2
lain juga diharapkan dapat berfungsi sebagai upaya pemerataan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan usaha hingga sampai ke pedesaan. Kabupaten Purbalingga adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah bagian selatan yang dalam satu dekade terakhir, mulai menunjukkan geliatnya, terutama dari sektor jasa, selain dua sektor lainnya yaitu perdagangan dan pertanian. Ketiga sektor tersebut merupakan sektor yang paling dominan dan maju di wilayah Kabupaten Purbalingga sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1.1. Menyadari potensi agraris pedesaan di wilayahnya, selain sektor pertanian, Kabupaten Purbalingga juga berupaya mengembangkan potensi-potensi wisata berbasis pedesaan. Salah satu yang cukup terkenal dan merupakan desa wisata tertua karena sudah ada sejak tahun 1992 adalah Desa Wisata Karangbanjar. Tabel 1. 1. Struktur Ekonomi Kabupaten Purbalingga Atas Dasar Harga Konstan Lapangan Usaha
2006 (%)
2007 (%)
2008 (%)
2009 (%)
2010 (%)
Rata-Rata Kontribusi (%)
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas dan air bersih
34,89
34,25
33,44
32,72
31,98
33,46
0,65
0,67
0,69
0,71
0,72
0,69
9,91
9,94
10,02
10,10
10,21
10,04
0,68
0,65
0,64
0,64
0,65
0,65
Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
7,90
7,96
8,12
8,27
8,37
8,12
18,17
18,34
18,38
18,42
18,51
18,36
5,41
5,37
5,41
5,45
5,47
5,42
5,67
5,98
6,05
6,12
6,11
5,99
Jasa-jasa Produk Domestik Regional Bruto
16,71
16,85
17,23
17,58
17,98
17,27
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Purbalingga dalam angka 2011
3
Desa Karangbanjar sendiri berada kurang lebih 2 kilometer sebelah barat Ibukota Kecamatan Bojongsari dan 5 kilometer sebelah utara ibukota Kabupaten Purbalingga. Magnet wisatanya berupa potensi home industry rambut dan pembuatan aneka kerajinan tangan (handmade). Selain landscape-nya yang cukup menawan dengan udara sejuk khas pedesaan, serta kehidupan masyarakat yang masih tradisional, Desa Wisata Karangbanjar juga menyajikan suatu petualangan budaya berupa pertunjukan kesenian khas bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke desa tersebut. Ini membuktikan bahwa dengan kesahajaan, desa sebenarnya mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata. Berdiri telah cukup lama, desa wisata ini juga mengalami pasang surut perkembangan. Sempat mengalami masa kejayaan di periode tahun 1992-2000, lalu setelah itu cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut ditandai dengan tidak adanya aktivitas pariwisata saat ini yang tercermin dari jumlah pengunjung seperti terlihat pada tabeli 1.2 berikut ini Tabel 1. 2. Jumlah kunjungan wisatawan Desa Wisata Karangbanjar Tahun
2006
Jumlah
740
2007 957
2008
2009
2.312
1.121
2010 423
2011 -
2012 -
2013 -
Sumber: profil Desa Wisata Karangbanjar 2012
Jumlah kunjungan dalam periode tahun 2006-2011 berdasarkan tabel di atas terjadi saat ada pengembangan di kawasan sekitar Desa Wisata Karangbanjar. Secara lokasional, Desa Wisata Karangbanjar memang tidak berdiri sendiri. Desa ini terletak di posisi yang sangat strategis karena diapit oleh dua obyek wisata yang cukup terkenal Obyek Wisata Air Bojongsari (Owabong), sebuah wisata
4
wahana air terbesar di Jawa Tengah dan Sanggaluri Park, berupa wahana wisata edukasi yang terdiri dari taman reptil, museum uang dan museum pendidikan. Owabong mulai dioperasikan pada tahun 2005 sedangkan Sanggaluri Park dibuka sejak tahun 2007. Tidak hanya membangun dua obyek wisata saja, pada tahun 2008, Pemkab Purbalingga juga meningkatkan kualitas jalan penghubung antara Owabong dan Sanggaluri Park yang melalui Desa Wisata Karangbanjar. Melalui pengembangan ini, diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisata yang datang ke Kabupaten Purbalingga. Mengenai posisi Desa Wisata Karangbanjar terhadap dua obyek wisata lainnya dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut ini
Gambar 1. 1. Posisi Desa Wisata Karangbanjar Terhadap Owabong di Desa Bojongsari dan Sanggaluri Park di Desa Kutasari Sumber: Citra Google Earth dan olahan
5
Desa wisata, idealnya memang tidak berdiri sendiri. Selain memiliki keunikan yang khas sebagai daya tarik alangkah baiknya bila desa wisata tersebut juga berdekatan atau terintegrasi dengan jalur wisata yang menghubungkan dengan obyek wisata alam atau budaya yang sangat menarik dan terkenal yang mampu menyedot kunjungan wisatawan dalam jumlah masif agar desa wisata tersebut mampu hidup dan berkembang. Model desa wisata seperti itu sebut saja seperti Desa Wisata Bejiharjo yang terkenal dengan Goa Pindulnya, Desa Wisata Candirejo yang berdekatan dengan Candi Borobudur dan Desa Wisata Dieng Kulon di lokasi wisata Dieng Plateu.
