KESESUAIAN KONSEP ISLAM DALAM PRAKTIK KERJASAMA BAGI HASIL PETANI DESA TENGGULUN KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
IIN HAMIDAH NIM 1110046100183
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M./1436 H.
LEMBAR PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : Iin Hamidah NIM : 1110046100183 Jurusan : Perbankan Syariah Fakultas : Syariah dan Hukum Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggungjawabkan. 4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya. 5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini. Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Jakarta, 12 Nopember 2014 Penulis
Iin Hamidah
iii
ABSTRAK Iin Hamidah, 1110046100183, Kesesuaian Konsep Islam dalam Praktik Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. Masyarakat di Desa Tenggulun merupakan mayoritas petani dan bergerak di bidang pertanian, disamping mengelola lahan sendiri juga memperkerjakan orang lain untuk menggarap dengan sistem bagi hasil yang sesuai dengan kesepakatan atau adat setempat. Pada umumnya kerjasama ini berdasarkan pada kata sepakat atau kepercayaan antara kedua belah pihak dan dengan akad secara lisan, sehingga memberi peluang antara kedua pihak melakukan hal-hal yang dapat merugikan, seperti dalam isi perjanjian, hak dan kewajiban kedua pihak, pembagian bagi hasil yang belum tentu sama dan sesuai dengan prinsip hukum Islam. Dari sinilah penyusun mencoba menelusuri dan meneliti apakah pelaksanaan bagi hasil di Desa Tenggulun tersebut terdapat penipuan dan eksploitasi salah satu pihak terhadap pihak lain. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan informasi berdasarkan pada fakta yang diperoleh di lapangan yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti atau dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancara yang berkaitan dengan permasalahan melalui sumber primer yang selanjutnya dikomparasikan dengan ketentun teori yang berlaku sebagai sumber skunder. Berdasarkan penelitian, penyusun menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan kerjasama bagi hasil yang dilakukan di Desa Tenggulun adalah aplikasi dari mukhabarah. Akan tetapi dalam praktiknya tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep Islam yang ada, karena ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Kata kunci : kerjasama, bagi hasil, konsep Islam, kualitatif deskriptif Pembimbing : Dr. Dede Abdul Fatah, S.H.I.,M.Si Daftar Pustaka: Tahun 1998 s.d 2012
iv
KATA PENGANTAR
سم ه ِِالرح ْيم ِالر ْحمن ه َِّللا ه ْ ِب Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Insan pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i Walmursalin Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul “Kesesuaian Konsep Islam Dalam Praktik Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan”
akhirnya
dapat terselesaikan sesuai dengan harapan
penulis.
Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang andil dalam mensukseskan harapan penulis. Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini selesai bukan semata dari hasil karya tangan penulis sendiri, tetapi juga karena bantuan dari beberapa pihak yang dengan tulus meluangkan waktu meski hanya sekedar menuangkan aspirasi ataupun hanya sekedar memberi motivasi kepada penulis. Tanpa mereka, penulisan skripsi ini akan terasa sangat berat. Karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih, kepada:
v
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku dekan Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. H. Ah. Azaruddin Lathif, M Ag, MH selaku ketua Program Studi Mu’amalat Fakultas Syariah dan Hukum dan Abdurrauf, Lc, MA. selaku Sekretaris Program Studi Muamalat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Dede Abdul Fatah, SHI.,M.Si Selaku Dosen Pembimbing yang selalu meluangkan waktu, memberikan arahan, memberikan motivasi, dan membimbing penulis dengan baik. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu kepada penulis selama kuliah, baik secara langsung ataupun tidak langsung. 5. Staf perpustakaan baik kepada pihak perpustakaan Utama, perpustakaan Fakultas dan Hukum yang telah membantu memberikan pinjaman buku-buku sebagai bahan acuhan untuk menyusun skripsi. 6. Bapak Abu Sholeh, selaku Kepala Desa Tenggulun yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi penyusun untuk mengadakan penelitian serta memberikan data-data yang penyusun butuhkan selama melaksanakan penelitian. 7. Bapak Sukaeri, Bapak Ma’sum, dan Bapak Mohammad Hasan selaku tokoh masyarakat yang telah memberikan bantuan dan masukan bagi penyusun dalam penelitian ini. vi
8. Bapak dan Ibu responden baik dari pihak penggarap maupun pihak pemilik lahan yang bersedia diwawancarai dan memberikan data-data yang penyusun butuhkan selama mengadakan penelitian. 9. Orang Tua tercinta Ibunda Nasriyah dan Ayahanda Samiaji yang telah mengasuh, membesarkan, mendoakan, mendidik, dan selalu memberikan semangat, bantuan baik moral maupun materil kepada penulis. Rasanya tidak pernah cukup untuk berterima kasih semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang kepada keduanya. 10. Sahabat-sahabatku CIM tercinta dan seperjuangan, Laila yang selalu ada waktu untuk menemani disaat senang dan duka dan yang selalu ada disaat penyusun butuhkan. Nida, meli, dan yuni sahabat terbaik sejak semester awal. Kebersamaan dengan kalian merupakan pengalaman yang tidak dapat penyusun lupakan. 11. Keluarga Besar WASIAT Jakarta yang menjadi keluarga kedua penyusun selama berada di perantauan, sehingga bisa membentuk karakter penulis yang seperti sekarang. Kebersamaan kalian tidak akan pernah terlupakan. Semoga selamanya tetap terjaga. 12. Teman seperjuangan di Jurusan Perbankan Syariah angkatan 2010, khususnya teman sekelas PS.D SQUAD, teman-teman KKN CABE 2013, yang selalu memotivasi, semoga tali silaturrahmi kita tetap terjalin.
vii
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritik dan masukan yang membangun agar penulis dapat menulis dengan lebih baik lagi di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT membalas semua kebaikan semua pihak yang telah memberikan doa, dukungan, serta bantuan. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengembangan ilmu Ekonomi Islam. Jakarta, 12 Nopember 2014 penulis
Iin Hamidah
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................. ...............ii LEMBAR PERNYATAAN.........................................................................................iii ABSTRAK...................................................................................................................iv KATA PENGANTAR...................................................................................................v DAFTAR ISI..............................................................................................................viii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................1 B. Identifikas Masalah..........................................................................6 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................6 D. Tujuan dan Mafaat Penelitian..........................................................7 E. Metode Penelitian............................................................................9 F. Sistematika Penulisan....................................................................12
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Teori Umum 1. Taghrir.....................................................................................14 2. ‘urf...........................................................................................18 3. Sistem Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian....................20
viii
B. Kerja Sama Pertanian dalam konteks Islam 1. Istilah Kerja Sama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Menurut Konsep Islam...........................................................................20 2. Dasar Hukum KerjaSama (BagiHasil) dalam Islam................25 3. Rukun dan Syarat Kerjasama (BagiHasil) dalam Islam..........28 4. Para Pihak dalam Perjanjian Bagi Hasil..................................31 5. Sifat Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian........................32 6. Hikmah Kerjasama (BagiHasil) dalam Pertanian....................33 7. Berakhirnya Kerjasama (BagiHasil) dalam Pertanian.............33 8. Ketentuan-ketentuan
Kerjasama
(BagiHasil)
dalam
Pertanian..................................................................................34 C. Review Studi Terdahulu................................................................39 BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan......................................41 B. Gambaran Umum Desa Tenggulun...............................................44 C. Kondisi Sosialisasi Desa Tenggulun.............................................51
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN A. Sistem Pertanian Desa Tenggulun.................................................52 B. Sistem Kerja Sama Bagi Hasil Pertanian dan Kesesuainnya dengan Prinsip Fiqh Mu’amalah 1. Alasan Kerjasama (Bagi Hasil) dilakukan...............................55
ix
2. Pengetahuan Masyarakat terhadap Bagi Hasil dalam Konsep Islam..................................................................................59 3. Kata Sepakat dalam Akad........................................................60 4. Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia.....................................61 5. Bentuk Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil................................62 6. Lamanya Waktu Perjanjian.....................................................64 7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Sama........................................66 8. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di
Desa
Tenggulun
Kecamatan
Solokuro
Kabupaten
Lamongan..........................................................................68 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan...............................................................................71 B. Saran.......................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................73
x
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia merupakan Negara Agraris dan tanahnya terkenal subur. Hampir 50% dari total tenaga kerja bekeja di sektor pertanian. Sektor pertanian dan pedesaan memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional. Melihat pentingnya sektor pertanian dan pedesaan, selain sebagai andalan mata pencaharian sebagian besar penduduk, sektor pertanian dan pedesaan juga mampu meningkatkan sumbangan kepada PDB (Produk Domestik Bruto), memberikan kontribusi terhadap ekspor (Devisa), bahkan ketika terjadi krisis moneter, sektor pertanian dan pedesaan mampu menjadi penyangga perekonomian nasional. 1 Islam sebagai ajaran yang mengajarkan kehidupan yang seimbang antara material dan spiritual, dunia dan akhirat, memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kegiatan pertanian dan cabangnya. Perhatian tersebut terlihat dari banyaknya ayat al-Qur‟an, matan hadis, dan kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berkaitan dengan pertanian. Kegiatan pertanian dalam Islam bukan hanya semata-mata kegiatan duniawi dan material, melainkan bersifat ukhrawi spiritual. Dengan demikian, kegiatan pertanian dalam Islam harus ditujukan untuk meyakini adanya Allah SWT dan mengagungkan kebesarannya. 2
1
Soekartwi, Agribisnis Teori dan Aplikasinya, cet.VI, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2001), h.10. 2 Jusuf Sutanto, dkk, Revitalisasi Pertanian dan Dialog peradaban (Jakarta: Kompas, 2006), h.693-694.
1
2
Tanah atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Pertanian harus mendapatkan perhatian, karena melalui pertanian manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya terutama dalam hal mendapatkan makanan. 3 Pertanian juga sangat penting keberadaannya dalam masyarakat. Ajaran Islam mengatur praktekprakteknya agar sesuai dengan syariat. Selain itu juga Islam menganjurkan apabila seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian maka ia harus memanfaatkannya dan mengolahnya. Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam seperti halnya dengan cara diolah sendiri oleh yang punya atau dengan cara dipinjamkan kepada orang lain untuk dikelola dengan menggunakan bagi hasil. Hal ini dilakukan karena dalam masyarkat ada sebagian diantara mereka yang mempunyai lahan pertanian, tetapi tidak mempunyai kemampuan bertani, baik dalam segi modal maupun dalam segi kemampuan tenaga. Ada juga sebagian yang lainnya yang tidak memiliki apapun, tetapi mempunyai tenaga untuk bertani. Agar tidak ada tanah pertanian yang menganggur, maka Islam mengharuskan kepada setiap pemilik lahan untuk memanfaatkannya
sendiri.
Jika
pemilik
tidak
dapat
mengerjakan
dengan
kemampuannya sendiri, maka pengelolaannya dapat diserahkan kepada orang lain yang lebih ahli dalam pertanian. Maka dengan adanya peraturan seperti ini keduanya dapat hidup dengan baik. Karena selain itu juga, dalam sistem bagi hasil pertanian sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan 3
Izzudin khatib al-Tamim, Bisnis Islami, cet.I, (Jakarta: Fikahari Aneska, 1992), h.56.
3
dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalah pahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang didapatkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam. Islam mempunyai solusi memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem yang lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem muzra’ah, mukhabarah, dan musaqah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam.4 Aspek
pertanian
merupakan aspek
penting
dalam
mengembangkan
pertumbuhan suatu negara, sebagaimana al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian daripada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. 5 Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang
4
Muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya yang bibitnya berasal dari pemilik tanah. Mukhabarah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya yang bibitnya berasal dari petani. Sedangkan musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola untuk memelihara dan merawat kebun. Dan semuanya dengan kesepakatan bagi hasil dari hasil panen yang didapatkan. 5 Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, “al-Iktisab fi al-Rizq al-Mustathab”, dalam Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Jakarta:Pustaka Asatruss, 2005), h.96.
4
dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas bagi hasil tersebut. Sistem bagi hasil banyak ditemui di Indonesia sejak jaman kuno sampai sekarang, yaitu pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan. Mukhabarah dan muzara’ah dengan persentase 50%:50% adalah yang umum dipraktekan. Kerjasama bagi hasil memelihara ternak dengan cara maro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50% dari anak ternaknya atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak diserahkan kepada pemeliharannya). Bagi hasil tanah pertanian antara pemilik tanah dan penggarap sudah diatur sedemikian rupa oleh hukum Islam dan Undang-Undang di Indonesia. Dalam hukum Islam banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mengenai tentang sistem pertanian. Sistem-sistem tersebut dikenal dengan istilah muzra’ah, mukhabarah, musaqah dan mugharasah. Dalam Undang-Undang di Indonesia juga telah diatur tentang bagi hasil pertanian yang berlaku secara menyeluruh yaitu Undang-Undang no 2 tahun 1960 yang mengatur perjanjian bagi hasil pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian bagi hasil yang adil dengan menegaskan hak dan kewajiban para pihak yang melakukan akad tersebut. Desa Tenggulun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan dengan jumlah pnduduk 2.515 jiwa atau 688 KK yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sistem pertanian yang dipakai oleh masyarakat bermacam-macam sesuai dengan adat dan kondisi
5
penduduk. Namun, tidak semua petani mempunyai tanah pertanian sendiri, bagi petani yang tidak mempunyai tanah pertanian mereka bekerja menegelola tanah petani lainnya yang mempunyai tanah. Salah satu sistem pengelolaan pertanian yang dipakai oleh penduduk Desa Tenggulun adalah sistem garapan sawah parohan atau sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil garapan sawah di Desa Tenggulun ini berbeda dengan sistem bagi hasil di daerah lain pada umumnya. Bagi Hasil tersebut tidak ada ketentuan presentase antara pemilik lahan dengan petani penggarap. pembagian hasil panen sesuai dengan panendapatan panen yang dihasilkan. Ketentuan yang dijelaskan dalam fiqh mu‟amalat, setiap melakukan akad perjanjian dengan pihak lain harus ada perjanjian bagi hasil yang ditentukan di awal ketika melakukan akad. Tetapi perjanjian akad yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun ini tidak sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam fiqh mu‟amalat. Dilihat dari kebiasan masyarakat Desa Tenggulun melakukan bagi hasil dalam sistem pertanian terdapat ketidakadilan, dimana petani penggarap mendapatkan bagian lebih besar daripada pemilik lahan, seperti merugikan pemilik lahan. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan ini menjadi suatu masalah penelitian untuk mengetahui sejauh mana konsep Islam dipraktekkan dalam melakukan kerja sama di bidang pertanian. maka dari itu penulis mengangkat tema skripsi dengan judul,
6
“KESESUAIAN KONSEP ISLAM DALAM PRAKTIK KERJASAMA BAGI HASIL PETANI DESA TENGGULUN KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR”. B. IDENTIFIKASI MASALAH Sebelum melakukan perumusan masalah, sebaiknya penulis melakukan pengidentifikasian masalah terlebih dahulu yang ada sangkut paut dan hubungannya dengan tema yang diangkat tersebut, diantaranya: 1. Sistem pertanian apa yang dipakai oleh masyarakat Desa Tenggulun? 2. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktik bagi hasil pertanian yang ada di Desa Tenggulun tersebut? 3. Apakah praktik bagi hasil pertanian yang ada di Desa Tenggulun sesuai dengan konsep syariah? C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH Istilah kerjasama dalam konsep Islam di bidang pertanian telah mencakup pembahasan yang banyak, diantaranya ada yang disebut muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah. Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak terlalu meluas, maka penulis membatasinya dalam masalah kesesuaian konsep Islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani khususnya yang dilakukan masyarakat Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Yang dimaksud dengan kesesuaian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu kecocokan; keselarasan (tt pendapat, paham, nada, kombinasi, warna,
7
dsb);
6
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsep berarti rancangan
atau buram surat dsb; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret; gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal itu.7 Jadi dapat disimpulkan konsep Islam yaitu gagasan yang dirancang sebaik mungkin sesuai dengan peraturanperaturan Islam dan tidak menyimpang dari peraturan yang sudah ditentukan. Sedangkan pengertian petani menurut UU No.2 tahun 1960 “petani adalah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian”. Dan menurut UU No.19 Tahun 2013 “petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.”
Dari pembatasan masalah tersebut, maka perumusan masalah berfokus pada permaslahan-permasalahan berikut: 1. Bagaimana praktik sistem bagi hasil di Desa Tenggulun? 2. Bagaimana petani Desa Tenggulun menerapkan sistem kerja sama bagi hasil dan kesesuaiannya dengan prinsip fiqh mu‟amalat? D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah: 6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet.I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 831 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet.I, h. 456
8
1. Mengetahui kerjasama bagi hasil yang dipraktikkan di Desa Tenggulun. 2. Menganalisa kerjasama yang dipraktikkan petani dengan menyesuaikan prinsip yang ada dalam fiqih muamalah. Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan ada banyak manfaat bagi kalangan masyarakat, diantaranya: a) Bagi peneliti Dapat memberikan pemahaman kepada penulis sebagai peneliti terhadap permasalahan sistem bagi hasil yang ada di pedesaan, khususnya di Desa Tenggulun kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan Jawa Timur. b) Bagi petani Menambah pengetahuan dan informasi mengenai sistem pertanian yang baik menurut konsep syari‟ah, sehingga dapat mengembangkan sistem pertanian di masyarakat menjadi lebih baik. c) Bagi masyarakat luas Menambah wawasan secara umum mengenai perjanjian kerja sama di bidang pertanian dan sistem bagi hasil pertanian yang baik menurut konsep syari‟ah. d) Bagi pembaca Menambah informasi tentang sektor pertanian, terutama dalam sistem bagi hasil yang baik sesuai konsep syari‟ah dan mengetahui transaksi pertanian yang banyak dipraktekan masyarakat pedesaan, khususnya di daerah Desa Tenggulun.
