Kemuning Maria A Sardjono Sumber baca online: http://cerita-silat.mywapblog.com Convert dan edit teks: http://duniacerita.yu.tl Tatkala DEWO terpaksa menikahi gadis yg dihamilinya pacarnya wulandari merasa amat risi dan tertekan karena setiap orang di Tawangmangu merasa iba kepadanya. Harga dirinya sangat terluka oleh perhatian berlebihan itu karena sebenarnya dia bukan gadis rapuh yang patut dikasihani- Perlakuan orang orang di sekelilingnya itu. justru membuat Wulan merasa dirinya pecundang, orang yang terkalahkan dan tersingkirkan. Oleh sebab itulah ia tidak sudi menumpahkan air mata hanya untuk menangisi kekasih yang tidak setia. Tetapi ternyata Wulandari keliru. Menangis itu perlu. Karenanya ketika Eko mampu menyibak konflik yang ada di batinya, tangisnya pun akhirnya tumpah di atas dada laki-laki itu. dann dalam perjalanan waktu, keakraban mereka berkembang menjadi cinta yang tumbuh dengan suburnya. Persamaan kisah, minat. dan cara pandang mematrikan hati mereka berdua. Namun sayang, Tawangmangu bukanlah Jakarta. Kisah cinta antara Wulandari. anak pemilik perkebunan yang kaya raya, dan Eko, anak salah seorang mandor perkebunan itu sulit diterima oleh keluarga kedua belah pihak maupun oleh komunitas setempat Terlebih karena sistem nilai feodalisme begitu kuatnya dalam hierarki dunia perkebunan dan darah priyayi yg mengalir ditubuh wulandari terlalu kuat. Okh Maria A Sardjono CM 401 01 Ml Pencili PI CiranicJia PuMaka Ulama jl palmcmh Sclatan 24--26. Jakarta 10270 Dcsam A ilusira>i sampul oWl Dnya. Dan terutama alangkah puas hatiku bisa menikmati kembali betapa segarnya aroma kemuning malam hari di kampung halamanku ini. Dengan hati yang sama berbunganya dengan kemuning yang berjajar rapi di tepi pagar halaman, kuresapi aroma itu dengan menghirupnya kuat-kuat. Dan kemudian kedua belah lenganku ku-rentangkan lebar-lebar sambil berputar-putar di tengah halaman dan tersenyum gembira. "Mbak, turunkan barang-barangnya dulu. Kok malah berdansa sendirian seperti orang hilang ingatan." Masih duduk di balik kemudi, adikku Tita menegur dengan suara jengkel. Dimarahi adik. aku tidak kesal. Aku sungguh mengeni kejengkelannya. Kami berdua baru saja melalui perjalanan panjang dari Jakarta ke Solo dan berlanjut sampai ke Tawangmangu dengan mengemudi mobil secara bergantian. Dan sejak dari'tempat kami beristirahat untuk makan malam di kota Salatiga sampai di depan rumah orangtua kami di Tawangmangu ini, aku tertidur nyenyak seperti orang mati, dan baru terbangunn/ begitu sampai di tempat. Tita-lah yang mengemudi. Jadi kumengerti benar kejengkelannya terhadapku. "Oke, Non. sabarlah. " Aku tertawa menenangkannya. 'Tetapi tolonglah dimengerti saat ini aku sedang meresapi betapa senangnya kembali ke pangkuan tanah tumpah darah kita, kampung halaman tercinta ini." "Dan sebentar lagi juga ke pangkuan Mas Dewo, kan?" rasa jengkel Tita luntur. Dia menyeringai sambil
menyusul keluar dari mobil. 'Tetapi, sebelum bersenang-senang dengan kekasihmu itu urusilah barang-barangmu dulu. Berakit-rakitlah dahulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit-lah dahulu, bersenang-senang kemudian." "Gombal kau Tita!" Aku melotot. "Gombal atau bukan, sekali lagi kuingatkan urusilah barang-barangmu dulu." Tita mengancam. Tetapi air mukanya sama gembiranya denganku. Kembali ke rumah memang sangat menyenangkan. "Kalau tidak...?" "Kalau tidak, pintu mobilnya akan kukunci. Dan kuncinya akan kukantongiTita menyeringai lagi. Aku tahu betul, ancamannya itu cuma ancaman kosong belaka. Barang-barangnya juga masih dalam mobil. Tetapi dasar keberuntunganku sedang tiba. Se-belum aku mengangkat barang-barangku dari mobil seperti yang disuruh Tita, orang rumah sudah mendengar suara mobil masuk ke halaman. Mas Danu, kakak lelakiku itu, keluar dan langsung membantu membawakan koperkoper kami. Dan tak berapa lama kemudian, Yu Rapiah ikut keluar dan menolong membawakan barang-barang kami yang lain. Sementara itu di ambang pintu rumah yang terbuka lebar, Bapak dan Ibu berdiri memperhatikan semua kesibukan yang terjadi di hadapan mereka. Wajah keduanya tampak gembira dan lega. Aku mengerti betul perasaan mereka ketika melihatku dan Tita telah sampai ke rumah dengan selamat. Kemarin dulu melalui Ibu sebagai juru bicaranya, mereka sempat mengemukakan ketidaksetujuan mereka ketika kukatakan bahwa aku dan Tita akan pulang berdua saja. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa kami memilih pulang lewat jalur pantai Utara yang padat lalu lintasnya. "Kalian berdua tidak boleh pulang sendirian saja!" begitulah yang dikatakan ibuku kemarin dulu melalui telepon. Aku yakin betul, Bapak pasti sedang berdiri di belakangnya. Dan aku juga tahu betul apa alasan ketidaksetujuan mereka itu. "Biarkan mobilnya ditinggal. Bapakmu bisa menyuruh orang untuk mengambilnya kapan-kapan." "Kenapa tidak boleh. Bu?" Aku bertanya dengan nada menentang. "Karena kami berdua perempuan dan masih muda pula. Begitu, kan?" "Ya. Jelas sekali alasan itu, Wulan. Jarak perjalanan dari Jakarta ke Tawangmangu itu jauh sekali. Apalagi lewat kota Semarang. Jalur Utara padat sekali lalu lintasnya. Ada banyak bus, truk gandengan, mobil kontainer, dan macam-macam kendaraan besar lainnya. Dan kalian berdua masih gadis-gadis muda yang..." 'Tidak akan terjadi apa-apa, Bu" Aku memotong. "Secara umum. lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan mengemudi mobil yang sama. Dan secara individual, Ibu tahu bahwa aku dan Tita sudah bisa mengemudi sejak masih duduk di awal SMU. Sedangkan perjalanan antara Tawangmangu-Solo bukan hal baru bagi kami berdua. Dengan mata setengah terpejam pun kami bisa mengemudi bolakbalik antara kedua tempat itu." "Jangan sombong, Nduk." Ibu tertawa. "Sombong dan percaya diri merupakan sesuatu yang berbeda Iho, Bu." 'Ta sudahlah kalau begitu. Tetapi pesan Ibu dan Bapak, berhati-hatilah kalian di jalan. Dan jangan ngebut." "Baik, Bu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali supaya bisa tiba di tempat sebelum malam. Doakan agar perjalanannya lancar." 'Tanpa diminta pun, Ibu dan Bapak akan mendoakan kalian berdua. Dan jangan lupa
untuk menyampaikan salam hormat dan rasa terima kasih kami kepada keluarga Bapak Saleh atas kebaikan mereka. Enam tahun lebih hidup bersamamu dan empat tahun juga dengan Tita bukanlah waktu yang menyenangkan bagi mereka..." Ibu menghentikan bicaranya dan menggantikannya dengan suara tawanya lagi. Kali ini aku ikut tertawa, teringat bagaimana Bapak dan Ibu Saleh pernah mengeluh kepada Ibu tentang sulitnya mengawasi kami berdua. Banyak sekali teman kami yang datang silih berganti ke paviliun rumah mereka yang kami kontrak. Lelaki maupun perempuan. "Kedua putri Ibu itu termasuk populer dan di-sukai," kata mereka waktu Ibu datang menjenguk kami. 'Temannya banyak sekali. Saya harap Ibu jangan menyalahkan kami kalau kami tidak bisa mengawasi mereka dengan baik." "Jangan khawatir Bu Saleh. Mereka cukup mengetahui mana yang baik dan mana yang sebalik-nya. Buat saya yang penting, asal Bapak dan Ibu Saleh tidak merasa terganggu oleh mereka berdua." Begitu Ibu menanggapi perkataan Bapak dan Ibu Saleh waktu itu. "Dan kalau perlu, janganlah segan-segan menegur mereka. Perlakukan mereka seperti terhadap putri-putri BapakIbu berdua." Pada kenyataannya sebelum Ibu meminta Bapak dan Ibu Saleh supaya menganggap aku dan Tita seperti keluarga sendiri, mereka berdua telah memperlakukan kami dengan amat baik. Mereka juga menyayangi kami. Kala Bu Saleh, kehadirank:u dan Tita bisa menjadi obat penawar rindu kepada ketiga anak mereka yang telah menikah. Karena itu seandainya pun Ibu tidak memintaku untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga Pak Saleh. aku dan Tita pasti akan melakukannya sendiri. Terlebih jika itu dikaitkan dengan paviliun yang dikontrakkan mereka kepada kami berdua. Kami tahu, di kota Jakarta ini cukup sulit menemu-kan tempat kos yang nyaman seperti milik Pak Saleh itu. Tempatnya cantik dan bersih. Terdiri dari ruang tamu yang luas, satu kamar tidur yang juga cukup besar. Dapur mini yang menyenangkan merangkap ruang makan. Kamar mandinya juga bagus. Di depan, ada teras yang bisa diisi satu meja kecil dan dua buah kursi. Memang harga kontrakannya tergolong mahal. Tetapi tempat itu bukan saja menyenangkan dan nyaman untuk di-tinggali, tetapi juga memiliki beberapa kelebihan. Telepon, misalnya. Dan juga listrik. Sebab kami diperbolehkan memakai listrik melebihi yang se-harusnya untuk pengoperasian komputer sebagai sarana studi kami. Tetapi lebih dari semua itu, keluarga Pak Saleh-lah yang membuat kami berdua merasa amat kerasan tinggal di tempat itu. Singkat kata, rumah Pak Saleh ikut menjadi penunjang keberhasilan studi kami. Selama empat tahun lebih kuliah di Fakultas Psikologi dan dua tahun kemudian mengambil gelar sarjana strata dua di bidang yang sama, aku tak pernah pindah tempat. Bahkan kemudian Tita menyusulku ketika aku masuk semester lima di jenjang strata satuku waktu itu. Nasib juga membawanya harus kuliah di Jakarta seperti aku. Tetapi dia mengambil jurusan ekonomi. Dan seperti diriku pula. dia juga berhasil menyelesaikan kuliahnya di jenjang strata satu dalam waktu empat tahun. Begitulah, tadi pagi-pagi sekali kami pamit lagi kepada keluarga Pak Saleh. Mereka meminta kami berdua tidak memutuskan hubungan baik
yang telah terjalin selama beberapa tahun ini. Karena memang menyukai keluarga yang baik hati itu, permintaan mereka kami sambut dengan senang hati dan kami jadikan bekal di jalan. Maka dengan bekal itu pulalah aku dan Tita berangkat ke Tawangmangu pagi tadi jam enam lewat sepuluh menit. Dan jam setengah delapan kurang delapan menit malam ini. aku dan Tita sudah berada di halaman rumah orangtua kami. Dengan tertawa lebar, Bapak menyambut kami berdua. "Wulan, Tita, dengarkan perkataan Bapak," kata-nya kepada kami dengan suara penuh kasih. "Kali ini kalian pulang ke rumah bukan lagi sebagai mahasiswa yang sedang menjenguk kampung ha-lamannya. Melainkan sebagai sang pemenang yang pulang dengan membawa gelar sarjana." 'Terima kasih, Pak," aku menjawab senang. Cara Bapak berkata itu membuat diriku terasa begitu berarti. "Nah, sekarang kemarilah kalian berdua!" Bapak mengembangkan lengannya. Dengan senang hati ku dan Tita masuk ke dalam pelukannya. "Selamat datang kalian berdua. putri-putri kebanggaan Bapak' "Terima kasih. Pak. Setelah lepas dari pelukan Bapak, Ibu ganti memeluk dan menciumi pipi kami berdua ganti-berganti. "Setelah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, mudahmudahan kota kecil yang sepi dan agak jauh dari kota besar ini tidak membuat kalian menjadi bosan." katanya kemudian. 'Tidak, Bu." aku menjawab sambil menyeringai. "Kami datang justru untuk membuat kota ini tidak sepi lagi. Apalagi membosankan. Setidaknya, di rumah inilah!" Kami semua tertawa. Dan kemudian seperti biasanya kalau aku atau saudara-saudara kandungku baru pulang dari bepergian, malam itu pun Ibu menyuruh Yu Rapiah menyediakan air panas untuk mandi dan membuatkan kami minuman hangat. Maka begitulah sesudah mandi dan berganti pakaian yang enak dipakai, aku dan Tita menyesap minuman cokelat susu kami pelan-pelan di ruang keluarga yang luas dan terasa hening ini. Sementara itu Mas Danu, yang juga mendapat bagian se-cangkir cokelat susu yang sama, sedang menghirup minumannya itu sambil menonton televisi. Tetapi aku tahu seperti diriku dan Tita, dia juga menikmati kebersamaan kami. Suatu rasa kebersamaan yang juga kuresapi kemanisannya. Sebab kusadari sung-guh kini bahwa mulai malam ini aku dan Tita akan kembali menjadi bagian dalam keluarga ini lagi. Kehadiranku dan Tita telah melengkapi kesempurnaan keluarga yang semula pincang karena ketidakhadiran kami berdua. Paling tidak, itulah yang terjadi sebelum kami berdua menentukan ke mana kaki kami berikutnya akan melangkah nanti. Sebab bagiku, aku masih belum tahu apa yang akan kulakukan untuk hari esok dan lusa. Dengan bermacam pikiran yang simpang siur seperti itulah aku terdiam dan menikmati ke-heningan suasana di tengah keluargaku kembali. Sementara itu angin malam yang berembus masuk melalui jendela masih saja mengirimkan aroma wanginya bunga kemuning. Mengenai bunga itu pun pikiranku sempat singgah. Namanya bunga kemuning tetapi bunganya tidak satu pun yang berwarna kuning. Melainkan putih. Dan sempat kuperhatikan tadi, cahaya lampu taman
menyuguh-kan pemandangan yang indah. Kombinasi daun kemuning berwarna hijau dengan bunga-bunga berwarna putih yang bertaburan di atasnya, tampak sungguh mempesona. "Kenapa Wulan, kok diam saja?" tanya Ibu tiba-tiba. "Biasanya, kau paling banyak bicara." Pertanyaan Ibu yang tiba-tiba itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah perempuan yang amat kucintai itu. Cepat-cepat pertanyaannya ku-jawab untuk menyenangkan hatinya. "Pertama karena capai dan mengantuk, Bu. Kedua, karena udara malam yang dingin dan bersih ini membuatku jadi enggan bergerak. Sudah lama aku berada di kota yang panas dan berdebu, Bu. Sekarang aku ingin meresapi suasana ini. Lalu angin Segar Gunung Lawu yang dititipi aroma wangi kemuning dan juga secangkir minuman yang nikmat ini, membuatku merasa sangat bahagia," kataku sambil meletakkan cangkirku yang telah kosong. "Sungguh senang rasanya Wulan bisa berkumpul kembali dengan keluarga dalam suasana semanis ini. Suasana yang tidak bisa Wulan temukan di Jakarta. Terima kasih, Bu." "Terima kasih kembali, Wulan!" Ibu tersenyum manis'Tetapi meskipun demikian, sekarang sebaik-nya kau dan Tita segera beristirahat. Pasti kalian berdua lelah dan mengantuk." 'Tetapi Mbak Wulan lebih memerlukan istirahat daripada aku, Bu!" Tita menyela pembicaraan. "Kenapa?" Mas Danu yang bertanya. "Supaya besok pagi-pagi bisa langsung berlari ke rumah Mas Dewo!" Mengira perkataan Tita akan disambut dengan tawa dan goda oleh yang lain-lain, aku merasa heran tatkala melihat kenyataan yang kuhadapi. Ibu, Bapak, dan bahkan juga Mas Danu yang suka usil itu tidak berkomentar apa pun. Bahkan aku merasa, mereka bertiga sedang pura-pura tidak mendengar perkataan Tita. Menyadari itu, tiba-tiba saja hatiku merasa tidak enak. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Tetapi yang tidak beres itu apa, aku tidak bisa menduga sedikit pun. Jadi entahlah apa yang terjadi pada diri Mas Dewo. Sakitkah dia? Atau apa? Tetapi memang harus kuakui, sudah sebulan lebih aku dan Mas Dewo tidak mengadakan kontak dalam bentuk apa pun. Padahal biasanya setiap beberapa hari sekali kami saling berhubungan dengan telepon. Sebab memang, selama satu bulan lebih ini aku sendiri sedang disibukkan oleh ber-bagai macam hal selain menyempurnakan tesis dan lalu menyiapkan diri untuk ujian. Sedangkan untuk mengepak semua barangbarangku saja sudah menyita waktu dan tenagaku. Belum lagi waktu yang kupakai untuk mencari oleh-oleh buat sekian orang di sekitar rumah orangtuaku. Maka kupikir, Mas Dewo memang sengaja tidak menghubungiku karena dia ingin memberiku waktu untuk menyelesaikan semua itu. Kini sesudah firasat tak enak itu melintasi hatiku, aku tidak lagi menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kesibukanku menghadapi ujian maupun persiapanku pulang ke kam-pung halaman. Padahal tadi di sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Tawangmangu, aku mempunyai prasangka saat ini lelaki itu sedang merencanakan suatu kejutan untukku setelah satu tahun tidak bertemu dan sebulan lebih tidak bertukar berita. Aku yakin sekali dia sudah tahu bahwa hari ini aku dan Tita akan pulang dan tidak kembali lagi ke Jakarta. Menurut pengalaman yang
sudah-sudah, Ibu dan Yu Rapiah tak pernah bisa menyimpan berita kepulangan kami. Siapa saja yang mereka jumpai di jalan atau di pasar pasti mereka beritahu bahwa aku dan Tita pulang hari ini. Apalagi kepulangan kami kali ini untuk seterusnya. Kecuali tentu saja untuk menghadiri wisuda kami nanti. Jadi entahlah apa yang terjadi pada Mas Dewo sampai Bapak, Ibu. dan Mas Danu seperti sudah bersepakat untuk tidak menyinggung nama lelaki itu di hadapanku. Berpikir seperti itu, diam-diam aku melirik ke arah mereka bertiga. ingin membaca air muka mereka. Tetapi mataku malah bertabrakan dengan pandangan Tita. Rupanya adikku itu pun merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Sebab ku-lihat, sinar matanya mengandung tanda tanya yang besar. Sebenarnya pertanyaan yang ada di hatiku mau-pun di hati Tita itu bukanlah sesuatu yang mengherankan. Sebab biasanya Mas Danu sangat suka menggodaku kalau nama Dewo sudah mulai masuk ke dalam pembicaraan kami. Pipiku bisa menjadi merah padam dibuatnya. Tetapi malam ini, sepatah kata pun dia tidak memberi komentar atas perkataan Tita tadi. Sungguh, rasanya ingin sekali aku mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Namun karena aku sedang berada dalam keadaan lelah dan mengantuk, perasaan tak enak itu ku-singkirkan jauh-jauh dari hatiku. Aku tak mau memikirkannya. Setidaknya untuk malam ini saja. Aku ingin agar istirahatku malam ini tidak terganggu. Karena itulah sampai aku masuk ke kamar tidurku beberapa waktu kemudian. sepatah kata pun mengenai pertanyaan batin itu tak kuucapkan. Dan untunglah aku bisa tidur dengan cukup nyenyak. Udara pegunungan di Tawangmangu memang menyegarkan. Jauh sekali bedanya dengan udara pengap Jakarta yang panas dan berdebu. Selain itu. tubuhku dalam kondisi kecapekan. Jadi begitu kepalaku menyentuh bantal, aku langsung tertidur. Keesokan harinya pagi-pagi sekali waktu mata-hari masih berada di peraduannya, aku sudah bangun. Cepat-cepat aku meloncat dari tempat tidurku dan segera membuka jendela kamarku lebar-lebar. Sambil memandang halaman rumah kami yang luas dan masih tampak remang itu, aku bertumpu di bingkainya dan berlama-lama berdiri di situ. Aroma bunga kemuning lagi-lagi langsung menyerbu penciumanku. Sungguh menyegarkan. Baik diantar oleh angin malam maupun oleh angin pagi bersama sejuknya udara pegunungan, aroma itu selalu menyenangkan hatiku. Tak pernah sekali pun aku merasa bosan menikmatinya. Bunga kemuning dan aromanya yang khas itu sudah akrab dengan diriku. Bahkan menjadi bagian dari kehidupanku. Sudah sejak mulai belajar berjalan dua puluh lima tahun yang lalu, aku melihat pagar besi yang mengelilingi bagian depan halaman rumah kami itu tak pernah berdiri sendirian. Selalu diberi tirai jajaran kemuning dengan daunnya yang menghijau. Dan sering kali di antara daunnya yang hijau, bertaburan bunganya yang putih kecil-kecil dan beraroma wangi. Karenanya setiap aku berada jauh dari rumah dan membayangkannya dengan kerinduan, setiap kali pula kemuning ke-sayanganku ikut terbayang di pelupuk mataku. Dan bahkan serasa tercium olehku wangi bunga-nya.