Gambar 1. 2. Posisi Desa Wisata Karangbanjar, Owabong di Desa Bojongsari dan Sanggaluri Park di Desa Kutasari terhadap Kota Pusat Pelayanan (KPP) Purbalingga Sumber: Bappeda Kabupaten Purbalingga dan olahan
Dengan adanya pengembangan yang sedemikian masif, seharusnya Desa Wisata Karangbanjar dapat menjadi sebuah desa wisata yang berkembang, namun
6
pada kenyataannya tidaklah demikian. Jumlah pengunjung hanya terjadi sesaat dan kemudian terus mengalami penurunan dan bahkan selepas tahun 2010 hingga saat ini, sudah tidak ada lagi aktivitas kegiatan pariwisata di desa tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1. Seperti apa kecenderungan perkembangan Desa Wisata Karangbanjar selama ini? 2. Mengapa perkembangan sektor wisata di desa tersebut menurun? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi kecenderungan perkembangan Desa Wisata Karangbanjar sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2013 2. Menemukan faktor penyebab menurunnya sektor pariwisata di Desa Wisata Karangbanjar. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelaku dan pemangku kepentingan baik pemerintah maupun masyarakat dalam mengambil
kebijakan
yang
dianggap
perlu
untuk
mengoptimalkan
perencanaan dan arah pengembangan Desa Wisata Karangbanjar ini sebagai salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Purbalingga.
7
2. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber referensi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai tata kelola, pengembangan dan perencanaan sebuah desa wisata untuk menunjang kegiatan pariwisata di Jawa Tengah pada umumnya dan Kabupaten Purbalingga pada khususnya. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian ini asli karena topik Perkembangan Desa Wisata Karangbanjar Kabupaten Purbalingga dengan fokus dan lokus yang sama belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan Desa Wisata Karangbanjar dan menemukan penyebab menurunnya sektor wisata di desa tersebut. Namun penelitian yang bertemakan tentang pengembangan desa wisata sudah beberapa kali dilakukan meskipun dengan fokus dan lokus yang berbeda, seperti yang pernah diteliti Leibo (2010) tentang peranan masyarakat lokal dalam pengembangan produk desa wisata di Desa Wisata Tembi, Bantul, Yogyakarta dengan metode studi kasus menyimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam penyediaan produk wisata di aspek perencanaan cukup besar namun kurang terarah. Hal itu nampak dalam kehadiran masyarakat dan perwakilan masyarakat yang cukup besar namun di proses pelaksanaannya kurang terlibat sepenuhnya sehingga nilai manfaat hanya didapatkan oleh individu yang terlibat aktif. Arsanti
(2012)
meneliti
tentang
partisipasi
masyarakat
dalam
pengembangan Desa Wisata Dusun Sambi Desa Pakembinangun. Tujuan dari penelitiannya untuk mengetahui keterlibatan dan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan desa wisata berdasarkan faktor pendidikan dan pekerjaannya.
8
Metode penelitian yang digunakan adalah metode sensus melalui pengambilan data primer dan data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah (1) masyarakat kurang berperan aktif dalam kegiatan Desa Wisata Sambi, (2) pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi dalam bentuk pikiran, tenaga dan modal untuk menunjang pengembangan desa wisata, (3) untuk mendorong partisipasi masyarakat diperlukan keterbukaan, keaktifan masyarakat yang didukung oleh ajakan pengurus desa wisata dan kebijakan pengelola yang adil dalam pembagian tugas maupun dalam pengambilan keputusan. Raharjana (2005) lebih menekankan pada pemetaan potensi dan mengamati satu fenomena unik yang terjadi di desa tirtoadi yaitu migrasi dan bermukimnya Burung Kuntul dan Burung Blekok di desa tersebut serta mengkaji bagaimana tanggapan/respon masyarakat atas fenomena tersebut kaitannya dengan pengembangan pariwisata di desanya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan perspektif etnoekologi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sutirtayasa (2001) lebih menekankan pada faktor-faktor penyebab belum berkembangnya kawasan pariwisata ujung dilihat dari peran para stakeholdernya seperti kebijakan pemerintah dan dukungan pihak-pihak terkait lainnya yang berasal dari organisasi pariwisata, pihak swasta/investor dan masyarakat sekitar. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif melalui pendekatan rasionalistik.