KERAJINAN SHALAT DI MASJID DAN KEBAHAGIAAN PADA REMAJA DI YOGYAKARTA Choirul Anam Universitas Ahmad Dahlan Abstrak Kebahagiaan remaja dapat menjadi tolok ukur upaya mengatasi masalah-masalah yang sering dihadapi remaja. Oleh karena itu perlu dicari sumber-sumber kebahagiaan dalam kaitannya dengan kegiatan agama dan kedekatan rumah tinggalnya dengan pusat kegiatan agama: masjid, perlu diteliti. Penelitian ini ingin mengetahui peran kerajinan shiolat berjamaah di masjid dan kedekatan rumahnya dengan masjid dalam kebahagiaan hidup remaja. Sampel diambil dari daerah-daerah konsentrasi remaja dan mahasiswa yakni daerah tepian kota Yogyakarta yang ada kampus perguruan tinggi. Secara random dipilih tiga dusun di antara konsentrasi-konsentrasi tersebut. Variabel independen (kerajinan shalat dan proksimitas rumah-masjid) diungkap dengan angket. Sedang variabel dependen (kebahagiaan), diungkap dengan suatu skala. Analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui peran kedua variabel independen adalah melalui korelasi : analisis regreasi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada peran secara bersama proksimitas rumah dan masjid dan kerajinan shalat di masjid dalam kebahagiaan hidup remaja. Peran kedua variabel independen tersebut sebesar 19,8 prosen terhadap kebahagiaan. Kerjinan shalat di masjid, demikian juga, memiliki peran yang cukup terhadap kebahagiaan yakni sebesar 9,94 prosen. Namun peran proksimitas rumah-masajid secara empirik, tidak terbukti ada. Kata-kata kunci : proksimitas rumah-masjid, kebahagiaan.
Abstract Teenager’s happiness can be a measure to resolve problems that often happen in teenager. Therefore, it need to find sources of happiness in relarion to religious activity and distance beetwen homr snd centre of religious activity, mosque. This research wanted to know role of home proximity jointly praying diligence at mosque in teenager’s happiness. Home-mosque proximity will to atmospher religuiousity. Praying diligence at mosue will go to spring up social activity. So then, this research hypothesis that home-mosque proximity and praying diligence at mosque was role in teenagers happiness. Population of this research was all teenagers and student around Yogyakarta. Sample wa gathererd from regions of teenagers and student concentration, they were pheriphery region of Yogyakarta city where found haiger education there. They were chosen randomly in three vallage among those concentrations. Independent variables (including praying diligence and home-masque proximity) were explored by questionare. While dependent variable (including happiness) was explored by a scale. Statistical analysis used to know role of both independent was correlation and regression analysis. \ 34[ [
HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
Result of the research indicated that there was jointly role of home-masque pxoimity and praying diligence at mosque in teenager’s happiness. Role of both independent variable was 19.8 percent on happiness. Praying diligence at mosque as well as hed been enough role in happiness, 9.94 percent. But role home-mosque proximity empirically not proved. Keyword: home-mosque proximity, happiness
Pendahuluan Manakah yang lebih mungkin terjadi perbuatan baik, pada orang yang bahagia atau yang sedang sedih ? Dalam diskusi yang panjang, Myers (1999) menyimpulkan bahwa perbuatan baik, jauh lebih mungkin terjadi pada orangorang yang berbahagia. Orang yang memiliki mood positif, akan memunculkan pemikir yang positif, selanjutnya akan melahirkan perialakuperilaku yang positif juga. Myers (1999) menyatakan: happy people are helpful people. Hanya orang yang merasa mengalaami bahagia akan melakukan pertolongan pada orang lain. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa : positive thinkers are lakely to be positive actors. Seseoang yang bahagia adalah orang memiliki pikiran positif tentang dirinya. Maka ia kan lebih sering berbuat positif pula bagi masyarakatnya. Sebaliknya, orang yang tidak berbahagia mana mungkin dapat melakukan amalan-amalan kebaikan. Orang yang merasa susah dan tidak bahagia akan mendendam persoalan, sehingga kemungkinan akan melakukan perbuatan yang merusak dan melanggar norma masyarakat. Peribadatan sebagai bagian dari agama, misalnya shalat, tentu juga bertujuan untuk menanamkan kebahagian hidup dalam diri seorang muslim yang menjalankannya. Shalat wajib yang dianjurkan dilaksanakan di masjid, sebagai bentuk kewajiban harian, akan memberikan kebiasaan dalam perilaku dan pola pikir-perasaan, bagi siapa yang menjalankannya. Masalahnya, kenyataan
