KERANGKA ACUAN KERJA PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN TERPADU (INTEGRATED RURAL AREA DEVELOPMENT PROGRAM)
BAB I PENDAHULUAN 1.
Konteks Pembangunan Daerah Tertinggal Pada hakekatnya pembangunan daerah tertinggal merupakan bagian
pengembangan wilayah, yang berkenaan dengan pengarahan proses transformasi sosialekonomi dan lingkungan fisik di dalam ‘ruang’ wilayah dan kawasan, sebagai ’wadah’ dan ’sumberdaya’ , yang dapat menjamin kelangsungan hidup individu manusia dan peningkatan kualitas kehidupan sosialekonomi masyarakat yang bertempat tinggal di suatu kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Masalah ( issues ) yang krusial dalam pengembangan wilayah adalah: (i)
terkonsentrasi kegiatan ekonomi di pulau Jawa dan di beberapa wilayah tertentu di luar Jawa, (ii) ketidakmerataan akses masyarakat terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, terutama lahan, (iii) tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan, (iv) masih besarnya kesenjangan perkembangan antar wilayah dan antara kotadesa, dan (v) ketidakserasian perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Problematiknya ( problem ) adalah proses ‘ transformasi sosialekonomi
dan lingkungan fisik’ di dalam ruang kurang mampu menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat antar antar wilayah maupun antara perdesaan dan perkotaan. Dari perspektif geografi ekonomi, proses pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari: (i) adanya agregat kegiatan ekonomi lokal yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi nasional atau pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah yang menjalar ke tempat lain, dan (ii) adanya pola ruang kegiatan ekonomi yang menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional. Besarkecilnya pengaruh pola ruang kegiatan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah 1
tergantung dari bekerjanya mekanisme pasar, yakni kegiatan produksi, distribusi, dan pemasaran. Namun, bekerjanya mekanisme pasar ini cenderung menciptakan perbedaan tingkat kesejahteraan rakyat antar wilayah atau kesenjangan perkembangan antar wilayah, sehingga perlu campur tangan negara. Bagaimanapun
di
banyak
negara,
fenomena
kesenjangan
perkembangan antar wilayah hampir selalu ada, namun setiap negara harus mampu melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan perkembangan antar wilayah sampai dengan titik batas toleransi yang disepakati secara politik. Daerah yang tertinggal adalah daerah yang memiliki kondisi kualitas sumberdaya manusia yang rendah, potensi sumberdaya alam yang rendah atau belum dimanfaatkan secara optimal, aliran investasi yang terbatas, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, dan kapasitas lembaga sosialekonomi yang kurang memadai. Akibatnya, kegiatan produksi kurang berkembang, sehingga kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat yang rendah.
1.2 Konteks Pembangunan Perdesaan di Daerah Tertinggal Pembangunan perdesaan identik dengan pembangunan pertanian dan pembangunan kawasan perdesaan. Unsur kawasan perdesaan terdiri dari: manusia dan machluk hidup lainnya, kehidupan dan kegiatan manusia, benda dan lingkungan, serta aliran & jaringan kegiatan manusia/benda ( yang berbentuk alami dan buatan) . Kawasan perdesaan memiliki fungsi kawasan permukiman sebagai lahan usaha pertanian, perumahan, dan pusat pelayanan sosial dan ekonomi, serta pemerintahan. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi kawasan permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan pelayanan ekonomi. Kawasan perdesaan merupakan penyumbang produksi bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan
2
bioenergi untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan kegiatan industri, serta penyediaan sumber energi terbarukan. Berbagai kebijakan pembangunan perdesaan telah dijalankan oleh pemerintah, namun masyarakat perdesaan masih tetap dihadapkan pada ‘masalah’ struktural ( issues) , yakni: (i) kualitas kehidupan masyarakat yang rendah, (ii) kegiatan ekonomi yang stagnan, (iii) pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, (iv) ketersediaan pelayanan sarana dan prasarana yang terbatas dan dengan standar pelayanan minimum yang rendah, serta (v) kualitas lingkungan kawasan permukiman yang buruk. Sumber permasalahan ( problem/cause ) yang dihadapi masyarakat
perdesaan adalah: (i) adanya regulasi yang menghambat perkembangan perekonomian perdesaan, (ii) adanya mekanisme penyediaan pelayanan publik dan pelaksanaan kegiatan pembangunan di perdesaan yang ‘ fragmented’ , (iii) adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap kapital, tanah, input produksi, dan jaringan pemasaran produk pertanian, disertai dengan ketidakpastian jaminan harga produk pertanian secara benar ( right price ). Pada saat ini diketahui bahwa hampir 83 % kabupaten di Indonesia
yang perkembangan perekonomiannya sangat tergantung dari sektor pertanian, sehingga pada dasarnya negara Indonesia merupakan negara pertanian/agraris. Namun demikian, masalahnya adalah kabupaten yang sektor pertaniannya stagnan atau belum berkembang pada umumnya merupakan daerah tertinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (i) terdapat relasi yang kuat antara ketertinggalan suatu daerah dengan perkembangan kegiatan pertanian yang tradisional atau subsisten, dan (ii) terdapat relasi yang kuat antara ketertinggalan kawasan perdesaan dengan pola hubungan ekonomi desakota yang kurang sinergik. Pada tahun 2004 terdapat 199 kabupaten yang masuk katagori daerah tertinggal, dan pada 2009 ini terdapat 50 kabupaten yang dinyatakan lepas dari katagori tersebut. Dengan mempertimbangkan adanya 34 kabupaten pecahan yang tertinggal, sehingga pada saat ini masih ada 183 kabupaten yang masuk dalam katagori daerah tertinggal.
3
Sebagian besar daerah tertinggal terdapat di pulau Kalimantan, Sulawesi, kepulauan NTB dan NTT, kepulauan Maluku, dan pulau Papua, yang pada umumnya memiliki kondisi perkembangan kegiatan pertanian yang stagnan atau memiliki tahap perkembangan kegiatan pertanian yang tradisional atau subsisten. Atas dasar uraian diatas, diperlukan adanya kebijakan pembangunan perdesaan di daerah tertinggal untuk meningkatkan kegiatan ekonomi lokal, mengentaskan
kemiskinan
masyarakat
perdesaan,
dan
sekaligus
mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Sehubungan dengan hal tersebut, perumusan kebijakan pembangunan perdesaan perlu melihat tahapan perkembangan dan pola kegiatan pertanian, kondisi potensi sumberdaya alam dan geografis wilayah, hubungan ekonomi perdesaan dan perkotaan, dan struktur kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di dalam suatu wilayah. Pada dasarnya pelaksanaan pembangunan perdesaan memerlukan konsep yang konprehensif, paradigma, strategi & kebijakan, dan rencana tindakan, yang melihat berbagai sudut pandang, multi disiplin, dan dimensi waktu; serta dengan membuat solusi yang diselesaikan dari ‘luar kotak’ dan mekanisme pelaksanaan kegiatan yang tepat dan terintegrasi.
