Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Halaman:1-62 Jurnal Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1 Juni Th. 2013 ISSN: 1978-8746 Jurnal Penelitian Dipterokarpa adalah media resmi publikasi ilmiah dari Balai Besar Penelitian Dipterokarpa yang memuat hasil penelitian bidang- bidang Silvikultur, Nilai Hutan, Pengaruh Hutan, Perhutanan Sosial dan Konservasi Sumberdaya Alam yang terkait dengan ekosistem hutan dipterokarpa. Terbit dua kali dalam setahun, setiap Juni dan Desember. Terbit pertama kali pada Juni 2007. Jurnal Penelitian Dipterokarpa is an official scientific publication of the Dipterocarps Research Centre (DiReC) publishing research findings of Silviculture, Forest Influences, Social Forestry and Natural Resources Conservation which connected of forest dipterocarps ecosystem. Published two times a year, every June and December. First published in June 2007. Penanggung Jawab (Responsible person) Dewan Redaksi (Editorial Board): Ketua merangkap anggota (Chairman and member) Anggota (Member)
Kepala Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (Director of the DiReC)
Mitra Bestari (Peer Reviewer)
1. Prof. Dr. Ir. Iskandar Z Siregar, M.For.Sc (Silvikultur, Fahutan IPB) 2. Prof. Dr. Ir. Mustofa Agung Sardjono (Agroforestry & Perhutanan Sosial, Fahutan Unmul Samarinda) 3. Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka (Konservasi, Fahutan Unhas Makassar) 4. Prof. Andry Indrawan (Silvikultur, Fahutan IPB Bogor) 5. Ir. Dwi Tyaningsih Adriyanti, MP (Dendrologi, Fitogeografi dan Arsitektur Pohon, Fahutan UGM Yogyakarta)
Dr. Kade Sidiyasa (Taksonomi, Balitek KSDA Samboja) 1. Prof. Dr. Wawan Kustiawan (Silvikultur, Fahutan Unmul Samarinda) 2. Prof. Dr. Sipon Muladi (Teknologi Hasil Hutan, Fahutan Unmul Samarinda) 3. Dr. Sukartiningsih (Pemuliaan Tanaman dan Kultur Jaringan, Fahutan Unmul Samarinda) 4. Dr. Fadjar Pambhudi (Biometrika Hutan, Fahutan Unmul Samarinda) 5. Dr. Djumali Mardji (Hama dan Penyakit Hutan, Fahutan Unmul Samarinda) 6. Dr. Simon Devung (Kehutanan Sosial, Fahutan Unmul Samarinda) 7. Dr. Acep Akbar (Silvikultur, Balai Litbanghut Banjar Baru) 8. Dr. Rizki Maharani (Mikrobiologi dan Biomassa Hutan, B2PD Samarinda) 9. Dr. Tien Wahyuni (Sosial Ekonomi dan Kebijakan, B2PD Samarinda)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat): Ketua merangkap anggota Kepala Bidang Data, Informasi dan Kerjasama Chairman and member (Head of Data, Information and Cooperation) Anggota (Member) 1. Kepala Seksi Data, Informasi dan Diseminasi. 2. Ir. Selvryda Sanggona. 3. Muhamad Sahri Chair, S. Kom, MT. 4. Maria Anna Raheni, S.Sos. Isi dari jurnal dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya. Citation is permitted with acknowledgement of the source. Diterbitkan secara teratur satu volume dua nomor setiap tahun oleh Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Published regularly one volume and two number yearly by the Dipterocarp Research Centre. Alamat (Address) Telepon (Phone) Fax (Fax) Website/Home page Email Percetakan
: : : : : :
Jl. A. Wahab Syahranie No. 68, Sempaja, Samarinda, Kalimantan Timur. +62-541-206364 +62-541-742298 http://b2pd.litbang.dephut.go.id
[email protected] CV. Artomulyo, Samarinda
ISSN: 1978-8746
JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA Vol. 7 No. 1, Juni 2013
DAFTAR ISI SIFAT FISIK DAN MEKANIK KAYU SHOREA MACROPTERA ssp. SANDAKANENSIS (Sym.) ASHTON SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL Physical and Mechanical Properties of Shorea macroptera ssp. Sandakanensis (Sym.) Ashton Wood as Raw Material for Furniture Andrian Fernandes dan Amiril Saridan Hal. 1-6 MODEL HUBUNGAN TINGGI DAN DIAMETER TAJUK DENGAN DIAMETER SETINGGI DADA PADA TEGAKAN TENGKAWANG TUNGKUL PUTIH (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S. Ashton) DAN TUNGKUL MERAH (Shorea stenoptera Burck.) DI SEMBOJA, KABUPATEN SANGGAU Correlation Model Between Height and Crown Diameter with Diameter at Breast Height on Tengkawang Tungkul Putih (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S. Ashton) and Tungkul Merah (Shorea stenoptera Burck.) Stand in Semboja, Sanggau Regency Asef K. Hardjana Hal. 7-18 KAJIAN PELAKSANAAN PELELANGAN KAYU MERANTI DI KALIMANTAN TIMUR Study onThe Implementation of Meranti Wood Auction in East Kalimantan Catur Budi Wiati Hal. 19-28 MODEL PENDUGAAN VOLUME POHON DIPTEROCARPUS CONFERTUS V.SLOOTEN DI WAHAU KUTAI TIMUR, KALIMANTAN TIMUR Volume Estimation Modelling for Dipterocarpus confertus v. Slooten in Wahau East Kutai, East Kalimantan Abdurachman Hal. 29-34 SIFAT TANAH PADA AREAL APLIKASI TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) DI PT. INTRACAWOOD, BULUNGAN, KALIMANTAN TIMUR Soil Properties at Selective Cutting and Line Planting (SCLP) Application Area in PT. Intracawood, Bulungan, East Kalimantan Rini Handayani dan Karmilasanti Hal. 35-42
PERTUMBUHAN KEBUN PANGKASAN JENIS Shorea leprosula Miq. Growth of Shorea leprosula Miq. in Vegetative Multiplication Garden Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani Hal. 43-52 KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO PADA TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING DAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH The Diversity of Macro Fungy In Forest Seed Stand of Dipterocarpaceae in Tanjung Puting Nasional Park and Sebangau Nasional Park in Central Kalimantan Massofian Noor dan Amiril Saridan Hal. 53-62
ISSN : 1978-8746
JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA (Journal of Dipterocarps Research)
Vol. 7 No. 1, Juni 2013
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya. UDC630*832.3 sehingga dapat memberikan data yang cukup mendekati Andrian Fernandes dan Amiril Saridan (Balai Besar dari hasil pengukuran yang sebenarnya. Dari hasil Penelitian Dipterokarpa) inventarisasi dan identifikasi diketahui bahwa jenis Sifat Fisik Dan Mekanik Kayu Shorea Macroptera ssp. tengkawang tungkul mendominasi jenis tengkawang di Sandakanensis (Sym.) Ashton Sebagai Bahan Baku lokasi penelitian dengan kerapatan tegakan berkisar 63 – Mebel 166 pohon/ha, yang terdiri dari jenis tungkul putih J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 1-6 sebanyak 128 pohon (79,48%), dan tungkul merah Adanya perkembangan industri mebel membuka sebanyak 47 pohon (20,52%). Selanjutnya model regresi peluang digunakannya jenis-jenis kayu yang kurang hubungan tinggi pohon dengan diameter batang (dbh) dikenal. Salah satunya adalah Shorea macroptera ssp. yang dapat terbangun adalah Ttp = -2,2697 + 1,2711d sandakanensis (Sym.) Ashton yang tergolong jenis 0,0162d2 (n= 128; R2= 0,8177; SE= 2,1271) untuk tungkul meranti merah yang belum diketahui sifat dasarnya. putih, sedangkan model regresi untuk tungkul merah Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat dasar dan adalah Ttm = -0,0803 + 0,9334d - 0,0072d2 (n= 47; R2= peluang penggunaan kayu S. macroptera ssp. 0,8759; SE= 1,3891). Persamaan hubungan diameter tajuk sandakanensis (Sym.) Ashton sebagai bahan baku dengan diameter batang (dbh) tidak berbeda nyata, mebel. S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton sehingga dapat disusun pula model persamaan regresi diambil dari RKT 2012 IUPHHK PT Hutan Sanggam untuk tungkul putih yaitu DTtp = 0,7174 + 0,4360d – Labanan Lestari. Sifat dasar yang diuji meliputi berat 0,0045d2 (n= 128; R2= 0,5172; SE= 1,7739 ) dan tungkul jenis kayu dan perubahan dimensi kayu mengikuti merah yaitu DTtm = 3,3287d0,2327 (n= 47; R2=0,0658; SE= standar DIN-2135 1975, pengujian mekanik kayu 0,322). menggunakan standar uji BS 373-1957, dan pengujian pengetaman kayu mengikuti standar uji ASTM D-1666- Kata kunci : Diameter tajuk, Tinggi, Diameter batang, 64 1981 yang dimodifikasi oleh Abdurachman dan Tengkawang Karnasudirdja (1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) UDC630*88 Ashton tergolong ke dalam berat jenis kelas III, Catur Budi Wiati (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). memiliki kekuatan lengkung statis kelas II, kekuatan Kajian Pelaksanaan Pelelangan Kayu Meranti di tekan sejajar serat kelas III dan mudah dikerjakan. Kalimantan Timur Berdasarkan sifat tersebut kayu S. macroptera ssp. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 19- 28 sandakanensis (Sym.) Ashton dapat digunakan untuk Kebijakan pelelangan kayu termasuk kayu meranti telah mengalami beberapa kali perubahan dari SK Menhut No. bahan baku mebel. 319/Kpts-II/1997 direvisi menjadi Permenhut No. Kata kunci : Shorea macroptera ssp. sandakanensis P.02/Menhut-II/2005, dan yang terakhir menjadi (Sym.) Ashton, jenis kurang dikenal, mebel, sifat dasar Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006, dengan harapan dapat mempercepat proses pelelangan kayu. Artikel ini UDC630*561.2 bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pelelangan kayu Asef K. Hardjana (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa) Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan meranti di Kalimantan Timur sekaligus untuk mengetahui Diameter Setinggi Dada pada Tegakan Tengkawang permasalahan yang ada. Hasil penelitian menunjukkan Tungkul Putih (Shorea Macrophylla (De Vriese) P.S. bahwa pemerintah mendapat pendapatan sekitar Rp 35 Ashton) dan Tungkul Merah (Shorea Stenoptera Burck.) milyar pada tahun 2006 dan Rp 17 milyar pada tahun 2007 dari hasil pelelangan kayu termasuk meranti di KPKNL Di Semboja, Kabupaten Sanggau. Samarinda. Nilai ini tidak termasuk nilai lelang barangJ. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 7-18 barang bukan kayu seperti kapal motor dan truk. Namun Pengukuran diameter merupakan pekerjaan yang relatif demikian pelaksanaan pelelangan kayu di Kalimantan mudah, murah dan dapat menghasilkan ukuran yang Timur masih tidak berjalan maksimal karena ketiadaan akurat, sedangkan pengukuran tinggi dan tajuk pohon pendanaan untuk melaksanakan illegal logging, merupakan pekerjaan yang relatif sulit dan terbatasnya jumlah PPNS di institusi kehutanan dan membutuhkan banyak tenaga. Penyusunan model lemahnya koordinasi antar institusi yang menangani hubungan antara tinggi pohon dan tajuk pohon dengan pelelangan kayu. diameter pohon merupakan salah satu alternatif teknis yang dapat mengurangi pekerjaan pihak pengguna Kata kunci : pelelangan kayu, meranti, perubahan dalam mengukur tinggi dan diameter tajuk pohon, kebijakan, Dinas Kehutanan
UDC630*524.315 Abdurachman (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa) Model Pendugaan Volume Pohon Dipterocarpus Confertus V. Slooten di Wahau Kutai Timur, Kalimantan Timur. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 29-34. Beberapa persamaan sederhana dianalisis dari pohon Dipterocarpus confertus yang datanya diambil di PT Gunung Gajah Abadi Wahau Kutai Timur, Kalimantan Timur . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun persamaan yang akurat yang dapat dipakai untuk penaksiran volume pohon pada daerah penelitian.Model persamaan yang dibuat hanya berdasarkan satu peubah saja yaitu diameter. Analisis model dengan satu peubah ini dilanjutkan setelah dilakukan pengujian hubungan diameter dan tinggi bebas cabang. Pemilihan model terbaik berdasarkan nilai-nilai, koefisien determinasi (R2), galat baku (Se),simpangan agregatif (SA) dan simpangan rataan (SR). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang erat antara diameter dan tinggi bebass cabang dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.85. Adapun persamaan terpilih yang diusulkan untuk pembuatan tabel volume pohon adalah V = 0.2758 - 0.0286 d + 0.0014 d2. Kata Kunci : Model estimasi, diameter, persamaan, Dipterocarpus confertus, volume pohon UDC630*114.1 Rini Handayani dan Karmilasanti (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). Sifat Tanah Pada Areal Aplikasi Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Di PT. Intracawood, Bulungan, Kalimantan Timur. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 35-42 Salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas hutan alam bekas tebangan adalah dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan yang berbasis pada kelestarian hutan dan lingkungan, yaitu sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pengusahaan hutan alam yang intensif akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan terutama tanah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap sifat fisik dan kimia tanah di areal hutan yang menerapkan sistem TPTJ. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 3 penggunaan lahan, yaitu jalur antara, jalur tanam dan jalan sarad. Sampel tanah yang diambil ada 2 jenis, yaitu sampel tanah utuh untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah dan sampel tanah terganggu untuk penetapan sifat-sifat kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah pada jalur antara dan jalan sarad cabang yaitu liat, sedangkan pada jalur tanam yaitu lempung liat berpasir. Bulk density (BD) pada jalur antara berkisar antara 0,51 sampai 0,66 g/cm3, pada jalur tanam berkisar antara 0,65 sampai 0,69 g/cm3, sedangkan pada jalan sarad berkisar antara 0,91 sampai 0,92 g/cm3. Pori total tanah pada jalur antara berkisar antara 74,62 sampai 80,42%, pada jalur tanam berkisar antara 73,04% sampai 74,71% dan pada jalan sarad berkisar antara 64,13 % sampai 64,63%. pH tanah pada ketiga penggunaan lahan adalah sangat masam. Kandungan hara tertinggi terdapat pada jalur tanam. Kata Kunci : TPTJ, penggunaan lahan, sifat fisik tanah, sifat kimia tanah
UDC630*232.12 Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa) Pertumbuhan Kebun Pangkasan Jenis Shorea Leprosula Miq. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 43-52. Kebun pangkasan merupakan tahapan dalam membangun kebun pangkas. Pembangunan kebun pangkasan bertujuan menyediakan materi stek pucuk, dalam kegiatan ini juga mendukung pemuliaan. Pengamatan pertumbuhan tingkat semai Shorea leprosula dilakukan untuk mengukur beberapa parameter pertumbuhan yaitu tinggi dan diameter di kebun pangkasan dari enam provenans, meliputi ITCIKU, Gunung Lumut, Carita, Gunung Bunga, Sungai Runtin dan SBK. Rancangan Acak Berblok (RAB) digunakan dengan provenans dan pohon induk sebagai perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan perbedaan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit antar provenans dan pohon induk sangat signifikan. Provenan Sungai Runtin menunjukkan pertumbuhan tinggi yang paling tinggi (60,092cm) sedangkan pertumbuhan terbesar untuk diameter (4,515mm) adalah provenan Gunung Bunga. Kata kunci : Shorea leprosula, provenans, pohon induk, tinggi, diameter UDC630*844.41 Massofian Noor dan Amiril Saridan (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). Keanekaragaman Fungi Makro Pada Tegakan Benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. J. Penel. Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, 2013 h; 53-62. Penelitian keanekaragaman fungi makro dilaksanakan pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Kalteng. Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, yaitu bulan Maret-Desember 2012. Latar belakang flora fungi makro pada suatu daerah tertentu yang belum pernah diketahui potensi dan keanekaragaman fungi makro sangat diperlukan eksplorasi dan tujuan untuk mengidentifikasikan jenis dan manfaat fungi makro untuk kepentingan manusia. Metode yang dipergunakan adalah metode jalur dengan lebar 20 m (10 m dari kiri dan kanan dari garis sumbu sepanjang 1000 m) dengan jarak antar jalur 200 m, pengumpulan fungi makro dilakukan sensus 100%. Identifikasi fungi makro mempergunakan kunci determinasi. Hasil penelitian yang diperoleh pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Hutan Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau diperoleh rata-rata sebanyak 18 genus 44 jenis dan 335 individu, yang terdiri dari fungi makro penghancur kayu (71,91%), penghancur serasah (4,13%), sembion pada jenis Dipterocarpaceae (10,41%), ramuan obat (0,96%), dan dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan (9,46 %). Iklim makro pada kedua lokasi relatif sama. Hasil Uji-t tingkat keanekaragaman fungi makro dari dua lokasi yang berbeda menunjukan tidak berbeda nyata, nilai kesamaan Morisita Horn (CmH) diperoleh 1,31 atau 1 lebih, menunjukkan bahwa distribusi fungi makro pada kedua areal penelitian menyebar. Kata Kunci : Fungi Makro, tegakan benih Dipterocarpaceae, Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Sebangau
ISSN : 1978-8746
JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA (Journal of Dipterocarps Research)
Vol. 7 No. 1, Juni 2013
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa ijin dan biaya. UDC630*832.3 and therefore it will provide sufficient data approaching to Andrian Fernandes and Amiril Saridan (Dipterocarps actual measurement results. Inventory and identification Research Centre) results indicated that tengkawang tungkul is the most Physical and Mechanical Properties of Shorea dominant tengkawang species in the research area with the macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton Wood density ranging from 63-166 trees/ha, which consists of as Raw Material for Furniture. tungkul putih a total of 128 trees (79,48%), and tungkul J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 p; 1-6 merah much as 47 trees (20,52%). Furthermore, regression The development of furniture industry gives equation of correlation model between height and stem opportunities in use of less well known species. One diameter (dbh) can be defined as T tp = -2,2697 + 1,2711d of them is Shorea macroptera ssp. sandakanensis 0,0162d2 (n= 128; R2= 0,8177; SE= 2,1271) for tungkul (Sym.) Ashton that classified as red meranti,that not putih, and for tungkul merah is Ttm = -0,0803 + 0,9334d yet known their nature. The aim of this research was 0,0072d2 (n= 47; R2= 0,8759; SE= 1,3891). Equation on to determine the nature and the use opportunities of S. the correlation between crown diameter and stem diameter macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton wood (dbh) was not significantly different, so regression as raw materials for furniture. S. macroptera ssp. equation models for tungkul putih can be defined as DT tp sandakanensis (Sym.) Ashton was taken from RKT = 0,7174 + 0,4360d – 0,0045d2 (n= 128; R2= 0,5172; SE= 2012 IUPHHK PT Hutansanggam Labanan 1,7739 ) and for tungkul merah is DTtm = 3,3287d0,2327 (n= Lestari. The nature that tested were wood density and 47; R2=0,0658; SE= 0,322). dimensional changes according to Standard DINStandard 2135 1975, wood mechanical testing Keywords : Crown diameter, Height, Stem diameter, according to Standard BS 373-1957, and testing of Tengkawang timber planing following the Standard ASTM D-1981 1666-64 that has been modified by Abdurachman and UDC630*88 Karnasudirdja (1982). The results showed that S. Catur Budi Wiati (Dipterocarps Research Centre). macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton wood Study onThe Implementation of Meranti Wood Auction in is classified into class III density, has a grade II in East Kalimantan static bending strength, compressive strength parallel J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 p; 19-28 to the fiber class III and easy to be processed by The policy of wood auction including meranti had been machine. Based on those natures, S. macroptera ssp. changed many times from SK Menhut No. 319/Kptssandakanensis (Sym.) Ashton can be used as raw II/1997 successively to be Permenhut No. P.02/Menhutmaterial for furniture. II/2005, and the last Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006, Keywords : Shorea macroptera ssp. Sandakanensis is expected to accelerate the process of wood auction. (Sym.) Ashton, leswell known species, furniture, This article has an aim to know the implementation of natures meranti wood auction in East Kalimantan after the guideline for the implementation of wood auction has UDC630*561.2 been changed and at the same time to know its existing Asef K. Hardjana (Dipterocarps Research Centre) Correlation Model Between Height and Crown problems. Results of research show that government got Diameter with Diameter at Breast Height on income approximately Rp 35 billion in year 2006 and Rp Tengkawang Tungkul Putih (Shorea macrophylla (de 17 billion in year 2007 from wood auction including Vriese) P.S. Ashton) and Tungkul Merah (Shorea meranti in KPKNL Samarinda. This value not included stenoptera Burck.) Stand in Semboja, Sanggau value of goods auction for non wood such as motor ship Regency. and truck. However the implementation of wood auction J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 p; 7-18 in Kalimantan East still does not operate maximally Diameter measurement is a relatively easy job, cheap because of lack of funding to handling illegal logging, the and can get an accurate size, while the measurement limited amount of PPNS in forestry institution and weak of height and canopy tree is a relatively difficult and of coordination between institutions related to handling requires a lot of energy. Modeling the correlation management of wood auction. between height and canopy with tree diameter is one of the alternative technic that can make more efficient Keywords : wood auction, meranti, policy change, forestry job to measure the height and diameter of the canopy, institution
UDC630*524.315 Abdurachman (Dipterocarps Research Centre) Volume Estimation Modelling for Dipterocarpus confertus V. Slooten in Wahau East Kutai, East Kalimantan. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 p; 29-34 Simple equations were analyzed for estimating the volume of Dipterocarpus confertus in PT Gunung Gajah Abadi Wahau East Kutai, East Kalimantan. The objective of this research was to develop accurate equations that can be applied to estimate the tree volume in the research area .These equations were made only based on one variable,i.e. the diameter.This model analysis was further continued after examining the correlation between diameter and clearbole height. The best model based was chosen based on the following values, namely: determination coefficient (R2), standard error (SE), aggregatif deviation (SA) and average deviation (SR). Analysis results showed that there was a close correlation between diameter and clear height with (r) value of 0.85. The proposed equation for the tree volume table is V = 0.2758 - 0.0286 d + 0.0014 d2. Keywords : Estimation model, diameter, equation, Dipterocarpus confertus, tree volume UDC630*114.1 Rini Handayani and Karmilasanti (Dipterocarps Research Centre). Soil Properties at Selective Cutting and Line Planting (SCLP) Application Area in PT. Intracawood, Bulungan, East Kalimantan. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 p; 35-42 One alternative to improve the productivity of loggedover forests is to implement a system of forest management based on sustainability forest and environment, such as Selective Cutting and Line Planting (SCLP) System. Intensive exploitation of natural forests will affect the environment, especially the soil. Therefore, it is necessary to study the physical and chemical properties of soil in the forest areas that apply SCLP system. Soil sampling was conducted in three land use, antara lines, planting lines and skid trails. There are 2 types of soil sample taken, namely undisturbed soil samples for determination of soil physical properties and disturbed soil samples for determination of soil chemical properties. The results showed that soil texture of antara lines and skid trails were clay and planting lines were sandy clay loam. Bulk density (BD) of antara lines ranged from 0,51 to 0,66 g/cm3 and planting lines ranged from 0.65 to 0.69 g/cm3, whereas the BD of skid trails ranged from 0.91 to 0.92 g/cm3. Total soil pore of antara lines ranged from 74,62 to 80,42 %, planting lines ranged from 73.04 to 74,71 % and total pore of skid trails ranged from 64.13 to 64.63%. Soil pH in three land use is very acid. The highest nutrient was found in plant lines.
UDC630*232.12 Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani (Dipterocarps Research Centre) Growth of Shorea leprosula Miq. in Vegetative Multiplication Garden. J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 p; 43-52 Vegetative Multiplication Graden (VMG) is a stage to development hedge orchard. The aim of hedge orchard development is to provide cuttings material,in this study also to support breeding. Observation on growth of Shorea leprosula seedling was conducted to measured parameters were growth of height and diameter in VMG of six provenances, namely ITCIKU, Gunung Lumut, Carita, Gunung Bunga, Sungai Runtin and SBK. Randomized Blok Design (CRD) was applied,where the provenancesand mothertrees were used as treatments. The result show that correlation of height and diameter growth between provenances and mother tree is significantly different. Sungai Runtin provenance showed the highest height growth performance (60.092 cm )while the highest diameter growth (4.515 mm) is Gunung Bunga provenance. Keywords : Shorea leprosula, provenance, mother tree, height, diameter
UDC630*844.41 Massofian Noor and Amiril Saridan (Dipterocarps Research Centre). The Diversity of Macro Fungy In Forest Seed Stand of Dipterocarpaceae in Tanjung Puting Nasional Park and Sebangau Nasional Park in Central Kalimantan J. Dipt. Research Vol. 7 No. 1, 2013 h; 53-62 The diversity of macro fungy in forest seed stand of Dipterocarpaceae in Tanjung Putting Nasional Park and Sebangau Nasional Park in Central Kalimantan. The places that we don’t know about a potency diversity of macro fungy that very infortent to exsplorations and the point for identification and used for humans lives. The research has done during 10 (ten) months, it’s started from march to December 2012. The method used in this research was transect method, with 20 m wide, 10 m each from left and right of 1.000 m axis line, and space between transect method. lined transect was 200 meter. Macro fungy collection has been done by 100 % census method. While Identification of macro fungy has used key determination. The result from Tanjung Putting Nasional Park and Sebangau Nasional Park shows there are 18 genus 44 species with 335 individuals, consisting of wood decomposer (71,91%), liters decomposer (4,13%), simbionce of Diptercarpaceae species (10,41%), edible mushrooms (9,46 %) and for medicine (0,96%). Macro climate for both area relatively similar. The result of T- test diversity level of macro fungy in two location show that there is no significant difference. The score of Morishita Horn similarity index (CmH) is 1,31 or nore then 1, indicates that the distribution of macro fungy in both research location is outspread,. Keywords : SCLP, land use, soil physical properties, Keywords : Diversity, macro fungy, seed stand of soil chemical properties Dipterocarpaceae Tanjung Puting National Park, Sebangau National Park
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 1-6 ISSN: 1978-8746
SIFAT FISIK DAN MEKANIK KAYU SHOREA MACROPTERA ssp. SANDAKANENSIS (Sym.) ASHTON SEBAGAI BAHAN BAKU MEBEL Physical and Mechanical Properties of Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton Wood as Raw Material for Furniture Andrian Fernandes1) dan Amiril Saridan1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email :
[email protected] Diterima 26 Pebruari 2013, direvisi 21 Mei 2013, disetujui 28 Mei 2013
ABSTRACT The development of furniture industry gives opportunities in use of les well known species. One of them is Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton that classified as red meranti,that not yet known their nature. The aim of this research was to determine the nature and the use opportunities of S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton wood as raw materials for furniture. S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton was taken from RKT 2012 IUPHHK PT Hutansanggam Labanan Lestari. The nature that tested were wood density and dimensional changes according to Standard DIN-Standard 2135 1975, wood mechanical testing according to Standard BS 373-1957, and testing of timber planing following the Standard ASTM D-1981 1666-64 that has been modified by Abdurachman and Karnasudirdja (1982). The results showed that S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton wood is classified into class III density, has a grade II in static bending strength, compressive strength parallel to the fiber class III and easy to be processed by machine. Based on those natures, S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton can be used as raw material for furniture. Keywords: Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton, leswell known species, furniture, natures
ABSTRAK Adanya perkembangan industri mebel membuka peluang digunakannya jenis-jenis kayu yang kurang dikenal. Salah satunya adalah Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton yang tergolong jenis meranti merah yang belum diketahui sifat dasarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat dasar dan peluang penggunaan kayu S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton sebagai bahan baku mebel. S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton diambil dari RKT 2012 IUPHHK PT Hutansanggam Labanan Lestari. Sifat dasar yang diuji meliputi berat jenis kayu dan perubahan dimensi kayu mengikuti standar DIN-2135 1975, pengujian mekanik kayu menggunakan standar uji BS 373-1957, dan pengujian pengetaman kayu mengikuti standar uji ASTM D-1666-64 1981 yang dimodifikasi oleh Abdurachman dan Karnasudirdja (1982). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton tergolong ke dalam berat jenis kelas III, memiliki kekuatan lengkung statis kelas II, kekuatan tekan sejajar serat kelas III dan mudah dikerjakan. Berdasarkan sifat tersebut kayu S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton dapat digunakan untuk bahan baku mebel. Kata kunci : Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton, jenis kurang dikenal, mebel, sifat dasar
I.