hidup sekarang menunjukkan bahwa kebahagiaan seseorang itu sangat tergantung pada materi. Kekayaan dan kepemilikan harta sering menjadi ukuran suatu kebahagiaan. Pandangan ini sering diterapkan untuk mengukur kebahagiaan orang lain, tetapi juga untuk mengukur kebahagiaan diri sendiri. Orang sering menyangka dirinya tidak bahagia karena kekurangan harta, dan dengan harta dapat diperoleh kepuasan dalam hidup. Terdapat fenomena yang menarik, sangat sedikit muslim di sekitar majid yang berjamah. Ada kemungkinan, salah satu sebabnya adalah kurangnya perasaan akan manfaat shalat berjamaah di masjid bagi kebahagiaan hidupnya. Mungkin orang Islam sendiri memandang bahwa shalat tidak mendatangkan kebahagiaan. Betulkah demikian ? Jarak antara rumah seorang muslim dengan masjid merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah seorang muslim itu rajin pergi shalat ke masjid atau tidak. Keberadaan sebuah masjid di tengah suatu pemukiman penduduk memberi andil terhadap kehidupan beragama suatu masjarakat. Dengan demikian, jika diasumsikan bahwa kerajinan shalat di masjid merupakan faktor penentu kebahagiaan hidup, maka kehadiran masjid dalam suatu masyarakat, akan memberi pengaruh terhadap kebahagiaan hidup suatu masyarakatnya. Dua identitas utama Yogyakarta, sebagai lingkungan terbaik pendidikan dan leingkungan
Kerajinan Shalat di Masjid .................. (Choirul Anam)
\ 35[ [
yang paling nyaman untuk hidup, akan menurun jika kenakalan remaja, kebebasan perilaku seksual remaja, dan semaraknya penggunakan narkoba, menjadi bagian dari kehidupan remaja di Yogyakarta. Persoalan ini dimungkinkan bersumber pada ketidakbahagiaan pada remaja. Ketidakbahagian itu dimungkinkan bersumber dari lingkungan sekitar tempat remaja itu berada dan topangan religiusitas yang kurang kuat. Mungkinkah keberadaan tempat tinggal remaja dengan pusat kegiatan keagamaan (masjid) memiliki urunan yang cukup terhadap kebahagiaan yang muncul dalam diri remaja ? Begitu juga, apa ada peran kegiatan agama (shalat di majid) pada kebahagiaan yang diperoleh oleh remaja? Penelitian ini akan mencoba menjelaskan ada tidaknya hubungan ketiga faktor tersebut, secara saling kait mengkait, apakah kebahagiaan itu berhubungan dengan keberadaan suatu masjid, dan apakah berhubungan dengan kerajinan shalat, serta apakah semakin dekat jarak dengan masjid juga semakin rajin seseorang pergi ke masjid untuk shalat. Kebahagiaan Remaja dan Sumbersumbernya Banyak istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan keadaan bahagia. Kepuasan (satisfaction) sering dipakai untuk menunjukkan suatu perasaan senang dan menyenangkan terhadap sesuatu. Misalnya, Penrrod (1983), menggunakan istilah ini untuk kebahagiaan dalam rumah tangga, dan untuk mengukur kualitas hidup (quality life). Rupanya istilah kepuasan, selalu memiliki arti terbatas dalam suatu hal. Jika kepuasan itu menyangkut seluruh hidup, maka disebutnya kepuasan hidup. Bahagia tidak khusus menunjuk kepada dalam hal apa seseorang itu bahagia. Ini berarti sama dengan kepuasan hidup, yang artinya menunjukkan puas dalam semua aspek hidup. Persis seperti yang dilukiskan oleh Myers (1999), bahwa kebahagiaan itu tidak berkaitan \ 36[ [
dengan suatu hal yang psesifik: bahagia merupakan perasaan gembira atas sesuatu apapun dalam kehidupannya. Bahagia (happy) sering digambarkan sebagai kondisi perasaan yang berlawanan dengan sedih (sad) atau depresi. Orang tidak mungkin bahagia jika ia mengalami ketegangan, ada rasa takut, atau mengalami kecemasan. Oleh karena itu kebahagiaan menurut Myers (1999) merupakan bagian dari hidup dan perilaku sehat, lawan dari gangguan dan kesehatan mental. Kebahagiaan berarti suatu keadaan perasan yang terbebas dari emosi negatif, seperti takut, sedih, cemas dan tegang. Banyak ahli, diantaranya Baron dan Byrne (1994), Myers (1994), Sears dkk (1993), menggambarkan kebahagian sebagai munculnya perasaan positif, karena seseorang telah bebas dari ketakutan , ketegangan, dan kesusahan. Kebahagiaan berarti suatu kondisi psikis yang bebas dari emosi-emosi negatif dan munculnya emosi-emosi positif. Kesimpulan dari uraian di atas, mengindikasikan bahwa kebahagiaan adalah suatu kondisi emosional positif, yang dirasakan secara subjektif mengenai hidup dan kehidupannya, sehingga menjadikan seseorang berpandangan positif terhadap diri sendiri dan orang lain serta pandangan ke masa depan yang optimistik. Orang yang sedang mengalami emosi negatif, seperti sedih, cenderung menutupi kondisi itu dari pengamatan orang lain. Ini berbeda dengan orang yang bahagia, ada kecenderungan untuk metampilkan kebahagiaan itu kepada orang lain. Sehingga tanda-tanda kebahagiaan lebih mudah diketahui, dari pada tanda-tanda orang yang sedang mengalami kesedihan. Myers (1999) menggambarkan kesedihan sebagai kondisi yang membuat seseorang menutup diri dari dunia sekitar. Ketertutupan menjadi ciri emosi negatif, sebaliknya keterbukaan menjadi sifat orang bahagia. HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
