KEPUTUSAN EKSISTENSIAL SUBJEK: KESADARAN DAN RELASI SELF-OTHER DALAM PERSPEKTIF SARTRE Siti Annisa & Ikhaputri Widiantini Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK Tulisan ini akan membahas mengenai subjek yang eksis dan hubungannya dengan keputusan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan adanya relasi interdependensi yang terjadi antara seorang subjek dan orang lain yang menjadi landasan penting dalam eksistensialisme Jean Paul Sartre. Relasi interdependensi akan memberi dampak pada keputusan yang dibuat oleh seorang subjek, karena subjek yang eksis tidak akan lepas dari pengaruh orang-orang yang pernah terlibat dalam pengalamannya. Hal ini terjadi karena orang lain merupakan salah satu unsur pembentuk faktisitas manusia. Kata Kunci: Keputusan, Eksis, The Self, The Other dan Interdependensi Subject’s Existential Decision: Consciousness and Self-Other Relation on Sartre’s Perspective This writing will talk about exists subject and its relation with decision. The purpose of this research is to show an interdependent relation between the Self and the Other who became Jean Paul Sartre’s base of existentialism. The interdependence relationships will have an impact on decisions made by a subject, because the subject would not exist apart from the influence of the Other who have been involved in the experience. This happens because the Other is one of the elements forming man’s facticity. Keywords: Decision, Exist, The Self, The Other and Interdependence 1 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
A. PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk sosial. Begitulah kata buku-buku ilmu pengetahuan sosial yang kita pelajari semasa sekolah dasar. Kalimat ini memiliki makna, manusia adalah makhluk yang hidup dalam masyarakat, membutuhkan masyarakat dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, ada pelajaran yang mengatakan bahwa manusia adalah individu yang bebas dan independen. Lalu kita akan berpikir, mengapa ada kontradiksi dalam kedua hal yang diajarkan di bangku sekolah ini. Yang manakah sesungguhnya keadaan alamiah manusia? Sejak lahir manusia selalu berada dalam masyarakat. Ayah, ibu, keluarga kecil tempat seorang manusia dibesarkan merupakan sekolah non formal pertama yang dikecap manusia. Dalam pelajaran pertamanya, manusia sudah banyak ditanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut orang-orang yang hidup bersamanya. Makan dengan tangan kanan, berjalan dengan arah telapak kaki yang lurus, mengangguk sebagai bentuk setuju sekilas terlihat seperti sesuatu yang instingtif. Tetapi sesungguhnya, ibu tidak pernah lupa mengingatkan anaknya untuk makan dengan tangan yang manis ketika sang anak mengambil sendoknya dengan tangan kiri, dan melangkah yang baik agar terlihat indah di mata orang lain. Si anak akan beranjak dewasa. Ayah dan ibu memasukkannya ke dalam sekolah formal. Di sana ia bertemu dengan bapak ibu guru serta kawan-kawan baru. Ribuan hal baru, pengalaman serta pengetahuan baru akan datang dan terserap dalam pikiran seorang manusia kecil. Manusia memiliki kecenderungan untuk meniru sekitarnya. Hal ini juga berlaku pada perilaku dan kebiasaan yang ia lihat sehari-hari dalam masyarakat. Seorang manusia akan meniru tindakan tersebut dengan pemahaman bahwa apa yang banyak dilakukan orang lain merupakan tindakan yang benar. Ditambah lagi dengan datangnya aturan-aturan yang menginstruksikan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan dalam bermasyarakat. Berbagai aturan yang dibuat dalam ruang lingkup kelompok manusia ini akan diajarkan kepada setiap anggota kelompok. Kemudian, akan diajarkan pula kepada anggota baru yang bisa berasal dari pendatang atau dari generasi baru. Aturan yang terus-menerus diajarkan dan disebarluaskan ini kemudian menjadi sebuah budaya. Sebuah aturan baku yang berlaku dalam suatu ruang lingkup masyarakat tertentu. 2 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
