KERENTANAN SOSIAL PEMULUNG ASAL DESA DI JAKARTA
Oleh: Lukman Hakim I34070039
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
LUKMAN HAKIM Social Vulnerability of Rural Originated Scavengers in Jakarta. Supervised by IVANOVICH AGUSTA The research was conducted on urban poor, who ara rural originated scavengers in Grogol Selatan, Sub District of Kebayoran Lama, District of Jakarta Selatan, DKI Jakarta. This study has three objectives: 1) to know the life of the urban poor, 2) to measure influence of sosial vulnerability to urban poor’s standard of living, 3) to measure the level of social vulnerability in the urban poor. These three research objectives can be answered by quantitative research methods and supported by qualitative methods. The method is carried out by questionnaire, direct observation, indepth interviews and document serches. Quantitative approach is addressed to 35 respondents. Respondents obtained by incidental sampling. Respondents are urban poor who work as scavengers. Incidental sampling method was conducted in Grogol Selatan. Precisely in Stasiun Kebayoran, Pasar Bata Putih and under of Simprug’s Bridge. The results showed urban poor’s standard of living are very low level. The levels of urban poor’s social vulnerability is very high. In this study proved that kinship (objective), skills (objective), ethnicity (perception), collectivity (the perception of attitude) and collectivity (the perception of the total) have a negative influence on economic conditions. Besides kinship (perception), skills (perception), ethnicity (objective) and collectivity (objective) has a positive effect on economic conditions. In this study also proved that the kinship (objective), skills (objective), ethnicity (perception) and collectivity (the perception of attitude) negatively affect the accessibility of basic needs. Besides kinship (perception), skills (perception), collectivity (objective) and collectivity (the perception of the total) have a positive influence on the accessibility of basic needs. And this study also proves that the kinship (objective), skills (objective), skills (perception), ethnicity (perception) and collectivity (the perception of the total) has a positive effect on participation. Besides kinship (perception), ethnicity (objective), collectivity (objective) and collectivity (perception attitudes) have a negative influence on participation. Key words: social vulnerability, standard of living, kinship, skills, ethnicity, urban poor groups, scavengers, economic conditions, accessibility of basic needs and participation
RINGKASAN
LUKMAN HAKIM. Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa di Jakarta. (Dibimbing Oleh IVANOVICH AGUSTA) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan kelompok miskin perkotaan di Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama. Selain itu juga mengetahui sampai mana pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap taraf hidup kelompok miskin perkotaan dan sampai mana tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin perkotaan. Ketiga tujuan penelitian ini dapat dijawab dengan metode penelitian kuantitatif menggunakan kuesioner didukung dengan data kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam dan penelusuran dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Pendekatan kuantitatif ditujukan kepada 35 responden yang diperoleh secara incidental sampling. Responden yang dicari adalah kelompok miskin perkotaan yang berprofesi sebagai pemulung. Metode incidental sampling ini dilakukan di kawasan Kelurahan Grogol Selatan seperti di Stasiun Kebayoran, Pasar Bata Putih dan kolong Jembatan Simprug. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemulung di Jakarta hidup menggelandang. Pemulung tidur pada tempat yang relatif tetap seperti di kolong Jembatan Simprug, Stasiun Kebayoran, di bawah pepohonan dengan terpal sebagai atap dan di pinggir rel kereta api. Sebanyak 97 per sen responden hidup menggelandang dan hanya tiga per sen responden yang tinggal mengontrak. Selain itu pemulung memiliki penghasilan yang relatif tetap yang berarti setiap harinya mereka dapat memperoleh penghasilan dengan menjual barang pulungannya. Sebesar 80 per sen pemulung memiliki pendapatan sangat rendah (< Rp 20.000) dan 20 per sen memiliki pendapatan rendah (Rp 20.000 – Rp 43.000). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemulung di Jakarta memiliki aksesibilitas kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan dan modal) yang sebagian besar pada tingkatan sangat rendah. Terdapat 86 per sen responden tidak memiliki kemampuan untuk mengakses kebutuhan dasar mereka, sebesar sebelas per sen responden kurang mampu mengakses kebutuhan dasar dan hanya tiga per sen
iv
reponden cukup mampu mengakses kebutuhan dasarnya. Terakhir yang menggambarkan kehidupan pemulung di Jakarta adalah tingkat partisipasi yang sangat rendah atas kegiatan-kegiatan sosial. Sebesar 100 per sen responden memiliki partisipasi yang sangat rendah. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden hidup menggelandang sehingga kesempatan untuk menghadiri, bersumbangsih
pemikiran
dan
kritik
sangat
rendah
dalam
kegiatan
kemasyarakatan. Dalam penelitian ini terbukti bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Selain itu kekerabatan
(persepsi),
keterampilan
(persepsi),
etnisitas
(objektif)
dan
kolektivitas (objektif) berpengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Dalam penelitian ini juga terbukti bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), etnisitas (persepsi) dan kolektivitas (persepsi sikap) berpengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Selain itu kekerabatan (persepsi), keterampilan (persepsi), kolektivitas (objektif) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Dan penelitian ini juga membuktikan bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (persepsi) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh positif terhadap partisipasi. Selain itu kekerabatan (persepsi), etnisitas (objektif), kolektivitas (objektif) dan kolektivitas (persepsi sikap) berpengaruh negatif terhadap partisipasi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemulung di Jakarta memiliki tingkat kerentanan sosial yang sangat tinggi. Sebesar 63 per sen responden memiliki kerentanan sosial yang sangat tinggi, 31 per sen responden memiliki kerentanan sosial yang tinggi, tiga per sen responden memiliki kerentanan sosial yang sedang dan tiga per sen responden memiliki kerentanan sosial yang rendah. Tinggi rendahnya kerentanan sosial pemulung diukur dari kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.
KERENTANAN SOSIAL PEMULUNG ASAL DESA DI JAKARTA
Oleh: Lukman Hakim I34070039
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Lukman Hakim
NIM
: I34070039
Judul
: KERENTANAN SOSIAL PEMULUNG ASAL DESA DI JAKARTA dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ivanovich Agusta, SP, MSi NIP. 19700816 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan :
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KERENTANAN SOSIAL PEMULUNG ASAL DESA DI JAKARTA”, ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, November 2011
Lukman Hakim I34070039
RIWAYAT HIDUP
Lukman Hakim (penulis) dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 September 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Reda Rizal dan Ibu Lily Kuswiati. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Al-Kautsar Ciputat-Tangerang
Selatan
pada tahun
1994-1995.
Penulis
melanjutkan
pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri IX Ciputat-Tangerang Selatan pada tahun 1995-2001, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Ciputat-Tangerang Selatan pada tahun 2001-2004, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 CiputatTangerang Selatan pada tahun 2004-2007. Penulis melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih melanjutkan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama menempuh pendidikan di IPB penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai staf Division of Photography and Cinematography pada tahun 2008-2009. Pada tahun 2010 penulis menjadi manajer Division of Photography and Cinematography. Kemudian pada tahun 2011 bergabung dengan Green TV IPB sebagai Produser Program “Di Balik Pesona Fauna” di Divisi Perikanan dan Peternakan. Di bidang akademis penulis juga tergabung sebagai asisten praktikum mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi pada tahun 2009-2011 dan sebagai
asisten
praktikum
mata
kuliah
Kelembagaan,
Organisasi
dan
Kepemimpinan , asisten praktikum mata kuliah Pengembangan Masyarakat pada program Diploma (D3) IPB dan asisiten praktikum mata kuliah Sosiologi Pedesaan di tahun 2011.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa di Jakarta. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat perolehan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan kelompok miskin perkotaan, mengukur sampai mana pengaruh kerentanan sosial terhadap kehidupan kelompok miskin kota dan mengukur tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota. Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi dapat menghasilkan karya ilmiah yang bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, November 2011 Lukman Hakim NIM I34070039
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pengatur dan pelancar segala urusan. Atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Ivanovich Agusta, SP, MSi, selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Saharuddin, MSi, yang telah membimbing penulis dalam proses penyusunan studi pustaka dan proposal penelitian.
3.
Ir. Murdianto, Msi dan Heru Purwandari, SP, Msi, selaku dosen penguji utama dan dosen penguji wakil Departemen SKPM.
4.
Martua Sihaloho, SP, Msi, selaku dosen penguji petik skripsi ini
5.
Sofyan Sjaf, SPt, MSi, yang telah membantu penulis dengan memberikan kritik dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6.
Ir. Fredian Tonny, MS dan Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS yang senantiasa memonitor dan mengevaluasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
7.
Bapak Reda Rizal dan Ibu Lily Kuswiati yang selalu memberikan semangat dan dukungan baik secara moral, material, maupun spiritual; adik (Rahmi Izzati, Siti Fatimah, Azizah dan Ikhlasul Amal) yang selalu menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8.
Keluarga besar Mbah Djoemali yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
9.
Anisa Rahmi Utami yang telah memberikan kritik, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
10.
Sahabat-sahabat yang selalu memotivasi dan membantu dalam penyelesaian skripsi: Rajib, Haidar, Diaji, Arsyad, Zakian, Alfian, Wira, Gian, Faris, Turasih, Rahmawati, Humaira, Karina dan semua teman-teman KPM 44, 45, 46 dan 47 yang tidak bisa disebut satu-persatu.
xi
11.
Pimpinan, produser dan kerabat kerja Green TV IPB, yang telah memberikan kesempatan dan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.
Seluruh teman-teman pemulung-gelandangan di kawasan Grogol Selatan, yang telah memberikan pembelajaran hidup kepada penulis.
13.
Cak Tarno yang telah menjadi teman berdiskusi sekaligus penyuplai bukubuku referensi dalam menyelesaikan skripsi penulis.
14.
Seluruh pihak yang telah membantu hingga skripsi ini diterbitkan dan tidak bisa disebutkan satu-persatu.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xiv xvii xxii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian ................................................................
1 1 4 4 5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ......................................................... 2.1 Tinjauan Pustaka ...................................................................... 2.1.1 Kerentanan Sosial .......................................................... 2.1.2 Kemiskinan di Perkotaan ............................................... 2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................. 2.3 Hipotesis Uji ............................................................................ 2.4 Definisi Operasional ................................................................
6 6 6 8 14 17 17
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 3.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data .............................. 3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .....................................
26 26 27 27
BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN ............................................ 4.1 Jenis Kelamin Responden ........................................................ 4.2 Agama yang Dianut Responden ............................................... 4.3 Status Pernikahan Responden .................................................. 4.4 Tempat Biasa Tidur Responden ............................................... 4.5 Tingkat Pendidikan Responden ............................................... 4.6 Status Tempat Tinggal Responden........................................... 4.7 Asal Daerah dan Tahun ke Jakarta Responden ........................
29 29 29 29 30 30 31 31
BAB V FAKTOR INTERNAL KERENTANAN SOSIAL ..................... 5.1 Kekerabatan Pemulung ............................................................ 5.1.1 Hubungan dengan Generasi Orang Tua.........................
34 34 34
xiii
5.1.2 Hubungan dengan Generasi Setara ................................ 5.1.3 Hubungan dengan Generasi Bawah ............................... Keterampilan Pemulung ........................................................... 5.2.1 Kemampuan Komunikasi .............................................. 5.2.2 Kemampuan Teknis .......................................................
41 49 56 56 67
BAB VI FAKTOR EKSTERNAL KERENTANAN SOSIAL ................ 6.1 Etnisitas Pemulung ................................................................... 6.1.1 Bahasa ............................................................................ 6.1.2 Asal Daerah ................................................................... 6.1.3 Perilaku .......................................................................... 6.2 Kolektivitas Pemulung ............................................................. 6.2.1 Sikap terhadap Kegiatan Kepentingan Bersama ........... 6.2.2 Perilaku terhadap Kegiatan Kepentingan Bersama .......
73 73 73 78 82 85 85 87
BAB VII KERENTANAN SOSIAL PEMULUNG .................................. 7.1 Faktor Internal .......................................................................... 7.2 Faktor Eksternal ....................................................................... 7.3 Kerentanan Sosial ....................................................................
94 94 95 97
BAB VIII TARAF HIDUP KELOMPOK MISKIN KOTA ................... 8.1 Kondisi Ekonomi ..................................................................... 8.2 Aksesibilitas Kebutuhan Dasar ................................................ 8.3 Partisipasi .................................................................................
99 99 101 102
5.2
BAB IX KERENTANAN SOSIAL DAN TARAF HIDUP KELOMPOK MISKIN KOTA ................................................... 9.1 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Kondisi Ekonomi Kelompok Miskin Kota ............................................................ 9.2 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Kelompok Miskin Kota ................................................. 9.3 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Partisipasi Kelompok Miskin Kota..............................................................................
103 103 106 110
BAB X PENUTUP ....................................................................................... 10.1 Kesimpulan .............................................................................. 10.2 Saran .......................................................................................
114 114 115
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
117
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011............................................................. 28
Tabel 2
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Pernikahan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
28
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tempat Biasa Tidur, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
30
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
31
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Tempat Tinggal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011.................................................. 31
Tabel 6
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Asal Kabupaten, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
32
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Etnis yang Dimiliki, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011.............................................................
32
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tahun ke Jakarta, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
33
Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Orang Tua menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .........................................................................
34
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
xv
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Setara menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .......................................................................................
41
Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Bawah menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .......................................................................................
49
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keterampilan Kemampuan Komunikasi, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .......................................................................................
57
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keterampilan Kemampuan Teknis, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .........
68
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Komunikasi dengan Bahasa Daerah Asal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .......................................................................................
74
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Perilaku Berkumpul dengan Orang Sedaerah Asal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011.............................................................
78
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Perilaku Kedekatan Etnis, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011.......................
83
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Sikap Kolektivitas terhadap Kepentingan Bersama, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .......................................................................................
86
xvi
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Perilaku Kolektivitas terhadap Kepentingan Bersama, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 .........................................................................
88
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kategori Faktor Internal, Faktor Eksternal dan Indeks Kerentanan Sosial, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011.............................................................
98
Jumlah, Persentase dan Kategori Pendapatan Per Hari Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
99
Jumlah, Persentase dan Ketegori Jumlah Tanggungan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011..................................................
100
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Pokok, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011.......................
100
Jumlah dan Persentase Rensponden berdasarkan Akses terhadap Pendidikan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 ...............................
101
Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Akses terhadap Kesehatan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 ...............................
102
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Analisis Pengaruh Tingkat Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Perkotaan..................
16
Gambar 2. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Orang Tua dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
35
Gambar 3. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Mertua dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
36
Gambar 4. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Paman dan Bibi dalam Enam Bulan Terakhir................................................................. 37 Gambar 5. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Orang Tua dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
39
Gambar 6. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Mertua dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
40
Gambar 7. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Paman dan Bibi dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
41
Gambar 8. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Kakak dan Adik Kandung dalam Enam Bulan Terakhir ......................................
42
Gambar 9. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Saudara Sepupu dalam Enam Bulan Terakhir................................................................. 44
xviii
Gambar 10. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Kakak dan Adik Ipar dalam Enam Bulan Terakhir ......................................................
45
Gambar 11. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Kakak dan Adik Kandung dalam Enam Bulan Terakhir ......................................
46
Gambar 12. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Saudara Sepupu dalam Enam Bulan Terakhir................................................................. 47 Gambar 13. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Kakak dan Adik Ipar dalam Enam Bulan Terakhir ......................................................
48
Gambar 14. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Anak dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
50
Gambar 15. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Menantu dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
51
Gambar 16. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Keponakan dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
52
Gambar 17. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Anak dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
54
Gambar 18. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Menantu dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
55
Gambar 19. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Keponakan dalam Enam Bulan Terakhir.................................................................
55
xix
Gambar 20. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Indonesia.....................
58
Gambar 21. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Indonesia .......................................................................
59
Gambar 22. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia....................................
60
Gambar 23. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Daerah Asal ................
62
Gambar 24. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Daerah Asal ...................................................................
63
Gambar 25. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Daerah Asal ...............................
64
Gambar 26. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Daerah Lain ................
65
Gambar 27. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Daerah Lain ...............................................................................
66
Gambar 28. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Bahasa Daerah Lain ...................
67
Gambar 29. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Membedakan Sampah Organik dan Non-organik
71
Gambar 30. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Mengolah Hasil Pulung Menjadi Barang Berdaya Jual Lebih Tinggi .......................................................................
71
Gambar 31. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Kemampuan Memperbaiki Hasil Pulung Sehingga Dapat Dipakai Kembali ........................................................................
72
xx
Gambar 32. Jumlah dan Persentase Responden terhadap Frekuensi Komunikasi dengan Berbahasa Daerah Asal.............................
76
Gambar 33. Jumlah dan Persentase Responden terhadap Frekuensi Komunikasi dengan Berbahasa Daerah Asal dengan Teman Sekampung ................................................................................
76
Gambar 34. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Berbahasa Daerah dengan Orang Sekampung ketika Ada Orang Lain Berbeda Daerah Asal ......................................................... 77 Gambar 35. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Berkumpul dengan Teman Sekampung untuk ‘ngobrol’ ..........
80
Gambar 36. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Berkumpul dengan Teman Sekampung untuk Kegiatan Hiburan .......................................................................
81
Gambar 37. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Memutuskan untuk Berkumpul dengan Teman Sekampung daripada Berkumpul dengan yang Berbeda Daerah Asal ..........
81
Gambar 38.Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Membela Teman sekampung ketika Bermasalah dengan Orang yang Berbeda daerah Asal .........................................................
84
Gambar 39. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Mendapatkan Pertolongan dari Teman Sekampung ketika Mendapatkan Masalah ....................................................
84
Gambar 40. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Terlibat dalam Kegiatan Kerja Bakti ........................
90
Gambar 41. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Menolong Teman yang Sedang dalam Masalah ........................
90
Gambar 42. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Memberikan Sebagian Makanan pada Teman yang Kesulitan Makan ........................................................................................
91
xxi
Gambar 43. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Tindakan Menyumbangkan Sebagian Pendapatan untuk Sodakoh ...........
92
Gambar 44. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Mengeluarkan Uang untuk Membantu Pengobatan Teman yang Sakit ........................................................................................... 92 Gambar 45. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Akumulasi Faktor Internal Kerentanan Sosial .............................................
94
Gambar 46. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Akumulasi Faktor Eksternal Kerentanan Sosial ..........................................
96
Gambar 47. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Indeks Kerentanan Sosial ......................................................................
97
Gambar 48. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kondisi Ekonomi.....................................................................................
99
Gambar 49. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Aksesibilitas Kebutuhan Dasar .......................................................................
101
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Peta Lokasi (Kel. Grogol Selatan) dan Titik Lokasi Penelitian .............................................................................
120
Lampiran 2
Hasil Olahan Data ................................................................
121
Lampiran 3
Asal Daerah Responden dan Tahun ke Jakarta ...................
126
Lampiran 4
Dokumentasi Penelitian .......................................................
127
Lampiran 5
Catatan Harian Penelitian ....................................................
133
Lampiran 6
Kuesioner .............................................................................
138
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa masalah
kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin kota dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota semata. Di Jakarta, hal ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada kota Jakarta sendiri. Menurut Hizbaron (2008), DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif menimbulkan daya tarik yang mendorong penduduk pedesaan bermigrasi ke sana. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Suparlan (1984), bahwa daya dorong dari pedesaan muncul karena adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa, sehingga warga desa terpaksa mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Hanya saja yang terjadi adalah Jakarta terlalu banyak orang dibandingkan dengan lowongan kerja dan sumber-sumber dayanya (Cohen, 1972 dalam Suparlan, 1984). Kenyataan lain yang terjadi ialah, Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif justru menjadi pemicu munculnya masalah kemiskinan di perkotaan. Sebagaimana diungkapkan Suparlan (1984), walaupun harapanharapan untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di daerah perkotaan dari pada di daerah pedesaan, kemiskinan di daerah perkotaan tetap ada atau bersifat laten. Menurut Suparlan, hal ini dikarenakan potensi-potensi yang ada (lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan) tidak atau belum dapat dimanfaatkan guna mewujudkan harapan-harapan (nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar warganya). Kemiskinan di perkotaan Jakarta tersebut dapat digambarkan seperti yang diungkapkan oleh Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa kebanyakan orang terpaksa mengambil jenis-jenis pekerjaan ‘kelas ketiga’ seperti sebagai tukang becak, pedagang kecil, calo, kuli, bahkan pelacur. Hal tersebut juga senada dengan pandangan Suparlan (1984), bahwa kemiskinan di perkotaan Jakarta diidentikkan dengan merebaknya kelompok-kelompok masyarakat yang
2
bermatapencaharian sebagai pedagang kaki lima, penjual pakaian bekas, penyapu jalan, penjaga malam, pengemis, dan pemulung. Hasil dari pekerjaan itu biasanya hanya cukup untuk menjaga diri dan keluarganya tidak mati kelaparan. Menurut Lewis (1988), masyarakat miskin kota hidup pada tingkat untuk menyambung hidup belaka. Masyarakat miskin kota bekerja di hari ini untuk bisa makan hingga esok hari saja. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan masyarakat miskin di kota mungkin dapat terpenuhi, namun dengan keterbatasan. Menurut Rebong et al (1979) dalam Suparlan (1984), air untuk memasak diambil dari sungai dengan memberikan kapur untuk mengendapkan kotorannya. Suparlan (1984) juga mengungkapkan, bahwa masyarakat miskin di Jakarta memenuhi kebutuhan papan mereka dengan mendirikan ‘gubuk setengah permanen’ (gubuk yang permanen, tetapi dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak bisa tahan lama), ‘gubuk setengah sementara’ (gubuk yang dibangun sederhana untuk tempat tinggal sementara) dan bahkan membuat tempat untuk bermalam dengan tumpukan kardus-kardus di depan pertokoan. Dalam memenuhi kebutuhan sandang, mereka seringkali menggunakan pakaian yang sama untuk sehari-hari, dalam keadaan kusut dan sobek, bahkan setengah telanjang. Mereka selalu menggunakan pakaian yang sama untuk melakukan beragam aktivitas dan seringkali pakaian tersebut tidak dicuci selama berhari-hari. Menurut Suparlan (1984), bahwa kondisi masyarakat miskin Jakarta dalam pemenuhan kebutuhan dasar diperparah dengan tidak adanya kerabat sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan. Masyarakat miskin di Jakarta dengan demikian sangat rapuh terhadap berbagai tekanan. Kondisi yang demikian diungkapkan oleh Bakornas PB (2007) sebagai kerentanan sosial, yang diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Ketika individu yang miskin di Jakarta memiliki kerabat, berkelompok dengan sesama daerah asal maka keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak lagi dijumpai. Hal tersebut menunjukkan kemampuan individu menghadapi suatu tekanan yang melalui daya dukung dari kerabat dan teman sedaerah asal. Seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1984), warga desa yang datang dan hidup di kota cenderung untuk tetap mempertahankan kebudayaan asal
3
suku bangsa dan daerah asalnya, serta membentuk berbagai perkumpulan yang beranggotakan orang-orang yang berasal dari suku bangsa dan daerah asal yang sama. Menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), masyarakat yang berasal dari suatu golongan suku bangsa tertentu, atau golongan ras tertentu atau kelompok tertentu dan terikat oleh hubungan-hubungan kekerabatan, maka perasaan komunitas setempat hampir menyerupai komunitas di desanya. Hal ini memunculkan daya dukung dan pertolongan terhadap individu dalam menghadapi tekanan dan kondisi kerentanan sosial tidak terjadi kepadanya. Persamaan asal daerah dan memiliki kerabat di Jakarta menjadi modal yang kuat untuk dapat bertahan hidup dan menghadapi suatu tekanan bagi orang miskin. Hal tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Fukuyama (2007) mengenai kepercayaan atau trust yang membahas tentang kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan seseorang sebagai modal untuk menjadikan seseorang tersebut mampu bertahan dalam suatu tekanan. Fukuyama (2007) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kedekatan dengan kerabatnya cenderung mampu bertahan menghadapi kondisi tekanan. Begitu pula kolektivitas yang tinggi dalam suatu komunitas dapat menjadikan anggota komunitas tersebut kuat terhadap tekanan. Persamaan etnis dalam suatu komunitas menjadi modal seseorang untuk dapat bertahan pada kondisi tekanan. Keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengerjakan suatu hal yang jarang dan tidak dapat dilakukan oleh orang lain dapat meningkatkan kepercayaan orang lain kepadanya sehingga pada akhirnya seseorang tersebut mendapat kepercayaan untuk dipekerjakan orang lain. Hal yang sebaliknya disampaikan Fukuyama (2007), di mana seseorang yang memiliki perbedaan latar belakang kekerabatan dan etnis dari orang lain akhirnya hanya memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, dan dukungan orang lain sulit didapatkan ketika ia menghadapi tekanan. Dengan memperhatikan latar belakang di atas, terlihat bahwa isu kerentanan sosial sering kali muncul di perkotaan yang memiliki tantangan di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan infrastruktur. Kerentanan sosial tersebut lebih sering dialami kelompok miskin kota.