4
BAB II IDE PEMBANGUNAN PERDESAAN DI DAERAH TERTINGGAL 2.1 Ide Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Pada hakekatnya problematik ketertinggalan daerah dapat dipecahkan melalui pengarahan proses ‘ transformasi sosialekonomi dan lingkungan fisik’ di dalam ‘ ruang ‘ wilayah dan kawasan’ ( transformasi ruang ), yang mampu menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi antar wilayah, keserasian lingkungan hidup & pemanfaatan sumberdaya alam, keseimbangan perkembangan antar wilayah, dan keserasian perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan, dengan dukungan pengaturan dalam penataan ruang dan pertanahan, penyediaan prasarana dan sarana, dan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah.
Daerah yang tertinggal pada umumnya memiliki kondisi kualitas
sumberdaya manusia yang relatif rendah, potensi sumberdaya alam yang terbatas atau belum dimanfaatkan secara optimal, aliran investasi yang rendah, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, dan kapasitas lembaga sosialekonomi yang kurang memadai. Faktor inilah yang menyebabkan suatu daerah tidak mampu menciptakan ‘keunggulan komparatif’, dan akibatnya kegiatan produksi kurang berkembang, sehingga kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat rendah. Bagaimanapun
di
banyak
negara,
fenomena
kesenjangan
perkembangan antar wilayah hampir selalu ada, namun setiap negara harus mampu melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan perkembangan antar wilayah sampai dengan titik batas toleransi yang disepakati secara politik. 5
Pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah identik dengan pemerataan kesejahteraan rakyat antar wilayah memerlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, yang didasari oleh adanya proses ’ akumulasi kapital ’ di masyarakat yang dihasilkan dari siklus investasi, produksi, pendapatan, konsumsi, tabungan, reinvestasi yang membumbung ( cyclonic ), sehingga terjadi peningkatan daya beli masyarakat ( purchasing
power ). Peningkatan pertumbuhan ekonomi membutuhkan pengembangan kegiatan
produksi
yang
menghasilkan
produk
yang
cepat
dapat
diperdagangkan ( tradeable product ) dan menciptakan nilai tambah yang tinggi ( value added ). Pada dasarnya elemen penting keberhasilan pemerataan kesejahteraan rakyat antar wilayah atau keseimbangan perkembangan antar wilayah adalah: (i) kebijakan pertumbuhan ekonomi (urbanisasi), (ii) pengembangan kawasan, (iii) integrasi ekonomi antar wilayah, (iv) pengelolaan tata ruang dan pertanahan, serta (v) pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah.
2.2
Ide Penerapan Paradigma Pembangunan Perdesaan Pembangunan perdesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat
fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah (Stiglitz, 2OO3). Proses transformasi sosialekonomi dan lingkungan fisik perdesaan atau proses pembangunan perdesaan terjadi di dalam ‘ruang’ kawasan perdesaan yang diarahkan untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif ( sejahtera ). Kemajuan masyarakat perdesaan tergantung dari: (i) adanya ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat, disertai dengan kemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi sosial, adaptasi budaya baru, dan proses transformasi sosialekonomi, dan (ii) adanya industrialisasi perdesaan melalui pemanfaatan teknologi, sehingga kegiatan usahanya lebih efisien dan produktif, dengan itu hasil keuntungan, pendapatan, dan daya beli masyarakat meningkat. Kondisi tersebut merupakan kondisi ‘ ideal ’ dari pola kegiatan ekonomi 6
yang menciptakan proses ‘ akumulasi kapital ’ di masyarakat perdesaan, dan hal tersebut berlangsung pada suatu tempat/lokasi perdesaan yang memiliki fasilitas pelayanan sosialekonomi, prasarana & sarana, potensi lahan & sumberdaya alam, dan daya dukung lingkungan yang memadai, serta berada di dalam konfigurasi sistem kawasan permukiman dan jaringan infrastruktur yang mendukung. Pembangunan perdesaan sangat penting bagi pembangunan daerah tertinggal, karena terbentuknya dan berkembangnya kehidupan masyarakat maupun kegiatan ekonomi pada suatu kawasan diawali oleh: (i) adanya kegiatan usaha primer (produksi bahan pertanian atau pemanfaatan sumberdaya alam) di desa, dan (ii) adanya kegiatan usaha dagang produk keluar dari desa akibat surplus produk. Hal inilah yang menyebabkan munculnya pusat pelayanan jasadistribusi (kota) yang membentuk hubungan ekonomi desakota ( ruralurban linkages ). Konfigurasi hubungan ekonomi antara desakota pada umumnya menjadi basis ‘ pertumbuhan ekonomi lokal ‘ di suatu daerah. Semakin besar intensitas hubungan ekonomi desakota yang saling menguntungkan akan semakin maju tahap perkembangan suatu kawasan ( urbanized ), baik perdesaan
maupun
perkotaan,
yang
berdampak
pada
pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa karakter kegiatan ekonomi di perkotaan tidak selalu memberikan keuntungan yang memadai bagi perkembangan ekonomi di perdesaan ( asymetric benefit) , karena pola kegiatan ekonomi perkotaan memperlakukan kawasan perdesaan sebagai daerah belakang ( hinterland) . Akibat perlakuan tersebut, timbul permasalahan
‘ struktural ’ kesenjangan kehidupan sosialekonomi dan lingkungan fisik antara kawasan perkotaan dan perdesaan ( urbanrural disparity ). Disamping
itu, kawasan perdesaan itu sendiri menghadapi permasalahan ‘ internal‘ ’ dalam kegiatan pertanian yang menjadi faktor penghambat perkembangan perekonomian perdesaan.
Pada dasarnya terdapat kondisi sosialekonomi dan problematik yang bersifat khusus pada berbagai tipologi kawasan perdesaan, seperti kawasan perdesaan pedalaman, pesisir, dan pulau kecil, sehingga diperlukan kebijakan dan program yang spesifik. Namun demikian, pada intinya kebijakan dan
7
program pembangunan perdesaan memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melakukan kegiatan produksi pertanian yang menguntungkan, sehingga pendapatan masyarakat perdesaan lebih terjamin dan lebih besar, dan terjadi peningkatan daya beli masyarakat perdesaan. Pada dasarnya perlakuan terhadap pembangunan perdesaan tidak cukup dengan melihat perkembangan perdesaan secara alamiah dan diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi diperlukan adanya kebijakan spesifik dalam pengelolaan mekanisme pasar yang lebih memihak pada perekonomian perdesaan ( rural economy) , pengaturan nilai tukar atau harga produk pertanian secara lebih benar ( right price ), serta perbaikan sistem dan transaksi perdagangan yang lebih adil ( fair trade ).