Sungguh kebetulan sekarang ini aku pulang ke rumah pada saat kemuning sedang berbunga. Namun pagi ini aku terbangun tanpa perasaan damai yang biasanya kurasakan kalau mencium udara segar beraroma wangi kemuning. Aku tahu apa sebabnya. Pikiranku mulai dipenuhi lagi oleh pertanyaan-pertanyaan di seputar Mas Dewo yang belum terjawab ini. Dan firasat tak enak yang semalam kurasakan. kini semakin menebar ke seluruh relung balinku. Sangat tidak enak rasanya. bagaimanapun juga hari ini adalah hari pertamaku berada di kampung halaman. Suara pintu dibuka seseorang, membuyarkan lamunanku. Saat menoleh aku melihat Tita sedang melangkah masuk ke kamarku sesudah menutup pintunya kembali. Tubuhnya masih terbalut baju tidur yang sudah pudar warnanya. Tetapi aku yakin sekali, baju itu termasuk baju tidurnya yang paling nyaman dipakai. Dan karenanya sering dicuci sehingga memudarkan warnanya. Aku juga memiliki beberapa baju tidur kesayangan yang sudah pudar warnanya. Bahkan karena seringnya dicuci, ada yang sudah tipis kainnya. Tetapi dipakai untuk tidur, bukan main nyamannya. "Mbak, apa acaramu hari ini?" Begitu masuk. gadis itu langsung melontarkan pertanyaan sambil mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurku. "Mencuci mobil, lalu ke rumah Dini." "Daripada mencuci mobil dan mengunjungi sahabat masa kecilmu yang baru punya bayi lagi itu, tidakkah lebih baik kalau kau menjumpai Mas Dewo?" Mendengar pertanyaannya, aku menatap air muka Tita. Dari pandangan matanya, aku tahu dia sedang memancing reaksiku. Karenanya aku menyeringai sebab pancingannya berhasil. "Kalau saranmu kuiyakan Ta, apa jawabanmu?" Aku ganti memancingnya. "Aku tidak akan banyak memberimu komentar kecuali lakukan saja apa yang dikatakan oleh suara hatimu. Yang penting Mbak, buanglah dulu apa yang mengganjal hatimu. Caranya, dengan mencari sumber masalahnya." "Oke. Tetapi aku mau berkuda ke Gerojogan Sewu dulu." Pikirku, usul Tita boleh juga. Namun pergi ke air terjun Gerojogan Sewu merupakan kebutuhan batin yang harus kupenuhi lebih dulu. Di tempat itulah aku biasa mencari ketenangan dan kedamaian bila perasaanku sedang tidak enak. "Pagi-pagi begini tempat itu belum buka. Mbak." Tita mengingatkan. "Ah, seperti kita ini tidak kenal siapa penjaganya sih?" Aku menaikkan alis mataku. "Apalagi di sana aku cuma mau mencari damai. Masa iya aku dilarang masuk." "Terserah. kalau begitu." Tita mengangkat tubuhnya. Kini dia duduk bersila di atas tempat tidurku itu. 'Tetapi aku pesan padamu. jangan lama-lama di sana Iho, Mbak. Nanti kalau kau tidak kelihatan saat sarapan, orang rumah pasti menanyakanmu. Dan siapa lagi yang mereka tanyai kalau bukan aku." "Kehilangan diriku saat sarapan bukanlah hal baru bagi mereka. Ta." Aku menyeringai lagi. "Betul. Siapa sih yang tidak tahu kelakuanmu yang suka nganeh-nganehi. Contohnya, saat orang lain
mengelilingi sarapan. kau malah mengelilingi sawah. Dari sawah yang satu ke sawah yang lain hanya untuk mencari belut." Dulu di masa awal remajaku, aku memang suka sekali mencari belut dan kemudian menyuruh pembantu rumah tangga untuk membuatkan keripik belut yang renyah hasil perburuanku itu. Biarpun Ibu marah-marah dan lalu membelikanku sekilo keripik belut agar aku tidak keluyuran di sawah. tetap saja aku sering menghilang pada pagi hari. Ibu tidak tahu bahwa bagiku bukan belut itu yang kuinginkan. tetapi petualangan yang kualami. Pernah aku harus memukul mati seekor ular yang kukira belut. Pernah pula pagi-pagi sekali ketika hari masih remang aku naik ke punggung bukit yang terjal hanya untuk mengambil tanaman liar yang indah. Entah daunnya yang bagus, entah pula bunganya yang cantik. Yang penting bisa kubawa pulang lalu kutanam di muka jendela kamarku untuk kupandangi keindahannya. Hanya untuk hal-hal semacam itu saja aku telah mempertaruhkan keselamatanku tanpa mengingat perasaan ibuku. Apa yang terjadi seandainya aku jatuh ter-gulingguling dan mengalami patah tulang tanpa seorang pun yang melihatku? Tapi hal itu tak terpikirkan olehku. Yah, aku dulu memang tidak memiliki akal yang panjang. Ada-ada saja ulahku. Teguran orangtua hampir-hampir tidak masuk ke telingaku. Kini diingatkan oleh Tita pada kejadian yang sering terjadi dulu di masa awal remajaku, aku tertawa geli. "Nah jika sudah tahu begitu, apa keberatanmu kalau aku pergi sekarang?" tanyaku kemudian sesudah bayang-bayang masa lalu itu kusingkirkan. "Aku pribadi sih tidak merasa keberatan, Mbak. Tetapi pagi ini kan hari pertama kita kembali di rumah ini. Aku tidak ingin Bapak dan Ibu merasa cemas." Tita menjawab dengan serius. Aku menatap tajam mata Tita. "Ta. aku merasa ada sesuatu yang sebetulnya ingin kaukatakan kepadaku," kataku kemudian. "Ya. kan?" Tita tidak bisa menjawab perkataanku dengan segera sehingga aku semakin merasa yakin bahwa memang ada sesuatu yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya yang cantik itu. "Berterusteranglah Tita, kau pasti mempunyai pikiran yang sama seperti yang ada di kepalaku ini mengenai Mas Dewo. Ya, kan?" "Ya." Akhirnya Tita berterus terang sesudah menarik napas panjang. Aku juga menarik napas panjang. Sejak kami berdua merantau ke Jakarta untuk sama-sama menuntut ilmu, hubungan dekat kami berdua semakin terasa kekentalannya. Ada banyak persamaan nasib di antara kami. Ada banyak pula persamaan perasaan di antara kami berdua jika menghadapi suatu peristiwa. Lebih-lebih belakangan ini ketika kami sama-sama sedang menghadapi persoalan yang serupa. Dia menyusun skripsi untuk gelar sarjana strata satunya dan aku menyusun tesis untuk meraih gelar sarjana strata dua. Sering kali kami bangun tidur menjelang pagi sesudah berdiskusi tentang pekerjaan kami masing-masing. Dan rupa-nya sekarang pun setelah kembali ke rumah orang-tua kami, Tita masih tetap memperlihatkan kedekatannya denganku. Masalah Mas Dewo menjadi perhatiannya juga. "Rupanya Bapak. Ibu. dan Mas Danu menyimpan sesuatu mengenai Mas Dewo. Aku
langsung dapat menangkapnya," kataku kemudian. "Ya, aku juga merasakan hal yang sama." Tita menganggukkan kepalanya. "Karenanya kalau kau sampai tidak kelihatan pada saat sarapan nanti, Bapak dan Ibu pasti merasa cemas." "Bisa kubayangkan itu," sahutku. "Tetapi biar saja ah." Tita ganti menatapku. Kemudian dengan hati-hati dia mengeluarkan pertanyaan yang sesungguhnya juga menjadi pertanyaan batinku. "Apa kira-kira yang terjadi pada Mas Dewo ya Mbak?" gumamnya. "Sakit? Pindah dari Tawang-mangu atau apa?" "Firasatku lebih buruk dari itu, Ta." "Jangan menebak-nebak dulu, Mbak. Nah, sana. sekarang pergilah untuk mencari udara segar. Tapi jangan lama-lama." Sambil mengatakan hal itu, Tita menyelinap keluar dari kamarku. meninggalkan sarannya itu untukku. "Baru sesudah itu mencari berita tentang dia. Setelah mandi dan sarapan nanti, aku akan menemanimu mencari berita." Kuanggukkan kepalaku. Kemudian sesudah menggosok gigi, kutukar gaun tidurku dengan celana jins dan kaus longgar berwarna merah yang kulapisi dengan sehelai jaket. Berkuda di Tawangmangu pada pagi hari begini, dinginnya sungguh terasa sampai ke tulang. Jaket akan melindungiku dari sengatan rasa dingin itu. Setelah mengenakan jaket. kuraih pula topi lebarku yang sudah hampir satu tahun lamanya hanya tersangkut saja di kapstok. Baru kemudian sesudah merasa siap tempur aku melangkah keluar. Langkah kakiku langsung menuju ke kandang tempat Bapak menyimpan delapan ekor kuda kami. Kuda-kuda itu biasa dipergunakan oleh pegawai Bapak untuk mengawasi perkebunan. Kalau hari libur, kuda-kuda itu dipergunakan untuk menambah penghasilan dengan menyewakannya kepada para turis. Baik turis domestik maupun turis dari manca negara. Kuda-kuda Bapak termasuk kuda yang bagus dan sehat. Secara berkala Bapak memeriksa-kan kuda-kuda itu ke dokter hewan setempat. Dan karenanya, kuda-kuda milik Bapak tampak lebih menarik untuk ditunggangi. Mendengar derit suara pintu kandang dibuka, Pak Kirman salah seorang pegawai Bapak yang tidur di kamar dekat salah satu gudang, keluar dengan tergopoh. "Lho. Den Wulan sudah datang to!" la menegur-ku dengan sikap ramah dan air muka gembira Aku mengenal Pak Kirman sudah sejak aku masih amat kecil. "Saya kira siapa tadi yang datang ke sini pagipagi begini. Bagaimana kabarnya. Den?" "Kabar baik. Pak Man. Maaf Iho Pak, aku telah membangunkanmu." "Saya sudah bangun sejak tadi kok." Pak Kirman menurunkan kain sarungnya yang semula membungkus seluruh tubuhnya. Kini sarung itu dipakai-nya dengan cara yang semestinya. "Den Wulan mau berkuda ke mana dan apa tidak capek sesudah seharian kemarin mengarungi perjalanan panjang?" "Setelah tidur nyenyak semalam suntuk, aku sudah segar kembali kok, Pak Man. Apalagi aku cuma mau berkuda di dekat-dekat sini saja. Dan tidak akan lamalama." Aku menjawab sambil tertawa manis.
Pak Kirman dan istrinya yang tidak mempunyai anak perempuan, sangat menyayangiku. Apa pun yang kuinginkan, selalu dikabulkan mereka. Apalagi Pak Kirman tak pernah tega melihat tangisku. Kalau aku minta mainan yang dipikul penjual keliling dan permintaanku ditolak ibuku, aku sering lari ke tempat Pak Kirman. Dengan diam-diam dia mengambil uang dari saku celana komprangnya yang berwarna hitam dan dibelikannya aku mainan yang kuinginkan itu. Entah itu sebuah kitiran dari kertas warna-warni, entah pula kupu-kupu beroda dua terbuat dari kaleng yang diberi gagang panjang. Kalau gagangnya didorong, sayap kupu-kupu itu akan naik-turun dan berbunyi klik-klak-klik. Dan seperti mainanku yang lain yang juga dibelikan oleh Pak Kirman, kupu-kupu itu kusimpan di rumahnya. Kalau kubawa ke rumah. ibuku pasti akan menanyakan dari mana aku mendapatkan mainan itu dan Pak Kirman akan dimarahi ibuku. Setelah aku menjadi besar, kasih Pak Kirman dan istrinya kepadaku tidak juga berubah. Kalau dia mendengar aku pulang untuk berlibur, ada saja makanan yang dikirimkan Mbok Kirman untukku dan Tita. Dia masih ingat, aku paling suka makanan apa pun yang dibuat dari singkong. Dan kebetulan, dia memang ahlinya membuat makanan yang terbuat dari singkong. Gethuk, sawut, kue kacamata, lemet, jongkong, keripik, baiung kt4\vuk goreng, atau cuma singkong goreng biasa. Tetapi meskipun digoreng biasa, singkong goreng Mbok Kirman gurih, empuk. dan enak. Katanya. sebelum digoreng. singkong itu dikukus dulu dengan bumbu-bumbunya. "Tetapi hati-hati lho Den. Jangan berkuda ke tempattempat yang banyak kabutnya." Pak Kirman berjalan di sampingku. "Aku tidak akan berkuda di lereng bukit kok. Pak." "Itu bagus. Memang sebaiknya berkuda di jalan aspal saja." "Ya." "Den Wulan mau naik kuda yang mana?" Lelaki tua, yang masih tampak kekar dan gagah karena sejak mudanya banyak mempergunakan tubuh dan ototnya untuk bekerja itu, membuka pintu kandang. "Si Bawuk saja, Pak." Aku memilih kuda yang paling
kukenal. "Baik. Akan saya pasangkan pelananya." "Nanti pulang dari berkuda, aku akan menjenguk Mbok Kirman. Ada sedikit oleh-olehku untuknya. Dan juga ada sesuatu untuk Pak Man." "Kok repot-repot /o. Den." "Apanya yang repot sih, Pak?" Aku tertawa. "Uangnya juga bukan uangku kok. Tetapi uang kiriman Bapak yang kupakai untuk membeli oleh-oleh. Aku kan belum berpenghasilan sendiri." Pak Kirman ikut tertawa. "Mudah-mudahan sesudah jadi sarjana dan pandai. Den Wulan akan mendapat pekerjaan yang bagus dengan gaji setumpuk," katanya kemudian. "Amin." Aku tersenyum manis. 'Terima kasih atas doanya." Sesudah pamit Pak Kirman, aku langsung menunggang si Bawuk, kuda yang paling sering kutunggangi. Kemudian perlahan-lahan aku keluar dari pekarangan yang membatasi halaman rumah Bapak dengan tanah perkebunannya yang luas itu menuju ke arah Gerojogan Sewu. Tempat itu adalah salah satu tempat di Tawangmangu yang selalu kurindukan. Bagiku, tempat itu bukan cuma sekadar tempat rekreasi belaka. Tetapi merupakan tempat pelarianku kalau sedang menghadapi masalah. Di tempat itu pulalah aku sering duduk untuk menikmati kesendirianku. Gerojogan sewu adalah nama air terjun di daerah Tawangmangu yang pada hari libur ramai dikunjungi orang. Untuk menuju ke tempat itu, orang harus turun melalui anak tangga yang jumlahnya banyak sekali. melingkar-lingkar. Kalau beruntung, kita bisa melihat monyet-monyet jinak bergelantungan di antara pepohonan di sekitar tempat itu. Monyet-monyet itu lucu-lucu. Ada yang sibuk bermain cermin dan mengagumi wajahnya sendiri. Ada yang menunggu lemparan makanan dari pengunjung. Di beberapa tempat perhentian yang teduh oleh banyaknya pepohonan, dibuat dangau-dangau untuk istirahat bagi mereka yang merasa lelah naik atau turun tangga. Di tempat itu orang bisa mendengar berbagai macam suara burung dan jeritan monyet yang suaranya memantul berbaur dengan gemuruh-nya suara air terjun. Kalau memejamkan mata, duduk di situ rasanya seperti sedang berada di hutan belantara. Ke tempat rekreasi itulah pagi itu aku pergi dengan menunggang si Bawuk yang bulunya cokelat kehitaman. Di pagi hari yang baru merekah itu arloji yang melilit pergelangan tanganku menunjuk pukul enam lewat sembilan menit, Seperti yang kukatakan kepada Pak Kirman tadi aku memilih lewat di tepi jalan raya untuk menghindari jalan-jalan yang tidak rata. Tetapi sebagai akibatnya, aku sering berjumpa dengan para pedagang yang lalulalang di tempat itu. Mereka berjalan cepat sekali sambil memikul atau menggendong dagangan mereka. Pisang, jeruk, ubi, jagung. sayuran. jajanan pasar, dan lain sebagainya. Se-bagian besar di antara mereka menuju ke arah pasar. Sebagian lainnya menuju ke penginapan-penginapan yang tersebar di tempat itu untuk menjajakan dagangan mereka. Seperti yang sudah kuduga, di sepanjang perjalanan menuju Gerojogan Sewu itu ada saja orang yang menegur atau menyapaku. Dan seperti biasa-nya pula, wajah mereka selalu tampak manis jika berhadapan dengan siapa pun yang termasuk anggota keluarga Bapak.
"Lho, sudah kembali ke Tawangmangu lagi to Den Wulan..." begitu mereka menyapaku dengan ramah. "Kapan sampainya di sini?" Atau, "Pagi-pagi begini mau berkuda ke mana. Den? Apa tidak kedinginan?" Ada juga yang menanyakan keadaan Bapak dan Ibu. Dan aku menanggapi setiap sapaan itu dengan sama ramahnya, sadar bahwa mereka adalah bagian dari kehidupanku dan terutama kehidupan keluargaku. Mereka bukan hanya sekadar tetangga atau kenalan belaka. Tetapi lebih dari itu. Bapak memiliki warisan berwujud tanah perkebunan yang luas dari kakekku. Sebagai anak tunggal meskipun Bapak bertugas di Solo, tanah warisan itu tetap dirawatnya baik-baik. Dengan menggaji sejumlah orang, Bapak melanjutkan usaha pertanian kakekku. Dulu di tahun lima puluhan dan enam puluhan, jeruk, arbei, dan pisang merupa-kan usaha terbesarnya. Dan jeruk keprok dari perkebunan kakekku itu termasuk primadonanya. Buahnya besar-besar dan manis. Jeruk-jeruk itu dikirim ke Jakarta dan ke kota-kota besar lainnya. Hampir semua orang di daerah Tawangmangu tahu keluarga kami. Sekarang sesudah jeruk tidak lagi menjadi primadona, kebun kami juga ditanami berbagai macam tanaman yang cukup menguntungkan. Bunga-bungaan, tanaman hias, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sesudah Bapak pensiun dan menetap penuh di Tawangmangu ini, usaha tersebut semakin berkembang. Dan meskipun sudah menjadi pumawirawan, pangkatnya yang Brigjen Angkatan Darat itu tetap saja menjadi salah satu alasan mengapa Bapak dihormati orang. Untuk orang desa, pangkat seperti itu dianggap hebat. Sudah begitu. karena orang tahu bahwa dalam tubuh Bapak mengalir darah bangsawan tinggi yang bagi orang Solo dan sekitarnya juga merupakan alasan untuk menghormatinya. Di sini, sistem feodalisme masih belum lenyap seluruhnya. Namun meskipun demikian, sesungguhnya Bapak bukan dihormati karena pangkat dan kebangsawanannya itu tetapi terutama karena kemampuannya untuk turun tangan sendiri memajukan daerah di sekitar perkebunannya. Ada beberapa kebun buah dan jagung milik orang lain yang semula kembang-kempis tetapi kini tampak maju setelah dipelopori oleh Bapak, baik dalam cara penanamannya, penanganan hamanya, dan akhirnya juga pemasarannya. Di Tawangmangu seperti yang sudah kukatakan tadi, Bapak memang termasuk orang terpandang. Dan sebagai anaknya, aku kena cipratannya. Di mana-mana aku sering dihormati dan disapa dengan ramah. Sesekali aku merasa bangga juga menjadi putri Bapak. Tetapi pagi ini aku ingin menyendiri. tak ingin disapa orang. Karenanya sesudah disapa beberapa kali oleh orangorang yang berjumpa denganku di jalan. cepat-cepat aku membelokkan kudaku masuk ke jalan-jalan kecil yang sepi untuk menghindari mereka. Dan sesampai di muka pintu gerbang Gerojogan Sewu, kutambatkan kudaku dan menitipkannya kepada penjaganya. "Saya cuma sebentar saja kok, Pak. Bayar tidak?" tanyaku sambil tersenyum. Tidak usah. Wong belum dibuka kok." "Kalau begitu, uang ini untuk beli rokok saja," kataku sambil menyelipkan dua lembar uang lima ribuan ke tangannya.
Jumlah yang cukup banyak untuk orang desa yang kehidupannya penuh dengan kesederhanaan. Penjaga itu mengucapkan terima kasih dengan wajah berseri-seri. Dan aku langsung turun melalui ratusan anak tangga yang melingkar-lingkar. Suara berbagai macam burung dan monyet di kejauhan menimbulkan suasana tersendiri di hatiku. Dan semakin ke bawah, semakin suara-suara itu dibauri oleh gemuruhnya suara air terjun yang konon kata orang tingginya sekitar seribu meter sehingga di-sebut Gerojogan Sewu. Soal kebenarannya, tak seorang pun berani memastikannya. Tetapi memang airnya terjun dari tempat yang amat tinggi. Kuangkat wajahku dan kutatap bukit-bukit ber-hutan di sekelilingku. Kalau bukan lahir di daerah itu. pasti gentar juga hatiku berada sendiri saja dan mendengar berbagai macam suara seperti itu. Di daerah datar dekat Gerojogan Sewu, aku duduk di atas sebuah batu besar di dekat sungai. Kutatap air terjun yang menimbulkan suara gemuruh dan bergema di lembah yang menghijau ini. Berada seorang diri dan dikelilingi bukit-bukit berhutan seperti itu memang bisa membuat hati orang terasa tercekam. Tetapi aku tidak takut. Tempat itu sudah sangat akrab denganku. Aku bahkan sangat menikmati kesendirianku berada di tengah-tengah alam yang indah itu dan berlama-lama di situ sampai aku lupa waktu dan pada janjiku kepada Tita untuk pulang cepat. Di tempatnya yang agak terbuka. Kutatapi embun-embun yang berkilauan di ujungujung rumput dan di atas daun-daunan yang mulai memancarkan pelangi nuansa warna cahaya mentari pagi. Dan kuhirup udara bersih yang sedemikian melimpahnya terhidang di sekelilingku. Ah, kalau saja orang Jakarta menyadari bahwa mereka telah kehilangan keindahan dan kebersihan udara seperti yang sekarang ini sedang kunikmati dengan sebebasbebasnya.... Masihkah mereka akan mengotorinya dengan berbagai macam sampah limbah pabrik, asap kendaraan. Melakukan penebangan pohon dan penggundulan bukit. dan menggantikannya dengan lapangan golf atau gedung-gedung tinggi yang tak memberi naungan sejuk sebagai-mana halnya dengan pepohonan di sekitarku ini? Dengan hati senang kuangkat wajahku menatap perbukitan yang mengurungku di tempat itu. Suara yang ditimbulkan tumpahnya air dari atas itu menimbulkan suasana tersendiri yang tidak kutemukan di tempat lain. Tetapi meskipun saat itu aku sedang tenggelam dalam pesona sedemikian itu, toh hadir-nya seseorang di dekatku masih bisa kutangkap dengan perasaanku dan dengan segera merenggutku dari suasana yang tak pernah membosankan itu. Aku menoleh. Darahku jadi tersirap begitu melihat kehadiran Mas Dewo yang tidak kusangka-sangka itu. Dia berdiri di bawah pohon dan menatapku tanpa berkedip. Dalam keadaan sehat dan segar. Tidak ada tanda-tanda dia dalam keadaan sakit seperti salah satu dugaanku. Aneh rasanya. Dengan cara yang tak kumengerti apa sebabnya, tiba-tiba saja aku merasa ada semacam jurang lebar yang memisahkan kami berdua. Rasanya, kedekatan yang telah terjalin selama tiga tahun di antara kami berdua itu telah terurai lepas. Bahkan rasa asing mulai menyelinap ke hatiku tatkala pandang mataku bertubrukan dengan matanya yang masih terus menatapku tanpa berkedip itu. Merasa tertekan oleh perasaan aneh yang selama ini tak pernah kurasakan terhadap lelaki yang berdiri di hadapanku itu, aku berusaha menguasai keadaan yang tak menyenangkan itu dengan lebih dulu menyapanya.
"Halo Mas Dewo..." "Halo, Wulandari..." Lelaki itu menjawab sapaanku dengan suara lembutnya yang sudah amat kukenal. "Apa kabar?" "Kabar baik, Mas." Aku menjawab kaku. Mendengar sapaannya kubalas, Mas Dewo melangkah pelan-pelan dan mendekati tempatku duduk. Kemudian dengan sikap canggung dia menyusulku duduk di atas batu yang tak jauh dari tempat aku duduk. Sama sekali tidak ada peluk dan cium sebagaimana biasanya kalau kami lama tak bertemu. Betul-betul aneh rasanya. Sebab kurasakan sungguh, ada yang telah berubah di antara kami berdua. Bukan hanya dalam hal kekakuan basa-basi yang terucap dari mulut kami tadi saja, tetapi juga pada seluruh sikap kami. "Kebetulan tadi pagi aku melihatmu lewat di depan wartelku." Kudengar lelaki itu menjelaskan tentang kehadirannya itu. "Lekas-lekas aku menyusulmu dengan motor dari kejauhan. Dan ku-tunggu sampai beberapa saat kemudian baru aku menyusulmu turun..." Aku tidak menjawab sebab tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk menanggapi penjelasannya itu. Apakah perlu kutanyakan mengapa dia menyusulku sampai kemari, misalnya. Jadi kutunggu saja apa lanjutan bicaranya. Apalagi aku baru saja mendengar tentang usahanya membuka wartel. Selama ini tak sepatah kata pun dia menceritakan tentang wartelnya itu kepadaku. Sepertinya, aku ini orang lain saja baginya. Padahal aku adalah kekasihnya. Setidaknya. belum ada kata-kata yang diucapkan secara jelas bahwa hubungan kami berdua telah putus. Karena aku tidak memberi komentar apa pun, maka seperti yang sudah kuduga tadi, Mas Dewo melanjutkan lagi bicaranya. "Wulan, pasti kau sudah mendengar berita itu..." katanya kemudian. "Berita yang mana lagi?" Aku bertanya dengan suara di hidung. Ingin kuberi kesan padanya seolah aku sudah tahu berita itu. Tetapi sebenarnya aku tidak tahu apaapa. Apakah dia akan menceritakan usaha wartelnya itu? "Jangan pura-pura tak tahu, Wulan." Mas Dewo berkata tak sabar. "Kabar mengenai perkawinanku tiga minggu mendatang sudah ramai dibicarakan orang. Pasti berita itu sudah sampai ke telingamu sebelum kedua belah kakimu menapak kembali di bumi Tawangmangu ini." Aku tak sanggup berkata apa pun. Darahku tersirap lagi. Bahkan rasanya bumi di sekitarku ini sedang berguncang keras seperti sedang terjadi gempa bumi dengan kekuatan yang paling besar. Dan semua yang ada di sekitarku seperti runtuh menimpa kepalaku. Tetapi meskipun demikian dengan seluruh'sisa kekuatanku yang masih ada, aku berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa terkejut-ku. "Ya, aku sudah mendengar itu..." dustaku beberapa saat kemudian. Sakit sekali dadaku ketika aku mengucapkan perkataan itu. "Wulan, aku... aku menyesal sekali kenapa semua ini harus terjadi padaku. Ketidakhadiranmu di dekatku membuatku sering merasa kesepian. Jumlah waktu perjumpaan kita tidak banyak. Dan tiga tahun bukan
waktu yang sebentar..." "Ya, aku menyadari itu," aku memotong perkataannya. "Selama tiga tahun ini kita hanya ber-jumpa sekitar lima kali saja." "Itulah, Wulan. Acap kali aku merindukanmu..." Mas Dewo mendesah. "Nah, kau ingat pada Titik, kan?" "Ya." Hm, siapa yang tidak ingat kepada Titik. Gadis manis yang orangtuanya memiliki rumah makan di dekat pasar itu sangat tergila-gila kepada Mas Dewo yang memang ganteng dan menjadi pemuda idaman di daerah ini. "Dalam kesepianku itu, dia berhasil membuatku lupa diri sehingga otakku tak bisa diajak berpikir sehat..." Suara Mas Dewo terdengar menggeletar... "Sebagai akibatnya, dia... dia mengandung. Dan aku harus mempertanggungjawabkan apa yang telah kami lakukan. Aku sungguh sangat menyesal dan..." "Sudahlah. Itu tidak penting lagi buat kita berdua," aku memotong perkataannya dan menekan rasa mual yang tiba-tiba menyerangku. Dadaku sampai terasa sesak karenanya. Jadi inilah jawaban dari semua pertanyaan yang menggoda batinku sepanjang malam dan pagi ini. 'Tetapi aku ingin mohon ampun kepadamu, Wulan. Aku benar-benar menyesali semua peristiwa ini sebab tak terpikirkan olehku bahwa ternyata kesala han yang tak kusengaja itu bisa berakibat besar seperti ini. Sering kali aku sangat marah kepada diriku sendiri. kenapa aku bisa terjatuh begini. Padahal hatiku seratus persen masih ada padamu..." "Cukup, Mas. Aku tidak ingin membicarakannya lebih jauh." Dengan susah payah aku memotong lagi perkataannya. Perasaanku saat itu sangat kacau. "Ambil saja hikmahnya, Mas. Bahwa kita berdua tidak berjodoh." "Wulan, kalau saja sekarang ini keadaannya masih sama seperti tahun lalu pastilah hari ini akan kita isi dengan acara kangen-kangenan..." suara Mas Dewo terdengar semakin menggeletar. Kulirik, matanya tampak basah. Tetapi sedikit pun hatiku tidak tersentuh. "Jangan bermimpi yang bukan-bukan. Realistis-lah, Mas. Jadi, silakan tinggalkan aku sendirian. Aku tidak ingin ada orang yang membicarakan pertemuan ini sebagai sesuatu yang telah kita rencanakan." 'Tetapi Wulan..." "Pergilah, Mas. Jaga nama baikku. Jaga nama baikmu juga. Kau adalah calon pengantin. Masa iya sekarang menjumpai seorang gadis yang baru kembali dari Jakarta. Jadi, mengertilah itu dan pergilah. Tinggalkan aku sendiri!" Kali itu Mas Dewo yang sudah kenal betul sifatku yang tak bisa ditawar dalam hal-hal yang menyangkut prinsip hidupku, terpaksa berdiri dari tempatnya duduk. Kemudian sesudah pamit dengan suara pelan dan nada sedih, dia pergi meninggalkan tempat yang pernah menjadi tempat kenangan bagi kami berdua ini. Aku menarik napas panjang. Kemenanganku pulang membawa gelar sarjana strata dua, runtuh berkepingkeping. Harapan-harapan yang berkembang dalam hatiku di sepanjang perjalanan kemarin tentang diriku dan Mas Dewo, hancur berserakan. Dan sebagai gantinya, rasa gagal dan sia-sia mulai menyebar ke seluruh batinku. Lambatlambat, na-mun sakit sekali
rasanya. Angan-angan yang melintas di kepalaku kemarin untuk segera memberi Mas Dewo isyarat agar dia mempersiapkan ke-luarganya untuk meminangku, hilang musnah tanpa bekas. Maka mulai hari ini, aku harus mengubah seluruh rencana hidupku di masa depan. Nama Mas Dewo harus kucoret dari tempatnya semula. Dan masa depanku nanti, sama sekali tak ada lagi kaitannya dengan lelaki itu. Kalau kukatakan bahwa pengkhianatan Mas Dewo tidak mempengaruhi perasaanku, itu adalah suatu dusta. Sebab sampai beberapa waktu lamanya sejak lelaki itu meninggalkanku duduk sendirian di Gerojogan Sewu itu, hatiku sangat sakit. Apa pun alasannya, Mas
Dewo telah menghapuskan begitu saja seluruh relasi kami berdua. Bahkan juga relasi kedua belah pihak keluarga kami, seolah semua itu tak ada artinya. Tahun-tahun yang telah kami untai bersama-sama seperti menguap begitu saja seperti tak pernah terjadi. Tak pernah pula terbayangkan olehku bahwa akan begini akhir dari hubunganku dengan Mas Dewo. Padahal kami ber-pacaran sudah beberapa tahun lamanya. Dan se-belumnya pun kami telah berteman akrab. Bahkan sejak kecil pun kami sudah berteman. Mas Dewo dan Mas Danu kakak lelakiku, ber-sekolah di tempat yang sama. Sejak mereka duduk di SD di Tawangmangu ini sampai di SMA Karanganyar dan kemudian kuliah di Solo, mereka selalu bersama-sama. Meskipun Mas Danu kuliah di Fakultas Ekonomi dan Mas Dewo kuliah di Akademi Akuntansi, mereka tinggal di tempat kos yang sama. Dan jika hari Sabtu tiba, mereka berdua pulang ke Tawangmangu bersama-sama pula dengan mobil Mas Danu. Dan keakraban yang terjalin di antara keluargaku dan keluarga Mas Dewo semakin meningkat ketika akhirnya Mas Dewo dan aku menjadi sepasang kekasih. Namun harus kuakui bahwa hubunganku dengan Mas Dewo bukanlah hubungan yang penuh dengan keindahan dan keromantisan. Aku sudah terlalu biasa dan terlalu akrab dengannya. Namun memang hanya dia sajalah satu-satunya lelaki yang memiliki banyak kecocokan dengan diriku. Setidaknya se-belum aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku ke jenjang yang lebih tinggi setelah aku berhasil meraih gelar kesarjanaan strata satu. Dua tahun yang lalu waktu aku mengatakan kepada Bapak mengenai niatku melanjutkan kuliah, Mas Danu segera mengajakku bicara empat mata. "Apa yang ingin kaukatakan kepadaku, Mas?" Aku bertanya setelah kami hanya berdua saja. "Aku hanya ingin tahu, apakah rencanamu itu sudah kaupikirkan matang-matang, Wulan." Begitu dia menjawab pertanyaanku waktu itu. 'Tentu saja sudah, Mas!" Aku menjawab dengan suara pasti. "Kau mengerti betul sifatku yang selalu ingin tahu dan ingin maju itu, kan?" "Ya, aku memang mengerti itu. Tetapi apakah rasa ingin tahu dan rasa ingin maju itu hanya bisa diraih melalui bangku kuliah?" "Ya, pasti itu. Sebab aku ingin menjadi dosen dan meniti karier di bidang psikologi. Dan lebih daripada itu, aku ingin mencoba untuk membedah buku-buku pegangan yang selama ini dipakai di bidang psikologi. Untuk itu kan harus ada orang-orang yang membimbingku, Mas!" "Ya, aku tahu itu. Tetapi sebetulnya apa alasan-mu yang sebenarnya?" "Sederhana saja kok, Mas. Mataku mulai melihat bahwa selama ini kita telah terbiasa memakai teoriteori psikologi milik orang Barat sebagai tolak ukur untuk menganalisa semua hal yang menyang-kut masalah kejiwaan. Nah, apa sudah akuratkah itu? Dapatkah itu menjadi pegangan bagi seluruh dunia? Tidak adakah perbedaan cara pandang antara dunia Barat dan dunia Timur, misalnya? Dan juga setelah banyak membaca buku-buku acuan mengenai psikologi perkembangan termasuk proses perkembangan pembentukan konsep diri seseorang, aku melihat ada banyak keberpihakan bersifat seksis yang condong pada sistem nilai milik laki-laki... Nah berdasarkan pemikiranpemikiran semacam
itu-)ah terbayang dalam anganku bahwa di suatu ketika nanti aku akan mengadakan penelitian tentang perkembangan psikis manusia terhadap beberapa suku besar yang ada di Indonesia. Dan juga aku ingin meneliti pengalaman perempuan dan laki-laki terhadap satu masalah urgen yang sama, untuk melihat segi kejiwaan mereka. Samakah cara mereka menyelesaikan masalah? Bedakah? Dan di mana yang sama dan di mana pula perbedaannya, ingin juga kuteliti. Lalu bagaimana pula prosesnya. Tentu yang ini untuk desertasiku menjadi doktor entah kapan di suatu saat nanti..." Suaraku terhenti oleh tawa Mas Danu. Jelas sekali ia sedang menertawakan perkataanku tadi. "Kenapa kau menertawakanku?" tanyaku kesal. "Sebab kau lucu, Wulan." Mas Danu masih saja tertawa. "Apanya yang lucu?" Aku mulai melototkan mataku. "Untuk kuliah di tingkat strata dua saja masih dalam rencana kok kau sudah memikirkan tingkat berikutnya. Dengan penuh semangat pula. Padahal dalam perkembangan waktu dan dengan bertambah-nya usia serta kematanganmu nanti, bisa saja kau lebih tertarik pada topik yang lain. Jadi jangan bermimpi dulu ah," katanya, juga masih sambil tertawa. "Nah, kembali ke soal semula tadi aku masih ingin tahu tentang tekadmu itu. Sekali lagi aku bertanya padamu, apakah keinginanmu untuk melanjutkan kuliah itu benar-benar sudah kaupikir-kan dengan matang?" Aku tidak ikut tertawa oleh keterangannya itu. Kutatap mata Mas Danu dengan pandangan tajam karena aku mulai mencurigai sesuatu. Sebab aku tahu betul kakak lelakiku itu tidak termasuk golongan orang yang suka mau tahu urusan orang. Sudah begitu, dia juga sangat mengenalku sebagai orang yang suka mempelajari hal-hal baru. Tetapi sekarang dia menanyakan hal itu sampai dua kali. Dan dalam tempo yang tidak begitu lama pula. "Apa sebenarnya yang ada di balik pertanyaanmu itu, Mas?" tanyaku kemudian dengan nada menyelidik. "Tolong katakanlah itu dengan terus terang. Kau mengenal watakku dengan baik. Aku tidak suka menghadapi teka-teki seperti ini!" "Begini, Wulan. Aku merasa entah apakah itu namanya firasat atau apa, silakan kaurenungkan. Tetapi yang jelas, belakangan ini aku sering menangkap sesuatu yang tersirat dari perkataanperkataan Dewo kalau kami sedang membicarakan dirimu. Nah, soal benar atau tidaknya penangkapan-ku itu, tugasmulah untuk menyibaknya. Jadi kurasa ada baiknya kalau kau mencoba melakukan saranku tadi. Renungkan masalah ini dengan sebaik-baiknya secara lebih mendalam dan..." "Apanya yang harus kurenungkan. Mas? Kau belum mengatakan apa-apa padaku. Jadi apa sebenarnya yang ingin kaukatakan kepadaku? Ayolah Mas, jangan berputar-putar saja." Aku memotong perkataan Mas Danu dengan perasaan jengkel. Dia sengaja menyeretku ke tempat yang terpencil dari pendengaran orang. tetapi isi bicaranya itu tidak jelas ujung maupun pangkalnya. Mas Danu menyeringai. "Oke, aku akan mengatakannya secara langsung dan lebih jelas," sahutnya kemudian. 'Tetapi sebelumnya aku ingin menanyakan satu hal lagi kepadamu, Wulan. Aku ingin tahu tentang rencana masa depanmu." "Masa depan yang mana, misalnya?" "Masa depanmu bersama Dewo, misalnya. Apakah dia masih menjadi prioritas urutan paling atas?"