Dalam kehidupannya, manusia akan dihadapkan pada banyak kondisi. Kondisi-kondisi ini sering kali memaksa manusia untuk membuat pilihan, bukan hanya antara melakukannya atau tidak, tetapi juga melakukannya dengan cara yang ini atau yang itu. Manusia yang terperangkap dalam budayanya akan senantiasa memilih keputusan yang sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Bukan berarti dengan membuat pilihan yang sesuai dengan budaya merupakan sebuah kesalahan, tetapi bila ia membuat keputusan itu tanpa melakukan pertimbangan apa-apa, merupakan sebuah tindakan yang tidak benar. Ia tidak peduli apakah aturan tersebut akan menguntungkan baginya atau tidak, atau memedulikan kepentingannya atau tidak. Yang penting adalah bahwa pilihan itu sesuai dengan kemauan sekitarnya. Akan tetapi, sampai kapan manusia mampu bertahan untuk selalu membuat keputusan yang menomor-duakan kepentingannya? Akankah ia sampai pada titik jenuh dimana ia juga ingin kepentingannya diutamakan? Dan ketika titik itu tiba, mampukah manusia membuat keputusan yang benar-benar berdasar pada dirinya? Beberapa orang akan mengatakan bahwa ia mampu membuat keputusan yang benar-benar berdasar pada dirinya sendiri, dan ia juga sudah mengeliminasi semua pengaruh orang sekitarnya dalam pengambilan keputusan. Namun tanpa ia sadari, kenyataannya ia masih mengambil keputusan yang sejalan dengan aturan budaya atau agama dimana ia sudah hidup dalam budaya itu selama puluhan tahun. Sepanjang hidupnya, manusia tidak pernah sendirian. Saat lahir, ia membutuhkan seorang manusia bernama ibu yang melahirkannya ke dunia. Dalam tumbuh kembangnya, manusia hidup dalam keluarga. Semakin besar, seorang manusia mulai punya teman dan berinteraksi secara sosial dengan skala yang lebih besar. Dalam interaksi ini, ada pertukaran nilai yang terjadi antara saya dan orang yang terlibat dalam sebuah pengalaman bersama saya. Dengan adanya pertukaran nilai ini, maka pengalaman yang dialami itu menjadi sesuatu yang diingat dan menjadi pelajaran untuk pengalaman-pengalaman selanjutnya. Manusia yang eksis adalah manusia yang berada dalam dunia dan bermakna di dalamnya. Pengertian ini diambil dari being-in-the-world milik Heidegger (1889-1976) yang kemudian disempurnakan menjadi being-with-others oleh Sartre (1905-1980). Pernyataan ini berarti manusia yang bereksistensi di dunia adalah manusia yang terus berinteraksi dengan manusia lain dan terus bertukar nilai di dalam dunia. Nilai-nilai yang didapat tersebut akan direfleksikan sehingga didapatlah sebuah nilai yang sesuai dengan pemikiran kita dan akan kita terapkan dalam keseharian kita. Dari sini dapat kita lihat bahwa orang lain, atau the Other memberi pengaruh 3 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
dalam pembentukan diri seorang being atau subjek. Relasi yang saling mempengaruhi ini turut berdampak pada bagaimana seorang subjek membuat keputusan atas pilihan hidup yang dihadapkan kepadanya. Apakah nantinya subjek ini akan bergantung sepenuhnya pada the Other untuk membuat pilihan terhadap hidupnya, atau ia akan meniadakan the Other sebagai bukti kemerdekaannya, ataukah ia akan berusaha untuk bertransendensi namun ternyata ia tidak bisa sepenuhnya lepas dari the Other karena the Other telah menjadi bagian dari faktisitasnya? a) Rumusan Masalah Rumusan permasalahan yang muncul ketika membahas mengenai permasalahan keputusan yang eksis adalah: 1.
Apakah subjek yang eksis yang mampu membuat sebuah keputusan yang berasal dari dirinya sendiri dengan keterlibatan dari orang lain yang pernah singgah dalam pengalamannya?
