KepadaYth, Tim Gabungan Pemerintah Indonesia dan MDBs untuk FIP
Terimakasih atas respon yang diberikan terhadap surat kami tertanggal 16 Maret 2012 yang menanggapi hal-hal prosedural terkait dengan draft Rencana Investasi Kehutanan (FIP). Tetapi ada beberapa hal yang ingin kami klarifikasikan dan tekankan kembali.
Secara umum surat jawaban dari Tim Gabungan Pemerintah Indonesia dan MDBs untuk FIP terkesan basa-basi saja dan tidak menjawab substansi permasalahan yang kami sampaikan. Keterbatasan waktu dan persoalan teknis yang anda sampaikan seharusnya tidak dijadikan alasan karena keberagaman karakteristik, pengetahuan dan kapasitas pemangku kepentingan kehutanan merupakan fakta yang harusnya telah dipertimbangkan Tim Gabungan. Karena itu, keberadaan dokumen dalam bahasa Indonesia dan bahasa lokal adalah bersifat mutlak secara empirik dan logis, maupun sesuai dengan kebjakan Bank Dunia dan ADB sendiri, sebagaimana yang kami kutip di bawah ini ;
WB Policy on Access to Information[1] menyatakan bahwa ada 5 Guiding Principles:
• Maximizing access to information. • Setting out a clear list of exceptions. • Safeguarding the deliberative process. • Providing clear procedures for making information available. • Recognizing requesters’ right to an appeals process.
Dan masih dalam pembukaan kebijakannya, World Bank menyatakan dalam poin 2: As the Bank has long recognized, a sound, open access to information policy is fundamental to fulfilling its many roles.
• As a development finance institution, the Bank strives to be transparent about its projects and programs (particularly with groups affected by its operations), to share its global knowledge and lessons of experience with the widest possible audience, and to enhance the quality of its operations by engaging with a broad range of stakeholders.
Bahkan dalam translation frameworknya,[2] World Bank menyatakan: Documents, publications, and web content that address country- Region- and project-specific information. Harus menyediakan bahasa yang: National/local languages as appropriate—for example, the national language of a country, local languages used within a country, and/or language(s) understood by the people affected by, or likely to be affected by, a project.
Dan menurut PCP ADB[3] yang berlaku saat ini, di paragraf 74 dinyatakan bahwa: “To facilitate dialogue with affected people and other individuals and organizations, information about a public or private sector project or program under preparation (including social and environmental issues) shall be made available to affected people. ADB shall work closely with the borrower or project sponsor to ensure information is provided and feedback on the proposed project design is sought, and that a focal point is designated for regular contact with affected people. This should start early in project preparation, so that the views of affected people can be adequately considered in project design, and continue at each stage of project or program preparation, processing, and implementation. ADB shall ensure that the project’s or program’s design allows for stakeholder feedback during implementation. ADB shall ensure that relevant information about any major change to project scope is also shared with affected people. “ Jelas bahwa di dalam kebijakan ADB dinyatakan bahwa: “available to affected people” means available in an appropriate form, manner, and language and at an accessible location to be understandable to affected people.
Hal tersebut harus menjadi prasyarat dasar di semua tahapan proyek, dan ketersediaan dokumen dalam bahasa yang dimengerti masyarakat, terutama masyarakat potensi terkena dampak harus tersedia sebelum proses konsultasi dilaksanakan. Kami juga menenekankan bahwa masyarakat adat dan atau lokal memiliki hak untuk menyepakati atau menolak proyek yang ditawarkan, secara bebas dan tanpa paksaan, menurut prinsip Free, Prior, and Informed Consent.
Kami tahu bahwa pada saat ini, dokumen dalam bahasa indonesia sudah tersedia di dalam situs Anda. Akan tetapi ketersediaan dokumen tersebut tetap tidaklah mencerminkan itikad baik dalam proses pelibatan publik terutama masyarakat potensi terkena dampak.
Perlu kami sampaikan disini bahwa Indonesia telah memiliki UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan jaminan hukum bagi setiap warga Negara Indonesia untuk memperoleh informasi publik dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sehingga apa yang kami persoalkan bukan terbatas pada keterbatasan bahasa saja akan tetapi hak publik atas informasi yang berkaitan dengan proyek terkait.
Kedua, mengenai waktu yang diberikan kepada publik untuk memberikan komentar, terima kasih sudah mempertimbangkan untuk membatalkan deadline tanggal 18 Maret dan memperpanjang sampai dengan dua minggu setelah dokumen versi bahasa Indonesia diposting di situs Kementrian Kehutanan. Namun seperti yang sudah kami singgung sebelumnya, durasi waktu dua minggu itupun masih tidak memadai bagi publik, karena tuntutan kami adalah membuat prosedur yang ramah bagi publik dan jelas dapat diakses oleh masyarakat terutama masyarakat yang berpotensi terkena dampak proyek. Jaminan akses informasi, ruang diskusi, maupun ruang bagi masyarakat untuk menyatakan menerima atau menolak dalam setiap tahapan proyek (termasuk dalam proses pembuatan dokumen) adalah SYARAT MUTLAK sebelum penjadwalan penerimaan komentar.