"Ya, tentu saja." "Kalau begitu, inilah yang sebenarnya ingin kukatakan kepadamu, yaitu pikirkanlah sekali lagi tentang rencanamu melanjutkan kuliah. Apakah itu betul-betul merupakan keinginan hatimu. Artinya, itu bukan karena pengaruh sesaat oleh situasi ter-tentu, misalnya. Kalau memang demikian, urung-kanlah saja niatmu kuliah lagi. Sebab kalau tidak. kau akan mempertaruhkan hubunganmu dengan Dewo." "Pengaruh sesaat seperti apa misalnya, Mas?" Aku memotong lagi perkataan Mas Danu. "Misalnya. pengaruh keinginan hati untuk tetap terus menjadi seorang mahasiswa. Dengan berbagai alasannya, tentu saja. Mungkin hal itu disebabkan oleh pengaruh perasaan sentimentil karena kau belum mau berpisah dengan denyut kehidupan dunia kampus. Atau mungkin pula, itu karena kau belum siap untuk terjun di dalam masyarakat yang lebih bias. Atau boleh jadi...' "Jangan khawatir, Mas!" Aku memotong lagi perkataan Mas Danu yang belum selesai itu. Dengan kata-kata yang sesuai dengan suara hatiku pula. "Aku bersungguh-sungguh untuk melanjutkan kuliah karena aku memang menginginkannya. Bahkan, ilmu yang akan kuraih itu benar-benar merupakan cita-citaku. Jadi tak ada pengaruh seperti yang kaukhawatirkan itu. Nah, memangnya apa saja yang Mas Dewo katakan kepadamu? Kenapa kaubilang aku bisa mempertaruhkan hubunganku dengan dia?" "Dia tidak mengatakan apa-apa mengenai keinginanmu untuk melanjutkan kuliah itu. Tetapi seperti yang sudah kusinggung tadi, aku sering kali menangkap keberatan hatinya terhadap ke-inginanmu itu." "Dia mengatakan begitu?" "Secara nyata, tidak. Sudah kukatakan tadi, kan? Tetapi, beberapa kali aku menangkap keinginannya untuk melihatmu kembali ke Tawangmangu dan menetap di sini untuk seterusnya." "Dan menikah dengannya, kan?" Aku memotong lagi perkataan Mas Danu. "Kira-kira seperti itulah antara lain yang ku-tangkap dari isi bicaranya." "Lainnya?" "Dewo itu seorang lelaki Jawa berdarah ningrat yang lebih tinggi dari kita, Wulan. Dia lelaki Jawa ningrat tidak suka dilangkahi seorang istri. Dia harus menjadi orang nomor satu di dalam keluarganya." "Itu aku tahu. Mas. Tetapi bahwa Mas Dewo yang sudah berpendidikan cukup tinggi juga masih berpikir seperti itu. aku kok meragukannya." "Meskipun demikian. kau kan sudah menjadi sarjana psikologi. Wulan. Jadi pasti kau lebih tahu dari aku mengenai proses pembentukan identitas dan konsep diri seseorang. Nah. Dewo itu kan memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan keluarga besarnya. Kau pasti sudah melihat sendiri bagaimana hubungan kekerabatan dan sistem patriarkis yang masih begitu kental di dalam keluarga besar mereka. Padahal, dalam hal kekayaan dan pengaruh keluarga kita di luaran sana, kau jauh di atas dia. Maka Wulan, kalau kau tetap akan melanjutkan kuliahmu, apalagi nantinya kau juga ingin merintis karier di dunia akademis yang lebih tinggi lagi, perbedaan yang ada di antara dirimu dan Dewo jadi akan semakin besar nantinya. Oleh karena itu Wulan, pikirkanlah sekali lagi keinginanmu itu dan timbanglah masak-masak tentang baik dan buruknya." Begitulah Mas Danu mengakhiri
pembicaraan empat mata kami. "Jadi seperti yang juga sudah kukatakan kepadamu tadi. janganlah kaupertaruhkan hubungan kasihmu dengan dia." Aku masih ingat sesudah pembicaraanku dengan Mas Danu itu, beberapa kali aku memancing-mancing isi hati Mas Dewo. Dan setelah kucermati ternyata memang benar, aku juga menangkap apa yang telah dilihat oleh Mas Danu. Dari cara bicara dan sikapnya, aku tahu bahwa Mas Dewo memang tidak menyetujui niatku untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi meskipun demikian aku tidak mau meruntuhkan begitu saja cita-citaku hanya karena Mas Dewo memiliki cara pandang yang menurutku agak buram itu. Dia harus memahami bahwa aku tidak pernah mempersoalkan siapa yang kalah dan siapa menang atau siapa pula yang lebih tinggi dan siapa yang lebih rendah di antara sepasang kekasih. Apalagi kalau sudah menjadi pasangan suami-istri nanti. Bagiku, suami dan istri adalah satu kesatuan yang saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hal-hal lain yang ada pada masing-masing pihak seperti latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, kecantikan, kekayaan, gelar, dan lain sebagainya itu hanyalah atribut belaka. Bukan sesuatu yang hakiki sifatnya. Bukan sesuatu yang menyangkut inti kemanusiaannya. Mas Dewo harus memahami hal-hal semacam itu. Dia tidak boleh terperangkap di dalam cara pandang yang menempatkan perempuan pada tataran yang lebih rendah daripada pria. Sebab kalau tidak. dia akan tetap berpandangan bahwa seorang laki-laki akan turun harga dirinya apabila mendapat istri yang lebih hebat segalanya. Padahal laki-laki dan perempuan memiliki nilai dan "harga" yang sama. Siapa yang lebih hebat dan siapa yang kurang hebat, itu hanya faktor kebetulan saja. Dan hanya "tempelan" belaka yang tidak langgeng usianya. Setiap saat bisa berubah. Aku ingat betul pada kejadian dua tahun yang silam sebelum aku kembali ke Jakarta. Waktu itu, selama seharian aku dan Mas Dewo berjalan-jalan di kota Solo. Ketika kami sedang singgah untuk makan di suatu tempat, tiba-tiba saja Mas Dewo menyinggung masa depan kami. "Wulan, dua tahun bukan waktu yang sebentar Iho..." Begitu dia bergumam. "Ya, memang. Tetapi juga bukan waktu yang lama." "Lama atau tidak, yang jelas kau akan pergi ke Jakarta lagi dan kelak akan pulang kembali dengan gelar kesarjanaan yang lebih tinggi lagi. Aku kenal dirimu, Wulan." Mas Dewo berkata lagi sambil mempermainkan gelas di depannya. "Aku tidak yakin apakah setelah itu kau lalu puas dengan ilmu yang telah berhasil kauraih itu..." "Maksudmu? "Orang-orang sepertimu bukanlah orang yang akan cukup puas dengan ilmu yang sudah berhasil dicapai. Biasanya, mereka ingin terus maju lagi dan terus lagi. Dan lalu melupakan tujuan hidup yang utama." "Tujuan hidup utama yang seperti apa maksud-mu, Mas?" "Menjadi seorang istri dan kemudian menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya," sahut Mas Dewo dengan
pandangan penuh arti. Kutahan napasku. Aku sadar, Mas Dewo mulai menginginkan kepastian hubungan yang selama ini telah terjalin di antara kami berdua. Dan aku tahu sebabnya... Mas Dewo sedang meragukan tekadku untuk memasuki kehidupan rumah tangga setelah kuliahku di tingkat strata dua nanti selesai. Padahal, sedikit pun aku tidak pernah merasa ragu untuk menikah dan membangun keluarga bersamanya. Bahwa di suatu ketika nanti aku ingin melanjutkan studiku lagi misalnya, bagiku itu tidak ada kaitannya dengan keinginanku untuk berumah tangga. Keduanya dapat berjalan seiring dan sejalan. Melihatku terdiam, Mas Dewo mengusikku lagi dengan pertanyaan yang senada. 'Tidak inginkah kau berumah tangga, Wulan?" "Aku seorang perempuan biasa yang normal, Mas. Tentu saja aku juga ingin menikah dan berkeluarga. Tetapi soal menuntut ilmu dan meniti karier, itu adalah sesuatu yang lain lagi." Ku-tanggapi perkataan Mas Dewo dengan sungguh-sungguh. "Menurut pendapatku, di dalam kehidupan ini setiap orang dihadapkan pada berbagai macam peluang dan pilihan. Dan hanya satu pilihan saja yang harus diambilnya. Maka jikalau ada orang yang mengambil lebih dari satu pilihan, kenyataan nantinya pasti akan menunjukkan hanya akan ada satu saja di antara dua pilihan itu yang jalannya mulus. Dan pilihannya yang lain akan terpuruk dengan sendirinya. Sebab hukum alam telah membuktikan bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan. Kita tidak bisa mengambil semuanya." Waktu ini aku hanya menganggukkan kepalaku saja tanpa memberinya komentar apa pun. Maka Mas Dewo menganggapku memiliki pendapat yang sama. Oleh sebab itu ketika beberapa waktu kemudian dia mengetahui bahwa aku lulus ujian masuk untuk menjadi mahasiswa S-2, berhari-hari lamanya kulihat air mukanya tampak mendung. Bahkan sampai hari keberangkatanku ke Jakarta, wajah mendungnya itu belum juga tersingkap dari air mukanya. Waktu dia bersama Mas Danu mengantarkan aku dan Tita ke stasiun Balapan Solo, dia tak banyak bicara seperti biasanya. Baru tatkala kami berdua terpisah dari yang lain, dia berbisik di dekatku. "Dua tahun itu tidak sebentar," katanya dengan suara letih. "Aku pasti akan merindukanmu, Wulan." Maka untuk menanggapi perkataannya itu, aku mengulangi kembali komentarku waktu itu. "Memang. Tetapi juga bukan waktu yang lama. Jadi percayalah Mas, aku akan segera kembali lalu mulai mengatur masa depan kita." Aku menjawab bisikannya dengan nada menenangkan. "Lagi pula, aku pasti akan pulang kalau libur semesteran. Aku tak bisa terlalu lama berpisah denganmu dan juga dengan keluargaku." Itu memang benar. Aku dan Tita selalu pulang setiap liburan semester tiba. Pada kepulanganku yang pertama, hatiku mulai tenang ketika melihat wajah Mas Dewo tidak lagi mendung seperti sebelumnya. Bahkan liburan itu kami pergunakan dengan sebaik-baiknya. Acap kali kami berdua berjalan-jalan ke Solo untuk menonton film atau cuma untuk makan nasi liwet. Kadang-kadang juga ke Yogya. Entah untuk mencari sesuatu di Malioboro entah cuma mau membandingkan keratonnya dengan keraton Solo. Yang penting, kami bisa pergi berduaan saja. Namun sampai
sedemikian jauhnya, dalam perjumpaan-perjumpaan kami waktu itu tak sepatah kata pun Mas Dewo menyinggung-nyinggung tentang studiku. Aku juga tidak ingin membicarakannya. Kini dua tahun telah berlalu semenjak Mas Dewo mengantarkanku ke stasiun Balapan. Perjumpaan kami yang terakhir terjadi delapan bulan yang lalu. Dan seperti sebelumnya, Mas Dewo selalu bersikap manis kepadaku. Dan juga seperti waktu itu pula, dia masih tetap menghindari pem-bicaraan yang menyangkut studi dan karierku di masa mendatang. Bahkan perlakuannya terhadapku tampak lebih mesra sehingga diam-diam kubiarkan harapan tentang hubungan yang akan lebih baik di masa-masa mendatang, membubung tinggi. � Kini, aku telah berada di rumah untuk menetap kembali di Tawangmangu Tetapi harapan yang pemah mengisi dadaku delapan bulan yang lalu, telah lenyap. Kemenanganku membawa gelar ke-sarjanaan yang lebih tinggi, hilang musnah. Kegembiraanku untuk mengisi hari demi hari bersama � Mas Dewo. menguap entah ke mana. Dan untaian rencana hidupku ke masa depan. terurai lepas. Aku harus kembali ke titik nol untuk memintalnya kembali karena Mas Dewo tak lagi menjadi bagian dari hidupku. Bahkan juga tidak lagi menjadi � bagian dari hatiku. � Acap kali selama berhari-hari bclakangan ini aku bertanya-tanya sendiri apakah diriku juga mem-punyai andil kesalahan atas pengkhianatan Mas Dewo. Dan apakah ini juga jawaban dari ke-khawatiran Mas Danu ketika dua tahun yang lalu ia mengajakku berbicara di empat mata. Ataukah seharusnya waktu itu aku mendengarkan sarannya dan menunda keinginanku untuk melanjutkan kuliah? � Tetapi acap kali pula sesudah memikirkan ma-salah itu berlama-lama dalam suasana hati yang menyesakkan dada, aku seperti diingatkan pada kesia-siaan. Bahwa sudah tidak relevan lagi kalau saat ini aku masih menyalahkan diriku sendiri. Apalagi menyalahkan Mas Dewo atau Titik, atau pula siapa pun orangnya. Sebab segala sesuatunya sudah terlanjur terjadi. Ibarat memasak nasi dan lalu menjadi bubur, sudah tidak bisa lagi diapa-apakan kecuali ditcrima dengan lapang dada. � Aku tahu dari pengalaman orang bahwa meng-alami patah hati itu sungguh menyakitkan. Tetapi ketika itu kualami sendiri, barulah kumcngerti betapa sangat sakitnya itu. Makan tidak enak. Tidur tidak bisa nyenyak. Semuanya scrba tidak enak dan tidakmenyenangkan. � Aku juga tahu bahwa patah hati bisa disebabkan oleh banyak hal. Tetapi ternyata, patah hati karena kekasih menghamili gadis lain yang tidak dia cintai dan terpaksa harus menikahinya, sungguh lebih-lebih lagi sakitnya. Dan menjadi pecundang yang dianggap berada pada tataran yang harus dikasihani atau dimengerti, benar-benar merupakan beban yang hampir tak tertanggungkan olehku. Oleh karena itu meskipun kupahami betul kasih sayang keluargaku yang mcnghibur dan menaruh perhatian khusus atas apa yang menimpa diriku, perhatian mereka yang berlebihan itu justru sangat meng-ganggu perasaanku. Hatiku sering amat tertekan karenanya. Tetapi yah, aku tidak boleh memper-lihatkan ketidaksukaanku itu bukan? Mereka ber-maksud baik dan tulus hati. Terlebih lagi, mereka juga tidak tahu bahwa aku lebih suka dibiarkan sendirian untuk menyelesaikan konflik batin yang sedang kualami ini. � Jadi pikirku kemudian, kalau dari pihak keluargaku aku tidak bisa menghentikan perhatian mereka yang berlebihan itu, maka cara yang lebih baik adalah aku sendiri yang menghentikannya meski secara setahap demi setahap. Antara lain dengan menggeluti berbagai macam kegiatan yang menyibukkan diriku sehingga mereka semua akan mengira perasaanku sudah kembali normal. Sebab aku tahu, dalam keadaan normal mereka kenal betul sifatku yang tak pernah mau diam. Jadi rasanya pula, tidaklah salah kalau pagi hari itu begitu bangun dan mandi, aku langsung mengendarai mobi! menuju ke Tel aga Sarangan tanpa mengajak siapa pun. Bahkan aku hanya pamit kepada Yu Rapiah dan Mbok Sumi saja ka rena baru mereka berdua sajalah yang sudah bangun. � "Apa yang harus saya katakan kepada Bapak dan Ibu kalau mereka menanyakan Den Wulan?" tanya Yu Rapiah dengan air muka khawatir. � Aku tersenyum menatapnya. Mengerti betul bahwa kekhawatirannya itu ada kaitannya dengan gagalnya percintaanku. � "Katakan saja bahwa keinginanku pergi ke Sarangan itu mendadak sekali. Begitu aku terbangun tadi, begitu pula aku ingin pergi ke sana. Jadi semalam aku
tidak pamit kepada mereka," sahutku. "Dan kau tak usah cemas, Yu. Aku ke sana bukan untuk bunuh diri." � "Tetapi ini masih pagi sekali Iho, Den." Mbok Sumi ikut bicara. "Kenapa tidak menunggu sampai matahari terbit, baru berangkat?" � 'Tidak, Mbok Sumi. Aku justru ingin melihat matahari terbit di tengah perjalanan nanti." � 'Tetapi sarapannya belum siap lho, Den." Mbok Sumi berkata lagi. � "Aku akan sarapan di jalan. Ada banyak waning yang akan kulewati nanti." Sambil tersenyum lagi, kutepuk bahu Mbok Sumi. "Sudahlah, jangan men-cemaskan hal-hal yang tidak perlu. Aku bukan anak kecil lagi. Bawakan aku setermos kecil teh manis saja kalau sudah ada." � "Sudah ada. Den. Tinggal menuangkan saja, wong masih panas." � Ketika sedang menunggu Mbok Sumi menuangkan teh manis ke termos kecil yang selalu kubawa kalau aku dan Tita pulang ke Jakarta, terdengar � suara seseorang di depan pintu dapur yang menuju � ke halaman belakang. "Kulonuwun..r � Kami bertiga serentak menoleh ke arah pintu dapur yang terbuka itu sambil menjawab secara � bersamaan pula. "Monggo..." � Kulihat, Mbok Kirman masuk ke dalam dapur sambil tertawa lebar. Di tangannya terdapat satu wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Benda itu diletakkannya ke atas meja dapur yang berada di muka jendela. � "Kok pagi-pagi begini Den Wulan sudah bangun dan malah sudah tampak rapi dan cantik," sapanya. "Mau pergi ke mana to. Den?" � "Mau ke Sarangan, Mbok." � "Ke Sarangan? Dengan siapa. Den?" � "Sendirian saja, Mbok." � "Lho, kok sendirian saja to. Den?" Dahi Mbok Kirman berkerut. � "Memangnya harus pergi dengan siapa to, Mbok? Enakan pergi sendirian. Bebas!" Aku menjawab sambil tersenyum. � 'Tetapi Den Wulan harus hati-hati lho. Bela-kangan ini banyak kabutnya!" Mbok Kirman berkata lagi. Kini sambil membuka bawaannya yang semula ditutupinya dengan daun pisang. "Ini Mbok membawa gethuk ubi jalar dan singkong rebus. � Singkongnya masih panas dan mempur Iho, Den. Enak buat sarapan." � "Wan kebelulan banget itu, Yu Sri!" Yu Rapiah tertawa senang. "Sarapan belum siap tetapi Den Wulan sudah mau pergi saja." � "Aku mau cepat-cepat pergi kok, Yu. Jadi bawa-kan saja beberapa potong. Biar nanti kumakan di � jalan." � "Baik, Den." � "Cepat Iho, Yu. Aku tidak mau kesiangan." Aku berkata sambil melihat arlojiku. Jam setengah enam kurang dua menit. � Tidak kukatakan kepada mereka bahwa a ku ingin cepat-cepat pergi sebelum keluargaku ada yan g bangun. Sebab aku tidak ingin kepergianku itu diiihat mereka. Terutama oleh Ibu. Sebab sudah bisa kuramalk an, mereka pasti tidak akan menyetujui kepergianku. Kalaupun setuju, pasti mereka akan menyuruh salah se orang untuk menemaniku pergi. Entah Mas Danu, entah Tita. Atau mungkin juga Yu Rapiah. � Dengan perasaan lega karena aku bisa pergi tanpa diketahui oleh keluargaku, aku naik ke mobil. Tetapi sebelum mobil kujalankan, Mbok Kirman menyusulku. � "Den Wulan baik-baik saja, kan?" tanyanya sambil menjulurkan kepalanya lewat jendela mobil. � "Ya." Aku tertawa. Sadar betul bahwa berita tentang hubunganku dengan Mas Dewo sudah ter-sebar ke mana-mana. "Mbok Kirman tak usah cemas. Aku cuma mau jalan-jalan. Bukan untuk � bunuh diri. Aku masih sayang pada diriku sendiri � kok!" � "Ya sudah, kalau begitu." Mbok Kirman ganti tertawa; "Tapi hat.-hati di jalan, Iho. Jangan � ngebut." � "Ya." � Mobil mulai kujalankan dan lalu kuhentikan lagi setelah maju sekitar dua meter jauhnya. Aku teringat sesuatu. Belakangan ini Mbok Kirman lebih sering
mengirim makanan ke rumah. Dan selalu berupa makanan kesukaanku. Tetapi aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepadanya padahal aku tahu apa yang dilakukannya itu me-rupakan bentuk dari perhatiannya yang khusus kepadaku karena peristiwaku dengan Mas Dewo. Maka cepat-cepat kulambaikan tanganku ke arah Mbok Kirman. � Melihat lambaian tanganku, perempuan gemuk tetapi termasuk cantik untuk ukuran desa itu ter-gopoh mendekat ke arah mobilku lagi. � "Ada apa, Den?" ia bertanya sambil menjulurkan lagi kepalanya lewat jendela mobil. Seperti tadi juga. � "Mbok, aku belum pernah mengatakan terima kasih kepadamu meskipun di hatiku sudah ribuan kali mengucapkannya," kataku sambil menggeng-gam tangannya yang berpegangan pada tepi jendela mobil. "Sejak masa kecilku dulu, kau selalu saja menunjukkan perhatian dan keprihatinanmu ter-hadapku dengan caramu sendiri. Pagi ini aku harus mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga..." � "Ah, perkara kecil saja kok dimasalahkan tor Mbok Kirman tertawa lagi. "Saya kira mau bilang apa tadi!" � Aku tersenyum. Tak tahan kukecup sekilas pipi. nya yang montok tetapi lembut dan halus kulitnya itu. Seperti Pak Kirman, dia juga menyayangiku. � "Nah, aku akan berangkat sekarang," kataku kemudian. � 'Takut diketahui oleh Bapak dan Ibu, kan?" Kulihat mata Mbok Kirman berkacakaca. Pastilah dia tidak menyangka aku akan mencium pipinya. � "Ssst. Kau tahu saja Iho. Mbok!" Aku tersenyum lagi. Kemudian cepat-cepat kularikan mobilku keluar halaman, menuju ke jalan raya. � Kabut tipis bagai surra halus yang mengambang di udara, menyambut kepergianku. � Tiga � jarak Tawangmangu ke Telaga Sarangan tidak begitu jauh. Kalau Tawangmangu berada di pung-gung Gunung Lawu di sekitar bagian Barat, Telaga Sarangan terletak di punggung gunung yang se-baliknya, kira-kira pada bagian sebelah tenggaranya. Jalan raya yang menghubungkan kedua tempat itu sangat menanjak dan banyak liku-likunya. Bahkan kalau hari hujan jalannya agak licin. Namun pemandangannya betul-betul sangat indah. Tanahnya pun subur. Tidak banyak bangunan dan perumahan dibangun orang di tempat itu sebagaimana halnya di Tawangmangu sehingga juga tidak banyak ham-batan yang mengganggu pandangan mata untuk menikmati pemandangan indah di sepanjang per-jaianan dari dan ke Telaga Sarangan. � Perbukitan di sekitar daerah Tawangmangu dan Telaga Sarangan yang indah dan dingin itu sering dipakai untuk kamping oleh anak-anak sekolah maupun oleh para mahasiswa. Terutama di sekitar daerah Cemoro Sewu. Di tempat itu selain terdapat pemancar teievisi, juga sering kali dipakai oleh anak-anak muda bahkan juga oleh para runs untuk � mengawali pendakian mereka ke Gunung Lawu. Dan yang selalu membuatku merasa senang berada di sana karena tempat itu bukan hanya indah pemandangannya tetapi juga memiliki hutan cemara yang subur dengan bau harumnya yang khas dan menyegarkan. � Dengan membayangkan kembali tempat yang kusukai itu, kularikan mobilku dengan kecepatan sedang. Jendela mobil kubuka lebar-lebar agar udara sejuk dan segar dari luar mengisi ruangan mobil dan paru-paruku. Kubiarkan pula rambutku yang panjangnya hingga ke punggung itu berkibar-kibar ditiup angin gunung, sementara di ufuk Timur semburat wama jingga kemerahan mulai memulas langit memberi tanda bahwa sebentar lagi mentari akan mengakhiri tidumya di perut bumi. � Meskipun daerah wisata itu tidak seramai Puncak yang terletak di Jawa Barat, tetapi aku tetap memiliki kewaspadaan tinggi karena medannya yang tidak mudah dilalui. Untuk menghindari kelalaian yang bisa berakibat fatal, aku terpaksa harus meng-abaikan pemandangan yang sangat indah di kiri dan kanan jalan. Acap kali pula mataku melirik ke kaca spion, kalau-kalau ada kendaraan lain yang tiba-tiba menyalipku tanpa aku melihatnya lebih dulu. � Sesampai di daerah Cemoro Sewu, dari kaca spion aku melihat sebuah motor besar menyusul di beiakangku. Pengendaranya yang memakai helm, sama gagahnya dengan motor yang dikendarainya. Tinggi dan tegap. Melihatnya, mobil kubawa agak � menepi dan kecepatan mobil kukurangi untuk mem-berinya jalan. Tetapi rupanya motor itu tidak bemiat mendahuluiku. Kecepatannya tetap sama seperti semula.