Dengan adanya kebijakan spesifik tersebut diharapkan terjadi pengaliran dan akumulasi investasi yang lebih signifikan di perdesaan, penguatan keterkaitan ekonomi kota dan desa, pengembangan kegiatan produksi pertanian secara modern, penciptaan tenaga kerja yang kreatif, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pengembangan kualitas lingkungan kawasan perdesaan. Untuk itu diperlukan penerapan paradigma pembangunan perdesaan yang bertumpu pada model ‘ pengkotaan perdesaan ’ ( rural urbanization ) yang melihat pentingnya pembangunan perdesaan yang terpadu, meliputi: pengembangan kualitas sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pengembangan kawasan permukiman, yang mampu menciptakan masyarakat perdesaan yang maju dan produktif. Sasaran model tersebut adalah: merubah kegiatan usaha pertanian yang tradisional menjadi modern, pendapatan yang tidak terjamin menjadi terjamin, dan merubah kawasan permukiman perdesaan yang berkarakter kota.
2.3 Ide Penerapan Model Bedah Desa Selama ini pemerintah telah melaksanakan berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan pembangunan perdesaan dan pengembangan sektor pertanian, namun masyarakat perdesaan masih tetap menghadapi ‘masalah’ struktural yang belum terpecahkan yakni, kemiskinan dan ketertinggalan. 8
Dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan perdesaan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal menawarkan suatu model ‘ alat bantu manajemen ’, yang disebut dengan model “ Bedah Desa ” ( rural intervention ).
Model bedah desa ini mempersyaratkan pengenalan dan analisis yang mendalam terhadap ‘ anatomi desa ’, yang meliputi: (i) struktur demografi masyarakat, (ii) karakteristik sosialbudaya, (iii) karakteristik lingkungan fisik/geografis, (iv) pola kegiatan usaha pertanian, (v) pola keterkaitan ekonomi desakota, (vi) struktur kelembagaan desa (pemerintahan, sosial, dan ekonomi), dan (vii) karakteristik kawasan permukiman. Penerapan model ‘ Bedah Desa ’ ini dimaksudkan untuk: (i) mengenali
problematik yang sebenarnya dan solusi yang tepat dalam pembangunan perdesaan, dan (ii) mengarahkan pengelolaan keterpaduan penyediaan ‘ input dan proses ’ kegiatan pelaksanaan pembangunan di perdesaan, melalui ‘ program pembangunan kawasan perdesaan terpadu (P2KPT).
9
BAB III ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 3.1
Sasaran Pembangunan Daerah Tertinggal Kabinet Indonesia Bersatu II menfokuskan sasaran program pada :
peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan . Secara keruangan ( spatial ), ketiga sasaran tersebut merefleksikan kebijakan pemerataan kesejahteraan rakyat antar wilayah atau pengurangan
kesenjangan perkembangan antar wilayah, melalui kebijakan pembangunan daerah tertinggal. Pembangunan daerah tertinggal merupakan kebijakan pemihakan (affirmative policy) terhadap daerahdaerah yang tingkat kemajuannya dibawah ratarata nasional.
Sasaran hasil ( outcomes ) pembangunan daerah tertinggal (2014)
adalah: (i)
meningkatnya pertumbuhan ekonomi lokal dan kesejahteraan rakyat di daerah tertinggal,
(ii) meningkatnya ketersediaan pelayanan transportasi dan telekomunikasi serta sarana dan prasarana lainnya di daerah terpencil, terluar, dan terdepan, (iii) terlaksananya penanganan rehabilitasi daerah pasca konflik dan bencana di daerah tertinggal, (iv) meningkatnya pelaksanaan pengembangan potensi daerah, dengan memanfaatkan otonomi daerah. Dengan sasaran dampak ( impact ) berkurangnya jumlah daerah
tertinggal, dengan indikator terentaskannya daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten dari 183 kabupaten tertinggal paling lambat 2014.
10
3.2
Strategi Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Untuk mencapai sasaran pembangunan daerah tertinggal tersebut
diatas, Visi ( achieveable dream ) pembangunan daerah tertinggal adalah: terwujutnya
daerah
tertinggal
menjadi
daerah
yang
wilayah dan
masyarakatnya maju dalam rangka ketahanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan Misi ( normative action to cope with the achieveable dream )
yang akan dijalankan adalah: (i) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, penyediaan infrastruktur, dan pengembangan kawasan secara terpadu, (ii) meningkatkan kegiatan investasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, dan (iii) menguatkan kapasitas lembaga daerah (pemerintah, usaha swasta, dan masyarakat). Untuk mewujutkan visi dan menjalankan misi tersebut diatas, prinsipprinsip dalam pembangunan daerah tertinggal adalah: pemerataan, keadilan, pemihakan, pemberdayaan, dan percepatan, kemitraan, dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam rangka pelaksanaan visi dan misi pembangunan daerah tertinggal, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal telah menetapkan 4 (empat) pilar strategi percepatan pembangunan daerah tertinggal , yaitu:
Pilar pertama, peningkatan kemampuan masyarakat dan
kemandirian daerah tertinggal , yang dilakukan melalui pelaksanaan kebijakan: (1) pengembangan ekonomi lokal, (2) pemberdayaan masyarakat, (3) penyediaan infrastruktur kawasan, dan (4) penguatan kapasitas lembaga atau organisasi pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat;
Pilar kedua, optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya
wilayah di daerah tertinggal, yang dilakukan melalui pelaksanaan kebijakan: (1) inventarisasi potensi sumberdaya wilayah, (2) peningkatan promosi investasi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, (3) penguatan forum kerjasama antar daerah dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, dan (4) pengembangan kawasan produksi di perdesaan;
11
Pilar ketiga, penguatan integrasi ekonomi antara daerah
tertinggal dan daerah maju , yang dilakukan melalui pelaksanaan kebijakan: (1) pengembangan jaringan ekonomi antar wilayah, (2)
pengembangan prasarana antar wilayah, dan (3) pengembangan pusatpusat pertumbuhan ekonomi daerah. Pilar keempat, penanganan daerah khusus, yang dilakukan melalui
pelaksanaan kebijakan: (1) penyediaan akses pelayanan transportasi dan telekomunikasi, serta sarana & prasarana lainnya ke daerah terpencil, terluar, dan terdepan/perbatasan, (2) penanganan rehabilitasi daerah pasca konflik dan bencana, dan (3) pengembangan kawasan potensial (kota penyangga, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri terpadu, dan kawasan perbatasan), dan (4) pembangunan kawasan perdesaan terpadu. 3.3