9
E. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan kegiatan yang meneliti aktifitas ekonomi yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana sistem ekonomi diterapkan dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat tersebut, dalam hal ini biasanya disebut dengan sosiologis ekonomi. 1. Jenis Penelitian Penelitian yang digunakan dalam menulis skripsi ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kat-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.8 Metode kualitatif biasanya data-datanya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif, yaitu salah satu jeni penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai hukum dan setting sosial atau hubungan antara fenomena yang diuji. 2. Sumber data Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden, melalui masyarakat yang dijadikan objek penelitian yang berkaitan dengan materi skripsi ini.
8
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan, cet.VI, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2011), h.166
10
b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan-laporan atau data yang didapat dari responden serta diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, surat kabar, internet dan kepustakaan lain yang berkaitan dengan skripsi. 3. Subjek dan Objek Penelitian Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan akad kerjasama pertanian, seperti pihak yang memiliki lahan, pihak penggarap, dan para pihak lainnya yang terkait, seperti tokoh agama setempat, jajaran penerintahan pertanian setempat dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah praktek kerjasama (Bagi Hasil) khususnya dalam sektor pertanian antara pemilik laan dan petani penggarap yang ada di Desa Tenggulun. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan kualitas data yang valid, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Observasi, yaitu penulis melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. b. Studi dokumentasi, yaitu dengan membaca dan menganalisis dari bukubuku, dokumen-dokumen, jurnal-jurnal yang relevan berkaitan dengan permasalahan.
11
c. Wawancara, yaitu penulis melakukan tanya jawab langsung terhadap pihak yang terkait untuk mendapat data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 5. Pengolahan dan Analisa Data Dalam menyusun karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa langkah dan tahapan untuk menyajikan data yang diperoleh. Tahapan-tahapan tersebut diantaraya: a. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam hal ini berupa data-data mentah dari hasil penelitian, seperti: hasil wawancara, dokumentasi, catatan lapangan dan sebagainya. b. Reduksi Data Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan, wawancara, catatn lapangan, serta bahan-bahan data lain yang ditemukan dilapangan dikumpulkan dan diklasifikasikan dengan membuat catatan-catatan ringkasan, mengkode untuk menyesuaikan menurut hasil penelitian. c. Penyajian Data (Display Data) Data yang sudah dikelompokkan dan sudah disesuaikan dengan kodekodenya, kemudian disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif agar mudah dipahami secara keseluruhan dan juga dapat menarik kesimpulan untuk melakukan penganalisisan dan penelitian selanjutnya.
12
d. Kesimpulan Verifikasi Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali dengan mencocokkan pada reduksi dan display data, agar kesimpulan yang telah dikaji dapat disepakati untuk ditulis sebagai laporan yang memiliki tingkat kepercayaan yang benar. 6. Teknik Penulisan Dalam teknik dan pedoman yang digunakan oleh penulis disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi 2012” yang diterbitkan oleh Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk memberikan gambaran sederhana agar memudahkan dalam penulisan skripsi maka disusun sistematika penulisan yang terdiri dari: BAB I: PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, tujuan pustaka, metode penelitian dan teknik penelitian, teknik penulisan, serta sistematika penulisan. BAB II: KERANGKA TEORI Bab ini berisi tinjauan pustaka yang berkaitan dengan teori dalam pembahasan skripsi, diantaranya: gharar, „urf, konsep Islam dalam sistem kerjasama bagi hasil yang menjabarkan tentang sistem bagi hasil kerjasama dalam pertanian, pengertian dan dasar hukum sistem bagi hasil kerjasama dalam pertanian menurut
13
Islam, bentuk-bentuk kerjasama dalam petanian, rukun dan syarat kerjasama dalam pertanian, sifat akad kerjasama dalam pertanian, ketentuan-ketentuan kerjasama dalam pertanian, akibat atau hikmah kerjasama dalam pertanian, dan berakhirnya kerjasama dalam pertanian. BAB III: GAMBARAN UMUM WILAYAH Bab ini berisi tentang gambaran umum kabupaten Lamongan, gambaran umum Desa Tenggulun yang meliputi kondisi geografis dan sosial masyarakat, kondisi sosial masyarakat Desa Tenggulun, sistem bagi hasil pertanian masyarakat Desa Tenggulun. BAB IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini berisi tentang analisa kesesuaian konsep Islam dalam praktik Kerjasama bagi hasil petani Desa Tenggulun. BAB V: PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan bab-bab sebelumnya serta saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa Tenggulun dalam sektor pertanian.
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Teori Umum 1. Taghrir a. Pengertian Taghrir Taghrir berasal dari Bahasa Arab gharar, yang berarti: risiko, bahaya.1 Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan oyek akad, sedangkan pihak lain tertutup dari informasi tersebut, atau keadaan dimana subyek akad sulit dikontrol (dikuasai) oleh pihak berakad, namun keadaan tidak jelas dan tertutupi itu juga dapat terjadi pada kedua belah pihak yang berakad. 2 Dalam istilah fiqih mu‟amalah, taghrir berarti melakaukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahian yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan pesis apa akibatnya, atau memasuki kancah risiko tanpa memikirkan konsekuensinya. 3 Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Al-Kasani al-Hanafi berpendapat gahrar adalah bahaya yang dipastikan akan muncul bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak. 4 Menurut ar-Ramli as-Syafi‟i gaharar yaitu suatu
1
Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.1347 2 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam (Jakarta: Migunani, 2008), h. 285 3 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid IV, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), h.161 4 Al-Kasani al-Hanafi, “ al-Badai‟ ash-Shana‟i”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
14
15
urusan yang mengandung dua hal yang paling dominan adalah terjadinya suatu yang ditakuti.5 Ibnu Arafah al-Maliki juga berpendapat bahwa sesuatu diragukan secara seimbang tentang keberhasilan mendapat salah satu penukar atau tentang keberhasilan mendapat manfaatnya disebut dengan gharar.6 Definisi gharar menurut al-Maziri al-Maliki adalah sesuatu yang berkisar antara selamat dan rusak.7 Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Hanbali gharar yaitu sesuatu yang tertutup informasinya dan tidak jelas realitasnya. 8 Oleh karena gharar suatu ketidakjelasan yang berlebihan, maka kita dapat mengategorikan gharar sebagai sbuah elemen dari resiko. Gharar juga dapat disebut sebagai salah satu cara untuk memanage risiko dalam Islam, seperti dalam pelaksanaan bisnis untuk akad yang berbasis profit and-loss sharing dimana kedua pihak akan berhati-hati dalam melaksanakan usaha, selanjutnya operasional bisnis akan semakin responsible (dapat dipertanggungjawabkan) dan accountable (dapat percayai). b. Hukum-hukum Gharar Berdasarkan hukumnya, gharar dibagi menjadi tiga yaitu:9 Gharar yang diharamkan secara ijma‟ ulama, yaitu gharar yang menyolok atau kuantitasnya banyak (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan
5
Ar-Ramli, “Nihayah al-Muhtaj”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287 6 Mawahib al-Jalil, “Syarh Muhtashar Khalail”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287 7 Ad-Dusuqi, “Hasyiyah ad-Dusuqi „ala as-Syarh al-Kabir”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287 8 Ibnu Qayyim, “Zad al-Ma‟ad”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 288 9 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 289
16
dan tidak perlu dilakukan. Inilah jenis gharar yang dilarang dan diharamkan. Adapun dalil yang melarang jual beli gharar yaitu:
عَهِ أَِبٍِ ٌُزََِزَةَ أَنَّ َرسُىِلَ اللًّٔ صلًَّ اللًّ عَلًَُِٔ َوسََّلمٓ وَهًَ عَهِ بَ ُِعِ الْ حَصاَةٔ وَعَهِ بَُِعِ اْلغَزَرِ (رواي )اجلماعت إالالبخارٌ عه أيب ٌزَزة “Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad S.A.W melarang dari melakukan bai‟ al-Hashat dan jual beli gharar” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)”10 Ghrarar yang diharamkan secara ijma‟ ulama, yaitu gharar yang mneyolok (al-gharar al-Katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Cotoh jual beli mulamasah.11 Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini. Gharar yang dibolehkan secara ijma‟ ulama, yaitu gharar ringan atau jumlahnya sedikit (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh unutuk membatalkan akad. Contoh seseorang membeli rumah dengan tanahnya, maka keadaan pondasi rumah tidak jelas seperti ukuran dalam, lebar, dan isinya. Gharar yang kuantitasnya sedang-sedang saja,
hukumnya
masih
diperdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan. Cotoh menjual barang sebelum diterima.
10
Muhammad al-Shan‟ani, “Subul al-Salam”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 288 11 Bai‟ Mulamasah yaitu satu bentuk akad jualbeli, dimana barang yang dipegang oleh pihak pembeli itulah yang menjadi barang yang dijual.
17
Ibnu Qayyim berkata: “jika gharar hanya sedikit atau tidak mungkin dihindari, ia tidak akan menjadi penghalang dari keabsahan akad. Berbeda dengan gharar yang banyak dan mungkin dihindari, yaitu macam-macam gharar terlarang yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW.” 12 Ibnu Taimiyah berkata:”bahaya gharar lebih kecil daripada riba, maka sebagiannya diberi keringanan hukum karena adanya sulit dihindarkan dan perlu diberi keringanan, karena jika ia juga diharamkan maka keadaan mu‟amalat manusia akan lebih sulit lagi dari pada akibat terjadinya gharar itu sendiri.” 13 c. Macam-macam Gharar Gharar terbagi menjadi tiga, yaitu: 14 1) Barang yang belum ada (al-ma‟dum) Gharar al-ma‟dun dibagi oleh Ibnu Qayyim menjadi tiga, yaitu: a) Diyakini akan ada. Disepakati oleh ulama tentang kebolehan jual belinya. b) Diragukan akan ada (masih belum bisa dipastikan akan ada). Para uama berbeda pendapat tentang kebolehan jual belinya. Seperti mentimun ketika buahnya mulai layak dikonsumsi, maka ada ulama yang membolehkannya dan ada pula yang melarangnya tergantung dari pendapat mereka tentang jaminan kesamaan mutu barang dan jumlahnya.
12
Ibnu Qayyim, “Zad al-Ma‟ad”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 2890 13 Ibnu Taimiyah, “al-Qawaid an-Nuriyah”, dalam Muhammad Shalah Muhammad AshShawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 290 14 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 290
18
c) Diragukan akan ada secara dominan (tidak bisa dipastikan ada, lebih dekat pada gambling) 2) Barang yang sulit diserahkan (al ma‟juz „an taslimihi) Diantara jenis barang yang sulit diserahkan, ada pelarangannya yang disepakati ulama dan ada yang diperdebatkan. Di antara contoh gharar jenis ini yang diperdebatkan adalah menjual suatu barang sebelum diterima atau masuk dalam penguasaan (bai‟ qabl al-qabdh). 3) Jual beli barang yang tidak jelas (al-majhul) Jual beli barang yang tidak jelas adalah salah satu jenis jual beli gharar. Ketidakjelasan barang terdiri dari empat macam, yaitu: a) Ketidakjelasan mutlak, tanpa memberi tahu jenis, kadar, macam, dan suatu sifat yang ada dalam barang tersebut. b) Ketidakjelasan jenis atau kadar barang. c) Ketidakjelasan sifat, meskipun jenis dan kadarnya diketahui. d) Ketidakjelasan „ain barang. Misalnya menjual suatu barang yang dimiliki secara bersama, lalu penjual ingin menjual bagiannya. 2. ‘Urf „urf disebut pula dengan al-„adah, artinya kebiasaan. Hanya saja, di dalam „urf ada yang berpendapat tidak ada kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash Al-Quran dan hadis yang sahih, sedangkan dalam adat ada kebiasaan yang sahih
19
dan ada pula yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat Islam yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Menurut Rachmat Syafi‟i dalam hukum Islam, adat disebut juga dengan istilah „urf yang secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkanya. Setiap adat atau „urf akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya, sehingga „urf tidak berlaku universal, bukan hanya lokal, bahkan „urf sifatnya persial. Berlaku di desa tertentu, tetapi bertentangan dengan desa lainnya. 15 Dalam hukum Islam, adat itu dibagi dua, yaitu:16 a. Adat shahihah, yaitu adat yang merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak bertentangan dengan akal sehat, juga tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan apabila dilaksanakan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat b. Adat fasidah, yakni adat yang rusak, sebagaimana adat kebiasaan yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari AlQuran dan As-Sunnah, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan undang-undang yang berlaku. Sehingga berijtihad dapat dilakukan dengan metode „urf atau adat, terutama apabila adat yang berlaku secara normatif tidak bertentangan dengan syariat yang telah berlaku. 15 16
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 190 Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, h. 191
20
3. Sistem Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Perjanjian bagi hasil dalam kontek masyarakat Indonesia sudah dikenal, yakni di dalam hukum Adat. Akan tetapi bagi hasil yang dikenal dalam hukum Adat adalah bagi hasil yang menyangkut pengelolaan tanah pertanian. Bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu. Konsep perjanjian bagi hasil pengelolaan tanah pertanian telah diadopsi ke dalam hukum positif dengan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam ketentuan pasal 1 mengemukakan bahwa: “perjanjian bagi hasil ialah perjanjian` dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain – yang dalam Undang-Undang ini disebut “penggarap” – berdasarkan perjanjian
mana
penggarap
diperkenankan
oleh
pemilik
tersebut
untuk
menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak”.
Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah dengan upah, berupa sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengelolaan tanah itu. B. Kerjasama Pertanian dalam Konteks Islam 1. Istilah Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Menurut Konsep Islam Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat); sesuatu yang dilakukan untuk mencari
21
nafkah; mata pencaharian. Sedangkan Kerja Sama yaitu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah dsb) untuk mencapai tujuan bersama.17 Kerjasama dalam usaha pertanian ada berbagai macam istilah, diantaranya yaitu muzara‟ah, mukhabarah, dan musaqah. Dalam fikih terdapat dua akad yang berhubungan dengan kerja sama pengelolaaan tanah; 1) akad yang berkaitan dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan 2) akad yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman. Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan dari segi pihak penyedia benih: 1) akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara‟ah.; dan 2) akad pengelolaan tanah yang benihnya hanya berasal dari penggarap tanah disebut mukhabarah. Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan penyiraman) tanaman disebut musaqah. a. Musaqah Musaqah adalah kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut. 18 Secara etimologi musaqah berarti perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang menggarapnya dengan ketetapan hasil itu menjadi milik bersama (pemilik pohon dan penggarap). Sedangakan menurut terminologi, para ulama ahli fiqih mendefinisikan musaqah yang beragam, di antaranya:
17
Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 681 18 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003), h.243.
22
1) Abdurrahman al-Jaziri, mendefinisikan musaqah dengan “akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.” 19 2) Ulama golongan Malikiyah, mendefinisikan musaqah dengan “sesuatu yang tumbuh di tanah”. 20 3) Ulama
golongan
Syafi‟iyah,
mendefinisikan
musaqah
dengan
“mempekerjakan petani penggarap unutk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap.” 21 4) Menurut ulama Hanabilah, bahwa musaqah itu mencakup dua masalah: a) Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya. b) Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya.22
19
Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah”, dalam Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010), h.109. 20 Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah”, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.145 21 Asy-Syarbaini al-Khatib , “Mugn i al-Muhtaj”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h.282 22 Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah”, dalam Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h.147
23
Menurut Abu Hanifah dan Zufar Ibn Huzail, bahwa akad musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.23 Sedangkan jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asSyaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi berpendirian bahwa akad musaqah dibolehkan, karena didasarkan atas ijma‟ sudah merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi keperluan hidup mereka dengan syarat-syarat tertentu, dan juga karena kebutuhan manusia untuk bekerja dan memperkerjakan. 24 b. Mukabarah dan muzara‟ah Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari penggarap tanah. 25 Imam Syafi‟i mendefinisikan mukhabarah dengan:
َِعمَلُ األَرِضِ بَِبعِطِ مَا َخِزُجُ مٔىِهَا وَالَْبذْرُ مٔهَ اْلعَامٔل
23
Imam Al-Kasani, “al-Bada‟i‟u as-Shana‟i‟u”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,
24
Asy-Syarbaini al-Khatib, “Mugni al-Muhtaj”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,
h.282 h.282 -283 25
Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, cet.II, h.117.