4
1.2
Rumusan Masalah Terpusatnya perekonomian, politik dan administrasi negara di DKI Jakarta
ternyata telah menimbulkan masalah kemiskinan. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan tetap ada atau laten karena potensi-potensi yang ada tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru, atau tidak dapat memberikan nafkah yang memadai bagi sebagian besar warganya. Masalah kemiskinan di perkotaan menimbulkan keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehingga, menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), kondisi yang demikian merangsang munculnya cara hidup kelompok miskin perkotaan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam bertahan hidup. Kondisi kemiskinan yang dialami individu miskin di perkotaan diperparah dengan tidak adanya kerabat maupun kelompok sedaerah asal yang memiliki latar belakang yang sama dengannya. Pada saat hal ini terjadi dalam kondisi tertekan mereka sulit mendapatkan dukungan dan pertolongan yang dikenal sebagai kerentanan sosial. Kerentanan sosial adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut sering dialami kelompok miskin kota yang merupakan migran dari daerah pedesaan, sehingga perlu untuk dikaji tingkat kerentanan sosial yang mempengaruhi kehidupan kelompok miskin perkotaan. Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki pertanyaan utama, yaitu: 1. Bagaimanakah kehidupan kelompok miskin kota? 2. Sampai mana pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap taraf hidup kelompok miskin kota? 3. Sampai mana tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah
dipaparkan di atas, disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, yaitu mengetahui kehidupan kelompok miskin perkotaan, mengukur pengaruh tingkat kerentanan sosial
5
terhadap taraf hidup kelompok miskin kota dan mengukur tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan untuk mahasiswa selaku
pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu: 1. Bagi Akademisi Penelitian ini memberikan contoh kongkret pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap kehidupan kelompok miskin perkotaan. Selain itu penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik kerentanan sosial dan kemiskinan perkotaan 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat terkait dengan masalah kemiskinan perkotaan. 3. Bagi Pemerintah Penelitian dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin perkotaan dalam menanggulangi masalah kemiskinan
perkotaan.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Kerentanan Sosial Kerentanan sosial menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial
dalam menghadapi bahaya (Bakornas PB, 2007) dan menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan suatu penduduk terhadap keselamatan jiwanya apabila terjadi bahaya (Davidson, 1997 dalam Suganda, 2000). Menurut Soetomo (2010), gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Hal yang demikian menjadi suatu masalah sosial, yang ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat dan dapat menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian fisik maupun nonfisik. Kerentanan sosial merupakan suatu kondisi yang dialami
oleh
seseorang
atau
masyarakat,
sehingga
mengakibatkan
ketidakmampuan suatu masyarakat menghadapi suatu tekanan yang dapat mengancam kehidupan seseorang atau masyarakat tersebut. Menurut Hizbaron (2008), kerentanan sosial dapat meningkat seiring dengan meningkatnya laju urbanisasi pada suatu daerah. Dalam kasus tersebut, kota yang menjadi pusat pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan pusat perekonomian menjadi tujuan migrasi penduduk pedesaan, dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Penduduk di kota besar sendiri terdiferensiasi berdasarkan daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku (Rahardjo, 1999). Penduduk yang heterogen seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik antar-etnis, antar-agama, antar-golongan (Marzali et al, 1989), karena seperti diungkapkan Fukuyama (2007), kepercayaan sangat bergantung dengan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan yang berkembang pada individu dalam masyarakat. Berikut adalah penjelasan hubungan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan dalam menguatkan trust atau saling percaya dengan orang lain (Fukuyama, 2007):
7
1. Kekerabatan, terkait pada hubungan seseorang dengan seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama, terdapat juga dalam hubungan keluarga. Seseorang memiliki kepercayaan yang lebih besar kepada anak, adik, kakak, bapak, ibu yang memiliki hubungan kekerabatan dibandingkan dengan seseorang di luar kerabat. 2. Kolektivitas, terkait dengan nilai kebersamaan yang memiliki rasa solidaritas komunal yang tinggi dalam masyarakat, cenderung memiliki kekuatan ketika dihadapi suatu tekanan. 3. Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah. Dalam suatu wilayah kelompok etnik mendukung anggotanya untuk mampu menghadapi tekanan. 4. Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya. Penguasaan keterampilan oleh seseorang menjadi modal agar dapat dipercaya orang lain untuk mempekerjakannya, sehingga memberikan output penghasilan guna pemenuhan hidupnya.
Kekerabatan dalam hasil penelitian Marzali et al (1989) menjadi modal kepercayaan seseorang dalam mempekerjakan orang lain pada usaha yang dimiliki. Seringkali suatu usaha dikerjakan oleh anggota suatu keluarga yang berhubungan dekat. Hal ini ada kaitannya dengan tradisi saling membantu di antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga seperti bapak, ibu, mertua, kakak, adik, ipar, anak, keponakan dan menantu.
Seseorang juga
berusaha bukanlah semata-mata untuk keluarga sendiri, tetapi juga untuk orang banyak lainnya. Prioritas pilihan pertama ialah saudara-saudara dekat sendiri, kemudian orang seasal, lalu orang-orang lain dari etnik lain. Kolektivitas menurut Milgram dan Toch dalam Horton dan Hunt (1999) merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya. Proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya.
8
Etnisitas merupakan fenomena yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok, dengan lingkungan sosial mereka. Menurut Barth dalam Suparlan (2003), kategorisasi kelompok etnis ditentukan oleh basisnya, identitas secara umum merupakan praduga oleh latar belakang serta asal usulnya. Dalam hal ini, kelompok etnis dilihat sebagai sebuah kategori sosial yang berfungsi sebagai kumpulan sistem acuan untuk mengidentifikasi etnis tertentu dalam hubungan-hubungan antar etnis. Menurut Fukuyama (2007), keterampilan yang dimiliki seseorang menjadi modal kepercayaan orang lain untuk mempekerjakannya. Selain itu seseorang yang menguasai keterampilan tertentu mampu bertahan dari suatu tekanan ekonomi karena kemampuannya menciptakan produk yang berdaya jual. Fukuyama juga menekankan, bahwa keterampilan tidak dapat tergantikan oleh mesin produksi. Alasan tersebut menjadikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap seseorang yang memiliki keterampilan. Konsep trust menurut Fukuyama (2007) tersebut dapat diadopsi ke dalam konsep kerentanan sosial, yang berarti suatu kondisi seseorang atau masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan. Jika konsep kerentanan sosial diantitesiskan, muncul konsep kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat. Menurut Fukuyama (2007), seseorang atau masyarakat akan mampu menghadapi suatu tekanan bila nilai kepercayaan yang dianut dalam masyarakat tersebut besar (high-trust), sedangkan masyarakat dengan kepercayaan yang rendah (low-trust) cenderung tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan. Untuk kepentingan penelitian ini maka kerentanan sosial mengadopsi antitesis konsep trust oleh Fukuyama (2007) yang dapat
diidentifikasikan
ke
dalam
empat
indikator,
yaitu
kekerabatan,
keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.
2.1.2
Kemiskinan di Perkotaan Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan adalah masalah sosial
yang laten dan kompleks yang berimplikasi pada bidang sosial dan kebudayaan. Implikasi tersebut tidak hanya melibatkan dan mewujudkan berbagai masalah
9
sosial pada kota dan orang-orang miskin di dalamnya saja, tetapi juga melibatkan masalah yang ada di pedesaan dan di kota-kota lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota tersebut semata. Masalah ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada perkotaan, seperti pada Jakarta. Sistem ekonomi, sistem politik dan administrasi yang terpusat di Jakarta menimbulkan daya tarik bagi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke sana, dengan harapan mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih layak. Motivasi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke kota bukan semata-mata tertarik dengan kelengkapan fasilitas yang ada di kota, tetapi juga dikarenakan adanya daya dorong dari pedesaan. Pedesaan sangat minim dengan lapangan pekerjaan (Hizbaron, 2008), sehingga menurut Suparlan (1984), hal itu menjadi daya dorong dari pedesaan sebagai akibat dari adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa. Warga desa tersebut terpaksa mencari tempat yang diduga memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik, yaitu di kota. Daya tarik dan dorong terhadap masyarakat pedesaan dengan harapan mampu mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih baik daripada di pedesaan, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun di perkotaan tersedia alternatif-alternatif pekerjaan yang lebih terbuka dari pada di pedesaan, kemiskinan di sana tetap ada dan atau bersifat laten. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan tetap ada di perkotaan karena potensi-potensi yang ada seperti lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat menghasilkan penghasilan yang cukup untuk sebagian besar masyarakat perkotaan. Kebudayaan pada masyarakat perkotaan tersebut tidak mampu mendorong dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam peningkatan ekonomi dan sosial pada masyarakat perkotaan. Kemiskinan di perkotaan sering dialami oleh masyarakat pedesaan yang bermigrasi ke perkotaan. Menurut Suparlan (1984), jumlah gelandangan yang berasal dari daerah pedesaan di lingkar DKI Jakarta dan juga dari luar Pulau Jawa
10
lebih besar dibandingkan dengan masyarakat asli sendiri. Gelandangan sering diartikan sebagai seseorang yang selalu berkeliaran atau tidak pernah memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Gelandangan sering distereotipkan sebagai orang yang pemalas, kotor dan tidak dapat dipercaya. Pandangan tersebut keliru, bahkan gelandangan itu adalah pekerja keras dalam upaya mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya. Beberapa jenis gelandangan memiliki pekerjaan yang dapat dikatakan tetap, yaitu sebagai tukang loak, pedagang kaki lima, penyapu jalan, tukang becak, penjaga malam, pemulung, penjual makanan kecil dan tukang kerajinan tangan. Gelandangan sering dianggap tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, namun ternyata memiliki tempat bermalam yang relatif tetap, meskipun di tempat-tempat tersembunyi dan kosong yang ada di tepi jalan dan gang, di depan pertokoan, gerbong kereta, gerobak penjual makan dan di kolong jembatan. Gelandangan lazimnya termasuk dalam golongan sosial terendah di desa asalnya, karena dalam aspek ekonomi mereka tergolong orangorang yang paling miskin, tidak dihormati oleh anggota masyarakat lain, tidak memiliki kekuasaan politik lokal, dan tidak memiliki tanah. Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), orang miskin di perkotaan bukan hanya gelandangan tetapi yang menjadi ukuran kemiskinan adalah penghasilannya yang rendah. Melalui argumentasi ini dimungkinkan orang miskin juga memiliki tempat tinggal yang berbeda dari gelandangan, yaitu berbentuk gubuk-gubuk liar. Gubuk-gubuk liar tersebut seringkali didirikan di atas tanah milik pemerintah tanpa izin, seperti di tanah-tanah kosong milik PT KAI (Kereta Api Indonesia), di sepanjang jalur kereta api, dan tanah sepanjang sungai. Jika suatu saat pemerintah membutuhkan tanah-tanah tersebut, maka para pemiliknya akan kehilangan rumah-rumah itu tanpa mendapatkan ganti rugi. Hasil penelitian Cohen (1972) dalam Suparlan (1984) menunjukkan, bahwa golongan-golongan berpenghasilan rendah memiliki partisipasi yang tinggi pada gotong royong untuk memperbaiki keadaan mereka. Baginya gotong royong dipandang sebagai kegiatan untuk mempertahankan suatu taraf hidup tertentu. Gotong royong jarang dianggap sebagai salah satu cara untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan besar. Selain itu golongan miskin tersebut cenderung untuk mengikuti instruksi-instruksi dari pada berpartisipasi dalam pengambilan
11
keputusan. Mereka juga mudah sekali mengikuti anggota masyarakat lain yang mempunyai status dan wewenang lebih tinggi tanpa berpikir lebih lanjut dan tanpa kritik. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sikap tersebut, yaitu perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, pandangan bahwa hidup ini ditentukan oleh nasib, dan pandangan bahwa keputusan-keputusan hanya untuk orang-orang kaya dan terpelajar. Hasil penelitian Lewis (1988) menunjukkan, bahwa kelompok miskin memiliki efektivitas partisipasi yang rendah dan integrasinya dalam lembagalembaga utama masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh faktor langkanya sumber-sumber daya ekonomi, diskriminasi, rasa takut dan curiga, rendahnya pendapatan, minimnya harta milik berharga dan terbatasnya uang tunai. Semua kondisi tersebut tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dengan efektif ke dalam sistem ekonomi terlebih, untuk urusan bantuan sosial. Pada individu yang miskin terdapat ciri-ciri utama yaitu kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rendah diri, perasaan tidak berguna dan pasrah. Akan tetapi mereka mempunyai sikap yang kritis terhadap peraturan yang mendasar yang didominasi oleh kaum yang kaya dan berkuasa, benci kepada polisi, tidak percaya kepada pemerintah dan bahkan bersikap sinis terhadap keagamaan. Kaum miskin ini mempunyai tingkat melek huruf dan pendidikan yang rendah, memiliki akses yang rendah pada rumah sakit dan bank. Mereka seringkali sulit memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan. Hal tersebut dikarenakan jumlah tanggungan keluarga yang sangat banyak. Bahkan dalam satu rumah ditempati hingga sembilan orang yang menjadikan rumah penuh dan sesak, sehingga mereka seringkali berhutang kepada tetangga atau kerabat yang kebetulan juga bertetangga dengannya. Strategi nafkah mereka ialah menjalankan pekerjaan sambilan dengan menangkap sejumlah peluang yang mampu menghasilkan uang. Menurut Musyarofah (2006), terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah tersebut antara lain: 1. Pola nafkah ganda, yaitu dalam satu keluarga terdapat dua atau lebih pekerjaan yang dilakukan, baik oleh satu orang atau terbagi pada seluruh anggota keluarga.
12
2. Pemanfaatan kelembagaan ekonomi, seperti dengan memanfaatkan kelembagaan arisan, sistem kredit dan bank keliling. 3. Pemanfaatan jaringan sosial, dapat berupa jejaring kemitraan bisnis atau berupa ikatan pertetanggaan dan ikatan persaudaraan. Ikatan ketetanggaan dan persaudaraan ini dimaksudkan untuk memberikan akses bagi rumah tangga miskin untuk mendapatkan bantuan ketika membutuhkan sesuatu. 4. Basis perdagangan, seperti berjualan nasi uduk untuk memperoleh pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau dengan membuka warung kecil untuk membiayai sekolah anak-anaknya. 5. Mengganti jenis makanan, dilakukan ketika rumah tangga miskin berada dalam kondisi sulit. Strategi ini bagian dari proses penekanan pengeluaran. Mereka mengganti menu makan menjadi makanan yang lebih sederhana. 6. Basis rumah kontrakan, dilakukan dengan memanfaatkan modal mereka untuk membangun rumah kontrakan. 7. Basis peluang kerja di sektor industri, terkait dengan keberadaan sektor industri di lingkungan mereka yang menimbulkan strategi nafkah berupa peluang kerja di sektor industri. 8. Berhutang, dilakukan ketika kondisi rumah tangga komunitas miskin berada pada kondisi krisis dengan meminjam uang kepada tetangga yang berhubungan baik sehingga menimbulkan sikap saling percaya. 9. Mencairkan aset rumah tangga, dilakukan dengan menjual aset rumah tangga yang dimiliki seperti menjual barang elektronik. Strategi ini dilakukan ketika mereka dalam kondisi krisis.
Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaaan antara lain timbul akibat rendahnya kualitas sumber daya yang mereka miliki dan keterampilan yang kurang memadai dari mereka untuk mencari pekerjaan dan bersosialisasi dengan masyarakat lainnya di kota. Jayanti (2007) merumuskan pemaknaan kemiskinan bagi komunitas miskin di perkotaan yang juga dapat dirumuskan sebagai permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi:
13
1. Rendahnya pendapatan, terkait dengan jenis pekerjaan yang dijalani masyarakat kelurahan Lemahputra Kecamatan Sidoarjo pada tahun 2007, yaitu mayoritas bekerja pada sektor informal yang hanya berpenghasilan antara Rp 300.000,00 sampai Rp 550.000,00 per bulan atau kurang lebih sebesar sepuluh ribu rupiah per hari. 2. Pemenuhan
kebutuhan
pokok
yang
rendah,
terkait
dengan
ketidakmampuan komunitas miskin kota untuk memenuhi pangannya dengan baik. Mayoritas mereka hanya mampu makan dua kali per hari bahkan terkadang orang tua harus merelakan jatah makan mereka untuk anaknya. Mereka hanya mampu membeli pakaian satu tahun sekali dengan menggunakan kredit. Bahkan rumah mereka biasanya terbuat dari bambu yang hanya dibatasi oleh sekat dan menggunakan lantai terbuat dari tanah. 3. Akses dalam pendidikan, kesehatan dan permodalan yang rendah, dapat dilihat
melalui
rendahnya
kemampuan
komunitas
miskin
dalam
menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMP, rendahnya akses kesehatan karena mahalnya biaya berobat ke lembaga kesehatan. 4. Partisipasi yang rendah dalam institusi sosial, timbul karena orang miskin cenderung menutup diri terhadap orang lain dan cenderung tidak berminat ikut dalam kegiatan sosial. Hal tersebut dilakukan karena merasa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk melakukan kegiatan sosial dan mereka takut kalau nantinya mereka mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial tersebut.
Menurut Handayani (2009), komunitas miskin memiliki situasi tawar yang rendah dalam proses pengambilan keputusan di arena publik. Situasi tawar yang rendah tersebut terjadi pada golongan keluarga yang benar-benar miskin, yang dikarenakan kurangnya waktu yang dimiliki oleh keluarga tersebut untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Hal ini berakibat pada munculnya dominasi dalam pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan kepentingan kelompok elite, karena kelompok tersebut mampu menggunakan akses dan kekuasaan yang dimilikinya untuk terlibat di arena publik. Di sisi lain komunitas miskin kota memiliki partisipasi yang cukup baik dalam melakukan kegiatan
14
sosial. Hal ini terjadi karena persamaan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hasil penelitian Marzali et al (1989) mengungkapkan, bahwa sesama warga dengan kondisi ekonomi yang rendah memiliki partisipasi yang baik dalam berbagai aktivitas seperti siskamling dan kerja bakti dibandingkan dengan warga yang secara ekonomi mampu meskipun berasal dari etnik yang sama. Untuk kepentingan penelitian ini maka kehidupan komunitas miskin kota dapat diidentifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi.
2.2
Kerangka Pemikiran Masyarakat pedesaan, karena desakan ekonomi berupa rendahnya
lapangan kerja, bermigrasi ke kota dengan harapan mendapatkan taraf hidup dan pekerjaan yang lebih tinggi. Konsekuensinya, penduduk di kota terdiferensiasi berdasarkan atas daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku. Penduduk di daerah kota menjadi heterogen dan mengakibatkan tingginya tingkat kerentanan sosial pada suatu kelompok miskin di kota. Kerentanan sosial menurut Bakornas PB (2007) diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut diukur dari ketiadaan salah satu modal sosial yang dimiliki dalam setiap individu pada kelompok miskin di kota yaitu kepercayaan (trust). Trust ini merupakan modal sosial dalam suatu komunitas untuk dapat bertahan terhadap suatu tekanan. Trust teridentifikasi ke dalam empat indikator yaitu kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan (Fukuyama, 2007). Keempat indikator tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam faktor internal, yaitu modal kepercayaan yang berasal dari individu yaitu kekerabatan dan keterampilan. Kategori kedua adalah faktor eksternal dimana modal kepercayaan berasal dari luar individu seperti kolektivitas dan etnisitas. Taraf hidup kelompok miskin kota diadopsi dari konsep kemiskinan di perkotaan oleh Suparlan (1984) yang diidentifikasi ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi. Masalah kemiskinan di perkotaan merupakan masalah yang kompleks yang tidak hanya melibatkan permasalah sosial yang ada di kota dan orang-orang di dalamnya,
15
tetapi juga melibatkan masalah-masalah sosial yang ada di pedesaan. Kondisi ekonomi kelompok miskin perkotaan dapat diukur melalui tingkat pendapatan, tanggungan keluarga, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Aksesibilitas kebutuhan dasar kelompok miskin perkotaan dapat diukur pada pendidikan, kesehatan dan modal. Partisipasi kelompok miskin kota dapat diukur pada kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran dalam pertemuan yang mereka ikuti. Ketiga kategori tersebut merupakan wujud dari adaptasi terhadap kondisi kemiskinan yang dihadapi, dan juga menggambarkan kondisi kemiskinan yang dialami kelompok miskin perkotaan itu sendiri. Menurut Suparlan (1984), kondisi kelompok miskin perkotaan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya diperparah oleh tidak adanya keluarga dan kerabat di kota, sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan. Tingkat kerentanan sosial memiliki pengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Secara lebih ringkas, penjelasan ini disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran pada Gambar 1.
16
Kerentanan Sosial
Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota
Faktor Internal
Kondisi Ekonomi Kekerabatan 1. Hubungan dengan
1. Pendapatan 2. Tanggungan 3. Pemenuhan kebutuhan pokok
generasi orang tua 2, Hubungan dengan generasi setara 3. Hubungan dengan generasi anak
Keterampilan 1. Kemampuan komunikasi 2. Teknis
Aksesibilitas Kebutuhan Dasar 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Modal
Faktor Eksternal Etnisitas 1. Bahasa 2. Asal daerah 3. Perilaku
Partisipasi Kolektivitas 1. Sikap terhadap
1. Kehadiran 2. Sumbangsih pemikiran 3. Kritik dan saran
kepentingan bersama 2. Perilaku terhadap kepentingan bersama
Keterangan: = mempengaruhi = ruang lingkup Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Tingkat Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota
17
2.3 Hipotesis Uji Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis uji, yaitu; Kerentanan sosial berpengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Hipotesis ini dapat didetilkan sebagai berikut: 1. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap kondisi ekonomi orang miskin dalam kelompoknya. 2. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar orang miskin dalam kelompoknya. 3. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap partisipasi orang miskin dalam kelompoknya.
