Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Halaman:63-130 Jurnal Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 2 Th. 2013 ISSN: 1978-8746 Jurnal Penelitian Dipterokarpa adalah media resmi publikasi ilmiah dari Balai Besar Penelitian Dipterokarpa yang memuat hasil penelitian bidang- bidang Silvikultur, Nilai Hutan, Pengaruh Hutan, Perhutanan Sosial dan Konservasi Sumberdaya Alam yang terkait dengan ekosistem hutan dipterokarpa. Terbit dua kali dalam setahun, setiap Juni dan Desember. Terbit pertama kali pada Juni 2007. Jurnal Penelitian Dipterokarpa is an official scientific publication of the Dipterocarps Research Centre (DiReC) publishing research findings of Silviculture, Forest Influences, Social Forestry and Natural Resources Conservation which connected of forest dipterocarps ecosystem. Published two times a year, every June and December. First published in June 2007. Penanggung Jawab (Responsible person) Dewan Redaksi (Editorial Board): Ketua merangkap anggota (Chairman and member) Anggota (Member)
Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (Director of the DiReC)
Mitra Bestari (Peer Reviewer)
1. Prof. Dr. Ir. Iskandar Z Siregar, M.For.Sc (Silvikultur, Fahutan IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Mustofa Agung Sardjono (Agroforestry & Perhutanan Sosial, Fahutan Unmul Samarinda) 3. Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka (Konservasi, Fahutan Unhas Makassar) 4. Prof. Andry Indrawan (Silvikultur, Fahutan IPB Bogor) 5. Ir. Dwi Tyaningsih Adriyanti, MP (Dendrologi, Fitogeografi dan Arsitektur Pohon, Fahutan UGM Yogyakarta)
Dr. Kade Sidiyasa (Taksonomi, Balitek KSDA Samboja) 1. Prof. Dr. Wawan Kustiawan (Silvikultur, Fahutan Unmul Samarinda) 2. Prof. Dr. Sipon Muladi (Teknologi Hasil Hutan, Fahutan Unmul Samarinda) 3. Dr. Sukartiningsih (Pemuliaan Tanaman dan Kultur Jaringan, Fahutan Unmul Samarinda) 4. Dr. Fadjar Pambhudi (Biometrika Hutan, Fahutan Unmul Samarinda) 5. Dr. Djumali Mardji (Hama dan Penyakit Hutan, Fahutan Unmul Samarinda) 6. Dr. Simon Devung (Kehutanan Sosial, Fahutan Unmul Samarinda) 7. Dr. Acep Akbar (Silvikultur, Balai Litbanghut Banjar Baru) 8. Dr. Rizki Maharani (Mikrobiologi dan Biomassa Hutan, B2PD Samarinda) 9. Dr. Tien Wahyuni (Sosial Ekonomi dan Kebijakan, B2PD Samarinda)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat): Ketua merangkap anggota Kepala Bidang Data, Informasi dan Kerjasama Chairman and member (Head of Data, Information and Cooperation) Anggota (Member) 1. Kepala Seksi Data, Informasi dan Diseminasi. 2. Ir. Selvryda Sanggona. 3. Muhamad Sahri Chair, S. Kom, MT. 4. Maria Anna Raheni, S.Sos. Isi dari jurnal dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya. Citation is permitted with acknowledgement of the source. Diterbitkan secara teratur satu volume dua nomor setiap tahun oleh Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Published regularly one volume and two number yearly by the Dipterocarp Research Centre. Alamat (Address) Telepon (Phone) Fax (Fax) Website/Home page Email Percetakan
: : : : : :
Jl. A. Wahab Syahranie No. 68, Sempaja, Samarinda, Kalimantan Timur. +62-541-206364 +62-541-742298 http://b2pd.litbang.dephut.go.id
[email protected] CV. Artomulyo, Samarinda
ISSN: 1978-8746
JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA Vol. 7 No. 2, Desember 2013
DAFTAR ISI PERTUMBUHAN DAN KOMPOSISI JENIS PERMUDAAN ALAM PADA RUMPANG TEBANGAN DI KALIMANTAN SELATAN The Growth and Composition of Wildlings in The Logged-over Gaps at South Kalimantan Sudin Panjaitan
Hal. 63-74
BIAYA INVESTASI LANGSUNG PENGELOLAAN HUTAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) OLEH PT INTRACAWOOD MANUFACTURING DI KALIMANTAN TIMUR Direct Invesment Costs of Forest Management with Silvulture Sistem of Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)/ Selective Cutting and Line Planting by PT Intracawood Manufacturing in East Kalimantan Catur Budi Wiati dan Karmilasanti Hal. 75-84 ASOSIASI DAN SEBARAN JENIS POHON PENGHASIL MINYAK KERUING DI PT. HUTAN SANGGAM LABANAN LESTARI, KALIMANTAN TIMUR Association and Distribution of Oil-Producing Keruing Tree Species In Hutan Sanggam Labanan Lestari Concession, East Kalimantan Amiril Saridan dan Massofian Noor Hal. 85-92 PENGARUH PEMULSAAN TERHADAP PERTUMBUHAN MERANTI TEMBAGA (Shorea leprosula Miq) DI SEMOI, PENAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR Effect of mulching on growth performance of copper –Meranti(Shorea leprosula Miq) in Semoi, Penajam Paser Utara Regency, East Kalimantan Abdurachman dan Hartati Apriani Hal. 93-100 SEBARAN DAN POTENSI POHON TENGKAWANG DI HUTAN PENELITIAN LABANAN,KALIMANTAN TIMUR Potential and Distribution of Tengkawang Trees Species in Labanan Forest Research, East Kalimantan Amiril Saridan, Andrian Fernandes dan Massofian Noor Hal. 101-108 KAJIAN EFEKTIVITAS SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIFITAS DAN KELESTARIAN HUTAN ALAM PRODUKSI Analysis of The Efffectvity of Gap Simulation Silvicultural System in The Enhancement of Production Forest Productivity and Sustainability Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto Hal. 109-122
KAJIAN ATURAN ADAT PEMANFAATAN TANE' OLEN OLEH MASYARAKAT LOKAL DI DESA SETULANG KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN TIMUR Study on Customary Rules for Tane’ Olen Use by Local Community at Setulang Village of Malinau District, East Kalimantan Catur Budi Wiati Hal. 122-130
JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA (Journal of Dipterocarps Research) ISSN : 1978-8746
Vol. 7 No. 2, Desember 2013
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya. besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan UDC630*228 Sudin Panjaitan (Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru). sistem silvikultur ini membutuhkan komitmen yang tinggi Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada dari perusahaan, mengingat belum adanya kepastian besarnya keuntungan perusahaan jika melaksanakan Rumpang Tebangan Di Kalimantan Selatan. TPTJ. Oleh karena itu, penelitian yang bertujuan untuk J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 63-74. memberikan informasi tentang biaya investasi langsung Hutan produksi Indonesia sebagian besar telah berubah yang dilakukan PT Intracawood Manufacturing (PT menjadi areal bekas tebangan akibat pembalakan dengan IWM) dalam pengelolaan hutan dengan sistem Silvikultur sistem silvikultur TPTI, sehingga merupakan sempalan- Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) menjadi penting sempalan tegakan sisa, rumpang-rumpang, jalan sarad dan dilakukan. Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis tempat terbuka. Dari hasil ujicoba Balai Teknologi sekitar bulan Juni - Juli 2012 di PT IWM menunjukkan Reboisasi Banjarbaru sejak tahun 1985 (saat ini berubah bahwa biaya investasi langsung dalam kegiatan TPTJ di nama menjadi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru) di PT IWM pada RKT 2011, tidak termasuk biaya tenaga stasion Penelitian (KHDTK) Kintap dimana sistem tebang kerja karyawan perusahaan yang melakukan pengawasan rumpang (”Gap Cutting System”) merupakan salah satu kegiatan ini, mencapai Rp 6.591.270 per Ha. sistem silvikultur yang memberikan hasil positif. Kata kunci: biaya investasi langsung, Sistem Silvikultur Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), PT Intracawood permudaan alam dan mengetahui keanekaragaman jenis Manufacturing (PT IWM) yang terdapat pada rumpang tebangan umur 16 tahun, 5 UDC630*228 tahun dan 3 tahun. Metode penelitian yang digunakan Amiril Saridan dan Massofian Noor (Balai Besar adalah pada rumpang 16 tahun (tingkat pohon), Penelitian Dipterokarpa). pengambilan sampel dilakukan dengan intensitas 100 %, Asosiasi dan Sebaran Jenis Pohon Penghasil Minyak sedangkan pada tingkat pancang dan tingkat semai Keruing di PT Hutan Sanggam Labanan Lestari, dilakukan secara acak bertahap (Stratified random) yaitu 4 Kalimantan Timur. kwadrat ukuran 5 x 5 m untuk tingkat pancang dan 4 J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 85-92. kwadrat ukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai. Hasil penelitian menunjukkan pada rumpang 16 tahun luas Kabupaten Berau merupakan bagian dari Pulau bidang dasar tingkat pohon 12,5 m2/ha. Pada rotasi 70 Kalimantan yang memiliki komposisi floristik yang besar tahun dengan riap rataan tersebut diperoleh luas idang terutama Dipterocarpaceae dan jenis lainnya serta terdapat dasar 54.6 m2/ha. Pada rumpang 16 tahun diameter hubungan diantara individu dengan jenis lainnya. maksimum tingkat pancang sebesar 9,5 cm, pada rumpang Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi 5 tahun 8,2 cm dan pada rumpang 3 tahun 6.5 cm. mengenai asosiasi dan sebaran jenis pohon penghasil Permudaan alam tingkat pancang pada rumpang 5 tahun minyak keruing di PT.Hutan Sanggam Labanan Lestari dan 16 tahun ditemukan masing-masing 38 jenis, 37 jenis Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Metoda yang dan 60 jenis. Hal ini membuktikan bahwa komposisi jenis digunakan dalam penelitian ini adalah dengan sistem jalur dan struktur tegakan pada kelas umur rumpang tersebut dengan panjang 1 km dan lebar kanan-kiri jalur masingtidak sama antara satu dengan lainnya. Jenis permudaan masing 20 m dan dibuat sebanyak 2 buah jalur dengan yang mendominasi pada tingkat pohon di rumpang 16 luas areal 4 hektar. Pengamatan dilakukan terhadap semua tahun dan 5 tahun adalah Shorea johorensis dan Shorea individu pohon yang berdiameter 10 cm dan ke atas. Hasil parvifolia, sedangkan pada tingkat pancang pada rumpang identifikasi jenis yang telah dilakukan terdapat 4 jenis 16 tahun, 5 tahun dan 3 tahun masing-masing didominasi keruing dan 1 diantaranya sebagai penghasil minyak oleh Shorea parvistipulata, Shorea parvifolia dan Hopea keruing yaitu Dipterocarpus palembanicus Sloot. Dari sangal. perhitungan pasangan jenis pohon keruing dengan jenis Kata kunci: pertumbuhan, komposisi, permudaan, dominan menunjukkan bahwa adanya 9 pasang jenis yang rumpang, Kalimantan Selatan berasosiasi positif yang berarti akan menghasilkan hubungan yang positif terhadap pasangannya. Suatu jenis UDC630*88 Catur Budi Wiati dan Karmilasanti (Balai Besar Penelitian pohon akan hadir secara bersamaan dengan jenis pohon lainnya dan saling menguntungkan. Jika pasangan Dipterokarpa). didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar Biaya Investasi Langsung Pengelolaan Hutan Dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Oleh akan ditemukan pasangan lain yang tumbuh di dekatnya. Secara umum pohon keruing tumbuh berkelompok pada PT Intracawood Manufacturing di Kalimantan Timur. daerah datar dan sebagian kecil tersebar, ini menunjukkan J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 75-84. bahwa masing-masing jenis keruing memiliki tempat Pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) diharapkan dapat menjawab permasalahan tumbuh yang spesifik yang sesuai dengan lingkungannya. menurunnya produktivitas hutan di Indonesia. Di sisi lain, Kata kunci: Keruing, sebaran, asosiasi, jenis
UDC630*176.1 Abdurachman, Hartati Apriani dan Massofian Noor (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). Pengaruh Pemulsaan Terhadap Pertumbuhan Meranti Tembaga (Shorea Leprosula Miq) di Semoi, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 93-100. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan mulsa yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan meranti tembaga (Shorea leprosula Miq) semoi Kabupaten Penajam Paser Utara. Pengukuran dilaksanakan pada 16 plot, dimana masing-masing plot seluas 0,25 ha, ada empat perlakuan mulsa yaitu tanpa mulsa sebagai control, dengan mulsa seresah dan ranting tanaman, mulsa plastic perak hitam (mpph) ukuran 50 cm x 60 cm, dan mpph ukuran 100 cm x 120 cm. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap berblok Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antar perlakuan untuk pertumbuhan diameter dan tinggi yang ditunjukkan dengan hasil nilai F dari analisa keragaman. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan serasah berbeda signifikan terhadap perlakuan lainnya dengan rataan diameter pertahun 1,18 cm/tahun dan rataan tinggi pertahun 1.01 m/tahun. Kata kunci: Mulsa, perlakuan, diameter, tinggi, Shorea leprosula
J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 109-122. Tebang rumpang (”gap simulation system”) merupakan salah satu sistem silvikultur alternatif, yang berlandaskan permudaan alam dan unit perlakuan terkecil (tegakan) berupa rumpang-rumpang yang terikat oleh unit jalan sarad. Walaupun begitu, evaluasi hasil ujicoba sampai saat ini masih belum dilakukan secara komprehensif teruama dalam skala operasional. Evaluasi dalam level tegakan masih terbatas pada kondisi hutan primer dan logged-over dengan permudaan alam dalam rentang waktu kurang dari 10 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat efektifitas sistem tebang rumpang permudaan buatan pada hutan logged over area. Penelitian dilakukan di KHDTK Kintap pada petak-petak ujicoba rumpang tanaman umur 13 dan 17 tahun serta rumpang permudaan alam umur 13 tahun. Dari aspek pertumbuhan perkembangan regenerasi baik alam maupun buatan, sistem tebang rumpang secara potensial menunjukan hasil yang lebih tingi dibandingkan dengan sistem silvikultur umpang yang selama ini digunakan. Pertumbuhan dan perkembangan jenis-jenis meranti pada permudaan alam lebih tinggi dibandingkan dengan rumpang tanaman. Performan sistem tebang rumpang tersebut sangat sesuai bagi areal hutan logged-over yang masih baik maupun yang sudah terfragmentasi berat. Tebang rumpang sebagai salah satu sistem silvikultur masih sangat diperlukan UDC630*56 untuk diujicoba dalam skala yang lebih besar terutama Amiril Saridan, Andrian Fernandes dan Massofian Noor dalam aspek-aspek perencanaan pengelolaannya. (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). Kata kunci : Sistem silvikultur, tebang rumpang, Sebaran dan Potensi Pohon Tengkawang di Hutan pertumbuhan meranti Penelitian Labanan, Kalimantan Timur. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 101-108. UDC630*901 Tengkawang merupakan jenis pohon yang dilindungi, Catur Budi Wiati (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). tumbuh di hutan tropis yang dikenal sebagai penghasil Kajian Aturan Adat Pemanfaatan Tane' Olen oleh buah dan lemak tengkawang. Penelitian bertujuan untuk Masyarakat Lokal di Desa Setulang Kabupaten Malinau, mengetahui potensi dan sebaran jenis pohon penghasil Kalimantan Timur. tengkawang. Penelitian dilaksanakan di hutan penelitian J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 h; 123-130. Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Dalam Keberadaan Tane Olen yang masih dipelihara dan penelitian ini digunakan plot berukuran 100 m x 100 m (1 dikelola secara bijaksana menunjukkan bahwa ha) yang diletakkan secara purposive sampling pada masyarakat Desa Setulang memiliki suatu aturan adat tegakan yang berbeda yang dibuat sebanyak 3 plot dalam pemanfaatannya. Keberadaan aturan adat dalam penelitian dengan total areal 3 ha. Hasil penelitian pemanfaatan sumberdaya hutan mencerminkan terdapat 5 jenis pohon penghasil tengkawang meliputi pentingnya keberadaan sumberdaya hutan bagi Shorea beccariana Burck, S. macrophylla Ashton, S. masyarakat lokal. Penelitian yang dilakukan antara April mecistopteryx Ridl., S. pinanga Scheff dan S. Seminis (de – Mei 2012 di Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Vriese) Sloot. dengan Kerapatan pohon bervariasi dari Kalimantan Timur ini bertujuan untuk menginformasikan satu plot ke plot lainnya dengan rataan 11 pohon/ha dan hasil identifikasi hukum adat dalam pemanfaatan Tane’ volume tegakan sebesar 38,32 m3/ha. Umumnya jenis Olen oleh masyarakat Desa Setulang. Hasilnya tengkawang yang tumbuh pada kelerengan > 40 % yaitu menunjukkan bahwa aturan adat pemanfaatan Tane’ Olen S. beccariana Burck, S. pinanga Scheff, S. mecistopteryx yang dimiliki masyarakat Desa Setulang sangat Ridl dan S. seminis Sloot. Sedangkan yang tumbuh pada dipengaruhi oleh aturan adat leluhur mereka dari suku kelerengan < 40 % adalah S. macrophylla Ashton Dayak Kenyah Oma’ Longh saat masih di Long Sa’an, hulu Sungai Pujungan, Kabupaten Malinau. Aturan adat Kata kunci: Tengkawang, sebaran, kerapatan, potensi tersebut berupa aturan pembatasan pemanfaatan Tane’ UDC630*235 Olen agar seluruh masyarakat Desa Setulang dapat Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto memperoleh manfaatnya secara adil dan berkelanjutan. (Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru). Kata kunci: aturan adat, sumberdaya hutan, masyarakat Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang lokal, Tane’ Olen, Desa Setulang Terhadap Peningkatan Produktifitas Dan Kelestarian Hutan Alam Produksi.
JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA (Journal of Dipterocarps Research) ISSN : 1978-8746
Vol. 7 No. 2, Desember 2013
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya. UDC630*228 Sudin Panjaitan (Banjarbaru Forest Research Centre). The Growth and Composition of Wildlings in The Logged-over Gaps at South Kalimantan J. Dipt. Research Vol. 7 No. 2, 2013 p; 63-74. The Indonesia production forest have changed into loggerover areas due to logging with TPTI system; the remaining were logged-over stands, gaps and skidding trails. Banjarbaru Reforestation Institute since 1985 (Banjarbaru Forestry Research Institute at present) had conducted trials on gap cutting system. The research aimed to determine the growth of wildlings and the biodiversity inside the gaps of 16, 5 and 3 years, respectively. One hundred percentage of sampling intensity was carried out for tree stage while saplings and seedlings was carried out with stratified random sampling, with the plot size of 5 x 5 m for saplings and 2 x 2 m for seedlings. The result showed the basal area for tree was 12.5 m2/ha on the 70 years rotation, the basal area was 54,6 m2/ha. The maximum diameter for saplings were 9.5 cm on 5 years gaps and 8.2 cm on 3 years gap, respectively. There were 38, 37 and 60 species underneath the gaps of 3, 5 and 16 years. It showed that the species composition and stand structure were varied. Shorea johorensis and S. parvifolia dominated the tree species inside 16 and 5 years gaps, respectively, while S. parvistipulata, S. parvifolia and Hopea sangal dominated the sapling species under 16, 5 and 3 years gaps, respectively. Keywords : Growth, composition, wildlings, gaps, South Kalimantan UDC630*88 Catur Budi Wiati dan Karmilasanti (Dipterocarps Research Centre) Direct Invesment Costs of Forest Management with Silviculture Sistem of Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)/Selective Cutting and Line Planting by PT Intracawood Manufacturing in East Kalimantan. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 2, 2013 p; 75-84. Implementation of Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)/Selective Cutting and Line Planting silviculture sistem is expected to address the problems of the progressively decreasing of forest productivity in Indonesia. On the other hand, high expenses for implementating this silvikultur sistem as well require high commitment from the company, considering that there is no certainty about the amount of profit got from implement the TPTJ sistem. Therefore, research which aims to give information about direct invesment cost in the management of forest with silviculture sistem of TPTJ at PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) becomes important. This research which was conducted by the authors between June – July 2012 at PT IWM indicates that the direct invesment cost in TPTJ activities at PT IWM in RKT 2011, not including the cost for the company labours controlling these activities, reached Rp
6.591.270 per Ha. Key words: direct invesment costs, Tebang Pilih Tanam Jalur/TPTJ silviculture sistem, PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) UDC630*228 Amiril Saridan dan Massofian Noor (Dipterocarps Research Centre). Association and Distribution of Oil-Producing Keruing Tree Species In Hutan Sanggam Labanan Lestari Concession, East Kalimantan. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 2, 2013 h; 85-92. Berau regency is part of Kalimantan has a high floristic composition, especially Dipterocarpaceae. They has relationships between individual and different species. The purpose of this study is to present information on the association and distribution trees species of keruing produces oil in PT.Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau regency. The methods used by the strip system length 1 km and a width 20 m each and total areas of 4 hectares. Observation was done to all of trees with diameter equal or larger than 10 cm. Results showed that one is oil-producing keruing i.e: Dipterocarpus palembanicus Sloot. Asociation species of tree species keruing pairs and the dominant species indicates that there are 9 pairs of positive associated type. In general keruing trees species growing by groups on a flat area and a small spreading area it was indicated that Keruing growing in the specific habitat which depend on its environmental condition. Keywords: Keruing, distribution, association, species UDC630*176.1 Abdurachman, Hartati Apriani dan Massofian Noor (Dipterocarps Research Centre). Effect of mulching on growth performance of copper – Meranti (Shorea leprosula Miq) in Semoi, Penajam Paser Utara Regency, East Kalimantan. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 2, 2013 p; 93-100. This research objective to understand the effective to increase growth of copper meranti (Shorea leprosula Miq) in semoi Penajam Paser Utara regency. The measurement was conducted in 16 plots, each plot is 0.25 ha (50 x 50 m. There are mulching treatments: without mulch as control, litter mulch, dark silver plastic(mpph) 50 x 60 cm, and mpph 100 x 120 cm. Randomized complete block design in used as experimental design in this study. The result showed that there is significants effect of the treatment to diameter and height growth increment wich showed by F value variance analysis. The result of least significant different test showed that litter mulch is significantly different compare to the other treatments, with annual diameter increment was 1.18 cm/year and annual height increment was 1.01 m/year. Key words : Mulch, treatments, diameter, height, Shorea leprosula
UDC630*56 Amiril Saridan, Andrian Fernandes dan Massofian Noor (Dipterocarps Research Centre). Potential and Distribution of Tengkawang Trees Species in Labanan Forest Research, East Kalimantan. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 2, 2013 p; 101-108. Tengkawang was one of species growing in tropical rain forest are known as produced of fruit (illiped nut) and oil tengkawang, including protected trees. The purpose of this research is known distribution and potential of tengkawang trees. The research used purposive sampling with plots size is 100 m x 100 m (1 ha) and three plots are constructed. Observation was done to all of tengkawang trees with diameter equal or larger than 10 cm. Results showed that there were five species found, i.e. Shorea beccariana Burck, S. macrophylla Ashton, S. mecistopteryx Ridl., S. pinanga Scheff dan S. seminis (de Vriese) Sloot. The average of densities are 11 stems/ha and volume stand is 38.32 m3/ha. In generally tengkawang grows in a very steep slope >40 % i.e. S. beccariana Burck, S. pinanga Scheff, S. mecistopteryx Ridl and S. seminis (de Vriese) Sloot. Other tengkawang grows well in low steep or < 40 % is S. macrophylla Ashton. Keywords:Tengkawang, distribution, density, potention UDC630*235 Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto (Banjarbaru Forest Research Centre). Analysis of The Efffectvity of Gap Simulation Silvicultural System in The Enhancement of Production Forest Productivity and Sustainability J. Dipt. Research Vol. 7 No. 2, 2013 p; 109-122. Gap simulation system is an alternative silvicultural system based on the availability of wildlings and on site management system in the form of gaps, which are closely related with skidding trails. Thus, the eveluation of the system has not been conducted comprehensively in operational scale. The evaluation in the stand level is limited to the primary and logged over forest within the last 10 years. This research aimed to evaluate the
effectivity of gap simulation system with with artificial seedlings on logged over area. The research was conducted in KHDTK Kintap on the 13 and 17 years old stand, and gap with wildlings of 13 years old stand. The result showed that from the aspect of growth & development gap simulation potentially showed higher result compared with planted gaps. Those were suitable for logged over area or highly fragmented forest. Gap simulation as one of silvicultal system needs to be replicated in a logger scale especially in the aspect of management plan. Keyword : Silvicultural, system, gap simulation, Dipterocarps UDC630*901 Catur Budi Wiati (Dipterocarps Research Centre). Study on Customary Rules for Tane’ Olen Use by Local Community at Setulang Village of Malinau District, East Kalimantan. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 2, 2013 p; 123-130. The existence of Tane’ Olen which is still well maintained and wisely managed by Setulang Village community indicates that they have customary rules in exploiting the forest resources. The existence of the customary rules in utilizing the forest resources reflecs the importance of forest resources for local community. A research was conducted by the authors in April – May 2012 in Setulang Village of Malinau District, East Kalimantan and this paper aims to inform the results of the customary rules identification in Tane' Olen use by Setulang Village community. The result showed that costumary rules used by the Setulang Villege community are very influenced by the customary rules inheritage frim their ancestor: the Dayak Kenyah Oma' Longh when they still lived in Long Sa'an, in the upper Pujungan River, Malinau District. The customary rules are in the form of community regulations for limited use of Tane' Olen to allow the fair and sustainable use of the designated forest benefiting all Setulang Village community. Key words: customary rules, forest resources, local community, Tane’ Olen, Setulang Village
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74 ISSN: 1978-8746
PERTUMBUHAN DAN KOMPOSISI JENIS PERMUDAAN ALAM PADA RUMPANG TEBANGAN DI KALIMANTAN SELATAN The Growth and Composition of Wildlings in The Logged-over Gaps at South Kalimantan Sudin Panjaitan1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru JL. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru Kalimantan Selatan; Telepon. (0511) 4707872, Fax (0511) 4707872
[email protected] Diterima 17 Juli 2013, direvisi 8 Oktober 2013, disetujui 20 Nopember 2013
ABSTRACT The Indonesia production forest have changed into logger-over areas due to logging with TPTI system; the remaining were logged-over stands, gaps and skidding trails. Banjarbaru Reforestation Institute since 1985 (Banjarbaru Forestry Research Institute at present) had conducted trials on gap cutting system. The research aimed to determine the growth of wildlings and the biodiversity inside the gaps of 16, 5 and 3 years, respectively. One hundred percentage of sampling intensity was carried out for tree stage while saplings and seedlings was carried out with stratified random sampling, with the plot size of 5 x 5 m for saplings and 2 x 2 m for seedlings. The result showed the basal area for tree was 12.5 m2/ha on the 70 years rotation, the basal area was 54,6 m2/ha. The maximum diameter for saplings were 9.5 cm on 5 years gaps and 8.2 cm on 3 years gap, respectively. There were 38, 37 and 60 species underneath the gaps of 3, 5 and 16 years. It showed that the species composition and stand structure were varied. Shorea johorensis and S. parvifolia dominated the tree species inside 16 and 5 years gaps, respectively, while S. parvistipulata, S. parvifolia and Hopea sangal dominated the sapling species under 16, 5 and 3 years gaps, respectively. Keywords : Growth, composition, wildlings, gaps, South Kalimantan
ABSTRAK Hutan produksi Indonesia sebagian besar telah berubah menjadi areal bekas tebangan akibat pembalakan dengan sistem silvikultur TPTI, sehingga merupakan sempalan-sempalan tegakan sisa, rumpang-rumpang, jalan sarad dan tempat terbuka. Dari hasil ujicoba Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru sejak tahun 1985 (saat ini berubah nama menjadi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru) di stasion Penelitian (KHDTK) Kintap dimana sistem tebang rumpang (”Gap Cutting System”) merupakan salah satu sistem silvikultur yang memberikan hasil positif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan permudaan alam dan mengetahui keanekaragaman jenis yang terdapat pada rumpang tebangan umur 16 tahun, 5 tahun dan 3 tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah pada rumpang 16 tahun (tingkat pohon), pengambilan sampel dilakukan dengan intensitas 100 %, sedangkan pada tingkat pancang dan tingkat semai dilakukan secara acak bertahap (Stratified random) yaitu 4 kwadrat ukuran 5 x 5 m untuk tingkat pancang dan 4 kwadrat ukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai. Hasil penelitian menunjukkan pada rumpang 16 tahun luas bidang dasar tingkat pohon 12,5 m2/ha. Pada rotasi 70 tahun dengan riap rataan tersebut diperoleh luas idang dasar 54.6 m2/ha. Pada rumpang 16 tahun diameter maksimum tingkat pancang sebesar 9,5 cm, pada rumpang 5 tahun 8,2 cm dan pada rumpang 3 tahun 6.5 cm. Permudaan alam tingkat pancang pada rumpang 5 tahun dan 16 tahun ditemukan masingmasing 38 jenis, 37 jenis dan 60 jenis. Hal ini membuktikan bahwa komposisi jenis dan struktur tegakan pada kelas umur rumpang tersebut tidak sama antara satu dengan lainnya. Jenis permudaan yang mendominasi pada tingkat pohon di rumpang 16 tahun dan 5 tahun adalah Shorea johorensis dan Shorea parvifolia, sedangkan pada tingkat pancang pada rumpang 16 tahun, 5 tahun dan 3 tahun masing-masing didominasi oleh Shorea parvistipulata, Shorea parvifolia dan Hopea sangal. Kata kunci: pertumbuhan, komposisi, permudaan, rumpang, Kalimantan Selatan
63
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74
I.