24
“pengolahan lahan oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan pengolah lahan”.26 Penduduk Irak biasa menyebut muzara‟ah dengan sebutan mukhabarah, jadi menurut mayoritas ulama keduanya memiliki pengertian yang sama. Akan tetapi ada yang berpendapat lain yakni menurut al-Rafi‟i dan al-Nawawi, bahwa muzara‟ah dan mukhabarah mempunyai makna yang berbeda. Muzara‟ah dan mukhabarah mempunyai arti yang sama, yang menjadi pembeda hanyalah sebatas masalah asal bibit pertanian, dimana pada muzara‟ah bibit berasal dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah bibit berasal dari pengelola lahan (petani).27 Dalam pengertian istilah, muzara‟ah diartikan sebagai suatu cara untuk menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi diantara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan „urf (adat kebiasaan). Ulama Malikiyah menjelaskan muzara‟ah adalah persyarikatan atau perkongsian dalam bidang pertanian, sedangkan ulama Hanabilah menjelaskan bahwa muzara‟ah adalah penyerahan lahan pertanian kepada penggarap untuk diolah/dikelola dan hasilmya dibagi dua (antara pemilik lahan dan penggarap). 28
26
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h.272 27 Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah: 2011), h.134. 28 Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h.166
25
Hanafiah memberikan defiinisi muzara‟ah yaitu suatu ibarat tentang akad kerja sama penggarapan tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syaratsyarat yang ditetapkan oleh syara‟. Syafi‟iyah mendefinisikan muzara‟ah yaitu pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.29 Sedangkan Hanabilah mengartikan muzara‟ah adalah penyerahan tanah pertanian kepaa seseorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan).30 Pada umumnya, kerja sama mukhabarah dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung, dan kacang. Namun, tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah dilakukan kerja sama muzara‟ah. 2. Dasar Hukum Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Dasar Hukum mengenai diperbolehkannya perjanjian bagi hasil terdapat dalam al-Quran dan Hadis. Mengenai kebolehan dalam mengadakan kerja sama bagi hasil terdapat dalam
Hadits yang diriwaytkan oleh Muslim, yang
berbunyi: 31
ِ قَالَ َعمِزُو َفقُلْتُ لًَُ ََا أَبَا عَبِذٔالزَّ ِحمَهِ لَىِ تَزَكْتَ ٌَذٔئ اْملُخَابَزَةَ فَئَِّو ُهم,ُعَهِ َطاَ ُوصٍ أَوًُّ كَانَ َُخَا بِز ِ أَخِبَزَوًِ أَعِلَمُهُم: َشِ ُعمُىِنَ أَنَّ الىَّبًَِّ صَلًَّ اهللُ عَلًَُِٔ َوسََّلمَ وَهًَ عَهِ اْلمُخَابَزَةٔ َفقَالَ أَيِ َعمِزُو 29
Syamsudin Muhammad ibn al-Khatib al-Syarbini, “Mughni Al-Muhtaj ila Ma‟rifah Ma‟ani Alfazh al-Minhaj”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.134. 30 Ibnu Qudamah, “Al-Qudamah”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.134. 31 Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir, Mukhtashar Shahih Muslim, cet.I, (Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012), h.479.
26
ْبِذلٔكَ َعِىًِ أبِهَ عَبَّاصٍ أَنَّ الىَّبًَِّ صَلًَّ اهللُ عَلًَُِٔ َوسَلَّم َلمِ َىًَِ عَىِهَا إَِّومَا قَالَ َمِىَحُ اَ َحذُكُمِ أَخَايُ خَُِز ])٨٤١ - ٨٤١/٨١( ٌُِّ وَالىَّبَى,)٨٤٥١ ( ْلًَُ مٔهِ أَنْ َأْ ُخذَ عَلَُِهَا خَزِجّا َمعِلُ ِىمّا [ أَخِزَجًَُ مُسِٔلم “Dari Thawus r.a bahwa ia suka mukhabarah. Amru berkata: Lalu aku katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi S.A.W telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu , yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi S.A.W tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepdaa saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (H.R Muslim 1548. AnNawawi 10/156-158). Dalam hukum positif, bagi hasil khususnya dalam masalah pertanian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dalam penjelasan umum poin ketiga Undang-Undang ini menyebutkan bahwa: “dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktik-praktik yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan diatas, maka dalam bidang Agraria diadakanlah Undang-Undang ini. Yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud: a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil. b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban dari para pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak
banyak,
sedangkan
jumlah
penggarapnya adalah sangat besar.
orang
yang
ingin
menjadi
27
c. Dengan terciptanya kondisi a dan b, maka akan menambah kegembiraan para petani. “ Imam Abu Hanifah, Zufar bin Huzail (dari golongan Hanafiyyah), dan Imam Syafi‟i tidak memperbolehkan akad muzara‟ah. Menurutnya, akad muzara‟ah dengan bagi hasil seperti seperempat, seperdua, atau sepertiga hukumnya batal. Akan tetapi, sebagian dari ulama golongan Syafi‟iyah membolehkan akad muzara‟ah, dengan syarat bahwa akad harus mengikuti akad musaqah, dan dengan alasan karena kebutuhan. 32 Mereka menggunakan dalil dengan hadits Nabi S.A.W, dari Tsabit bin adh-Dhahak: 33
ٔ دَخَلْىَا عَلًَ عَبِذٔاهللِ بِهِ َم ِعقٔلٍ فَسِأَلْىَايُ عَهِ اْملُشَارَعَت:َظٍَ اهللُ عَىًُِ قَال ٔ َعَِبذُاهللِ بِهِ السَّائٔبِ ر ,ٔ وََأمَزَ بِالْمُؤَاجَزَة,ٔ سَ َعمَ ثَابِتْ أَنَّ رَسُىِلَ اهللِ صَلًَّ اهلل عَلًَُِٔ َوسََّلمَ وَهًَ عَهِ اْلمُشَا رَعَت:ََفقَال ])۱٤١/۱١( ٌُِّ وَالىَّىَو,)٨٤٥١( ْ [أَخِزَجًَُ مُسِٔلم. الَ بَأْ صَ بِهَا:َوَقَال “Diriwayatkan dari Abdullah bin saib R.A, dia berkata, kami menemui Abdullah bin „Aql dan menanyainnya tentang muzara‟ah. Dia berkata, Tsabit berkata bahwasanya Rasulullah S.A.W melarang muzara‟ah (bagi hasil) dan memerintahkan untuk muajarah (sewa-menyewa) dan mengatakan hal itu tidak ada salahnya.” (HR.Muslim 1549, An-Nawawi 10/158) Dalil yang dijadikan alasan oleh Abu Hanifah, Zufar, dan ulama Syafi‟iyah adalah Hadits yang telah dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang praktik mukhabarah (muzara‟ah). Menurutnya, objek akad muzara‟ah dan mukhabarah belum ada dan tidak jelas ukurannya, karena yang 32
Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Ahmad Wardi Muslim, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2012), h.392 33 Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir, Mukhtashar Shahih Muslim, cet.I, h.478.
28
dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada (alma‟dum) dan tidak jelas ukurannya (al-jahalah), sehingga keuntungan yang akan dibagi sejak semula itu tidak jelas. Ulama Malikiyah, Hanabilah, Imam Abu Yusuf serta Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, dan ulama Zahiriah berpendpapat bahwa muzara‟ah hukumnya boleh, karena objek akadnya cukup jelas, yakni menjadikan penggarap sebagai syarik dalam pengolahan lahan pertanian. 34 Menurut ulama yang membolehkan muzara‟ah yaitu Ulama Malikiyah, Hanabilah, Imam Abu Yusuf, Ibn Hasan al-Syaibani, dan ulama Zahiriah, akad muzara‟ah bertujuan untuk saling membantu antara penggarap dengan pemilik lahan (pemilik lahan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengelola lahannya secara langsung, dan penggarap tidak mampu untuk memiliki lahan pertanian sendiri), wajarlah apabila akad muzara‟ah dipraktikkan karena termasuk saling membantu dalam kebaikan dan takwa.35 3. Rukun dan Syarat Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Islam Kerja Sama bagi hasil dilaksanakan dengan didahului sebuah perjanjian, sehingga harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Menurut jumhur ulama ada empat rukun yang harus dipenuhi, agar akad tersebut menjadi sah: a. Pemilik lahan atau tanah b. Petani/penggarap c. Obyek (antara manfaat lahan dan hasil kerja petani) 34
Wahbah Zuhaily, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, h.168 35 Wahbah Zuhaily, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, h.168
29
d. Ijab dan qabul, secara sederhana cukup secara lisan Rukun dalam akad bagi hasil pertanian menurut Hanafiyah adalah ijab dan qabul, yaitu berupa pernyataan pemilik tanah, “saya serahkan tanah ini kepada Anda untuk digarap dengan imbalan separuh dari asilnya”; dan pernyataan penggarap “saya terima atau saya setuju”.36 Menurut Ulama Hanabilah, dalam akad ini tidak diperlukan qabul berupa lisan atau perkataan, namun cukup dengan tindakan langsung atas tanah dari si penggarap. Dengan demikian qabulnya dengan perbuatan (bil fi‟li).37 Adapun syarat-syaratnya yaitu:38 a. Pihak yang berakad harus berakal dan baligh. Sebagian Ulama Hanafiyah, selain syarat tersebut mensyaratkan pula bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik tanah) bukanlah orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap mauquf, yakni tidak mempunyai efek hukum hingga ia masuk Islam kembali. Akan tetapi Jumhur Ulama membolehkan akad ini dilakukan antara muslim dan non muslim termasuk didalamnya orang murtad. b. Benih yang ditanam harus jelas jenis buah dan/tanaman yang akan ditanam dan dapat menghasilkan. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad syarat yang berlaku untuk tanaman adalah harus jelas
36
„Alauddin Al-Kasani, “Bada‟ Ash-Shana‟i fi Tartib Asy-Syara‟i Juz 5”, dalam Ahmad Wardi Muslim, Fiqh Muamalat, h.395 37 Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Ahmad Wardi Muslim, Fiqh Muamalat, h.396 38 „Alauddin Al-Kasani, “Bada‟ Ash-Shana‟i fi Tartib Asy-Syara‟i Juz 5”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Cet.I, h.136-137
30
(diketahui). Dalam hal ini harus dijelaskan apa yang akan ditanam. Namun dilihat dari ishtisan, menjelaskan sesuatu yang akan ditanam tidak menjadi syarat karena apa yang akan ditanam diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. c. Pembagian hasil panen pada masing-masing pihak harus jelas dan ditentukan di awal akad, harus benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa ada pengkhususan, tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak antara kedua belah pihak, dan ditentukan pada setengah, sepertiga, atau seperempat yang ditentukan pada awal terjadinya akad. d. Tanah yang diolah jelas sifatnya, sifat tanahnya harus baik untuk diolah dan dapat menghasilkan, dan diserahkan sepenuhnya kepada pihak pengelola untuk diolah. e. Objek akad harus jelas, baik berupa pemanfaatan jasa pengelola dimana benih berasal dari pihak pengelola maupun pemanfaatan tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah. f. Jangka waktu pengelolaan harus jelas, dan penentunnya terjadi pada akad dilaksanakan. Apabila rukun dan syarat perjanjian bagi hasil telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut akan mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik, perjanjian yang dibuat secara sah mengkikat sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang melakukan akad.
31
4. Para Pihak dalam Perjanjian Bagi Hasil Dalam perjanjian bagi hasil terdapat para pihak antara satu dengan yang lain mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Dalam hal yang menjadi obyek perjanjiannya adalah bagi hasil atas tanah pertanian, maka terdapat dua pihak dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak adalah sebagai berikut: a. Pihak Pemilik Lahan Pertanian adalah pihak yang memiliki lahan pertanian, yang karena satu dan lain hal tidak cukup waktu untuk menggarap
tanah
pertaniannya.
Padahal
terdapat
larangan
menelantarkan tanah, sebagaimana yang dijelaskan dalam Islam dan disebutkan dalam UUPA 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. Oleh karena itu, tanah harus dimanfaatkan secara produktif. Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka pemilik lahan mempunyai kewajiban untuk memberikan bagi hasil atas tanah pertanian kepada penggarap yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Pemilik lahan sendiri berhak untuk meminta penggarap mengolah tanah pertaniannya dengan sebaik-baiknya, meminta bagian hasil sebesar nisbah yang telah disepakati, serta mendapatkan tanahnya kembali setelah habis masa berlaku dari perjanjian bagi hasil tersebut. b. Pihak penggarap adalah pihak yang mempunyai cukup waktu luang dan mempunyai keahlian dalam bertani, namun tidak mempunyai lahan pertanian. Oleh karena itu, pihak penggarap kemudian akan
32
menjalin
dengan
pemilik
lahan
pertanian
dengan
tujuan
mendapatkan pembagian hasil dari usahanya menggarap tanah pertanian. Berdasarkan pada kondisi tersebut, pihak penggarap mempunyai kewajiban melaksanakan pengolahan tanah pertanian dengan sebaik-baiknya, serta wajib mengembalikan tanah pertanian setelah habis masa berlakunya perjanjian bagi hasil. Pihak penggarap berhak atas kontraprestasi berupa bagian atas hasil yang diperoleh dari lahan pertanian yang menjadi garapannya. 5. Sifat Kerjasama dalam Pertanian Sifat akad ini menurut Hanafiah, sama dengan akad syirkah yang lain, yaitu termasuk ghair lazim (tidak mengikat). 39 Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanam bibit, maka akad menjadi lazim.40 Akan tetapi, menurut pendapat yang mu‟tamad dikalangan Malikiyah, semua syirkah amwal hukumnya lazim dengan terjadinya ijab dan qobul. Sedangkan menurut Hanabilah, akad ini merupakan akad ghair lazim, yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak, dan batal karena meninggalnya salah satu pihak. 41
39
Ghair lazim yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh satu pihak yang berakad sama tanpa harus ada kerelaan pihak lain. 40 Lazim yaitu akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah seorang yang berakad tanpa kerelaan pihak lain 41 Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.137-138
33
6. Hikmah Kerjasama dalam Pertanian a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak pemilik tanah dengan pihak pengelolah tanah b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat c. Tertanggulanginya kemiskinan d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan. 7. Berakhirnya Kerjasama dalam Pertanian a. Apabila jangka waktu yang disepakati pada waktu akad sudah berakhir. Namun, bila jangka waktunya sudah habis, sedangkan belum layak panen, maka akad ini tidak batal melainkan tetap dilanjutkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. b. Meninggalnya salah satu pihak yang berakad. Menurut Ulama Hanafiyah dan Hanabilah bila salah satu dari pihak tadi wafat maka akad ini dianggap batal, baik sebelum atau sesudah dimulainya proses
penanaman.
Namum
Malikiyah
dan
Syafi‟iyah
memandangya tidak batal. 42 c. Berakhir sebelum tujuannya dicapai dengan adanya berbagai uzur, seperti: pemilik tanah terlibat hutang sehingga tanah tersebut harus dijual, pengelola uzur dikarenakan sakit atau sedang bepergian jauh
42
Wahbah Zuhaily, “al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.141-144
34
yang menyebabkan dia tidak dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pengelola. 8. Ketentuan-ketentuan Kerjasama dalam Pertanian 43 a.
Yang dilarang 1) Suatu bentuk akad (perjanjian) yang menetapkan sejumlah hasil tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang menentukan bahwa apapun hasilnya yang diperoleh, pemilik tanah tetap akan menerima lima atau sepuluh maund dari hasil panen. 2) Apabila hanya bagian-bagian tertentu dari lahan itu yang berproduksi, misalnya bagian utara atau bagian selatan dan lain sebagainya, maka bagian-bagian tersebut diperuntukkan bagi pemilik tanah. 3) Apabila hasil itu berada dibagian tertentu, misalnya disekitar aliran sungai atau didaerah yang mendapat cahaya matahari, maka hasil daerah tanah tersebut disimpan untuk pemilik tanah, semua bentuk-bentuk pengolahan semacam ini dianggap terlarang karena bagian untuk satu pihak telah ditentukan sementara bagian pihak lain masih diragukan, atau pembagian untuk keduanya tergantung pada nasib baik atau buruk sehingga ada satu pihak yang merugi.
43
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam II (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 286-289
35
4) Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah tersebut tetap akan menjadi miliknya jika sepanjang pemilik tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan kepimilikannya manakala pemilik tanah menghendakinya. Karena hal ini mengandung unsur ketidakadilan bagi para petani atau akan membahagiakan hak-hak mereka dengan adanya penarikan tanah yang telah menjadi milik mereka bisa menimbulkan kesengsaraan dan kemelaratan. Oleh karena itu syarat yang penting untuk keabsahan akad ini yaitu dengan menentukan jangka waktu persetujuan. 5) Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah tapi satu pihak menyediakan bibit dan yang lainnya alat-alat pertanian. 6) Apabila tanah menjadi tanah milik pertama, benih dibebankan kepada pihak kedua, alat-alat pertanian kepada pihak ketiga dan tenaga kerja kepada pihak keempat; atau dalam hal ini tenaga kerja dan alat-alat pertanian termasuk bagian dari pihak ketiga. 7) Perjanjian pengolahan menetapkan tenaga kerja dan tanah menjadi tanggung jawab pihak pertama dan benih serta alat-alat pertanian pada pihak lainnya.
36
8) Bagian seseorang harus ditetapkan dengan jumlah, misalnya sepuluh atau dua puluh maunds gandum untuk satu pihak dan sisanya untuk pihak lain. 9) Ditentukan jumlah tertentu dari hasil panen yang harus dibayarkan kepada satu pihak selain dari bagiannya dari hasil tersebut. 10) Adanya hasil panen lain (selain dari pada yang ditanam di ladang atau di kebun) harus dibayar oleh satu pihak sebagai tambahan kepada hasil pengeluaran tanah. b. Yang dibolehkan 1) Perjanjian kerja sama dalam pengolahan dimana tanah milik satu pihak, peralatan pertanian, benih dan tenaga kerja dari pihak lain, keduanya menyetujui bahwa pemilik tanah akan memperoleh bagian tertentu dari hasil. 2) Apabila tanah, peralatan pertanian dan benih, semuanya dibebankan kepada pemilik tanah, sedangkan hanya buruh yang dibebankan kepada petani maka harus ditetapkan pemilik tanah mendapat bagian tertentu dari hasil. 3) Perjanjian dimana tanah dan benih dari pemilik tanah sedangkan peralatan pertanian dan buruh adalah dari petani dan pembagian dari hasil tersebut harus ditetapkan secara proporsional.