Kalem dan stabil, sehingga aku mengem-balikan posisi dan kecepatan mobilku seperti se-belumnya. Dan motor itu terus mengekor di beiakangku, masih dengan kecepatan yang stabil. Aku seperti diikuti seorang pengawal yang setia saja rasanya. � Ketika jalan mulai agak menurun dan telah pula melalui tanda pembatas antara provinsi Jawa Te-ngah dan Jawa Timur, laju kecepatan mobil agak kukurangi. Mataku mencari salah satu ceruk-ceruk jalan yang disediakan bagi mereka yang ingin beristirahat. Tempat itu juga enak dipakai untuk menikmati pemandangan alam. Di salah satu ceruk itu aku ingin memarkir mobilku untuk menyaksikan matahari terbit. � Dari kaca spion, aku melihat pengendara motor itu juga mengurangi laju kecepatannya. Bahkan ketika aku menemukan sebuah ceruk dan kubelok-kan mobilku ke sana untuk menikmati pemandangan indah saat matahari muncul nanti, motor itu pun melakukan hal yang sama. Karena pengendara motor itu tidak memperlihatkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan terhadapku dan bahkan motornya juga diparktr agak jauh dari mobilku. aku tidak memedulikan keberadaannya. Pikirku, tempat itu milik orang banyak. Siapa pun boleh berhenti dan beristirahat di situ Karenanya per-hatianku mulai tertumpah ke arah bola bulat besar � _,ii_ � berwarna merah yang mulai muncul pelan-pelan di ufuk Timur. Kaki langit di tempat itu berwama jingga kekuningan sementara cahaya keemasannya mulai menyepuh seluruh dedaunan di sekitar tem-patku. Ah, betapa indahnya ciptaan Tuhan. Betapa pemurahnya Tuhan yang melimpahi kita dengan berbagai macam jenis kekayaan alam yang ter-hampar di hadapan kita itu. Dan betapa kecilnya manusia di hadapan kekayaan alam ciptaan-Nya itu. Betapa pula tak berartinya manusia ini di hadapan keagungan-Nya. Tetapi, mengapa manusia masih saja melakukan kejahatan? Mengapa pula manusia membiarkan dirinya berdosa? Dan mengapa Mas Dewo begitu tega mengkhianatiku hanya karena alasan kesepian? Ataukah ada alasan lain seperti apa yang pernah dikatakan oleh Mas Danu kepadaku dua tahun yang lalu? Kalau ya, tidakkah itu bisa dibicarakan dari hati ke hati dan bukannya dihindari seperti orang menghindari penyakit menular? � Aku menarik napas panjang, merasa kesal kepada diriku sendiri. Kenapa di tengah kekayaan ciptaan Tuhan yang sedemikian indahnya ini aku masih saja membiarkan ingatanku tersangkut pada Mas Dewo? Bukankah beberapa saat lagi dia akan memasuki dunia perkawinan dengan Titik yang akan memberinya seorang anak? Dan bukankah antara diriku dan lelaki itu sudah tidak ada kaitan apa pun lagi kecuali hanya sebagai teman yang sama-sama tinggal di Tawangmangu? � Aku benci pada air mata yang tiba-tiba meluncur � turun ke atas pipiku ini. Dengan gerakan kasar, lekas-lekas kuhapus pipiku yang basah itu dengan punggung tanganku. Tak layak lelaki seperti Mas Dewo kutangisi kepergiannya dari hidupku. Terlalu berharga kehidupan ini kulangkahi dengan ke-sedihan yang ditimbulkan oleh lelaki seperti dia. � Setelah mataku mulai silau menatap matahari, kunyalakan lagi mesin mobilku. Dan aku mulai melanjutkan kembali perjalananku sambil berkata pada diriku sendiri bahwa air mataku tadi adalah air mata terakhir yang mengalir karena Mas Dewo. Tak akan pernah lagi kubiarkan air mataku mengalir karena dia. � Tak sampai lima menit kemudian, dari kaca spion aku melihat motor besar itu mengekor lagi di beiakangku. Karena kondisi jalan raya mulai lebih mudah dilalui, seperti sebelumnya aku sedikit menepi lagi untuk memberi kesempatan kepada motor di beiakangku itu untuk mendahuluiku. Bahkan tanganku kukeluarkan dan kuberi isyarat bahwa ia akan aman kalau mau menyalipku. Tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan. Tetapi seperti tadi juga, pengendara motor itu lebih suka berada di beiakangku. Benar-benar seperti pengawalku saja, orang itu.... � Entah apa pun kemauan orang itu dan entah pula ke mana pun tujuannya, aku tak mau me-medulikannya lagi. Perhatianku mulai kucurahkan ke jalan raya kembali sampai akhirnya aku memasuki daerah wisata Telaga Sarangan yang indah dan sangat dingin udaranya itu. Air telaganya � _,_j_ � yang berwarna biru-kehijauan seperti menyambut kedatanganku. Tempat itu masih agak sepi. Hanya ada beberapa orang berjalan-jalan di dekat Hotel Sarangan yang kalau tidak salah adalah hotel paling tua di daerah itu. � Kuhentikan mobilku di bawah pohon tak jauh dari tepi Telaga Sarangan. Kulayangkan pandang mataku ke arah permukaan telaga. Kabut tipis masih melayang di permukaannya yang pagi itu tampak begitu tenang dan misterius. Tetapi dengan
latar belakang perbukitan dengan hutannya yang lebat, telaga itu sungguh tampak memesona. Sedang aku mengagumi pemandangan yang terhampar di hadapanku. aku melihat lagi motor yang tadi mengekor di belakangku datang menyusul. Ter-nyata. tujuan motor itu sama seperti tujuanku. Pengendaranya juga ingin mengunjungi daerah wisata Telaga Sarangan ini. Dan ketika aku meng-hentikan mobilku, motor itu juga berhenti meskipun agak jauh dari tempatku. Tetapi tidak seperti aku menghentikan mobil agak jauh dari tepi telaga, motor itu berhenti dekat sekali dengan telaga. Lalu kulihat pengendaranya mulai melepas helm-nya dan mengaitkannya di salah satu setangnya, kemudian turun dari motornya dengan gerakan yang enak dilihat. � Seperti yang sudah kuduga, lelaki yang mengena-kan jaket itu bertubuh tinggi dan gagah. la berdiri di tepi telaga, agak menyandar pada motornya. Tanpa menengok ke arahku, lelaki itu memandang ke arah telaga dan sesekali melayangkan pandang � matanya ke arah perbukitan di sekeliling telaga dan juga ke arah puncak gunung yang saat itu diselimuti awan-awan seputih kapas yang terus bergerak ditiup angin. � Hams kuakui, pemandangan di hadapan kami ini memang sangat indah. Tidak banyak orang pula karena hari itu bukan hari libur. Kesunyiannya yang tak ternoda oleh tangan dan suara manusia sungguh terasa lebih meresap ke hatiku. Dari tempatku duduk di dalam mobil, tak bosan-bosan mataku memandang segala-galanya yang ada di tempat itu. Sayangnya, beberapa tukang kuda mulai mendekat ke arahku, menawarkan tunggangannya itu kepadaku. Tetapi aku tidak tertarik. Jadi kugelengkan kepalaku sambil turun dari mobilku. Udara dingin mulai menjilat Icher dan pipiku se-hingga kelepak leher sweterku kunaikkan untuk melindungiku dari sengatan hawa dingin. � Sebetulnya aku merasa kasihan kepada tukang-tukang kuda itu karena telah memupuskan harapan mereka untuk mendapat uang dariku. Tetapi aku benar-benar sedang ingin menyendiri. Kedatanganku ke sini bukan cuma untuk menikmati pemandangan indah saja tetapi terutama untuk menata hatiku dan merencanakan masa depanku tanpa kehadiran siapa pun dan tanpa terpengamh apa pun. Tetapi untunglah, sepasang turis berkulit putih yang bam keluar dari sebuah rumah makan melambaikan tangannya kepada tukang kuda itu. Dalam hatiku aku berharap turis yang dolarnya sedang bernilai tinggi itu mau membayar lebih untuk tukangnikang kuda itu. Dalam keadaan biasa, artinya bukan pada hari-hari libur dan lanpa keahlian khusus yang mereka miliki, mencari uang di tempat ini memang tidak mudah. Ironis memang. Alamnya kaya dan subur tetapi penduduknya banyak yang miskin. � Lepas dari tukang kuda, seorang tukang perahu ganti mendekatiku dan menawariku naik perahunya. Tawaran itu pun kutolak. Tetapi melihatku menolak tawaran nikang perahu itu, pengendara motor tadi melambaikan tangannya. Kubiarkan mereka tawarmenawar. Apalagi seorang penjaja sate kelinci ganti mendekatiku dan menawarkan dagangannya. � Kali itu hatiku tergoda. Dan perhatianku mulai terserap kepadanya karena perutku memang sudah terasa Iapar. Tan pa berpikir sekali lagi aku minta dibakarkan sepuluh tusuk sate kelinci dan dipotong-kan satu bungkus lontong. � "Yang matang betul lho, Pak. Jangan hanya di luamya saja." � Penjual sate itu menganggukkan kepalanya dan menurunkan pikulannya di jalan. Jalan itu yang menyusuri tepian telaga sejauh kira-kira tiga ki lometer. � "Cara saya membakar sate tidak asal bara api arangnya besar kok. Den. Tetapi scdang-sedang saja apinya supaya matangnya tidak kebrangas, matang yang dipaksakan." Tukang sate itu menjawab pekataanku sambil tertawa. "Lihat saja nanti. Warna dagingnya pasti keemasan dan merasuk sampai ke dalam. Lezat pula rasanya!" � Aku tersenyum sambil mempcrhatikan bagaimana ia memilihkan daging yang potongannya besar-besar. Tak lama kemudian harum daging panggang mulai menggelitik perutku. Aku teringat pada gethuk dan singkong kukus buatan Mbok Kirman yang dibawakan Yu Rapiah tadi. � "Saya tunggu di mobil saja ya, Pak..." kataku kepada tukang sate yang masih sibuk mengipas-ngipas satenya itu. � 'WggiA. Den." � Aku masuk ke dalam mobil kembali. Untung singkongnya masih belum dingin. Yu Rapiah telah mcmbungkusnya dengan kcrtas alumunium dan memasukkannya ke dalam termos plastik kecil. Sambil menunggu satenya matang aku makan singkong kiriman
Mbok Kirman yang mempur dan gurih itu. Jenis singkongnya memang jenis yang bagus. Besar-besar dan cmpuk. Sudah begitu di-bumbui bawang putih. daun salam, garam, dan entah bumbu apa lagi. Tetapi kelihatannya juga sedikit diciprati santan kental ketika mengukusnya. Rasanya, aku belum pernah makan singkong kukus seenak buatan Mbok Kirman. Begitu pun rasa gethuknya juga istimewa. Ubi jalarnya, ubi pilihan. Dan gula yang dipakai untuk membuat gethuk adalah gula yang terbuat dari kclapa aren. Dimakan dalam keadaan perut sedang lapar-laparnya dan sambil menatap suguhan kekayaan alam ciptaan Tuhan, sungguh amat nikmat rasanya. � Telaga Sarangan pagi itu memang tampak lebih indah. Sebagian berwarna hijaukebiruan dan sebagian lainnya yang tertimpa sinar matahari tampak berkilauan. Latar belakangnya penuh perbukitan dengan hutannya yang lebat. Sebagian terdapat hutan ccmara dan sebagian lain dilatarbelakangi lag! oleh bukit-bukit lain yang lebih tinggi. Bahkan di bagian lain tampak di kejauhan menjulang gunung yang berwarna kebiru-biruan. Di ujung sana, tertambat beberapa perahu dengan layarnya yang berwarna-warni. Dan di bagian lain tampak sebagian balkon Hotel Sarangan dengan bunga berwarna ungu besar-besar yang merambat di atas pagarnya. Sungguh indah. � Aku tidak pemah tahu seberapa dalam Telaga Sarangan yang luas itu. Aku hanya tahu bahwa pengunjung tempat itu dilarang berenang di situ. Entah karena dingin sekali airnya atau entah karena apa, aku tidak tahu apa alasan larangan itu. Di tengah telaga, ada pulau kecil penuh pohon yang katanya merupakan tempat yang keramat sehingga orang tidak berani datang ke sana. Entahlah soai kebenarannya. Cerita itu kudengar waktu aku masih kecil. � Ketika aku bam saja selesai makan sate kelinci yang rasanya memang lezat dan kemudian mem-bayar apa yang kumakan itu, perahu yang di-tumpangi oleh pengendara motor tadi sudah kembali ke tepi lagi. Kelihatannya dia tidak berminat untuk berperahu terlalu lama. Sesudah membayar ongkosnya berperahu tadi, dia mendekati tukang sate. Kelihatannya seperti aku tadi, dia juga tergoda ingin makan sate. Harum daging panggang yang � masih menyebar di udara sekitar kami ini memang menggugah pcrut yang sedang lapar. � Sampai saat itu aku belum juga melihat seperti apa wajahnya. Orang itu tak pemah memandang ke arahku dan aku juga tidak ingin memandang-nya secara terangterangan. Tetapi ketika dia sedang bercakap-cakap dengan penjual sate, aku mencuri lihat ke arahnya meskipun hanya sisi wajahnya saja yang sempat kutangkap lewat lirikan mataku. � Dari tempatku duduk di mobil, kulihat bentuk hidungnya bagus. Demikian juga lekuk dagunya. Entahlah, seperti apa kalau dilihat dari depan. Tetapi menilik sisi wajahnya itu, aku berani ber-tamh bahwa laki-laki itu termasuk orang yang wajahnya lumayan bagus. Paling sedikit, tidak termasuk berwajah jelek. Dan secara keseluruhan, orang itu juga menarik. Tubuhnya tegap dan tinggi. Tetapi ah, apa peduliku bukan? � Setelah perutku terasa kenyang dan sudah pula kuminum teh manis yang kubawa dari rumah tadi, aku turun dari mobil. Dan sesudah pintunya ku-kunci, perlahanlahan aku berjalan menyusuri jalan aspal yang sengaja dibuat di sekeliling telaga. Di kepalaku bertengger topi lebar untuk melindungiku dari sengatan matahari. Sebab udara dingin sering kali mengecoh kita sehingga tidak merasakan betapa tajamnya sinar matahari menyengat kepala kita. Tahu-tahu saja kepala kita jadi pusing kena sengatannya. Bahkan bisa pingsan karenanya. � Sambil berjalan santai seperti itu sesekali aku � bcrjumpa dengan pengunjung yang lampaknya se-ngaja mcnginap di salah satu hotel di sekitar telaga. Scsekali pula sebagian di antara mereka melemparkan senyumnya kepadaku sebagai ucapan selamat bertemu. Pemandangan yang indah memang bisa mempengaruhi suasana hati kita. Yang semula kurang ramah. tahu-tahu jadi murah senyum. Tetapi, bukan seperti itulah yang kuinginkan di tempat ini. Aku datang kemari ingin menyendiri tanpa kehadiran orang lain. Oleh sebab itu setelah beberapa kali lagi berpapasan dengan orang, aku mulai mcmbelokkan langkah kakiku menuju ke jalan setapak. menuju bukit rendah yang tak jauh dari tempatku berjalan. Aku tidak tahu jalan setapak itu menuju ke mana. Tetapi aku tahu ada jalan kecil yang menuju ke desa Ngerong, entah yang mana jalannya. Kata orang, jalan itu merupakan jalan pintas yang biasa dilalui oleh orang-orang desa untuk pergi dan pulang ke desa itu. c Letak desa Ngerong tak jauh dari Telaga � Sarangan. Kalau orang ingin pergi ke Telaga j Sarangan dari arah Madiun dengan
kendaraan bus, mereka harus berhenti di desa Ngerong. Dari desa itu mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kecuali jika mereka naik mobil-mobil pribadi. � Tetapi aku tidak bermaksud menuju ke desa Ngerong meskipun di sana ada kolam renang "Taman Tirto" yang juga indah pemandangannya. Aku hanya ingin menyepi sendirian entah di mana kuserahkan saja itu pada kedua bclah kakiku yang � terus melangkah menuruti naluriku. Tetapi tiba-tiba ada yang muncul di kepalaku. Aku masih ingat, dulu di sekitar tempat ini juga ada dua air terjun kecil yang tidak begitu dikenal orang. Pikir-ku, aku akan pergi ke salah satu tempat itu. Sendirian saja. Tetapi tidak dengan jalan kaki melainkan dengan menyewa kuda. � Beruntung sekali aku mendapatkan tukang kuda yang mengenaliku. Orang itu sudah agak tua. Rupa-nya, dia pernah mencari nafkah dengan cara yang sama di Tawangmangu selama enam tahun lebih lamanya. Dia kenal Bapak, kenal Pak Kirman, dan tentu juga sering mclihatku yang katanya waktu itu masih merupakan gadis remaja berkepang satu. Dulu waktu masih duduk di SMP aku memang suka mengepang rambutku menjadi satu. Kalau tidak berpangkal di tengah-tengah kepalaku, tentu di salah satu sisi kepala dekat telingaku. Kata orang, dengan mengepang rambut seperti itu, raut wajahku yang cantik jadi lebih menonjol. � Terus terang aku tidak ingat lelaki tua bernama Pak Ijan itu. Tetapi dia ingat kepadaku. Dan berkat pengenalan Pak Ijan itulah aku diperkenankan menyewa kudanya tanpa dia harus mengiringiku. Dia tahu persis bahwa aku pandai berkuda sudah sejak masa kanak-kanakku. � 'Tidak lama kok, Pak. Paling banter satu jam lamanya," kataku dengan rasa terima kasih. "Pak Ijan tunggu saja di sini atau boleh juga di dekat mobilku. Yang warnanya hitam itu lho." Aku me-nunjuk mobilku yang kuparkir dekat telaga. � "Baik. Den. Saya kenal mobil Ndoro Jendral � yang hitam itu." � Aku tersenyum. Pak Ijan betul-betul kenal keluargaku. Sedan Honda Civic berwarna hitam tahun sembilan puluhan yang kupakai itu, dulu memang kendaraan Bapak. Sekarang sepuluh tahun kemudian, mobil itu sudah menjadi milik umum. Siapa saja boleh memakainya. Untuk Bapak dan Ibu, sudah ada mobil yang lebih baru. Tetapi aku lebih suka mengendarai mobil yang lama itu. Enak di-pakainya. Lebih enak daripada mobil yang tahunnya lebih baru yang dibawakan Bapak untuk kupakai bersama Tita selama kuliah di Jakarta. � Begitulah seperti yang kuinginkan, dengan berkuda ke salah satu air terjun yang kumaksud itu aku tidak banyak bertemu orang. Tetapi sayangnya aku tidak tahu persis di mana letak air terjun itu. Jadi kutelusuri saja perbukitan yang tidak jauh menyimpang dari jalan menuju ke arah desa Ngerong. Tetapi baru seperempat jam perjalananku dengan berkuda itu, telingaku mendengar suara telapak kuda menyusul di belakangku. Karena jalan setapak itu sempit, kudaku kuarahkan ke dataran rendah di dekat jalan setapak itu. Aku tidak ingin kudaku bersinggungan dengan kuda lain. � Di tanah datar itu terdapat sebuah kali kecil yang dangkal. Tetapi airnya yang jernih mengalir deras dengan suaranya yang berisik menuju entah ke mana, aku tak tahu. Sesampaiku di tempat itu kepalaku menoleh ke arah suara langkah kuda. kutunggu siapa pun yang akan lewat di dekatku. � Sungguh. aku tidak mengira penunggang kuda yang muncul dari balik pepohonan itu ternyata si pengendara motor yang sejak tadi mengekor di belakangku. Melihat dia lagi, kecurigaan mulai muncul di hatiku. Sebab tampaknya lelaki itu bukan cuma lewat di jalan raya yang sama dengan-ku saja, tetapi juga sengaja mengekor di belakangku sampai di tempat ini. Ah, seharusnya sejak tadi aku sudah harus mencurigainya walaupun kalau menilik gelagatnya aku tidak melihat sikap kurang ajar terpancar dari dirinya. � Dengan rasa curiga itu, sekarang aku sengaja membiarkan pengendara motor yang sekarang me-nunggang kuda itu melewatiku. Aku sengaja meng-hentikan langkah kudaku agar tetap berada di tempat ini sementara pandang mataku yang tajam kulayangkan ke arah pengendara motor, eh penunggang kuda yang sedang lewat di hadapanku itu. Aku ingin tahu apa tujuannya mcngikutiku itu. � Dengan menghadap ke arah orang itu, aku sekarang mempunyai kesempatan untuk melihat ke-seluruhan wajahnya. Dan seperti yang sudah ku-duga tadi, wajah lakilaki itu memang termasuk lumayan. Bahkan menurutku, meskipun bukan wajah yang tampan dan gantcng, tetapi sangat menarik. Bibir dan matanya tampak seksi (eh,
sejak kapan aku bisa menilai seorang laki-laki seksi? Apalagi laki-laki itu baru kulihat sekarang!) Sudut-sudut bibir laki-laki itu berlekuk ke atas, seolah selalu ingin tersenyum kepada seluruh isi dunia. Dan matanya yang teduh (dan seksi itu) seperti � menyiratkan perhatian kepada siapa pun yang di-ajaknya bicara. Dilengkapi dengan tubuhnya yang linggi gagah. dan berbahu bidang, kurasa laki-laki itu bukan hanya menarik saja, tetapi juga mcnawan. � Tetapi meskipun demikian, aku tetap tidak meng-hilangkan kecurigaanku. Sudah kusiapkan kata-kata tajam di ujung lidahku kalau-kalau laki-laki iiu memperlihatkan sedikit saja sikap yang tak menyenangkan. � Tetapi aku kecele. Laki-laki muda itu melewatiku dengan sikap tenang sambil mengendalikan kudanya agar letap menapak pelan dalam kecepatan yang stabil. Bahkan ketika berada tepat di hadapanku, dia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum sekilas. Dan kemudian melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh-noleh lagi ke arahku. Jadi bagai-mana mungkin aku bisa menyemprotkan kata-kata tajam kepada orang yang tidak bersalah? � Aku menarik napas panjang. Keinginanku pergi ke air terjun, hilang lenyap. Apalagi aku tidak tahu persis di mana letak air terjun itu dan mulai dan mana aku hams mencarinya. Maka kuputuskan untuk memutar langkah kudaku ke arah sebaliknya. Tetapi aku tidak kembali ke Telaga Sarangan. Mclainkan kubawa kudaku menyusuri kali kecil yang kutemukan tadi sampai akhirnya tanpa sengaja aku mcnemukan mata air dcngan sendang seluas k.ra-k.ra t.ga kali empat meter. Airnya jernih dan past, dingin rasanya. Sementara itu tak jauh dan sendang, terdapat pancuran kecil setinggi sekitar oua meter yang mengalirkan airnya ke sendang itu � juga. Menurut perasaanku, tempat itu tampak lebih subur daripada tempat-tempat lain di sekitarnya. � Tempat itu menyenangkan. Tenang dan indah. Ada banyak bunga-bunga liar berwarna biru, putih, kuning, dan ungu yang tersebar di mana-mana. Kudaku kuhentikan dan kutambatkan pada sebatang pohon cmbacang. Aku sendiri duduk di sebuah batu tak jauh dari sendang, di bawah pohon jati yang daunnya lebar-lebar. Kelihatannya, tempat ini sering didatangi orang. Ada beberapa kantong plastik bekas dan sebuah ember msak tergolek di semak-semak. Bahkan aku juga melihat sandal jepit bagian kaki scbelah kiri yang sudah lepas talinya. Dan ada beberapa bagian mmput dan alang-alang rebah yang sering diinjak-injak kaki orang. � Dugaanku tidak salah. Belum lama aku duduk di tempat itu, dua orang perempuan membawa gentong air datang ke sendang. Melihatku duduk di situ, mereka menegurku. � "Sedang istirahat dari jalan-jalan ya. Den?" Salah seorang menyapaku. � "Ya, Yu." � "Dari mana asalnya?" Yang lain, ganti bertanya. "Dari Tawangmangu." "Oh, orang sini juga /o!" "lya." � Kuperhatikan keduanya mengambil air dari pancuran sampai gentongnya penuh. Sesudah kepcrluan mereka selcsai, aku disapa lagi. � "Man, Den. Selak kesiangan." � "Ya, Den. Aimya sudah ditunggu buat masak." � "Silakan." � Rupanya. orang-orang gunung di sek.tar tcmpa, ini mcmpergunakan air pancuran dan air sendang untuk dipakai memasak dan untuk air m.num. Tak fen* aimya memang bcrsih dan jcrnih. Aku yakin. kalau pagi tempat ini banyak didatangi orang dusun di sekitar tempat ini untuk mengambil air. � Untunglah. sesudah itu tidak ada orang yang datang lagi sehingga aku bisa menycndiri di tempat itu dengan tenang. Kulayangkan pikiranku ke rumah. Kemarin, aku melihat di atas meja telepon. sural undangan perkawinan Mas Dewo dan Titik. Dan sebelum undangan itu datang, Mas Dewo sengaja meneleponku dari wartelnya. � "Sebentar lagi akan ada orang yang mengantar-kan undangan untuk keluargamu, Wulan." Begitu yang dikatakannya kepadaku. "Maalkanlah..." � "Kenapa harus minta maaf?" Aku memotong perkataannya, � "Karena aku bingung harus bagaimana. Tidak mengirimkan undangan, rasanya sangat tidak pantas. Keluargamu dan keluargaku sudah seperti saudara saja. Tetapi mengirimkannya rasanya juga sangat tidak enak, sebab undangan itu merupakan bukti dosaku kepada keluargamu. Tcrutama terhadapmu..." � "Mas, sejak aku mengetahui hubunganmu dengan Titik, segala sesuatu di antara kita sudah tidak perlu lagi dibahas," aku memotong lagi perkataan Mas Dewo. "Jadi, janganlah perasaan-perasaan tidak enak atau semacam itu masih saja