PENDAHULUAN
Ratnasingam dan Ioras (2005) menyebutkan bahwa terjadi peningkatan industri perkayuan, termasuk industri mebel di Asia, seperti Cina, Malaysia, Indonesia, Thailand dan Filipina.
Berdasarkan kegunaannya, Garcia et al. (2011) membagi mebel menjadi dua kelompok besar, yaitu mebel indoor dan mebel outdoor. Mebel indoor adalah mebel yang berada dalam ruang, seperti lemari, rak, tempat tidur dan meja, sedangkan mebel outdoor adalah mebel
1
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol.7 No.1 Juni 2013: 1-6
yang berada di luar ruangan, diantaranya alat permainan anak, meja, kursi dan aksesoris yang diletakkan di taman. Sebagai bahan baku mebel, kayu harus mudah dikerjakan dengan mesin dan memiliki permukaan yang halus (Bovea dan Vidal, 2004). Secara lebih detil Dumanau (1982) menjelaskan bahwa kayu untuk perkakas (mebel) harus memiliki berat sedang, dimensi stabil, memiliki corak dekoratif, mudah dikerjakan, mudah dipaku, dibubut, disekrup, dilem dan direkat. Berdasarkan beberapa sifat tersebut, kehalusan permukaan kayu merupakan sifat terpenting yang harus dimiliki oleh kayu sebagai bahan baku mebel (Zhong et al., 2013). Secara umum, industri mebel telah berkembang untuk memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri. Boon dan Thiruchelvam (2012)
menyebutkan bahwa mebel berbahan baku kayu harus dapat dikemas dan didistribusikan ke konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu kayu sebagai bahan baku mebel diharapkan memiliki berat jenis sedang. Oey Djoen Seng (1990) membagi berat jenis (BJ) kayu menjadi lima kelas, yaitu Kelas I (sangat berat dengan BJ > 0,9), Kelas II (berat dengan BJ 0,6 – 0,9), Kelas III (sedang dengan BJ 0,4 – 0,6), Kelas IV (ringan dengan BJ 0,3 – 0,4) dan Kelas V (sangat ringan BJ < 0,3). Mebel yang baik memiliki kestabilan pada dimensi dan bentuknya, baik akibat perubahan kadar air setimbang dalam kayu ataupun akibat pemberian beban pada mebel (Smardzewski dan Dziegielewski, 1993). Tabel 1 menunjukkan pembagian kelas kuat kayu berdasarkan sifat mekaniknya.
Tabel 1. Pembagian Kelas Kuat Kayu Menurut Oey Djoen Seng (1990). Table 1. Wood strength grade according to Oey Djoen Seng (1990) Kelas Kuat (Strength Grade) Kelas kuat I Kelas kuat II Kelas kuat III Kelas kuat IV Kelas kuat V
Sumber: Oey Djoen Seng (1990).
Lengkung Statis (Static Bending) MOE (N/mm2) MOR (N/mm2) > 15.000 > 110 11.200-15.000 72,5-110 9.000-11.200 50,0-72,5 7.000- 9.000 30,0-50,0 < 7.000 < 30,0
Selama digunakan, mebel akan mengalami pembebanan baik dalam waktu yang singkat maupun dalam waktu yang lama (Atar et al., 2009). Shmulsky dan Jones (2011) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengetahui kekuatan kayu adalah dengan mengukur kekuatan lengkung statis kayu. Dalam hal penggunaan kayu, kemungkinan gaya pelengkungan yang terjadi dapat lebih besar dari pada gaya lainnya (Desch dan Dindwoodie, 1981). Shmulsky dan Jones (2011) menjelaskan bahwa dalam pengujian kekuatan lengkug statis kayu ada dua parameter yang diukur, yaitu MOE dan MOR. MOE (Modulus of Elastisity) adalah kemampuan bahan menahan beban tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap, sedangkan MOR (Modulus of Rupture) merupakan ukuran kekuatan suatu
2
Tekan Sejajar Serat (N/mm2) (Compression Parallel to Grain) > 65,0 42,5-65,0 30,0-42,5 21,5-30,0 < 21,5
bahan saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan. MOE dan MOR merupakan bagian dari sifat mekanika kayu yang harus diketahui sebelum menggunakan kayu. Dengan diketahuinya sifat fisik dan mekanik kayu membuka peluang penggunaan berbagai jenis kayu untuk mebel. Mebel di Indonesia kini tidak hanya menggunakan bahan baku kayu Jati saja, namun sudah ada diversifikasi bahan baku diantaranya kayu karet, mahoni dan kenari (Anggraini, 2002). Adanya diversifikasi bahan baku ini membuka peluang digunakannya jenisjenis kurang dikenal untuk digunakan sebagai bahan baku mebel. Kessler (2000) menyebutkan bahwa Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton merupakan salah satu jenis kayu meranti merah.
Sifat Fisik dan Mekanika Kayu Shorea macroptera … (Andrian Fernandes dan Amiril Saridan)
Jenis-jenis meranti merah yang telah dikenal antara lain S leprosula, S johorensis, S parvifolia, S smithiana, S platyclados dan telah diketahui sifat serta kegunaan kayunya (Martawijaya et al., 2005). Sebagai jenis yang kurang dikenal kayunya, S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton belum diketahui sifat kayunya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik serta peluang penggunaan kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton sebagai bahan baku mebel. II. METODOLOGI PENELITIAN Shorea macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton diambil dari RKT 2012 IUPHHK PT Hutansanggam Labanan Lestari pada koordinat N : 01o 54’ 49,4”, E : 117o 02’ 46,1”, K : 117 m. Batang pohon silindris, tinggi banir 50 cm, lebar banir 60 cm. Diameter
pangkal pohon 52 cm, tinggi bebas cabang 22,8 m, tinggi total 29,3 m, dan diameter tajuk 6 m. Contoh uji diambil dari bagian pangkal, tengah dan ujung pohon. Dari tiap bagian dibuat contoh uji sifat fisik dan mekanik. Untuk setiap bagian, pengujian sifat fisik kayu terdiri atas 15 contoh uji, mekanik kayu sebanyak 5 contoh uji dan 4 contoh uji untuk pengetaman. Pengujian fisik kayu meliputi berat jenis dan perubahan dimensi kayu. Pengujian mekanik kayu terdiri atas kekuatan lengkung statis, kekerasan, kekuatan sejajar serat dan kekuatan tegak lurus serat. Skema pembuatan contoh uji pada setiap bagian sesuai dengan Gambar 1. Pengujian berat jenis kayu dan perubahan dimensi kayu mengikuti standar Standar DIN2135 1975, sedangkan pengujian mekanik kayu menggunakan standar uji BS 373-1957. Pengujian pengetaman kayu mengikuti standar uji ASTM D-1666-64 1981 yang dimodifikasi oleh Abdurachman dan Karnasudirdja (1982).
Keterangan:
B
A
A
A B
B
A
B
A B
: bagian yang digunakan untuk contoh uji berat jenis dan perubahan dimensi kayu : bagian yang digunakan untuk contoh uji mekanik dan pengetaman kayu
Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 1. Pola pengambilan contoh uji Figure 1. Sampling pattern III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian terhadap sifat fisik dan mekanik kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa berat jenis berdasarkan berat kering tanur dan volume basah kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton sebesar 0,57. Berat jenis ini tergolong ke dalam kelas III atau sedang (Oey Djoen Seng, 1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan nilai penyusutan pada tiga arah. Hal ini, menurut
Panshin (1980), disebabkan oleh struktur dinding sel, orientasi sel serta susunan sel dalam zone kayu awal dan kayu akhir. Penyusutan pada arah longitudional mempunyai nilai terrendah diduga karena adanya sel-sel yang arahnya longitudional, kecuali sel jari-jari. Pada sel longitudinal, air yang mudah keluar adalah air bebas yang terdapat dalam rongga sel sehingga bentuk kayu tidak banyak mengalami perubahan. Sedangkan pada arah tangensial, nilai penyusutan memiliki nilai tertinggi. Hal ini dikarenakan sel jari-jari yang
3
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol.7 No.1 Juni 2013: 1-6
ada pada bidang ini berupa lembaran pita tipis sehingga air yang mudah keluar adalah air terikat (Shmulsky dan Jones, 2011). Perubahan kembang susut atau dimensi kayu dalam tiga arah tidak sama, ini disebut anisotropis (Shmulsky dan Jones, 2011). Nilai rataan anisotropis kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton sebesar 1,845. Nilai anisotropis tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan kayu masih mengalami masa perkembangan yang dipengaruhi oleh tajuk atau
dikenal sebagai masa juvenile, Dumail dan Castera (1997) menjelaskan bahwa nilai anisotropis untuk kayu juvenile bervariasi antara 1,4 hingga 3. Nilai anisotropis kayu yang besar menyebabkan deformasi kayu saat dikeringkan (Shmulsky dan Jones, 2011). Untuk mengurangi efek perubahan dimensi dapat dilakukan proses finishing kayu sekaligus untuk memberikan warna yang sesuai dengan mebel yang dibuat (Purwanto, 2011).
Tabel 2. Sifat fisik dan mekanik kayu S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton Table 2. Physical and mechanical wood of S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton Sifat kayu (Wood Properties) Berat jenis (Berdasarkan berat kering tanur dan volume basah) Penyusutan arah Longitudinal (L) Penyusutan arah Tangensial (T) Penyusutan arah Radial (R) Anisotropis (T/R) Kekuatan Lengkung Statis (MOE) (N/mm2) Kekuatan Lengkung Statis (MOR) (N/mm2) Kekerasan (N/mm2) Kekuatan Tekan Sejajar Serat (N/mm2) Kekuatan Tekan Tegak Lurus Serat (N/mm2) Bebas cacat pengetaman (%)
Sumber: diolah dari data primer.
Berdasarkan kekuatan lengkung statis, baik MOE maupun MOR, kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton tergolong ke dalam kelas kuat II. Bila ditinjau dari kekuatan tekan sejajar serat, temasuk ke kelas kuat III. Beban pada kayu mebel cenderung lebih ringan bila dibandingkan dengan kayu konstruksi, oleh karena itu kayu mebel tidak mensyaratkan kelas kuat I. Berdasarkan SNI. 01-0608-89 tentang persyaratan kekuatan mekanik kayu untuk mebel harus memiliki kekuatan lengkung statis dan kekuatan tekan sejajar serat adalah minimal kelas III. Hasil pengujian pengetaman kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton menghasilkan rata-rata bebas cacat sebesar 96% dengan tipe cacat serat berbulu. Permukaan yang dihasilkan memiliki kesan raba yang halus. Fotin et al., (2009) menjelaskan bahwa kayu mebel harus menghasilkan permukaan yang halus setelah diketam. Berdasarkan persentase bebas cacat, kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton tergolong ke
4
Rata-rata (Mean) 0,57 0,89 4,66 2,52 1,85 11.288,83 72,64 93,49 39,67 11,16 96,00
SD (SD) 0,05 0,16 1,10 0,97 0,73 2.161,02 23,85 16,64 4,11 2,37 3,92
dalam jenis kayu yang mudah dikerjakan (Martawijaya et al., 2005). IV. KESIMPULAN Kayu S. macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton tergolong ke dalam berat jenis kelas III, memiliki kekuatan lengkung statis kelas II, kekuatan tekan sejajar serat kelas III dan mudah dikerjakan. Berdasarkan sifat tersebut kayu S macroptera ssp. sandakanensis (Sym.) Ashton dapat digunakan untuk bahan baku mebel. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A. J. dan S. Karnasudirdja. 1982. Sifat Permesinan Kayu-kayu Indonesia. Laporan no. 160. Balai Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Hal. 23-34. Anggraini, S. 2002. Furniture Kayu Indonesia di Pasar Belgia. Industrial and Commercial Attache – Indonesian Mission to the EU. Brussels, Belgium.
Sifat Fisik dan Mekanika Kayu Shorea macroptera … (Andrian Fernandes dan Amiril Saridan)
Atar, M., A. Ozcifci, M. Altinok dan U. Celikel. 2009. Determination of Diagonal Compression and Tension Performances for Case Furniture Corner Joints Constructed with Wood Biscuits. Material and Design Journal. Vol.30. Hal.665-670. Elsevier. Boon, K. dan K. Thiruchelvam. 2012. The Dinamics of Innovation in Malaysia’s Wooden Furniture Industry : Innovation Actors and Linkages. Forest Policy and Economics Journal. Vol.14. Hal.107118. Elsevier. Bovea, M. D. dan R. Vidal. 2004. Materials Selection for Sustainable Product Design : a Case Study of Wood Based Furniture Eco-design. Material and Design Journal. Vol.25. Hal.111-116. Elsevier.
Kessler, P. J. A. 2000. A Field Guide to The Important Tree Species of The Berau Region. Berau Forest Management Project, PT Inhutani I. Jakarta. Martawijaya, A., I. Kartasudjana, S.A. Prawira dan K. Kadir,. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Oey Djoen Seng, O. D. 1990. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Pengumuman No.13. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Panshin, A.J., 1980. Text Book of Wood Technology volume 1. Mc Graw Hill Book Company, New York.
Desch, H. E. and Dinwoodie. 1981. Timber, It’s Structure, Properties, and Utoilization, 2nd edition. The Macmillan Press Ltd. London and Baringstone
Purwanto, D. 2011. Finishing Kayu Kelapa (Cocos nucifera L.) Untuk Bahan Interior Ruangan. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan. Vol.3. No.2. Hal.31-36.
Dumanau, J. F. 1982. Mengenal Kayu. PT. Gramedia. Jakarta.
Ratnasingam J dan F Ioras. 2005. The Asian Furniture Industry : The Reality Behind The Statistics. Holz als Roh- und Werkstoff. Vol.63. Hal.64-67. Springer-Verlag.
Dumail, J. F. dan P. Castera. 1997. Transverse Shrinkage in Maritime Pine Juvenile Wood. Wood Science and Technology Vol.31. Hal.251-264. SpringerVerlag. Fotin, A., I. Cismaru, E. A. Salca dan M. Cismaru. 2009. Influence of the Parameters of the Machining Regimes Upon the Surface Quality Obtained by Straight Milling. Por-Ligno Journal. Vol.5. No.4. Hal.53-63. Garcia, S. G., C. M. Gasol, R. G. Lozano, M. T. Moreira, X. Gabarrel, J. R. I Pons dan G. Feijoo. 2011. Assessing the Global Warming Potential of Wooden Product from the Furniture Sector to Improve Their Ecodesign. Science of the Total Environment Journal. Vol.410. Hal.16-25. Elsevier.
Smardzewski, J. dan S. Dziegielewski. 1993. Stability of Cabinet Furniture Backing Boards. Wood Science and Technology. Vol.28. Hal.35-44. SpringerVerlag. Shmulsky, R dan P. D. Jones, 2011, Forest Products and Wood Science, An Introduction, Sixth Ed., Wiley Blackwell, Oxford, UK. Zhong, Z. W., S. Hiziroglu dan C. T. M. Chan. 2013. Measurement of the Surface Roughness of Wood Based Materials Used in Furniture Manufacture. Measurement Journal. Vol.46. Hal.1482-1487. Elsevier.
5
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol.7 No.1 Juni 2013: 1-6
6
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18 ISSN: 1978-8746
MODEL HUBUNGAN TINGGI DAN DIAMETER TAJUK DENGAN DIAMETER SETINGGI DADA PADA TEGAKAN TENGKAWANG TUNGKUL PUTIH (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S. Ashton) DAN TUNGKUL MERAH (Shorea stenoptera Burck.) DI SEMBOJA, KABUPATEN SANGGAU Correlation Model Between Height and Crown Diameter with Diameter at Breast Height on Tengkawang Tungkul Putih (Shorea macrophylla (de Vriese) P.S. Ashton) and Tungkul Merah (Shorea stenoptera Burck.) Stand in Semboja, Sanggau Regency Asef K. Hardjana1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email:
[email protected] Diterima 18 Oktober 2012, direvisi 21 Mei 2013, disetujui 28 Mei 2013
ABSTRACT Diameter measurement is a relatively easy job, cheap and can get an accurate size, while the measurement of height and canopy tree is a relatively difficult and requires a lot of energy. Modeling the correlation between height and canopy with tree diameter is one of the alternative technic that can make more efficient job to measure the height and diameter of the canopy, and therefore it will provide sufficient data approaching to actual measurement results. Inventory and identification results indicated that tengkawang tungkul is the most dominant tengkawang species in the research area with the density ranging from 63-166 trees/ha, which consists of tungkul putih a total of 128 trees (79,48%), and tungkul merah much as 47 trees (20,52%). Furthermore, regression equation of correlation model between height and stem diameter (dbh) can be defined as Ttp = -2,2697 + 1,2711d - 0,0162d2 (n= 128; R2= 0,8177; SE= 2,1271) for tungkul putih, and for tungkul merah is Ttm = -0,0803 + 0,9334d - 0,0072d2 (n= 47; R2= 0,8759; SE= 1,3891). Equation on the correlation between crown diameter and stem diameter (dbh) was not significantly different, so regression equation models for tungkul putih can be defined as DTtp = 0,7174 + 0,4360d – 0,0045d2 (n= 128; R2= 0,5172; SE= 1,7739 ) and for tungkul merah is DTtm = 3,3287d0,2327 (n= 47; R2=0,0658; SE= 0,322). Keywords: Crown diameter, Height, Stem diameter, Tengkawang
ABSTRAK Pengukuran diameter merupakan pekerjaan yang relatif mudah, murah dan dapat menghasilkan ukuran yang akurat, sedangkan pengukuran tinggi dan tajuk pohon merupakan pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan banyak tenaga. Penyusunan model hubungan antara tinggi pohon dan tajuk pohon dengan diameter pohon merupakan salah satu alternatif teknis yang dapat mengurangi pekerjaan pihak pengguna dalam mengukur tinggi dan diameter tajuk pohon, sehingga dapat memberikan data yang cukup mendekati dari hasil pengukuran yang sebenarnya. Dari hasil inventarisasi dan identifikasi diketahui bahwa jenis tengkawang tungkul mendominasi jenis tengkawang di lokasi penelitian dengan kerapatan tegakan berkisar 63 – 166 pohon/ha, yang terdiri dari jenis tungkul putih sebanyak 128 pohon (79,48%), dan tungkul merah sebanyak 47 pohon (20,52%). Selanjutnya model regresi hubungan tinggi pohon dengan diameter batang (dbh) yang dapat terbangun adalah Ttp = -2,2697 + 1,2711d - 0,0162d2 (n= 128; R2= 0,8177; SE= 2,1271) untuk tungkul putih, sedangkan model regresi untuk tungkul merah adalah Ttm = -0,0803 + 0,9334d - 0,0072d2 (n= 47; R2= 0,8759; SE= 1,3891). Persamaan hubungan diameter tajuk dengan diameter batang (dbh) tidak berbeda nyata, sehingga dapat disusun pula model persamaan regresi untuk tungkul putih yaitu DTtp = 0,7174 + 0,4360d – 0,0045d2 (n= 128; R2= 0,5172; SE= 1,7739 ) dan tungkul merah yaitu DTtm = 3,3287d0,2327 (n= 47; R2=0,0658; SE= 0,322). Kata kunci : Diameter tajuk, Tinggi, Diameter batang, Tengkawang
7
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18
I.
PENDAHULUAN
Kondisi tegakan di setiap tapak (tempat tumbuh) biasanya digambarkan oleh diameter batang setinggi dada (dbh) dan tinggi pohon yang merupakan gambaran penampilan individu pohon. Peninggi merupakan indikator kualitas tempat tumbuh, jumlah pohon dan luas bidang dasar merupakan penjabaran dari diameter yang mencerminkan kerapatan tegakan, volume tegakan mencerminkan massa kayu, dan luas tajuk yang merupakan penjabaran dari diameter tajuk dapat menggambarkan produksi buah dan semai suatu tegakan (Sumarna, 2008). Segala informasi di atas dapat diperoleh melalui kegiatan inventarisasi yang biasanya dilaksanakan dengan membuat plot-plot sampel yang diletakkan tersebar merata pada setiap blok tanaman ataupun tempat tumbuh bila di hutan alam. Pengukuran diameter merupakan pekerjaan yang relatif mudah, murah dan dapat menghasilkan ukuran yang akurat, sedangkan pengukuran tinggi dan tajuk pohon merupakan pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan banyak tenaga. Sehubungan dengan kendala tersebut maka perlu dicari teknik untuk meminimalkan pekerjaan pengukuran tinggi dan tajuk pohon, tanpa mengurangi kelengkapan dan keakuratan data yang disajikan. Jadi, jika tersedia data tinggi dan diameter pohon atau data tajuk dan diameter pohon, maka dapat dirumuskan model hubungan tinggi-diameter atau tajuk-diameter dimana tinggi dan tajuk merupakan fungsi dari diameter. Pengembangan metode pendugaan potensi hutan, termasuk di dalamnya pendugaan model hubungan antara karakteristik individual pohon seperti tinggi, diameter dan luas tajuk telah banyak dilakukan. Meskipun demikian, penelitian-penelitian tentang pertumbuhan dan hubungan karakteristik pohon masih terus dilakukan karena belum ada model atau formula yang dapat diaplikasikan untuk semua jenis pohon. Hal ini dikarenakan setiap jenis atau kelompok jenis pohon dapat mempunyai pertumbuhan dan ukuran batang yang berbeda sebagai akibat dari interaksi faktor genetik dan
8
lingkungannya (Husch et al., 1972; Huang et al., 2000). Penyusunan model hubungan antara tinggi pohon dan tajuk pohon dengan diameter pohon merupakan salah satu alternatif teknis yang dapat mengurangi pekerjaan pihak pengguna dalam mengukur tinggi dan diameter tajuk pohon, sehingga dapat memberikan data yang cukup mendekati dari hasil pengukuran yang sebenarnya. Buba (2012) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara tinggi pohon, diameter tajuk dan tinggi tajuk dengan diameter pohon, sehingga model yang dibentuk dari hubungan ini dapat digunakan untuk mempredikasi ketiga parameter tersebut. Sonmez (2009) juga menyatakan bahwa model hubungan antara diameter batang (dbh) dan diameter tajuk memiliki nilai statistik yang signifikan, sehingga dengan indikator diameter batang dapat memprediksi diameter tajuk. Hipotesa yang dapat dinyatakan dalam penelitian ini adalah diameter batang (dbh) memiliki fungsi terhadap tinggi pohon dan diameter tajuk tegakan tengkawang. Dengan beberapa informasi dari penelitian serupa yang dilakukan pada jenis dan lokasi yang berbeda, maka informasi dari hasil penelitian ini menjadi perlu untuk disebarluaskan, terutama yang berkaitan dengan konservasi jenis tengkawang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyusun model hubungan tinggi pohon dan tajuk pohon dengan diameter pohon setinggi dada pada tegakan tengkawang (Shorea spp.), agar dapat memberikan data akurat mengenai produktivitas pertumbuhan dan pendugaan produksi buah dari tegakan tengkawang tersebut. Kabupaten Sanggau yang dahulunya menjadi salah satu daerah penghasil biji tengkawang terbesar di Kalimantan Barat, merupakan lokasi yang tepat untuk dihidupkan kembali usaha pelestarian tengkawang ini. Dengan kondisi iklim secara umum sering turun hujan dengan rata-rata hari hujan tertinggi terjadi pada bulan November, yaitu 106 hari, sedangkan hari hujan terendah selama 48 hari pada bulan Juli. Angka curah hujan tertinggi juga terjadi pada bulan November sebesar 2.538
Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi Dada Pada Tegakan Tengkawang … (Asef K. Hardjana)
mm, dan curah hujan terendah sebesar 537 pada bulan Februari (BPS Kab. Sanggau, 2010). Informasi ini menjadi sangat penting dalam mendukung proses pertumbuhan dari tegakan tengkawang tersebut hingga menghasilkan buah, serta pengembangannya melalui penelitian yang terpadu. II. METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada tegakan tengkawang di Semboja, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Areal tegakan tersebut masih berada dalam kawasan kota Sanggau, di mana kedepannya dapat menjadi hutan kota. Tegakan yang didominasi jenis tengkawang ini, dahulunya adalah bekas areal penanaman jenis-jenis tengkawang yang merupakan hasil kerjasama teknis antara Indonesia dan Jerman melalui Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (SFDP, Social Forestry Development Project) pada tahun 1991. Dalam kegiatan penelitian ini, pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan April hingga Nopember 2011. Secara umum kondisi topografi relatif datar sampai berbukit dan berawa-rawa. Jenis tanah podsolik merah kuning batuan dan padat yang hampir merata di sebagian besar wilayah Kabupaten Sanggau (BPS Kab. Sanggau, 2010). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi, cat, tinner, baterai dan label. Peralatan yang digunakan adalah phiband, GPS, pita meter, distancemeter, clinometer, kompas, galah berkait dan kamera digital. Prosedur penelitian yang dilaksanakan mulai dari persiapan, meliputi penyediaan peta kontour atau peta rupa bumi dengan skala 1:50.000 - 1:25.000 atau skala yang tersedia. Peta lokasi penelitian menggambarkan panjang dan lebar areal yang disurvei kemudian dapat dihitung banyaknya pohon yang akan diamati. Teknik survei yang digunakan adalah dengan cara sensus, dimana setiap bagian areal yang dijumpai tegakan tengkawang dilakukan pendataan. Diperkirakan luas areal 10 ha yang dahulunya ditanami jenis tengkawang, tidak semuanya terdapat tegakan tengkawangnya.