37
4) Apabila keduanya sepakat atas tanah, perlengkapan pertanian, benih dan buruh secara menetapkan bagian masing-masing yang akan diperoleh dari hasil. 5) Imam Abu Yusuf menggambarkan bentuk akad ini yang diperbolehkan bahwa:44 jika tanah diberikan secara cuma-cuma kepada
seseorang
untuk
digarap,
semua
pembiayaan
pengolahan ditanggung oleh petani dan semua hasil menjadi miliknya tapi kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah. Dan jika tanah tersebut adalah „ushr , akan dibayar oleh petani. 45 6) Apabila tanah berasal dari salah satu pihak dan kedua belah pihak bersama menanggung benih, buruh dan pembiayaanpembiayaan pengolahannya, dalam hal ini keduanya akan mendapat bagian dari hasil. Jika hal itu merupakan „ushr, „ushr yang harus dibayar berasal dari hasil dan jika tanah itu adalah kharaj, kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah. 7) Apabila tanah disewakan kepada seseorang dan itu adalah kharaj, maka menurut Imam Abu Hanifah, kharaj akan dibayar oleh pemilik tanah dan jika tanah itu adalah „ushr, „ushr juga akan dibayar olehnya, tapi menurut Imam Abu Yusuf, jika tanah itu „ushr, „ushr akan dibayar oleh petani.
44
II, h. 288
45
Imam Abu Yusuf, “Kitabul-Kharaj”, dalam Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam
Kharaj yaitu pungutan yang dikenakan atas bumi atau hasil bumi. Sedangkan „ushr zakat yang dikenakan pada hasil bumi yang dikenal dengan zakat zuru‟
38
8) Apabila perjanjian bagi hasil ditetapkan dengan sepertiga atau seperempat dari hasil, maka menurut Imam Abu Hanifah, keduanya, kharaj dan „ushri akan dibayar oleh pemilik tanah. Kerangka konsep: konsep kerjasama bagi hasil dalam islam praktek kerjasama bagi hasil petani di Desa Tenggulun Uji penelitian Kesimpulam kesesuaian konsep Islam dalam praktek kerjasama bagi hasil petani
39
C. REVIEW STUDI TERDAHULU Sebelum melakukan penulisan hasil penelitian ini lebih lanjut, penulis meninjau terlebih dahulu skripsi penelitian dan jurnal terdahulu, diantaranya adalah: Nama, Tahun, &
Pembahasan & Jenis
Judul
Penelitian
Perbedaan
Idawati
pada Penelitian tersebut telah Perbedaan dari kedua karya
tahun
2011 membahas
dengan
judul dalam
masalah
sistem kerjasama pertanian pertanian antara dengan
dan petani pada data
adalah
objek
sektor penelitiannya, dimana Idawati
yang
sesuai meneliti hubungan kerjasama
konsep
Islam. yang dilakukan oleh pemilik
lahan Dalam hasil penelitian ini lahan
pemilik
desa
perjanjian ini
yang
dan
petani
dalam
didapatkan pandangan Islam, sedangkan
sendaur sudah cukup bagus, dan penelitian
yang
dilakukan
dalam perspektif konsep kerjasama yang oleh penulis lebih kepada Ekonomi Islam
sesuai
dengan
syariah praktik
yang
terjadi
di
sudah banyak dijelaskan masyarakat menurut adat dan didalamnya. Mulya
pandangan hukum Islam.
Winarsih Penelitian tersebut telah Dalam karya ini menjelaskan
pada tahun 2007 membahas dengan
pengaruh pengaruh praktik kerjasama
judul muzara‟ah
terhadap yang
dilakukan
pengaruh sistem tingkat pendapatan petani pendapatan muzara’ah
desa
kalisapu
terhadap tingkat memakai pendapatan
kuantitatif,
dengan dihasilkan data-data masing
terhadap
yang oleh
pihak.
telah masing-
Sedangkan
kesimpulan dalam karya ilmiah penulis
masyarakat studi dari penelitian tersebut ini meneliti kerja sama yang kasus Kalisapu
Desa bahwa adanya hubungan terjadi di Desa Tenggulun, antara
muzara‟ah apakah sudah sesuai atau
40
Kabupaten Tegal terhadap Jawa Tengah.
tingkatan belum sesuai dengan syariah
pendapatan petani.
Islam yang telah dijelaskan, dengan
menggunakan
pendekatan kualitatif. Dewi Lestari pada Penelitian tahun
2004
dengan
judul
membahas muzara‟ah
Aplikasi
aplikasi muzara‟ah
masyarakat (studi kasus
pada
masyarakat desa
tentang menjelaskan dalam sistem
bagaimana
muzara‟ah
ini
perspektif hukum Islam diterapkan oleh masyarakat
sistem dan
muzara’ah pada
tersebut Dalam karya Dewi Lestari ini
masyarakat.
menerangkan Suka Mulya. Kerj sama yang sistem dilakukan oleh masyarakat pada tersebut tidak disebut dengan muzara‟ah, secara
tetapi
langsung
penulis menyebut
bahwa praktek yang terjadi di masyarakat tersebut adalah
Suka
Mulya
muzara‟ah. Sedangkan dalam
Sukabumi Jawa
karya penulis ini, meneliti
Barat)
praktek
bagi
hasil
yang
terjadi di masyarakat dengan disamakan atau dicocokkan dengan penjelasan yang telah ada dalam Islam.
Dari beberapa karya tulis yang ada di dalam tabel dengan karya penulis ini mempunyai kesamaan membahas tentang berbagai kegiatan kerja sama dalam bidang pertanian, khususnya yang disangkutkan dengan teori dan konsep yang ada serta dijelaskan dalam Islam. Sedangkan yang membedakan antara karya tulis yang ada di tabel dengan karya penulis ini yaitu penulis mengangkat penelitian mengenai hukum yang ada dan setting sosial yang berlaku di masyarakat tersebut.
41
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Sebagian kawasan pesisir berupa perbukitan. Di bagian tengah terdapat dataran rendah dan bergelombang, dan sebagian tanah berawa. Di bagian selatan terdapat pegunungan, yang merupakan ujung timur dari Pegunungan Kendeng. Sungai Bengawan Solo mengalir di bagian utara. Batas wilayah administratif Kabupaten Lamongan adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Kabupaten Lamongan terdiri atas 27 kecamatan yang terdiri atas sejumlah desa dan kelurahan. Secara geografis kabupaten Lamongan terletak pada 651’54” – 723’06” Lintang Selatan dan 11233’45” – 11233’45” Bujur Timur. Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah kurang lebih 1.812,8 km2 atau +3.78% dari luas wilayah Provinsi Jawa Timur. Dengan panjang garis pantai 47 km, maka wilayah perairan laut Kabupaten Lamongan adalah seluas 902,4 km2 apabila dihitung 12 mil dari permukaan laut. Daratan Kabupaten Lamongan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya dibedakan menjadi 3 karakteristik, yaitu:
41
42
1. Bagian Tengah Selatan merupakan daratan rendah yang relatif subur, yang membentangi dari Kecamatan Kedungpring, Babat, Sukodadi, Pucuk, Lamongan, Deket, Tikung, Sugio, Maduran, Sarirejo, dan Kembangbahu. 2. Bagian Selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu-batu dengan kesuburan sedang. Kawasan ini terdiri dari Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro. 3. Bagian Tengah Utara merupakan daerah Bonorowo yang merupakan daerah rawan
banjir.
Kawasan
ini
meliputi
kecamatan
Sekaran,
Laren,
Karanggeneng, Kali Tengah, Turi, Karang Binangun, Glagah. Kondisi topografi Kabupaten Lamongan dapat ditinjau dari ketinggian wilayah di atas permukaan laut dan kelerengan lahan. Kabupaten Lamongan terdiri dari daratan rendah dan bonorowo dengan tingkat ketinggian 0-25 meter seluas 50,17%, sedangkan ketinggian 25-100 meter seluas 45,68%, selebihnya 4,15% berketinggian di atas 100 meter di atas permukaan air laut. Jika dilihat dari tingkat kemiringan tanahnya, wilayah Kabupaten Lamongan merupakan wilayah yang relatif datar, karena hampir 72,5% lahannya adalah datar atau dengan tingkat kemiringan 0-2% yang tersebar di Kecamatan Lamongan, Karanggeneng, Glagah, Karang Binangun, Mantup, Sugio, Kedongpring, Sebagian Bluluk, Modo, dan Sambeng. Sedangkan hanya sebagian kecil dari wilayahnya adalah sangat curam, atau kurang dari 1% (0,16%) yang mempunyai tingkat kemiringan lahan 40% lebih.
43
Kondisi tata guna tanah di Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut: baku sawah (PU) 44.08 Hektar, Baku sawah tidak resmi (Non PU) 8.168,5 Hektar, sawah tadh hujan 25.407,80 Hektar, Tegalan 32.844,33 Hektar, pemukiman 12.418,89 Hektar, Tambak / kolam / waduk 3.497,72 Hektar, kawasan hutan 32.224,00 Hektar, kebun campuran 212,00 Hektar, Rawa 1.340,00 Hektar, Tanah tandus / kritis 889,00 Hektar, dan lain-lain 15.092,51 Hektar. Kabupaten Lamongan mempunyai bermacam-macam masakan khas Lamongan, diantaranya: Soto Lamongan, nasi boranan, rujak cingur, tahu lontong / tahu tek-tek, tahu campur Lamongan, wingko babat, ental, jumbreg, dan empeng. Selain masakan khas Lamongan juga mempunyai minuman khas Lamongan, yaitu: Es dawet ental dan Es batil. Kabupaten Lamongan juga mempunyai berbagai tempat wisata, diantaranya: 1. Wisata Sejarah: Museum Sunan Drajat, Monumen Van der Wijk 2. Wisata Religi: Makam Sunan Drajat, Makam Sunan Sendang Duwur, dan Makam Dewi Sekardadu (Ibu Sunan Giri) 3. Wisata Alam: Waduk Gondang, Wisata Bahari Lamongan, Gua Maharani Zoo, dan pemandian air panas Brumbun. 1
1
Wikipedia, “Kabupaten Lamongan”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lamongan
artikel
diakses
pada 27 Juli
2014 dari
44
B. Gambaran Umum Desa Tenggulun Desa Tenggulun merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Solokuro. Desa Tenguulun ini memiliki luas wilayah sebesar 382 ha/m2 yang terdiri dari: sawah (171 ha/m2), tegalan (174 ha/m2), pekarangan (13,50 Km2), pemukiman (12,4 ha/m2), dan hutan (12 ha/m2).2 1. Batasan Wilayah Dari luas wilayah daerah tersebut ada bagian perbatasan antara satu Desa dengan Desa yang laiinya, adapun Batas-batas wilayah Desa Tenggulun yaitu: Sebelah utara
: Desa Payaman Kecamatan Solokuro
Sebelah selatan
: Desa Taman Prijek Kecamatan Laren
Sebelah barat
: Desa Tebluru Kecamatan Solokuro
Sebelah timur
: Desa Solokuro.
2. Kondisi Geografis wilayah Desa Tenggulun merupakan dataran rendah yang berada pada ketinggian tanah 10 mdl dari permukaan laut. Dengan banyaknya curah hujan rata-rata 1.800 mm dan suhu udara rata-rata 25 0C. Unutuk tanah pertanian menggunakan tadah hujan berjumlah 90 ha/m2 dan 71 ha/m2 menggunakan pengairan dengan irigasi setengah teknis. Letak Desa Tenggulun tidak jauh dari pusat pemerintahan kecamatan hanya berkisar sekitar 2 Km, sedangkan memiliki jarak 60 Km dari Ibu Kota
2
Wikipedia, “Tenggulun, Solokuro, Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tenggulun,_Solokuro,_Lamongan
45
Kabupaten, dan memiliki jarak yang jauh dari Ibu Kota Provinsi yang mencapai jarak 80 Km.3 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian di kantor Balai Desa Tenggulun jumlah penduduk Desa Tenggulun adalah 2.515 jiwa. Dari jumlah tersebut terdiri dari 1.274 jiwa laki-laki dan sisanya jumlah penduduk perempuan berjumlah 1.241 jiwa dengan jumlah KK 688. Mata pencaharian penduduk Desa Tenggulun sebagai pemilik tanah pertanian kurang leibih berjumlah 1864 orang dan sebagai petani penggarap sawah atau buruh kurang lebih 104 orang selebihnya sebagai pengusaha, pegawai negeri, pedagang, buruh industri, dan buruh bangunan. 4 4. Potensi Sumber Daya Manusia a. Pendidikan
3 4
1) Jumlsh penduduk buta aksara dan huruf latin
: 40 orang
2) Usia 3-6 tahun yang sedang TK atau Play Group
: 115 orang
3) Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah
: 365 orang
4) Usi 18-56 tahun pernah SD tapi tidak tamat
: 11 orang
5) Tamat SD /sederajat
: 1018 orang
6) Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP
: 8 orang
7) Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA
: 15 orang
8) Tamat SMP/sederajat
: 783 orang
Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014 Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
46
9) Taat SMA/sederajat
: 238 orang
10) Tamat D-1/sederajat
: 2 orang
11) Tamat D-2/sederajat
: 1 orang
12) Tamat D-3/sederajat
: 12 orang
13) Tamat S-1/sederajat
: 68 orang
14) Tamat S-2/sederajat
: 5 orang
15) Tamat S-3/sederajat
: 1 orang
b. Mata Pencaharian Pokok 1) Petani
: 1864 orang
2) Buruh tani
: 30 orang
3) Buruh migran
: 404 orang
4) Pegawai Negeri Sipil
: 6 orang
5) Guru swasta
: 56 orang
6) Pedagang keliling
: 2 orang
7) Montir
: 4 orang
8) Bidan swasta
: 3 orang
9) Perawat swasta
: 3 orang
10) TNI
: 2 orang
11) Jasa pengobatan alternatif
: 2 orang
12) Dosen swasta
: 1 orang
47
: 286 orang5
13) Wiraswasta lainnya 5. Potensi Kelembagaan a. Lembaga Pemerintah 1) Aparat Pemerintah Desa
: 8 orang
2) Badan Perwakilan Desa
: 9 orang
b. Lembaga Kemasyarakatan 1) Pengurus LPMD/LPMK
: 10 orang dengan 3 jenis kegiatan
2) Pengurus PKK
: 26 orang dengan 18 jenis kegiatan
3) Pengurus Rukun Warga
: 10 orang dengan 3 jenis kegiatan
4) Pengurus Rukun Tetangga
: 10 orang dengan 3 jenis kegiatan
5) Organisasi Karang Taruna
: 22 orang dengan 4 jenis kegiatan
6) Pengurus Kelompok Tani
: 26 orang dengan 3 jenis kegiatan
c. Kelembagaan Ekonomi 1) Koperasi simpan pinjam: 3 unit, dengan jumlah pengurus 16 orang dan memiliki jumlah 12 kegiatan 2) Kelompok simpan pinjam: 5 unit, dengan jumlah pengurus 88 orang dan memiliki jumlah 26 kegiatan.
5
3) Toko/kios
: 4 unit
4) Toko kelontongan
: 6 unit
5) Usaha peternakan
: 1 unit
Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
48
6) Usaha air minum kemasan/isi ulang : 3 unit d. Lembaga Pendidikan 1) Taman Kanak-kanak : Jumlah 3 lembaga, jumlah murid 115 orang dan 16 orang guru 2) SD dan sederajat
: Jumlah 2 lembaga, jumlah siswa 174 orang,
dan 32 orang guru. 3) SLTP dan sederajat
: Jumlah 1 lembaga, dengan jumlah siswa 84
orang dan 16 orang guru. 4) Pondok Pesantren
: Jumlah 1 lembaga, dengan jumlah 76 siswa
dan 38 orang guru 5) Kursus Komputer
: Jumlah 1 lembaga, dengan jumlah 12 siswa
dan 2 orang guru. 6) Perpustakaan Desa
: 1 buah
e. Kelembagaan Keamanan
6
1) Siskamling / pos ronda
: 8 RT
2) Jumlah Hansip dan Limas
: 56 orang
3) Pos Jaga Induk Desa / kelurahan
: 1 pos6
Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
49
6. Sarana dan Prasarana dalam Desa a. Prasarana Transportasi Darat 1) Jalan aspal dengan kondisi baik memiliki panjang 3 Km dan 2 Km dengan kondisi rusak. 2) Jalan makadam dengan kondisi baik memiliki panjang 2 Km dan 2 Km dengan kondisi rusak 3) Jalan sirtu dengan kondisi baik memiliki panjang 1 Km dan 1 Km dengan kondisi rusak 4) Jalan semen/beton dengan kondisi baik memiliki panjang 0,5 Km dan 0,5 dengan kondisi rusak 5) Jalan aspal antar desa/kecamatan/ dengan kondisi baik memiliki panjang 2 Km 6) Jalan aspal kabupaten yang melewati Desa dengan kondisi baik memiliki panjang 2 Km 7) Jembatan beton dalam Desa dengan kondisi baik memiliki panjang 5 Km dan 1 Km dengan kondisi rusak. b. Prasarana Pemerintahan 1) Gedung Kantor Balai Desa dengan kondisi baik yang memiliki jumlah 3 ruang kerja, 2 buah mesin tik, 15 buah meja, 78 kursi, 6 almari arsip, 2 komputer, dan 2 kendaraan dinas. 2) LKMD memiliki 8 jenis buku administrasi lembaga kemasyarakatan dan memiliki 5 jenis kegiatan.