Mereka yang bahagia dan puas, ternyata juga berbahagia dengan teman dekat dan keluarga. Mereka juga kreatif, optimis, kerja keras dan tidak mudah putus asa, dan tersenyum lebih banyak daripada mereka yang menyebut diri mereka tidak bahagia (Myers, 1999). Orang yang bahagia, lebih cenderung untuk tidak memikirkan diri sendiri, kurang rasa bermusuhan dan akrab dengan orang lain, sedikit melakukan agresi dan lebih kuat menghadapi penyakit dibandingkan mereka yang tidak, suka menolong (Myers, 2000), cenderung melihat kepada mereka yang lebih rendah dalam urusan materi maupun bentuk tubuh (Lyubomirsky, & Ross, 1999). Myers dan Diener (1996) menemukan bahwa penggunaan alat ukur yang berbeda-beda nampaknya menghasilkan temuan yang konsisten. Kesimpulan Myers (1994) kebahagiaan seseorang ditandai dalam empat ciri: suka dengan keadaan diri sendiri, merasa mampu mengendalikan, optimistik, dan ramah terhadap orang lain. Sehingga setidaknya ada empat aspek yang merupakan tanda dari kebahagiaan seseorang yaitu self concept, self-control, optimism, dan extraversion. Remaja sering diartikan sebagai masa peralihan sesudah masa anak-anak dan sebelum seseorang menjadi dewasa. Ini berarti bahwa masa remaja sangat penting dalam menentukan kedewasaan seseorang. Remaja menjadi suatu kurun yang akan menentukan cepat atau lambatnya seseorang menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Menurut Clarke-Stewart dan Koch (1983) ada dua tahap transisi, yakni mulai tumbuhnya kesadaran terpisah dan hidup berbeda dengan orang tuanya, kemudian mulai merencanakan masa depan dan bagaimana bentuk kedewasaannya kelak. Ini berarti masa remaja itu sendiri akan memberi tekanan seseorang dalam masa itu untuk berada dalam situasi sulit. Sehingga mereka sangat cenderung
untuk mengalami kondisi emosional negatif, mudah marah, bahkan banyak kasus yang menunjukkan adanya ketakutan kekanakkanakan (infantile fears) (Clarke-Stewart dan Koch 1983). Remaja menjadi cenderung tidak bahagia. Banyak penelitian yang memang dapat membuktikan bahwa kekayaan mempunyai pengaruh terhadap kebahagiaan hidup seseorang, tetapi memiliki keterbatasan. Kekayaan dalam batas tertentu berperan positif terhadap kebahagiaan, tetapi jika sampai batas tertentu, maka kekayaan itu tidak berpengaruh pada kebahagiaan hidup (Diponegoro, 2004). Disinilah, sebenarnya kemudian muncul peran faktor subjektif (internal) dalam kebahagiaan. Selain dua faktor tersebut (internal dan eksternal), selalu diakui dalam setiap analisis terhadap sumber kondisi psikologis, adalah hubungan (interaksi) antara faktor internal dan eksternal. Sudah sejak lama masalah kebahagiaan hidup menjadi kajian psikologi sosial, dikaitkan dengan kualitas hidup (Penrod, 1983 dan Myers, 1999). Ini mengisyaratkan bahwa kebahagiaan itu merupakan kualitas hidup dalam lingkup individual dan social sekaligus. Tujuan hidup manusia adalah menuju hidup yang bahagia dalam masyarakat yang bahagia pula. Tidak mungkin tujuan tersebut tercapai tanpa melibatkan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu tidak mungkin kebahagiaan yang sifatnya individual dan subjektif, tanpa berkaitan dengan dunia lingkungan yang objektif. Kebahagian hidup seseorang tidak mungkin dilepaskan dengan kehadiran orang lain dalam suatu interaksi sosial. Orang tidak mungkin bahagia sendirian, begitu juga dalam kesendirian tidak mungkin akan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan dengan demikian dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Fungsi orang lain, bagi kebahagiaan ditunjukkan oleh
Kerajinan Shalat di Masjid .................. (Choirul Anam)
\ 37[ [
perlunya dukungan sosial. Ketika seseorang sedang membutuhkan sesuatu, maka dukungan sosial akan memberi makna tentang bagaimana orang lain harus harus bersikap terhadap seseorang. Tetapi kehadiran orang lain bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Jika kepuasan dipakai sebagai ukurannya, maka kebahagiaan tergantung pada dua faktor: keinginan diri sendiri, dan pencapaian terhadap keinginan itu. Adanya faktor keinginan diri sendiri dalam kebahagiaan, memberi arti bahwa kebahagiaan tergantung pada harapanharapan yang buat oleh diri sendiri. Ketergantungan pada apa yang telah dicapai di dalam kebahagiaan, menandai bahwa kebahagiaan itu tergantung pada kenyataan usaha dan prestasi yang diperoleh. Upaya untuk