Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI Reski Lestari 1
[email protected] 2
Marwati
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk mengungkap sebuah fakta empiris secara objektif ilmiah dengan berlandaskan pada logika keilmuan, prosedur dan didukung oleh metodologi dan teoritis yang kuat sesuai disiplin keilmuan yang ditekuni.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan Metode rekam yaitu teknik yang digunakan untuk merekam percakapan seluruh pembicaraan informan dilingkunganSMP Negeri 10 Kendari.Teknik simak yaitu cara yang digunakan untuk memperolehdata dengan menyimak penggunaan bahasa dari percakapan sedangkan catat yaitu teknik yang digunakan dengan cara mencatat percakapan informan untuk mendapatkan data tambahan.Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenaiKesantunan Berbahasa Indonesia di Lingkungan SMP Negeri 10 Kendari maka penulis dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa di lingkungan SMP 10 Kendari menggunakan Prinsip kesantunanyang dikembangkan oleh Leech. Prinsip kesantunan yang dimaksud yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim kesimpatian dan maksim pertimbangan yang terdapat di Lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Prinsip kesantunan tidak selalu diterapkan dalam percakapan karena dalam lingkunganSMP 10 Kendari yang dijadikan penelitian tidak memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan pada saat berbicara antara penutur dan mitra tutur dengan konteks dan situasinya. Kata Kunci: Kesantunan, Berbahasa Indonesia, Lingkungan Sekolah.
PENDAHULUAN Dalam masyarakat ada komunikasi atau saling hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat (Soeparno, 2002: 5). Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita, karena setiap hari kita berkomunikasi menggunakan bahasa. Para pakar lingustik deskriptif 1 2
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UHO
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 1
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
biasanya mendefinisikan bahasa sebagai “satu sistem lambang bunyi yang bersifat mana suka (arbiter), yang kemudian lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.” (Chaer, 2003: 32). Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari? Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Penelitian ini membahas tentang kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang rinci dan mendalam tentang kesantunan berbahasa Indonesia sehingga dapat memberikan sumbangan pengkajian pragmatik. Selain itu manfaat lain yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah: 1. Sebagaiinformasidanmasukankepadasiswamaupunmasyarakattentangkesantun anberbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. 2. Sebagai bahan rujukan atau perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat batasan istilah agar tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan istilah, yakni sebagai berikut. 1. Kesantunan berbahasa adalah kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa ketika berkomuniksi. 2. Maksim adalah kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidahkaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan interprestasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. KAJIAN PUSTAKA Pengertian Bahasa Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan sesama manusia. Bahasa menjadi ciri identitas suatu bangsa. Melalui bahasa, orang dapat mengidentifikasi kelompok masyarakat, bahkan dapat mengenali perilaku dan kepribadian masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, masalah kebahasaan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat penuturnya. Menurut Sukmawati dkk, (2008: 1), bahasa sebagai alat komunikasi verbal merupakan suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter. Artinya tidak ada hubungan wajib antara lambang sebagai hal yang menandai yang berwujud kata dengan benda atau konsep yang ditandai yaitu referen dari kata tersebut. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berbunyi “Kami Putra Putri Indonesia Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indonesia”. Artinya bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional yang kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah. Rahardi, (2009: 8). Pragmatik Levinson (dalam Tarigan, 2009:31), mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 2
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat dan konteks secara tepat.Berarti pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Dengan demikian pragmatik sangat erat dengan tindak tutur.Tuturan tersebut memiliki makna, maksud atau tujuan, sehingga perlu dikaji dengan bidang pragmatik.Terjadinya sebuah tindak ujar atau tuturan tentu karena adanya situasi ujaran. Paker (dalam Rahardi, 2005: 22) menjelaskan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal.Adapun yang dimaksud dengan hal ini adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya.Pakar ini membedakan pragmatik dengan studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa secara internal.Menurutnya, studi tata bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks. Dapat diketahui bahwa pragmatik sebagai salah satu disiplin ilmu bahasa yang memiliki peranan cukup penting.Dengan mempelajari dan menguasainya, seseorang tidak hanya memahami struktur formal sebuah bahasa tetapi juga struktur fungsional yang menyangkut bagaimana unsur-unsur formal itu berfungsi dalam tindakan dalam berkomunikasi. Thomas (dalam Rahardi, 2009: 27) mendenifisikan pragmatik dengan menggunakan sudut pandang sosial dan sudut pandang kognitif.Dengan sudut pandang sosial, Thomas menghubungkan pragmatik dengan makna pembicarakedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif dihubungkan dengan interprestasi tuturan. Pemaknaan tuturan dalam pragmatik merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta konteks tuturan. Dari penjelasan beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks non bahasa.Konteks ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana. Tindak Tutur Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam situasi dan tempat tertentu. Tindak tutur adalah sepenggal tutur yang dihasilkan sebagai bagian dari interaksi sosial Sumarsono, (2014: 323). Richard (1995), (dalam Syahrul, 2008: 31) menjelaskan kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti dalam setiap kegiatan bertutur terjadi tindak tutur. Teori tindak tutur secara khusus telah dibahas oleh dua ahli filsafat yaitu Jhon Austin (1962) dan Jhon Searle (1965), (dalam Andianto, 2013: 26). Keduanya menegaskan, bahasa digunakan tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi untuk melakukan tindakan yang dapat diindikasikan dari tampilan ujaran atau tuturan itu