50
c. Prasarana Ibadah 1) Masjid
: 2 buah
2) Musholah / langgar
: 14 buah
d. Prasarana Olahraga 1) Lapangan Sepak Bola
: 1 buah
2) Lapangan voli
: 2 buah
3) Lapangan tenis meja
: 3 buah
4) Lapangan Bulu Tangkis
: 2 buah
e. Prasarana Kesehatan 1) Balai Pengobatan
: 1 buah
2) Posyandu
: 1 buah
f. Sarana Kesehatan 1) Bidan Desa
: 2 orang
2) Dokter Umum
: 1 Orang
3) Mantri
: 1 Orang
4) Dukun bersalin terlatih
:2 orang
5) Perawat
: 2 orang
6) Dukun pengobatan alternatif : 4 orang7
7
Profil Desa Tenggulun, tahun 2010-2014
51
C. Kondisi Sosialisasi Desa Tenggulun Masyarakat Desa Tenggulun dalam memenuhi kebutuhannya kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Profesi sebagai petani tidak semua orang mempunyai lahan sendiri yang bisa dikelola, maka dari itu masyarakat Desa Tenggulun banyak yang melakukan praktik kerja sama bagi hasil. Pihak yang memilik lahan dan tidak mempunyai kemampuan dalam mengelolanya dengan suka rela memberikan kepercayaan kepada petani yang mempunyai keahlian dalam bidang pertanian dan tidak mempunyai banyak lahan untuk mengelolanya. Perjanjian bagi Hasil antara petani penggarap dan petani pemilik di desa ini diadakan secara lisan atau dengan cara musyawarah untuk mufakat diantara pihakpihak yan berkepentingan dan tidak pernah menghadirkan saksi sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sangat lemah. Alasannya karena ada rasa saling percaya dan kebiasaan yang pada umumnya terjadi di desa tersebut. Kerjasama bagi hasil ini juga terjadi karena ada beberapa alasan, diantaranya: karena pemilik lahan ada pekerjaan lain yaitu merantau ke luar negeri, ada juga yang karena memang usia yang sudah tua sehingga tidak mempunyai kemampuan dalam mengelola lahannya sendiri. Dari penjelasan yang terpapar tentang kondisi sosial masyarakat Desa Tenggulun tersebut, dapat dikaji lebih lanjut bagaimana praktik perjanjian kerja sama yang telah berlaku.
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN A. Sistem Pertanian Desa Tenggulun Dari hasil penelitian dan wawancara yang penulis dapatkan, sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun secara garis besar terdiri dari 3 macam, diantaranya: 1. Sistem pemilik lahan dan dikerjakan sendiri Pertanian seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki lahan pertanian dan mempunyai kemampuan untuk bertani. Sehingga dalam mengelola lahan tersebut dilakukan dengan sendiri, begitu juga dengan modal biasanya permodalan dikeluarkan sendiri tanpa campur tangan dari orang lain dan hasil dari pertanian tersebut juga milik sendiri sepenuhnya. 2. Sistem Bagi Hasil (Parohan) Sistem parohan adalah sistem pertanian yang dilakukan oleh dua belah pihak dimana pengelolaan tanah dilakukan oleh pihak petani, dan pihak lainnya bertindak sebagai pemilik lahan dengan melakukan kesepakatan membagi hasil pertanian ketika panen. Dalam pengelolaan tanah, petani pengelola mempunyai hak untuk menanam bibit, memelihara tanaman,
memberi
pupuk
tanaman,
melakukan
pengairan,
dan
memanennya ketika sudah waktunya. Dalam masalah permodalan semua dibebankan pada pihak petani pengelola, untuk masalah keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan. 52
53
3. Sistem Buruh Tani Sistem buruh tani adalah sistem kerja sama dimana petani sebagai buruh tani, dan hanya berkewajiban serta bertanggung jawab atas pengelolaan tanah dengan mendapatkan upah tertentu yang sudah disepakati, sedangkan selebihnya ditanggung sepenuhnya oleh pemilik lahan seperti bibit, pupuk, penyediaan alat-alat pertanian, dan obat hama. Tidak jarang juga konsumsi untuk buruh tani disediakan oleh pemilik lahan. Dari beberapa sistem yang ada tersebut, ada yang relevansi dengan sistem pertanian yang dijelaskan dalam Islam. Sistem peparohan yang dilakukan oleh masyarakat tenggulun tersebut tidak jauh berbeda dengan sistem mukhabarah yang dijelaskan dalam Islam. Dalam hal ini, perlu kajian yang lebih mendalam tentang shahih atau fasidnya akad yang dilakukan. Alasan sistem mukhabarah mempunyai relevansi dengan sistem peparohan yang dilakukan masyarakat tenggulun karena sistem tersebut dipraktikkan dengan kerja sama yang dilakukan oleh dua belah pihak di mana pengelolaan tanah dilakukan oleh pihak petani, dan pihak lainnya bertindak sebagai pemilik lahan dengan melakukan kesepakatan membagi hasil pertanian ketika panen. Sistem bagi hasil yang dianggap sah adalah bibit, pupuk, tenaga kerja, alat-alat pertanian, pemeliharaan tanaman, dan pengairan semuanya dibebankan pada petani penggarap. Sedangkan pemilik lahan cuma menyediakan lahan, sehingga yang menjadi objek dari
54
akad tersebut adalah manfaat dari jasa pengelola. Dalam sistem ini pemilik lahan hanya bermodalkan tanah, sedangkan yang lainnya dari pihak penggarap atau pengelola tanah. Maka sistem tersebut sesuai dengan konsep mukhabarah. sistem seperti ini banyak digunakan di masyarakat desa tenggulun. Sistem buruh tani merupakan kerja sama, tetapi tidak bisa dikategorikam dalam kerja sama yang telah dijeaskan dalam Islam. Kerja sama yag dijelaskan dalam Islam ada imbalan bagi hasilnya yang telah disepakati ketika awal akad. Akan tetapi sistem buruh tani di masyarakat Desa Tenggulun ini tidak adanya kesepakatan bagi hasil hanya saja buruh tani tersebut mendapat imbalan upah sesuai kesepakatan dan kebiasaan yang berlaku di mayarakat tersebut. Perjanjian parohan di Desa Tenggulun dapat diketemukan beberapa unsur, diantaranya: a)
Adanya kesepakatan para pihak
b)
Izin menggarap dari pemilik tanah
c)
Atas dasar kepercayaan
Bagi hasil kadang berfungsi sebagai menjaga tali kekerabatan sanak saudara. Dalam perjanjian bagi hasil tersebut hubungan keluarga diprioritaskan untuk diberi tawaran menggarap tanah, jika tidak ada sanak saudara yang bersedia menggarap tanah tersebut, penawaran baru diberikan kepada pihak lain yang bersedia untuk mengelola tanah tersebut.
55
B. Sistem Kerja Sama Bagi Hasil Pertanian dan Kesesuainnya dengan Prinsip Fiqh Mu’amalah 1. Alasan Kerja Sama Bagi Hasil dilakukan Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara yang penulis dapatkan ada beberapa alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian bagi hasil di Desa Tenggulun yaitu: a. Banyaknya pemilik tanah yang merantau ke luar negeri atau adanya pekerjaan lain b. Faktor umur yang sudah tua c. Rasa sosial/balas jasa dan saling tolong menolong d. Pemilik tanah tidak mempunyai kemampuan untuk menggarap tanahnya Dari alasan pemilik tanah mengenai terjadinya bagi hasil di Desa Tenggulun tersebut yang paling dominan adalah alasan karna banyaknya pemilik tanah bekerja atau merantau ke luar negeri, meskipun pemilik tanah memiliki banyak lahan dan mampu dalam biaya mereka tidak bisa mengerjakan tanahnya sendiri disebabkan oleh keterbatasan waktu dan jarak. Sehingga mereka melakukan akad kerja sama dalam pertanian supaya tanahnya bisa dimanfaatkan oleh pihak lain yang lebih membutuhkan dan siap untuk mengelolanya. Faktor yang kedua yaitu karena faktor usia yang sudah tua, tidak adanya kemampuan bagi mereka yang mempunyai tanah untuk mengelolah tanah tersebut secara maksimal. Dengan faktor tersebut pemilik tanah melakukan kerja sama dalam pertanian dengan tujuan bisa mendapatkan penghasilan dari porsi bagi hasil kerja sama tersebut
56
tanpa kerja keras dan usahanya sendiri. Alasan yang ketiga yaitu rasa sosialisasi/balas jasa. Faktor ini terjadi apabila pemilik tanah pernah mempunyai hutang jasa kepada orang dan dengan posisi pemilik tanah memiliki banyak tanah, sehingga sebagian tanahnya diberikan kepada orang yang pernah memberikan jasa kepadanya untuk dikelola dengan perjanjian bagi hasil. Sedangkan alasan penggarap mengadakan perjanjian bagi hasil yaitu: a. Penggarap tidak memiliki tanah pertanian b. Adanya tambahan pendapatan c. Ada pekerjaan tambahan Dari beberapa alasan penggarap melakukan bagi hasil tersebut, masyarakat Desa Tenggulun kebanyakan beralasan karena petani penggarap tidak memiliki tanah pertanian, akan tetapi petani penggarap tersebut mempunyai kemampuan dalam mengelola tanah/bertani. Sedangkan ada pihak lain yaitu pihak pemilik sawah yang tidak bisa mengelola sawahnya dengan sendirinya. Dengan akad ini kedua belah pihak saling untung dan termasuk saling tolong menolong. Alasan yang kedua yaitu adanya tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena dengan menerima perjanjian dan melaksanakan kerja sama ini petani penggarap bisa mendapatkan tambahan pendapatan, yang seharusnya tidak adanya pendapatan tanpa adanya kerja sama dalam pertanian tersebut. Alasan yang ketiga yaitu adanya kerjaan tambahan, dimana petani penggarap tidak mempunyai banyak kesibukan dan mempunyai kemampuan untuk bertani sehingga petani penggarap menerima tawaran kerja sama dalam pertanian untuk menambah kesibukan.
57
Mayoritas kehidupan di Desa Tenggulun adalah bermata pencaharian sebagai petani. Sebagai masyarakat desa, sifat-sifat murninya masih kental yaitu sifat gotong royong dan saling tolong menolong antara yang satu dengan yang lain dan saling peduli, sehingga dapat dilihat kehidupan masyarakat terlihat damai, tentram, dan jarang adanya kecemburuan sosial. Sifat kerukunan dari masyarakat tersebut yang menjadikan salah satu alasan dilaksanakannya perjanjian bagi hasil hanya dilakukan atas dasar saling percaya dalam bentuk lisan. Rasa percaya dan saling tolong menolong yang menjadi salah satu alasan untuk melanjutkan pelaksanaan perjanjian seperti yang dilakukan orang-orang terdahulunya menurut adat kebiasaan setempat. Hal tersebut berkaitan dengan tenggang rasa dan kekeluargaan antara warga untuk saling menolong pada warga yang kurang mampu tapi membutuhkan penghasilan, mempunyai tenaga dan kemampuan tapi tidak mempunyai lahan untuk digarap. Hidup layak berdampingan itulah menjadi falsafah bagi orangorang pedesaan termasuk Desa Tenggulun ini. Perjanjian bagi hasil seperti ini sudah mengakar dari nenek moyang sampai dengan anak cucu mereka sekarang. Perjanjian seperti ini mereka sebut sebagai perjanjian adat kebiasaan warga setempat yang dilakukan dengan ucapan lisan dan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami dan diterima oleh kedua belah pihak tanpa harus mendaftar atau mencatat di daftar kelurahan. Berdasarkan hasil wawancara dari bapak Abu Sholeh, S.Pd selaku Kepala Desa Tenggulun mengenai masalah pembayaran pajak tanah, maka dalam masalah kerja sama di bidang pertanian 100% masyarakat Desa Tenggulun
58
membebankan pembayaran pajak sepenuhnya kepada pemilik tanah. Dalam hukum Islam juga dijelaskan apabila ada dua pihak melakukan kerja sama dimana pihak pertama sebagai pemilik tanah dan pihak kedua sebagai pengelola tanah maka yang seharusnya membayar pajak adalah pemilik tanah. Dalam pasal 9 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil, disebutkan mengenai kewajiban pembayaran pajak sebagai berikut: “kewajiban memebayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya”. Dilihat dari penjelasan diatas, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya akad kerja sama dalam bidang pertanian. Dari beberapa faktor tersebut jika dilihat dari segi Agama Islam tidak ada yang menunjukkan sesuatu yang dilarang. Akad tersebut tetap sah dengan alasan yang telah disebutkan, sesuai dengan konsep Islam telah menjelaskan bahwa akad akan sah apabila antara kedua belah pihak yang berakad saling ridho diantara kedua belah pihak dan tidak ada paksaan. Mengenai pembayaran pajak tanah, dalam penerapannya masyarakat Desa Tenggulun tidak melanggar ketentuan syariah yang ada. Artinya, dengan penerapan pemilik tanah yang menanggung pembayaran pajak tanah tersebut benar sesuai dengan ketentuan yang ada.
59
2. Pengetahuan Masyarakat Terhadap Bagi Hasil dalam Konsep Islam Pengetahuan masyarakat terhadap bagi hasil dalam konsep Islam dapat dilihat dari hasil wawancara penulis dengan berbagai pihak, baik tokoh masyarakat, pemilik tanah, ataupun pihak penggarap. Dimana pengetahuan masyarakat Desa Tenggulun tentang bagi hasil pertanian dalam konsep Islam sangat minim, seperti yang dikatakan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Tenggulun tidak keseluruhannya tahu, tidak keseluruhan petani mengetahui tentang konsep Islam, namun juga “ sebagian ada yang mengetahui juga, namun sementara yang dipakai ini adalah adat, jadi adat kebiasaan pertanian yang ada disini yang dipakai, tidak memakai yang menganut konsep Islam”. 1 sehingga perjanjian bagi hasil yang dilakukan masyarakat Desa Tenggulun umumnya berdasarkan adat setempat, tidak sepenuhnya mengacu pada konsep Islam, walaupun ada sebagian masyarakat yang mengetahui tentang bagi hasil dalam konsep Islam. Jadi, kenyataan yang ada di Desa Tenggulun perjanjian bagi hasil ini dibuat berdasarkan hukum atau adat kebiasaan setempat. Karena, masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui adanya bagi hasil dalam konsep Islam. Ini juga sangat mempengaruhi hal tersebut tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan yang dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam menentukan bagaimana mekanisme mengenai perjanjian bagi hasil tanah pertanian. Faktor ketidaktahuan terhadap adanya konsep Islam dalam mengatur bagi hasil pertanian juga mempengaruhi pelaksanaan perjanian bagi hasil, yang mereka 1
Wawancara Pribadi dengan Ma’shum. Lamongan, 08 Agustus 2014.
60
tahu adalah perjanjian seperti yang sudah berlaku di masyarakat desa ini yaitu dengan cara lisan atas dasar kesepakatan dan kepercayaan. Meskipun sebagian masyarakat juga sudah mengetahui adanya aturan hukum dalam Islam tentang perjanjian bagi hasil, mereka tetap cenderung memilih melaksanakan dengan dasar imbangan pembagian hasil sesuai dengan hasil panen yang didapatkan petani penggarap. Alasannya adalah karena sudah dilakukan secara turun menurun, saling percaya untuk saling tolong menolong sehingga dalam melakukan akad mereka tidak memilih secara formal, melainkan cukup dengan mengucapkan kata sepakat antara kedua belah pihak yang berakad. Apabila terjadi perselisihan atau persengketaan dalam masalah akad masyarakat Desa Tenggulun meyelesaikannya dengan cara kekeluargaan tidak dengan melibatkan para pejabat dan aparat desa. Tapi di Desa Tenggulun ini jarang sekali adanya perselisihan dalam berakad, karena didasari dengan saling rela dan ikhlas dengan keputusan yang ada ketika akad. 3. Kata Sepakat Dalam Akad Bagi masyarakat adat yang terpenting dalam pelaksanaan bagi hasil bukan unsur subjektif atau unsur objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (mufakat). Pada praktiknya masyarakat Desa Tenggulun mengerjakan tanah milik orang lain dengan menggunakan bagi hasil, hanya mendasarkan persetujuan antara pemilik tanah dan penggarap secara lisan atas dasar kepercayaan. Tidak sedikit masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan pertanian untuk mengelola lahannya dengan menggunakan sistem parohan dengan pembagian bagi hasil
61
antara pemilik lahan dengan petani penggarap sesuai dengan penghasilan yang didapatkan. Berdasarkan hasil dari wawancara dan penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa, pihak-pihak yang mengadakan akad bagi hasil tidak ada yang menggunakan dengan cara tertulis, akan tetapi kebanyakan cukup dengan lisan dan langsung disertai serah terima tindakan, tidak ada yang tertulis. Syukursyukur dengan ucapan ini lahannya tolong dikelola.2 yakni setelah kedua belah pihak sudah sepakat melakukan kerja sama bagi hasil maka petani penggarap mengatakan bersedia dengan cara langsung mengelola lahan tersebut. Dengan tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak yang melakukan akad berarti perjanjian tersebut sudah tercipta pada saat tercapainya konsensus. Jadi, kata sepakat dalam bagi hasil di Desa Tenggulun ini yang menjadi landasan lahirnya dan diadakannya perjanjian bagi hasil pertanian. 4. Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia Menurut pasal 1320 KUH Perdata kontrak adalah sah bila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 3 a.
Syarat subjektif, meliputi: 1) Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2
Wawancara Pribadi dengan Sukaeri. Lamongan, 09 Agustus 2014. Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta, 2011), h. 1 3
62
b.
Syarat objektif, meliputi: 1) Suatu hal (objek) tertentu 2) Sesuatu sebab yang halal (Kuasa).