memperoleh prestasi, sering beriringan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu dan keyakinan akan kemungkinan mencapai keinginan itu. Orang yang tidak yakin bahwa tujuan itu dapat dicapai, maka orang tidak akan melakukan apa-apa. Orang yang bahagia bukanlah orang yang tidak berbuat apa-apa. Sangat nampak bahwa orang yang bahagia adalah mereka yang larut dalam kesibukan. Csikszetmihaly (dalam Myers, 1994), menyebutnya dengan istilah flow, untuk menggambarkan tersedotnya dalam arus kesibukan, sehingga orang yang bahagia itu in flow, seperti terbang. Orang merasa waktu itu berjalan dengan cepat. Kebahagiaan juga sering dikaitkan dengan kesejahetaraan dan religiusitas. Prediktor terbaik untuk kesejahteraan pada orang yang lanjut usia adalah kesehatan dan religiusitas (Okun dan Stock, 1987). Orang yang lanjut usia lebih bahagia dan lebih puas dalam hidup, jika aktif secara religius, menjalankan kuajiban-kuajiban agamanya. Jika kebahagiaan berkaitan dengan kegiatan keagamaan pada usia lanjut, maka tentu tidak akan berbeda pada ueisa remaja. Sebab, bentuk \ 38[ [
kegiatan keagamaan itu sama pada kedua usia tersebut. Seringnya orang berjamaah di mesjid sebagai tanda fungsional kesibukan yang bernilai individual dan kelompok sekaligus. Orang bahagia selalu dilingkari dari hubungan dengan orang lain, memperpendek jarak antara harapan dan kenyataan, mempersibuk fisik dan psikologis dan itu semua melalui hubungan dengan orang lain. Hubungan antara emosi dan perilaku sering juga menjadi dasar timbulnya emosi positif, termasuk kebahagiaan. Dalam teori emosi dikenal adanya tiga teori, yakni CannonBard Theory, James-Lange Theory, dan Schachter’s Two Factor Theory (Baron dan Byrne,1994). Teori Schachter menjelaskan bahwa emosi itu merupakan hasil logis (kognitif) persepsi terhadap gejala fisik di dalam diri dan persepsi terhadap lingkungannya. Kognisi atau persepsi seseorang berpengaruh terhadap emosi yang akan dirasakan oleh seseorang. Kebahagiaan seseorang tergantung bagaimana orang itu memandang fenomena yang ada dalam dirinya dan hubungannya dengan kondisi lingkunganya. Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa kebahagiaan itu dapat bersumber dari faktor eksternal, kondisi objektif, lingkungan sekitar, dan juga faktor internal, kondisi subjektif, baik yang berupa kognisi, persepsi ataupun perilaku itu sendiri. Proksimitas dengan Masjid dan Kerajinan Shalat Proksimitas, diterjemahkan dari kata proximity, yang secara harafiah berarti tingkat kedekatan fisik antara seseorang dengan sesuatu di luar diri. Baron dan Byrne (1994) menyebutnya sebagai physical proximity. Biasanya kata ini berfungsi untuk menggambarkan jarak fisik antara subjek dengan sesuatu di luar dirinya. Proksimitas, dengan demikinan merupakan kenyataan HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
objektif jarak antara seseorang dengan objekobjek di luar dirimya. Kenyataan objektif jarak dengan objek di luar diirnya, akan dimaknai secara subjektif berbeda-beda. Selanjutnya kenyataan itu akan dihadapi oleh seorang individu dalam suatu relasi langsung atau tidak langung terhadap dunia luar tersebut. Istilah proksimitas, untuk membedakan dengan keakraban psikologis, yakni suatu perasaan jauh-dekatnya seseorang terhadap orang lain. Ada istilah yang manggambarkan jarak psikologis yiatu jarak sosial (social distance), yaitu perasaan bahwa dirinya dan kelompoknya memiliki hubungan yang tidak baik (jauh) dengan orang-orang di sekitarnya. Baron dan Byrne (1994) berpendapat bahwa proksimitas memberi masukkan bagi seseorang dalam memilih suatu tindakan. Jauhdekatnya sesuatu akan diperhitungkan sebagai ‘biaya’ yang akan diperbandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Untuk memperoleh sesuatu dengan suatu objek, akan memperhitungkan apakah untuk melakukan sesuatu terhadap objek itu, sulit atau mudah. Jarak antara rumah dan mesjid menandai realitas objektif dari kesibukan. Artinya kedekatan dengan masjid cenderung akan membentuk interaksi antara seseorang dengan kesibukan masjid dan lingkungannya. Disamping orang tersebut akan mempersepsi sebagai kemungkinan orang untuk pergi ke masjid, juga terhampar dihadapannya orangorang lain dengan kebahagiannya. Orang yang dekat dengan masjid, berarti cenderung untuk melihat dan mendengar keaktifan orang lain. Seringnya menyaksikan keaktifan orang lain inilah yang oleh banyak peneliti sebagai positive exposure. Oleh Baron dan Byrne (1994) repeated exposure memiliki pengaruh yang lebih tinggi dari pada stimulasi yang nyata dan disadari. Jadi dengan tinggal di dekat masjid, maka menyaksikan lingkungan yang bahagai dan akan membahagiakannya.
