KEPEMIMPINAN MUDIR PONDOK PESANTREN AL-ITTIFAQIAH INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN
Skripsi Diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh: EKO ARISANDI 104018200654
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM - MANAJEMEN PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul "Efektivitai Kepemimpinan
di
Pondok Pesantren al-
Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan" yang disusun oleh Eko Arisandi dengan nomor induk mahasiswa 104018200654 Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam telah melalui bimbingan dan dinyatakan
sah sebagai karya ilmiah serta berhak diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
J
Yang Mengesahkan: Pembimbing
/A"
Dra. Yefneltv Z. M.Pd. NIP: 19531101 198203 2 001
akarla, 5 September 201
|
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi berjudul "Kepemimpinan Mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan" yang disusun oleh Eko Arisandi dengan nomor induk mahasiswa 104018200654 telah dinyatakan lulus oleh dewan penguji dalam ujian munaqasah pada tanggal 16 September 2Q11. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu S1 (S.Pd.) pada
Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 2 1 September 201 I
Panitia Uj ian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program
Studi)
Tanggal
Drs. Rusydy Zakaria" M.Ed.. M.Phil 19560530 198503 I 002
NIP:
Sekretari s (Sekretaris JurusanlProgram Studi)
Fauzan, MA NIP: 19761107 200701
ry/et I
r
013
Penguji I
J
Prof. Dr. Abudin Nata. MA NIP: 196540802 198503 L002 Penguji
II
t2/
r
/E/?at
Akbar Zainuddin. MM Mengetahui
idayatullah Iakarta
Tanda Tangan
LEMBAR PERNYATAAN B i s mi I lahirro
hmanirr o him.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
Eko Arisandi
NIM
10401 82006s4
Program Studi
Manajemen Pendidikan
Jurusan
Kependidikan Islam
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Judul Skripsi
Efektivitas Kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan
dengan
Ilir
Sumatera Selatan
ini menyatakan bahwa skripsi yang
saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
J
akarta, 5 September 201
Penulis
Iv\ETERAI Nnz
TEMPEL
W
t;
1
ABSTRAK KEPEMIMPINAN MUDIR PONDOK PESANTREN AL-ITTIFAQIAH INDRALAYA OGAN ILIR SUMATERA SELATAN Dewasa ini pondok pesantren telah mengalami transformasi kelembagaan secara signifikan. Trasformasi kelembagaan pondok pesantren mengindikasikan terjadinya kesinambungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren dengan tidak menggeser ciri khas dan kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia (indigenous). Pergeseran fungsi di atas berpengaruh pula pada sistem manajerial pesantren menjadi organisasi impersonal yang dikelola menurut tata aturan manajemen modern. Dalam pelembagaan semacam ini pembagian wewenang dalam tatalaksana kepengurusan diatur secara fungsional. Kepemimpinan yang umumnya diterapkan di pesantren, sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren. Sudah menjadi common sense bahwa pesantren sangat identik dengan figur kyai pimpinan atau pengasuh pesantren. Kyai merupakan faktor inti dan figur sentral di pesantren karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya.Kepemimpinan individual-karismatik dalam pesantren untuk kepentingan tertentu sangat dibutuhkan, namun sekaligus juga dapat menjadi kelemahan pesantren. Sehingga dalam banyak kasus, pesantren yang mengalami kemunduran, bahkan kehancuran, setelah wafatnya kyai pendiri pesantren. Hal ini pula bersinggungan langsung dengan tuntutan dunia pendidikan terhadap penerapan profesionalisme pendidikan yang pada gilirannya akan menggeser dominasi kepemimpinan kyai di lingkungan pesantren. Dengan demikian, kepemimpinan tunggal kyai dipandang tidak memadai lagi dan status pesantren sebagai milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan milik pribadi. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah yang terletak di jantung kota Indralaya Ibukota Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan mengarahkan pengelolaan pesantren berbasis manajemen dengan memadukan tradisi kepemimpinan pesantren dan mekanisme manajemen. Kyai pimpinan pesantren (Mudir) sebagai top leader dipilih dan dikukuhkan oleh yayasan untuk memimpin pesantren. Kondisi ini memungkinkan bagi kyai untuk membagi dan mendistribusikan wewenangnya kepada pengurus pesantren sesuai jabatan masing-masing. di samping itu mudir juga berkonsultasi dengan penasehat pesantren serta pihakpihak lain yang berkompeten dan berkepentingan (stake holder). Selanjutnya bagaimana penerapan kepemimpinan mudir pesantren dan pengaruhnya terhadap efektivitas pengelolaan pesantren, menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Sehingga penelitian yang menggunakan metode deskriptif kualitatif yang penulis lakukan terhadap kepemimpinan mudri pesantren ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara menyeluruh dan utuh mengenai Kepemimpinan Mudri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan. Dan dari penelitian tersebut diketahui bahwa Pondok Pesantren al-Ittifaqiah telah melakukan transformasi kepemimpinan dengan menerapkan tradisi kepemimpinan kyai pesantren yang dipadukan dengan mekanisme manajemen dalam pengelolaan pesantren. iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Sepenuh tulus penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT Sang Maha Sempurna, Penguasa alam semesta, Pengijabah segala doa dan cita. Berkat keberkahan dan keridhoan-Nya penelitian ini dapat penulis selesaikan hingga dapat dipertahankan dihadapan dewan penguji dalam sidang munaqasah. Semoga Allah SWT meruahkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW sang pembawa risalah, penuntun umat dengan uswah dan qudwah, penebar rahmat untuk mencapai hasanah dunia dan akhirat. Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis dalam rangka mencapai gelar Sarjana Islam (S.Pd.) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat keterlibatan banyak pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih atas perhatian, dorongan, dan bantuan semua pihak yang telah menjadi motivasi bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir dan bisa merampungkan perkuliahan. Dengan penuh ketulusan penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menempuh pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya. 2. Drs, Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam dan Drs. Muarif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan yang telah memberikan nasehat, arahan dan kemudahan akademik kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dan penyusunan skripsi. 3. Drs. H. Nurochim, M.M, Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi, bimbingan, dan bantuan selama menjalani pendidikan sampai akhir perkuliahan.
iv
4. Dra. Yefnelty Z, M.Pd., Pembimbing Skripsi, terima kasih atas perhatian dan kesabaran dalam membimbing, memotivasi, dan memberikan masukan berharga kepada selama proses penyusuan skripsi. 5. Drs. KH. Mudrik Qori, MA., Mudri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah yang telah memberikan segala kemudahan selama proses penelitian di pesantren ini. Terimakasih juga kepada para guru dan kyai, mudah-mudah prose yang dilewati di pondok menjadi bekal keberkahan di masa depan. 6. Penuh cinta dan sayang untuk Ayahanda Mil Kondi dan Ibunda Raira Wati, do’a dan perjuangan yang penuh ikhlas diberikan kepada ananda telah menjadi kekuatan bagi ananda dalam menjalani proses kehidupan. Untuk saudariku tercinta Fitra Aryansi dan suaminya Indra Gunawan serta “pelita keluarga” Firza Adindya Sujjada, mudah-mudah dengan keridhoan Ayah-Bunda keluarga kita senantiasa dihiasai kebahagian dan keberkahan. 7. Skripsi ini juga penulis persembahkan dengan penuh ta’zim atas perhatian kakak-kakak yang menjadi inspirasi dan motivasi dalam proses perkaderan yang saya lewati. 8. Keluarga besar IKAPPI Jakarta, PPI, dan seluruh pengurus, aktivis dan kader HMI se-Cabang Ciputat, perjalanan kita masih panjang, yakusa!!! 9. Teman-teman kelas KIMP B 04, Alumni PPI 2000, 2003, semoga kebersamaan kita selama ini menjadi pengikat silaturrahim ketika kita terpisah cita-cita dan jalan hidup masing-masing. 10. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FITK, dan Perpustkaan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah menyediakan sumber referensi selema penulisan skripsi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi pijakan bagi perkembangan akademik penulis untuk melangkah pada tahap selanjutnya.
Ciputat, 23 September 2011
Eko Arisandi
v
DAFTAR ISI HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………...…………. i HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….
ii
ABSTRAK ...………………………………………………………………… iii KATA PENGANTAR ………………………………………………………
iv
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...
vi
DAFTAR TABEL …………………………………………………………... vii DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..
BAB I
viii
PENDAHULUAN……………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah……………………………….……..
1
1. Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………...…....……...
7
2. Identifikasi Masalah………………………….…………... 8
BAB II
3. Pembatasan Masalah…………………………..…...……..
8
4. Perumusan Masalah……………………………….……...
8
B. Manfaat Penelitian……………………………...…….………
9
KAJIAN TEORITIS…………………………………………..... 10 A. Konsep Dasar Kepemimpinan……………………………….
10
1. Pengertian Kepemimpinan…………………………….....
10
2. Karakteristik Dasar Kepemimpinan…………………..…
13
B. Kepemimpinan Pesantren………………………………...….
16
1. Pengertian dan Tipologi Pesantren……………………....
16
a. Pengertian Pesantren………………………………….
16
b. Tipologi Pesantren……………………………………
20
2. Kepemimpinan dalam Tradisi Pesantran…………………
27
3. Transformasi Kepemimpinan Pesantren…………………
27
4. Efektifitas Kepemimpinan Pesantren………………….…
36
iv
BAB III
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN………………………………..
43
A. Tujuan Penelitian…………………………………………….
43
B. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………….....
43
C. Metode Penelitian.……………………………………………
43
D. Populasi dan Sampel…………………………………………
44
E. Instrumen Penelitian…………………………………………
49
F. Teknik Pengumpulan Data…………………………………..
50
G. Teknik Pengolahan Data……………………………………..
51
H. Teknik Analisis Data………………………………………...
51
HASIL PENELITIAN…………………………………………..
56
A. Deskripsi Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan……………………………………………...
56
1. Gambaran Pesantren di Ogan Ilir Sumatera Selatan……
56
2. Sejarah Pondok Pesantren al-Ittifaqiah…………………
58
a. Pengajian Tradisional (1918-1922)…………………
58
b. Madrasah Ibtidaiyah Sisayasiyah Alamiyah (19221942)………………………………………………….
60
c. Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga (19491962)…...................................................................
62
d. Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga (19621967).......................................................................
63
e. Madrasah Menengah Atas (MMA) al-Ittifaqiah Indralaya (1967-1976)……………………………….
64
f. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya (1976sekarang)…………………………………………….. 3. Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah…………………...
66 71
a. Tipe dan Ciri Khas…………………………………...
72
b. Visi dan Misi…………………………………………
73
c. Program Pendidikan………………………………….
74
v
BAB III
d. Pengurus, Guru, dan Karyawan.................…………
75
e. Keadaan Santri…...…………………………………...
78
4. Gambaran Kepemimpinan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah
79
B. Uji Kualitas Data……………………………….……………..
75
1. Karakteristik Responden………………………………...
75
2. Uji Validitas dan Ralibilitas Data………………………..
80
a. Uji Validitas…………………………………………..
80
b. Realibitas data………………………………………...
83
C. Deskripsi Data…………………………………..……………
85
D. Analisis dan Interpretasi Data……………………………….
102
PENUTUP……………………………………………………….. 105 A. Kesimpulan.........................................................................
105
B. Saran...................................................................................
106
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
107
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………….. 111
vi
DAFTAR TABEL
No. Keterangan 1. Daftar Responden Pengisi Angket 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
15.
16.
17.
18.
Keterangan pengisian daftar responden Jenis Kelamin Responden Tingkat Usia Responden Masa Bekerja Responde Tingkat Pendidikan Responde Kisi-kisi Instrumen Penelitian Dafatar rekapitulasi uji validitas Pengitungan Realibilitas Daftar Pengurus, Guru, Karyawan dan Pengabdi PPI Tahun Pelajaran 2008-2009 Jumlah Pengurus dan Karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Jumlah Santri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Pertanyaan angket 1. Pengurus, guru, dan karyawan mengetahui mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren. Pertanyaan angket 2. Keluarga atau keturunan Kyai Pendiri pesantren secara otomatis dapat menjadi pimpinan pesantren. Pertanyaan angket 3. Terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan menetapkan pimpinan pesantren. Pertanyaan angket 4. Pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren Pertanyaan angket 5. Pimpinan pesantren merupakan penentu segala hal berkenaan dengan pengelolaan pesantren Pertanyaan angket 6. Pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di pesantren.
No. Tabel 3.1
Halaman 44
3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4.1
46 47 47 48 48 49 52 55 75
4.2
78
4.3 4.4
79 85
4.5
86
4.6
87
4.7
87
4.8
88
4.9
89
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Pertanyaan angket 7. Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui pedoman, aturan, dan mekanisme dalam pengelolaan pesantren. Pertanyaan angket 8. Peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren. Pertanyaan angket 9. Penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan karyawan. Pertanyaan angket 10. Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren. Pertanyaan angket 11. Pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Pertanyaan angket 12. Pengurus, guru, dan karyawan terlibat aktif dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren. Pertanyaan angket 13. Pimpinan pesantren mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Pertanyaan angket 14. Seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren. Pertanyaan angket 15. Pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren. Pertanyaan angket 16. Pengarahan kerja kepada pengurus dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pertanyaan angket 17 Pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan.
4.10
89
4.11
90
4.12
91
4.13
91
4.14
92
4.15
93
4.16
93
4.17
94
4.18
95
4.19
95
4.20
96
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38. 39. 40. 41.
Pertanyaan angket 18. Penanganan permasalahan kerja dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pertanyaan angket 19. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren Pertanyaan angket 20. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pertanyaan angket 21. Terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Pertanyaan angket 22. Diterapkan aturan dan mekanisme dalam menentukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan. Pertanyaan angket 23. Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren. Pertanyaan angket 24. Pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren Pertanyaan angket 25. Keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan. Penerapan Transformasi Kepemimpinan Penetapan arah organisasi Pengembangan sumber daya manusia Mendesain ulang organisasi
4.21
97
4.22
97
4.23
98
4.24
99
4.25
99
4.26
100
4.27
101
4.28
101
4.29 4.30 4.31 4.32
102 103 103 104
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Pengajuan Judul Skripsi 2. Surat Bimbingan Skripsi 3. Surat Izin Penelitian 4. Surat Keterangan Melakukan Penelitian 5. Angket Penelitian 6. Hasil Wawancara 7. Keterangan Acc dari Pembimbing
viii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Mendiskusikan kepemimpinan pondok pesantren sangat erat kaitannya dengan
proses
modernisasi
pesantren
sebagai
implementasi
strategi
akomodatif-transformatif terhadap pola kehidupan masyarakat yang dilakukan pesantren. Trasformasi kelembagaan pondok pesantren mengindikasikan terjadinya kesinambungan dan perubahan dalam sistem pondok pesantren dengan tidak menggeser ciri khas dan kekuatannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia (indigenous)1. Pesantren umumnya dipandang sebagai basis pendidikan Islam tradisional yang mempunyai identitas tersendiri sebagai “subkultur”2 yang di dalamnya tumbuh dan berkembang suatu “tradisi” yang unik dan berbeda dengan kenyataan di luar pesantren. Namun dihadapkan pada keharusan menghadapi gelombang modernisasi pendidikan Islam serta mempertahankan eksistensinya
–dengan
tetap
mempertahankan
kebijaksanaan
hati-hati
(cautious policy)– pesantren menerima modernisasi.3 Pesantren berkompromi dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, 1
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 3 2 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 1 3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 101
2
khususnya dalam kandungan kurikulum, tehnik dan metode pengajaran, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi pesantren memiliki kelenturan budaya yang memungkinnya bisa tetap survive dan berkembang di tengahtengah masyarakat. Dewasa
ini
pondok
pesantren
telah
mengalami
transformasi
kelembagaan secara signifikan. Sebagian pesantren tidak lagi dikelola secara tradisional melainkan sudah mengembangkan manajemen organisasi yang relatif modern dan memiliki status badan hukum yang jelas dalam bentuk yayasan.4 Dengan demikian, asumsi bahwa pesantren elergi terhadap perubahan jelas tidak beralasan, sebab dinamika pesantren terbukti telah banyak yang jauh melampaui “definisi” awal dan fungsi tradisionalnya.5 Dewasa ini, pesantren berkembang tidak hanya sebagai lembaga keagamaan yang berfungsi sekedar untuk tafaqquh fi ad-din (menguasai ilmu pengetahuan agama)6 dalam makna sempitnya, dan tidak pula dipahami sekedar berfungsi: mentrasmisikan ilmu-ilmu keislaman, memeilihara tradisi Islam, dan mereproduksi ulama.7 Meskipun harus diakui tidak sedikit pula pesantren yang tetap bersikukuh dengan pola tradisonalnya yaitu pesantren yang diarahkan semata-mata sebagai lembaga pencetak ulama.8 Sejak mengadopsi pendidikan berkelas (madrasah dan sekolah) mulai bermunculan jenis pesantren baru produk alam modern; pesantren yang tumbuh berkembang di perkotaan, pesantren yang tidak sekedar mengkaji kitab kuning (literatur Islam klasik) tetapi juga literatur modern.9 Di beberapa tempat bahkan, telah muncul pesantren pertanian, pesantren peternakan, dan sejenisnya. Gambaran perkembangan pesantren ini menunjukkan bahwa dewasa ini pesantren tidak lagi bisa dilihat semata-mata sebagai lembaga 4
Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 96 5 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h. 57-58 6 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), h. 157 7 Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), h. 89 8 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), 9 E. Shobrin Nadj, “Persfektif Kepemimpinan dan Manajemen Pesantren” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), h. 116
3
pendidikan agama, melainkan juga sebagai agen pemberdayaan pendidikan ekonomi masyarakat dan lembaga sosial. Pergeseran fungsi di atas berpengaruh pula pada sistem manajerial pesantren10 menjadi organisasi impersonal yang dikelola menurut tata aturan manajemen modern. Pembaruan kelembagaan ini didorong pula kebijakan pemerintah
yang mengintrodusir bentuk yayasan sebagai badan hukum
pesantren.11 Dalam pelembagaan semacam ini pembagian wewenang dalam tatalaksana kepengurusan diatur secara fungsional. Sudah menjadi common sense bahwa pesantren sangat identik dengan figur kyai pimpinan atau pengasuh pesantren. Kyai merupakan faktor inti dan figur sentral di pesantren karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya.12 Sering kali kyai juga merupakan pendiri pesantren,13 sehingga perluasan dan penentuan corak pesantren sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian kyainya. Kyai juga sumber utama apa yang berkaitan dengan soal kepemimpinan, ilmu pengetahuan, dan misi pesantren yang cenderung tidak mengikuti suatu pola tertentu.14 Keadaan inilah yang membangun pola kepemimpinan sentralistik kyai dalam mengasuh dan mengelola pesantren. Kedudukan kyai yang sangat kuat dan menentukan ini diidentifikasi sebagai kepemimpinan individual kyai,15 otoriter-paternalistik,16 dan feodal karismatik,17 yang menerapkan manajemen alami yang serba “tidak formal”,18 10
Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaruan; Arah dan Implikasi”, dalam Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2001), h. 158 11 E. Shobrin Nadj, “Persfektif Kepemimpinan dan Manajemen…, h. 116 12 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 255 13 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 55 14 Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), h. 97 15 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 40 16 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam..., h. 114 17 Amin Haedari, Transformasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006), h. 12 18 Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen Pedidikan Pesantren”, dalam Ismail SM., Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar), h. 107
4
akibatnya belum ada bentuk yang tetap dan teratur dalam kepemimpinan pesantren.19 Dengan demikian, wajar bila muncul anggapan, pesantren diibaratkan sebagai “kerajaan kecil” di mana kyai merupakan sumber mutlak kekuasaan dan kewenangan di dalamnya.20 Sebagai pemilik kerajaan kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren. Kepemimpinan yang individual dalam pesantren untuk kepentingan tertentu sangat dibutuhkan, namun sekaligus juga dapat menjadi kelemahan pesantren. Sifat mutlak dan pribadi kepemimpinan karismatik21 kyai sebagai pimpinan pesantren ini diperlukan pada tahap pertama perkembangan pesantren. Kesetian yang bersifat pribadi sukar diterjemahkan menjadi kesetian pada suatu lembaga; ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang mengalami kemunduran, bahkan kehancuran, setelah wafatnya kyai pendiri pesantren.22 Hal ini disebabkan karena pengganti kyai yang menjadi penerus kepemimpinan pesantren tidak memiliki karisma dan ketokohan yang sama dengan kyai sebelumnya baik dalam pengetahuan Islam maupun dalam kepemimpinan organisasi.23 Mencermati keadaan di atas, kepemimpinan yang umumnya diterapkan di pesantren, sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren. Hal ini pula bersinggungan langsung dengan tuntutan dunia pendidikan terhadap penerapan profesionalisme pendidikan yang pada gilirannya akan menggeser dominasi kepemimpinan kyai di lingkungan pesantren.24 Dengan demikian, kepemimpinan tunggal kyai dipandang tidak memadai lagi25 dan status pesantren sebagai milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan milik pribadi.26 Dengan gejala baru ini, tanpa mengurangi peran kyai sebagai pimpinan tertinggi sebuah pesantren, maka sistem 19
manajerialnya harus mengarah
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 179 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 56 21 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 180 22 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 16 23 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 33 24 Amin Haedari, Transformasi Pesantren…, h. 12 25 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi…, h. 104 26 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam..., h. 125 20
5
kepada pola kepemimpinan kolektif sesuai hirarki kepemimpinan atau sistem kepemimpinan multi-leaders.27 Langkah kepemimpinan seperti ini menuntut adanya pembagian tugas sesuai kemampuan yang dimiliki oleh para pemimpin yang ditunjuk sekaligus berfungsi menjaga pergantian kepemimpinan. Dengan kata lain, kelangsungan eksistensi pesantren kemudian tidak lagi bergantung kepada seorang kyai sebagai pemimpin tertinggi secara manunggal. Kecenderungan
kuat
pesantren
untuk
melakukan
konsolidasi
organisasi pada aspek kepemimpinan dan manajerial, sehingga pada perkembangan
saat
ini
banyak
pesantren
yang
mengembangkan
kepemimpinan kolektif. Keadaan seperti ini tak terelakkan juga menyentuh Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah didirikan pada 10 Juli 1967 oleh almarhum KH. Ahmad Qori Nuri (1911-1996) bersama masyarakat Indralaya. Pesantren ini memiliki sejarah panjang sebagai ahli waris perguruan Islam yang didirikan oleh ulama karismatik KH. Ishak Bahsin sejak tahun 1981.28 KH. Ahmad Qori Nuri dikenal sebagai sosok ulama yang mempunyai integritas tinggi dan konsisten, tetapi juga berpikirna modern dan berwawasan luas, dalam diri beliau berpadu antara konsistensi terhadap tradisi salaf dan khalaf sekaligus. Salah satu alasan lembaga pendidikan ini mengambil bentuk pondok pesantren adalah penolakan beliau terhadap tawaran pemerintah untuk menjadikan lembaga pendidikan ini berbentuk murni madrasah 29 Pondok Pesantren al-Ittifaqiah merupakan salah satu pesantren terkenal di Sumatera Selatan. Dari 20 pesantren yang berada di kabupaten Ogan Ilir menurut data Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan (FORPESS) pada 2007,30 Pondok Pesantren al-Ittifaqiah termasuk pesantren besar yang memiliki jaringan internasional.31
27
Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen..., h. 117 Tim Penyusun Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia 2008-2009,(Indralaya: PPI, 2008), h. 1-2 29 Tim Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya…, h. 4 30 Hedra Zainuddin, (eds), Sewindu FORPESS; Geliat Pesantren di Sumatera Selatan, (Palembang: FORPESS, 2007), h. 96 31 Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OK…, h. 60 28
6
Pesantren yang terletak di jantung kota Indralaya Ibukota Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan ini memiliki pendidikan formal Taman Kanakkanak, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an. Pesantren al-Ittifaqiah tetap mempertahankan pembelajaran kitab kuning yang sejak awal pendirian merupakan salah satu sumber belajar, sehingga kurikulum yang digunakan adalah kurikulum integrasi yang merupakan perpaduan antara kurikulum lokal dan kurikulum nasional. Pesantren al-Ittifaqiah menjadikan pendidikan alQur’an sebagai program unggulan disamping penguasaan bahasa Arab dan Inggris sebagai program mahkota (crown program) yang dibingkai dalam kegiatan ko kurikuler, serta kegiatan ekstra kurikuler seperti muhadharah, nagham al-Qur’an, organisasi, olahraga, seni, dan keterampilan lainnya.32 Penelitian terakhir tentang pesantren al-Ittifaqiah yang dilakukan Muhyidin dalam tesisnya di Sekolah Pascasarjana UIN Sarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008, berjudul Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan; menyebutkan bahwa pesantren al-Ittifaqiah menerapkan manajemen terbuka. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah mengarahkan pengelolaan pesantren berbasis manajemen dengan memadukan tradisi kepemimpinan pesantren dan mekanisme manajemen.