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian turunuan, yaitu: 1. Mengenai kondisi-kondisi yang membentuk eksistensi manusia di dunia. 2. Kondisi eksistensial yang mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh seorang subjek. 3. Bentuk relasi yang terjadi antara the Self dan the Other. b) Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menelaah dan menjawab secara filosofis mengenai relasi yang terjadi antara the Self dan the Other yang akhirnya memberi dampak pada seorang subjek ketika ia mengambil keputusan dalam hidupnya. Penelitian ini juga akan memberikan pandangan yang lebih komperhensif mengenai teori eksistensialisme Jean Paul Sartre yang berhubungan dengan konsep relasi, melalui ditunjukkannya beberapa kondisi yang membentuk eksistensi manusia. Tujuan selanjutnya adalah untuk menujukkan adanya relasi saling bertukar nilai, atau interdependence, antara the Self dan the Other. B. TINJAUAN TEORITIS Teori utama yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori eksistensialisme Jean Paul Sartre, khususnya mengenai relasi seorang subjek dengan orang lain di luar dirinya. Adanya teori ini juga didukung oleh pemikiran Heidegger sebagai orang yang banyak mempengaruhi
4 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
pemikiran Sartre. Eksistensialisme merupakan salah satu aliran pemikiran dalam filsafat yang menjadikan manusia dan hakikatnya di dunia sebagai topik utamanya. Pemikiran Jean Paul Sartre dipilih karena Sartre mampu menjelaskan dengan sangat rinci perjalanan seorang manusia mengenali dirinya lalu mengenali orang lain di luar dirinya. Selanjutnya ini akan dikhususkan pada permasalahan keputusan yang dibuat seorang subjek yang eksis. C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dibaca dengan refleksi kritis dan interpretasi kritis. Bukubuku dan teks-teks dari penulis asli maupun secondary books menjadi rujukan bacaan dan sumber informasi yang kemudian ditelaah lebih dalam secara filosofis. Buku utama yang digunakan adalah Being and Nothingness (1993) karya Sartre. Juga digunakan beberapa buku lain karya Sartre seperti The Words (1964), Existentialism and Humanism (1946), dan lain-lain untuk menunjang teori-teori yang digunakan. Buku No Exit (1989) milik Sartre digunakan sebagai alat untuk membedah pemikiran mengenai relasi the Self dan the Other. Hal ini dilakukan karena buku No Exit dibuat sebagai bentuk analogi fenomena kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Dengan demikian akan didapatkan korelasi antara teori dengan kenyataan dalam kehidupan keseharian. Hal ini juga digunakan untuk mengkritisi kembali teori agar tetap relevan sesuai dengan perkembangan zaman. D. PEMBAHASAN Jean Paul Sartre adalah seorang filsuf yang namanya menjadi sangat besar di dunia filsafat karena pemikiran eksistensialismenya. Pemikirannya ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai kisah hidup yang dihadapinya dan orang-orang sekitar yang mempengaruhinya. Berbagai karya yang dilahirkan Sartre sangat menggambarkan bagaimana pengalaman mempengaruhi cara pandanganya terhadap dunia dan segala yang ada di dalamnya. Beberapa orang yang mempengaruhi pemikiran Sartre adalah Hegel (1770-1831), Heidegger (1889-1976), Husserl (1859-1938), Marx (1818-1883), juga pasangan hidupnya Simone de Beauvoir (1908-1986). Membaca karya-karya mereka turut membentuk cara pandang 5 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
Sartre terhadap manusia seperti yang kita pahami sekarang ini. Sementara, de Beauvoir berperan tidak hanya sebagai kekasih, melainkan juga sebagai teman debat dan penasihat Sartre. Semua karya yang diciptakan Sartre akan dia serahkan dulu pada de Beauvoir untuk dibaca dan dikritisi sebelum dilempar ke publik. Manusia menjadi pembahasan utama dalam filsafat eksistensialisme. Manusia, yang disebut dengan being oleh Sartre adalah entitas yang mengalami dua dimensi dalam siklus hidupnya. Dimensi tersebut adalah dimensi faktisitas dan dimensi transenden. Dimensi faktisitas meliputi hal-hal yang sudah begitu saja ada di dalam hidup