Kedekatan rumah dengan masjid memungkinkan interaksi komunikasif dengan sumber sosial yang orang-orang lain. Menurut kesimpulan Judy Dill dan Craig Anderson (dalam Myers (1999), terdapat hubungan timbal balik yang kuat antara kesendirian, ketidaknyamanan sosial dan kesedihan. Lingkaran hubungan timbal balik itu, dapat diatasi dengan menghilangkan satu satunya. Sehingga seseorang bisa tidak sedih, menjadi bahagia, kesendirian itu dihilangkan. Kesimpulannya adalah bahwa interaksi komunikasi dengan orang lain lewat masjid, dapat menghilangkan kesedihan dan ketidaknyaman sosial, sehingga menegembangkan kebahagian seseorang. Rajin adalah sebuah kata sifat yang dipergunakan untuk menggambarkan sifat dari suatu perilaku. Rajin bekerja, berarti bekerjanya memiliki sifat rajin. Kerajinan, dengan demikian, memiliki pengertian suatu pensifatan positif terhadap suatu perilaku. Kerajinan dipergunakan untuk menandai bahwa perilaku itu disenangi, diulang-ulang dan dilakukan pada awal waktu (giat). Ini sesuai dengan Poerwodar minto (1976) yang mengartikan rajin sebagai “suka dan giat bekerja” , serta “kerap kali melakukan sesuatu”. Seseorang dikatakan rajin jika ia melakukan suatu pekerjaan berulang-ulang. Semakin rajin seseorang, semakin sering orang tersebut akan melakukan sesuau. Maka kerajinan adalah tingkat sejauhmana seringnya seseorang melakukan sesuatu. Frekuensi suatu akivitas menjadi ukuran kerajinan seseorang. Telah banyak penelitian yang menemukan pengar uh keberagamaan seseorang terhadap kebahagiaan. Diantaranya adalah Diponegoro (2004) yang menggambarkan secara sangat jelas pengaruh faktor ketaqwaan terhadap kebahagian bagi remajaremaja Islam. Pengaruh ketaqwaan ini, menurut Diponegoro (2004), terjadi dalam berbagai level keberagamaan: pengetahuan,
Kerajinan Shalat di Masjid .................. (Choirul Anam)
\ 39[ [
nilai, dan aktivitas keberagamaan itu sendiri. Pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertaqwa kepada Sang Khalik, mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Nilai seseorang terhadap keharusan bertaqwa, juga mempengaruhi kebahagiaan. Begitu juga pada tingkat aktivitas, semakin tinggi aktivitas keagamaan seseorang, semakin tinggi pula kebahagiaan orang tersebut. Shalat berjamaah merupakan salah satu bagian sangat penting aktivitas dalam keberagamaan seseorang. Diakui bahwa shalat di masjid akan lebih memungkinkan seseorang untuk dapat melaksanakannya secara berjamaah. Hal ini terjadi karena masjid adalah tempat orang memungkin untuk bertemu dengan orang lain. Apalagi jika waktunya dapat bersamaan. Waktu adzan dikumandangkan, maka kedatangan seseorang di masjid, disamping shalat berjamaah itu sendiri, juga akan mempertemukan dengan orang lain. Shalat berjamaah di masjid dengan demikian akan memberi peluang bagi seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Hubungan interpersonal akan mudah terjadi di dalam masjid pada waktu-waktu shalat. Sebuah interaksi seperti itu memiliki nilai psikologis yang cenderung positif. Tidak hanya menyangkut mekanisme katarsis, ataupun ungkapan diri, tetapi juga akan membentuk penilaian diri yang lebih baik. Sehing ga berjamaah dimajid, akan cender ung berpengaruh dalam tataran emosional positif. Shalat adalah suatu perilaku nampak dan shalat berjamaah adalah perilaku yang nampak baik bagi diri sendiri ataupun oleh orang lain. Dalam shalat seseorang melakukan sesuatu yang secara sadar diketahui oleh dirinya sendiri dan sadar pula diketahui oleh orang lain. Kesadaran bersama orang lain seperti itu memiliki pengaruh positif secara afektif, dalam kehidupan perasaan. Kesadaran ini membuat perasaana seseorang menjadi positif. Ini berbalikan dengan kesendirian. Myers \ 40[ [
(1999) berpendapat bahwa kesendirian selalu bergandengan dengan depresi dan kesedihan. Kebersamaan berpengaruh terahdap ketidaknyaman sosial dan kesedihan. Oleh karena itu kesadaran bersama orang lain, akan berpengar uh terhadap tumbuhnya kebahagiaan. Metode Penelitian Selur uh remaja yang ting gal di kampung-kampung atau dusun-dusun di sekitar Kota Yogyakarta, baik mereka yang merupakan mahasiswa dan pelajar kos atau mereka yang berasal dari suatu keluarga yang tinggal di wilayah tersebut. Remaja tersebut memiliki beberapa ciri : usia antara 17 hingga 21 tahun dan tinggal di suatu kampung atau desa dalam waktu minimal satu tahun. Pengambilan sampelnya menggunakan cara gaabungan purposif dan radom (purposive random sampling) . Beberapa desa