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 3
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
sendiri. Menurut Austin (1962), (dalam Andianto, 2013: 26) setidaknya terdapat tiga macam tindak tutur yang harus dipahami bersama oleh peserta tutur, yaitu (1) tindak lokusioner, (2) tindak ilokusioner, dan (3) tindak perlokusioner. Tindak lokusioner Tindak lokusioner atau lokusi adalah tindak berbicara dengan mengucapkan sesuatu dengan kata sesuai makna kamus atau makna kalimat menurut kaidah sintaksisnya. Jadi berupa ujaran yang dihasilkan oleh penutur dan maknanya sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri. Misalnya seorang penutur mengujarkan sebuah kalimat yang berbunyi, “saya haus” maka kalimat itu mengandung arti, saya sebagai orang pertama tunggal dan haus mengandung makna mengacu ke tenggorokan kering, dan perlu diucapkan tanpa bermaksud minta minum. Contoh lain dalam ujaran, kakiku gatal, yang di ujarkan oleh seorang penutur, maka tindak tutur lokusionernya semata-mata hanya bermaksud memberitahukan kepada mitra tutur bahwa kaki penutur dalam keadaan sakit gatal. Demikian pula ujaran Anda merokok? Tindak ilokusionernya adalah kalimat Tanya. Tindak Ilokusioner Tindak ilokusioner atau ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu, yakni kita berbicara tentang maksud, fungsi, atau daya ujaran yang bersangkutan, dan bertanya untuk apa ujaran itu dilakukan? Jadi ucapan saya haus, kakiku gatal dan Anda merokok? Yang diucapkan penutur, tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan kepada mitra tutur pada saat kata itu dituturkan, tetapi penutur mengingikan agar mitra tutur melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan tuturan tersebut. Jadi ucapan saya haus, kakiku gatal, atau Anda merokok?dapat bermaksud, yang pertama minta minum, kedua minta obat, dan ketiga berisi permintaan, larangan, tawaran, atau pertanyaan. Tindak Perlokusioner Tindak perlokusioner atau perlokusi adalah tindak tutur yang mengacu ke efek yang dihasilkan oleh penutur dengan mengatakan sesuatu. Misalnya dalam ujaran, saya haus, atau kakiku gatal, dimana kata itu diucapkan oleh penculik anak atau oleh seorang tukang pukul, maka efeknya akan menimbulkan rasa takut pada anak, apalagi didalam memori anak sebelumnya telah tertanam pemahaman bahwa tukang pukul itu nakal, atau penculik itu selalu haus darah. Hal yang sama terjadi pula pada tuturan, Anda merokok? Ucapan itu pasti berefek pada ‘pemberian, penghentian, penerimaan, atau penolakan’. Contoh-contoh di atas adalah tindak perlokusi karena ada efek yang ditimbulkan oleh tuturan itu. Sejalan dengan pendapat Austin tersebut, Searle kemudian menegaskan bahwa dalam tindak tutur sekaligus terkandung tiga macam tindakan, yaitu (1) tindak lokusi atau pengujaran yang berupa kata atau kalimat, (2) tindak ilokusi yang dapat berupa pernyataan, janji, perintah dan sebagainya, dan (3) tindak perlokusi itulah yang kadang-kadang memiliki dampak terhadap perilaku masyarakat. Hal-hal yang bersifat perlokusi inilah yang biasanya muncul dari maksud yang berada di balik tuturan (implikatur). Searle, 1979 (dalam Sailan, 2014) memperkenalkan beberapa ide penting bagi penerapan teori tindak tutur. Menurutnya, tindak tutur adalah unit dasar dari komunikasi. Ia berpendapat bahwa tindak tutur dekat dengan belajar bahasa,
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 4
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
makna, dan komunikasi yang kenyataannya kaidah dari tindak tutur dianggap bagian dari kemampuan berbahasa. Apa yang menyebabkan penggabungan teori tindak tutur dan teori bahasa. Searle berprinsip bahwa apa yang dimaknakan, dapat pula dikatakan. Prinsip ini, menurut teori bahasa, pembicara sangat memungkinkan untuk dapat mengatakan dengan tepat apa yang dia maksud sekaligus dapat meningkatkan pengetahuan bahasanya atau dengan memperkaya bahasanya. Pengertian Kesantunan Kesantunan merupakan fenomena universal, artinya norma-norma kesantunan berlaku dalam penggunaan bahasa manapun di dunia ini. Manusia dalam berkomunikasi secara santun memiliki kesamaan asasi karena manusia memiliki daya dan rasa yang pada gilirannya direpresentasikan dalam komunikasi. Hal itu menurut Eelen, (dalam Syahrul, 2008: 14) karena manusia itu ingin dihargai dan dihormati. Namun, terkait dengan budaya penuturnya, kesantunan juga merupakan fenomena budaya yang menunjukan perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa lain, satu daerah dengan daerah lain, bahkan satu etnis dengan etnis lain. Menurut Amat Juhari Moin, (dalam Tarigan, 2009: 25), kesantunan berbahasa adalah kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa ketika berkomunikasi melalui lisan. Yule (2014: 104) menyatakan kesantunan sebuah tuturan juga dapat diukur dengan mempertimbangkan jauh dekatnya jarak sosial, jauh dekatnya peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, dan tinggi rendahnya peringkat tindak tutur. Berbeda dengan Tarigan, Rahardi (2005: 26) menyatakan kesantunan sebuah tuturan sesungguhnya juga dapat dilihat dari banyak sedikitnya tuturan itu memberikan pilihan kepada mitra tutur. Borwn dan Levinson, (1978/1987), serta Sachiko Ide (1989), (dalam Yayuk, 2012: 1) Kesantunan dalam bertutur sangatlah penting diperhatikan dalam kehidupan sosial untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi dalam setiap interaksi komunikasi. Kesantunan bertutur diterapkan secara berbeda pada setiap kebudayaan karena setiap teks tidak terlepas dari konteksnya. Sasabone, (dalam Syahrul, 2008: 8) mengungkapkan dua bentuk kesantunan penolakan dalam interaksi siswa, yakni bentuk penyampaian tuturan langsung dan bentuk tuturan tidak langsung.Sistem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi dengan memperkecil potensi konflik yang selalu terjadi dalam pergaulan manusia. Lakoff, (1990) (dalam Syahrul, 2008: 15) MenurutRahardi(2005:35) penelitiankesantunanmengkajipenggunaan bahasa dalamsuatumasyarakatbahasa tertentu.Masyarakattutur yang dimaksudadalahmasyarakatdengananekalatarbelakang situasisosialdan budayayang mewadahinya.Adapunyang dikajididalampenelitiankesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Jenis Kesantunan Yayuk, (2012: 37) Jenis kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 5
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
1.
Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, yaitu hindarilah pakaian yang dapat merangsang orang lain terutama lawan jenis, seperti pakaian tembus pandang, menampakkan bagian badan yang pada umumnya ditutup, dan rok yang terlalu mini atau terbelah terlalu tinggi. Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang. Betapapun mahalnya pakaian renang, tidak akan sesuai apabila dipakai dalam suatu acara resmi. 2. Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu. Misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran, makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebutmemerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantunan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Sekedar contoh terkait dengan kesantunan tindakan, misalnya tidaklah santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum. 3. Kesantunan berbahasa tecermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada normanorma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Indikator Kesantunan Indikator kesantunan berbahasa adalah penanda yang dapat digunakan sebagai penentu kesantunan berbahasa sebuah tuturan lisan. Dalamsebuahtuturanjugadiperlukanindikator-indikator untukmengukur kesantunansebuahtuturan.Menurut Pranowo, (2009: 9) suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal berikut: a) Menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita. b) Mempertemukan perasaan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan. c) Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan di hati. d) Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidak mampuan penutur di hadapan lawan tutur.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 6
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
e)
Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih jauh. f) Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur. Jadi, mengetahui perasaan yang tengah dirasakan oleh lawan tutur, sangatlah penting sekali dalam teori ini. Karena jika ia merasa nyaman berbicara dengan kita, ia akan terus berbincang-bincang dengan kita. Dengan memperhatikan tema yang kita bahas, dan kesamaan keinginan dan tujuan pembicaraan. Lalu, yang berkenaan dengan bahasa Pranowo, (2009: 11) memberi saran agar tuturan terasa santun sebagai berikut: a) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain. b) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan menyinggung perasaan orang lain. c) Gunakan kata “terimakasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain. d) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lainmelakukan sesuatu. e) Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati. f) Gunakan kata “bapak/ibu”untuk menyapa orang lain. Apa yang dikemukakan oleh Pranowo di atas bukanlah suatu teori, melainkan petunjuk untuk dapat berbahasa dengan santun. Sayangnya beliau tidak menyebutkan petunjuk itu untuk siapa terhadap siapa, sebab kesantunan juga terikat pada siapa penuturnya, siapa lawan tuturnya, apa objek atau topik tuturnya, dan bagaimana konteks situasi. Oleh karena itu, teori penjelasan menurut Pranowo ini mungkin saja cocok bagi sebagian orang, tapi mungkin bagi sebagian orang kurang cocok. Terkait konteks yang digunakan oleh penutur. Pengertian Maksim Maksim merupakan kaidah kebahasaan didalam interaksi lingual, kaidahkaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasiinterpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu, maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan kesantunan. Untuk mengetahui lebih jelas pengertian maksim kesantunan, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Maksim kesantunan adalah berupa ungkapan yang berkaitan dengan perilaku sopan santun antara dua partisipan yaitu pembicara dengan penyimak. (Tarigan, 2009:82). 2) Maksim kesantunan adalah tentang bagaimana seseorang dapat mengungkapkan pernyataan dengan menunjukan sikap sopan santun kepada pihak lain sesuai aturan-aturan yang ada. (Leech 1993:206). Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kesantunan adalah sebuah tuturan yang berkaitan dengan perilaku sopan santun untuk menyatakan sesuatu hal sesuai aturan atau prinsip sopan santun antara pembicara penyimak. Prinsip Kesantunan Rahardi,(2005:60-66) dalam bertindaktutur yang santun, agar pesandapat disampaikan dengan baik pada pesertatutur,komunikasiyang terjadi perlu mempertimbangkanprinsip-prinsipkesantunan berbahasa. Maksim kesantunan mempelajari tentang bagaimana seseorang dapat mengungkapkan dengan
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 7
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
menunjukkan sikap kesantunan kepada pihak lain sesuai aturan-aturan Leech, menjelaskan bahwa secara umum maksim kesantunan berhubungan antaradua peserta percakapan,yaknidirisendiridanoranglain.Dirisendiriadalahpenutur,danoranglaina dalahlawan tutur,danorangketigayangdibicarakanpenuturdanlawantutur.Prinsipkesantunan berbahasayangdikemukakan olehLeech, (1983) (dalam Syahrul 2008: 23) yakni sebagai berikut: Maksim kebijaksanaan Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Demikian perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila makksim kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur. Contoh: 1) Tuan rumah : “silahkan makan saja dulu, nak! Tadi kami sudah mendahului.” 2) Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.” Dari uraian penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa maksim kebijaksanaan merupakan suatu sikap bertutur yang sopan dan arif dengan prinsip buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin, dan menetapkan penutur untuk membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Maksim Kedermawanan Dalam maksim kedermawanan, penutur harus rela memaksimalkan kerugian pada diri sendiri.Dalam hal ini ditunjukkan oleh penutur atas kesediaannya memberikan sesuatu yang menjadi miliknya kepada mitra tutur, agar mitra tutur menjadi tercukupi kebutuhannya. Tuturan akan menjadi santun, jika penutur mampu menghormati orang lain dengan cara memaksimalkan keuntungan pada lawan tuturnya. Apabila setiap orang melaksanakan maksim ini pada saat bertutur, hal-hal yang tidak diinginkan akan terhindar seperti iri hati, dan kedengkian antarsesama. Contoh: Siswa A: saya ingin sekali beli itu novel bagus sekali jalan ceritanya! Siswa B: iya sudah beli, kalau tidak cukup uangmu beli itu novel, biar nanti saya yang tambahkan uangmu. Dari uraian di atas, terlihat Si B sangat rendah hati, mau menambahkan uang Si A apabila uang Si A kurang untuk membeli novel tersebut.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 8
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Maksim Penghargaan Maksim ini ditunjukkan oleh kesediaan penutur pada mitra tutur untuk memberikan penghargaan atas keberhasilan dan kelebihan mitra tutur. Maksim ini menunutut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri. Tuturan dikatakan santun jika dapat memberikan penghargaan atau pujian untuk orang lain akan merasa senang. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak mengharagai orang lain. Contoh: Dosen A: “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bussines English.” Dosen B: “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini” Dari uraian penjelasan tersebut bahwa pemberitahuan yang disampaikan terhadap rekannya dosen A terahadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. Maksim kesederhanaan Maksim kesederhanaan ini ditunjukkan oleh upaya penutur untuk selalu memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan pujian pada diri sendiri serta tidak menunjukkan prestasi yang telah di raih di hadapan banyak orang ketika menjalin konteks sosial.Maksim ini menuntut setiap peserta tutur untuk menghindari kata-kata yang meninggikan diri sendiri atau mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Orang akan dikatan sombong atau angkuh apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji atau membanggakan dirinya. Contoh: A: Anda benar-benar pandai berpidato B: Ah, tidak, biasa-biasa saja. Banyak orang yang lebih pandai dari saya. Maksim permufakatan Dalam maksim permufakatan dicirikan oleh tercapainya kecocokan antara penutur dan mitra tutur. Di sini sikap diupayakan untuk dihindari, demi menjaga keharmonisan dengan mitra tutur. Maksim ini mengharuskan peserta tutur dapat saling membina kesetujuan atau kecocokan di dalam kegiatan bertutur. Tuturan dikatakan santun jika antara penutur dan lawan tutur bisa memaksimalkan kecocokan di antara mereka. Apabila terdapat kesetujuan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Contoh: (1) Bapak : Matematika sukar ya?