PENDAHULUAN
Hutan adalah mosaik rumpang dan tegakan berlapis dari berbagai fase perkembangan dan umur dimana rumpang terjadi di seluruh tipe hutan dengan berbagai tingkat perkembangan. Whitmore (1975) mengemukakan bahwa terdapat 3 fase perkembangan vegetasi yaitu: 1) fase rumpang artinya saat terjadinya rumpang, 2) fase pertumbuhan yaitu proses pertumbuhan dan perkembangan vegetasi yang menempati rumpang, dan 3) fase tua yaitu vegetasi mencapai klimaks, struktur berlapis yang setiap saat dapat terjadi rumpang baru. Fase satu dengan lainnya saling terkait dan berkesinambungan. Hutan produksi Indonesia pada saat ini sebagian besar telah berubah menjadi hutan bekas tebangan setelah kurang lebih selama 25 tahun mengalami pembalakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI), saat ini berubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Hutan bekas tebangan terdiri dari pada sempalan-sempalan tegakan sisa, rumpang-rumpang (”gaps”) jalan sarad dan tempat terbuka lainnya sebagai akibat dari pada aktifitas pembalakan. Di dalam rangka pemantapan sistem tebang rumpang dan pembinaannya, maka perlu dilakukan pengelolaan rumpang lanjutan di hutan bekas tebangan. Rumpang tebangan luasnya bervariasi, hal ini tergantung dari banyaknya pohon yang ditebang/dipanen dalam sistem Tebang Pilih. Konsentrasi dari pada jenis komersil (pada saat ini umumnya dari jenis dipterocarpa, terutama jenis meranti) yang siap dipanen pada suatu areal akan menyebabkan pembukaan/kerusakan tegakan tinggal yang lebih besar pada areal tersebut. Rumpang tebangan pada umumnya lebih besar dari pada rumpang yang terjadi secara alamiah akibat mati dan tumbangnya pohon kanopi atas. Pada rumpang besar di samping dapat mengakibatkan akselerasi pertumbuhan jenis anakan yang tertekan pertumbuhannya akibat kanopi tertutup dari permudaan juga tumbuh jenis-jenis pionir yang mempunyai biji yang peningkatan atau kecepatan pertumbuhannya sensitif oleh cahaya matahari.
64
Penelitian di areal hutan bekas tebangan HPH PT Hutan Kintap pada pertumbuhan anakan alam di dalam rumpang tebangan dengan luas 410 m2 -1.240 m2 yang telah mengalami pembebasan menunjukkan hasil yang positif. Pertumbuhan anakan selama 6 tahun setelah pembebasan rumpang diperoleh diameter tegakan 7,7 -12,0 cm dan tinggi 9,2 m – 13,6 m yang berasal dari anakan alam (seedling) dengan tinggi awal < 1,3 m (Tuomela et.al., 1994). Penelitian ini dilakukan dalam rangka usaha peningkatan produktifitas hutan alam produksi dengan memperhatikan aspek ekologis, ekonomis maupun sosiologis. Penelitian ini bertujuan : 1) untuk memperoleh data otentik pertumbuhan permudaan alam pada rumpang tebangan, dan 2) untuk mengetahui keanekaragaman jenis setelah mengalami perlakuan pembebasan dan pemeliharaan pada luas rumpang 1.000 m2 – 2.000 m2. II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di areal hutan produksi meranti perbukitan di KHDTK Kintap, Desa Riam Adungan Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jarak dari Banjarbaru menuju areal penelitian/KHDTK Kintap + 150 Km. Penelitian dilakukan di areal HPH Hutan Kintap. Letak penelitian secara geografis berada antara 114050’32’’ – 115019’51’’ Bujur Timur dan 3036’53’’ - 3055’40’’ Lintang Selatan. Stasiun Ujicoba Kintap (saat ini KHDTK) Kintap mempunyai topografi datar sampai bergelombang ringan serta berbukit sampai bergunung dengan ketinggian antara 50 – 625 m dpl. dan memiliki kemiringan antara 0 – 23 % yaitu bergelombang ringan sampai berat. Menurut Peta tanah yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor tahun 1970, tipe tanah di areal ini terdiri dari 2 (dua) golongan yaitu terdiri dari bahan induk batuan beku dengan fisiografi instrusi dan jenis tanah komplek podsolik merah kuning dan lateritik
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada Rumpang ... (Sudin Panjaitan)
dari bahan induk batuan beku dengan fisiografi dataran. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, iklim di lokasi penelitian ini termasuk tipe iklim B dengan nilai Q berkisar antara 13,3 – 33,3%. Musim hujan berlangsung antara bulan Nopember – April dan musim kemarau antara bulan Mei – Oktober. Suhu rata-rata adalah 250C dengan suhu minimum dan maksimum adalah 22,60 C dan 29,90 C. Rata-rata curah hujan tahunan 3.017 mm. Rata-rata hari hujan 154 hari/tahun. Vegetasi yang terdapat di areal penelitian ini didominasi oleh jenis Dipterocarpaceae yaitu Meranti (Shorea spp.), Keruing (Dipterocarpus spp.), Kapur (Dryobalanops lanceolata), Merawan/cengal (Hopea sangal). Jenis lainnya Ulin (Eusideroxylon zwageri), Geronggang (Cratoxylon spp.), Terap (Artocarpus elesticus), Binuang (Octomeles sumatrana), Medang (Litsea sp.) dan lain-lain. Peralatan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah : 1) kompas, 2) Diameter tape, 3) Galah ukur, 4) Meteran, 5) Cat dan patok ulin, dan 6) Peralatan lainnya yang diperlukan.
Rumpang yang diamati terdiri dari rumpang umur 16 tahun, 5 tahun dan 3 tahun setelah tebangan. Tingkat pohon (diameter > 10 cm), diinventarisasi pada masing-masing rumpang dengan intensitas pengambilan contoh 100%. Penarikan contoh untuk tingkat pancang (sapling) dan semai (seedling) dilakukan secara Acak bertahap (Stratified random), yaitu 4 kuadrat ukuran 5 x 5 m untuk tingkat pancang dan 4 kuadrat ukuran 2 x 2 m untuk tingkat semai. Masing-masing kwadrat ditempatkan secara acak pada setiap seperempat lingkaran rumpang. Tingkat pancang dan pohon diidentifikasi dan diukur diameter (cm) pada setinggi dada dan tinggi (m), dan tingkat semai diidentifikasi dan diukur tinggi (cm). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Hasil pengukuran dan pendataan pertumbuhan permudaan alam baik tingkat pohon/tiang, pancang dan semai pada umur rumpang 16 tahun (R16), 5 tahun (R5) dan 3 tahun n (R3), disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pertelaan Tingkat pohon/tiang, pancang dan semai di dalam rumpang umur 16 tahun (R16), 5 tahun (R5) dan 3 tahun (R3) di Kintap Kalimantan Selatan Table 1.
Predicted level of trees/poles, saplings and seedlings inside gaps of 16 years (R16), 5 years (R5) and 3 years (R3) at Kintap, South Kalimantantan Nomor Pertelaan Rumpang 16 tahun Rumpang 5 tahun Rumpang 3 tahun (Number) (Predicted) (16 years gap) (5 years gap) (3 years gap) 1. Pohon (0,2 ha) Jumlah jenis 21 jenis 4 jenis Kerapatan 75 (375 batang/ha) 18 (90 batang/ha) Bidang Dasar 2,5 m2 (12,5 m2/ha) 0,18 m2 (0,9 m2/ha) 3 3 Volume 27,3 m (136 m /ha) 0,8 m3 (4 m3/ha) Jenis Dominan Shorea johorensis Shorea parvifolia Pancang (0,01 ha) 2. Jumlah jenis 60 jenis 37 jenis 38 jenis Kerapatan 78 (7.800 batang/ha) 98 (9.800 batang/ha) 124 (12.400 batang/ha) 504,9 cm2 (5 m2/ha) 697,3 cm2 (6,9 m2/ha) Bidang Dasar 579,8 cm2 (5,8 m2/ha) Jenis Dominan Shorea parvistipulata Shorea parvifolia Hopea sangal Semai (0,0016 ha) 3. Jumlah jenis 25 jenis 18 jenis 9 jenis 24 (15.000 batang/ha) 42 (26.250 batang/ha) Kerapatan 27 (16.875 batang/ha) Jenis Dominan Campuran Dyospyros densa Hopea sangal
Sumber: diolah dari data primer
65
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74
Pada rumpang umur 16 tahun setelah pembebasan diperoleh luas bidang dasar pohon (diameter > 10 cm) sebesar 12,5 m2/ha. Sampai pada umur tersebut riap rataan bidang dasar adalah 0,78 m2/ha/tahun. Pada rotasi 70 tahun dengan riap rataan tersebut, maka akan diperoleh luas bidang dasar sebesar 54,6 m2/ha. Angka ini jauh lebih besar daripada rata-rata luas bidang dasar tingkat pohon (diameter > 10 cm) hutan hujan tropis sebesar 36 m2/ha (Dawkins, 1958 dalam Whitmore, 1984). Pada rumpang umur 5 tahun diperoleh luas bidang dasar pohon sebesar 0,9 m2/ha, hal ini jauh lebih kecil daripada luas bidang dasar/ha dalam rumpang 16 tahun. Hal tersebut dikaitkan dengan kerapatan pohon yang hanya terdapat 90 pohon/ha pada rumpang umur 5 tahun dibandingkan dengan ditemukan 375 pohon/ha pada rumpang umur 16 tahun. Pada rumpang yang lebih tua terjadi rektur pohon yang berasal daripada rumpang yang lebih muda. Fakta ini dapat dilihat dari kerapatan tingkat pancang yang lebih sedikit pada rumpang lebih tua dibandingkan dengan rumpang yang lebih muda (Tabel 1). Pada rumpang umur 3 tahun belum terjadi rekrut pohon dari tingkat pancang. Diameter maksimum tingkat pancang pada rumpang tersebut adalah 6,5 cm dari jenis Hopea sangal. Diameter maksimum pohon pada rumpang umur 5 tahun adalah 14,0 cm dari jenis Shorea parvifolia, sedangkan pada rumpang umur 6
tahun, diameter maksimum adalah 34,4 cm, juga dari jenis Shorea parvifolia. Hal ini menunjukkan bahwa jenis dipterocarpa memiliki kecepatan tumbuh relatif lebih cepat. Seperti halnya pada umumnya di daerah lain jenis meranti merah diantaranya Shorea parvifolia, S. leprosula dan S. johorensis adalah jenis-jenis utama dieksploitasi di daerah hutan Kintap. Jenis-jenis dipterocarpa mendominasi tingkat pohon dan tingkat pancang, sedangkan pada tingkat semai jenis dipterocarpa dominan dalam rumpang umur 3 tahun (Tabel 1). Di dalam rumpang umur 16 tahun sesudah terjadi penutupan kanopi, sehingga kemungkinan perkecambahan biji dipterocarpa banyak mengalami kematian setelah perkecambahan karena kurang mendapat cahaya matahari untuk proses pertumbuhannya. Pada rumpang umur 5 tahun tidak terdapat semai dipterocarpa, hal ini disebabkan tidak ditemukan pohon dipterocarpa usia produktif di dalam rumpang tersebut dan tidak terjadi sebaran biji dipterocarpa dari luar rumpang. Permudaan tingkat pancang dengan diameter < 2 cm, mendominasi sebaran kelas diameter (Tabel 2). Pada rumpang umur 16 tahun diameter tingkat pancang maksimum mencapai 9,5 cm dari jenis Shorea parvistipulata, pada rumpang 5 tahun diameter maksimum 8,2 cm dari jenis Shorea parvifolia, dari pada rumpang 3 tahun diameter maksimum 6,5 cm dari jenis Hopea sangal.
Tabel 2. Jumlah batang sebaran kelas diameter tingkat pancang di dalam rumpang umur 16 tahun (R16), 5 tahun (R5) dan 3 tahun (R3) Table 2. Number of saplings and their diameter class inside 16 years gaps, 5 years gaps and 3 years gaps Nomor Kelas Diameter (cm) (Number) (Diameter class) 1. <1,0 2. 1,0-1,9 3. 2,0-2,9 4. 3,0-3,9 5. 4,0-4,9 6. 5,0-5,9 7. 6,0-6,9 8. > 7,0
Sumber: diolah dari data primer
66
Rumpang 16 tahun (16 years gap) 4 39 19 5 5 3 1 2
Rumpang 5 tahun (5 years gap) 18 45 11 3 5 8 7 7
Rumpang 3 tahun (3 years gap) 37 43 18 10 7 6 2 -
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada Rumpang ... (Sudin Panjaitan)
Jenis pohon di dalam rumpang umur 5 tahun seluruhnya terdiri dari jenis dipterocarpa kecuali jenis laban (Vitex pubescens) termasuk jenis pionir. Jenis Dipterocarpa pada rumpang umur 16 tahun dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 3. Pada rumpang 16 tahun, jumlah bidang dasar jenis Dipterocarpa adalah 1,57 m2 dalam luas 0,2 ha atau setara dengan 7,85 m2/ha atau 62,8% dari jumlah total bidang dasar semua jenis dalam rumpang tersebut. Pada rumpang umur 5 tahun proporsi bidang dasar jenis Dipterocarpa meliputi 94% daripada jumlah total bidang dasar pohon dalam rumpang tersebut. B. Komposisi Jenis Permudaan tingkat semai, komposisi jenis dan struktur pada rumpang umur 3 tahun, 5 tahun dan 16 tahun tampak tidak sama. Pada rumpang 3 tahun jenis yang banyak ditemukan adaalah jenis Hopea sangal termasuk famili Dipoterocarpaceae, namun pada rumpang 5 tahun dan 16 tahun masing-masing adaalah jenis Diospyros densa dan Hydnocarpus
sumtranus dimana jenis ini tidak termasuk jenis dari famili Dipterocarpaceae. Demikian pula komposisi jenis dan struktur tingkat pancang dimana pada rumpang 3 tahun, jenis yang mendominasi adalah Hopea sangal, sedangkan pada rumpang umur 5 tahun dan rumpang 16 tahun didominasi oleh jenis Shorea parvifolia dan Shorea parvistipulata. Ketiga jenis ini termasuk famili Dipterocarpaceae. Permudaan tingkat pohon di rumpang umur 5 tahun dan 16 tahun masing-masing didiminasi jenis Shorea parvifolia dan Shorea johorensis dimana keduanya juga termasuk famili Dipterocarpaceae. Data pengukuran permudaan tingkat tingkat pohon, tingkat pancang dan tingkat semai pada masing-masing rumpang buatan umur 16 tahun (R16), rumpang umur 5 tahun (R5) dan rumpang umur 3 tahun (R3), dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 ,3,4,5,6,7 dan 8. Untuk mengetahui banyaknya jenis Dipterocarpa pada rumpang 16 tahun dan 5 tahun, disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Jenis Dipterocarpaceae pada rumpang umur 16 tahun dan 5 tahun di Kintap Kalimantan Selatan Table 3.
Dipterocarpaceae species inside 16 years and 5 years gaps at Kintap, South Kalimantan
Nomor (Number) 1.
Rumpang (Gap) 16 tahun (0,2 ha)
Nama Jenis (Species) Shorea johorensis Shorea parvifolia Shorea parvistipulata
Total 2.
5 tahun (0,2 ha)
Shorea johorensis Shorea parvifolia Shorea parvistipulata
Total
Jumlah (btg) (Amount) 36 7 5 48 2 11 4 17
Bidang dasar (cm2) (Basic Field) 12.468,2 2.111,2 1.112,7 15.692,1 (=7,85 m2/ha) 208,9 1.183,2 796,7 1.737,1 (=0,85 m2/ha)
Sumber: diolah dari data primer
Menurut hasil penelitian Elias (1996) di hutan hujan tropis bekas tebangan umur 1 tahun dan 2 tahun mengatakan bahwa jenis Shorea laevifolia dan Hopea sangal aadalah merupakan jenis yang berkembang baik pada kondisi saat itu. Dari uraian di atas tampak bahwa rumpang (”gap”) sangat berperan terhadap dinamika
yang terjadi pada vegetasi yang menempati rumpang tersebut. Whitmore (1978) melaporkan bahwa dengan adanya rumpang memberikan kemungkinan cahaya masuk mencapai lantai hutan yang sudah tentu dapat meningkatkan laju dekomposisi. Lebih lanjut Jordan (1985) mengemukakan bahwa dengan tersedianya rumpang (celah)
67
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74
yang terbuka ke langit pada tegakan hutan, cahaya matahari dapat mencapai lantai hutan akan menciptakan kondisi temperatur tertentu yang merangsang mikro organisme pengurai seresah semakin aktif yang pada akhirnya akan melepaskan unsur hara yang terkandung di dalam seresah (batang pohon mati, daun-daunan dan ranting). Keadaan ini tentu akan memberikan keuntungan bagi pertumbuhan dan perkembangan anakan alam sebagai material tegakan yang ada di dalam rumpang, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya relatif lebih cepat dibandingkan pada lokasi di bawah naungan. Namun bila dilihat dari hasil analisis tanah baik rumpang umur 3 tahun, 5 tahun dan 16 tahun, status kesuburannya tergolong rendah. Hal ini diduga bahwa intensitas cahaya yang mencapai lantai hutan tidak optimum bagi aktivitas mikro organisme pengurai, sehingga dekomposisinya relatif lambat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Riap rataan bidang dasar pohon di dalam rumpang umur 16 tahun adalah 0,78 m2/ha. Diameter maksimum tingkat pancang pada tiap rumpang seluruhnya terdiri dari jenis Dipterocarpa. Pada rumpang 16 tahun diameter maksimum pancang adalah 9,5 cm dari jenis Shorea parvistipulata, pada rumpang 5 tahun adalah 8,2 cm dari jenis Shorea parvifolia dan pada rumpang 3 tahun sebesar 6,5 cm dari jenis Hopea sangal. Diameter maksimum Shorea parvifolia tingkat pohon pada rumpang 16 tahun adalah 34,4 cm, sedangkan pada rumpang umur 5 tahun sebesar 14,0 cm. Permudaan jenis klimaks akan tumbuh optimal pada iklim mikro rumpang bila mendapat sinar mataharti cukup untuk proses pertumbuhannya. Tinggi permudaan pada rumpang umur 3 tahun berkisar 1,5 -6,7 m, pada rumpang 5 tahun berkisar 1,6 – 8,1 m, sedangkan pada rumpang 16 tahun berkisar 920 m. Pada rumpang umur 16 tahun dan 5 tahun permudaan tingkat pohon dan pancang
68
didominasi oleh jenis Dipterocarpa. Pada rumpang umur 3 tahun jenis semai Dipterocarpa juga mendominasi, sedangkan pada rumpang umur 16 tahun semai Dipterocarpa susah ditemukan dan pada rumpang 5 tahun semai Dipterocarpa juga susah ditemukan. Penutupan tajuk pada rumpang 16 tahun dapat menghambat perkecambahan maupun pertumbuhan semai Dipterocarpa, sedangkan pada rumpang 5 tahun belum terdapat jenis Dipterocarpa usia produktif dan penyebaran biji Dipterocarpa dari luar rumpang tidak terjadi. Permudaan alam tingkat semai pada rumpang tebangan umur 3 tahun ditemukan sebanyak 9 jenis dimana jenis dominan adaalah Hopea sangal kemudian jenis Diospyros densa dan kayu pagar, sedangkan jenis lainnya relatif sedikit. Pada rumpang umur 5 tahun ditemukan 18 jenis dimana jenis Diospyros densa sebagai jenis yang mendominasi disusul jenis Hydnocarpus polypetalus, Ardisia sp. Dan Alseodaphne sp. Pada rumpang umur 16 tahun ditemukan sebanyak 25 jenis. Permudaan alam tingkat pancang pada rumpang umur 3 tahun, 5 tahun dan 16 tahun ditemukan masing-masing 38 jenis dimana jenis dominan adalah Hopea sangal disusul jenis Shorea johorensis dan Pouteria declutan, 37 jenis (jenis dominan Shorea parvifolia, Eusideroxylon zwageri dan Palaquium sp) dan 60 jenis dengan jenis dominan adalah Shorea parvistipulata kemudian disusul oleh Artocarpus sp dan Hydnocarpus polypetalus. Permudaan tingkat pohon pada rumpang umur 5 tahun ditemukan sebanyak 4 jenis dengan jenis dominan adalah Shorea parvifolia, sedangkan pada rumpang 16 tahun ditemukan sebanyak 21 jenis dimana jenis dominan adalah Shorea johorensis. Jenis Dipterocarpa yang umum didapati di lokasi penelitian adalah Shorea johorensis, Shorea parvifolia, Shorea parvistipulata dan Hopea sangal. Pada rumpang umur 5 tahun terdapat 18 pohon (diameter > 10 cm) seluruhnya dari jenis Dipterocarpa kecuali satu jenis yaitu Laban (Vitex pubescens) yang termasuk jenis pionir.
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada Rumpang ... (Sudin Panjaitan)
Permudaan alam baik tingkat pohon, pancang dan semai ditemukan cukup berlimpah di rumpang tebangan yang dijadikan sbagai calon material tegakan oleh sebab itu penanaman perkayaan (”enrichment planting”) seperti pada kegiatan TPTI tidak perlu dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 1993. Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan nomor 38/KPTS/VIIIHM.3/93 tentang pedoman pembuatan dan pengukuran petak ukur permanen untuk pemantauan pertumbuhan dan riap hutan alam tanah kering bekas tebangan dan pedoman pembuatan dan pengukuran petak ukur permanen untuk pemantauan pertumbuhan dan riap hutan alam rawa dan payau bekas tebangan. Jakarta. Eijk-Bos, C. V., Endro S., Harbagung. 1988. Rancangan percobaan dan pendapatan plot permanen untuk pnelitian pertumbuhan dan riap hutan produksi dipterocarpaceae di kalimantan. Tropenbos Indonesia. Belanda. Elias, 1996. A Case Study on Forest Harvesting Damages, Structure and Composition Dynamic-
Changes in The Residual Stand For Dipterocarps Forest in East Kalimantan, Indonesia. Rimba Indonesia, Vol. XXXI, No. 1. Jordan, C.F., 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystem. John Wiley and Sons, Ltd. Saridan, A. 2005. Teknik Silvikultur untuk Pemuliaan Htuan Bekas Tebangan di Kalimantan Timur. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Simmathiri A., Turnbull, J. M. 1998. A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Silviculture. Cifor. Bogor-Indonesia. Sutisna, M. 1992. Silvikultur Hutan Alam. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Toumela, K. Kuusipalo, J., Adjers, G. & Vesa, L., 1994. Growth of Dipterocarp Seedling in Artificially Created Gaps : Experiment in A Logged-over Forest in South Kalimantan, Indonesia. In : Suhartoyo, H. & Hadriyanto, D. (Eds). Proceeding of The International Symposium on Asian Tropical Forest Management, Samarinda, Indonesia 13 – 15 September 1994. Hal: 124 -134, Pusrehut-UNMUL and JICA, Center For Reforestation Studies in The Troipical rain Forests, Samarinda, Indonesia. Whitmore, T.C., 1978. Tropical Rain Forest of The Far East. Clarendon Press, Oxford. Whitmore, T.C., 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Second Edition. Clarendon Press, Oxford.
69
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74
Lampiran 1.
Nama jenis Permudaan Tingkat Pohon yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 16 tahun (R16) Appendix 1. The name of tree species inside 16 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Aporusa sp. 12. Jenis lain (?) 2. Arthocarpus sp. 13. Durio acutifoilus 3. Barringtonia sp. 14. Gironniera subaequalinus 4. Dacryodes rostrata 15. Gluta wallichii 5. Dialium sp. 16. Litocarpus blumeanus 6. Eusideroxylon zwageri 17. Macaranga gigantea 7. Myristica argentea 18. Macaranga hypoleuca 8. Ryporosa kostermansii 19. Macaranga triloba 9. Shorea johorensis 20. Palaquium sp. 10. Shorea parvifolia 21. Podadenia sp. 11. Shorea parvistipulata Sumber: diolah dari data primer
Lampiran 2. Nama jenis Permudaan Tingkat Pancang yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 16 tahun (R16) Appendix 2. The name of saplings species inside 16 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1. Aglaia sp. 31. Macaranga sp. 2. Alseodaphne ceratoxylon 32. Mallotus echinatus 3. Archidendron jiringa 33. Mallotus sp. 4. Artocarpus sp. 34. Memecylon sp. 5. Ardisia sp. 35. Myristica cinerea 6. Beilschmiedia sp. 36. Myristica argentea 7. Cinnamomum parthenoxylon 37. Myristica maxima 8. Crudia teysmannii 38. Neonauclea calycina 9. Cyathocalyx sp. 39. Neoscortechinia kingii 10. Dacryodes rostrata 40. Palaquium sp. 11. Dacryodes rugosa 41. Palaquium rostratum 12. Dialium sp. 42. Polyalthia sp. 13. Durio acutifoilus 43. Planchonia valida 14. Ervatamia macrocarpa 44. Pouteria duclitan 15. Eugenia sp. 45. Podadenia sp. 16. Eusideroxylon zwageri 46. Ptemandra coerulescens 17. Fagraea sp. 47. Ryporosa kostermansii 18. Ficus sp. 48. Shorea ovalis 19. Flacourtia sp. 49. Shorea parvifolia 20. Garcinia dioica 50. Shorea leprosula 21. Gironniera subaequalis 51. Shorea johorensis 22. Gluta wallichii 52. Shorea parvistipulata 23. Homalanthus populneus 53. Sloanea sp. 24. Hopea mengerawan 54. Trycalysia sp. 25. Hydnocarpus sumatranus 55. Trioma malaccensis 26. Hydnocarpus polypetalus 56. Terminalia foetidissima 27. Intsia palembanica 57. Sauria sp. 28. Gluta rengas 58. Sindora leiocarpa
70
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada Rumpang ... (Sudin Panjaitan)
29. 30.
Litsea roxburghii Litsea sp.
Sumber: diolah dari data primer
59. 60.
Strombosia javanica Xanthophylum heteropleurum
Lampiran 3. Nama Jenis Permudaan Tingkat Semai yang ditemui pada Plot Penelitian pada rumpang buatan umur 16 tahun (R16) Appendix 3. The name of seedlings species inside 16 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Alseodaphne ceratoxylon 14. Trycalysia sp. 2. Ardisia sp. 15. Trioma malaccensis 3. Dialium sp. 16. Artocarpus sp. 4. Diospyros densa 17. Aglaia sp. 5. Ervatamia macrocarpa 18. Gluta wallichii 6. Eugenia sp. 19. Hydnocarpus sumatranus 7. Euphoria sp. 20. Kayu pagar 8. Garcinia diocia 21. Neonauclea sp. 9. Litsea sp. 22. Palaquium sp. 10. Lophopetalum sp. 23. Pometia pinnata 11. Mallotus echinatus 24. Shorea parvifolia 12. Polyalthia sp. 25. Jenis lain (?) 13. Shorea parvistipulata Sumber: diolah dari data primer
Lampiran 4. Nama jenis Permudaan Tingkat Pohon yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 5 tahun (R5) Appendix 4. The name of tree species inside 5 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Shorea johorensis 3. Shorea parvistipulata 2. Shorea parvifolia 4. Vitex pubescens Sumber: diolah dari data primer
Lampiran 5. Nama Jenis Permudaan Tingkat Pancang yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 5 tahun (R5) Appendix 5. The name of saplings species inside 5 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Aglaia sp. 20. Macaranga sp. 2. Aglaia tomentosa 21. Mallotus sp. 3. Alangium javanicum 22. Myristica argentea 4. Alseodaphne sp. 23. Neonauclea sp. 5. Aporusa sp. 24. Nephelium mutabile 6. Ardisia sp. 25. Palaquium sp. 7. Dacryodes rostrata 26. Pengkunih 8. Diospyros densa 27. Polyalthia celebica 9. Eugenia sp. 28. Polyalthea sp. 10. Eusideroxylon zwageri 29. Quercus sp.
71
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74
Nomor (Number) 1 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Jenis Permudaan (Species) 2
Ficus sp. Gambir Gardenia anisophylla Gironniera subaequalis Gluta wallichii Hydnocarpus sumatranus Hydnocarpus polypetalus Macaranga hypoleuca Macaranga triloba
Nomor (Number) 1 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
Jenis Permudaan (Species) 2 Shorea parvifolia Shorea parvistipulata Sauria sp. Strombosia javanica Terminalia foetidissima Tricalysia sp. Upas tadung Vitex pubescens
Sumber: diolah dari data primer
Lampiran 6. Nama Jenis Permudaan Tingkat Semai yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 5 tahun (R5) Appendix 6. The name of seedlings species insiode 5 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Aglaia dookoo 20. Hydnocarpus polypetalus 2. Alangium javanicum 21. Ixora sp. 3. Alseodaphne sp. 22. Litsea sp. 4. Ardisia sp. 23. Mallotus sp. 5. Belayang merah (?) 24. Mardupa (?) 6. Dialium sp. 25. Polyalthia celebica 7. Diospyros densa 26. Shorea parvistipulata 8. Eusideroxylon zwageri 27. Siah-siah (?) 9. Ficus sp. 28. Siah-siah (berdaun lebar) Sumber: diolah dari data primer
Lampiran 7. Nama Jenis Permudaan Tingkat Pancang yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 3 tahun (R3) Appendix 7. The name of sapling species inside 3 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Artocarpus elasticus 20. Hopea sangal 2. Artocarpus sp. 21. Hydnocarpus polypetalus 3. Basung paradah 22. Ketuyung (?) 4. Beilschmiedia sp. 23. Litsea roxburghii 5. Bridelia sp. 24. Litsea sp. 6. Cratozylum sp. 25. Lophopetalum sp. 7. Croton argyratus 26. Macaranga hypoleuca 8. Dillenia axcelsa 27. Mallotus echinatus 9. Diospyros curraniopsis 28. Memecylon sp. 10. Dipterocarpus sp. 29. Myristica sp. 11. Duabanga moluccana 30. Neonauclea calycina 12. Durio acutifoilus 31. Podadenia sp. 13. Eugenia sp. 32. Polyalthia celebica 14. Eusideroxylon zwageri 33. Pouteria declutan
72
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada Rumpang ... (Sudin Panjaitan)
15. 16. 17. 18. 19.
Ficus sp. Flacourtia sp. Geunsia pentandra Gironniera subaequalis Gluta wallichii
Sumber: diolah dari data primer
34. 35. 36. 37. 38.
Ptenandra coerulescens Shorea johorensis Shorea parvifolia Shorea parvistipulata Tapin (?)