Kyai pimpinan pesantren (dikenal
dengan istilah mudir al-ma’had atau direktur) sebagai top leader dipilih dan dikukuhkan oleh yayasan untuk memimpin pesantren.33 Kondisi ini memungkinkan bagi kyai untuk membagi dan mendistribusikan wewenangnya kepada pengurus pesantren sesuai jabatan masing-masing. di samping itu mudir juga berkonsultasi dengan penasehat pesantren serta pihak-pihak lain yang berkompeten dan berkepentingan (stake holder).34
32
Tim Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya…, h. 11-12 Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 89-90 34 Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem…, h. 148 33
7
Pola kepemimpinan pesantren yang tumbuh mengikuti kultur pesantren yang mandiri dan independen, sehingga menjadikan pesantren lebih bebas dan tidak terikat sehingga secara otonom dapat menentukan bentuk pengelolaan pesantren sesuai kebutuhan dan keadaan pesantren itu sendiri. Berbeda dengan pesantren yang umumya menerapkan kepemimpinan individual-karismatik dan sangat identik dengan ketokohan figur kyai pendiri atau pimpinan pesantren, pesantren al-Ittifaqiah mengambil corak kepemimpinan kolektifpartisifatif yang memungkinkan terbukanya keterlibatan seluruh elemen pesantren dalam menentukan kebijakan dan penyelesaian permasalahan pesantren. Kepemimpinan seperti ini menggeser dominasi kepemimpimpinan kyai di pesantren dan menuntut adanya mekanisme manajerial yang modern, profesional dan demokratis dalam pengelolaan pesantren. Kepemimpinan pesantren menjadi faktor penentu keberlangsungan eksistensi
pesantren,
dengan
demikian
upaya
menerapkan
model
kepemimpinan kolektif dalam manajemen pesantren suatu ikhtiar pesantren terhadap permaslahan kepemimpinan pesantren sekaligus menjawab tuntutan profesionalisme pengelolaan pendidikan. Namun hal ini tentu dengan sendirinya akan bersentuhan atau bahkan bersinggungan dengan kekhasan dan keunikan tradisi yang selama ini berlaku di pesantren. Membaca realitas perkembangan pesantren memerlukan pemahaman yang komprehensif dan interpretatif serta apresiasi mendalam terhadap tradisi pesantren. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah menurut penulis telah melakukan eksperimen dan perubahan fundamental dalam tradisi pesantren dengan konsep kepemimpinan yang diterapkannya, sehingga berbagai permasalahan yang berkenaan dengan penerapakan kepemimpinan di pesantren ini menurut penulis menarik untuk diteliti. Berusaha menggali cecara lebih mendalam permasalahan
tersebut,
penulis
melakukan
penelitian
dengan
judul:
“Kepemimpinan Mudir Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan.”
8
B. Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukkan di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah yang akan diteliti, yaitu: a. Posisi kyai dalam tradisi pesantren yang sangat menentukan segala proses pengelolaan pesantren. b. Pengaruh kepemimpinan mudir pesantren terhadap penerapan profesionalisme pengelolaan lembaga pendidikan. c. Kelemahan
kepemimpinan
individual-karismatik
dalam
pengembangan pesantren. d. Perkembangan budaya kepemimpinan yang berkembang di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah. e. Faktor yang mendukung dan menghambat proses penyelenggaraan kepemimpinan mudir di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah. f. Pengaruh
kepemimpinan
mudir
terhadap
tingkat
efektivitas
pengelolaan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah. g. Pengaruh kepemimpinan mudir terhadap tingkat efektivitas kinerja pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.
2. Pembatasan Masalah Mengingat masalah yang teridentifikasi dalam penelitian ini cukup luas, untuk memperjelas dan mempermudah pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis membatasi masalah penelitian ini yaitu: a. Kepemimpinan mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan. b. Pengaruh
kepemimpinan
mudir
pesantren
terhadap
efektivitas
pengelolaan pesantren.
3. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
9
a. Bagaimana kepemimpinan mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan? b. Bagaimana pengaruh kepemimpinan mudir pesantren terhadap efektivitas pengelolaan pesantren?
C. Manfaat Penelitian a. Bagi penulis penelitian ini sebagai sarana memperluas wawasan tentang kepemimpinan pesantren, serta menambah pengetahuan tentang penerapan konsep dan metodologi penelitian. b. Bagi para mahasiswa dan peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih
bahan
informasi
tentang
kepemimpinan
pesantren dan salah satu pesantren di Sumatera Selatan. c. Bagi pimpinan dan pengurus pesantren, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan positif dalam meningkatkan efektivitas kepemimpinan dan pengelolaan pesantren.
10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Dasar Kepemimpinan 1. Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Sangat banyak definisi kepemimpinan yang dikemukakan para pakar manajemen sesuai dengan sudut pandang dan titik fokus mereka yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana dikutip Mulyadi, secara khusus Gary Yukl menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan secara bersama. Sebagaimana penjelasan berikut: Leadership is defined broadly as influence process affecting the interpretation of events for followers, the choice of objectives for group or organization, the organization of work activities to accomplish the objectives, the motivation of followers to achieves, the maintenance of cooperative relationships and team work, and enlistment of support and cooperation from people outside the group or organization. (Kepemimpinan didefinisikan secara luas sebagai proses-proses yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau orang, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas tersebut untuk mencari sasaran, pemeliharaan hubungan, kerjasama dan teamwork, serta
11
perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau orang.)1 Kepemimpinan didefinisikan secara luas sebagai proses-proses yang mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikut, pilihan dari sasaran-sasaran bagi kelompok atau orang, pengorganisasian dari aktivitas-aktivitas tersebut untuk mencari sasaran, pemeliharaan hubungan, kerjasama dan teamwork, serta perolehan dukungan dan kerjasama dari orang-orang yang berada di luar kelompok atau orang. Definisi
ini
memberikan
pejelasan
bahwa
kepemimpinan
merupakan proses-proses mempengaruhi, memotivasi, pengorganisasian aktivitas tersebut untuk mencapai tujuan sasaran. Motivasi untuk mencapai sasaran, pemeliharaan hubungan kerjasama dengan teamwork untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kepemimpinan mencakup hubungan pemimpin dengan anggota organisasi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dewasa ini, kepemimpinan tidak lagi dipahami secara organik tetapi merupakan dimensi organisasi yang mempunyai konstribusi untuk membangun budaya organisasi yang sehat. Hal ini misalnya sebagaimana dikemukakan Mulyadi dengan mengutip Owens, bahwa: Leadership is function of group, not individual. We speak of course of individual as being leadership occurs of two of more people interacting. An interacting process one person is able to induce others to think and behave in certain desires ways that being up the second key point which in influence leadership involves intentionally exercising influence organization behavior of the people. (Fungsi kepemimpinan itu mencakup kepentingan kelompok, bukan perseorangan. Kita membicarakan tentang rangkaian individu sebagai pemimpin, tetapi kepemimpinan sendiri melibatkan dua orang atau lebih dalam berinteraksi. Proses interaksi perseorangan itu dapat mempengaruhi individu-individu yang lain dalam berfikir dan bersikap sesuai dengan caranya masing-masing yang akan menjadi poin kunci kedua dalam 1
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Pengembangan Budaya Mutu (Studi Multi Kasus di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang, MAN Malang I dan MA Hidayatul Mubtadi’in Kota Malang), (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 16
12
mempengaruhi kepemimpinan. Pengaruh tersebut akan menyangkut perilaku orang lain dalam sebuah organisasi yang diperoleh dari penanaman pengaruh yang terus dilakukan)2 Fungsi kepemimpinan itu mencakup kepentingan kelompok, bukan perseorangan. Kita membicarakan tentang rangkaian individu sebagai pemimpin, tetapi kepemimpinan sendiri melibatkan dua orang atau lebih dalam berinteraksi. Proses interaksi perseorangan itu dapat mempengaruhi individu-individu yang lain dalam berpikir dan bersikap sesuai dengan caranya masing-masing yang akan menjadi poin kunci kedua dalam mempengaruhi kepemimpinan. Pengaruh tersebut akan menyangkut perilaku orang lain dalam sebuah organisasi yang diperoleh dari penanaman pengaruh yang terus dilakukan. Kutipan di atas menerangkan bahwa kepemimpinan merupakan dimensi hubungan sosial dalam organisasi dalam rangka memberikan pengaruh antara individu atau kelompok melalui interaksi sosial. Pemimpin hendaknya berupaya untuk membangun tradisi kelompok melalui hubungan kerja dengan anggota organisasi. Para ahli manajemen berpendapat bahwa kepemimpinan sebagai suatu konsep manajemen di dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan strategis, karena kempemimpinan merupakan titik sentral dan dinamisator
seluruh
proses
kegiatan
organisasi.
Kepemimpinan
merupakan suatu kekuatan penting dalam rangka pengelolaan, oleh karena itu kemampuan memimpin secara efektif merupakan kunci keberhasilan organisasi.3 Riset-riset tentang pendidikan, misalnya yang dilakukan Borko, Wolf, Simone, dan Uchiyama, menunjukkan bahwa kepemimpinan memegang peranan penting atau menjadi fokus utama yang mendorong kesukesan upaya-upaya reformasi sekolah. Pada gilirannya, menurut Hill,
2
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 17-18 Fieldler Fred E., Martin M. Chamers, Leadership and Effective Management, by Scott, Foresman and Company, Glenview, 1974, dalam Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010), h. 4 3
13
Leithwood dan Riehl, kepemimpinan juga menentukan pencapaian prestasi sekolah secara keseluruhan.4 Dengan demikian, kepemimpinan memegang peranan sangat penting dalam pengembangan sekolah termasuk
pesantren
secara keseluruhan.
Di era perubahan ini,
kepemimpinan sangat penting dalam memandu peningkatan prestasi dan pengembangan pesantren.
2. Karakteristik Dasar Kepemimpinan Kajian-kajian karakteristik kepemimpinan berkembang seiring dengan perkembangan dinamika organisasi. Kepemimpinan efektif harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang tepat. Sehingga tujuan akhir dari tugas kepemimpinan mengoptimalkan semua potensi organisasi agar tercipta kinerja organisasi yang sehat sehingga tujuan tercapai secara efektif dan efisien.5 Efektif berhubungan dengan pencapaian tujuan kerjasama yang bersifat sosial dan nonpersonal. Sedangkan efisiensi berhubungan dengan kepuasan motif-motif individual dan bersifat personal.6 Kepemimpinan menekankan pada hubungan perilaku pemimpin dengan lingkungan organisasi untuk memberikan kontribusi penting bagi efektivitas kepemimpinan. Faktor-faktor yang umumnya sangat dominan mempengaruhi perilaku seorang pemimpin menurut Ngalim Purwanto, yaitu: (1) keahlian dan pengetahuan yang dimiliki pemimpin, (2) jenis pekerjaan atau lembaga tempat pemimpin melaksanakan tugas, (3) sifat kepribadian pemimpin, (4) sifat kepribadian pengikut atau kelompok yang dipimpin, dan (5) kekuatan yang dimiliki pemimpin.7 Dalam kepemimpinan pesantren, menurut Abdullah Syukri, kriteria pemimpin merupakan satu kesatuan uswah hasanah yang tidak
4
Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 1 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 22 6 M. Ngalim Purwanto, Adminsitrasi dan Supervisi Kepemimpinan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 28 7 M. Ngalim Purwanto, Adminsitrasi dan Supervisi Kepemimpinan…, h. 59-61 5
14
hanya mengandalkan kekuatan moral, tetapi juga etos kerja, keilmuan, dan produktifitas. Sehingga dalam kepemimpinan pesantren, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kualifikasi antara lain: (1) ikhlas, (2) sungguh-sungguh, (3) memiliki wawasan pengalaman yang banyak dan matang, wawasan pemikiran, dan wawasan keilmuan, (4) memiliki nyali yang besar dan keberanian yang tinggi, (5) mampu bertindak tegas yang sesuai dengan sunnah dan disiplin pondok, (6) memiliki idealism yang tinggi, bukan hanya pragmatis, (7) memiliki pandangan yang jauh ke depan atau visioner, (8) selalu banyak mengambil inisiatif, (9) mampu membuat dan memanfaatkan jaringan kerja, (10) bisa dipercaya karena bisa berbuat, dan (11) jujur serta transparan.8 Berkenaan dengan karakteristik kepemimpinan menurut Guther dan Reed, sebagaimana dikutip Mulyadi, yaitu: visioner, inspiratif, orientasi strategis, integritas (pribadi profesional), sofistikasi organisasi (setting tujuan, insentif, unjuk kerja, seleksi personil, alokasi sumber daya, evaluasi dan nurturing).9 Lebih lanjut Mc. Gregor mengemukakan empat aspek yang mempengaruhi kepemimpinan, yaitu: karakteristik kepribadian pemimpin, sikap kebutuhan dan karakteristik pribadi pengikut, karakteritik organisasi: tujuan, struktur, sifat tugas yang harus dilaksanakan, keadaan lingkungan sosial, ekomonis, dan politis.10 Dengan demikian, kriteria personal seorang pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan faktor penentu produktifitas dan efektivitas, serta keberhasilan lembaga tersebut secara keseluruhan. Pandangan ini juga berlaku di dunia pesantren, karakteristik seorang kyai akan manjadi tolok ukur kepemimpinan organisasi secara kolektif dan akan sangat berpengaruh terhadap kinerja pesantren secara keseluruhan.
8
Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren; Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), h. 199 9 Guther J.W. & Need R.J., Administration and Policy; Effective Leadhership for American Education (Boston: Allyn Bacon, 1991), p. 91; Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 25 10 Mc. Gregor, The Human Side of Interprises (New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1960), p. 20; dalam Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Pengembangan Budaya Mutu…, h. 23
15
Kepemimpinan juga merupakan upaya mengartikulasikan nilai, keyakinan, visi organisasi agar menjadi perilaku organisasi yang termanifestasi dalam budaya organisasi yang kuat. Sedangkan proses kepemimpinan berperan untuk bagaimana pemimpin menetapkan misi, mangertikulasikan tujuan-tujuan organisasi, merespon perubahan dan memantapkan
komitmen
antara
anggota
organsasi.11
Sehingga
kepemimpinan akan menjadi strategis untuk menyikapi atau mengambil keputusan tentang perubahan internal dan eksternal organisasi yang sedang berlangsung. Karena itu, pemimpin dituntut responsif terhadap perubahan yang berlangsung cepat. Inovasi yang dilakukan pimpinan pesantren dalam merespon perubahan, sejalan dengan prinsip yang dianut pesantren, “al-muhafazatu ‘ala al-qadim as-shalih wa al-akhzu bi al-jadid ashlah” (memelihara peninggalan lama yang baik, dan mengambil inovasi baru yang lebih baik). Dengan kata lain, pimpinan pesantren selain mempertahankan sistem yang berlaku selama ini, juga perlu mentransfer sesuatu yang baru dalam sistem tersebut.12 Menurut Mc. Gregor, kepemimpinan mencakup kemampuan mengelola semua dimensi hubungan antara anggota organisasi yang kadang tidak menemukan batas-batas rasional meski dimensi birokratis selalu berlangsung sebagai upaya memecahkan masalah-masalah rutinitas organisasi.13 Sehingga dalam organisasi membutuhkan kepemimpinan yang mampu menangkap dan memahami secara mendalam dimensidimensi individual dan kelompok dalam organisasi. Dalam konsep model kepemimpinan transformasional, Raihani mengungkapkan dimensi-dimensi kepemimpinan, yang meliputi: (1) Menetapkan arah; mencakup membangun visi bersama, menciptakan konsensus tentang tujuan-tujuan dan prioritas-prioritas, serta membangun ekspektasi performa yang tinggi. (2) Mengembangkan sumber daya manusia, mencakup 11
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 25 Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren…, h. 201 13 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 24 12
16
menyediakan dukungan individual, menawarkan stimulus intelektual, dan memberikan contoh nilai-nilai dan praktik-praktik yang penting. (3) Mendesain ulang organisasi; meliputi membangun suatu kultur kolaboratif, menciptakan dan memelihara struktur-struktur dan proses-proses pengambilan keputusan bersama, serta membangun hubungan dengan para orang tua dan komunikasi yang lebih besar.14 Dari
keterangan
tersebut
menggabarkan
bahwa
dimensi
kepemimpinan antara lain mencakup karakteristik kejelasan visi dan arah strategi, kondisi yang mendukung untuk mengembangkan profesionalisme, dan keterlibatan stakeholders dalam pengambilan keputusan, serta dibangunnya kerjasama dan kemitraan yang lebih luas.
B. Kepemimpinan Pesantren 1. Pengertian dan Tipologi Pesantren a. Pengertian Pesantren Pesantren sebagai “kampung peradaban” dengan segala kesederhanaan dan kekurangannya menyimpan potensi besar yang telah terbukti dapat melakukan transformasi peradaban Islam yang lebih kosmopolit.15 Seperti diungkapkan Husni Rahim, pendirian pesantren umumnya sangat sederhana, berawal dari kegiatan pembelajaran yang diikuti oleh beberapa orang santri yang datang kepada seorang kyai untuk belajar mengaji. Kegiatan pembelajaran ini biasanya dilaksanakan di rumah kyai sendiri atau di
masjid dan
langgar (mushalla). Kemudian pengajian ini berkembang seiring pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah lembaga pendidikan.16 Dalam pemakaian sehari-hari, istilah “pesantren” bisa disebut dengan “pondok” saja atau kedua kata ini digabungkan menjadi 14
Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif…, h. 33 Djohan Effendi, “Pesantren Kampung Peradaban”, dalam Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta: Paramadani, 2003), h. xviii 16 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 158 15
17
“pondok pesantren”. Melacak asal-usul istilah pondok atau pesantren antara lain dikemukakan Zamakhsyari Dhofier dan Manfred Ziemek dan dimaknai sebagai tempat tinggal. Menurut Dhofier, pesantren berasal dari kata “santri” dengan penambahan awal “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal santri.17 Sementara menurut Ziemek berasal dari istilah pesantrian berarti “tempat santri”.18 Melacak akar kata “santri” seperti dikutip Dhofier, Prof. Jhons berpendapat bahwa istilah ini berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Dan menurut C.C. Berg istilah tersebut berasal dari kata “shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu bukubuku suci agama Hindu atau seorang sarjana atau ahli agama Hindu. Selanjutnya menurut Chatuverdi dan Tiwari, kata “shastri” berasal dari kata “shastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.19 Sementara Nurcholish Madjid mengemukakan, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai acuan untuk meneliti asal-usul kata “santri.” Pertama, santri berasal dari bahasa Sansekerta “sastri” artinya “melek huruf”, karena kaum santri dengan kitab-kitab yang mereka pelajari adalah kelas literary bagi orang Jawa. Kedua, kata santri berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seorang mengabdi kepada seorang guru. Cantrik selalu mengikuti ke mana guru menetap dengan tujuan dapat belajar mengenai suatu keahlian. Pola hubungan “guru-cantrik” ini terus berlanjut dan berubah menjadi “guru-santri” yang kemudian menjadi “kyai-santri” dalam dunia pesantren.20
17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 18 18 Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), h. 16 19 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 18 20 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 19-20
18
Haedar Putra Daulay mengungkapkan, istilah “santri” sudah akrab di kalangan masyarakat sebelum Islam datang ke Indonesia sebagai tempat pendidikan agama seperti mandala dan asrama pada masa Hindu-Budha. Sehingga adanya kaitan pemaknaan istilah “santri” yang digunakan sebelum kedatangan Islam dengan sesudah masuknya Islam ke Indonesia bisa saja terjadi.21 Nurcholish Madjid menyimpulkan, bahwa secara historis pesantren sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha dan Islam tinggal meneruskan dan mengislamkannya. Sehingga lembaga ini tidak saja identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).22 Dengan demikian, dari beberapa penegrtian di atas, secara kebahasaan akar kata pesantren memiliki kedekatan makna dan mengandung beberapa pengertian antara lain: a) tempat pemondokan atau asrama para santri, b) pengajaran kitab suci atau buku agama (kitab kuning), c) kaum terpelajar, dan d) hubungan antara guru-murid. Memotret lembaga pendidikan Islam yang mempertahankan sistem pengajaran yang diistilahkan Martin van Bruinessen dengan great tradition23 ini; Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisonal Islam untuk mempelajari, memahami, medalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-sehari.24 Sehingga sejak awal pesantren didirikan dan motivasi para santri belajar ke pesantren untuk mendalami dan menguasai ilmu pengatahuan agama Islam (tafaquh fi al-din) agar menjadi muslim
21
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.62 22 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren…, h. 3 23 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat… h. 17 24 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesanten; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) h.55
19
yang baik (kaffah) dengan harapan menjadi ulama atau kyai, pemimpin agama di masyarakat atau mendirikan dan mengasuh pesantren.25 Zamakhsyari Dhofier mengidentifikasi unsur pokok yang menjadi ciri khas yang menunjang eksistensi sebuah pesantren, yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Kitab Kuning), dan, kyai.26 Sementara itu Mastuhu membagi unsur-unsur pokok pesantren tersebut, menjadi: a) aktor atau pelaku: kyai, ustadz, santri, dan pengurus; b) sarana perangkat keras: masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz, asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, dan sebagainya; dan c) sarana perangkat lunak: tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, cara pengajaran, keterampilan, dan saran non-fisik lainya.27 K.H. Imam Zarkasyi memberikan perluasan unsur pokok dengan mendefinisikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.28 Lebih lanjut Abdullah Syukri Zarkasyi memperjelas definisi ini bahwa (1) pesantren harus berbentuk asrama (full residential Islamic boarding school), (2) fungsi kyai sebagai central figure (uswah hasanah) yang berperan sebagai guru (mu’alilim), pendidik (murabbî), dan pembimbing (mursyid), (3) masjid sebagai pusat kegiatan, dan (4) materi yang diajarkan tidak terbatas kepada kitab kuning saja.29 Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pesantren
merupakan
lembaga
pendidikan
Islam
yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaan, keilmuan, dan kemandirian 25
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam…, h. 147 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 44 27 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesanten…, h. 25 28 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), h. 4 29 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan…, h. 4 26
20
bagi para santri dengan sistem asrama, metode, dan tradisi pendidikan yang khas pesantren. Terpenuhinya unsur-unsur dalam pesantren mencirikan besar atau kecilnya pesantren tersebut. Meski terdapat pesantren yang sangat maju dan modern, tidak sedikit pula pesantren yang hanya memiliki saran fisik yang sangat sederhana.
b. Tipologi Pesantren Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan lainya, pendidikan yang dilangsungkan di pesantren memiliki karakteristik yang khas dengan orientasi utama melestarikan dan mendalami ajaran Islam serta mendorong para santri untuk menyampaikannya kembali kepada masyarakat.30 Mencermati
perkembangan
orientasi
keilmuan
dan
kelembagaan pesantren saat ini, tidak mudah membuat kategorisasi mengenai tipologi pesantren.31 Kategori pesantren bisa diteropong dari berbagai persfektif; dari segi kurikulum, tingkat kemajuan dan kemoderenan, keterbukaan terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya. Dari berbagai kategori tersebut pesantren dapat dibedakan antara lain: 1) Aspek kurikulum Dari
segi
kurikulum,
Martin
Van
Bruinessen
mengelompokkan pesantren menjadi pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh al-Qur‟an, pesantren sedang yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bagasa Arab (nahwu, sharaf), terkadang amalan sufi, dan pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqih, aqidah, dan tasawuf yang lebih
30
Munzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), h. 56 31 Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren di Sulawesi Selatan (1928-2005)¸ Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), h. 192
21
mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.32 sebagaimana
dikemukakan
M.
Arifin,
pesantren
dapat
dikelompokkan menjadi pesantren modern, pesantren tahassus (tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/ushul fiqh, ilmu tafsir/hadits, ilmu tasawuf/thariqat, qira’at al-Qur’an), dan pesantren campuran.33 2) Keterbukaan terhadap perubahan Melihat dari persfektif keterbukaan terhadap perubahanperubahan
yang
terjadi,
Zamakhsayari
Dofier
Dhofier
mengklaisifikasikan pesantren menjadi pesantren salafiyah dan pesantren khalafiyah.34 Pesantren salafiyah tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenal pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan pesantren salafiyah telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Pesantren penyelenggaraanya
Salafiyah
adalah
pembelajarannya
pesantren dengan
yang
pendekatan
tradisional. Secara singkat pesantren salafiyah dapat pula diidentifikasi sebagai pesantren yang tidak memiliki madrasah.35 Pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam dilakukan secara individu atau kelompok dengan konsentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa Arab. Pembelajaran tidak didasarkan pada suatu waktu, tetapi berdasarkan tamatnya kitab yang dipelajari.36 Karakteristik 32
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), h. 21 33 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 251-252 34 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 41 35 Fuad Jabali, “Membangun Pesantren di Ranah Sunda; Belajar dari Darul Arqam”, dalam Jajat Burhanuddin, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada dan PPIM UIN Jakarta, 2006), h. 272 36 Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 193
22
yang menandai pesantren salafiyah, yaitu: pertama, menggunakan kitab kuning sebagai inti pendidikannya tanpa mengajarkan pengetahuan umum; kedua, kurikulumnya terdiri dari materi khusus pengajaran agama, ketiga, sistem pengajarannya terdiri dari sistem pengajaran tradisonal.37 Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren salafiyah disebut kitab kuning. Yaitu karya ulama Islam pada zaman pertengahan (abad ke-13 H) sehingga dapat dikategorikan sebagai kitab klasik, ditulis dalam bahasa Arab yang biasanya tidak dilengkapi syakl atau harakat yang disebut kalangan pesantren dengan arab gundul.38
Kitab-kitab
tersebut
secara
sederhana
dapat
dikelompokkan ke dalam delapan bidang ilmu, yaitu: nahwu dan sharaf, fiqih, ushul fiqih, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan akhlak, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.39 Di beberapa pesantren kitab-kitab diartikan dengan bahasa derah seperti bahasa Jawa dan Sunda, namun secara umum dalam mengartikan kitabkitab biasanya digunakan tulisan huruf Arab Melayu. Dari sekian banyak metode pembelajaran tradisonal di pesantren, metode pembelajaran yang paling banyak digunakan dan diterapkan di pesantren, terdiri dari: a) Metode bandongan dan wetonan, kyai menjealaskan dan membacakan kitab, sementara santri mendengarka dan memaknai atau mengartikan kitab yang dipelajari. b) Metode sorogan, santri menyodorkan dan membaca kitab yang akan dibahas, kyai mendengarkan, mengomentari, menjelaskan, dan membetulkan apabila santri melakukan kesalahan bacaan/mengartikan. c) Metode tahfidz (hafalan), metode ini menjadi penting pad asistem kelimuan yang lebih mengutamakan argumen naqli dan periwayatan.