atau kampung akan dinominasikan sebagai calon tempat penelitian dengan memenuhi syarat: kampung atau dusun berada diperbatasan kota dan desa, ada (satu-tiga) masjid yang sudah berusia 5 tahun, telah terbentuk ikatan sebagai suatu masyarakat, dan jumlah remaja usia tersebut diatas cukup banyak (sekitar 30 orang). Beberapa kampung atau dusun yang telah dinominasikan itu akan diambil secara acak tiga kampung atau desa sebagai sample penelitian ini. Dengan cara demikian didapat tiga dusun sebagai sampel. Data proksimitas rumah-masjid bersifat objektif, menggambarkan keadaan senyatanya dari jarak antara rumah tinggal subjek dengan masjid. Oleh karena itu cukup diungkap dengan angket yang menanyakan kepada subjek, berapa meter jalan yang har us ditempuh untuk pergi ke masjid dari rumah. Jarak rumah dan masjid yang diperoleh, kemudian diubah dalam ketegori antara sangat jauh, jauh, agak jauh, sedang, agak dekat, dekat dan sangat dekat, kemudian dibobot HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
dalam angka dari satu samapai dengan tujuh. Semakin dekat jarak rumah dengan masjid, sekor yang menunjukkan proksimitas semakin tinnggi pula. Data mengenai frekwensi pergi ke masjid, juga merupakan kondisi objektif dari subjek, berapa kali subjek pergi ke masjid dalam rentang satu minggu. Oleh karena itu, variabel ini diungkap pula dengan angket yang menanyakan tentang kehadirannya dimasjid untuk shalat berjamaah dalam satu minggu. Dilakukan pula ujicoba, terutama untuk mengetahui kejelasan dari pertanyaan ini dan mengetahui apakah subjek mengatahui arah dari pertanyaan ini. Didasarkan pada dua pertanyaan utama dan satu pertanyaan kontrol, sehingga akan diketahui berapa kali seseorang dalam satu pekan ke majid termasuk shalat Jumat. Paling tinggi adalah 5 shalat wajib x 7 hari , yaitu sebesar 35 kali. Sekor terendah jika tidak pernah (0) ke majid selama seminggu, termasuk shalat Jumat. Variabel kebahagiaan merupakan data subjektif, sehingga membutuhkan alat yang lebih komplek, yaitu skala inventori, merupakan skala pelaporan diri yang terdiri dari puluhan pernyataan yang harus direspon oleh subjek dan akhirnya respon tersebut dibobot untuk memperoleh sekor kebahagiaan. Skala ini diujicobakan terutama untuk mengetahui validitasnya. Validitas skala ini diperleh dari item-itemnya memiliki daya dukung (discriminating power) yang cukup terhadap sekor total. Dikatakan valid suatu item jika memiliki korelasi dengan sekor total minimal sebesar 0,27. Reliabilitas diukur dengan tingkat konsistensi antar item yang biasa dikenal dengan reliabitas Alpha. Semua proses ini menggunakan program SPSS. 13.0 for Windows. Analisis data dilakukan secara statistik, menggunakan uji-regresi untuk mengetahui hubungan variabel kebahagiaan dengan variabel yang lain. Namun sebelum itu
dilakukan uji asumsi statatistik yang meliputi uji normalitas (Kolmogorov-Sminrnov) dan uji linearitas ( Langrane Multiplier). Semua perhitungan dengan bantuan program komputer SPSS 13.0 for Windows. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian Pengujian serempak yakni korelasi antara kedekatan jarak ke masjid dan kerajian shalat di masjid secara bersama terhadap kebahagiaan, diperoleh harga R sebesar 0,385 dan signifikansinya sebesar 0,007. Sehingga hipotesis bahwa ada hubungan positif antara kedekatan ke masjid dan kerajinan shalat di masjid terhadap kebahagiaan, dapat diterima secara sangat signifikan, karena signifikansinya lebih kecil dari 0,01. Besarnya determinasi menunjukkan besarnya peran variabel proksimitas dan kerajinan shalat terhadap variabel kebahagian. Hasil analsis menunjukan koefisien determinasi sebesar 0,148. Ini berarti peran tersebut sebesar 14,8 %. Proksimitas dan kerajinan shalat memiliki peran bersama sebasar 14,8 % terhadap kebahagiaan. Hipotesis yang mengatakan bahwa ada hubungan antara proksimitas dan kebahagiaan hidup, ditolak. Berarti tidak ada hubungan antara kedekatan jarak rumah ke masjid dan kebahagiaan hidup seseorang. Kesimpulannya, jarak r umah seseorang ke masjid tidak memiliki peran terhadap kebahagiaan hidup seseorang. Hipotesis yang berbunyi bahwa ada hubungan antara kerajinan shalat dan kebahagiaan hidup, diterima. Sehingga kerajinan shalat di masjid, secara signifikan memiliki peran terhadap kebahagiaan hidup seseorang. Semakin rajin seseorang shalat di masjid semakin bahagia orang tersebut. Besarnya peran kerajinan shalat di masjid terhadap kebahagiaan adalah sebesar 9,94 %.