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 9
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Anak : Ya. (2) Bapak : Matematika sukar ya? Anak : kata siapa bagi saya mudah. (3) Bapak : Matematika sukar ya? Anak : Ya, tetapi tidak terlalu sulit untuk dipelajari. Tuturan pada dialog 1 dan 3 menunjukan adanya kesepakatan antara pembicara dan penyimak. Tuturan ini memenuhi prinsip kesepakatan. Maksim kesimpatian Maksim kesimpatian mengharuskan peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tutur. Jika mitra tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagian, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Sebaliknya jika mitra tutur mendapat kesusahan, musibah, atau cobaan penutur layak ikut berduka, atau mengutarakan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Tuturan akan terasa santun jika dapat menunjukkan sikap simpatinya yang tulus pada peserta lain. Contoh: Dialog 1 A : Lamaran kerja yang kuajukan di Depag, diterima B : Selamat, ya! Dialog 2 A : Ayahku bulan lalu berpulang ke rahmatullah. B : Oh, Aku turut berduka cita, semoga arwahnya diterima disisi-Nya, dan keluarga yang dtinggakan diberi ketabahan. Tuturan B pada dialog (1) tidak menunjukan rasa simpati terhadap kegagalan si A. sedangkan pada tuturan B dialog (2) termasuk maksim kesimpatian, karena menunjukan rasa simpati terhadap permasalahan yang dihadapi si A. Si B meningkatkan dan memaksimalkan rasa simpati kepada lawan bicaranya. Maksim Pertimbangan Maksim pertimbangan mengharuskan penutur untuk meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur, dan memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Penutur berkewajiban meminta pertimbangan/saran dari mitra tutur jika ada hal-hal tertentu yang patut di pertimbangkan bersama. Biasanya dalam maksim pertimbangan dinyatakan dengan ungkapan bagaimana, dan sebaiknya. Contoh: A : “Di mana kita pasang ini spanduk?” B : “Bagaimana kalau spanduk ini di pasang di sebelah sini saja, karena kalau di situ mengganggu pemandangan” Tuturan B pada dialog termaksuk maksim pertimbangan, karena mitra tutur meminta pertimbangan/saran dari penutur untuk di pertimbangakan bersama. Konteks Kesantunan Berbahasa Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 10
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
mewadahi sebuah pertuturan. Wijana, (1996) (dalam Rahardi, 2005) menyatakan bahwa konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. 1. Konteks Situasi Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang mempengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut.” 2. Konteks Sosial Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politenes dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gendre, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas. 3. Konteks Budaya Dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat. Sosiopragmatik Sosisopragmatik mengkaji hubungan penggunaan bahasa dan masyarakat. Sosiopragmatik merupakan bagian pragmatik. Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian, yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Sosiopragmatik ini dipandang sebagai salah satu bagian dari pragmatik, Lecch (dalam Asri, 2013: 86). Sosiopragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi setempat dan kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus mengenai penggunaan bahasa. Dalam masayarakat setempat lebih khusus terlihat bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesopansantunan berlangsung secara berubah-ubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka masyarakat bahasa, dalam situasi sosial yang berbeda. Dengan kata lain, sosiopragmatik merupakan titik pertemuan antara sosiologi dan pragmatik, Tarigan (dalan Asri, 2013: 86). Dalam masyarakat menggunakan bahasa yang khusus adalah prinsip kerjasama dan prinsip kesopansantunan. Prinsip ini berlangsung secara berubahubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau pemakai, situasi sosial dan kelas sosial yang berbeda-beda. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sosiopragmatik adalah suatu studi yang mengkaji tentang ujaran yang disesuaikan dengan situasi tertentu dalam suatu lingkungan tertentu.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 11
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode dan Jenis Penelitian Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Untuk mendeskripsikan percakapan yang menyangkut kesantunan dalam keterampilan berbicara bahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Penggunaan deskriptif kualitatif bertujuan untuk mengungkap sebuah fakta empiris secara objektif ilmiah dengan berlandaskan pada logika keilmuan, prosedur dan didukung oleh metodologi dan teoritis yang kuat sesuai disiplin keilmuan yang ditekuni. Mukhtar (2013: 29). Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian lapangan. Oleh karena itu, peneliti langsung ke lokasi penelitian yaitu di SMP Negeri 10 Kendari untuk mendapatkan data sesuai masalah penelitian ini. Data dan Sumber Data Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan. Data lisan di sini berupa hasil rekaman percakapan siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan yang dilakukan oleh siswa di Lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, menggunakan metode rekam, simak, dan catat.Metode rekam yaitu teknik yang digunakan untuk merekam percakapan informan di lingkungan sekolah SMP Negeri 10 Kendari. Metode simak yaitu cara yang digunakan untuk memperolehdata dengan menyimak penggunaan bahasa dari percakapan sedangakan catat yaitu teknik yang digunakan dengan cara mencatat percakapan informan untuk mendapatkan data tambahan. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Teknik rekam merupakan teknik yang dilakukan dengan cara merekam seluruh pembicaraan informan. Hal ini dilakukan agar menghindari kecenderungan lupa atas data yang diperoleh penulis dari informan sehingga dokumen rekamaan sangat penting saat mengevaluasi ulang data yang diperoleh untuk didengarkan dan diolah dalam analisis data. 2. Teknik simak yaitu cara yang digunakan untuk memperolehdata dengan menyimak penggunaan bahasa dari percakapan. 3. Teknik catat yaitu teknik yang digunakan dengan cara mencatat percakapan informan mengenai hal-hal yang penting diluar data rekam untuk mendapat data tambahan.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 12