manusia tanpa bisa dipilih oleh si manusia tersebut. Masyarakat menjadi unsur penting dalam faktisitas manusia. Manusia, sebagai seorang subjek, sering kali menempatkan dirinya sebagai satu-satunya being yang memikirkan being lain. Kondisi ini oleh Sartre disebut dengan the Self, dimana ia menganggap yang lain merupakan objek-objek dari pikirannya. Sebuah aliran pemikiran yang bernama solipsisme bahkan mengatakan bahwa yang lain di luar diri itu tidak eksis, yang ada dan yang eksis adalah saya sendiri. Pemahaman mengenai orang lain, atau the Other ini berkembang sejak zaman Husserl. Tabel Perkembangan Pemahaman mengenai the Other
Aliran / Filsuf
Pemahaman mengenai the Other
Solipsisme
- The Other itu tidak ada, yang ada hanya diri saya sendiri - Keberadaan the Other penting dalam pembentukan dunia - Dengan adanya the Other, akan tercipta relasi subjek-objek dengan the Other sebagai objeknya - Keberadaan the Other penting sebagai sarana bagi kesadaran eksistensial the Self - Keberadaan the Other sudah terlebih dahulu eksis sebelum disadari oleh the Self - The Other tidak lagi muncul sebagai being-for yang menyiratkan relasi subjek-objek, melainkan menjadi being-with
Husserl
Hegel Heidegger
6 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
Dengan mempelajari berbagai pemikiran mengenai the Other sebelumnya, Sartre kemudian merumuskan sendiri pemahaman the Other menurut pemikirannya. Bagi Sarte, kehadiran the Other muncul sebagai sebuah probabilitas. Probabilitas dalam pandangan Sartre berarti sebagai objek yang hadir dalam pengalaman subjek dan darinya sebuah efek baru muncul dalam pengalaman subjek1. Ini artinya the Other dalam kehadirannya memberi dampak bagi hidup the Self. The Other tidak bisa dianggap hanya sebagai objek. Apabila relasi yang terjadi antara the Self dan the Other hanya sebatas relasi subjek-objek semata maka eksistensi dari the Other masih bersifat spekulatif. Padahal, kehadiran the Other itu sama nyatanya dengankeberadaan saya sebagai the Self yang hadir di dunia. Hal ini dinyatakan oleh Sartre karena menurutnya the Other muncul di hadapan kita tidak sebagai objek, melainkan ia hadir “presence in person” dan kehadirannya itu dalam bentuk “being-in-a-pair-with-the-Other” (Sartre, 1993, 253). The Other tidak bisa dianggap sebagai objek semata, karena ternyata the Other memberi pengaruh bagi the Self. Ketika saya berjumpa dengan the Other, anggapan saya mengenai dunia, yang sudah saya bayangkan sedemikian rupa sesuai dengan pemahaman saya, runtuh seketika saat berhadapan dengan the Other. The Other melalui ‘tatapan’nya memberikan sebuah bentuk dunia baru yang tidak sama dengan yang saya bayangkan selama ini. Lewat tatapannya itu pula saya menyadari saya sedang dalam proses menjadi objek. Tatapan ini bukan seperti yang kita bayangkan, tatapan dari mata ke mata. Tatapan ini adalah tatapan yang seakan berasal dari pikiran dan melihat jauh ke dalam objek yang ditatapnya. Sehingga objek yang ditatapnya akan merasa seperti diperkosa isi pikirannya karena ia tidak bisa memahami apa maksud dari tatapan itu. Pada saat itu, the Self berubah menjadi objek bagi subjek-subjek tertentu. Namun ke-objekan adalah objek yang juga memiliki probabilitas karena saya juga memberi dampak bagi subjek yang mengamati saya. Tatapan the Other dapat membuat the Self menyadari dua hal, yaitu faktisitasnya dan kebebasannya. Merupakan sebuah faktisitas bahwa the Self hidup bersama dengan the Other. The Other juga memberi pengaruh bagi hidup the Self dan cara the Self memandang dunia. Lalu efek terpentingnya adalah the Self dapat menyadari bahwa ia merasa terganggu dengan tatapan yang diberikan the Other sehingga ia ingin bisa menjadi bebas dan tidak memedulikan tatapan orang
1
“probability can concern only objects which appear in our experience and from which new effects can appear in our experience” (Sartre, 1993, 250)
7 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