mewarnai hatimu. Hidup ini mengarah ke depan lho." � -Tetapi kau mau datang ke pemikahanku. � kan*" � "Kalau diperbolchkan oleh Bapak dan Ibu, lho Soalnya mereka tidak ingin aku datang," saiiutku terus terang. "Mereka menyangka aku akan tcrsiksa melihatmu duduk bersanding dengan gadis lain. Padahal seujung kuku pun aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi terhadapmu sehingga seandai-nya kau menikah tiga kali sehari pun, aku tidak apa-apa. Bukan urusanku. Tetapi aku harus me-nuruti apa kata orangtua. kan?" � Lidah memang tidak bertulang, bukan? Padahal, kenyataan yang kuhadapi tidaklah seperti itu. Baru mengingat Mas Dewo akan duduk bersanding dengan Titik di kursi pengantin saja pun perutku sudah mual karenanya. Apalagi membayangkan bagaimana aku harus menghadapi pandangan iba dan rasa ingin tahu dari para tamu kepadaku nanti. Kota ini terlalu kecil untuk bisa menyimpan akhir kisah cintaku dengan Mas Dewo. Aku yakin tak seorang pun yang belum mengetahuinya. Menjadi pecundang memang sangat menyakitkan. Tetapi menjadi pecundang yang dipandangi dengan rasa iba, sungguh jauh lebih sakit rasanya. Aku tak lahan menghadapinya. Apalagi setelah kekalahanku itu aku tidak tahu harus mulai dari mana lagi untuk menata kembali hidupku yang sudah porak poranda ini. Jadi bagaimana kalau ada orang yang bertanya mengenai hal itu meski cuma sekadar basa-basi belaka? Sanggupkah aku menjawab pcrtanyaan-pertanyaan semacam itu? � Yah. memang. apa yang harus kujalani sesudah rencana masa depanku hancur beranlakan sepcni ini, aku masih belum tahu. Memikirkannya saja pun belum. Lalu apa pula yang harus kulakukan setelah gelar sarjana strata dua itu kukantongi? Bekerja? Kalau ya, ke manakah aku akan pergi mencari pekerjaan? Di Solo? Di Yogya? Di Semarang? Atau malah kembali lagi ke Jakarta? Dan pekerjaan macam apakah yang akan kuterjuni? Dosen? Menjadi konsultan pribadi di biro konsultasi bagi orang-orang yang punya masalah kejiwaan? Di perusahaan-perusahaan untuk mengurusi bagian personalia? Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi lagi? Atau menjadi peneliti? � Umurku sudah dua puluh lima tahun lebih sekarang ini. Di Tawangmangu ini, banyak temanku b ermain di masa kecil dulu yang sudah menikah, bahkan menjadi ibu dari seorang atau dua orang anak. Karena nya aku yakin, kedua orangtuaku pasti sudah ingin jug a melihatku menikah seperti ke-banyakan teman-tema nku itu lalu membcri mereka cucu. Maka kegagalan per cintaanku dcngan Mas Dewo, sedikit atau banyak pasti mcninggalkan kekecewaan di hati keduanya. � Suara tapak kuda yang mendekat ke tempat persembunyianku itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah asal suara dan kulihat lagi laki-laki tadi lewat di dekatku. Kali itu wajahnya mengarah lurus ke depan tanpa cksprcsi apa pun Dan sekilas pun dia tidak menoleh ke arahku. Seolah aku tidak ada di situ. Padahal aku sangat � yakin dia mengctahui aku duduk di sini, ^ jauh dari tempat yang dilaluinya. J 1 � Maka kalau tadi aku mulai disinggahi rasa curiga, sekarang aku mulai juga dikuasai oleh perasaan mendongkol. Sebab aku merasa yakin bahwa orang itu memang scngaja mengikutiku Tetapi sayangnya aku � Merasa terganggu oleh laki -laki yang meskipun berwajah menarik tetapi menyebalkan itu, aku bangkit dari tempat dudukku. Cepat-cepat ikatan kudaku kulepas dan aku langsung naik ke atas punggungnya untuk segera kembali ke Telaga Sarangan tanpa berniat memperpanjang waktu lagi. Pak Ijan sudah menunggu di dekat mobilku ketika aku sampai ke tepi telaga lagi. Aku melirik arlojiku. Memang sudah hampir satu jam lamanya aku pergi. Kuberi dia uang jauh lebih banyak dari yang seharusnya sehingga wajahnya tampak gembira. � "Maturnuwun, Den." � "Sama-sama, Pak Ijan. Kalau ke Tawangmangu. mampirlah ke rumah." � "Iya, Den. Sampaikan hormat saya untuk Ndoro Jendral. Juga salam saya buat Pak Kirman suarn.-istri." � "Akan kusampaikan. Pak." � "Anak-anak Pak Kirman belum ada yang kembali. Den?" � "Hanya yang kedua, si Kuncung Seno yang sudah kembali ke Tawangmangu." � "Rambutnya sudah tidak dikuncung kan. Den?" Pak Ijan tertawa. � Rambut model kuncung adalah rambut yang digundul tetapi di bagian atas depan kepala di-sisakan. Pak Kirman sendiri yang memotongnya. Sebab si Seno di masa kecilnya dulu sering bisulan di bagian kepalanya. Apalagi setelah dia makan
telor. � "Tentu saja tidak, Pak Ijan!" Aku juga tertawa. "Si Kuncung sekarang kan sudah menjadi guru SD di Tawangmangu juga." � "Yang lain?" � "Aku tidak tahu, Pak Ijan. Cuma si Ragil yang bungsu itu dikuliahkan oleh pamannya di Solo. Orang-orang bilang, si Ragil itu pinter. Katanya tahun ini kuliahnya selesai. Kalau dia mau, Bapak akan menyuruh dia bekerja di pcrusahaannya." � "Jadi apa dia kalau kuliahnya sudah selesai, Den?" � "Dia kan kuliah di akadcmi akuntasi, Pak. Tentu-nya nanti dia ya jadi akuntan. Itu lho Pak, orang yang ahli di bidang tata buku dan administrasi keuangan perusahaan," jawabku secara sederhana. � "Wah, hebat ya. Den." Pak Ijan mengangguk-anggukan kepalanya. "Pak Kirman itu memang orang yang punya peruntungan baik. Dia send iri, jadi salah satu dari orang-orang kcpcrcayaan Ndoro J endral. Adiknya yang di Solo kaya dan cuma punya sat u anak perempuan saja. Menurut yang � saya dengar. adiknya itu punya usaha batik kecil kecilan yang laris. Makanya dia sayang sekali kepada anak-anak Pak Kirman yang kalau datane ke Solo selalu ikut membantu-bantu usahanya itu" � "Iya, Pak. Anak-anak Pak Kirman memang anak-anak yang baik." Aku menjawab sesuai seperti yang sering kudengar dari kedua orangtuaku kalau mereka mcmbicarakan keluarga Pak Kirman. � 'Tetapi anak itu kan tidak jadi kacang lupa pada kulitnya, kan?" � "Si Seno dan si Ragil? Rasanya sih tidak, Pak. Aku sering melihat si Seno atau si Ragil kalau kebetulan mereka sedang pulang ke rumahnya. Selalu saja mereka membantu bapaknya mengerja-kan apa pun tanpa merasa malu dilihat orang. Malah si Seno yang sudah jadi guru pun masih mau melakukan pekerjaan yang dulu dilakukannya di masa kecil. Membersihkan kandang-kandang kuda Bapak. Ikut membantu-bantu di perkebunan. Dan lain sebagainya." � "Pak Kirman suami-istri memang pandai men-didik anak." Pak Ijan berkomentar lagi. "Cita-cita buat anak-anak mereka juga setinggi gunung. Sebab seperti Bung Karno dulu yang sering mcngucapkan gantungkan cita-citamu setinggi bintang, Pak Kirman juga seperti itu." � "Iya, Pak." � "Dan bagaimana dengan si sulung dan yang ketiga? Apa kabar mereka?" Aku terdiam. Si sulung? Yang ketiga? Wah, aku tidak begitu kenal mereka. Bagaimana � aku bisa menjawab pertanyaan Pak Ijan tentang kabar mereka? Membayangkan seperti apa anak Pak Kirman yang dua orang itu saja pun, aku tidak bisa. Aku hanya tahu kalau si Didik, anak Pak Kirman yang ketiga, diambil oleh kakak Mbok Kirman yang di Semarang. Karena dia jarang sekali pulang ke kampung halamannya, aku hanya ingat wajahnya secara samar-samar saja. Kalau tidak salah ingat, wajahnya mirip si Ragil. Sedang-kan anak Pak Kirman yang sulung, aku lebih-lebih lagi tidak tahu. Anak yang dibesarkan oleh kakek-neneknya di Lampung itu hampirhampir tak pernah pulang ke Tawangmangu. Pak Kirman dan Mbok Kirman-lah yang setiap Lebaran selalu berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi dengan orangtua Mbok Kirman itu, sebab orangtua Pak Kirman sudah lama meninggal. "Wan Pak Ijan, kalau tentang dua anak Pak Kirman yang itu saya tidak begitu tahu. Apalagi yang sulung, Namanya saja pun saya tak ingat," sahutku kemudian. "Mungkin saja waktu saya masih sekolah di Jakarta, mereka pernah datang menjenguk ke Tawangmangu. Tetapi yang pasti, saat ini mereka tidak ada di rumah orangtuanya." � "Oh, begitu. Pokoknya Den, kapan-kapan saya pasti akan ke Tawangmangu lagi untuk kangen-kangenan dengan kawan-kawan lama. Terutama dengan Pak Kirman. Dia dulu banyak memberi saya pelajaran bagaimana merawat kuda yang benar. Pengalamannya banyak." � "Dan mampir ke rumah kami ya, Pak. Nanti � saya bawakan pakaian-pakaian bekas buat keluar � Pak Ijan." � -Aduh senang sekali, Den. Pasti masih bagusbagus." � Aku tersenyum. Setelah pamit, tanpa menunggu lebih lama lagi aku langsung melarikan mobilku kembali ke Tawangmangu. Untungnya hari itu aku merasa puas melihat keindahan alam. Dan juga bisa berkuda di daerah yang tak begitu kukenal sehingga dapat sedikit mengobati rasa bosan di hatiku. Kalau tidak, percuma saja hari ini aku mcninggalkan Tawangmangu untuk mencari ke-damaian hati di tempat
lain. Laki-laki menyebalkan tadi telah merusak rencanaku untuk menyendiri. � Sambil menata pikiranku agar nanti aku bisa tiba di rumah kembali dengan wajah gembira dan sikap wajar, kukendarai mobilku dengan tenang. Tetapi sayangnya seperti ketika berangkat tadi, waktu mobilku mendekati Cemoro Sewu, lewat kaca spion aku melihat di kejauhan pengendara motor tadi muncul lagi di balik tikungan dan berada di belakang sebuah minibus wama merah. Bahkan ketika minibus merah itu mendahuluiku, motor beserta pengendaranya yang menyebalkan itu mulai berada tepat di belakangku lagi seperti tadi waktu aku baru berangkat. � Merasa marah, waktu mobilku berada di jalan yang menanjak aku memperlambat lajunya dengan maksud membuat pengendara motor itu kerepotan. Tetapi ternyata motor itu tetap berjalan di belakang mobilku dengan kecepatan stabil dan tenang. Maka � aku mengganti taktik. Waktu jalan mulai mcnurun, aku mempcrcepat laju kendaraanku agar jarak di antara kedua kendaraan kami semakin jauh. Tetapi kali itu pun aku gagal lagi. Motor itu masih tetap berada di belakangku dengan memperccpat laju jalannya. � Melihat itu kemarahanku memuncak. Kuhentikan mobilku di ceruk pertama yang kulihat sesudah kegagalanku itu. Pikirku, kalau laki-laki itu juga ikut berhenti aku akan turun dari mobil dan men-dampratnya sepuas hatiku. � Tetapi ternyata laki-laki itu tetap terus melanjutkan perjalanannya dengan sikap yang sama tenang-nya, melewatiku. Tanpa menoleh ke arahku pula. Kurang ajar betul dia, seperti orang yang tak bersalah saja tampangnya. � Setelah itu kutunggu sekitar sepuluh menit sesudah dia lewat, baru kulanjutkan lagi perjalananku. Hatiku mulai merasa tenang karena di depan mau-pun di belakangku tak lagi kulihat motor yang menyebalkan itu. Aku pun mulai menikmati perjalananku. Tetapi tiba-tiba dari sebuah jalan kecil, motor itu muncul lagi. Dan seperti tadi, motor itu mengekor di belakang mobilku dengan tenangnya. � Karena perjalanan sudah tidak begitu jauh lagi dan medannya juga sudah di tempat yang kukcnal betul, laju kendaraanku kupcrccpat. Aku ngebut. Tetapi seperti yang sudah kuduga, motor itu juga mempercepat laju kendaraannya, mengekor di belakangku. � Kali itu aku tak ingin memcdulikannya. Buat � apa repot-repot mengurusi orang gila, pikirku } kuabaikan saja keberadaannya. Bahkan kuaneean saja dia pengawal pnbadiku. Maka aku terus^.a mengemudikan kendaraanku dengan sikap tenant yang berhasil kuraih. Apalagi perjalanan sudah semakin mendekati akhimya. Tawangmangu sudah pula mulai kumasuki. � Sekitar setengah kilometer jauhnya sebelum aku berbelok ke kiri yaitu ke arah jalan di mana rumah orangtuaku terletak, tiba-tiba saja motor tadi mendahuiuiku. Kali itu pengendaranya menoleh ke arahku. Helmnya sudah tidak lagi bertengger di kepalanya. Dan dengan wajah tanpa pelindung apa pun, laki-laki itu menoleh ke arahku dan tersenyum lebar kepadaku. Sesudah itu kecepatan motornya semakin dipercepat, melesat terbang menjauhiku dan lenyap dari pandangan mataku. � Menjengkelkan sekali laki-laki itu. Di dalam hatiku, aku memaki-makinya dengan kasar. � Empat � Karena tiba-tiba merasakan sentuhan hangat di wajahku, aku mulai terbangun. Kulihat sinar matahari pagi mulai menyerbu masuk menembus kaca jendela kamarku dan menerobos lewat celah tirai-nya yang berwarna kuning emas. Dan kehangatannya menjilat lembut wajahku seperti hendak men-coba mengusir udara sejuk yang telah membuat pucuk hidungku terasa dingin. � Kukejap-kejapkan mataku menyadari hari yang baru datang pagi itu. Kusingkapkan selimutku dan kurentangkan kedua belah lenganku lebar-lebar sambil meregang tubuhku yang terasa agak kaku. Aku tahu sebabnya. Tubuhku letih kecapekan setelah kemarin mengangkat ini dan itu. � Seharian kemarin, memang aku membereskan kamarku ini dan mengubah letak perabotannya untuk sekadar mencari suasana baru. Tak kuper-hitungkan, letak kepalaku yang menghadap ke arah jendela akan menjadi persinggahan empuk cahaya matahari pagi yang tanpa permisi langsung menjilat pipiku. Mungkin, tempat tidur ini perlu kugeser agak ke tengah. Masih banyak waktuku untuk � melakukan apa pun yang kumau sebelum... ah. sebelum apa? � Tiba-tiba aku terduduk, teringat sesuatu. Bcsok adalah hari pernikahan Mas Dewo dengan Titik. Dan hari ini upacara siraman calon pengantin akan dilaksanakan di rumah masing-masing, di rumah orangtua Titik dan di rumah orangtua Mas Dewo. Nanti malam akan ada acara midodareni di rumah Titik. Konon
menurut cerita, malam midodareni adalah malam penuh harapan bagi calon pengantin putri untuk mendapat anugerah ke-cantikan dari para bidadari yang akan turun pada tengah malam sehingga pada acara perkawinan esok harinya pengantin putri itu akan tampak sangat cantik dan manglingi (tampak beda dan membuat orang jadi pangling). Konon menurut cerita orang pula, malam midodareni adalah malam terakhir kehidupan seorang gadis sebagai perawan. Dan Titik akan mengalami malam seperti itu. � Tanpa sadar, membayangkan cerita itu aku jadi tersenyum pahit sendirian. Entah, apa makna malam midodareni bagi calon pengantin putri yang bukan hanya sudah tidak perawan lagi tetapi juga sudah ada bayi di dalam rahimnya itu. Dan bagaimana pulakah cara si perias pengantin menyem-bunyikan perut Titik yang sudah mulai menyembul itu? � Pikiran dan pertanyaan-pertanyaan hati di seputar pernikahan Mas Dewo sungguh menyiksa dinku sendiri. Kenapa kubiarkan pikiranku terseret ke sana? Apa bedanya hari ini dan hari kemarin atau � hari esok? Mas Dewo toh sudah masuk kotak, tidak lagi ikut main di dalam kehidupanku. � Tetapi ah. bukankah seharusnya yang akan menikah dengan Mas Dewo itu. aku. Bukan Titik yang tidak dicintainya. Maka seharusnya aku pula-lah yang semestinya hari ini bersiap-siap untuk mclakukan upacara siraman menjelang sore nanti. Bukan gadis lain. Apalagi Titik yang scnangnya mengejar-ngejar Mas Dewo itu. � Tetapi ya Tuhan. bodohnya aku berpikir sepicik itu. Dengan perasaan marah terhadap diriku sendiri karena lintasan pikiran seperti itu, kusingkirkan sclimutku jauh-jauh dengan kedua belah kakiku Kemudian tubuhku meloncat seperti ikan meletik di permukaan air. Lalu kubuka jendela kamarku lebar-lebar dan kubiarkan cahaya mentari pagi me-nyirami sebagian kamarku. Cahayanya yang memantul dari wama kuning emas tirai jcndelaku memberi sentuhan warna yang menakjubkan di kamarku. Alangkah indahnya pagi ini. Alangkah cerahnya pula cuaca hari ini. Aku tak boleh me-nodainya dengan pikiran-pikiran picik mengenai Mas Dewo dan Titik. Hari ini sama seperti hari-hari yang lain biarpun mereka berdua akan menjadi sepasang suami-istri. � Dengan sedikit lebih berscmangat, aku lari ke kamar mandi. Selesai mandi, aku langsung ke ruang makan. perutku terasa lapar. Tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan menilik tanda-tandanya, seluruh keluargaku sudah sarapan. Dan mengingat aku dibiarkan tetap tidur meski matahari � sudah mulai merangkak ke atas, aku merasa yakin mereka memang sengaja membiarkanku tetap tidur lelap- Barangkah saja mereka mengira semalam ^ tidak bisa tidur mengingat apa yang akan terjadi hari mi. � Mataku terasa panas oleh air mata yang tiba-tiba membasahi pelupuk mataku. Air mata itu Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa lebih banyak disebabkan rasa kasihan pada diriku sendiri karena telah menjadi tumpuan belas dan kasih keluargaku. Alangkah rapuhnya aku dalam pandangan mereka. Sungguh memalukan... � Rasa laparku, mendadak lenyap. Tudung saji kututupkan kembali. � "Eh, Den Wulan..." Mbok Sumi muncul dari arah dapur. Di tangannya, ia membawa stoples berisi emping. Menilik tutupnya yang belum di-pasangkannya, aku tahu emping itu baru saja di-gorcng dan masih panas. "Mau sarapan sekarang?" � "Tidak." Aku langsung menjawab. Tak ada seleraku untuk makan apa pun. � "Kok tidak sih?" Mbok Sumi mengernyitkan aiisnya. 'Tadi pagi Mbok Kirman mcngirim singkong goreng dan gethuk lindri aneka rasa untuk Den Wulan. Apa itu saja yang buat sarapan?" � 'Tidak, Mbok." � "Ah. kasihan Mbok Kirman..." Mbok Sum. menggerutu. "Pagi-pagi, dia sudah bangun membuat makanan buat Den Wulan dan langsung dibawa sendiri sampai ke sini. Tetapi begitu ada d, atas meja makan. Den Wulan mengabaikannya begitu saja." � Hatiku tersentuh. Mbok Kirman, sama seperti Mbok Sumi, sama seperti keluargaku dan juga . sama seperti orang-orang Iain di Tawangmangu ini. tahu bahwa hari ini adalah hari yang berat bagiku. Dengan caranya sendiri, lagi-Iagi Mbok Kirman mengirimiku makanan hanya untuk me-nunjukkan tanda bahwa dia berada di pihakku. Bahwa kehilangan kekasih bukan berarti kehilangan segalanya. Masih banyak orang Iain yang menya-yangi dan memperhatikan diriku. Termasuk dia. � "Baiklah Mbok, aku akan makan singkong gorengnya." Akhirnya aku mematuhi suara
hatiku. "Saya panasi dulu ya, Den?" 'Tidak usah." "Nanti keseretanl" � "Kalau mau dipanasi, bagaimana caranya Mbok? Aku tidak suka lho kalau digoreng lagi. Nanti terlalu banyak menyerap minyak. Tak enak lagi rasanya." � "Pakai oven listrik kok. Den." � "Ya sudah kalau begitu. Aku mau." � "Nah, begitu!" Suara Mbok Sumi memperdengar-kan perasaan leganya. Sikapnya tampak gembira dan matanya berseri-seri. Aku berani bertaruh, kalau hari ini bukan hari siramannya Mas Dewo, Mbok Sumi tak akan tampak segembira itu mengetahui aku mau makan sesuatu. "Sambil menunggu singkongnya panas, cicipilah gethuk lindrinya. Ada rasa cokelat, ada rasa vanili, dan ada rasa jeruk. Itu lho Den, yang ditutupi serbet kertas." "Ya, Mbok. Terima kasih " � Untunglah pagi itu aku mau menuruti saran Mbok Sumi untuk mengisi perutku lebih dulu Sebab begitu keluar rumah, aku langsung terpikat pada sepeda gunung mihk Mas Danu yang di-standarkan di garasi. Aku melongokkan kepalaku ke samping garasi, ke tempat Yu Rapiah sedang menyapu halaman. Aku mengenali caranya menyapukan sapu lidinya ke tanah yang penuh daun nangka kering. � "Yu, Mas Danu di mana?" Aku bertanya kepada-nya. � Suara sapu lidi itu terhenti. � "Den Danu ke Solo, Den." Yu Rapiah menjawab pertanyaanku. � Tni hari libur kan, Yu? Apa dia lembur ?" � "Dia tak bilang apa-apa, tadi. Begitu sarapan, langsung pergi. Ya cuma itu tadi, bilang mau ke Solo. Titik." � 'Temannya mau menjalani upacara siraman kok dia malah pergi!" Aku menggerutu. Pikirku, keluargaku janganlah sepicik diriku. � "Lho, perginya itu justru untuk menghindari upacara itu kok!" Yu Rapiah mengerutkan dahinya. � "Jangan mengarang lho Yu." � 'Tidak. Wong saya tadi ya sudah mengingatkan hal itu kok." Yu Rapiah menjawab komentarku. "Saya pikir kalau Den Wulan tidak sudi datang ke sana, itu wajar sekali. Tetapi Den Danu ya jangan *ut-ikut begitu. Harus kita tunjukkan kepada orang ,anyak kebesaran jiwa kita. Tetapi mendengar sa-ri,n saya itu. Den Danu cuma diam saja. Lha uu � sama saja seperti sengaja memang tidak mau datang ke upacara siramannya Mas Dewo itu, kan?" � Rupanya Yu Rapiah mempunyai persamaan pikiran dcnganku. Tetapi ah. sudahlah. Untuk apa memikirkan pendapat orang. � "Dia mau beia rasa kok, Yu. Biar sajalah apa maunya. Dan biar sajalah pula orang mau bilang apa." sahutku kemudian. � "Iya, ya. Betul juga." Yu Rapiah tertawa. "Wong Den Dewo yang salah kok kita yang repot-repot memikirkan pandangan atau pendapat orang banyak!" � Aku tercenung mendengar komentar Yu Rapiah itu. Kusadari kebenaran perkataannya. Dan ku-sadari pula betapa relatifnya suatu masalah yang ada di hadapan kita. Berat atau ringannya, ter-gantung bagaimana cara kita memandangnya dan dari mana pula sudut pandang kita. � Setelah meresapi pemahaman itu, aku tersenyum. Dan lalu teringat pada tujuanku menanyakan Mas Danu tadi. Karenanya lebih kutegaskan tentang apa yang kumaui. Yaitu meminjam sepeda Mas Danu. � "Jadi sepeda Mas Danu menganggur kan, Yu?" "Rasanya sih begitu." � 'Tetapi kenapa ada di garasi? Biasanya kan disimpan di gudang belakang. Jangan-jangan mau dipakai. Yu." � "Ada di garasi itu kan karena Den Danu belum sempat menyimpannya. Kemarin sore, dia ber-sepeda entah ke mana bersama Mas Aswin." Aswin � adalah anak Pak Bahar yang mempunyai penei-napan yang letaknya tak jauh dari Gerojogan Se, -Kalau begitu, sepedanya akan kupakai" -Pakai sajalah Tetapi jangan lupa mengenakan topi Iho, Den. Kelihatannya hari ini akan panas " "Ya." � Tak lama kemudian aku sudah bersepeda ke arah perkebunan milik Bapak. Kebun keluarga kami sangat luas. Bapak sering bercerita bahwa dulu kebun yang luas itu dipenuhi oleh pohon jeruk keprok. Dulu, jeruk keprok Tawangmangu sangat terkenal kelezatannya. Hampir setiap halaman rumah penduduknya terdapat pohon jeruk. Kalau sedang berbuah sungguh sangat senang memandang kebun kami. Kata Bapak, sejauh mata memandang penuh pohon yang sarat dengan buah-nya yang berwarna keemasan. � Namun kemudian dengan berlalunya sang waktu, pohon-pohon jeruk itu mulai lenyap satu persatu. Bukan hanya yang ada di kebun milik keluarga kami saja