Dan areal yang berpotensi terdapat tegakan tengkawang hanya berkisar 5 ha dengan beberapa variasi jenis tengkawang dengan jumlah dan posisinya pada petak tanaman bervariasi pula. Sehingga dengan keterbatasan yang ada dilakukan pembuatan petak ukur sebagai sampel areal untuk melakukan pendataan terhadap objek yang diteliti. Lokasi pembuatan petak ukur tanaman sebagai objek penelitian dipilih secara sengaja (purposive) untuk memperoleh sebaran diameter seluas mungkin dengan mempertimbangkan ketersediaan tegakan di lapangan. Petak ukur dibuat berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 100 m x 100 m yang ditetapkan sebanyak 2 petak ukur pada lokasi tersebut. Kemudian dilakukan pendataan secara sensus untuk setiap pohon tengkawang yang berada di dalam petak ukur tersebut. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui sebaran dan keragaman jenis dari tengkawang di kawasan tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dan pengamatan terhadap dimensi pertumbuhan (diameter dan tinggi pohon) dari jenis tengkawang yang menjadi objek penelitian dalam petak ukur tersebut. Data tersebut merupakan data primer dalam kegiatan penelitian ini. Data primer terdiri dari diameter setinggi dada (dbh), diameter tajuk, tinggi pohon, tinggi bebas cabang dan kerapatan tajuk. Secara umum pengukuran diameter dilakukan setinggi 1,3 m dengan menggunakan alat phiband, kemudian pengukuran tinggi pohon menggunakan galah berkait dan jika kondisi pohon terlalu tinggi dilakukan pengukuran dengan alat clinometer yang dipadukan dengan alat digital distancemeter untuk mengukur jarak pengukur dan objek. Selanjutnya untuk mengukur diameter tajuk dilakukan dengan menggunakan proyeksi bentuk tajuk yang diukur dalam dua bagian pada proyeksi tersebut dengan menggunakan tongkat atau pita meter, sedangkan untuk data kerapatan tajuk didapatkan melalui pengamatan kondisi tajuk yang saling bertautan maupun jarak antara tajuk.
9
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18
Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi literature merupakan kegiatan untuk mendapatkan data sekunder. Data sekunder merupakan data pendukung dalam kegiatan ini. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi data iklim makro (curah hujan, jumlah hari hujan selama periode 5 tahun), penggunaan lahan, administrasi wilayah dan topografi. Dalam analisa vegetasi yang meliputi komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi dan inventarisasi hutan untuk menentukan potensi hutan digunakan data diameter dan tinggi. Data diameter digunakan karena dalam hutan terjadi overlap dari tajuk hutan, dimana hubungan antara diameter dan diameter tajuk (cover atau proyeksi tajuk) sangat erat dan berbanding lurus. Data hasil pengukuran berupa dbh, diameter tajuk dan tinggi pohon dianalisis secara statistik dengan tujuan untuk Tabel 1. Table 1.
mendapatkan model hubungan dari ketiga parameter. Penyusunan model hubungan antara dbh, tinggi dan diameter tajuk dilakukan dengan pendekatan regresi, dimana tinggi dan diameter tajuk merupakan fungsi dari diameter. Berikut model persamaan regresi yang dapat menjadi acuan dalam penyusunan model hubungan antara tinggi dan diameter tajuk dengan dbh (Tabel 1). Dari berbagai bentuk persamaan pada Tabel 1, diketahui bahwa model hubungan antara tinggi dan diameter tajuk dengan dbh dapat disusun dengan berbagai bentuk persamaan regresi, baik bentuk linear maupun non-linear. Namun dari berbagai model dipilih model terbaik berdasarkan nilai keakuratan yang tinggi dan praktis penggunaannya di lapangan. Atau dapat juga dipilih berdasarkan dari nilai keofisien diterminasi (R2) terbesar dan nilai galat baku atau standard error (SE) terkecil.
Persamaan yang digunakan untuk menyusun model hubungan antara tinggi dan diameter tajuk dengan diameter setinggi dada (dbh). The equation used to develop the model of the correlation between height and crown diameter with diameter at breast height (dbh).
Nomor (Number) 1. 2. 3. 4. 5.
Persamaan (Equation) y = b0 + b1(dbh) Y = b0 + b1(dbh) + b2(dbh2) y = b0 ln(dbh) - b1 y = b0(dbh)b1 y = b0eb1(dbh)
Bentuk (Form) Linear Quadratic Logarithmic Power Exponential
Keterangan: y = tinggi pohon atau diameter tajuk (m); x = diameter setinggi dada (cm); b 0, b1 = konstanta Sumber: Sonmez Turan (2009).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi dan Sebaran Diameter Dari hasil inventarisasi pada kedua petak ukur penelitian diketahui bahwa petak ukur 2 memiliki keragaman jenis yang lebih besar dibandingkan petak ukur 1. Pada petak ukur 2 sebanyak 6 jenis tengkawang dengan tingkat kehadiran yang cukup merata dari setiap jenis dan untuk tengkawang tungkul tingkat kehadirannya sebesar 34,24%. Pada petak ukur 1 hanya terdapat 4 jenis tengkawang dengan tingkat kehadiran didominasi oleh jenis
10
tengkawang tungkul sebesar 93,26%. Jenisjenis tengkawang yang dijumpai di kedua petak ukur tersebut meliputi tengkawang tungkul (Shorea spp.), layar (S. mecystopteryx Ridl.), terindak (S. seminis (de Viese) v. Slooten), rambai (S. splendida), majau (S. palembanica Miq.) dan pinang (S. pinanga Scheff.). Namun dalam penelitian ini lebih difokuskan pada tegakan tengkawang tungkul putih dan tungkul merah, hal ini dikarenakan jenis tengkawang tersebut buahnya masih menjadi primadona untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan di
Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi Dada Pada Tegakan Tengkawang … (Asef K. Hardjana)
wilayah Kalimantan Barat (Winarni et al., 2005). Dengan keadaan topografi dan lingkungan yang relatif sama, sehingga pembahasan hasil penelitian lebih ditekankan pada jenis karena hasil identifikasi jenis secara total (penggabungan dari petak ukur 1 dan 2) dapat diketahui bahwa jenis tengkawang tungkul mendominasi keberadaannya di kedua petak ukur penelitian, dengan jumlah total sebesar 229 pohon. Dimana kemudian tengkawang tungkul ini diklasifikasikan lagi menjadi dua macam tengkawang tungkul yaitu tengkawang tungkul putih (S. macrophylla (de Vriese) P.S. Ashton) dan tengkawang tungkul merah (Shorea stenoptera Burck). Secara umum tungkul merah memiliki bentuk daun memanjang, warnanya lebih tua, stipula berwarna merah dan permukaan batangnya kurang mulus. Sedangkan untuk tungkul putih
memiliki bentuk daun agak membulat, warnanya lebih muda, stipula berwarna hijau keputihan dan permukaan batangnya lebih mulus. Tengkawang tungkul putih mendominasi jenis tengkawang tungkul dalam lokasi penelitian ini dengan jumlah 128 pohon (79,48%), sedangkan tengkawang tungkul merah hanya berjumlah 47 pohon (20,52%). Dapat diketahui pula bahwa potensi tegakan tengkawang tungkul di Semboja, Kabupaten Sanggau berkisar antara 63 – 166 pohon/ha dengan posisi tegakan tidak tersebar merata dan hanya terpusat pada beberapa titik tertentu di dalam petak ukur. Untuk mengetahui potensi sebaran diameter dari tengkawang tungkul putih dan merah, maka dilakukan pengelompokan kelaskelas diameter dengan interval 5 cm, seperti yang tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran diameter tegakan tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) dan tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Table 2. Distribution of diameter of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) and tungkul merah (S. stenoptera) in research area. Jenis Tengkawang (Tengkawang species) 1. Tungkul Putih 2. Tungkul Merah Sumber: diolah dari data primer. Nomor (Number)
Jumlah Pohon Tiap Kelas Diameter (cm) (The number of trees of each diameter class) (N/ha) 5-9,9
10-14,9
15-19,9
20-24,9
25-29,9
30-34,9
35-39,9
40-44,9
35 17
61 21
46 3
19 5
12 0
3 1
5 0
1 0
Pada Tabel 2 terlihat bahwa kedua jenis tengkawang ini didominasi oleh pohon yang berkelas diameter 10-14,9 cm dan hanya sedikit yang mencapai kelas diameter di atas 30 cm. Selanjutnya dari sebaran yang terlihat bahwa tungkul putih memiliki kelas sebaran diameter yang lebih banyak dibandingkan dengan tungkul merah, selain itu beberapa tegakan tungkul putih diameter pohonnya sudah melebihi dari 35 cm. Berdasarkan informasi diameter tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan tengkawang tungkul putih lebih cepat dibandingkan tungkul merah. Diameter merupakan salah satu parameter untuk menentukan pertumbuhan suatu tegakan, disamping tinggi pohon.
Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh aktivitas fotosistesis, dimana pertumbuhan diameter berlangsung apabila hasil fotosintesis seperti respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi (Davis dan Jhonson, 1987). Oleh karena itu perbedaan pertumbuhan yang terjadi pada kedua jenis tengkawang ini, dapat saja dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungannya. Setidaknya terdapat tiga faktor lingkungan (tempat tumbuh) dan satu faktor genetik (intern) yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan diameter maupun tinggi, yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah dan cahaya matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara pertumbuhan
11
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18
tinggi dan diameter suatu pohon (Davis dan Jhonson, 1987). Selain dari segi pertumbuhannya yang lebih baik dari tengkawang tungkul merah, untuk sebaran dan jumlah pohon tengkawang tungkul putih juga lebih dominan di lokasi penelitian. Hal ini dapat terjadi mungkin karena pada kondisi awal penanaman lebih banyak ditanam jenis tengkawang tungkul putih
dibandingkan dengan jenis tengkawang tungkul merah. Kondisi sebaran kelas diameter ini juga dapat digambarkan dari bentuk kurva, seperti yang tersaji pada Gambar 1. Seperti yang telah dinyatakan oleh Suyana dan Abdurachman (2006; 2011) bahwa kondisi sebaran diameter yang menyerupai genta atau lonceng merupakan salah satu ciri dari hutan tanaman.
70
Jumlah Pohon
60 Tungkul Putih
50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
Kelas Diameter (cm) Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 1. Kurva sebaran diameter tegakan tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) dan tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Figure 1. Curve of diameter distribution of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) and tungkul merah (S. stenoptera) in research area. Pada Gambar 1 terlihat bahwa kurva sebaran diameter tengkawang tungkul putih masih dapat dikatakan menyerupai genta/lonceng, namun belum bisa dikatakan normal yang sempurna tapi masuk dalam kondisi lognormal. Pada tengkawang tungkul merah kurva sebaran diameternya masih belum dapat dikatakan menyerupai genta/lonceng, sehingga dapat dikatakan bahwa sebaran diameternya belum normal. Untuk itu dalam pengelolaan selanjutnya perlu dilakukan tindakan silvikultur agar dapat memperoleh hasil yang maksimal, baik itu dari riap, buah dan regenerasi alamnya. Diharapkan kondisi tegakan tengkawang pada areal bekas Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan ini secara biometrika bentuk kurva sekitar titik puncak dapat bergeser ke arah sebelah kanan 12
pada sumbu X yang menyatakan bahwa hasil produksi yang diperoleh menjadi besar. B. Hubungan Tinggi Pohon dan Diameter Batang Kedua petak ukur yang menjadi sampel dalam penelitian ini, memiliki kondisi topografi, tanah dan iklim yang relatif sama. Dengan komposisi jenis didominasi oleh jenis tengkawang tungkul, dimana pada petak ukur pertama ditemukan sebanyak 157 pohon tengkawang tungkul putih dan 7 pohon tengkawang tungkul merah, sedangkan pada petak ukur kedua ditemukan sebanyak 23 pohon tengkawang tungkul putih dan 40 pohon tengkawang tungkul merah. Jadi jumlah total keseluruhan pohon tengkawang tungkul putih yang menjadi sampel berjumlah 180 pohon,
Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi Dada Pada Tegakan Tengkawang … (Asef K. Hardjana)
sedangkan tengkawang tungkul merah berjumlah 47 pohon. Sebelumnya telah diketahui bahwa kondisi lingkungan lokasi penelitian yang relatif sama, sehingga dalam analisa model dilakukan dengan menggabungkan data dari kedua petak
ukur tersebut berdasarkan dari jenisnya. Untuk itu dalam mempertegas data yang dianalisa, terlebih dahulu melakukan analisa statistik untuk kedua variabel ini, yaitu dengan mencari nilai rataan, maksimum, mínimum dan variasinya seperti yang tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Statistik tinggi pohon dan diameter batang (dbh) pada tegakan tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) dan tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Table 3. Statistics of height and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) and tungkul merah (S. stenoptera) in research location). Nomor (Number) 1. 2.
Peubah (Variable) Tungkul putih Tinggi (m) Diameter (cm) Tungkul merah Tinggi (m) Diameter (cm)
Sumber: diolah dari data primer.
Rataan (Mean)
Maksimum (Maximum)
Minimum (Minimum)
Variasi (Variance)
12,8176 15,6270
25 42,5
4 7
24,3499 49,6837
10,1956 12,4673
22 33
5 7
15,0942 27,1933
Hasil statistik pada Tabel 2 menunjukkan lebar rentang ukuran dari tinggi dan diameter pada kedua jenis tengkawang, nilai tersebut memberikan indikasi adanya variasi yang besar dalam tegakan tengkawang tersebut. Karena adanya perbedaan yang cukup besar antara rataan pada variabel kedua jenis tersebut, menjadikan perlunya dilakukan perlakuan silvikultur pada kondisi tegakan tengkawang tersebut. Selanjutnya bila ditinjau dari hasil analisa regresi hubungan tinggi pohon dengan diameter batang (dbh) untuk kedua jenis tengkawang tersebut, maka dapat dihasilkan model persamaan regresi seperti pada Gambar 2 dan 3. Model persamaan regresi atau allometrik yang dihasilkan dari hubungan tinggi pohon dengan diameter batang untuk kedua jenis tengkawang tersebut, adalah sebagai berikut : Ttp = -2,2697 + 1,2711d - 0,0162d2 Ttm = -0,0803 + 0,9334d - 0,0072d2
dimana : Ttp : Tinggi pohon tengkawang tunggul putih (m) Ttm : Tinggi pohon tengkawang tunggul merah (m) d : Diameter batang (dbh) (cm)
Model persamaan di atas merupakan model yang terpilih dan terbaik dari kelima model yang telah diuji dan di analisa. Hasil analisa model hubungan tinggi pohon dan diameter batang terpilih untuk kedua jenis tengkawang menunjukan hubungan yang cukup erat atau tidak berbeda nyata antara tinggi pohon dengan diameter pohon. Persamaan hubungan kedua variabel dengan kedua jenis tengkawang mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi dengan nilai galat baku atau standard error (SE) yang kecil, yaitu R2 = 0,8177 dan SE = 2,1271 untuk jenis tengkawang tungkul putih, sedangkan pada tengkawang tungkul merah memiliki R2 = 0,8759 dan SE = 1,3891. Disamping itu bila ditinjau dari nilai koefisien korelasi (R) antara tinggi dan diameter batang adalah 0,9043 untuk tengkawang tungkul putih dan 0,9359 untuk tengkawang tungkul merah. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara tinggi dengan diameter batang setinggi dada adalah sangat nyata, dimana lebih dari 90% keragaman diameter batang dapat menerangkan keragaman tinggi pohon.
13
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18
30
Tinggi Pohon (m)
25 20 15 10 5 0 0
10
20
30
40
50
Diameter Pohon (cm) Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 2. Model regresi hubungan tinggi pohon dengan diameter batang (dbh) tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) di lokasi penelitian. Figure 2. Regression model of the correlation between height and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) in research location. 25
Tinggi Pohon (m)
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Diameter Pohon (cm) Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 3. Model regresi hubungan tinggi pohon dengan diameter batang (dbh) tengkawang tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Figure 3. Regression model of the correlation between height and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul merah (S. stenoptera) in research location. Ditinjau dari nilai galat baku (SE), kedua model ini cukup memenuhi syarat ketelitian dengan nilai masing-masing galat baku (SE) adalah 2,13% untuk tengkawang tungkul putih dan 1,39% pada tengkawang tungkul merah. Seperti yang telah dikemukakan oleh Prodan (1965) bahwa suatu persamaan regresi pendugaan yang menggunakan satu peubah 14
maka galat baku maksimum yang dapat ditenggang adalah 20% dan apabila menggunakan dua peubah maka tenggangnya sebesar 25%. Untuk menguji tingkat signifikansi keeratan hubungan tinggi pohon dan diameter pohon dilakukan analisis varian (Anova), seperti yang tersaji pada Tabel 4 berikut ini.
Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi Dada Pada Tegakan Tengkawang … (Asef K. Hardjana)
Tabel 4. Analisis varian hubungan tinggi pohon dan diameter batang (dbh) pada tegakan tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) dan tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Table 4. Analysis of variance on the correlation between height and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) and tungkul merah (S. stenoptera) in research location. Variabel Derajat Bebas (Variable) (Degree of Freedom) Tengkawang Tungkul Putih 2 Regresi 179 Sisa 181 Jumlah Tengkawang Tungkul Merah Regresi 2 Sisa 44 Jumlah 46
Sumber: diolah dari data primer.
Jumlah Kuadrat (Sum of Square)
Rataan Kuadrat (Mean of Square)
3633.835 809.9285 4443.764 599.0535 84.90395 683.9574
Hasil analisis varians dari kedua jenis tengkawang menunjukkan bahwa besarnya nilai F hitung lebih besar dari F tabel 95% yang mengindikasikan bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat signifikan, dimana dengan bertambahnya diameter akan berpengaruh juga terhadap pertumbuhan dari tinggi pohon tersebut. Dengan demikian, diharapkan kedepannya model persamaan alometrik ini dapat membantu para praktisi kehutanan dalam menghitung potensi tegakan tengkawang dalam suatu unit tanaman hutan, tanpa kesulitan lagi untuk mengukur tinggi pohon dari tegakan tengkawang tersebut. C. Hubungan Diameter Tajuk dan Diameter Batang Model regresi yang digunakan untuk hubungan diameter tajuk dan diameter batang (dbh) pada kedua jenis tengkawang adalah tipe regresi power, seperti yang tersaji pada Gambar 4 dan 5 berikut ini. Model persamaan regresi atau allometrik yang dihasilkan dari hubungan diameter tajuk dengan diameter batang untuk kedua jenis tengkawang tersebut, adalah sebagai berikut : DTtp = 0,7174 + 0,4360d – 0,0045d2 DTtm = 3.3287d0.2327
dimana :
Fhit
Ftab 95%
1816.918 4.52474
401.5518
6.8888
299.5267 1.929635
155.2245
1.1666
DTtp : Diameter tajuk tengkawang tunggul putih (m) DTtm : Diameter tajuk tengkawang tunggul merah (m) d : Diameter batang (dbh) (cm) Dari Gambar 4 dan 5 menunjukan bahwa analisa regresi hubungan antara diameter tajuk dan diameter batang pada kedua jenis tengkawang menunjukan hubungan yang cukup erat atau tidak berbeda nyata. Persamaan hubungan kedua variabel dengan kedua jenis tengkawang mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,5172 untuk tengkawang tungkul putih dan 0,0658 pada tengkawang tungkul merah. Selain itu tingkat ketelitian dari hubungan antara diameter tajuk dan diameter batang dari kedua model persamaan regresi tersebut, dapat juga ditinjau dari nilai galat baku atau standard error (SE), dimana masing-masing sebesar 1,7739 (1,77%) untuk tengkawang tungkul putih dan 0,322 (0,32%) pada tengkawang tungkul merah. Nilai galat baku (SE) tersebut dapat dikatakan bahwa kedua persamaan regresi yang diperoleh cukup memenuhi syarat ketelitian. Walaupun bila ditinjau dari nilai koefisien korelasi (R) antara diameter tajuk dan diameter batang pada kedua model tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan, yaitu 0,7192
15
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18
untuk tengkawang tungkul putih dan 0,256
untuk tengkawang tungkul merah.
16 Diameter Tajuk (m)
14 12 10 8 6 4 2 0 0
10
20
30
40
50
Diameter Pohon (cm) Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 4. Model regresi hubungan diameter tajuk dengan diameter batang (dbh) tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) di lokasi penelitian. Figure 4. Regression model of the correlation between crown diameter and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) in research location. 12 Diameter Tajuk (m)
10 8 6 4 2 0 0
5
10
15
20
25
30
35
Diameter Pohon (cm) Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 5. Model regresi hubungan diameter tajuk dengan diameter batang (dbh) tengkawang tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Figure 5. Regression model of the correlation between crown diameter and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul putih (S. stenoptera) in research location. Hal ini tetap menunjukkan bahwa hubungan antara diameter tajuk dengan diameter batang setinggi dada adalah nyata, dimana lebih dari 25% dan 70% keragaman
16
diameter batang dapat menerangkan keragaman diameter tajuk. Hal ini mengindikasikan bahwa di setiap unit hutan tanaman tengkawang tungkul (Shorea spp.), keragaman diameter
Model Hubungan Tinggi dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi Dada Pada Tegakan Tengkawang … (Asef K. Hardjana)
tajuk pohon dapat diterangkan oleh keragaman diameter batangnya. Untuk menguji tingkat signifikansi keeratan hubungan diameter tajuk dan diameter batang dilakukan analisis varian (Anova), seperti yang tersaji pada Tabel 5 berikut ini. Hasil analisis varian dari kedua jenis tengkawang menunjukkan bahwa besarnya nilai F hitung lebih besar dari F tabel 95% yang mengindikasikan bahwa keduanya memiliki hubungan yang signifikan, dimana dengan bertambahnya diameter akan berpengaruh juga terhadap pertumbuhan dari tajuk pada pohon tersebut. Seperti yang telah dilaporkan oleh
Sumarna (2008) menyebutkan bahwa pada pohon induk gaharu hasil uji Anova dan hasil uji beda antar kelas diameter batang dengan luas tajuk mempunyai saling keterkaitan yang signifikan diantara keduanya dan berpengaruh terhadap potensi permudaan alam. Dengan demikian, diharapkan model persamaan alometrik ini dapat membantu para praktisi kehutanan dalam memprediksi produksi buah pada setiap tegakan tengkawang dalam satuan unit hutan tanaman, tanpa mengalami kesulitan lagi untuk mengukur luas atau diameter dari tajuk tegakan tersebut.
Tabel 5. Analisis varian hubungan diameter tajuk dan diameter batang (dbh) pada tegakan tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) dan tungkul merah (S. stenoptera) di lokasi penelitian. Table 5. Analysis of variance on the correlation between crown diameter and stem diameter (dbh) of tengkawang tungkul putih (S. macrophylla) and tungkul merah (S. stenoptera) in research area. Variabel (Variable) Tungkul Putih Regresi Sisa Jumlah Tungkul Merah Regresi Sisa Jumlah
Derajat Bebas (Degree of Freedom)
Jumlah Kuadrat (Sum of Square)
Rataan Kuadrat (Mean of Square)
2 179 181
603.5894 563.2897 1166.879
1 45 46
0.328 4.654 4.982
Sumber: diolah dari data primer.
IV. KESIMPULAN Model persamaan regresi yang dapat dipergunakan untuk menduga tinggi pohon pada kedua jenis tengkawang adalah Ttp = -2,2697 + 1,2711d - 0,0162d2 untuk jenis tengkawang tungkul putih dan Ttm = -0,0803 + 0,9334d 0,0072d2 untuk jenis tengkawang tungkul merah. Sedangkan model persamaan regresi yang dapat dipergunakan untuk menduga diameter tajuk pada kedua jenis tengkawang adalah DTtp = 0,7174 + 0,4360d – 0,0045d2 untuk jenis tengkawang tungkul putih dan DTtm = 3.3287d0.2327 untuk jenis tengkawang tungkul merah. Adanya hubungan yang erat atau saling signifikan antara tinggi pohon dan diameter
Fhit
Ftab 95%
301.7947 3.14687
95.90314
4.9222
0.328 0.103
3.169
0.082
tajuk dengan diameter pohon (dbh), maka dalam kegiatan inventarisasi hutan tanaman tengkawang (Shorea spp) seperti pengukuran tinggi dan diameter tajuk dapat dieliminir dengan hanya mengukur diameter pohon setinggi dada (dbh). DAFTAR PUSTAKA BPS Kab. Sanggau. 2010. Kabupaten Sanggau Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau. Buba, T. 2012. Prediction Equations for Estimating Tree Height, Crown Diameter, Crown Height and Crown Ratio of Parkia biglobosa in The Nigerian Guinea Savanna. African Journal of Agricultural Research Vol.7 No.49, Hal.6541-6543, 27 Desember 2012.