Secara hukum dilihat dari usia masyarakat Desa Tenggulun yang telah melakukan praktik kerja sama bagi hasil dapat dikatakan bahwa pihak yang melakukan akad telah cakap dalam melakukan hukum. Jadi jika terjadi wanprestasi
maka
kedua
belah
mempertanggungjawabkan atau bisa
pihak
yang
diminta
melakukan
akad
bisa
pertanggungjawaban hukum
terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Tenggulun ini. Dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak yang dilakukan telah sah dan memenuhi syarat, sebagaimana yang melakukan akad tersebut adalah orang dewasa dan telah cakap hukum. 5. Bentuk Perjanjian Kerja Sama Bagi Hasil Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Tenggulun dilaksanakan secara tidak tertulis atau cukup dengan lisan antara kedua belah pihak, dengan beberapa alasan yang mendasarinya berikut: 1. Mudah pelaksanaannya dan tidak berbelit-berbelit 2. Adanya saling percaya Menurut konsep Islam, bentuk perjanjian bagi hasil pertanian ini tidak harus dengan hitam diatas putih, yakni dengan secara tertulis. Akan tetapi, menurut Jumhur Ulama dengan melakukan ijab dan qabul sudah memenuhi rukunnya, baik qabul tersebut berupa ucapan ataupun langsung dengan tindakan. Dalam hal
63
bentuk perjanjian ini, masyarakat Desa Tenggulun tidak menyalahi ketentuan yang telah ditetapkan dalam Islam. Mengenai pedoman yang dirujuk dalam melakukan kerja sama bagi hasil, masyarakat tidak mengacu pada Undang-undang, tidak juga mengacu pada konsep Islam akan tetapi dalam pratiknya mempunyai prinsip saling menguntungkan, seperti halnya yang dikatakan oleh penggarap sawah, pihak pemilik sawah bisa mengambil keuntungan dari hasil pertanian tersebut, pihak penggarap juga ada keuntungan karena mempunyai lahan yang bisa dikerjakan. Berdasarkan ayat alqura’an : wata’awanu ‘alal birri wattaqwa walaa ta’aawanuu ‘alal istmi wal ‘udwaan.4 Ketentuan porsi bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat ternyata tidak ada ketentuan di awal akad, yang ada antara kedua belah pihak pasrah dengan hasil yang didapatkan ketika panen nanti, berapapun hasilnya saling terima. Jadi pembagiannya terserah penggarapnya memberikan bagian berapa. Sebagaimana yang dikatakan oleh pemilik lahan: “Tergantung panen yang dihasilkan. Mendapatkan bagian banyak ataupun sedikit kita sebagai pemilik sawah harus bisa terima apa adanya, kasihan pihak penggarap juga, mengelola lahan juga tidak gampang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit”.5 Dapat diambil kesimpulan, dalam penentuan porsi bagi hasil ini masyarakat Desa Tenggulun telah menyimpang dari ketentuan Islam. Dimana dalam ketentuan Islam dijelaskan, bahwa porsi bagi hasil harus dijelaskan pada awal akad.
4 5
Wawancara Pribadi dengan Sukaeri. Lamongan, 09 Agustus 2014 Wawancara Pribadi dengan Munifah. Lamongan, 11 Agustus 2014
64
Apabila diantara kedua belah pihak sudah sepakat melakukan kerja sama, maka dalam masalah pengelolaan lahan tersebut adalah murni 100% dari pihak penggarap, jadi pihak pemilik lahan sudah tidak tahu-menahu lahannya dikelola seperti apa, Jadi semuanya diserahkan sepenuhnya atau dikelola sepenuhnya oleh pihak penggarap. Dalam hal ini, praktik yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan konsep Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa tanah yang sudah diserahkan kepada pihak penggarap maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak penggarap tidak boleh ada campur tangan dari pemilik tanah. 6. Lamanya Waktu Perjanjian Berdasarkan hasil wawancara, perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun kebanyakan tidak ada ketentuan lamanya waktu perjanjian, akan tetapi ada sebagian yang menentukan lamanya waktu dalam melakukan kerja sama tersebut. Hal ini terjadi berdasarkan alasan dilakukannya kerja sama bagi hasil dikarenakan banyaknya pemilik tanah yang mempunyai pekerjaan diluar atau lebih tepatnya merantau ke luar negeri, sehingga tidak adanya kemampuan pemilik tanah dalam mengelola lahannya sendiri menjadikan tidak adanya batasan waktu yang ditentukan dalam pengelolaan tanah, selama penggarap masih sanggup mengelola tanah dan pemilik tanah belum kembali ke tempat asalnya maka perjanjian tersebut akan terus berlanjut. perjanjian ini berlangsung saja tanpa ada ketentuan waktu berapa lama kesepakatan kerja sama akan terus berlangsung dan model perjanjian tersebut sudah berjalan begitu saja sampai saat ini. Pemilik tanah juga berfikiran bagaimana caranya tanah yang dimilikinya tidak terlantar dan bisa diambil kemanfaatannya maka pemilik tanah
65
dengan senang hati melakukan perjanjian kerja sama bagi hasil apabila ada penggarap yang bersedia mengelola tanah tersebut, bahkan tidak jarang pemilik tanah tidak mendapatkan porsi bagi hasil ketika penggarap mendapatkan panen. Kejadian seperti ini terjadi karena rasa suka rela dan terima kasih dari pemilik tanah kepada penggarap yang telah bersedia mengelola tanah tersebut. Sedangkan sebagian yang menentukan waktu dalam perjanjian kerja sama, masyarakat Desa Tenggulun menentukan waktu berkisar anatra 1-2 Tahun. Perjanjian yang seperti ini dilakukan oleh pemilik tanah yang memiliki lahan kosong tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengelolanya, sehingga batas waktu yang diberikan kepada penggarap tersebut habis ketika pihak penggarap sudah menghasilkan panen, apabila pemilik tanah ingin melanjutkan perjanjian kerja sama tersebut maka dibuatnya akad baru (adanya musyawarah bersama) lagi. Namun, jika ketentuan waktu yang diperjanjikan sudah habis, akan tetapi petani penggarap belum menghasilkan panen, maka pihak yang berakad masih melanjutkan perjanjian tersebut sampai menghasilkan panen. Seperti yang dikatakan oleh salah satu pihak penggarap sawah:6 “langkah yang diambil yaitu memperbarui akad lagi kalau sudah habis waktunya, kalau memang waktu yang disepakati sudah habis maka ada kesepakatan baru lagi. Ketika ditengah perjanjian waktu yang ditentukan sudah habis tetapi belum menghasilkan panen maka akad tersebut masih berlanjut sampai panen”. Ini sudah sesuai dengan konsep Islam, dimana apabila waktu yang disepakati sudah habis, tapi belum menghasilkan
6
Wawancara pribadi dengan Sukaeri. Lamongan, 09 Agustus 2014
66
panen maka perjanjian tersebut akan terus berlanjut sampai pihak penggarap menghasilkan panen. Berdasarkan data tersebut adanya ketidaksesuaian antara realita perjanjian bagi hasil dengan teori yang dijelaskan menurut Islam. Dimana dalam Islam dijelaskan masa berlaku akad bagi hasil dalam pertanian disyaratkan harus jelas dan ditentukan atau diketahui ketika awal akad. Sedangkan adat masyarakat Tenggulun tidak demikian, kebiasaan masyarakat tidak menyebutkan berapa lama waktu yang akan diperjanjikan ketika di awal akad, hal ini mengandung unsur gharar sedangkan gharar juga dilarang dalam Islam.‘Urf tersebut sudah melekat di masyarakat, akan tetapi ‘urf yang terjadi ini merupakan ‘urf fasidah karena bertentangan dengan nash yang ada. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hukum. 7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Sama Bagi Hasil Berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Tenggulun ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu karena sudah berakhirnya waktu perjanjian bagi hasil antara penggarap dan pemilik tanah yang sudah ditentukan, dan berakhirnya perjanjian atas permintaan pemilik tanah dan penggarap karena sebab atau alasan tertentu. Sebelum perjanjian kerja sama tersebut dikatakan berakhir, para pihak yang berakad menggunakan cara bermusyawarah antara kedua belah pihak, apabila kesepakatan tersebut sudah dikatakan berakhir maka diikuti dengan pegembalian tanah kepada pihak pemilik tanah. Hasil penelitian di Desa Tenggulun, pada umumnya masyarakat menerapkan sistem perjanjian bagi hasil berdasarkan hukum adat setempat (kebiasaan setempat secara turun temurun). Ada banyak kendala yang muncul mengapa
67
peraturan dan konsep Islam bagi hasil di Desa Tenggulun tidak bisa diterapkan atau tidak dapat terlaksana dengan baik dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil karena: a. Kebanyakan masyarakat Desa Tenggulun tidak mengetahui adanya konsep Islam yang mengatur transaksi bagi hasil dalam sistem pertanian. Hal ini terjadi karena kurangnya memperhatikan kajian-kajian Islam yang membahas tentang perjanjian bagi hasil, termasuk kurangnya arahan dari tokoh agama yang lebih mengetahui tentang bagi hasil dalam pertanian. b. Faktor adat dan budaya yang sangat melekat pada diri masing-masing masyarakat Desa Tenggulun yang masih mempercayai penggunaan adat kebiasaan secara turun temurun yang biasa dilakukan dalam praktik perjanjian bagi hasil. Dari penjelasan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa, perjanjian bagi hasil pertanian yang terjadi di Desa Tenggulun ini belum sepenuhnya seseuai dengan konsep Islam yang telah ada, Akan tetapi masyarakat mengacu pada adat yang sudah melekat, dengan mengacu adat bukan berarti menyimpang dari ketentuan Islam yang ada. Selama adat tersebut tidak melanggar ketentuanketentuan yang ada, maka kerjasama yang berjalan sesuai adat tersebut bisa dijadikan hukum. Akan tetapi adat yang berlaku di masyarakat ini belum sepenuhnya mendatangkan kemaslahatan, sehingga adat ini belum bisa dijadikan patokan sebagai hukum yang tidak menyimpang dari ketentuan Islam. Dimana dalam Islam telah dijelaskan adat atau ‘urf bisa dijadikan hukum apabila tidak melanggar dengan ketentuan nash dan bisa mendatangkan kemaslahatan.
68
8. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Bagi hasil merupakan salah satu komponen dalam rangka pembaharuan Agraria yang sesungguhnya memiliki peranan yang cukup penting dalam upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat pertanian, namun selama ini hampir tidak diperhatikan. Dalam konsep Islam telah dijelaskan bahwa aspek keadilan dalam bagi hasil pertanian haruslah ada keridhaan antara kedua belah pihak, saling mengetahui kesepakatan masing-masing, kesepakatan harus dijelaskan diawal akad, dan pembagian hasil panen juga harus dijelaskan diawal akad. Berdasarkan penelitian yang diperoleh, hal yang mendorong masyarakat Desa Tenggulun melakukan sistem transaksi pengolahan tanah melalui sistem perjanjian bagi hasil yang mendasarkan pada adat kebiasaan yaitu dipicu oleh masarakat yang sudah terbiasa melaksanakan kerja sama dengan cara seperti itu. selain sudah kebiasaan kerja sama yang dilakukan sesuai dengan adat juga bisa memberikan rasa nyaman antara kedua belah pihak yang berakad. Masyarakat Desa Tenggulun juga lebih memilih menggunakan sistem hukum adat kebiasaan dibanding dengan sistem perjanjian bagi hasil menurut konsep Islam dengan alasan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain: 1. Kebiasaan yang sudah turun temurun 2. Adanya kerja sama yang bersifat gotong royong Sistem bagi hasil yang dilakukan dalam perjanjian ini digunakan sebagai sampingan dengan menggunakan perbandingan yang tidak disepakati ketika awal
69
akad. Karena petani penggarap merasa bahwa keuntungan yang didapat seimbang dengan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan tanah. Kemudian tingkat resiko apabila ada kesulitan ataupun bencana karena cuaca alam yang buruk dalam kerja sama pertanian ini ditanggung sepenuhnya oleh pihak penggarap. Sehingga menurut masyarakat di tempat lokasi penelitian banyak yang menyatakan pihak penggarap merasa
dirugikan akan tetapi dalam penyelesaiannya
masih
dimusyawarahkan bersama. Dilihat dari kasat mata, praktek kerja sama tersebut ada pihak yang merasa dirugikan, yaitu pihak pemilik tanah, dimana dalam pembagian hasil panen tidak adanya kejelasan berapa porsi yang akan didapatkan, karena dalam pembagiannya menyesuaikan berapa hasil panen yang nanti didapatkan oleh pihak penggarap. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, diantara kedua belah pihak yang berakad ternyata tidak ada yang dirugikan. karena semua modal yang dikeluarkan untuk pengolahan tersebut dari pihak petani penggarap dan pembagian hasil panen juga tergantung panen yang didapatkan. Jika petani penggarap menghasilkan panen yang banyak maka pemilik tanah juga mendapatkan bagian banyak begitu sebaliknya. Namun jika pemilik tanah mendapatkan bagian banyak tetapi petani penggarap mendapatkan hasil panen yang sedikit maka kebanyakan masyarakat tidak bersedia untuk melanjutkan kerja sama tersebut. Kalaupun hasil panen yang didapatkan sedikit maka ada pihak yang merasa rugi yaitu pihak petani, karena pihak petani sudah mengeluarkan banyak biaya tapi tidak mendapatkan hasil panen. Sementara kedua belah pihak yang berakad kebanyakan sudah saling mengetahui, saling mengerti, dan saling tenggang rasa. Jadi kalau masalah
70
pembagian hasil pemilik tanah sudah memaklumi, sehingga tidak ada pihak yang berebutan bagi pihak penggarap maupun pihak pemilik tanah. Dalam hal ini dapat diambil kesimpulan, bahwa aspek keadilan yang terjadi pada praktek bagi hasil di Desa Tenggulun ini tidak terlalu nampak. Karena antara kedua belah pihak sudah saling ridho, saling mengerti, dan saling tenggang rasa. Namun, dalam pembagian porsi bagi hasil tersebut adanya ketidakjelasan atau dalam istilah Islam disebut gharar, dimana tidak ada ketentuan porsi yang dijelaskan ketika awal akad. Sehingga tidak sesuai dengan konsep Islam yang ada. Dengan tidak adanya kesepakatan nisbah bagi hasil di awal akad, ini menimbulkan unsur gharar atau ketidakpastian, dan hal ini sudah menjadi ‘urf atau kebiasaan yang melekat pada masyarakat Desa Tenggulun. Sehingga dalam hal ini ‘urf yang biasa terjadi di kalangan masyarakat tersebut telah menyimpang dari konsep Islam yang ada, dimana dalam konsep Islam dijelaskan bahwa ‘urf yang bisa dijadikan hukum yaitu ‘urf yang tidak menyimpang dari ketentuan Islam, sedangkan dalam pembagian porsi bagi hasil tersebut adanya unsur gharar, dan gharar gharar dilarang dalam Islam. Jadi dalam pembagian porsi yang tidak dijelaskan di awal akad ini tidak sesuai dengan Islam.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah dilakukan kajian, analisis, dan pembahasan pada bab sebelumnya terhadap permasalahan yang telah penulis teliti, maka dapat diambil kesimpulan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sistem pertanian yang ada di Desa Tenggulun terdiri dari 3 macam: a) sistem pemilik lahan dan dikerjakan sendiri, 2) sistem bagi hasil (parohan), dan 3) sistem buruh tani. Dari ketiga sistem tersebut ada relevansinya dengan sistem kerjasama yang dijelaskan dalam Islam, dimana sistem bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun ada relevansinya dengan sistem mukhabarah karena semua modal pengelolaan tanah dibebankan kepada pihak penggarap. 2. Dalam segi pelaksanaa perjanjian, akad kerjasama bagi hasil ini sudah sesuai dengan konsep Islam dilihat dari unsur-unsur pembentukan akad yaitu subjek akad, objek akad, dan sighat. Hanya saja dari aspek objek akad adanya ketidaksesuaian yaitu presentase porsi bagi hasil dan jangka waktu tidak disebutkan ketika di awal akad.
71
72
B. SARAN Berdasarkan beberapa kesimpulan yang telah tercantum di atas, maka ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan, yaitu: 1. Kedua belah pihak yang berakad hendaklah menentukan bagian masigmasing di awal akad dengan pasti supaya tidak merugikan salah satu pihak. 2. Jika terjadi penurunan pendapatan atau gagal panen, seharusnya resiko kerugian ditanggung bersama antara pemilik dengan penggarap. 3. Dalam melakukan kerja sama bagi hasil, hendaklah menentukan berapa lama waktu yang akan diperjanjikan ketika awal akad, agar adanya kejelasan dan saling mengetahui antara kedua belah pihak. 4. Dari hasil penelitian ini, masih dibutuhkan peneliti lanjutan. Dalam melakukan penelitian seharusnya lebih teliti dalam melakukan penelitian. Peneliti selanjutnya selain meneliti dari segi konsep Islamnya sebaiknya dikombinasikan dengan peraturan undang-undang yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 2010. Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta: Granada Press, 2007. A Pratanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Damanuri, Aji. Metode Penelitain Mu’amalah, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010. Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Dzaqiyuddin, Al-Hafidz Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir. Mukhtashar Shahih Muslim, ditahqiq oleh Ahmad Ali Sulaiman, Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012. Ghazaly, Abdul Rahman dkk. Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-II, 2012. Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet.ke-II, 2007. Hasan, Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta: Rajawali Pers, 2002. Hasanuddin, Maulana dan Jaih Mubarok. Perkembangan Akad Musyarakah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-I, 2012. Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 Khatib al-Tamim, Izzudin. Bisnis Islami, Jakarta: Fikahari Aneska, cet ke-1, 1992. Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Edisi ke-III, 1997. Lathif, Azharuddin. Fiqh Muamalat, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet.ke-I, 2012. Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah, 2010 Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cet.ke-III, 2004. Qardawi, Yusuf. Fiqh al-Zakat (Hukum Zakat), penerjemah: Salman Harun (et al), Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, cet.III, 1993.
