “kepemimpinan katalis” oleh Stauffer (2002), atau “kepemimpinan untuk kebaikan bersama” 173
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
yang disebut oleh Scharmer (2009) dan Sadler (2003). Perspektif kepemimpinan ini fokusnya bukan kepada para “pemimpin” (orangorang yang menduduki posisi formal dalam pemerintahan), melainkan lebih sebagai proses penciptaan nilai publik di dalam dan di luar pemerintahan dan di semua level institusi. Kepemimpinan tipe ini dan telah terjadi serta diterapkan di desa Blimbingsari dipahami sebagai proses yang terjadi di luar institusi formal semata. Kepemimpinan tipe ini merefleksikan kenyataan mengenai upaya pencapaian kinerja melalui proses pemberdayaan kepada anggota masyarakat. Peranan kepemimpinan komunitas perlu dipahami lebih mendalam, jika kepemimpinan komunitas lebih terfokus pemahamannya secara luas mengenai perubahan dan peningkatan aspek ekonomi dari kepemimpinannya dalam pelaksanaan pembangunan di Desa Blimbingsari. Perspektif baru ini, melihat perubahan yang nyata di bidang ekonomi. Scharmer (2009) dan Sadler (2003). juga mengakui bahwa kepemimpinan komunitas sebagai “kepemimpinan untuk kemaslahatan bersama” mencakup keseluruhan perubahan yang diusung oleh pemimpin tersebut menuju kesejahteraan masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan, juga dilansir oleh Morse dan Buss (2007). Adapun literatur modern tentang kepemimpinan, khususnya kepemimpinan dalam menggerakan pembangunan di tingkat pembangunan desa merupakan kunci bagi keefektifan setiap komunitasnya, demikian yang dikemukakan oleh Appleby (1987). Atas dasar pemahaman tersebut kepemimpinan merupakan kunci bagi keefektifan komunitas dan bagi perubahan yang sedang dilakukan, hal ini didukung oleh pendapat Stephen A. Cohen (dalam Wart & Dicke, 2008) ; George Frederickson dan David S.T. Matkin (dalam Morse et al, 2007) . Meskipun demikian, dalam penelitian ini dapat diasumsikan bahwa gaya kepemimpinan sebagai agen perubahan ( agent of change) seringkali tidak sesuai bagi keefektifan komunitas dalam melaksanakan pembangunan, seperti juga disetir oleh David S.T. Matkin. Berdasarkan asumsi ini direkomedasikan mengadaptasi karakter kepemimpinan komunitas ala-berkebun (public leadership as gardening). Hal ini 174
Kesimpulan
dikuatkan dengan hasil studi Peter Szanton (1981) yang menulis bahwa pembaharuan yang dilakukan sangat tepat jika dianggap sebagai bagian dari upaya berkebun daripada sebagai arsitektur atau rekayasa. Sebagaimana halnya berkebun, kemungkinan yang bisa dilakukan dibatasi oleh tanah dan iklim, serta pencapaian hasilnya adalah rendah. Dengan kata lain, perubahan tidak merupakan tindakan tetapi sebagai suatu proses, atau misi yang berkelanjutan. Sifat tugas kepemimpinan komunitas dan berkebun didasarkan pada kebijaksanaan John Gaus (1975) yang menyarankan agar ketika kita membangun dari tanah mempertimbangkan elemen tempat – tanah, iklim, lokasi sebagai contoh-bagi orang yang hidup di areal tersebut, begitu pula mempertimbangkan jumlah, usia dan pengetahuan, serta bagaimana cara teknologi fisik dan sosial dapat hidup dari tempat tersebut dan hubungannya satu sama lain yang tentunya berlaku di Desa Blimbingsari. Kepemimpinan komunitas yang dipahami sebagai identik dengan berkebun, seperti ketika mengikuti pandangan Gaus di atas, berarti memenuhi kebutuhan anggota masyrakat Desa Blimbingsari berdasarkan kemampuan diri sendiri dalam mengamati, yaitu peka pada perubahan dan penyesuaian serta ingin menghadapi kondisi perubahan menuju ke arah yang lebih dari sebelumnya seperti yang dialami setiap anggota masyarakat Desa Blimbingsari. Dalam menghadapi situasi tersebut pemimpin komunitas Desa Blimbingsari perlu waktu, kesabaran, dan pengalaman. Pemimpin Desa Blimbingsari diibaratkan pekebun yang bekerja dalam kondisi tersedia sumber daya yang dibutuhkan dan dari semua sumber daya tersebut, maka yang terpenting baginya adalah tanaman atau dalam hal ini terpenting adalah anggota masyarakat. Pekebun menyadari arti penting dan kekuatan nilai kepemimpinan dalam melakukan terobosan dan perubahan yang dapat meningkatkan sektor ekonomi desa secara signifikan. Pemimpin Desa Blimbingsari di pihak lain harus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya melalui intervensi terhadap faktor-faktor nilai spiritual, etos kerja, modal sosial dan faktor kewirausahaan. Faktor-faktor tersebut yang berkembang di 175
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