lain. The Self sadar bahwa ia mempunyai kemampuan untuk bisa lepas dari bagaimana orang lain memberi pandangan kepadanya. The Other, sebagai subjek lain di luar diri the Self bisa berwujud sebagai masyarakat. Masyarakat kemudian menjadi salah satu unsur pembentuk faktisitas manusia karena keberadaan the Self yang lahir dan hidup dalam masyarakat tidak bisa dihindari. Di dalam masyarakat, terdapat puluhan, ratusan bahkan ribuan subjek yang selalu bertukar nilai melalui pengalaman yang mereka alami. Manusia yang eksis adalah manusia yang mampu bertransendensi dari faktisitasnya. Ia telah menyadari hal-hal yang selama ini membatasi hidupnya dan berkesimpulan untuk menentukan hidupnya sendiri berdasar pada keinginan dan pemikirannya. Sekuat mungkin manusia akan berusaha untuk mengeliminasi unsur-unsur eksternal ketika hendak bertansendensi. Manusia akan membuat sebuah tindakan yang terlepas dari pengaruh yang berasal dari luar dirinya dan membuat pilihan yang benar-benar berdasarkan pada pemikiran subjektifnya. No Exit merupakan salah satu dari sekian banyak karya Sartre yang sangat fenomenal. Dari karyanya tersebut, kita bisa lebih mudah memahami jalan pikiran Sartre dibanding ketika kita membaca buku filsafatnya yang lain. Sartre dengan sangat berhasil menggambarkan bagaimana the Self berposisi ketika ia berada di dalam sebuah lingkungan yang lebih besar, yaitu the Other. Tidak ada manusia yang bisa menyangkal keberadaannya bersama the Other. Hidup bersama dengan the Other menjadi bukti bagi eksistensi the Self di dunia. Interaksi yang terjadi antara the Self dan the Other adalah sebuah relasi yang bersifat interdependen. Artinya, keduanya saling bergantung satu sama lain tanpa disadari. Apa yang membuat mereka bergantung satu sama lain adalah karena sebenarnya the Self dan the Other saling memberi dampak dan bertukar nilai ketika mereka berjumpa pada suatu kondisi dan situasi tertentu. Pertukaran nilai ini akan menjadi bekal dalam pembentukan diri the Self, begitu juga bagi the Other. Pertukaran nilai yang terjadi akan diterima oleh the Self sebagai sebuah pengetahuan baru. Pengetahuan itu akan diasosiasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki the Self sehingga akan menciptakan sebuah pengetahuan baru. Nantinya, ini akan digunakan the Self untuk menghadapi pengalaman-pengalaman selanjutnya. Pengetahuan baru yang didapatkan the Self sebagai hasil perjumpaannya dengan the Other juga akan turut mempengaruhi keputusan yang akan ia ambil. Untuk membuat keputusan ini, the 8 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
Self harus sedikit memberi jarak antara dirinya dengan masyarakat agar dapat menghasilkan keputusan yang terbaik. Hasilnya, ada yang memutuskan untuk hidup dalam dekapan masyarakat dengan harapan tidak perlu memikul tanggung jawab. Kemudian, ada juga yang melepaskan diri sama sekali dari masyarakat dan bahkan meniadakan orang lain dari dunianya. Manusia yang eksis adalah manusia yang ketika membuat keputusan, ada unsur masyarakat yang masuk di dalamnya karena masyarakat telah menjadi bagian dari faktisitasnya. Keputusan yang diambil tesebut merupakan sebuah keputusan yang dihasilkan dari pemikiran seseorang yang sudah hidup bersama orang lain dengan segala pengetahuan yang sudah mengendap dalam pikirannya yang ia peroleh dari pengalamannya ketika ia hidup di dunia. E. KESIMPULAN Tidak ada manusia yang hidup sendiri di dunia ini. Hidup di dalam sebuah masyarakat merupakan sebuah kepastian yang kemudian menjadi salah satu unsure pembentuk faktistias manusia. Dimensi faktisitas dan dimensi transenden merupakan dua unsur pembentuk eksistensi manusia di dunia. Beberapa hal yang bisa dikategorikan sebagai faktisitas manusia adalah ketubuhan manusia, yang mana manusia itu hidup pada waktu dan tempat tertentu. Orang lain atau masyarakat juga merupakan pembentuk faktisitas manusia Ketika manusia sudah mempertanyakan keberadaannya di dunia, kemudian mengenali dan memahami faktisitasnya, maka manusia itu bukan lagi sekedar manusia, ia telah menjadi seorang the Self yang memiliki kesadaran akan hakikat hidupnya. Ketika manusia sudah mampu mengenali dirinya, maka ia akan mulai menyadari keberadaan orang lain