2.4 Definisi Operasional A. Kerentanan
sosial,
adalah
kondisi
individu
yang
mengakibatkan
ketidakmampuan menghadapi suatu tekanan. Variabel yang diteliti antara lain: A.1 Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam individu. A.1.1 Kekerabatan a.Hubungan generasi orang tua adalah sebaik apakah hubungan responden kepada ayah, ibu, paman, bibi dan mertua. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
b.Hubungan generasi setara adalah sebaik apakah hubungan responden kepada kakak, adik, sepupu dan ipar. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
18
c.Hubungan generasi anak adalah sebaik apakah hubungan responden kepada anak, menantu dan keponakan. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Tidak Baik
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
Penilaian terhadap kekerabatan yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari hubungan responden dengan generasi orang tua, setara dan bawah. Kekerabatan dapat dikategorikan menjadi: Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Akumulasi Indeks < 0,45 0,45 ≤ X < 1,5 1,5 1,5 < X ≤ 2,55 > 2,55
A.1.2 Keterampilan a.Kemampuan komunikasi adalah seberapa besar kemampuan komunikasi responden dapat diterima oleh orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Mampu Mampu Cukup Mampu Kurang Mampu Tidak Mampu
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
19
b.Teknis adalah kemampuan responden dalam mengolah hasil memulung menjadi barang yang dapat dijual. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Mampu Mampu Cukup Mampu Kurang Mampu Tidak Mampu
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
Penilaian terhadap keterampilan yaitu dengan mengakumulasi indeks dari kemampuan berkomunikasi dan teknis responden. Keterampilan dapat dikategorikan menjadi: Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Akumulasi Indeks < 0,3 0,3 ≤ X < 1 1 1 < X ≤ 1,7 > 1,7
Penilaian terhadap faktor internal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari kekerabatan dan keterampilan. Faktor internal dapat dikategorikan menjadi: Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Akumulasi Indeks < 0,75 0,75 ≤ X < 2,5 2,5 2,5 < X ≤ 4,25 > 4,25
20
A.2 Faktor Eksternal Faktor yang berasal dari luar individu. A.2.1 Etnisitas a.Bahasa adalah seberapa sering responden berkomunikasi dengan bahasa daerah asalnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Sering Sering Cukup Sering Jarang Tidak Pernah
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
b.Asal daerah adalah seberapa sering responden berkumpul dengan sedaerah dengannya. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Sering Sering Cukup Sering Jarang Tidak Pernah
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
c.Perilaku adalah seberapa besar pola perilaku yang menunjukkan kebersamaan responden dengan orang sesama daerahnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Sesuai Sesuai Cukup Sesuai Kurang Sesuai Tidak Sesuai
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
21
Penilaian terhadap etnisitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari bahasa, asal daerah dan perilaku responden. Etnisitas dapat dikategorikan menjadi: Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Akumulasi Indeks < 0,45 0,45 ≤ X < 1,5 1,5 1,5 < X ≤ 2,55 > 2,55
A.2.2 Kolektivitas a.Sikap terhadap kepentingan bersama adalah sebesar apa responden setuju dengan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Setuju Setuju Cukup Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
b.Perilaku terhadap kepentingan bersama adalah sesering apa responden terlibat dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator: Indeks Kerentanan Sosial Sangat Sering Sering Cukup Sering Jarang Tidak Pernah
0 0,15 0,5 0,85 1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota 5 4 3 2 1
22
Penilaian terhadap kolektivitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari sikap dan perilaku responden terhadap kegiatan kepentingan bersama. Kolektivitas dapat dikategorikan menjadi: Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Akumulasi Indeks < 0,3 0,3 ≤ X < 1 1 1 < X ≤ 1,7 > 1,7
Penilaian terhadap faktor eksternal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari etnisitas dan kolektivitas. Faktor eksternal dapat dikategorikan menjadi: Kategori
Akumulasi Indeks < 0,75 0,75 ≤ X < 2,5 2,5 2,5 < X ≤ 4,25 > 4,25
Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
B. Taraf hidup kelompok miskin kota adalah kondisi atau keadaan yang dialami oleh kelompok miskin kota. Variabel yang diteliti antara lain: B.1 Kondisi Ekonomi a.Pendapatan adalah sejumlah uang yang didapat dari hasil bekerja selama satu hari oleh responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator yang mengacu dari UMR kota Jakarta sebesar Rp 1.290.000 per bulan: 1. Sangat tinggi
=5
(> Rp 60.000)
2. Tinggi
=4
(Rp 43.000 < P ≤ Rp 60.000)
3. Cukup
=3
(Rp 43.000)
4. Rendah
=2
(Rp 20.000 ≤ P < Rp 43.000)
5. Sangat rendah = 1
(< Rp 20.000)
23
b.Tanggungan adalah jumlah orang yang dibiayai responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Tidak ada
=5
(0 orang)
2. Sedikit
=4
(1-2 orang)
3. Cukup
=3
(3 orang)
4. Banyak
=2
(4-5 orang)
5. Sangat banyak = 1
(> 5 orang)
c.Pemenuhan kebutuhan pokok adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Sangat mampu = 5 2. Mampu
=4
3. Cukup
=3
4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu
=1
Penilaian terhadap kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendapatan, tanggungan dan pemenuhan kebutuhan pokok. Kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi: Kategori
Akumulasi Skor > 12 9 < X ≤ 12 6<X≤9 3<X<6 <3
Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
B.2 Aksesibilitas Kebutuhan Dasar a.Pendidikan adalah kemampuan responden untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Sangat mampu = 5 2. Mampu
=4
3. Cukup
=3
4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu
=1
24
b.Kesehatan adalah kemampuan responden untuk berobat ke lembaga kesehatan. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Sangat mampu = 5 2. Mampu
=4
3. Cukup
=3
4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu
=1
c.Modal adalah responden untuk mendapatkan bantuan modal dari orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Sangat mampu = 5 2. Mampu
=4
3. Cukup
=3
4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu
=1
Penilaian terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendidikan, kesehatan dan modal. Aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi: Kategori
Akumulasi Skor > 12 9 < X ≤ 12 6<X≤9 3<X<6 <3
Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
B.3 Partisipasi a.Kehadiran adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Selalu ikut
=5
2. Sering ikut
=4
3. Kadang-kadang ikut
=3
4. Jarang ikut
=2
5. Tidak ikut
=1
25
b.Sumbangsih
pemikiran
adalah
keterlibatan
responden
dalam
menyumbangkan pemikirannya dalam pengambilan keputusan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Selalu terlibat
=5
2. Sering terlibat
=4
3. Kadang-kadang terlibat = 3 4. Jarang terlibat
=2
5. Tidak terlibat
=1
c.Kritik dan saran adalah aktivitas kritik, saran atau argumen responden pada kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator: 1. Selalu terlibat
=5
2. Sering terlibat
=4
3. Kadang-kadang terlibat = 3 4. Jarang terlibat
=2
5. Tidak terlibat
=1
Penilaian terhadap partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran. Partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi: Kategori Sangat Tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat Rendah
Akumulasi Skor > 12 9 < X ≤ 12 6<X≤9 3<X<6 <3
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kelurahan Grogol Selatan merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Wilayah administrasi Kelurahan Grogol Selatan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Gunung di Kecamatan Kebayoran Baru. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kebayoran Lama Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kali Pesanggrahan di Kelurahan Ulujami dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Grogol Utara. Kelurahan ini memiliki luas wilayah sebesar 2, 85 Km per segi. Kelurahan Grogol Selatan terdiri dari 5.042 keluarga yang tersebar di 114 Rukun Tetangga (RT) dan sepuluh Rukun Warga (RW). Kelurahan Grogol Selatan adalah kawasan yang padat penduduk. Selain sebagai kawasan pemukiman juga sebagai kawasan perkantoran dan bisnis. Hal tersebut dapat dilihat dari infrastruktur bangunan dan jalan sebagai pendukung aktivitas penduduk. Objek-objek bangunan yang terdapat di Grogol Selatan adalah Pasar Simprug Gallery, Rukan Simprug Indah, Apartemen Simprug Indah, Apartemen Simprug Teras, Komplek Kementerian Luar Negeri, Komplek Hankam, Komplek Sekretaris Negara, Perumahan Griya Kebayoran, Pasar Kebayoran Lama, Flyover Kebayoran Lama, Pasar Bata Putih, Griya BNI Simprug Apartemen, Universitas Bina Nusantara, Komplek IAPCO, Komplek Pusdiklat Pertamina, Gedung Phapros dan SMA 82. Selain itu terdapat pula infrastruktur jalan di Grogol Selatan yaitu Jalan Permata Hijau II, Jalan Cidodol, Jalan Kweni, Jalan Seha I, II, III; Jalan Rawa Simprug IA, IB, IC, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X; Jalan Seha Buntu, Jalan Kubur Islam C, Jalan Mesjid Annur, Jalan Jiban Raya I, II, III; Jalan Patal Senayan, Jalan Simprug Garden I, II, III, IV, V, VI, VII; Jalan Teuku Nyak Arif, Jalan Toa Pekong, Jalan Kampus Jaya, Jalan Loka Permai, Jalan Kampus Jaya, Jalan Kangkung, Jalan Cenderawasih, Jalan
27
Guntur, Jalan Kebayoran Baru, Jalan Terusan Hang Lekir I, II, III, IV, V, VI; Jalan Terusan Sinabung, Jalan Simprug Permata, Jalan Simprug Golf I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, XIV, XV, XVII Penelitian mengenai kerentanan sosial pemulung asal desa di Jakarta diawali dengan pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus 2011. Pengumpulan data primer dilakukan selama dua minggu pada Bulan Agustus 2011. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan dari beberapa sumber kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan akhir skripsi dan sidang penelitian yang dilakukan pada Bulan September hingga November 2011.
3.2
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur guna mendapatkan data dan informasi yang relevan mengenai penelitian ini. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian. Lokasi penelitian tersebut dilakukan wawancara mendalam kepada informan dan responden yang mengacu kepada panduan pertanyaan dan kuesioner. Kuesioner ditanyakan kepada anggota dari kelompok pemulung. Dimana responden didapatkan secara accidental sampling yaitu mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Dimana pemulung yang dijadikan responden harus memenuhi persyaratan, yaitu berasal dari daerah pedesaan dan responden yang satu dan yang lainnya tidak dalam satu keluarga. Jumlah responden yang didapatkan dalam penelitian ini sebanyak 35 orang.
3.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan
informan seperti pemilik lapak, pemilik warung makan, dan beberapa responden yang komunikatif dengan peneliti.
28
Data kuantitatif diperoleh dengan menggunakan Indeks Komposit untuk melihat pengaruh kerentanan sosial berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang dimiliki oleh responden. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut: Faktor Internal = KR + KT Keterangan: KR : Kekerabatan KT : Keterampilan
Faktor Eksternal = ET + KL Keterangan: ET : Etnisitas KL : Kolektivitas
Kerentanan Sosial = KR + KT + ET + KL Keterangan: KR : Kekerabatan KT : Keterampilan
ET KL
: Etnisitas : Kolektivitas
Selanjutnya analisis Regresi Linear digunakan untuk melihat hubungan antara kerentanan sosial dengan taraf hidup kelompok miskin kota yaitu pada kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi. Pengolahan data ini dilakukan menggunakan program komputer excel 2007 dan SPSS 16 for windows.
BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN
4.1
Jenis Kelamin Responden Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis
kelaminnya, yaitu laki-laki dan perempuan. Responden yang didapatkan terdiri dari 77 per sen laki-laki dan 27 per sen perempuan seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Jenis Kelamin Jumlah % Laki-laki 27 77 Perempuan 8 23 Total 35 100
4.2
Agama yang Dianut Responden Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan agama yang
dianut. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Hasil penggolongan berdasarkan agama yang dianut adalah 100 per sen responden beragama Islam.
4.3
Status Pernikahan Responden Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan status
pernikahannya. Status pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah belum menikah, menikah, duda dan janda. Tabel 2 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Pernikahan Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Status Pernikahan Belum Menikah Menikah Janda Total
Jumlah 5 28 2 35
% 14 80 6 100
30
Hasil penggolongan responden berdasarkan status pernikahan adalah 80 per sen responden berstatus menikah, 14 per sen berstatus belum menikah dan enam per sen responden berstatus janda seperti tampak pada Tabel 2.
4.4
Tempat Biasa Tidur Responden Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan tempat
biasa untuk tidurnya. Pengelompokkan tempat biasa tidur responden adalah pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih, Stasiun Kebayoran, rel non-aktif Stasiun Kebayoran, kolong Jembatan Simprug, trotoar dan rumah kontrakan.
Tabel 3 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tempat Biasa Tidur Tahun 2011 Tempat Biasa Tidur Jumlah % Pepohonan Pinggir Rel Pasar Bata 10 29 Putih Stasiun Kebayoran 10 29 Rel Non-aktif Stasiun Kebayoran 6 17 Kolong Jembatan Simprug 5 14 Trotoar 3 8 Rumah Kontrakan 1 3 Total 35 100
Hasil penggolongan responden berdasarkan tempat biasa tidur adalah 29 per sen responden biasa tidur di pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih, 14 per sen responden biasa tidur di kolong jembatan Simprug, 29 per sen responden biasa tidur di Stasiun Kebayoran, 17 per sen biasa tidur di rel non-aktif Stasiun Kebayoran, delapan per sen responden biasa tidur di trotoar dan tiga per sen responden biasa tidur di rumah kontrakan seperti tampak pada Tabel 3.
4.5
Tingkat Pendidikan Responden Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat
pendidikannya. Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah tidak sekolah, SD, MI, SMP, MTS, SMA, MA, SMK, DI/II, DIII dan S1. Hasil pengelompokkan responden berdasarkan tingkat pendidikan adalah 14 per sen responden tidak
31
sekolah, 74 per sen responden hingga tingkat SD dan 12 per sen hingga tingkat SMP seperti tampak pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Tingkat Pendidikan Jumlah % Tidak Sekolah 5 14 SD 26 74 SMP 4 12 Total 35 100
4.6
Status Tempat Tinggal Responden Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan status
tempat tinggalnya. Status tempat tinggal yang dimaksud adalah bebas sewa, kontrakan, milik sendiri, sewa orang tua/anak/saudara, dan sewa kepada Satpol PP. Hasil pengelompokkan responden berdasarkan status tempat tinggal adalah 69 per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus bebas sewa, 20 per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus kontrak dan sebelas per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus sewa kepada Satpol PP seperti tampak pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Tempat Tinggal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Status Tempat Tinggal Jumlah % Bebas Sewa 24 69 Kontrakan 7 20 Sewa Kepada Satpol PP 4 11 Total 35 100
4.7
Asal Daerah, Etnis dan Tahun ke Jakarta Responden Responden dalam penelitian ini seluruhnya adalah pendatang dari
pedesaan di berbagai Kabupaten. Terdapat sebelas per sen responden berasal dari Kabupaten yang sama yaitu Lebak. Selain itu terdapat sembilan per sen responden
32
berasal dari kabupaten yang sama yaitu Kabupaten Tegal, Pandeglang dan Brebes. Data responden berdasarkan asal daerah lebih jelas tampak pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Asal Kabupaten, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kabupaten Lebak Tegal Pandeglang Brebes Pemalang Garut Kebumen Lampung Bogor Sukoharjo Yogyakarta Jepara 4L Kediri Grobogan Demak Batang Pasawaran Solo Subang Pringsewu Total
Jumlah 4 3 3 3 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 35
% 11 9 9 9 6 6 6 6 6 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 100
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Etnis yang Dimiliki, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan Etnis Jawa Sunda Palembang Total
Jumlah
%
26 8 1 35
74 23 3 100
. Terdapat 74 per sen responden merupakan etnis Jawa. Selain itu terdapat 23 per sen responden merupakan etnis Sunda dan tiga per sen responden
33
murupakan etnis Palembang. Data responden berdasarkan etnis yang dimiliki lebih jelas tampak pada Tabel 7.
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tahun ke Jakarta, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Tahun ke Jakarta 0 – 5 tahun lalu 6 – 10 tahun lalu 11 – 15 tahun lalu 16 – 20 tahun lalu 21 – 25 tahun lalu >25 tahun lalu Total
Jumlah 14 5 4 3 2 7 35
% 40 14 11 9 6 20 100
Responden datang ke Jakarta pada tahun-tahun yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 40 per sen responden datang ke Jakarta pada nol sampai lima tahun yang lalu. Selain itu terdapat 14 per sen responden datang ke Jakarta pada enam sampai sepuluh tahun yang lalu. Data responden berdasarkan tahun ke Jakarta lebih jelas tamapk pada Tabel 8.
BAB V FAKTOR INTERNAL KERENTANAN SOSIAL 5.1
Kekerabatan Pemulung
5.1.1
Hubungan dengan Generasi Orang Tua Pada umumnya pemulung di Kota Jakarta berasal dari luar Kota Jakarta.
Kata lainnya mereka bermigrasi dari kampung ke Jakarta untuk mencari nafkah. Mereka meninggalkan sanak saudara atau kerabat di kampung. Hal tersebut menjadikan hubungan pemulung dengan kerabat menjadi sedikit renggang karena frekuensi komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat terbatas. Kerabat yang dimiliki pemulung digolongkan menjadi tiga, yaitu generasi orang tua, generasi setara dan generasi bawah. Pemulung di Kota Jakarta umumnya memiliki frekuensi komunikasi yang rendah dengan generasi orang tua. Generasi orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang tua, mertua dan paman-bibi.
Tabel 9 Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Orang Tua menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Tingkat Kekerabatan Frekuensi Komunikasi Frekuensi Silaturahmi
Generasi Orang Tua Orang Tua Mertua Paman dan Bibi Orang Tua Mertua Paman dan Bibi
Kategori Sangat Rendah Jumlah % 33 94 35 100 35 100 34 97 35 100 35 100
Sangat Tinggi Jumlah % 2 6 0 0 0 0 1 3 0 0 0 0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 94 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan orang tua. Sedangkan, responden yang memiliki frekunesi komunikasi yang sangat tinggi dengan orang tua hanya sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 9. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan
35
tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar orang tua responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi orang tua di kampung halaman dan beberapa orang tua responden sudah meninggal dunia.
Sangat Sering 1 3% Sering 3 8% Tidak Pernah 22 63%
Jarang 9 26%
Gambar 2 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Orang Tua dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan orang tua menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan orang tua. Persentase persepsi tersebut adalah 63 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua, 26 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan orang tua, delapan per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan orang tua dan tiga per sen responden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan orang tua seperti tampak pada Gambar 2. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan orang tua dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan orang tua dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan orang tua dirasa sudah cukup. Dimana aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
36
Hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkan bahwa seratus per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan mertua. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar mertua responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi mertua di kampung halaman. Selain itu, beberapa responden belum dan sudah tidak memiliki mertua. Hubungan komunikasi responden dengan mertua terputus ketika mertua mereka telah meninggal dunia dan karena status perceraian. Sehingga tidak memungkinkan bagi responden untuk berkomunikasi dengan mertua mereka. Seperti yang dialami oleh dua responden yang menjanda, yaitu Ibu IL dan Ibu RS.
Sangat Sering 1 3%
Sering 6 17% Cukup 2 6%
Tidak Pernah 23 66%
Jarang 3 8%
Gambar 3 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Mertua dalam Enam Bulan Terakhir Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi dengan mertua yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika responden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi komunikasi dengan mertua yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 66 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan mertua, delapan per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan mertua, enam per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan mertua, 17 per sen responden mengaku sering
37
berkomunikasi dengan mertua dan tiga per sen responden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan mertua seperti tampak pada Gambar 3. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan mertua dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan mertua dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan mertua dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seratus per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan paman dan bibi seperti tampak pada Tabel 9. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar paman dan bibi responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi paman dan bibi di kampung halaman dan beberapa paman dan bibi responden sudah meninggal dunia. Sering 2 6%
Tidak Pernah 20 57%
Cukup 2 6% Jarang 11 31%
Gambar 4 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Paman dan Bibi dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan paman dan bibi menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan paman dan bibi. Persentase persepsi tersebut adalah 57 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan paman dan bibi, 31 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan paman dan bibi, enam per
38
sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan paman dan bibi, dan enam per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan paman dan bibi seperti tampak pada Gambar 4. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan paman dan bibi dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan paman dan bibi dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan paman dan bibi dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman. Penelitian ini mengukur hubungan responden dengan kerabatnya tidak hanya dengan mengukur frekuensi komunikasi tetapi juga mengukur frekuensi silaturahmi dengan kerabat. Sebesar 97 per sen dari jumlah responden memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan orang tua. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat tinggi dengan orang tua hanya sebesar tiga per sen. Adapun silaturahmi responden yang memiliki tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan seperti tampak pada Tabel 9. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar orang tua responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden hanya sekali setahun pulang ke kampung halaman dan itupun tidak rutin setahun sekali. Selain itu beberapa orang tua responden sudah meninggal dunia. Persepsi responden terhadap frekuensi silaturahmi dengan orang tua menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi silaturahmi responden dengan orang tua. Persentase persepsi tersebut adalah 68 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan orang tua, 20 per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan orang tua, sembilan per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan orang tua dan tiga per sen responden mengaku sangat sering bersilaturahmi dengan orang tua seperti tampak pada Gambar 5. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan orang tua dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan orang tua dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan orang tua dirasa sudah
39
cukup. Dimana aktivitas silaturahmi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Sangat Sering 1 3%
Tidak Pernah 24 68%
Sering 3 9% Jarang 7 20%
Gambar 5 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Orang Tua dalam Enam Bulah Terakhir Hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkan seratus per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan mertua. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar mertua responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden hanya sekali dalam setahun pulang ke kampung halaman. Selain itu, beberapa responden belum dan sudah tidak memiliki mertua. Hubungan silaturahmi responden dengan mertua terputus ketika mertua mereka telah meninggal dunia dan karena status perceraian. Sehingga tidak memungkikan bagi responden untuk berkomunikasi dengan mertua mereka. Seperti yang dialami oleh dua responden yang menjanda, yaitu Ibu IL dan Ibu RS. Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi dengan mertua yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi silaturahmi dengan mertua yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 66 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan mertua, sebelas per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan mertua, enam per sen responden mengaku cukup
40
bersilaturahmi dengan mertua, 14 per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan mertua dan tiga per sen responden mengaku sangat sering bersilaturahmi dengan mertua seperti tampak pada Gambar 6. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan mertua dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan mertua dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan mertua dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Sangat Sering 1 3%
Tidak Pernah 23 66%
Sering 5 14%
Cukup 2 6% Jarang 4 11%
Gambar 6 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Mertua dalam Enam Bulan Terakhir Hasil penelitian juga menunjukkan seratus per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan paman dan bibi seperti tampak pada Tabel 9. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan.Hal tersebut dikarenakan sebagian besar paman dan bibi responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden hanya setahun sekali pulang ke kampung halaman dan itu pun tidak rutin setahun sekali. Selain itu, beberapa paman dan bibi responden sudah meninggal dunia.
41
Sering 2 6%
Cukup 2 6%
Tidak Pernah 20 57%
Jarang 11 31%
Gambar 7 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Paman dan Bibi dalam Enam Bulan Terakhir 5.1.2
Hubungan dengan Generasi Setara Pemulung yang ada di Kota Jakarta pada umumnya hidup sendiri dan jauh
dari kerabat.Setelah pada subbab sebelumnya menggambarkan bagaimana hubungan kekerabatan pemulung dengan generasi orang tua. Pada subbab ini akan meperlihatkan bagaimana hubungan pemulung dengan generasi setara dalam sistem kerabatnya. Generasi setara yang dimaksud adalah kakak dan adik kandung, saudara sepupu dan kakak dan adik ipar.
Tabel 10 Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Setara menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Tingkat Kekerabatan
Frekuensi Komunikasi
Frekuensi Silaturahmi
Kategori Generasi Setara Kakak dan Adik Kandung Saudara Sepupu Kakak dan Adik Ipar Kakak dan Adik Kandung Saudara Sepupu Kakak dan Adik Ipar
Sangat Rendah Jumlah %
Sangat Tinggi Jumlah %
33 35
94 100
2 0
6 0
33
94
2
6
33 35
94 100
2 0
6 0
33
94
2
6
42
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa sebaran frekuensi komunikasi dan frekuensi silaturahmi responden tidak merata. Responden cenderung memiliki frekuensi komunikasi dan frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan generasi setara yaitu, kakak dan adik kandung, saudara sepupu dan kakak dan adik ipar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 94 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan kakak dan adik kandung. Sedangkan, responden yang memiliki frekunesi komunikasi yang sangat tinggi dengan kakak dan adik kandung hanya sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 10. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar kakak dan adik kandung responden berada di kampung halaman, berada di daerah Jakarta lainnya seperti di Jakarta Utara, Jakarta Barat dan daerah lain di luar Jakarta seperti di Kota Tangerang. Terlebih, sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi kakak dan adik kandungnya.
Sangat Sering 1 3%
Tidak Pernah 19 54%
Sering 4 11%
Cukup 3 9%
Jarang 8 23%
Gambar 8 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Kakak dan Adik Kandung dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan kakak dan adik kandung menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan kakak dan adik kandung. Persentase persepsi
43
tersebut adalah 54 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung, 23 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung, sembilan per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung, sebelas per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung dan tiga per sen reponden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung seperti tampak pada Gambar 8. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan kakak dan adik kandung dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan kakak dan adik kandung dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman. Hasil penelitian pada Tabel 10 menunjukkan
bahwa seratus per sen
responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan saudara sepupu. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar saudara sepupu responden berada di kampung halaman dan di daerah yang berbeda di Jakarta. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi saudara sepupu. Sebagian besar hubungan komunikasi responden dengan saudara sepupu terputus ketika responden bermigrasi ke Jakarta. Sehingga tidak memungkikan bagi responden untuk berkomunikasi dengan saudara sepupu. Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi dengan saudara sepupu yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi komunikasi dengan saudara sepupu yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 68 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan saudara sepupu, 17 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan saudara sepupu, sembilan per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan saudara sepupu dan enam per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan saudara sepupu seperti tampak
44
pada Gambar 9. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan saudara sepupu dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan saudara sepupu dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan saudara sepupu dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman, sehingga dimungkinkan untuk berkomunikasi secara langsung dengan saudara sepupu.
Sering 2 6%
Tidak Pernah 24 68%
Cukup 3 9% Jarang 6 17%
Gambar 9 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Saudara Sepupu dalam Enam Bulan Terakhir Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 94 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan kakak dan adik ipar. Sedangkan, responden yang memiliki frekuensi komunikasi yang sangat tinggi dengan kakak dan adik ipar hanya sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 10. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi komunikasi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar kakak dan adik ipar responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi kakak dan adik ipar di kampung halaman. Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan kakak dan adik ipar menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan kakak dan adik ipar. Persentase persepsi tersebut adalah 63 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar,
45
23 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar, enam per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar, tiga per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar dan lima per sen responden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar seperti tampak pada Gambar 10. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan kakak dan adik ipar dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan kakak dan adik ipar dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Sangat Sering 2 5%
Tidak Pernah 22 63%
Sering 1 3%
Cukup 2 6%
Jarang 8 23%
Gambar 10 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Kakak dan Adik Ipar dalam Enam Bulan Penelitian ini mengukur hubungan responden dengan kerabatnya tidak hanya dengan mengukur frekuensi komunikasi tetapi juga mengukur frekuensi silaturahmi dengan kerabat. Sebesar 94 per sen dari jumlah responden memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan kakak dan adik kandung. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat tinggi dengan kakak dan adik kandung hanya sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 10. Adapun silaturahmi responden yang memiliki tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar
46
kakak dan adik kandung responden berada di kampung halaman, berada di daerah Jakarta lainnya seperti di Jakarta Utara, Jakarta Barat dan daerah lain di luar Jakarta seperti di Kota Tangerang. Terlebih, sebagian besar responden hanya sekali setahun pulang ke kampung halaman dan itu pun tidak rutin setahun sekali. Persepsi responden terhadap frekuensi silaturahmi dengan kakak dan adik kandung menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi silaturahmi responden dengan kakak dan adik kandung. Persentase persepsi tersebut adalah 54 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung, 23 per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung, sembilan per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung, sebelas per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung dan tiga per sen responden mengaku sangat sering bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung seperti tampak pada Gambar 11. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan kakak dan adik kandung dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan kakak dan adik kandung dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Sangat Sering 1 3%
Tidak Pernah 19 54%
Sering 4 11%
Cukup 3 9%
Jarang 8 23%
Gambar 11 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Kakak dan Adik Kandung dalam Enam Bulan Terakhir
47
Hasil penelitian pada Tabel 10 menunjukkan
bahwa seratus per sen
responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan saudara sepupu. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar saudara sepupu responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden hanya sekali dalam setahun pulang ke kampung halaman. Hubungan silaturahmi responden dengan sudara sepupu terputus ketika responden merantau dari kampung halamannya. Sehingga tidak memungkikan bagi responden untuk berkomunikasi dengan saudara sepupu mereka.
Sering 2 6%
Tidak Pernah 24 68%
Cukup 3 9% Jarang 6 17%
Gambar 12. Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Saudara Sepupu Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi dengan saudara sepupu yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi silaturahmi dengan saudara sepupu yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 68 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan saudara sepupu, 17 per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan saudara sepupu, sembilan per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan saudara sepupu dan enam per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan saudara sepupu seperti tampak pada Gambar 12. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan saudara sepupu dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan saudara sepupu dikarenakan anggapan
48
umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan saudara sepupu dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 94 per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan kakak dan adik ipar. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat tinggi dengan kakak dan adik ipar hanya sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 10. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar kakak dan adik ipar responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden hanya setahun sekali pulang ke kampung halaman dan itu pun tidak rutin setahun sekali.
Sangat Sering 2 5%
Tidak Pernah 22 63%
Sering 2 6%
Cukup 2 6%
Jarang 7 20%
Gambar 13 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Kakak dan Adik Ipar dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi responden terhadap frekuensi silaturahmi dengan kakak dan adik ipar menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi bersilaturahmi responden dengan kakak dan adik ipar. Persentase persepsi tersebut adalah 63 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar, 20 per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar, enam per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar, enam per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar dan lima per sen responden mengaku sangat sering bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar seperti tampak pada Gambar 13. Perbedaan hasil
49
antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan kakak dan adik ipar dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan kakak dan adik ipar dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
5.1.3
Hubungan dengan Generasi Bawah Subbab ini akan memperlihatkan bagaimana hubungan kekerabatan
pemulung dengan genarasi bawah. Generasi bawah yang dimaksud adalah anak, menantu dan keponakan.