tetapi juga kebun jeruk milik keluarga-kelua rga lainnya. Tidak jelas apa sebabnya. Mung-kin karena munculnya hama yang sulit diberantas. Mungkin kondi si tanah yang sudah dihabiskan kesuburannya sementa ra penanggulangan yang tepat untuk mengatasinya suli t dilakukan sehingga kualitas buahnya semakin lama s emakin menurun. Mungkin karena kalah bersaing deng an jeruk-jeruk 'mpor dan jeruk dari luar Jawa yang lebi h murah. Dan mungkin pula kurangnya pcrhatian dan p e-merintah sehingga bukannya berkembang tetapi � bahkan semakin memudar dan memudar. Entahlah, mana yang paling kuat pcnyebabnya. Tetapi yang jelas, sekarang ini pohon jeruk kami tinggal beberapa batang pohon saja. Buahnya juga tidak seistimewa seperti cerita Bapak dan Ibu mcngenai zaman keemasan jeruk keprok Tawangmangu di masa lalu. Buah-buah itu hanya menjadi santapan kami sendiri. Tidak menjadi komoditas utama se-perti dulu. Dan yang dijadikan pengganti prima-donanya adalah bunga-bungaan dan tanaman hias. Sedangkan sayur-sayurannya wortel, kol, labu siam, dan bawang putih. Sementara buahnya adalah pi-sang ambon. Sebagian kecil juga ditanami ubi untuk variasi saja. Ubi jaiar khas Tawangmangu besar-besar dan manis. Kalau direbus, di dalamnya seperti ada bagian yang bulat keputihan seperti telor. Orang sini bilang ubinya "ngendok" atau bertelor. Dimakan malam hari ketika udara sedang dingin-dinginnya, sungguh enak. � Saat sepedaku mulai memasuki kebun bunga, aku berhenti di bawah pohon sawo untuk me-ngagumi deretan panjang berbagai macam tanaman hias yang tertata apik. Kulihat beberapa pekerja sedang memindah-mindahkan tanaman yang terlalu penuh ke dalam pot-pot yang sudah diisi plastik-plasik hitam berisi campuran kompos dan tanah. � Sebagian lainnya sedang menyirami dengan cara tradisional, yaitu memikul dua gembor, atau ceret besar dengan ujung pancuran berlubang-lubang untuk keluarnya air, yang dipikul miring sehingga � ^mbil berjalan cepat tanaman di deretan kiri dan � kanannya tersirami. � Puas menyaksikan kesibukan di tempat itu k,. mntun sepedaku ke bagian lain. Sekarane' ak' melihat deretan pohon cemara kipas yant iuea berjajar rapi. Sejumlah seratus lebih pohon cemara dengan tinggi kira-kira satu setengah sampai dua meter yang sudah dimasukkan ke dalam pot-pot besar, siap dtbawa pergi entah ke mana. Aku melihat ada beberapa truk diparkir di tempat itu. Sejumlah pekerja mulai memindahkan pot-pot berisi pohon cemara yang tingginya kira-kira antara satu setengah sampai dua m eter itu ke atas truk. Seorang mandor yang tidak begitu kukenal sedang memberi petunjuk-petunjuk dengan s uara keras. � Beberapa saat sesudah puas melihat-lihat kesibukan di bagian itu, sepeda gunung Mas Danu kunaiki lagi dan berhenti lagi untuk melihat-lihat bagian kebun yang ditanami bawang putih. Tetapi saat itu baru saja selesai panen. Setelah panen, kesibukan beralih dari kebun ke dalam bangunan semacam gudang yang didirikan di dekat sebuah pohon beringin. Biasanya, setelah diangin-anginkan pada deretan anjang-anjang yang terbuat dari anyaman bambu dan dibersihkan dari kotoran tanah, bawang putih itu dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang untuk diseleksi kualitas maupun besar-kecilnya. � Dengan tetap duduk di sadel dan kaki sebelah menahan tegaknya sepeda, aku memperhatikan para pekerja yang sedang menyeleksi bawang putih di � dalam bangunan berpintu lebar dan berlantai semen itu. Ada seorang bocah perempuan berumur sekitar dua belas tahun yang ikut dalam kegiatan tersebut. Aku belum pernah melihatnya. Tetapi aku yakin anak itu tahu siapa diriku sebab ketika aku mendekat ke tempatnya, dia tampak agak gugup. � "Siapa namamu?" tanyaku kepadanya de ngan sikap ramah, berharap kegugupannya itu akan hi- lang. � "Siti, Den." Hm, benar. Dia sudah tahu siapa aku. � "Jangan panggil aku dengan sebutan 'Den', ah. Panggil saja aku Bu Wulan." Aku tersenyum manis kepadanya. "Baru sekarang ikut bckerja di sini ya? Aku belum pernah melihatmu." Tya Den, membantu Emak..." Hm, "Den" lagi. Padahal untuk generasi yang sebaya dengan diriku dan terutama generasi di bawahku, aku tidak suka kalau mereka memanggil-ku dengan gelar kebangsawananku. Hal-hal se-macam itu sudah sangat tidak cocok dengan situasi masa kini. Tetapi untuk mereka yang berusia lebih dari umurku, aku membiarkannya saja sejauh itu hanya merupakan kebiasaan yang sudah terlanjur mengakar. Sebab ketika kucoba mengubah kebiasaan mereka ternyata tidak mudah. Kebiasaan menyebut gelar kebangsawanan yang ditujukan kepada kami dari mulut mereka, benar-benar seperti sudah terpatri di
bibir mereka. Jadi akhirnya ku-biarkan saja. � ^makmu siapa namanya?" Aku b kepada anak itu. * � -Dia anak saya, Den Wulan." Seorane perem puan yang sedang menumpahkan bawang yanK sUdah d.bersihkan ke dalam keranjang, menjaU pertanyaan yang kuajukan kepada anak perempuan tadi. "Mumpung lagi hbur" � "*0h, anakmu /o, Yu Nah." � "lya. Den. Yang sulung." � "Kalau cuma sekali-sekali membantumu di sini, tak apa-apa kalau dia memang suka. Tetapi jangan mengurangi kesenangannya bermain Iho, Yu. Dia masih anakanak." � "Iya, Den. Tetapi ini tadi dia sendiri yang me-maksa mau ikut 'mburuh'." � "Ya sudah kalau memang begitu," aku me-maklumi keinginan anak itu. Barangkali saja dia memang ingin mempunyai uang dari hasil jerih lelahnya sendiri untuk membeli sesuatu. "Hari ini apa tidak ada yang memandori kalian to, Yu? Aku tidak melihat Pak Kirman atau Pak Slamci." � "Mereka ada pekerjaan Iain yang lebih penting. Den. Kalau tidak salah, ada kuda yang mau me-lahirkan. Pak Kirman kan ahlinya membidani kuda!" Yu Nah menjawab pertanyaanku sambil tertawa. Tetapi kedua belah tangannya tetap bekerja. "Dan lalu labu siam di kebun bagian Selatan itu juga sudah siap dipanen. Pak Slamet pasti ada di sana. Buahnya lagi banyak-banyaknya, Den. Tahun in< cuacanya sedang bersahabat dan tidak banyak h,ma yang mengganggu. Panen kita bagus semua." � "Ya, aku juga mendengar begitu..." Aku bcr-gumam sambil memperhalikan para pekerja yang ada di sekitarku. "Itu patut disyukuri." � "Betul, Den." Yu Nah tertawa lagi. "Apa mungkin karena kami sering berbicara dengan tanaman seperti yang disarankan Pak Kirman itu ya. Den?" � Mendengar kata-kata polos Yu Nah, aku tertawa. Pak Kirman kalau memandori para pekerja yang sedang mengurus tanaman memang sering kali memberi komentar atau saran macam-macam. Apalagi terhadap orang baru yang cara kerjanya seram-pangan. Dengan nada teguran, dia pasti akan me-nyuruh orang itu supaya memperlakukan tanaman seperti makhluk yang bemyawa. � "Pohon dan tanaman juga bernyawa," begitu aku sering mendengar Pak Kirman berkata kepada para pekerja dan juga pernah dikatakannya kepadaku. "Jadi petiklah dengan hati-hati dan lembut. Kalau perlu pohonnya diajak omong, wong kita sudah diberi makan oleh pohon-pohon dan tanaman-tanaman itu. Tetapi bukan berarti lamban kerjanya lho ya. Asal diingat kalau pohon-pohon diperlakukan dengan baik dan sering diajak omong, jadi subur tumbuhnya." � Tetapi sekarang, aku tidak melihat Pak Kirman. Juga tidak ada Pak Slamet, mandor lainnya. Melihat itu, rasanya ada yang kurang. Meskipun panen sudah selesai, tetapi pengawasan masih tetap di-perlukan. Sebab meskipun cukup banyak para pekerja yang mempunyai rasa tanggung jawab tetapi juga selalu ada saja yang bekerja secara � serampangan. Atau dengan diam-diam mpmK pulang bawang putih yang bagus-bagUS. Padahal bawang pUtih itupun masih enak dipakai, unluk * � bentuknya saja yang kurang begin, baeus ' � -Kalau tidak ada Pak Kirman atau Pak Slamet lalu siapa yang memandori kalian Yuk" BernV seperti itu aku mulai bertanya lagi kepad? Yu Nah. Ptkirku, kalau tidak ada yang memandori aku yang akan mengambil alih pekerjaan itu Sepeda Mas Danu sudah kusandarkan di dinding � "Saya." Suara seorang laki-laki terdengar di arah beiakangku. � Aku menengadahkan kepalaku. Kulihat, seorang laki-laki muda berdiri di atas tangga susun sedang membetulkan anjang-anjang yang doyong dengan kedua tangannya yang tampak kokoh itu. � Terus terang, aku terkejut. Dari tempatku, kulihat tampang laki-laki itu persis sekali dengan orang yang mengikutiku sampai ke Telaga Sarangan se-minggu yang lalu. Baik tinggi tubuhnya, bidang bahu dan dadanya, sama. Begitu pun kekokohan bentuk kakinya. Karenanya, mataku kusipitkan untuk melihatnya dengan lebih cermat. � "Saya, siapa?" tanyaku kemudian. Rasa ingin tahu menggelitik hatiku. Untuk menjadi mandor, laki-laki itu masih terlalu muda. � "Saya, Eko." � "Orang baru ya?" � Pertanyaan yang tidak aneh. Aku baru beberapa m'nggu berada kembali di Tawangmangu ini. Dan
� selama itu pun aku tak terlalu memedulikan kehidupan di perkebunan Bapak. Belakangan ini piktranku memang lebih tercurah kepada urusan pnbadiku. � "Orang baru? Ya, memang. Tetapi sebetulnya disebut orang lama pun, juga tidak salah." Sambil menjawab pertanyaanku, laki-laki muda itu me-loncat turun. Pekerjaannya telah selesai. � Berhadapan langsung dengan orang itu, aku ter-kejut lagi. � "Kau!" Mataku membesar menatap wajah laki-laki itu. Ternyata, laki-laki itu memang orang yang mengekor di belakangku ketika aku pergi ke Sarangan seminggu yang lalu. � "Ya, saya." Laki-laki itu tertawa lebar. Kemudian dibungkukkannya tubuhnya yang gagah itu dalam-dalam menghadap ke arahku. "Maafkanlah kclakuan saya tempo hari. Simbok menyuruh saya meng-awasi Den Wulan ketika pagi-pagi itu Den Wulan pergi begitu saja. Dan saya belum pernah meng-awasi orang. Apalagi orang itu sudah jadi gadis dewasa pula. Jadi waktu itu pastilah saya telah membuat hati Den Wulan jadi jengkel. Sekali lagi. maafkanlah saya." � Aku tertegun. � "Eko...?" Kujinjitkan alis mataku. "Eko siapa?" � "Eko Nugroho, anak sulung Pak Kirman. Masa lupa sih. Den?" Laki-laki itu tertawa lagi. Wajahnya yang menarik jadi tambah menarik. Dan matanya yang pernah kunilai seksi itu bersorot lembut. � Ya Tuhan, tak pernah aku menyangka anak Pak � Kirman bisa setampan ini. Meskipun |umayan cantik dan juga si Seno dan Ragi bukanya-pemuda yang bertampang Je|ek, tetapi j, sekali mereka tidak semenarik yang satu ini � Tcrus-terang... aku tidak ingat padamu" aku berkata agak tersipu. "Apakah, apakah kita pernah bertemu selam yang di Sarangan itu?" � "Pernah beberapa kali, waktu kita masih kecil Saya berlibur bersama Embah ke sini dan lalu dibawa Simbok ke rumah Den Wulan untuk di-kenalkan pada Bapak dan Ibu Suryo. Saat itu Den Wulan masih berumur sekitar tujuh atau delapan tahun dan saya sebelas tahun." � "Mana aku ingat...?" Aku tertawa. � 'Tetapi saya ingat. Pertama, karena sudah lebih besar waktu itu. Kedua, karena saya senang melihat rambut Den Wulan yang panjang. Tidak banyak anak-anak kecil yang rambutnya panjang. Waktu itu sedang..." � "Jangan panggil aku dengan sebutan 'Den'!" Aku menyela bicaranya. "Generasi kita sudah tidak sepantasnya lagi memakai dan menyebut gelar-gelar kebangsawanan berbau feodalisme. Kita hidup di alam kemerdekaan. Kalau kau tadi menyimak pembicaraanku dengan Siti, pasti sudah mendengar bahwa aku tidak suka dipanggil dengan gelar-gelar semacam itu!" � "Lalu saya harus memanggil apa, kalau begitu? ,b" Sepuh?" Mata lembut itu mulai bersinar-sinar. Kelihatannya, laki-laki bernama Eko itu suka menggoda orang dan termasuk orang yang tinggi se]era humornya. Baru saja kenal, sudah banyak bercanda. "Nona besar? Atau juragan?" Aku tertawa. � "Sebut saja namaku begitu saja," sahutku kemudian. � "Dan lalu membuat orangtua saya dan keluarga Den Wulan berdiri semua rambutnya?" � Aku tertawa lagi. Kusadari, meskipun perkataan-nya mengandung canda tetapi itu ada benarnya. � "Pokoknya aku tidak mau dipanggil dengan se-butan 'Den'," kataku kemudian. "Tetapi aku juga tidak mau dipanggil dengan sebutan 'Bu'. Memang-nya Bu Lurah!" � "Dipanggil 'Den', tidak mau. Disebut 'Bu tidak suka. Lalu. apa ya?" Eko menggaruk rambutnya yang tidak gatai. � "Panggil 'Mbak' saja, Mas Eko!" Yu Nah yang rupanya sejak tadi menguping, ikut bicara. "Ndoro Bei Rono menyuruh para abdi-abdinya memanggil putra dan putrinya dengan sebutan 'Mas' dan 'Mbak'. Semuanya, dari yang paling besar sampai yang paling kecil dan masih bayi itu." � Yang disebut Yu Nah Ndoro Bei Rono itu masih sepupu jauh Bapak. Sama-sama kerabat ber-darah bangsawan. Tinggalnya di Solo tetapi hampir setiap minggu berlibur di Tawangmangu. Mereka mempunyai rumah peristirahatan yang luas sekali di dekat rumah peristirahatan milik keraton. Tetapi jelas tidak seluas milik keluarga Cendana yang ada di sebelah sana. � . "Ya panggil saja aku 'Mbak'!" Aku m*,, , . � memangg,mu? ^Sebut nama saja. Eko!" � "Tidak. Kau lebih tua dariku. Tidak pantas aku memanggil namamu begitu saja."
� tetapi kan darah saya merah." Eko memainkan matanya. "Bukan biru. Jadi tidak apa-apa kalau.. " � "Jangan macam-macam!" Aku mulai bersungut-sungut. "Sebaiknya kupanggil saja namamu dengan sebutan 'Mas'. Mas Eko." � "Dan membuat seluruh rambut di kepala orangtua saya dan orangtua Den Wulan berdiri tegak semua?" � "'Den\ lagi!" Aku menggerutu lagi. � Tetapi sulit bagiku untuk tidak tertawa mendengar komentamya. Apalagi sudut bibirnya yang pernah kunilai seksi karena mencuat ke atas itu membuat orang mudah ikut tertawa bersamanya. Dan sungguh aneh, kejengkelanku kepadanya seminggu yang lalu, saat ini lenyap tak berbekas. � "Nah, sejak tadi saya belum berbasa-basi," Eko berkata lagi. "Apa kabar Den... eh, Mbak Wulan?" � "Kabar baik. Bagaimana pula kabarmu?" Aku membalas basa-basinya. "Dan selama ini kau ada di mana, bersama siapa dan apa saja yang kaulaku-kan di sana?" � "Aduh, banyak betul pertanyaannya." Eko tertawa. Tetapi kemudian wajahnya menjadi lebih serius ketika ia melanjutkan bicaranya. 'Tetapi kabar saya juga baik kok walaupun lima puluh hari yang lalu, Simbah putri meninggal dunta. � menyusul Simbah kakung yang sudah meningga| � satu tahun sebelumnya." � "Aduh, aku ikut berdukacita..." kataku, terkejut. "Mereka orangtua Mbok Kirman, kan? Aku tidak pemah diberitahu kalau mereka sudah meninggaj dunia." � "Mungkin waktu itu Den... eh, Mbak Wulan masih ada di Jakarta." � "Oh, ya memang. Dan sedang sibuk-sibuknya menghadapi ujian. Tetapi kedua orangtuamu ke sana, kan? Ke Lampung, kalau tidak salah." � "Iya. betul. Bapak dan Simbok langsung berangkat ke sana waktu saya interlokal mengabari kalau Simbah sakit keras. Untungnya Simbah masih sadar waktu mereka datang. Den." "Den, lagi!" � "Kebiasaan." Eko tertawa. � "Bagaimana bisa menjadi kebiasaan. Kau kan ada di Lampung?" � "Simbok dan Bapak sering membicarakan Mbak Wulan. Dan sebutan-sebutan itu seperti sudah ter-patri di bibir mereka. Otomatis saya sebagai anak-nya ya terbawa-bawa menyebut begitu sehingga sadar ataupun tidak, lalu menjadi kebiasaan." Eko tertawa lagi. � "Setelah kakek-nenekmu meninggal, kau lalu pulang ke sini?" � "Iya, Mbak. Di sana saya tidak punya siapa-siapa lagi. Jadi kebun Simbah di sana kami jual setelah dibicarakan matang-matang dengan seluruh saudara Simbok." � "Kebun apa itu?" Kebun lada, cengkeh, dan kopi" � ..Wah, hebat itu. Lada dan cengkeh di * k ^un terakhir ini kan termasuk primadona. " mu kaya ya? oimoan-Biasa-biasa saja kok, Mbak. Mereka itu |ongan transmigran yang termasuk lumayan berhSl ^a. Bukan yang punya tanah berhektarheS dan kaya raya. � "Kau kuliah di sana?" � "Ya." � "Sudah selesai?" � "Sudah. Empat tahun yang lalu." � "Di bidang?" � "Wah, wawancara ini ya?" Eko tersenyum. "Saya ini termasuk orang serakah kok Mbak. Dalam satu saat, saya kuliah di dua tempat. Pagi hari saya kuliah di Fakultas Pertanian, mengambil jurusan Teknik Pertanian. Dan pada malam harinya saya kuliah di Fakultas Ekonomi. Di situ saya mengambil jurusan Ekonomi Perusahaan. Saat itu saya benar-benar sering berada dalam keadaan tertekan karena beratnya persoalan yang saya hadapi akibat kuliah di dua tempat. Itu belum masalah kebun yang harus saya tangani juga. Tetapi yah, itulah konsekuensi dari besarnya kemauan yang kadang-kadang tidak diukur dengan kemampuan yang ada." � 'Tetapi kau benar-benar hebat!" � "Apanya yang hebat. Wong saya kuliah untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tujuan mencari ilmu ltu kan untuk memekarkan perkebunan. Tetapi � begitu Simbah mcninggal, niat itu surut. Dasar saya ini orang Jawa sih. Lebih Jawa daripada Simbah yang berani meninggalkan segala-galanya di Jawa." � "Dasar Jawa bagaimana?" Aku memotong. "Orang Jawa itu kan punya semboyan 'mangan ora mangan anggere kumpul', makan tidak makan asal tidak berpisah dengan kelompok primordialnya. Nah, itulah yang terjadi pada diri saya. Selain itu
memang ada juga alasan lainnya. Meskipun di-banding waktu di Jawa keadaan Simbah di sana jauh lebih sukses, tetapi saya tahu hati mereka tidak begitu bahagia. Anak-anak Simbah yang tiga orang ada di Jawa semua. Begitu pun para cucu mereka. Hanya ada saya dan anak paman saya saja yang ada bersama mereka. Nah, saya tidak ingin Bapak dan Simbok merasakan kerinduan yang sama seperti Simbah. Jadi saya putuskan untuk kembali ke sini." � 'Tetapi bukankah prospek perkebunan di sana lebih bagus daripada di sini. Tanahnya luas-luas. Kau bisa lebih sukses di sana." � "Iya sih," Eko menganggukkan kepalanya. 'Tetapi hidup ini kan bukan hanya sekadar mencari sukses saja, kan? Saya juga ingin mencari ke-hidupan yang lebih damai, lebih hangat, dan lebih tenang di sini. Di sana kami semua harus kerja keras karena mcdannya yang tidak seperti di sini. Dan suasana gotong-royongnya pun juga tidak seguyup seperti di sini. Sudah begitu ada banyak binatang liar yang sering mengganggu perkebunan. � Gajah, babi hutan dan orang hutan. Bahkan ^mau- Belum lag, hambatan-hamba^S^ Uannya saya ndak mau lagi ^^TZX ^ya sudah cukup saya bekerja kerls 2 keci| di sana. Sudah saatnya saya kembali ber kumpul dengan orangtua untuk mcmulai yano bam di sini- Apalag, di sana sudah tidak ada Simbah Terus terang saya sering merasa sepi di sana Tidak ada kehangatan." � Aku memahami perasaan Eko. Aku juga mengerti sekarang mengapa tubuh Eko begitu tinggi, tegap, dan lentur. Dan memang benar seperti yang aku dan Pak Ijan bicarakan, anak-anak Pak Kirman memang hebat-hebat daya juangnya. Tidak segansega n mereka bekerja keras untuk meraih cita-citanya. Teta pi toh ternyata ada nilai-nilai lain yang ingin dipenuhi ol eh Eko. Yaitu nilai ke-kerabatan dan kebersamaannya d engan kelompok primordialnya di Tawangmangu ini. I � "Lalu setelah kembali, apa rencanamu?" Aku bertanya lagi. � Dan Eko tertawa lagi untuk kesekian kalinya. � "Mbak Wulan mestinya jadi wartawan." ko-mentamya kemudian. � Aku tersenyum, sadar bahwa sejak tadi per-tanyaanku kepada Eko memang bcrtubitubi. Tetapi sulit bagiku untuk mengendalikan rasa ingin tahuku. � "Maaf, aku terlalu ingin tahu," kataku mengakui. "Oh, bukan begitu maksud saya tadi. Saya cuma belum bisa bilang apa-apa mengenai rencana-rencana saya. Soalnya terlalu banyak yang ada di kepala saya dan saya baru delapan han ada di sini." � "Dan baru saja sampai sudah mendapat periniah Mbok Kirman untuk mengawasi aku supaya jangan sampai bunuh diri!" Aku menyeringai. Eko tertawa. � "Simbok memang terlalu berlebihan mencemas-kan Mbak Wulan. Dikiranya masih gadis kecil yang bisa hilang tersesat di kebon singkongnya Mbah Kabul..." � "Hei, kau tahu juga cerita itu ya?" Aku me-motong sambil tertawa. � Aku memang pernah hilang selama berjam-jam di kebun orang ketika umurku baru tiga setengah tahun. Menurut cerita Ibu, seluruh desa sampai geger karenanya. Dikira ada yang mencutikku. Tetapi ternyata, itu terjadi karena aku ikut di belakang Mbok Kirman waktu dia datang ke rumah mengantar urap daun singkong kesukaan Ibu. Dia tidak tahu kalau aku mengekor di belakangnya sehingga aku tertinggal dan tersesat masuk kebun orang. Namun secara kebetulan Mbok Kirman juga yang menemukanku. Dia mendengar suara tangisku di antara pohon-pohon, di kebun Mbah Kabul tetangganya. Katanya, aku langsung menempel di gendongannya, tidak mau diturunkan lagi. Dibujuk Ibu pun aku tak mau lepas dari gendongan Mbok Kirman. Rupanya pengalaman hilang berjam-jam itu membuatku sangat ketakutan dan kehadiran perempuan itu menerbitkan pengertian akan rasa � ^yang Mbok K.rman kepadaku semakin S tarnbah. � -MasEko!; Suara Yu Nah menyela pembicaraan � "Keranjang besarnya sudah ditimbang. � Eko tersenyum. Menatapku sesaat. � "Tugas memanggil dan wawancara selesai," katanya kemudian. � "Ayo, kubantu mengerjakannya!" � "Dengan senang hati." � Hari yang kalau menurut keadaannya merupakan hari yang berat bagiku itu ternyata dapat kulalui dengan selamat. Aku terbawa larut dalam kesibukan di bagian kebun bawang ini. Menyeleksi kualitas-nya, memilah-milah besar dan kecilnya, menim-bangnya dan kemudian ikut mengepaknya untuk dikirim besok pagipagi sekali ke Solo, Yogya, Magelang, dan bahkan Semarang. Dan karena sibuk bekerja dan mengobrol di situ, tahu-tahu saja hari sudah sore. Aku bisa melupakan bahwa hari ini Mas Dewo sedang menjalani upacara siraman untuk memulai rangkaian acara pernikahannya.