Lampiran 8. Nama Jenis Permudaan Tingkat Semai yang ditemui pada Plot Penelitian rumpang buatan umur 3 tahun (R3) Appendix 8. The name of seedling species inside 3 years gap Nomor Jenis Permudaan Nomor Jenis Permudaan (Number) (Species) (Number) (Species) 1 2 1 2 1. Diospyros densa 6. Kayu pagar (?) 2. Eugenia sp. 7. Palaquium sp. 3. Hopea sangal 8. Polyalthia celebica 4. Hydnocarpus 9. Strombosia javanica 5. Ixora sp. Sumber: diolah dari data primer
73
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 63-74
74
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 75-84 ISSN: 1978-8746
BIAYA INVESTASI LANGSUNG PENGELOLAAN HUTAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) OLEH PT INTRACAWOOD MANUFACTURING DI KALIMANTAN TIMUR Direct Invesment Costs of Forest Management with Silviculture Sistem of Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)/Selective Cutting and Line Planting by PT Intracawood Manufacturing in East Kalimantan . Catur Budi Wiati1) dan Karmilasanti1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email :
[email protected] Diterima 06 Maret 2013, direvisi 25 September 2013, disetujui 12 Nopember 2013
ABSTRACT Implementation of Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)/Selective Cutting and Line Planting silviculture sistem is expected to address the problems of the progressively decreasing of forest productivity in Indonesia. On the other hand, high expenses for implementating this silvikultur sistem as well require high commitment from the company, considering that there is no certainty about the amount of profit got from implement the TPTJ sistem. Therefore, research which aims to give information about direct invesment cost in the management of forest with silviculture sistem of TPTJ at PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) becomes important. This research which was conducted by the authors between June – July 2012 at PT IWM indicates that the direct invesment cost in TPTJ activities at PT IWM in RKT 2011, not including the cost for the company labours controlling these activities, reached Rp 6.591.270 per Ha. Keywords: direct invesment costs, Tebang Pilih Tanam Jalur/TPTJ silviculture sistem, PT Intracawood Manufacturing (PT IWM)
ABSTRAK Pelaksanaan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) diharapkan dapat menjawab permasalahan menurunnya produktivitas hutan di Indonesia. Di sisi lain, besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan sistem silvikultur ini membutuhkan komitmen yang tinggi dari perusahaan, mengingat belum adanya kepastian besarnya keuntungan perusahaan jika melaksanakan TPTJ. Oleh karena itu, penelitian yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang biaya investasi langsung yang dilakukan PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) dalam pengelolaan hutan dengan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) menjadi penting dilakukan. Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis sekitar bulan Juni - Juli 2012 di PT IWM menunjukkan bahwa biaya investasi langsung dalam kegiatan TPTJ di PT IWM pada RKT 2011, tidak termasuk biaya tenaga kerja karyawan perusahaan yang melakukan pengawasan kegiatan ini, mencapai Rp 6.591.270 per Ha. Kata kunci: biaya investasi langsung, Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), PT Intracawood Manufacturing (PT IWM)
I.
PENDAHULUAN
Kebutuhan kayu yang semakin meningkat yang melampaui kemampuan hutan untuk memulihkan diri sendiri menjadi alasan utama pentingnya sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) diterapkan di Indonesia. TPTJ merupakan salah satu dari beberapa
sistem silvikultur yang saat ini digunakan dalam pengelolaan hutan alam tropis di Indonesia. TPTJ yang merupakan penyempurnaan dari Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), adalah sistem silvikultur yang mengharuskan adanya perlakuan tanam pengkayaan pada areal hutan
75
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 75-84
pasca penebangan secara jalur, yaitu 20 meter jalur antara dan 3 meter jalur tanaman. Soekotjo (2009) menyebutkan bahwa tujuan dari sistem silvikultur ini adalah untuk menormalkan kembali stok tegakan (standing stock) hutan dan bahkan dapat meningkatkan stok tegakan dari rotasi sebelumnya ke rotasi berikutnya serta untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk melalui sistem pemuliaan pohon, akselerasi pertumbuhan dan pengendalian terpadu. Meskipun mendapat dukungan dari Kementerian Kehutanan melalui Keputusan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) No. SK. 226/VI-BPHA/2005 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (Silvikultur Intensif) dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.11/Menhut-II/2009 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Produksi, serta Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI-BPHA/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), namun pelaksanaannya di beberapa perusahaan kayu baik yang terpilih menjadi IUPHHK model maupun beberapa perusahaan kayu lain yang kemudian mengikuti, masih menemui banyak tantangan. Salah satu tantangan tersebut adalah besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan sistem silvikultur ini yang membutuhkan komitmen yang tinggi dari perusahaan kayu, mengingat belum adanya kepastian besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika perusahaan kayu melaksanakan TPTJ. Pelaksanaan sistem silviklutur TPTJ mengacu pada 3 (tiga) prinsip yaitu penyediaan bibit unggul, manipulasi lingkungan, serta pengendalian hama terpadu. Tiga prinsip tersebut yang membuat perusahaan kayu yang melaksanakan sistem silvikultur TPTJ harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar dibanding dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya biaya investasi langsung yang terkait dengan kegiatan pembinaan hutan. Besarnya biaya yang dibutuhkan perusahaan yang melaksanakan sistem
76
silvikultur TPTJ menjadi penyebab banyak perusahaan kayu tidak tertarik untuk melaksanakan sistem silvikultur TPTJ (Republika, 2012). Terkait hal tersebut penelitian mengenai analisis biaya investasi langsung dalam kegiatan TPTJ menjadi penting untuk dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang biaya investasi langsung yang dikeluarkan PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) dalam pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). II. METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilakukan Juni – Juli 2012 di PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan. Pengumpulan data mengenai pembiayaan kegiatan dalam pengelolaan TPTJ dilakukan melalui observasi dan wawancara langsung dengan beberapa karyawan dari PT Intracawood Manufacturing (PT IWM) serta desk study dari beberapa dokumen yang dimiliki perusahaan. Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa langkah : 1. Langkah pertama adalah identifikasi datadata input dalam satuan fisiknya yang meliputi bahan, peralatan, biaya tenaga kerja beserta sarana-sarana penunjang lainnya. 2. Langkah kedua adalah mencari harga per satuan dari data input yang diperoleh. 3. Langkah selanjutnya adalah mencari nilai biaya yang diperoleh dari hasil perkalian antara satuan fisik dari data input dengan harga per satuannya. 4. Langkah terakhir adalah mencari nilai biaya dalam satuan luas yang sama yaitu per ha. Penelitian ini hanya melakukan perhitungan biaya investasi langsung yang dikeluarkan perusahaan, yaitu biaya yang terkait dengan kegiatan pembinaan hutan. Hal tersebut sesuai yang disampaikan Warsito, (1993) yang menyebutkan bahwa biaya investasi langsung adalah biaya yang diperoleh
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada ... (Catur Budi Wiati dan Karmilasanti)
dari kegiatan pembangunan hutan tanaman yang langsung berhubungan dengan kegiatan penanaman. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan pembinaan hutan dalam penelitian ini adalah kegiatan pengadaan bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan. Karena itu analisa data biaya investasi langsung dalam penelitian ini dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya yang dibutuhkan pada masingmasing kegiatan pembinaan dalam satuan luas yang sama. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum mengenai PT Intracawood Manufacturing PT IWM merupakan perusahaan patungan antara PT Inhutani I, PT Barca Indonesia dan PT Altrak 78 dan telah beroperasi sejak tahun 1990, melanjutkan pengelolaan PT Inhutani I yang saat itu sudah memasuki RKL III tahun ke-4 seluas 25.000 ha. Namun sesuai SK Menhut No. 335/Menhut-II/2004 tanggal 31 Agustus 2004, areal konsesi PT IWM telah mengalami perubahan menjadi 195.110 ha. PT IWM mulai melaksanakan kegiatan TPTJ sejak tahun 2008. Produksi kayu dari IUPHHK PT IWM sejak tahun 2006 ditujukan untuk memasok bahan baku kebutuhan industri kayu sendiri berupa Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) yang membutuhkan bahan baku log rata-rata 300.000 m3 per tahun. IPKH PT IWM yang terletak di Tarakan, memproduksi plywood dengan kapasitas produksi sebesar 91.000 m3 per tahun, blackboard 36.000 m3 per tahun dan sawmill sebesar 62.000 m3 per tahun. Produk dari IPKH tersebut 90% dipasarkan di luar negeri dengan tujuan ekspor utama Jepang, Korea dan Amerika Serikat, sedangkan sisanya sebesar 10% dijual di pasaran dalam negeri serta untuk memenuhi kebutuhan lokal terutama untuk jenis sawn timber. Rata-rata produksi kayu bulat IUPHHK PT IWM yang dipasok ke industri selama 1990 2004 adalah sekitar 99.489 m3 per tahun, sedangkan produksi tahun 2005 - 2007 mencapai 147.960 m3 per tahun. Kekurangan
bahan baku IPKH di Tarakan sendiri dipasok dari hasil Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Intraca Hutani Lestari. B. Pelaksanaan TPTJ dan Pelibatan Masyarakat Lokal di PT Intracawood Manufacturing Luasan areal yang dipersiapkan PT IWM untuk TPTJ sekitar 25.350 ha. Kawasan ini terletak di sebelah timur bagian selatan dalam areal PT IWM, masuk dalam kawasan DAS Jelai dan DAS Bengara dan berbatasan dengan PT Inhutani I Pimping di bagian selatan, PT Adindo Hutani Lestari di bagian timur dan di sebelah barat laut areal TPTI PT IWM. Kegiatan TPTJ sendiri baru dilakukan PT IWM mulai dari RKT 2008 seluas 654 ha, RKT 2009 seluas 768 ha, RKT 2010 seluas 643 ha, RKT 2011 seluas 829 ha dan RKT 2012 seluas 949 ha. Ada 9 (sembilan) jenis bibit meranti yang ditanam di areal TPTJ PT IWM yaitu Shorea parvifolia, Shorea leprosula, Shorea johorensis, Shorea macrophylla, Shorea dasipylla, Shorea seminis, Shorea parvistipulata, Dryobalanops dan Shorea spp. Dari jenis-jenis tersebut yang paling banyak ditanam adalah Shorea leprosula dan Shorea dasipylla, dimana sebagian besar bibit diperoleh dari cabutan. Kondisi tersebut selain dikarenakan kebutuhan bibit yang besar untuk penanaman TPTJ juga dikarenakan PT IWM kesulitan mendapatkan biji. Dari sekitar 40 (empat puluh) desa baik yang berada di dalam maupun di sekitar areal kerja PT IWM, saat ini terdapat 2 (dua) desa yang terlibat secara langsung dalam kegiatan TPTJ yaitu Desa Tenggiling dan Desa Terindak. Pelibatan secara langsung tersebut dikarenakan areal kerja pelaksanaan TPTJ di PT IWM dilaksanakan di wilayah adat Desa Tenggiling (RKT, 2008, 2009, 2010 dan 2011) serta Desa Terindak (RKT 2012). Hal tersebut dikarenakan selain mendapatkan fee dari produksi kayu bulat yang diperoleh perusahaan, masyarakat di kedua desa juga lebih diutamakan dalam hal perekrutan tenaga kerja baik sebagai karyawan (bulanan),
77
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 75-84
Tenaga Harian Lepas (THL) maupun tenaga Perjanjian Kontrak Waktu Terbatas (PKWT). Wiati dan Karmilasanti (2013) menyebutkan bahwa dari 301 – 395 orang total tenaga kerja yang digunakan PT IWM per RKT dalam kegiatan TPTJ pada RKT 2008 – RKT 2011, sekitar 63 – 67% berasal dari masyarakat lokal. Dari jumlah tersebut sekitar 36 – 38% atau sekitar 109 – 152 orang bekerja sebagai pemborong khususnya dalam kegiatan rintis manual, tebang semi mekanis, penanaman maupun pemeliharaan. Penghasilan yang dapat diperoleh masyarakat dari kegiatan tersebut adalah sebesar Rp 1.100.000,- per hektar untuk rintis manual, Rp 2.400.000,- per hektar untuk tebang semi mekanis, Rp 1.775,- per bibit untuk penanaman dan Rp 1.050,- per bibit untuk pemeliharaan. C. Komponen Biaya Pembinaan Hutan dalam Kegiatan TPTJ di PT Intracawood Manufacturing Sesungguhnya penting untuk mengetahui besarnya biaya yang perlu dikeluarkan suatu perusahaan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan melalui sistem silvikultur TPTJ. Namun terkait dengan rahasia perusahaan, maka data-data internal untuk mengetahui biaya tetap seperti bangunan, sarana kantor, mobil, dan lain-lain serta biaya operasional seperti gaji, biaya pajak, biaya pendidikan dan pelatihan (diklat) serta biaya lainnya seringkali sulit untuk diperoleh. Oleh karena itu untuk mengetahui besarnya biaya pelaksanaan TPTJ maka penelitian ini hanya melakukan perhitungan biaya investasi langsung yang dikeluarkan perusahaan, yaitu biaya yang terkait dengan kegiatan pembinaan hutan. 1.
Biaya Pengadaan Bibit PT IWM mempunyai lokasi persemaian di Sei Lian Km 14 seluas 1,5 ha dengan kapasitas sebanyak 200.000 bibit. Pengadaan materi cabutan dan media top soil diperoleh PT IWM dari wilayah sekitar persemaian. Pengadaan bibit di persemaian ini ditujukan untuk mencukupi kebutuhan bibit kegiatan TPTJ sekitar 80% dan sisanya 20% untuk
78
kegiatan TPTI. Jumlah bibit yang dihasilkan dari persemaian PT IWM pada tahun 2011 adalah 236,432 bibit dengan jumlah HOK yang digunakan sebanyak 9.888 HOK (Hari Orang Kerja). THL yang bekerja untuk kegiatan pengadaan bibit di PT IWM adalah sekitar 40 – 50 orang per hari tergantung volume pekerjaaan dan ketersediaan tenaga kerja, dengan upah harian sebesar Rp 42.992,per hari. Komponen biaya pengadaan bibit pada penelitian ini juga hanya memperhitungkan pada kegiatan tahun 2011. Perhitungan biaya hanya berasal dari komponen cabutan, dikarenakan bibit yang dipergunakan PT IWM dalam kegiatan TPTJ pada tahun 2011 seluruhnya berasal dari bibit cabutan. Komponen biaya yang diperhitungkan meliputi bahan, peralatan, tenaga kerja dan biaya pencarian dan pengangkutan bibit dari lokasi pengambilan cabutan ke lokasi persemaian. Biaya tenaga kerja yang diperhitungkan juga hanya untuk Tenaga Harian Lepas (THL), sedangkan untuk karyawan perusahaan yang bekerja sebagai pengawas tidak diperhitungkan. Pekerjaan yang dilakukan THL meliputi kegiatan pencarian dan pencabutan bibit cabutan, pengadaan dan pengangkutan media bibit, pengisian kantong polybag dengan media, pemindahan bibit ke media dan pemeliharaan selama di persemaian. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa total biaya pengadaan bibit meranti dari cabutan pada tahun 2011 di PT IWM adalah sebesar Rp. 3.529,- per bibit. Jika penanaman pada RKT 2011 seluas 829 ha memerlukan bibit sebanyak 150.878 bibit dengan penyulaman sebanyak 20% maka biaya pengadaan bibit pada RKT 2011 sekitar Rp 638.938,- per ha. 2.
Biaya Penyiapan Lahan Kegiatan penyiapan lahan dalam kegiatan TPTJ di PT IWM terdiri atas 2 (dua) kegiatan yaitu pembuatan dan pengukuran jalur tanam serta rintis manual dan tebang semi mekanis.
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada ... (Catur Budi Wiati dan Karmilasanti)
Kegiatan pembuatan dan pengukuran jalur tanam di PT IWM adalah pembuatan dan penandaan jalur tanam serta penandaan pohon diameter ≥ 40 cm yang akan ditebang dalam kegiatan tebang naungan. Kegiatan rintis manual adalah pembukaan dan pembersihan jalur tanam dari semak dan pohon-pohon berukuran kecil dengan mengunakan parang. Sedangkan kegiatan tebang semi mekanis adalah pembersihan pohon-pohon yang berukuran besar dengan menggunakan alat chainsaw. Pelaksanaan kegiatan pembuatan dan pengukuran jalur tanam hanya dilakukan oleh THL dan tenaga kerja Perjanjian Kerja Waktu Terbatas (PKWT). Dalam kegiatan rintis manual dan tebang semi mekanis selain menggunakan THL dan PKWT juga menggunakan tenaga kerja borongan dengan upah sebesar Rp 1.100.000,- per ha untuk kegiatan rintis manual dan Rp 2.400.000,- per ha untuk kegiatan tebang semi mekanis. Dalam perhitungan ini, komponen biaya kegiatan penyiapan lahan di PT IWM hanya meliputi bahan dan peralatan khususnya bagi karyawan dan THL, serta biaya tenaga kerja. Biaya tenaga kerja yang diperhitungkan hanya untuk THL, PKWT dan tenaga borongan, sedangkan karyawan perusahaan yang bekerja sebagai pengawas yaitu tenaga kerja bulanan, foreman dan supervisor tidak diperhitungkan. Upah harian untuk THL dalam kegiatan penyiapan lahan sedikit lebih besar dari kegiatan pengadaan bibit yaitu sebesar Rp 43.992,- per hari. Luasan total areal yang dikerjakan PT IWM dalam kegiatan pembuatan dan pengukuran jalur tanam pada RKT 2011 adalah seluas 829 ha, sedangkan luas total jalur tanam dalam kegiatan rintis manual dan tebang semi mekanis pada RKT tersebut adalah sekitar 123,20 ha. Jumlah bibit yang berhasil ditanam pada areal tersebut sebanyak 150.878 bibit. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa biaya penyiapan lahan dalam kegiatan TPTJ di PT IWM untuk RKT 2011 adalah sebesar Rp 2.196.853,- per ha atau Rp 12.189,- per bibit, dengan rincian biaya pembuatan dan
pengukuran jalur tanam sebesar Rp 1.430.391,- per ha, biaya rintis manual dan tebang semi mekanis sebesar Rp 766.462,-. Khusus untuk biaya rintis manual dan tebang semi mekanis dalam jalur tanam adalah sebesar Rp. 5.159.878,- per ha. 3.
Biaya Penanaman Kegiatan penanaman dalam pelaksanaan TPTJ di PT IWM meliputi kegiatan pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam ukuran 40 x 40 x 30 cm, pengangkutan bibit dari pinggir jalan ke lubang tanam, pengisian top soil ke lubang tanam, pemberian pupuk NPK 16 sekitar 40 – 50 gram per lubang tanam dan penutupan lubang tanam. Pelaksanaan kegiatan penanaman dilakukan oleh tenaga kerja borongan, sedangkan tenaga PKWT hanya bertugas membantu tenaga kerja bulanan melakukan pengawasan di lapangan atau saat pengecekan hasil pelaksanaan. Upah penanaman diberikan sebesar Rp 1.775,- per bibit. Seperti halnya kegiatan lain, komponen biaya yang diperhitungkan dalam kegiatan penanaman di PT IWM dalam penelitian ini hanya meliputi bahan, peralatan dan tenaga kerja. Luasan areal kegiatan penanaman dalam kegiatan TPTJ di PT IWM pada RKT 2011 adalah 829 ha dengan jumlah bibit yang berhasil ditanam sebanyak 150.878 bibit (22.120 bibit pada tahun 2011 dan sisanya baru dikerjakan pada tahun 2012). Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa biaya penanaman dalam kegiatan TPTJ di PT IWM pada RKT 2011 adalah sebesar Rp 2.624,- per bibit atau Rp. 477.658,- per ha.
4.
Biaya Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan dalam kegiatan TPTJ di PT IWM dilakukan dalam 5 (lima) tahapan yaitu: (1) Pemeliharaan tahap I (bulan ke-4, bulan ke-8 dan bulan ke-12); (2) Pemeliharaan tahap II (bulan ke-18 dan bulan ke-24); (3) Pemeliharaan tahap III (bulan ke36); (4) Pemeliharaan tahap IV (bulan ke-48); dan (5) Pemeliharaan tahap V (bulan ke-60). Pemeliharaan tahap I bulan ke-4 meliputi kegiatan pendangiran, pemupukan sekitar 75 gram per bibit dan penyulaman. Pemeliharaan tahap II bulan ke-18 merupakan kegiatan
79
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 75-84
pembersihan horizontal, sedangkan pemeliharaan tahap II bulan ke-24 sampai dengan pemeliharaan tahap V merupakan pembersihan vertikal melalui peneresan pohon-pohon penaung. Seperti halnya kegiatan lain, komponen biaya yang diperhitungkan dalam kegiatan penanaman di PT IWM hanya meliputi bahan, peralatan dan tenaga kerja. Luas areal pemeliharaan pada RKT 2011 adalah 829 ha dengan jumlah tanaman yang dipelihara sebanyak 150.878 bibit. Dari jumlah tersebut, kematian bibit setelah penanaman di lapangan rata-rata mencapai 15 - 20%. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa biaya pemeliharaan dalam kegiatan TPTJ tanpa kegiatan penyulaman di PT IWM per satu kali kegiatan adalah sebesar Rp 2.092,per bibit atau Rp 380.870,- per ha. Nilai tersebut belum dapat menggambarkan total biaya pemeliharaan yang harus dikeluarkan PT IWM, karena pemeliharaan baru dilakukan 1 (satu) kali dari 8 (delapan) kali yang direncanakan sampai dengan tanaman berumur 5 tahun (bulan ke-60). Sehingga jika diasumsikan harga-harga bahan, peralatan maupun tenaga kerja tidak mengalami perubahan sepanjang waktu tersebut maka total biaya pemeliharaan tanpa kegiatan penyulaman dalam pelaksanaan TPTJ di PT IWM pada RKT 2011 adalah sebesar Rp 16.736,- per bibit atau Rp 3.046.966,- per ha. Jika diperhitungkan kematian bibit di lapangan mencapai 20%, sehingga jumlah bibit tambahan yang diperlukan dalam kegiatan penyulaman pada RKT 2011 adalah 30.176 bibit dengan biaya penyulaman sebesar Rp 1.775,- per bibit, maka total biaya pemeliharaan dalam kegiatan TPTJ di PT
IWM pada RKT 2011 termasuk biaya penyulaman adalah sebesar Rp 17.096,- per bibit atau Rp 3.111.577,- per ha. Dari hasil perhitungan biaya masingmasing komponen kegiatan dalam pembinaan hutan dapat diperoleh informasi bahwa total biaya investasi langsung dalam kegiatan TPTJ yang dilakukan PT IWM tanpa memperhitungkan biaya investasi tetap dan biaya operasional adalah sebesar Rp 35.868,per bibit atau Rp 6.432.026,- per ha. Nilai tersebut tidak termasuk biaya tenaga kerja karyawan perusahaan yang melakukan pengawasan kegiatan. Hasil perhitungan dari penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian dari Yuniati dan Lydia (2009) yang menyebutkan bahwa biaya investasi langsung pada kegiatan Silvikultur Intensif (SILIN) dari hasil cabutan di PT Balikpapan Forest Industries (BFI) mencapai Rp 7.311.005,- per ha. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan angka tersebut belum memperhitungkan kenaikan harga pembelian bahan dan peralatan (inflasi) serta kenaikan biaya tenaga kerja. Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja dengan sistem borongan yang dilakukan PT IWM dapat menekan pengeluaran biaya khususnya pada kegiatan penyiapan lahan dan pemeliharaan, dibandingkan PT BFI yang sepenuhnya menggunakan THL sebagai tenaga kerja. Terlebih dalam penelitian ini kegiatan pemeliharaan memperhitungkan 8 (delapan) kali kegiatan sampai tahun ke-5, sedangkan Yuniati dan Lydia (2009) hanya memperhitungkan biaya kegiatan pemeliharaan sampai tahun ke-2.
Tabel 1. Total Biaya Investasi Langsung untuk Kegiatan TPTJ pada RKT 2011 di PT IWM Table 1. Total of Direct Invesment Expense for TPTJ in RKT 2011 at PT IWM Nomor (Number) 1. 2. 3. 4.
Komponen Kegiatan (Component of Activities ) Biaya pengadaan bibit Biaya penyiapan lahan Biaya penanaman Biaya pemeliharaan 8 kali (termasuk penyulaman)
TOTAL Sumber: diolah dari data primer
80
Biaya dalam Rp/bibit (Expense in IDR/seed) 3.529 12.189 2.624 17.096
Biaya dalam Rp/ha (Expense in IDR/ha) 638.938 2.196.853 477.658 3.111.577
35.438
6.425.026
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada ... (Catur Budi Wiati dan Karmilasanti)
Tabel 2. Perbandingan Biaya Investasi Langsung untuk Kegiatan SILIN di PT BFI dan TPTJ di PT IWM Table 2. Comparison Between Direct Invesment Expense for SILIN at PT BFI and for TPTJ at PT IWM Nomor (Number) 1 2 4 5
TOTAL
Uraian (Description)
Biaya pengadaan bibit Biaya penyiapan lahan Biaya penanaman Biaya pemeliharaan a. Tahun berjalan b. Tahun pertama c. Tahun kedua
Biaya dalam Rp/ha (Expense in IDR/ha) PT BFI PT IWM 229.525 638.938 2.526.992 2.196.853 228.480 477.658 3.111.577 1.469.296 1.440.136 1.416.576 7.311.005 6.425.026
Sumber: Yuniati dan Lydia, Info Teknis Dipterokarpa Vol. 3 No. 1, Juni 2009 dan data primer
Dari hasil perbandingan juga dapat diketahui bahwa PT IWM mengeluarkan biaya pengadaan bibit yang jauh lebih besar dibandingkan PT BFI. Hal tersebut dikarenakan PT IWM harus mengeluarkan biaya pencarian dan pengangkutan bibit yang cukup besar yaitu Rp 1.500,- per bibit. Sedangkan biaya pengadaan bibit cabutan untuk kegiatan SILIN di PT BFI hanya sebesar Rp 1.147,63,- per bibit atau Rp 229.525,03,- per ha, sudah termasuk biaya pencarian anakan alam dan pemotongan daun yang hanya sebesar Rp 87.50,- per bibit. Sedangkan Wahyuni dan Yuni (2011) yang melakukan penelitian di PT Adimitra Lestari di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur dan PT Suka Jaya Makmur di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat menyebutkan bahwa biaya pengadaan bibit untuk kegiatan TPTI adalah sebesar Rp 2.468,- per bibit, dimana biaya pengadaan materi bibit (pencarian anakan alam) untuk masing-masing perusahaan tersebut adalah Rp 46.3,- per bibit dan Rp 609,- per bibit. Dengan kata lain, jika PT IWM dapat menekan biaya pencarian dan pengangkutan bibit, maka hal tersebut dapat memperkecil biaya pengadaan bibit.
perusahaan yang melakukan pengawasan kegiatan, mencapai Rp 6.425.026,- per ha.
IV. KESIMPULAN
PT IWM. 2011. Revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Periode Tahun 2008 s/d 2017.
Biaya investasi langsung dalam kegiatan TPTJ di PT IWM pada RKT 2011, tidak termasuk biaya tenaga kerja karyawan
DAFTAR PUSTAKA Keputusan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK) No. SK. 226/VI-BPHA/2005 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (Silvikultur Intensif). Bina Produksi Kehutanan. Jakarta. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.11/Menhut-II/2009 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Produksi. Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan. Jakarta. Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI-BPHA/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Bina Produksi Kehutanan. Jakarta. Perdes Tenggiling No. 2 Tahun 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Tahun Anggaran 2010 – 2015. Desa Tenggiling, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur. Perdes Terindak No. 2 Tahun 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Tahun Anggaran 2010 – 2015. Desa Terindak, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur.
81
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 75-84
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. TNC - PT IWM. 2011. Laporan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi di Areal PT Intracawood Manufacturing (draft). Wahyuni, Tien dan S. Yuni Indriyanti. 2012. Pengelolaan Persemaian dan Perhitungan Biaya Pengadaan Bibit dan Penanaman Jenis-Jenis Dipterokarpa. Makalah Utama dalam Ekspose Hasil Penelitian: Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Produksi Tinjauan Aspek Teknis Silvikultur, SosialEkonomi, Ekologi dan Kebijakan tanggal 23 Nopember 2012. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Warsito, Sofyan P. 1993. Pengantar Ekonomi Kehutanan. Bahan Kuliah Ekonomi Kehutanan.
82
Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Wiati, C.B. dan Karmilasanti. 2013. Penyerapan Tenaga Kerja Lokal dalam Pengelolaan Hutan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di PT Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur di Makasar tanggal 29 Agustus 2013. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanudin. Makasar. Yuniati, Dhany dan Lydia Suastati. 2009. Biaya Investasi Langsung, Prestasi Kerja dan Penyerapan Tenaga Kerja Langsung pada Kegiatan SILIN (Studi Kasus di PT Balikpapan Forest Industries). Info Teknis Dipterokarpa Vol. 3 No. 1, Juni 2009. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Pertumbuhan dan Komposisi Jenis Permudaan Alam pada ... (Catur Budi Wiati dan Karmilasanti)
Lampiran (Apendix).
Tabel 1. Biaya Pengadaan Bibit di Areal RKT 2011 dalam Rupiah Table 1. The Expenses for Seed Providing in RKT 2011 in IDR Nomor (Number) 1.