37
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 41 Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 81; Munzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren…, h. 62 39 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 50 38
23
d) Metode musyawarah/hiwar (diskusi), para santri di bawah bimbingan kyai berdiskusi tentang suatu permasalahan yang bahasan dalam suatu kitab. e) Metode bahtsul masa’il (mudzakarah), merupakan pertemuan ilmiah yang dilakukan para kyai atau para santri tingkat tinggi.40 Sedangkan pesantren khalifyah adalah pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasahmadrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah umum
dalam lingkungan pesantren. Model
pesantren ini
merupakan pengembangan tipe pesantren, karena cenderung mengadopsi seluruh sistem klasikal dalam bentuk madrasah maupun sekolah dan meninggalkan sistem belajar tradisional.41 Bila pesantren salafiyah lebih mengutamakan pengajaran kitab-kitab klasik Islam (kitab kuning), pesantren khalaf cenderung mengajarkan kitab-kitab kontemporer, dan kitab-kitab kuning lebih dipandang sebagai komplemen.42 Meski demikian, di pesantren khalafiyah pengajaran kitab kuning tetap dipertahankan, meskipun biasanya metode tradional diganti dengan metode klasikal dengan materi yang dikemas dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis sesuai dengan jenjang pendidikan santri.43 Dengan demikian
pengkategorian
pesantren
ke
dalam
“salafiyah-
khalafiyah” lebih kepada perbedaan sistem pendidikan dan pengelolaan
pesantren,
jadi
penggunaan
istilah
pesantren
“tradisonal-modern” bukan pada wilayah kontradiktif antara keduanya. 40
Abdul Mukti Bisri, dkk., Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Wajar Pendidikan Dasar Pondok Pesantren Salafiyah, 2002), h. 38-64; Maksum, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pendidikan Agama dan Pondok Pesantren, 2003), h. 74-114. 41 M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2002), h. 15 42 Depag RI, Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Direktorat Jendaral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2003), h. 8 43 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan…, h. 15
24
Ditinjau dari segi keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi dari luar Munzier Suparta mengklasifiksikan pesantren menjadi pesantren pesantren konvensional (tradisional) dan pesantren kontemporer (modern).44 Perbedaan dua model pesantren ini dapat diidentifikasi dari perspektif manajerialnya. Pesantren tradisional kebanyakan dikelola secara alami dan cenderung menganut pola “serba mono” mono-manajemen dan monoadministrasi. Sedangkan pesantren moderen telah beradabtasi terhadap tuntutan perubahan dan pengembangan pendidikan dengan mengikuti kaidah-kaidah manajerial yang dikelola secara rapi dan sistematis.45 3) Berdasarkan jumlah santri Zamakhsayari Dhofier juga mengklasifikasikan pesantren berdasarkan jumlah santri, dari aspek ini pesantren dikelompokkan menjadi pesantren kecil, sedang dan besar. Pesantren kecil jumlah santrinya kurang dari seribu orang dan berasal dasari satu kebupaten; pesantren sedang jumlah santrinya antara seribu sampai dua irbu orang dan berasal dari beberapa kabupaten; dan pesantren besar jumlah santrinya lebih dari dua ribu orang dan berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi.46 Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan santri yang tidka menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masingmasing sesudah mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong bisanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalu sering pergi pulang. Sedangkan santri mukim ialah siswa yang menetap di dalam pondok pesantren dan bisanya
44
Munzier Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren…, h. 86 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam; Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Semarang: Penerbit Airlangga, 2010), h. 58 46 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 44 45
25
berasal dari daerah jauh.47 Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri, karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup, dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.48 4) Sistem pendidikan yang dikembangkan Dilihat dari sistem pendidikan yang dikembangkan, pesantren dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: pertama, pesantren yang memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kyai, kurikulum tergantung kyai, dan pengajaran secara individual. Kelompok kedua, pesantren yang memiliki madrasah, kurikulum tertntu, pengajaran bersifat aplikasi, kyai memberikan pelajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mempelelajari pengetahuan agama dan umum. Dan kelompok ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kyai sebagai pengawas dan Pembina mental.49 Mencermati perkembangan pesantren dewasa ini, A. Qodri Azizi mengkategorikan pesantren menjadi beberapa model yaitu: (1) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dan menerapkan
kurikulum
nasional,
(2)
pesantren
yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, (3) pesantren yang menyelenggarakan ilmuilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, (4) pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian, dan (5) pesantren untuk
47
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren…, h. 69 lihat juga Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 51-52 48 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 54 49 Muzammil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 17
26
asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.50 Sedangkan Syamsuddin Arief membagi tipologi pesantren menjadi (1) pesantren tradisional (salafiyah), (2) pesantren khalafiyah (modern), (3) pondok pesantren kombinasi, (4) pesantren tipe lain: madrasah pesantren, SMU pesantren, Virtual pesantren; dan (5) pesantren spesifikasi keilmuan kyai.51 Dari beberapa tipologi pesantren di atas, klasifikasi lainnya misalnya yang dikemukakan Husni Rahim yaitu: (1) pesantren dengan pendidikan formal yaitu jalur sekolah, luar sekolah dan pra sekolah. berdasarkan pendidikan formal jalur sekolah dan jalur prasekolah; (2) pesantren yang berafiliasi atau tidak dengan organisasi Islam seperti Rabithah Ma‟ahad al-Islami (RMI), Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasiliyah dan lain-lain; (3) pesantren yang menampung santri mukim dan santri kalong; dan (4) pondok pesantren pedesaan dan perkotaan.52 Pembagian kategorial pesantren menurut Muzamil Qomar, mengandung kelemahan, karena ciri masing-masing kategori belum mampu mewakili karakter pesantren yang ada secara keseluruhan. Ciri-ciri tersebut makin tidak mampu menjadi jarak pemisah yang tegas lantaran menghadapi keberadaan aspek lain atau perubahan-perubahan yang makin komplek di kalangan pesantren.53 Dari beberapa klasifiaksi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keragaman dalam mengkategorikan tipologi pesantren, di samping mencerminkan kekhasan dan kekhususan pesantren, menunjukkan bahwa lembaga pendidikan ini terus mengalami perkembangan yang semakin dinamis dan tidak tunggal. 50
Qodri A. Azizi, Memberdayakan Pesantren dan Madrasah, dalam Ismail SM, Nurul Huda, dan Abdul Khaliq, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002), h. viii 51 Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 192-199 52 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam…, h. 159 53 Muzammil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi Metodologi…, h. 18
27
2. Kepemimpinan dalam Tradisi Pesantren Dari kelima unsur pesantren pokok pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Kitab Kuning), dan, kyai; kyai merupakan figur sentral karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya. Dalam teradisi pesantren, sulit untuk dibantah bahwa pesantren sangat identik dengan karisma dan ketokohan kyai pengasuhnya. Selain umumnya kyai merupakan pendiri pesantren, perluasan pengajian dan penentuan corak pengetahuan yang diberikan di pesantren sangat bergantung pada keadaan, kecakapan, dan keahlian kyainya.54 Kyai juga adalah sumber utama apa yang berkaitan dengan soal kepemimpinan, ilmu pengetauan, dan misi pesantren.55 Pemakaian istilah kyai sepertinya merujuk pada kebiasaan daerah, seperti juga pemakaian istilah pesantren di Jawa, surau di Minangkabau, rangkah, meunasah, dan dayah di Aceh, dan pondok di Pasundan.56 Selain sebutan kyai yang digunakan untuk sebutan pimpinan pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikenal juga istilah ajengan (Jawa Barat), abuya, inyik, atau syekh (Sumatera Barat), tengku (Aceh), bendera atau ra (Madura),
tuan
guru
(Nusa
Tenggara),
dan
gurutta
atau
anrengurutta/anrong guru (Sulawesi).57 Sementara di Sumatera Selatan pimpinan pesantren lebih populer dengan istilah mudir, meskipun tetap dipanggil kyai atau ustadz. Kyai juga disebut orang alim yaitu tokoh yang memiliki pengaruh besar di masyarakat karena mempunyai kemampuan dan keunggulan pengetahuan agama Islam yang dalam.58 Predikat kyai diberikan kepada seseorang karena pengakuan masyarakat terhadap kealiman, kesalehan, pengorbanan 54
dan
perjuangannya
mendirikan,
mengasuh
dan
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 97 Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan…, h. 255 56 M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 2; Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat…, h. 17 57 Syamsuddin Arief, Jaringan Pesantren…, h. 83 58 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 55 55
28
mengembangkan
pesantren.59
Pengakuan
ini
diberikan
sebagai
penghormatan kepada kyai setelah masyarakat menyaksikan peranan dan merasakan jasanya, sehingga tidak mengherankan apabila santri dan masyarakat
menaruh
kepercayaan,
menerima
tuntunan
dan
kepemimpinannya, serta menjadikannya sesepuh atau rujukan tempat bertanya bahkan segala hal. Seperti diungkapkan Mujamil Qomar, kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kyai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosio-psikis-kultural-politik-religius menyebabkan kyai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kyai adalah pemimpin formal sekaligus pemimpin spiritual yang sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat, petuahpetuahnya selalu didengar dan sangat dihormati oleh masyarakat, bahkan tak jarang melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat.60 Posisi kyai yang serba menentukan dalam masyarakat ini akhirnya justru cenderung menyumbangkan terbangunnya otoritas mutlak dalam pesantren yang diasuhnya. Kyai adalah figur sentral, yang memegang wewenang, menguasai dan mengendalikan seluruh sektor penyelenggaraan pesantren.61 Otoritas kyai yang begitu besar, dapat dipahami dan dimaklumni mengingat lembaga ini berdiri atas prakarsa kyai sendiri, atau sekarang muncul kyai pimpinan pesantren karena mewarisi leluhurnya yang tercatat sebagai perintis. Sehingga, segala bentuk kebijakan pendidikan yang meliputi format kelembagaan, spesialisasi pendidikan dan pengembangan pesantren sangat kental diwarnai oleh karakter, kapasitas keilmuan, dan keahlian kyai pendiri atau pengasuh pesantren.62
59
M. Habib Chirzin, “Agama, Ilmu dan Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 92 60 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi…, h. 29 61 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 255 62 Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial…, h. 97; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 21-22; dan Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983) h. 30.
29
Nurcholish Madjid menilai, karisma yang dimiliki kyai bersifat sangat pribadi dan cenderung tidak rasional, sehingga dapat berimplikasi pada sulitnya kyai ditundukkan ke dalam rule of the game administrasi dan manajemen modern.63 Kenyataannya, sampai dewasa ini tidak sedikit pesantren yang tetap mempertahankan kepemimpinan tradisonal pesantren, bahkan tak jarang ada yang menolak masuknya sistem manajemen dan kepemimpinan modern, karena bukan saja dianggap bertentangan dengan tradisi pesantren tetapi juga dianggap dapat mengancam kekhasan dan nilai-nilai luhur pesantren. Kondisi di atas juga tumbuh subur dan semakin diperkuat oleh kondisi sosial-budaya yang mentradisi di kalangan pesantren Dalam pengamatan Martin van Bruinessen, ketokohan dan karisma kyai menjadi salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada para santri dan warga pesantren. Menurutnya ketokohan kyai ditunjukkan dengan sikap hormat, ta‟zim, dan kepatuhan mutlak kepada kyai.64 Pandangan ini diperkuat oleh Mastuhu, bahwa bagi segenap warga pesantren, terutama santri, ketundukan dan kepatuhan (sami’na wa atha’na) terhadap kyai merupakan kewajiban moral yang dilandasi “keikhlasan”, “berkah”, dan “ibadah”.65 Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa posisi kyai yang serba menentukan ini akhirnya justru mendukung terbangunnya otoritas kyai sebagai pemimpin tunggal dan pemilik pesantren. Sebagai sumber kekuasaan yang memiliki kewenangan mutlak menguasai dan mengendalikaan
seluruh
sektor
kehidupan
pesantren,
menurut
Zamakhsyari Dhofier, dalam menjalanakan fungsi dan perannya sebagai pengasuh dan pemilik pesantren kyai ibarat “seorang raja”66 yang segala titahnya baik tertulis maupun konvensi menjadi konstitusi yang berlaku bagi kehidupan pesantren. Secara kultural kedudukan ini sama dengan
63
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren …, h. 96 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat…, h.18 65 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 78 66 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 56 64
30
kedudukan bangsawan feodal di Jawa, yang disebut Nurcholish Madjid dengan feodalisme berbungkus agama (religio- feudalism), yang dapat saja disalahgunakan.67 Belum lagi ada sebagaian kyai karena hubungan kekeluargaan yang menganggap dan membanggakan dirinya sebagai bangsawan. Anggapan bahwa kyai memiliki kemampuan khusus secara magis juga kebiasaan cium tangan dari santri dengan harapan mendapat berkah dari kyai, misalnya, tidak bisa begitu saja dipisahkan dari budaya feodalisme yang tumbuh subur di kalangan bangsawan. Tradisi ini juga tidak mudah dipisahkan apalagi dihapuskan dari pesantren. Kondisi ini sangat berpengaruh pada kebijakan kyai dalam merespon perubahan, apalagi terkait dengan pola kepemimpinan
pada lembaga yang
dipimpinnya.
3. Transformasi Kepemimpinan Pesantren Pengembangan pendidikan Nasional ke depan tampakknya mengacu kepada pradigma baru yang bertumpu pada kemandirian (autonomy), akuntabilitas (accontability), dan jaminan kualitas (aquality assurance).68 Keadaan ini secara tak terelakkan akan bersentuhan dengan keharusan pesantren untuk melakukan pembenahan internal kelembagaan, termasuk di dalamnya transformasi organisasi kelembagaan khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen pesantren.69 Bahkan menurut Mastuhu, ini merupakan tantangan mendesak yang harus dilakukan, karena eksistensi pesantren masa depan sangat ditentukan oleh kemampuannya berinteraksi secara kultural dengan tuntutan perubahan yang semakin dinamis dan kompetitif.70
67
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 56; lihat juga Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren…, h. 96. 68 Amin Haedari, Transpormasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006), h. 6 69 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 104 70 Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam…, h. 276
31
Pesantren dengan kegiatan dan kelembagaannya mempunyai fungsi memlihara kelangsungan kehidupan kolektif beserta orang-orang di dalamnya.71 Realitas yang tak terbantahkan bahwa pesantren sangat identik karisma dan ketokohan kyai pengasuhnya, kyai merupakan figur sentral dalam tradisi pesantren, karena seluruh penyelenggaraan pesantren terpusat kepadanya. Kyai juga adalah sumber utama apa yang berkaitan dengan soal kepemimpinan, ilmu pengetauan, dan misi pesantren. 72 Selain umumnya kyai merupakan pendiri pesantren, perluasan pengajian dan penentuan corak pengetahuan yang diberikan di pesantren sangat bergantung pada keadaan, kecakapan, dan keahlian kyainya.73 Kemampuan dasar dan kapasitas kyai menjadi penentu karakter dan kekhasan, pesantren yang diasuh dan dipimpinnya. Dengan kultur feodalisme yang kental, pesantren sedikit sekali membuka diri untuk menerapkan profesionalisme pendidikan, baik pada level kelembagaan maupun kepemimpinan.74 Akibatnya, lazimnya kyai pesantren tidak menaruh respek terhadap suatu pembaharuan, apalagi menyangkut posisinya. Mencermati realitas tersebut, pola kepemimpinan pesantren cenderung
menganut
kepemimpinan
karismatik-paternalistik
atau
kepemimpinan feodal-karismatik.75 Semakin karismatik kyainya, semakin besar kecenderungan orang mempersepsi kebesaran pesantren tersebut.76 Hubungan kyai dengan bawahannya tampak lebih bersifat kekeluargaan, sehingga kyai mempunyai hak untuk menentukan perjalanan dan perkembangan pesantren sesuai dengan keinginan atau nilai-nilai yang dianutnya.77 Bahkan menurut Manfred Ziemek, pesantren merupakan
71
Suyoto, “Pondok Pesantren dalam Alam Pendidikan Nasional” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 61-2 72 Mastuhu, Pemberdayaan Sistem Pendidikan…, h. 255 73 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 97 74 Amin Haedari, Transformasi Pesantren…, h. 13 75 Amin Haedari, Transformasi Pesantren…, h. 12 76 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi…, h. 38 77 Mastuhu, Memberdayakan Sistem…, h. 114
32
lembaga pendidikan yang dipengaruhi dan ditentukan oleh para pendiri dan pemimpinnya yang cenderung untuk tidak mengikuti suatu pola tertentu.78 Dalam pengamatan Martin van Bruinessen, ketokohan dan karisma kyai menjadi salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada para santri dan warga pesantren. Menurutnya ketokohan kyai ditunjukkan dengan sikap hormat, ta‟zim, dan kepatuhan mutlak kepada kyai.79 Dan menurut Mastuhu, ketundukan dan kepatuhan (sami’na wa atha’na) terhadap kyai merupakan kewajiban moral, sehingga hubungan kerja kepemimpinan dalam pesantren dilandasi tiga kata kunci yaitu “keikhlasan”, “berkah”, dan “ibadah”.80 Posisi kyai yang serba menentukan itu cenderung membangun otoritas mutlak kyai sebagai pemimpin tunggal di pesantren, dengan political will dan political power yang dimilikinya tidak mengherankan bila ada anggapan bahwa kyai merupakan “raja kecil” di pesatren yang dipimpinnya. Sistem kepemimpinan tunggal kyai dalam pesantren, memperkokoh kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi kyai sehingga kepemimpinan yang
dijalankan
adalah
kepemimpinan
individual.81
Sentralisasi
kepemimpinan dalam pesantren juga berimplikasi pada sistem pengelolaan pesantren yang “serba mono”, mono-manajemen dan mono-admintrasi dan bersifat „serba tidak formal‟.82 Sistem kepemimpinan ini telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama dalam tradisi pesantren, menurut Sobirin Nadj, pengelolaan pesantren secara informal didasarkan pada asumsi bahwa pesantren sebagai lembaga tradisonal tidak memerlukan legalitas formal.83 Sampai dewasa ini tidak sedikit pesantren yang tetap menerapkan kepemimpinan pesantren seperti ini bahkan tak jarang menolak masuknya 78
Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan …, h. 97 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat…, h.18 80 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren…, h. 78 81 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi…, h. 40 82 Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen…, h. 107 83 E. Shobirin Nadj, “Perfektif Kepemimpinan dan Manajemen Pesantren” dalam M. Dawam Rahadjo, (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), h. 176 79
33
sistem manajemen dan kepemimpinan modern, karena bukan saja dianggap bertentangan dengan tradisi pesantren tetapi juga dianggap dapat mengancam kekhasan dan nilai-nilai luhur pesantren. Ketergantungan pesantren dengan karisma dan ketokohan kyai sebagai figur sentral pesantren, justru cenderung memperkokoh bangunan otoritas tunggal kyai sebagai pemimpin individual yang memegang wewenang mutlak yang bertentangan secara frontal dengan alam keterbukaan.84 Kyai selain menjadi pimpinan agama juga merupakan traditional mobility dalam masyarakat (religio-feodalisme). Karisma yang dimilikinya bersifat sangat pribadi sehingga cenderung tidak rasional, hal ini berimplikasi pada sulitnya kyai ditundukkan ke dalam rule of the game administrasi dan manajemen modern. Faktor-faktor kepemimpinan seperti ini menurut Nurcholish Madjid, dalam prakteknya menyebabkan kepemimpinan pesantren kehilangan kualitas demokartisnya.85 Kepemimpinan karismatik yang didasarkan pada kekuatan moral, yaitu kepercayaan warga pesanten terhadap nilai-nilai spiritual atau kesalehan kyai. Dalam kepentingan tertentu kepemimpinan seperti ini sangat dibutuhkan, melalui gaya kepemimpinan ini intruksi dari kyai dapat dijalankan oleh warga pesantren dengan lancar tanpa hambatan psikologis seperti indisipliner.86 Namun di sisi lain, model kepemimpinan ini justru dapat menimbulkan masalah yang mengancam eksistensi pesantren ketika kyai yang bersangkutan meninggal dunia. Pola kepemimpinan pesantren yang selama ini diterapkan di pesantren, menurut Abdurrahman Wahid, sering kali tidak mampu mengimbangi
perkembangan
pesantren,
sehingga
menyebabkan
kepemimpinan pesanten belum menemukan bentuknya yang teratur dan menetap, baik pola pengembangan maupun pembinaan kaderisasi
84
Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi…, h. 37 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren…, h. 95-96 86 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transpormasi…, h. 38 85
34
kepemimpinan pesantren.87 Keunggulan karismatik dalam kepemimpinan pesantren, menurut Wahid, karena pesantren didirikan oleh seorang kyai yang memiliki cita-cita tinggi dan kemampuan untuk mewujudkannya, faktor ini yang kemudian membuat sosok ini diterima dan diakui oleh warga pesantren dan masyarakat luas. Dari proses ini, kemudian melahirkan seorang pemimpin yang tertempa oleh pengalaman dan memiliki kekuatan serta keunggulan yang mengalahkan pribadi-pribadi di sekitarnya.88 Kyai sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi pesantren, figur kyai karismatik dalam banyak hal tetap diperlukan pesantren, dalam menjalankan
proses
pengelolaan
pesantren
mislanya,
melalui
kepemimpinan karismatik intruksi dari pimpinan pesantren dapat berjalan dengan lancara tanpa hambatan psikologis seperti indisipliner dari pengurus, guru, dan karyawan pesantren,89 namun di satu sisi kepemimpinan seperti ini juga dapat menjadi kelemahan pesantren dalam menjaga keberlangsungan eksistensinya.90 Masalah kepemimpinan pesantren juga dampak dari tradisi pewarisan pesantren, pola kaderisasi dan estafet kepemimpinan yang bersifat alami terbatas pada keturunan kyai. Menurut Abdurrahman Wahid, kesetian yang bersifat
pribadi sukar diterjemahkan menjadi
kesetian pada suatu lembaga; ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang mengalami kemunduran, bahkan kehancuran, setelah wafatnya kyai pendiri pesantren.91 Hal ini disebabkan karena pengganti kyai yang menjadi penerus kepemimpinan pesantren tidak memiliki karisma dan ketokohan yang sama dengan kyai sebelumnya baik dalam pengetahuan Islam maupun dalam kepemimpinan organisasi.92
87
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 179 88 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi..., h. 180 89 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi..., h. 38 90 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi..., h. 16 91 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi…, h. 16 92 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 33
35
Menurut Mastuhu, pergantian kepemimpinan pesantren umumnya mengikuti garis estafet dari pendiri-anak-menantu-cucu-santri senior.93 Sedangkan parameter yang dijadikaan pegangan, seperti dikemukakan Mujamil Qomar, lebih kepada kekuatan moral atau kesalihan, bukan pada kemampuan untuk merencanakan, mengorganisasikan, dan memobilisasi kekuatan yang ada dalam mengembangkan dan mengelola pesantren.94 Sehingga “pihak dalam” yang terdiri dari keluarga-keturunan kyai ada kemungkinan memiliki hak tetapi tidak mempunyai persyaraatan kemampuan, sebaliknya pihak luar (dari santri senior) kalaupun ada yang potensial tetapi tidak berhak melanjutkan kepemimpinan kyai menurut kebiasaan yang berlaku. Dari sini jelas lah bahwa orang luar baru ada kemungkinan menjadi pemimpin pesantren jika keadaan pesantren darurat yaitu ketika tidak ada ahli waris pesantren yang layak memimpin. Krisis kepemimpinan akan terjadi bila tidak ada keturunan atau keluarga kyai yang mampu meneruskan kepemimpinan pesantren dari segi kapasitas keilmuan dan ketokohan maupun pengelolaan kelembagaan.95 Pola kaderisasi kepemimpinan yang tidak menetap juga tak jarang berujung pada konflik internal di antara keturunan kyai sebagai “pewaris” kepemimpinan pesantren. Sehingga tidak jarang pesantren yang semula besar dan terkenal, perkembangannya mati bahkan bubar setelah di tinggal wafat kyai pendiri atau pengasuhnya. Dampak yang ditimbulkan dari pola pewarisan kepemimpinan ini kemudian, dalam banyak kasus, tidak sedikit pengasuh pesantren yang sebenarnya tidak siap secara keilmuan dan kepribadian tetap menjadi pimpinan pesantren hanya karena yang bersangkutan merupakan anak kyai atau keluarga kyai sebagai ahli waris penerus kepemimpinan pesantren. Sehingga, sering terjadi pesantren yang semula maju dan terkenal, kehilangan pamor bahkan akhirnya mati, setelah ditinggal wafat kainya.