� Besok, dia akan menjadi suami Titik. Besok, dia akan memasuki kehidupan yang sama sekali bam bersama perempuan lain. Aku hanyalah bagian dari masa lalunya. � Lima � MESKIPUN aku ingin sekali bersikap tak peduli dan tak mau memikirkan bahwa hari ini hari perkawinan Mas Dewo, mau tak mau tetap saja pikiranku terkait ke sana. Sebab bagaimana mungkin aku bisa melupakannya sama sekali? Meskipun yang sedang sibuk saat ini adalah keluarga Mas Dewo dan keluarga Titik tetapi semua orang yang kenal dengan kedua keluarga itu pasti juga sedang sibuk mempersiapkan din untuk hadir di sana. Termasuk keluargaku. � Pada jam sepuluh di pagi hari Sabtu itu kedua orangtuaku sudah tampak rapi dengan pakaian pesta mereka, siap untuk mengikuti upacara nikah Mas Dewo di salah satu masjid di dekat rumah keluarga Titik. Dari sana, akan ada upacara adat di rumah Titik dan diteruskan dengan resepsinya. � Di Tawangmangu, pesta pernikahan lebih banyak diadakan pada siang hari. Mungkin karena lebih praktis mengingat tamu-tamunya juga banyak yang berasal dari kota Solo, Karanganyar, Magetan, dan lain sebagainya. Atau mungkin juga demi ke-amanan. Entahlah apa alasannya. Tetapi biasanya � kalau ada yang ingin , jarang sekali diadakan di Tawangmangu � Begitulah, ketika Ibu keluar dari kamarnva rf*n ^ihatku duduk membaca majalah di ruangLlh beliau mendekatiku. � "Kau benar-benar tidak mau ikut ke sana, Wulan?" tanya beliau dengan suara lembut' Kelembutan yang sebenarnya tidak membuatku merasa senang sebab di dalamnya terkandung rasa iba yang justru mengganggu perasaanku. � "Buat apa kita ramai-ramai ke sana sih, Bu?" Aku menjawab sambil menutup majalah yang tadi kubaca dengan setengah hati itu. "Sudah ada Ibu, Bapak, dan Mas Danu, itu sudah cukup mewakili keluarga kita." � "Kau tidak apa-apa di rumah sendirian?" � "Ibu tenang-tenang sajalah. Lagi pula Tita ada di rumah, kan?" � "Aku juga mau ikut kok, Mbak," Tita adikku muncul dari kamarnya. "Siap menjadi wakilmu." � Dia tampak cantik sekali dengan kebaya encim berwarna beige yang dibordir di sekeliling leher hingga ke bagian depan sampai di ujung-ujung bawahnya. Sarungnya yang bercorak warna-warni menyemburatkan dominasi warna beige yang sangat serasi dengan kebayanya. Begitu pun selopnya yang entah dia beli di mana, juga sewarna dengan kebayanya. Rambutnya yang sebatas bahu hanya dijepit di bagian kirinya, menyembulkan antmg-anting bermutiara warna pink muda lembut yang � serasi dengan liontin dan pakaiannya. Hatiku bang-ga melihat kecantikan dan kemudaan adik perem-puanku itu. � 'Ta, jangan kaget kalau para tamu nanti bukan-nya melihat ke arah pengantin tetapi melihat ke arahmu Iho." � "Memangnya kenapa? Karena aku adikmu?" Ber-kata seperti itu alis mata Tita mencuat ke atas. "EGP? Emang gue pikirin. Aku tersenyum. Bukan hanya karena kata-kata itu baru kudengar lagi sesudah kami berdua kembali ke Tawangmangu tetapi juga karena sadar bahwa Tita ingin bela rasa terhadapku. � "Itu salah satu penyebabnya, Ta. Kau adalah adikku. Orang-orang pasti ingin melihat apa reaksi-mu ketika menyaksikan upacara nikah itu ber-langsung," sahutku menyabarkan. "Terimalah keadaan seperti iru dengan lapang dada. Kendalikan emosimu. Aku senang kau bisa mengatakan EGP. Memang harus seperti itu!" "Lalu penyebab lainnya, Mbak?" "Kau sangat cantik pagi ini. Luar biasa, malah. Dan sangat modis, sangat serasi. Nah, aku yakin sekaii kau akan menjadi pusat perhatian orang." � "Ada-ada saja kau Mbak!" Tita tersipu tetapi air mukanya tampak senang mendengar pujianku. � "Kau memang tampak sangat menawan, Tita!" Ibu ikut bicara sambil tersenyum. "Ibu jadi kha-watir kalau-kalau pengantinnya kalah menarik!" � "Ih, Ibu tidak malu ya memuji anak sendiri!" Tita tertawa. � "Tentu saja tidak Ta, sebab dia sebentar � Dan bahwa kecantikannyalah yng "pada kedua anak perempuannya!" BaoTk � tertawa. "Jadi kalau dia memuj.mu, itu berani da memuji dinnya sendiri." � Kami semua tertawa dengan gembira Tetapi aku sungguh-sungguh tahu, keceriaan yang mereka hadirkan di dekatku itu mereka lakukan lebih untuk menetralisir suasana mendung yang ada di hatiku daripada untuk saling menggembirakan hati
dengan cara goda-menggoda itu. � "Bapak juga ganteng hari ini." Aku mengikuti aturan main yang ada, demi tidak mengecewakan mereka. � "Aku juga ganteng Iho, jangan tidak dilihat!" Kudengar suara Mas Danu dari arah luar. "Dan orang yang ganteng ini sudah siap menjadi sopir. Mobil sudah dipanasi pula. Pokoknya, siap berangkat." i � Sekali lagi semua tertawa. Aku juga ikut tertawa. Lalu kuantar mereka sampai di luar dan kulambai-kan tanganku ketika mobil yang mereka naiki bergerak meninggalkan halaman, menuju ke jalan di muka rumah kami dan langsung ke arah jalan raya di depan sana. � Pelan-pelan langkah kakiku memasuki rumah kembali. Hatiku terasa amat tertekan. Dan aku fchu apa sebabnya. Kekalahan yang kurasakan itu. sebab aku yakin entah sedikit entah banyak, ada � saja orang-orang yang saal menyaksikan peN nikahan Mas Dewo nanti akan melayangkan ingatannya kepadaku. Kepada seorang gadis yang sedang menjadi pecundang. Seorang gadis yarig pulang kembali ke Tawangmangu hanya untuk menemui kekasih yang telah menjadi milik perempuan lain. � Secara jujur, aku harus mengakui bahwa ke-nyataan yang terjadi sekarang ini telah menyebab-kan harga diriku sangat terluka. Entah perasaan itu salah entah benar, tetapi aku benar-benar tidak menyukai situasi seperti int. � "Den Wulan..." � Aku menoleh. Mbok Sumi berdiri di ambang pintu ruang tengah dengan sehelai serbet di tangan-nya. Meskipun ia berusaha menyembunyikannya tetapi aku tahu bahwa perempuan itu mengkha-watirkan keadaanku. "Apa Mbok?" Aku bertanya dengan suara halus. Diam-diam di dalam hatiku aku merasa amat berterima kasih kepada perempuan yang telah bekerja selama hampir dua puluh tahun di rumah ini. Dia telah menjadi bagian dari keluargaku. Apa yang terjadi di dalam keluargaku menjadi persoalan pula di dalam hatinya. Bahkan selama ini dia hampir-hampir tak pernah pulang ke rumahnya meskipun jaraknya hanya sekitar satu kilometer jauhnya dari rumah ini. Kalau hari Lebaran tiba, dia cuma pulang selama beberapa jam saja untuk menjenguk kedua adiknya yang sudah berkeluarga dan bibinya yang sudah janda. Merekalah yang � .ring dalang berkumun8 ke sini dan tak i ikut menjadi buruh musiman d � Lak suammya pergi men.nggalkan dirinya 21 gL tak bisa memberinya anak, � A* in*"1 berkve,Ua7? ,a?" *aka ^ teta-S dicurahkannya kepadaku dan kepada Tita � -Den Wulan ingin dibuatkan masakan apa untuk makan siang nanti?" Ia bertanya dengan penuh � harap. � "Apa sajalah, Mbok. Asal ada sambal dan ikan � gorengnya." � "Baik, akan Mbok buatkan." Mbok Sumi mem-balikkan tubuhnya dengan wajah agak cerah. Tetapi beberapa detik kemudian ia mengembalikan posisi tubuhnya menghadap ke arahku lagi. "Sekarang ini lebih baik Den Wulan jalan-jalan saja dengan mobil. Asal jangan jauh-jauh." � "Usulmu baik juga." Aku mencoba tersenyum untuk menyenangkan hatinya. Tetapi memang betul, usulnya itu boleh juga. Karenanya aku segera menukar gaun rumahku sebelum pikiranku berubah lagi. Dalam kondisi seperti ini, aku bisa berubah pikiran berkali-kali dalam waktu yang tak lama. Untuk bekalku pergi, aku membawa bacaan. Satu lembar majalah dan satu buku novel karangan Pengarang favoritku. � Terus terang saja saat itu kepalaku tak bisa d'ajak berpikir. Begitu mobil kubawa keluar ha-larnan, aku tidak tahu harus mengarahkannya ke mana. Tetapi karena di beiakangku ada truk yang � juga mau keluar ke jalan raya, lekas-lekas aku melajukan kecepalan mobilku langsung menuju ke jalan raya. Jadi kuikuli instingku begitu saja entah ke mana pun mobilku dibawa. � Ketika aku lewat di muka kantor perkcbunan yang mengendalikan scluruh jalannya perkebunan milik Bapak, kulihat Eko keluar dari sana bersama Pak Kirman. Cepatcepat aku membuang muka, tidak ingin mereka tahu bahwa aku melihat ke-beradaan mereka. Aku sedang tidak ingin berbasa-basi meskipun cuma melambaikan sebelah tanganku lewat jendela mobil. Maka terus saja kuluncurkan mobilku tanpa menolehnoleh lagi dan juga tanpa berpikir apa pun lagi sampai akhirnya tahu-tahu saja aku sudah berada di halaman parkir di depan pintu masuk menuju ke Gerojogan Sewu. Rupanya bawah sadarku selalu saja menempatkannya pada urutan teratas pada daftar tempat yang kusukai di Tawangmangu ini.
� Hari Sabtu termasuk hari yang cukup lumayan pengunjungnya. Di tempat parkir ada beberapa mobil dari luar kota. Melihat itu aku tetap duduk di dalam mobil, ragu apakah aku akan turun atau-kah pergi saja ke tempat lain yang lebih sepi. � 'Tidak jadi turun, Den?" Suara tukang parkir menegurku di muka jendela mobil yang sudah kubuka separonya. Orang itu sudah lama kenal aku. Dan dia tahu betul bahwa sejak dulu aku sering datang ke Gerojogan Sewu untuk menycpi. Entah untuk belajar sendirian, entah untuk duduk berduaan dengan Mas Dewo. � Mendengar pertanyaan pemuda in. . ^nyum kepadanya dan kugelengkan kepalZ * Tiba-tiba saja aku kok jadi malas Kanu , . ,*. -jalah aku datang ke sini � Icernudian � -Baiklah kalau begitu. Mari, Den r o. � sudah kuduga, laki-laki muda itu memahami ke inginanku. "Man, Kang. � "Tetapi bagaimana kalau ke Candi Sukuh?" Suara seseorang menyambung pembicaraanku dengan tukang parkir tadi. 'Tempat itu tidak terlalu � ramai." � Aku menoleh. Kulihat Eko berdiri menjulang di sisi belakang mobilku. Laki-laki itu tertawa lembut kepadaku. Tetapi usulnya itu langsung kutolak dengan menggelengkan kepalaku. Aku sedang tidak ingin pergi ke mana pun yang banyak orangnya. Aku ingin duduk sendirian di suatu tempat tanpa ada orang lain di dekatku walaupun aku tidak tahu di mana tempat itu Dalam keadaan begini aku merasa dunia ini sangat sempit. Di mana saja, ada orang. � Tngin menyendiri ya?" Eko bertanya lagi. "Bagaimana kalau Mbak Wulan saya ajak melihat suatu tempat yang sepi tetapi sangat indah pemandangannya?" "Di mana itu?" � "Saya sendiri belum tahu apa nama tempat itu. Waktu itu saya pernah ke sana tanpa sengaja." "Jauh?" � 'Tidak. Cuma sekitar lima kilometer dari sini ke arah Comoro Sewu." Eko menjawab pertanyaan-ku masih sambil tersenyum. Atau mungkin jUga tidak tersenyum. Tetapi karena sudut-sudut bibirnya yang seksi itu mencuat ke atas, ia tampak seperti tersenyum. "Bagaimana?" � "Oke. Kita pergi ke sana," aku memutuskan Kalau aku tidak bisa menyendiri, apa salahnya kalau aku mengobrol dengan Eko. Bagiku yang penting adalah membunuh waktu dan menghindari pandangan kasihan dari orang-orang di sekitarku 'Tetapi apakah sekarang ini kau tidak punya se-suatu yang harus kaukerjakan?" � "Saya ini pengangguran, Mbak." Eko melebar-kan senyumnya menjadi tawa. "Jadi lebih baik saya pergi jalan-jalan daripada terus-terusan di-nuntai tolong oleh Bapak atau Simbok. Mereka itu suka in kalau melihat orang duduk-duduk menganggur. Tadi pagi-pagi sekali, kuping saya sudah Jit.mk Simbok lalu dibawa keluar dari tempat tidur hanya untuk disuruh menyapu latar. Padahal kotornya bukan main. Belakangan ini angin gunung lebih nakal daripada biasanya. Daun-daun kering dihambur-hamburkannya dari pohon apa pun yang ditiupnya." � Aku tersenyum. Melihat senyumku, Eko melanjutkan bicaranya lagi. � "Nah, selesai menyapu latar dan kemudian mandi, Bapak genii yang mcngambil tongkat ko-mando," katanya. "Bayangkan, belum selesai ganti baju, apalagi kok sarapan, saya sudah disuruh � n^gantar ke kantor untuk mengambil ,jiannya para pekerja. Bagi n*, ' Uan8 buat 5abtu adalah han yang paling rnenv ***** ^ dapat upah mingguannya, hari h??^ s,^a. Enak, kan? Tetapi saya? Sudah I"1*3 libur nya Bapak atau Simbok, tidak adaT Suruhan-Senyumku berubah menjadi tawT^* ^ ^ngan Eko memang menyenangkan am**3*11 vang bisa membuat senyumku merekah n**** juga menulanku untuk ikut-ikutan birar. bahkan -Lalu ketika melihatku lewaic7*semauku-Pak Kirman menyuruhmu mengikutik u'X lanyaku memancing. kan?" � TCok tahu?" Eko agak tersipu. "Mbak w I kam' ^ * depantt^ � 1'* � va' � "Ya. Nah, benar kan tebakanku tadi?" � "Betul." -iJ^I � "Kalau begitu cepatlah pulang sana. Katakan kepada Pak Kirman bahwa aku masih segar bugar. Tidak bunuh diri.*' � "Kalau saya harus melapor kepada Bapak untuk mengatakan bahwa Mbak Wulan masih utuh dan tidak bunuh diri, kapan kita bisa pergi ke tempat menyenangkan yang saya katakan tadi?" � "Oke, kita berangkat ke sana sekarang." Aku tersenyum lagi. "Ayolah naik ke mobilku.*'
� "Lalu motor saya dikemanakan?" � 'Dititipkan di sini saja." � "Bagaimana kalau sebaliknya?" Eko memainkan � katanya.____ � "Sebaliknya bagaimana?" � "Mobil Mbak Wulan yang dititipkan di sini." � "Lalu aku membonccng motormu?" � "Ya. Memangnya Mbak Wulan akan men dorong?" Eko tertawa lagi. Renyah sekali suaranya � "Wah!" Aku tertegun. Melalui kaca spion, parv dang mataku melayang ke arah motor besar yarig diparkir di belakangku. � "Apakah keberatan duduk di belakang saya?" "Bukan begitu..." � "Lalu kenapa? Kurang aman naik motor?" Eko mengerlingku. "Kalau itu yang menjadi alasannya, jangan khawatir. Motor saya motor besar. Termasuk motor antik. Saya membelinya di Lampung waktu seseorang yang punya hobi motor besar butuh uang dan menjualnya kepada saya. Orangnya sangat sayang pada motormotornya. Jadi saya jamin, Mbak Wulan akan merasa nyaman duduk di atas boncengan saya. Tenaganya 750 cc Iho, Mbak." "Masalahnya bukan itu, Mas Eko!" "Jangan memanggil saya dengan sebutan Mas. Panggil nama saja." � "Kalau begitu kau juga harus memanggilku dengan namaku saja." "Nanti seluruh rambut..." "Rambut orang-orang di Tawangmangu ini berdiri semua!" Aku menyergap perkataannya dengan sam-bungan kata yang pasti akan diucapkannya. Kemarin katakata semacam itu berulangkali dikatakannya. � Kami berdua pun tertawa. Sesudah itu Ek, menatap langit. � -jelaskan apa keberatanmu, Mbak av endengarnya," katanya kemudian 'ngin � ..Aku takut dilihat orang. Sebab aku vakin ri akan mempakan pemandangan ^elihatku duduk di boncengan seorang W^j* hari yang khusus seperti hari ini!" Aku bc^l dengan terus terang. Aku yakin sekali, Eko sudan mengetahui secara persis pengalaman cintaku dengan Mas Dewo dan kedua orangtuanya. "Aku ,idak ingin dianggap sudah jadi gi|a!" � Eko menganggukkan kepalanya, memahami kata-kataku. � "Saya mengerti," sahutnya kemudian. 'Tetapi, apakah itu bisa diatasi dengan helm, Mbak? Apalagi kalau Mbak Wulan juga mengenakan jaket. Saya selalu membawa dua buah helm." � "Kurasa, bisa. Apalagi di dalam mobilku juga ada jaket milik Mas Danu yang bisa kupinjam untuk itu. Tetapi bagaimana dengan tukang parkir dan penjaga loket itu?" � "Apakah mereka tahu kalau saya ini anak Pak Kirman?" � "Mungkin. Sebab selama sepuluh hari di sini, pasti kau sudah ke mana-mana dengan motor besar-mu itu, kan?" � *Ta. Soalnya saya ingin menjelajahi tempat-tempat di Tawangmangu ini. Ada banyak tempat yang masih belum begitu saya kenal," sahut Eko. "ft kan tidak lucu, Mbak. Wong saya dilahirkan di tempat ini." � "Kalau memang begitu, aku yakin kau sudah � dikenal mereka. Tawangmangu bukanlah iemPai yang sangat luas. Berhari-hari melihat pemuda gagah hilir-mudik naik motor besar di sini pasti|an menimbulkan pertanyaan di hati orang banyak Maka kalau ada orang yang tahu siapa dirimu dalam waktu sekejap saja penduduk di sini pasti sudah mendengar bahwa kau adalah anak Pak Kirman." � "Mungkin memang begitu, Mbak. Saya dapai merasakannya dari tatap mata dan senyum mereka." Eko menganggukkan kepalanya "Jadi, bagaimana?" � "Serahkan soal ini padaku." � Usai berkata seperti itu aku langsung tur un dari mobil. Mendengar suara pintu mobil ditutup, pen -jaga parkir menoleh ke arahku. Cepat-cepat aku meia mbaikan tangan kepadanya. � "Ada apa Den?" Pemuda itu langsung mendekatiku. � "Titip mobilku di sini ya, Kang. Aku diajak Eko anak Pak Kirman itu ke Candi Sukuh. Dia belum pernah melihatnya." Aku berdusta kepadanya. � "Oh, betul to pemuda gagah itu anaknya Pak Kir-man?" � Tya. Dia akan menetap di sini setelah hampir dua puluh lima tahun ikut kakekneneknya di Lampung." � "Saya pernah mendengar mengenai hal itu. Kata orang, orangtua Bu Kirman itu kaya setelah ikut transmigrasi ke Lampung. Punya kebun luas di sana. Apa betul?" � ya , Aku menjawab pendek.