17
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 7-18
Davis, L.S and K. N. Jhonson. 1987. Forest Management. Mc Graw-Hill Book Company. New York. Huang, S., D. Price and S. J. Titus. 2000. Development of Ecoregion-Based Height-Diameter Models for White Spruce in Boreal Forests. Forest Ecology and Management Vol.129, Hal.125-141. Husch, B., C. I. Miller and T. W. Beers. 1972. Forest Mensuration. Second Edition. The Ronald Press Company. New York. Prodan, M. 1965. Forest Biometric. Perganon. OxfordLondon. Siswanto, B.E. dan R. Imanuddin. 2008. Model Pendugaan Isi Pohon Agathis loranthifolia Salisb di Kesatuan Pemangkuan Hutan Kedu Selatan, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.V No.5 Hal.485-496, 2008. Bogor. Sonmez, T. 2009. Diameter at Breast Height - Crown Diameter Prediction Models for Picea orientalis. African Journal of Agri5cultural Research Vol.4 No.3, Hal.215-219, March 2009.
18
Sumarna, Y. 2008. Pengaruh diameter dan luas tajuk pohon induk terhadap potensi permudaan alam tingkat semai tumbuhan penghasil gaharu jenis karas (Aquilaria malaccensis Lamk). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.V No.1 Hal.21-27, 2008. Bogor. Suyana, A. dan Abdurachman. 2006. Kondisi tegakan Shorea leprosula Miq. umur 13 tahun pada berbagai jarak tanam di KHDTK Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Bersama Hasil-hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Balitbang Hutan Tanaman, Loka Litbang Satwa Primata. Samarinda. Suyana, A. dan Abdurachman. 2011. Kondisi tegakan meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.) di kawasan bekas kebakaran Samboja, Kalimantan Timur. Junal Penelitian Dipterokarpa Vol.5 No.1, Juni 2011. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Winarni I., E.S. Sumadiwangsa dan D. Setyawan 2005. Beberapa Catatan Pohon Penghasil Biji. Info Hasil Hutan Vol. 11 No.1. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 19-28 ISSN: 1978-8746
KAJIAN PELAKSANAAN PELELANGAN KAYU MERANTI DI KALIMANTAN TIMUR Study onThe Implementation of Meranti Wood Auction in East Kalimantan Catur Budi Wiati 1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email:
[email protected] Diterima 1 Mei 2012, direvisi 20 Mei 2013, disetujui 27 Mei 2013
ABSTRACT The policy of wood auction including meranti had been changed many times from SK Menhut No. 319/Kpts-II/1997 successively to be Permenhut No. P.02/Menhut-II/2005, and the last Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006, is expected to accelerate the process of wood auction. This article has an aim to know the implementation of meranti wood auction in East Kalimantan after the guideline for the implementation of wood auction has been changed and at the same time to know its existing problems. Results of research show that government got income approximately Rp 35 billion in year 2006 and Rp 17 billion in year 2007 from wood auction including meranti in Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Samarinda/State Property and Auction Office of Samarinda. This value not included value of goods auction for non wood such as motor ship and truck. However the implementation of wood auction in East Kalimantan still does not operate maximally because of lack of funding to handling illegal logging, the limited amount of Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) in forestry institution and weak of coordination between institutions related to handling management of wood auction. Keywords: wood auction, meranti, policy change, forestry institution
ABSTRAK Kebijakan pelelangan kayu termasuk kayu meranti telah mengalami beberapa kali perubahan dari SK Menhut No. 319/Kpts-II/1997 direvisi menjadi Permenhut No. P.02/Menhut-II/2005, dan yang terakhir menjadi Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006, dengan harapan dapat mempercepat proses pelelangan kayu. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pelelangan kayu meranti di Kalimantan Timur sekaligus untuk mengetahui permasalahan yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah memperoleh pendapatan sekitar Rp 35 milyar pada tahun 2006 dan Rp 17 milyar pada tahun 2007 dari hasil pelelangan kayu termasuk meranti di KPKNL Samarinda. Nilai ini tidak termasuk nilai lelang barang-barang bukan kayu seperti kapal motor dan truk. Namun demikian pelaksanaan pelelangan kayu di Kalimantan Timur masih tidak berjalan maksimal karena ketiadaan pendanaan untuk menangani masalah illegal logging, terbatasnya jumlah PPNS di institusi kehutanan dan lemahnya koordinasi antar institusi yang menangani pelelangan kayu. Kata kunci: pelelangan kayu, meranti, perubahan kebijakan, dinas kehutanan
I.
PENDAHULUAN
Produksi kayu hutan alam Kalimantan Timur yang umumnya didominasi jenis dipterokarpa merupakan penyumbang terbesar dari total produksi kayu hutan alam Indonesia. Data dari Departemen Kehutanan (2007) melaporkan bahwa total produksi kayu bulat Indonesia asal hutan alam tahun 2006 adalah 5.586.722 m3, sekitar 1.987.444 m3 berasal dari
Kalimantan Timur. Namun demikian, penebangan kayu ilegal (ilegal logging) yang terjadi di Kalimantan Timur juga cukup besar. Data dari Kotijah (2006) melaporkanbahwa kasus terkait ilegal logging yang ditangani Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Timur sepanjang tahun 2004 terjadi sekitar 103 kasus, tahun 2005 terjadi 237 kasus dan tahun 2006 terjadi 45 kasus. Tahun 2007 jumlah tersebut 19
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 19-28
kembali meningkat menjadi 432 kasus (Elshinta, 2008). Jumlah ini menunjukkan bahwa potensi kerugian negara akibat ilegal logging cukup besar, terlebih jika kayu hasil penangkapan tidak segera dilakukan pelelangan. Untuk tujuan mempercepat proses pelaksanaan pelelangan kayu demi mengamankan barang bukti dan menjaga hakhak negara dari kerugian akibat pencurian, kerusakan, penyusutan dan penurunan kualitas karena penyimpanan dalam waktu yang lama, pemerintah telah melakukan perubahan kebijakan pelaksanaan pelelangan kayu dari SK Menhut No.319/Kpts-II/1997 menjadi Permenhut No.P.02/Menhut-II/2005, dan terakhir direvisi menjadi Permenhut P.48/Menhut-II/2006. Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan diantaranya adalah pengurangan jumlah peserta lelang, pembentukan panitia lelang di instansi kehutanan serta penggunaan Surat Angkutan Lelang (SAL) sebagai dokumen angkut. Bila dicermati, perubahan kebijakan tersebut tidak hanya bermaksud untuk mempercepat proses pelaksanaan pelelangan dengan menyederhanakan aturan pelelangan tetapi juga membuka peluang keterlibatan instansi di luar Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam proses pelaksanaannya. Penyederhanaan aturan pelaksanaan pelelangan maupun pelibatan instansi di luar
KPKNL belum dapat dipastikan akan meningkatkan jumlah proses lelang maupun volume kayu yang dilelang. Kurang siapnya instansi di luar KPKNL untuk bekerja dalam masalah pelaksanaan pelelangan kayu, lemahnya koordinasi antar instansi yang terlibat, dan minimnya pendanaan seringkali menjadi penyebab pelaksanaan pelelangan kayu tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Dampaknya negara akan mengalami kerugian akibat hilangnya nilai ekonomis dari hasil hutan temuan, sitaan atau rampasan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pelelangan kayu di Kalimantan Timur sekaligus untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi. II. METODOLOGI PENELITIAN Perubahan kebijakan pelaksanaan pelelangan kayu yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk mengurangi potensi kerugian negara akibat proses pelelangan yang sebelumnya sangat memakan waktu. Namun demikian, seringkali permasalahan tidak saja terletak pada kesalahan substansi kebijakan, tetapi juga pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Ketidaksiapan instansi yang melaksanakan, lemahnya koordinasi antar instansi dan minimnya dana seringkali menjadi kendala suatu kebijakan untuk dijalankan.
Sumber : Diolah penulis untuk memperjelas kerangka pemikiran penelitian
Gambar 1. Alur Pikir Penelitian Figure 1. Research Framework 20
Kajian Pelaksanaan Pelelangan Kayu Meranti Di Kalimantan Timur … (Catur Budi Wiati)
Tabel 1. Matriks Jenis dan Uraian Data, Metoda Pengumpulan dan Analisis Data Table 1. Matrix of Type and Data Description, Data Gathering and Data Analysis Method Nomor (Number)
Jenis dan Uraian Data (Type and Data Description)
I. DATA PRIMER 1. Pelaksanaan pelelangan kayu di Kalimantan Timur: - Alur proses pelaksanaan pelelangan - Peran masing-masing instansi pemerintah yang terlibat 2. Permasalahan dalam pelaksanaan pelelangan kayu di Kalimantan Timur: - Sumberdaya manusia - Pembiayaan - Koordinasi antar instansi II. DATA SEKUNDER 1. Data terkait aturan perundangan pelaksanaan pelelangan
Metoda Pengumpulan Data (Data Gathering Method)
Metoda Analisis Data (Data Analysis Method)
Observasi, wawancara dan studi literatur
Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara kualitatif
Wawancara dan studi literatur
Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara kualitatif
Studi literatur
Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara kualitatif Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara kualitatif Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara kualitatif
2. Dokumen-dokumen resmi dari instansi Studi literatur terkait tentang kegiatan pelelangan kayu di Kalimantan Timur 3. Hasil penelitian dan publikasi lain Studi literatur tentang pelelangan kayu di Kalimantan Timur
Sumber : Diolah penulis untuk memperjelas jenis, metoda pengumpulan dan analisis data
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Penatausahaan Kayu Lelang dan Perubahannya Kebijakan pelaksanaan pelelangan kayu sebelumnya diatur oleh SK Menhut No. 319/Kpts-II/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 51/KMM.01/1997, No. 72/KptsVI/1997, Kep. 010/JA/2/1997, No. Pol. Kep/01/I/1997 tentang Lelang Kayu Temuan, Sitaan dan Rampasan atas Jenis Kayu selain Rimba Campuran.Kebijakan ini kemudian diganti menjadi Permenhut No.P.02/MenhutII/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan terhadap Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Hanya berselang sekitar 1,5 tahun sejak diberlakukan, Permenhut No.P.02/Menhut-II/2005 kemudian direvisi
kembali II/2006
dengan Permenhut tentang Petunjuk
P.48/MenhutPelaksanaan
Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Permenhut P.48/Menhut-II/2006 antara lain adalah: 1.
2.
3.
Pembatasan kubikasi jumlah kayu lelang yaitu maksimal 100 m3 untuk peserta lelang perorangan dan minimal 100 m3 untuk peserta lelang berupa badan usaha. Untuk hasil hutan sitaan, proses pelelangan tetap berjalan meski tidak mendapat persetujuan atau tidak disaksikan oleh pihak tersangka dan kuasa hukumnya. Atas persetujuan Gubernur dan Bupati/Walikota, membentuk panitia lelang di instansi yang menangani bidang kehutanan.
21
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 19-28
4.
Perubahan istilah harga dasar lelang menjadi harga limit lelang, dimana harga limit lelang tidak hanya berdasarkan kewajaran harga penawaran peserta lelang tetapi juga berdasarkan wilayah atau lokasi dimana hasil hutan akan dilelang; 5. Perubahan istilah biaya pengganti menjadi biaya persiapan lelang dan dijabarkan lebih detil misalkan untuk biaya-biaya rapat, biaya pemasangan pengumuman dan lainlain. 6. Pemanfaatan biaya honor bagi pihak-pihak yang berjasa sebesar 25% dari biaya persiapan lelang diserahkan kepada instansi pemohon lelang. 7. Penggunaan Surat Angkutan Lelang (SAL) untuk pengangkutan kayu hasil lelang. Sedangkan beberapa perubahan mendasar yang diatur dalam Permenhut P.47/MenhutII/2009 antara lain adalah: 1. Perubahan jumlah peserta lelang, menjadi hanya 2 (dua) peserta yang berasal dari perorangan dan Badan Usaha Milik Negara atau swasta. 2. Perubahan nama instansi pemerintah yang khusus menangani lelang dari Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). 3. Perubahan nilai jaminan uang penawaran lelang menjadi paling sedikit 20% dan paling banyak50% dari harga limit yang ditetapkan. 4. Pengenaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) kepada pemenang lelang terhadap hasil hutan yang dilelang. Bila dicermati perubahan kebijakan pelaksanaan pelelangan kayu tidak hanya dilakukan pada penyederhanaan aturan lelang tetapi juga dengan memperbanyak pelibatan instansi daerah dalam proses pelaksanaannya. Ini dapat dilihat dari pemberian kewenangan kepada instansi yang menangani kehutanan untuk membentuk panitia lelang serta membentuk suatu tim yang melibatkan pihak Kejaksaan dan Kepolisian untuk melakukan pemantauan atau monitoring lelang.
22
B. Alur Proses Pelaksanaan Lelang Kayu Alur kegiatan pelelangan sesuai Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006 dimulai dari pemohon lelang yang mengajukan permohonan lelang kepada Kepala KPKNL setempat. Pengajuan permohonan berisi informasi berupa: (a) Jumlah batang/keping/bundel, jenis, dan volume hasil hutan kayu dan atau bukan kayu yang akan dilelang; (b) Harga limit lelang; dan (c) Biaya persiapan lelang. Setelah permohonan disetujui oleh KPKNL maka pemohon lelang harus membentuk panitia lelang atas persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota. Panitia lelang bertugas membantu dalam proses penilaian administrasi dan penentuan pemenang lelang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebelum pelelangan dilakukan, pemohon lelang mengumumkan pelelangan kepada masyarakat melalui media massa cetak dan atau media elektronik yang dapat menjangkau masyarakat luas. Pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon lelang tergantung status hasil hutan yang akan dilelang yaitu: 1.
Kepala instansi kehutanan apabila obyek lelang hasil hutan berstatus temuan. 2. Penyidik apabila obyek lelang hasil hutan berstatus sitaan dan kasus dalam proses penyidikan, atau Penuntut Umum apabila berkas penyidikan telah berada di Penuntut Umum. 3. Kepala Kejaksaan Negeri apabila obyek lelang hasil hutan berstatus rampasan. Permenhut Nomor P.02/Menhut-II/2005 mendifinisikan bahwa hasil hutan temuan adalah hasil hutan yang berdasarkan pemeriksaan ditemukan di dalam dan atau diluar hutan yang tidak diketahui identitas pemiliknya atau yang menguasai atau pengangkutannya, baik nama maupun alamatnya. Hasil hutan sitaan adalah hasil hutan yang disita berdasarkan hukum acara pidana sebagai barang bukti dalam perkara pidana, sedangkan hasil hutan rampasan adalah hasil hutan yang dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kajian Pelaksanaan Pelelangan Kayu Meranti Di Kalimantan Timur … (Catur Budi Wiati)
Gubernur/ Bupati /Walikota
Temuan
Kehutanan
Penyidik Sitaan
PanitiaLelang Permohonanlelang ke KPKNL
PenuntutUmum Rampasan
PanitiaLelang
KejaksaanNegeri
Lelang
SAL
PanitiaLelang PanitiaLelang
Sumber : Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006, diolah
Gambar 2. Alur Proses Lelang Kayu Figure 2. The Path of Process of Wood Auction Apabila pelelangan tidak mencapai harga dasar lelang ataupun peserta lelang tidak mencapai batas minimal 3 (tiga) peserta, maka pelelangan diulang sampai 3 (tiga) kali. Apabila pelelangan sudah diulang sampai 3 (tiga) kali namun pelelangan tetap tidak mungkin dilaksanakan sedangkan hasil hutan tersebut masih mempunyai nilai ekonomis, maka pembelinya ditunjuk langsung oleh Menteri Kehutanan. Namun apabila hasil hutan tersebut tidak mempunyai nilai ekonomis dan tidak ada pembeli yang bersedia untuk membeli, sementara hasil hutan tersebut masih dapat dimanfaatkan, maka Permenhut Nomor P.48/Menhut-II/2006 mengatur pemanfaatannya yaitu: (a) Diserahkan untuk Badan Sosial oleh Gubernur Propinsi setempat setelah ada persetujuan Menteri Kehutanan, atau; (b) Diserahkan Menteri Kehutanan kepada Gubernur Propinsi di propinsi lain yang membutuhkan dan bersifat mendesak akibat bencana alam dan Gubernur yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Menteri Kehutanan.
Selanjutnya penyerahan hasil hutan temuan atau rampasan diberitahukan kepada Menteri Keuangan dan uang hasil lelang hasil hutan langsung disetorkan ke kas negara oleh pemohon lelang dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah selesai pelelangan. C. Permasalahan dalam Pelaksanaan Pelelangan Kayu di Kalimantan Timur Menurut dokumen pelaksanaan lelang kayu hasil ilegal logging yang diperoleh di KPKNL Samarinda, dilaporkan bahwa sepanjang tahun 2006 KPKNL Samarinda telah melaksanakan 29 lelang, sedang pada tahun 2007 sebanyak 31 lelang. Sumber yang sama juga mengemukakan bahwa dari hasil pelaksanaan lelang, sekitar Rp 35 milyar pada tahun 2006 dan Rp 17 milyar pada tahun 2007 kekayaan negara berupa hasil hutan kayu telah diselamatkan. Sayangnya dokumen tersebut tidak dapat menjelaskan apakah hasil hutan kayu yang dilelang berupa kayu bulat atau kayu olahan. Dokumen lelang umumnya hanya menyampaikan jenis dan volume kayu,
23
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 19-28
misalnya kayu berbagai ukuran kelompok meranti sebanyak 6.022 potong. Hal penting lain adalah barang lelang yang dilaporkan dalam dokumen lelang bukan hanya berupa kayu tetapi juga dapat menyebutkan
barang lelang bukan kayu seperti truck dan kapal motor. Karena itu kerugian negara akibat ilegal logging sebenarnya lebih kecil dari nilai yang dilaporkan.
Hasil Hutan Temuan Dinas Kehutanan Kab/Kota
Pelaporan
Pemohon lelang
Bentuk panitia lelang
Panitia Lelang
Tugas: - melakukan persiapan lelang - membantu proses penilaian administrasi dan penentuan pemenang lelang
Pendaftaran
KP2LN
Peserta Lelang
Pengumuman Lelang Pelelangan Pemenang Lelang Hasil Hutan Lelang
SAL
Tujuan
Sumber : Permenhut No. P.48/Menhut-II/2006, diolah
Gambar 3. Alur Proses Lelang Kayu Hasil Hutan Temuan Figure 3. The Path of Process of Wood Auction from Finding Result Tabel 2. Data Pelelangan Kayu di KPKNL Samarinda Table 2. Wood Auction Data in KPKNL Samarinda 2006 Jumlah Volume Pemohon Lelang Lelang Lelang Hasil Lelang (Auction (Amount (Auction (Result of applicant) of Volume)* Auction) Auction) (m3) Kehutanan 7 481,300.37 15,233,090,404.70 Kepolisian 12 12,316.50 13,460,250,621.64 Kejaksaan Negeri 10 6,122.94 6,157,882,725.80 Total 29 499,739.82 34,851,223,752.14 *) data tidak termasuk barang lelang bukan kayu Sumber : diolah dari data primer
24
Jumlah Lelang (Amount of Auction) 7 16 8 31
2007 Volume Lelang (Auction Volume)* (m3) 6,717.35 242,147.02 13,234.15 262,098.52
Hasil Lelang (Result of Auction) 3,505,856,739.28 6,671,445,819.57 6,495,715,123.45 16,673,017,682.30
Kajian Pelaksanaan Pelelangan Kayu Meranti Di Kalimantan Timur … (Catur Budi Wiati)
Data salah satu contoh dokumen kutipan risalah lelang dari KPKNL Samarinda juga menunjukkan bahwa pemenang lelang kayu di Kalimantan Timur tidak hanya berasal dari Kalimantan Timur tetapi juga Surabaya. Hal ini menunjukkan bahwa pelelangan kayu di Kalimantan Timur tidak menemukan kendala dalam mencari peminat lelang seperti yang terjadi di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah yang pernah memiliki hanya satu peserta lelang dalam pelaksanaan pelelangan kayu (Syahadat dan Prahasto, 2005). Padahal Kabupaten Barito Utara merupakan salah satu daerah di Kalimantan Tengah yang terbanyak melakukan pelelangan kayu selain Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur dan Pangkalanbun (Kabupaten Kotawaringin Barat), dimana untuk satu kali pelelangan jumlahnya dapat mencapai 3.000 m3 (Tempo Interaktif, 2005).
Hal penting yang dapat dicermati adalah meskipun Dinas Kehutanan Propinsi/ Kabupaten/ Kota telah memiliki kewenangan untuk membentuk panitia lelang, namun dari data di KPKNL Samarinda pelaksanaan pelelangan kayu di Kalimantan Timur masih lebih banyak dilakukan oleh pihak di luar kehutanan. Menurut data tersebut, beberapa pihak dari instansi kehutanan yang menjadi pemohon lelang diantaranya adalah Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa secara umum kurang maksimalnya instansi kehutanan di daerah dalam pelaksanaan lelang hasil hutan temuan maupun sitaan dikarenakan kurangnya dana penanganan illegal logging. Dana penanganan illegal logging akan berpengaruh besar terhadap pelaksanaan lelang. Hal ini dapat diartikan bahwa jika pemerintah mengalokasikan cukup dana guna penanganan illegal logging maka akan banyak hasil hutan temuan dan sitaan yang dapat dilelang. Responden dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kertanegara mengemukakan bahwa pada tahun 2005
instansinya sama sekali tidak menangani lelang, dikarenakan pada tahun tersebut pemerintah daerahnya tidak mengalokasikan dana untuk penanganan ilegal logging. Namun ketika tahun 2006 pemerintah setempat mengalokasikan dana penanganan ilegal logging sebesar Rp 800 juta, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kertanegara dapat menyumbang pemasukan negara sebesar Rp 2 milyar dari hasil lelang. Selain permasalahan dana, penyebab kurang maksimalnya pelaksanaan pelelangan oleh instansi kehutanan adalah keterbatasan jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Jumlah PPNS yang bekerja di instansi kehutanan di Kalimantan Timur sangat terbatas. Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kertanegara misalnya, saat penelitian ini dilakukan, hanya memiliki 1 (satu) orang PPNS. Hal tersebut menyebabkan kasus lelang yang ditangani oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kertanegara selama ini lebih banyak yang berstatus temuan. Permasalahan lain yang menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan pelelangan kayu oleh instansi kehutanan adalah lemahnya koordinasi antara instansi kehutanan dengan pihak kepolisian, sehingga menyebabkan sering terjadi tarik ulur kewenangan untuk menjadi pemohon lelang. Tarik ulur kewenangan umumnya disebabkan karena saling kecurigaan akibat ketidakjelasan aturan yang membatasi hasil hutan berupa temuan dan sitaan. Salah satu responden dari instansi kehutanan menganggap bahwa pihak kepolisian hanya mencari alasan dengan menetapkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) untuk mengalihkan hasil hutan yang berstatus temuan menjadi sitaan. Sementara itu, pihak kepolisian sendiri tidak memberi batasan waktu yang jelas tentang status DPO ataupun menyampaikan secara resmi tentang daftar DPO terhadap kasus sitaan kepada pihak kehutanan dengan alasan menghindari kebocoran informasi yang berdampak pada gagalnya penanganan kasus hukum. Tidak jelasnya batasan waktu status DPO dari pihak kepolisian menyebabkan hasil hutan seringkali sudah mengalami kerusakan akibat terlalu lama dibiarkan terkena panas dan hujan. 25
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 19-28
Hasil hutan yang sudah rusak jelas akan mengalami penurunan nilai ekonomis karena saat dilelang akan sulit mencari pihak yang membeli dengan mengikuti lelang. Hasil hutan yang sudah diproses lelang tetapi tidak mendapatkan pembeli dikarenakan kondisinya sudah rusak dapat dikatakan merugikan negara. Hal ini dikarenakan negara telah mengeluarkan biaya persiapan lelang melalui instansi yang melakukan permohonan lelang tetapi negara tidak mendapatkan hasil lelang. Dengan berlakunya Permenhut P.47/Menhut-II/2009 menggantikan Permenhut No. P.48/MenhutII/2006, selain kerugian biaya persiapan lelang, negara juga mengalami kerugian berupa PSDH dan DR atas hasil hasil hutan yang dilelang jika lelang sudah dilaksanakan tetapi tidak berhasil mendapatkan pembeli. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur tidak memiliki data resmi yang melaporkan berapa nilai hasil hutan yang dapat terselamatkan melalui hasil lelang. Hal tersebut dikarenakan instansi kehutanan tidak mendapat pelaporan tentang jumlah lelang kayu baik berupa temuan, sitaan maupun rampasan yang telah dilakukan KPKNL. Kebijakan penatausahaan yang ada saat ini belum mengatur tentang mekanisme pelaporan lelang kayu dari KPKNL yang melakukan lelang ke pemerintah daerah. Masing-masing KPKNL yang ada di Kalimantan Timur yaitu KPKNL Samarinda, KPKNL Balikpapan dan KPKNL Tarakan secara reguler hanya melaporkan data tentang lelang kepada Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Apalagi jika Dinas Kehutanan Propinsi tidak membentuk tim pemantauan/monitoring seperti yang terjadi di Kalimantan Timur seperti saat penelitian ini dilakukan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sepanjang tahun 2006 KPKNL Samarinda telah melaksanakan 29 lelang, sedang pada tahun 2007 sebanyak 31 lelang. Dari hasil pelaksanaan lelang, sekitar Rp 35 milyar pada tahun 2006 dan Rp 17 milyar pada tahun 2007 26
kekayaan negara berupa hasil hutan kayu telah diselamatkan. Nilai tersebut belum memasukkan nilai dari barang lelang bukan kayu seperti truck dan kapal motor. Pelaksanaan kebijakan lelang kayu di Kalimantan Timur masih belum berjalan maksimal dikarenakan minimnya dana penanganan ilegal logging di daerah, terbatasnya jumlah PPNS di instansi kehutanan dan lemahnya koordinasi antar instansi di daerah yang menangani pelaksanaan pelelangan kayu. B. Saran Potensi nilai hasil lelang yang besar dari Propinsi Kalimantan Timur seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah dengan memberikan alokasi dana yang cukup bagi instansi kehutanan untuk menangani ilegal logging, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan meningkatkan koordinasi antar instansi yang terkait. Agar instansi kehutanan memiliki data mengenai nilai hasil hutan yang dapat diselamatkan melalui hasil lelang maka kebijakan pelelangan kayu seharusnya mengatur sistem pelaporan data hasil lelang dari KPKNL kepada Dinas Kehutanan Propinsi setempat. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan, 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Elshinta, 2008. Sepanjang 2007 terdapat 342 kasus ilegal logging di Kaltim. Diakses dari http://www.elshinta.com tanggal 27 April 2012. Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 51/KMM.01/1997, Nomor 72/Kpts-VI/1997, Kep. 010/JA/2/1997, Nomor Pol. Kep/01/I/1997 tentang Lelang Kayu Temuan, Sitaan dan Rampasan atas Jenis Kayu selain Rimba Campuran. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 319/Kpts-II/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Kehutanan, Jaksa Agung Republik Indonesia Tentang Lelang Kayu
Kajian Pelaksanaan Pelelangan Kayu Meranti Di Kalimantan Timur … (Catur Budi Wiati)
Temuan, Sitaan dan Rampasan Atas Jenis Kayu Selain Rimba Campuran. Departemen Kehutanan Kotijah, 2006. Penegakan Hukum dalam Rangka Pemberantasan Praktek Ilegal Logging di Kalimantan Timur. Risalah Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Vol. 2 No.1, Juni 2006. Universitas Mulawarman. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.02/MenhutII/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan terhadap Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Kementerian Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/MenhutII/2009 tentang Perubahan Permenhut P.48/MenhutII/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Kementerian Kehutanan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/MenhutII/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Kementerian Kehutanan. Syahadat E. dan Hendro Prahasto, 2005. Kajian Pelaksanaan Pelelangan Kayu Hasil Sitaan dan Temuan: Studi Kasus di Kabupaten Barito Utara Propinsi Kalimantan Tengah. Info Sosial Ekonomi Vol.5 No.1 Tahun 2005. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan. Tempo Interaktif, 2005. Pemerintah Upayakan Percepat Lelang Kayu. Sabtu, 02 April 2005. Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2005/04/02/056589 69/Pemerintah-Upayakan-Percepat-Lelang-Kayu tanggal 27 April 2012.