Tabel 11 Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Bawah menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Tingkat Kekerabatan
Frekuensi Komunikasi
Frekuensi Silaturahmi
Generasi Bawah
Sangat Rendah Jumlah %
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sangat Tinggi Jumlah %
Anak
29
83
1
3
2
6
0
0
3
8
Menantu
33
94
0
0
0
0
0
0
2
6
Keponakan
34
97
0
0
0
0
1
3
0
0
Anak
30
86
1
3
1
3
0
0
3
8
Menantu
33
94
0
0
0
0
0
0
2
6
Keponakan
34
97
0
0
0
0
1
3
0
0
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa sebaran frekuensi komunikasi dan frekuensi silaturahmi responden tidak merata. Responden cenderung memiliki frekuensi komunikasi dan frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan generasi bawah yaitu, anak, menantu dan keponakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 83 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan anak. Selain itu, terdapat tiga per sen responden memiliki frekuensi komunikasi yang rendah dengan anak, enam per sen responden memiliki frekuensi komunikasi yang sedang dengan anak dan delapan per sen responden memiliki frekuensi komunikasi yang sangat tinggi dengan anaknya seperti tampak pada Tabel 11. Adapun komunikasi responden dengan
50
tingkat frekuensi yang tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar anak responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi anaknya. Selain itu, beberapa responden yang belum memiliki anak karena terlebih dahulu menjanda dan beberapa responden belum menikah.
Sangat Sering 3 8%
Tidak Pernah 16 46%
Sering 5 14% Cukup 3 9%
Jarang 8 23%
Gambar 14 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Anak dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi
responden
terhadap
frekuensi
komunikasi
dengan
anak
menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan anak. Persentase persepsi tersebut adalah 46 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan anak, 23 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan anak, sembilan per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan anak, 14 per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan anak dan delapan per sen reponden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan anak seperti tampak pada Gambar 14. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan anak dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan anak
dikarenakan
anggapan
umum
responden
bahwa
sekali
setahun
berkomunikasi dengan anak dirasa sudah cukup. Dimana aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
51
Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa 94 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan menantu. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi komunikasi yang sangat tinggi dengan menantu hanya sebesar enam per sen. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden belum memiliki menantu. Namun sebagian kecil sudah memiliki menantu namun berada di kampung halaman dan di daerah yang berbeda di Jakarta. Sehingga sulit untuk melakukkan komunikasi dengan menantu. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi menantu.
Sering 3 9%
Cukup 1 3%
Jarang 4 11%
Tidak Pernah 27 77%
Gambar 15 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Menantu dalam Enam Bulan Terakhir Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi dengan menantu yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi komunikasi dengan menantu yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 77 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan menantu, sebelas per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan menantu, tiga per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan menantu dan sembilan per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan menantu seperti tampak pada Gambar 15. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan saudara sepupu dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan
52
menantu dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan menantu dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman, sehingga dimungkinkan untuk berkomunikasi secara langsung dengan menantu. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 97 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan keponakan. Sedangkan, responden yang memiliki frekunesi komunikasi yang tinggi dengan keponakan hanya sebesar tiga per sen seperti tampak pada Tabel 11. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi komunikasi yang rendah, sedang dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keponakan responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi keponakan di kampung halaman.
Sering 2 6%
Tidak Pernah 25 72%
Cukup 4 11% Jarang 4 11%
Gambar 16 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Keponakan dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan keponakan menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan keponakan. Persentase persepsi tersebut adalah 72 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan keponakan dan enam per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan keponakan seperti tampak pada Gambar 16. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi
53
dengan keponakan dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan keponakan dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan keponakan dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman. Penelitian ini mengukur hubungan responden dengan kerabatnya tidak hanya dengan mengukur frekuensi komunikasi tetapi juga mengukur frekuensi silaturahmi dengan kerabat. Sebesar 86 per sen dari jumlah responden memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan anak. Selain itu, responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang rendah sebesar tiga persen, responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sedang dengan anak sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 11. Adapun silaturahmi responden yang memiliki tingkat frekuensi yang tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar anak responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden hanya sekali setahun pulang ke kampung halaman dan itu pun tidak rutin setahun sekali. Persepsi
responden
terhadap
frekuensi
silaturahmi
dengan
anak
menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi silaturahmi responden dengan anak. Persentase persepsi tersebut adalah 46 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan anak, 23 per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan anak, sembilan per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan anak, 14 per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan anak dan delapan per sen responden mengaku sangat sering bersilaturahmi dengan anak seperti tampak pada Gambar 17. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan anak dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan anak dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan anak dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
54
Sangat Sering 3 8%
Tidak Pernah 16 46%
Jarang 8 23%
Sering 5 14% Cukup 3 9%
Gambar 17 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Anak dalam Enam Bulan Terakhir Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa 94 per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan Menantu. Selain itu, responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat tinggi hanya sebesar enam per sen. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar responden belum memiliki menantu. Sedangkan responden yang memiliki menantu hanya dimungkinkan bersilaturahmi dengan menantu ketika responden pulang ke kampung halaman. Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi silaturahmi dengan menantu yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika reponden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi silaturahmi dengan menantu yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 77 per sen responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan menantu, sebelas per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan menantu, tiga per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan menantu dan sembilan per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan menantu seperti tampak pada Gambar 18. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan menantu dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan menantu dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun
55
bersilaturahmi dengan menantu dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
Sering 3 9%
Cukup 1 3% Jarang 4 11%
Tidak Pernah 27 77%
Gambar 18 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Menantu dalam Enam Bulan Terakhir Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 97 per sen responden memiliki frekuensi silaturahmi yang sangat rendah dengan keponakan. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi silaturahmi yang tinggi dengan keponakan hanya sebesar tiga per sen seperti tampak pada Tabel 11. Adapun silaturahmi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar keponakan responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian besar responden hanya setahun sekali pulang ke kampung halaman dan itu pun tidak rutin setahun sekali.
Sering 2 6% Tidak Pernah 25 72%
Cukup 4 11% Jarang 4 11%
Gambar 19 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Aktivitas Silaturahmi dengan Keponakan dalam Enam Bulan Terakhir Persepsi responden terhadap frekuensi silaturahmi dengan keponakan menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi bersilaturahmi responden dengan keponakan. Persentase persepsi tersebut adalah 72 per sen
56
responden mengaku tidak pernah bersilaturahmi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku jarang bersilaturahmi dengan keponakan, sebelas per sen responden mengaku cukup bersilaturahmi dengan keponakan dan enam per sen responden mengaku sering bersilaturahmi dengan keponakan seperti tampak pada Gambar 19. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden bersilaturahmi dengan keponakan dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas silaturahmi dengan keponakan dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun bersilaturahmi dengan keponakan dirasa sudah cukup. Aktivitas silaturahmi tersebut dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.
5.2
Keterampilan Pemulung
5.2.1
Kemampuan Komunikasi Kota Jakarta merupakan kota besar yang dihuni oleh berbagai masyarakat
dengan latarbelakang budaya, ekonomi dan sosial yang berbeda. Sehingga dalam upaya pengitegrasiannya sesorang dengan lingkungan Kota Jakarta dibutuhkan kemampuan dalam hal komunikasi. Dalam kehidupan pemulung yang selalu beraktivitas di jalan sering berjumpa dengan orang lain yang berbeda latarbelakang budaya, ekonomi dan sosial. Sebagai penunjuang untuk berkomunikasi maka pemulung harus bermodalkan kemampuan berbahasa yang dapat diterima oleh orang lain. Penelitian ini menunjukkan bagaimana kemampuan komunikasi pemulung yang diukur dari frekuensi responden berbahasa Indonesia, berbasaha daerah dan berbahasa daerah lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80 per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa yang sangat tinggi, enam per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa indonesia yang sedang, enam per sen responden juga memiliki frekuensi berbicara bahasa indonesia yang rendah dan delapan per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa Indonesia yang sangat rendah seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi berbicara Bahasa Indonesia yang sangat tinggi. Dikarenakan bahasa yang sering dipakai dalam proses komunikasi di Kota Jakarta adalah Bahasa Indonesia. Sehingga
57
responden relatif lebih sering berbicara dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mudah dimengerti oleh warga Jakarta pada umumnya.
Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterampilan Kemampuan Komunikasi, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Keterampilan
Frekuensi Berkomunikasi Bahasa Indonesia Frekuensi Berkomunikasi Bahasa Daerah Frekuensi Berkomunikasi Bahasa Daerah Lain
Kemampuan Komunikasi
Sangat Rendah Jumlah %
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sangat Tinggi Jumlah %
Berbicara
3
8
2
6
2
6
0
0
28
80
Mendengarkan
3
8
2
6
2
6
0
0
28
80
Menulis
32
91
1
3
1
3
1
3
0
0
Berbicara
10
28
1
3
1
3
0
0
23
66
Mendengarkan
10
29
3
8
2
6
0
0
20
57
Menulis
33
94
0
0
1
3
0
0
1
3
31
88
1
3
1
3
0
0
2
6
24
68
2
6
2
6
1
3
6
17
35
100
0
0
0
0
0
0
0
0
Berbicara Mendengarkan Menulis
Seperti halnya berbicara dalam Bahasa Indonesia, aktivitas responden dalam mendengarkan Bahasa Indonesia juga menunjukkan persentase yang sangat besar yaitu 80 per sen responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam Bahasa Indonesia. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam Bahasa Indonesia pada kategori sedang sebesar enam persen, kemudian pada kategori rendah adalah sebesar enam per sen dan pada kategori sangat rendah sebesar delapan per sen seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi mendengarkan dalam Bahasa Indonesia yang sangat tinggi, dikarenakan bahasa yang sering dipakai dalam proses komunikasi di Kota Jakarta adalah Bahasa Indonesia. Sehingga responden relatif lebih sering mendengarkan pembicaraan dalam Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mudah dimengerti oleh warga Jakarta pada umumnya. Hasil penelitian juga menunjukkan persentase responden berdasarkan frekuensi menulis Bahasa Indonesia. Berbeda dengan frekuensi berbicara dan mendengarkan Bahasa Indonesia yang dominan pada kategori sangat tinggi. Pada frekuensi menulis Bahasa Indonesia oleh responden menunjukan persentase
58
sebesar 91 per sen responden memiliki frekuensi menulis Bahasa Indonesia yang sangat rendah. Sedangkan frekuensi menulis Bahasa Indonesia pada kategori rendah adalah sebesar tiga per sen, kategori sedang adalah sebesar tiga per sen dan kategori tinggi hanya tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi menulis Bahasa Indonesia yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden tidak bisa baca tulis. Terlebih dalam aktivitas memulung responden tidak dituntut untuk menulis. Hal ini berbeda dengan aktivitas berbicara Bahasa Indonesia. Responden mau tidak mau harus mampu berbicara Bahasa Indonesia karena situasi dan kondisi warga Jakarta umumnya menggunakan Bahasa Indonesia. Responden dalam frekuensi berbicara dan mendengarkan Bahasa Indonesia menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi menulis Bahasa Indonesia oleh responden menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan komunikasi responden
berdasarkan
persepsinya
terhadap
kemampuan
berbicara,
mendengarkan dan menulis dalam Bahasa Indonesia.
Kurang Mampu 6 17%
Tidak Mampu 1 3%
Cukup 9 26%
Sangat Mampu 4 11%
Mampu 15 43%
Gambar 20 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Indonesia Persepsi responden terhadap kemampuannya berbicara Bahasa Indonesia dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 20 menunjukkan bahwa sebelas per sen responden merasa sangat mampu, 43 per sen responden merasa mampu,
59
26 per sen responden merasa cukup, 17 per sen responden merasa kurang mampu dan 3 per sen responden merasa tidak mampu berbicara Bahasa Indonesia. Dominannya responden yang merasa mampu berbicara Bahasa Indonesia karena pada umumnya warga jakarta berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Selain itu dari sisi responden juga sempat mendapatkan pendidikan Bahasa Indonesia saat masa sekolah. Namun terdapat satu responden yang merasa tidak mampu berbicara Bahasa Indonesia yaitu Bapak JN, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Komunikasi sehari-hari Bapak JN selalu berbicara Bahasa Sunda.
Kurang Mampu 3 8%
Tidak Mampu 1 3%
Cukup 9 26%
Sangat Mampu 2 6%
Mampu 20 57%
Gambar 21 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Indonesia Persepsi responden terhadap kemampuannya mendengarkan Bahasa Indonesia juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 21 menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa sangat mampu, 57 per sen responden merasa mampu, 26 per sen responden merasa cukup, 8 per sen responden merasa kurang mampu dan 3 per sen responden merasa tidak mampu mendengarkan Bahasa Indonesia. Dominannya responden yang merasa mampu mendengarkan
Bahasa Indonesia karena pada umumnya warga Jakarta
berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Selain itu dari sisi responden juga sempat mendapatkan pendidikan Bahasa Indonesia saat masa sekolah. Namun terdapat satu responden yang merasa tidak mampu mendengarkan pembicaraan
60
Bahasa Indonesia yaitu Bapak JN, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis Bahasa Indonesia juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 22 menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa sangat mampu, 29 per sen responden merasa mampu, sebelas per sen responden merasa cukup, 34 per sen responden merasa kurang mampu dan 20 per sen responden merasa tidak mampu menulis Bahasa Indonesia. Dominannya responden yang merasa kurang mampu menulis Bahasa Indonesia karena sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah. Sehingga responden tidak mampu menulis.
Sangat Mampu 2 6% Tidak Mampu 7 20% Kurang Mampu 12 34%
Mampu 10 29% Cukup 4 11%
Gambar 22 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia Kemampuan komunikasi pemulung selain diukur dari frekuensi berbicara, medengarkan dan menulis Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga mengukur dari frekuensi berbicara, mendengarkan dan menulis bahasa daerah asal. Pada Tabel 11 menunjukan bahwa 66 per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah asal yang sangat tinggi. Sedangkan persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah yang sedang hanya sebesar tiga persen. Begitu juga dengan persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara daerah asal yang rendah hanya sebesar tiga per sen dan 28 per sen responden yang memiliki
61
frekuensi berbicara bahasa daerah yang sangat rendah. Dominannya responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah yang sangat tinggi dikarenakan sebagaian besar responden hidup berkelompok atas dasar persamaan profesi yaitu pemulung. Seringkali responden menemui teman sesama etnisnya seperti Jawa dan Sunda. Meski tidak sedaearah asal namun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa atau Sunda yang sama-sama bisa dimengerti oleh setiap responden. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi yang sangat rendah berbicara dalam bahasa daerah dikarenakan mereka hidup individual tidak berkelompok dengan sesama pemulung lainnya. Terlebih lagi jika responden memiliki pemahaman atau ideologi bahwa hidup di Jakarta untuk bekerja bukan untuk ‘ngobrol’ seperti yang dilakukan oleh Bapak AN. Seperti
halnya
berbicara
dalam
bahasa
daerah
asal,
frekuensi
mendengarkan responden dalam bahasa daerah asal juga menunjukkan persentase yang sangat tinggi yaitu 57 per sen responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam bahasa daerah asal. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam bahasa daerah asal pada kategori sedang sebesar enam persen, kemudian pada kategori rendah adalah sebesar delapan per sen dan pada kategori sangat rendah sebesar 29 per sen seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi mendengarkan dalam bahasa daerah asal yang sangat tinggi, dikarenakan sebagaian besar responden hidup berkelompok dengan sesama pemulung sering kali menemui teman sedaerah meski tidak sekampung. Hasil penelitian juga menunjukkan persentase responden berdasarkan frekuensi menulis bahasa daerah asal. Berbeda dengan frekuensi berbicara dan mendengarkan bahasa daerah asal yang dominan pada kategori sangat tinggi. Pada frekeunsi menulis bahasa daerah asal oleh responden menunjukan persentase sebesar 94 per sen responden memiliki frekuensi menulis bahasa daerah asal yang sangat rendah. Sedangkan frekuensi menulis bahasa daerah asal pada kategori sedang adalah sebesar tiga per sen dan kategori sangat tinggi hanya tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi menulis bahasa daerah asal yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden tidak bisa baca tulis. Terlebih dalam aktivitas memulung responden tidak dituntut untuk menulis. Namun satu
62
responden menunjukkan frekeunsi yang sangat tinggi dalam menulis bahasa daerahnya yaitu Bapak CR. Ia mengaku memiliki telepon genggam sehingga ia sering berkomuikasi lewat pesan pendek kepada kerabatnya di kampung halaman dengan bahasa daerah asal. Responden dalam frekuensi berbicara dan mendengarkan bahasa daerah asal menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi menulis bahasa daerah asal oleh responden menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan komunikasi responden berdasarkan persepsinya terhadap kemampuan berbicara, mendengarkan dan menulis dalam bahasa daerah asal.
Cukup 6 17%
Sangat Mampu 7 20%
Mampu 22 63%
Gambar 23 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Daerah Asal Persepsi responden terhadap kemampuannya berbicara bahasa daerah asal dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 23 menunjukkan bahwa 20 per sen responden merasa sangat mampu, 63 per sen responden merasa mampu dan 17 per sen responden merasa cukup mampu berbicara bahasa daerah asal. Dominannya responden yang merasa mampu berbicara bahasa daerah asal karena seluruh responden dilahirkan di daerah asalnya dan pada usia kerja seluruh responden bermigrasi ke Jakarta. Sehingga seluruh responden merasa menguasai bahasa daerah asalnya.
63
Sangat Mampu 6 17%
Cukup 4 11%
Mampu 25 72%
Gambar 24 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Daerah Asal Persepsi responden terhadap kemampuannya mendengarkan bahasa daerah asal juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 24 menunjukkan bahwa 17 per sen responden merasa sangat mampu, 72 per sen responden merasa mampu dan 26 per sen responden merasa cukup mampu mendengarkan bahasa daerah asalnya. Dominannya responden yang merasa mampu mendengarkan bahasa daerah asal karena seluruh responden dilahirkan di daerah asalnya dan pada usia kerja seluruh responden bermigrasi ke Jakarta. Sehingga seluruh responden merasa menguasai bahasa daerah asalnya. Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis bahasa daerah asal juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 25. menunjukkan bahwa 20 per sen responden merasa mampu, 14 per sen responden merasa cukup, 29 per sen responden merasa kurang mampu dan 37 per sen responden merasa tidak mampu menulis bahasa daerah asal. Dominannya responden yang meresa tidak mampu menulis bahasa daerah asal karena sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah. Sehingga responden tidak mampu menulis khususnya menulis bahasa daerah.
64
Mampu 7 20% Tidak Mampu 13 37% Kurang Mampu 10 29%
Cukup 5 14%
Gambar 25 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa daerah Asal Kemampuan komunikasi pemulung selain diukur dari frekuensi berbicara, mendengarkan dan menulis Bahasa Indonesia dan bahasa daerah asal. Penelitian ini juga mengukur dari frekuensi berbicara, mendengarkan dan menulis bahasa daerah lain. Pada Tabel 12 menunjukan bahwa enam per sen responden memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah lain yang sangat tinggi. Selain itu persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah lain yang sedang sebesar tiga persen. Sedangkan persentase responden yang memiliki frekuensi berbicara daerah lain yang sangat rendah rendah sebesar 88 per sen. Dominannya responden yang memiliki frekuensi berbicara bahasa daerah lain yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar responden tidak berniat untuk mempelajari berbicara daerah lain. Selain itu sebagian besar responden berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda daerah dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sehingga kesempatan responden untuk berbicara bahasa daerah lain sangat kecil. Seperti
halnya
berbicara
dalam
bahasa
daerah
asal,
frekuensi
mendengarkan responden dalam bahasa daerah lain juga menunjukkan frekuensi yang sangat rendah yaitu 68 per sen responden. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi mendengarkan pembicaraan dalam bahasa daerah lain pada kategori rendah sebesar enam per sen, kemudian pada kategori sedang sebesar enam per sen, kategori tinggi sebesar 3 per sen dan kategori sangat tinggi sebesar 17 per sen seperti tampak pada Tabel 12. Dominannya responden dengan frekuensi mendengarkan dalam bahasa daerah lain yang sangat rendah, dikarenakan sebagaian besar responden hidup lebih sering berkomunikasi Bahasa
65
Indonesia dengan orang yang berasal dari daerah lain. Sehingga kesempatan mendengarkan pembicaraan daerah lain sangat kecil. Hasil penelitian juga menunjukkan persentase responden berdasarkan frekuensi menulis bahasa daerah lain. Sama dengan frekuensi berbicara dan mendengarkan bahasa daerah lain yang dominan pada kategori sangat rendah. Pada frekeunsi menulis bahasa daerah lain oleh responden menunjukan persentase sebesar 100 per sen responden memiliki frekuensi menulis bahasa daerah lain yang sangat rendah. Seluruh responden menunjukkan frekuensi menulis bahasa daerah lain yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden tidak bisa baca tulis. Terlebih dalam aktivitas memulung responden tidak dituntut untuk menulis, apalagi menulis dengan bahasa daerah lain yang kurang dimengerti oleh sebagian besar responden.
Responden
dalam
frekuensi
berbicara,
mendengarkan dan menulis bahasa daerah lain menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan komunikasi responden
berdasarkan
persepsinya
terhadap
kemampuan
berbicara,
mendengarkan dan menulis dalam bahasa daerah lain.
Mampu 3 9%
Tidak Mampu 21 60%
Cukup 4 11%
Kurang Mampu 7 20%
Gambar 26 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Berbicara dengan Bahasa Daerah Lain Persepsi responden terhadap kemampuannya berbicara bahasa daerah lain dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 26 menunjukkan bahwa 9 per sen responden merasa mampu, sebelas per sen responden merasa cukup, 20 per sen
66
responden merasa kurang mampu dan 60 per sen responden merasa tidak mampu berbicara bahasa daerah lain. Dominannya responden yang merasa tidak mampu berbicara bahasa daerah lain karena sebagian besar responden berbicara Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda daerah asal. Terlebih sebagaian besar responden tidak merasa perlu untuk belajar berbicara bahasa daerah lain. Namun terdapat 23 per sen yang merasa mampu berbicara bahasa daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan responden sudah berpuluh tahun berada di Jakarta dan hidup di jalanan. Seperti Bapak JS yang sudah hidup di Jakarta sejak tahun 1967 dan sering bergaul dengan orang yang berbeda daerah dengannya.
Tidak Mampu 17 48%
Mampu 8 23%
Cukup 3 9%
Kurang Mampu 7 20%
Gambar 27 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mendengarkan Pembicaraan dalam Bahasa Daerah Lain Persepsi responden terhadap kemampuannya mendengarkan bahasa daerah lain juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 27 menunjukkan bahwa 23 per sen responden merasa mampu, 9 per sen responden merasa cukup, 20 per sen responden merasa kurang mampu dan 48 per sen responden merasa tidak mampu mendengarkan bahasa daerah lain. Dominannya responden yang merasa tidak mampu mendengarkan bahasa daerah lain karena sebagian besar responden berkomunikasi Bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda daerah asal. Namun terdapat 23 per sen yang merasa mampu mendengarkan bahasa daerah lainnya. Hal tersebut dikarenakan responden sudah
67
berpuluh tahun berada di Jakarta dan sering bergaul dengan orang berbeda daerah asal. Selain itu sebagian besar responden mengaku lebih mudah mendengarkan dan memahami pembicaraan dengan bahasa daerah asal dari pada berbicara bahasa daerah lain.
Mampu 2 6%
Cukup 1 3% Kurang Mampu 5 14%
Tidak Mampu 27 77%
Gambar 28 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Daerah Lain Persepsi responden terhadap kemampuannya menulis bahasa daerah lain juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 28. menunjukkan bahwa enam per sen responden merasa mampu, tiga per sen responden merasa cukup, 14 per sen responden merasa kurang mampu dan 77 per sen responden merasa tidak mampu menulis bahasa daerah lain. Dominannya responden yang merasa tidak mampu menulis bahasa daerah lain karena sebagian besar responden hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar dan tidak pernah sekolah. Sehingga responden tidak mampu menulis. Terlebih sebagian besar responden tidak mengerti bahasa daerah lain.
5.2.2
Kemampuan Teknis Subbab ini akan memperlihatkan bagaimana kemampuan teknis pemulung
dalam aktivitas yang erat kaitannya dengan pekerjaan pemulung. Kemampuan ternis tersebut adalah kemampuan pemulung dalam membedakan sampah organik
68
dan non-organik, kemampuan pemulung mengolah sampah menjadi barang berdaya jual lebih tinggi dan kemampuan responden memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali.
Tabel 13 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Keterampilan Kemampuan Teknis, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Kemampuan Teknis
Sangat Rendah Jumlah %
Membedakan Sampah Organik dan Non-organik Mengolah Sampah Menjadi Barang Berdaya Jual Lebih Tinggi Memperbaiki Hasil Pulung Sehingga Dapat Dipakai Kembali
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sangat Tinggi Jumlah %
2
6
0
0
0
0
1
3
32
91
34
97
0
0
0
0
0
0
1
3
33
94
1
3
0
0
0
0
1
3
Hasil penelitian menunjukkan bahwa enam per sen responden memiliki frekuensi membedakan sampah organik dan non-organik yang sangat rendah, tiga per sen responden memiliki frekuensi membedakan sampah organik dan nonorganik yang tinggi dan 91 per sen responden memiliki frekuensi membedakan sampah organik dan non-organik yang sangat tinggi seperti tampak pada Tabel 13. Dominannya responden dengan frekuensi membedakan sampah organik dan nonorganik yang sangat tinggi dikarenakan aktivitas pencarian nafkah mereka sangat berkaitan dengan kegiatan membedakan sampah ogranik dan non-organik. Namun yang menarik adalah ketika profesinya sebagai pemulung namun terdapat dua responden yang sangat rendah dalam aktivitas membedakan sampah organik dan non-organik. Kedua responden tersebut adalah Bapak FD dan YN. Beberapa alasan yang menyebabkan kedua responden tersebut sangat rendah aktivitas membedakan sampah organik dan non-organik, yaitu karena penelitian ini dilakukan pada saat Bulan Ramadhan maka Bapak FD beralih sementara menjadi pengemis. Sedangkan Bapak YN beralih sementara mejadi kuli angkut buahbuahan di Pasar Bata Putih.