Uraian Volume (Description) (Volume) Bahan Polybag 1.500 2. Peralatan Cangkul 8 Sekop 8 Parang panjang 8 Sandak 2 Ayakan 2 Sprayer 6 3. Honor tenaga kerja THL 9.888 4. Biaya pencarian dan pengangkutan bibit 236.432 T O T A L (Rp) Biaya pengadaan bibit (Rp/bibit) Biaya pengadaan bibit untuk TPTJ (Rp/ha)
Satuan (Unit)
Harga/ Satuan (Cost/Unit)
Jumlah Harga (Amount of Cost)
Kg
35.000
52.500.000
Buah Buah Buah Buah Buah Buah
50.000 60.000 60.000 45.000 100.000 100.000
400.000 480.000 480.000 90.000 200.000 600.000
HOK
42.992
425.104.896
Bibit
1.500
354.648.000 834.502.896 3.529 638.938
Sumber: diolah dari data primer
Tabel 2. Biaya Pembuatan dan Pengukuran Jalur Tanam di RKT 2011 dalam Rupiah Table 2. The Expenses for Making and Measuring of Lane Planting in RKT 2011in IDR Nomor Uraian Volume (Number) (Description) (Volume) 1. Bahan Cat 350 2. Peralatan Kompas 4 Clinometer 4 Kalkulator 4 Komputer 1 Alat tulis 10 Parang panjang 30 3. Honor tenaga kontrak THL 14.465 PKWT/Kontrak 432 T O T A L (Rp) Biaya pembuatan dan pengukuran jalur tanam (Rp/ha) Biaya pembuatan dan pengukuran jalur tanam (Rp/bibit)
Satuan (Unit)
Harga/ Satuan (Cost/Unit)
Jumlah Harga (Amount of Cost)
Kaleng
35.000
12.250.000
Buah Buah Buah Buah Buah Buah
1.000.000 1.500.000 500.000 4.500.000 50.000 60.000
4.000.000 6.000.000 2.000.000 4.500.000 500.000 1.800.000
HOK Paket
43.992 1.200.000
636.344.280 518.400.000 1.185.794.280 1.430.391 7.859
Sumber: diolah dari data primer
Tabel 3. Biaya Rintis Manual dan Tebang Semi Mekanis di RKT 2011 dalam Rupiah Table 3. The Expenses for Manual and Mechanical Cutting in RKT 2011 in IDR Nomor Uraian (Number) (Description) 1. Peralatan Parang Kalkulator Chainsaw Komputer Alat tulis
Volume (Volume)
15 4 2 1 10
Satuan (Unit)
Buah Buah Buah Buah Buah
Harga/ Satuan (Cost/Unit)
60.000 500.000 6.000.000 4.500.000 50.000
Jumlah Harga (Amount of Cost) 900.000 2.000.000 12.000.000 4.500.000 500.000
83
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 75-84
Nomor Uraian Volume Satuan Harga/ Satuan (Number) (Description) (Volume) (Unit) (Cost/Unit) 2. Honor Tenaga Kerja Borongan 123.2 Ha 3.500.000 THL 2.880 HOK 43.992 PKWT 48 Paket 1.200.000 T O T A L (Rp) Biaya rintis manual dan tebang semi mekanis khusus dalam jalur tanam (Rp/ha) Biaya rintis manual dan tebang semi mekanis untuk seluruh luas RKT 2011 (Rp/ha) Biaya rintis manual dan tebang semi mekanis untuk seluruh luas RKT 2011 (Rp/bibit)
Sumber: diolah dari data primer
Tabel 4. Biaya Penanaman di RKT 2011 dalam Rupiah Table 4. The Expenses for Planting in RKT 2011 in IDR Nomor Uraian (Number) (Description) 1. Bahan Pupuk NPK 16 2. Peralatan Cangkul Sandak Parang 3. Honor tenaga kerja Borongan PKWT TOTAL Biaya penanaman (Rp/bibit) Biaya penanaman (Rp/ha)
Volume (Volume)
Satuan (Unit)
Harga/ Satuan (Cost/Unit)
766.462 4.211
Jumlah Harga (Amount of Cost)
Kg
15.000
11.250.000
14 12 8
Buah Buah Buah
50.000 45.000 60.000
700.000 540.000 480.000
150.878 96
Bibit Paket
1.775 1.200.000
267.808.450 115.200.000 395.978.450 2.624 477.658
Tabel 5. Biaya Pemeliharaan di RKT 2011 dalam Rupiah Table 5. The Expense for Plant Maintanance in RKT 2011 in IDR Nomor Uraian Volume Satuan (Number) (Description) (Volume) (Unit) 1. Bahan Round up 450 Botol Pupuk NPK 16 800 Kg 2. Peralatan Cangkul 6 Buah Sandak 2 Buah Parang 8 Buah 3. Honor tenaga kerja Borongan 150.878 Bibit PKWT 96 Paket TOTAL Biaya pemeliharaan per kegiatan tanpa penyulaman (Rp/bibit) Biaya pemeliharaan per kegiatan tanpa penyulaman (Rp/ha) Total biaya pemeliharaan dengan penyulaman (Rp/bibit) Total biaya pemeliharaan dengan penyulaman (Rp/ha)
84
431.200.000 126.696.960 57.600.000 635.396.960 5.157.443
750
Sumber: diolah dari data primer
Sumber: diolah dari data primer
Jumlah Harga (Amount of Cost)
Harga/ Satuan (Cost/Unit)
Jumlah Harga (Amount of Cost)
65.000 15.000
29.250.000 12.000.000
50,000 45.000 60.000
300,000 90.000 480.000
1.050 1.200.000
158.421.900 115.200.000 315.741.900 2.092 380.870 17.096 3.111.577
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 85-92 ISSN: 1978-8746
ASOSIASI DAN SEBARAN JENIS POHON PENGHASIL MINYAK KERUING DI PT. HUTAN SANGGAM LABANAN LESTARI, KALIMANTAN TIMUR Association and Distribution of Oil-Producing Keruing Tree Species In Hutan Sanggam Labanan Lestari Concession, East Kalimantan Amiril Saridan1) dan Massofian Noor1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email: amiril
[email protected] Diterima 29 Januari 2013, direvisi 07 Nopember 2013, disetujui 27 Nopember 2013
ABSTRACT Berau regency is part of Kalimantan has a high floristic composition, especially Dipterocarpaceae. They has relationships between individual and different species. The purpose of this study is to present information on the association and distribution trees species of keruing produces oil in PT.Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau regency. The methods used by the strip system length 1 km and a width 20 m each and total areas of 4 hectares. Observation was done to all of trees with diameter equal or larger than 10 cm. Results showed that one is oil-producing keruing i.e: Dipterocarpus palembanicus Sloot. Asociation species of tree species keruing pairs and the dominant species indicates that there are 9 pairs of positive associated type. In general keruing trees species growing by groups on a flat area and a small spreading area it was indicated that Keruing growing in the specific habitat which depend on its environmental condition. Keywords: Keruing, distribution, association, species
ABSTRAK Kabupaten Berau merupakan bagian dari Pulau Kalimantan yang memiliki komposisi floristik yang besar terutama Dipterocarpaceae dan jenis lainnya serta terdapat hubungan diantara individu dengan jenis lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai asosiasi dan sebaran jenis pohon penghasil minyak keruing diPT.Hutan Sanggam Labanan Lestari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan sistem jalur dengan panjang 1 km dan lebar kanan-kiri jalur masing-masing 20 m dan dibuat sebanyak 2 buah jalur dengan luas areal 4 hektar. Pengamatan dilakukan terhadap semua individu pohon yang berdiameter 10 cm dan ke atas. Hasil identifikasi jenis yang telah dilakukan terdapat 4 jenis keruing dan 1 diantaranya sebagai penghasil minyak keruing yaitu Dipterocarpus palembanicus Sloot. Dari perhitungan pasangan jenis pohon keruing dengan jenis dominan menunjukkan bahwa adanya 9 pasang jenis yang berasosiasi positif yang berarti akan menghasilkan hubungan yang positif terhadap pasangannya. Suatu jenis pohon akan hadir secara bersamaan dengan jenis pohon lainnya dan saling menguntungkan. Jika pasangan didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar akan ditemukan pasangan lain yang tumbuh di dekatnya. Secara umum pohon keruing tumbuh berkelompok pada daerah datar dan sebagian kecil tersebar, ini menunjukkan bahwa masing-masing jenis keruing memiliki tempat tumbuh yang spesifik yang sesuai dengan lingkungannya. Kata kunci: Keruing, sebaran, asosiasi, jenis
I.
PENDAHULUAN
Ekosistem hutan dataran rendah memiliki karakteristik unik yang membedakan dengan ekosistem lainnya yaitu tingginya kerapatan jenis pohon dan status konservasi jenisnya yang
hampir sebagian besar dikategorikan jarang secara lokal (Clark et al., 1999). Suatu ekosistem terbentuk oleh adanya kehadiran dan interaksi dari beberapa jenis pohon di dalamnya. Salah satu bentuk interaksi antar
85
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 85-92
jenis ini adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu tipe komunitas yang khas, ditemukan dengan kondisi yang sama dan berulang di beberapa lokasi. Asosiasi dicirikan dengan adanya komposisi floristik yang mirip, memiliki fisiognomi yang seragam dan sebarannya memiliki habitat yang khas (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Barbour et al., 1999). Asosiasi terbagi menjadi asosiasi positif dan asosiasi negatif. Asosiasi positif terjadi apabila suatu jenis pohon hadir secara bersamaan dengan jenis pohon lainnya dan tidak akan terbentuk tanpa adanya jenis pohon lain tersebut. Asosiasi negatif terjadi apabila suatu jenis pohon tidak hadir secara bersamaan (McNaughton dan Wolf, 1992). Jenis keruing dapat tumbuh di berbagai kelas kelerengan. Hal ini seperti yang dikemukakan Weidelt (1996) bahwa sebagian besar jenis-jenis dipterokarpa lebih menyukai tumbuh pada daerah dengan kelerengan yang sangat curam (upper slopes) dan perbukitan (ridges), menyesuaikan topografi dari wilayah hutan hujan Asia, Khususnya keruing. Dipterocarpus adalah salah satu marga penting Dipterocarpaceae yang dikenal sebagai penghasil kayu komersial dengan nama perdagangan keruing dan kayu yang dihasilkannya tergolong kayu keras-sedang yang cocok untuk kontruksi berat (Newman et al., 1999), sehingga disukai oleh pasaran kayu dunia. Beberapa studi melaporkan bahwa terdapat 69 jenis dari genus Dipterocarpus, 38 jenis tumbuh di hutan-hutan primer di Indonesia, namun hanya terdapat 20 species yang menghasilkan minyak keruing (Boer dan Ella, 2001). Minyak keruing dari beberapa jenis Dipterocarpus sudah sejak lama diperdagangkan karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, aromatik, pelapis tahan air dan tinta litografis (Yulita, 2002). Secara ekologis jenis Dipterocarpaceae mempunyai beberapa faktor pembatas untuk pertumbuhan dan penyebarannya. Faktor yang paling menentukan adalah faktor tanah, iklim dan ketinggian tempat (Purwaningsih, 2004). Untuk kehidupan jenis tersebut juga perlu adanya keterkaitan dengan jenis lainnya.
86
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai asosiasi dan sebaran jenis pohon penghasil keruing di kawasan hutan di wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di areal kerja PT Hutan Sanggam Labanan Lestari, yang terletak di Sei Du’ung, Desa Labanan Makarti, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur.Lokasi penelitian terletak di koordinat 02o 00’ LU dan 117o 13’117o 14’ BT dengan ketinggian 52 m dpl. Lokasi penelitian terletak di daratan dengan topografi ringan atau datar. Sesuai dengan kondisi curah hujannya, lokasi penelitian dapat digolongkan menjadi daerah yang lembab (curah hujan 1.500 – 3.000 mm/th). Terdapat dua musim yaitu musim kemarau yang dimulai bulan Juni – Oktober dan musim hujan mulai November – Mei. Meskipun musim kemarau, curah hujan relatif masih tinggi (di atas 100 mm).Temperatur rata-rata siang hari maksimum 32,40C dan minimum 210C. (BFMP, 1999). Kegiatan penelitian dilakukan dengan menggunakan sistem jalur dengan panjang 1 km dan lebar kanan-kiri jalur masing-masing sebesar 20 m (total luas 4 ha). Penetapan plot sampel pada jalur eksplorasi dengan unit ukur 40 m x 1 km (4 ha) yang terbagi dalam subplot berukuran 20 m x 20 m sebanyak 100 buah. Pengambilan data primer dilakukan melalui inventarisasi plot penelitian dengan sensus semua jenis pohon penghasil minyak keruing dan jenis lainnya yang berdiameter ≥ 10 cm dalam subplot berukuran 20 m x 20 m. Data yang dikumpulkan semua jenis pohon keruing dan jenis lainnya yang berdiameter ≥ 10 cm meliputi: nama jenis, diameter pohon setinggi dada, data topografi dan pengumpulan contoh herbarium untuk jenis-jenis keruing yang tidak diketrahaui secara langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan untuk vegetasi diolah guna mengetahui Nilai Penting Jenis (NPJ) dengan menggunakan rumus menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) yaitu;
Asosiasi dan Sebaran Jenis Pohon Penghasil Minyak Keruing ... (Amiril Saridan dan Massofian Noor)
NPJ (%) = KR + DoR + FR Jumlah individu suatu jenis dalam plot × 100 Jumlah individu seluruh jenis dalam plot
KR (%) = FR (%) =
Jumlah kehadiran suatu jenis dalam plot × 100 Jumlah kehadiran seluruh jenis dalam plot
DoR (%) =
Jumlah luas bidang dasar suatu jenis × 100 Jumlah luas bidang dasar seluruh jenis
Keterangan (remarks): KR = Kerapatan Relatif;
FR = Frekuensi Relatif ; DoR = Dominasi Relatif;
Analisis asosiasi dilakukan pada jenis pohon penghasil minyak keruing dengan jenisjenis penyusun utama yang memiliki nilai penting jenis (NPJ) ≥ 6% dari jumlah kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif dengan menggunakan tabel kontingensi 2x2 (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Bentuk tabel kontingensi untuk 2 jenis adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Bentuk tabel kontingensi asosiasi jenis Table 1. Kind of contingensi table species asosiation Jenis A (Species A) Jenis B (Species B) Ada(Present) Tidak ada(Absen) Jumlah(Total)
Ada (Present)
Tidak ada (Absen)
Jumlah (Total)
a c a+c
b d b+d
a+b c+d N=a+b+c+d
Sumber: Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974
Keterangan: (Remarks)
a = Jumlah petak yang mengandung jenis A dan jenis B b = Jumlah petak yang mengandung jenis A saja, jenis B tidak c = Jumlah petak yang mengandung jenis B saja, jenis A tidak d = Jumlah petak yang tidak mengandung jenis A dan jenis B N = Jumlah semua petak
Untuk mengetahui adanya kecenderungan berasosiasi atau tidak, digunakan Chi-square Test dengan formulasi sebagai berikut: (ad-bc)2 × N X = (a+b)(c+d)(a+c)(b+d) 2
Untuk menghindari nilai Chi-square yang bias bila nilai a, b, c, atau d dalam tabel kontingensi ada yang kurang atau sama dengan 5, maka perhitungan dilakukan menggunakan formulasi sebagai berikut: 2
X =
2 ((ad-bc)-N 2) ×N (a+b)(c+d)(a+c)(b+d)
Nilai Chi-square hitung kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square tabel pada derajat bebas = 1, pada taraf uji 1% dan 5%, masing-masing dengan nilai 6,63 dan 3,84. Apabila nilai Chi-square hitung > nilai Chisquare tabel, maka asosiasi bersifat nyata. Apabila nilai Chi-square hitung < nilai Chisquare tabel, maka asosiasi bersifat tidak nyata.
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat atau kekuatan asosiasi, maka dihitung koefisien asosiasi (C) menggunakan rumus sebagai berikut: ad-bc
I. Bila ad ≥ bc, maka C= (a+b)(b+d); ad-bc
II. Bila bc > ad dan d > a, maka C= (a+b)(b+c); ad-bc
III. Bila bc > ad dan a > c, maka C= (a+d)(c+d) Nilai positif atau negatif dari hasil perhitungan menunjukkan asosiasi positif atau negatif antar dua jenis. Asosiasi positif berarti secara tidak langsung beberapa jenis berhubungan baik atau ketergantungan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan assosiasi negatif berarti secara tidak langsung beberapa jenis mempunyai kecenderungan untuk meniadakan atau mengeluarkan yang lainnya atau juga berarti dua jenis mempunyai pengaruh atau reaksi yang berbeda dalam lingkungannya (Fajri dan Saridan, 2012).
87
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 85-92
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Asosiasi Jenis Pohon Penghasil Minyak Keruing Berdasarkan identifikasi jenis yang telah dilakukan pada areal seluas 4 hektar di Kawasan PT Hutan Sanggam Labanan Lestari, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ditemukan sebanyak 157 jenis, 107 marga dan 46 suku tumbuhan. Dari hasil perhitungan nilai penting jenis (NPJ) sedikitnya terdapat 7 jenis pohon yang memiliki nilai penting penting jenis di atas
6% yang banyak ditemukan di lokasi penelitian. Semakin banyak jenis yang ditemukan, makin kecil dan merata nilai pentingnya. Jenis-jenis yang banyak ditemukan tersebut diantaranya adalah Elateriospermum tapos Blume merupakan jenis yang paling banyak ditemukan dengan nilai penting jenis (NPJ =16.87%), Syzygium sp (NPJ= 14.06 %), Knema sp (NPJ=9.50%), Artocarpus sp (NPJ= 8.85%) dan Dipterocarpus tempehes Slooten (NPJ= 6.60%) seperti tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Tujuh jenis pohon yang memiliki nilai penting terbesar di Hutan Sanggam Labanan Lestari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Table 2. Seven tree species that have highest important value at Hutan Sanggam Labanan Lestari Berau Regency, East Kalimantan Nomor (Number) 1 2 3 4 5 6 7
Nama Ilmiah (Sceintific name) Elateriospermum tapos Blume Syzygium sp Knema sp Artocarpus sp Madhuca sp Barringtonia pendula Kurz Dipterocarpus tempehes Slooten
Sumber: diolah dari data primer
Asosiasi jenis pohon penghasil minyak keruing dengan jenis pohon dominan atau yang memiliki nilai penting jenis (NPJ) ≥ 6% (Tabel 2) menunjukkan bahwa peluang asosiasi positif sangat kecil dibandingkan dengan peluang asosiasi negatif (Tabel 3). Dengan demikian hasil ini menunjukkan bahwa pasangan jenis pohon penghasil minyak keruing dengan jenis dominan di lokasi penelitian yang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama lebih sedikit atau asosiasi positif dibandingkan dengan pasangan jenis yang tidak memiliki kecenderungan untuk hidup bersama. Hasil perhitungan pasangan jenis pohon penghasil minyak keruing (Tabel 3) menunjukkan adanya 15 pasang jenis yang berasosiasi negatif, diantaranya Dipterocarpus sp
dengan Artocarpus sp, Dipterocarpus sp dengan Barringtonia pendula Kurz, D. palembanicus Sloot. dengan Elateriospermum tapos Blume, D. palembanicus Sloot.dengan Madhuca sp, D.
88
Suku (Family) Euph. Myrt. Myris. Morac. Sapot. Lechyth. Dipt.
NPJ (%) (Important value) 16.86587 14.05658 9.498359 8.854331 8.768959 7.630554 6.595489
tempehes V. Sl. dengan Artocarpus sp, bahkan beberapa pasangan jenis memiliki nilai Chi-square lebih besar dibanding chi-square tabel, namun
koefisien asosiasi (C) menunjukkan kekuatan asosiasi yang bersifat negatif yaitu D. tempehes
V. Sl. dengan Elateriospermum tapos Blume dan D. tempehes V. Sl. dengan Madhuca sp. masing-masing
11,40; 11,21 baik taraf uji 5% dan 1%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kompetisi secara tidak langsung yang akan mempengaruhi terhadap ruang tumbuh, zat hara dan cahaya matahari serta unsur-unsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Indriyanto (2006) menyebutkan bahwa interaksi antar dua spesies atau lebih dalam menggunakan sumber daya alam yang persediaannya dalam keadaan kekurangan. Dengan demikian pasangan jenis tersebut tidak menunjukkan adanya toleransi untuk hidup bersama pada area yang sama atau tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, khususnya dalam pembagian
Asosiasi dan Sebaran Jenis Pohon Penghasil Minyak Keruing ... (Amiril Saridan dan Massofian Noor)
ruang tumbuh. Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), selain pengaruh interaksi pada suatu komunitas, tiap tumbuhan saling memberi tempat hidup pada area dan habitat yang sama.Sedangkan pasangan yang berasosiasi pasitif terdapat 9 pasangan diantaranya D. humeratus Sloot. dengan
Barringtonia pendula Kurz, D. palembanicus Sloot. dengan Barringtonia pendula Kurz, D. palembanicus Sloot.dengan Knema sp dan D.
tempehes V. Sl. dengan Knema sp. Barbour et al.
(1999) mengemukakan bahwa bila jenis berasosiasi secara positif, maka akan menghasilkan hubungan spasial positif terhadap pasangannya. Jika pasangan didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar akan ditemukan pasangan lainnya tumbuh di dekatnya.
Tabel 3. Hasil perhitungan asosiasi antara pohon keruing dengan jenis lain diPT Hutan Sanggam Labanan Lestari, Berau, Kalimantan Timur Table 3. Asociation keruing tree species with other species atHutan Sanggam Labanan Lestari Berau Regency, East Kalimantan Jenis (Species)
X2t (1%)
X2t (5%)
Dipterocarpus sp dengan Artocarpus sp 6,63 3,84 Dipterocarpus sp dengan Barringtonia pendula Kurz 6,63 3,84 Dipterocarpus sp dengan Elateriospermum tapos Blume 6,63 3,84 Dipterocarpus sp dengan Knema sp 6,63 3,84 Dipterocarpus sp dengan Madhuca sp 6,63 3,84 Dipterocarpus sp dengan Syzygium sp 6,63 3,84 D. humeratus Sloot.dengan Artocarpus sp 6,63 3,84 D. humeratus Sloot. dengan Barringtonia pendula Kurz 6,63 3,84 D. humeratus Sloot. dengan Elateriospermum tapos Blume 6,63 3,84 D. humeratus Sloot. dengan Knema sp 6,63 3,84 D. humeratusSloot. dengan Madhuca sp 6,63 3,84 D. humeratus Sloot. dengan Syzygium sp 6,63 3,84 D. palembanicus Sloot. dengan Artocarpus sp 6,63 3,84 D. palembanicus Sloot. dengan Barringtonia pendula Kurz 6,63 3,84 D. palembanicus Sloot. dengan Elateriospermum tapos Blume 6,63 3,84 D. palembanicus Sloot.dengan Knema sp 6,63 3,84 D. palembanicus Sloot.dengan Madhuca sp 6,63 3,84 D. palembanicus Sloot.dengan Syzygium sp 6,63 3,84 D. tempehes V. Sl. dengan Artocarpus sp 6,63 3,84 D. tempehes V. Sl. dengan Barringtonia pendula Kurz 6,63 3,84 D. tempehes V. Sl. dengan Elateriospermum tapos Blume 6,63 3,84 D. tempehes V. Sl. dengan Knema sp 6,63 3,84 D. tempehes V. Sl. dengan Madhuca sp 6,63 3,84 D. tempehes V. Sl. dengan Syzygium sp 6,63 3,84 Keterangan: + asosiasi positif, - asosiasi negatif, * Berbeda nyata pada taraf uji 5%, (Remarks) ** Berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%, ns: Tidak berbeda nyata Sumber: diolah dari data primer
B. Sebaran Jenis Pohon Penghasil Minyak Keruing Sebaran jenis keruing didasarkan pada komponen geomorfik yang dikategorikan kedalam datar ( 0 – 8 %), landai (8 – 15 %), agak curam (15 – 25 %), curam (25 – 40 %)
X2t
Tipe asosiasi
C
1,37ns 1,37ns 3,18ns 1,46ns 1,84ns 3,96* 4,04* 0,00ns 0,10ns 0,00ns 0,10ns 0,17ns 4,59* 0,51ns 1,44ns 0,47ns 0,74ns 0,03ns 1,08ns 3,18ns 11,40** 2,16ns 11,21** 3,70ns
+ + + + + + + + + -
-0.33 -0.32 -0.47 -0.34 -0.39 -0.51 -1 1,02 0,54 0,98 0,83 0,46 -1 1,04 -0.23 1,00 -0.09 0,46 -0.22 -0.33 -0.49 +0,35 -0.5 -0.28
dan sangat curam (> 40 %). Berdasarkan kriteria tersebut secara umum topografi pada lokasi penelitian ini termasuk datar sampai landai dan sedikitsekali dijumpai jenis pohon keruing, tercatat sebanyak 4 jenis pohon keruing dengan jumlah individu sebanyak 44
89
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 85-92
pohon dan jenis yang banyak ditemukan individunya adalah Dipeterocarpus tempehes seperti tertera pada Tabel 4. Jumlah jenis ini lebih sedikit dibandingkan di Hutan Penelitian Labanan yaitu terdapat sebanyak 9 jenis pohon
keruing yaitu Dipterocarpus confertus, D. cornutus, D.glabrigemmatus, D.grandiflorus, D. humeratus, D. palembanicus, D. stellatus ssp parvus, D. tempehes dan D. verrucosus (Saridan, dkk. 2011)
Tabel 4. Jumlah dan nilai penting jenis pohon keruing yang terdapat Lokasi penelitian di PT Hutan Sanggam Labanan Lestari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Table 4. Number and infortance value of keruing tree species in research area at Hutan Sanggam Labanan Lestari Berau Regency, East Kalimantan. Nomor Jenis Jumlah Pohon (Number) (Species) (Number of trees) 1 Dipterocarpus humeratus Slooten 1 2 D. palembanicus Sloot. * 3 3 Dipterocarpus sp 3 4 Dipterocarpus tempehes Slooten 37 Keterangan (Remarks) : * penghasil minyak keruing Sumber: diolah dari data primer
Dari Tabel 4. tersebut di atas terdapat sebanyak 44 pohon keruing, yang terdiri dari 4 jenis pohon keruing yaitu Dipterocarpus humeratus Slooten, D. tempehes V.Sl., D. palembanicus Slooten dan Dipterocarpus sp. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah D. tempehes V.Sl. sebanyak 37 pohon, D. palembanicus 3 pohon, D.humeratus Sloot 1 pohon dan Dipterocarpus sp sebanyak 3 pohon. Hasil pengamatan sebaran tumbuh pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa secara umum pohon keruing tumbuh berkelompok dan sebagian kecil tersebar. Hasil ini menunjukkan bahwa masingmasing jenis keruing memiliki tempat tumbuh yang spesifik. Weidelt (1996) melaporkan bahwa sebagian besar jenis-jenis dipterokarpa lebih menyukai tumbuh pada daerah di atas lereng (upper slopes) dan bukit (ridges), menyesuaikan topografi dari wilayah hutan hujan Asia. Sedangkan menurut Newman et al. (1999), keruing banyak tumbuh pada lahan pamah dan perbukitan, pada ketinggian < 600 m dpl, umumnya tumbuh berkelompok dan sebagian kecil tersebar. Hasil penelitian yang dilakukan Saridan dkk (2011) di Hutan Penelitian Labanan, umumnya jenis-jenis keruing banyak terdapat di daerah yang sangat curam yang umumnya terdiridari jenis Dipterocarpus confertus, D. verrucosus, dan D.stellatus ssp.
90
KR (%) 0,04 0,12 0,12 1,46
FR (%) 0,06 0,11 0,17 1,03
DoR (%) 0,18 1,40 0,75 4,10
NPJ (%) 0,28 1,64 1,04 6,60
parvus. Pada daerah yang agak curam sampai curam yaitu Dipterocarpus confertus, D. stellatus ssp. parvus dan D. verrucosus. Sedangkan pada daerah yang datar sampai landai yaitu Dipterocarpus stellatus ssp. parv. IV. KESIMPULAN Pada lokasi penelitian tercatat sebanyak 44 invidu pohon keruing yang terdiri dari 4 jenis pohon keruing yaitu Dipterocarpus tempehes V.Sl.,D. palembanicus Slooten, D. humeratus Slooten dan Dipterocarpus sp. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah D. tempehes V.Sl. sebanyak 37 pohon,D. palembanicus 3 pohon, D. humeratus Sloot 1 pohon dan Dipterocarpus sp sebanyak 3 pohon. Dari 4 jenis pohon keruing yang ditemukan hanya terdapat 1 jenis pohon penghasil minyak keruing yaitu D. palembanicus Slooten, tiga jenis keruing lainnya tidak menghasilkan minyak keruing. Terdapat asosiasi positif dari beberapa pasangan jenis diantaranya Dipterocarpus humeratus Slooten dengan Barringtonia pendula Kurz (c=1.02), Dipterocarpus humeratus Slooten dengan Elateriospermum tapos Blume (c=0.54), D.palembanicus Slooten dengan Barringtonia pendula Kurz (c=1.04), D.palembanicus Slooten dengan Knema sp (c=
Asosiasi dan Sebaran Jenis Pohon Penghasil Minyak Keruing ... (Amiril Saridan dan Massofian Noor)
1.00) dan D.tempehes V.Sl. dengan Knema sp (c= 0.35). Secara umum pohon keruing tumbuh berkelompok pada daerah datar dengan kelerengan < 15% dan sebagian kecil tersebar, hal ini menunjukkan bahwa masing-masing jenis keruing memiliki tempat tumbuh yang spesifik yang sesuai dengan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Barbour, B.M., J.K. Burk, dan W.D. Pitts. 1999. Terrestrial plant ecology. The Benjamin/Cummings. New york. BFMP. 1999. The Climate and Hydrology of the Labanan Concession. Berau Forest Management Project. Jakarta Boer, E. and A.B. Ella. 2001. Plant producing exudates. PROSEA No. 18. Bogor. Clark, D.B., M.W. Palmer, and D.A. Clark. 1999. Edaphic factors and the landscapescale distributions of tropical rain forest trees. Ecology 80 (8): 2662-2675. Fajri, M; Saridan, A. 2012. Kajian Ekologi Parashorea melaanonan Merr Di Hutan Penelitian Labanan, Berau. Jurnal Dipterokarpa Volume 6 No.2 Desenber 2012.Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta
McNaughton, S.J. and W.L. Wolf. 1992. Ekologi umum. Edisi kedua. Penerjemah: Sunaryono P. dan Srigandono. Penyunting: Soedarsono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mueller-Dombois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and method of vegetation ecology. John Wiley & Sons Inc. Toronto. Newman, M.F., P.F. Burgess, dan T.C. Whitmore. 1999. Pedoman identifikasi pohon-pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. PROSEA Indonesia. Bogor. Purwaningsih. 2004. Review: Sebaran ekologi jenis-jenis dipterocarpaceae di Indonesia. Jurnal Biodiversitas Vol. 5 No.2. Saridan, A., A. Kholik dan T, Rostiwati. 2011. Potensi dan Sebaran Spesies Pohon Penghasil Minyak Keruing di Hutan Penelitian Labanan,Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian DipterokarpaVol.5 No.1 Th 2011. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda Weidelt, H.J. 1996. Sustainable management of dipterocarp forest: opportunities and constraints. In: Schulte, A. and D. Schone (eds.). Dipterocarp forest ecosystems. World Scientific Publishing Co. Singapura. Yulita, K. S. 2002. Sebuah tinjauan mengenai potensi Dipterocarpus (Dipterocarpaceae) sebagai tumbuhan obat dan aromatik. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. LIPI. Bogor.
91
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 85-92
92
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 93-100 ISSN: 1978-8746
PENGARUH PEMULSAAN TERHADAP PERTUMBUHAN MERANTI TEMBAGA (Shorea leprosula Miq) DI SEMOI, PENAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR Effect of mulching on growth performance of copper –Meranti (Shorea leprosula Miq) in Semoi, Penajam Paser Utara Regency, East Kalimantan Abdurachman1), Hartati Apriani1) dan Massofian Noor1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email:
[email protected] Diterima 14 Februari 2013, direvisi 9 Oktober 2013, disetujui 18 Nopember 2013
ABSTRACT This research objective to understand the effective to increase growth of copper meranti (Shorea leprosula Miq) in semoi Penajam Paser Utara regency. The measurement was conducted in 16 plots, each plot is 0.25 ha (50 x 50 m. There are mulching treatments: without mulch as control, litter mulch, dark silver plastic(mpph) 50 x 60 cm, and mpph 100 x 120 cm. Randomized complete block design in used as experimental design in this study. The result showed that there is significants effect of the treatment to diameter and height growth increment wich showed by F value variance analysis. The result of least significant different test showed that litter mulch is significantly different compare to the other treatments, with annual diameter increment was 1.18 cm/year and annual height increment was 1.01 m/year. Keywords : Mulch, treatments, diameter, height, Shorea leprosula
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan mulsa yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan meranti tembaga (Shorea leprosula Miq) semoi Kabupaten Penajam Paser Utara. Pengukuran dilaksanakan pada 16 plot, dimana masing-masing plot seluas 0,25 ha, ada empat perlakuan mulsa yaitu tanpa mulsa sebagai control, dengan mulsa seresah dan ranting tanaman, mulsa plastic perak hitam (mpph) ukuran 50 cm x 60 cm, dan mpph ukuran 100 cm x 120 cm. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap berblok Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antar perlakuan untuk pertumbuhan diameter dan tinggi yang ditunjukkan dengan hasil nilai F dari analisa keragaman. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan serasah berbeda signifikan terhadap perlakuan lainnya dengan rataan diameter pertahun 1,18 cm/tahun dan rataan tinggi pertahun 1.01 m/tahun. Kata kunci: Mulsa, perlakuan, diameter, tinggi, Shorea leprosula
I.