Perlu diperhatikan, pesan yang kami terima adalah bahwa program ini dijalankan oleh Tim Gabungan Pemerintah Indonesia dan MDBs untuk FIP, namun garis koordinasi dan tanggung jawab program ini sangat tidak jelas dan tidak terbuka untuk publik. Hal ini membuat akuntabilitas dan tanggung jawab program menjadi dipertanyakan. Keterbatasan area komunikasi hanya melalui email
[email protected] sama sekali tidak mencerminkan garis tanggung jawab, tanggung gugat, serta itikad baik untuk menjaring publik secara luas. Kami paham bahwa persiapan program ini telah melewati sejumlah konsultasi yang dilakukan di daerah dan di tingkat nasional dengan berbagai pemangku kepentingan. Kami dapat membaca dalam dokumen draft FIP tersebut, runtutan peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama proses penyusunan berlangsung, termasuk peran serta dan yang dilakukan DKN. Tetapi, hal yang kami tuntut adalah analisa lebih lanjut dari masukan yang diberikan oleh Kamar Masyarakat dan Kamar LSM DKN maupun masukan yang diperoleh dari “serial konsultasi” dimaksud. Sekali lagi kami ingin menekankan bahwa substansi masukan kedua kamar maupun masukan lainnya belum menjadi referensi secara substantif dalam dokumen tersebut.
Berkaitan dengan relasi antara FIP dengan Strategi Nasional REDD+, memang kami sudah kami lihat penjabarannya di dokumen FIP. Namun yang kami tanyakan adalah sejauh mana dan bagian mana kontribusi konkrit yang akan diberikan oleh FIP terhadap proses Strategi Nasional yang saat ini sedang berlangsung serta konsekuensi kelembagaannya Seandainya, FIP mendukung Strategi Nasional pengurangan emisi nasional 26% maupun 41%, apa langkahlangkah yang dilakukan FIP yang secara langsung mencapai target tersebut. Kami tidak melihat pertimbangan dan perhitungan tersebut. Yang kami dapati dalam dokumen ini adalah pengulangan substansi Strategi Nasional seperti persoalan tenure, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, tanpa langkah-langkah konkrit. Tidak ada yang lebih konkrit dari dokumen ini selain misi investasi Bank Dunia, ADB dan IFC. Kami sulit menemukan apakah semua rencana FIP memang berkontribusi dalam pengurangan emisi sebesar 26% atau 41% atau semata-mata untuk melapangkan jalan investasi karbon di Indonesia. Karena itu, kami sekali lagi kami tekankan dan desakkan kepada Tim Gabungan Pemerintah Indonesia dan MDBs untuk FIP agar: 1. Segera disediakan dokumen dalam Bahasa Indonesia dan bahasa lokal berdasarkan letak lokasi proyek yang direncanakan. 2. Memperpanjang batas waktu kepada publik untuk memberikan pandangannya terhitung sejak tersedianya draft dalam Bahasa Indonesia dan atau bahasa lokal yang disebarkan ke publik. Durasi waktu ini mempertimbangkan apakah waktu dua minggu cukup untuk menjamin keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal. 3. Harus ada ruang bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk terlibat secara penuh, dengan memperhatikan kebutuhan khusus kelompok rentan (seperti perempuan, anak-anak, serta lansia). Dimana prosesnya harus menyediakan ruang dan membuka kesempatan bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk turut memberikan pendapat dan pandangannya dengan terlibat dalam diskusi atas draft ini. Harus ada jaminan kebebasan tanpa intimidasi dan atau paksaan bagi mereka untuk menerima atau menolak. 4. Ketersediaan dokumen tidak hanya melalui website, tetapi harus juga secara aktif merengkuh partisipasi masyarakat lokal melalui berbagai prosedur partisipasi. Prosedur ini harus diketahui oleh masyarakat secara luas terutama masyarakat lokaldengan memperhatikan kebutuhan khusus kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan lansia. 5. Hasil konsultasi dan partisipasi publik yang dilakukan secara luas dan genuine harus menjadi referensi utama dalam seluruh proses FIP, termasuk pembuatan dokumen. 6. Mengingat FIP mengklaim diri sebagai dokumen nasional, maka dokumen draft FIP ini harus memperjelas relasi dan posisinya dengan Strategi Nasional yang sedang dibangun oleh SATGAS REDD+. Sehubungan dengan hal-hal diatas maka kami minta, keseluruhan proses yang terkait FIP ditangguhkan sampai terjadinya sinkronisasi yang jelas dengan proses pembentukan Strategi
Nasional yang benar-benar bisa menjamin terselamatkannya hutan Indonesia yang tersisa dan adanya perbaikan tatakelola di sektor kehutanan. Tertanda: Signatories; 1.
HuMa
2.
debtWATCH Indonesia
3.
BIC
4.
WALHI
5.
Greenpeace Indonesia
6.
ICEL
7.
KPSHK
8.
Sawit Watch
9.
AMAN
10. ELAW Indonesia
Endorsers: Organizations: Rainforest Foundation Norway CNCD- 11.11.11, Belgium 11.11.11, Belgium NGO Forum on ADB, Philippines Friends of the Earth, United States Water Initiatives Odisha, India
INSAF, India Both Ends, Netherlands Jubilee Australia, Australia Water and Energy Users' Federation-Nepal (WAFED) Pakistan Fisherfolk Forum, Pakistan Mitra LH Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah Aliansi Perempuan Sulawesi Tenggara (ALPEN SULTRA) Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), Jakarta YMP Palu WALHI Kalteng Perkumpulan Punan Arung Buana Pusaka, Jakarta JIKALAHARI, Pakanbaru Institut Hijau Indonesia, Indonesia Institute of Essential Services Reform, Indonesia
Individuals: Souparna Lahiri, India Rato Dominikus, Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember Khalisah Khalid, Indonesia Julia, Kalimantan Copies:
Chairman SATGAS REDD+ Consultant Team