27
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 19-28
28
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 29-34 ISSN: 1978-8746
MODEL PENDUGAAN VOLUME POHON DIPTEROCARPUS CONFERTUS V. SLOOTEN DI WAHAU KUTAI TIMUR, KALIMANTAN TIMUR Volume Estimation Modelling for Dipterocarpus confertus V. Slooten in Wahau East Kutai, East Kalimantan Abdurachman1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email :
[email protected] Diterima 22 Pebruari 2013, direvisi 21 Mei 2013, disetujui 29 Mei 2013
ABSTRACT Simple equations were analyzed for estimating the volume of Dipterocarpus confertus in PT Gunung Gajah Abadi Wahau East Kutai, East Kalimantan. The objective of this research was to develop accurate equations that can be applied to estimate the tree volume in the research area .These equations were made only based on one variable,i.e. the diameter.This model analysis was further continued after examining the correlation between diameter and clearbole height. The best model based was chosen based on the following values, namely: determination coefficient (R2), standard error (SE), aggregatif deviation (SA) and average deviation (SR). Analysis results showed that there was a close correlation between diameter and clear height with (r) value of 0.85. The proposed equation for the tree volume table is V = 0.2758 - 0.0286 d + 0.0014 d2 Keywords :Estimation model, diameter, equation, Dipterocarpus confertus, tree volume
ABSTRAK Beberapa persamaan sederhana dianalisis dari pohon Dipterocarpus confertus yang datanya diambil di PT Gunung Gajah Abadi Wahau Kutai Timur, Kalimantan Timur . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun persamaan yang akurat yang dapat dipakai untuk penaksiran volume pohon pada daerah penelitian.Model persamaan yang dibuat hanya berdasarkan satu peubah saja yaitu diameter. Analisis model dengan satu peubah ini dilanjutkan setelah dilakukan pengujian hubungan diameter dan tinggi bebas cabang. Pemilihan model terbaik berdasarkan nilai-nilai, koefisien determinasi (R2), galat baku (Se),simpangan agregatif (SA) dan simpangan rataan (SR). Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang erat antara diameter dan tinggi bebass cabang dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.85. Adapun persamaan terpilih yang diusulkan untuk pembuatan tabel volume pohon adalah V = 0.2758 0.0286 d + 0.0014 d2. Kata Kunci : Model estimasi, diameter, persamaan, Dipterocarpus confertus, volume pohon
I.
PENDAHULUAN
Alat bantu yang praktis dan memiliki keakuratan yang tinggi diperlukan untuk menaksir massa tegakan hutan. Tabel volume pohon merupakan salah satu perangkat yang dapat membantu tujuan tersebut. Faktor lingkungan dan jenis pohon akan membentuk tampilan luar atau fenotipe yang beragam terkait arsitektur dari pohon yang juga berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini akan terjadi
pula terhadap jenis Dipterocarpus confertus yang merupakan salah satu jenis Dipterokarpa potensial dan banyak dijumpai di daerah Wahau, Kalimantan Timur. Krisnawati dan Bustomi (2004) menyatakan variasi pertumbuhan pohon yang disebabkan oleh perbedaan jenis dan tempat tumbuh akan membuat bentuk serta ukuran batang berbeda, akibat adanya perbedaan ini pendugaan pohon yang bersifat umum
29
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 29-34
sebaiknya dihindarkan karena akan menghasilkan pendugaan yang kurang akurat. Loetsch et.al (1973) menyatakan bahwa tabel volume lokal dibatasi oleh pemakaiannya yaitu terbatas pada jenis atau kelompok dan kondisi tapak yang sama. Pada hutan alam yang lebat, pengukuran tinggi akan menjadi kendala yang besar, sehingga diperlukan suatu persamaan yang akurat dengan pengambilan data yang mudah yaitu hanya berdasarkan diameter saja. Lanly (1973) menyatakan bahwa untuk inventarisasi di hutan tropis campuran diperoleh hasil bahwa penggunaan tabel volume lokal lebih efisien dari tabel volume standar, kerena peningkatan ketelitian yang diperoleh dengan penambahan data tinggi adalah kecil dalam hubungannyadengan kenaikan biaya enumerasi. Selanjutnya Prodan (1965) menyatakan persamaan regresi dapat dibuat dengan menggunakan satu peubah bebas yaitu diameter pohon. Selanjutnya Özlcelik (2008) menyatakan teknik-teknik regresi digunakan untuk mengembangkan hubungan volume dengan diameter setinggi dada.Persamaanpersamaan regresi merupakan dasar untuk pembuatan tabel volume yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah statistik melalui ujiuji dari persamaan regresi sehingga tingkat akurasinya tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyusunan tabel volume pohon jenis Dipterocarpus confertus berdasarkan pada persamaan regresi yang dibuat, dengan harapan dapat meningkatkan ketelitian dan keseksamaan dalam menaksir volume tegakan dari jenis pohon yang dimaksud, sehingga diperoleh potensi massa yang akurat. II. METODOLOGI PENELITIAN Bahan penelitian ini adalah 44 pohon model jenis Dipterocarpus confertusdari arealpengusahaan hutan alam produksi PT Gunung Gajah Abadi yang terletak dalam kelompok hutan Sungai Seleq. Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Muara Wahau, CDK Mahakam Tengah. Secara administrarif 30
berada dalam wilayah Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur. Pohon-pohon tersebut dipilih secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan keterwakilan dari setiap kelas diameter yang diambil dari diameter 10-70 cm dan memiliki bentuk normal, sehat serta tidak cacat. Pengumpulan data pohon model dilakukan pada pohon berdiri. Variabel yang diambil adalah diameter pada ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah atau 20 cm di atas banir, diameter perseksi dan tinggi pangkal tajuk. Pengukuran tinggi dan diameter per seksi diukur dengan menggunakan alat spiegel relascope (model wide scale). Setiap pohon contoh dibagi menjadi beberapa seksi tergantung tingginya, adapun panjang setiap seksi adalah 2 m, kecuali pada awal seksi dibuat 1 m dan ujung di bawah pangkal tajuk < 2 m. Pengolahan data hasil pengukuran pohon model di lapangan meliputi : 1) Pengukuran diameter Diameter perseksi di dapat dengan rumus D=axbx2 dimana: D = Diameter per seksi a = Jarak datar b = Jumlah relatif unit yang masuk 2) Volume perpohon Dasar perhitungan volume perseksi yang dipakai adalah berdasarkan rumus Smalian (Chapman dan Meyer, 1949) yaitu : Vi = (Gpi + Gui)/2 x Pi dimana: Vi = Volume seksi ke – i (m3) Gpi = Luas bidang dasar pangkal pada seksi – i Gui = Luas bidang dasar ujung pada seksi – i Pi = Panjang seksi – i Sedangkan volume pohon model diperoleh dari penjumlahan volume dari seksi-seksi yang membentuknya yang dihitung dengan cara : Vpohon = Vi (i = 1,2,3…n) dimana: Vpohon = Volume pohon (m3)
Model Pendugaan Volume Pohon Dipterocarpus… (Abdurachman)
Vi n
= Volume seksi ke – i = Banyaknya seksi
(1963) dengan melihat nilai-nilai koefisien determinasi (determination coefficient= R2), galat baku (standard error=Se),simpangan agregatif (Agregative deviation = SA) dan simpangan rataan (average deviation = SR)
Pendugaan volume pohon yang dibuat dengan menganalisa persamaan regresi berupa hubungan antara volume pohon dengan diameter. Persamaan regresi yang dianalisis merupakan regresi sederhana sebagaimana Cailliez (1980) menyarankan untuk mencoba model yang paling sederhana yaitu model dengan koefisien yang paling sedikit. Modelmodel yang digunakan adalah: a. V = aDb b. V = a + bD2 c. V = a + bD + c D2 dimana : V = volume pohon (m3) D = Diameter setinggi dada (cm) a,b dan c = Konstanta Model persamaan yang terpilih diuji keabsahannya atau keberlakuannya berdasarkan kriteria Spurr (1951), Prodan (1965) dan Husch 14
Jumlah pohon
12
11
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sebaran Pohon Model Pohon model yang dipakai dalam pengolahan data ini berjumlah 44 pohon yang diambil secara sengaja (purposif) untuk memenuhi kriteria yang dipersyaratkan yaitu menyebar pada setiap kelas diameter dengan kisaran antara 10-70 cm. Chapman dan Meyer (1949) menyatakan jumlah pohon untuk penyusunan tabel volume ini berkisar antara 25-30 pohon dengan memperhatikan sebaran diameter. Jumlah pohon pada masing-masing kelas diameter untuk pohon model berdasarkan kelas diameter dengan interval 10 cm disajikan pada Gambar 1.
12
10 8
7
6
5
4
4
2
2
3
0 10
20
30
40
50
60
70
Kelas diameter (cm)
Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 1. Jumlah pohon model pohon Dipterocarpus confertus pada setiap kelas diameter. Figure 1. Number of trees Dipterocarpus confertus at each diameter class.
B. Hubungan Diameter dan Tinggi Bebas Cabang Hubungan diameter dan tinggi diperlukan untuk menguji tingkat korelasi dari analisis dalam pembuatan model tabel volume dengan satu variabel. Besarnya
korelasi yang terjadi menjadi dasar utama dalam persamaan yang dicobakan. Model persamaaan dan nilai-nilai statistik hubungan antara diameter dan tinggi tersaji pada Tabel 1 berikut.
31
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 29-34
Tabel 1. Persamaan regresi hubungan antara diameter dan tinggi bebas cabang Table 1. Regression equation of correlationp between diameter dan clear height Nomor (Number) 1.
Persamaan (Equation) T = 0.5243 + 0.7807 D -0.0067 D2
Koef. Korelasi (Correlation coefficient) 0.8472
Sumber: diolah dari data primer.
Tabel 1 di atas menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.8472.Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara diameter dan tinggi bebas cabang adalah nyata, dimana lebih dari 80% keragaman diameter pohon sampel dapat menerangkan keragaman tingginya. Lebih lanjut, nilai r ini dapat juga dijadikan petunjuk bahwa keragaman volume pohon yang disebabkan oleh keragaman tinggi bebas cabang pohon dapat terwakili oleh keragaman diameternya. Nilai-nilai ini memenuhi syarat seperti yang dikemukakan oleh Cupyadi (2003) bahwa dalam membuat tabel volume lokal untuk memperoleh ketelitian
Koef. Determinasi (Determination coefficient) 0.7177
yang dapat dipertanggungjawabkan, maka koefisien korelasi ditetapkan lebih dari 0,7071 atau nilai koefisien determinasi (R 2) minimal 50%. Pengujian terhadap r-tabel pada taraf signifikansi 0.01 memiliki nilai 0.376 (Snedecor dan Cochran, 1967). Dengan demikian, membuktikan bahwa terjadi hubungan yang signifikan antara kedua variabel uji berdasarkan besarnya nilai r hitung yang lebih besar dari r tabel. Selanjutnya berdasarkan analisis varian (ANOVA) didapatkan hasil perhitungan seperti pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Analisis varian (ANOVA) variabel diameter dan tinggi bebas cabang Table 2. Analysis of Variance of the diameter and clearbole height Sumber keragaman (Source of variation) Regresi Sisa Jumlah
Derajat bebas (Degree of freedom) 2 41 43
Sumber: diolah dari data primer.
Jumlah kuadrat (Sum of square) 1062.97 417.9601 1480.93
Hasil pengujian analisis varian pada Tabel 2 diperoleh hasil nilai F hitung lebih besar dari F-tabel, dengan demikian ada perbedaan yang signifikan untuk menggambarkan sebaran data antara diameter dan tinggi bebas cabang. Dari hasil analisis di atas maka penyusunan persamaan volume dengan hanya menggunakan satu variabel saja yaitu diameter (Tarif) dapat di lanjutkan. C. Model Persamaan Regresi Persamaan regresi untuk model penduga pohon yang diperoleh dari hasil perhitungan beberapa persamaan regresi yang dibuat untuk penyusunan tabel volume lokal (Tarif) adalah sebagai berikut : 1. V
32
= 0.00019 D 2.3908
2. V 3. V
Rataan kuadrat (Mean of square) 531.4851 10.19415
Fhit (Fvalue) 52.14
Ftab99% 3.18
= -0.1979 + 0.0010 D2 = 0.2758 - 0.0286 D + 0.0014 D2
Pengujian untuk melihat hubungan yang signifikan setiap persamaan yang dihasilkan dengan menggunakan analisis variasi dari masing-masing persamaan yang dibentuk ditunjukkan dalam tabel-Tabel 3, 4 dan 5. Dari analisis varian diperoleh nilai-nilai Fhitung yang lebih besar dari F-tabel, hal ini mengartikan terdapat perbedaan yang signifikan dari sebaran data dari pembuatan persamaan regresi volume dengan menggunakan fungsi diameter. Dalam proses untuk memilih persamaan yang terbaik yang dapat digunakan dalam pembuatan tabel volume maka nilai-nilai statistik menjadi acuan seperti tertera pada Tabel 6.
Model Pendugaan Volume Pohon Dipterocarpus… (Abdurachman)
Tabel 3. Analisis varian (ANOVA) variabel volume dan diameter dari persamaan 1. Table 3. Analysis of variance of the volume and diameter in equation 1. Sumber Keragaman (Source of variation) Regresi Sisa Jumlah
Derajat bebas (degree of freedom) 2 41 43
Sumber: diolah dari data primer.
Jumlah kuadrat (Sum of square) 15.03 0.56 15.59
Rataan kuadrat (Mean of square) 15.03 0.01
Fhit (Fvalue) 1131.71
Ftab99% 3.18
Tabel 4. Analisis varian (ANOVA) variabel volume dan diameter dari persamaan 2. Table 4. Analysis of variance of the volume and diameter in equation 2. Sumber Keragaman (Source of variation) Regresi Sisa Jumlah
Derajat bebas (degree of freedom) 2 41 43
Sumber: diolah dari data primer.
Jumlah kuadrat (Sum of square) 116.93 4.92 121.84
Rataan kuadrat (Mean of square) 116.93 0.12
Fhit (Fvalue) 998.98
Ftab99% 3.18
Tabel 5. Analisis varian (ANOVA) variabel volume dan diameter dari persamaan 3. Table 5. Analysis of variance of the volume and diameter in equation 3. Sumber Keragaman (Source of variation) Regresi Sisa Jumlah
Derajat bebas (Degree of freedom) 2 41 43
Sumber: diolah dari data primer.
Jumlah kuadrat (Sum of square) 117.53 4.31 121.84
Rataan kuadrat (Mean of square) 58.77 0.11
Fhit (Fvalue) 559.04
Ftab99% 3.18
Tabel 6. Galat baku (Se), koefisien determinasi (R2), simpangan agregatif (SA) dan simpangan rataan dari masing-masing persamaan . Table 6. Standard error (Se), Determination Coefficient (R2), Agregative Deviation (SA) and Average Deviation (SR) in each equation. Persamaan (Equation) 1 2 3
Sumber: diolah dari data primer.
Se
R2 (%)
0,1153 0,3421 0,3242
96,42 95,96 96,46
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terbentuknya regresi hubungan volume dengan diameter sangat kecil yaitu kurang dari 4%, hal tersebut terlihat dari besarnya koefisien determinasi (R2), yang mengartikan faktor terbesar adalah dari varibel yang diujikan sehingga persamaan-persamaan ini layak dipakai.Tetapi untuk dapat dipakai dalam pembuatan tabel volume, persamaan-persamaan tersebut perlu dilakukan validasi dengan menghitung nilai simpangan agregatif (SA) dan simpangan rataan (SR). Pada dasarnya hasil persamaan yang dipeoleh memiliki nilai yang
Simpangan (%) (deviation) Agregatif (Agregative) Rataan (Average) 1,25 3.32 0.40 22.17 0.03 3.51
dekat dengan nilai sebenarnya seperti yang dikemukakan Simon (2007) ketepatan atau kecermatan dapat diartikan “kedekatan” dengan keberhasilan penaksiran dengan nilai sebenarnya. Dari persamaan yang diujikan, persamaan 3 adalah yang paling memenuhi syarat dengan nilai simpangan agregatif (SA) adalah 0,03 dan simpangan rataan (SR) adalah 3,51.Spurr (1951) dan Husch (1963) yang menyatakan bahwa model pendugaan volume pohon yang baik adalah persamaan yang mempunyai nilai simpangan agregatif kurang dari 1% dan simpangan rataan kurang dari 10%.
33
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No.1, Juni 2013: 29-34
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis model persamaan maka dapat ditarik kesimpulan persamaan yang terpilih untuk jenis pohon Dipterocarpus confertus di Wahau adalah persamaan regresi yang ke-3 (ketiga), yaitu V = 0.2758 - 0.0286 D + 0.0014 D2 B. Saran Untuk jenis Dipterocarpus confertus yang berasal dari daerah Wahau,persamaan volume ini dapat digunakan, begitu pula dengan jenis yang sama pada lokasi/tapak yang mempunyai kemiripan dengan lokasi penelitian. Persamaan ini bersifat lokal karena penggunaan secara umum akan memberikan hasil yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan tapak. DAFTAR PUSTAKA Cailliez, F. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction .Volume I.FAO Forestry. Cupyadi, C. 2003. Penyusunan Tabel Volume Pohon untuk Jenis Mahoni Daun Besar (Swieteniamacrophylla, King) di BKPH Rangkasbitung KPH Banten Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor.
34
Chapman, H. H. and W. H. Meyer. 1949. Forest Mensuration. Mc. Graw Hill Book Company Inc. New York. Husch, B. 1963. Forest Measuration and Statisic.The Ronald Press Company New York. Krisnawati, H. dan S. Bustomi. 2004. Model Penduga Isi Pohon Bebas Cabang Jenis Sungkai (Peronema Canescens Jack) di KPH Banten. Buletin Penelitian Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Lanly, J. P. 1973. Manual of Forest Inventory. FAO. Rome. Loetsch, F. Zohrer, F. and Haller, K. E., 1973. Forest Inventory Vol.II. Forest Inventory Section. Federal Research Organization For Forest and Forest Products, Reinbeck. BLV. Verlagsgesellgchaft Munchen Bern Wien. Özlcelik, R. 2008. Comparison of Formula for Estimating Tree Bole Volumes of Pinus sylvestri. Scandinavian journal of Forest Reseach, Vol.23, Hal. 412-418. Prodan, M. 1965. Holmesslehree. J. D. Dauerlaender’s Verlag. Farankrut. Simon H. 2007. Metode Inventore Hutan. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Snedecor, G. and W. G. Cochran. 1967. Statistical Methods Sixth Ed. The Iowa State University Press. Ames Iowa. USA. Spurr, S. H. 1951. Forest Inventory. The Ronald Press Co. New York.
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 35-42 ISSN: 1978-8746
SIFAT TANAH PADA AREAL APLIKASI TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) DI PT. INTRACAWOOD, BULUNGAN, KALIMANTAN TIMUR Soil Properties at Selective Cutting and Line Planting (SCLP) Application Area in PT. Intracawood, Bulungan, East Kalimantan Rini Handayani1) dan Karmilasanti1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email:
[email protected] Diterima 5 April 2013, direvisi 14 Mei 2013, disetujui 20 Mei 2013
ABSTRACT One alternative to improve the productivity of logged-over forests is to implement a system of forest management based on sustainability forest and environment, such as Selective Cutting and Line Planting (SCLP) System. Intensive exploitation of natural forests will affect the environment, especially the soil. Therefore, it is necessary to study the physical and chemical properties of soil in the forest areas that apply SCLP system. Soil sampling was conducted in three land use, antara lines, planting lines and skid trails. There are 2 types of soil sample taken, namely undisturbed soil samples for determination of soil physical properties and disturbed soil samples for determination of soil chemical properties. The results showed that soil texture of antara lines and skid trails were clay and planting lines were sandy clay loam. Bulk density (BD) of antara lines ranged from 0,51 to 0,66 g/cm3 and planting lines ranged from 0.65 to 0.69 g/cm3, whereas the BD of skid trails ranged from 0.91 to 0.92 g/cm3. Total soil pore of antara lines ranged from 74,62 to 80,42 %, planting lines ranged from 73.04 to 74,71 % and total pore of skid trails ranged from 64.13 to 64.63%. Soil pH in three land use is very acid. The highest nutrient was found in plant lines. Keywords: SCLP, land use, soil physical properties, soil chemical properties
ABSTRAK Salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas hutan alam bekas tebangan adalah dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan yang berbasis pada kelestarian hutan dan lingkungan, yaitu sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pengusahaan hutan alam yang intensif akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan terutama tanah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap sifat fisik dan kimia tanah di areal hutan yang menerapkan sistem TPTJ. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 3 penggunaan lahan, yaitu jalur antara, jalur tanam dan jalan sarad. Sampel tanah yang diambil ada 2 jenis, yaitu sampel tanah utuh untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah dan sampel tanah terganggu untuk penetapan sifat-sifat kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah pada jalur antara dan jalan sarad cabang yaitu liat, sedangkan pada jalur tanam yaitu lempung liat berpasir. Bulk density (BD) pada jalur antara berkisar antara 0,51 sampai 0,66 g/cm3, pada jalur tanam berkisar antara 0,65 sampai 0,69 g/cm3, sedangkan pada jalan sarad berkisar antara 0,91 sampai 0,92 g/cm3. Pori total tanah pada jalur antara berkisar antara 74,62 sampai 80,42%, pada jalur tanam berkisar antara 73,04% sampai 74,71% dan pada jalan sarad berkisar antara 64,13 % sampai 64,63%. pH tanah pada ketiga penggunaan lahan adalah sangat masam. Kandungan hara tertinggi terdapat pada jalur tanam. Kata Kunci: TPTJ, penggunaan lahan, sifat fisik tanah, sifat kimia tanah
I.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan kumpulan dari masyarakat seperti tumbuhan dan mahluk hidup lainnya yang saling berinteraksi dengan lingkungan tanah, air dan udara. Kegiatan
pengusahaan hutan adalah salah satu faktor utama penyebab kerusakan hutan. Kerusakan hutan tersebut berawal dari berubahnya kelimpahan dan keanekaragaman flora fauna. Penelitian Muhdi (2008) memperlihatkan
35
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 35-42
bahwa kerusakan tegakan tinggal tingkat tiang dan pohon rata-rata per hektar akibat pemanenan kayu teknik konvensional sebesar 133 pohon (33,15%), sedangkan kerusakan permudaan tingkat semai dan pancang per hektar masing-masing sebesar 8467 (34,42%) dan 1227 batang pancang (35,13%). Salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas hutan alam bekas tebangan adalah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem TPTJ merupakan regim silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, yaitu 17 m jalur antara dan 3 m jalur tanaman, dengan limit diameter tebang dalam jalur berkisar 40 cm. Jalur bebas naungan secara bertahap diperlebar sesuai dengan perkembangan tanaman maksimal 10 m (Mulyana et al., 2005). Sistem TPTJ tersebut merupakan pengembangan dari TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/SILIN). Pengusahaan hutan alam yang intensif tentu akan berpengaruh terhadap lingkungan terutama tanah. Penurunan pasokan bahan organik akibat terangkut saat panen dapat mengakibatkan produktivitas tanah menurun. Secara fisik, tanah menjadi padat sehingga tidak mampu meresapkan air secara optimal. Secara kimia, tanah tidak mampu menyediakan hara bagi pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi tanah di areal hutan yang menerapkan sistem TPTJ baik sifat fisik maupun kimia. II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal IUPHHK/HA PT. Intracawood, Bulungan, Kalimantan Timur. Areal yang dipilih adalah jalur antara (JA), jalur Tabel 1. Metode Analisa Tanah Table 1. Methods of Soil Analysis Jenis Analisa (Kinds of Analysis)
Sifat Fisik* (Physical Characteristic) Sifat Kimia** (Chemical Characteristic)
Parameter (Parameter) Tekstur Bulk density Pori total pH H2O (1:2) C-organik N-total P2O5 K2O KTK, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Na-dd
Sumber: *Kurnia (2006); **Prasetyo (2005);
36
tanam (JT) dan jalan sarad cabang (JS). Pada jalur antara terdapat jenis Dipterokarpa meliputi jenis-jenis Shorea spp. (Bangkirai, meranti putih, meranti merah dan tengkawang), Dipterocarpus spp., Vatica spp., Hopea spp, dan Parashorea sp. Sedangkan jalur tanam adalah jalur yang ditanami jenis Dipterokarpa yang telah berumur 3 tahun. Jalan sarad cabang kelerengannya tidak melebihi 40% . Analisis sifat fisik tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Pusat Penelitian Hutan Tropis, Universitas Mulawarman. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel tanah utuh (undisturbed soil sample) untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah dan sampel tanah terganggu (disturbed soil sample) untuk penetapan tekstur dan sifat-sifat kimia tanah. Alat yang digunakan adalah ring sampel, cangkul, bor tanah, kantong plastik tebal, pisau tajam tipis, label dan alat tulis. Sampel tanah terganggu diambil secara komposit sebanyak 3 titik pada kedalaman 0-20 cm dari petak seluas 1 Ha. Penentuan titik dilakukan secara acak. Sampel tanah utuh diambil sebanyak 3 titik pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm dari petak seluas 1 Ha. Jumlah sampel tanah keseluruhan adalah 3 sampel tanah terganggu dan 18 sampel tanah utuh. Metode analisa tanah yang digunakan disajikan dalam Tabel 1. Data tanah hasil analisa laboratorium tanah ditabulasi selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode analisa deskriptif.