Prioritas Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal Dengan mempertimbangan kriteria ‘ daya ungkit ’ terhadap: (i)
peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal, (ii) pengurangan kemiskinan dan pengangguran, (iii) pengembangan kawasan yang memiliki permasalahan khusus, dan (iv) penguatan integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan maju, pilihan kebijakan prioritas pembangunan daerah tertinggal pada periode 20092014 adalah: 1. Peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah ( regional resources ) , dengan rencana
aksi: (1) inventarisasi potensi
sumberdaya wilayah; (2) promosi investasi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah; (3) penguatan kapasitas daerah dalam pengelolaan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah; dan (4) penguatan kerjasama antar daerah dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah ( regional management ). 2. Peningkatan penyediaan infrastruktur daerah ( regional infrastructure ), dengan rencana aksi: (1) penyediaan pelayanan sarana sosial dasar dan utilitas (pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik, telekomunikasi); (2) penyediaan prasarana dasar kawasan (jalan, embung, irigasi, pasar, dermaga, airstrip, berikut sarana transportasi); dan (3) fasilitasi
12
pengembangan jaringan infrastruktur antar kawasan/wilayah. 3. Peningkatan perekonomian dan investasi daerah ( invesment) ,
dengan rencana aksi: (1) pembinaan pengembangan ekonomi lokal,
(2)
penyusunan rencana investasi daerah, (3) peningkatan kerjasama investasi, (4) pengembangan jaringan sarana distribusi dan perdagangan antar wilayah; dan (5) pengembangan kawasan produksi. 4. Penguatan lembaga daerah ( local institution ) , dengan rencana
aksi: (1) penguatan kapasitas lembaga pemerintah daerah, (2) penguatan kapasitas lembaga dunia usaha dan organisasi masyarakat setempat, dan (3) peningkatan pemberdayaan masyarakat.
5. Penanganan pengembangan daerah khusus ( special area ) ,
dengan rencana aksi: (1) pemantapan penyediaan bantuan pembangunan daerah tertinggal dan khusus (terpencil, terluar, terdepan, daerah pasca konflik dan bencana, (2) pengembangan dan pemanfaatan lahan, (3) pengembangan kawasan potensial (kota penyangga, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri terpadu, dan perbatasan), dan (4) pembangunan kawasan perdesaan terpadu. 3.4
Instrumen Pelaksanaan Kebijakan Khusus Untuk mengefektifkan pelaksanaan kebijakan pembangunan daerah
tertinggal melalui dukungan kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat, dalam hal ini Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal mengembangkan instrumen pelaksanaan kebijakan khusus, yang meliputi: 1.
Penyediaan bantuan program pembangunan daerah tertinggal dan khusus; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: penyediaan bantuan ’block grant’ untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, penyediaan infrastruktur kawasan, fasilitasi peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta penguatan kapasitas organisasi pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat (dengan sasaran lokasi pada daerah terpencil, terluar, dan terdepan, serta daerah pasca bencana/konflik);
13
2.
Penyediaan
bantuan
program
pembangunan
infrastruktur
perdesaan; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan bantuan penyediaan sarana sosial dasar dan utilitas (pendidikan, kesehatan, air bersih & sanitasi, energi listrik, telekomunikasi) dan (2) penyediaan bantuan infrastruktur kawasan perdesaan (jalan desa/poros desa, embung, irigasi, pasar, terminal, airstrip, dermaga sungai/laut, berikut penyediaan alat angkutan darat/sungai/laut/udara); 3.
Penyediaan bantuan pengembangan kawasan produksi; dengan katagori
kegiatan
sebagai
berikut:
(1)
penyediaan
bantuan
pengembangan kawasan produksi dalam kegiatan usaha: pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata, dan (2) pengembangan industri pengolahan dan pendukung, yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. 4.
Penyediaan bantuan penguatan forum kerjasama antar daerah ; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan bantuan pengelolaan forum kerjasama antar daerah dalam pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, (2) fasilitasi promosi pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah, dan (3) fasilitasi penyiapan paket investasi dalam pemanfaatan
potensi
sumberdaya
wilayah
dan
pembangunan
infrastruktur antar daerah. 5.
Penyediaan bantuan pemberdayaan masyarakat ; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) fasilitasi penguatan kapasitas organisasi
dunia usaha dan organisasi masyarakat, dan (2) penyediaan bantuan pemberdayaan masyarakat di perdesaan; 6.
Penyediaan bantuan program pembangunan kawasan perdesaan terpadu ; dengan katagori kegiatan sebagai berikut: (1) penyediaan bantuan manajemen untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan peran dunia usaha dan perbankan; (2) penyediaan bantuan tenaga pendamping masyarakat, (3) penyediaan bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk melaksanakan penyediaan prasarana dan sarana desa secara swakelola; dan (4) penyediaan dana penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) untuk meningkatkan akses kredit bagi kelompok usaha masyarakat; dengan sasaran pada ’kecamatan’ potensial di daerah tertinggal dengan lokus kawasan desa.
14
BAB IV ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERDESAAN 4.1 Problematik Pembangunan Perdesaan Berbagai kebijakan pembangunan perdesaan telah dijalankan oleh pemerintah, namun demikian pada kenyataannya masyarakat yang tinggal di kawasan perdesaan tetap menghadapi masalah yang bersifat struktural, yakni: (i) kualitas kehidupan masyarakat yang rendah, (ii) kegiatan ekonomi yang stagnan, (iii) pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, (iv) ketersediaan pelayanan sarana dan prasarana perdesaan yang terbatas dan dengan standar pelayanan yang rendah, dan (v) kualitas lingkungan kawasan permukiman yang buruk. Problematiknya adalah: (i) adanya regulasi yang menghambat perkembangan
perekonomian
perdesaan dan
inovasi
pengembangan
komoditas unggulan lokal, (ii) adanya pola penyediaan pelayanan publik dan pelaksanaan kegiatan pembangunan di perdesaan yang bersifat ‘ fragmented’ , (iii) adanya keterbatasan akses masyarakat terhadap kapital, input produksi, dan jaringan pemasaran produk pertanian, disertai dengan ketidakpastian jaminan harga produk pertanian secara benar ( right price ).