PENDAHULUAN
Shorea leprosula merupakan jenis dipterokarpa yang mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan menjadi hutan tanaman. Kesesuaian tempat tumbuh dan penerapan teknik pengelolaan yang tepat berperan penting dalam keberhasilan pembangunan hutan tanaman dalam upaya peningkatan produktivitasnya. Peningkatan produktivitas hutan dengan menjaga secara kontinyu nilai kualitas tanah dan ekosistem telah menjadi isu pengelolaan
hutan alam produksi berkelanjutan (Pamoengkas, 2010). Usaha meningkatkan produktivitas dengan pemeliharaan intensif dengan memberantas hama pengganggu dan pemupukan telah banyak dilakukan dalam pengelolaan hutan. Pada lahan bekas terbakar dan alang-alang, dapat dikatakan kondisi mikro tanaman sudah banyak yang berubah. Secara fisik kondisi tanah pun dapat berubah karena terjadi perubahan struktur tegakannya. Tutupan lahan yang tidak rapat dan curah hujan tinggi akan memberikan mempengaruhi simpanan hara tanah.
93
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 93-100
Kondisi lahan yang terbuka apabila terjadi curah hujan dengan besaran dan intensitas yang tinggi maka akan terjadi erosi dan pencucian (leaching) pada lahan sehingga tingkat kesuburan lahan pun akan menurun (Junaedi, 2009). Tanaman muda Shorea leprosula memerlukan ruang tumbuh optimal, berupa suhu tanah yang selalu terjaga dan terhindar dari tanaman pengganggu yang menjadi pesaing dalam penyerapan makanan. Selain itu kondisi lahan yang bergelombang juga memungkinkan untuk terjadinya erosi. Berdasarkan hal tersebut, untuk meminimalisasi dampak negatifnya terhadap pertumbuhan tanaman perlu dilakukan upaya-upaya pengendalian. Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan salah satunya adalah penggunaan mulsa pada saat penanaman. Berbagai cara telah dilakukan untuk memelihara hutan tanaman seperti penyiangan (weedling) disekitar tanam, penggemburan tanah, pemotongan tanamantanaman pengganggu atau pesaing, pemakaian herbisida dan pemberian mulsa (Effendi, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan mulsa yang efektif terhadap kemampuan tumbuh (daya tumbuh), pertambahan tinggi dan diameter Shorea leprosula Miq di Semoi Kab. Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. II. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi penelitian merupakan areal yang didominasi alang-alang dan merupakan daerah yang sebelumnya mengalami beberapa kali kebakaran dan juga merupakan tempat berladang. Secara geografis daerah penelitian ini berada sekitar 00 o 56' 47.6" Lintang Selatan (LS) dan 116o 59' 32.3" Bujur Timur (BT) dengan ketinggian antara 50 – 90 m di atas permukaan laut. Kawasan ini memiliki jenis tanah podsolik merah kuning dan terletak di daerah lipatan dengan bentuk wilayah bergelombang sampai berbukit. Curah hujan rata-rata tahunan yang diambil dari stasiun klimatologi yang ada pada daerah ini adalah 2355,58 mm/tahun. Temperatur udara
94
maksimum pada siang hari mencapai 32,77 oC dan minimum 29,10 oC. Suhu udara maksimum pada malam hari adalah 24,26 oC dan minimum 23,26 oC. Pada penelitian ini pengamatan dan pengukuran tanaman S. leprosula pada 16 plot, dimana masing-masing plot seluas 0,25 ha sehingga total plot seluas 4 ha. Data pengukuran yang dipakai tahun 2007 dan 2011. Pencatatan data dilakukan secara sensus 100 %, parameter yang diamati dan diukur yaitu diameter dan tinggi serta persentase hidup. Pengamatan dan pengukuran dilaksanakan pada plot penanaman yang dibuat 4 perlakuan yaitu 1. Kontrol , tanpa mulsa (C0) 2. Mulsa serasah ukuran 100 cm x 100 cm di sekitar tanaman (C1). 3. Mulsa plastik perak hitam (mpph) ukuran 50 cm x 60 cm (C2) 4. Mulsa plastik perak hitam (mpph) ukuran 100 cm x 120 cm (C3) Setiap perlakuan dilakukan empat kali ulangan (blok) dan setiap ulangan terdiri dari 100 tanaman. Jumlah tanaman 1600 tanaman. Jarak tanam 10 m x 2,5 m. Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan untuk menghitung diameter riap diameter (Rd) dan riap tinggi Rt. Riap diameter pohon diperoleh dari rumus berikut : Rd = (d2 - d1)/nu ……… (1) di mana : Rd = riap diameter pohon (cm/th) d2 = diameter pengukuran ke dua d1 = diameter pengukuran ke pertama. nu = selang waktu antar pengukuran Riap tinggi pohon diperoleh dari rumus berikut : Rt = (t2 – t1)/nu ……… (2) di mana : Rt = riap tinggi pohon (cm/th) t2 = tinggi pengukuran ke dua t1 = tinggi pengukuran ke pertama. nu = selang waktu antar pengukuran Perlakuan penjarangan diolah dengan menggunakan rancangan Acak lengkap berkelompok. Adapun model umum rancangan
Pengaruh Pemulsaan Terhadap Pertumbuhan Meranti ... (Abdurachman, Hartati Apriani, Massofian Noor)
acak lengkap berkelompok adalah sebagai berikut (Hanafiah, 2005 dan Snedecor and Cochran. 1967) :
Yij i j ij Dimana : Yij = Nilai pengamatan dari peubah random Y, dimana perlakuan-i irandom pada ulangan-j = Nilai rataan populasi atau kilai harapan dari peubah random Y i = Efek (pengaruh dari perlakuan-i}
j ij
= =
Efek (pengaruh dari blok-j) Efek galat percobaan terjadi karena adanya randomisasi perlakuan-i pada ulangan-j Jika Fhit signifikan, maka untuk mengetahui pasangan mana yang berbeda pengaruhnya secara signifikan atau perlakuan yang terbaik pengaruhnya dilakukan uji lanjutan dengan Uji Beda Jarak terkecil. Hasil perhitungan yang didapat dituangkan dalam tabel ANOVA, adapun tabel tersebut adalah sebagai berikut;
Tabel 1. Analisa keragaman untuk rancangan acak kelompok Table 1. Analysis of Varians for randomized complete block design Variabel (Variable)
Kelompok (Block) Perlakuan (Treatments) Sisa (Residual) Total (total)
Derajat bebas (Degree of freedom) (b-1) (t-1) (t-1) (b-1) (tb-1)
Jumlah kuadrat (Sum of Square) JKK JKP JKS JKT
Rataan kuadrat (Mean of square) KTK KTP KTS
Fhit KTK/KTS KTP/KTS
Sumber: diolah dari data primer
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil perhitungan data pengamatan dan pengukuran pada plot perlakuan diperoleh nilai persentase hidup pada periode pengukuran
terakhir tahun 2011, pertambahan diameter dan tinggi. Rekapitulasi dari nilai-nilai yang diperoleh dari masing-masing perlakuan seperti tertera pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perbandingan Persentase hidup, pertambahan diameter dan tinggi rata – rata pada perlakuan mulsa Table 2. Compare of percentage of live, average growth of diameter ang height Perlakuan (treatments)
Persentase Hidup Pertambahan (growth) (percentage of live) Diameter Tinggi (%) (Diameter) (cm/year) (height) (m/year) C0 73.25 0,89 0,79 C1 78.25 1,18 1,01 C2 78,75 1,00 0,89 C3 74 1,04 0,81 Keterangan (Remarks) : C0 = Kontrol, C1= Mulsa Seresah, C2= mphh (50 cm x 60 cm) C3= mpph(100 cmx 120 cm) Sumber: diolah dari data primer
A. Persentase hidup. Persentase hidup atau daya tumbuh Shorea leprosula Miq umur 4 tahun berkisar antara 73,25% - 78,75%. Pada persentase hidup, perlakuan mulsa plastik kecil memberikan respon yang paling tinggi yaitu sebesar 78,75%, sedangkan respon yang terendah yaitu pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 73,25%.
Berdasarkan hasil analisis anova tidak ada perbedaan yang signifikan dari perlakuan terhadap persentase hidup sehingga tidak dilakukan uji beda nyata. Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dibuat grafik poligon dari masing-masing perlakuan untuk persentase hidup seperti tertera pada Gambar 1.
95
Persentase hidup (%)
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 93-100
80 78
78.25
76
78.75
74 72
74
73.25
70 C0
C1
C2
C3
Perlakuan Sumber: diolah dari data primer
Gambar 1. Persentase hidup Shorea leprosula Miq dengan perlakuan pemulsaan Figure 1. Percentage of live each treatment Besarnya jumlah persentase hidup ini masuk dalam kategori berhasil berdasarkan Anonim (2003) yang memberikan batasan atau kriteria sebagai berikut : a. Persentase tumbuh ≥ 85% dinyatakan sangat berhasil b. Persentase tumbuh 75 % s/d <85% dinyatakan berhasil c. Persentase tumbuh 65 % s/d <75% dinyatakan cukup berhasil d. Persentase tumbuh 55 % s/d <65% dinyatakan kurang berhasil e. Persentase tumbuh <55% dinyatakan gagal. Kegiatan pemeliharaan dilakukan dengan pembersihan jalur tanam secara berkala membuat tanaman ini dapat bertahan hidup. Meranti tembaga tidak tahan terhadap penutupan tajuk, pada tingkat semai sudah membutuhkan cahaya meskipun tidak penuh, tanaman akan mati bila tertutup rapat (Soekotjo, 2009). Tempat penanaman yang berada pada ketinggian antara 50–90 m dpl dengan kondisi kelerengan datar sampai agak curam merupakan tempat yang cocok dari meranti tembaga ini yang dapat tumbuh baik. Hal in dinyatakan Soekotjo 2009, bahwa meranti tembaga dapat tumbuh dengan baik pada kelerengan <25% . Selain itu tumbuhan ini tumbuh baik pada ketinggian dibawah 700 dpl (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Lebih jauh lagi Persentase hidup dipengaruhi oleh banyak faktor seperti yang dijelaskan oleh Evans (1982), yaitu lokasi
96
penanaman (tanah), cuaca, kondisi bibit, tata air atau erosi permukaan, hama dan penyakit, serta kompetisi dengan gulma. B. Riap Tinggi dan Diameter Penggunaan mulsa dimaksudkan untuk mencegah agar cahaya matahari tidak sampai ke gulma, sehingga gulma tidak dapat melakukan fotosintesis, akhirnya akan mati dan pertumbuhan yang baru (perkecambahan) dapat dicegah. Pemulsaan berhubungan langsung dengan mikrolimat (iklim mikro) tanah dan tanaman, tidak adanya mulsa menyebabkan suhu tanah menjadi lebih tinggi. Cahaya matahari langsung ke permukaan tanah sehingga pada saat panas kelembaban menjadi rendah. Dengan penggunaan mulsa pada penanaman awal suhu dapat dijaga cukup rendah sehingga mikoriza dan mikroorganisme di tanah sekitar tanaman dapat berfungsi dengan baik (Umboh, 1997). Berdasarkan Tabel 1 di atas, maka dibuat grafik poligon dari masing-masing perlakuan untuk diameter dan tinggi seperti tertera pada Gambar 2 berikut. Tanaman yang menggunakan mulsa mempunyai pertambahan diameter dan tinggi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa mulsa. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada areal penanaman. Setelah kurun waktu kurang lebih 4 tahun, kondisi mulsa plastik masih dalam keadaan cukup baik dalam melindungi sekitar tanaman.
Pengaruh Pemulsaan Terhadap Pertumbuhan Meranti ... (Abdurachman, Hartati Apriani, Massofian Noor)
1.4
1.18
1.2
Riap
1 0.8
0.89
1.01
1.04
1
0.89
0.79
0.81
0.6 0.4 0.2 0 C0
C1
C2
C3
Perlakuan Diameter (cm)
Tinggi (m)
Sumber: diolah dari data primer
Gambar 2. Riap dimeter dan tinggi pada Shore leprosula Miq Figure 2. Increment od diameter and height each treatment Untuk melihat pengaruh dari perlakuan maka dilakukan uji analisis keragaman. Hasil
uji analisis keragaman dari diameter dan tinggi tersaji dalam Tabel 3 dan 4 di bawah ini.
Tabel 3. Analisis keragaman pengaruh perlakuan pada riap diameter Shorea leprosula Table 3. Analysis of variance of treatments effect for diameter increment of Shorea leprosula Variabel (Variable) Kelompok (Block) Perlakuan (Treatments) Sisa (Residual) Total (total)
Sumber: diolah dari data primer
Derajat bebas (Degree of freedom) 3 3 9 15
Jumlah kuadrat (Sum of Square) 0.009 0.173 0.047 0.229
Rataan kuadrat (Mean of square) 0.003 0.058 0.005
F value F hit 0.580 11.50
Sig. 0.643 0.002
Tabel 4. Analisis keragaman pengaruh perlakuan pada riap tinggi Shorea leprosula Table 4. Analysis of variance of treatments effect for height increment of Shorea leprosula Variabel (Variable) Kelompok (Block) Perlakuan (Treatments) Sisa (Residual) Total (total)
Sumber: diolah dari data primer
Derajat bebas (Degree of freedom) 3 3 9 15
Jumlah kuadrat (Sum of Square)
Rataan kuadrat (Mean of square)
F value F hit
Sig.
100.24 965.88 150.594 1216.714
33.413 321.96 16.73
1.997 19.241
0.185 0.000
Mulsa serasah memberikan respon yang paling tinggi pada pertambahan diameter dan tinggi, dengan rata-rata mencapai 1,18 cm/th dan 1,014 m/th, sedangkan pertambahan terendah pada perlakuan kontrol sebesar 0,89 cm/th dan 0,79 m/th. Dari hasil uji Analisis keragaman pada riap diameter dan tinggi
(Tabel 3 dan 4) perlakuan diperoleh F hit dengan nilai signifikansi 0,002 (riap diameter) dan 0.000 (riap tinggi), nilai ini berarti lebih kecil dari pengujian taraf 5% (0,05) untuk riap diameter dan lebih kecil dari 1% (0,01) untuk riap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata dan
97
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 93-100
sangat nyata, sehingga dilakukan uji lanjutan berupa uji beda nyata terkecil (least significant different). Sedangkan Blok tidak memberikan pengaruh yang nyata dimater terhadap (Sig. 0.643) dan tinggi (Sig. 0.185). Berdasarkan uji tersebut penggunaan mulsa serasah memberikan perbedaan yang nyata terutama terhadap semua perlakuan.Hal ini mengindikasikan serasah yang diberikan memberikan pengaruhnya di dalam perubahan tanah. Serasah merupakan bahan organik yang mempunyai kemampuan untuk memberikan makanan tambahan setelah terurai dan menjadi kompos, sehingga tanaman mendapat makanan yang cukup dan meningkatkan pertumbuhan. Sebagaimana Soekotjo (2009) menyatakan bahwa pada hutan hujan tropis, pohon-pohon yang tumbuh raksasa, haranya sebagian besar berasal dari serasah yang cepat terombak. Menurut Indrawan (2003) bertambahnya hara dalam tanah akibat proses pelapukan serasah dan dari input curah hujan, sedangkan input hara yang berasal dari pelapukan batuan dianggap sangat kecil. Kandungan hara dalam serasah dan kandungan hara dalam tanah juga akan berpengaruh terhadap perkembangan tingkat pohon. Kandungan hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak yang mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman terutama unsur nitrogen (N). Penambahan Serasah pada tanaman dimungkinkan dapat menambah unsur hara N dalam tanah, untuk hal ini perlu dilakukan lebih lanjut (penelitian ini tidak melakukan analisis tanah). Menurut Trisdale et al., (1985) dalam Octavia (2010) apabila tanaman kekurangan unsur N, tanaman tidak dapat melakukan metabolisme dan pertumbuhan tinggi juga terhambat (tanaman kerdil). Unsur N bersama Mg akan membantu klorofil yang sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman juga dipengaruh oleh intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Tanaman Shorea leprosula seperti jenis Dipterokarpa lainnya pada umur muda tidak memerlukan cahaya penuh sepanjang hari. Jumlah dan lamanya
98
cahaya yang diterima tanaman juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Dalam hal ini penelitian dilakukan pada tempat yang bergelombang, landai sampai agak curam. Putri (2009) menyatakan pertumbuhan Shorea leprosula pada penerimaan intensitas cahaya matahari yang lebih kecil (plot agak curam) memiliki rata-rata riap diameter dan tinggi yang lebih besar. Intensitas cahaya akan mempengaruhi proses fotosintesis, dimana tingginya tingkat fotosintesis pada tanaman akan meningkatkan pertumbuhan xylem dan floem sekunder yang berkembang dari jaringan meristem sekunder sebagai ukuran pertambahan diameter pohon. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Shoraea leprosula Miq cocok untuk ditanam pada daerah ini, yang ditunjukkan dengan besarnya persentase hidup samapi dengan umur 4 tahun. Hasil uji keragaman pemberian mulsa memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat pertumbuhan diameter dan tinggi, selanjutnya berdasarkan uji beda nyata terkecil pemberian mulsa serasah menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan lainnya. B. Saran Mulsa serasah dapat menjadi salah satu alternatif didalam pembangunn hutan tanaman Shorea leprosula. Pertambahan umur pada tanaman membutuhkan ruang tumbuh dan kebutuhan nutrisi yang lebih besar, sehingga perlu dilakukan pemeliharaan tanaman untuk memaksimalkan pertumbuhan tanaman dengan mengurangi persaingan makanan dengan tanaman lain di sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Pedoman penilaian tanaman. Kegiatan Rehabilitasi hutan dan Lahan Kalimantan Timur. Dinas Kehutanan Kalimantan Timur. Effendi, R. 2007. Kemungkinan penggunaan mulsa plastic perak hitam pada pemeliharaan hutan tanaman. Mitra Hutan Tanaman Vol. 2 No.1 Hal: 09-13.
Pengaruh Pemulsaan Terhadap Pertumbuhan Meranti ... (Abdurachman, Hartati Apriani, Massofian Noor)
Evans, J. 1982. Plantatioan Forestry In the Tropiics. Clarendon Press- Oxford, New York. Hanafiah, K.A 2005. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Indrawan, A. 2003. Model sistem pengelolaan hutan alam setelah penebangan dengan sistem tebang pilih tanam Indonesia (TPII). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol.IX No.2, Hal : 19-33. Junaedi, A. 2009. Manfaat informasi neraca air untuk mendukung silvikultur hutan tanaman. Tekno Hutan Tanaman Vol. 2 No.3 Hal : 107-114. Octavia, D. 2010. Respon beberapa varietas padi terhadap naungan dan seresah sebagai kajian untuk meningkatkan produktivitas hutan rakyat sengon dalam mendukung ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional :Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan. Puslit Peningkatan Produktivitas Hutan. Kementerian kehutanan. Pamoengkas, P. 2010. Tinjauan Silvikultur dalam peningkatan Produktivitas Hutan. Prosiding
Seminar Nasional : Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan. Puslit Peningkatan Produktivitas Hutan. Kementrian kehutanan. Putri, I.R. 2009. Pengaruh intensitas cahaya matahari terhadap pertumbuhan jenis Shorea parvifolia dan Shorea leprosula dalam teknik TPTI intensif (studi Kasus di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah). Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Snedecor, G. and W.G. Cochran. 1967. Statistical Methods Sixth Ed. The Iowa State University Press. Ames Iowa. USA Soektojo 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta. Soerianegara, I. and R.H.M.J Lemmens (Editors). 1994. Timber trees: Major commercial timber. Plant Resources of South – east Asia (PROSEA) No. 5 (1). Bogor. Umboh, A.H. 1997. Petunjuk Penggunaan Mulsa. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
99
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 93-100
100
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 101-108 ISSN: 1978-8746
SEBARAN DAN POTENSI POHON TENGKAWANG DI HUTAN PENELITIAN LABANAN,KALIMANTAN TIMUR Potential and Distribution of Tengkawang Trees Species in Labanan Forest Research, East Kalimantan Amiril Saridan1), Andrian Fernandes1) dan Massofian Noor1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email: amiril
[email protected] Diterima 5 April 2013, direvisi 2 Oktober 2013, disetujui 8 Nopember 2013
ABSTRACT Tengkawang was one of species growing in tropical rain forest are known as produced of fruit (illiped nut) and oil tengkawang, including protected trees. The purpose of this research is known distribution and potential of tengkawang trees. The research used purposive sampling with plots size is 100 m x 100 m (1 ha) and three plots are constructed. Observation was done to all of tengkawang trees with diameter equal or larger than 10 cm. Results showed that there were five species found, i.e. Shorea beccariana Burck, S. macrophylla Ashton, S. mecistopteryx Ridl., S. pinanga Scheff dan S. seminis (de Vriese) Sloot. The average of densities are 11 stems/ha and volume stand is 38.32 m3/ha. In generally tengkawang grows in a very steep slope >40 % i.e. S. beccariana Burck, S. pinanga Scheff, S. mecistopteryx Ridl and S. seminis (de Vriese) Sloot. Other tengkawang grows well in low steep or < 40 % is S.macrophylla Ashton. Keywords:Tengkawang, distribution, density,potention
ABSTRAK Tengkawang merupakan jenis pohon yang dilindungi, tumbuh di hutan tropis yang dikenal sebagai penghasil buah dan lemak tengkawang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi dan sebaran jenis pohon penghasil tengkawang. Penelitian dilaksanakan di hutan penelitian Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini digunakan plot berukuran 100 m x 100 m (1 ha) yang diletakkan secara purposive sampling pada tegakan yang berbeda yang dibuat sebanyak 3 plot penelitian dengan total areal 3 ha. Hasil penelitian terdapat 5 jenis pohon penghasil tengkawang meliputi Shorea beccariana Burck, S. macrophylla Ashton, S. mecistopteryx Ridl., S. pinanga Scheff dan S. Seminis (de Vriese) Sloot. dengan Kerapatan pohon bervariasi dari satu plot ke plot lainnya dengan rataan 11 pohon/ha dan volume tegakan sebesar 38,32 m3/ha. Umumnya jenis tengkawang yang tumbuh pada kelerengan > 40 % yaitu S. beccariana Burck, S. pinanga Scheff, S. mecistopteryx Ridl dan S. seminis Sloot. Sedangkan yang tumbuh pada kelerengan < 40 % adalah S. macrophylla Ashton Kata kunci: Tengkawang, sebaran, kerapatan, potensi
I.
PENDAHULUAN
Keberadaan pohon tengkawang di habitat alaminya saat ini sangat sulit ditemukan dan mulai berkurang populasinya. Tengkawang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae yang banyak tumbuh di hutan tropis Indonesia. Daerah penyebarannya meliputi Asia Tenggara yaitu: Thailand, Malaysia, Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), Serawak, Sabah dan Phillipina. Di Indonesia terdapat 13 jenis
pohon penghasil tengkawang, di mana 10 jenis di antaranya terdapat di Kalimantan dan 3 jenis lainnya di Sumatera. Biji tengkawang dapat digunakan sebagai bahan komestik, obat-obatan dan bahan makanan, demikian pula kayunya yang dikenal dengan nama perdagangan meranti dapat digunakan untuk venir dan kayu lapis, disamping itu dapat juga dipakai untuk bangunan perumahan, kayu perkapalan, alat musik, mebel dan peti pengepak. Beberapa
101
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 101-108
menghambat perdagangan lokal. Sampai saat ini potensi alami jenis-jenis tersebut di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun di beberapa tempat di Kalimantan dan Sumatera bagian utara dilaporkan banyak ditumbuhi jenis-jenis tengkawang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran dan potensi jenis pohon tengkawang yang meliputi kerapatan dan volume pohon, sehingga tersedianya data pohon penghasil tengkawang yang berguna sebagai salah satu usaha pelestarian jenis tumbuhan yang dilindungi dan menambah komoditi masyarakat sekitar hutan.
diantaranya termasuk jenis-jenis yang dilindungi seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, yaitu meliputi S. gyberstiana, S. pinanga, S. compressa, S. seminis, S. martiniana, S. mexistoptenx, S. beccariana, S. micrantha, S. palembanica, S. lepidota dan S. singkawang. Tengkawang merupakan marga dari meranti (Shorea) yang bijinya dapat dipakai sebagai sumber penghasil minyak nabati. Bila dibandingkan dengan biji dari meranti lainnya, biji tengkawang mempunyai kadar minyak nabati paling tinggi. Buah tengkawang diproses untuk diambil minyaknya serta digunakan untuk pengolahan makanan (coklat), kosmetika (dekoratif, sabun) dan lilin (Yusliansyah et al., 2007). Biji tengkawang (Borneo illipe nut) menjadi salah satu HHBK penting sebagai bahan baku minyak lemak nabati yang bernilai tinggi(Winarni et al, 2005). Industri pengolahan biji tengkawang menjadi lemak tengkawang murni merupakan salah satu industri primer potensial dari hasil hutan yang belum banyak diolah. Lemak tengkawang dipasaran internasional dikenal dengan borneo tallow (Shiva dan Jantan, 1998). Pengembangan tengkawang sebagai komoditi hasil HHBK bernilai ekonomi tinggi masih terkendala dengan informasi potensi, sebaran jenis yang terbatas dan musim buah yang tidak menentu. Masalah lain adalah penyebaran pohon tengkawang yang terpencar-pencar juga
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di hutan penelitian Labanan terletak di Desa Labanan, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur pada tahun 2012. Kondisi tanah di areal KHDTK Labanan menurut Laporan BFMP (1999) diketahui jenis podsolik haplik yang merupakan jenis tanah yang mendominasi wilayah Labanan yaitu 59,22% dari luas areal. Tanah ini memiliki karakteristik tekstur lempung, lempung liat berpasir sampai lempung berliat, warna kuning kecoklatan (10 YR 6/8), dan struktur gumpal. Tanah berkembang dari bahan induk batu pasir dan batu liat.
100 m 6
5 4 3 100 m
2
Sumber: diolah dari data primer
1
16
25
7
14
17
8
13
18
23
9
12
19
22
10
11
20
21
Gambar 1. Skema pembuatan plot penelitian Figure 1. Design of research plots
102
15
24
Sebaran dan Potensi Pohon Tengkawang di Hutan Penelitian ... (Amiril Saridan, Andrian Fernandes dan Massofian Noor)
Bahan penelitian adalah semua jenis pohon, terutama jenis pohon penghasil tengkawang yang mempunyai ukuran diameter minimal 10 cm. Sedangkan peralatan yang digunakan meliputi peta kerja, phiband, kompas, klinometer, pita ukur, cat, tally sheet, parang dan alat dokumentasi. Untuk mengetahui sebaran dan potensi pohon tengkawang dilakukan pembuatan plot secara purposive sampling, plot pengamatan berukuran 100 m x 100 m (1 ha) dan dibuat sebanyak 3 plot pada tegakan yang berbeda. Dari plot tersebut dibuat jalur sebanyak 5 jalur penelitian yang berukuran 20 x 100 m (0.2 ha), kemudian dibuat sub-plot sebanyak 25 buah yang berukuran 20 x 20 m (0.04 ha) seperti tertera pada Gambar 1. Pengamatan dilakukan terhadap semua pohon penghasil tengkawang yang berdiameter ≥ 10 cm. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis, diameter pohon, letak posisi pohon dan data topografi. Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis data tool pada program Microsoft Excel 2007 yang meliputi: 1. Kerapatan dengan limit diameter 10 cm dapat dihitung dengan cara yaitu: Jumlah Pohon Kecepatan N ha = Luas Plot
2. Volume pohon dihitung berdasarkan Direktorat Bina program Kehutanan Edisi Khusus No. 51A, 1983 dalam Susanty dan Siran (2005) berikut: V=0,0001234 d2,41913 Keterangan (Remarks): V = volume pohon (m3) d = diameter pohon (cm) 3. Sebaran pohon Data hasil pengukuran topografi dan posisi pohon diolah untuk memperoleh sebaran jenis keruing dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan Arc View versi 3.3. Dari data topografi dibuat peta kontur untuk mendapatkan gambaran komponen geomofik yang dibagi kedalam datar (0-8%), landai (8-
15%), agak curam (15-25%) dan curam (2540%) dan sangat curam (>40%). 4. Dominansi jenis Dominasi jenis dilihat dari Nilai Penting jenis diperoleh dengan rumus menurut MuellerDombois dan Ellenberg (1974) sebagai berikut: NPJ = FR + KR + DoR dimana (where): KR =
FR = DoR =
Jumlah individu suatu jenis × 100(%) Jumlah individu seluruh jenis
Jumlah kehadiran suatu jenis × 100(%) Jumlah kehadiran seluruh jenis Jumlah Luas Bidang Dasar suatu jenis × 100(%) Jumlah Luas Bidang Dasar seluruh jenis
Keterangan (Remarks) : KR = Kerapatan Relatif; FR = Frekuensi Relatif; DoR = Dominasi Relatif
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Pohon Tengkawang Berdasarkan hasil rekapitulasi data yang telah dilakukan pada tiga plot penelitian masing-masing seluas 1 hektar di kawasan hutan penelitian Labanan Kabupaten Berau, ditemukan sebanyak 5 (lima) jenis pohon tengkawang meliputi Shorea beccariana Burck, S. macrophylla Ashton, S. mecistopteryx Ridl., S. pinanga Scheff dan S. Seminis Sloot. Kerapatan dan jumlah jenis pohon yang terdapat pada masing-masing plot bervariasi, hal ini disebabkan karena pada lokasi ini merupakan areal bekas tebangan tahun 1992/1993 lalu, sehingga dimungkin adanya kerusakan terhadap tegakan tinggal yang mengakibatkan tempat-tempat yang terbuka serta adanya pohon yang tumbang akibat dari pembalakan tersebut. Nicholson (1938) menyebutkan kerusakan tegakan yang ditimbulkan pada kegiatan pembalakan sangat bervariasi tergantung kepada besarnya volume pohon yang dipanen dan komposisi jenis. Lebih jauh Haryanto (1995) menyebutkan bahwa
103
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 101-108
dampak pembalakan terhadap komunitas vegetasi tergantung dari dua faktor yaitu jumlah pohon yang diekstraksi dan kehati-hatian dalam melaksanakan ekstraksi. Plot 1 terdapat 8 batang/ha yang terdiri dari S. macrophylla Ashton (5 batang/ha) dan S.pinanga Scheff. (3 batang/ha). Plot 2 terdapat 13 batang/ha terdiri S.macrophylla Ashton (8 batang/ha), S. mecistopteryx Ridl.(3 batang/ha) dan S.seminis Sloot.(2 batang/ha). Plot 3 terdapat sebanyak 12 batang/ha. terdiri dari S.macrophylla Ashton (3 batang/ha), S.beccariana Burck (3 batang/ha) dan S.pinanga Scheff.(6 batang/ha). dengan jumlah kerapatan pohon secara keseluruhan sebanyak 33 batang atau 11 batang/ha seperti tertera pada Tabel 1. Jenis yang banyak ditemukan adalah
S.macrophylla Ashton dengan jumlah pohon sebanyak 16 batang, S. pinanga Scheff. 9 batang, S. mecistopteryx Ridl.dan S. beccariana Burck masing-masing sebanyak 3 batang dan S. seminis Sloot. 2 batang. Plot 2 mempunyai jumlah pohon yang lebih banyak dibandingkan plot lainnya, hal ini disebabkan pada lokasi ini terdapat aliran sungai yang merupakan habitat tempat tumbuh jenis S.macrophylla Ashton. yang banyak menyukai air untuk pertumbuhannya. Menurut Ashton (1989), variasi jenis di hutan tropika basah banyak disebabkan adanya interaksi yang kompleks antara faktor fisik (iklim, kondisi tanah, topografi) dan faktor biologi (dinamika hutan dan proses perkembangan jenis selama pertumbuhannya).