93
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam..., h. 123 Mujamil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi..., h. 38-39 95 E.Shobirin Nadj, “Perfektif Kepemimpinan…, h. 114 94
36
Kenyataan ini menampakkan pentingnya perubahan dalam manajemen pesantren, pesantren harus dikelola sesuai dengan tata aturan manajemen modern di samping harus mengembangkan pola pendidikan yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.96 Mencermati
realitas
tersebut,
menurut
Rahman,
pesantren
perlu
menerapkan sistem kepemimpinan multi-leaders.97 Azyumardi juga menegaskan bahwa kepemimpinan dan manajemen kepemimpinan tunggal kyai dalam pesantren tidak memadai lagi.98 Sedangkan bagi Mastuhu, status pesantren milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan status milik pribadi.99 Dengan demikian penerapan manajemen secara professional merupakan tuntutan bagi pengembangan kepemimpinan dalam pengelolaan pesantren.
4. Efektifitas Kepemimpinan Pesantren Pengelolaan pesantren yang umumnya bercorak alami dan serba tidak formal, termasuk pola pewarisan pergantian kepemimpinan pada perkembangannya justru mengacam eksistensi pesantren di masa depan. Fenomena penerapan manajemen dalam pengelolaan pesantren dewasa ini, tak terelakkan bersentuhan pula dengan pola kepemimpinan pesantren. Dengan demikian, pola kepemimpinan kyai dalam pesantren yang bersifat patrimonial dihadapkan secara prontal dengan pola kepemimpinan dan manajemen modern yang bersifat terbuka.100 Membaca realitas ini, maka manajemen pada dasarnya sangat urgen diterapkan dalam pengelolaan pesantren. Penerapan manajemen lebih menekankan pada upaya untuk menggunakan sumber daya seefisien dan seefektif mungkin, mengingat biasanya pesantren didirikan dan dikembangkan 96
dengan
sumber
daya
yang
terbatas.
Manajemen
Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen…, h. 108 Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen…, h. 117 98 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, h. 104 99 Mastuhu, Memberdayakan Sistem…, h. 125 100 Pradjarta Dirdjosandjoto, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 8 97
37
dimaksudkan
sebagai
upaya
seseorang
untuk
mengerahkan
dan
memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif dan menerima pertanggungjawaban pribadi untuk mencapai pengukuran hasil yang tepat.101 Menurut Abuddin Nata, lembaga pendidikan yang berwawasan manajemen setidaknya memiliki karakteristik antara lain: pertama, pendidikan yang dilaksanakan secara sistematis, tertib, teratur, terukur, berorientasi pada hasil dengan mutu tinggi. Kedua, seluruh komponen pendidikan dirancang dan didesain dengan matang (by design) bukan kebetulan (by accident). Ketiga, mengupayakan adanya tolok ukur, indikator, kriteria, prosedur, teknik, dan target dari komponenn pendidikan. Keempat, pendidikan yang lebih diarahkan pada pencapaian hasil dan prestasi dari sebuha kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.102 Dalam prakteknya, manajemen pendidikan diperlukan adanya fungsi-fungsi manajemen, sebagaimana diungkapkan Rahman, dibagi menjadi
tiga
kegiatan
yaitu
pengarahan
(direction),
penerapan
(implementation), dan evaluasi (evolution). Direction dalam manajemen meliputi perencanaan, pengaturan, penjadualan. Adapun implementation meliputi pemilihan staf, komunikasi, dan pelaksanaan tugas. Sedangkan fungsi evaluation berupa pengawasan, pemecahan masalahan, dan pengambilan keputusan.103 Para ahli juga menyebutkan konsep fungsi manajemen ini meliputi tahapan dari planning (perencanaan), organizing (penorganisasian), actuating (pelaksanaan), controlling (pengawasan), dan evaluating (penilaian), serta suversiting (perbaikan).104 Pimpinan pesantren (Mudir atau direktur pesantren) pada prinsipnya menyeimbangkan peran utama yang dimilikinya yaitu “school
101
Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen…, h. 109 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner; Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009), h. 239-240 103 Musthofa Rahman, “Menggugat Manajemen…, h. 110 104 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam …, h. 219 102
38
manager” dan “aducational leader.”105 Pimpinan pesantren dapat juga didefinisikan sebangai manager, administrator, leader, supervisor, innovator, motivator, dan evaluator. Lebih lanjut Abdullah Syukri, menjelaskan: (1) Sebagai manajer, pimpinan pondok bertindak sebagai pembuat rencana, koordinator kegiatan, pendistribusian tugas, penggerak para guru dan staf, pembina dan pengarah, serta sebagai pengurus. (2) Sebagai administrator, pimpinan pondok juga bisa bertindak sebagai pengendali kurikulum, personalia, kesiswaan, keuangan, sarana dan fasilitas, dan administrasi secara umum. (3) Sebagai leader, pimpinan pondok bertugas memotivasi, membina, mengarahkan, menggerakkan, dan bisa meyakinkan. (4) Sebagai supervisor, ia peka dalam hal mengamati, mengevaluasi, menganalisa, dan mampu memberi solusi. (5) Sebagai innovator, ia diharapkan mampu mengambil langkahlangkah untuk maju. (6) Sebagai motivator, ia bisa menjangkau masukan-masukan yang berarti buat para guru, para staf dan pengurus unit-unit lembaga, para santri, masyarakat, bahkan pemerintah. (7) Sebagai evaluator, pimpinan juga mampu mengendalikan kegiatan, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.106 Beberapa fungsi tersebut menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap kualitas pendidikan tidak terlepas dari kepemimpinan mudir sebagai pimpinan pesantren dalam mengelola smber daya pendidikan. Sejumlah kajian tentang lembaga pendidikan ini memberi temuan tentang besarnya
kontribusi
kepemimpinan
pesantren
dalam
menciptakan
perbaikan efektivitas pengelolaan pesantren. Menurut Mulyadi, dalam mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu
jelas
membutuhkan
kepemimpinan
yang
yang
efektif.
Kepemimpinan pesantren efektif selalu dikaitkan dengan kedudukan sebagai pengelola pembelajaran (instructure manager), pemimpin inspirasional (inspiration leader), pengelola sumber daya (manger of resources), pakar organisasi (organizational expert), pemimpin kultural
105 106
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah …, h. 33 Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren…, h. 202
39
(cultural leader), dan penasihat/pelindung (teacher advocate).107 Sehingga pemimpin pesantren yang efektif ialah mampu menciptakan atmosfir kondusif bagi murid-murid untuk belajar, keterlibatan guru dan karyawan berkembang secara personal dan professional, dan dukungan yang tinggi dari masyarakat. Meskipun keadaan tipe lembaga pendidikan berbeda satu dengan yang lainnya, namun beberapa faktor yang dapat menjelaskan keberhasilan efektivitas kepemimpinan yang terdiri dari unsur visi, inisiatif, dan kreativitas. Lebih lanjut, Mulyadi mengemukakan -faktor tersebut, yaitu: 1) Berkeinginan dan berhasrat kuat membuat pesantren sehebat yang diimajinasikan. 2) Bertindak proaktif dan cepat dalam mengambil inisiatif. 3) Kreativitas untuk menjadikan diri masuk dalam struktur yang dipperankan dan mereka meminta ketepatan waktu dalam peraturan sesuai yang ditetapkan untuk mengejar apa yang mungkin dapat dicapai dalam tujuan personal sebagai pimpinan pesantren.108 Pimpinan pesantren dituntut resonsif terhadap perubahan yang berlangsung cepat. Menyiasati perubahan tersebut, menurut Abdullah Syukri, kyai sebagai pimpinan pesantren yang mengatur, mengendalikan, menggerakkan, dan menggiatkan keseluruhan totalitas kehidupan pondok, perlu memerhatikan hal-hal berikut: (1) Mengkomunikasikan tujuan dan manfaat yang dieroleh dari perubahan yang setidaknya menggeser sistem yang tidak relevan, sehingga perlu inovasi-inovasi sistem yang baru. (2) Membuat master plan yang ada relevansinya dengan kebutuhan kondisi lembaga pendidikan. (3) Memobilisasi hasil rancangan untuk diterapkan terhadap para staf dan stakeholder lembaga. (4) Mengawasi dan mengevaluasi jalannya sistem tersebut sebagai langkah pemastian keberadaan sebuah system. (5) Mempertahankan system yang sudah relevan, apalagi sesuatu yang dianggap prinsipil.109
107
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 29 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 32 109 Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren…, h. 201 108
40
Memerhatikan pertimbangan tersebut, maka dalam kepemimpinan pesantren, terjadi semacam refungsionalisasi dan reposisi kepemimpinan, yaitu dari dari individual menuju institusional, dari karismatik pribadi ke tim, dari formal ke substansial, dan dari visioner menuju voluntir. Perubahan ini dilakukan pesantren dengan mengacu pada perspektif system manajemen kepemimpinan modern. Dalam menjelaskan “kepemimpinan dipandu nilai”, Raihani mengemukakan empat dimensi kepemimpinan yaitu: nilai-nilai dan visi, intergritas, konteks, pembangunan profesionalisme yang terus menerus, dan reflkesi. Dari dimensi-dimensi ini kemudian terbentuk karakteristik utama kepemimpinan efektif yaitu: 1) Kepemimpinan berarti mempunyai visi yang jelas tentang apa yang ingin dicapai. 2) Pemimpin yang baik selalu terlibat dalam segala hal, bekerja berdampingan dengan kolega-koleganya. 3) Kepemimpinan berarti menghormati otonomi guru, dan melindungi mereka dari tuntutan yang tidak relevan. 4) Pemimpin yang baik memandang ke depan, mengantisipasi perubahan, dan menyiapkan ornag-orang yang dibawahinya untuk menghadapi perubahan itu sehingga tidak mengejutkan atau melemahkan mereka. 5) Pemimpin yang baik bersikap pragmatis, mampu memahami realitas-realitas dalam konteks ekonomi ataupun politik, dan mampu melakukan negosiasi dan kompromi. 6) Pemimpin yang baik dipengaruhi oleh, dan mengkomunikasikan nilai-nilai personal dan edukasional yang jelas, yang merepresentasikan tujuan-tujuan moral mereka untuk sekolah.110 Senada dengan pendapat tersebut, kriteria kepemimpinan efektif yang dikemukakan Mulyasa dalam konteks manajemen berbasis sekolah, sebagai berikut: 1) Mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar dan produktif. 2) Dapat menjalankan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
110
Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif …, h. 40
41
3) Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat, sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan dan pendidikan 4) Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain di pesantren. 5) Mampu bekerja dengan tim manajemen di pesantren. 6) Berhasil mewujudkan tujuan pesantren secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.111 Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh keberhasilan pemimpin dalam mengendalikan seluruh elemen yang ada dalam organisasi. Sehingga tinggi rendahnya kinerja karyawan, sangat tergantung seberapa besar pimpinan memberikan dukungan bagi karyawannya dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Kinerja menurut Hasibuan sebagaimana dikutip Anwar Soleh, merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan waktu.112 Kinerja seorang karyawan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: kemampuan mereka, motivasi, dukungan yang diterima, dan hubungan dengan organisasi.113 Kondisi ini mempengaruhi peran kepemimpinan untuk selalu berkembang dinamis dalam memimpin organisasi, termasuk hubungan piminan dengan karyawan. Dengan kata lain, peran serta karyawan sebagai bagian dari anggota organisasi, merupakan faktor penting yang juga menentukan efektivitas kemimpinan. Tantangan manajemen pesantren yang antara lain meliputi tuntutan keterbukaan (iklusivisme), pengembangan metodologi, kemampuan manajerial, kolektivitas, demokratisasi, kebersamaan, dan egalitarianisme. Sehingga pesantren akan menjadi lembaga demokratis sehingga pengurus pesantren dapat ikut berperan dalam kebijakan pesantren, termasuk
111
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 126 112 Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 2 dalam Anwar Soleh, Efektivitas Kepemimpinan dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Pegawai di Sekolah Dasar Islam Terpadu al-Ihsan, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, (Jakarta: Perpustakaan UNJ, 2009), h. 20 113 Anwar Soleh, Efektivitas Kepemimpinan…, h. 21
42
keikutsertaan stakeholders. Dalam kondisi seperti ini kematangan atau kebijakan pimpinan pesantren sangat penting untuk tidak terkontaminasi kelompok kepentingan yang bisa menghambat program pesantren. Kerjasama pesantren dan masyarakat mempunyai fungsi yaitu: 1) Mengembangkan demokrasi dalam pendidikan di mana tanggungjawab pendidikan di tangan pesantren dan masyarakat. 2) Pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat tidak terlepas dari masyarakat, perlu berinteraksi dengan masyarakat. 3) Pembinaan pendidikan pesantren masyarakat dapat memberikan bantuan pembiayaan ekonomi untuk suskesnya program pesantren. 4) Perkembangan kebudayaan dalam masyarakat menyebabkan perubahan dalam kurikulum dan sebaliknya apabila terjadi perubahan dalam pesantren berfungsi sebagai pengembangan sosial budaya masyarakat. 5) Masyarakat menjadi sumber belajar bagi pesantren karena itu kerjasama ini akan sangat berharga bagi pendidikan anak-anak, banyak orang tertentu yang berpengalaman luas dalam bidang tertentu yang dapat ikut terlibat membantu memberikan pendidikan dan latihan kepada siswa.114 Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan kepemimpinan yang berbasis pada manajemen modern dalam dunia pesantren
merupakan
sebuah
kemestian
untuk
menjaga
dan
mempertahankan keberlangsungan eksistensi pesantren sebagai upaya memenuhi harapan sistem pendidikan Islam masa depan. Dalam
beberapa
studi
efektivitas,
cenderung
ditemukan
perkembangan konsep dan keragaman karakteristik kepemimpinan efektif. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan pesantren antara lain: kompetensi personal pemimpin dan prilaku kepemimpinan, kejelasan visi dan program yang dijalankan untuk memajukan pesantren, sistem yang diterapkan dalam mengelola pesantren, serta hubungan yang harmonis antara pimpinan pesantren dengan seluruh anggota organisasi dan keterlibatan masyarakat (stakeholder) dalam membangun pesantren.
114
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah…, h. 35
43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Penelitian dengan kasus penelitian kepemimpinan kyai pesantren ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripsikan data secara menyeluruh dan utuh mengenai Kepemimpinan Mudri Pondok Pesantren alIttifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan bertempat di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sematera Selatan (selanjutnya ditulis Pondok Pesantren alIttifaqiah). Penelitian dilakukan selama kurang lebih dua bulan, terhitung sejak 20 Mei 2009 sampai 29 Juli 2009. C. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif.
Menggunakan
pendekatan
deskriptif,
penulis
melakukan
serangkaian prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaaan obyek penelitian berdasarkan fakta dan data kemudian data tersebut di analisis, diinterpretasikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, kemudian disimpulkan. Untuk memperoleh hasil penelitian yang refresentatif dan akurat, penulis menggunakan beberapa cara yang terdiri dari:
44
1. Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu penelaahan kepustakaan yang terdiri dari : a. Buku-buku primer, yaitu kepustakaan yang menjadi acuan utama dalam pembahasan penelitian. b. Buku-buku sekunder, yaitu kepustakaan yang sifatnya penunjang buku primer. 2. Field Research (penelitian lapangan), yaitu meneliti dan mempelajari langsung objek yang diteliti. Dengan teknik waktu cross sectional methods yaitu menggunakan waktu yang singkat dan terbatas sesuai dengan data yang dibutuhkan. D. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah. Sedangkan dalam sampel adalah sebagian populasi yang mewakili atau diambil dari jumlah populasi yang diteliti. Responden dipilih dan ditentukan dengan menggunakan sistem random sampling (acak sederhana). Dari pengurus, guru, dan karyawan yang berjumlah 187 orang, kemudian dipilih sebanyak 80 orang sebagai sampel (responden). Data para responden dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 3.1 Daftar Responden Pengisi Angket No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Responden H.M. Natsir Agus, BA. A. Ridho RS, S.Pd.I Sam'un Ahmad M. Akip Umar, S.Pd.I, M.SI Zuhaironi Yahya, A.Ma. Khotmir Rohi, S.Pd.I Haudi Zamzami, S.Sos. Sueb Rizal Abu Naim, S.Pd.I A. Royani al Hafidz Autad Sulaiman, S.Pd.I Iswardi Samsuir, S.Pd.I
Jenis Kelamin 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Usia 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Masa Kerja 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3
Pendidikan 2 2 1 3 2 2 2 2 1 2 2
45
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
Akhyar Ishak, S.Ag. Zainal Abidin, S.Ag, SH.M.Ag Saribi Muhammad, S.Pd.I. M. Joni Rusli, S.Pd.I M. Ali Sodikin, S.Pd.I. Awaluddin, S.Pd.I. Khairuddin, S.Ag H. Agus Jaya, Lc. M. Hum Mardiansyah A. Devison, S.Pd.I. Maryono, S.Pd.I. Rasestra, S.Pd.I Huzairi Gunardi Ahmad Darmawan Amar Tajudin Sakroni Arman Sudianto, S.Pd.I Safrizal, S.Pd.I Nungcik, S.Pd.I Ardeni Badaruddin, ST. H.M. Basir, S.Ag. Hj. Muyassaroh, S.Pd.I Husayani Khalik, S.Pd.I Mardhotillah Bahri, S.Pd.I Soimatul Fuadiah, S.Pd.I Umi Rosyidah, S.Pd.I. MA Milawati, S.Pd.I. Evi Eryanti, S.Pd.I. Fitriyani Taswin, S.Pd.I Samiyah, S.Pd.I. Fadilah, S.Pd.I. Atika Susilawati Novita Sepriani, S.Pd.I Eka Diana, S.Pd.I Herawati, S.Pd.I Hesti Widiastuti Joni Maria Ulfa, S.Pd. Mikarela Nazila Basir H. Arfah Nurhayat, L.c
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1
2 2 1 1 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 1 1 3 3 3 3 3 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1
2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 1 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 1 2 2 2 1 2 1 1 2
46
53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Hoiri Nafiz Yadi Pajri Jimi Ismail Zulkarnain Manila Wita Kuswita Andrayani Arniza Meni Diana Susieni Nurjannah Apit Sri Amanah Arnizah Dian Nopita Ibnu Hajar Al Hadi Arka Rismah, S.Pd. Leni, S.Pd Sapit Ardin Hj. Sulastri, Lc Betriana Muti'ah M. Iqbal, S.Sii Firmansyah, SHI Novriyanto Uswatun Hasanah Lc H. Bahrum Lc, M.Ed Herawati Zuhaironi
1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1 2 2 2 1 1 1 2 1 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 1 2 2 3 2 2 2
Tabel 3.2 Keterangan pengisian daftar responden Pendidikan Aliyah/SMA D3-S1 S2 S3 Guru Besar
Keterangan
No. Jenis Kelamin 1 Laki-Laki 2 Perempuan 3 4 5
Kriteria Usia Masa Kerja 20-29 tahun kurang dari 5 tahun 30-39 tahun 6-10 tahun 40-49 tahun 11-20 tahun 50-59 tahun 21-30 tahun 60 tahun ke atas 30 tahun lebih
47
Tabel di atas memberikan gambaran tentang usia, masa kerja, dan pendidikan masing-masing responden, yang secara lengkap dapat dilihat perbandingannya pada tabel berikut ini:
Tabel 3.3 Jenis Kelamin Responden
Valid
Laki-laki Perempuan Total
Frequency 46 34 80
Percent 57.5 42.5 100.0
Valid Percent 57.5 42.5 100.0
Cumulative Percent 57.5 100.0
\ Dari tabel 3.3 di atas diketahui bahwa 80 orang yang pengurus, guru dan karyawan yang menjadi responden dalam penelitian ini lebih banyak laki-laki yaitu 46 orang (57,5% ): sedanglang respodnen perempuan berjumlah 34 orang (42,5%).. Dengan demikian, dari 80 orang responden kebanyak adalah laki-laki. Sementara gambaran perbedaan usia para responden dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 3.4 Tingkat Usia Responden
Valid 20-29 Tahun 30-39 Tahun Total
Frequency 57 23 80
Percent 71.3 28.8 100.0
Valid Percent 71.3 28.8 100.0
Cumulative Percent 71.3 100.0
Tabel 3.4 di atas meperlihatkan perbedaan usia masing-masing responden. Dari 80 orang responden, yang berusia 20-29 tahun sebanyak 57 orang (71,3%) dan selebihnya 23 orang (28,8%) berusia 30-39 tahun. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden sebagian besar berusia 20-29 orang, sementara sebagian lainnya berusia 30-39 tahun.
48
Selanjutnya data tentang masa bekerja masing-masing responden dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel. 3.5 Masa Bekerja Responde Frequency Valid Kurang dari 5 39 Tahun 6-10 tahun 26 11-20 tahun 15 Total 80 Tabel 3.5 tersebut
Percent 48.8
Valid Percent 48.8
32.5 18.8 100.0
32.5 18.8 100.0
Cumulative Percent 48.8 81.3 100.0
memberikan gambaran masa kerja para
pengurus, guru dan karyawan. Sesuai data yang diperoleh, 80 orang responden, sebanyak 15 orang telah bekerja selama kurang lebih 11-20 tahun, 26 orang bekerja selama 6-10 tahun, dan sisanya 39 orang bekerja kurang dari 5 tahun. Sedangkan bila dilihat dari latar belakang pendidikan terkahir para respoden tergambar dalam tabel di bawah ini: Tabel 3.6 Tingkat Pendidikan Responde
Valid SMA D3 dan S1 S2 Total
Frequency 29 46 5 80
Percent 36.3 57.5 6.3 100.0
Valid Percent 36.3 57.5 6.3 100.0
Cumulative Percent 36.3 93.8 100.0
Tabel 3.6 di atas menunjukkan bahwa dari 80 responden terdiri dari 29 orang alumni MA atau SMA, 46 orang D3 atau S1, sedangkan 5 orang telah menyelesaikan studi S2. Dengan demikian pengrurus, guru dan karyawan lebih banyak memiliki latar pendidikan akhir D3 dan S1, beberapa orang S2, dan selebihnya MA atau SMA yang sebagian besar adalah santri-satri pengabdi pesantren tersebut.
49
E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan untuk memperoleh data mengenai efektivitas kepemimpinan dibuat dalam bentuk non test dengan menggunakan angket dan wawancara. Angket dibuat dalam bentuk questioner tertutup yaitu responden tinggal memilih jawaban yang sudah disediakan oleh peneliti. Sementara wawancara digunakan untuk memperoleh data mengenai konsep evektifitas kepemimpinan yang diterapkan di Pondok Pesantren alIttifaqiah. Intrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dapat dilihat dari table berikut ini: Tabel 3.7 Kisi-kisi Instrumen Penelitian No. 1.
Variabel Dimensi Penelitian Efektivitas 1.1. Transformasi Kepemimpinan kepemimpinan pesantren pesantren
Indikator
1.2.
Menetapkan arah organisasi
penerapan mekanisme pemilihan dan kaderisasi kepemimpinan penerapan sistem/manaje men dalam mengelola pesantren keterlibatan aktif pengurus dan karyawan dalam pengelolaan pesantren membangun visi bersama dan menciptakan konsensus tujuan-tujuan mengkomunika sikan master plan yang ada relevansinya
Nomor Item 1, 2, 3, 4
Jumlah Item 4
5, 6, 7
3
8, 9
2
10, 11, 12
3
13, 14
2
50
Mengembang kan sumberdaya manusia
1.3.
1.4.
Mendesain ulang organisasi
dengan kebutuhan kondisi organisasi memotivasi, membina, mengarahkan, dan menggerakkan pengurus dan karyawan memberikan dukungan individual, menawarkan stimulus intelektual, dan memberikan contoh. Mengawasi dan mengevaluasi jalannya sistem yang diterapkan membangun hubungan yang harmonis dan keterlibatan aktif masyarakat.