4.2
Paradigma Baru Pembangunan Perdesaan Pada dasarnya proses transformasi sosialekonomi, dan lingkungan fisik
perdesaan terjadi di dalam ‘ruang’ kawasan perdesaan yang diarahkan untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif ( sejahtera) . Persyaratan pokok keberhasilan pembangunan perdesaan adalah: (i) masyarakat perdesaan harus mendapat akses pemenuhan hak dasar rakyat yang memadai, (ii) sistem perekonomian perdesaan harus mendorong kedaulatan ekonomi rakyat perdesaan, dan (iii) penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat perdesaan harus dipenuhi secara layak dan dengan standar yang memadai. Untuk itu diperlukan adanya adopsi paradigma baru , dalam 15
pembangunan perdesaan, melalui penerapan model pengkotaan perdesaan atau ruralurbanization , yang memperlakukan: (i) pengembangan kawasan perdesaan dan perkotaan sebagai kesatuan sistem ekonomi dan permukiman, (ii)
modernisasi
perekonomian
perdesaan,
melalui
mekanisasi dan
industrialisasi pertanian, dan (iii) penerapan standar pelayanan minimum (SPM) yang tidak dibedakan antara perdesaan dan perkotaan. Penerapan model ‘pengkotaan perdesaan’ ( rural urbanization ) melihat
pentingnya pelaksanaan pembangunan perdesaan yang terpadu, meliputi: pengembangan kualitas sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pengembangan kawasan permukiman, yang mampu menciptakan masyarakat perdesaan yang maju dan produktif ( urbanized ). Model ini memiliki sasaran, yaitu: merubah usaha pertanian yang tradisional menjadi modern, pendapatan yang tidak terjamin menjadi terjamin, dan kawasan perdesaan yang berkarakter kota.
4.3
Konsep Pengembangan Perekonomian Perdesaan Kegiatan ekonomi perdesaan merupakan bagian dari kegiatan ekonomi
16
nasional yang melibatkan keterkaitan kegiatan ekonomi antara perkotaan dan perdesaan
( urbanrural
economic linkages ). Pengembangan
ekonomi
perdesaan merupakan bagian dari ekonomi lokal, yang merupakan pendekatan
pengembangan kegiatan ekonomi yang bertumpu pada
pemanfaatan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, teknologi, dan kelembagaan lokal. Proses transformasi masyarakat perdesaan atau pembangunan perdesaan memiliki sasaran yaitu: terciptanya masyarakat desa yang maju dan produktif ( sejahtera ). Sesuai dengan paradigma ‘ ruralurbanization ’ tersebut di atas, maka ‘ konsep ’ pengembangan perekonomian perdesaan untuk mencapai sasaran tersebut adalah: 1.
Pengembangan perekonomian perdesaan berbasis ekonomi rakyat, melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam, pengembangan kegiatan ‘onfarm’ dan ‘offfarm’, dan industrialisasi pertanian yang ramah lingkungan;
2.
Penggunaan teknologi produksi/pertanian yang tepat guna untuk menjamin kualitas produk, efisiensi produksi, dan daya saing usaha;
3.
Pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat dengan dukungan dunia usaha dan lembaga keuangan (Bank dan LKM);
4.
Pengembangan kegiatan investasi pada produksi komoditas yang memiliki siklus hidup yang panjang ( long life product cycle) , berbasis
sumber daya yang terbarukan, harga komoditi yang tinggi, dan permintaan pasar yang besar/terjamin (domestik dan ekspor); 5.
Pembuatan paket investasi pada kegiatan produksi skala luas/besar untuk mempermudah pengerahan dana dan kelayakan usaha, namun tetap dimiliki dan dikelola oleh masyarakat;
6.
Adopsi industri klaster untuk mendukung mata rantai proses produksi, pengolahan, dan pemasaran, diversifikasi produk, nilai tambah produk, dan penciptaan pekerja kreatif (kawasan produksi/agroindustri).
4.4 Strategi Pembangunan Perdesaan Atas dasar pemahaman terhadap paradigma pembangunan perdesaan dan konsep pengembangan ekonomi perdesaan tersebut di atas, pada 17
dasarnya sasaran pembangunan perdesaan adalah untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif ( sejahtera ). Untuk mencapai sasaran tersebut, dipilih 3 (tiga) pilar strategi pembangunan perdesaan sebagai landasan proses transformasi masyarakat perdesaan, yaitu: Pilar pertama, pengembangan kualitas sumberdaya manusia,
yang dilaksanakan melalui kebijakan peningkatan akses keluarga untuk memperoleh pelayanan sosial dasar, khususnya pelayanan pendidikan dan kesehatan, dengan sasaran untuk meningkatkan produktifitas tenaga dan kualitas hidup keluarga.
Pilar kedua, pemberdayaan ekonomi rakyat , yang dilaksanakan
melalui kebijakan penyediaan akses kelompok usaha masyarakat terhadap
investasi/kapital, pemilikan aset tanah, masukan sumberdaya produksi, teknologi produksi/pertanian, dan lembaga ekonomi, dengan sasaran untuk menciptakan peluang usaha, kesempatan kerja, dan pendapatan masyarakat secara terjamin. Pilar
ketiga,
pengembangan
kawasan permukiman , yang
dilaksanakan melalui kebijakan penataan ruang kawasan, pengembangan lahan, penyediaan pelayanan perumahan berikut prasarana dan sarana lingkungan, dengan sasaran untuk mengembangkan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan permukiman perdesaan yang teratur dan fungsional ( urbanized ).