Tabel 1. Jumlah pohon tengkawang dalam plot di Hutan Penelitian Labanan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Table 1. Number of Tengkawang trees in plots in Labanan Forest research Berau Regency, East Kalimantan Plot Jenis Jumlah pohon/ha (Plots) (Spesies) (Number of trees/ha) S. macrophylla Ashton 5 1 S. pinanga Scheff 3 S. macrophylla Ashton 8 2 S. mecistopteryx Ridl. 3 S. seminis Sloot. 2 S. macrophylla Ashton 3 3 Shorea beccariana Burck 3 S. pinanga Scheff 6 Jumlah (Total) 33 Sumber: diolah dari data primer
Kekayaan jenis ini ada hubungannya dengan unsur hara tanah, terutama konsentrasi phospor dan magnesium. Sist (1996) melaporkan bahwa kekayaan jenis dipterokarpa di Kabupaten Berau lebih tinggi pada tanah yang mempunyai drainase baik dengan kelerengan yang sedang dibandingkan tempattempat yang berdrainase jelek dengan kelerengan yang sangat curam. Sebaran pohon tengkawang berdasarkan kelas diameter pohon pada tiga plot penelitian atau seluas 3 ha disajikan pada Tabel 2. Dari
104
tersebut dapat dilihat bahwa sebaran kelas diameter yang terbanyak terdapat pada kelas diameter 10 – 19.9 cm dengan jumlah sebanyak 11 pohon atau 3.67 pohon/ha, kelas diameter 20 – 29.9 cm dan kelas diameter > 90 cm masingmasing sebanyak 6 pohon atau 0.67 pohon/ha, kelas diameter 50 – 59.9 cm dan 60 – 69.9 cm masing-masing sebanyak 3 pohon atau 1 pohon/ha. Sedangkan kelas diameter 40-49.9 m dan 60-69.9 cm tidak ditemukan, hal ini disebabkan adanya persaingan tajuk pohon dari jenis pohon lainnya yang berada disampingnya.
Sebaran dan Potensi Pohon Tengkawang di Hutan Penelitian ... (Amiril Saridan, Andrian Fernandes dan Massofian Noor)
Tabel 2. Jumlah dan volume pohon tengkawang pada 3 plot penelitian berdasarkan kelas diameter dalam plot penelitian di Hutan Penelitian Labanan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Table 2. Number of trees and volume according diameter class at 3 plots in Labanan Forest research Berau Regency, East Kalimantan Kelas diameter (Dimeter class) 10-19.9 20-29.9 30-39.9 40-49.9 50-59.9 60-69.9 70-79.9 80-89.9 > 90cm Jumlah (Total) Rataan
Sumber: diolah dari data primer
Jumlah pohon (Number of trees) 11 6 2 3 3 2 6 33 11
Berdasarkan hasil perhitungan volume tegakan pada areal seluas 3 hektar diperoleh sebanyak 74.1914 m3 atau rata-rata sebesar 24.7305 m3/ha Volume tegakan yang terbesar ditemukan pada kelas diameter 80-89.9 cm dan diameter > 90 cm masing-masing sebesar 11.6380 m3/ha dan 45.1026 m3/ha (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena pohon tengkawang merupakan pohon yang dipertahankan dan tidak ditebang serta dilindungi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta SK Menhut No. 261/Kpts-IV/1990 tentang perlindungan pohon tengkawang sebagai tanaman langka. Pohon tengkawang dapat menghasilkan buah yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, bahan subtitusi lemak coklat, dan bahan baku lemak nabati. Selain itu, kayunya bernilai tinggi yang dapat digunakan sebagai bahan baku panel, lantai, alat musik, plywood, papan partikel, furniture. Menurut Hakim, (2011) bahwa berdasarkan Redlist IUCN (2010) beberapa jenis pohon penghasil tengkawang juga sudah masuk dalam katagori Critically Endengered dan Vunarable species.
Volume (m3) 0.9612 1.8905 1.0082 5.2835 8.3074 11.6380 45.1026 74.1914 24.7305
B. Sebaran Jenis Pohon Tengkawang Sebaran jenis didasarkan pada komponen geomorfik yang dikategorikan kedalam datar (0 – 8 %), landai (8 – 15 %), agak curam (15 – 25 %), curam (25 – 40 %) dan sangat curam (>40 %). Berdasarkan kriteria tersebut secara umum topografi pada kedua lokasi penelitian ini termasuk curam sampai sangat curam seperti tertera pada Tabel 3. Kelimpahan individu pohon penghasil tengkawang yang banyak dijumpai di lapangan adalah jenis Shorea macrophylla dan S. pinanga. Kedua jenis ini merupakan jenis yang sebaran alaminya banyak ditemukan pada daerah lain di Kalimantan Timur. Penyebaran jenis tengkawang yang ditemukan pada umumnya mengelompok, dapat tumbuh dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan di lokasi penelitian adalah tipe B. Menurut Istomo dan Hidayati (2010). Jenis tengkawang tumbuh pada tanah latosol pada ketinggian sampai 500 m dari permukaan laut, pH asam (4,6 – 4,9) dan KTK cukup baik (16,25 – 19,40). Jenis ini tumbuh pada tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning pada ketinggian 1.300 m dpl.
105
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 101-108
Tabel 3. Sebaran pohon berdasarkan kelas kelerengan pohon tengkawang dalam areal penelitian di Hutan Penelitian Labanan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur Table 3. Distribution of Tengkawang occording slopes class in Labanan Forest research Berau Regency, East Kalimantan Nomor (Number) 1 2 3 4
Kelas kelerengan (Slope ) <8% 8 % - 15 % 15 % - 25 % 25 % - 40 %
Jumlah pohon (Number of trees) 1 3 4
5
> 40 %
25
Jumlah (Total)
Sumber: diolah dari data primer
33
Weidelt (1996) menyebutkan bahwa sebagian besar jenis-jenis dipterokarpa lebih menyukai tumbuh pada daerah di atas lereng (upper slopes) dan bukit (ridges), menyesuaikan topografi dari wilayah hutan hujan Asia. Pada Tabel \3. tersebut di atas dapat dilihat bahwa jenis tengkawang yang hidup pada kelerengan > 40% yaitu Shorea beccariana Burck, S.seminis Sloot., S.pinanga Scheff, S.mecistopteryx Ridl. dan S.macrophylla Ashton. Sedangkan pada kelerengan < 25% dari jenis Shorea macrophylla Ashton, kebanyakan jenis ini cara hidupnya mengelompok disepanjang aliran air. C. Dominansi Jenis Berdasarkan hasil rekapitulasi data terhadap suku dipterokarpa pada plot penelitian diperoleh sebanyak 37 jenis dan 5 marga yang terdiri dari Dipterocarpus (8 jenis), Hopea (2 jenis), Parashorea (2 jenis), Shorea (22 jenis) dan Vatica (3 jenis). Jenis yang banyak ditemukan antara lain: Dipterocarpus glabrigemmatus (NPJ= 38.17685%), Shorea patoiensis (NPJ=28.0506%), Shorea macrophylla (NPJ=21.4651%), Dipterocarpus tempehes (NPJ =19.90591%) dan Shorea smithiana (NPJ=19.83769%). Sedangkan jenis tengkawang yang dominan adalah Shorea macrophylla (21.4651%) dan S. pinanga
106
Jenis (Spesies) S. macrophylla Ashton S. macrophylla Ashton S. macrophylla Ashton S.beccariana Burck S.macrophylla Ashton S.seminis Sloot. S.pinanga Scheff S.mecistopteryx Ridl.
(NPJ=8.463229%), 3 jenis lainnya memiliki nilai dibawah 3%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Purwaningsih (2004) yang menyebutkan sebagian besar hutan primer yang masih tersisa di Kalimantan vegetasinya masih didominasi oleh Dipterokarpa, sehingga sering disebutnya sebagai Hutan Dipterocarpaceae. Apannah et.al,(1998) mengatakan bahwa Kalimantan dan Sumatera merupakan pusat pertumbuhan Dipterocarpaceae di hutan lembab. IV. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa potensi pohon penghasil Tengkawang yang terdapat di lokasi penelitian bervariasi dengan kerapatan pohon masingmasing: plot 1 terdapat 8 batang/ha, plot 2 terdapat 13 batang/ha dan plot 3 terdapat sebanyak 12 batang/ha. Rataan volume tegakan tengkawang sebesar 24.7305 m3/ha dengan total secara keseluruh pada areal seluas 3 hektar adalah 74.1514 m3. Ditemukan sebanyak 5 jenis pohon Tengkawang yang meliputi Shorea beccariana Burck, S. macrophylla Ashton, S. mecistopteryx Ridl, S. pinanga Scheff dan S. Seminis Sloot. Umumnya jenis yang hidup di tempat yang rendah dan terdapat anak sungai dan
Sebaran dan Potensi Pohon Tengkawang di Hutan Penelitian ... (Amiril Saridan, Andrian Fernandes dan Massofian Noor)
mengelompok banyak ditemukan Shorea macrophylla Ashton dan pada bagian yang tinggi lebih bayak ditemukan Shorea pinanga Scheff dan S. beccariana Burck Penyebaran jenis pohon penghasil tengkawang memiliki tempat tumbuh yang spesifik yag sesuai dengan lingkungannya. DAFTAR PUSTAKA Appanah, S. and J.M. Turnbull. 1998. A Review of Dipterocarps: taxonomy, ecology and silviculture. CIFOR, Bogor. Ashton, P.S. 1989. Species richness in tropical forest. Tropical forest botanical dynamic, Speciation and diversity. Holm–Nielsen. L. B. Academic Press, London UK. BFMP. 1999. The Climate and Hydrology of the Labanan Concession. Berau Forest Management Project. Jakarta. Hakim, L. 2011. Eksplorasi dan Pengumpulan Benih Jenis Shorea Penghasil Tengkawang DI PT. SARI BUMI KUSUMA (SBK) Kalimantan Tengah. Apforgen. Bogor. Istomo dan T. Hidayati. 2010. Studi Potensi dan Penyebaran Tengkawang (Shorea spp.) di Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 1 No. 1 Desember 2010. Hal. 11 – 17.
Yusliansyah; Supartini; S.E.Prasetya. 2007. Rangkuman Hasi-Hasil Penelitian dan Non Kayu Dipterokarpa. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Haryanto,1995. Teknik Pengelolaan dan Pemantauan Komunitas Vegetasi. Badan Pelatihan Perencanaan, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Mueller-Dombois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and method of vegetation ecology. John Wiley & Sons Inc. Toronto. Nicholson, D.I. 1938. An Analysis of Logging Damage in Tropical Rain Forest, North Borneo. Malayan Forester 21. Purwaningsih. 2004. Review: sebaran ekologi jenis-jenis dipterocarpaceae di Indonesia. Jurnal Biodiversitas Vol. 5 No.2. Sist, P. 1996. Structure and diversity of dipterocarps in a lowland dipterocarps forest in East Kalimantan. In The Fourth Round Table on Dipterocarps. Chang Mai, Thailand. Susanty, F.S dan S. Siran 2005. Status Riset Penyusuanan Tabel Volume Pohon. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda Weidelt,H.J. 1996. Sustainable management of dipterocarp forest opportunities and constraints. In: Schulte, A. and D. Schone (eds.). Dipterocarp forest ecosystems. World Scientific Publishing Co. Singapura. Winarni, I; E.S.Sumadiwangsa; D.Setyawan. 2005. Beberapa catatan Pohon Penghasil Biji. InfoHasil Hutan Vol.11 No.1. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.
107
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 101-108
108
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122 ISSN: 1978-8746
KAJIAN EFEKTIVITAS SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIFITAS DAN KELESTARIAN HUTAN ALAM PRODUKSI Analysis of The Efffectvity of Gap Simulation Silvicultural System in The Enhancement of Production Forest Productivity and Sustainability Sudin Panjaitan1), Dian Lazuardi1) dan Beny Rahmanto1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru JL. A. Yani Km. 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru Kalimantan Selatan; Telepon. (0511) 4707872, Fax (0511) 4707872 Email:
[email protected] Diterima 31 Juli 2013, direvisi 23 Oktober 2013, disetujui 20 Nopember 2013
ABSTRACT Gap simulation system is an alternative silvicultural system based on the availability of wildlings and on site management system in the form of gaps, which are closely related with skidding trails. Thus, the eveluation of the system has not been conducted comprehensively in operational scale. The evaluation in the stand level is limited to the primary and logged over forest within the last 10 years. This research aimed to evaluate the effectivity of gap simulation system with with artificial seedlings on logged over area. The research was conducted in KHDTK Kintap on the 13 and 17 years old stand, and gap with wildlings of 13 years old stand. The result showed that from the aspect of growth & development gap simulation potentially showed higher result compared with planted gaps. Those were suitable for logged over area or highly fragmented forest. Gap simulation as one of silvicultal system needs to be replicated in a logger scale especially in the aspect of management plan. Keyword : Silvicultural, system, gap simulation, Dipterocarps
ABSTRAK Tebang rumpang (”gap simulation system”) merupakan salah satu sistem silvikultur alternatif, yang berlandaskan permudaan alam dan unit perlakuan terkecil (tegakan) berupa rumpang-rumpang yang terikat oleh unit jalan sarad. Walaupun begitu, evaluasi hasil ujicoba sampai saat ini masih belum dilakukan secara komprehensif teruama dalam skala operasional. Evaluasi dalam level tegakan masih terbatas pada kondisi hutan primer dan logged-over dengan permudaan alam dalam rentang waktu kurang dari 10 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat efektifitas sistem tebang rumpang permudaan buatan pada hutan logged over area. Penelitian dilakukan di KHDTK Kintap pada petak-petak ujicoba rumpang tanaman umur 13 dan 17 tahun serta rumpang permudaan alam umur 13 tahun. Dari aspek pertumbuhan perkembangan regenerasi baik alam maupun buatan, sistem tebang rumpang secara potensial menunjukan hasil yang lebih tingi dibandingkan dengan sistem silvikultur umpang yang selama ini digunakan. Pertumbuhan dan perkembangan jenis-jenis meranti pada permudaan alam lebih tinggi dibandingkan dengan rumpang tanaman. Performan sistem tebang rumpang tersebut sangat sesuai bagi areal hutan logged-over yang masih baik maupun yang sudah terfragmentasi berat. Tebang rumpang sebagai salah satu sistem silvikultur masih sangat diperlukan untuk diujicoba dalam skala yang lebih besar terutama dalam aspek-aspek perencanaan pengelolaannya. Kata kunci : Sistem silvikultur, tebang rumpang, pertumbuhan meranti
I.
LATAR BELAKANG
Hutan merupakan sumberdaya alam yang memegang peranan penting bagi kehidupan dan telah memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian yaitu sebagai sumber devisa negara dan kesejahteraan masyarakat. Hutan
dapat dipandang sebagai merupakan mosaik rumpang dari berbagai fase perkembangan dan tingkat umur. Fase perkembangan vegetasi terdiri dari beberapa fase yaitu: 1) fase rumpang (pada saat terjadinya rumpang), 2) fase perkembangan (proses pertumbuhan dan
109
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
perkembangan vegetasi yang menjadi rumpang), dan 3) Fase tua (vegetasi mencapai klimaks dan kemungkinan mendekati asalnya dan strukturnya berlapis) dimana setiap saat dapat terjadi rumpang yang baru. Fase satu dengan lainnya saling terkait, berkesinambungan dan merupakan suatu proses yang dinamis (Whitmore, 1975). Pengusahaan hutan alam produksi dengan sistem konsesi hutan di satu pihak telah memberikan kontribusi penting terhadap peningkatan devisa dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi di lain pihak mengakibatkan terjadinya degradasi hutan hutan secara drastis, hal ini terbukti dengan banyaknya terjadi kerusakan tegakan hutan di areal bekas tebangan dimana mencapai 1,6 -2,0 juta hektar/tahun (FAO, 2000) . Soerianegara (1971) mengemukakan bahwa dalam mengelola hutan alam agar kelestarian produksi dapat tercapai diperlukan adanya pengaturan teknik penebangan dan regenerasi hutan pada suatu sistem silvikultur yang digunakan. Oleh karena itu, kondisi kelompok hutan yang akan dikelola tentu harus sesuai dengan persyaratan yang diinginkan oleh sistem silvikultur yang dipergunakan. Pengelolaan hutan alam produksi yang dikelola oleh konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dimulai tahun 1970 dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI). Pada tahun 1989 sistem silvikultur TPI diganti menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan revisinya tahun 1993 yaitu berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.: 151/Kpts/IV-BPHH/1993. Pada tahun 2005 dibuat peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.30/Menhut-II/2005 mengenai sistem silvikulur intensif dan akhirnya dicabut kembali keberlakuannya dengan peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Pada peraturan ini ada beberapa hal baru dibandingkan peraturan
110
sebelumnya, yaitu adanya sistem silvikultur tebang rumpang dan memungkinkan untuk dilaksanakannya lebih dari satu sistem silvikultur yang berbeda pada satu unit pengelolaan hutan produksi. Sistem tebang rumpang (TR) merupakan hasil kajian dan ujicoba Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru sejak 1985 di Hutan Penelitian Kintap, Kalimantan Selatan. Sistem TR ini sering disebut juga sebagai ”Gap Simulation System”. Sistem Tebang Rumpang ini berbasis permudaan alami, dan menjadi salah satu sistem yang ditawarkan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu sistem silvikultur alternatif untuk pengelolaan hutan alam produksi (Sagala, 1994). Sistem TR ini pada awal pembentukannya dilakukan pada areal hutan yang relatif masih primer, dimana permudaan alami jenis-jenis primer masih tidak menjadi masalah. Pada areal hutan yang telah terfragmentasi berat, TR ini belum diujicoba secara tuntas. Pada saat ini, apakah tebang rumpang berbasis permudaan alami ini masih efekif untuk areal hutan yang telah terfragmentasi. Pertanyaan ini, perlu dijawab melalui serangkaian ujicoba kembali TR di areal hutan yang telah terfragmentasi berat, dimana keberadaan permudaan alami jenis primer menjadi kendala. Secara umum, apapun sistem silvikutultur yang digunakan pada dasarnya adalah menciptakan ruang-ruang terbuka di dalam hutan. Ruang-ruang terbuka tersebut dapat menjadi suatu triger bagi keberlangsungan proses dinamika hutan yang lebih cepat, tetapi dapat menjadi penghancur keberlangsungan proses dinamika hutan yang ada. Semua itu sangat tergantung dari luas, bentuk dan pola penyebaran ruang terbuka yang tercipta, serta tergantung dari kualitas ruang terbuka bagi perkembangan regenerasi (Brokaw, 1985). Produktivitas hutan dapat dianggap sebagai laju produksi biomassa yang dihasilkan oleh satu luasan tegakan hutan dalam periode waktu terentu. Dalam konteks hutan produksi, biomass tersebut disederhanakan dalam bentuk volume batang pohon. Produktivitas tersebut merupakan
Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap ... (Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto)
akumulasi dari pertumbuhan yang pohon dan vegetasi lainnya di dalam hutan. Produktivitas hutan sangat erat hubungannya dengan kelestarian. Dari sudut pandang rimbawan, kelestarian sumberdaya hutan akan terjaga jika hutan selalu berada dalam tingkat kapasitas produktif maksimumnya (Fujimori, 2001; Soedomo, 1995). Oleh karena itu, apapun sistem silvikultur yang digunakan dalam suatu kawasan hutan, maka kelestarian akan terjamin jika tetap mampu menjaga tingkat kapasitas produksi maksimum hutan yang bersangkutan. Semua sistem silvikulutur akan selalu mencakup tiga fungsi atau perlakuan dasar, yaitu : (1) permudaan (regeneration), (2) pemeliharaan (tending) dan (3) pemanenan (harvesting). Aplikasi aktual dari semua jenis perlakuan, urutan, tata-waktu kegiatan serta intensitasnya sering berbeda dari satu tegakan hutan ke tegakan lainnya, tergantung dari tujuan pemilik dan kondisi ekologisnya (Nayland, 1996). Kesinambungan yang tak terputus dari siklus ketiga fungsi dasar tersebut menjadi kriteria utama keefektifan suatu sistem silvikultur dalam konteks pengelolaan hutan produksi lestari. Setelah berjalan hampir 40 tahun pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia, efektifitas sistem silvikultur yang sedang digunakan banyak diragukan untuk mampu melestarikan hutan alam produksi Indonesia saat ini. Apakah fragmentasi vegetasi yang terjadi akibat pembalakan dapat mengarah ke kondisi semula atau kondisi yang diharapkan? Keberhasilan fungsi regenerasi dan pemeliharaan menjadi faktor kunci keefektifan sistem silvikulutur dalam menuju pengelolaan hutan lestari. Tujuan akhir (goal) dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pertumbuhan jenis-jenis komersil di dalam rumpang baik permudaan alam maupun tanaman. Sasaran penelitian ini adalah mendapatkan suatu bahan kajian mengenai efektifitas sistem silvikultur Tebang rumpang dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari, sehingga hasil kajian ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan keputusan
tentang kondisi hutan yang sesuai bagi penerapan sistem Tebang Rumpang (TR). II. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini dicoba membuat 8 buah rumpang dalam satu unit jalan sarad. Ukuran rumpang masing-masing 1-1,5 kali pohon tepi (radius ± 30 m), dan hanya dibuat di satu HPH yaitu di Ex HPH PT Hutan Kintap (KHDTK Kintap). Perlakuan silvikultur yang diberikan adalah permudaan alami dan perlakuan penanaman. Permudaan alami diberikan pada 4 buah rumpang, dan penanaman dengan jenis primer setempat dilakukan pada 4 buah rumpang lainnya dalam jarak tanam di dalam jalur tanam 2.5 m yang dimulai 3 m dari masing-masing tepi rumpang, sehingga jumlah tanaman setiap rumpang diharapkan mencapai 21 batang. Sedangkan pengamatan tentang kajian regenerasi permudaan alam dilaksanakan juga di areal bekas tebangan di 2 HPH yaitu : 1). HPH PT Aya Yayang Indonesia, Kabupaten Tabalong di Tanjung. Dilakukan pembuatan PUP dengan ukuran 200 x 5 m sebanyak 7 buah dan pengamatan rumpang yang dibuat tahun 2002 sebanyak 24 buah. 2). Ex HPH PT Hutan Kintap (KHDTK Kintap). Dilakukan pembuatan PUP dengan ukuran 200 x 5 m sebanyak 7 buah dan pengamatan rumpang Shorea pauciflora yang dibuat tahun 2004 sebanyak 24 buah, rumpang tanaman tengkawang tahun tanam 2006 sebanyak 15 buah serta rumpang yang dibangun pada tahun 1997 sebanyak 5 buah. Petak tebangan yang dipilih adalah petak tebangan yang sedang berjalan saat ini dan merupakan tebangan siklus ke-dua (logged-over area). Prosedur kegiatan adalah : 1. Pemilihan tempat penumpukan kayu sementara (TPn). TPn ini merupakan tempat penumpukan log penyaradan, yang berada di tepi areal tebangan. 2. Memetakan semua jaringan sarad yang menuju ke TPn tersebut
111
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
3. 4.
5. 6.
Menentukan titik-titik tebang sebagai calon rumpang Penandaan batas pada setiap calon umpang (luas rumpang : 1 – 1,5 kali pohon tepi), dan penandaan semua pohon yang ditebang untuk disarad /dimanfaatkan (P1) Sensus semua tingkat pohon yang tidak dimanfaatkan (po), yaitu vegetasi berdiameter > 10 cm. Inventarisasi permudaan jenis kanopi atas, yaitu permudaan tiangkat anakan (tinggi < 1,2 m) dan pancang (tinggi > 1,5 m dan diameter < 10cm). Penentuan permudaan ini dilakukan dengan line intercept method (LIM). LIM ini adalah semua permudaan yang menyinggung garis pengamatan. Garis pengamatan yang dibuat adalah dua
garis tengah rumpang yang saling berpotongan tegak lurus. Karatersitik yang diamati adalah jenis dan jumlah individu. 7. Penebangan pohon di dalam rumpang. 8. Penyaradan batang pohon yang dimanfaatkan. 9. Perapihan rumpang: penebangan dan pencincangan semua individu di dalam rumpang 10. Pembuatan jalur tanam pada rumpang yang terpilih untuk penanaman (4 rumpang). 11. Penanaman meranti merah (Shorea pauciflora King) pada masing-masing rumpang terdiri dari 21 tanaman dengan jarak tanam 2.5 m, seperti pada Gambar 1.
Sumber: diolah dari data primer
Gambar 1. Arah jalur tanam di dalam rumpang. Bibit ditanam dalam jarak 2.5 m dari titik tengah sampai 4 m sebelum tepi rumpang Figure 1. The direction of planting line inside gaps. The seedlings were planted with spacing of 2.5 x 2.5 m 12. Pada rumpang dengan permudaan alam, dilakukan penandaan anakan alam sesuai dengan hasil inventarisasi permudaan sebelum penebangan. Dilakukan baik pada rumpang yang ditanam maupun yang tidak. Penandaan dilakukan dengan menggunakan patok kecil (ajir) dan ploting. Pembuatan rumpang dilakukan dengan langkah-langkah : 1) Survei lokasi rumpang dan pelacakan jalan sarad, 2) Plotting rumpang, penentuan titik dan batas tebangan. Luas rumpang 0,02 Ha sebanyak 8 buah, 3) Pencatatan jenis pada tingkat semai, pancang,
112
tiang dan pohon di dalam rumpang untuk mengetahui kondisi awal vegetasi dan perkembangan berikutnya, 4) Penebasan tumbuhan bawah (tingkat semai), 5) Penebangan tingkat pancang,tiang, pohon, 6) Pemotongan batang, cabang (pencacahan), 7) Pembersihan bekas tebangan di dalam rumpang, 8) Sebanyak 4 rumpang ditanam dengan meranti merah (Shorea pauciflora King) dengan jumlah 21 tanaman masing-masing rumpang, 9) Pemasangan ajir dengan jarak 2.5 x 2.5 m, 10) Penanaman dengan jarak tanam 2.5 m. dan 11) Pengamatan data awal. Parameter yang diamati
Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap ... (Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto)
adalah : 1) Tinggi tanaman (cm), dan 2) Diameter tanaman (cm). Di samping kegiatan di atas dilakukan pula pengukuran tanaman meranti merah (Shorea pauciflora King) metode rumpang umur 6 tahun dan tanaman tengkawang (Shorea stenoptera) metode rumpang umur 4 tahun. Parameter yang diamati adalah : 1) Tinggi tanaman (m), 2) Diameter tanaman (cm), dan 3) Lebar tajuk (m). Efektifitas tebang rumpang diukur berdasarkan indikator-indikator : 1. Komposisi jenis kanopi atas Komposisi permudaan jenis kanopi atas ditentukan berdasarkan jumlah individu dan komposisi jenis permudaan alam serta pola penyebarannya. Pada rumpang permudaan alami, analisis permudaan mencakup : - Dinamika permudaan : perubahan jumlah dan komposisi permudaan sebelum dan sesaat setelah penebangan serta beberapa tahun setelah penebangan. Pada penelitian ini pengamatan dilakukan setiap tahun. 2. Pertumbuhan jenis kanopi atas. Pertumbuhan permudaan difokuskan hanya pada permudaan kanopi atas jenis terpilih. Pada jenis-jenis terpilih ini dilakukan pemeliharaan intensif, yaitu pembebasan vertical di sekitar tajuk permudaan yang bersangkutan. Perlakuan ini diterapkan juga untuk individu-individu pada rumpang yang ditanam. Pertumbuhan pada tahap awal (umur < 1 tahun) diukur hanya berdasarkan pada ukuran tinggi total, lebar tajuk dan diameter tajuknya, serta tinggi rata-rata vegetasi lain di sekitar tajuknya. Analisis permudaan di Blok tebangan dimulai dari prosedur dengan mengumpulkan data melalui analisis vegetasi pada blok-blok tebangan, yang ditujukan untuk deskripsi struktur perkembangan individu pohon pada setiap fragmentasi vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara membuat petak-petak contoh. Satu petak contoh berbentuk transek dengan ukuran 200 m x 5 m . Ukuran petak contoh ini mengadopsi prosedur dari Oldeman (1974) dalam Rosalina et al., (1990), yang menyatakan bahwa untuk hutan yang berada dalam pada proses suksesi cukup berukuran 40 x 5 m. Memperpanjang ukuran sampai 200 m
dimaksudkan untuk lebih menggambarkan variasi perkembangan vegetasi sebagai akibat kegiatan pembalakan. Jumlah petak contoh minimal 8 buah. Karakteristik vegetasi yang diamati di dalam setiap petak contoh meliputi pengukuran sebagai berikut : 1. Vegetasi yang dihitung dan diukur pada seluruh petak contoh adalah semua individu berdiameter > 10 cm (tingkat tiang dan pohon). Sedangkan untuk individuindividu tingkat pancang (diameter < 10 cm tinggi > 1,5 m) diukur pada transek selebar 1 m. Individu tingkat anakan/tumbuhan bawah hanya diamati pada petak 1 x 1 m dan berjarak satu dengan lainnya 5 m di jalur transek. 2. Pada individu tingkat tiang dan pohon karaktersitk yang diamati adalah : diameter batang, tinggi total dan tinggi bebas cabang serta proyeksi tajuknya. Proyeksi tajuk ditentukan dengan cara plotting dengan menggunakan kertas milimeter-block. Selain itu, pengamatan dilakukan terhadap karaktersitik fase perkembangannya yang mengikuti konsep dari Torquebiau (1986) dan Blasco et al. (1983) sebagai berikut : a. Pohon masa depan (The trees of the future): merupakan individu-individu pada fase pembangunan (building phase) yang dicirikan oleh pola percabangan monopodial, belum terbentuk banir dan rasio tinggi total terhadap diameternya lebih besar dari 100 (H/D > 100). b. Pohon masa kini (The trees of the present) : individu yang memiliki percabangan simpodial, sudah terbentuk banir dan rasio H/D = 100. c. Pohon masa lalu (The trees of the past): memiliki percabangan simpodial dan sudah mengalami reiterasi-reiterasi percabangan lebih lanjut; Rasio H/D < 100. 3. Untuk individu pancang hanya diukur tinggi total dan lebar tajuk, sedangkan tingkat anakan hanya dihitung jumlah individunya.