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
TeknikAnalisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan mengggunakan pendekatan sosiopragmatik, sebuah pendekatan yang menelaah tuturan-tuturan yang berkaitan dengan kondisi tertentu, kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat yang memakai bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Data dalam diolah menggunakan teknik analisis secara kualitatif yaitu menganalisis kesantunan berbahasa Indonesia dalam percakapan siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari.Analisis data dilakukan melalui tahapantahapan, sebagai berikut. 1. Mentranskripsi rekaman data, yaitu mengubah data lisan kedalam bentuk tulisan. 2. Mengklasifikasi data berdasarkan identifikasi data dan pengelompokan data yang sesuai dengan prinsip sopan santun berdasarkan permasalahan penelitian yang ada. 3. Interpretasi data yaitu suatu proses penafsiran data atau analisis data yang telah diklasifikasikan sesuai dengan prinsip-prinsip kesantunan. 4. Analisis data, tahap ini peneliti menganalisis semua data yang terkumpul berdasarkan maksim kesantunannya dan dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan setiap pokok permasalahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Data Bahasa Indonesia memiliki bentuk-bentuk pragmatik antara lain bentuk maksim terutama bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk maksim yang dimaksud adalah bentuk maksim berdasarkan prinsip sopan santun. Kesantunan berbahasa Indonesia dalam penuturnya mempunyai prinsip umum yaitu hendaknya penutur selalu menggunakan tuturan yang sopan santun dan suara lemah lembut. Dengan tuturan seperti itu, penutur menyakini bahwa dengan bertutur sopan santun kepada lawan bicara, mereka dapat berkomunikasi dengan baik serta dapat menciptakan hubungan kekeluargaan yang harmonis penutur juga yakin bahwa dengan bertutur kata yang sopan dan menghindarkan sikap kebencian, ketersinggungan, dan perasaan saling memandang rendah antara peserta pertuturan secara sempit dan sesama manusia secara luas. Penelitian ini menggunakan teoriLeech, di dalam teori Leech menyebutkan dalam suatu interaksi para pelaku memerlukan prinsip kesantunan, prinsip kesantunan memiliki sejumlah maksim yaitu: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, maksim kesimpatian, dan maksim pertimbangan. Pembahasan Bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian mengenai kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari. Penelitian ini akan menguraikan kesantunan berbahasa Indonesia siswa di lingkungan SMP Negeri 10 Kendari sesuai prinsip kesantunan yang dikembangkan oleh Leech.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 13
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Prinsip Kesantunan Menurut Leech Prinsip kesantunan berbahasa Indonesia dalam lingkungan sekolah akan di jabarkan pada bagian ini. Deskripsi prinsip kesantunan akan dijabarkan berdasarkan maksim-maksim yang patut ditaati. Maksim Kebijaksanaan Maksim kebijaksanaan di tunjukkan dalam data berikut. Data Konteks: Tuturan ini terjadi pada pagi hari, di ruangan kelas pada saat guru akan memulai mata pelajaran yang akan diberikan pada siswanya. Tuturan ini terjadi antara guru dan siswa yang berada di ruangan kelas VII. Penutur (Guru) : “Sebelum Ibu memulai mata pelajaran, Ibu absen dulu ya” Mitra tutur (Siswa) : “Iya, Ibu” Penutur (Guru) : “Mana absen kelasnya ini?” Mitra tutur (Ketua kelas) : “Saya minta maaf, saya lupa bawa Bu?” Penutur (Guru) : “Iya tidak apa-apa. Tapi, besok kamu bawa itu absen” Mitra tutur (Ketua kelas) : “Iya Bu” Dari hasil penelitian, semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun, namun ditemukan pula satu tuturan yang memenuhi maksim kebijaksanaan. Adapun tuturannya “Iya tidak apa-apa. Tapi, besok kamu bawa itu absen” tuturan ini memenuhi maksim kebijaksanaan terlihat pada kata yang halus yang dituturkan oleh penutur(guru) kepada mitra tutur(ketua kelas) karena lupa membawa absen. Peminimalan kerugian dilakukan oleh penutur agar tidak merasa sakit hati karena mitra tutur yang tidak membawa absen. Tuturan ini dinilai santun karena tuturan tersebut sangat berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang relatif di antara penutur dengan mitra tutur yaitu antara guru yang mempunyai wewenang di kelas terhadap para siswa. Selain itu, Tuturan tersebut terjadi pada saat proses pembelajaran dan adapun situasi pada saat tuturan tersebut terjadi yaitu suasana kelas lagi hening dan tenang. Data Konteks: Peserta tuturan yaitu guru dan siswa. Tuturan ini terjadi pada pagi hari, di ruangan kelas saat guru akan memulai mata pelajaran bahasa Indonesia yang akan diberikan pada siswa. guru menanyakan tugas yang diberikan pada siswa untuk diperiksa dan dijawab bersama. Penutur (Guru) : “Ada Pr?” Mitra tutur (Siswa) : “Ada bu” Penutur(Guru) : “Halaman berapa?” Mitra tutur (Siswa) : “14 sampai 17 bu” Penutur(Guru) : “Coba buka bukunya halaman 14” Mitra tutur (Siswa) : “Tapi belum selesai bu” Penutur(Guru) : “Jadi yang belum selesai. Kerjakan sekarang, ibu berikan waktu 10 menit” Mitra tutur (Siswa) : “Iya bu” Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun, namun ditemukan satu tuturan yang memenuhi maksim kebijaksanaan, yaitu
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 14
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