tengah masyarakat Desa Blimbingsari dipahami sebagai pola keyakinan, nilai, dan perilaku, sebagaimana juga diulas oleh Schein Edgar (2004) dan pemimpin sebagai agent of change melakukan peran dan hubungan yang intensif dengan masyarakat, karena dipengaruhi oleh kecenderungan historis, sikap sosial, dan faktor sosial ekonomi. Pemimpin Desa Blimbingsari telah terus-menerus memahami empat elemen utama itu (nilai spiritual, etos kerja, modal kerja dan nilai kewirausahaan) telah berkembang di masyarakat Desa Blimbingsari, agar nilai-nilai itu memberikan kontribusi positif bagi produktivitas masyarakat untuk memperbaiki taraf hidup di bidang ekonomi dan aspek lain juga yang menunjangnya, seperti nilai spiritual untuk terus selalu mengasihi, seperti ajaran dan nilai yang diperolehnya dari Kitab Injil atau Alkitab. Pemimpin yang diibaratkan sebagai pekebun paham bahwa perubahan ke-4 nilai positif itu melalui proses transformasi sosial ekonomi telah beraktualisasi di tengah masyarakat Desa Blimbingsari dan terjadi dalam waktu lama sebagai suatu proses yang panjang dari segi waktu. Sementara itu, pemimpin Desa Blimbingsari sebagai agen perubahan berusaha membuat perubahan langsung dan dinamis, karena itu menjadikan 4 (empat) nilai utama itu berinteraksi melalui dorongan variabel kepemimpinan transformatif dalam bentuk keteraturan, kestabilan dan kemampuan melakukan perubahan yang sistematis dan terencana. Dan ini memerlukan perubahan nyata dalam perilaku sosial ekonomi masyarakat sebagai pra-syarat dalam memahami pembangunan Desa Blimbingsari seperti kebun, tempat tumbuhan dan pepohonan tumbuh dan berkembang sesuai karakternya. Perubahan di kebun, seperti halnya pada komunitas di tengah masyarakat Desa Blimbingsari cenderung bersifat inkremental. Kondisi lingkungan kebun saat ini sesuai dengan pernyataan dan pengamatan Johan Olsen (2004), seringkali merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang, diliputi konflik, kemenangan, pertahanan, dan kompromi, yang sama seperti proses interpretasi, pembelajaran, dan pembiasaan. Dan dari awal pembentukan dan pembangunan Desa 176
Kesimpulan
Blimbingsari, hal ini telah dilalui dalam suatu bingkai evolusi kelembagaan dan sejarah yang berliku-liku. Ibarat bagi pekebun, para pemimpin Desa Blimbingsari harus bekerja dalam dinamika yang sesuai dengan ritme yang lazim, jadi perubahan yang diusung sifatnya inkremental, selangkah demi selangkah, dan menjadi suatu perubahan yang terus dikontrol dengan baik. Meskipun demikian, pekebun yang sabar tahu bahwa perubahan tahunan 5 persen di kebun, jika diakumulasi selama beberapa tahun pada akhirnya menunjukkan perubahan besar di kebun. Hal yang tidak lazim dalam ritme berkebun adalah rencana dan eksperimen tertentu gagal pada musim pertama dan kedua, dan kegagalan tersebut harus dihadapi dengan lapang dada untuk terus maju dan maju menuju kemakmuran Desa Blimbingsari seperti yang dicita-citakan. Pemahaman komunitas di tengah masyarakat Desa Blimbingsari yang terus membangun ibarat kebun yang dikenalkan dan dikembangkan oleh pemikir kelembangaan, James March dan Johan Olsen (2004). Para institusionalis ini memahami bahwa aktor pemimpin dipertajam pemahamannya oleh ekologi dan sejarah yang terjadi bersama masyarakatnya yang pada awalnya mengalami tekanan, namun dapat keluar dari proses tersebut dengan kemenangan yang gemilang dengan kekuatan iman Kristen yang dimiliki, sehingga membawa perubahan yang signifikan di sektor ekonomi. Hal ini semua disebabkan oleh kepemimpinan yang baik yang mampu melakukan terobosan dan perubahan bagi masyarakat Desa Blimbingsari dan pembangunan yang dilaksanakan. Perspektif pemimpin transformatif Desa Blimbingsari yang diwakili oleh Pdt. I. Made Rungu yang mewakili pemimpin rohani dan dilanjutkan melalui kepemimpinan Bapak Yakub Yulianus dari kaum awam yang menjadi kepala desa, diibaratkan pekebun mengacu pada premis bahwa tidak mungkin mendeskripsikan nilai spiritual dan nilai masyarakat berdasarkan perkiraan maksud dan disain rasional yang sederhana saja. Hal itu disebabkan karena sejarah masyarakat Desa Blimbingsari yang penuh tantangan dan goncangan, yang jika tidak dapat melalui proses ini dengan baik, maka yang terjadi justru 177
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
kehancuran desa Blimbingsari. Namun dengan faktor kepemimpinan yang kuat dan terus memperbaiki sektor ekonomi desa, maka pencerahan dan perubahan yang lebih baik daripada kondisi semula dapat berlangsung dengan efektif.