Metode Analisa (Analysis Method) Pipet Ring sampel Hitung pH meter Walkey & Black Kjedhal Bray 1 HCl 25% Penjenuhan dengan NH4OAc pH 7
Sifat Tanah Pada Areal Aplikasi Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) … (Rini Handayani dan Karmilasanti)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisik Tanah Hasil analisa sifat fisik tanah di areal TPTJ PT Intracawood meliputi beberapa parameter, yaitu tekstur, Bulk Density (BD) dan pori total yang disajikan dalam Tabel 2. Tekstur tanah di areal PT Intracawood bervariasi yaitu liat sampai lempung liat berpasir. Tekstur tanah yang berbeda pada setiap kondisi lahan disebabkan distribusi partikel tanah berbeda. Tekstur tanah pada jalur antara adalah liat dengan kadar pasir, debu dan liat berturut-turut adalah 23%, 23% dan 54%. Tekstur tanah pada jalur tanam adalah lempung liat berpasir dengan kadar pasir, debu dan liat berturut-turut adalah 48%, 23% dan 29%. Sedangkan tekstur tanah pada jalan sarad cabang adalah liat dengan
kadar pasir, debu dan liat berturut-turut adalah 29%, 21% dan 50%. Kandungan liat pada jalur tanam lebih rendah dibandingkan pada jalur antara dan jalan sarad cabang diduga disebabkan liat tercuci oleh aliran permukaan karena terbukanya naungan. Menurut Ohta, et al. (1992), tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam mengatur status unsur hara dan produktivitas tanah. Penelitian Ohta dan Syarif (1996) memperlihatkan bahwa tanah yang bertekstur liat memiliki kandungan hara lebih tinggi dibandingkan tanah yang bertekstur pasir. Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan dan menyimpan air dan unsur hara tinggi (Hardjowigeno, 2003).
Tabel 2. Tekstur tanah pada tiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood Table 2. Soil texture of the three land use in SCLP area, PT. Intracawood Penggunaan Lahan Pasir (%) Debu (%) Liat (%) (Land Use) (Sand) (Silt) (Clay) JA 23 23 54 JT 48 23 29 JS 29 21 50 Keterangan: JA = Jalur Antara; JT = Jalur Tanam; JS = Jalan Sarad Cabang
Tekstur (Texture) Liat Lempung liat berpasir Liat
Sumber: diolah dari data primer.
Dengan demikian, secara potensial tanah pada jalur antara dan jalan sarad cabang yang bertekstur liat lebih menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman dibandingkan jalur tanam yang bertekstur lempung liat berpasir karena tanahnya mampu menyimpan air dan unsur hara lebih tinggi. Upaya konservasi tanah pada jalur tanam perlu dilakukan untuk menghindari kehilangan liat yang berkelanjutan. Hasil penetapan bulk density pada tiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood disajikan dalam Gambar 1. Bulk density jalur antara dan jalur tanam berkisar antara 0,51 sampai 0,69 g/cm3, sedangkan bulk density pada jalan sarad cabang berkisar antara 0,91 sampai 0,92 g/cm3. Bulk density jalan sarad cabang lebih tinggi dibandingkan bulk density jalur antara dan jalur tanam. Hal ini disebabkan tanah pada jalan sarad cabang mengalami pemadatan.
Penelitian mengenai kepadatan tanah akibat penyaradan oleh forwarder telah dilakukan Wilson (2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intensitas penyaradan (rit) berpengaruh nyata terhadap kenaikan kepadatan tanah dan penurunan porositas tanah. Hasil analisa pada Gambar 1 diketahui bahwa bulk density pada jalur tanam lebih tinggi dibandingkan jalur antara. Penelitian Wasis (2012) mengenai sifat tanah di hutan alam yang rusak akibat konversi lahan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara menunjukkan bahwa penurunan bahan organik dapat meningkatkan bulk density dan menurunkan porositas tanah. Dengan demikian, berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa kondisi bulk density tanah tergantung pada penggunaan lahan dan bahan organik tanah.
37
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 35-42
Bulk Density (g/cm3)
1 0.8 0.6
0.92
0.91
0-10 cm
0-20 cm
0.69
0.66
0.65
0-20 cm
0-10 cm
0.51
0.4 0.2 0
0-10 cm JA
0-20 cm
JT Penggunaan Lahan
JS
Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 1. Bulk density tanah pada tiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood. Figure 1. Soil bulk density of the three land use in SCLP area, PT. Intracawood.
Pori Total (%)
Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa Bulk density lapisan atas (0-10 cm) pada jalur antara dan jalur tanam lebih rendah dibandingkan lapisan di bawahnya (10-20 cm), sedangkan bulk density lapisan atas pada jalan sarad cabang lebih tinggi dibandingkan lapisan di bawahnya. Bulk density lapisan atas pada 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
80.42
74.62
0-10 cm
0-20 cm JA
Sumber: diolah dari data primer.
jalur antara dan jalur tanam lebih rendah dibandingkan di bawahnya disebabkan kandungan bahan organik lapisan atas lebih tinggi. Kondisi seperti ini yang memungkinkan bulk density lapisan atas pada jalur antara dan jalur tanam lebih rendah dibandingkan lapisan di bawahnya.
74.71
0-10 cm
73.04
0-20 cm
JT Penggunaan Lahan
64.13
64.63
0-10 cm
0-20 cm JS
Gambar 2. Pori total tanah pada tiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood Figure 2. Total soil pore of the three land use in SCLP area, PT. Intracawood.
38
Sifat Tanah Pada Areal Aplikasi Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) … (Rini Handayani dan Karmilasanti)
Sinuraya (2009) mengemukakan bahwa penambahan bahan organik berupa limbah kompos leguminosa dapat menurunkan bulk density dan meningkatkan ruang pori tanah. Bulk density lapisan atas pada jalan sarad cabang lebih tinggi dibandingkan lapisan di bawahnya. Hal ini dikarenakan adanya proses pemadatan tanah pada lapisan atas sebagai akibat dari penggunaan alat berat pada saat penyaradan. Penelitian karakterisasi tanah pada lahan reklamasi bekas tambang batubara yang dilakukan oleh Murjanto (2011) ternyata menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah yang mengalami pemadatan akibat alat berat memiliki bulk density lapisan atas lebih tinggi dibandingkan di bawahnya. Hasil penetapan pori total tanah disajikan dalam Gambar 2, terlihat bahwa nilai pori total berbanding terbalik dengan bulk density.
Pori total tanah pada jalur antara dan jalur tanam lebih tinggi dibandingkan pori total pada jalan sarad cabang. Pori total tanah pada jalur antara dan jalur tanam berkisar antara 73,04 % sampai 80,42 % dan pori total pada jalan sarad cabang berkisar antara 64,13 % sampai 64,63 %. Pori total jalan sarad cabang lebih rendah dibandingkan jalur, antara dan jalur tanam dikarenakan tanahnya mengalami pemadatan akibat aktivitas penyaradan (Wilson, 2006.) B. Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah pada tiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood disajikan dalam Tabel 3. Kondisi pH tanah pada ketiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood adalah sangat masam, yaitu berkisar antara 3,47-3,87 (PPT, 1983). pH tanah yang rendah disebabkan terjadinya pencucian kation-kation basa seperti Ca, Mg, K dan Na (Supriyo, 1996).
Tabel 3. Sifat kimia tanah pada tiga penggunaan lahan di areal TPTJ PT. Intracawood Table 3. Soil chemical properties of the three land use in SCLP area, PT. Intracawood Penggunaan Lahan (Land Use)
pH H2O
Corganik
Ntotal
P2O5
K2O
...%...
Ca-dd
Mg-dd
Na-dd
K-dd
KTK
ppm
mg/100g
JA
3,47
2,03
0,15
1,31
45,06
0,37
0,26
...me/100g...
0,04
0,13
14,34
JT
3,70
3,55
0,21
6,11
87,82
0,44
0,49
0,04
0,28
15,76
JS
3,87
2,03
0,11
1,74
99,01
0,29
0,21
0,03
0,12
8,04
Sumber: diolah dari data primer.
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kandungan C-organik dan N-total tertinggi terdapat pada jalur tanam. Kandungan Corganik pada jalur tanam, yaitu 3,55 % dan pada jalur antara dan jalan sarad cabang, yaitu masing-masing 2,03 %. Kandungan N-total pada jalur tanam yaitu 0,21 % dan pada jalur antara dan jalan sarad cabang, yaitu masingmasing 0,11 % dan 0,15 %. Hal tersebut terjadi karena tanah disekitar jalur tanam mendapatkan suplai serasah yang berasal dari kegiatan pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma, pemangkasan dan pembebasan naungan. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian Hayuningtyas (2006). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa jalur tanam yang dikelola
dengan sistem TPTJ umur 5 tahun memiliki kandungan C-organik dan N-total lebih tinggi dibandingkan jalur antara. Hasil analisa kandungan P2O5 pada Tabel 3 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil analisa C-organik dan N-total. Kandungan P2O5 pada jalur tanam juga paling tinggi dibandingkan pada jalur antara dan jalan sarad cabang. Kandungan P2O5 pada jalur tanam, yaitu 6,11 ppm dan pada jalur antara dan jalan sarad cabang, yaitu masing-masing 1,31 ppm dan 1,74 ppm. Minerasilasi bahan organik mengakibatkan terjadinya peningkatan kandungan P2O5 pada jalur tanam. Berdasarkan hasil analisa pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan K2O berbeda 39
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 35-42
dengan hasil analisa C-organik, N-total dan P2O5 yang menunjukkan kadar paling tinggi terdapat pada jalur tanam. Kandungan K2O pada jalan sarad cabang ternyata paling tinggi dibandingkan pada jalur antara dan jalur tanam. Kandungan K2O pada jalan sarad cabang, yaitu 99,01 mg/100g dan pada jalur antara dan jalur tanam, yaitu masing-masing 45,06 mg/100g dan 87,82 mg/100g. Hal ini diduga karena banyak terdapat sejumlah kation (amonium, natrium dan lain-lain) yang berperan meningkatkan ketersediaan K tanah pada jalan sarad cabang. Hasil penelitian Nursyamsi, et al. (2009) mengenai pengaruh Na+, NH4+ dan Fe3+ terhadap ketersediaan K tanah menunjukkan bahwa diantara kation yang dicoba ternyata Fe3+ paling efektif dalam melepaskan K tidak dapat dipertukarkan menjadi K dapat ditukar dan K larut. Penelitian ini juga menemukan bahwa kandungan Ca-dd, Mg-dd, Na-dd, K-dd dan KTK paling tinggi terdapat pada jalur tanam dan paling rendah pada jalan sarad cabang. Berdasarkan hasil analisa C-organik pada Tabel 3 menunjukkan bahwa tingginya kandungan bahan organik pada jalur tanam dibandingkan pada penggunaan lahan lainnya diduga menjadi sumber basa-basa dapat ditukar dan dapat meningkatkan nilai KTK tanah. Berdasarkan hasil analisa sifat kimia tanah pada Tabel 3 diketahui bahwa kandungan hara tertinggi terdapat pada jalur tanam. Kandungan hara yang lebih tinggi pada jalur tanam dibandingkan jalur antara dan jalan sarad cabang dikarenakan bahan organiknya lebih tinggi. Hasil dekomposisi bahan organik inilah yang menyebabkan kandungan haranya tinggi.
penanaman. Sifat kimia tanah seperti pH, Ntotal, P2O5, K2O, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Mg-dd dan KTK pada jalur tanam lebih tinggi dibandingkan jalur antara dan jalan sarad cabang. Lahan dengan kandungan bahan organik lebih tinggi menunjukkan sifat fisik dan kimia lebih baik dibandingkan lahan dengan bahan organik lebih rendah.
IV. KESIMPULAN
Nursyamsi, D., Idris, K., Sabiham, S., Rachim, D. A., dan Sofyan, A. 2009. Jerapan dan Pengaruh Na +, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit. J. Tanah Trop., Vol.14, No.1, Hal. 33-40. 2009.
Tekstur tanah pada jalur tanam lebih kasar dibandingkan pada jalur antara dan jalan sarad cabang. Pembukaan lahan dan aktivitas alat berat berpengaruh terhadap peningkatan Bulk density dan penurunan pori total tanah. Pembukaan jalur tanam pada sistem TPTJ berpengaruh terhadap peningkatan bahan organik tanah pada tahun ketiga setelah
40
DAFTAR PUSTAKA Hayuningtyas, R. A. D. H. 2006. Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah dalam Pelaksanaan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di HPHTI PT. Sari Bumi Kusuma Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diakses tanggal: 25 Pebruari 2013. (repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/.../E06rad.pdf?...1). Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: CV. Akademika Presindo. Kurnia, U., Agus F., Adimihardja A., dan Dariah A., 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Muhdi. 2008. Evaluasi Pemanenan Kayu dengan Teknik Reduced Impact Logging dalam Pengelolaan Hutan Alam. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Diakses tanggal: 4 Januari 2013 (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/922/1/08 E00713.pdf) Mulyana, M., Hardjanto, T., dan Hardiansyah, G. 2005. Membangun Hutan Tanaman Meranti. Banten: Wana Aksara. Murjanto, D. 2011. Karakterisasi dan Perkembangan Tanah pada Lahan Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Diakses tanggal: 24 Juli 2012. (repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/52278/2011dmu.pdf?sequence=1).
Ohta, S and Syarif, E. 1996. Soils Under Lowland Dipterocarp Forest – Characteristics and Classification. Ed: Schulte A and Schöne, D. Dipterocarp Forest Ecosystems: Towards Sustainable Management. World Science. Singapore.
Sifat Tanah Pada Areal Aplikasi Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) … (Rini Handayani dan Karmilasanti)
Ohta, S, Syarif, E, Tanaka, N and Miura, S. 1992. Characteristics of Major Soils Under Lowland Dipterocarp Forest in East Kalimantan, Indonesia. Tropical Rain Forest Research Project JTA-9(a)137. PUSREHUT. Special Publication No.2, September 1992.
Perbaikan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Ultisol serta Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16232/7/ Cover.pdf, diakses tanggal 22 Pebruari 2013).
Prasetyo, S. H., Santoso D., dan Widowati L. R., 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Supriyo, H. 1996. Chemical and Physical Charasteristic of Mayor Soils Under Dipterocarp Forest in PT. Silva Gama, Jambi, Sumatera. Ed: Suhardi, et al. Proceedings of The Seminar on Ecology and Reforestation of Dipterocarp Forest. Hal.72-84. Yogyakarta, 24-25 January. Faculty of Forestry. Gadjah Mada University.
Sinuraya, M.B. 2009. Konservasi Lahan Kritis Bahorok Langkat dengan Berbagai Bahan Organik terhadap
41
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 35-42
42
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 43-52 ISSN: 1978-8746
PERTUMBUHAN KEBUN PANGKASAN JENIS Shorea leprosula Miq. Growth of Shorea leprosula Miq. in Vegetative Multiplication Garden Deddy Dwi Nur Cahyono1), Rayan1) dan Rini Handayani1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email :
[email protected] Diterima 8 Agustus 2012, direvisi 29 April 2013, disetujui 6 Mei 2013
ABSTRACT Vegetative Multiplication Graden (VMG) is a stage to development hedge orchard. The aim of hedge orchard development is to provide cuttings material,in this study also to support breeding. Observation on growth of Shorea leprosula seedling was conducted to measured parameters were growth of height and diameter in VMG of six provenances, namely ITCIKU, Gunung Lumut, Carita, Gunung Bunga, Sungai Runtin and SBK. Randomized Blok Design (CRD) was applied,where the provenancesand mothertrees were used as treatments. The result show that correlation of height and diameter growth between provenances and mother tree is significantly different. Sungai Runtin provenance showed the highest height growth performance (60.092 cm )while the highest diameter growth (4.515 mm) is Gunung Bunga provenance. Keywords :Shorea leprosula, provenance, mother tree, height, diameter
ABSTRAK Kebun pangkasan merupakan tahapan dalam membangun kebun pangkas. Pembangunan kebun pangkasan bertujuan menyediakan materi stek pucuk, dalam kegiatan ini juga mendukung pemuliaan. Pengamatan pertumbuhan tingkat semai Shorea leprosula dilakukan untuk mengukur beberapa parameter pertumbuhan yaitu tinggi dan diameter di kebun pangkasan dari enam provenans, meliputi ITCIKU, Gunung Lumut, Carita, Gunung Bunga, Sungai Runtin dan SBK. Rancangan Acak Berblok (RAB) digunakan dengan provenans dan pohon induk sebagai perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perbedaan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit antar provenans dan pohon induk sangat signifikan. Provenan Sungai Runtin menunjukkan pertumbuhan tinggi yang paling tinggi (60,092 cm) sedangkan pertumbuhan terbesar untuk diameter (4,515 mm) adalah provenan Gunung Bunga. Kata kunci : Shorea leprosula, provenans,pohon induk, tinggi, diameter
I.
PENDAHULUAN
Shorea leprosula merupakan salah satu jenis dari famili Dipterocarpaceae yang cepat tumbuh dengan riap tinggi sehingga memiliki potensi untuk pengembangan hutan tanaman. Sebarannya cukup luas mulai dari Thailand Selatan (Patani), Semenanjung Malaysia dan hampir di seluruh semenanjung kecuali di Perlis dan Pulau Langkawi, Sumatera (Bangka, Belitung dan Kep. Riau) dan seluruh Borneo (Kalimantan, Serawak, Brunei dan Sabah)(Soekotjo, 2009). Sebaran yang luas mencerminkan masih terdapat variabilitas yang
tinggi dari populasi yang ada dan menjadi salah satu indikasi bahwa jenis ini ideal untuk program pemuliaan/breeding (Widyantoro dan Sukadri, 2007). Sesuai dengan SK Kepala Badan Litbang No. SK63/VIII/P3PH-1/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Pembangunan Demplot Sumber Benih untuk Mendukung Pembangunan Kehutanan, bahwa mulai tahun 2009 UPT Badan Litbang diharuskan membangun demplot sumber benih, maka Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD) Samarinda akan membangun kebun pangkas jenis S. leprosula. 43
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 43-52
Berdasarkan latar belakang diatas maka akan dilakukan kegiatan pemuliaan dalam rangka pembangunan kebun pangkas. Kebun pangkas bertujuan menyediakan materi stek pucuk yang akan digunakan untuk pengadaan bibit. Pembibitan S. leprosula terutama yang berasal dari benih sangatlah sulit karena periode pembungaan yang tidak teratur dan benih tidak dapat disimpan dalam waktu lama (recalcitrant). Salah satu alternatif metode untuk memperbanyak dalam jumlah yang besar dan terus menerus adalah melalui stek pucuk meng-gunakan teknik KOFFCO (Subiakto et al, 2007). Pembangunan kebun pangkas dapat menyediakan tunas-tunas ortothrop (tunas yang tumbuh vertikal) dan selalu muda (juvenil) sebagai bahan stek berkualitas (Leppe dan Smits, 1988). Pembangunan kebun pangkas yang dilakukan B2PD Samarinda dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan tersebut mencakup 1) eksplorasi materi genetik (Rayan dan Cahyono, 2012), 2) pembibitan dan pemeliharaan di persemaian, 3) seleksi bibit terbaik berdasarkan pertumbuhannya dan pemba-ngunan kebun pangkasan (Cahyono dan Rayan, 2011), 4) analisis DNA (heterozigositas) dan perbanyakan, 5) uji klondi lapangan hingga 6) pembangunan kebun pangkas hasil uji klon. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pengaruh asal populasi dan pohon induk
terhadap variasi pertumbuhan S. leprosula pada tahapan sebagai kebun pangkasan sebelum dilakukan kegiatan perbanyakan dengan stek pucuk untuk uji klon dan membangun kebun pangkas. II. METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga Pebruari 2012. Lokasi kegiatan di persemaian B2PD Samarinda. Objek pengamatan adalah tanaman jenis S. leprosula sebagai kebun pangkasan yang berasal dari 6 provenans (Tabel 1). Pembangunan kebun pangkasan yaitu dengan seleksi bibit S. leprosula hasil eksplorasi tahun 2010 yang memiliki kenampakan fenotip dan pertumbuhan terbaik. Bibit terpilih berjumlah 10 bibit per pohon induk kemudian dipindahkan ke polybag besar ukuran 30cm x 40cm dengan perbandingan media (v/v) pupuk kandang : sekam : top soil (1:1:4) kemudian disusun di persemaian berdasarkan provenans dan pohon induknya sehingga terbangunlah kebun pangkasan (Cahyono dan Rayan, 2011). Dilakukan pemeliharaan selama proses dan setelah terbangunnya kebun pangkasan meliputi penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama/penyakit.
Tabel 1. Informasi sumber materi genetik dari 6 provenans Table 1. Information of geneticmaterial source of six provenances Lokasi (Location) ITCIKU Kaltim Gunung Lumut Kaltim KHDTK Carita Banten Gunung Bunga Kalbar
Titik GPS (GPS point) S 0o44’5,17”-0o55’5,41” E 116o22’4,34”-116o33’7,07” S 01o26’14,5”-01o26’45,5” E 115o54’27,9”-115o54’56,3” S 06o17’18,3”-06o17’49,5” E 105o50’21,5”-105o50’37,4” S 01o30’2,59”-01o30’4,23” E 110o42’0,68”-110o42’3,31”
Ketinggian tempat (Altitude) (m dpl)
Jumlah pohon induk (Number of mother tree)
177 – 358
10
NA
10
59 – 116
10
106 – 139
7
NA
NA
9
NA
9
Sungai Runtin Kalbar o
o
S 00 51’5,62”-01 58’3,45” E 112o20’0,64”-112o26’2,91” Keterangan: NA = data tidak tersedia SBK Kalteng
Sumber: diolah dari data primer.
44
Pertumbuhan Kebun Pangkasan Jenis Shorea leprosula … (Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani)
Pengambilan data dilakukan pada periode tanaman berumur 4 bulan setelah dipindahkan ke polybag besar. Parameter penelitian meliputi pertumbuhan tinggi dan diameter. engukuran tinggi dari pangkal batang yang berbatasan dengan permukaan media sampai pucuk, sedangkan diameter dilakukan pada ketinggian 5 cm dari pangkal batang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Berblok dengan provenans sebagai blok. Terdapat 55 pohon induk dari 6 provenans (Tabel 1). Masingmasing pohon induk digunakan 2 bibit dengan 5 kali ulangan. Data kemudian dianalisis statistik menggunakan SAS 9. Untuk mengetahui perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan analisis sidik ragam (analisis varians). Apabila hasil analisis varians menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui pengaruh masingmasing perlakuan. Model ANOVA yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torie, 1995) :
Yijk = μ + Ri(1,2,...) + Aj(1,2,...) + Bk(1,2,...)(Aj(1,2,...)) + Eijk
dengan : Yijk : rata-rata pengamatan pada ulangan ke-i,asal populasi ke-j, pohon induk ke-k μ : rerata umum pengamatan; Ri : pengaruh ulangan ke-i; Aj : pengaruh provenan ke-j; Bk(Aj) : pengaruh pohon induk ke-k dalam provenan ke-j; Eijk : random error III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan dan pengukuran, diketahui bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter bervariasi baik itu antar provenans maupun pohon induk. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi berkisar antara 0,6–87,2 cm sedangkan pertumbuhan diameter berkisar antara 0–8,21 mm. Analisis varians untuk mengetahui pengaruh provenans dan pohon induk seperti padaTabel 2.
Tabel 2. Rekap hasil analisis varians untuk pertumbuhan tinggi dan diameter S. leprosula Table 2. Summary of variance analysis result on height and diameter growth of S . leprosula Sumber Variasi (Source of Variation)
Derajat Bebas (Degree of Freedom )
Replikasi (R) Provenans (A)
Kuadrat Tengah (Mean Square) Pertumbuhan tinggi (Height growth)
Pertumbuhan diameter (Diameter growth)
4
1297,48669**
42,7799134**
5
6544,43615**
21,1065008**
49
1008,63818**
6,7209236**
Error
482
310,5031
1,918635
Jumlah Keterangan: ** = berbeda sangat nyata
540
Pohon induk {B(A)}
Sumber: diolah dari data primer.
A. Provenans Variasi pertumbuhan tinggi dan diameter menunjukkan hasil berbeda nyata pada tingkat provenans(Tabel 2). Halini diduga karena sumber bibit berasal dari materi dengan sebaran geografis yang cukup luas dan berjauhan satu sama lain (Rohandi dan Widyani, 2010). Sebelumnya, Zobel dan Talbert (1984) telah menyatakan bahwa perbedaan geografi ini akan
mempengaruhi sifat genetikyang kemudian sifat genetik ini lebih kuat mempengaruhi karakter tinggi dibandingkan diameter. Dimungkinkan masing-masing individu tiap provenans telah mengalami evolusi dan seleksi sehingga sifatsifat utama tiap provenans sudah terbentuk (Soekotjo, 2009). Hasil uji lanjut (Tabel 3) memperlihatkan bahwa provenans yang berasal dari Kalbar unggul pada pengukuran karakter 45
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 43-52
pertumbuhan. Untuk pertumbuhan tinggi, provenan Sungai Runtin memiliki pertumbuhan tinggi yang tertinggi dan berbeda nyata dengan provenans lainnya. Sementara itu untuk diameter, provenan Gunung Bunga merupakan provenan dengan pertumbuhan terbesar namun tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan Carita dan ITCI. Pertumbuhan tinggi provenans asal Kalimantan (Gunung Bunga dan SBK) tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan provenan Carita. Walaupun secara geografi berasal dari pulau yang berbeda, namun curah hujan asalprovenan tersebut tinggi>3.000 mm/th (Tabel 4). Disamping itu, secara genetik provenan SBK memiliki kekerabatan yang dekat dengan provenan Carita (Resmisari, 2006).Provenan SBK berbeda nyata dengan ITCI dan secara genetik memang memiliki kekerabatan yang jauh (Resmisari, 2006).