15, 16
2
17, 18, 19, 20
4
21, 22
2
23, 24, 25
3
F. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi, melalui observasi peneliti akan dapat melihat secara langsung fenomena atau gejala baik yang terjadi pada individu yang diteliti atau struktur kerja yang terjadi di lapangan. Observasi yang penulis lakukan adalah observasi partisipan di mana penulis meneliti langsung kepada objek yang diteliti yaitu kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah. b. Wawancara atau intervieu (interview), yaitu penulis mengumpulkan data melalui wawancara dengan pimpinan pesatren (mudir), wakil pimpinan
51
(wakil mudir), dan sesepuh pesantren, untuk mendapatkan informasi tentang penerapan kepemimpinan di Pondek Pesantren al-Ittifaqiah. c. Angket ditujukan kepada responden yang terdiri dari pengurusan dan guru untuk mengetahui tanggapan mereka terhadap penerapan kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.
G. Teknik Pengolahan Data Setelah data diperoleh maka selanjutnya data tersebut akan diolah dengan menggunakan teknik pengolahan data sebagai berikut : a. Editing yaitu meneliti, mengedit dan mengoreksi data yang sudah didapatkan. b. Scoring yaitu memberikan skor terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada pada angket. c. Coding yaitu data yang sudah diedit kemudian dikelompokkan dan diberikan kode sesuai dengan karakteristik yang sudah ditentukan. d. Tabulating yaitu data yang sudah dikelompokkan dan diberi kode kemudian akan dimasukkan ke dalam tabel yang berbentuk tabel frekuensi.
H. Teknik Analisis Data Teknik analis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah di baca dan diinterpretasikan agar data yang terkumpul itu dapat dianalisa kemudian diambil kesimpulan. Penelitian ini menggunakan analisa secara deskriptif untuk memaparkan hasil yang diperoleh. Agar diperoleh data yang valid, instrumen angket aktivitas siswa diujicobakan untuk mengetahui dan mengukur validitas dan reliabilitasnya. a. Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidak suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.
52
Pengujian validitas ini menggunakan korelasi bivariate antara masingmasing skor indikator dengan skor total konstruk. Untuk menghitung validitas instrumen angket aktifitas belajar digunakan rumus product momen sebagai berikut:
N XY X Y
rxy
N X
N X Y
: Jumlah responden : Skor item total : Skor total
2
X N Y 2 Y 2
2
Hasil uji validitas terhadap item yang ada pada angket dapat diamanati pada tabel di bawah ini: Tabel 3.8 Dafatar rekapitulasi uji validitas No. Item Pertanyaa Pengurus, guru, dan karyawan mengetahui mekanisme pemilihan 1 dan penetapan pimpinan pesantren. Keluarga atau keturunan Kyai pendiri pesantren secara otomatis 2 dapat menjadi pimpinan pesantren. Terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan penetapkan 3 pimpinan pesantren. Pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat 4 pimpinan pesantren. Pimpinan pesantren merupakan penentu segala hal berkenaan 5 dengan pengelolaan pesantren. Pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di 6 pesantren. Seluruh pegurus, guru, mengetahui pedoman, aturan dan mekanisme dalam pengelolaan pesantren. 7
Sig
Alpha Pengujian
Status
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,031
0,05
0,031 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,031
0,05
0,031 < 0,05
Valid
0,002
0,05
0,002 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,031
0,05
0,031 < 0,05
Valid
53
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren. Penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan karyawan. Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren. Pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Pengurus, guru, dan karyawan terlibat aktif dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren. Pimpinan pesantren mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren. Pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren. Pengarahan kerja kepada pengurus dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan. Penanganan permasalahan kerja dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren.
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,006
0,05
0,006 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
54
20
21
22
23
24
25
Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Diterapkan aturan dan mekanisme dalam menentukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan. Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren. Pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren. Keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan.
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,004
0,05
0,004 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,000
0,05
0,000 < 0,05
Valid
0,001
0,05
0,001 < 0,05
Valid
Dari tabel di atas diketahui bahwa nilai signifikansi semua item pertanyaan di bawah Alpha (5%), sehingga semua item pertanyaan layak diajukan pada penelitian ini. b. Reliabilitas Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur konsistensi jawaban responden. Suatu kuesioner dikatakan reliable jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Kriteria pengujian dilakukan dengan menggunakan pengujian Cronbach Alpha (α). Suatu variabel dikatakan reliable jika memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,60. Pada penelitian ini digunakan One Shot atau pengukuran sekali saja.
55
Untuk mengetahui reliabilitas instrumen angket digunakan rumus Alpha Cronbach, yaitu: 2 k i r11 1 t 2 k 1
r11 k
t2
2 i
: Reliabilitas instrument : Banyaknya butir pertanyaan yang valid : Jumlah varians skor tiap-tiap item : Varians total Hasil uji realibilitas terhadap semua item yang terdapat pada
angket dapat diamanati pada tabel di bawah ini: Tabel 3.9 Pengitungan Realibilitas Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items
.905
25
Dengan demikian, dari tabel di atas diketahui bahwa nilai Cronbach's Alpha sebesar 0.905. Karena 0,905 > 0,8 maka dapat dikatakan bahwa semua item pertanyaan relabel dan layak diajukan dalam penelitian ini. Dalam menghitung data angket, penulis menggunakan rumus prosentase, yaitu sebagai berikut: P = F/N X 100 %
Keterangan: P = Angka Prosentase F = Frekuensi Jawaban N = Jumlah Responden
Sedangkan untuk menyimpulkan hasil jawaban angket penelitian ini menggunakan statistik deskriptif yakni melalui nilai mean (rata-rata) yang didapatkan melalui rumus prosentase sebagai berikut: M = JJ/TS x 100 %
Keterangan: M = Nilai rata-rata JJ = Jumlah Jawaban TJ = Total Jawaban
56
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan 1. Gambaran Pesantren di Ogan Ilir Sumatera Selatan Tradisi pesantren-pesantren di Sumatera Selatan tidak terlalu jauh berbeda bila dibandingkan dengan pesantren-pesantren di Jawa. Bahkan beberapa pesantren memiliki hubungan emosional dan silsilah keilmuan dengan pesantren-pesantren di Jawa, karena beberapa pesantren kyai dan gurunya merupakan alumni dari beberapa pesantren di Jawa. Pendidikan agama Islam di Sumatera Selatan berawal dari pengajian agama tradisional yang diselenggarakan di langgar, masjid dan kadangkadang di rumah guru. Meski demikian, lembaga pendidikan seperti pesantren baru dikenal pada abad ke-20 ditandai dengan berdirinya Madrasah Nurul Islam Seribandung dengan sistem asrama.1 Dengan kata lain meskipun pendidikan agama tradisonal telah lama berkembang dalam budaya masyarakat Sumatera Selatan.sebelumnya istilah pesantren atau pondok
1
Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Adimistrasi Islam; Studi Tentang Pejabat Agama Masa Selutanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Logos, 1998), h. 171
57
pesantren tidak dikenal di daerah ini, istilah yang dipakai adalah madrasah meskipun sistem pengajaran yang dipakai adalah pondok pesantren. Pertumbuhan pesantren di daerah ini secara kuantitas terus mengalami peningkatan, data Kantor Wilayah Departemen Agama Sumatera Selatan tahun 2006-2007, tercatat sebanyak 343 pesantren. Sedangkan data Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan (FORPESS) tahun 2008, mencatat 392 pesantren yang tersebar pada 14 kabupaten/kotamadya di Sumatera Selatan.2 Dari jumlah tersebut, Kanwil Depag Sumatera Selatan merinci sebanyak 294 merupakan pesantren khalafiah dan 49 pesantren salafiah yang hampir semuanya berada di komunitas masyarakat Jawa yang bertansmigrasi ke Sumatera Selatan.3 Menurut Fuad Jabali, berbeda dengan provinsi-provinsi lain, pengkategorian pesantren-pesantren di Sumatera Selatan ke dalam salaf atau khalaf lebih mudah dilakukan.4 Penelitian tentang pesantren di Sumatera Selatan masih sangat sedikit dilakukan. Hasil penelitian tentang Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren yang dilakukan Muhyidin pada empat pesantren salafiyah dan khalafiah di Sumatera Selatan, apabila membicarakan pesantren di Sumatera Selatan pada era kekinian, maka persepsi masyarakat akan terkait dengan Indralaya, Seribandung, dan Sakatiga yang ada di Kabupaten Ogan Ilir (OI) sebagai “kabupaten santri” dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) sebagai kabupaten yang paling banyak memiliki pesantren.5 Ogan Ilir merupakan sebuah nama kota kecil yang berada di bagian selatan provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat asli yang berada di kabupaten ini terdiri dari suku Pegagan Ulu, Penesak, dan Pegagan Ilir dan lain-lain yang 2
Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 81 3 Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem…, h. 82 4 Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 272 5 Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem…, h. 82
58
umumnya teramasuk anak suku Melayu Palembang. 6 Cikal bakal pendidikan agama Islam di kabupaten Ogan Ilir berawal dari pendidikan tradisonal yang dikemas dalam bentuk dakwah seperti pengajian-pengajian, ceramah di masjid, dan cawisan di rumah-rumah.7 Pendidikan ini dilakukan oleh tokohtokoh ulama berpengaruh lulusan Makkah, Madinah, dan Mesir, di antaranya KH. Ishak Bahsin dan KH. Bahsin Ishak dari Indralaya; KH. Saiyidina Harun dari Sakatiga; dan KH. Anwar bin Haji Kumpul dari Seribandung.8 Begitu kuatnya tradisi keislaman yang tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak mengherankan kalau daerah ini oleh masyarakat disebut pusat “kota santri” di Sumatera Selatan. Perkembangan pendidikan tradisional ini pula yang menginisiasi lahirnya Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya.
2. Sejarah Pondok Pesantren al-Ittifaqiah a. Pengajian Tradisional (1918-1922) Pertumbuhan pesantren seirama dengan penyebaran tradisi Kitab Kuning di berbagai daerah Nusantara yang menemukan momentum terkuatnya sejak awal abad ke 19.9 Cikal pesantren umumnya sangat sederhana, berawal dari “pengajian” yang diselenggarakan oleh seorang
6
Mohammad Najib, (eds.), Sejarah Ogan Ilir; Tradisi Masyarakat dan Pemerintahan, (Indralaya: Pemkab OI, 2006), h. 2. Lihat M. Isnaini, “Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi Modern; Studi terhadap Peran Santri di Pesantren Roudhotul Ulum dan Ittifaqiah Ogan Ilir ” dalam Irwan Abdullah, Hasse J., Muhammad Zain, (eds), Agama, Pendidikan Islam, dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren, (Yogyakarta: SPs UGM dan Pustaka Pelajar, 2008), h. 168 7 Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OKI; Ogan Komering Ilir, (Palembang: Pemkab OKI, 2003), h. 60 8 Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OKI…, h. 56 9 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 114
59
kyai di langgar (mushalla) atau masjid,10 dan cawisan di rumah-rumah yan dikenal di derah Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir.11 Pendidikan agama dimulai dengan belajar membaca al-Qur’an atau “ngaji Qur’an” di samping itu diajarkan pula salat, berwudu, dan doa-doa. Sesuai dengan tradisi yang berkembang pada waktu itu, kitab yang dipergunakan adalah Kitab Perukunan Melayu untuk persoalan fikih. Berkembang juga tradisi marhaba, tahlilal, dan secara umum masyarakat menggunakan kitab Barzanji. Metode mengaji yang digunakan disebut sendiri oleh penduduk dengan metode muqaddam yaitu pelajaran dasar tentang huruf Hijaiyyah, kemudian dengan harkat, selanjutnya merangkai huruf dalam kalimat. Dan murid disebut tembus setelah lancar dan mahir membaca serta menamatkan al-Qur’an 30 Juz. Kemudian diselenggarakan acara selamatan atau syukuran yang disebut khataman atau tamatan.12 Di daerah Ogan Ilir khususnya Indralaya-Sakatiga sejak dulu dikenal banyak ulama yang belajar Islam ke Timur Tengah yaitu Makkah, Madinah, dan Mesir.13 Salah seorang ulama terkemuka di daerah ini adalah KH. Ishak Bahsin. Seorang ulama karismatik lulusan al-Azhar Mesir yang menyelenggarakan pengajaran agama Islam di rumah Beliau kepada masyarakat Sakatiga dan sekitarnya. Pada masa itu KH. Ishak Bahsin telah mengembangkan pengajaran dengan merujuk Kitab Kuning meskipun dalam kemasan dakwah seperti pengajian, ceramah di masjid, dan cawisan. Metode pembelajaran ini sebagai embrio yang kemudian
10
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001),
h. 157 11
Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OKI…, h. 60 Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Adimistrasi Islam…, h. 167; lihat juga Mohammad Najib, (eds.), Sejarah Ogan Ilir…, h. 62-63 13 Mohammad Najib, (eds.), Sejarah Ogan Ilir…, h. 43 12
60
Beliau kembangkan menjadi sistem klasikal yang terlembagakan dalam bentuk madrasah yang Beliau dirikan pada 1922.14
b. Madrasah Ibtidaiyah Sisayasiyah Alamiyah (1922-1942) Pendidikan tradisional yang diselenggarakan KH. Ishak Bahsin mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Setelah melewati berbagai hambatan selama kurang lebih empat tahun, berdirilah lembaga pendidikan dengan nama Madrasah Ibtidaiyah as-Siyasiyah al-Alamiyah di Sakatiga (selanjuntya ditulis Madrasah as-Syiasiyah). Madrasah ini menyelenggarakan pendidikan dengan masa belajar selama delapan tahun. Selama sepuluh tahun, kegiatan belajar-mengajar Madrasah ini dilaksanakan hanya “di bawah rumah” penduduk. Meski demikian, tidak kurang dari 100 orang santri menjadi belajar di Madrash ini, sebuah prestasi dan sambutan yang sangat antusias waktu itu. Kemudian pada 1932, mulai dibangun gedung madrasah yang waktu itu terdiri dari 5 ruang belajar. Kepemimpinan Madrasah sejak didirikan dipegang oleh KH. Ishak Bahsin. Selanjutnya dalam menjalankan pendidikan Madrasah yang terus berkembang ini Beliau dibantu 7 orang guru, yaitu: KH. Bahsin Ishak, KH. Marwah, KH. Bahri Pandak, KH. Ahmad Qori Nuri, KH. Abdullah Kenalin, K. Muhammad Rasyad Abdul Rozak, dan K. Abdul Rohim Mandung. Setelah KH. Ishak Bahsin wafat pada tahun 1936, kepemimpinan Madrasah dilanjutkan oleh putra Beliau, KH. Bahsin Ishak.15 KH. Bahsin Ishak merupakan lulusan As-Salafiyah Makkah. Selain sebagai seorang ulama tokoh ini juga sekaligus sebagai Pasirah 14
Penyusun, Profil Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia, (Indralaya: PPI, 2008), h. 2 15 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 2.
61
Marga Sakatiga.16 Pasirah merupakan pimpinan Marga yang secara tradisional merupakan institusi tertinggi kemasyarakatan setelah lembaga keluarga, kampung dan dusun di daerah Sumatera Selatan. Dengan kualifikasi tertentu, pimpinan Marga disebut pula sebagai Depati dan Pangeran.17 Karena pejabat pemerintah waktu itu selalu memberatkan masyarakat, maka tampillah KH. Bahsin Ishak yang kemudian didukung dan dipilih masyarakat.18 Situasi ini yang kemudian menjadikan Beliau sebagai tokoh ulama dan umara sekaligus pada zamannya. Di tengah perjalanan madrasah yang semakian memperlihatkan kemajuan dan perkembangannya dengan jumlah siswa mencapai 300 orang, pada 1942 Madrasah ini terpaksa harus ditutup. Madrasah ini bubar setelah gedung madrasah dibakar orang yang tak dikenal.19 Faktor pembakaran ini, sangat terkait dengan situasi politik pada waktu itu. Sesuai dengan namanya “al-Siyasiyah”, Madrasah ini diduga kuat menjadi basis kegiatan politik oleh tentara Jepang yang sejak 14 Februari 1942 memasuki daerah Ogan Ilir.20 Dan diduga kuat motif pembakaran Madrasah sebagai merupakan bentuk teror politik yang dialamatkan kepada KH. Bahsin Ishak dari pihak yang tidak senang dengan posisi Beliau sebagai Depati Marga pada waktu itu. Bahkan akibat teror yang berkepanjangan Beliau terpaksa harus hijrah ke daerah Lintang Kabupaten Lahat dan selanjutnya menetap di sana. Banyak juga murid-murid Beliau yang ikut dikejar-kejar dan terpaksa harus mengungsi ke beberapa tempat.21 Akhirnya segala aktivitas Madrasah as-Siyasiyah harus berhenti dan ditutup dalam waktu yang cukup lama. 16
Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OKI…, h. 68 Mohammad Najib, (eds.), Sejarah Ogan Ilir…, h. 27-28 18 Wawancara dengan KH. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009 19 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 2. 20 Mohammad Najib, (eds.), Sejarah Ogan Ilir…, h. 21, dan wawancara dengan K. Buhairi Nuri, Sakatiga 17 Juli 2009. 21 Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009 17
62
c. Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga (1949-1962) Setelah Madrasah as-Syiyasiyah ditutup, pendidikan yang pernah berkembang
melalui
lembaga
tersebut
secara
otomatis
terhenti.
Dampaknya kemudian terjadi kefakuman dan trauma psikologis bagi para guru dan murid Madrasah tersebut. Lebih jauh lagi pendidikan keagamaan di Sakatiga waktu itu juga menjadi terlantar. Menyadari keadaan ini, KH. Ahmad Qori Nuri salah seorang murid KH. Ishak Bahsin yang juga pernah terlibat mengajar di Madrasah as-Syiyasiyah berinisiatif untuk kembali menghidupkan kembali Madrasah tersebut. Pada 1949, KH. Ahmad Qori Nuri mengajak murid-murid KH. Ishak Bahsin yang lain seperti KH. Ismail Muhyiddin, dan H. Yahya Muhyiddin untuk membangun kembali Madrasah. Dan dengan bantuan beberapa orang kader Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Saktiga, gedung Madrasah as-Siyasiyah dibangun kembali.
22
Sejak awal karena
KH. Ahmad Qori yang memprakarsai dan memobilisasi gerakan untuk membangun kembali Madrasah, disepakati untuk menunjuk Beliau sebagai pimpinan madrasah, namun kemudian Beliau menyarankan KH. Ismail Muhyidin yang memimpin madrasah, karena saat itu KH. Ismail Muhyidin lah yang lebih senior. Maka berdirilah madrasah dengan nama Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga.23 Pada 31 Agustus 1950 dimulai lah kegiatan belajar-mengajar di sekolah tersebut dengan jumlah siswa 70 orang. Sekolah Menengah Islam menyelenggarakan dua tingkat pendidikan, yaitu tingkat Ibtidaiyah (setara tingkat Tsanawiyah sekarang) dengan masa belajar 4 tahun dan tingkat Tsanawiyah (setara tingkat Aliah sekarang) dengan masa belajar 3 tahun.
22 23
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 2 Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009
63
Pada tahun keempat jumlah siswa yang belajar di SMI mencapai 250 orang.24 Pada 1954, KH. Ismail Muhyidin berpulang ke rahamtullah. Dan sepeninggal KH. Muhyudin, diamanahkan kepada KH. Ahmad Qori Nuri untuk melanjutkan kepemimpinan SMI. Dalam upaya mengembangkan madrasah KH. Ahmad Qori Nuri menambah 3 lokal ruang belajar sehingga seluruhnya menjadi 8 lokal dan menambah tenaga guru baik untuk mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum. Sampai tahun 1962 tercatat siswa yang belajar SMI berjumlah 400 orang.25
d. Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga (1962-1967) Awal 1962, menyesuaikan dengan peraturan Departemen Agama waktu itu, nama SMI dirubah menjadi Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga. Program pendidikan terdiri dari Tsanawiyah dengan masa belajar 4 tahun dan Aliyah dengan masa belajar 3 tahun. Di bawah kepemimpinan KH. Ahmad Qori Nuri pembaharuan kurikulum mulai dilakukan, mata pelajaran umum yang diajarkan di MMA Sakatiga disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku pada SMP dan SMA. Seiring pertambahan jumlah murid, maka selain menambah tenaga pengajar, dibangun pula ruang belajar. Tenaga guru di MMA saat itu berjumlah 17 orang terdiri dari 13 guru agama dan 4 guru pelajaran umum. Dan dibangun tambahan 3 ruang belajar, sehingga berjumlah 11 lokal. Pada era ini, MMA mengalami kemajuan pesat. Jumlah santri di Madrasah ini mencapai 527 orang yang berasal tidak saja dari Sumatera Selatan tapi dari propinsi-propinsi lain. Karena prestasi dan keberhasilan MMA Sakatiga, desa Sakatiga demikian terkenal pada waktu itu, sampai24 25
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 2 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 2
64
sampai masyarakat menyebutnya sebagai “Mekkah Kecil.”26 Sampai sekarang daerah OKI dan OI terutama Sakatiga-Indralaya memang dikenal dengan sebutan kota santri, gudangnya pesantren dan kyai. Perluasan jangkauan pendidikan MMA Sakatiga, juga didukung dengan pendirian basis-basis MMA, atas saran dari K. Buhairi Nuri, saudara KH. Ahmad Qori Nuri, dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) di beberapa tempat di luar Sakatiga. Tercatat MMI yang waktu itu dibentuk antara lain: (1) SMI di Pagar Gunung Lubai bertempat di Masjid Kota Baru, sekitar awal 1960, (2) Madrasah Itisyariah Islamiyah di Merbau Pendek Panjang, Lampung, (3) SMI Intisyariyah di Bunga Emas, Lahat, (4) Madrasah Ittifaqiah Islamiyah (MII Ittifaqiah) di Indralaya, pada 1964, (5) Madrasah Ibtidaiyah Ittihadiyah Islamiyah (MII Ittihadiyah) di Tanjung Lubuk, 1964, dan (6) Madrasah Ibtidaiyah Ijtima’iyah (MII Ijtima’iyah) di Luuk Sakti. MII ini menyelenggarakan pendidikan pada sore hari dengan masa belajar selama 4 tahun. Namun ketentuan lainnya, yang diterima di kelas 1 MII adalah kelas 3 SD Negeri, dan seterusnya. Sehingga apabila siswa MII kemudian melanjutkan ke MMA Sakatiga, mereka dapat langsung diterima di kelas 2 Tsanawiyah.27
e. Madrasah Menengah Atas (MMA) al-Ittifaqiah Indralaya (19671976) Pada periode ini muncul desakan dari beberapa guru MMA Sakatiga untuk menjadikannya sebagai Madrasah Negeri. Munculnya desakan ini dilatarbelakangi terjadinya “insiden politis” waktu itu. Meskipun KH. Ahmad Qori Nuri tidak terbukti bersalah dan terbebas dari
26 27
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 3 Wawancara dengan K. Buhairi Nuri, Sakatiga 17 Juli 2009.