Kerajinan Shalat di Masjid .................. (Choirul Anam)
\ 41[ [
Pembahasan Hubungan secara bersama proksimitas dan kerajinan shalat terhadap kebahagiaan, ternyata ada dan sangat signifikan. Berarti ada peran yang sangat meyakinkan proksimitas rumah ke masjid dan kerajinan shalat di masjid dalam kebahagiaan hidup seseorang. Meskipun sangat meyakinkan, tetapi tingkat hubungan yang sebesar 0,385 dan prosentase sumbangan efektif sebesar 14,8 %, terhitung masih dalam kategori sedang. Menurut Suyono (2002) korelasi antara 0,35 sampai dengan 0,5 termasuk korlesai menangah atau sedang. Sehingga peran kedua variabel tersebut (proksimitas dan kerajinan shalat) dalam kebahagiaan, tidak tergolong besar. Ini mengindikasikan banyak variabel lain yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan kebahagian hidup seseorang. Variabel-variabel tersebut berperan sebesar sisa 100 % dari 14,8 % yakni 85,2 %. Variabel apa yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan kebahagiaan seseorang ? Menilik ciri dari kedua variabel tersebut, maka variabel-variabel yang memiliki ciri kedua variabel tersebut adalah variabel penting yang berperan dalam kebahagiaan hidup seseorang. Apa ciri kedua variabel tersebut ? Proksimitas dan kerajinan shalat, keduanya merupakan variabel objektif, fisikal dan dapat dilihat oleh orang lain. Variabel seperti ini memiliki pengaruh langsung (fisikal) dan pengaruh tidak langsung secara sosial. Sehingga variabel semacam ini akan membuka kesadaran individu. Khususnya kerajinan shalat berjamaah di majid, merupakan perilaku nampak dan diketahui orang lain, pengaruhnya ganda terhadap kesadaran yaitu pengaruh langsung terhadap pelaku dan kesaran bahwa perilaku itu diketahui oleh orang banyak. Proksimitas antara rumah dan masjid ternyata tidak cukup signifikan memiliki hubungan dengan kebahagiaan. Oleh karena itu proksimitas tidak memiliki peran terhadap kebehagiaan. Mengapa demikian? Kedekatan \ 42[ [
antara rumah dan masjid, merupakan faktor kondisional (eksternal). Dalam teori kebahagiaan yang bottom up, faktor eksternal baru akan berpengaruh jika secara internal terjadi perubahan. Kabahagiaan, dengan demikian tidak dapat diperoleh seseorang, meskipun faktor eksternal sangat kondusif, jika tidak ada proses perubahan secara internal. Dengan kata lain, proksimitas hanya berpengaruh jika individu itu sendiri tidak ada proses perubahan. Sehingga kemungkinannya, proksimitas rumah dan masjid merupakan faktor yang berpengaruh secara tidak langsung. Orang yang tinggal di dekat masjid (proksimitas) akan cenderung rajin ke masjid, karena rajin ke masjid itulah timbul kebahagiaan. Berbeda dengan proksimitas, kerajinan pergi ke masjid untuk shalat, memiliki hubungan yang signifikan dalam kebahgiaan hidup seseorang. Berarti ada peran kerajinan shalat di masjid dalam menumbuhkan kebahagiaan. Peran ini nampak dalam korelasi antara kerajinan shalat di masjid dan kebahagiaan sebesar 0,308 dan sumbangan effektif sebesar 9,94 prosen. Ini munjukkan peran tingkat kerajinan shalat di masjid, termasuk sedang. Variabel lain berarti memiliki peran terhadap kebahagiaan sebesar sisa 100 % dari pengurangan 9,94 % yaitu 80,6 %. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kerajinan shalat di masjid berperan terhadap kebahagiaan, sedangkan proksimitas masih memiliki peran, meskipun lebih kecil, karena secara bersama kedua variabel tersebut memiliki peran yang lebih besar. Bandingkan peran bersama (proksimitas dan kerajinan shalat) terhadap kebahagiaan sebesar 14,80 prosen dan kerjainan shalat sebesar 9,94 prosen. Ada selisih sumbangan efektif sebesar 4,86 prosen. Atau setidaknya, proksimitas rumah dan masjid berperan dalam kebahagiaan secara tidak langsung, yakni mempengaruhi kerajinan pergi ke masjid untuk shalat HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007