73
74
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 Rais, Isnawati dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cet. Ke-I, 2011. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet. Ke-XXVII, 1994. Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008 Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah Fikih Muamalah Untuk UIN/IAIN/STAIN/PTAIS dan Umum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Mahasiswa
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada Bank Islam: Solusi Ekonomi Islam, Jakarta: Migunani, 2008. Ash-Shawi, Shalah dan Abdullah al-Mushlih. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul haq,2008 Soekartwi. Agribisnis, Teori dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, ed. 1, cet. Ke-VI, 2001. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet.ke-VI, 2010. Sutanto, Jusuf dkk. Revitalisasi Pertanian dan Dialog peradaban, Jakarta: Kompas, 2006. Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-VI, 2005. Yasyin, Sulcan. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-BESAR), Surabaya: Amanah, 1997 Wawancara Pribadi dengan Ma’shum. Lamongan: 08 Agustus 2014 Wawancara Pribadi dengan Moh. Hasan. Lamongan: 10 Oktober 2014 Wawancara Pribadi dengan Munifah. Lamongan: 11 Agustus 2014 Wawancara Pribadi dengan Sukaeri. Lamongan: 09 Agustus 2014 Wikipedia, “Kabupaten Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lamongan Wikipedia, “Tenggulun, Solokuro, Lamongan”, artikel diakses pada 27 Juli 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tenggulun,_Solokuro,_Lamongan
75
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1960 (2/1960) Tanggal: 7 JANUARI 1960 (JAKARTA) Sumber: LN 1960/2; TLN NO. 1924 Tentang: PERJANJIAN BAGI HASIL Indeks: HASIL. PERJANJIAN BAGI.
Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa perlu diadakan Undang-undang yang mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi-hasil, agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap itu, dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik dari penggarapan maupun pemilik; Mengingat : a. pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Dasar; b. pasal 5 ayat 1 jo 20 pasal 1 Undang-undang Dasar;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Memutuskan : Menetapkan : Undang-undang tentang "Perjanjian Bagi Hasil". BAB I ARTI BEBERAPA ISTILAH. Pasal 1. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : *)Disetujui D
a. tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan; b. pemilik, ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah; c. perjanjian bagi-hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak - yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap" - berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak; d. hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termaksud dalam huruf e pasal ini, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan panen; e. petani, ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian. BAB II. PENGGARAP Pasal 2. (1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 (tiga) hektar. (2) Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil tanah garapannya akan melebihi 3 (tiga) hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya. (3) Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam perjanjian bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya. BAB III. BENTUK PERJANJIAN. Pasal 3. (1) Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan - selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari fihak pemilik dan penggarap. (2) Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat 1 diatas memerlukan pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu - selanjutnya dalam undangundang ini disebut "Camat". (3) Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir.
(4) Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 diatas. BAB IV. JANGKA WAKTU PERJANJIAN Pasal 4. (1) Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. (2) Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya. (3) Jika pada waktu berakhirnya perjanjian bagi-hasil diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun. (4) Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah-kering, maka Kepala Desalah yang memutuskan. Pasal 5. (1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 6, maka perjanjian bagi-hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. (2) Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru. (3) Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama. Pasal 6. (1) Pemutusan perjanjian bagi-hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian termaksud dalam pasal 4 ayat 1 hanya mungkin dalam hal-hal dan menurut ketentuan-ketentuan dibawah ini : a. atas persetujuan kedua belah fihak yang bersangkutan dan setelah mereka laporkan kepada Kepala Desa; b. dengan izin Kepala Desa atas tuntutan pemilik, didalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memenuhi bahan-bahan yang
menjadi tanggungannya yang ditegaskan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 atau tanpa izin dari pemilik menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada orang lain. (2) Kepala Desa memberi izin pemutusan perjanjian bagi-hasil yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kedua belah pihak, setelah usahanya untuk lebih dahulu mendamaikan mereka itu tidak berhasil. (3) Didalam hal tersebut pada ayat 2 pasal ini Kepala Desa menentukan pula akibat daripada pemutusan itu. (4) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui keputusan Kepala Desa untuk mengijinkan diputuskannya, perjanjian sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini dan/atau mengenai apa yang dimaksud dalam ayat 3 diatas, maka soalnya dapat diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah fihak. (5) Camat melaporkan secara berkala kepada Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II semua keputusan yang diambilnya menurut ayat 4 pasal ini. BAB V. PEMBAGIAN HASIL TANAH. Pasal 7. (1) Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. (2) Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II memberitahukan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil-tanah yang diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. BAB VI. KEWAJIBAN PEMILIK DAN PENGGARAP. Pasal 8.
(1) Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian bagi-hasil, dilarang. (2) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 pasal ini berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah termaksud dalam pasal 7. (3) Pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan penggarap, kepada penggarap ataupun pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga. Pasal 9. Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya. Pasal 10. Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik. BAB VII. LAIN - LAIN Pasal 11. Perjanjian-perjanjian bagi hasil yang sudah ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini, untuk panen yang berikutnya harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal-pasal diatas. Pasal 12. Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini tidak berlaku terhadap perjanjian-perjanjian bagi hasil mengenai tanaman keras. Pasal 13. (1) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak memenuhi atau melanggar ketentuan dalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3 maka baik Camat maupun Kepala Desa atas pengaduan salah satu fihak ataupun karena jabatannya, berwenang memerintahkan dipenuhi atau ditaatinya ketentuan yang dimaksudkan itu. (2) Jika pemilik dan/atau penggarap tidak menyetujui perintah Kepala Desa tersebut pada ayat 1 diatas, maka soalnya diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah fihak. Pasal 14. Jika pemilik tidak bersedia mengadakan perjanjian bagi hasil menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, sedang tanahnya tidak pula diusahakan secara lain, maka Camat, atas usul Kepala Desa berwenang untuk, atas nama pemilik, mengadakan perjanjian bagi hasil mengenai tanah yang bersangkutan. Pasal 15. (1) Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-; a. pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau pasal 11;
b. penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2; c. barang siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat 3. (2) Perbuatan pidana tersebut pada ayat 1 diatas adalah pelanggaran Pasal 16. Hal-hal yang perlu untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan undang-undang ini diatur oleh Menteri Muda Agraria sendiri atau bersama dengan Menteri Muda Pertanian. Pasal 17. Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 7 Januari 1960. Presiden Republik Indonesia, SOEKARNO. Diundangkan pada tanggal 7 Januari 1960, Menteri Muda Kehakiman, SAHARDJO.
HASIL WAWANCARA Nama
: Moh. Hasan
Jabatan
: Ketua Kelompok Tani
Hari / Tanggal: jum’at, 10 Oktober 2014 Jam
: 19.00-selesai
Tempat
: Kantor Kelompok Tani
1. sistem pertanian apa yang dipakai di Desa Tenggulun ini? jawab: sistem yang digarap sendiri, ada juga buruh tani, dan ada juga yang digarapkan orang lain. 2. Dalam melakukan sistem pertanian tersebut, adakah pedoman yang dirujuk? Seperti Undang-undang atau Konsep Islam? Jawab: kalau pedoman yang dirujuk seperti Undang-undang saya pikir tidak, akan tetapi biasanya itu mengacu pada hukum-hukum Islam sekiranya tidak melanggar dalam tatanan Islam kita laksanakan perjanjiannya. Terus terang kalau istilahnya Undang-undang tentang hal itu tidak ada. Karena kita antara penggarap dan yang mempunyai lahan itu cukup sepakat dengan ketentuan, yang tidak melanggar Islam 3. ada berapa kelompok pertanian di Desa ini? Apa fungsinya? Jawab: ada 3, fungsinya kelompok kalau yang kita laksanakan di desa itu, yang petama biasanya untuk melaksanakan pekerjaan tani itu bisa serempak, tanamannya bisa serempak, dipandu oleh satu kelompok. Sehingga untuk mengendalikan hama dan lain sebagainya itu bisa serempak. Sehingga kita nanti bisa panen dengan paling tidak bisa maksimal karena dengan kebersamaan. 4. sebagai ketua kelompok tani, bagaimana pandangan bapak tentang praktik kerjasama bagi hasil yang ada di Desa Tenggulun ini? Jawab: istilahnaya kalau pandangan dari ketua kelompok itu paling tidak mendukung, baik untuk kerja sama antara praktik pertanian, praktik kerja sama yang di desa ini
sangat baik. Artinya yang punya lahan dan yang menggarap insya allah tidak ada yang dirugikan. dan itu mengacu pada ketentuan yang ada dalam agama kita, tentu saja agama Islam sehingga keduanya sebelum ada penggarapan itu ada perjanjian di awal sehingga nanti tidak ada, istilahnya saling dirugikan. ya bagus sekali. 5. apa solusi buat para pihak yang berakad dalam kerjasama agar dalam pelaksaan perjanjian tersebut bisa adil? Jawab: biasanya kita jelaskan saja, untuk awal perjanjian itu ada yang dibuat perjanjian tertulis ada yang tidak, tapi kita saling percaya. Sehingga solusinya cuma nanti kita jelaskan saja kepada kedua belah pihak bahwa ini nantinya seperti apa. Sehingga diantara yang satu dengan yang lain yang penggarap atau yang punya sawah itu tidak saling dirugikan dan juga tidak ada istilahnya diuntungkan, jadi sama-sama karena ada ketentuan diawal. 6. bagaimana tindakan bapak sebagai ketua kelompok tani agar perjanjian kerjasama bagi hasil yang terjadi di desa ini bisa berjalan sesuai dengan konsep Islam yang ada? Jawab: biasanya sebelum ada akad itu, kalau muakkad kita perjelas lebih dahulu, bagaimana nanti ini yang punya sawah dan yang menggarap ini bisa tahu bahwa seperti ini lah perjanjian diawal yang tidak sesuai yang harus sesuai dengan agama Islam, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Islam. Yang awalnya di awal perjanjian itu kita perjelaskan kita beri pengertian yang sejelas-jelasnya biar keduanya saling mengerti dan tidak akan ada perselisihan di akhirnya nanti. Jadi di awal perjanjian itu kita jelaskan, kita beri pengetahuan, kita beri penjelasan. Sehingga nanti sama mengerti, kalau sudah mengerti, sama-sama mengerti barulah dimulai akad.
PEDOMAN WAWANCARA Nama
: sukaeri
Jabatan
: pihak penggarap
Hari / Tanggal: sabtu, 09 Agustus 2014 Jam
: 19.30-selesai
Tempat
: kediaman penggarap
1. Sistem pertanian apa yang dipakai di Desa ini? Jawab: sistem kerja sama dikerjakan sendiri, dan ada juga buruh tani. Sistem yang dimaksud disini bukan sistem irigasi ataupun tadah hujan. Kebanyakan tanah dikelola sendiri, ada juga yang dikerjakan oleh orang lain tapi hanya sebagian 2. Dalam melakukan sistem pertanian kerja sama adakah pedoman yang dirujuk? Seperti Undang-undang atau Konsep Islam? Jawab: ada dengan dasar saling menguntungkan. Yang punya sawah bisa mengambil keuntungan dari hasil pertanian tersebut, pihak penggarap ada keuntungan karena punya lahan yang bisa dikerjakan. Berdasarkan ayat alqura’an : wata’awanu ‘alal birri wattaqwa walaa ta’aawanuu ‘alal istmi wal ‘udwaan 3. Dalam menggunakan sistem bagi hasil, apakah ada ketentuan porsi bagi hasil panen di awal akad? Jika ada ketentuan, yang disebutkan tersebut berupa persen atau jumlah karung dari hasil panen? Jawab: kebanyakan masyarakat Desa Tenggulun tidak ada sistem porsi diawal akad, yang ada pasrah dengan hasil yang didapatkan ketika panen nanti, berapapun hasilnya saling terima. Tapi ada juga yang bagian porsinya 30% dari hasil panen. 4. Menurut kebiasaan masyarakat, berapa lama waktu yang diperjanjikan dalam melakukan perjanjian bagi hasil? Apakah ketentuan batas waktu tersebut disebutkan ketika awal akad?
Jaab: tidak ada batasan waktu, semampunya pihak penggarap. Ada ketentuan, tapi tidak ada batasan waktu. Sewaktu-waktu bisa dikembalikan oleh pihak penggarap dan sewaktu-waktu bisa diminta oleh pihak pemilik tanah apabila keduanya saling membutuhkan. apabila pihak penggarap sudah tidak sanggup maka lahan dikembalikan. 5. Jika ketentuan batas waktu yang disepakati sudah habis, tetapi petani penggarap belum menghasilkan panen langkah apa yang diambil? Apakah perjanjian kerja sama dikatakan selesai, karena mengikuti kesepakatan yang ditentukan, atau perjanjian kerja sama masih berlanjut sampai petani penggarap menghasilkan panen? Jawab: langkah yang diambil yaitu memperbarui akad baru lagi ketika sudah habis waktunya, kalau seumpama habis waktu 3 tahun berati kalau sudah habis ada kesepakatan baru lagi. Ketika tengah-tengah perjanjian tapi belum panen dan waktunya sudah habis, maka masih berlanjut sampai panen, jadi minta perjanjian ditambah waktunya. Bagi petani penggarap menunggu sampai hasil panen 6. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan praktek kerja sama bagi hasil dalam pertanian, apakah ada pihak yang dirugikan? pihak mana yang dirugikan? kenapa? Jawab: tidak ada yang dirugikan oleh hasil, karena bibitnya dari petani. Kalau pembagian hasil panen juga tergantung panen yang didapatkan, kalau panen banyak pemilik tanah juga dikasih bagian banyak, tapi kalau penggarap dapat hasil panen cuma sedikit pemilik tanah juga dikasih bagian sedikit. Karena jika pemilik tanah dikasih banyak dan hasil panennya sedikit nanti dikhawatirkan tidak ada yang sanggup menggarapnya. Kalaupun ada yang merasa rugi biasanya pihak petani,
karena sudah mengeluarkan biaya tapi tidak mendapatkan hasil panen karena semua biaya pertanian ditanggung oleh penggarap. 7. Dalam praktek kerja sama bagi hasil pertanian, apakah ada pihak yang merasa tidak adil dalam pembagiannya? Jawab: dijawab tidak ada benar, dijawab ada juga benar. Jawaban ada jika tidak menghasilkan panen maka pihak pemilik sawah rugi, karen pemilik tanah dibebani dengan bayaran pajak tanah, rugi karena tidak hasil sedangkan beban pajak dibebankan pada pemilik sawah. 8. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan perjanjian kerja sama bagi hasil pertanian, dari manakah modal yang dipakai untuk mengelolah lahan tersebut? Jawab: dari pihak petani, karena kebiasaan masyarakat desa sini semua biaya apapun ditanggung oleh pihak petani. 9. Ketika kesepakatan kerja sama sudah terlaksana dan sudah menghasilkan panen, pihak mana yang mengeluarkan zakat? Jawab: yang mengeluarkan zakat petani atau penggarap sawah. 10. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah pemilik lahan menjelaskan batasan-batasan dari lahan tersebut? Jawab: ada sebagian yang dijelaskan batasan-batasan lahan dan luas tanahnya. 11. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah masih ada campur tangan dari pemilik lahan untuk ikut serta dalam mengelolah lahan tersebut? Jawab: tidak ada, karena pemilik tanah sudah percaya kepada pihak petaninya. 12. Darimanakah biaya pengeluaran untuk bibit, alat, dan tenaga kerja dari pihak lain?
Jawab: dari penggarap petani 13. Apa alasan dilakukannya praktek kerja sama bagi hasil pertanian ini? Jawab: karena kebanyakan pemilik tanah pergi merantau ke malaysia, alasannya: a. Bagi pemilik tanah tidak mampu menggarap tanahnya dan tidak ada kemampuan. b. Ditinggal ke malaysia c. Usia yang sudah tua, dan anak-anak mudanya ke malaysia. Sehingga tidak ada kemampuan untuk menggarap sawahnya d. Penggarap tidak mempunyai lahan 14. Bagaimana praktek perjanjian kerja sama bagi hasil ini? Apakah sesuai adat atau sesuai dengan konsep Islam? Jawab: kebanyakan adat, adat dan kesepakatan bersama. Kalau masalah konsep Islam juga tidak sepenuhnya. Karena yang berlaku sesuai adat kebiasaan dan tidak melanggar konsep Islam. Karena ada akad, ada kesepakatan jadi masih sesuai konsep Islam yang ada. Ada juga an taradhin (rela sama rela). Kalau keduanya sudah saling rela maka sudah tidak ada masalah. 15. Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap adanya konsep Islam yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil pertanian? Jawab: ada yang mengetahui, tapi tetap berpacu kepada adat. Sebagian yang berpendidikan mengetahui tentang tata cara menggarap sawah. Sebagian masih ada yang mengetahui, masih ada pak kyai, ada pak guru juga jadi tidak semuaya tidak mengetahuinya. 16. Dalam menyepakati akad, bagaimana cara kedua belah pihak menyepakatinya? Apakah dengan tertulis, cukup dengan lisan, atau langsung serah terima dengan tindakan?