yang ada di sekitarnya. Hingga pada suatu saat ia akan sadar bahwa dalam setiap pengalamannya, selalu ada orang lain di dalamnya. Subjek tersebut sudah mulai melihat orang lain, atau the Other, sebagai bagian dari faktisitasnya. Dalam pertemuan itu pula, seorang subjek dan orang lain yang ditemuinya itu akan saling memberi dampak kepada satu sama lain. Contohnya seperti ketika kita bertemu dengan seorang ilmuwan. Ilmuwan ini menjelaskan secara detil mengenai proses terciptanya semesta dengan dukungan berbagai teori fisika. Ketika kita, seorang pendengar, tidak mendalami ilmu fisika dan mendengarkan penjelasan yang begitu rinci dari seorang ilmuwan, bisa saja pandangan kita mengenai bagaimana alam semesta tercipta akan dipengaruhi oleh pandangan si ilmuwan tersebut. Dampak lain yang mungkin terjadi adalah bisa saja apa yang dijelaskan oleh ilmuwan tersebut justru memperkaya pengetahuan kita namun kita tetap berpegang pada kepercayaan kita 9 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa dampak yang terjadi karena pertemuan dengan the Other ini dapat berupa pertukaran pengetahuan, maupun pertukaran nilai atau norma secara tidak langsung. Kondisi saling bertukar nilai dan memberi dampak ini disebut sebagai sebuah relasi interdependensi, oleh Sartre. Kondisi ini akan turut member pengaruh terhadap pembentukan kesadaran seorang self dan bagaimana ia menjalani kehidupannya. Dalam eksistensialisme dan hubungannya dengan makna hidup seorang manusia, tindakan menjadi topik utamanya. Manusia memang memiliki kebabasan untuk menentukan tindakan atau keputusan yang akan ia ambil terhadap hidupnya. Namun dengan pengetahuan bahwa the Self dan the Other terlibat dalam sebuah relasi interdependensi, maka bisa kita simpulkan bahwa tidak ada sebuah keputusan yang murni berasal dari pemikiran seorang subjek. Pengalaman bersama dengan orang lain telah membentuk diri subjek yang nantinya akan turut mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Ini tidak berarti bahwa the Other telah mendominasi keputusannya, tetapi sekalipun kesadaran self dipengaruhi the Other namun the Self memiliki kontrol penuh akan hidupnya. Tidak ada yang bisa memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Setiap orang memiliki kebebasannya untuk menentukan hidupnya. Hanya saja yang terjadi adalah dalam setiap keputusan itu, secara tidak langsung ada unsur orang lain di dalamnya. F. KEPUSTAKAAN Anderson, Perry and Fraser, Ronald (2006). Conversations with Jean Paul Sartre. London: Seagull Books. De Beauvoir, Simone. (1956). The Second Sex.( H.M. Parshley, Penerjemah). London: Lowe and Brydone, Ltd. Heidegger, Martin. (2001). Being and Time. (John Macquarrie and Edward Robinson, Penerjemah). Cornwall: Blackwell Publishers. Kroeber, A. L. and Kluckhohn, Clyde. (1952). Culture: a Critical Review of Concepts and Definitions. United States of America: The Museum. Passmore, John. (1968). A Hundred Years of Philosophy.England: Penguin Books, Ltd. Sartre, Jean Paul. (1964). The Words. (Bernard Frechtman, Penerjemah). New York: George Braziller, Inc.
10 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.
______________. (1989). No Exit and Three Other Plays. (S. Gilbert, Penerjemah). New York: Vintage Books. ______________. (1960). The Transcendence of the Ego: an Existentialist Theory of Consciousness. ( Forrest Williams and Robert Kirkpatrick, Penerjemah). New York: Hill and Wang. ______________. (1993). Being and Nothingness. ( Hazel E Barnes, Penerjemah). Colorado: University of Colorado. ______________. (1948). Existentialism and Humanism. ( Philip Mairet, Penerjemah). London: Methuen & Co. Ltd. Solomon, Robert C. (1981). Introducing The Existentialists: Imaginary Interviews with Sartre, Heidegger and Camus. Cambridge: Hackett Publishing Company. Stumpf, Samuel Enoch. (1999). Socrates to Sartre: a History of Philosophy. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc Spade, Paul Vincent. (1996). Jean Paul Sartre`s: Being and Nothingness. Indiana University
11 Keputusan eksistensial..., Siti Annisa, FIB UI, 2013.