69
Keterampilan teknis yang kedua adalah mengolah sampah menjadi barang yang berdaya jual lebih tinggi. Berbeda dengan aktivitas membedakan sampah organik dan non-organik yang didominasi pada frekuensi yang sangat tinggi. Pada aktivitas mengolah sampah menjadi barang yang berdaya jual lebih tinggi menunjukkan persentase yang didominasi pada frekuensi yang sangat rendah yaitu sebesar 80 per sen responden. Sedangkan responden yang memiliki frekuensi mengolah sampah menjadi barang berdaya jual lebih pada kategori sangat tinggi hanya sebesar tiga persen. Adapun frekunesi pada kategori rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan seperti tampak pada Tabel 13. Dominannya responden dengan frekuensi mengolah sampah menjadi barang berdaya jual lebih tinggi yang sangat rendah, dikarenakan seluruh waktu pemulung digunakan untuk mencari barang-barang bekas saja. Sedangkan aktivitas pengolahan sampah dilakukan di pabrik-pabrik. Namun yang menarik ada satu responden yang melakukan aktivitas pengolahan sampah menjadi barang berdaya jual lebih tinggi, yaitu Ibu MS. Ibu MS mengolah hasil pulungan berupa kardus bekas yang diolah menjadi tali tambang untuk dijual kembali kepada temannya pembuat parsel lebaran. Kegiatan pengolahan hasil pulung yang dilakukan Ibu MS hanya dilakukan pada Ramadhan ini saja. Keterampilan yang ketiga dalam penelitian ini adalah memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali. Hasil penelitian menunjukkan persentase responden berdasarkan frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali oleh responden menunjukan persentase sebesar 94 per sen responden memiliki frekuensi yang sangat rendah. Sedangkan frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali pada kategori rendah adalah sebesar tiga per sen dan kategori sangat tinggi adalah sebesar tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali yang sangat rendah, dikarenakan sebagian besar responden mengaku tidak mampu untuk memperbaiki hasil pulung. Sebagaian besar responden langsung menjual barang yang ditemukan seperti kipas rusak, panci rusak dan radio rusak. Namun yang menarik adalah ada satu responden yang memiliki frekuensi memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali, yaitu Ibu MS. Ibu MS mengaku setiap hari selama Bulan Ramadhan selalu
70
menemukan barang-barang yang rusak baik yang didapat dari pembuangan maupun pemberian orang. Ibu MS pernah mendapatkan panci bekas, sepatu, sandal dan lain-lain. Namun Ibu MS tidak langsung menjualkan kepada lapak tetapi coba diperbaiki setiap malam. Jika mampu diperbaiki maka akan digunakan sendiri. Selain Ibu MS, ada juga Bapak AN yang pernah menemukan earphone rusak. Bapak AN mampu memperbaiki earphone tersebut dan diberikan kepada anaknya. Responden dalam frekuensi membedakan sampah organik dan nonorganik menunjukkan tingkat yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi mengolah hasil pulung dan memperbaiki hasil pulung oleh responden menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Selain itu, penelitian ini juga memperlihatkan kemampuan teknis responden berdasarkan persepsinya terhadap kemampuan membedakan sampah organik dan non-organik, kemapuan mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi dan memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali. Persepsi responden terhadap kemampuannya dalam membedakan sampah organik dan non-organik dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 29 menunjukkan bahwa tiga per sen responden merasa sangat mampu, 57 per sen responden merasa mampu, 12 per sen responden merasa cukup, 14 per sen responden merasa kurang mampu dan14 per sen responden merasa tidak mampu membedakan sampah organik dan non-organik. Dominannya responden yang merasa mampu membedakan sampah organik dan non-organik karena responden telah mengerti istilah sampah organik dan non-organik. Reponden memahami sampah non-organik adalah sampah yang dicari dan laku dijual. Salah satu responden, yaitu Bapak BD yang mengetahui istilah sampah organik dan nonorganik karena selalu memperhatikan tempat sampah di puskesmas dan rumah sakit yang memberikan label pembeda antara tempat sampah organik dan tempat sampah non-organik.
71
Kurang Mampu 5 14%
Sangat Mampu 1 3%
Tidak Mampu 5 14%
Mampu 20 57% Cukup 4 12%
Gambar 29 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Membedakan Sampah Organik dan Non-organik
Mampu 1 3%
Kurang Mampu 1 3%
Tidak Mampu 33 94%
Gambar 30 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Mengolah Hasil pulung Menjadi Barang Berdaya Jual Lebih Tinggi Persepsi responden terhadap kemampuannya dalam mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 30 menunjukkan bahwa tiga per sen responden merasa mampu, tiga per sen responden merasa kurang mampu dan 94 per sen responden merasa tidak mampu mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi. Dominannya responden yang meresa tidak mampu mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual lebih tinggi karena sebgaian besar responden tidak
72
memiliki pengetahuan dan pengalaman mengolah hasil pulung. Selain itu sebagian besar pemulung telah disibukkan dengan aktivitas mencari barang yang laku dijual dan menurut sebagian besar pemulung pengolahan hasil pulung akan dilakukan oleh pabrik. Mampu 5 14%
Tidak Mampu 24 69%
Cukup 4 11% Kurang Mampu 2 6%
Gambar 31 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Kemampuan Memperbaiki Hasil Pulung Sehingga Dapat Dipakai Kembali Persepsi responden terhadap kemampuannya dalam memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali juga dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat mampu, mampu, cukup, kurang mampu dan tidak mampu. Berdasarkan Gambar 31 menunjukkan bahwa 14 per sen responden merasa mampu, 14 per sen responden merasa cukup, sebelas per sen responden merasa kurang mampu dan 69 per sen responden merasa tidak mampu memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali. Dominannya responden yang merasa tidak mampu memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali karena sebagian besar responden tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman memperbaiki hasil pulung. Selain itu sebagaian besar pemulung telah disibukkan dengan aktivitas mencari barang yang laku dijual dan memilih untuk menjualnya dari pada diperbaiki.
BAB VI FAKTOR EKSTERNAL KERENTANAN SOSIAL
6.1
Etnisitas Pemulung
6.1.1
Bahasa Pada umumnya pemulung di Kota Jakarta berasal dari luar Kota Jakarta.
Kata lainnya mereka bermigrasi dari desa ke Jakarta untuk mencari nafkah. Pemulung yang sebelumnya telah mengintegrasikan dirinya pada lingkungan di kampungnya kini menghadapi lingkungan yang baru yaitu Kota Jakarta. Kota Jakarta yang sangat heterogen masyarakatnya sangat berbeda dengan keadaan di pedesaan tempat tinggal pemulung terdahulu. Hal tersebut menjadikan pemulung menyesuaikan dengan kebudayaan di Kota Jakarta dan perlahan meninggalkan kebudayaan yang mereka miliki sebelumnya di kampung (Suparlan, 1984). Hasil penelitian ini menunjukkan etnisitas pemulung di Kota Jakarta. Etnisitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahasa, asal daerah dan perilaku. Adapun bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi responden berkomunikasi dengan bahasa daerah aasalnya. Sedangkan asal daerah adalah frekuensi responden berkumpul dengan teman sedaerah asal. Kemudian Perilaku yang dimaksud dalam penelitian ini adalah frekuensi pola perilaku yang menunjukkan kebersamaan responden dengan teman sedaerahnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 23 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sangat rendah, sembilan per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sedang dan 68 per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sangat tinggi seperti tampak pada Tabel 14. Dominannya responden dengan frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal yang sangat tinggi dikarenakan sebagian besar responden dapat berkomunikasi dengan bahasa daerahnya dengan orang lain meski tidak sekampung. Sebagai contoh Bapak SB dengan Bapak YN berkomunikasi dengan Bahasa Jawa meski sebenarnya Bapak SB dan Bapak YN tidak sekampung. Selain itu di daerah
74
penelitian dilakukkan yaitu wilayah Stasiun Kebayoran, dan Pasar Bata Putih nampak pedagang umumnya berasal dari etnis Jawa.
Tabel 14 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Komunikasi dengan Bahasa Daerah Asal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Bahasa Daerah Asal
Berkomunikasi dengan bahasa daerah asal Berkomunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung Berkomunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung meski ada orang lain yang berbeda asal daerah
Sangat Rendah Jumlah %
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sangat Tinggi Jumlah %
8
23
0
0
3
9
0
0
24
68
21
60
1
3
2
6
0
0
11
31
29
83
0
0
0
0
1
3
5
14
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung menunjukan persentase sebesar 60 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung pada kategori rendah adalah sebesar tiga per sen, kategori sedang adalah sebesar enam per sen dan kategori sangat tinggi sebesar 31 per sen. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah pada komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung, dikarenakan sebagian besar responden tidak hidup berkelompok dengan sesama teman sekampung. Terlebih responden kesulitan untuk mendapatkan teman yang sekampung di kawasan penelitian dilakukan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung meski ada orang lain yang berbeda daerah asal menunjukan persentase sebesar 83 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung meski ada
75
orang lain yang berbeda daerah asal pada kategori tinggi adalah sebesar tiga per sen dan kategori sangat tinggi adalah sebesar 14 per sen. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah pada komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung meski ada orang lain yang berbeda daerah asal, dikarenakan sebagian besar responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai latarbelakang daerah asal. Sehingga bahasa yang digunakan ketika berkumpul adalah Bahasa Indonesia. Bapak SB mengungkapkan bahwa tidak semua pemulung yang berkelompok dengannya mampu berbahasa Jawa, maka agar tidak terjadi kesalahpahaman dan dimengerti semuanya, Bahasa Indonesia digunakan untuk berkomunikasi saat berkumpul. Responden dalam frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah yang sangat tinggi. Sedangkan dalam frekuensi berkomunikasi dengan bahasa daerah dengan teman sekampung dan berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung meski ada orang lain yang berbeda daerah asal oleh responden menunjukkan tingkat yang sangat rendah. Namun penelitian ini juga memperlihatkan persepsi responden terhadap frekuensi penggunaan bahasa daerah asal. Persepsi responden terhadap frekuensi penggunaan bahasa daerah asal tersebut dikategorikan menjadi lima, yaitu sangat sering, sering, cukup, jarang dan tidak pernah. Responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi komunikasi dengan bahasa daerah asal pada kategori sangat sering sebesar 26 per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar 43 per sen, kategori cukup sebesar lima per sen, kategori jarang sebesar 20 per sen dan kategori tidak pernah sebesar enam per sen seperti tampak pada Gambar 32. Dominannya responden yang merasa sering berkomunikasi dengan bahasa daerah asal karena pada umumnya responden beretnis Jawa relatif lebih sering berkomunikasi dengan Bahasa Jawa dibandingan etnis yang lain. Data penelitian ini juga didukung dari jumlah responden beretnis Jawa yang lebih besar dari responden etnis yang lain.
76
Tidak Pernah 2 6% Cukup 2 5%
Jarang 7 20%
Sangat Sering 9 26% Sering 15 43%
Gambar 32 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Komunikasi dengan Berbahasa Daerah Asal
Sangat Sering 6 17% Tidak Pernah 14 40% Jarang 5 14%
Sering 8 23%
Cukup 2 6%
Gambar 33 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Komunikasi dengan Berbahasa Daerah Asal dengan Teman Sekampung Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung pada kategori sangat sering sebesar 17 per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar 23 per sen, kategori cukup sebesar enam per sen, kategori jarang sebesar 14 per sen dan kategori tidak pernah sebesar 40 per sen seperti tampak pada Gambar 33. Dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis.
77
Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman.
Sangat Sering 2 6%
Tidak Pernah 16 46%
Sering 4 11% Cukup 2 6% Jarang 11 31%
Gambar 34 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Berbahasa Daerah dengan Orang Sekampung Ketika Ada Orang Lain Berbeda Daerah Asal Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung ketika ada orang lain berbeda daerah asal pada kategori sangat sering sebesar enam per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar sebelas per sen, kategori cukup sebesar enam per sen, kategori jarang sebesar 31 per sen dan kategori tidak pernah sebesar 46 per sen seperti tampak pada Gambar 34. Dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung ketika ada orang lain berbeda daerah asal karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman. Selain itu sebagaian besar responden memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia ketika ada orang lain yang tidak mengerti bahasa daerah asal dengannya.
78
6.1.2
Asal Daerah Subbab ini akan memperlihatkan bagaimana frekuensi responden
berkumpul dengan teman yang sedaerah dengannya. Frekuensi berkumpul dengan teman sedaerah asal atau sekampung diukur dari frekuensi responden berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’, frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur dan frekuensi responden memilih berkumpul dengan teman sekampung dari pada berkumpul dengan yang tidak sedaerah asal. Tabel 15 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Berkumpul dengan Orang Sedaerah Asal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Asal Daerah
Berkumpul dengan teman sekampung untuk 'ngobrol' Berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur Memilih berkumpul dengan teman sekampung dari pada berkumpul dengan yang tidak sedaerah asal
Sangat Rendah Jumlah %
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sangat Tinggi Jumlah %
27
77
0
0
0
0
0
0
8
23
30
86
0
0
2
6
0
0
3
8
34
97
0
0
0
0
0
0
1
3
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’ menunjukan persentase sebesar 77 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’ pada kategori sangat tinggi adalah sebesar 23 per sen. Adapun frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’pada kategori rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan seperti yang tampak pada Tabel 15. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah pada berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’, dikarenakan sebagian besar responden tidak hidup berkelompok dengan sesama teman sekampung. Terlebih responden tidak terlalu memiliki waktu untuk sekedar ‘ngobrol’, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari sampah yang laku dijual.
79
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur menunjukan persentase sebesar 86 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur pada kategori sedang adalah sebesar enam per sen dan kategori sangat tinggi adalah sebesar delapan per sen seperti tampak pada Tebel 15. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah pada aktivitas berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur, dikarenakan sebagian besar responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai latarbelakang daerah asal. Terlebih responden tidak terlalu memiliki waktu untuk sekedar menghibur diri, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari sampah yang laku dijual. Berdasarkan Tabel 15 juga dapat dilihat bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi keputusan responden memilih berkumpul dengan teman sekampung daripada berkumpul dengan yang tidak sedaerah asal menunjukan persentase sebesar 97 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi keputusan responden memilih berkumpul dengan teman sekampung daripada berkumpul dengan yang tidak sedaerah asal pada kategori sangat tinggi adalah sebesar tiga per sen. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah pada keputusan responden memilih berkumpul dengan teman sekampung dari pada berkumpul dengan yang tidak sedaerah asal, dikarenakan sebagian besar responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai latarbelakang daerah asal. Sehingga sebagian besar responden merasa tidak perlu untuk membedabedakan teman berdasarkan asal daerah. Bapak BD mengungkapkan bahwa di Jakarta ia adalah pendatang begitu juga dengan teman-teman sesama pemulung yang lain maka tidak seharusnya memilih-milih teman berdasarkan asal daerah. Namun yang menarik yaitu terdapat seorang responden yang memiliki frekuensi yang sangat tinggi pada frekuensi memilih berkumpul dengan teman-teman sedaerah daripada dengan yang berbeda daerah asal. Responden tersebut adalah Ibu MS yang mengaku bahwa ia lebih percaya dengan teman sedaerah asal dibanding berkumpul dengan teman yang berbeda daerah asal.
80
Sangat Sering 2 6% Tidak Pernah 18 51%
Jarang 5 14%
Sering 7 20%
Cukup 3 9%
Gambar 35 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Berkumpul dengan Teman Sekampung untuk ‘ngobrol’ Penelitian ini juga memperlihatkan persepsi responden terhadap frekuensi berkumpul dengan teman sedaerah asal. Persepsi responden terhadap frekuensi berkumpul dengan teman sedaerah asal tersebut dikategorikan menjadi lima, yaitu sangat sering, sering, cukup, jarang dan tidak pernah. Responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’ pada kategori sangat sering sebesar enam per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar 20 per sen, kategori cukup sebesar sembilan per sen, kategori jarang sebesar 14 per sen dan kategori tidak pernah sebesar 51 persen seperti tampak pada Gambar 35. Dominannya responden yang merasa tidak pernah berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol, dikarenakan sebagian besar responden sangat sulit untuk menemukan teman sekampung di Jakarta. Terlebih hanya sekedar untuk kegiatan ‘ngobrol’ seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa kehidupan pemulung sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari sampah yang laku dijual. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur pada kategori sangat sering sebesar lima per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar enam per sen, kategori cukup sebesar enam per sen dan kategori tidak pernah sebesar 83 per sen seperti tampak pada Gambar 36. Dominannya responden yang merasa tidak pernah berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur karena pada umumnya sebagian besar
81
waktu responden dihabiskan untuk bekerja. Terlebih responden kesulitan untuk menemukan teman sekampung di Jakarta.
Sangat Sering 2 5%
Sering 2 6% Cukup 2 6% Tidak Pernah 29 83%
Gambar 36 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Berkumpul dengan Teman Sekampung untuk Kegiatan Hiburan
Sering 3 9%
Tidak Pernah 27 77%
Cukup 1 3%
Jarang 4 11%
Gambar 37 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Memutuskan Untuk Berkumpul dengan Teman Sekampung daripada Berkumpul dengan yang Berbeda Daerah Asal Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi memutuskan untuk berkumpul dengan teman sekampung daripada berkumpul dengan yang berbeda daerah asal pada kategori sering sebesar sembilan per sen. Selain itu pada kategori cukup sebesar tiga per sen, kategori jarang sebesar sebelas per sen dan kategori tidak pernah sebesar 77
82
per sen seperti tampak pada Gambar 37. Dominannya responden yang merasa tidak pernah memutuskan untuk berkumpul dengan teman sekampung daripada berkumpul dengan yang berbeda daerah asal karena pada umumnya sebagian besar waktu
responden hidup berkelompok dengan berbagai latar belakang
daerah asal. Sehingga sebagian besar responden merasa tidak perlu untuk membeda-bedakan teman berdasarkan asal daerah.
6.1.3
Perilaku Subbab ini akan memperlihatkan bagaimana frekuensi responden
melakukan pola perilaku yang menunjukkan kebersamaan dengan orang yang sedaerah dengan responden. Frekuensi perilaku responden yang menunjukan kebersamaan atau solidaritas dengan orang lain yang sedaerah dengannya diukur dari frekuensi responden membela teman sekampung yang bermasalah dengan orang lain yang tidak sedaerah dan frekuensi responden mendapatkan pertolongan dari teman sekampung ketika menghadapi masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal menunjukan persentase sebesar 97 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal pada kategori sangat tingggi adalah sebesar tiga per sen. Adapun frekuensi membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal pada kategori rendah, sedang dan tinggi tidak ditemukan seperti yang tampak pada Tabel 16. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah pada perilaku membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda
daerah asal, dikarenakan sebagian besar responden tidak mau mencampuri urusan orang lain meskipun orang tersebut adalah teman sekampung. Salah satu responden bernama Bapak BD mengungkapkan tidak berani mengurusi atau mencampuri urusan orang lain karena takut dirinya akan terlibat masalah temannya.
83
Tabel 16 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Kedekatan Etnis, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Sangat Rendah Jumlah %
Perilaku
Membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal Mendapatkan pertolongan dari teman sekampung ketika menghadapi masalah
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Sangat Tinggi Jumlah %
34
97
0
0
0
0
0
0
1
3
30
86
1
3
4
11
0
0
0
0
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase responden berdasarkan frekuensi mendapatkan pertolongan dari teman sekampung ketika menghadapi masalah menunjukan persentase sebesar 86 per sen responden pada kategori sangat rendah. Sedangkan frekuensi mendapatkan pertolongan dari teman sekampung ketika menghadapi masalah pada kategori rendah adalah sebesar tiga per sen, dan kategori sedang adalah sebesar sebelas per sen seperti tampak pada Tebel 16. Dominannya responden dengan frekuensi yang sangat rendah mendapatkan pertolongan dari teman sekampung ketika menghadapi masalah, dikarenakan sebagian besar responden tidak memiliki teman sekampung di Jakarta. Sebenarnya sebagian besar responden mengaku sering memberikan pertolongan atau mendapatkan pertolongan dari teman sesama pemulung meski tidak sedaerah asal dengannya. Sebagai gambaran bahwa Bapak BD mengaku sering berbagi makanan dengan teman-temannya sesama pemulung di kolong jembatan Simprug. Selain itu Bapak BD juga sering mendapatkan pemberian makanan dari teman sesama pemulung ketika ia kelaparan. Gambaran ini lebih tepat dikaitkan dengan kolektivitas yang akan dibahas pada subbab selanjutnya. Penelitian ini juga memperlihatkan persepsi responden terhadap frekuensi membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda
daerah asal. Persepsi responden terhadap frekuensi membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal tersebut dikategorikan menjadi lima, yaitu sangat sering, sering, cukup, jarang dan tidak pernah. Responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi membela teman
84
sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal pada kategori sangat sering sebesar tiga per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar tiga per sen, kategori cukup sebesar tiga per sen, kategori jarang sebesar 17 per sen dan kategori tidak pernah sebesar 74 persen seperti tampak pada Gambar 38. Dominannya responden yang merasa tidak pernah membela teman sekampung yang sedang bermasalah dengan orang yang berbeda daerah asal, dikarenakan sebagian besar responden tidak ingin mencampuri urusan orang lain meski kepada teman sekampungnya sendiri.
Sangat Sering 1 3%
Sering 1 3%
Cukup 1 3% Jarang 6 17%
Tidak Pernah 26 74%
Gambar 38 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Membela Teman Sekampung Ketika Bermasalah dengan Orang yang Berbeda Daerah Asal
Sangat Sering 1 3%
Tidak Pernah 20 57%
Sering 4 11%
Cukup 1 3%
Jarang 9 26%
Gambar 39 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Mendapatkan Pertolongan dari Teman Sekampung Ketika Mendapatkan Masalah
85
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi mendapatkan pertolongan dari teman sekampung ketika mendapatkan masalah pada kategori sangat sering sebesar tiga per sen. Selain itu pada kategori sering sebesar sebelas per sen, kategori cukup sebesar tiga per sen, kategori jarang sebesar 26 per sen dan kategori tidak pernah sebesar 57 per sen seperti tampak pada Gambar 39. Dominannya responden yang merasa tidak
pernah
mendapatkan
pertolongan
dari
teman
sekampung
ketika
mendapatkan masalah karena sebagian besar responden sulit menemui teman sekampung di Jakarta. Namun sebagian besar responden mengaku saerin mendapatkan pertolongan dari teman-temannya sesama pemulung meski dengan latarbelakang daerah asal yang berbeda.
6.2
Kolektivitas Pemulung
6.2.1
Sikap terhadap Kegiatan Kepentingan Bersama Pemulung di Kota Jakarta yang biasanya merupakan pendatang dari
berbagai daerah pedesaan tidak memiliki seseorang yang dikenal terlebih dengan kerabatnya. Sebagai manusia yang memiliki jiwa sosial yang merasa tidak bisa hidup tanpa adanya interaksi dengan orang lain, maka pemulung membetuk suatu kelompok atas dasar persamaan profesi sebagai pemulung. Seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1984), bahwa seseorang yang berasal dari desa dan bermigrasi ke kota cenderung tetap mempertahankan budaya yang terinternalisasi dalam dirinya. Kehidupan di desa yang sangat tinggi solidaritasnya
kepada
sesama warganya dan tingkat kolektivitas yang tinggi akan sulit untuk dihilangkan oleh orang desa meski telah hidup di lingkungan kota yang sangat heterogen dan kompleks masyarakatnya. Penelitian ini akan menunjukkan tingkat koletivitas pemulung di Kota Jakarta yang diukur dari sikapnya kepentingan bersama dan perilakunya terhadap kepentingan bersama. Adapun sikap responden terhadap kepentingan bersama kaitkan dengan kegiatan dan tindakan untuk kepentingan bersama seperti kegiatan kerja bakti, siskamling, menolong teman, memberikan makanan kepada teman, bersodakoh, dan membantu biaya berobat teman.