berjamaah. Jika rumah seseorang dekat dengan masjid, maka ia cenderung pergi shalat berjamaah di masjid, akhirnya orang tersebut akan cenderung berbahagia. Jika rumah seseorang itu jauh dari masjid, tetapi rajin untuk shalat berjamaah di masajid, maka kebahagiaanpun dapat diperoleh. Kesimpulan Kedekatan antara rumah dan masjid bersama dengan kerajinan shalat berjamaah di masjid memeliki peran terhadap kebahagiaan hidup remaja. Semakin dekat jarak rumah ke masjid dan semakin rajin seorang remaja pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, maka semakin mudah kebahagian remaja tersebut memperoleh kebahagiaan. Hal ini akan terjadi pada remaja di Yogyakarta dan sekitarnya. Peran keduanya (kedekatan antara rumah ke masjid dan kerajinan shalat di masjid) adalah sebesar 14,8 prosen, suatu peran yang cukup besar. Kedekatan antara rumah dan masjid tidak memiliki peran yang cukup terhadap kebahagiaan hidup remaja. Jika dianggap memiliki peran, maka peran kedekatan antara rumah dan masjid hanya bersifat tidak langsung. Peran kedekatan anatara rumah dan masjid, ada karena memungkinkan seorang remaja untuk rajin ke masjid. Kerajinan shalat berjamaah di masjid memiliki peran terhadap tumbuhnya kebahagiaan hidup seorang remaja, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya. Semakin rajin seorang remaja pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, semakin mungkin orang tersebut memperoleh kebahagiaan. Peran kerajinan shalat di masjid terhadap kebahagiaan hidup seseorang sebesar 9,94 prosen, suatu peran yang cukup. Saran-saran 1. Untuk meningkatkan kebahagian atau secara tidak langsung untuk mengurangi masalah-masalah pada remaja melalui
kebahagiaan, maka meningkatkan kerajinan shalat berjmaah di masjid dapat dilakukan. Secara lebih luas, upaya untuk mengurangi masalah-maslah remaja, dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan secara berjamaah. 2. Memilih tempat tinggal atau tempat kos bagi pelajar dan mahasiswa perlu mempertimbangkan letak tempat tinggal tersebut dengan masjid dan kegiatan keagamaan masyarakat di sekitarnya. Ini akan memberikan kemungkinan besar untuk terhindar dari masalah-masalah remaja yang mungkin timbul. 3. Perlu penelitian yang lebih terfokus pada para subjek pria saja atau subjek wanita saja, karena kwajiban shalat berjamaah di masjid dibedakan anatara muslim laki-laki dan wanita. Penelitian yang terfokus ini akan memberi kejelasan yang lebih besar atas peran kerajinan shalat berjamaah terhadap kebahagiaan. Daftar Pustaka Albin, S.R. (1986), Emosi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Baron and Byrne (1994), Social Psychology: Understanding Human Interaction, Boston: Allyn and Bacon BPS. 2002. Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka. Yogyakarta: Biro Pusat Statistik Clarke-Stewart, A and Koch, J.B (1983), Children, Development through Adolescence, New York : John Wiley & Sons. Diener, E. (1994) Assessing subjective wellbeing: Progress and opportunities. Social Indicators Research, 31, 103-157. Diponegoro, M. (2004) Peran Nilai ajaran Islam terhadap Kesejahteraan Subjektif Remaja Islam, Disertasi, Yogyakarta: UGM.
Kerajinan Shalat di Masjid .................. (Choirul Anam)
\ 43[ [
Goleman, D. (1995), Emotional Intelligence, New York: Bantam Books Johnson and Johnson (1991), Joining Together: Group Theor and Group Skills, London: Prentice Hall. Lyubomirsky, S., & Ross, L. (1999) Changes in attractiveness of selected, rejected, and precluded alternatives: A comparison of happy and unhappy individuals. Journal of Personality and Social Psychology, 76, 988-1007. Monks, F. J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1999) Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yog yakarta: Gadjah Mada University Press. Myers, D.G. (2000) Funds friends, and faith of happy people. American Psychologist, 55, 56-67 Myers, D.G .(1999), Social Psychology, Boston: McGraw Hill ———————— (1994), Exploring Social Pschology, New York: McGraw Hill
\ 44[ [
Okun, M.A., and Stroc, W.A. (1987), Correlates and Components of Subjective well-being among the elderly, Journal Applied and Gerontology, 6, 95 - 112 Perlman, D and Cozby, P. Chris (1983), Social Psychology, New York: Rinehart and Winston Poerwodarminto (1973), Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Prawitasari, J.E., (1994) Aspek Sosio Psikologis Lansia di Indonesia. Buletin Psikologi. Fakultas Psikologi UGM, Tahun II , No 1, Juli, hal. 27- 34. Sears, D.O, Freedman, J.L., Peplau, L. Anne (1999), Psikologi Sosial, (Terjemahan), Jilid 1, Jakarta: Penerbit Erlangga. ———————— (1999), Psikologi Sosial, (Terjemahan), Jilid 2, Jakarta: Penerbit Erlangga. Stevend, P. (1983), Social Psychology, New Jersey: Prentice Hall.
HUMANIT AS HUMANITAS AS, Vol.4 No.1 Januari 2007