Pertumbuhan tinggi antar 2 provenan dari Kaltim yaitu Gunung Lumut dan ITCI berbeda nyata. Pengaruh faktor lingkungan yaitu perbedaan curah hujan antara Gunung Lumut dan ITCI dimungkinkan membentuk karakter genetik sehingga pertumbuhan tinggi keduanya berbeda nyata. Terlihat bahwa tanaman yang diperoleh dari lokasi dengan curah hujan yang lebih rendah (<3.000 mm/th) cende-rung menunjukkan pertumbuhan tinggi yang rendah. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa bibitberasal dari lokasi yang memiliki jenis tanah podsolikdan aluvial. Hal tersebut menunjukkan bahwa S. leprosula mampu hidup pada kedua jenis tanah tersebut, sehingga pembangunan hutan menggunakan jenis S. leprosula diluar daerah asal penyebarannya dapat dilakukan dengan syarat kondisi lingkungan yang lain mendukung.
Tabel 3. Pengaruh provenan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter S. leprosula Table 3. Effect of provenance to height and diameter growth of S. leprosula) Provenans (Provenances)
Karakter (Character) Pertumbuhan tinggi (Height growth)
Pertumbuhan diameter (Diameter growth)
ITCIKU Kaltim
42,879 c
4,177 ab
Gunung Lumut Kaltim
36,842 d
3,112 c
KHDTK Carita Banten
50,314 b
4,252 ab
Gunung Bunga Kalbar
53,723 b
4,515 a
Sungai Runtin Kalbar
60,092 a
4,002 b
SBK Kalteng 53,655 b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
3,838 b
Sumber: diolah dari data primer.
Tabel 4. Informasi curah hujan tahun 2010 dan jenis tanah Table 4. Information of rain 2010 and soil Lokasi (Location) ITCIKU Kaltim Gunung Lumut Kaltim KHDTK Carita Banten Gunung Bunga Kalbar Sungai Runtin Kalbar SBK Kalteng
Sumber: diolah dari data primer.
Rata-rata curah hujan (Rainfall average) (mm/th) 1.800 (kaltimprov.go.id) 2.142 (kaltimprov.go.id) 3.950 (Samsoedin et al, 2010) 3.516 (BPS Kalbar, 2010) 3.516 (BPS Kalbar, 2010) 3.388 (Adytia, 2011)
Apabila pertumbuhan tinggi dan diameter dikelompokkan berdasarkan lokasi administratif
46
Jenis tanah (Soil types) Podsolik merah kuning (Akhiarni, 2008) Podsolik merah kuning (Zainun, 2009) Aluvial kelabu (Balitbanghut, 2005) Podsolik (BPS Kalbar, 2010) Podsolik (BPS Kalbar, 2010) Podsolik merah kuning (Adytia, 2011)
hasilnya seperti pada Gambar 1. Untuk wilayah Kalimantan saja, berdasarkan rata-rata
Pertumbuhan Kebun Pangkasan Jenis Shorea leprosula … (Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani)
pertumbuhan tinggi terlihat kelompok provenans dari Kalimantan Barat (Gunung Bunga dan Sungai Runtin) pertumbuhan tingginya lebih tinggi dibanding dengan kelompok provenan dari Kalimantan Tengah (SBK) kemudian semakin menurun untuk Kalimantan Timur (Gunung Lumut dan ITCI). Dilihat secara geografis pada populasi hutan alam Kalimantan saja, semakin ke arah timur pertumbuhan tinggi dan diameter terlihat semakin menurun. 60
Hasil yang berbeda disampaikan oleh Mashudi et. al, (2012) yang menyatakan bahwa provenan Kaltim pertumbuhannya lebih baik dibanding Kalbar maupun Kalteng. Hal ini dapat terjadi karena materi genetik yang terseleksi dapat dari pohon induk yang berbeda yang memiliki kualitas genetik berbeda. Disamping itu kondisi media maupun lingkungan yang berbeda akan mampu memunculkan potensi genetik (Schmidt, 2002).
6
56.91 50.31
Pertumbuhan tinggi (cm)
50
40
4.259
4.252 3.838
5 39.86
4
3.645
30
3
20
Pertumbuhan diameter (mm)
53.65
2 Kalbar
Kalteng
Banten
Kaltim
Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 1. Rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter berdasarkan lokasi administratif Figure 1. Average of height and diameter growth based on location B. Pohon Induk Berdasarkan hasil analisis varians (Tabel 2), menunjukkan bahwa perbedaan pohon indukdalam provenans berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Meskipun bahan tanaman diunduh pada lokasi provenans yang sama, waktu yang sama serta penanganan yang sama, namun pertumbuhannya sangat beragam. Hal ini mengindikasikan bahwa diantara pohon induk mempunyai keragaman genetik yang tinggi untuk kedua karakter tersebut. Keragaman genetik dari individu-individu penyusun dalam provenans jenis S. leprosula ternyata lebih tinggi dibanding antar provenans
yaitu sebesar 96% : 4% (Rimbawanto dan Suharyanto, 2005) dan 70,2% : 29,8% (Cao et.al, 2006). Keragaman genetik diantara individu dalam satu pohon induk sangat dimungkinkan. Hal ini karena bahan tanaman berasal dari pohon induk di hutan yang memungkinkan terjadinya perkawinan terbuka sehingga satu induk pohon dapat dibuahi oleh banyak induk jantan. Untuk mengetahui lebih detil pohon induk yang memberikan perbedaan nyata disajikan pada Lampiran 1. Sementara itu, 10 terbaik pertumbuhan tinggi dan diameter berdasarkan pohon induk seperti pada Tabel 5.Rata-rata pertumbuhan tinggi dari 10 pohon induk terbaik berkisar antara 60,67-76,5 cm, sedangkan
47
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 43-52
pertumbuhan diameter berkisar antara 4,8125,843 mm. Sepuluh terbaik tersebut secara statistik pada dasarnya tidak berbeda nyata satu sama lain. Namun kecenderungan untuk pertumbuhan tinggi didominasi oleh pohon induk yang berasal dari Kalimantan (Gunung Bunga, Sungai Runtin dan SBK) sebanyak 90%. Berbeda dengan pertumbuhan tinggi, untuk pertumbuhan diameter tidak ada
provenan yang dominan berada pada posisi sepuluh terbaik. Dari Tabel 5 juga diketahui bahwa lima pohon induk dengan tinggi tertinggi juga sekaligus memiliki diameter terbesar dari 10 pohon induk terbaik. Dapat diasum-sikan bahwa antara pertumbuhan tinggi dan diameter terdapat korelasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Mashudi et.al, (2012) terhadap jenis yang sama.
Tabel 5. Sepuluh terbaikpertumbuhan tinggi dan diameter berdasarkan pohon induk Table 5. The top ten height and diameter growth based on mother tree
1
Pertumbuhan tinggi (Height growth) Pohon induk Rata-rata (Mother tree) (Average of height growth) 17SR 76,500 a
2
33SBK
71,140 ab
4CR
5,1600 ab
3
15SR
69,490 abc
26GB
5,1480 ab
4
14SR
67,960 abcd
55ITCI
5,1110 ab
5
31SBK
67,230 abcde
23GB
5,0830 abc
6
16SR
65,440 abcdef
17SR
5,0520 abc
7
1CR
62,580 abcdefg
8CR
5,0420 abc
8
23GB
60,810 abcdefgh
35SBK
4,9370 abcd
9
26GB
60,790 abcdefgh
1CR
4,8360 abcde
Nomor (Number)
Pertumbuhan diameter (Diameter growth) Pohon induk Rata-rata (Mother tree) (Average of diameter growth) 54ITCI 5,8430 a
10 35SBK 60,670 abcdefgh 43ITCI 4,8120 abcde Keterangan : Pohon induk 1 – 10 = Provenan Carita (CR); 11 – 19 = Provenan Sungai Runtin (SR); 20 – 26 = Provenan Gunung Bunga (GB); 27 – 35 = Provenan SBK (SBK); 36 – 45 = Provenan Gunung Lumut (GL); 46 – 55 = Provenan ITCI (ITCI). Sumber: diolah dari data primer.
Kebun pangkasan yang telah dibangun ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan bibit menggunakan perbanyakan vegetatif terutama pada masa ketika jenis S. leprosula tidak berbuah. Jika melihat hasil pertumbuhan saja, maka dapat dipilih 10 provenans dan pohon induk yang memiliki pertumbuhan terbaik untuk diperbanyak menghasillkan bibit. Namun demikian bibit yang dihasilkan belum dapat dikategorikan bibit unggul. Bibit unggul tidak hanya dilihat secara fisik- fisiologis tetapi juga secara genetik. Tahapan berikutnya akan dilakukan seleksi genetik dengan uji DNA yaitu untuk mengetahui heterozigositasnya. Heterozigositas dimaksudkan untuk mengeliminasi individu
48
hasil kawin kerabat. Informasi individuindividu S. Leprosula bergenotipe heterozigot nantinya akan digunakan untuk uji klon dan hasil uji klon potensial dijadikan klon unggul untuk membangun kebun pangkas. IV. KESIMPULAN Pertumbuhan jenis S. leprosula di kebun pangkasan dipengaruhi oleh asal provenans dan pohon induk. Provenan dengan pertumbuhan tinggi terbaik adalah Sungai Runtin sedangkan pertumbuhan diameter terbesar adalah Gunung Bunga. Tampak bahwa S. leprosula yang diperoleh dari lokasi dengan curah hujan rendah menunjukkan pertumbuhan yang rendah. Kebun
Pertumbuhan Kebun Pangkasan Jenis Shorea leprosula … (Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani)
pangkasan dapat digunakan sebagai sumber bibit. Untuk memperoleh bibit yang unggul perlu dilakukan seleksi terhadap kebun pangkasan yaitu dengan uji DNA dilanjutkan dengan uji klon. DAFTAR PUSTAKA Adytia, P.M. 2011. Kualitas Tanah Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di Areal Kerja IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Akhiarni, Y. 2008. Komposisi dan Struktur Vegetasi Pada Hutan LOA Bekas Kebakaran 1997/1998 Serta Pertumbuhan Anakan Meranti (Shorea spp) Pada Areal PMUMHM di IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama Kalimantan Timur. Skripsi. Fahutan IPB Bogor. Badan Litbang Kehutanan. 2005. Hutan Penelitian (HP) Carita, Propinsi Banten. Balitbanghut. Jakarta. Badan Pusat Statistik Prov. Kalimantan Barat. 2010. Kalimantan Barat Dalam Angka 2010. Cahyono, D.D.N. dan Rayan. 2011. Kebun Pangkasan Jenis Shorea leprosula Dalam Rangka Penyediaan Bibit Unggul. Prosiding Seminar Produktivitas Hutan. B2PD. Samarinda. Cao, C.P., R. Finkeldey, I.Z. Siregar, U.J. Siregar, and O. Gailing. 2006. Genetic Diversity Within and Among Population of Shorea leprosula Miq. And Shorea parvifolia Dyer (Dipterocarpaceae) in Indonesia Detected by AFLPs. In Genetic Variation of The Genus Shorea (Dipterocarpaceae) in Indonesia. Dissertation. Faculty of Forest Sciences and Forest Ecology. Georg August University of Gőttingen. Leppe, D. dan W.T.M. Smits. 1988. Metode Pembuatan dan Pemeliharaan Kebun Pangkas Dipterocarpaceae. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APHI). Jakarta. Mashudi, S. Pudjiono, Rayan dan M. Sulaeman. 2012. Pengaruh Asal Populasi dan Pohon Induk Terhadap Pertumbuhan Bibit Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.) Sebagai Materi Untuk Perbanyakan Klonal. Jurnal Penelitian Dipterokarpa Vol.6 No.2 Desember. Rayan dan Cahyono, D. D. N., 2012. Eksplorasi Pengumpulan Materi Genetik Shorea leprosula Miq. Untuk Populasi Dasar dan Populasi Pemuliaan. Info Teknis Dipterokarpa Vol.5 No.1 September 2012.
Resmisari, R.S. 2006. Variasi DNA Kloroplas Shorea leprosula Miq. di Indonesia Menggunakan Penanda PCR-RFLP. Tesis. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Rimbawanto, A. dan Suharyanto. 2005. Keragaman Genetik Populasi Shorea leprosula Miq. dan Implikasinya untuk Program Konservasi Genetik. Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Fahutan UGM. Yogyakarta. Rohandi, A. dan N. Widyani. 2010. Pertumbuhan TigaProvenans Mahoni Asal Kostarika. Tekno Hutan Tanaman Vol.3 No.1 April 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Samsoedin, I., N. M. Heriyanto dan E. Subiandono. 2010. Struktur dan Komposisi Jenis Tumbuhan Hutan Pamah di KHDTK Carita, Prov. Banten. Jurnal PHKA. Vol.7 No.2. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis 2000. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta. SK
Kepala Badan Litbang Kehutanan Nomor SK.63/VIII/P3PH-1/2010 tanggal 28 Desember 2010 tentang Pembangunan Demplot Sumber Benih untuk Mendukung Pembangunan Kehutanan.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Steel, R.G.D & J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Subiakto, A., R. Effendi dan Ernayati. 2007. Ketersediaan IPTEK Pembibitan, Penanaman dan Pemeliharaan Hutan Tanaman Dipterokarpa. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspose TPTII/SILIN. Samarinda 4-5 September 2007. B2PD. Samarinda. Widyantoro, B. dan D. Sukadri. 2007. Peluang pasar kayu hasil hutan tanaman dipterokarpa. Prosiding Seminar Pengembangan Hutan Tanaman Dipterokarpa dan Ekspose TPTII/SILIN. Samarinda 4-5 September 2007. B2PD. Samarinda. Zainun, M. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Paser Propinsi Kalimantan Timur. Tesis. Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Zobel, B.J. dan J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons, Inc. Canada.
49
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 43-52
Lampiran 1. Hasil uji DMRT pertumbuhan tinggi dan diameter Appendix 1. Result of DMRT on height and diameter growth Nomor (Number) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
50
Pertumbuhan tinggi (Height growth) Pohon induk Rata-rata (Mother tree) (Average of height growth) 17 76,500 a 33 71,140 ab 15 69,490 abc 14 67,960 abcd 31 67,230 abcde 16 65,440 abcdef 1 62,580 abcdefg 23 60,810 abcdefgh 26 60,790 abcdefgh 35 60,670 abcdefgh 4 60,480 abcdefgh 32 60,360 abcdefgh 48 59,400 abcdefghi 20 58,540 abcdefghi 18 57,260 bcdefghij 19 56,710 bcdefghijk 3 56,600 bcdefghijk 22 55,530 bcdefghijkl 24 53,100 bcdefghijklm 54 53,080 bcdefghijklm 12 52,970 bcdefghijklm 9 51,650 bcdefghijklmn 42 51,530 bcdefghijklmn 50 50,950 cdefghijklmno 8 50,860 cdefghijklmno 43 50,020 cdefghijklmno 46 49,860 cdefghijklmno 27 49,760 cdefghijklmno 30 48,600 defghijklmnop 52 48,020efghijklmnopq 5 47,980 efghijklmnopq 28 47,650 efghijklmnopq 11 47,470 efghijklmnopq 13 47,030 fghijklmnopq 21 44,210 ghijklmnopq 10 44,180 ghijklmnopq 2 44,130 ghijklmnopq 45 43,750 ghijklmnopqr 25 43,080 ghijklmnopqr 6 42,630 ghijklmnopqr 53 42,478 hijklmnopqr 7 42,050 hijklmnopqr 34 40,340 ijklmnopqr 37 38,150 jklmnopqr 55 37,030 klmnopqr 36 35,670 lmnopqrs 38 33,800 mnopqrs 49 33,325 mnopqrs 29 33,013 nopqrs
Pertumbuhan diameter (Diameter growth) Pohon induk Rata-rata (Mother tree) (Average of diameter growth) 54 5,8430 a 4 5,1600 ab 26 5,1480 ab 55 5,1110 ab 23 5,0830 abc 17 5,0520 abc 8 5,0420 abc 35 4,9370 abcd 1 4,8360 abcde 43 4,8120 abcde 38 4,7430 abcdef 9 4,7320 abcdef 25 4,6830 abcdefg 52 4,6370 abcdefg 46 4,6180 abcdefgh 21 4,5780 abcdefgh 15 4,5740 abcdefgh 32 4,5290 abcdefghi 14 4,4810 abcdefghi 42 4,3460 abcdefghij 6 4,2890 bcdefghijk 20 4,2810 bcdefghijk 19 4,2310 bcdefghijkl 18 4,2300 bcdefghijkl 27 4,1920 bcdefghijkl 33 4,1920 bcdefghijkl 2 4,1230 bcdefghijklm 16 4,0900 bcdefghijklm 24 4,0500 bcdefghijklm 29 4,0188 bcdefghijklm 50 3,9980 bcdefghijklm 10 3,9630 bcdefghijklm 53 3,8367 bcdefghijklmn 5 3,8340 bcdefghijklmn 22 3,7870 bcdefghijklmn 31 3,5980 bcdefghijklmn 3 3,5830 bcdefghijklmn 49 3,5275 cdefghijklmn 11 3,4140 defghijklmn 28 3,3710 defghijklmn 39 3,3133 efghijklmn 40 3,2610 efghijklmno 12 3,2330 fghijklmno 45 3,1370 ghijklmno 51 3,0600 hijklmno 30 2,9930 ijklmno 7 2,9630 ijklmno 36 2,7910 jklmno 34 2,7470 klmno
Pertumbuhan Kebun Pangkasan Jenis Shorea leprosula … (Deddy Dwi Nur Cahyono, Rayan dan Rini Handayani)
Pertumbuhan tinggi (Height growth) Pohon induk Rata-rata (Mother tree) (Average of height growth) 50 40 31,640 opqrs 51 44 29,970 pqrs 52 51 29,238 pqrs 53 39 28,622qrs 54 41 24,450 rs 55 47 18,267 s Keterangan : Pohon Induk 1 – 10 = Provenan Carita (CR); 11 – 19 = Provenan Sungai Runtin (SR); 20 – 26 = Provenan Gunung Bunga (GB); 27 – 35 = Provenan SBK (SBK); 36 – 45 = Provenan Gunung Lumut (GL); 46 – 55 = Provenan ITCI (ITCI). Nomor (Number)
Pertumbuhan diameter (Diameter growth) Pohon induk Rata-rata (Mother tree) (Average of diameter growth) 13 2,7140 lmno 44 2,7060 lmno 37 2,6220 mno 38 2,3840 no 41 1,7680o 47 1,7678o
Sumber: diolah dari data primer.
51
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 43-52
52
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 53-62 ISSN: 1978-8746
KEANEKARAGAMAN FUNGI MAKRO PADA TEGAKAN BENIH DIPTEROCARPACEAE DI TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING DAN TAMAN NASIONAL SEBANGAU KALIMANTAN TENGAH The Diversity of Macro Fungy In Forest Seed Stand of Dipterocarpaceae in Tanjung Puting Nasional Park and Sebangau Nasional Park in Central Kalimantan Massofian Noor1) dan Amiril Saridan1) 1)
Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda Jl. A.W. Syahranie No.68 Sempaja, Samarinda; Telepon. (0541) 206364, Fax (0541) 742298 Email :
[email protected] Diterima 21 Pebruari 2013, direvisi 23 Mei 2013, disetujui 27 Mei 2013
ABSTRACT The diversity of macro fungy in forest seed stand of Dipterocarpaceae in Tanjung Putting Nasional Park and Sebangau Nasional Park in Central Kalimantan. The places that we don’t know about a potency diversity of macro fungy that very infortent to exsplorations and the point for identification and used for humans lives. The research has done during 10 (ten) months, it’s started from march to December 2012. The method used in this research was transect method, with 20 m wide, 10 m each from left and right of 1.000 m axis line, and space between transect method. lined transect was 200 meter. Macro fungy collection has been done by 100 % census method. While Identification of macro fungy has used key determination. The result from Tanjung Putting Nasional Park and Sebangau Nasional Park shows there are 18 genus 44 species with 335 individuals, consisting of wood decomposer (71,91%), liters decomposer (4,13%), simbionce of Diptercarpaceae species (10,41%), edible mushrooms (9,46%) and for medicine (0,96%). Macro climate for both area relatively similar. The result of T- test diversity level of macro fungy in two location show that there is no significant difference. The score of Morishita Horn similarity index (CmH) is 1,31 or nore then 1, indicates that the distribution of macro fungy in both research location is outspread,. Keywords :
Diversity, macro fungy, seed stand of Dipterocarpaceae Tanjung Puting Nasional Park and Sebangau Nasional Park
ABSTRAK Penelitian keanekaragaman fungi makro dilaksanakan pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan, yaitu bulan Maret - Desember 2012. Latar belakang flora fungi makro pada suatu daerah tertentu yang belum pernah diketahui potensi dan keanekaragaman fungi makro sangat diperlukan eksplorasi dan tujuan untuk mengidentifikasikani jenis dan manfaat fungi makro untuk kepentingan manusia. Metode yang dipergunakan adalah metode jalur dengan lebar 20 meter (10 meter dari kiri dan kanan dari garis sumbu sepanjang 1000 meter) dengan jarak antar jalur 200 meter, pengumpulan fungi makro dilakukan sensus 100 %. Identifikasi fungi makro mempergunakan kunci determinasi. Hasil penelitian yang diperoleh pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Hutan Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau diperoleh rata-rata sebanyak 18 genus 44 jenis dan 335 individu., yang terdiri dari fungi makro penghancur kayu (71,91 %), penghancur serasah (4,13 %), sebagai sembion pada jenis Dipterocarpaceae (10,41 % ), sebagai ramuan obat (0,96 %) , dan dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan (9,46 %). Iklim makro pada kedua lokasi relatif sama. Hasil Uji- t tingkat keanekaragaman fungi makro dari dua lokasi yang berbeda menunjukan tidak berbeda nyata, nilai kesamaan Morisita Horn (CmH) diperoleh 1,31 atau 1 lebih, menunjukkan bahwa distribusi fungi makro pada kedua areal penelitian menyebar. Kata Kunci
:
Fungi Makro, tegakan benih Dipterokarpaceae, Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau
53
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 53-62
I.
PENDAHULUAN
Kalimantan terkenal akan kekayaan flora dan fauna termasuk juga keanekaragaman fungi makronya. Berkaitan dengan keanekaragaman fungi makro, Smits (1994) melaporkan dari hasil eksplorasi selama 8 tahun (1986 - 1994) di Rintis Kadri Samboja, Kalimantan Timur menemukan fungi makro sebanyak 208 jenis. Sedangkan Marji dan Noor (2005) menemukan fungi makro sebanyak 119 jenis di lokasi Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Hasil penelitian Noor (2002) yang melakukan pengamatan di hutan lindung Sungai Wain khususnya pada hutan tidak terbakar menemukan fungi makro sebanyak 16 jenis dari 65 individu dan hutan terbakar ringan sebanyak 6 jenis dari 21 individu, dimana semua jenis fungi makro yang ditemukan bersimbiosis dengan pohon terutama dari famili Dipterocarpaceae, Leguminosae dan Annonaceae. Pada areal PT Inhutani I Labanan Km 26 Berau dan PT Narkata Rimba Kecamatan Muara Wahau, Kalimantan Timur ditemukan rata-rata jumlah fungi makro sebanyak 27 jenis dengan 257 individu, yang terdiri 28,80 % fungi makro ektomikoriza (Ecm) dan 71,20 % bukan fungi makro ektomikoriza. Semua fungi makro yang ditemukan bersimbiosis dengan pohon terutama dari famili Dipterokarpaceae, Leguminosae, Annonaceae, Sapotaceae, Fagaceae, dan Myristicaceae ( Noor,2010). Hasil eksplorasi lain yang pernah dilakukan dan dilaporkan menyatakan bahwa keanekaragaman fungi makro cukup bervariasi, tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi tipe hutan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim mikro dan tipe tanahnya. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sudah cukup banyak, khususnya di daerah Provinsi Kalimantan Timur, akan tetapi masih sangat terbatas di luar Provinsi Kalimantan Timur, seperti di Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Sehubungan masih terbatasnya kegiatan eksplorasi keanekaragaman fungi makro di luar Provinsi Kalimantan Timur, kegiatan penelitian eksplorasi fungi ini dilanjutkan dan 54
dilaksanakan pada tegakan benih dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun dasar pertimbangan pemilihan kedua lokasi ini, selain berada di luar Provinsi Kalimantan Timur, kedua lokasi ini masih dalam kondisi hutan yang cukup baik, sehingga diasumsikan akan banyak ditemukan keanekaragaman fungi makro dan dapat menjadi referensi yang baik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan hasil penelitian sebelumnya, sehingga dapat melengkapi kondisi keanekaragaman fungi makro di wilayah hutan Kalimantan. Data dan informasi ini diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya bagi para pengumpul/kolektor jamur, pakar jamur, pakar biologi, pakar botani, pakar penyakit tumbuhan, pencinta flora dan masyarakat luas lainnya, akan tetapi dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk penelitian lanjutan lainnya ataupun sebagai bahan masukan didalam pengelolaan hutan secara lestari. Tujuan penelitian adalah: untuk mengidentifikasikan, mengetahui peranan dan manfaat fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpacaeae di Taman Nasional (TN) Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau. Sasaran prioritas yang perlu dicapai adalah tersedianya data keanekaragaman, peranan dan manfaat fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. II. METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilakukan di 2 (dua) Provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Dilaksanakan selama 10 bulan, dari bulan Maret-Desember 2012. Alat dan bahan yang dipergunakan di dalam mendukung kegiatan penelitian ini adalah kompas, altimeter, lux meter, higrometer, temperatur udara, alat pengukur temperatur tanah, GPS, kamera, kapur barus,
Keanekaragaman Fungi Makro Pada Tegakan Benih Dipterocarpaceae Di Taman Nasional Tanjung … (Massofian Noor dan Amiril Saridan)
plastik sil, cool box tempat penyimpan fungi, pisau kecil, kaca pembesar (lup). Pengumpulan specimen fungi makro dilakukan di lapangan untuk di identifikasi, difoto dan dikeringkan. Fungi makro yang dikumpulkan diberi lebel, dan dimasukan kedalam kantong plastik. Data yang berkaitan dengan koordinat lokasi penelitian, intensitas cahaya, ketinggian tempat, kelembaban udara, suhu tanah dan curah hujan serta jenis pohon yang bersimbiosis dengan fungi makro dilakukan langsung bersamaan di lapangan. Rancangan pengumpulan fungi makro dilakukan di lapangan dengan membuat petak contoh dengan luas 1000 meter x 1000 meter. Di dalam petak contoh kemudian dibuat 5 jalur (transect system) dengan jarak antar jalur 200 m dan selebar 20 meter (10 m kiri dan 10 m kanan dari sumbu jalur utama) (Kusmana, 1997). Selanjutnya di dalam jalur dilakukan sensus 100% untuk mengumpulkan fungi makro. Identifikasi fungi makro dilakukan dengan cara melihat dan mencocokan bentuk, ukuran dan sifat hidupnya secara makrokopis, baik secara eksternal maupun internal dari tudung dan tangkai (Breitenbach dan Kranzlin,1991). Untuk keperluan tersebut, tubuh buah fungi makro yang bertangkai dibelah menggunakan pisau cutter. Setelah fungi makro diidentifkasi, selanjutnya menentukan apakah fungi makro tersebut berperan sebagai parasit, saprofit, bersimbiosis, ataupun untuk obat atau dapat dikomsumsi sebagai bahan makanan, berdasarkan beberapa literatur yang tersedia seperti Bigelow (1979), Nonis (1982), Imazeki (1988), Julich (1988), Bresinsky dan Besl (1990), Breitenbach dan Kranzlin (1991), Laessoe dan Lincoff (1998), Pace (1998) dan Phillips (1981). Analisis data untuk membandingkan dominansi fungi makro pada kedua lokasi tersebut digunakan rumus Heddy dan Kurniati (1996) yang dikutip Wahyuni (2002) adalah : Di= x 100% dimana:
Di = dominansi jenis n i = jumlah individu fungi makro ke i, N = jumlah individu seluruh fungi makro. Untuk mengetahui indeks kekayaan fungi makro pada kedua areal tersebut digunakan rumus Margalef dalam Ludwig dan Reynolds (1988) adalah : (S-1) R LN dimana: S = jumlah jenis fungi makro yang teramati N = jumlah seluruh individu fungi makro L = Logaritma natural Untuk mengetahui indeks keragaman fungi makro pada kedua areal tersebut dapat mempergunakan rumus Shannon – Wiever indeks diversity dalam Ludwig dan Reynolds (1988) adalah:
H '
n
( ni / N ) / Log ( ni / N )
i ni
dimana: H’ = indeks keragaman jenis ke i ni
= jumlah individu fungi makro ke i
N
= jumlah individu seluruh jenis fungi
makro Selain menghitung nilai keragaman (H’) fungi makro, perbedaan tingkat signifikansi dua nilai keragaman dilakukan dengan Uji-t, kemerataan fungi makro di kedua areal dengan mempergunakan indeks Margalef dan kesamaan fungi makro dengan mempergunakan Indeks kesamaan jenis (Morishita Horm) dalam Ludwig dan Reynolds (1988). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dominansi eksplorasi fungi makro pada tegakan benih Dipterocarparpaceae 53di Taman Nasional Tanjung Puting dan TN Sebangau di Kalimantan Tengah dapat diperlihatkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1 disajikan pada halaman lampiran, dimana pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting diperoleh 5 besar dominan tertinggi, yaitu Polyporus spp (34,54%), Tremestes spp (9,18%), Russula spp 55
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 53-62
(8,45%), Ganoderma spp (6,28%), Ascocorine spp (4,73 %) dan Phylloporus spp (4,35%). Tabel 2. disajikan pada lampiran, dimana pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Sebangau diperoleh 5 dominan tertinggi, yaitu Polyporus spp (53,04 %), Clitocybe spp (12,16 %), Ganoderma spp (8,78 %), Xylaria spp (4,73 %), dan Ascocorine spp (4,73 %). (Tabel 1 dan 2 halaman lampiran).