113
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
Kualitas regenerasi setiap fragmentasi vegetasi ditentukan berdasarkan komposisi dan status perkembangan jenis primer serta ketersediaan ruang untuk pertumbuhannya (faktor naungan). Ketiga indikator tersebut akan menghasilkan sedikitnya enam kelompok fragmentasi, yaitu: I. Terdapat individu jenis primer fase tua dan bebas dari naungan. II. Terdapat individu jenis primer fase matang dan tua dan bebas dari naungan. III. Terdapat individu jenis primer fase matang dan bebas dari naungan. IV. Terdapat individu jenis primer fase muda dalam komposisi yang memadai, dan bebas dari naungan. V. Terdapat individu jenis primer fase muda dalam komposisi yang memadai, dan tidak bebas dari naungan. VI. Tidak terdapat individu jenis primer. Kelompok (a) dan (b) merupakan tegakan tinggal yang secara fisik tak terganggu aktivitas pembalakan. Kelompok (c) dan (d) adalah fragmentasi dengan perkembangan ideal/normal setelah pembalakan, dan merupakan ukuran keberhasilan perlakuan pembinaan tegakan yang telah diberikan. Kelompok (e) dan (f) merupakan fragmentasi yang mencerminkan kegagalan pembinaan tegakan. Penelitian dilakukan di dua unit HPH, yaitu: 1) Di HPH PT Aya Yayang Indonesia, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, dan 2) Di Ex HPH PT Hutan Kintap (saat ini KHDTK Kintap) yaitu untuk penelitian efektifitas tebang rumpang, dan penelitian kajian regenerasi di logged-over area. Areal HPH, saat ini dikenal dengan Izin Usaha Pengusahaan/ Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT Aya Yayang Indonesia yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 840/KptsII/1999 tanggal 6 Oktober 1999. HPH ini merupakan salah satu HPH yang terletak di Desa Dambung Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Areal kerja HPH seluas 87.241 ha yang teridiri dari Hutan Lindung (HL) seluas 23.492 ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 44.768 ha dan Hutan Produksi
114
(HP) seluas 21.665 ha dan berada dalam Kelompok Hutan Sungai Ayu, Sungai Tutui dan Sungai Tabalong. Sesuai keputusan tersebut, masa berlakunya HPH PT Aya ini selama 55 tahun terhitung mulai tahun 1993/1994. Hal ini terjadi disebabkan sebelum diterbitkannya Surat Keputusan defenitif terlebih dahulu diberikan izin Tebang sementara. Areal kerja HPH PT Aya Yayang Indonesia ini periode sebelumnya adalah perpanjangan yang berasal dari penggabungan areal HPH PT Aya Timber dan PT Yayang Indonesia yang keberadaannya dalam satu group PT Barito Pasific Timber Group (PT BPTG). Hal ini menunjukkan kondisi areal hutannya saat sekarang ini tidak seluruhnya termasuk hutan perawan akan tetapi sebagian besar merupakan hutan sekunder sebab di areal HPH ini telah dilakukan kegiatan pembalakan/ penebangan yang dimulai sejak tahun 1973/1974 ((Widyarto, 2005). Realisasi kegiatan penebangan kedua HPH sebelum adanya penggabungan sesuai data yang diperoleh, rata-rata seluas 1.600 ha dengan produksi hasil kayu bulat sebanyak 100.000 m3/tahun. Berdasarkan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (RKUPHHKHA) pada periode Tahun 1993 sampai 2048 PT Aya Yayang Indonesia telah disahkan Departemen Kehutanan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 4842/Kpts-VI/BRPHP/2004, dimana awal kegiatan pengelolaan hutan pada periode tersebut adalah merupakan Rencana Kerja Lima Tahunan Kelima (RKL V) yakni periode Tahun 1993/1994 - 1997/1998 sampai dengan RKL XV. Kondisi penutupan lahan hutan berdasarkan Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Kalimantan Selatan serta berdasarkan hasil Citra Landsat Tahun 2002 juga hasil inventatarisasi lapang dengan intensitas 1.3 %, menunjukkan bahwa Hutan Produksi maupun Hutan Produksi Terbatas kondisinya sebagian besar yaitu sekitar 97 % adalah berupa Logged Over-Area (LoA) dimana sisanya berupa non hutan (belukar). Potensi
Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap ... (Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto)
tegakan hutan hasil inventarsisasi lapang untuk pohon berdiameter 50 cm ke atas sebesar 48.98 m3/ha, sedangkan untuk pohon yang memiliki diameter 60 cm ke atas sebesar 33.05 m3/ha dimana jenis pohon penyusunnya terdiri dari Tengkawang (Shorea sp), Jelutung (Dyera sp), Nangka (Artocarpus sp), Bangkirai (Shorea laevis), Kapur (Dryobalanops sp), Dungun (Syzygium sp), Meranti (Shorea sp), Nyatoh (Palaquium sp), Kuranji (Dialium sp), Madang (Litsea sp), Binuang (Octomeles sumatrana), Sindur (Sindora sindur) dan lain-lain. Sesuai kondisi hutan yang sangat bervariasi pada masing-masing blok di dalam areal HPH serta potensi pohon yang tidak seragam, maka sesuai dengan Rencana Jangka Panjang (RJP) yang telah disetujui dimana luasan tebangan lima tahun berkisar antara 4.300 ha sampai 6.500 ha atau 800 ha/tahun dengan proyeksi produksi kayu bulat berkisar antara 102.000 sampai 150.000 m3 atau antara 21.000 sampai 30.000 m3/tahun yaitu hasil gaubungan produksi dari Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Sistem silvikultur yang dipergunakan pada pengelolaan hutan di areal ini adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sebagaimana tertuang dalam Lampiran Surat Keputusan Direktur jenderal Pengusahaan Hutan Nomor : 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tertanggal 19 Oktober 1993 yaitu merupakan salah satu sistem silvikultur paling sesuai untuk kondisi hutan alam di luar Pulau Jawa dengan memperhatikan biodeversitasnya di samping telah sesuai dengan kondisi topografi HPH PT Aya Yayang Indonesia yang memiliki kelerengan sedang sampai terjal. Dalam pengelolaannya, di samping dengan menggunakan sistem TPTI murni juga melakukan kemitraan dengan masyarakat di dalam dan di sekitar areal HPH dalam bentuk koperasi atau kelompok masyarakat sebagai pemenuhan kewajiban HPH dalam pelaksanaan Surat Keputusan Pembaharuan HPH. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih diarahkan pada segmen kegiatan yang cepat menghasilkan uang yakni kegiatan penebangan, pengangkutan dan pembinaan hutan bekas tebangan.
Dalam rangka mewujudkan serta mengontrol dan mengawasi terhadap kegiatan tersebut, maka disusun kerjasama dalam bentuk Nota Kesepahaman antara masyarakat dengan pemilik HPH yang secara jelas mengatur hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak. Tujuan utama dari kemitraan ini adalah sebagai upaya untuk meminimalisasi kegiatan penebangan liar yang selama ini terjadi di Kalimantan Selatan khususnya di dalam dan di sekitar areal HPH PT Aya Yayang Indonesia. Dengan berjalannya pola kemitraan tersebut diharapkan bahwa pihak perusahaan dan Pemerintah dapat menjadi mitra perusahaan dalam mengamankan areal HPH dari para penebang liar (Illegal logging). Sisitem silvikultur TPTI dengan spesipikasi pada penekanan limbah tebangan atau Reduce Impact Logging (RIL) dicoba untuk diimplementasikan pada HPH PT Aya Yayang Indonesia sebagai pilot project kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropah melalui South Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP) sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor : 127/Kpts-II/1999 tanggal 5 Maret 1999 yaitu tentang penunjukkan lokasi kegiatan SCKPFP di areal HPH PT Aya Yayang Indonesia di Propinsi Selatan dan PT Dwimajaya Utama di Propinsi Kalimantan Tengah. Direncanakan kegiatan RIL dilaksanakan pada Rencana Karya Tahunan (RKT) Tahun 2003 namun relitanya baru dapat dilaksanakan pada RKT Tahun 2004 sebanyak 1 buah petak tebang seluas 31,92 ha yakni Petak Nomor 33 N. Pelaksanaan kegiatan ini sempat tertunda selama 1 tahun sebagai akibat terganggunya petak tebang karena terlanjur ditebang lebih dahulu oleh para penebang liar pada hal persiapan lapang seperti inventarisasi pohon dengan SIPTOP, perencanaan jalan sarad maupun jalan cabang telah selesai dilaksanakan. Mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 4795/Kpts-II/2002 bahwa sebenarnya pelaksanaan RIL di areal HPH belum menjadi suatu kewajiban atau mandatory melainkan baru dalam tahap ujicoba yang mengarah pada
115
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
sistem sertifikasi hutan untuk menuju Pengelolaan Hutan Lestari. Dengan demikian dari jumlah HPH yang ada di Indonesia baru beberapa HPH yang terpanggil dan mau melakukan kegiatan RIL sebagai pionir di tingkat perusahaan. Ujicoba pelaksanaan RIL di salah satu petak tebang tersebut merupakan kolaborasi antara perusahaan, baik dari sisi keuangan dan sumberdaya manusia dengan pihak proyek yang diharapkan nantinya pada pasca proyek perusahaan mau dan mampu melakukan kegiatan untuk petak-petak tebang yang lain atas dasar pengalaman dan petunjuk yang diberikan oleh para instruktur selama masa ujicoba berlangsung. Dengan demikian adanya pendapat dari para pelaksana ataupun praktisi yang selama ini berkembang bahwa kegiatan RIL merupakan kegiatan yang sangat mahal dan rumit serta memerlukan ketrampilan khusus nantinya akan dapat dibuktikan setelah dilakukan pengamatan dan pengukuran di lapangan dengan catatan kendala tentang kegiatan penebangan liar tidak dimasukan dalam faktor kesulitan pelaksanaan di lapangan. Lokasi selanjutnya adalah Eks HPH PT Hutan Kintap (saat ini KHDTK Kintap), lokasi ini merupakan Eks HPH Hutan Kintap dan saat ini menjadi KHDTK Kintap. Menurut data administrasi pemerintahan daerah, lokasi termasuk dalam Desa Riam Adungan, Kecamatan Kintap, Kabupaten Derah Tingkat II Tanah Laut, Propinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis, lokasi berada pada 3042’ Lintang Selatan dan 11509’ Bujur Timur. Jarak dari kota Propinsi (Banjarmasin) berjarak 150 Km dengan arah Tenggara. Areal ini memiliki topografi datar sampai bergelombang serta berbukit dengan ketinggian tempat 50 – 150 m di atas permukaan laut. Tanah di areal penelitian ini termasuk ultisol, pada beberapa bagian termasuk tanah berlumpur (gley) dan litosol, partikel tanah didominasi oleh tanah liat dengan pH 4.8-6.1 dengan Posfor, bahan organik, kapasitas tukar kation yang relatif tinggi (Jafarsidik, 1998). Areal ini didominasi oleh vegetasi asal belukar mahang dimana sebelumnya terdiri dari hutan alam produksi
116
dengan jenis dominan terdiri dari suku Dipterocarpaceae. Diantaranya jenis meranti (Shorea sp). Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951), iklim di lokasi penelitian ini termasuk tipe iklim B dengan nilai Q berkisar antara 13.3 – 33.33 %. Musim hujan berlangsung antara bulan Nopember – April dan bulan kemarau bulan Mei – Oktober. Suhu rata – rata 25 % dengan suhu minimum 22.60 C dan suhu maksimum 29.90 C. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.017 mm dan hari hujan rata-rata tahunan sebesar 154 hari. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman pada Rumpang Buatan Pertumbuhan tanaman pada rumpang umur 16 dan 17 tahun di Kintap. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti di dalam rumpang berumur 16 tahun (5 rumpang) dan berumur 17 tahun (1 rumpang), menunjukkan, bahwa hanya 3 rumpang yang masih berisi tanaman (Tabel 4). Individu-individu tanaman yang masih hidup di dalam rumpang hanya terdiri dari individu tumbuh normal yaitu tumbuh pada kondisi tidak terganggu naungan pohon sekitarnya. Berdasarkan Tabel 4 tersebut, individu pohon normal mampu tumbuh dengan riap diameter 1,6 cm/th untuk S. parvisipulata, sedangkan untuk jenis S. johorensis sebesar 1.3 cm/thn sampai umur 1617 tahun. Lebar tajuk sebagai indikator penutupan ruang tumbuh 4,6 - 9,0 m dengan rasio diameter tajuk diameter batang 27.5- 31.5. Rasio ini mengindikasikan bahwa untuk tumbuh normal tanaman memerlukan ruang terbuka (bebas naungan) rata-rata 30 kali ukuran diameternya. Ukuran individu tanaman ternaungi jauh lebih kecil dibandingkan dengan individu normal. Pengaruh naungan tersebut terlihat sangat signifikan, baik terhadap pertumbuhan maupun perkembangan tanaman. Kondisi naungan ekstrim mengakibatkan tajuk menipis, stagnansi titik tumbuh dan selanjutnya batang bagian atas patah. Fakta di atas sesuai dengan
Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap ... (Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto)
teori-teori dinamika hutan tropika basah yang menyatakan bahwa, di dalam tegakan hutan alam, pertumbuhan dan komposisi jenis sangat ditentukan oleh ukuran atau luas, bentuk dan periodisitas pembukaan kanopi (gaps, 'petches' atau 'chablis) (Brokaw, 1985). Jenis-jenis komersil yang dibalak, hampir semuanya merupakan jenis kanopi utama. Pertumbuhan permudaan jenis kanopi atas memerlukan ruang terbuka berupa rumpang (chablis, 'patches' atau
'gaps'), pada fase ini pertumbuhan tinggi paling dominan, setelah mencapai kanopi atas maka pertumbuhan tinggi melambat dan secara praktis berhenti kemudian pertumbuhan tajuk pohon dan pertumbuhan diameter berlangsung (Whitmore, 1975; Halle et al.,1978). Karakteristik vegetasi dalam rumpang umur 16 dan 17 tahun di Kintap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik tanaman di dalam rumpang umur 16 dan 17 tahun di Kintap Table 1. Characteristics of plants inside 16 and 17 years gap at Kintap Nomor Rumpang/ umur (Gap Number / Ages) I.1 / 17 th /0.1 ha / 200bt/ha
II.5/16 th /0.01 ha /500 bt/ha
II.3/16 th /0.06 ha / 183/bt/ha
S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. johorensis
27.9 28.7 10.8 16.6 29.3 27.4 22.7
Tinggi Total / (Total Height) (m) 21.0 22.0 6 6 5 6 25
S. johorensis
7.5
9
1.8
S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata S. johorensis S. johorensis
25.5 17.2 17.1 15.6 15.0 9.6 13.0 18.5 18.3
22.0 19 10 17 15 10 8 14.5 11
7 5.5 3.5 5.0 4.5 2.5 3.5
Jenis (Species)
Sumber: diolah dari data primer
Dbh (cm)
8.8 9.0
Rasio TajukDiameter (Canopy RatioDiameter) 31.5 31.4
6.5 6.5
28.6
Lebar tajuk (Canopy Width) (m)
Penampilan tanaman meranti merah (Shorea pauciflora King.) Umur 6 tahun dengan metode rumpang di Kintap (Tanam Desember 2004 dan diukur Desember 2011), hasilnya seperti pada Tabel 2. Pada Tabel 2 tampak bahwa riap tinggi dan diameter tanaman terbaik terjadi pada rumpang diameter 12 m (luas = 113.04 m2) yaitu 0.81 cm/tahun dan 0.78 cm/tahun. Sedangkan riap tinggi dan diameter tanaman terendah terdapat pada perlakuan rumpang diameter 6 m (luas 28.26 m2) yaitu masing-masing 0.68 cm/tahun dan 0.56 cm/tahun. Pertumbuhan tanaman tengkawang
27.5 32.0 20.5 32 30 26 26.9
Keterangan (Remarks) Bebas, normal Bebas, Normal Patah Patah Patah-mati Patah-mati Bebas Normal Ternaungi, patah2, bayonet like Bebas, Normal Bengkok, patah ujung Ternaungi, patah Ternaungi, patah Ternaungi, patah Ternaungi, patah Ternaungi, patah Patah Patah
(Shorea stenoptera) metode rumpang umur 4 tahun di Kintap (Tanam Desember 2006, diukur Desember 2011), hasilnya disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 tampak bahwa rumpang tampak bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik terdapat pada rumpang diameter 6 m (luas = 28,26 m2) yaitu tinggi sebesar 3.81 m berarti riap 0.95 m/tahun dan diameter 3.83 cm dimana riapnya adalah 0.95 cm/tahun dan urutan nomor 2 terbaik, baik parameter tinggi dan diameter terdapat pada rumpang diameter 12 m (luas 113.04 m2) yaitu tinggi 3.66 m dan
117
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
diameter 3.66 cm. Artinya riap tinggi dan diameter sebesar 0.92 cm/tahun. Sedangkan riap tinggi dan diameter terkecil terjadi pada
rumpang diameter 9 m yaitu riap tinggi 0.72 cm/tahun dan riap diameter 0.65 cm/tahun.
Tabel 2. Pertumbuhan tanaman meranti merah (Shorea pauciflora King) umur 6 tahun dengan metode rumpang di Kintap Table 2. The growth of red Shorea aged 6 years with gap method at Kintap Ø Rumpang (Gap) (m) Kontrol 6 9 12
T (m) 3,10 4,09 4,28 4,84
Sumber: diolah dari data primer
Rata-rata (Mean) Lebar Tajuk (Canopy Width)(m) D (cm) 1 2 2,50 2,50 2,25 3,37 2,48 2,18 3,76 2,10 1,78 4,78 2,61 2,53
Keterangan (Remarks)
Tabel 3. Pertumbuhan tanaman tengkawang (Shorea stenoptera) umur 4 tahun di Kintap Table 3. The growth of Tengkawang aged 4 years at Kintap Rata-rata (Mean)
Ø Rumpang (Gap)
T (m)
D (m)
6 9 12
3,81 2,88 3,66
3,83 2,60 3,66
Sumber: diolah dari data primer
B. Permudaan Alam pada Rumpang Individu-individu jenis lapisan atas dan komersil di dalam rumpang alam di KHDTK Kintap menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang memuaskan. Riap diameter rata-rata sampai umur 13 tahun untuk tiga jenis meranti meranti mencapai 2.1 cm. Kondisi kontras terjadi pada rumpang permudaan alam umur 14 tahun di PT AYI yang hanya memiliki riap rata-rata sebesar 0.9 cm/tahun. Gambaran ini selain akibat dari kondisi tapak yang berbeda, juga karena perbedaan perlakuan, dimana di Kintap dilakukan perlakuan pembebasan sampai umur 2 tahun, sedangkan di PT AYI tidak ada perlakuan. Karakteristik permudaan alam jenis komersil di dalam rumpang di Kintap dan di Tanjung (PT AYI) ditampilkan pada Tabel 4.
118
2,40 2,25 2,70
Lebar Tajuk (Canopy Width) (m)
2,27 1,84 2,49
Riap diameter rata-rata individu di dalam rumpang permudaan alam terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan rumpang tanaman, hal ini disebabkan oleh karaktersitik permudaan alam yang sudah ada di dalam rumpang sebelumnya sudah memiliki tingkat adaptasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bibit tanaman, terutama dalam sistem perakarannya. Perbedaan pertumbuhan rumpang permudaan alam di PT AYI dengan di Kintap, selain karena faktor perlakuan pembebasan, juga sebagai akibat perbedaan kondisi ekologis hutannya itu sendiri. Di PT AYI, hutan dengan asosiasi tengkawang, bangkirai (S. laevis ) dan nyatoh (Palaquium sp.) umumnya berada di atas tanah yang bertekstur lebih kasar (sandy soils). Naungan yang ada masih memungkinkan jenis-jenis kanopi atas untuk tetap tumbuh normal walaupun relatif lambat.
Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap ... (Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto)
Tabel 4. Karakteristik permudaan alam jenis komersil di dalam Rumpang di Kintap (III.1 – III.3) dan Tanjung (IV.1-IV-2) Table 4. Characteristics of commercial natural regeneration inside gaps at Kintap and Tanjung Nomor Rumpang/umur (Gap Number / Ages)
Jenis (Species)
Dbh (cm)
Tinggi Total / (Total Height) (m)
Lebar tajuk (Canopy Width) (m)
Rasio TajukDiameter (Canopy RatioDiameter)
Keterangan (Remarks)
III.1/ 13th /0.1 ha/ 200bt.ha
S. parvistipulata S. johorensis S. johorensis S. johorensis S. johorensis S. leprosula
24.8 23.6 29.0 29.9 33.8 29.6
18.0 22.5 23.5 24 24 21.5
6.5 5.8 6.3 8.5 8.0 6.1
26.2 24.4 21.7 28.4 24.7 20.6
Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas,
Normal Normal Normal Normal Normal Normal
III.2/13/ 0.1 ha / 170bt/ha
S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. parvistipulata S. parvistipulata
24.8 22.6 25.5 23.6 22.0 23.2 21.8 28.3 24.8 24.6
22 21 23 20 19 22 19 24 19 18
5.3 4.9 5.3 4.8 4.5 4.3 4.4 4.0 4.3 3.5
21.4 22.2 20.8 20.3 20.5 18.5 20 15 17.3 14.2
Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas, Bebas,
Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
S. leprosula S. johorensis S. parvistipulata S. parvistipulata S. parvistipulata
22.3 25.8 30.9 24.8 20.1
18 23 23 23 17
4.8 6.3 6.8 6.0 7.5
21.5 24.4 22.1 24.2 37.3
Tengkawang Tengkawang Palaquium sp.
10.2 12.5 14.8
12 12 13
2 2.8 3.3
19.6 22.4 22.3
Tengkawang
15.2 12.3 10.4 13.1 11.0 10.1 20.1 24.5 14.5
16 13.5 12 13 11 11 18 18 14
2.0 2.5 2.5 3.0 1.8 3.2 4.7 8.0 3.3
13.2 20.3 24.0 23.1 16.4 32.0 23.4 32.6 22.8
Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas, Normal Bebas , Normal
III.3/13/ 0.028ha /120 bt/ha IV.1/17/0.057 / 490 bt/ha
IV.2/17/0.057 ha / 475 bt/ha
Shorea laevis Shorea laevis Shorea lamellata Palaquium sp. Palaquium sp. Polyalthia sp.
Sumber: diolah dari data primer
Hal ini dapat diindikasikan bahwa jenisjenis kanopi atas di hutan seperti ini memiliki keraptan kayu lebih tinggi (keras) dibandingkan dengan jenis-jenis kanopi atas yang tumbuh di tanah bertekstur lebih halus (clayed soils). Berdasarkan evaluasi pertumbuhan tegakan
rumpang diatas, maka tingkat produktivitas potensial suatu kawasan hutan alam produksi dapat ditentukan. Jika diasumsikan riap diameter rata-rata pada umur antar 13-17 tahun seperti di atas akan sama dengan kelas umur di atasnya, maka pada umur 25 tahun sudah dapat
119
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
menghasilkan individu pohon berdiameter antara 32.5 – 40 cm untuk rumpang tanaman, dan 50 cm untuk rumpang permudaan alam, atau rata-rata total 40 cm. Dengan rasio tajukdiameter rata-rata 25, maka diperlukan ruang sebesar 100m2/pohon. Jika untuk satu rumpang memerlukan areal 0,25 ha hutan, dan luas aktual rumpang di ahir daur 0,1 ha, maka dalam satu rumpang sedikitnya berisi 10 pohon panen, sehingga akan menghasilkan 40 batang per-ha hutan. Nilai ini jauh lebih besar, jika dibandingkan jumlah pohon dipanen yang disarankan oleh metoda RIL yang umumnya sekitar 10 batang/ha. Jika dihitung berdasarkan riap volumenya, maka secara jelas akan lebih tinggi dibandingkan dengan riap yang terjadi pada sistem silvikultur yang selama ini digunakan melalui RIL. Berdasarkan gambaran di atas, maka penerapan sistim silvikultur berbasis tebang rumpang sangat potensial sebagai sistem silvikultur alternatif baik untuk areal hutan logged-over yang masih baik maupun yang sudah terfragmentasi berat melalui rumpang tanaman. Walaupun begitu, hasil tersebut di atas masih dalam tingkat tegakan (dalam lingkup silvikultur) belum menggambarkan efektivitas dan efisiensi dalam skala manajemen yang masih memerlukan aspek-aspek lain terutama sistem pengaturan kelestariannya. Pengaturan kelestarian yang dimaksud mencakup seberapa banyak (how much), dimana (where), dan kapan (when) rumpang harus dibuat di dalam suatu unit pengelolaan.
Dari aspek pertumbuhan perkembangan regenerasi, baik alam maupun buatan, sistem tebang rumpang secara potensial menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem silvikultur rumpang yang selama ini digunakan. Performan sistem tebang rumpang tersebut sangat sesuai bagi areal hutan loggedover yang masih baik maupun yang sudah terfragmentasi berat. Tebang rumpang sebagai salah satu sistem silvikultur masih sangat diperlukan untuk diujicoba dalam skala yang lebih besar terutama dalam aspek-aspek perencanaan pengelolaannya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Rosalina, U. D.W., Y. Lamonier and T.B. Suselo. 1990. The Use of Profile Diagram Method for Analysing Structure and Succession of The Tropical Rain Forests: Case study Sumatera and Kalimantan. Fakultas Kehutanan IPB, Technical Notes Vol II (45). Hal. 17-21.
Riap tinggi dan diameter tanaman meranti merah (Shorea pauciflora King) terbaik umur 6 tahun terdapat pada rumpang diameter 12 m (luas = 113.04 m2) yaitu 0.81 cm/tahun dan 0.78 cm/tahun. Riap tinggi dan diameter tanaman tengkawang (Shorea stenoptera) terbaik pada umur 4 tahun terdapat pada rumpang diameter 6 m (luas = 28,26 m2) yaitu masing-masing 0.95 m/tahun dan 0.95 cm/tahun.
120
DAFTAR PUSTAKA Blasco, F.Y., Lamonier and Purnajaya, 1983. Tropical vegetation mapping : Sumatera. Biotrop Bulletin in Tropical Biology. No. 22. Hal. 60. Brokaw, N.V., 1985. Treefals, Regrowth, and Community Structure in Troomi Forests. In: Pickett S.T.A. and P.S. Whde (editors): The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc. Odarbdo, F~. Hal.53-69 FAO, 2000. The Global Forest Resources Assesment 2000. Rome Italy. Summery Report. Fujimori , T., 2001. Ecological and Silvicultural Strategies for Sustainable Forest Management. Elsevier Science B.V. Amsterdam. Hal.398. Halle, F., R.A.A., Oldeman and P.B. Tomlinson, 1978. Tropical trees and forest. Springer-Verlag. Heidelberg. Nayland, R.D., 1996. Silviculture. Concepts and Applications. McGraw-Hill Co. Inc. New York. Hal. 632.
Runkle R.R. Disturbance Regim in Temperate Forests. In: Prichett S.T.A. and P.S. Whke (editors) : The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc. Ork~, F~. Hal. 5369. Sagala, A.P.S., 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang Terhadap ... (Sudin Panjaitan, Dian Lazuardi dan Beny Rahmanto)
Soerianegara, I. 1971. Sistem-sistem Silvikultur untuk Hutan Hujan Tropika di Indonesia. Rimba Indonesia Vol.15 No.3-4. Hal. 83-93. Torquebiau, E. F. 1986. Mosaic Patterns in Dipterocarp
Rain Forest and Their Implications for Proctical Forestry. Journal of Tn~l Ecology Vol.2 Hal. 301. Whitmore, T.C. ,1975. Tropical Rain Forest of The Far East. Clarendon Press, Oxford.
121
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 109-122
122
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 123-130 ISSN: 1978-8746
KAJIAN ATURAN ADAT PEMANFAATAN TANE' OLEN OLEH MASYARAKAT LOKAL DI DESA SETULANG KABUPATEN MALINAU, KALIMANTAN TIMUR Study on Customary Rules for Tane’ Olen Use by Local Community at Setulang Village of Malinau District, East Kalimantan
Catur Budi Wiati 1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email:
[email protected] Diterima 21 Februari 2013, direvisi 18 September 2013, disetujui 23 Oktober 2013
ABSTRACT The existence of Tane’ Olen which is still well maintained and wisely managed by Setulang Village community indicates that they have customary rules in exploiting the forest resources. The existence of the customary rules in utilizing the forest resources reflecs the importance of forest resources for local community. A research was conducted by the authors in April – May 2012 in Setulang Village of Malinau District, East Kalimantan and this paper aims to inform the results of the customary rules identification in Tane' Olen use by Setulang Village community. The result showed that costumary rules used by the Setulang Villege community are very influenced by the customary rules inheritage frim their ancestor: the Dayak Kenyah Oma' Longh when they still lived in Long Sa'an, in the upper Pujungan River, Malinau District. The customary rules are in the form of community regulations for limited use of Tane' Olen to allow the fair and sustainable use of the designated forest benefiting all Setulang Village community. Keywords: customary rules, forest resources, local community, Tane’ Olen, Setulang Village
ABSTRAK Keberadaan Tane Olen yang masih dipelihara dan dikelola secara bijaksana menunjukkan bahwa masyarakat Desa Setulang memiliki suatu aturan adat dalam pemanfaatannya. Keberadaan aturan adat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan mencerminkan pentingnya keberadaan sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal. Penelitian yang dilakukan antara April – Mei 2012 di Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur ini bertujuan untuk menginformasikan hasil identifikasi hukum adat dalam pemanfaatan Tane’ Olen oleh masyarakat Desa Setulang. Hasilnya menunjukkan bahwa aturan adat pemanfaatan Tane’ Olen yang dimiliki masyarakat Desa Setulang sangat dipengaruhi oleh aturan adat leluhur mereka dari suku Dayak Kenyah Oma’ Longh saat masih di Long Sa’an, hulu Sungai Pujungan, Kabupaten Malinau. Aturan adat tersebut berupa aturan pembatasan pemanfaatan Tane’ Olen agar seluruh masyarakat Desa Setulang dapat memperoleh manfaatnya secara adil dan berkelanjutan. Kata kunci: aturan adat, sumberdaya hutan, masyarakat lokal, Tane’ Olen, Desa Setulang
I.