tuturan “Jadi yang belum selesai. Kerjakan sekarang, Ibu berikan waktu 10 menit”. Tuturan ini dituturkan oleh penutur (guru) kepada mitra tutur(siswa) yang belum menyelesaikan tugas. Guru memiliki sikap kebijaksanaan kepada siswa yang belum menyelesaikan tugas sehingga memberi waktu 10 menit kepada siswa untuk mengerjakan tugas mereka. Tuturan ini dinilai santun karena tuturan tersebut sangat berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang relatif di antara penutur dengan mitra tutur yaitu antara guru yang mempunyai wewenang terhadap para siswa. Selain itu, Tuturan tersebut terjadi pada saat proses pembelajaran dan adapun situasi pada saat tuturan tersebut terjadi yaitu suasana kelas lagi hening dan tenang. Maksim Kedermawanan Maksim kedermawanan ditunjukkan dalam data berikut. Data Konteks: Tuturan ini terjadi di ruangan kelas VIII empat. Pada jam istrahat berlangsung, siswa sedang membersihkan kelas. Tuturan ini dilakukan oleh 2 orang siswa. Penutur (Siswa 1) : “Sampahnya siapa ini?, kamu Dila?” Mitra tutur (Siswa 2) : “Iya” Penutur (Siswa 1) : “Sini, saya buangkan sekalian saya mau buang sampah di luar” Mitra tutur (Siswa 2) :“Oh.. Iya” Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun, namun ditemukan satu tuturan yang memenuhi maksim kedermawanan, yaitu tuturan “Sini, saya buangkan sekalian saya mau buang sampah di luar”.Tuturan ini disampaikan oleh penutur (siswa 1) kepada mitra tutur (siswa 2). Penutur menyampaikan tuturan yang mematuhi maksim kedermawanan dan dengan cepat mendapat respon atau jawaban dari mitra tutur, maka dari itu penutur segera mengambil tindakan dengan mengambil sampah dari mitra tutur. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun karena dapat dilihat dengan Jarak sosial, tuturan dilakukan oleh dua orang peserta tutur dengan status yang sama yaitu sebagai siswa dari segi usia, jarak usia mereka tidak terlalu jauh karena mereka sekelas atau dengan kata lain sebaya. Data Konteks: Tuturan terjadi pada pagi hari, di kantin sekolah pada saat jam istrahat. Tuturan ini terjadi pada saat siswa akan memesan makanan. Percakapan ini dilakukan oleh Ibu kantin dan siswa. Penutur (Ibu kantin) : “Mau makan apa nak?” Mitra tutur (Siswa 1) : “Saya ingin makan gado-gado” Mitra tutur (Siswa 2) : “kamu belimi. Mitra tutur (Siswa 1) : “Tapi, tidak cukup uangku” Penutur(Ibu kantin) : “Berapakah uangmu disitu?” Mitra tutur (Siswa 1) : “Tinggal lima ribu tante” Penutur(Ibu kantin) : “Sinimi pale itu uangmu, tinggal satu porsi juga ini gadogadoku. Saya kasihkan saja kamu” Mitra tutur (Siswa 1) : “Iya makasih pale tante, saya lapar sekali ini kasihan.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 15
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim kedermawanan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kedermawanan“Sinimi pale itu uangmu, tinggal satu porsi juga ini gado-gadoku”. Tuturan ini disampaikan oleh penutur (Ibu kantin)kepada mitra tutur (Siswa 1). Penutur menyampaikan tuturan yang mematuhi maksim kedermawanan dengan memberikan gado-gado meskipun uang mitra tutur tidak mencukupi untuk satu porsi gado-gado. Tuturan ini dinilai santun karena tuturan tersebut sangat berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang relatif di antara penutur dengan mitra tutur yaitu antara ibu kantin yang mempunyai wewenang terhadap siswa atau pembeli. Maksim Penghargaan Maksim penghargaan ditunjukkan dalam data berikut. Data Konteks: Tuturan terjadi pada pagi hari, saat proses belajar mengajar berlangsung, salah satu siswa ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang ada di papan tulis, dan siswa tersebut maju ke depan kelas untuk memberikan jawabannya. Penutur (Guru) : “Silakan Ayu maju ke depan untuk menjawab pertanyaan no 1?” Mitra tutur (Siswa) : “Iya bu” (siswa tersebut langsung menjawab pertanyaan no 1) PenuturGuru : “Jawaban Ayu benar sekali, berikan tepuk tangan untuk dia” (siswa lain memberikan tepuk tangan untuk Ayu) Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun.Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim penghargaan. Maksim penghargaan yaitu tuturan “jawaban Ayu benar sekali, berikan tepuk tangan untuk dia”. Tuturan ini, dituturkan oleh penutur seorang (guru) yang menyuruh seluruhsiswa yang ada didalam ruang kelas pada saat itu, untuk menghargai jawaban mitra tutur(Ayu) dengan cara bertepuk tangan untuk dia. Tuturan tersebut sangatlah sopan dapat dilihat pula dengan hubungan kekuasaan seorang guru terhadap siswa dan tempat percakapan yang terjadi yaitu di ruangan kelas. Dengan adanya kondisi tempat tersebut yaitu di dalam ruangan kelas, sehingga pada tuturan di atas sangatlah santun. Data Konteks: Tuturan ini terjadi pada saat jam istrahat, setelah siswa melaksanakan ulangan harian. Tuturan ini di lakukan oleh 3 orang siswa yang berada di luar ruangan kelas sambil membawa kertas ulangannya. Penutur (Siswa 1) : “Roi coba saya lihat kertas ulanganmu?” Mitra tutur (Siswa 2) : “Bagusnya nilai ulanganmu” Mitra tutur (Siswa 3) : Iya, kemarin saya belajar memang” Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun terdapat tuturan yang memenuhi maksim penghargaan.Tuturan tersebut yaitu “Bagusnya nilai ulanganmu”.Tuturan ini memenuhi maksim penghargaan karena merupakan penghargaan atau apresiasi yang diberikan oleh penutur (siswa 1) kepada mitra tutur (siswa 3) karena memperoleh nilai tinggi pada ulangan. Pemberian penghargaan dapat dikatakan santun karena termasuk perbuatan
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 16
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
menghargai suatu tindakan dari mitra tutur. Selain dengan penggunaan kata-kata yang sopan yang terdapat pada maksim penghargaan dapat dilihat pula dengan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Di dalam jarak sosial antara penutur dan mitra tutur ini sangat berkaitan dengan umur dan jenis kelamin. Dalam konteks diatas si penutur dan mitra tutur mempunyai jenis kelamin yang sama yaitu laki-laki. Maksim Kesederhanaan Maksim kesederhanaan di tunjukkan dalam data berikut. Data Konteks: Tuturan ini terjadi pada pagi hari, di kantin sekolah pada saat jam istrahat berlangsung. Tuturan ini dilakukan oleh 3 orang siswa yang lagi duduk bersama saat makan. Penutur (Siswa 1) : “Minggu depan kelasnya kita yang jadi petugas upacara. Kita suruh saja bela jadi pembacaan UUD” Mitra tutur (Siswa 2) : “Iya, kamu saja bela nah..?” Mitra tutur (Siswa 3) : “Kenapakah saya, jeleknya suaraku baru kalian mau suruh saya ” Mitra tutur (Siswa 2) : “ Jelas suaramu kalau kamu membaca bela” Penutur(Siswa 1) : “ Bagusnya suaramu, baru kamu bilang jelek” Mitra tutur (Siswa 3) : “Nanti saya coba pale” Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim kesederhanaan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kesederhanaan yaitu, tuturan “Kenapakah saya, jeleknya suaraku baru kalian mau suruh saya ” dinilai memenuhi maksim kesederhanaan. Si mitra tutur (siswa 3) berusaha bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun karena dapat dilihat dengan Jarak sosial penutur dengan mitra tutur ini sangat berkaitan dengan umur dan jenis kelamin. Dalam konteks diatas si penutur dan mitra tutur mempunyai umur yang sama dan jenis kelamin yang sama yaitu perempuan, sehingga penggunaan bahasa keduanya sangatlah sopan. Maksim Permufakatan Maksim permufakatan ditunjukkan dalam data berikut: Data Konteks: Tuturan terjadi di kantin sekolah pada saat jam istrahat. Peserta tuturan yaitu Ibu kantin dan siswa. Percakapan ini terjadi pada saat siswa memesan mie siram. Penutur (Ibu kantin) : “Kamu mau pesan apa, nak?” Mitra tutur (Siswa) : “Mie siram, tante” Penutur(Ibu kantin) : “ Ini mie, kamu siram sendiri saja” Mitra tutur (Siswa) : “Iya” (sambil membuka mie dan menyiramnya) PenuturIbu (kantin) : “Tambah itu airnya, terlalu sedikit sekali” Mitra tutur (Siswa) : “Iya ” (sambil mengambil kembali termos air) Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim permufakatan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim permufakatan. “Iya” (sambil membuka mie, dan menyiramnya) dan “Iya ” (sambil mengambil kembali termos air).Tuturan ini