Sumbangan Penelitian Gambaran yang komprehensif dalam transformasi dan pertumbuhan ekonomi di Desa Blimbingsari menunjukkan bahwa kepemimpian dengan menggerakkan nilai spiritualitas, modal sosial, etos kerja, dan kewirausahaan mendukung terjadinya suatu transformasi sosial ekonomi dan pertumbuhan ekonomi suatu desa. Proses transformasi ekonomi mengalami perubahan sosial ekonomi yang sistematis dan terencana yang dicanangkan oleh kelompok masyarakat beserta pemimpinnya. Seorang pemimpin dalam komunitas yang berpikir strategis, berorientasi jangka panjang, dan berwawasan luas, serta berfokus pada pencapaian hasil saat ini, dengan penuh rasa tanggung jawab. Implikasi terapannya, bahwa transformasi di Desa Blimbingsari dapat menjadi referensi bagi desa-desa lain di seluruh Indonesia untuk menjadikan Desa Blimbingsari menjadi desa percontohan dan dapat menjadi rujukan dalam studi banding untuk mengenali dan memahami faktor-faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan Desa Blimbingsari melalui proses transformasi sosial ekonomi dari desa yang ‘miskin’ dan tak berpengharapan menjadi desa yang ‘maju’ dan makmur. Implikasi teoritisnya, bahwa pendeta-pendeta sebagai pemimpin informal dalam konteks negara, walaupun dalam konteks gereja pendeta-pendeta sebagai pemimpin formal mampu melakukan kerja sama antara pemimpin informal (pemimpin rohani) dan formal (pemerintah desa), karena tidak adanya kepala suku.
178
Kesimpulan
Penelitian yang Akan Datang Keterbatasan penelitian saat ini sangat direkomendasikan untuk menjadi peluang penelitian yang akan datang, agar dalam mengkaji problematika komunitas Desa Blimbingsari dan transformasi desa yang ‘miskin’ menjadi desa yang ‘maju/hidup‘ semakin sempurna. Usulannya, bahwa peneliti yang akan datang mampu meneliti atau yang mengkaji kewirausahaan Bali-Kristen akan semakin melengkapi hasil penelitian ini dan akan dimanfaatkan oleh para akademisi di bidang kewirausahaan. Transformasi akan terus menjadi hal atau peristiwa yang sangat menarik bagi perkembangan pembangunan khususnya perubahan sosial setelah desa ini menjadi Desa Wisata. Apa yang akan terjadi, apakah desa ini akan melakukan transisi ke arah yang lebih baik atau malahan mundur. Teori pembangunan yang berakar dan (diharapkan) benarbenar mampu menjawab persoalan pembangunan di Indonesia. Dengan konsep dan teori pembangunan ala Indonesia seperti itu, mungkin praktik pembangunan di Indonesia bisa lebih mempunyai makna bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Penelitian ini menemukan bahwa peran kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam menggerakan empat elemen; nilai spiritualitas, modal sosial, etos kerja, dan kewirausahaan mendukung terjadinya suatu transformasi sosial ekonomi dan pertumbuhan ekonomi suatu desa. Kepemimpinan memegang peran sentral, dimana kepemimpinan menggalang spiritual, menggalang etos kerja, menggalang modal sosial, dan menggalang entrepreneural. Dari Pengalaman ini kita belajar bahwa, para pendeta sebagai pemimpin rohani tidak hanya fokus pada hal-hal rohani dan tidak hanya memberi kotbah-kotbah saja di atas mimbar, tetapi mereka dapat berperan sebagai agen perubahan (agent of change) yang mendorong peningkatan ekonomi jemaat.
179
Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari
Tulisan ini juga menunjukkan bahwa jika dua kekuatan pemimpin rohani dan kepala desa dapat bekerja sama, maka pembangunan akan berjalan dengan lancar.
180