4.5
Penerapan Model Bedah Desa Dalam rangka pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan tersebut
diatas, diperlukan suatu alat bantu ( toolkit ) manajemen dalam pelaksanaan 18
pembangunan perdesaan, yang mampu menciptakan masyarakat perdesaan yang maju dan produktif dan kualitas kawasan perdesaan yang fungsional dan teratur. Secara konseptual yang disebut alat bantu ( toolkit ) adalah satu
perangkat konsep, ide, cara berpikir, dan cetusan intelektual untuk memahami, serta menggali dan melakukan tindakan atas problematik dengan lebih mudah dan akurat. Analogi suatu alat bantu adalah seperti palu, gergaji, mesin bor, dan obeng, dan juga sebagai perangkat pendekatan, teknik, dan manual cara kerja. Alat bantu manajemen dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan yang dimaksud adalah model “ Bedah Desa ” ( rural intervention ), yang digunakan untuk mengenali problematik sebenarnya dan solusi yang tepat dan konprehensif dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan. Hal tersebut diawali dengan cara mengenali dan menganalisis secara mendasar terhadap ‘ anatomi desa ’, yang meliputi: (i) struktur demografi masyarakat, (ii)
karakteristik sosialbudaya, (iii) karakteristik lingkungan fisik/geografis, (iv) pola kegiatan usaha pertanian (onoff farm), (v) pola keterkaitan ekonomi desakota, (vi) struktur kelembagaan desa (pemerintahan, sosial, dan ekonomi), dan (vii) karakteristik kawasan permukiman. Tujuan penerapan model ‘ bedah desa ’ adalah menyediakan kerangka
pendekatan pengelolaan keterpaduan penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan yang diarahkan untuk: (1) meningkatkan kualitas kehidupan dan pendapatan masyarakat perdesaan (masyarakat maju), (2) mengembangkan kegiatan produksi perdesaan (masyarakat produktif), (3) memperkuat kapasitas lembaga perdesaan
(masyarakat terorganisir), dan (4) mengembangkan fungsi & kualitas kawasan permukiman perdesaan (desa yang berkarakter kota). Sebagai penjelasan lebih lanjut, bahwa penyediaan ‘input’ kegiatan pelaksanaan pembangunan perdesaan yang dimaksud diatas meliputi: Pertama, input regulasi/insentif , yang terdiri dari: (1) pemberdayaan 19
masyarakat desa, (2) pemanfaatan potensi lahan/SDA, (3) penyediaan akses kapital/kredit usaha, (4) pengaturan jaminan harga produk yang benar, (5) pengaturan akses penampungan dan pemasaran produk, (6) pengembangan kelembagaan ekonomi desa, (7) penetapan standar pelayanan minimum, dan (8) pemanfaatan ruang dan pengelolaan pertanahan. Kedua, input pelayanan umum, yang terdiri dari: (1) penyediaan
pelayanan pendidikan, (2) penyediaan pelayanan kesehatan, (3) pembinaan usaha ekonomi produktif, (4) pembinaan kelompok usaha masyarakat, (5) pembinaan kemitraan usaha, (5) penyediaan akses modal/kredit usaha, (6) penyediaan sarana produksi, pengolahan, & pemasaran, (7) penyiapan lahan siap bangun, dan (8) penyediaan prasarana & sarana desa (jalan desa/poros desa, energi listrik, telekomunikasi, air bersih, sanitasi, embung, irigasi, pasar, terminal, dermaga, dan angkutan perdesaan). Ketiga, input kegiatan investasi , yang terdiri dari: (1) pengerahan
dana investasi, (2) penyiapan paket investasi, (3) pembuatan studi kelayakan investasi, (4) penyediaan penjaminan kredit usaha, (5) penyediaan tenaga pendamping (BDS), (6) penyediaan kredit usaha dan input produksi, (7) pelaksanaan proses produksi/usaha, dan (8) pengelolaan pengembalian kredit usaha. Sementara itu, ‘proses’ kegiatan pelaksanaan pembangunan perdesaan yang dimaksud adalah: (1) penetapan kebijakan dan pembuatan skema program di tingkat pusat dan daerah, (2) penyusunan rencana penyediaan input kegiatan terpadu, (3) penyusunan rencana tata ruang dan penggunaan tanah, (4) penyiapan organisasi pelaksana di daerah, (5) penyiapan kelompok masyarakat, (6) penyiapan rencana pelaksanaan kegiatan, (7) pengelolaan pelaksanaan kegiatan, dan (8) monitoring dan evaluasi kegiatan.
20
BAB V PROGRAM PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN TERPADU 5.1 Dasar Pemikiran Program Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa penerapan model bedah desa bertujuan untuk menciptakan kerangka pendekatan pengelolaan keterpaduan penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan. Argumentasinya adalah mekanisme perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perdesaan terjadi secara ‘ fragmented ’, padahal masyarakat perdesaan membutuhkan ‘input’ kegiatan yang terpadu dan ‘proses’ pelaksanaan kegiatan yang sinergis pada lokus kawasan perdesaan. Model
‘ ruralurbanization’ menegaskan
pentingnya
‘tindakan’
pelaksanaan pembangunan perdesaan yang terpadu, meliputi: pengembangan kualitas
sumberdaya manusia,
pemberdayaan ekonomi rakyat, dan
pengembangan kawasan permukiman, yang dilaksanakan untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif, suatu proses ‘pengkotaan kehidupan
masyarakat
perdesaan’,
melalui
pelaksanaan
program
pembangunan kawasan perdesaan terpadu.
5.2
Tujuan dan Lingkup Kegiatan Program Program pembangunan kawasan perdesaan terpadu bertujuan untuk:
(1) meningkatkan kualitas kehidupan dan pendapatan masyarakat perdesaan , (2) pengembangan kegiatan produksi perdesaan , (3) memperkuat kapasitas lembaga perdesaan , dan (4) mengembangkan fungsi & kualitas kawasan permukiman perdesaan.
Untuk melaksanaan tujuan tersebut, dikembangkan skema ‘ bantuan program ’ pembangunan kawasan perdesaan terpadu terdiri dari katagori kegiatan:
21
1.
penguatan
kapasitas
pemerintah daerah untuk
melaksanakan
pengelolaan program pembangunan perdesaan terpadu; 2.
penyediaan bantuan manajemen untuk mengerahkan peran dunia usaha dan perbankan dalam rangka mendukung kelompok usaha masyarakat untuk mengembangkan kegiatan usaha ekonomi produktif;
3.
penyediaan
bantuan
tenaga
pendamping
masyarakat
untuk
melaksanakan kegiatan: penyiapan kelompok usaha masyarakat, pengembangan dan pemanfaatan lahan usaha, pengembangan usaha dan pembuatan paket investasi, penyediaan akses kredit usaha dan pengerahan input produksi, pengelolaan usaha ekonomi desa , dan pengelolaan pemanfaatan bantuan langsung masyarakat; 4.
penyediaan bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk melaksanakan penyediaan prasarana dan sarana desa secara swakelola;
5.
penyediaan dana penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) untuk meningkatkan akses kredit bagi kelompok usaha masyarakat.
Sesuai dengan tujuan dan katagori kegiatan bantuan program tersebut diatas, lingkup kegiatan pelaksanaan program pembangunan kawasan perdesaan terpadu meliputi: 1.
penyediaan sistem pengelolaan pelaksanaan program terpadu, yang terdiri dari: (i) pengembangan kualitas sumberdaya manusia, (ii) pemberdayaan ekonomi rakyat, dan (iii) pengembangan kawasan permukiman perdesaan.
2.
komponen kegiatan pelaksanaan (9 item), yang terdiri dari: (1) penyediaan bantuan manajemen (pengelolaan input), (2) penyediaan tenaga bantuan manajemen dan tenaga pendamping masyarakat, (3) sosialisasi dan penyiapan organisasi masyarakat setempat, (4) pengembangan pola usaha dan komoditas unggulan, (5) penyiapan paket investasi dan kredit usaha, (6) pengelolaan usaha ekonomi desa, (7) penyiapan dan pengembangan lahan siap bangun, (8) penyediaan prasarana & sarana desa, dan (9) penataan kawasan permukiman perdesaan.