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 17
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
memenuhi maksim permufakatan karena penutur(Ibu kantin) mampu membina kecocokan dengan mitra tutur(siswa). Tuturan ini dinilai santun karena tuturan tersebut sangat berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang relatif di antara penutur dengan mitra tutur yaitu antara ibu kantin yang mempunyai wewenang terhadap siswa atau pembeli. Data Konteks: Tuturan ini terjadi di ruangan kelas pada saat jam istrahat. Tuturan ini dilakukan, oleh dua orang siswa yang akan ke kantin untuk makan bersama temannya. Penutur (Siswa 1) : “Kita pergi di kantin yang di belakang kelas delapan saja?” Mitra tutur (Siswa 2) : “Kenapakah kalau di kantin yang biasa kita pergi” Penutur(Siswa 1) : “Janganmilah,, saya mau makan saja nasi kuning” Mitra tutur (Siswa 2) : “Saya juga pale, mau makan nasi kuning” Penutur(Siswa 1) : “Ayo sinimi cepat. Nanti bel masuk ” Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim permufakatan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim permufakatan, “Saya juga pale, mau makan nasi kuning”.Tuturan ini memenuhi maksim permufakatan karena penutur (siswa 1) mampu membina kecocokan dengan mitra tutur (siswa 2). Selain dengan penggunaan kata-kata yang sopan yang terdapat pada maksim permufakatan dapat dilihat pula dengan jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Di dalam jarak sosial antara penutur dan mitra tutur ini sangat berkaitan dengan umur dan jenis kelamin. Dalam konteks diatas si penutur dan mitra tutur mempunyai jenis kelamin yang sama yaitu perempuan. Maksim Kesimpatian Maksim kesimpatian ditunjukkan dalam data berikut. Data Konteks: Percakapan ini terjadi di depan pintu gerbang SMP Negeri 10 kendari. Pada saat jam pulang sekolah. Seorang siswa sedang menunggu jemputan. Tuturan ini dilakukan oleh dua orang siswa yang sedang berdiri di gerbang. Penutur (Siswa 1) : “Ko belum pulangkah?” Mitra tutur (Siswa 2) : “Belumpi, saya tunggu bapakku dia jemput saya. Kalau kamu ya?” Penutur (Siswa 1) : “Sebentar-sebentarpi saya pulang” Mitra tutur (Siswa 2) : “Oh.. begitukah. Eh,, dia datangmi bapakku, saya pulangmi nah..?” Penutur (Siswa 1) : “Iya, hati-hati nah..!!” Mitra tutur (Siswa 2) : “Iya” Dari hasil penelitian semua tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim kesimpatian. Tuturan tersebut yaitu “Iya, hati-hati nah..!!” Tuturan ini memenuhi maksim kesimpatian karena si penutur (siswa 1) berusaha memaksimalkan kesimpatian pada mitra tutur (siswa 2) saat Ia di jemput oleh bapaknya. Tuturan tersebut cukup santun karena mitra tutur mematuhi maksim kesimpatian yakni lawan tutur memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan dan mitra tutur memberikan ucapan selamat
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 18
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
jalan dan hati-hati di jalan. Dengan demikian tuturan ini dinilai santun karena dapat dilihat dengan jarak sosial, tuturan dilakukan oleh dua orang peserta tutur dengan status yang sama yaitu sebagai siswa dari segi usia. Data Konteks: Tuturan ini terjadi pada pagi hari. Percakapan terjadi di dalam ruangan kelas pada saat akan memulai mata pelajaran bahasa indonesia. Tuturan ini dilakukan antara guru dan siswa. Penutur (Guru) : “Selamat pagi anak-anak?” Mitra tutur (Siswa) : “Pagi Bu” PenuturGuru : “Bagaimana kabarnya?” Mitra tutur (Siswa) : “Baik Bu” PenuturGuru : “Sekarang kita belajar Bahasa Indonesia?” Mitra tutur (Siswa) : “Iya Bu” Dari hasil penelitian tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim kesimpatian. Adapun tuturan yang memenuhi maksim kesimpatian yaitu, “Bagaimana kabarnya?” tuturan dinilai memenuhi maksim kesimpatian. Si penutur (guru) memiliki rasa simpati kepada mitra tutur (siswa) yang adalah siswa sehingga menanyakan kabar dari mitra tuturnya. Tuturan ini dinilai santun karena tuturan tersebut sangat berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang relatif di antara penutur dengan mitra tutur yaitu antara guru yang mempunyai wewenang terhadap siswa. Selain itu, Tuturan tersebut terjadi di ruangan kelas pada saat, mata pelajaran akan dimulai. Maksim Pertimbangan Maksim kesimpatian ditunjukkan dalam data berikut. Data Konteks: Tuturan ini terjadi pada pagi hari, sebelum masuk ruangan kelas siswasiswa disuruh membersihkan oleh gurunya. Tuturan ini dilakukan oleh 2 orang antara guru dan siswa. Penutur (Siswa) : “Kita simpan di mana ini pot bunga bu?” Mitra tutur (Guru) : “Bagaimana kalau ini pot bunga kita simpan di depan perpustakaan” Penutur(Siswa) : “Iya bu, supaya bagus kelihatannya” Dari hasil penelitian tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim pertimbangan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim pertimbangan yaitu, “Bagaimana kalau ini pot bunga kita simpan di depan perpustakaan” tuturan dinilai memenuhi maksim pertimbangan, karena penutur (siswa) meminta pertimbangan atau saran dari mitra tutur (guru). Tuturan ini dinilai santun karena tuturan tersebut sangat berkaitan dengan kekuasaan atau wewenang relatif di antara penutur dengan mitra tutur yaitu antara guru yang mempunyai wewenang terhadap siswa. Data Konteks: Tuturan ini terjadi pada siang hari, di depan ruangan kelas pada saat siswa pulang sekolah. Percakapan ini dilakukan oleh 2 orang. Penutur(Siswa 1) : “Di manami ini kita pergi beli buku sejarah?” Mitra tutur (Siswa 2) : “Bagaimana kalau di gramedia saja”