86
Tabel 17 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Sikap Kolektivitas Terhadap Kepentingan Bersama, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Sikap Terhadap Kepentingan Bersama
Sangat Setuju Jumlah %
Setuju
Biasa Saja
Jumlah
%
Jumlah
%
Kurang Setuju Jumlah %
Tidak Setuju Jumlah
%
Kegiatan kerja bakti
2
6
30
86
3
8
0
0
0
0
Kegiatan siskamling
0
0
32
91
2
6
0
0
1
3
Menolong teman yang bermasalah
0
0
30
86
4
11
1
3
0
0
1
3
32
91
1
3
1
3
0
0
1
3
33
94
1
3
0
0
0
0
1
3
32
91
1
3
1
3
0
0
Memberikan makanan kepada teman yang kesulitan makan Menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh Membantu membiayai pengobatan teman yang sakit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase sikap responden terhadap kegiatan kerja bakti pada kategori sangat setuju sebesar enam per sen, kategori setuju sebesar 86 per sen dan kategori biasa saja sebesar delapan per sen seperti tampak pada Tabel 17. Dominannya responden yang memiliki sikap setuju terhadap kegiatan kerja bakti dikarenakan responden cenderung memiliki pemahaman bahwa kerja bakti merupakan kegiatan positif yang bermanfaat untuk kepentingan bersama. Pendapat responden yang demikian juga berlaku terhadap kegiatan siskamling. Dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase sikap responden terhadap kegiatan siskamling pada kategori setuju sebesar 91 per sen. Sedangkan pada kategori biasa saja hanya sebesar enam persen dan kategori tidak setuju sebesar tiga persen seperti tampak pada Tabel 17. Namun yang menarik adalah terdapat tiga per sen responden yang memiliki sikap tidak setuju pada kegiatan siskamling. Responden tersebut adalah Bapak AN, menurutnya siskamling sudah cukup dijalankan oleh hansip atau satpam. Terlebih kegiatan
87
pemulung sudah sangat banyak menghabiskan tenaga dan waktu sehingga sangat berat untuk melaksanakan siskamling. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase sikap responden terhadap kegiatan menolong teman yang bermasalah pada kategori setuju sebesar 86 per sen, kategori biasa saja sebesar sebelas per sen dan kategori kurang setuju sebesar tiga per sen seperti tampak pada Tabel 17. Dominannya responden yang memiliki sikap setuju terhadap kegiatan menolong teman yang bermasalah dikarenakan responden cenderung memiliki pemahaman bahwa menolong teman yang bermasalah merupakan kegiatan positif yang bermanfaat dan terpuji. Selain itu, berdasarkan Tabel 17, menunjukkan bahwa persentase sikap responden terhadap kegiatan memberikan makanan kepada teman yang kesulitan makan pada kategori sangat setuju sebesar tiga per sen, kategori setuju sebesar 91 per sen, kategori biasa saja sebesar tiga per sen dan kategori kurang setuju sebesar tiga per sen. Begitu juga dengan kegiatan menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh dan membantu membiayai pengobatan teman yang sakit, responden juga meunjukkan dominannya bersikap setuju yaitu 94 per sen dan 91 per sen. Dominannya responden memiliki sikap setuju terhadap kegiatan memberi makanan kepada teman yang kesulitan makan, menyumbang sebagian pendapatan untuk sodakoh dan membantu membiayai pengobatan teman yang sakit dikarenakan responden cenderung memiliki pemahaman bahwa menolong teman yang bermasalah merupakan kegiatan positif yang bermanfaat dan terpuji.
6.2.2
Perilaku terhadap Kegiatan Kepentingan Bersama Subbab sebelumnya menunjukkan persentase sikap responden terhadap
kegiatan kepentingan bersama. Hasil penelitian menunjukkan dominannya sikap setuju responden terhadap kegiatan kepentingan bersama. Namun subbab ini menunjukkan persentase frekuensi responden melakukan kegiatan kepentingan bersama. Sehingga dapat diamati bagaimana kecenderungan frekuensi responden pada kegiatan kepentingan bersama. Hasil penelitan menunjukkan bahwa persentase frekuensi kegiatan kerja bakti pada kategori sangat rendah sebesar 97 per sen. Sedangkan pada kategori sangat tinggi sebesar tiga per sen. Dominannya responden yang memiliki frekuensi sangat rendah pada kegiatan kerja bakti
88
dikarenakan penelitian ini dilakukan pada Bulan Ramadhan sehingga kegiatan kerja bakti yang biasa dilakukan pemulung atas perintah dinas kebersihan setempat hanya dilakukan sebanyak satu kali. Sedangkan pada bulan-bulan sebelumnya sebagian besar responden terlibat kerja bakti sebanyak empat kali. Namun yang menarik adalah terdapat satu responden yang memiliki frekuensi sangat tinggi pada kegiatan kerja bakti. Responden tersebut adalah Bapak HR yang selalu bekerja bakti bersama petugas kebersihan Stasiun Kebayoran setiap malam hari di kawasan Stasiun Kebayoran.
Tabel 18 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Kolektivitas Terhadap Kepentingan Bersama, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Kategori Perilaku Terhadap Kegiatan Kepentingan Bersama
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Kegiatan kerja bakti
34
97
0
0
0
0
0
0
1
3
Kegiatan siskamling
35
100
0
0
0
0
0
0
0
0
Menolong teman yang bermasalah
35
100
0
0
0
0
0
0
0
0
Memberikan makanan kepada teman yang kesulitan makan
19
54
5
14
6
17
1
3
4
12
Menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh
32
91
0
0
1
3
0
0
2
6
Membantu membiayai pengobatan teman yang sakit
34
97
1
3
0
0
0
0
0
0
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase frekuensi responden melakukan kegiatan siskamling dan menolong teman yang bermasalah pada kategori sangat rendah sebesar 100 per sen seperti tampak pada Tabel 18. Hal tersebut dikarenakan responden selalu hidup menggelandang dan hanya satu responden yang memiliki kontrakan. Terlebih tidak adanya kegiatan siskamling yang melibatkan mereka. Persentase responden yang memiliki frekuensi memberikan makan kepada teman yang kesulitan makan pada kategori sangat rendah sebesar 54 per sen, pada kategori rendah sebesar 14 per sen, pada kategori sedang sebesar 17 per sen, pada kategori tinggi sebesar tiga per sen dan pada kategori sangat tinggi sebesar 12 per sen seperti tampak pada Tabel 18. Dominannya responden sangat rendah
89
memberikan makanan kepada teman yang kesulitan makan karena tidak setiap hari responden memiliki kelebihan makan, sehingga untuk makan sendiri kurang. Namun saat penelitian berlangsung di kolong jembatan Simprug sekelompok pemulung sedang makan bersama-sama beberapa bungkus roti yang dibawakan oleh Bapak BD. Persentase responden yang memiliki frekuensi menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh pada kategori sangat rendah sebesar 91 per sen, pada kategori sedang sebesar tiga per sen dan pada kategori sangat tinggi sebesar enam per sen seperti tampak pada Tabel 18. Dominannya responden sangat rendah menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh karena tidak setiap hari responden memiliki kelebihan pendapatan, sehingga untuk makan sendiri kurang. Namun ada enam per sen responden yang menunjukkan sangat tingginya frekuensi menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh. Seperti Bapak SB dan Bapak HD yang setiap hari menyisih pendapatan untuk disedekahkan ke masjid atau pengemis. Kedua responden mengaku berusaha beramal karena bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Selain itu, persentase responden yang memiliki frekuensi membantu biaya pengobatan teman yang sakit pada kategori sangat rendah sebesar 97 per sen. Selain itu, pada kategori rendah sebesar tiga per sen. Adapun pada kategori sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan seperti tampak pada Tabel 18. Dominannya responden sangat rendah pada frekuensi membantu biaya pengobatan teman yang sakit dikarenakan sebagian besar responden jarang menemukan teman yang sakit selama sebulan terakhir. Penelitian ini juga memperlihatkan persepsi responden terhadap frekuensi ikut serta dalam kegiatan kerja bakti. Persepsi responden terhadap frekuensi ikut kegiatan kerja bakti dikategorikan menjadi lima, yaitu sangat sering, sering, cukup, jarang dan tidak pernah. Responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi mengikuti kegiatan kerja bakti pada kategori sering sebesar 12 per sen. Selain itu pada kategori cukup sebesar sebelas per sen, kategori jarang sebesar 31 per sen dan kategori tidak pernah sebesar 46 per sen seperti tampak pada Gambar 40. Dominannya responden yang merasa tidak pernah mengikuti kerja bakti karena sebagian besar responden hidup menggelandang sehingga sangat kecil kemungkinan mengikuti kegiatan kerja bakti. Namun terdapat 12 per
90
sen responden yang merasa sering mengikuti kerja bakti karena setiap bulan selalu terlibat kerja bakti yang diadakan dinas kebersihan setempat.
Sering 4 12% Tidak Pernah 16 46%
Cukup 4 11%
Jarang 11 31%
Gambar 40 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Terlibat dalam Kegiatan Kerja Bakti Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi terlibat dalam kegiatan siskamling pada kategori tidak pernah sebesar 100 per sen. Seluruh responden yang merasa tidak pernah terlibat dalam kegiatan siskamling karena pada umumnya sebagian besar waktu responden dihabiskan untuk bekerja. Terlebih dalam kehidupan pemulung yang selalu di jalan kesempatan untuk mengikuti kegiatan siskamling tidak pernah ditemui. Sering 4 12% Tidak Pernah 16 46%
Jarang 11 31%
Cukup 4 11%
Gambar 41 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Menolong Teman yang Sedang dalam Masalah
91
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi menolong teman yang sedang dalam masalah pada kategori sering sebesar 12 per sen, pada kategori cukup sebesar sebelas per sen, pada kategori jarang sebesar 31 per sen dan pada kategori tidak pernah sebesar 46 per sen seperti tampak pada Gambar 41. Dominannya responden yang merasa tidak pernah menolong teman yang sedang dalam masalah karena pada umumnya sebagian besar responden tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi memberikan sebagian makanan kepada teman yang kesulitan makan pada kategori sangat sering sebesar tiga per sen, pada kategori sering sebesar 46 per sen, pada kategori cukup sebesar enam per sen, pada kategori jarang sebesar 34 per sen dan pada kategori tidak pernah sebesar sebelas per sen seperti tampak pada Gambar 42. Dominannya responden yang merasa sering memberikan sebagaian makanan kepada teman yang kesulitan makan karena pada umumnya responden hidup berkelompok dan memiliki rasa solidaritas dan kepedulian yang tinggi kepada temannya. Sangat Sering 1 3%
Tidak Pernah 4 11% Jarang 12 34%
Sering 16 46%
Cukup 2 6%
Gambar 42 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Memberikan Sebagian Makanan pada teman yang Kesulitan Makan
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi menyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh pada kategori sering sebesar 20 per sen, pada kategori cukup sebesar delapan per sen, pada kategori jarang sebesar 46 per sen dan pada kategori tidak pernah sebesar 26 per sen seperti tampak pada Gambar 43. Dominannya responden yang
92
merasa jarang memnyumbangkan sebagian pendapatan untuk sodakoh karena pada umumnya responden jarang sekali mendapatkan pendapatan yang lebih. Bapak BD mengungkapkan pernah bersedekah kepada pengemis meski jarang. Namun Bapak BD memberikan sedekah kepada pengemis yang benar-benar tidak mampu untuk bekerja lagi seperti dalam keadaan cacat.
Sering 7 20%
Tidak Pernah 9 26% Jarang 16 46%
Cukup 3 8%
Gambar 43 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Tindakan Menyumbangkan Sebagian Pendapatan Untuk Sodakoh Sering 4 11% Tidak Pernah 18 51%
Jarang 10 29%
Cukup 3 9%
Gambar 44 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden Terhadap Frekuensi Mengeluarkan Uang untuk Membantu Pengobatan Teman yang Sakit Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang memiliki persepsi terhadap frekuensi mengeluarkan uang untuk membantu biaya pengobatan teman yang sakit pada kategori sering sebesar sebelas per sen, pada kategori cukup sebesar sembilan per sen, pada kategori jarang sebesar 29 per sen dan pada kategori tidak pernak sebesar 51 per sen seperti tampak pada Gambar 44. Dominannya responden yang merasa tidak memngeluarkan uang untuk biaya pengobatan teman yang sakit karena pada umumnya responden tidak pernah
93
menemui teman yang sakit dan membutuhkan pertolongan biaya pengobatan. Namun yang menarik adalah terdapat sebelas per sen yang sering membantu pengobatan teman yang sakit. Sebagai contoh Bapak BD sering membelikan obat warung untuk teman sesama pemulung yang sakit. Bapak BD mengaku meski hidup di jalan tetapi memiliki kelompok yang harus diperhatikan agar bisa bertahan hidup.
BAB VII KERENTANAN SOSIAL PEMULUNG
7.1
Faktor Internal Faktor internal kerentanan sosial seperti yang dibahas pada Bab V terdiri
dari variabel kekerabatan dan keterampilan. Faktor internal yang terdiri dari kekerabatan dan keterampilan dijadikan faktor kerentanan sosial yang diadopsi dari teori trust Fukuyama (2007). Berdasarkan teori trust tersebut kekerabatan dan keterampilan dapat mempengaruhi kepercayaan seseorang kepada diri individu sehingga dapat menjadi daya dukung untuk bertahan dalam kehidupan individu ketika menghadapi suatu tekanan hidup.
Sedang 2 6%
Tinggi 8 23%
Rendah 1 3%
Sangat Tinggi 24 68%
Gambar 45 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Akumulasi Faktor Internal Kerentanan Sosial. Penelitian ini menunjukkan bagaimana tingkat kekerabatan dan tingkat keterampilan pemulung yang diakumulasikan ke dalam faktor internal kerentanan sosial. Hasil pengakumulasian kekerabatan dan keterampilan responden dikategorikan menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Pada Gambar 45 menunjukkan bahwa persentase responden yang memiliki akumulasi faktor internal kerentanan sosial pada kategori rendah sebesar tiga per sen. Sedangkan persentase responden yang memiliki akumulasi faktor internal
95
kerentanan sosial pada kategori sedang sebesar enam per sen, pada kategori tinggi sebesar 23 per sen dan pada kategori sangat tinggi sebesar 68 per sen. Dominannya responden yang memiliki akumulasi faktor internal kerantanan sosial pada kategori sangat tinggi dikarenakan 68 per sen responden tersebut memiliki kekerabatan yang sangat rendah dan keterampilan yang juga sangat rendah. Kekerabatan responden yang sangat rendah lebih dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi yang sangat rendah oleh responden kepada kerabatnya. Hal tersebut diperparah dengan kondisi kehidupan responden yang merantau ke Jakarta tanpa adanya dukungan kerabat di Jakarta. Selain itu keterampilan yang sangat rendah dimiliki responden karena kemampuan komunikasi responden dan kemampuan teknis yang sangat rendah. Sangat rendahnya kemampuan komunikasi dikarenakan kemampuan penguasaan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain. Sehingga mengakibatkan daya dukung orang lain kepada responden sangat rendah. Begitu juga dengan sangat rendahnya keterampilan responden lebih dikarenakan responden tidak memiliki keterampilan lain selain memulung yang dapat dijadikan sumber mata pencaharian yang lebih menguntungkan. 7.2
Faktor Eksternal Faktor eksternal kerentanan sosial seperti yang dibahas pada Bab VI terdiri
dari variabel etnisitas dan kolektivitas. Sama halnya dengan faktor internal, faktor eksternal yang terdiri dari etnisitas dan kolektivitas juga dijadikan faktor kerentanan sosial yang diadopsi dari teori trust Fukuyama (2007). Berdasarkan teori trust tersebut etnisitas dan kolektivitas dapat mempengaruhi kepercayaan seseorang kepada diri individu sehingga dapat menjadi daya dukung untuk bertahan dalam kehidupan individu ketika menghadapi suatu tekanan hidup. Penelitian ini menunjukkan bagaimana tingkat etnisitas dan tingkat kolektivitas pemulung yang diakumulasikan ke dalam faktor eksternal kerentanan sosial. Hasil pengakumulasian etnisitas dan kolektivitas responden dikategorikan menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Pada Gambar 46 menunjukkan bahwa persentase responden yang memiliki akumulasi faktor eksternal kerentanan sosial pada kategori sedang sebesar 17 per sen. Sedangkan
96
persentase responden yang memiliki akumulasi faktor eksternal kerentanan sosial pada kategori tinggi sebesar 34 per sen dan pada kategori sangat tinggi sebesar 49 per
Sedang 6 17%
Tinggi 12 34%
Sangat Tinggi 17 49%
Gambar 46 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Akumilasi Faktor Eksternal Kerentanan Sosial Dominannya responden yang memiliki akumulasi faktor eksternal kerantanan sosial pada kategori sangat tinggi dikarenakan 49 per sen responden tersebut memiliki etnisitas yang rendah dan kolektivitas yang juga rendah. Etnisitas responden yang rendah lebih dikarenakan sulitnya responden menemui teman yang sekampung sehingga aktivitas penggunaan bahasa daerah asal menjadi jarang digunakan dan aktivitas berkumpul dengan sesama teman sekampung menjadi sulit dilakukan. Selain itu kolektivitas yang rendah dimiliki responden karena kesempatan responden untuk melakukan kegiatan kepentingan bersama sangat jarang terjadi bahkan tidak mungkin dilakukan oleh 97 per sen responden yang hidup menggelandang. Selain itu pendapatan responden yang tergolong rendah sehingga sulit untuk memberikan sebagian pendapatan untuk menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun yang menarik adalah terdapat enam per sen responden memiliki akumulasi faktor eksternal kerantanan sosial pada kategori tinggi. Hal tersebut dikarenakan responden tersebut memiliki rasa solidaritas yang tinggi kepada sesama pemulung dan juga didukung dengan pemahaman responden terhadap Bulan Ramadhan untuk saling memberi dan mengasihi.
97
7.3
Kerentanan Sosial Kerentanan sosial dalam penelitian ini adalah akumulasi dari faktor
internal dan faktor eksternal. Menurut Bakornas PB (2002) bahwa kerentanan sosial adalah ketidakmampuan individu dalam menghadapi suatu tekanan. Selain itu Fukuyama (2007) mengungkapkan bahwa sesorang akan mampu bertahan dan mendapatkan daya dukung dari orang lain jika memiliki kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas yang tinggi. Sehingga dalam penelitian ini kerentanan sosial diukur dari akumulasi kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas responden. Adapun jika kekerabatan dan keterampilan digolongkan ke dalam faktor internal serta etnisitas dan kolektivitas digolongkan ke dalam faktor eksternal maka kerentanan sosial dapat diukur dengan mengakumulasikan faktor internal dan faktor eksternal.
Sedang 1 3% Tinggi 11 31%
Rendah 1 3%
Sangat Tinggi 22 63%
Gambar 47 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Indeks Kerentanan Sosial Hasil penelitian ini menunjukkan indeks kerentanan sosial setiap responden yang dikategorikan sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah seperti tampak pada Tabel 19. Persentase responden yang memiliki indeks kerentanan sosial pada kategori sangat tinggi sebesar 63 persen, pada ketegori tinggi sebesar 31 per sen, pada ketegori sedang sebesar tiga per sen dan pada
98
ketegori rendah sebesar tiga per sen seperti tampak pada Gambar 47. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Hizbaron (2008) bahwa kerentanan sosial sering kali muncul di perkotaan yang terdiri dari masyarakat yang heterogen.
Tabel 19 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kategori Faktor Internal, Faktor Eksternal dan Indeks Kerentanan Sosial, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Faktor Internal
Faktor Eksternal
Indeks Kerentanan Sosial
Jumlah
%
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
15
43
Sangat Tinggi
Tinggi
Sangat Tinggi
6
17
Tinggi
Tinggi
Tinggi
5
15
Sangat Tinggi
Sedang
Tinggi
2
5
Tinggi
Sedang
Tinggi
2
5
Sedang
Sangat Tinggi
Tinggi
1
3
Sedang
Sedang
Sedang
1
3
Tinggi
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
1
3
Rendah
Sedang
Rendah
1
3
Sangat Tinggi
Tinggi
Tinggi
1
3
35
100
Total
BAB VIII TARAF HIDUP KELOMPOK MISKIN KOTA
8.1
Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi pada penelitian ini diukur dari pendapatan, jumlah
tanggungan dan pemenuhan kebutuhan pokok responden. Kondisi ekonomi responden dikategorikan menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Rendah 7 20% Sedang 28 80%
Gambar 48 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Ekonomi
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 20 per sen responden memiliki kondisi ekonomi pada kategori rendah. Sedangkan persentase responden dengan kondisi ekonomi pada kategori sedang sebesar 80 per sen seperti tampak pada Gambar 48.
Tabel 20 Kategori, Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pendapatan Per Hari, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Pendapatan Per Hari Kategori Jumlah % > Rp 60000 0 0 Sangat Tinggi Rp 43.000 < P ≤ Rp 60.000 1 3 Tinggi Rp 43.000 0 0 Sedang Rp 20.000 ≤ P < Rp 43.000 19 54 Rendah < Rp 20.000 15 43 Sangat Rendah Total 35 100
100
Dominannya responden yang memiliki kondisi ekonomi pada kategori sedang dikarenakan sebesar 43 per sen responden memiliki pendapatan yang sangat rendah, 54 per sen responden memiliki pendapatan yang rendah dan tiga per sen responden memiliki pendapatan yang tinggi seperti tampak pada Tabel 20.
Tabel 21 Kategori, Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jumlah Tanggungan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Jumlah Tanggungan Kategori Jumlah % Tidak Ada Tidak Ada 0 0 1-2 Orang Sedikit 22 63 3 Orang Cukup 7 20 4-5 Orang Banyak 5 14 > 5 Orang Sangat Banyak 1 3 Total 35 100
Selain itu dominannya responden yang memiliki kondisi ekonomi pada kategori sedang dikarenakan jumlah tanggungan responden pada kategori sangat banyak sebesar tiga per sen, pada kategori banyak sebesar 14 per sen, pada kategori cukup sebesar 20 per sen dan pada kategori sedikit sebesar 63 per sen seperti tampak pada Tabel 21. Tabel 22 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Pokok, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Pemenuhan Kebutuhan Pokok Jumlah % Cukup 6 11 Kurang Mampu 25 72 Tidak Mampu 4 17 Total 35 100
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa persentase pemenuhan kebutuhan pokok responden pada kategori tidak mampu sebesar sebelas per sen, pada kategori kurang mampu sebesar 72 per sen dan pada kategori cukup sebesar 17 per sen seperti tampak pada Tabel 22.
101
8.2
Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Aksesibilitas kebutuhan dasar dalam penelitian ini adalah kemampuan
responden dalam mengakses kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan modal. Sehingga aksesibilitas kebutuhan dasar diukur berdasarkan kemampuan responden mengakses lembaga pendidikan seperti SD, SMP dan SMA. Selain itu aksesibilitas kebutuhan dasar juga diukur berdasarkan kemampuan responden mengakses lembaga kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan bidan serta diukur berdasarkan kemampuan responden mengakses bantuan modal seperti bank keliling, teman, tokoh masyarakat dan pemerintah. Hasil
penelitian
menunjukkan
persentase
responden
berdasarkan
aksesibilitas kebutuhan dasar pada kategori tidak mampu sebesar tiga per sen. Sedangkan persentase responden berdasarkan aksesibilitas kebutuhan dasar pada kategori kurang mampu sebesar sebelas per sen dan pada kategori cukup sebesar 86 per sen seperti tampak pada Gambar 49. Cukup 4 11%
Tidak Mampu 1 3%
Kurang Mampu 30 86%
Gambar 49 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Tabel 23 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Akses Terhadap Pendidikan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Akses Terhadap Pendidikan Jumlah % Tinggi 1 3 Rendah 23 66 Sangat Rendah 11 31 Total 35 100 Dominannya responden yang memiliki aksesibilitas kebutuhan dasar pada kategori kurang mampu dikarenakan sebesar 31 per sen responden memiliki akses terhadap pendidikan yang sangat rendah, 66 per sen responden memiliki akses
102
terhadap pendidikan yang rendah dan tiga per sen responden memiliki pendapatan yang tinggi seperti tampak pada Tabel 23. Selain itu dominannya responden yang memiliki aksesibilitas kebutuhan dasar pada kategori kurang mampu dikarenakan persentase responden yang memiliki akses terhadap kesehatan pada kategori sangat rendah sebesar 37 per sen, pada kategori rendah sebesar 60 per sen dan pada kategori tinggi sebesar tiga per sen seperti tampak pada Tabel 24. Tabel 24 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Akses Terhadap Kesehatan, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011 Akses Terhadap Kesehatan Tinggi Rendah Sangat Rendah Total
Jumlah 1 21 13 35
% 3 60 37 100
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa persentase aksesibilitas kebutuhan dasar pada perolehan modal responden pada kategori sangat rendah sebesar 100 per sen. Sedangkan kategori rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. 8.3
Partisipasi Partisipasi dalam penelitian ini adalah keterlibatan responden dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Partisipasi responden diukur berdasarkan kehadiran,
sumbangsih
pemikiran
dan
kritik
pada
kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase responden yang memiliki partisipasi pada kategori. Seluruh responden dalam penelitian ini menunjukkan partisipasi yang sangat rendah terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti, siskamling, pengajian, penggalangan dana dan rapat RT. Partisipasi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar responden hidup menggelandang sehingga kesempatan untuk menghadiri, bersumbangsih pemikiran dan kritik sangat rendah dalam kegiatan kemasyarakatan.
BAB IX KERENTANAN SOSIAL DAN TARAF HIDUP KELOMPOK MISKIN KOTA
9.1
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Kondisi Ekonomi Kelompok Miskin Kota Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu
kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan
(objektif),
kekerabatan
(persepsi),
keterampilan
(objektif),
keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan
dengan memasukkan seluruh
variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel kondisi ekonomi. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:
v15 = 10,574 - 0,028 v1 + 0,028 v2 – 0,008 v3 + 0,017 v4 + 0,049 v5 – 0,064 v6 + 0,071 v7 – 0,135 v9 – 0,029 v10 Keterangan: v1 = Kekerabatan (objektif) v2 = Kekerabatan (persepsi) v3 = Keterampilan (objektif) v4 = Keterampilan (persepsi) v5 = Etnisitas (objektif)
v6 = Etnisitas (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v10 = Kolektivitas (persepsi total) v15 = Kondisi Ekonomi
Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,028. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (persepsi) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,028. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan mengurangi
104
kondisi ekonomi sebesar 0,008. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,017. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,049. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,064. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,071. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,135. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,029. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (-0,028) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,099) dan upper bound (0,042). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Berkurangnya waktu bekerja berkonsekuensi pada berkurangnya pendapatan responden. Selain itu B (0,028) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,009) dan upper bound (0,065). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,008) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,069) dan upper bound (0,053). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Selanjutnya B (0,017) keterampilan (persepsi) juga
105
berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,032) dan upper bound (0,065). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan sebagian persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,049) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,036) dan upper bound (0,134). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama asal daerah dapat meningkatkan rasa solidaritas. Sehingga dapat saling memberi makanan dan penghasilan. Meskipun hasil penelitian menunjukkan responden memiliki frekuensi yang sangat rendah pada komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung, dikarenakan sebagian besar responden tidak hidup berkelompok dengan sesama teman sekampung. Terlebih responden kesulitan untuk mendapatkan teman yang sekampung di kawasan penelitian dilakukan. Selanjutnya B (-0,064) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,154) dan upper bound (0,026). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,071) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,121) dan upper bound (0,262). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan rasa solidaritas dalam kelompok dapat meringankan kesulitan responden seperti memberikan makanan kepada teman yang tidak memiliki makanan dan membantu biaya pengobatan kepada teman yang sakit. Selanjutnya
106
B (-0,135) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,362) dan upper bound (0,091). Selain itu B (0,029) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,140) dan upper bound (0,083) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang. Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap kondisi ekonomi dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.