Data kemudian dikelola untuk rataan indeks keanekaragaman fungi makro, yaitu indeks kekayaan (Margalef indexs), indeks keragaman jenis (Shannon indexs), indek kemerataan (Evennes indexs) pada kedua lokasi tegakan benih Dipterocarpaceae Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau diperlihatkan pada gambar grafik 1 berikut :
Sumber: diolah dari data primer.
Gambar 1. Grafik rataan indeks keragaman fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah Figure 1. The graphic of diversity index average of macro fungy in Tanjung Putting Nasional Parks and Sebangau nasional park in central Kalimantan Gambar 1 di atas, menyajikan nilai indeks kekayaan (R) fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Sebangau yaitu lebih besar, yakni R= 5,2483, bila dibandingkan dengan tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting R= 1,6657. Dalam hal ini dipengaruhi adanya komposisi jenis dan jumlah individu fungi makro pada plot pengamatan di tegakan benih Dipterocarpacae Taman Nasional Sebangau. Wahyuni (2002), menyatakan bahwa kekayaan jenis sebagai indikator keanekaragaman dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jumlah individu fungi makro pada setiap plot pengamatan. Nilai keragaman (H’) pada kedua lokasi penelitian menunjukkan nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan Nilai keragaman Maksimal (H’maks). Hal ini dipengaruhi oleh
56
proposi individu fungi makro di antara fungi yang ada atau kelimpahan relatif. Fungi makro yang mempunyai kelimpahan relatif tinggi pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting adalah : Polyporus spp, Tremestes spp, Russula spp, Gamoderma spp dan Phylloporus spp. Untuk tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Sebangau adalah Polyporus spp, Ganoderma spp, Clitocybe spp, Xylaria spp, dan Ascocorine spp. Jumlah fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting diperoleh 23 genus, 56 jenis dengan 414 individu. Pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Sebangau jumlah fungi makro diperoleh 13 genus, 33 jenis dengan 296 individu. Dalam penelitian ini diperoleh pula fungi makro berdasarkan atas identifikasi dari
Keanekaragaman Fungi Makro Pada Tegakan Benih Dipterocarpaceae Di Taman Nasional Tanjung … (Massofian Noor dan Amiril Saridan)
beberapa literatur dan manfaatnya untuk tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting adalah: a. Sebagai penghancur serasah: Collybia spp dan Coprinus spp (5,55 %). b. Sebagai penghancur kayu : Polyporus spp, Ganoderma spp, Xylaria spp, Tremestes spp, Sterium spp, Fomitopsis spp, Auricalpium spp, Phylloporus spp, dan Phellinus igniarius (62,07 %). 3). Fungi sebagai bahan makanan (Clitocybe sp, Clitocybe ectypoides, Sarcoscypha coccinia, Auricularia auriculata dan Hygrocybe coccinea (6,76 %). 4). Sebagai simbion dengan pohon Dipterocarpaceae: Clitocybe sp, Leccinum halopus, Russula lacteolata, Boletus enodensis, Amanita rubescen, Russula lepida, Amanita sp1, Russula grevipes, Amanita vica, dan Russula euborneorolata (16,43 %). 5). Fungi sebagai penurun obat deman dan sakit ulu hati : Tulostoma simulans (1,93%). Untuk manfaat fungi makro yang diperoleh di tegakan benih Dipterocarpaceae Taman Nasional Sebangau berdasarkan atas beberapa literatur dan identifikasi jenis fungi makro adalah : a. Fungi sebagai penghancur serasah : Marasmius sp (2,70 %). b. Fungi sebagai penghancur kayu ( Polyporus spp, Polyporus tulipiferae, Ganoderma spp, Coriolus spp, Xylaris spp, Fomes fomentarius, Fomitopsis spp, dan Ischnoderma resinosum (81,76%). c. Fungsi sebagai bahan makanan : Clitocybe ectyopoides, Ascocoryne sarcoides, dan Clitocybe sp1 ( 12,16 %).
d. Fungi sebagai simbion dengan pohon Dipterocarpaceae (Boletus enodensis, Clitocybe ectypoides, Lactarius spp 1, Clitocybe revulosa, Clitocybe sp 1, dan Amoroderma sp 1(4,39 %). e. Fungi sebagai bahan campuran obat (tidak ditemukan). Kemerataan (E) jenis fungi makro di Taman Nasional Sebangau lebih besar bila dibandingkan dengan kemerataan (E) jenis fungi makro di Taman Nasional Tanjung Puting, yaitu diperoleh sebesar E= 1,2684 untuk Taman Nasional Sebangau dan E= 0,1925 untuk Taman Nasional Tanjung Puting, yang mengidentifikasikan adanya konsentrasi jumlah individu fungi makro pada beberapa jenis tertentu. Hal ini disebabkan oleh proporsi individu fungi makro yang tidak tersebar merata di antara seluruh fungi makro yang ditentukan pada masing-masing lokasi penelitian. Untuk mengetahui kemerataan (E) jenis fungi makro pada kedua tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah di lakukan Uji- t dan tingkat kesamaan jenis menggunakan indeks Morishita (CmH). Berdasarkan hasil perhitungan tersaji pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan jenis fungi makro di kedua lokasi tidak berbeda nyata, relatif sama. Untuk nilai kesamaan Morisita Horm (CmH) diperoleh 1,31 % atau satu lebih yang mengindikasikan bahwa komposisi jenis fungi makro pada kedua plot pengamatan kurang lebih sama menyebar.
Tabel 3. Indeks kesamaan (E) fungi makro pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah Table 3. The evenes indiexs of macro fungy in forest seed stand of Dipterocarpaceae Tanjung Puting Nasional Parks and Sebangau Nasional Parks in Central Kalimantan Plot pengamatan (Plot activity) Taman Nasional Tanjung Puting Taman Nasional Sebangau
Sumber: diolah dari data primer.
Rataan (Average) 0,1925 1,2684
T- tabel (T-table) 2 -
T-hitung (T-value) 0,1953 -
Signifikasi (5%) (Significancy) (5%) Not significant (NS)
57
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 53-62
Tabel 4. Keadaan iklim makro di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah Table 4. The macro climate condation for boht area of Tanjung Puting Nasional Park and Sebangau Nasional Parks in Central Kalimantan Nomor (Number)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis Kegiatan (Activity)
Curah Hujan Intensitas Cahaya Kelembapan Udara Suhu Tanah Temperatur Udara Ketinggian Tempat
Sumber: diolah dari data primer.
TN. Tanjung Puting (Tanjung Puting National Park)
200-300 ml/h 20 Lux 78% 260C 320C 30 dpl
Keanekaragaman fungi makro yang diperoleh cukup bervariasinya jenis dan jumlah fungi makro yang ditemukan diduga berkaitan dengan keadaan iklim mikro dan ketinggian tempat di kedua lokasi penelitian diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 3 tersebut di atas, dimana iklim mikro pada kedua lokasi penelitian relatip sama, hanya kelembaban pada tegakan benih Taman Nasional Sebangau lebih tinggi, bila dibandingkan dengan tegakan benih Taman Nasional Tanjung Puting. Hal ini disebabkan pada tegakan benih Taman Nasional Sebangau keadaan hutan belum terganggu oleh aktipitas penebangan, sedangkan pada tegakan benih Taman Nasional Tanjung Puting bekas penebangan. Pengaruh iklim ini dapat mempengaruhi keberadaan fungi makro pada kedua lokasi penelitian. Selain elemen seperti tersebut di atas Tabel 4. Juga dipengaruhi oleh faktor tipe tanah dan jenis pohon yang ada. Seperti di kemukakan oleh Smits ( 1994), bahwa keberadaan fungi makro di pengaruhi oleh sifat tanah dan jenis pohon atau pegetasi yang ada. Jumlah jenis maupun individu fungi makro yang diperoleh pada tegakan benih Dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting lebih banyak yaitu 23 genus 56 jenis dengan 414 individu bila dibandingkan dengan tegakan benih Taman Nasional Sebangau, yaitu 13 genus, 33 jenis dengan 296 individu. Akan tetapi Nilai keanekaragaman fungi makro (R) di Taman Nasional Sebangau jauh lebih besar diperoleh 58
TN. Sebangau (Sebangau National Park)
300-400 ml/h 15 Lux 86% 250C 300C 52 dpl
R= 5,2483, dan Taman Nasional Tanjung Puting indeks Kekayaan jenis (R) hanya = 1,6657. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Jumlah fungi makro yang diperoleh pada tegakan benih Dipterocarpaceae Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah rata-rata adalah 18 genus 44 jenis dengan 335 individu, yang terdiri dari: Fungi makro sebagai penghancur serasah (4,13%), penghancur kayu (71,91%), sebagai bahan makanan (9,46%), simbion dengan dipterocarpaceae (10,41%), dan sebagai penurun obat deman dan sakit ulu hati (0,96%). Pengaruh kelembaban udara dapat mempengaruhi keanekaragaman fungi makro pada kedua areal penelitian tersebut. Dominansi jenis fungi makro pada kedua lokasi penelitian, umumnya didominansi oleh fungi makro antara lain: olyporus spp, Tremestes spp, Russula spp, Ganoderma spp, Phylloporus spp, Clitocybe spp, Xylaria spp, dan Fomitopsis spp. Hasil Uji-t tingkat keragaman jenis fungi makro pada kedua lokasi penelitian diperoleh tidak berbeda nyata, dimana T- tabel 2 > T- hit 0,1953, sedangkan nilai kesamaan Morishita (CmH) sebesar 1,31 atau lebih, mengindentifikasikan penyebaran fungi makro pada kedua lokasi penelitian menyebar.
Keanekaragaman Fungi Makro Pada Tegakan Benih Dipterocarpaceae Di Taman Nasional Tanjung … (Massofian Noor dan Amiril Saridan)
B. Saran Hasil keanekaragaman jenis fungi makro di Taman Nasional Tanjung Puting dan Taman Nasional Sebangau di peroleh fungi makro potensial yang dapat dikembangkan sebagai bahan inokulun untuk mempercepat pertumbuhan anakan meranti yaitu; Russula lepida, Russula grives, Russula lecteolata, Russula euborneorolata, Leccinum holopus, Amanita vica dan Amanita rubescen.
Ludwig, J.A and G. Reynolds. 1988. Statiscal Ecology. Wiley Interscience Publication John Wiley and Sons. Toronto. H. Hal.60-67. Nonis, U. 1982. Mushroom and toadstools. A colour field guide. David and Charles, London. Hal. 229. Noor, M. 2002. Keanekaragaman jamur ektomikoriza pada areal hutan bekas terbakar dan tidak terbakar di Hutan Lindung Sungai Wain Kota Madya Balikpapan. Tesis Program Pasca sarjana Universitas Mulawarman. Samarinda.
DAFTAR PUSTAKA
Marji, D. dan Noor, M. 2005. Biodiversity Assessment. Gunung Lumut Protecton Forest. Tropenbos Internasional Indonesia Program
Bigelow, H.E. 1979. Musrhroom pocket field guide. Hal.117. Macmilan Publishing Co. Inc,New York.
Noor, M. 2010. Keanekaragaman fungi Makro Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Balikpapan.
Breitenbach, J. and F. Kranzlin. 1991. Fungi of Switzerland. Boletes and agarics. Mycologia Lucerne, Switzerland. Hal.361.
User, G. 1979. Dictionary of Botany. Constable. London. Hal.480.
Bresinsky, A and H. Besl. 1990. A colour atlas of poisonous fungi. Wolfe Publishing Ltd, London. Hal.295. Imazeki, R.; Y. Otani and T. Hongo. 1988. Nihon no kinoko. Yama-kei Publishing Ltd., Tokyo. Hal.623. Julich, W. 1988. Dipterocarpaceae and mycorrhizae. Special Issue, GFG Report of Mulawarman University Vol.9. Hal.103. Kusmana, C. 1997. Metode survey vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Laessoe, T. And G. Lincoff. 1998. Mushroom. Dorling Kindersley Ltd., London. Hal.304.
Pace, G. 1998. Mushroom of the world. Firefly Books Ltd., Spain. Hal.310. Philllips, R. 1981. Mushrooms and other fungi of Great Britain & Europe. The most comprerhensively illustrated book on the subject this century. London. Smits, W.T.M. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae and Regeneration. PhD Thesis, Wageningen Agricultural University, The Netherlands. Hal.242. Wahyuni. 2002. Studi Keanekaragaman dan Penyebaran Jenis Burung Untuk Pengembangan Rekreasi Alam di Kebun Raya Samarinda Lempake, Provinsi KalimantanTimur. Tesis program Pascasarjana Universitas Mulawarman Samarinda. Hal. 123.
59
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 53-62
Lampiran Tabel 1. Tabel 1. Dominansi fungi makro yang ditemukan pada tegakan benih dipterocarpaceae di Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah Table 1. The dominancy of fungy macro was pounding in seed stand of dipterocarpaceae in Tanjung Puting Nasional Park in central Kalimantan Nomor (Number) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48.
60
Jenis(Species) Phellinus igniarius Polyporus sp 1 Ganoderma sp 1 Collybia sp 1 Coprinus sp 1 Polyporus sp 2 Polyporus sp 3 Hygrocybe coccinea Polyporus sp 4 Polyporus sp 5 Microporus sp 1 Clitocybe sp 1 Xerocomus sp 1 Ganoderma sp 2 Phylloporus hodoxanthus Polyporus sp 6 Tremestes sp 1 Polyporus sp 7 Microporus sp 2 Leccinum holopus Russula luteolacta Boletus enodensis Ganoderma sp 3 Polyporus sp 8 Amanita rubescen Clitocybe ectypoides Russula lepida Polyporus sp 9 Polyporus sp 10 Microporus sp 3 Tulostoma simulan Ganoderma sp 4 Marasmius sp 1 Polyporus multycalour Collybia sp 2 Microporus sp 4 Sarcoscypha coccinea Aucularia auriculata Xylaria polymorpha Polyporus sp 11 Polyporus sp 12 Amanita sp 1 Polyporus sp 13 Hygrocybe sp 2 Tremestes sp 2 Polyporus sp 14 Polyporus sp 15 Amanita sp 2
Pamili (Family) Hymenochaetaceae Polyporaceae Ganodermataceae Tricolomataceae Coprinaceae Polyporaceae Polyporaceae Hygrophoraceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Tricolomataceae Boletaceae Gonodermataceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Bolutaceae Russulaceae Bolutaceae Ganoderrmataceae Polyporaceae Amanitaceae Tricholomataceae Russulaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Tolustonataceae Ganodermataceae Marasmiaceae Polyporaceae Tricholomataceae Polyporaceae Sarcoscyphaceae Auriculariaceae Xylariaceae Polyporaceae Polyporaceae Amanitaceae Polyporaceae Hygrophoraceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Amanitaceae
Tempat Tumbuh (Habitate) Kayu mati Kayu mati Kayu mati Serasah Serasah Kayu mati Kayu mati Serasah Kayu mati Kayu mati Rting kayu Th. Organis Akar kayu Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Akar kayu Th. Organis Akar kayu Kayu mati Kayu mati Th .organis Kayu mati Th. Organis Kayu mati Kayu mati Akar kayu Kayu mati Kayu mati Akar kayu Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Th. Organis Kayu mati Akar phn Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Th.organis
Jumlah (Sum) 4 5 5 7 5 8 30 4 5 10 3 6 6 3 18 4 6 7 6 10 6 5 3 15 4 10 4 12 10 3 8 15 3 7 8 6 4 4 6 3 5 4 3 4 30 4 5 4
Dominansi (Dominancy) 6,8965 8,6206 8,6206 12,0689 8,6206 13,7931 51,7241 6,8965 8,6206 17,2413 5,1724 10,3448 10,3448 5,1724 31,0344 6,8965 10,3448 12,0689 10,2413 17,2413 10,3448 8,6206 5,1724 25,8620 6,8965 17,2413 6,8965 20,6896 17,2413 5,1724 13,7931 25,8620 5,1724 12,0689 13,7931 10,3448 6,8965 6,8965 10,3448 5,1724 8,6206 6,8965 5,1724 6,8965 51,7241 6,8965 8,6206 6,8965
Keanekaragaman Fungi Makro Pada Tegakan Benih Dipterocarpaceae Di Taman Nasional Tanjung … (Massofian Noor dan Amiril Saridan)
Nomor Jenis(Species) (Number) 49. Russula grivipes 50. Auriscalpium sp 1 51. Polyporus xanthopus 52. Polyporus sp 15 53. Tremestes sp 3 54. Polyporus sp 16 55. Stereum sp 1 56. Fomitopsis penicola 57. Xylaria sp 1 Jumlah 23 genus,56 jenis
Pamili (Family) Russulaceae Hydnaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Stereaceae Polyporaceae Xylariaceae
Tempat Tumbuh (Habitate) Th.organis Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati
Sumber: diolah dari data primer.
Jumlah (Sum) 25 4 3 6 3 6 12 3 5 414
Dominansi (Dominancy) 43,1034 6,8965 5,1724 10,3448 5,1724 10,3448 20,6896 5,1724 8,6206
Lampiran Tabel 2. Tabel 2.
Table 2.
Dominansi fungi makro yang ditemukan pada tegakan benih dipterocarpaceae di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah The dominancy macro fungy was pounding in seed stand of Dipterocarpaceae in Sebangau Nasional Park in Central Kalimantan
Nomor Jenis (Number) (Species) 1. Polyporus sp 1 2. Boletus enodensis 3. Clitocybe ectypoides 4. Xylaria polymorpha 5. Polyporus sp 2 6. Polyporus sp 3 7. Lactarius sp 1 8. Polyporus sp 4 9. Ganoderma sp 1 10. Polyporus sp 5 11. Ganoderma sp 2 12. Ascocoryne sarcoides 13. Clitocybe rivulosa 14. Polyporus sp 6 15. Ganoderma sp 3 16. Clitocybe sp 1 17. Polyporus sp 7 18. Xylaria sp 1 19. Polyporus sp 8 20. Fomitopsis sp 1 21. Polyporus sp 9 22. Coriolus sp 1 23. Polyporus tulipiferae 24. Amoroderma sp 1 25. Fomes fomentarius 26. Fomitopsis sp 2 27. Ischmoderma resinosum 28. Polyporus sp 10 29. Ganoderma sp 4 30. Polyporus sp 11 31. Marasmius sp 1 32. Polyporus sp12 33. Ganoderma sp 5 Jumlah 13 genus, 33 jenis Rataan
Sumber: diolah dari data primer
Pamili (Family) Polyporaceae Bolutaceae Tricolomataceae Xylariaceae Polyporaceae Polyporaceae Russulaceae Polyporaceae Ganodermataceae Polyporaceae Ganodermataceae Ascocorynaceae Tricolomataceae Polyporaceae Ganodermataceae Tricolomataceae Polyporaceae Xylariaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Polyporaceae Ganodermataceae Polyporaceae Polyporaceae Hapalopilaceae Polyparaceae Ganodermataceae Polyporaceae Tricolomataceae Polyporaceae Ganodermataceae
Tempat tumbuh (Habitate) Kayu mati Akar kayu Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Akar kayu Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Th. Arganis Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Kayu mati Serasah Kayu mati Kayu mati
Jumlah (Sum) 8 5 12 8 6 15 5 12 8 10 5 14 14 20 3 10 8 6 30 4 18 10 16 3 5 6 3 6 4 3 8 5 6 296 8,9696
Dominansi (Dominancy) 2,6845 1,6778 4,0268 2,6845 2,0134 5,0335 1,6778 4,0268 2,6845 3,3557 1,6778 4,6979 4,6979 6,7114 1,0067 3,3557 2,6845 2,0134 10,0671 1,3422 6,0402 3,3557 5,3691 1,0067 1,6778 2,0134 1,0067 2,0134 1,3422 1,0067 2,6845 1,5778 2,0134 99,2275 3,0068
61
JURNAL Penelitian Dipterokarpa Vol. 7 No. 1, Juni 2013: 53-62
62
PETUNJUK BAGI PENULIS
NOTES FOR AUTHORS
BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan abstrak dalam bahasa Inggris. FORMAT: Naskah diketik diatas kertas A4 pada satu permukaan dengan satu spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3 cm. JUDUL: Judul dibuat tidak lebih dari dua baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantumkan di bawah judul. ABSTRAK: Abstrak dibuat tidak lebih 250 kata berupa intisari permasalahan secara meneyluruh, dan bersifat informative mengenai hasil yang dicapai. KATA KUNCI: Kata kunci dicantumkan di bawah abstrak TABEL: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dengan bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing- masing menunjukkan nilai pecahan/ decimal dan kebulatan seribu. GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris DAFTAR PUSTAKA: Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan nama pengarang, tahun terbit, judul pustaka, media (Vol., No., Hal.), penerbit dan kota penerbit
LANGUAGE: Manuscripts must be written in Indonesia with English Abstract. FORMAT: Manuscripts should be typed single spaced on one face of A4 white paper 3 cm margin should be left all side. TITLE: Title must not exceed two lines and should reflect the content of the manuscript. The author’s name follows immediately under the title. ABSTRACT: Abstract must not exceed 150 words, and should comprise, informative essence of the entire content of the article. KEYWORDS: Keywords should be written following a abstract. TABLE: Title of tables and all necessary remarks must be written both in Indonesian and English. Tables should be numbered. The uses of comma (,) and point (.) in all figures in the table indicated a decimal fraction, and a thousand multiplication, respectively. LINE DRAWING: Graphs and other line drawing illustrations must be drawn in high contrast black ink. Each drawing must be numbered, title and supplied with necessary remarks in Indonesia and English. PHOTOGRAPH: Photographs submitted should have high contrast, and must be supplied with necessary information as line drawing. REFERENCE: Reference must be listed in alphabetical order of author’s name with their year of publications, publisher, and the place of published.
CONTOH PENGUTIPAN BUKU: Steel, R. G. D, & J.H. Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistic. Mc. Graw-Hill Book Co. Inc. New York. JURNAL: Beck, A. T., Epstein, N., Brown, G., & Steer, R. A. (1988). An inventory for measuring clinical anxiety: Psychometric properties. Journal of Consulting and Clinical Psychology, Vol.56, Hal.893–897. JURNAL ONLINE: Wheeler, D. P., & Bragin, M. (2007). Bringing it all back home: Social work and the challenge of returning veterans. Health and Social Work, Vol.32, Hal.297-300, diambil dari http://www.naswpressonline.org PROSIDING: Herculano-Houzel, S., Collins, S. E., Wong, P., Kaas, J. H., & Lent, R. (2008). The basic nonuniformity of the cerebral cortex. Proceedings of the National Academy of Sciences Vol.105, Hal.12593-12598.