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 19
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Penutur(Siswa1) : “Iya di sana saja, sekalian saya mau cari novel” Dari hasil penelitian tuturan yang terdapat di atas dianggap santun. Namun ditemukan tuturan yang memenuhi maksim pertimbangan. Adapun tuturan yang memenuhi maksim pertimbangan yaitu, “Bagaimana kalau di gramedia saja” tuturan dinilai memenuhi maksim pertimbangan, karena penutur (siswa 1) meminta pertimbangan atau saran dari mitra tutur (siswa 2). Dengan demikian tuturan ini dinilai santun karena dapat dilihat dengan Jarak sosial, tuturan dilakukan oleh dua orang peserta tutur dengan status yang sama yaitu sebagai siswa dari segi usia. Relevansi Penelitian dalam Pembelajaran di Sekolah Kesantunan dalam berbahasa baik di lingkungan sekolah, masyarakat, maupun keluarga sangatlah penting, karena dengan bertutur dan berkomunikasi dengan santun dapat menjaga nilai diri sebagai makhluk sosial, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kesantunan berbahasa merupakan kajian ilmu pragmatik. Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktur semata, tapi juga konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa menjadi fokus perhatian dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Keterampilan bahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis merupakan target dari pembelajaran bahasa. Melalui keterampilan menyimak, seseorang dapat memahami informasi dengan baik yang diperoleh secara lisan ataupun tulisan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Dengan keterampilan berbicara seseorang akan mampu menyampaikan informasi kepada orang lain atau lawan tutur dengan baik, sehingga lawan tutur dapat melakukan tindakan sesuai dengan apa yang disampaikan oleh penuturnya. Penelitian prinsip kesantunan berbahasa dalam lingkungan sekolah SMP Negeri 10 Kendari dapat membantu siswa untuk menerapkan 4 keterampilan berbahasa indonesia sebagaimana tercantum dalam buku mata pelajaran bahasa indonesia dengan kompetensi dasar berbicara, berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan. Indikator pencapaiannya, siswa mampu melakukan wawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan dengan memperhatikan etika berwawancara. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil pembahasan yang dilakukan mengenai kesantunan berbahasa Indonesia di Lingkungan SMP Negeri 10 Kendari dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan SMP 10 Kendari menggunakan prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan yang dimaksud yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim kesimpatian, dan maksim pertimbangan yang terdapat di Lingkungan SMP Negeri 10 Kendari.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 20
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Prinsip kesantunan tidak selalu diterapkan dalam percakapan karena dalam lingkungan SMP 10 Kendari yang dijadikan penelitian tidak memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan pada saat berbicara antara penutur dan mitra tutur dengan konteks dan situasinya. Saran Dalam penelitian mengenai kesantunan berbahasa Indonesia dai lingkungan SMP Negeri 10 Kendari ini masih terbatas pada kesantunan yang digunakan oleh Leech. Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan hanya masih sebagian kecil saja tentang prinsip kesantunaan berbahasa, karena masih banyak sekali teori kesantunan yang dapat membahas lebih lagi mengenai kesantunan yang terdapat pada lingkungna sekolah. Penulis berharap penelitian mendatang lebih mendalam demi diperoleh hasil yang lebih memuaskan. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari penjelasan yang mendalam secara pragmatik. Pembelajaran akan terus berproses dan tidak akan berhenti sampai disini. Penulis berharap agar penelitian seperti ini masih terus dilakukan mengingat masih banyak teori-teori kebahasan yang mengenai maksim masih belum diteliti untuk dikemudian hari. Daftar Pustaka Andianto, MujimanRus. 2013. Pragmatik; Direktif Dan Kesantunan Berbahasa.Yogyakarta:Gress publishing. Asri, 2013. Humor SeksualitasdalamBahasa SMS (Short Message Service): KajianSosiopragmatikBerdasarkanKesantunanBerbahasa, Gramatika: JurnalIlmiahKebahasaandanKesastraan. Sulawesi Tengah: BalaiBahasa Sulawesi Tengah. Chaer, Abdul. 2003. Linguitik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguitik; Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka cipta. Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metode Lingustik; Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama. Kridalaksana, Harmuti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama. Kushartanti, dkk.2005. Pesona Bahasa; Langkah Awal Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Leech, Geofrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan Oka). Jakarta: Universitas Indonesia. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa :Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mukhtar.2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif kualitatif.Jakarta Selatan: Referensi (GP Press Group) Parnowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Poerwadarminta. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:Erlangga.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 21
Jurnal Bastra
[KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA SISWA DI LINGKUNGAN SMP Negeri 10 KENDARI]
Rahardi, R. Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga. Sailan, Zailan. 2014. Pidato Ilmiah: Solidaritas dan Kesantunan Berbahasa (Telaah Pragmatik). Kendari Soeparno. 2002. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sukmawati dkk.2008. Bunga Rampai; Hasil Penelitian Bahasa. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Syahrul R. 2008. Pragmatik; Kesantunan Berbahasa.Padang: UniversitasNegeriPadang Press. Tarigan, Henry Guntur. 2009.Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Trisno, Edi. 2008. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra; Prinsip Kerja sama DalamPercakapanMahasiswa. Universitas Jakarta. Yayuk, Rissari. 2012. Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat Banjar. Banjar Baru. Yule, George. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurnal Bastra Volume 1 Nomor 4 Maret 2017 22