9.2
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Kelompok Miskin Kota Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu
kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan
(objektif),
kekerabatan
(persepsi),
keterampilan
(objektif),
keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan
dengan memasukkan seluruh
variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel aksesibilitas kebutuhan dasar. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per
107
sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:
v25 = 57,049 - 0,680 v1 + 0,250 v2 - 0,315 v3 + 1,115 v4 + 0,870 v5 - 0,434 v6 + 1,464 v7 - 0,850 v9 + 0,690 v10 Keterangan: v1 = Kekerabatan (objektif) v2 = Kekerabatan (persepsi) v3 = Keterampilan (objektif) v4 = Keterampilan (persepsi) v5 = Etnisitas (objektif)
v6 = Etnisitas (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v10 = Kolektivitas (persepsi total) V25 = Aksesibilitas kebutuhan dasar
Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,680. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (persepsi) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,250. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,315. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 1,115. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,870. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,434. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 1,464. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,850. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,690. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (-0,680) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,873) dan upper bound (0,512). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal
108
tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Terlebih komunikasi dan silaturahmi relatif sulit dilakukan oleh responden karena sebagian besar kerabat responden berada di kampung halaman. Sebagian besar responden tidak mengandalkan kerabatnya untuk hidup lebih baik di Jakarta seperti dengan meminta pinjaman modal. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kerabat di Jakarta. Selain itu B (0,250) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,369) dan upper bound (0,869). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,315) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,340) dan upper bound (0,710). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Selanjutnya B (1,115) keterampilan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (0,295) dan upper bound (1,935). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Sehingga kemampuan berbahasa responden mampu meningkatkan kepercayaan orang lain untuk memberikan pinjaman modal. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,870) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan
109
lower bound (-0,556) dan upper bound (2,296). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama etnis dapat meningkatkan rasa solidaritas. Sehingga dapat saling memberi pinjaman modal. Selanjutnya B (-0,434) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,948) dan upper bound (1,080). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (1,464) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,761) dan upper bound (4,689). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan rasa solidaritas dalam kelompok dapat meringankan kesulitan responden seperti memberikan pinjaman modal untuk kehidupan seharihari. Selanjutnya B (-0,850) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-4,658) dan upper bound (2,959). Selain itu B (0,690) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,191) dan upper bound (2,570) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang. Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap
110
aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.
9.3
Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Partisipasi Kelompok Miskin Kota Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu
kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan
(objektif),
kekerabatan
(persepsi),
keterampilan
(objektif),
keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan
dengan memasukkan seluruh
variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel partisipasi. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:
V29 = 12,357 + 0,066 v1 - 0,070 v2 + 0,029 v3 + 0,018 v4 - 0,097 v5 + 0,185 v6 - 0,016 v7 - 0,790 v9 + 0,845 v10 Keterangan: v1 = Kekerabatan (objektif) v2 = Kekerabatan (persepsi) v3 = Keterampilan (objektif) v4 = Keterampilan (persepsi) v5 = Etnisitas (objektif)
v6 = Etnisitas (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v10 = Kolektivitas (persepsi total) V29 = Partisipasi
Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,066. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada
111
kekerabatan (persepsi) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,070. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,029. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,018. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,097. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,185. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,016. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,790. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,845. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (0,066) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,102) dan upper bound (0,235). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Terlebih komunikasi dan silaturahmi relatif sulit dilakukan oleh responden karena sebagian besar kerabat responden berada di kampung halaman. Selain itu partisipasi pemulung sangat rendah karena kehidupannya yang menggelandang. Sehingga terlihat bahwa semakin rendah kekerabatan pemulung maka semakin rendah pula tingkat partisipasinya. Selain itu B (-0,070) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,157) dan upper bound (0,018). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,029) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,116) dan upper bound (0,173). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan
112
keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Kemudian dari segi keterampilan berkomunikasi pemulung dalam penguasaan bahasa indonesia, bahasa daerah asal dan bahasa daerah lain dapat menjadikan responden lebih partisipatif dalam kegiatan kemasyarakatan. Meski
dalam
kenyataannya
kehidupan
menggalandang
sangat
kecil
kesempatannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya B (0,018) keterampilan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,097) dan upper bound (0,134). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Sehingga kemampuan berbahasa responden mampu meningkatkan kepercayaan responden untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,097) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,299) dan upper bound (0,105). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama etnis dapat meningkatkan rasa solidaritas. Pemulung yang sebagian besar hidup menggelandang memiliki partisipasi yang sangat rendah. Partisipasi yang sangat rendah pada pemulung dikarenakan kehidupan pemulung yang terbatas pada suatu kelompok yang terkadang terbentuk atas persamaan etnis. Sehingga pemulung kurang dapat bergaul dengan masyarakat luas yang konsisten melakukan kegiatan kemasyarakatan seperti kerjabakti, siskamling dan pengajian. Selanjutnya B (0,185) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,029) dan upper bound (0,399). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Rasa etnisitas
113
yang tinggi oleh responden menjadikan eksklusif dalam kelompoknya. Sehingga kehidupannya sangat terbatas pada kelompoknya dan keterlibatan atau partisipasi pada kegiatan kemasyarakatan sangat rendah. Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,016) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,472) dan upper bound (0,440). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan pemulung hidup secara berkelompok dengan rasa solidaritas yang tinggi, hidup saling membentu dalam kelompoknya. Namun kelompok pemulung hidup tidak bergaul dengan masyarakat luas. Sehingga terlihat eksklusif dan keterlibatan kelompok miskin kota ini sangat rendah dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya B (-0,790) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,329) dan upper bound (-0,252). Selain itu B (0,845) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (0,579) dan upper bound (1,111) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang sesulitan ekonomi. Sehingga sikap terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama yang terbentuk oleh responden memberikan pengaruh yang positif pada pembentukan perilaku responden dalam berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Meski dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang. Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap partisipasi. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap partisipasi dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.
BAB X PENUTUP
10.1
Kesimpulan Kelompok miskin di Kota Jakarta seluruhnya adalah pendatang dari
berbagai daerah pedesaan. Mereka bermigrasi ke Jakarta karena tekanan ekonomi di daerah mereka. Kelompok miskin hidup di Jakarta dengan menggelandang dan beristirahat setiap malam di tempat yang relatif tetap. seperti tidur di kolong jembatan, di trotoar, pinggir rel kereta, bawah pepohonan dan ada pula yang memiliki kontrakan. Mereka hidup secara berkelompok dengan sesama profesi yaitu pemulung dan ada yang hidup menyendiri. Kelompok miskin kota hidup berkelompok berdasarkan persamaan profesi seperti pemulung. Hal tersebut mereka lakukan karena kelompok miskin yang hidup di Jakarta tidak memiliki kerabat atau memiliki kekerabatan yang sangat rendah. Rendahnya kekerabatan kelompok miskin kota dikarenakan komunikasi dan silaturahmi yang sangat sulit dengan kerabat. Komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sulit dilakukan karena keterbatasan pemulung memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam dan keterbatasan biaya untuk pulang ke kampung halaman.
Keterbatasan tersebut menjadikan kelompok miskin kota tidak
mengandalkan kerabat untuk dapat mencapai kehidupan yang lebih baik. Kelompok miskin kota yang berasal dari desa ini tidak meninggalkan kebudayaan mereka di desa seperti bahasa daerah dan perilaku yang menunjukkan kedaerahan mereka. Mereka memiliki rasa solidaritas yang tinggi kepada teman dari suku yang sama seperti Jawa dan Sunda dan menunjukkan kolektivitas yang sedang meski hidup di Kota Jakarta. Dalam penelitian ini terbukti bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Selain itu kekerabatan
(persepsi),
keterampilan
(persepsi),
etnisitas
(objektif)
dan
kolektivitas (objektif) berpengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Dalam penelitian ini juga terbukti bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif),
115
etnisitas (persepsi) dan kolektivitas (persepsi sikap) berpengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Selain itu kekerabatan (persepsi), keterampilan (persepsi), kolektivitas (objektif) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Dan penelitian ini juga membuktikan bahwa kekerabatan (objektif), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (persepsi) dan kolektivitas (persepsi total) berpengaruh positif terhadap partisipasi. Selain itu kekerabatan (persepsi), etnisitas (objektif), kolektivitas (objektif) dan kolektivitas (persepsi sikap) berpengaruh negatif terhadap partisipasi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kelompok miskin kota memiliki kerentanan sosial yang dikategorikan sangat tinggi sebesar 63 per sen, pada ketegori tinggi sebesar 31 per sen, pada ketegori sedang sebesar tiga per sen dan pada ketegori rendah sebesar tiga per sen. Kelompok miskin kota cenderung memiliki kerentanan sosial yang sangat tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Hizbaron (2008) bahwa isu kerentanan sosial sering ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta.
10.2
Saran Kerentanan sosial dan taraf hidup kelompok miskin kota dapat diupayakan
menjadi lebih baik. Upaya dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada mereka hidup secara berkelompok di Jakarta dan memberikan kesempatan untuk membentuk pemukiman. Sehingga terbentuk suatu kelompok miskin atas persamaan etnis. Tingginya etnisitas pada kelompok miskin kota dapat memberikan kekuatan terhadap suatu tekanan ketika terdapat orang lain yang memberikan bantuan karena rasa solidaritas hidup berkelompok. Maka tindakantindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kerentanan sosial dan kemiskinan di kota adalah sebagai berikut: 1. Akademisi perlu melakukan pengkajian dan penelitian terkait dengan masalah kerentanan sosial dan kemiskinan di kota. Hasil penelitian tersebut nantinya dapat melengkapi dan mengkoreksi hasil penelitian sebelumnya. Sehingga akademisi mampu memberikan rekomendasi program yang tepat dalam mengatasi masalah kerentanan sosial dan kemiskinan di kota.
116
2. Masyarakat perlu menyadari bahwa peningkatan hubungan kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas mampu mengatasi masalah kerentanan sosial dan kemiskinan di daerah perkotaan. 3. Peran pemerintah dalam mengatasi kemiskinan kota adalah memberikan akses lahan, tempat tinggal, dan usaha kepada kelompok miskin kota agar memiliki taraf hidup yang lebih baik. Melakukan tindakan preventif oleh pemerintah dengan memperketat urbanisasi penduduk ke kota-kota besar dengan melakukan pembangunan multisektor secara merata hingga ke pelosok desa.
DAFTAR PUSTAKA
Bakornas PBP. 2002. Arahan kebijakan mitigasi bencana perkotaan di Indonesia. Jakarta [ID]: Bakornas PBP. Bappenas, Bakornas PB. 2006. Rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana 2006-2009. Jakarta [ID]: Perum Percetakan Negara RI BNPB. 2008. Lampiran peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana tentang pedoman penyusunan rencana penanggulangan bencana. Jakarta [ID]: BNPB BNPB. 2008. Peraturan kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 11 tahun 2008 tentang pedoman rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Jakarta [ID]: BNPB Fukuyama, Francis. 2007. Trust (Kebijakan sosial dan penciptaan kemakmuran). Yogyakarta [ID]: Qalam. Handayani, Ninik. 2009. Menyimak kehidupan keluarga “miskin”. Jurnal Analisis Sosial Vol 14 No.2 September 2009. Bandung [ID]: Yayasan Akatiga. Hizbaron, Dyah R. 2008. Jurnal kebencanaan Indonesia: analisis kerentanan sosial lingkungan kota Jakarta. Yogyakarta [ID]: Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada. Vol 1 No 5 Hal: 354-373. Horton, Paul B, dan Hunt. Chester L. 1999. Sosiologi. Jilid 1. Edisi keenam. Jakarta [ID]: Erlangga. Hugo, Graeme J. 1985, Partisipasi kaum migran dalam ekonomi kota di Jawa Barat. Dalam buku urbanisasi, pengangguran, dan sektor informal di kota (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi). Jakarta [ID]: PT. Gramedia. Ichlasary, Pramita Komala. 2010. Konsep penataan kawasan pemukiman kumuh di kelurahan kampung Makasar Timur dan Soasio kota Ternate [tesis]. Surabaya [ID]: ITS. Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan masyarakat miskin mengenai kemiskinan dan keberhasilan program penanggulangan kemiskinan (Studi kasus dua kelompok penerima P2KP tahap I di Kelurahan Lemahputra, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
118
Lestari, Forina. 2006. Tugas akhir: identifikasi tingkat kerentanan masyarakat permukiman kumuh perkotaan melalui pendekatan sustainable livelihood (SUL) (Studi Kasus: Kelurahan Tamansari, Bandung). Bandung [ID]: ITB. Lewis, Oscar. 1988. Kisah lima keluarga. Telaah-telaah kasus orang Meksiko dalam kebudayaan kemiskinan. Jakarta [ID]: Yayasan Obor Indonesia. Marzali, et al. 1989. Pola-pola hubungan sosial antar golongan etnik di Indonesia. Jakarta [ID]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Musyarofah, Siti Anis. 2006. Strategi nafkah rumah tangga miskin perkotaan (Studi Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian . Institut Pertanian Bogor. Rahardjo, 1999. Pengantar sosiologi pedesaan dan pertanian. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University Press. Ramli, Rusli. 1992. Sektor informal perkotaan pedagang kaki lima di Indonesia. Jakarta [ID]: Penerbit Ind-Hill-Co. Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian (ed.). 2008.Metode penelitian survei (cetakan kesembilanbelas). Jakarta [ID]: LP3ES. Soetomo. 2010. Masalah sosial dan upaya pemecahannya. Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar. Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan dan perlindungan sosial di Indonesia (Menggagas model jaminan sosial Universitas Bidang Kesehatan). Bandung [ID]: Alfabeta. Suparlan, Parsudi. 2003. Etnisitas dan potensinya terhadap disintegrasi sosial di Indonesia dalam INIS XLI konflik komunal di Indonesia saat ini. Jakarta INIS Universitas Lides dan PBB. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Suparlan, Parsudi. 1984. Gelandangan: sebuah konsekuensi perkembangan kota. dalam buku gelandangan. Pandangan ilmuwan sosial. Jakarta [ID]: LP3ES. Suparlan, Parsudi. 1984. Kemiskinan di perkotaan. Jakarta [ID]: Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia. Todaro, Michael P. dan Jerry Stilkind. 1985. Dilema urbanisasi. Dalam buku urbanisasi. Pengangguran, dan sektor informal di kota (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi). Jakarta [ID]: PT. Gramedia.
LAMPIRAN
120
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian (Kel. Grogol Selatan) dan Titik Lokasi Penelitian.
Kolong Jembatan Simprug Pasar Bata Putih Stasiun Kebayoran
121
Lampiran 2. Hasil Olahan Data 1. Hasil analisis pengaruh kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas terhadap kondisi ekonomi kelompok miskin kota (menggunakan SPSS 16.0) Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1 v10, v4, v1, v7, v6, v3, v9, v2, v5a
. Enter
a. Tolerance = .000 limits reached. b. Dependent Variable: v15
Coefficientsa
Unstandardized
Standardized
95% Confidence Interval
Coefficients
Coefficients
for B Lower
Model 1
(Constant)
B
Std. Error
10.574
2.164
v1
-.028-
.035
v2
.028
v3
Beta
t
Sig.
Bound
Upper Bound
4.886
.000
6.245
14.903
-.172-
-.802-
.426
-.099-
.042
.018
.345
1.527
.132
-.009-
.065
-.008-
.030
-.044-
-.265-
.792
-.069-
.053
v4
.017
.024
.115
.686
.495
-.032-
.065
v5
.049
.042
.298
1.158
.252
-.036-
.134
v6
-.064-
.045
-.385- -1.425-
.159
-.154-
.026
v7
.071
.096
.738
.463
-.121-
.262
v9
-.135-
.113
-.217- -1.197-
.236
-.362-
.091
v10
-.029-
.056
-.121-
.611
-.140-
.083
.126
a. Dependent Variable: v15
Keterangan:
v1 = Kekerabatan (Objektif) v2 = Kekerabatan (Persepsi) v3 = Keterampilan (objektif)
-.511-
122
v4 = Keterampilan (persepsi) v5 = Etnisitas (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v8 = Kolektivitas (persepsi) frekuensi v9 = Kolektivitas (persepsi) sikap v10 = Kolektivitas (persepsi) total v15 = Kondisi Ekonomi
Excluded Variablesb Collinearity Statistics Model 1
Beta In
t .a
v8
Sig. .
Partial Correlation .
Tolerance
.
.000
a. Predictors in the Model: (Constant), v10, v4, v1, v7, v6, v3, v9, v2, v5 b. Dependent Variable: v15
2. Hasil analisis pengaruh kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar kelompok miskin kota (menggunakan SPSS 16.0) Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1 v10, v4, v1, v7, v6, v3, v9, v2, v5a a. Tolerance = .000 limits reached. b. Dependent Variable: v25
. Enter
123
Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B
(Constan t)
Standardized Coefficients
Std. Error
95% Confidence Interval for B
Beta
t
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
57.049
36.416
1.567
.122
v1
-.680-
.596
-.227- -1.141-
.258
-1.873-
.512
v2
.250
.310
.169
.807
.423
-.369-
.869
v3
-.315-
.512
-.095-
-.615-
.541
-1.340-
.710
v4
1.115
.410
.423
2.721
.009
.295
1.935
v5
.870
.713
.291
1.220
.227
-.556-
2.296
v6
-.434-
.757
-.144-
-.573-
.568
-1.948-
1.080
v7
1.464
1.612
.143
.908
.367
-1.761-
4.689
v9
-.850-
1.904
-.075-
-.446-
.657
-4.658-
2.959
.690
.940
.160
.733
.466
-1.191-
2.570
v10
-15.794- 129.891
a. Dependent Variable: v25
Keterangan:
v1 = Kekerabatan (Objektif) v2 = Kekerabatan (Persepsi) v3 = Keterampilan (objektif) v4 = Keterampilan (persepsi) v5 = Etnisitas (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v8 = Kolektivitas (persepsi) frekuensi v9 = Kolektivitas (persepsi) sikap v10 = Kolektivitas (persepsi) total v25 = Aksesibilitas kebutuhan dasar
Excluded Variablesb Collinearity Statistics Model 1
Beta In v8
t .a
Sig. .
Partial Correlation .
a. Predictors in the Model: (Constant), v10, v4, v1, v7, v6, v3, v9, v2, v5 b. Dependent Variable: v25
.
Tolerance .000
124
3. Hasil analisis pengaruh kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas terhadap pertisipasi kelompok miskin kota (menggunakan SPSS 16.0) Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1 v10, v4, v1, v7, v6, v3, v9, v2,
. Enter
v5a a. Tolerance = .000 limits reached. b. Dependent Variable: v29
Coefficientsa
Model 1
(Consta
Unstandardized
Standardized
95% Confidence
Coefficients
Coefficients
Interval for B
B
Std. Error
12.357
5.148
v1
.066
.084
v2
-.070-
v3
Beta
t
Sig.
Lower
Upper
Bound
Bound
2.400
.020
2.059
22.654
.106
.788
.434
-.102-
.235
.044
-.226-
-1.598-
.115
-.157-
.018
.029
.072
.041
.394
.695
-.116-
.173
v4
.018
.058
.033
.318
.752
-.097-
.134
v5
-.097-
.101
-.155-
-.962-
.340
-.299-
.105
v6
.185
.107
.292
1.725
.090
-.029-
.399
v7
-.016-
.228
-.007-
-.069-
.945
-.472-
.440
v9
-.790-
.269
-.334-
-2.936-
.005
-1.329-
-.252-
.845
.133
.940
6.358
.000
.579
1.111
nt)
v10
a. Dependent Variable: v29
Keterangan:
v1 = Kekerabatan (Objektif) v2 = Kekerabatan (Persepsi) v3 = Keterampilan (objektif)
125
v4 = Keterampilan (persepsi) v5 = Etnisitas (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v8 = Kolektivitas (persepsi) frekuensi v9 = Kolektivitas (persepsi) sikap v10 = Kolektivitas (persepsi) total v29 = Partisipasi
Excluded Variablesb
Collinearity Statistics Model 1
Beta In v8
t .a
Sig. .
Partial Correlation .
a. Predictors in the Model: (Constant), v10, v4, v1, v7, v6, v3, v9, v2, v5 b. Dependent Variable: v29
.
Tolerance .000
126
Lampiran 3. Asal Daerah Responden dan Tahun ke Jakarta Nomor Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Asal daerah Gunungan, Bulu, Sukoharjo Jatimulyo, Adimulyo, Kebumen Gunungan, Purwasari, Solo Tegal Pengauban, Bayongbong, Garut Rangkas Bitung Rangkas Bitung Lampung Mekarsari, Rumpin, Bogor Buayan, Buayan, Kebumen Parung, Bogor Kartasana, Pagelaran, Pandeglang Bantar Bolang, Radu Dongkal, Pemalang Sindangsari, Pagelaran, Pandeglang Kreman, Warureja, Tegal Yogyakarta Pandeglang Mayong, Mayong, Jepara Baturaja, Tebing Tinggi, 4L Siharpalumbang, Candipura, Lampung Kediri Kolelet Wetan, Rangkasbitung, Lebak Sinargalih, Cibeber, Lebak Cibiuk Keler, Cibiuk, Garut Gedangan. Wirosari, Grobogan Megonten, Kebonagung, Demak Dlimas, Banyuputih, Batang Mereng, Warungpring, Pemalang Krandon, Margadana, Tegal Kagungan Ratu, Negeri Katon, Pasawaran Grinting, Bulakamba, Brebes Grinting, Bulakamba, Brebes Grinting, Bulakamba, Brebes Legon Wetan, Pamanukan, Subang Sinarmulya, Banyumas, Pringsewu
Tahun ke Jakarta 2010 2009 2004 2003 1996 1990 2003 2009 2010 1967 1980 2010 1977 2011 1980 2006 1960 1985 1990 2000 1994 2008 2009 1999 2007 2000 2007 1995 2005 2008 2009 1981 1995 2006 2002
127
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
1. Stasiun Kebayoran di malam hari
2. Suasana di jalan pasar Kebayoran Lama
3. Pemulung sedang mencari barang-barang yang laku dijual kembali di TPS Pasar Kebayoran Lama
128
4. Pemulung (Bapak HR) sedang beristirahat di Stasiun Kebayoran sebelum melanjutkan keliling kembali
5. Stasiun Kebayoran menjadi salah satu tempat tidur pemulung di malam hari pukul 23.30 WIB
129
6. Pemulung (Ibu JM) biasanya membersihkan barang pulungan pada malam hari di pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih
7. Pemulung (Bapak AN) beristirahat berbantalkan barang pulung di pepeohonan pinggir rel Pasar Bata Putih
130
8. Pemulung (Bapak SB) dengan gerobaknya
9. Pemulung (Bapak BD dan istrinya) tidur di bawah kolong jembatan Simprug
131
10. Kelompok pemulung dapat tinggal di pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih dengan membayar sewa kepada Satpol PP
11. Comuter Line yang berangkat dari Stasiun Kebayoran menuju Stasiun Palmerah
132
12. Suasana malam hari di rel non-aktif Stasiun Kebayoran yang biasa dijadikan tempat tidur oleh kelompok pemulung
13. Pemulung (Bapak AN) tidur di Stasiun Kebayoran pada pukul 22.00 pada saat stasiun masih aktif.
133
Lampiran 5. Catatan Harian Penelitian Kamis, 18 Agustus 2011 Endang (Pemulung), Siang hari sekitar pukul 14.00, peneliti menemui Ibu Endang sedang duduk di bawah pohon pinggir rel kereta di kawasan Grogol Selatan, Kebayoran Lama. Ibu Endang mengaku berprofesi sebagai pemulung dan membantu suaminya yang juga pemulung. Ibu Endang berasal dari Desa Gunungan, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Ia merantau ke Jakarta pada Bulan September 2010, ia mengaku meninggalkan kampungnya karena ada tekanan batin ketika suaminya tidak pulang-pulang. Ibu Endang mengaku dengan sedikit stress ia pergi dengan menaiki kereta dan sampai di Jakarta tepatnya di Stasiun Kota. Saat meninggalkan kampungnya Ibu Endang membawa beberapa uang dan beberapa pakaian ke dalam sebuah tas. Namun di kereta ia dicuri tasnya ketika sedang tidur. Sesampai Jakarta ia tidak memiliki apa-apa, tidak ada yang ia kenal di Jakarta. Ibu Endang hidup menggelandang di stasiun Kota, ia sehari-hari mendapat makanan dari hasil memulung. Hingga kemudian ia bertemu dengan seorang lakilaki paruh baya bernama Bapak Budiyono yang menjadi suaminya saat ini. Namun peneliti tidak sanggup menanyakan bagaimana setatus mereka. Apakah suami-istri di atas nikah atau tidak? Ibu Endang pada awalnya tidak diketahui keberadaannya oleh keluarga. Setelah bertemu dengan Budiyono, ia mendapat pertolongan sehingga dapat menghubungi orang tuanya di kampung dan memberi tahu keberadaannya di Jakarta. Ibu Endang makan setiap harinya dua bungkus nasi dan itu dimakan bersama Bapak Budiyono. Hidup Ibu Endang terlihat memprihatinkan, saat saya menemui ibu Endang, Ia sedang menunggu Bapak Budiyono pulang memulung. Biasanya setelah itu mereka menimbang hasil pulungan dan biasanya mendapat uang 10rb sehari. Untuk mandi ibu Endang biasanya mandi di pemandian umum dengan biaya 2rb. Ibu Endang mandi biasanya setelah Magrib dan setelah itu pergi ke kolong jembatan Simpruk, sebagai tempat untuk bermalam.