Jawab: kebanyakan cukup dengan lisan dan langsung disertai serah terima tindakan, tidak ada yang tertulis. Syukur-syukur dengan ucapan ini lahannya tolong dikelola. 17. Apakah ada pembagian kelompok pertanian di Desa ini? Jika ada, dibagi menjadi berapa kelompok? Fungsinya apa? Jawab: ada 3 kelompok tani, fungsinya untuk mensejahterakan warganya, sama halnya
dengan KUD. Untuk
mengatur pembagian jatah dari pemerintah,
mempermudah penyaluran dari pemerintah disamping itu meringankan beban kelompok, kesulitan biaya, penyuluhan pemberantasan hama. Agar petani mudah diberi pengetahuan tentang pertanian.
PEDOMAN WAWANCARA Nama
: Ma’shum
Jabatan
: Toko masyarakat
Hari / Tanggal: jum’at, 08 Agustus 2014 Jam
: 20.00-selesai
Tempat
: musollah Thoriqotul Hidayah
1. Sistem pertanian apa yang dipakai di Desa ini? Jawab: sistem pertanian ada yang model digarapkan orang lain ada yang digarap sendiri biasanya memang berlaku begitu, jadi ada yang bagian garap dan ada yang pemilik lahan. Kalau tidak memungkinkan untuk menggarap sawahnya sendiri sehingga diserahkan kepada orang lain yang memang butuh garapan akhirnya mereka menggarap lahan tersebut. Ada juga yang dari orang lain kebetulan tidak punya sawah, dan kadang punya sawah tapi sedikit atau ada kalanya memang tidak punya sama sekali dan dia mempunyai keinginan jadi petani dan lapangan untuk penggarapan tidak ada sehingga menggarap lahan orang lain, sementara ada yang punya banyak lahan dan tidak punya kesempatan untuk menggarap atau tidak memungkinkan untuk menggarap sawahnya sendiri sehingga harus ada orang lain yang menggarap sawah itu. 2. Dalam melakukan sistem pertanian adakah pedoman yang dirujuk? Seperti Undang-undang atau Konsep Islam? Jawab: kalau dalam melakukan sistem pertanian di Desa Tenggulun khususnya ini tidak mengacu pada Undang-undang cuma adat kebiasaan yang berlaku di pertanian itu sendiri. jadi tidak mengacu pada Undang-undang juga tidak mengacu pada konsep Islam walaupun mayoritas beragama Islam.
3. Dalam menggunakan sistem bagi hasil, apakah ada ketentuan porsi bagi hasil panen di awal akad? Jawab: kalau sistem bagi hasil itu sebagian besar memang tidak ada kesepakatan, tapi tidak semuanya begitu, banyak juga yang tergantung dari hasil panen pertanian nanti itu bagaimana. Kalau memang nanti hasilnya memuaskan pemilik lahan juga dikasih yang memuaskan. Kalau nanti hasilnya ternyata tidak memuaskan biasanya pemilik lahan juga tahu, jadi mengetahui masih bisa memberikan kesempatan pada hari yang lain atau tahun-tahun yang lain. Namun juga ada yang model kesepakatan di awal. jadi seumpama setahun ini memang kesepakatan masing-masing mendapat hasil sekian, tidak peduli hasil panen memuaskan atau tidak panen penggarap biasanya harus membayar sekian. Jadi ada 2 model yang berlaku. Jadi ada yang model ada kesepakatan diawal-awal akad itu memang sudah ada kesepakatan, jadi harus bayar sekian tiap tahun, dan ada juga yang model tidak demikian, jadi nunggu nanti hasilnya. 4. biasanya yang disebutkan tersebut berupa persen atau jumlah karung dari hasil panen? Jawab: yang berlaku disini jumlah karungan, jadi berapa karung yang didapat, ada juga yang tidak mengacu pada jumlah karungan yang didapat. Jadi berdasarkan dari kesepakatan awal ketika awal akad itu. Jadi untuk sekian tahun ini harus memberikan sekian. 5. Menurut kebiasaan masyarakat, berapa lama waktu yang diperjanjikan dalam melakukan perjanjian bagi hasil? Apakah ketentuan batas waktu tersebut disebutkan ketika awal akad? Jawab: ini ada 2 macam juga, ada yang tidak terikat dengan batasan waktu berapa tahun, namun ada juga yang pakai batasan waktu yaitu batasan tahun. Jadi ada yang
semampunya pihak penggarapnya. Selama pihak penggarap ini masih mampu maka tidak dibatasi berapa tahun. ini karena pemilik lahan sudah tidak memungkinkan untuk menggarap lagi. Adakalanya pakai waktu sekian tahun dan akad itu terjadi diawal, di awal tahun itu harus memberikan persekot sekian ada juga yang modelmodel demikian ada yang batasan waktu. Ada juga yang tidak pakai batasan waktu. Jadi ada 2 fersi. 6. kalau ada batasan waktu apakah ada ketentuan diawal akad? Jawab: kalau pakai batasan waktu itu memang diawal akad sudah ditentukan, jadi kesepakatan kedua belah pihak antara pemilik lahan dengan si penggarap itu diawalawal memang sudah ditentukan. 7. Jika ketentuan batas waktu yang disepakati sudah habis, tetapi petani penggarap belum menghasilkan panen langkah apa yang diambil? Apakah perjanjian kerja sama dikatakan selesai, karena mengikuti kesepakatan yang ditentukan, atau perjanjian kerja sama masih berlanjut sampai petani penggarap menghasilkan panen? Jawab: biasanya yang berlaku ini tidak pernah sampai ada kejadian yang gagal panen total. Jadi dapat dikatakan seumpama musim tahun ini tidak panen biasanya masih ada untuk berikutnya. Jadi, perjanjian itu biasanya tidak hanya setahun jadi masih beberapa tahun. Makanya yang dipakai disini itu tidak tahun jadi istilahnya berapa musim hujan berapa musim kemarau. Satu kemarau satu musim hujan, atau 3 kemarau 3 musim hujan. Ya begitulah, jadi jika tidak dapat menghasilkan nanti musim kemarau atau musim hujannya pasti menghasilkan, jadi tetap dilanjutkan si penggarap masih tetap melanjutkan penggarapan, jadi nanti berikutnya kalau musim hujan ini tidak panen tidak masalah bagi pemilik lahan sudah memaklumi jadi tidak menuntut harus dikasih.Kalau waktunya sudah habis dan belum juga panen itu
biasanya nunggu sampai panen, jadi sampai selesai waktu panen itu baru dikembalikan. Jadi masih dikasih tenggang waktu sampai panen itu didapat. 8. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan praktek kerja sama bagi hasil, apakah ada pihak yang dirugikan? Jawab: sementara ini perjanjian antara kedua belah pihak ini kayanya tidak ada yang dirugikan, jadi yang biasa terjadi sudah saling mengetahui, saling tenggang rasa, dan saling mengerti. Kalau sementara kurang hasil bagi pemilik tanah sudah memaklumi tidak ada pihak yang berebutan bagi pihak penggarap maupun pihak pemilik tanah. 9. Dalam praktek kerja sama bagi hasil, apakah ada pihak yang merasa tidak adil dalam pembagiannya? pembagian porsi panen pak! Jawab: kalau yang berlaku ini ya tidak ada. Cuma barangkali ada dalam hati kadangkadang merasa itu hanya perasaan, merasa bagiannya sedikit padahal dapat panen yang lumayan, tapi tidak terlalu menyolok kalau merasa dirugikan, Kebanyakan sudah biasa maklum yang penting dikasih. 10. Kebiasaan masyarakat Desa Tenggulun dalam melakukan perjanjian kerja sama bagi hasil, dari mana modal yang dipakai untuk mengelolah lahan? Jawab: dalam pengelolaan lahan ini 100% dari penggarap sawah. mulai dari bibit, sampai dengan pupuk, maupun penggarapan dan lain sebagainya samapai pengolaaannya itu seluruhnya adalah dari pihak penggarap, jadi yang harus membiayai keseluruhannya adalah dari pihak penggarap. Kalau pemilik lahan hanya menyerahkan lahannya, jadi seluruhnya pengolaan tersebut mulai dari pengolaannya dan lain sebagainya ini adalah dari orang yang menggarap.
11. Ketika kesepakatan kerja sama sudah terlaksana dan sudah menghasilkan panen, pihak mana yang mengeluarkan zakat? Jawab: yang mengeluarkan zakat dari kedua belah pihak adalah dari penggarap lahan, jadi penggarap lahan kalau memang panennya memuaskan dan dapat satu nishab maka dari pihak penggarap inilah yang harus mengeluarkan zakat. Tapi kadang kalau tidak sampai satu nishab maka mengeluarkan infaq, jadi penggarap yang mengeluarkan infaq maupun yang mengeluarkan zakat. 12. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah pemilik lahan menjelaskan batasan-batasan dari lahan tersebut? Jawab: biasanya tidak ada penjelasan di awal kesepakatan, karena satu desa dan sudah saling tahu batasan-batasan dari lahan tersebut, batasan waktu ini sudah dibahas ketika awal akad, jadi sudah saling mengetahui antara pemilik lahan dan penggarap dan tidak perlu ada penjelasan atau rincian yang begitu rinci . 13. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah masih ada campur tangan dari pemilik lahan untuk ikut serta dalam mengelolah lahan tersebut? Jawab: kalau masalah pengelolaan lahan tersebut adalah murni 100% dari pihak penggarap, jadi pihak pemilik lahan sudah tidak tahu sama sekali ini model digarap seperti apa, ataupun ini ditanami apa. Jadi 100% diserahkan sepenuhnya atau dikelolah sepenuhnya oleh penggarap. Jadi pemiliki lahan sudah tidak ikut campur tangan sama sekali. 14. Darimana biaya pengeluaran untuk bibit, alat, dan tenaga kerja dari pihak lain? jawab: kalau mengenai bibit, termasuk alat-alat penggarapan, termasuk tenaga kerja dan lain sebagainya ini 100% dari penggarap. jadi pemilik lahan sudah tidak tahu menahu.
15. kebanyakan alasan yang dilakukan praktek kerja sama bagi hasil pertanian itu apa? Jawab: alasan yang dilakukan ini adalah karena dari pihak pemilik lahan sudah tidak sanggup, tidak ada waktu, tidak punya kesempatan, tidak ada tenaga untuk menggarap lahannya, sementara ada keluarga yang lain yang sangat membutuhkan garapan untuk mendapatkan hasil dari pertanian, sementara tidak punya lahan. Jadi harus menggarap lahan dari orang lain. Sementara orang lain ini butuh tenaga untuk mengelola sawahnya, supaya tidak jadi tanah kosong yang kotor dan banyak rumputnya disebabkan tidak tergarap akhirnya jadi hutan belantara yang tumbuhan apapun ada disitu. Sementara tanah tidak menghasilkan apa-apa lebih baik diserahkan kepada orang lain supaya sawahya bersih, bebas dari berbagai tumbuhan liar, dan bisa menghasilkan, sawahnya juga bersih teratur. Dari situlah akhirnya terjadi kesepakatan kerja sama antara pemilik lahan sama penggarap 16. Bagaimana praktek perjanjian kerja sama bagi hasil ini? Apakah sesuai adat atau sesuai dengan konsep Islam? Jawab: yang terjadi kerja sama ini adalah kesepakatan, jadi kesepakatan kedua belah pihak sesuai adat. Jadi adat yang berlaku disini bisanya bagaimana itulah yang dipakai oleh masyarakat sini. 17. Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap adanya konsep Islam yang mengatur tentang perjanjian bagi hasil pertanian? Jawab: sebagian ada yang tahu, tapi tidak keseluruhannya tahu. tidak keseluruhan petani tahu tentang konsep Islam. Namun sementara yang dipakai ini adalah adat, jadi adat kebiasaan pertanian yang ada disini yang dipakai, tidak pakai yang menganut konsep Islam .
18. Dalam menyepakati akad, bagaimana cara kedua belah pihak menyepakatinya? Apakah dengan tertulis, cukup dengan lisan, atau langsung serah terima dengan tindakan? Jawab: dalam kesepakatan antara pemilik lahan dengan penggarap lahan ini biasanya cukup dengan lisan dan dengan tindakan. Jadi langsung serah terima antara pemilik lahan dengan pengarap jadi tidak pakai tertulis atau materai dan lain sebagainya. 19. Apakah ada pembagian kelompok pertanian di Desa ini? Jika ada, dibagi menjadi berapa kelompok? dan Fungsinya apa? Jawab: kelompok tani di desa ini ada dan dibagi menjadi 3 kelompok tani. Ada kelompoknya bapak muhammad hasan, ada kelompoknya bapak suraji, dan ada kelompoknya bapak sahari. Fungsi dari kelompok tani ini biasanya ada permintaan dari kelompok tani kecamatan maupun kabupaten sesuai dengan pengucuran dana bantuan. biasanya bantuan unutk petani biasanya berupa bibit, maupun pupuk obatobatan, dan kadang ada bantuan alat-alat pertanian. Untuk memudahkan bantuan itu biasanya dari kelompok tani itulah diminta datanya. Jadi fungsinya untuk memudahkan pendataan ketika ada bantuan dari pemerintah untuk petani dari masingmasing kelompok, berapa anggota yang dia bawa.
HASIL WAWANCARA Nama
: H. Munifah
Jabatan
: pemilik lahan
Hari / Tanggal: senin, 11 Agustus 2014 Jam
: 10.00-selesai
Tempat
: kediaman pemilik lahan
1. apa alasan ibu sebagai pemilik tanah melakukan praktek kerja sama bagi hasil pertaninan ini? Jawab: karena saya memiliki banyak lahan yang harus dikelola. Jadi saya pikir saya tidak sanggup, tidak mempunyai kemampuan yang lebih dalam mengelola lahan yang banyak. Selain itu juga saya tidak ada waktu untuk membagi dalam pengelolaannya. Baru mengelola lahan sedikit saja sudah capek. Untuk menggarap lahan yang banyak juga memutuhkan biaya yang banyak dan saya tidak mampu. Dari pada lahan saya banyak yang nganggur yaaah saya pasrahkan saja kepada saudara atau tetangga saya yang sanggup untuk menggarap lahan saya. 2. dalam melakukan sistem pertanian tersebut, adakah pedoman yang dirujuk seperti Undang-undang atau konsep Islam? Jawab: kalau masalah pedoman yang dirujuk saya kurang tahu dalam masalah ini. Saya juga tidak tahu isi pedoman yang ada dalam Undang-undang ataupun dalam Islam. Jadi berjalan seperti biasa yang dilakukan oleh masyarakat sini. 3. dalam menentukan sistem bagi hasil, apakah ada ketentuan porsi bagi hasil panen di awal akad? Jawab: dalam bagi hasil saya tidak menentukan berapa porsi yang harus saya dapatkan. Jadi pembagiannya terserah penggarapnya ngasih berapa. Tergantung panen yang dihasilkan. Kalau dikasih banyak ya syukur, kalau sedikit ya terima apa adanya, kasihan
yang menggarap juga, mengelola lahan juga tidak gampang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 4. menurut kebiasaan masyarakat, berapa lama waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian bagi hasil? Jawab: batas waktu tidak disebutkan diawal akad. Pengelolaan tergantung sesanggupnya penggarap. 5. kebiasaan masyarakat, dalam praktek kerja sama bagi hasil. Jika ketentuan batas waktu yang disepakati sudah habis, tetapi petani penggarap belum menghasilkan panen langkah apa yang diambil? Apakah perjanjian kerja sama dikatakan selesai, karena mengikuti kesepakatan yang ditentukan, atau perjanjian kerja sama masih berlanjut sampai petani penggarap menghasilkan panen? Jawab: perjanjian akan terus berlanjut sampai menghasilkan panen. 6. kebiasaan masyarakat dalam melakukan praktek kerja sama bagi hasil dalam pertanian, apakah ada pihak yang dirugikan? jawab: masalah rugi tidaknya tergantung, kadang rugi kadang tidak. Karena kerugian dapat dilihat dari pembagian hasil panennya, kalau penggarap dapat panennya banyak tapi saya dikasih ke saya sedikit ya saya rugi. Kalau memang panennya dapat sedikit dikasih ke saya sedikit ya saya bisa maklum, karena memang hasilnya segitu, jadi ikhlas saja. 7. kebiasaan masyarakat dalam melakukan perjanjian kerja sama bagi hasil dari mana modal yang dipakai untuk mengelola lahan? Jawab: modal semuanya ditanggung oleh penggarap 8. apabila lahan sudah diserahkan kepada penggarap apakah pemilik tanah menjelaskan dari batasan lahan tersebut? Jawab: karena penggarap sudah tahu batasan galengannya jadi tidak usah dijelaskan lagi.
9. Apabila lahan sudah diserahkan kepada pihak penggarap, apakah masih ada campur tangan dari pemilik lahan untuk ikut serta dalam mengelolah lahan? Jawab: pemilik tanah ya sudah tidak ada urusan campur tangan lagi. Kalau masih ada campur tangan dari saya nanti malah saya rugi. 10. Bagaimana praktek perjanjian kerja sama bagi hasil ini? Apakah sesuai adat atau sesuai dengan konsep Islam? Jawab: praktek kerja sama ini saya mengikuti kebiasaan yang terjadi di desa ini. Mengikuti bagaimana masyarakat melakukannya. Saya juga tidak tahu konsep Islam itu bagaimana. Jadi ya mengikuti yang sudah biasa terjadi lagian ngambil gampangnya juga. karena sudah biasa berjalan seperti itu. 11. Dalam menyepakati akad, bagaimana cara kedua belah pihak menyepakatinya? Apakah dengan tertulis, cukup dengan lisan, atau langsung serah terima dengan tindakan? Jawab: dalam menyepakatinya saya cukup dengan ucapan lisan dan langsung serah terima. Kalau sudah ada kesepakatan maka penggarap langsung mengerjakan yang sudah menjadi tanggung jawabnya.