3.
22
sasaran kegiatan pelaksanaan, yang meliputi: pertama , sasaran
katagori desa, yang meliputi: desa pertanian pangan, desa perkebunan, desa hutan tanaman industri, desa peternakan, desa nelayan/pesisir, desa wisata, dan desa pusat pelayanan permukiman; dan kedua , sasaran lokasi kegiatan pelaksanaan: pada ‘kecamatan’ potensial dengan lokus pada ‘desa’ di kawasan pedalaman, pesisir, pulau kecil, dan perbatasan. 4.
proses kegiatan pelaksanaan, terdiri dari tahap: (i) sosialisasi di tingkat pusat dan daerah, (ii) penyiapan kesepakatan ‘input’ kegiatan dari pelaku berkepentingan, (iii) penyusunan rencana tata ruang & penggunaan tanah, (iv) penyusunan rencana kegiatan terpadu (9 item),
(v)
penyiapan
kelompok
masyarakat,
(vi) penyiapan
pelaksanaan, (vii) pengelolaan pelaksanaan, dan (viii) monitoring dan evaluasi. Dengan melihat lingkup kegiatan pelaksanaan program pembangunan kawasan perdesaan terpadu tersebut, diperkirakan 1 (satu) unit desa (dengan 500 Kepala Keluarga/KK atau jumlah penduduk 2.000 jiwa) membutuhkan input kegiatan awal ( initial input ) dengan nilai investasi sekitar Rp. 30 milyar per desa. Struktur pembiayaan investasi per unit desa tersebut mengandalkan ‘sumber’ pembiayaan yang diperoleh dari: (i) anggaran pemerintah sebesar Rp. 15 milyar yang disalurkan dalam bentuk paket bantuan proyek dan paket bantuan langsung masyarakat (BLM), dan (ii)
dana perbankan dalam
bentuk kredit usaha rakyat atau kredit umum perbankan sebesar Rp. 15 milyar yang disalurkan ke Badan Usaha Koperasi (BUK). Pemerintah menyediakan jaminan kredit usaha rakyat bagi kelompok usaha masyarakat. Untuk pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif lebih lanjut oleh masyarakat, pada lahan 1.000 ha (milik 500 Kepala Keluarga), diperlukan kucuran kredit usaha rakyat berkisar antara Rp. 35 Rp. 50 milyar, dengan asumsi plafon penyediaan kredit perluasan/peremajaan tanaman perkebunan adalah sebesar Rp. 35 50 juta per ha. 23
5.3 Skema Integrasi Input dan Proses Kegiatan Program Skema integrasi penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan pelaksanaan program pembangunan kawasan perdesaan terpadu pada ‘setiap desa’ selama minimal (3) tiga tahun adalah sebagai berikut: Pertama , komponen input kegiatan pelaksanaan program terdiri dari:
(1) penyediaan bantuan manajemen (pengelolaan input kegiatan), (2) penyediaan tenaga bantuan manajemen dan tenaga pendamping masyarakat, (3) sosialisasi dan penyiapan organisasi masyarakat setempat, (4) penyiapan dan pengembangan lahan siap bangun, (5) pengembangan pola usaha dan komoditas unggulan, (6) penyiapan paket investasi dan kredit usaha, (7) pengelolaan usaha ekonomi desa, (8) penyediaan prasarana & sarana desa, dan (9) penataan kawasan permukiman perdesaan. Kedua , instansi penyedia input kegiatan terdiri dari: (1) Kementerian
Pembangunan
Daerah
Tertinggal
(sebesar
Rp.
3
milyar),
Kementerian/Lembaga terkait (sebesar Rp. 10 milyar), (3)
(2)
Pemerintah
Daerah (sebesar Rp. 1 milyar), (4) usaha swasta (sebesar Rp.1 milyar), dan (5) perbankan (kredit sebesar Rp. 15 milyar). Ketiga , pada setiap kecamatan akan disediakan SubPIU dan tenaga
konsultan atau fasilitator (tenaga pendamping masyarakat) untuk membantu pengelolaan penyediaan ‘input dan proses’ kegiatan, bersama dengan pihak pelaku
berkepentingan
yang
terlibat
dalam
pelaksanaan
program
pembangunan kawasan perdesaan terpadu. 5.4
Mekanisme Pelaksanaan Program Pemerintah Pusat bertugas untuk mengatur proses koordinasi
pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan pembiayaan skema program, dan pengerahan penyediaan input kegiatan dari kementerian/lembaga, serta bertugas menetapkan alokasi bantuan program, menerbitkan pedoman umum dan petunjuk teknis pelaksanaan program, dan menyediakan bantuan 24
manajemen pelaksanaan program pembangunan perdesaan terpadu di tingkat propinsi dan kabupaten. Pemerintah Provinsi bertugas untuk mengatur proses koordinasi pelaksanaan program, sinkronisasi penyediaan input kegiatan, menilai usulan program dari kabupaten, pengesahan penyaluran bantuan program, serta bertugas mengawasi efektifitas ‘komponen input kegiatan pelaksanaan program’ dan ‘proses kegiatan pelaksanaan program’, serta ketepatan sasaran lokasi kegiatan program di tingkat kabupaten (pada kecamatan potensial dengan lokus desa). Komponen input kegiatan pelaksanaan program (9 item) terdiri dari: (1) penyediaan bantuan manajemen (pengelolaan input kegiatan), (2) penyediaan tenaga bantuan manajemen dan tenaga pendamping masyarakat, (3) sosialisasi dan penyiapan organisasi masyarakat setempat, (4) penyiapan dan pengembangan lahan siap bangun, (5) pengembangan pola usaha dan komoditas unggulan, (6) penyiapan paket investasi dan kredit usaha, (7) pengelolaan usaha ekonomi desa, (8) penyediaan prasarana & sarana desa, dan (9) penataan kawasan permukiman perdesaan. Proses kegiatan pelaksanaan program, terdiri dari tahap: (i) sosialisasi di tingkat pusat dan daerah, (ii) penyiapan kesepakatan ‘input’ dari pelaku berkepentingan, (iii) penyusunan rencana tata ruang & penggunaan tanah, (iv) penyusunan rencana kegiatan terpadu (9 item tersebut diatas), (v) penyiapan
kelompok
masyarakat, (vi) penyiapan pelaksanaan, (vii)