65
segala tuduhan dan fitnah terhadap Beliau, namun dampak insiden ini bagi MMA tetap tak terhindarkan.28 Untuk memelihara nilai-nilai sejarah dan keberkahan pendidikan Islam yang dirintis oleh KH. Ishak Bahsin. KH. Ahmad Qori Nuri dan murid-murid KH. Ishak Bahsin di Indralaya, memandang apabila MMA Sakatiga dinegerikan dan diserahkan kepada pemerintah justru akan kehilangan nilai sejarahnya. Atas permintaan murid-murid KH. Ishak Bahsin dan keinginan masyarakat Indralaya yang mengharapkan KH. Ahmad Qori mengembangkan pendidikan di Indralaya, maka tercapailah kesepakatan KH. Ahmad Qori Nuri hijrah dan melanjutkan pendidikan MMA di Indralaya. Sedangkan MMA Sakatiga kemudian berubah status menjadi MAAIN (sekarang MAN Sakatiga) dan MTsAIN (sekarang MTsN Sakatiga).29 Dalam membangun perguruan Islam di Indralaya ini KH. Ahmad Qori Nuri didukung dan dibantu oleh para ulama dan tokoh masyarakat antara lain H. Ahmad Rifai H. Hasyim, H. Nurhasyim Syahri, KH. Muhammad Romli H. Hasyim, H. Hasanuddin Bahsin, Syukri H. Hasyim, H. Ahmad Rozak, H. Yahya Gani, Ilyas Ishak, Muhammad Rodhi, Hajiroh Burhan (waktu itu Kariao/Kepala Desa Indralaya), Ahmad Lutfi H. Hasanuddin, Sykuri H. Hasyim; dan adik-adik Beliau, KH. Abdul Hamid Nuri, K. Buhairi Nuri, K. Azhari Nuri, dan KH. Amin Nuri.30 Pada 10 Juli 1967 resmi berdiri MMA al-Ittifaqiah di Indralaya (selanjutnya ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren alIttifaqiah Indralaya), dengan surat persetujuan Inspeksi Pendidikan Agama Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Selatan tanggal 28 Juli 1967 No. 1796/AI/UM/F/1967. MMA al-Ittifaqiah ini memiliki dua 28
Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 3 30 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 3, dan Hedra Zainuddin, (eds), Sewindu FORPESS; Geliat Pesantren di Sumatera Selatan, (Palembang: FORPESS, 2007), h. 79 29
66
tingkat pendidikan yaitu: Tsanawiyah dengan masa belajar 4 tahun dan Aliyah dengan masa belajar 3 tahun. Sejak awal pindah di Indralaya, MMA telah memiliki 80 orang siswa. Penyelenggaraan pendidikan waktu itu masih “numpang” menempati gedung belajar MII Ittifaqiah. Gedung sederhana tersebut digunakan secara bergantian, MMA belajar pagi hari dan MII belajar pada sore harinya.31 Pada awal 1968 dibangun 3 lokal gedung belajar semi permanen di atas tanah wakaf seluas 80 x 50 m2 (4000 m2) yang menjadi cikal baka komplek Pondok Pesantren al-Ittifaqiah sekarang. Tahun 1969, dibentuklah Yayasan Perguruan Islam al-Ittifaqiah dengan akte notaries Aminus Palembang nomor 2 Januari 1969; yang memayungi MMA al-Ittifaqiah (tingkat Tsanawiyah dan Aliyah) dan MII al-Ittifaqiah (tingkat Ibtidaiyah). Karena masih merujuk ke al-Azhar Mesir, masa belajar waktu itu, masa belajar Aliyah selama 3 tahun , sedangkan Ibtidaiyah dan Tsanawiyah masing-masing 4 tahun.32
f. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya (1976-sekarang) KH. Ahmad Qori Nuri sebagai pimpinan MMA al-Ittifaqiah Indralaya dikenal sebagai sosok ulama yang mempunyai integritas tinggi dan konsisten, tetapi juga berpikiran modern dan berwawasan luas. Dalam diri Beliau berpadu antara konsistensi terhadap tradisi salaf dan pemikiran khalaf sekaligus. Sehingga ketika pemerintah menawarkan agar MMA alIttifaqiah menjadi madrasah murni dengan kewajiban memakai kurikulum madrasah Departemen Agama secara penuh, Beliau menolak tawaran ini dan memilih menerapkan sistem pondok pesantren, tetap mempertahankan pengajaran kitab kuning namun dengan sistem madrasah. 31
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 4 dan Wawancara dengan K. Buhairi Nuri, Sakatiga 17 Juli 2009. 32 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 3
67
Bila melihat unsur-unsur pokok pesantren secara konvensional yang terdiri dari: pondok, masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning), santri, dan kyai.33 Status sebagai pondok pesantren memang telah terpenuhi, pembelajaran pesantren (kitab kuning dan metode yang dipakai) memang sudah lama diterapkan, termasuk kyai-kyai yang memang menjadi tenaga pendidik, memiliki mushola, dan asrama santri yang terletak di belakang gedung madrasah. Meskipun santri yang mukim di asrama baru sekitar 10% selebihnya masih menyewa di rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah yang sengaja dibuat oleh penduduk diperuntukkan sebagai asrama. Pada tanggal 11 Maret 1976, MMA al-Ittifaqiah berubah status menjadi Pondok Pesantren dengan surat Departemen Agama RI nomor 504/YPI-3/76 tanggal 11 Maret 1967. MMA dan MII yang secara struktur kepengurusan yayasan semula terpisah, disatukan menjadi bagian dari pesantren. Dengan demikian, program pendidikan Pondok Pesantren alIttifaqiah terdiri dari Madrasah Aliyah 3 tahun, Madrasah Tsanawiyah 4 tahun, dan Madrasah Ibtidaiyah 4 tahun.34 Di masa awal perjalannya, pesantren ini juga sempat mengalami masa surut pada rentang 1985 sampai 1988. Pada masa ini terjadi penurunan jumlah santri dan tenaga pendidik yang cukup drastis. Bila pada tahun-tahun sebelumnya jumlah santri mencapai 300 orang dengan tenaga guru 25 orang, puncaknya pada 1988, jumlah santri keseluruhan baik hanya berjumlah lebih kurang 44 orang (20 orang santri Ibtidaiyah, 17 orang santri Tsanawiyah, dan 7 orang santri Aliyah) dengan jumlah guru aktif hanya 8 orang.
33
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 44 34 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 5
68
KH. Ahmad Qori Nuri selaku pimpinan pesantren, melakukan berbagai upaya untuk memecahkan persoalan ini. Misalnya Beliau menggunakan stategi rooling dan penggabungan kelas, santri-santri dari berbagai kelas digabungkan dalam satu ruang belajar untuk satu mata pelajaran tertentu, dan seterusnya. Bahkan Beliau sampai pada keputusan membebaskan seluruh biaya kepada para santri dengan harapan menarik minat para calon santri dan wali santri untuk belajar di pesantren ini. Dalam situasi memprihatinkan ini Beliau kemudian meminta putra Beliau, Moechlies Qorie yang saat itu sedang bertugas di MAN Belitang OKU untuk pulang membantu mengurus Pondok. Dalam waktu yang hampir bersamaan Muhsin Qori, putra sulung Beliau, yang telah menjadi Kepala Desa di Lampung juga pulang ke Indralaya. Menindaklajuti permasalahan yang sedang dihadapi Pondok saat itu, kemudian berdasarkan hasil musyawarah ditunjuklah K. Muhsin Qori ditunjuk sebagai Wakil Mudir Bidang Keuangan dan K. Moechlies Qorie sebagai Wakil Mudir Bidang Pendidikan dan Wakil Ketua Yayasan al-Ittifaqiah, periode 1989-1990. Selanjutnya dengan tambahan tenaga ini mulailah dilakukan pembenahan sistem dan manajemen pesantren serta perubahan stategi dan pola penerimaan santri dan melakukan rekrutmen tenaga pendidik. Hasilnya, pada tahun ajaran 1988-1989, terlihat perubahan yang sangat menggemberikan, selain rekrtutmen guru tambahan yang mencapai 30 orang, juga terlihat bertambahnya antusias calon santri yang berdatangan ke Pondok. Saat itu tercatat tidak kurang dari 400 orang santri baru mendaftarkan diri di pesantren ini, bahkan sebagian berasal dari keluarga Pertamina dan PUSRI kalangan menengah kota di Palembang waktu itu.35
35
Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009
69
Dengan penuh kegigihan dan keikhlasan, KH. Ahmad Qori Nuri terus berjuang mengembangkan pesantren ini, termasuk berusaha menyiapkan pasilitas belajar dan kebutuhan pondok lainnya, seiring jumlah santri yang terus bertambah dan berdatangan dari berbagai daerah sampai ke luar Sumatera Selatan. Sampai Beliau tutup usia pada 11 April 1996, pesantren ini berhasil mengasramakan seluruh santri yang berasal dari luar Indralaya. Keseluruhan santri waktu itu berjumlah 700 orang, degan pasilitas asrama, gedung belajar, dan kantor yang memadai di atas lahan pesantren 33.330 m² yang diperluas dari area sebelumnya yang hanya seluas 4000 m².36 KH. Ahmad Qori Nuri sepertinya telah membaca tantangan lembaga pendidikan yang dipimpinnya semakin berat dan kompleks. Sehingga sepertinya KH. Ahmad Qori telah mempersiapkan generasi penerus yang akan melanjutkan dan mengembangkan pesantren. Generasi penerus kyai yang melanjutkan atau memiliki background pendidikan formal, memungkinkan terjadinya pembaharuan dalam pesantren. Dengan kapasitas keilmuan yang relatif lebih terbuka, menjadikan para kyai muda ini sebagai motor pengerak dalam dinamika pesantren yang pada gilirannya mengawali perubahan cara dalam mengelola pesantren. 37 Pada generasi kedua inilah KH. Ahmad Qori menitipkan amanah dan menyimpan harapan besar untuk memajukan dan mengembangkan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah di masa depan. Putra-putra KH. Ahmad Qori Nuri tercatat semuanya melanjutkan pendidikan tinggi formal dan meraih kesarjanaan pendidikan tinggi. K. Muhsin Qori dan K. Moechlies Qori (IAIN Raden Fatah Palembang), K. Moersjied Qori (PTIQ Jakarta), K. Muslih Qori (LPBA Jakarta), dan K. 36
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 5 Amin Haedari, Transpormasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006), h. 13 37
70
Mudrik Qori (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terakhir meraih Master di IAIA Jakarta). Pada 1990-1991, berturut-turut K. Moersjied Qori, K. Muhlis Qori, dan K. Mudrik Qori pulang ke Pondok setelah menyelesaikan pendidikan mereka di Jakarta. Kemudian ditetapkan K. Moersjied Qori ditunjuk sebagai Ketua Umum Yayasan, K. Moechlies Qorie sebagai Kepala Madrasah Aliyah, K. Muslih Qori sebagai Kabag. Kesantrian, dan K. Mudrik Qori sebagai Wakil Mudir.38 Kepulangan dan keterlibatan para kyai muda ini dalam mengelola pesantren telah memperkuat kepengurusan sekaligus membawa banyak perubahan, pembenahan, dan dinamika di pesantren ini. Setelah KH. Ahmad Qori Nuri wafat pada 1996, kepemimpinan Pondok dilanjutkan oleh Wakil Mudir K. Mudrik Qori. Pada 1997, kepemimpinan pesantren dipercayakan kepada K. Muslih Qori yang menjalankan tugasnya sampai 1998. K. Muslih Qori selanjutnya diminta menjadi Pimpinan Pesantren al-Islah di Tulung Selapan.39 Yayasan Perguruan Islam al-Ittifaqiah yang memayungi pesantren ini melakukan penyempurnaan organisasi (AD/ART, pedoman, dan peraturan lainnya) termasuk perubahan nama menjadi Yayasan Islam al-Ittifaqiah (YALQI). Pada Juli 1998, YALQI mengangkat dan mengamanahkan kepada Drs. KH. Mudrik Qori sebagai Mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah. Didampingi Wakil Mudir Ust. Mubarok Hanura dan dukungan pengurus, karyawan, dan guru, pada pase ini dilakukan penguatan SDM, organisasi, manajemen, jaringan, pendanaan, sarana-prasarana, dan sebagainya dalam upaya meningkatkan kemajuan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah.40
38
Wawancara dengan K. Moechlies Qorie, Indralaya 20 Juli 2009 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 5, dan Mohammad Najib, (eds.), Sejarah Ogan Ilir…, h. 44 40 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 5 39
71
3. Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Pondok Pesantren al-Ittifaqiah merupakan salah satu pesantren terkenal di Sumatera Selatan. Dari 20 pesantren yang berada di kabupaten Ogan Ilir menurut data Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan (FORPESS) pada 2007,41 Pondok Pesantren al-Ittifaqiah termasuk pesantren besar yang memiliki jaringan internasional.42 Pesantren ini berlokasi di jantung kota Indralaya, ibu kota kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Terletak persis di pinggir jalan Lintas Timur. Berjarak 36 km dari kota Palembang dan 3 km ke arah selatan berdekatan dengan kampus Universitas Sriwijaya. Mengarah ke hulu dengan jarak yang relatif dekat dari pesantren ini, terdapat pula Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga di Desa Sakatiga. Di Desa Sakatiga ini dahulunya berdiri Madrsah Menengah Atas (MMA) Sakatiga yang merupakan embrio Pondok Pesantren al-Ittifaqiah sebelum hijarah ke Indralaya. Para santri binaan al-Ittifaqiah telah mengukir banyak prestasi di antaranya: juara MTQ di Malaysia pada 1997 dan 2006, juara MHQ di Arab Saudi pada 2011, serta juara STQ/MTQ, POSPENAS, PON, dan even-even nasional dan internasional lainnya. Selain para alumni yang bertebaran melanjutkan studi di perguruan-perguran tinggi di dalam negeri, santri dan alumni berprestasi juga mendapat beasiswa S1 dan S2 di luar negeri seperti Mesir, Sudan, Yaman, Syiria, Jepang, Jerman, Arizona, dan lain-lain. Pimpinan dan guru Pondok Pesantren al-Ittifaqiah juga berkali-kali diundang untuk mengikuti program shot course antara lain: Education Visit (Jepang, 2004), Shot Course of Conflict Resolution and Gender Mainstreaming (Inggris, 2006), dan Partnership for School (Amerika Serikat, 2008). 43
41
Hedra Zainuddin, (eds), Sewindu FORPESS.., h. 96 Saudi Berlian, Mengenal Seni Budaya OK…, h. 60 43 Penyusun, Profil Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah…, h. 1 42
72
a. Tipe dan Ciri Khas 1) Tipe Pesantren Pondok pesantren ini merupakan pesantren kombinasi khalafiyah dan salaifiyah. Jenjang pendidikan formal dan metode pembelajaran yang diterapkan merujuk pada sistem madrasah. Namun metode bandongan dan sorogan masih digunakan untuk pelajaran-pelajaran kitab-kitab kuning (untuk pelajaran fiqih, hadits, tafsir, nahwu, sharaf, tauhid, dan balagha) yang merujuk pada tipe pesantren salaf.44 2) Ciri Khas Pesantren Pondok Pesantren al-Ittifaqiah menjadikan pendidikan alQur’an sebagai program unggulan; baik dari sisi kemampuan membaca, menghafal, seni baca, ilmu-ilmu al-Qur’an, sekaligus kemampuan memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran al-Qur’an. Selain itu, pendidikan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris merupakan program mahkota (crown program) sehingga para santri diwajibkan berkomunikasi dengan kedua bahasa ini setiap hari.45 Salah satu kelebihan dari pesantren ini adalah tradisi menjuarai dan memperkuat Tim Sumatera Selatan dalam STQ dan MTQ Nasional. Perkhatian cukup besar khususnya dalam bidang qira’ah dan tahfiz merupakan salah satu rahasianya. Sehingga santri pesantren ini cukup disegani dalam setiap MTQ maupun STQ.46
b. Visi dan Misi 1) Visi Pesantren Mewujudkan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah sebagai pusat pendidikan Islam yang unggul, pusat dakwah, Islam yang unggul, 44
Penyusun, Profil Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah…, h. 11 Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah…, h. 11 46 Tim Penyusun, Direktorat Pondok Pesantren, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000), h. 102 45
73
pusat pengembangan masyarakat yang unggul, dan pusat penebar rahmat yang unggul. 2) Misi Pesantren a) Menjadikan
Pondok
Pesantren
al-Ittifaqiah
sebagai
pusat
penyelenggaraan pembinaan al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menghidupkan ruh dan nilai al-Qur’an dan al-Sunnah di tengahtengah kehidupan umat dan semesta menuju hasanh fi al-dunya dan hasanah fi al-akhirah. b) Menjadikan
Pondok
Pesantren
al-Ittifaqiah
sebagai
pusat
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran Islam (tafaquh fi aldin) untuk membentuk insane kamil yang beriman dan bertaqwa kokoh, berakhlak karimah, berilmu pengetahuan luas dan berwawasan luas, berketerampilan tinggi dan berjiwa mandiri yang siap menjadi pembimbing dan pemimpin umat serta penebar rahmat untuk dirinya, daerahnya, bangsanya, negaranya dan semesta. c) Menjadikan
Pondok
Pesantren
al-Ittifaqiah
sebagai
pusat
penyelenggaraan dakwah Islamiah untuk membentuk khair alummah dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahy munkar, menghalalkan yang baik, mengahramkan yang buruk, melepaskan dan memberdayakan umat dari beban dan belenggu kebodohan, kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan, mengawal akidah dan moral umat, daan menjadi benteng pertahanan Islam dan umat. d) Menjadikan
pondok
Pesantren
al-Ittifaqiah
sebagai
pusat
pembaharuan, perubahan, pemberdayaan, pengembangan dan pembangunan masyarakat dalam rangka terwujudnya ketahanan nasional dan terciptanya bangsa negar madani.
74
e) Menjadikan
Pondok
Pesantren
al-Ittifaqiah
sebagai
pusat
perjuangan kemanusian universal, kerukunan dan perdamaian, dan pengembangan IPTEK dan budaya semesta.47
c. Program Pendidikan 1) Pendidikan Kurikuler a) Madrasah Taman Kanak-kanak Islam al-Ittifaqiah (TAKIAH) b) Madrasah Diniyah al-Ittifaqiah (MASNIAH) c) Madrasah Ibtidaiyah al-Ittifaqiah (MASTIAH) d) Madrasah Tsanawiyah al-Ittifaqiah (MASWIAH) e) Madrasah Aliyah al-Ittifaqiah (MASLIAH) f) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Qur’an al-Ittifaqiah (STITQI) 2) Pendidikan Kokurikuler a) Lembaga Tahfidz, Tilawah dan Ilmu al-Qur’an al-Ittifaqiah (LEMTATIQI) b) Lembaga Bahasa al-Ittifaqiah (LEBAH) c) Lembaga Keterampilan, SENI, dan Olahraga (LEMTRAMNIGA) d) Dakawah
Pengabdian
dan
Hubungan
(DAPDIMASMA) e) Taman Pendidikan al-Qur’an al-Ittifaqiah (TAPQIAH) f) Pesantren Tinggi al-Ittifaqiah (PASTIAH) 3) Pendidikan Ekstra Kurikuler a) Pendalaman al-Qur’an dan Kitab Kuning b) Pelatihan Pidato (muhadlarah) c) Pendidikan Organisasi dan Kepramukaan d) Pendidikan Kewanitaan dan Kesehatan e) Pendidikan Pers dan Jurnalistik, dll.48
47
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah…, h. 8
Masyarakat
75
d. Keadaan Pengurus, Guru, Karyawan Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun ajaran 2008-2009, pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah berjumlah 187 orang. Para pengurus, guru, dan karyawan ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 4.1 Daftar Pengurus, Guru, Karyawan dan Pengabdi PPI Tahun Pelajaran 2008-200949 No. Nama 01 Dr. Hasbi Indra, M.Ag. 02 K.A. Lutfi Hasanuddin 03 Drs. Duani Sa'ari, MA. 04 K.H. Marzuki 05 Drs. Syamsul Bahri HAR 06 H.M.W. Barkat 07 Drs. K.H. Mudrik Qori, MA 08 K. Rozali Safe'i 09 K.H. Ibrohim 10 K. Abul Khair Imron 11 Drs. Ismail M. Jelas 12 Drs. Mardhi M. Nuh 13 Mukhlis HAR 14 Mukhyiddin AS, MA 15 H.M. Natsir Agus, BA. 16 A. Ridho RS, S.Pd.I 17 Sam'un Ahmad 18 M. Akip Umar, S.Pd.I, M.SI 19 Zuhaironi Yahya, A.Ma. 20 Khotmir Rohi, S.Pd.I 21 Haudi Zamzami, S.Sos. 22 Sueb Rizal Abu Naim, S.Pd.I 23 A. Royani al Hafidz 24 Autad Sulaiman, S.Pd.I 48
No. 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118
Nama Eka Harti Hoiri Nafiz Yadi Pajri Jimi Ismail Zulkarnain Manila Wita Kuswita Andrayani Arniza Meni Diana Susieni Suryadi, S.Ag. A. Fauzan Aisyah Zahro Nurjannah Apit Sri Amanah Nurjannah, A.Ma. Sarjono, S.Pd.I Rusdiana Abdul Kirom, S.Sos. Anizah Dian Nopita Parihah Betris, S.Pd
Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah …, h. 12-13 Data ini diambil dari daftar penerimaan barakah Pengurus, Guru, dan Karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Tahun Pelajaran 2008-2009 49
76
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Iswardi Samsuir, S.Pd.I Akhyar Ishak, S.Ag. Jalaluddin Bahri, S.Ag. Zainal Abidin, S.Ag, SH.M.Ag Saribi Muhammad, S.Pd.I. M. Joni Rusli, S.Pd.I M. Ali Sodikin, S.Pd.I. Awaluddin, S.Pd.I. Khairuddin, S.Ag H. Agus Jaya, Lc. M. Hum Mardiansyah A. Devison, S.Pd.I. Ferry Martedi ZA, SS Usman Abu Bakar Maryono, S.Pd.I. H. Yahya Gani Rasestra, S.Pd.I Huzairi Gunardi Agussalim A. Riva'i Ahmad Darmawan Sukirman Amar Tajudin Sakroni Arman Sudianto, S.Pd.I Abdul Hamid Safrizal, S.Pd.I Nungcik, S.Pd.I Ardeni Badaruddin, ST. Kaharuddin Abdul Khair Mabsud, A.Ma.S.Pd.I H.M. Basir, S.Ag. Hj. Muyassaroh, S.Pd.I Dra. Siti Misriyah Fatimah Rusydun Husayani Khalik, S.Pd.I Mardhotillah Bahri, S.Pd.I Soimatul Fuadiah, S.Pd.I Ny. Nursayu Anwar Hj. Robi'ah Nurhasyim
119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159
Ibnu Hajar Al Hadi Arka Salamun Munawaroh, S.Pd. Wirawati, S.Pd. Rahadian M, S.Pd. Rismah, S.Pd. Leni, S.Pd Anita, S.Pd. (DP Depag) M. Iqbal SN Sapit Ardin Hj. Sulastri, Lc Rismah Nisartika Citra Juniarti Betriana Muti'ah Popi Irasiah, S.Pd. Armansyah M. Iqbal, S.Sii M. Mukromin, S.Pd. Rika Andriyani, S.Pd. Firmansyah, SHI Heni Sri Suryani, S.Ag Nismayanti, S.Pd. Novriyanto Mery Listiantin Solahuddin,HR,SE Uswatun Hasanah Lc H. Bahrum Lc, M.Ed Riza Aryani, S,Pd Boby Sanjaya Herawati Zuhaironi Anis Sa'adah Marzuki Sunbahar Kholis Sriyana Wina Rumaita Ita Purnama Sari Indah Pratiwi
77
66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94
Salbiah Paimin Umi Rosyidah, S.Pd.I. MA Dra. Nitayana Ernani Wahab Milawati, S.Pd.I. Evi Eryanti, S.Pd.I. Rosdiani Fitriyani Taswin, S.Pd.I Nurhilal Ahsan, S.Pd.I Samiyah, S.Pd.I. Fadilah, S.Pd.I. Eka Satriani, SE. Atika Susilawati Novita Sepriani, S.Pd.I Eka Diana, S.Pd.I Herawati, S.Pd.I Hj. Maryati al Hafidzoh Hesti Widiastuti Joni Hj. Marhama Maria Ulfa, S.Pd. Nurul Haibah Agus Jaya Mikarela Hj. Manna M. Amin Nazila Basir Hasanuddin H. Arfah Nurhayat, L.c K.H. Mukhlis Mansyur M. Sarif S.Hi. Ramlan, S.Sos.I
160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187
Astuti ningsi Aminawati Minarni Darmawati Indarto Agung Fajri, S.Pd Sadaria Indra Fasila Amin Rahmawati Aifi Umdati Khoirot Rega Stevina Tanjung Surnas Eltati, SE Chandra Khoiriyah Abdurrahman Sobri Drs. Mukhlil Aziz Rahmat Gunawan Sahidun Nuhdi, Lc. Sarwani Riza Umami Nurlaila Ridlo M. Mabtukin bin Hasim Safki Abdul Latif, S.Pd. H. Window Putra Wijaya, Lc. H. Acep Amiruddin, Lc.
Dari seluruh jumlah pengurus, guru, dan karyawan yang tercantum dalam tabel 4.1. di atas, pengurus Pondok Pesantren al-Ittifaqiah berjumlah 123 orang yang terdiri dari Pimpinan, Bagian-Bagian, Madrasah dan Lembaga-Lembaga.50 Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
50
Susunan Pengurus dan Karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah periode 2008-2009 lampiran dalam Penyusun, Profil Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia, (Indralaya: PPI, 2008)
78
Tabel 4.2 Jumlah Pengurus dan Karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah No.
Jabatan
a. Pimpinan 1 Mudir 2 Wakil Mudir b. Bagian 4 Datsuh 5 Adkeu 6 Ranalingdupmess 7 Indopubtiktek 8 Keshatlog 9 Dapdismasma 10 Pusjilidbangbit 11 SDM dan Keamanan c. Madrasah 12 Takiah 13 Masniah 14 Mastiah 15 Maswiah 16 Maliah d. Lembaga 17 Lemtatiqi 18 Tapqiah 19 Lebah 20 Lemtaniga 21 Lemtangsitri 22 Lembga Pembina OSPI Total
Kepala
Wakil Kepala
Staff
Jumlah 1 3
2 1 1 1 1 1 1 1
2
6 7 14 2 4 5 4 5
10 8 15 3 5 7 5 6
1 1 1 1 1
1 1 1 3 3
2 2 3 5 4
4 4 5 9 7
1 1 1 1 1 1
2 1 2 1 1 1
6
9 2 10 5 3 2 123
1
7 3 1
e. Keadaan Santri Pada tahun 2008-2009 tercatat 1357 orang santri yang belajar di pesantren ini. Para santri berasal dari seluruh kabupaten di propinsi Sumatera Selatan, juga Propinsi Bangka Belitung, Jambi, Bengkulu, Riau,
79
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan.51 Tabel 4.3 Jumlah Santri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah52 No. 1 2 3 4 5 6
Tingkat TK Tapqiah Diniah Ibtidaiah Tsanawiah Aliah Total
Mukim Laki-laki Perempuan
266 154 420
208 191 399 819
Non-mukim Jumlah Laki-laki Perempuan 27 32 59 21 16 37 25 44 69 79 61 140 77 62 613 46 48 439 275 263 1357 538
Dari yang terdapat dalam tabel 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa santri TK al-Ittifaqiah berjumlah 59 orang, TKQ/TPQ 37 orang, Madrasah Diniah 69 orang, Madrasah Ibdtidaiah 140 orang, Madrasah Tsanwaiah 613 orang, dan Madarsah Aliah 439 orang. Akumulasi jumlah tersebut terdiri dari 819 orang Santri Mukim yang tinggal di asrama pondok dengan rincian 420 orang santriwan dan 399 santriwati. Sedangkan jumlah Santri Non-mukim sebanyak 538 orang yang terdiri dari 275 orang santriwan dan 263 santriwati.