Jumiati (Pemulung), Sore hari setelah menemui Ibu Endang, tidak jauh dari tempat istirahat Ibu Endang terdapat sebuah tenda yang terbuat dari kain-kain sepanduk beralaskan matras yang sudah tampak kotor. Tenda itu dijadikan tempat istirahat, tidur, dan berkumpul bersama sesama pemulung yaitu tendan Ibu Sumi. Ibu Jumiati yang berusia 34 tahun sehari-hari memulung dengan penghasilan 75rb rupiah seminggu. Ia berasal dari Desa Jati Mulyo, Kecamataan Adi Mulyo, Kabupaten Kebumen. Ibu Jumiati merantau ke Jakarta pada Bulan Juni 2009. Ia memiliki seorang anak yang sedang menempuh pendidikan SD. Biasanya Ibu Jumiati memberi ongkos ke anaknya sebesar 4rb rupiah. Jika dibandingkan dengan Ibu
134
Endang, Ibu Jumiati tampak lebih baik kehidupannya. Ia memiliki kontrakan di Pondok Ranji. Ia juga mampu memenuhi kebutuhan sandangnya tiap tahun seperti membeli pakaian baru untuk 3 orang, yaitu Ibu Jumiati, Suami dan anaknya. Namun khusus di Kebayoran Lama Ibu Jumiati dan suaminya mendirikan bedeng untuk tempat beristirahat setelah memulung. Ibu Jumiati juga masih berkomunikasi dengan kerabatnya seperti dengan mertuanya, paman, bibi, kakak ipar, adik ipar dan anaknya. Ibu Jumiati ketika kesulitan keuangan ia dapat meminjam uang kepada kerabatnya yang dalam satu bulan terakhir meminjam 1 kali sebanyak 300rb rupiah. Aktivitas komunikasi Ibu Jumiati mampu menguasai 2 bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Jawa. Setiap harinya Ibu Jumiati menggunakan Bahasa Indonesia dan Jawa. Namun kemampuan berbahasa Indonesianya kurang baik dibandingkan dengan berbahasa Jawa. Hidup di Jakarta mau tidak mau harus mampu berbicara Bahasa Indonesia. Meski terlihat hidup pas-pasan, namun Ibu Jumiati memiliki rasa solidaritas yang baik. Ia terkadang berbagi makanan dengan teman sesama pemulung yang tidak memiliki makanan. Ibu Jumiati juga sering menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk pembangunan musola dan ibu Jumiati juga terkadang membantu temannya yang kekurangan biaya untuk berobat ketika sakit. Teman yang sakit tersebut dibelikan obat warung.
Sabtu, 20 Agustus 2011 Budiono (Pemulung), Siang hari di bulan Ramadhan. Peneliti menemui Bapak Budiono di pinggir rel kereta api di kawasan Grogol Selatan, Kebayoran Lama. Saat itu Bapak Budiono bersama istrinya Ibu Endang tengah beristirahat setelah berkeliling mencari sampah yang bisa ditimbang. Bapak Budiono tengah menghisap roko. Peneliti pun sangat tertarik melihat cara Pak Budiono menghisap roko. Pak Budiono memang beragama Islam, namun ia mengaku tidak kuat untuk berpuasa. Awalnya peneliti menganggap Pak Budiono payah sekali puasa saja tidak kuat. Tetapi setelah pak Budiono menceritakan kesehariannya, baru lah saya memaklumi Pak Budiono. Setiap harinya pak Budiono berjalan hampir kira-kira 20 km untuk mencari sampah. Ia bekerja di pagi hingga siang dan hasilnya langsung ditimbang di lapak milik Pak Tony. Hasilnya digunakan untuk membeli makanan. Ia baru makan siang itu setelah semalam tidak makan, ia makan sebungkus nasi seharga 5rb rupiah untuk dimakan berdua dengan Ibu Endang. Melihat Pak Budiono bagaimana menceritakan kisah hidupnya sama sekali tidak nampak rasa keluh kesah dari wajahnya, sebaliknya ia menceritakan kisahnya dengan penuh semangat kepada peneliti agar peneliti benar-benar memahami maksudnya. Pak Budiono biasanya tidur atau bermalam di kolong jembatan Simprug bersama ibu Endang. Disana juga terdapat beberapa pemulung yang lain. Dan dikesempatan waktu yang lain peneliti mendatangi kolong jembatan Simprug (cerita yang berbeda).
135
Pak Budiono mengaku sejak 2004 ia ke Jakarta. Ia berasal dari Desa Gunungan Kecamatan Purwasari Kabupaten Solo. Pak Budiono tidak sungkan untuk menceritakan bagaimana hidup di jalan. Hidup dijalan ia selalu berbagi dengan sesama dengan pemulung bahkan pengemis. Ia mengaku akan menyumbangkan sebagian uang yang ia miliki kepada pengemis yang cacat. Ia tidak akan memberikan uangnya kepada pengemis yang tidak cacat, karena ia menganggap itu pemalas. “Sebenarnya ia bisa bekerja seperti saya” ungkap Pak Budiono. Namun suatu saat ia pernah bertemu dengan pengemis yang terlihat buta. Tetapi Pak Budiono pernah melihat pengemis ini di waktu yang lalu, “sebenarnya ia tidak buta” ungkap pak Budiono. Mungkin pak Budiono merasa terpukul melihat pengemis yang pura-pura buta. Lalu Pak Budiono mengeluarkan uang sebesar 1rb Rupiah yang ia miliki. Dalam hati ia berkata “kamu pura-pura buta, saya sumpahin buta beneran” cerita Pak budiono. Setelah memberi uang seribuseribunya ia berjalan mencari tempat yang bisa untuk ditempati untuk tidur. Kemudian ia singgah di emper toko. Tengah malam ada yang membangunkan Pak Budiono dan benar saya iya dikasih uang 50rb rupiah. “Alhamdulillah..siapa lagi yang menolong saya selain Allah” ungkap Pak Budiono. Mungkin itu sekilas cerita Pak Budiono. Kemudian tengah bercerita Pak Budiono mengambil puntung roko ‘sampurna’, entah bekas roko siapa. Dengan handal Pak Budiono memeragakan bagaimana caranya ketika ia ingin meroko namun tidak punya uang untuk beli. Dengan bermodalkan kertas papir seharga 500 Rupiah berpuluh-puluh lembar. Peneliti pun tidak sanggup mencobanya karena saat itu masih pukul 16.00, belum saatnya buka puasa. Kemudian ia kembali bercerita kisah hidupnya. Saat di kampung Pak Budiono bekerja sebagai buruh tani. Namun sekarang ia tidak mampu lagi bersaing dengan tenaga-tenaga muda. Ia merantau ke Jakarta saat itu ia bekerja menjadi tukang bangunan. Ia pernah menjadi kuli bangunan untuk membangun gedung. Ia pernah berada di ketinggian ratusan meter. Ia mengaku sangat takut, ia pun sudah tidak mampu lagi untuk bekerja sebagai tukang bangunan. Kemudian ia beralih menjadi pemulung seperti sekarang. Sebelum ia merantau ke Jakarta, Bapak Budiono bekerja sebagai buruh tani di kampungnya. Ia biasanya bekerja di lahan orang lain untuk memacul, memanen dan membajak dengan traktor. Namun usia Pak Budiono semakin tua dan fisik tidak mendukung lagi untuk bekerja sebagai buruh. Selain itu sudah banyak pesaing-pesaing muda pak Budiono yang juga sebagai buruh. Bapak Budiono pun sudah tidak pernah dipakai lagi menjadi buruh tani. Di sela ceritanya ia menunjukkan kepada peneliti kuku kakinya yang sudah mati karena sering terendam dan kepentok tanah dari traktor. Kuku kaki Pak Budiono memang nanmpak mati berwarna kebiruan dan sudah tidak merasakan sakit jika kukunya terinjak. Kemudian waktu menunjukkan pukul 17.00, peneliti belum menjalankan solat Asar. Lalu berpamit sebentar untuk ke masjid kepada Pak Budiono. Setelah meninggalkan pak Budiono tampak dari kejauhan Pak Budiono duduk bersampingan dengan ibu Endang dan sepertinya tidak berkomunikasi sama sekali. Diam-diaman saja. Kalau seperti di televisi gerakan mereka seperti di slow motion kan. Mereka seperti ada di alam pikir yang berbeda. Peneliti merasa ada
136
yang aneh dari sikap mereka ketika bercerita, tampak begitu semangat, bercerita dengan suara yang sangat keras padahal peneliti hanya berjarak setengah meter. Mungkin suara pak Budiono bisa terdengar hingga ke seberang rel sekitar 10 meter. Kemudian setelah peneliti menjalankan solat Asar, kembali ke tempat istirahatnya pak Budiono dan Ibu Endang. Saya kembali menyapanya, namun tampak dari wajah Pak Budiono seperti baru melihat orang lain yang menyapanya. Setelah selang 30 detik baru ia balik menyapa saya dengan suara yang sangat keras padahal kami hanya berjarak semeter. Tidak lama peneliti diam di sana. Kemudian peneliti berpamitan dan Pak Budiono pergi mandi ke pemandian umum dengan membawa uang sebesar 2rb rupiah.
Minggu, 21 Agustus 2011 Sekitar pukul 17.00 peneliti bertolak dari rumah orang tuanya untuk kembali menuju kebayoran lama untuk memburu pemulung yang bersedia ditanya-tanya. Peneliti tiga hari belakangan selalu naik kereta api karena akan lebih efektif menuju kebayoran lama dari Jombang-Ciputat dengan kereta api. Pukul 17.15 peneliti menunggu Comuterline kereta api sistem baru, harga baru, tapi kereta bekas. Pukul 17.30 peneliti sampai di stasiun kebayoran. Sepertinya tanggung kalau jam segini langsung berburu pemulung. Maka peneliti memilih untuk ngabuburit sambil melihat-lihat dari pinggir rel kereta api. Keadaan pasar yang sangat indah, unik, sangat berwarna-warni. Nampaknya ada sangat banyak profesi di pasar ini, mulai dari tukan sayur, ikan, tahu, tempe, ayam, petasan, mainan anak-anak, buah melon, sampai profesi yang bermodalkan tenaga seperti kuli angkut, dan calo. Sepertinya peneliti larut dalam pertunjukan teater realis di pasar kebayoran. Pertunjukan yang sangat bagus, dan tidak disadari suara azan dari kejauhan mulai terdengar. Alhadulillah sekarang peneliti telah menunaikan ibadah puasa seharian. Dengan meneguk teh botol dingin yang dibeli diwarung dan dengan ditemani sebatang roko rasanya sangat nikmat. Benar-benar merasakan seperti sedang berada di bioskop XXI sambil menghisap asap ber TAR lumayan kandungan NIKOTIN yang juga lumayan. Rasanya sudah mengalir di darah peneliti dan berfungsi sebagai stimulan untuk bersemangat meneliti. Setelah puas berbuka puasa dengan teh botol dan beberapa batang rokok. Peneliti bergegas ke musola. Berdoa agar penelitiannya hari ini di mudahkan oleh Sang Pencipta. Peneliti berjalan menuju lapak milik pak Husein untuk kembali bertanya-tanya dengan pengangkut sampah yang lainnya. Disana peneliti menemui bapak Paksaroni. Ia bertenlanjang dada sepertinya habis pulang mengangkut sampah dan baru selesai berbuka. Sebelum peneliti meminta tolong untuk bertanya-tanya ia sedang bersama istrinya. Namun ketika saya meminta pak Paksaroni untuk diwawancara. Istrinya nampak tidak senang dengan kedatangan saya, mungkin saya dirasa merepotkan dan tidak ada timbal-balik untuknya. Peneliti selalu berulang-ulang berterima kasih kepada pak Paksaroni karena telah membantu saya untuk laporan skripsi saya. Dan saya hanya berharap pak Paksaroni dibalas amal kebaikannya oleh Sang Pencipta.
137
Setelah itu peneliti pada pukul 21.00 pergi menuju kolong jembatan Simprug. Kolong simprug menurut Pak Budiono ada beberapa pemulung yang tidur di sana. Peneliti dengan bermodalkan kacamata mines 3, di dalam kegelapan di pinggir rel terus berjalan menyusuri untuk mencapai kolong jembatan. Di sepanjang rel ada beberapa kelompok orang sedang ‘nongkrong’, terlihat banyak titik asap rokok dari kejauhan. Ketika peneliti mendekat kelompok orang tersebut mulai terucap kata singkat ‘permisi’ sambil memperbaiki letak ‘peci’ di atas kepala sebagai petunjuk kalau peneliti ini orang baik-baik jadi jangan main-main sama orang baik, alim yang memakai peci ini. Peneliti sangat merasakan manfaat dari modal simbolik berupa peci tersebut. Maklum saja peneliti baru membaca setengah buku Modal Sosialnya John Field. Peneliti merasakan teorinya Pierre Bordieu sangat bisa diandalkan. Tidak jauh dari orang-orang nongkrok sudah terlihat fly over yang melintang di atas rel kereta. Benar-benar gelap gulita. Peneliti mencari-cari sosok yang mungkin dikenal. Benar saja peneliti menemui Pak Budiono di sana. Menyapa pak Budiono, dan seperti biasa selang 30 detik pak budiono baru menyadari kedatangan peneliti. Sebelum peneliti menyapa pak Budiono. Ia nampak sedang melakukan gerakan slow motion sambil mengambil plastik di selokan. Pak budiono memberi tahu di dalam ada dua pemulung. Saya pun diantarkan ke dalam. Dengan suara yang keras pak budiono memanggil temannya yang bernama Adi. “Adi…ada mahasiswa nih yang mau meneliti kamu.”. Saat itu saya melihat pemulung yang bernama Adi dan ia masih sangat lah muda. Saat wawancara berlangsung sesekali Mas Adi mengeluarkan batuk namun dengan suara yang tidak umum seperti orang yang menderita asma. Mas adi bercerita ia bahwa sebelumnya ia pernah bekerja sebagai pegawai catring. Namun ia mengeluarkan diri karena tidak tahan dengan tekanan yang sering diberikan oleh atasannya. Ia mengaku sering kali menulis dalam sebuah kertas “kapan saya bisa hidup lebih baik lagi?”. Ia selalu menuliskan dalam selembar kertas saat mengeluarkan diri dari perusahaan catring dan beralih menjadi pemulung.
138
Lampiran 6. Kuesioner Nomor Responden : Tanggal Wawancara :
KUESIONER Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa di Jakarta Petunjuk: Isilah jawaban pada kotak kosong dan titik-titik (…) berdasarkan jawaban yang menurut anda sesuai dibawah ini! A. Identitas Responden I. Identitas Responden 1. Nama 2. Jenis Kelamin 3. Usia 4. Agama
5. 5.
Status Pernikahan Alamat
6.
Tingkat Pendidikan Terakhir
7.
Status tempat tinggal
8.
Jumlah Anggota Keluarga
............................................................................. 1. Laki-Laki 2. Perempuan ...................................................................tahun 1. Islam 4. Hindu 2. Katolik 5. Budha 3. Protestan 6. Lainnya: …………… 1. Menikah 2. Belum Menikah Desa...................................................................... RT: ..................... RW: ..................... No: …………. Kelurahan: ………………………………………………………. Kecamatan: ……………………………………………………... 1. Tidak bersekolah 7. Madrasah Aliyah 2. SD 8. SMK 3. Madrasah Ibtidaiyah 9. Program D.I/D.II 4. SMP Umum/Kejuruan 10. Program D.III 5. Madrasah Tsanawiyah 11. Program D.IV/S1 6. SMA 1. Milik sendiri 5. Dinas 2. Kontrak 6. Rumah milik orang 3. Sewa tua/sanak/saudara 4. Bebas sewa 7. Lainnya: ……… ................................................................... orang
139
9.
Asal Daerah
10. Tahun ke Jakarta
Desa:……………………..Kecamatan:…………………… Kabupaten:…………………………………………………… ……………………………………………………………………..
B. Kerentanan Sosial B.1. Faktor Internal B.1.1 Kekerabatan Bagaimana aktivitas komunikasi Anda dengan kerabat setelah Anda bermigrasi ke Jakarta? *) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) No
Kegiatan
11.
Aktivitas komunikasi Anda dengan orang tua
12.
Aktivitas komunikasi Anda dengan mertua
13.
Aktivitas komunikasi Anda dengan paman dan bibi
14.
Aktivitas komunikasi Anda dengan kakak dan adik kandung
15.
Aktivitas komunikasi Anda dengan saudara sepupu
16.
Aktivitas komunikasi Anda dengan kakak dan adik ipar
17.
Aktivitas komunikasi Anda dengan anak
18.
Aktivitas komunikasi Anda dengan menantu
19
Aktivitas komunikasi Anda dengan keponakan
Frekuensi 6 bulan terakhir (hari)
Persepsi frekuensi (‘kesering an’) *)
Bagaimana aktivitas silaturahmi (tatap muka) Anda dengan kerabat setelah Anda bermigrasi ke Jakarta? *) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) No
Kegiatan
20.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan orang tua
21.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan mertua
22.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan paman dan bibi
23.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan kakak dan adik kandung
Frekuensi 6 bulan terakhir (hari)
Persepsi frekuensi (‘keseringa n’) *)
140
24.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan saudara sepupu
25.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan kakak dan adik ipar
26.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan anak
27.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan menantu
28.
Aktivitas silaturahmi Anda dengan keponakan
B.1.2 Keterampilan Bagaimana kemampuan komunikasi Anda setelah bermigrasi ke Jakarta? *) (5 = sangat mampu, 4 = mampu, 3 = cukup, 2 = kurang mampu, 1 = tidak mampu) No
Kegiatan
29.
Anda berbicara dengan Bahasa Indonesia
30.
Anda mendengarkan pembicaraan orang lain yang berbahasa Indonesia
31.
Anda menulis dengan Bahasa Indonesia
32\ . 33.
Anda berbicara dengan bahasa daerah asal Anda
34.
Anda menulis dengan bahasa daerah asal Anda
35.
Anda berbicara dengan bahasa daerah lain
36.
Anda mendengarkan pembicaraan orang lain yang berbahasa daerah lain
37.
Anda menulis dengan bahasa daerah lain
Anda mendengarkan pembicaraan orang lain yang berbahasa daerah asal Anda
Berapa hari melakukank annya dalam sebulan terakhir
Persepsi kemampua n *)
141
Bagaimana penguasaan teknis Anda terhadap pengolahan hasil memulung Anda setelah bermigrasi ke Jakarta? *) (5 = sangat mampu, 4 = mampu, 3 = cukup, 2 = kurang mampu, 1 = tidak mampu) No
Kegiatan
38.
Anda membedakan sampah organik dan non-organik
39.
Anda mengolah hasil pulung menjadi barang berdaya jual (payung, tas, dompet, dan lain-lain)
40.
Anda memperbaiki hasil pulung sehingga dapat dipakai kembali
Berapa hari melakukan dalam sebulan terakhir
Persepsi kemampua n *)
B.2. Faktor Eksternal B.2.1. Etnisitas Bagaimana aktivitas kedaerahan Anda setelah bermigrasi ke Jakarta? *) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) No
Kegiatan
41.
Aktivitas komunikasi Anda dengan berbahasa daerah asal
42.
Anda berkomunikasi dengan orang sekampung dengan berbahasa daerah asal
43.
Anda berkomunikasi dengan orang sekampung dengan berbahasa daerah asal meski ada orang lain yang tidak sedaerah Anda berkumpul dengan teman sekampung untuk ‘ngobrol’
44. 45.
Anda berkumpul dengan teman sekampung untuk kegiatan yang menghibur
46.
Anda memutuskan untuk berkumpul dengan teman sekampung dari pada berkumpul dengan orang lain yang tidak sekampung Anda membela teman sekampung ketika ia bermasalah dengan orang lain yang berbeda daerah asal
47. 48.
Anda mendapat pertolongan dari teman sekampung ketika Anda memiliki masalah
Berapa hari dalam sebulan terakhir
Persepsi frekuensi (‘keseringa n’) *)
142
B.2.2. Kolektivitas Bagaimana keterlibatan dan sikap Anda terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama, setelah bermigrasi ke Jakarta? *) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) **) (5 = sangat setuju, 4 = setuju, 3 = biasa saja, 2 = kurang setuju, 1 = tidak setuju) No
Berapa hari dalam sebulan terakhir
Kegiatan
49.
Anda terlibat dalam kegiatan kerja bakti
50.
Keterlibatan Anda dalam kegiatan siskamling
51.
Anda memutuskan untuk menolong tetangga yang sedang dalam masalah ketika Anda sedang sibuk Anda memberikan sebagian makanan Anda kepada tetangga Anda yang kesulitan untuk makan Anda terlibat dalam pembangunan musola secara swadaya Anda mengeluarkan uang untuk membantu biaya tetangga Anda yang sakit
52. 53. 54.
Persepsi frekuensi (“kesering an”) *)
Persepsi Kesetujua n **)
C. Kehidupan Komunitas Miskin Kota C.1. Kondisi Ekonomi Berapa besar biaya yang dihabiskan Anda untuk keperluan 1 bulan terakhir berikut? Pengeluaran Konsumsi/Bulan
Biaya yang Dikeluarkan
55.
Pengeluaran/Bulan Beras
Rp.
56.
Ikan
Rp.
57.
Daging
Rp.
58.
Telur dan susu
Rp.
59.
Sayur-sayuran
Rp.
60.
Buah-buahan
Rp.
61.
Minyak dan Lemak
Rp.
143
62.
Bumbu-bumbuan
Rp.
63.
Tembakau dan sirih
Rp.
64.
Makanan dan minuman jadi
Rp.
65.
Konsumsi Lainnya :
Rp.
……...….. Berapa besar biaya yang dihabiskan Anda untuk keperluan 1 tahun terakhir berikut? Pengeluaran Non-Konsumsi/Tahun
66.
Biaya dalam Rupiah
Pengeluaran/tahun Perumahan dan fasilitas rumah tangga
Rp.
67.
Aneka barang dan jasa
Rp.
68.
Pendidikan
Rp.
69.
Biaya Kesehatan
Rp.
70.
Pakaian, alas kaki, tutup
Rp.
kepala 71.
Barang tahan lama
Rp.
72.
Pajak/Asuransi
Rp.
73.
Keperluan Pesta Upacara
Rp.
74.
Lainnya: ………..………
Rp.
75.
Berapa orang yang Anda tanggung dari pekerjaan ini? Berapa kali Anda makan dalam sehari pada seminggu terakhir?
76.
orang kali
144
C.2. Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Menurut Anda bagaimana biaya yang harus dikeluarkan dan jarak yang harus ditempuh untuk menggunakan lembaga pendidikan dan kesehatan? *) (5 = sangat dekat, 4 = dekat, 3 = cukup dekat, 2 = jauh, 1 = sangat jauh) **) (5 = sangat murah, 4 = murah, 3 = cukup murah, 2 = mahal, 1 = sangat mahal) No
Fasilitas
77.
Sekolah Dasar (SD) atau sederajat
78.
80.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat Rumah Sakit
81.
Puskesmas
82.
Bidan
79.
Jarak (km)
Persepsi Jarak *)
Biaya per Persepsi minggu (Rp) Biaya **) (x 1000)
Seberapa sering Anda mendapat bantuan modal dari orang lain? *) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup sering, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) **) (5 = sangat besar, 4 = besar, 3 = cukup besar, 2 = sedikit, 1 = sangat sedikit) No
Kegiatan
83.
Anda meminta pinjaman uang kepada bank keliling Anda meminta pinjaman uang kepada teman sekampung Anda meminta pinjaman uang kepada kerabat Anda meminta pinjaman uang kepada tokoh masyarakat Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada bank keliling Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada teman sekampung Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada kerabat
84. 85. 86. 87.
88.
89.
Frekuensi dalam 1 bulan terakhir
Persepsi frekuensi (‘keserin gan’) *)
Rupiah dalam 1 bulan terakhir (Rp) (x 1000)
Persepsi Besaran **)
145
90.
91.
Anda mendapatkan pinjaman uang ketika meminta kepada tokoh masyarakat Anda mendapat bantuan modal dari Kelurahan atau Dinas Pemerintahan
C.3. Partisipasi Sebesar apa keterlibatan Anda dalam kegiatan sosial? *) (5 = sangat sering, 4 = sering, 3 = cukup sering, 2 = jarang, 1 = tidak pernah) No
Kegiatan
92.
Kehadiran Anda pada kegiatan kerjabakti
93.
Kehadiran Anda pada kegiatan siskamling
94.
Kehadiran Anda pada kegiatan pengajian
95.
Kehadiran Anda pada kegiatan penggalangan dana sosial
96.
Kehadiran Anda pada kegiatan rapat RT
97.
Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya kerjabakti Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya siskamling Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya pengajian
98. 99. 100.
Anda memberikan masukan pada saat perencanaan dilaksanakannya penggalangan dana sosial
101.
Anda memberikan masukan pada saat rapat RT
102.
Anda menyampaikan kritik dan saran pada rapat RT
Berapa kali dalam 1 bulan terakhir
Persepsi frekuensi (‘kesering an’) *)