pengelolaan pelaksanaan, dan (viii) monitoring dan evaluasi. Sasaran lokasi kegiatan program adalah ‘kecamatan potensial’ dengan lokus desa, yang terpilih sesuai kriteria lokasi desa dan masyarakat setempat memiliki minat untuk melaksanakan program. Pemerintah Kabupaten bertugas untuk: (i) melaksanakan program pembangunan kawasan perdesaan terpadu, sesuai pedoman umum dan petunjuk teknis pelaksanaan, dengan membentuk unit pelaksana proyek (Proyek Implementation Unit/PIU) di tingkat kabupaten dan SubPIU di tingkat kecamatan; dan (ii) melaksanakan pengelolaan tenaga pendamping masyarakat (TPM) yang bertugas membantu masyarakat dalam: (1) pengelolaan pemanfaatan bantuan langsung masyarakat (BLM) bagi kelompok masyarakat untuk melaksanakan penyediaan prasarana dan sarana perdesaan 25
secara swakelola, dan (2) pengelolaan pemanfaatan kredit usaha atau kredit umum bagi kelompok usaha masyarakat dalam pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif. Secara khusus, Pemerintah Kabupaten bertugas untuk (i) melakukan kerjasama dengan perbankan untuk memberikan fasilitas kredit usaha rakyat atau kredit umum, dan sekaligus membentuk Lembaga Keuangan Mikro ( melalui linkages program ), dan (ii) menyediakan tenaga pendamping masyarakat
(TPM)
untuk
melaksanakan
sosialisasi
masyarakat,
pengembangan dan pemanfaatan lahan usaha pertanian, pengembangan usaha dan paket investasi, penyediaan kredit usaha dan input produksi, pengelolaan usaha ekonomi desa, dan menfasilitasi pembuatan perjanjian kemitraan dengan usaha swasta, baik sebagai penyedia dana, pengelola usaha kemitraan, dan pembeli produk. . Kelompok usaha masyarakat setempat, dengan bantuan tenaga pendamping, mengusulkan rencana pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif, penentuan komoditas unggulan, penyiapan lahan usaha, pola usaha pertanian, dan paket investasi.
5.5
Struktur Organisasi Pelaksanaan Program Struktur organisasi terdiri dari Tim Manajemen tingkat pusat, propinsi,
dan kabupaten, yang dilengkapi dengan unit pengelola proyek (Project Management Unit/PMU) pada tingkat pusat dan provinsi, dan unit pelaksana proyek (Project Implementation Unit/PIU) pada tingkat kabupaten dan kecamatan. Pada tingkat kabupaten, PIU bertugas mengelola kegiatan perencanaan dan pelaksanaan semua input kegiatan dari kementerian lembaga, pemerintah daerah, usaha swasta, perbankan, dan masyarakat. Disamping itu PIU 26
bertugas menfasilitasi Bank dan Lembaga Keuangan Mikro untuk menyediakan akses kredit bagi kelompok usaha masyarakat melalui Badan Usaha Koperasi atau Badan Usaha Desa. Pada tingkat kecamatan, dibentuk SubPIU yang bertugas melaksanakan kegiatan yang dilakukan bersama dengan kelompok masyarakat, dan dibantu oleh tenaga pendamping masyarakat (TPM). Tenaga pendamping masyarakat (TPM) bertugas untuk membantu kelompok masyarakat dalam perencanaan, pemrograman, dan pelaksanaan kegiatan, dan memadukan input kegiatan dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pengembangan kawasan permukiman perdesaan. 5.6
Kebutuhan Dana Pelaksanaan Program Untuk tahap pertama ini, kebutuhan dana pelaksanaan program
pembangunan kawasan perdesaan terpadu selama (3) tiga tahun untuk menangani 300 desa di 75 kabupaten adalah sebesar Rp. 2,3 triliun yang alokasi secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
KE BU TU HA N DA NA PE LA KS 27
AN AA N PR OG RA M (SE LAM A 3 TAH UN)
BANT UAN LANG SUNG Komp onen Bant uan Progr am deng an sasar an lokasi 300 desa di 75 kabu paten Peny ediaa n bantu an mana jeme n untuk peng uatan kapa sitas peme rinta h daera h dala m
28
Alokasi (Juta Rp.)
35.000
29
pemb angu nan kawa san perde saan terpa du Peny ediaa n bantu an mana jeme n untuk penin gkata n peran dunia usah a dan perba nkan dala m mend ukun g peng emba ngan kegia tan usah a ekon omi prod uktif di perde saan peny ediaa n bantu an tenag a pend ampi ng untuk kelo mpok usah
25.000
90.000
a masy araka t dala m rangk a pelak sana an kegia tan :
30
Sosialisasi dan (i) penyiapan kelompok masyarakat Pengemban gan dan (ii) pemanfaata n lahan usaha Pengemban gan usaha dan (iii) penyiapan paket investasi penyediaan akses kredit (iv) usaha dan input produksi pengelolaan usaha (v) ekonomi desa peny ediaa n dana bantu an langs ung masy araka t untuk mem bang un saran a sosial dasar , utilita s,
900.000
31
prasa rana saran a, dan penyi apan lahan siap bang un (3 Milya r / Desa ) Peny ediaa n dana penja mina n kredit usah a rakya t (KUR ) untuk meni ngkat kan akses kredit bagi kelo mpok usah a masy araka t (nilai tangg ung kredit 10% melal ui Askri ndo / Jasin do) TOTA L BANT UAN LANG SUN
750.000
1.800.000
G DANA OPER ASIO NAL KEGI ATAN IMPL EMEN TING SUPP ORT PELA TIHA N, STUD I, PEMA NTAU AN DAN EVAL UASI GRA ND TOTA L
90.000
362.993
55.549
2.308.542
5.7 Penutup Kebijakan pembangunan perdesaan merupakan suatu kebijakan strategis untuk menciptakan masyarakat desa yang maju dan produktif ( sejahtera ). Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan tersebut, diperlukan penerapan model alat bantu ( toolkit ) manajemen, disebut dengan model ‘ Bedah Desa ’, yang digunakan untuk mengelola integrasi 32
penyediaan ‘ input dan proses ’ kegiatan pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan terpadu, yang diharapkan dapat merubah kondisi kehidupan sosialekonomi masyarakat dan kualitas lingkungan kawasan perdesaan yang fungsional dan teratur. Skema program pembangunan kawasan perdesaan terpadu
( Integrated Rural Area Development Program ) merupakan instrumen pelaksanaaan kebijakan khusus dalam rangka mempercepat pembangunan
daerah tertinggal, yang diharapkan mampu menjadi ‘lokomotif’ untuk memperkuat fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan perkembangan antar wilayah di Indonesia.
33