4. Gambaran Kepemimpinan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Kepemimpinan
pesantren
secara
umum
identik
dengan
kepemimpinan karismatik (charismatic leader) kyai. Kyai merupakan figur sentral yang dipilih, diakui, dihormati, disegani, dan ditaati komunitas pesantren dan masyarakat luas. Sebagai pemimpin informal 51 52
2009.
Penyusun, Profil Pondok Pesantren Al-Ittifaqiah…, h. 10 Diambil dari rekapitulasi jumlah santri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah tahun pelajaran 2008-
80
kyai mempunyai wibawa dan pengaruh yang tidak dibatasi aturan-aturan formal, sehingga pendapatnya selalu dibenarkan dan dihargai.53 Sebagai bagian dari tradisi pesantren kepemimpinan semacam ini, pada satu sisi justru membangun pola kepemimpinan sentralistik dalam mengasuh dan mengelola pesantren, seluruh keputasan dan kebijakan ditentukan
oleh
kyai.
Kepemimpinan
karismatik-sentralistik
ini
berimpikasi pada penerapan manajemen pengelolaan pesantren yang cenderung berjalan secara alami
tanpa perencanaan, koordinasi,
pelaksanaan program dan evaluasi yang matang dan terukur dengan jelas.54 Pondok Pesantren al-Ittifaqiah mengarahkan pengelolaan pesantren berbasis manajemen dengan memadukan tradisi kepemimpinan pesantren dan mekanisme manajemen. Secara prosedural pimpinan atau mudir pesantren dipilih oleh pengurus yayasan melalui musyawarah. Kekuasaan dan masa tugasnya dibatasi dengan aturan dan mekanisme yang jelas, termasuk di dalamnya pengangkatan pengurus pesantren. Kondisi ini memungkinkan bagi
kyai
untuk membagi
dan mendistribusikan
wewenangnya kepada pengurus pesantren sesuai jabatan masing-masing. di samping itu mudir juga berkonsultasi dengan penasehat pesantren serta pihak-pihak lain yang berkompeten dan berkepentingan (stake holder).55 Terdapat pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pengurus pesantren dan pengurus yayasan; pengurus pesantren konsentrasi pada operasional bidang pendidikan sementara pengurus yayasan bertanggung jawab pada pengadaan sarana prasarana dan penggalangan
53
Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 144 54 Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem…, h. 145 55 Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem…, h. 148
81
dana terutama dari luar, sedangkan sumber dana dari item pesantren tetap dikelola oleh pengurus pesantren.56 Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya mudir dibantu oleh tiga wakil mudir yang membawahi madrasah, lembaga, dan bidang yang mempunyai struktur kepengurusan, program kerja, jobs description, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang secara deskriptif dijelaskan dalam Buku Panduan Pengurus, Karyawan dan Guru Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Distribusi wewenang dan pembagian tugas pengurus pesantren dalam pedoman tersebut, dapat dicermati dalam uraian sebagai berikut: a. Mudir adalah top leader yang dipilih oleh yayasan; penanggung jawab dan pemegang kebijakan umum; bersama wakil mudir bertanggung jawab kepada yayasan terhadap efektivitas pengelolaan pesantren dan tercapainya tujuan pesantren.57 b. Wakil Mudir I, perencana, pengatur dan pengambil kebijakan teknis operasional dan aplikatif pada bidang pengasuhan, pendidikan, pengajaran, keterampilan, kesenian dan olahraga. Bagian, madrasah dan lembaga yang dibawahinya, yaitu: a) Bagian Peribadan dan Pengasuhan (Datsuh), b) Taman Kanak-kanak Islam al-Ittifaqiah (Takia), c) Madrasah Diniyah al-Ittifaqiah (Masniah), d) Madrasah Ibtidaiyah al-Ittifaqiah (Mastiah), e) Madrasah Tsanawiyah alIttifaqiah (Maswiah), f) Madrasah Aliyah al-Ittifaqiah (Masliah), g) Lembaga
Tahfidz,
Tilawah
dan
Ilmu
al-Qur’an
al-Ittifaqiah
(Lemtatiqi), h) Taman Pendidikan a-Qur’an al-Ittifaqiah (Tapqiah), i) Lembaga Bahasa al-Ittifaqiah (Lebah), j) Lembaga Keterampilan, Seni dan Olahraga (Lemtramniga), k) Lembaga Pengembangan Potensi 56
Muhyiddin, Demokrasi dalam Sistem…, h. 149 Penyusun, Buku Panduan Pengurus, Karyawan, dan Guru Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia, (Indralaya: PPI, 2008), h. 6 57
82
Santri (Lembangsitri), dan l) Lembaga Pembina Organisasi Santri Pondok Pesantren al-Ittifaqiah (OSPI) dan Pramuka.58 c. Wakil Mudir II, perencana, pengatur dan pengambil kebijakan teknis operasional dan aplikatif pada: a) Bindang Administrasi dan Keuangan (Adkeu), b) Bidang Informasi, Dokumentasi, Publikasi, Statistik, dan Teknologi (Indopubtiktek), c) Sarana Prasarana, Lingkungan Hidup, dan Mess (Ranalingdupmess), dan d) Kesejahteraan, Kesehatan dan Logistik (Keslog).59 d. Wakil Mudir III, perencana, pengatur dan pengambil kebijakan teknis operasional dan aplikatif pada: a) Bindang Dakwah, Pelayanan Pengabdian, Hubungan Masyarakat dan Kerjasama (Dapdismasma), b) Bidang
Perpustakaan,
Kajian,
Litbang,
(Pusjilidbangbid), dan c) SDM dan Keamanan.
dan
Penerbitan
60
Pengawasan (controlling) sangat dibutuhkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan program, instrukti, dan sasaran yang telah ditentukan, dengan kontrol yang baik diharapkan tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik.61 Penerapan sistem kontrol terhadap kinerja dan realisasi program-program di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah secara formal dilaksanakan dalam bentuk rapat (musyawarah) sesuai bentuk dan jenjang rapat yang telah ditentukan. Macam-macam rapat tersebut antara lain: a. Rapat Minggu 1) Rapat guru bidang studi dan rapat madrasah dengan guru Dilaksanakan bergantian pada hari Selasa setiap minggu, dikoordinasi oleh madrasah dan dihadiri seluruh guru. 58
Penyusun, Buku Panduan Pengurus…, h. 27 Penyusun, Buku Panduan Pengurus…, 60 Penyusun, Buku Panduan Pengurus…, h. 33 61 Hendra Zainuddin dan Dahri, Aufklarung Manajemen dan Kurikulum Pondok Pesantren, (Palembang: PORFESS, 2007), h. 18 59
83
2) Rapat wali kelas Rapat wali kelas dengan anak-anak kelasnya dilaksanakan pada petang sabtu setiap minggu. 3) Rapat pembina OSPI Rapat pembina OSPI dengan pengurus OSPI setiap malam jum’at pada minggu pertama setiap bulan. b. Rapat Dwi Mingguaan 1) Rapat sub-bidang Rapat di tingkat masing-masing madrasah, lembaga dan bagian; dilaksanakan malam Jum’at pada Minggu pertama dan ketiga setiap bulan. 2) Rapat wakil mudir dengan bidang Rapat di tingkat wakil mudir dan masing-masing bidang yang di bawah koordinasinya; dilaksanakan setiap malam Jum’at pada minggu kedua dan keempat setiap bulan. c. Rapat Bulanan 1) Rapat pengurus pesantren dilaksanakan setiap hari Jum’at pada minggu pertama setiap bulan. 2) Rapat Paripurna seluruh pengurus, karyawan dan guru (seluruh SDM); 1 bulan sekali setiap tanggal 10 setiap bulan. 3) Rapat pimpinan (mudir dan wakil mudir) sekurang-kurangnya 1 kali dalam 1 bulan. d. Rapat Triwulanan 1) Rapat triwulanan yang dilaksanakan guru bidang studi, madrasah bersama guru, wali kelas, pembina OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan pada awal Maret, Juni, September, dan November. 2) Rapat
paripurna
seluruh
SDM
yang
dilaksanakan
untuk
mendengarkan laporan guru bidang studi, wali kelas, pembina
84
OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan pada awal Maret, Juni, September, dan November. e. Rapat Semesteran 1) Rapat semesteran yang dilaksanakan guru bidang studi, wali kelas, pembina OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan pada awal Juni. 2) Rapat
paripurna
seluruh
SDM
yang
dilaksanakan
untuk
mendengarkan laporan guru bidang studi, wali kelas, pembina OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan pada awal Juni. f. Rapat Tahunan 1) Rapat tahunan yang dilaksanakan guru bidang studi, pembina OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan pada pertengah November. 2) Rapat
paripurna
seluruh
SDM
yang
dilaksanakan
untuk
mendengarkan laporan guru bidang studi, wali kelas, pembina OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan pada akhir November. g. Rapat Insidentil 1) Rapat guru bidang studi, wali kelas, pembina OSPI, sub-bidang, bidang, dan pimpinan; dilaksanakan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. 2) Rapat kepanitian; dilaksanakan sesuai kebutuhan.62 Dalam rapat-rapat inilah berbagai permasalahan terkait dengan program, kinerja, pelanggaran, dan lain sebagainya dibahas dan diputuskan. Rapat-rapat ini juga berfungsi sebagai kontrol dan evaluasi seluruh hal terkait dengan teknis pelaksanaan dan pencapaian program yang telah 62
Penyusun, Buku Panduan Pengurus…, h. 40
85
ditentukan pesantren. Di sini pula terjadi interaksi ide dan gagasan antara pimpinan, pengurus, karyawan, dan guru; seluruh SDM pesantren dituntut secara terbuka untuk terlibat aktif dalam menawarkan solusi yang konstruktif terhadap berbagai permasalahan-permasalahan pesantren.
B. Deskripsi Data Dari angket tentang Kepemimpinan Mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah yang disebarkan dapat diketahui bahwa prosentase penilaian terhadap jawaban yang diberikan, secara umum dapat digambarkan melalui tabel-tabel di bawah ini: Tabel 4.4 Pengurus, guru, dan karyawan mengetahui mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren.
Valid
Tidak Setuju Ragu Setuju Sangat Setuju Total
Frequency 2 24 49 5 80
Percent 2.5 30.0 61.3 6.3 100.0
Valid Percent 2.5 30.0 61.3 6.3 100.0
Cumulative Percent 2.5 32.5 93.8 100.0
Dari tabel 4.4 tersebut diketahui bahwa pengurus, guru dan karyawan yang mengetahui mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 2 orang (2,5%), Ragu-ragu 24 orang (30%), Setuju 49 orang (61,3%), dan Sangat Setuju 5 orang (6,3%). Dengan demikian, para pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren alIttifaqiah sebagian besar mengetahui mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren. Responden yang menjawab Sangat Setuju memperlihatkan keterlibatan mereka secara aktif dalam pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren. Sendangkan yang Ragu-Ragu cukup banyak (50%) dari yang Setuju kemungkinan karena mereka hanya mengetahui namun tidak mengetahui dengan
86
persis mekanimsenya dan selebihnya hanya beberapa orang saja yang sama sekali tidak mengetahui mekanisme tersebut.
Tabel 4.5 Keluarga atau keturunan Kyai Pendiri pesantren secara otomatis dapat menjadi pimpinan pesantren.
Valid Tidak Setuju Ragu Setuju Total
Frequency 12 24 44 80
Percent 15.0 30.0 55.0 100.0
Valid Percent 15.0 30.0 55.0 100.0
Cumulative Percent 15.0 45.0 100.0
Dari tabel 4.5 di atas diketahui bahwa tanggapan tentang keluarga atau ketrurunan Kyai Pendiri pesantren secara otomatis dapat menjadi pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Setuju 44 orang (55%), Tidak Setuju 12 orang (15%), dan Ragu-ragu 24 orang (30%). Responden sebagian besar Setuju pimpinan pesantren berasal dari keturunan atau meiliki pertalian darah dengan KH. Ahmad Qori Nuri, kyai pendiri pesantren. Responden yang
menjawab Ragu-Ragu kemungkinan karena pemahaman
mereka tentang pengembangan pesantren yang menekankan profesionalisme kepemimpinan pesantren tidak saja ditentukan oleh faktor keturunan. Dengan demikian terbuka kemungkinan orang di luar keluarga dan keturunan Kyai Pendiri pesantren untuk memegang kepemimpinan pesantren. Selebihnya menjawab Tidak Setuju bila penentuan kepemimpinan pesantren hanya berdasarkan nasab (keturunan). Dengan demikian prosentase responden yang menginginkan kepimpinan pesantren dari keturunan KH. Ahmad Qori Nuri lebih besar dan tuntutan penerapan profesionalisme kepemimpinan pesantren yang tidak saja berdasarkan keturunan juga cukup besar dapat dilihat dari jawaban Ragu-Ragu dan juga jawaban Tidak Setuju dari responden.
87
Tabel 4.6 Terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan menetapkan pimpinan pesantren.
Frequency 9 Valid Ragu 59 Setuju 12 Sangat Setuju 80 Total
Percent 11.3 73.8 15.0 100.0
Valid Percent 11.3 73.8 15.0 100.0
Cumulative Percent 11.3 85.0 100.0
Dari tabel 4.6 tersebut diketahui bahwa terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan menetapkan pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Ragu-Ragu 9 orang (11,3%), sedangkan yang menjawab Setuju 59 orang (73%) dan Sangat Setuju 12 orang (15%). Dengan demikian, para pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah sebagian besar mengetahui bahwa terdapat aturan dan mekanisme dalam pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren. Responden yang menjawab Ragu-Ragu kemungkinan karena mereka tidak mengetahui secara pasti aturan dan mekanisme tersebut terkait peran dan fungsi mereka di pesantren. Sedangkan yang menjawab Sangat Setuju kemungkinan karena kedudukan mereka dalam kepengurusan pesantren dan keterlibatan mereka dalam penyusunan dan penerapan aturan dan mekanisme tersebut. Tabel 4.7 Pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren.
Valid Tidak Setuju Ragu Setuju Total
Frequency 12 24 44 80
Percent 15.0 30.0 55.0 100.0
Valid Percent 15.0 30.0 55.0 100.0
Cumulative Percent 15.0 45.0 100.0
88
Dari 4.7 ini diketahui bahwa pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 9 orang (15%), Ragu-Ragu 24 orang (30%), sedangkan yang menjawab Setuju 44 orang (55%). Dengan demikian, para pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah sebagian besar mengetahui bahwa pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren. Sedangkan yang menjawab Ragu-Ragu kemungkinan karena mereka tidak mengetahui secara pasti pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren melalui rapat pimpinan pesantren dan selebihnya menjawab Tidak Setuju. Tabel 4.8 Pimpinan pesantren merupakan penentu segala hal berkenaan dengan pengelolaan pesantren.
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Setuju
76
95.0
95.0
95.0
Sangat Setuju
4
5.0
5.0
100.0
80
100.0
100.0
Total
Dari tabel 4.8 tersebut diketahui penilaian dan tanggapan responden tentang pimpinan pesantren penentu segala hal berkenaan dengan pengelolaan pesantren. Dari 80 orang responden, 76 orang (95%) menjawab Setuju, sedangkan selebihnya sebanyak 4 orang (73%) menjawab Sangat Setuju. Dengan demikian, sebagai bagian dari warga (keluarga besar) pesantren, para guru, pengurus, dan karyawan menyetujui bahwa kyai pimpinan (Mudir) pesantren sebagai pemilik otoritas utama dan penentu kebijak di pesantren. Hal ini tentu terkait erat dengan tradisi kepemimpinan yang berlaku di dunia pesantren yang
89
tidak bisa dilepaskan dari ketokohan kyai pengasuh atau kyai pimpinan pesantren. Tabel 4.9 Pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di pesantren. Valid Cumulative Frequency Percent Percent Percent 22 27.5 27.5 27.5 Valid Tidak Setuju 23 28.8 28.8 56.3 Ragu 35 43.8 43.8 100.0 Setuju 80 100.0 100.0 Total Dari tabel 4.9di atas diketahui bahwa pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 22 orang (27,5%), yang menjawab Ragu-Ragu 23 orang (28,8%), dan yang menjawab Setuju 35 orang (43,8%). Dari prosentase tersebut diketahui jumlah responden yang menjawab Setuju tidak begitu besar prosentasenya bila dibandingkan dengan responden yang menjawab Ragu-Ragu dan Tidak Setuju, apalagi bila jawaban Ragu-Ragu diinterpretasikan sebagai jawaban ketidakpastian diterapkannya aturan dan mekanisme
tersebut
dalam
pengelolaan
pesantren.
Dengan
demikian,
pengelolaan pesantren yang diterapkan belum sepenuhnya mengacu kepada mekanisme dan aturan yang berlaku di pesantren. Tabel 4.10 Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui pedoman, aturan, dan mekanisme dalam pengelolaan pesantren. Valid Cumulative Frequency Percent Percent Percent 12 15.0 15.0 15.0 Valid Tidak Setuju 24 30.0 30.0 45.0 Ragu 44 55.0 55.0 100.0 Setuju 80 100.0 100.0 Total
90
Dari tabel 4.10 tersebut diketahui bahwa seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui pedoman, aturan dan mekanisme dalam pengelolaan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 12 orang (15%), yang menjawab Ragu-Ragu 24 orang (30%), dan yang menjawab Setuju 44 orang (55%). Dengan demikian, pengurus, guru, dan karyawan sebagian besar mengetahui pedoman, aturan, dan mekanisme pengelolaan pesantren. Responden yang menjawab Ragu-Ragu kemungkinan karena mereka tidak mengetahui secara lengkap pedomandan, aturan, dan mekanisme tersebut, sedangkan selebihnya menjawab Tidak Setuju. Tabel 4.11 Peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren.
Valid
Frequency 3 Tidak Setuju 18 Ragu 57 Setuju 2 Sangat Setuju 80 Total
Percent 3.8 22.5 71.3 2.5
Valid Percent 3.8 22.5 71.3 2.5
100.0
100.0
Cumulative Percent 3.8 26.3 97.5 100.0
Dari tabel 4.11 tersebut diketahui penetapan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden, 2 orang (2,5%) menjawab Sangat Setuju, 57 orang (71,3%) menjawab Setuju, 18 orang (22,5%) menjawab Ragu-Ragu, dan 3 orang (3,8%) menjawab Tidak Setuju. Dari prosentase tersebut diketahui bahwa pengurus, guru, dan karyawan sebagian besar mengetahui bahwa penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melalui rapat pimpinan pesantren. Responden yang menjawab Sangat Setuju kemungkinan karena mereka terlibat langsung
91
seseuai posisi mereka dalam kepengurusan pesantren. Sedangkan sebagian lagi menjawab Ragu-Ragu dan Tidak Setuju karena mereka tidak secara langsung bersentuhan atau mengetahui dengan detail penetapan hal tersebut, terkait posisi mereka dalam kepengengurusan pesantren. Tabel 4.12 Penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan karyawan.
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Ragu
5
6.3
6.3
6.3
Setuju
75
93.8
93.8
100.0
Total
80
100.0
100.0
Tabel 4.12 tersebut memberikan gambaran tentang penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan karyawan. Dari 80 orang responden yang menjawab Setuju 75 orang (93,8%) dan 5 orang (6,3%) menjawab Ragu-Ragu. Dari prosentase tersebut dapat diketahui bahwa pengurus, guru, dan karyawan sebagian besar mereka dilibatkan dalam penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren dan hanya beberapa orang saja menjawab Ragu-Ragu. Dengan demikian penetapan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren mempertimbangkan aspirasi, usulan, dan keterlibatan pengurus, guru, dan karyawan. Tabel 4.13 Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren.
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Tidak Setuju
22
27.5
27.5
27.5
Ragu
23
28.8
28.8
56.3
Setuju
35
43.8
43.8
100.0
Total
80
100.0
100.0
92
Dari tabel 4.13 tersebut diketahui bahwa seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Setuju 35 orang (43,8%), yang menjawab Ragu-Ragu 23 orang (28,8%), dan yang menjawab Tidak Setuju 22 orang (6,3%). Dengan demikian dari prosentase di atas dapat diketahui bahwa cukup banyak (48%) pengurus, guru, dan karyawan menjawab Setuju kalau mereka mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren. Sedangkan dengan prosentase yang cukup besar (27% dan 28%) jumlah responden yang menjawab Ragu-Ragu dan Tidak Setuju. Hal ini kemungkinan karena mereka mengetahui secara lengkap visi, misi, dan tujuan pesantren atau tidak hafal dengan lengkap redaksinya. Tabel 4.14 Pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren.
Valid
Frequency 1 Tidak Setuju 27 Ragu 52 Setuju 80 Total
Percent 1.3 33.8 65.0 100.0
Valid Percent 1.3 33.8 65.0 100.0
Cumulative Percent 1.3 35.0 100.0
Dari tabel 4.14 tersebut diketahui bahwa pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Setuju 52 orang (65%), yang menjawab Ragu-Ragu 27 orang (33,8%), dan yang menjawab Tidak Setuju 1 orang (1,3%). Dengan demikian sebagian besar tugas pengurus, guru, dan karyawan dalam menjalankan tugasnya telah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Responden yang menjawab Ragu-Ragu dan Tidak Setuju kemungkinan karena fungsi mereka dalam kepengurusan pesantren hanya menjalankan tugas dan tanggungjawab
93
yang diberikan tanpa harus mengetahui, memperhatikan, dan menyesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Tabel 4.15 Pengurus, guru, dan karyawan terlibat aktif dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren.
Valid
Ragu Setuju Total
Frequency 17 63 80
Percent 21.3 78.8 100.0
Valid Percent 21.3 78.8 100.0
Cumulative Percent 21.3 100.0
Tabel 4.15 tersebut menggambarkan bahwa pengurus, guru, dan karyawan terlibat visi, misi, dan tujuan pesantren. Dari 80 orang responden, 63 orang (78,8%) menjawab Setuju, dan 17 orang (21,3%) menjawab Ragu-Ragu. Dari prosentasi ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pengurus, guru, dan karyawan dilibatkan dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren, sedangkan selebihnya menjawab Ragu-Ragu. Dengan demikian di pesantren ini dalam merumusan visi, misi, dan tujuan pesantren mempertimbangkan aspirasi dan keikutsertaan pengurus, guru, dan karyawan. Tabel 4.16 Pimpinan pesantren mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan.
Valid
Frequency 3 Tidak Setuju 18 Ragu 57 Setuju 2 Sangat Setuju 80 Total
Percent 3.8 22.5 71.3 2.5
Valid Percent 3.8 22.5 71.3 2.5
100.0
100.0
Cumulative Percent 3.8 26.3 97.5 100.0
94
Dari
tabel
4.16
tersebut
diketahui
bahwa
pimpinan
pesantren
mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 3 orang (3,8%), yang menjawab Ragu-Ragu 18 orang (22,5%), yang menjawab Setuju 57 orang (71,3%), dan yang menjawab Sangat Setuju 2 orang (2,5%). Dari prosentasi ini diketahui bahwa sosialisasi rencana pengembangan pesantren dilakukan oleh pimpinan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Terlihat dari jumlah responden yang menjawab Setuju dan Sangat Setuju lebih besar dibandingkan yang menjawab Ragu-Ragu dan Tidak Setuju. Dengan demikian sosialisasi rencana pengembangan pesantren cukup maksimal dilakukan oleh pimpinan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Tabel 4.17 Seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren.
Valid
Frequency 14 Tidak Setuju 26 Ragu 40 Setuju 80 Total
Percent 17.5 32.5 50.0 100.0
Valid Percent 17.5 32.5 50.0 100.0
Cumulative Percent 17.5 50.0 100.0
Dari tabel 4.17 tersebut tanggapan respodnen berkenaan dengan seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 14 orang (17,5%), yang menjawab Ragu-Ragu 26 orang (32,5%), dan yang menjawab Setuju 40 orang (50%). Dengan demikian seluruh pengurus, guru, dan karyawan belum secara maksimal mengetahui rencana pengembangan pesantren, terlihat dari prosentase rensponden yang menjawab Setuju sejumlah 50% dan separuhnya lagi menjawab
95
Ragu-Ragu dan Tidak Setuju. Prosentase ini menggambarkan bahwa secara umum responden menganggap bahwa rencana pengembangan pesantren hanya diketahui oleh sebagian saja dari pengurus, guru, dan karyawan. Tabel 4.18 Pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren.