PENDAHULUAN
Desa Setulang merupakan salah satu desa di Kabupaten Malinau yang masih memelihara dan mengelola hutan secara bijaksana. Hal ini terkait pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Setulang dan diperlihatkan dari keberadaan Tane’ Olen yang dikelola dan dimanfaatkan masyarakatnya secara arif untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Secara harfiah Tane’ Olen oleh masyarakat suku Dayak Kenyah diartikan sebagai tanah
yang disimpan, dimana di dalamnya terdapat berbagai sumberdaya alam (kayu, binatang, tanaman obat-obatan, sumber bahan kerajinan, dan lain-lain) yang semuanya diperlukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sedangkan beberapa kelompok suku Dayak Kenyah lain menyebut Tane’ Olen sebagai hutan larangan dimana tanah dan tumbuhan yang diatasnya (hutan) yang penggunaan dan peruntukannya ditentukan oleh
123
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 123-130
keluarga yang menguasai atau yang telah mengklaim tanah tersebut. Sidiyasa dkk (2005) yang melakukan penelitian di Desa Setulang menyebutkan bahwa pohon ulin (Eusideroxylon zwageri), berbagai jenis tengkawang seperti Shorea macrophylla, Shorea pinanga, Shorea beccariana, Shorea seminis, jelutung gunung (Dyera costulata), banggeris (Koompassia excelsa), gaharu (Aquilaria beccariana) dan berbagai jenis rotan adalah jenis-jenis tanaman di Tane’ Olen yang banyak ditemukan dan dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Setulang. Selain itu secara regular mereka juga masih memanfaatkan tanaman jenis lain seperti daun sang (Licuala valida) untuk membuat topi, talas hutan (Alocasia sp.) untuk sayur-sayuran dan berbagai jenis pohon buah-buahan dan tanaman obat. Sebagian besar masyarakat Dayak di Kalimantan, khususnya yang tinggal di wilayah-wilayah pedalaman dan perbatasan yang jauh dari keberadaan pasar dan pusatpusat kesehatan seperti halnya masyarakat Desa Setulang, masih memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya yang sangat penting untuk pemenuhan pokok hidupnya. Kondisi demikian yang mendorong munculnya aturan-aturan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dalam bentuk aturan adat. Aturan adat menjadi acuan bagi masyarakat Dayak dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan misalnya dalam pembukaan wilayah hutan untuk kepentingan kegiatan perladangan, maupun pemungutan kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Karena itu dapat dikatakan bahwa keberadaan aturan adat yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan mencerminkan pentingnya keberadaan sumberdaya hutan bagi masyarakat tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan hasil identifikasi aturan adat dalam pemanfaatan Tane’ Olen dan hubungannya dengan sejarah keberadaan masyarakat Desa Setulang di Kabupaten Malinau, Propinsi Kalimantan Timur.
124
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Propinsi Kalimantan Timur mulai bulan April – Mei 2012. Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) terhadap sekitar 30 orang masyarakat Desa Setulang yang dibagi atas kelompok lakilaki dan perempuan. Selanjutnya dilakukan wawancara terhadap informan kunci (key informants) dari aparat desa, tokoh adat dan tokoh-tokoh masyarakat dengan bantuan daftar isian pertanyaan terbuka. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi literatur dari berbagai sumber yang sudah melakukan penelitian sejenis di lokasi yang sama. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Desa Setulang dan Sejarahnya Secara administrasi Desa Setulang berada di Kecamatan Malinau Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Desa ini mempunyai luas 11.800 ha terdiri atas 5 (lima) Rukun Tetangga (RT), dengan jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 848 jiwa dan 224 KK. Kepadatan penduduk per ha mencapai 1 jiwa/ha dan sebagian besar penduduk beragama Kristen Protestan. Mata pencaharian penduduk Desa Setulang umumnya adalah sebagai petani peladang. Walaupun demikian masih ada pula yang berprofesi sebagai pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru, karyawan perusahaan, buka bengkel (montir) dan lain-lain. Disamping itu mereka juga melakukan kegiatan sampingan seperti berkebun, berburu, membuat perahu, mencari HHBK diantaranya gaharu, bulu dan tanduk burung, binatang buruan, rotan, daun da’an untuk atap, daun sa’ung untuk topi dan lain sebagainya. Desa Setulang didirikan oleh salah satu kelompok dari suku Dayak Kenyah Oma’ Longh yang melakukan perpindahan dari tempat asal mereka di Longh Sa’an, sebuah desa
Kajian Aturan Adat Pemanfaatan Tane' Olen oleh Masyarakat Lokal ... (Catur Budi Wiati)
terpencil yang berada di hulu Sungai Pujungan, Kecamatan Pujungan, Kabupaten Malinau. Perpindahan dilakukan dalam 5 (lima) tahap. Rombongan pertama datang dan pindah ke Sungai Setulang pada tahun 1968, dibawah pimpinan Adjang Lidem yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Desa. Dilanjutkan dengan rombongan kedua pada tahun 1969 dibawah pimpinan Ngau Apui dan Kilung Alui. Perpindahan rombongan ketiga dilakukan pada tahun 1971 dibawah pimpinan Kirip Lidem. Selanjutnya perpindahan rombongan keempat dilakukan tahun 1972 dibawah pimpinan Mering Adjang dan Zung Adjang. Pada tahun 1978 perpindahan rombongan terakhir dilakukan dibawah pimpinan Jalung Merang dan Kaba Liung (Rahmadani F. dan Edy Marbyanto, 2010). Pengesahan keberadaan Desa Setulang sendiri akhirnya dilakukan berdasarkan Surat Camat Malinau Nomor: 506/A-6 dengan lampiran Surat Keputusan Bupati Bulungan Nomor: 12/THK/Pem-I/BKDH/74 tentang Pembentukan Desa-Desa Baru di Kecamatan Malinau dalam Wilayah Kabupaten Bulungan.
Pengesahan keberadaan Desa Setulang semakin kuat dengan adanya Surat Camat Malinau Tanggal 28 Juni 1972 Nomor: 837/A-6 yang memuat salah satunya tentang pengesahan Desa Setulang sebagai pengganti Desa Semelandung yang sebelumnya telah dihapuskan. Berdasarkan sejarahnya, perpindahan kelompok dari suku Dayak Kenyah Oma Longh ke Desa Setulang dikarenakan kehidupan mereka yang sulit di Longh Sa’an dan ingin mencari lokasi pemukiman baru yang dekat dengan sarana pendidikan dan kesehatan. Pemukiman di Desa Setulang akhirnya dipilih karena berada di pinggir Sungai Malinau sehingga memudahkan mereka menjangkau lokasi lain yang memiliki sarana pendidikan dan kesehatan dengan menggunakan perahu (ketinting). Lokasi tersebut hanya berjarak sekitar 2 (dua) jam menggunakan perahu (ketinting) dari ibukota kabupaten. Dalam perkembangannya setelah ada jalan darat, untuk menuju ke ibukota kabupaten masyarakat saat ini lebih sering menggunakan akses jalan darat yang dapat ditempuh sekitar 1 (satu) jam perjalanan.
Tabel 1. Matriks Jenis dan Uraian Data, Metoda Pengumpulan dan Analisis Data Table 1. Matrix of the Type and Data Description, Data Gathering and Data Analysis Methods Nomor (Number) I. 1. 2.
Jenis dan Uraian Data (Type and Data Description) Desa Setulang Sejarah Desa Setulang
Metoda Pengumpulan Data (Data Gathering Method) Studi literatur, FGD dan Wawancara. Studi literatur, FGD dan Wawancara.
Metoda Analisis Data (Data Analysis Method) Deskriptif kualitatif
Kondisi sosial, ekonomi dan budaya Deskriptif kualitatif masyarakat Desa Setulang II. Tane’ Olen 1. Sejarah Tane’ Olen dan Studi literatur, FGD dan Deskriptif kualitatif pemanfaatannya Wawancara. 2. Aturan adat dalam pemanfaatan Studi literatur, FGD dan Deskriptif kualitatif Tane’ Olen Wawancara. 3. Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran Studi literatur, FGD dan Deskriptif kualitatif aturan adat Wawancara. Sumber: diolah penulis untuk memperjelas jenis, uraian, metoda pengumpulan dan analisis data
B. Tana’ Ulen dan Sejarahnya Subroto, D. (1997) dan Lamis dkk (1999) menyebutkan bahwa Tana’ Ulen atau Tane’ Olen (istilah yang dipergunakan di Desa Setulang) berasal dari kata tana’ yang dalam bahasa kenyah berarti tanah dan ulen yang
berasal dari kata mulen yang berarti mengklaim atau sesuatu (barang) yang sudah dimiliki dan tidak boleh diganggu oleh orang lain. Sehingga secara umum Tana’ Ulen atau Tane’ Olen mengandung pengertian hukum sebagai tanah yang dilarang untuk orang lain.
125
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 123-130
Subroto, D. (1995) mendefinisikan Tana’ Ulen di Batu Majang sebagai suatu kawasan berhutan bagian dari tanah adat yang struktur dan komposisinya merupakan tegakan alam yang keseluruhannya didominasi oleh hutan primer (Mpa’) dan menurut adat dilindungi serta ditetapkan sebagai kawasan hutan cadangan di bawah pengelolaan bersama yang pemanfaatannya dibatasi dan dikhususkan bagi kebutuhan-kebutuhan bersama serta kebutuhankebutuhan lain yang sifatnya mendesak. Dari definisi tersebut secara ringkas dapat dikatakan Tana’ Ulen merupakan suatu kawasan hutan yang dilindungi secara adat dengan maksud sebagai hutan cadangan. Pola pengelolaan hutan seperti ini menurut Uluk dkk (1995) semula hanya ditemukan di Desa Long Alango, Desa Long Uli dan Desa Long Pujungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Belakangan hampir seluruh desa di Kecamatan Pujungan memiliki Tana’ Ulen sebagai hasil dari himbauan World Wide for Fund (WWF) Indonesia dan Camat Pujungan antara tahun 1992 - 1994. Namun saat ini Tana’ Ulen juga banyak ditemukan di wilayahwilayah lain di Kalimantan Timur, khususnya di lokasi penyebaran suku Dayak Kenyah seperti Desa Setulang di Kabupaten Malinau dan Batu Majang di Kabupaten Kutai Barat. Dari cerita tetua masyarakat, dahulu Tana’ Ulen terjadi karena berbagai alasan sosial dan religius. Misalnya, sebagai penghormatan terhadap salah seorang golongan bangsawan (paren) yang berjasa dalam peperangan antar suku, maka ditetapkanlah suatu kawasan tertentu sebagai miliknya, yang harus dilindungi, dan dihormati setiap warga masyarakat. Namun di sisi lain, pemanfaatan Tana’ Ulen terbuka bagi masyarakat biasa (panyen) pada waktu-waktu tertentu (kecuali untuk berladang), misalnya kegiatan ritual upacara adat, yang berhubungan langsung dengan kepentingan umum (Lamis dkk, 1999). Sementara hasil hutan diambil pada waktu tertentu yang disebut dengan buka ulen atau buka olen’, dan tidak mengikuti kalender tetap seperti kalender perladangan, dan khusus untuk
126
kepentingan desa, misalnya kayu bangunan guna pembangunan gereja atau Balai Pertemuan Umum/Adat (BPU/BPA). Beberapa desa memberikan kelonggaran bagi warganya yang membutuhkan kayu bangunan untuk membangun rumah atau membuat perahu, dengan syarat meminta ijin kepada Kepala Desa. Demikian juga pengambilan rotan, gaharu dan kayu manis oleh warga desa untuk dijual kepada pedagang (toke) yang diorganisir oleh Kepala Desa dengan aparatnya. Kegiatan buka ulen direncanakan dari awal melalui rapat desa, hingga penjualan dan pemungutan pajak (retribusi) dari toke (Konradus, B., 1999). Selanjutnya dikatakan Konradus, B. (1999), rapat pimpinan dan para tetua desa membicarakan lokasi, jenis HHBK yang akan diambil dan jumlah hari untuk membuka olen, yang disesuaikan dengan situasi pasar. Jika harga HHBK di pasar naik, maka akan dilakukan buka ulen yang didahului dengan rapat buka ulen. Uang yang diperoleh dari hasil buka ulen dipakai untuk mendukung kegiatankegiatan desa. Pada saat buka ulen, setiap warga berhak masuk Tana’ Ulen untuk ‘ngusa’ (berusaha) dan boleh menjual hasil langsung kepada toke pembeli atau penampung. Sementara untuk warga lain yang ingin berusaha, wajib membayar pajak sebesar 20% dari seluruh hasilnya yang dijual ke toke. Rincian penggunaan pajak tersebut adalah 10% untuk kas desa dan 10% untuk keluarga paren yang berjasa atas pembentukan Tana’ Ulen di desa yang bersangkutan. C. Tane’ Olen di Desa Setulang dan Aturan Adat Pemanfaatannya Asal usul Tane’ Olen di Desa Setulang tidak terlepas dari sejarah Tana’ Ulen di Longh Sa’an, tempat asal mula suku Dayak Kenyah Oma’ Longh, di hulu Sungai Pujungan, Kabupaten Malinau. Di lokasi tersebut Tana’ Ulen merupakan salah satu bagian dari tanah dan hutan adat mereka yang disebut dengan Oma’ Longh.
Kajian Aturan Adat Pemanfaatan Tane' Olen oleh Masyarakat Lokal ... (Catur Budi Wiati)
Secara geografis Tane’ Olen di Desa Setulang yang mempunyai luas sekitar ± 5.312, 61 Ha, terletak pada posisi antara 03º 23’ – 03o29’ Lintang Utara dan 116º 24’ – 116o29’ BT dan berada diketinggian 70 – 500 meter di atas permukaan laut (dpl). Berdasarkan Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Propinsi Kalimantan Timur tahun 2008, Tane’ Olen termasuk dalam wilayah DAS Sesayap dengan sub Das Sekatak seluas ± 1.281, 42 Ha dan Sub Das Malinau seluas ± 4.031, 19 Ha (Pemdes Setulang, 2011). Seperti halnya di Longh Sa’an, meskipun tidak pernah mengalami peperangan namun pada awalnya Tane’ Olen di Desa Setulang juga hanya diperuntukan sebagai penghormatan bagi para bangsawan (paren). Namun terkait makin meningkatnya kebutuhan dan semakin kurangnya sumberdaya hutan di Desa Setulang, saat ini Tane’ Olen juga diperuntukan bagi seluruh masyarakat Desa Setulang tanpa melihat golongan. Pemanfaatan Tane’ Olen di Desa Setulang ditentukan berdasarkan hasil musyawarah bersama seluruh masyarakat atau pemukapemuka desa yang meliputi seluruh aparat desa antara lain Kepala Desa, Ketua Adat di desa, Ketua Lembaga di desa. Bentuk pemanfaatan tersebut diantaranya adalah sebagai sumber untuk: (1) Memperoleh kayu untuk keperluan bahan bangunan, perahu, peti mati, dan lainlain; (2) Memperoleh bahan makanan (ikan, buah-buahan, binatang, sayur-sayuran); (3) Mencari rotan, daun atap, daun untuk topi; (4) Memperoleh air bersih (Songe Bui); dan (5) Mencari bahan baku untuk kerajinan, alat musik, perlengkapan tari-tarian, dan lain-lain. Dalam pemanfaatan Tane’ Olen di Desa Setulang, aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tidak terlepas dari aturan adat leluhur mereka yaitu aturan adat suku Dayak Kenyah Oma’ Longh saat di Longh Sa’an. Sejak melakukan perpindahan, masyarakat suku Dayak Kenyah Oma’ Longh yang tersebar di banyak tempat di Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan hingga ke Malaysia dan secara rutin melakukan pertemuan dengan membentuk kelompok masyarakat bernama
Dongo Fatangh, kemudian berupaya mempertahankan tanah adat mereka yang tidak lagi ditinggali dengan menyusun Peraturan Adat Oma’ Longh Nomor: 02/BMAOL/III/2003 Tanggal 5 Januari 1998 tentang Perlindungan Kawasan Tanah Adat Oma’ Longh di Longh Sa’an. Selain itu masyarakat suku Dayak Kenyah Oma’ Longh kemudian juga membentuk Badan Eksekutif Tanah Adat Oma’ Longh (BETAOLS) yaitu badan pelaksana yang dibentuk oleh Badan Musyawarah Adat Dayak Kenyah Oma’ Longh untuk mengelola dan melindungi Tanah Adat Oma’ Longh (TAOLS) di Longh Sa’an. Fungsi kawasan TAOLS ini adalah sebagai bank untuk: a). Menyimpan kawasan sumberdaya alam sebesar-besarnya bagi pembangunan masyarakat; b) Menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan; c). Obyek penelitian hutan, keanekaragaman hayati dan botanis; d). Obyek penelitian sejarah dan fosilfosilnya; e). Obyek penelitian tumbuhtumbuhan dan obat-obatan hutan. Penentuan fungsi tersebut dikarenakan pertimbangan tidak adanya pemukiman lagi di kawasan tersebut dan banyaknya kegiatan penelitian terkait Tana’ Ulen di wilayah Bahau Hulu dan Pujungan. Pola pemanfaatan TAOLS di Longh Sa’an ini yang kemudian diadopsi masyarakat Desa Setulang dengan membentuk Badan Pengelola Hutan Tane’ Olen (BPH-TO) yang bertugas untuk mengatur kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan di Tane’ Olen Desa Setulang dan menegakkan aturan adat yang berhubugan dengan Tane’ Olen. Terkait pemanfaatan Tane’ Olen, dari hasil peninggalan leluhurnya sebenarnya masyarakat Desa Setulang sudah memiliki aturan adat tidak tertulis yang berlaku sejak lama, yaitu: (1) Hasil hutan tidak boleh dipungut oleh orang diluar masyarakat Desa Setulang; (2) Hasil hutan tidak boleh diperjualbelikan kepada masyarakat di luar Desa Setulang; (3) Masyarakat Desa Setulang dan pihak luar tidak diperbolehkan menebang pohon buah-buahan; dan (4) Masyarakat Desa Setulang dan pihak luar tidak diperbolehkan membuka ladang di dalam Tane’ Olen.
127
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 123-130
Jika ada masyarakat atau pihak luar yang melanggar aturan adat tersebut misalnya mengambil tanpa sepengetahuan pihak desa dan memperjualbelikan hasil hutan tersebut maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi adat yaitu dengan cara menyita peralatan, membagi dua hasil hutan yang sudah terlanjur diambil dan membayar denda adat sesuai dengan jenis buah yang ditebang. Aturan tersebut pertama kali dibuat dalam bentuk tertulis tahun 2001 dengan tujuan sebagai dasar untuk membuat keputusan dan agar generasi muda mereka nantinya tetap Tabel 2. Table 2.
mengetahui aturan tersebut. Iwan, R dan Godwin Limberg (2009) menyebutkan bahwa aturan tersebut tidak hanya menyangkut pengambilan dan penggunaan HHBK, tetapi juga mengatur proses pengambilan keputusan masyarakat Desa Setulang yang dilakukan secara musyawarah dan terbukti telah banyak membantu masyarakat Desa Setulang dalam menghadapi sengketa dengan perusahaan kayu diantaranya dengan CV Gading Indah, PT Inhutani II dan PT Lestari Timur Indonesia (LTI).
Peraturan Desa Setulang Nomor: 1/Ds-Set/Th.2011 pasal 7 mengenai Hutan Kemasyarakatan atau Tane’ Olen Regulation Of Setulang Village Number: 1/Ds-Set/Th.2011 Section 7 about Community Forestry or Tane' Olen
Ayat (Section) 1 (satu) 2 (dua) 3 (tiga) 4 (empat) 5 (lima) 6 (enam) 7 (tujuh) 8 (delapan) 9 (sembilan) 10 (sepuluh)
Keterangan (Information) Pengenaan denda terhadap siapa saja yang mengambil hasil hutan dari hutan adat untuk diperjualbelikan dengan cara membagi 2 (dua) hasil pekerjaan tersebut Sanksi adat terhadap siapa saja yang menebang kayu dalam HKm untuk diperjualbelikan berupa penyitaan alat kerja seperti mesin dan alat transportasi Pelarangan pemungutan hasil hutan dalam HKm oleh orang luar dan pengenaan denda berupa penyitaan alat kerja dan hasil kerjanya serta biaya sidang sebesar gula 2 (dua) kg, teh/kopi 1 (satu) bungkus dan biaya operasional Rp 100.000,Pelarangan menebang kayu tanpa menggesek dan pengenaan denda Rp 250.000,- per pohon dan biaya sidang sebesar 2 (dua) kg gula, 1 (satu) bungkus teh/kopi dan biaya operasional Rp 100.000,Pengenaan denda uang apabila melakukan penebangan pohon buah dalam HKm yaitu Rp 500.000,- per pokok untuk buah petai atau durian dan Rp 200.000,- per pokok untuk buah lainnya Pelarangan pemberian cat atau tanda lainnya pada pokok kayu di HKm karena lokasi tersebut milik bersama masyarakat Desa Setulang Pelarangan pengatasnamaan pohon buah apapun dalam HKm karena lokasi tersebut milik bersama masyarakat Desa Setulang Pelarangan membuka ladang baru dalam HKm Pemanfaatan HKm untk sumber bahan bangunan masyarakat Desa Setulang Penolakan investor atau pengusaha untuk menanam modal atau mengelola HKm dan pengenaan ganti rugi serta penahanan alat kerja perusahaan tersebut, seperti traktor dan alat-alat lainnya
Sumber: Peraturan Desa Setulang Nomor: 1/Ds-Set/Th.2011 (2012, diolah)
Untuk mempermudah pelaksanaannya BPH-TO telah menyusun rencana kerja yang terbagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu: Rencana Jangka Pendek (1 - 3 tahun), Rencana Jangka
128
Menengah (4 - 6 tahun) dan Rencana Jangka Panjang (7-10 tahun). Dalam rencana kerja tersebut termuat beberapa rencana kegiatan yang meliputi rencana fisik (bangunan dan
Kajian Aturan Adat Pemanfaatan Tane' Olen oleh Masyarakat Lokal ... (Catur Budi Wiati)
jalan) dan pengadaan peralatan (radio, kendaraan, dll), peningkatan sumberdaya manusia (pelatihan pemandu), kegiatan pengamanan Tane’ Olen (patroli), pembuatan aturan-aturan dalam Tane’ Olen (bagi pengunjung) dan lain sebagainya. Terkait belum adanya aturan tertulis mengenai aturan adat pemanfaatan Tane’ Olen, maka pada tahun 2011 aturan adat tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) Setulang Nomor: 1/DsSet/Th.2011 pasal 7 mengenai Hutan Kemasyarakatan. Istilah Hutan Kemasyarakatan (HKm) digunakan sebagai pengganti Tane’ Olen, dikarenakan saat penyusunan Perdes tersebut dilakukan terdapat upaya-upaya dari masyarakat untuk melegalkan status hukum Tane’ Olen. Salah satu upaya tersebut adalah mengusulkan Tane’ Olen Desa Setulang menjadi Hutan Kemasyarakatan dan belakangan usulan berubah tersbut menjadi Hutan Desa Setulang (Pemdes Setulang, 2011). Dari uraian tentang aturan adat tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat Desa Setulang melakukan pengaturan pemanfaatan Tane’ Olen baik berupa hasil kayu maupun HHBK demi untuk mempertahankan kelestariannya. Mereka sangat memahami pentingnya Tane’ Olen untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga perlu membuat aturan mengenai pembatasan pemanfaatannya, baik untuk warga internal maupun pihak luar, agar seluruh masyarakat Desa Setulang dapat memperoleh manfaatnya secara adil dan berkelanjutan. IV. KESIMPULAN Aturan adat pemanfaatan Tane’ Olen yang dimiliki masyarakat Desa Setulang sangat dipengaruhi oleh aturan adat leluhur mereka yakni suku Dayak Kenyah Oma’ Longh saat masih di Long Sa’an, hulu Sungai Pujungan, Kecamatan Pujungan, Kabupaten Malinau. Aturan adat tersebut berupa aturan pembatasan pemanfaatan Tane’ Olen agar seluruh masyarakat Desa Setulang dapat
memperoleh manfaatnya berkelanjutan.
secara
adil
dan
DAFTAR PUSTAKA Iwan, R. dan Godwin Limberg, 2009. Tane’ Olen Sebagai Alternatif Pengelolaan Hutan: Perkembangan Lanjutan di Desa Setulang, Kalimantan Timur (Dalam Buku Desentralisasi Tata Kelola Hutan. Politik, Ekonomi dan Perjuangan untuk Menguasai Hutan di Kalimantan, Indonesia). Disunting oleh Moira Moeliono, Eva Wollenberg dan Godwin Limbeg. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Konradus, B. 1999. Jaringan Pemasaran Gaharu, Pengelolaan Hutan, dan Dampak Sosiologis, Ekonomis, dan Ekologisnya di Kawasan Sungai Bahau. (Dalam Buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan). Penyunting Cristina Eghenter dan Bernard Sellato. Diterbitkan atas Kerjasama Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan RI, The Ford Foundation dan WWF Indonesia. Jakarta. Lamis, K., Paulus Bunde dan Concordius Kanyan. 1999. Pola-Pola Penguasaan Hak Atas Tanah pada Tiga Suku Bangsa Dayak Kenyah (Dalam Buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan). Penyunting Cristina Eghenter dan Bernard Sellato. Diterbitkan atas Kerjasama Direktorat Jenderal PHPA Departemen Kehutanan RI, The Ford Foundation dan WWF Indonesia. Jakarta. Pemerintah Desa (Pemdes) Setulang. 2011. Proposal Penetapan Areal Kerja Hutan Desa di Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan, Kabupaten Malinau, Propinsi Kalimantan Timur. Setulang Peraturan Adat Oma’ Longh Nomor: 02/BMAOL/III/2003 Tanggal 5 Januari 1998. Badan Musyawarah Adat Oma’ Longh. Setulang Peraturan Desa (Perdes) Setulang. 2011. No: 1/DsSet/Tahun 2011. Badan Permusyawaratan Desa Setulang. Rahmadani, F. dan Edy Marbyanto. 2010. Hasil Kajian Desa Partisipatif dan Pendampingan Penyusunan Proposal Pengelolaan Hutan Desa di Desa Setulang – Kabupaten Malinau. Sidiyasa, K., Zakaria dan Ramses Iwan, 2006. Hutan Desa Setulang dan Sengayan Malinau, Kalimantan Timur. Potensi dan Identifikasi Langkah-langkah Perlindungan dalam Rangka Pengelolaannya Secara Lestari. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
129
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.2, Desember 2013: 123-130
Subroto, D. 1997. Sistem Pengelolaan Tana’ Ulen oleh Masyarakat Dayak Kenyah di Desa Batu Majang Kecamatan Long Bagun Kabupaten Kutai. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Mulawarman. Samarinda.
130
Usung. A, Made Sudana dan Eva Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
PETUNJUK BAGI PENULIS
NOTES FOR AUTHORS
BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan abstrak dalam bahasa Inggris. FORMAT: Naskah diketik diatas kertas A4 pada satu permukaan dengan satu spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3 cm. JUDUL: Judul dibuat tidak lebih dari dua baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantumkan di bawah judul. ABSTRAK: Abstrak dibuat tidak lebih 250 kata berupa intisari permasalahan secara meneyluruh, dan bersifat informative mengenai hasil yang dicapai. KATA KUNCI: Kata kunci dicantumkan di bawah abstrak TABEL: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dengan bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing- masing menunjukkan nilai pecahan/ decimal dan kebulatan seribu. GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris DAFTAR PUSTAKA: Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan nama pengarang, tahun terbit, judul pustaka, media (Vol., No., Hal.), penerbit dan kota penerbit
LANGUAGE: Manuscripts must be written in Indonesia with English Abstract. FORMAT: Manuscripts should be typed single spaced on one face of A4 white paper 3 cm margin should be left all side. TITLE: Title must not exceed two lines and should reflect the content of the manuscript. The author’s name follows immediately under the title. ABSTRACT: Abstract must not exceed 150 words, and should comprise, informative essence of the entire content of the article. KEYWORDS: Keywords should be written following a abstract. TABLE: Title of tables and all necessary remarks must be written both in Indonesian and English. Tables should be numbered. The uses of comma (,) and point (.) in all figures in the table indicated a decimal fraction, and a thousand multiplication, respectively. LINE DRAWING: Graphs and other line drawing illustrations must be drawn in high contrast black ink. Each drawing must be numbered, title and supplied with necessary remarks in Indonesia and English. PHOTOGRAPH: Photographs submitted should have high contrast, and must be supplied with necessary information as line drawing. REFERENCE: Reference must be listed in alphabetical order of author’s name with their year of publications, publisher, and the place of published.
CONTOH PENGUTIPAN BUKU: Steel, R. G. D, & J.H. Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistic. Mc. Graw-Hill Book Co. Inc. New York. JURNAL: Beck, A. T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R. A. (1988). An inventory for measuring clinical anxiety: Psychometric properties. Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol.56, Hal.893–897. JURNAL ONLINE: Wheeler, D. P., & Bragin, M. (2007). Bringing it all back home: Social work and the challenge of returning veterans. Health and Social Work, Vol.32, Hal.297-300, diambil dari http://www.naswpressonline.org PROSIDING: Herculano-Houzel, S., Collins, S. E., Wong, P., Kaas, J. H., & Lent, R. (2008). The basic nonuniformity of the cerebral cortex. Proceedings of the National Academy of Sciences Vol.105, Hal.12593-12598.