Valid
Frequency 50 Tidak Setuju 6 Ragu 24 Setuju 80 Total
Percent 62.5 7.5 30.0 100.0
Valid Percent 62.5 7.5 30.0 100.0
Cumulative Percent 62.5 70.0 100.0
Dari tabel 4.18 di atas dikatehui bahwa berkenaan dengan pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden, 50 orang (62,5%) menjawab Tidak Setuju, 6 orang (7,5%) menjawab Ragu-Ragu, dan 24 orang (30%) menjawab Setuju. Dari prosentase tersebut diketahui bahwa pengarahan kerja tidak sepenuhnya dilakukan oleh pimpinan pesantren secara langsung kepada kepada pengurus, guru, dan karyawan. Dengan demikian pengarahan yang dilakuakn langsung oleh pimpinan pesantren hanya diberikan kadang-kadang saja dan kepada sebagian pengurus, guru, dan karyawan pesantren. Tabel 4.19 Pengarahan kerja kepada pengurus dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Valid Cumulative Frequency Percent Percent Percent 17 21.3 21.3 21.3 Valid Ragu 63 78.8 78.8 100.0 Setuju 80 100.0 100.0 Total
96
Dari tabel 4.19 tersebut terkait dengan pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Dari 80 orang responden, 63 orang (78,8%) menjawab Setuju dan 17 orang (21,3%) menjawab Ragu-Ragu. Dengan demikian diketahui bahwa pengarahan kerja lebih banyak dilakukan oleh Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga kepada pengurus, guru, dan karyawan terkait. Sedangkan sebagian responden yang menjawab Ragu-Ragu, sesuai pertanyaan pada angkat, dapat dimaknai dengan jarang atau kadang-kadang. Tabel 4.20 Pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan.
Valid
Frequency 35 Tidak Setuju 17 Ragu 28 Setuju 80 Total
Percent 43.8 21.3 35.0 100.0
Valid Percent 43.8 21.3 35.0 100.0
Cumulative Percent 43.8 65.0 100.0
Dari tabel 4.20 tersebut tentang pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan. Dari 80 orang responden yang menjawab Setuju 28 orang (35%), yang menjawab RaguRagu 17 orang (21,3%), yang menjawab Tidak Setuju 35 orang (43,8%). Sesuai jawaban yang diberikan dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan kerja pengurus, guru, dan karyawan lebih banyak dilakukan tidak secara langung oleh pimpinan pesantren terlihat dari jumlah prosentase responden yang menjawab Tidak Setuju. Namun kadang-kadang langsung juga dilakukan pimpinan kepada sejumlah pengurus, guru, dan karyawan, seperti dapat dilihat dari prosentase responden yang menjawab Setuju dan Ragu-Ragu. Dengan demikian, dalam hal
97
tertentu permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan ditangani langsung oleh pimpinan pesantren secara terbatas. Tabel 4.21 Penanganan permasalahan kerja dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.
Valid
Ragu Setuju Total
Frequency 17 63 80
Percent 21.3 78.8 100.0
Valid Percent 21.3 78.8 100.0
Cumulative Percent 21.3 100.0
Dari tabel 4.21 tersebut tentang menanganan permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Dari 80 orang responden yang menjawab Setuju 63 orang (78,8%) dan yang menjawab Ragu-Ragu 17 orang (21,3%). Dengan demikian, permasalahan kerja pengurus, guru, dan karyawan secara langsung lebih banyak dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Selebihnya responden yang menjawab Ragu-Ragu sesuai pertanyaan pada lembar angket, dapat dipahami sebagai jarang atau kadangkadang. Tabel 4.22 Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren.
Valid
Frequency 12 Tidak Setuju 57 Ragu 11 Setuju 80 Total
Percent 15.0 71.3 13.8 100.0
Valid Percent 15.0 71.3 13.8 100.0
Cumulative Percent 15.0 86.3 100.0
98
Dari tabel 4.22 tersebut dapat diketahui kemungkinan pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren. Dari 80 orang responden yang menjawab Tidak Setuju 12 orang (15%), yang menjawab Ragu-Ragu 57 orang (71,3%), dan yang menjawab Setuju 11 orang (13,8%). Dengan demikian, sesuai pertanyaan pada lembar angket, prosentase jawaban yang diberikan responden memberikan gambaran bahwa untuk berkonsultasi langsung dengan pimpinan pesantren hanya kadangkadang saja dapat dilakukan oleh pengurus, guru, dan karyawan dapat dilihat dari jumlah prosentase jawaban Ragu-Ragu. Sementara dari prosentase jawaban Setuju tergambar bahwa hanya pengurus, guru, dan karyawan tertentu saja yang secara langsung dapat berkonsultasi dengan pimpinan pesantren. Bahkan kemungkinan tidak mudah untuk langsung berkonsultasi dengan pimpinan pesantren bila dilihat dari prosentase jawaban Tidak Setuju. Tabel 4.23 Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait.
Valid
Ragu Setuju Total
Frequency 8 72 80
Percent 10.0 90.0 100.0
Valid Percent 10.0 90.0 100.0
Cumulative Percent 10.0 100.0
Dari 4.23 di atas dapat diketahui bahwa pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. dari 80 orang responden, 72 orang (90%) menjawab Setuju dan 8 orang (10 %) yang menjawab Ragu-Ragu. Dari prosentase tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hampir seluruh pengurus, guru, dan karyawan lebih banyak berkonsultasi tentang permasalahan yang mereka hadapi dalam berkerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala
99
Lembaga terkait. Dan sebagaian kecil saja yang kemungkinan jarang atau kadang-kadang saja berkonsultasi terkait permasalahan kerja yang dihadapainya. Tabel 4.24 Terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan.
Valid
Ragu Setuju Total
Frequency 2 78 80
Percent 2.5 97.5 100.0
Valid Percent 2.5 97.5 100.0
Cumulative Percent 2.5 100.0
Dari tabel 4.24 tersebut dapat diketahui bahwa terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Dari 80 orang responden, yang menjawab Setuju 78 orang (97%) dan 2 orang (2,5 %) yang menjawab Ragu-Ragu. Dengan demikian prosentase tersebut menggambarkan bahwa hampir seluruh responden mengetahui bahwa terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk suluruh pengurus, guru, dan karyawan. Sebagian kecil yang menjawab RaguRagu, kemungkinan karena mereka tidak mengetahui dengan detail mekanisme tersebut. Tabel 4.25 Diterapkan aturan dan mekanisme dalam menentukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan.
Valid
Ragu Setuju Total
Frequency 5 75 80
Percent 6.3 93.8 100.0
Valid Percent 6.3 93.8 100.0
Cumulative Percent 6.3 100.0
100
Dari tabel 4.25 ini dapat diketahui bahwa di pesantren ini diterapkan aturan dan mekanisme dalam menetukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan. Dari 80 orang responden, yang menjawab Setuju 75 orang (93%) dan 5 orang (6,3%) yang menjawab Ragu-Ragu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prosentase ini menggambarkan bahwa hampir seluruh responden mengetahui bahwa diterapkan aturan dan mekanisme dalam menentukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan. Beberapa orang yang menjawab Ragu-Ragu, karena mereka tidak terlalu mengetahui mekanisme dan aturan tersebut. Tabel 4.26 Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren.
Valid
Ragu Setuju Total
Frequency 30 50 80
Percent 37.5 62.5 100.0
Valid Percent 37.5 62.5 100.0
Cumulative Percent 37.5 100.0
Dari tabel 4.26 tersebut dapat diketahui bahwa keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren. Dari 80 orang responden, yang menjawab Setuju 50 orang (62%) dan yang menjawab Ragu-Ragu 30 orang (37,5%). Dengan demikian, prosentase jawaban tersebut memberikan gambaran keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara kelembagaan menjadi bagian dalam kepengurusan pesantren. Sebagian lagi menjawab Ragu-Ragu kemungkinan karena posisi mereka dalam kepengurusan pesantren sehingga tidak mengetahui dengan jelas persoalan ini.
101
Tabel 4.27 Pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren. Valid Cumulative Frequency Percent Percent Percent 3 3.8 3.8 3.8 Valid Tidak Setuju 18 22.5 22.5 26.3 Ragu 57 71.3 71.3 97.5 Setuju 2 2.5 2.5 100.0 Sangat Setuju 80 100.0 100.0 Total Dari tabel tersebut dapat diketahui tanggapan responden tentang pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesnatren. Dari 80 orang responden, 3orang (3,8%) menjawab Tidak Setuju, 18 orang (22,5%) menjawab Ragu-Ragu, 57 orang (71,3%) menjawab Setuju, dan 2 orang menjawab Sangat Setuju. Sesuai pertanyaan yang diajukan, prosentase ini menggambarkan sebagian besar responden Setuju pimpinan pesantren membangun kerjasama dengan pihak di laur pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren. Dan yang menjawab Sangat Setuju menggambarkan keharusan terjalinnya hubungan ini. Sebagian kecil menyatakan ke-Tidak Setuju-annya dan selebihnya tidak mengambil pendapat yang jelas (jawaban Ragu-Ragu). Tabel 4.28 Keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan.
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Ragu
3
3.8
3.8
3.8
Setuju
77
96.3
96.3
100.0
Total
80
100.0
100.0
102
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan. Dari 80 orang responden, 3orang (3,8%) menjawab Ragu-Ragu dan selebihnya 77 orang (96,3%) menjawab Setuju. Dengan demikian, sebagian besar responden Setuju bila keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren dengan aturan mekanisme yang diatur dalam internal pesantren. Sebagian kecil lagi menjawab Ragu-Ragu kemungkinan tidak
C. Analisis dan Interpretasi Data Berdasarkan data yang diperoleh dari angket yang diberikan kepada para pengurus, guru, dan karyawan Pondok Pesantren al-Ittifaqiah, secara umum dapat digambarkan efektivitas kepemimpinan di pesantren ini. Dari keseluruhan data yang diperoleh, penerapan transformasi kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah dapat dilihat dari akumulasi data angket pada tabel berikut ini: Tabel 4.29 Penerapan Transformasi Kepemimpinan Pilihan Jawaban Tidak Setuju Ragu Setuju Sangat Setuju Total
Jumlah Jawaban 2 3 4 5
63 151 483 23 720
Prosentasi 8.75% 20.97% 67.08% 3.19% 100.00%
Data pada tabel 4.28 tersebut menunjukkan bahwa penerapan transformasi kepemimpinan di pesantren ini, dari 80 orang responden yang terdiri dari pengurus, guru, dan karyawan 67,08% menjawab Setuju dan 3,19% Sangat Setuju. Sementara responden yang lain 20,97% menjawab Ragu-Ragu dan 8,75% Tidak Setuju. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa transformasi
103
kepemimpinan telah berjalan efektif dapat diukur dari banyaknya jumlah prosentase responden yang menjawab Setuju. Selanjutnya, gambaran kepemimpinan dalam menetapan arah organisasi, dapat dilihat dari hasil angket pada di bawah ini: Tabel 4.29 Penetapan arah organisasi Pilihan Jawaban Tidak Setuju Ragu Setuju Sangat Setuju Total
Jumlah Jawaban 2 3 4 5
Prosentase
40 111 247 2 400
10.00% 27.75% 61.75% 0.50% 100.00%
Tabel 4.29 di atas memperlihatkan bahwa jawaban yang diberikan oleh 80 orang responden, 10,00% menyatakan Tidak Setuju, 27,75% Ragu-Ragu, 61,75% Setuju, dan 0,50% menjawab Sangat Setuju. Dari data tersebut kemudian ditarik kesimpulan, penetapan arah organisasi yang dilakukan pimpinan pesantren diterapkan dengan efektif sesuai dengan prosentase jawaban Setuju yang lebih banyak terhadap item pertanyaan dari angket yang diajukan kepada responden. Kemudian untuk melihat pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan terhadap pengurus, guru, dan karyawan di Pondok Pesantren alIttifaqiah tergambar dalam tabel berikut: Tabel 4.30 Pengembangan sumber daya manusia Pilihan Jawaban Tidak Setuju Ragu Setuju Total
Jumlah Jawaban 2 3 4
97 122 261 480
Prosentase 20.21% 25.42% 54.38% 100.00%
104
Terkait pengembangan sumber daya di pesantren ini dari data yang ada pada tabel 4.30 di atas, dapat dilihat bahwa dari angket yang diberikan kepada 80 orang responden yang menjawab Sangat Setuju sebanyak 45,38%, Setuju 25,42%, dan selebihnya 20,21% menjawab Tidak Setuju. Prosentase ini menggambarkan bahwa pengembangan sumber daya manusia yang dilakukan pimpinan pesantren kepada pengurus, guru, dan karyawan di pesantren ini telah berjalan dengan efektif. Kesimpulan ini diperoleh dari jawaban Setuju yang prosentasenya lebih banyak bila dibandingkan dengan jawaban Ragu dan Tidak Setuju yang diberikan terhadap item pertanyaan yang diajukan. Sementara proses mendesain ulang organisasi yang dilakukan pimpinan pesantren, dapat dilihat dari akumulasi jawaban pada tabel berikut: Tabel 4.31 Mendesain ulang organisasi Pilihan Jawaban Tidak Setuju Ragu Setuju Sangat Setuju Total
Jumlah Jawaban 2 3 4 5
3 58 337 2 400
Persentase 0.75% 14.50% 84.25% 0.50% 100.00%
Data yang ada pada tabel 4.31 tersebut menjelaskan bahwa dari 80 orang responden, sebanyak 0,75% menjawab Tidak Setuju dan 14,50% RaguRagu, sementara yang menjawab Setuju sebanyak 84,25%, dan selebihnya 0,50% menjawab Sangat Setuju. Dengan demikian, berdasarkan prosentase prosentase jawaban tersebut, proses mendesain ulang organisasi di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah dijalankan dengan efektif. Berdasarkan akumulasi jawaban yang diberikan responden terhadap seluruh item pertanyaan pada angket yang diberikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan telah berjalan dengan efektif.
105
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan tentang Kepemimpinan Mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan, penulis menarik kesimpulan: 1. Pondok Pesantren al-Ittifaqiah mengarahkan pengelolaan pesantren berbasis manajemen dengan memadukan tradisi kepemimpinan pesantren dan mekanisme manajemen. Pesantren ini telah mencoba melakukan transformasi kepemimpinan dalam pengelolaan pesantren. Hal ini dapat dilihat dari mekanisme yang diterapkan dalam menentukan dan menetapkan
pimpinan
pesantren,
penetapan
sturktur
dan
kerja
kepengurusan pesantren, serta aturan dan mekanisme yang diterapkan dalam melakukan tahapan evaluasi. 2. Kepemimpinan yang diterapkan di pesantren ini sangat mempengaruhi efektivitas pengelolaan pesantren. Meskipun dalam pengamatan penulis, tradisi pesantren yang sangat kental mempengaruhi data yang diberikan responden, namun dari data yang diperoleh dalam penelitian ini penulis menyimpulkan pola dan mekanisme kepemimpinan yang diterapkan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah telah berjalan dengan efektif dalam pengelolaan pesantren.
106
B. Saran Dari penelitian yang dilakukan tentang kepemimpinan mudir pesantren ini mengajukan saran, yaitu: 1. Dalam meningkatkan efektifitas kepemimpinan pesantren, kepemimpinan yang diterapkan dapat terus dikembangkan dengan melakukan kajian, pengujian dan perbandingan secara komprehensif baik secara teoritis dan empirik. Mudir Pondok Pesantren al-Ittifaqiah dapat mengambil beberapa konsep kepemimpinan dan pengelolaan kelembagaan dari lembaga lain, sebagai bahan perbandingan yang kemudian dicangkok dan disesuaikan dengan kebutuhan dan lingkungan kerja di pesantren ini. Selain dari lembaga pendidikan yang dapat dijadikan model, dapat juga lembagalembaga non-pendidikan yang telah secara maksimal menerapkan standar operasional dan profesionalisme kerja. 2. Untuk
meningkatkan
efektivitas
pengelolaan
pesantren agar
dikembangkan pola pembinaan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan
pengurus,
guru,
dan
karyawan
terhadap
konsep
kepemimpinan dan pengelolaan pesantren yang berbasis sistem dan profesionalisme.
Hal
ini
misalnya
dengan
mengadakan
atau
mengikutsertakan pengurus, guru, dan karyawan pelatihan-pelatihan kepemimpinan, administrasi, motivasi, dan lain sebagainya.
107
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Syamsuddin, Jaringan Pesantren di Sulawesi Selatan (1928-2005)¸ Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008) Azra, Azyumardi, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998) ______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002) Berlian, Saudi, Mengenal Seni Budaya OKI; Ogan Komering Ilir, (Palembang: Pemkab OKI, 2003) Bisri, Abdul Mukti, dkk., Pengembangan Metodologi Pembelajaran di Salafiyah, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Bagian Proyek Peningkatan Wajar Pendidikan Dasar Pondok Pesantren Salafiyah, 2002), h. 38-64; Maksum, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pendidikan Agama dan Pondok Pesantren, 2003) Depag RI, Dinamika Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Direktorat Jendaral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2003) Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1985) Dirdjosandjoto, Pradjarta, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999) Ghazali M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2002) Haedari, Amin, Transformasi Pesantren; Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LekDis & Media Nusantara, 2006) Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) Indra, Hasbi, Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’ie Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta: Paramadani, 2003)
108
Abdullah, Irwan, Hasse J., Muhammad Zain, (eds), Agama, Pendidikan Islam, dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren, (Yogyakarta: SPs UGM dan Pustaka Pelajar, 2008) Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002) Jajat Burhanuddin, Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada dan PPIM UIN Jakarta, 2006) Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991) Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997) Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999) Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) Sumedi, Muhyidin Ahmad, Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren; Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiah dan Khalafiah di Sumatera Selatan, Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Madrasah Dalam Pengembangan Budaya Mutu (Studi Multi Kasus di Madrasah Terpadu MAN 3 Malang, MAN Malang I dan MA Hidayatul Mubtadi’in Kota Malang), (Jakarta: Badang Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010) Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) Najib, Mohammad, (eds.), Sejarah Ogan Ilir; Tradisi Masyarakat dan Pemerintahan, (Indralaya: Pemkab OI, 2006) Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner; Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009) _____,Abudin, (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan LembagaLembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 2001)
109
Penyusun, Buku Panduan Pengurus, Karyawan, dan Guru Pondok Pesantren alIttifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia, (Indralaya: PPI, 2008) Purwanto M. Ngalim, Adminsitrasi dan Supervisi Kepemimpinan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) Qomar, Mujamil, Manajemen; Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Semarang: Penerbit Airlangga, 2010) ______, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007) Rahardjo, M. Dawam, (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985) Rahim, Husni Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Wacana Ilmu, 2001)
(Jakarta: Logos
______, Sistem Otoritas dan Adimistrasi Islam; Studi Tentang Pejabat Agama Masa Selutanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Logos, 1998) Raihani, Kepemimpinan Sekolah Transformatif (Yogyakarta: LkiS, 2010) SM., Ismail, Nurul Huda, dan Abdul Kholiq (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar) Soleh, Anwar, Efektivitas Kepemimpinan dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Pegawai di Sekolah Dasar Islam Terpadu al-Ihsan, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, (Jakarta: Perpustakaan UNJ, 2009) Suparta, Munzier, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009) Tim Penyusun, Profil Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan Indonesia 2008-2009,(Indrayala: PPI, 2008) Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001) ______, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999) Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah; Tinjauan Permasalahannya, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010)
Teoritik
dan
110
Yukl, Gary, Leadership in Organization, Kepemimpinan dalam Organisasi (Edisi Bahasa Indonesia), Penerjemah Udaya, (Jakarta: Prentice-Hall, Inc., 1999) Zainuddin, Hedra, (eds), Sewindu FORPESS; Geliat Pesantren di Sumatera Selatan, (Palembang: FORPESS, 2007) _______, Aufklarung Manajemen dan Kurikulum Pondok Pesantren, (Palembang: PORFESS, 2007) Zarkasyi, Abdullah Syukri, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005) _______, Manajemen Pesantren; Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, 2005) Manfred, Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, Terjemahan Burche B. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986)
ANGKET PENELITIAN Pedoman Pengisian Angket a. Keterangan Angket Angket ini merupakan instrument pengumpulan data dalam penelitian yang kami lakukan tentang “Efektivitas Kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan”. Penyebaran angkat ini hanya untuk kebutuhan penelitian dan telah mendapat izian dari Pimpinan Pesantren. b. Petunjuk Pengisian Angket Harap dibaca terlebih dahulu poin-poin pernyataan berikut ini sebelum diisi. Berilah tanda contreng ( √ ) pada kolom yang tersedia dengan ketentuan: STS : Sangat Tidak Setuju TS : Tidak Setuju R : Ragu-Ragu SS : Sangat Setuju STS : Sangat Tidak Setuju Jawab yang diberikan hendaknya sesuai dengan keadaan sebenarnya. c. Biodata Responden Nama Lengkap
: ………………………………………………………………….
Tempat, Tanggal Lahir
: ………………………………………………………………….
Pendidikan Terakhir
: ………………………………………………………………….
Jabatan
: ………………………………………………………………….
No.
Pertayaan
1.
Pengurus, guru, dan karyawan mengetahui mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren. Keluarga atau keturunan Kiai pendiri pesantren secara otomatis dapat menjadi pimpinan pesantren. Terdapat aturan dan mekanisme dalam memilih dan penetapkan pimpinan pesantren. Pemilihan dan penetapan pimpinan pesantren dilakukan melalui rapat pimpinan pesantren. Pimpinan pesantren merupakan penentu segala hal berkenaan dengan pengelolaan pesantren. Pengelolaan pesantren mengacu kepada aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan dan berlaku di pesantren. Seluruh pegurus, guru, mengetahui pedoman, aturan dan mekanisme dalam pengelolaan pesantren. Peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren ditentukan melalui rapat pimpinan pesantren. Penentuan peraturan dan mekanisme pengelolaan pesantren melibatkan pengurus, guru, dan karyawan.
2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
STS
TS
R
SS
STS
10. 11. 12. 13.
14. 15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Seluruh pegurus, guru, dan karyawan mengetahui visi, misi, dan tujuan pesantren. Pengurus, guru, dan karyawan menjalankan tugas sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Pengurus, guru, dan karyawan terlibat aktif dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan pesantren. Pimpinan pesantren mensosialisasikan rencana pengembangan pesantren kepada seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Seluruh pengurus, guru, dan karyawan mengetahui rencana pengembangan pesantren. Pengarahan kerja kepada pengurus, guru, dan karyawan dilakukan langsung oleh pimpinan pesantren. Pengarahan kerja kepada pengurus dan karyawan dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pimpinan pesantren langsung menangani permasalahan kerja para pengurus, guru, dan karyawan bersangkutan. Penanganan permasalahan kerja dilakukan melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja langsung kepada pimpinan pesantren. Pengurus, guru, dan karyawan dapat berkonsultasi tentang permasalahan kerja melalui Wakil Mudir, Kepala Bagian, dan Kepala Lembaga terkait. Terdapat mekanisme dalam melakukan pengawasan dan evaluasi kerja untuk seluruh pengurus, guru, dan karyawan. Diterapkan aturan dan mekanisme dalam menentukan reward dan sangsi kepada pengurus, guru, dan karyawan. Keterlibatan pihak luar dalam pengelolaan pesantren secara resmi terlembagakan dalam kepengurusan pesantren. Pimpinan pesantren membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar pesantren untuk terlibat dalam pengelolaan pesantren. Keterlibatan dan kerjasama dengan pihak luar dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan.
Y,AYASAN ISLAM AL ITTIFAQIAH
PONDOK PESANTREN AL ITTIFAQIAI.T
LrMr!)6=--%;i)\rfr
AL ITTIFAQIAH :SLAMIC BOARDING SCHOOL
SURAT KETFRANGAN Nomor : 3663lPPUB.03/07r2009
Bismillahinahmaninahim, Dengan mengharap rahmat dan ridho Allah swt. Mudir Pondok Pesantren al lttifaqiah lndralaya Ogan llir Sumatera Selatan, menerangkan bahwa
Nama NIM
$emester Jurusan/Fakultas
: : : :
:
EKO ARISANDI 104018200654 X (sepuluh) Kependidikan lslam - Manajemen Pendidikan/llmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas lslam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
adalah memang benar telah mengadakan penelitian di Pondok Pesantren al lttifaqiah lndralaya Ogan llir Sumatera Selatan, sejak tanggal
20 Mei 2009 sampai dengan tanggal 29 Juli 2009 dalam
penulisan skripsi dengan judul "EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
Dl
rangka
PONDOK PESANTREN
AL ITTIFAQIAH INDRALAYA OGAI{ lLtR SUMATERA SELATAN".
Demikian Surat Keterangan ini dibuat dengan sebenamya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya,
Billahinasta'in,
,.-<-- -
//
lndralaya,Q9Syg'ban'!139,H 31
Juli
2009 M
Mudir,
frJ'" Drs. K.H. Mudrik Qori, M.A.
lndralaya Ogan llirSurnatera Selatan lndonesia 30662 Telp.0711-580017 Fax.0711-581366 E-mail .
[email protected] www.ittifaqiah.com