� ,.pantas, cucunya dibelikan mot0r ^ Mta orang, motor sebesar ,tu mahal ya, ^\ ltu' � barangkah. Aku tersenyum. -n* . ntip mobilku ya? � ^eres sudah. Tak ada yang perlu kukhawatirkan , kemudian aku sudah duduk di belakane Eko dengan mengenakan helm di kepalaku Di aias blus yang kukenakan, aku memakai jaket Mas Danu yang kebetulan ada di dalam mobil Pasti tidak akan ada orang yang mengenaliku. � Membonceng motor adalah sesuatu yang hampir-hampir tak pernah kulakukan. Dan membonceng motor besar, baru sekali ini kulakukan. Apalagi dengan kondisi jalan yang terus menanjak. Terus terang aku agak takut. Tanganku berpegang erat-erat pada sadel yang menurutku tidak begitu mem-ben rasa aman itu. Aku menduga, Eko tahu itu. Sebab seperti konon apa kata orang, para pengen-dara motor mempunyai kepekaan khusus untuk mengetahui bagaimana keadaan orang yang ada di boncengan motornya. Sebab seseorang yang tidak biasa duduk di boncengan motor sikap duduknya akan kaku, dan si pengendaranya merasa seperti membawa beban barang. Sebab konon kata orang pula, orang yang biasa membonceng motor, sikap tubuhnya akan menyatu dengan gerak motor yang sedang melaju. Baik ketika miring ke kiri atau miring ke kanan atau pula ketika sedang menanjak. � ,ugaanku benar. Beberapa saat kemudian Eko � mulai memperlambat laju kecepatan motorn Kemudian memiringkan kepalanya ke arahku. � "Kalau Mbak Wulan merasa takut, pegang bahuku." kaianya di antara desauan angin di 5* kanan kami. "Jangan sungkan." � Aku menuruti perkataannya. Tetapi karena mc rasa tidak enak memegang bahu laki-laki yan boleh dikata baru kukcnal itu, tubuhku justru 2 makin kaku. Dan itu pasti dirasakan oleh Ek karena tak berapa lama kemudian dia memper. lambat lagi laju kecepatan motornya dan bahkan kemudian menghentikannya ke tepi jalan. � "Mbak Wulan merasa canggung karena apa^ tanyanya kemudian, langsung pada masalahnya Xanggung karena memegang bahu saja tidak me-nimbulkan rasa aman ataukah merasa canggung karena memegang bahu laki-laki yang bukan ke-kasih Mbak Wulan? Ataukah pula merasa canggung karena seorang gadis berdarah biru memegang bahu laki-laki berdarah merah?" � "Dua dugaanmu yang pertama tadi memang benar. Dan kurasa, itu wajar. Tetapi dugaanm u yang ketiga, sama sekali tidak benar!" Aku menjawa b kesal. "Memangnya menurutmu aku ini picik ya?" "Sor ry!" � "Makanya jangan suka menilai orang secara sembarangan." Aku menggerutu. � "Sudah minta maaf masih digerutui juga!" Eko tertawa. "Bisa kita lanjutkan perjalanan kita?* � "Ya." � -Dengan P^rasaan lebih aman dan tidav ^rasa canggung lagi?" Udak pertu � "Ya-" � ^lau begitu berpeganglah pada pinggang ^ � sajamulai merasa ragu lagi. Padahal menurut perasaanku, membonceng motor yang paling aman nnemang dengan memeluk pinggang pengendaranya Melihat keraguanku itu Eko berkata lagi dcngan suara menggoda. � "Canggung karena darah saya merah dan darah Mbak Wulan berwarna..." � Kupukul pelan punggung Eko dengan marah sebelum perkataannya selesai. � "Jangan macam-macam bicaramu!" gerutuku. "Aku bisa memukulmu dengan lebih menyakitkan." � Eko tertawa. Dan sebelum aku menyadarinya, tiba-tiba kedua belah tangan lakilaki itu masing-masing menarik tangan kanan dan tangan kiriku kemudian dilingkarkannya ke pinggangnya. � "Biarkan tangan Mbak Wulan tetap di sini," katanya dengan suara tegas. Kemudian dijalankan-nya motornya untuk melanjutkan perjalanan lagi. � Beberapa kilometer sebelum Cemoro Sewu, Eko membelokkan motornya ke jalan kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Setelah berjalan sekitar setengah kilometer, motornya berbelok lagi ke jalan yang lebih menanjak dan lebih sempit. Kira-kira tiga ratus meter setelah berbelok, barulah dia meng-hentikan motornya di bawah sebuah pohon mahoni. � Kulepaskan tanganku dari pelukanku pada pinggang Eko. Lalu kulepas helm yang sejak tadi bertengger di kepalaku. Kulihat, kami berada di bagian sebuah bukit yang agak menjorok kelUar Di atas kami terdapat perbukitan dan rimbunnya daun pohon mahoni. Di bawah kami terhampar berbagai macam pemandangan yang indah. Lembah berumput hijau, sawah yang bertingkat-tingkat, kebun sayuran yang luas,
dan kebun bunga edelweis yang cantik dengan dikelilingi bukit berhutan lebat dan latar belakang puncak gunung yang benvama kebiruan. Sungguh sangat menakjubkan. � "Bagaimana?" Kudengar suara Eko. Kami berdua masih sama-sama duduk di atas motornya. � '"Indah sekali..." aku mengakui. "Seandainya aku seorang pelukis. Wah!" � "Waktu pertama kali saya datang kemari, saya langsung terpukau. Tempat ini luar biasa indahnya." 'Tetapi dingin dan sepi." "Ya, memang. Tetapi bukankah Mbak Wulan butuh tempat yang sepi?" Aku menatap mata Eko beberapa saat lamanya. "Apakah kau juga mengira, saat ini aku sedang berada di puncak sakitnya patah hati?" tanyaku kemudian. "Saya netral, Mbak, karena saya tidak bisa melihat isi hati mbak Wulan." Eko menjawab dengan kejujurannya. 'Tetapi kalau boleh mengemukakan pendapat, saya cuma punya satu dugaan saja." � "Dugaan apa?" � "Bahwa saat ini Mbak Wulan sudah beberapa waktu yang lalu melewati puncaknya patah hati. � Sekarang ini yang ,b hanyatah perasaan terk . . dan perasaan tertekan karena k lerkalahkau benar, Eko." Aku bergumam Pelan "An, kah .. apakah itu begitu kelihatan?" ' p � -Ya." ViH � -Keluargaku tidak bisa melihatnya. Bahkan orang-orang di sekitarku juga tidak. Termasuk kedua orangtuamu..." Kutatap lagi mata Eko. "Tetapi kau mengetahuinya." � "Yang pertama, karena pertanyaan Mbak Wulan yang diucapkan dengan nada getir tadi: 'apakah kau juga mengira, saat ini aku sedang berada di puncaknya rasa patah hati'. Yang kedua, karena saya orang baru, Mbak. Jadi saya bisa melihat segala sesuatunya secara lebih objektif. Sedangkan keluarga Mbak Wulan dan orang-orang yang me-nyayangi Mbak Wulan termasuk kedua orangtua saya, melihatnya dari sudut pandang yang bersifat subjektif. Karena kasih sayang mereka, maka yang ada di hati mereka hanyal ah rasa iba, rasa kasihan, beia rasa, khawatir, dan lain s ebagainya. Maka sikap mereka terhadap Mbak Wula^ j adi penuh kehatihatian dan cenderung menunjukkan p erhatian yang berlebihan. Semakin dekat hari pernikaha n laki-laki itu, semakin semua orang menjaga perasaan Mbak Wulan seperti menjaga porselen antik ^ng rapuh. " � "Memang begitu," aku memotong. � "Dan saya tahu, Mbak Wulan tidak menyukai � itu'" � "' "Itu benar. Eko. Hatiku sangat tertekan merasa-kan itu semua. Rasanya, aku im seperti seorang pecundang yang patut dikas.han. Mereka semUa begitu cemas, kalau-kalau aku melakukan sesuatu tindakan yang tolol. Memangnya aku ini apa menurut pemikiran mereka? Kalau saja aku tidak sadar bahwa apa yang mereka semua lakukan terhadapku itu dilandasi oleh kasih sayang mereka yang luar biasa besar kepadaku, ingin sekali aku kembali ke Jakarta untuk mencari suasana yang lebih sehat..." Suaraku mulai menggeletar. � "Jadi betul apa yang saya duga." Eko berkata lembut. � "Aku senang kau bisa memahami perasaanku ini." Rasa lega bisa mengeluarkan tekanan yang selama ini mengganjal di hatiku membuatku ingin menangis. � "Tetapi ada satu hal lagi yang barangkali perlu Mbak Wulan perhatikan." "Apa itu?" � "Lakukanlah refleksi atas pengalaman getir itu dan tanyakan pada diri sendiri pula apakah perasaan tertekan itu bukannya karena harga diri yang ter-lukai..." � "Kenapa kau berkata seperti itu, Eko?" Aku memotong perkataan Eko yang belum tuntas itu. � "Karena pengenalan saya terhadap Mbak Wulan dari cerita-cerita Simbok maupun Bapak dan dari � _gamatan saya sendiri selama mengikuti mk , 5 an sampai ke Sarangan, Juga ^ Parian kemarin kita bersama-sama, kemud, , I lumpaan kit. han mi, saya tahu Mbak Wutn dalah seorang perempuan yang kuat harga dirinvT Bahkan juga seorang perempuan mandiri, berani memutuskan sendiri pilihan-pilihan yang menyang-kul kehidupan Mbak Wulan beserta seluruh risiko ^ konsekuensmya. Maka ketika dikhianati ke-kasih, harga din Mbak Wulan terluka. Lebih berat lagi karena orang banyak hanya melihat Mbak V/ulan sebagai perempuan pada tataran yang terkalahkan, yang tersingkirkan, yang dinomorduakan, yang patut dibela dan dikasihani..." � "Cukup, Eko!" Aku menghentikan perkata an Eko yang seluruhnya benar itu dengan
agak membe ntak. "Kau benar." � Eko menoleh ke arahku. Tetapi kularikan pandang mataku ke tempat lain. Aku tidak ingin dia melihat air mata yang mulai tergenang di pelupuk mataku. � "Jangan marah..." Eko berkata dengan suara halus di sisi telingaku. � "Aku tidak marah kepadamu." � "Saya tahu. Mbak Wulan bukan hanya marah karena analisis saya tadi hampir seluruhnya benar tetapi terutama juga marah kepada semua orang yang secara tidak mereka sadari telah menempatkan Mbak Wulan di tataran yang Mbak Wulan benci >,uDan karenanya Mbak Wulan tidak pemah mau menangis. Mbak Wulan tidak berani menumpahkan � air mata karena menurut hati Mbak Wulan me nangis adalah tanda kekalahan yang membenarkan anggapan orang banyak bahwa Mbak Wulan berada tataran yang terkalahkan..." "Cukup, Eko." Aku terengah. "Sekaranglah saamya Mbak Wulan menumpah. kan air mata yang selama ini menggumpal di dada," Eko terus saja berkata tanpa mendengar permintaanku untuk diam. "Sebab menangis bukan hanya tanda kekalahan dan rasa putus asa saja Menangis bisa karena beribu alasan lain yang lebih kuat. Rasa sakit. Rasa takut. Rasa malu. Rasa rindu. Rasa haru. Rasa gembira dan bahkan juga rasa marah, rasa jengkel, atau rasa apa pun. Tuhan menciptakan kelenjar air mata antara lain memang untuk menjadi alat guna meluapkan perasaan-perasaan atau apa pun demi pembersihan. Demi pelepasan ketegangan emosional. Laki-laki maupun perempuan membutuhkan itu. Orang kuat, orang lemah, juga memerlukannya. Orang dewasa dan anak kecil pun begitu juga." � Entah karena mendengar kata-kata Eko atau entah merasa malu karena seharusnya kata-kata Eko itu keluar dari mulutku yang sudah sekian lamanya menggeluti psikologi, atau entah pula memang sudah saatnya aku menangis, tiba-tiba saja air mataku meluap keluar. Berminggu-minggu lamanya kesedihan dan rasa terluka itu tak pernah kubiarkan lepas dalam bentuk air mata. Kim. semuanya kubiarkan lepas dan bebas tanpa kutahan-tahan lagi. � -Habiskan tangismu, Mbak. Tak usah Wong manusiawi kok Jangan ditahan-tahan ' Tafc nya kemudian sambil meremas lembut tanganku � Aneh. Aku yang selama ini merasa tin^i L untuk menangis, han ini aku bisa terisak-isak seperti tidak bisa dihentikan lagi. Lupa di mana aku berada sampai kurasakan lengan Eko yane tiba-tiba memeluk dan meraihku agar aku menangis di dadanya. Maka di tempat itulah aku melanjutkan tangisku. � Entah berapa lama keadaan seperti itu berlang-sung, aku tidak tahu. Sesudah puas menangis baru-lah kuangkat kembali kepalaku. Lalu kubersihkan mata dan wajahku yang basah dengan saputangan yang kuambil dari dalam tasku. Setelah itu aku membisu. Eko juga membisu. Kami berdua duduk di atas motor menatap ke kejauhan tanpa bersuara. Bahkan tanpa bergerak. � 'Terima kasih atas segala-galanya." Akhimya aku mulai memecahkan suasana hening itu. "Hatiku mulai merasa lega sekarang." � 'Terima kasih kembali." Eko berkata dengan suara lembut. "Dan syukurlah, Mbak Wulan sudah merasa lega sekarang." � "Aku tidak menyangka kau bisa memahami apa yang terjadi pada diriku," kataku sambil tersenyum malu. "Caramu menganalisis, seperti seora;ig psi-kolog berpengalaman saja. Padahal akulah yang menggeluti psikologi. Aku sungguh merasa malu � kepadamu..." . "Mbak Wulan tidak perlu merasa malu. Seorang � dokter yang paling ahli pun belum tentu bisa mengobatj dirinya sendiri. Orang yang sedang jatuh di sebuah sumur. terlalu panik untuk berpikir hal-hal lainnya. Orang yang tenggelam di dalam suatu masalah. sering kali hanya berputar di situSjIu saja tanpa ingat apa yang ada di luar masalah itu sendiri. Sikap kritis, sikap objektif, dan seterusnya sering kali terlupakan," Eko tersenyum maklum "Hari ini saya melihat bahwa banyak membaca dan suka melihat apa pun dengan berbagai sudut pandang ternyata ada gunanya juga. Apalagi dalam persoalan Mbak Wulan, saya mempunyai penga-laman yang hampir serupa." "Pengalaman apa?" � "Ditinggal kekasih." sahutnya lama kemudian. � Aku tertegun. Kulihat, mata Eko bergetar. Dan aku menangkap setitik nyala yang semula tak kulihat. Rasa sakit yang pernah dialaminya. � Enam � SEJAK aku bisa menangis dan Eko membiarkan dadanya menjadi tempat aku menumpahkan air mata, hubunganku dengan laki-laki itu tiba-tiba saja menjadi akrab. Kami sering pergi bersama-sama dengan naik motornya ke tempat-tcmpat yang belum pernah kami jelajahi. Masih sama seperti pada awalnya, aku juga memakai
helm dan jaket. Tentu saja sekarang bukan jaket Mas Danu yang kupakai, tetapi jaketku sendiri. Dan sama seperti aku, Eko juga suka menyatu dengan alam yang masih belum banyak dijamah manusia. � Keakraban kami menjadi lebih terasa lagi sesudah Eko menceritakan kisah cintanya yang kan-das. Waktu itu kami sedang menikmati pemandangan di sekitar Cemoro Sewu lagi. Kali itu kami berada di sebelah Timur, tak jauh dari hutan wisata. Kami berdua duduk di sebuah bukit rendah dengan dipayungi pohon-pohon pinus, di atas re-mmputan sambil menatap keindahan yang ter-hampar di hadapan kami. � "Latar belakang keluarga gadis itu sederajat dengan kami. Sama-sama keluarga transmtgran. � Keluarganya pernah mengalami kehidupan yan susah di Jawa. Hanya saja mereka datang dari Jawa Timur. Sesudah bekerja keras bertahun-tanun lamanya di Lampung, akhirnya orangtuanya berhasil menjadi petani rempah-rempah yang sukses. Kesuksesannya melebihi apa yang bisa kami capai.* Begitu dia memulai cerita mengenai bekas kekasih-nya itu. "Saya pikir. dengan banyaknya kesamaan itu hubungan kami akan mulus-mulus saja jalannya. Tetapi pikiran seperti itu ternyata sangat naif. Ada banyak hal yang sebelumnya tidak saya perhitung-kan." � "Apa. misalnya?" Aku bertanya ingin tahu. "Antara lain tentang pandangan hidup." Eko menjawab sambil menerawang ke kejauhan. "Keluarga Nanik selalu menggarisbawahi kerja keras dan kerja keras bagi seluruh anggota keluarganya karena katanya, kerja keras adalah kunci ke-suksesan." 'Tetapi itu benar, kan?" Aku menyela. 'Tidak seluruhnya benar. Ada banyak orang yang sudah bekerja keras mati-matian tetapi toh hidupnya juga tetap saja susah. Tidak pernah mencapai apa yang disebut sukses." "Ya, memang. Lalu?" � "Sebagai kekasihnya, saya menyarankan Nanik untuk melanjutkan kuliahnya sesudah dia lulus SMU. Tetapi ternyata seperti juga orangtuanya. dia tidak sependapat dengan piki ran saya. Katanya, ilmu pengetahuan tidak menjamin kesuksesan." � "Tetapi pendapatnya itu ada ben; lrnya, kan? � ^u memotong lagi cento Eko. "Berapa banyaknya parang uu yang sudah sarjana. bahkan sarjana ,trata dua pun, menganggur karena tidak ada lo-w0ngan pekenaan yang pas dengan ilmu yang dimilikinya. Dan kalaupun mereka mendapat pe Icerjaan, acap kali bidang yang digelutinya itu tidak ada kaitannya dengan ilmu yang dimilikinya jadi, gelar kesarjanaan tidak selalu bisa mengentas seseorang dari kesulitan hidupnya. Apalagi sampai mencapai tingkat sukses!" � "Memang, saya akui adanya kenyataan yang seperti itu!" Eko menganggukkan kepalanya. 'Tetapi, orang pergi belajar itu kan bukan sekadar untuk mencari gelar saja. Tidak sedikit lho orang yang sudah jadi sarjana tetapi pengetahuannya cuma begitu-begitu saja karena lulusnya secara kebetulan. Mungkin, orang itu termasuk golongan mahasiswa pencari nilai. Belajar hanya waktu ujian saja. Selesai ujian, ilmunya lupa lagi. Atau, nasibnya mujur karena soal-soal ujian yang dihadapinya kebetulan pas yang dia baca semalam. Padahal menurut pengalaman saya dan juga pendapat banyak teman-teman saya, mencari ilmu pengetahuan itu sangat menyenangkan. Banyak hal yang dulunya tidak kita ketahui, jadi tahu. Nah, apa komentar Mbak Wulan mengenai pendapat saya ini?" � "Kita sependapat. Memangnya apa alasanku melanjutkan kuliahku sampai di jenjang benkutnya kalau tidak untuk mencari ilmu? Lag. pula malu kan kalau otak kita tidak sesuai isinya dengan gelar yang kita sandang.""Yah. seharusnya memang begitu." "Bagi orang-orang seperti kita, pengetahuan itu seperti candu. Tahu sedikit. mau lanjutannya. Tahu lanjutannya. mau tahu lebih banyak dan lebih banyak lagi!" Aku berkata lagi menceritakan pengalaman yang memang kualami. � "Betul. Dan itulah anehnya orang yang belajar," sahu! Eko. Tangannya mengambil sebutir kerikil. Dilemparkannya kerikil itu sejauh-jauhnya "Setelah kita tahu sesuatu, baru kita sadar bahwa temyata ada banyak hal Iain yang kita tidak tahu. Bahwa temyata di kolong langit ini ada banyak hal yang kita tidak ketahui. Dan bahwa pula ter-nyata otak kita ini terlalu kecil untuk menangkap apa yang tersaji di alam semesta ini." � "Kau betul. Tetapi hei, kenapa pembicaraan kita jadi melantur ke mana-mana begini sih?" Aku tertawa geii. "Kita sedang membicarakan tentang kisah cintamu yang kandas, kan?" Eko tersenyum. Kepalanya menoleh ke arahku. "Saya senang melihat tawa Mbak Wulan seka-rang begitu renyah dan lepas," katanya kemudian. "Kelihatannya, penyakit masa ialu itu sudah sem-buh betul." � "Ya. Bukan hanya sudah sembuh betul saja tetapi juga tak ada lagi bekas-
bekasnya," aku men-jawab masih sambil tertawa. Lalu meniru apa yang tadi dilakukannya, aku juga mengambil sebutir kerikil dan kulempar jauh. Tetapi usahaku tidak berhasil. Kerikil itu cuma terlcmpar sejauh sekitar Uga meter saja. "Kalau kau bisa meneropong isi � dadaku, pasti akan kau lihat bahwa hatiku sudah mulus. Lebih mulus danpada sebelumnya"-Saya senang mendengar itu. Sebab apa gunanva memikirkan masalah yang tak layak untuk dirsoalkan. Mbak Wulan terlalu baik untuk laki lalci seperti dia!" � "Gombal!" Tawaku semakin lebar. "Nah ayo lanjutkan ceritamu. Kita terus saja menyimpang dari pokok pembicaraan." � "Oke," Eko menarik napas panjang. ''Nah, itu tadi baru cerita tentang perbedaan pandangan hidup. Seperti yang saya ceritakan tadi, Nanik tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Padahal soal biaya kuliah itu masalah kecil buat keluarganya. Saran saya dan contoh-contoh konkret yang saya berikan ke-padanya cuma disenyumi saja dengan sikap me-remehkan. Belakangan, saya tahu dia sedang mengambil kursus kecantikan. Katanya, dia mau mendirikan sebuah salon kecantikan yang akan dijadikannya sebagai suatu usaha yang besar di Lampung nanti." � "Itu cita-cita yang bagus, kan?" � "Ya, memang. Dan saya juga dapat menghargai cita-citanya itu. Tetapi masalahnya bukan terletak di situ, melainkan pada perbedaan visi di antara kami berdua. Tanpa bermaksud untuk menomor-duakan hal-hal yang berkaitan dengan keahlian-keahlian yang didapat dari kursus ini atau itu. sejak dia mengikuti kursus kecantikan itu pembicaraan di antara kami berdua tak lagi pernah nyambung Eko menoleh lagi ke arahku. "Apakah � Mbak Wulan bisa memahami apa yang saya katakan ini?" � "Sangat paham. Sebab meskipun tidak setimpan yang kaualami, pengalamanku dengan Mas dewo juga ada miripnya. Dia tidak ingin melihatku me-lanjutkan kuliah. Sebab pikirnya, dia hanya lulusan � D-3 saja. Baginya, seorang istri tidak sepantasnya � kalau gelar dan pengetahuannya melebihi sang � suami." � "Saya sudah menduga hal itu jauh sebelum Mbak Wulan mengatakannya." � "Mudah ditebak ya?" Aku menelengkan kepala-ku. "Memang begitulah yang terjadi. Apalagi setelah kurenungkan belakangan ini, aku mulai me-nyadari bahwa Mas Dewo kuliah sampai D-3 itu saja pun cuma untuk memenuhi kelaziman bahwa anak-anak zaman sekarang ini kalau ada biayanya, ya harus kuliah. Soal buat apa nantinya itu masalah lain. Jadi dengan kata lain, dia tidak melihat apa pentingnya orang belajar dan meraih ilmu." Mendengar perkataanku, Eko tertawa. "Semestinya lelaki seperti Mas Dewo itu harus menikah dengan gadis seperti Nanik. Mereka pasti akan cocok satu sama lainnya. Mereka adalah orang yang berpikir sederhana dan tidak suka neko-neko atau macam-macam seperti kita," katanya kemudian. � "Istilah neko-nekomu itu tepat." Aku tersenyum. "Mas Dewo memang seperti itu. Dia termasuk orang yang tidak suka neko-neko. Padahal aku ingin supaya dia banyak membaca atau belajar � apa sajalah kalau memang tidak ingin melanjutkan Jdinya. Kepanoaian dan pengetahuan orang kan bukan cuma terletak pada gelar kesarjanaannv" ja. Tetapi, dan rasa mgm tahunya terhadap scBala sesuatu yang tersembunyi di alam semesta ini kemudian mencan jawabannya dengan usaha sendiri entah bagaimanapun caranya. Jadi, kalau aku me-nanyakan sesuatu kepadanya, dia bisa menjawab-nya. Sebab pikirku pada waktu itu, dia haruslah menjadi pusat tempat aku bisa bertanya dan men-dapatkan jawaban." � "Rupanya Mbak Wulan termasuk perempuan yang menginginkan seorang suami dengan pengetahuannya lebih luas daripada sang istri. Atau setidak-tidaknya, ya samalah." Eko meiemparkan lagi sebutir kerikil. Kali ini lemparannya mem-bentur sebatang pohon kelapa. � "Mungkin." Aku menoleh ke arah Eko, kemudian tersenyum lagi. Kali ini tersenyum pada diriku sendiri. "Jadi lihatlah, ternyata aku ini masih bisa juga kena imbas dari pengaruh budaya patriarkal. Temyata pula aku masih bias gender. Padahal laki-laki dan perempuan dalam hal apa pun ter-kecuali dalam hal biologisnya, sama. Mau kuliah atau tidak, mau jadi pintar atau tidak, itu masalah personal yang tidak perlu dikaitkan dengan ke-beradaannya sebagai lakilaki atau sebagai perempuan. Harga diri atau nilai seseorang tidak dikaitkan pada apa yang ada padanya tetapi pada siapa dia sebagai manusia yang bermartabat. Dan martaba selalu dikaitkan pada keberadaan atau eksistensi
� manusia sebagai manusia. Bukan manusia sebagaj � ini atau itu." "Menarik juga pendapatmu, Mbak Wulan." � 'Tetapi terus terang aku sering mcmikirkan hal-hal seperti itu sebelum ini. Bahwa sesungguhnya, Mas Dewo pun juga kena akibat dari budaya patriarkis yang menempatkan laki-laki lebih utama daripada perempuan. Maka ketika aku memperlihat-kan kelebihan-kelebihan di atas apa yang ada pada-nya, dia mulai merasakan adanya suatu ancaman. Ancaman yang berkaitan dengan nilai atau harga dirinya sebagai laki-laki. Menurut sudut pandangnya sendiri, tentu saja. Dan kurasa mudahnya dia ter-gelincir masuk ke dalam pelukan Titik itu pun ada hubungannya dengan masalah itu." � "Masuk akai, Mbak. Sebab di seluruh dunia ini. banyak sekali laki-laki yang mengidentifikasi dirinya kepada segala sesuatu yang dinilai hebat. Kekuasaan, kekuatan, pangkat, kedudukan, karier, gelar, dan lain sebagainya." � "Ya, benar. Laki-laki memang sering meletakkan identitas dirinya pada sesuatu yang tidak esensial." � "Mudah-mudahan saya tidak termasuk laki-laki seperti itu walaupun kadangkadang biasnya masih juga meracuni diri dan otak saya." Eko tersenyum lembut ke arahku. � "Kadang-kadang disusupi cara pandang yang bias, itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Sebab sejak bayi kita sudah berada dalam sistem nilai seperti itu." Aku memotong perkataan Eko. 'Tetapi ah. sudahlah. Lagi-lagi kita mulai bicara mclantur. � Lanjutkan ceritamu tentang hubunganmu dengan � p^anik Baik," Eko menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Nan, sejak adanya perbedaan-perbedaan visi di antara kami, hubungan saya dengan Nanik akhirnya mulai renggang. Padahal dalam keadaan seperti itu seharusnya kami sama-sama saling me-nenggang perasaan pihak lainnya. Bahkan harus sama-sama pula berusaha mencari jalan tengah atau titik temunya. Tetapi temyata tidak demikian. Saya menyibukkan diri pada pekerjaan di kebun dan Nanik membiarkan dirinya didekati pemuda lain yang celakanya lebih disukai oleh keluarganya. Laki-laki itu seorang tentara berpangkat letnan yang punya jenjang masa depan lebih cerah. Masih muda, sudah letnan." � "Dari mana kau tahu kalau keluarganya lebih menyukai laki-laki lain itu?" � "Dari Nanik sendiri " jawab Eko. "Bahkan ketika saya tanyakan kepadanya mengenai bagai-mana sikapnya terhadap perkembangan baru itu dia menjawab akan menuruti apa pun yang diingin-kan orangtuanya. Padahal saya kenal betul siapa Nanik. Artinya, kalau dia betul mencmtaiku dan masih mengharapkan terjalinnya hubungan kami sampat ke tingkat yang lebih serius, saya yakin pasti tidak seperti itu yang dikatakannya kepada saya." , . � "Dengan kata lain, dia memang lebih menyukai � laki-laki baru itu." "Ya." Eko menganggukkan kepalanya. Dan per � bedaan pandangan hidup di antara kami berdua ikut memicu kc arah sana. Waktu itu hati saya terasa amat sakit. Seperti dikhianati rasanya." � "Apa bukannya kau terlalu cepat memberinya penilaian?" � 'Tidak, Mbak. Saya bukan orang yang seperti itu. Ada tenggang waktu. tenggang rasa dan bukti-bukti yang cukup kuat dulu baru saya memberi penilaian. Dan bukti-buktinya cukup kuat. Saya pemah melihat Nanik jalan berdua dengan lakilaki itu. Saya juga pemah berpapasan dengan Nanik di suatu tempat tetapi dia pura-pura tidak melihat saya. Bahkan saya pemah datang ke rumahnya dan keluarganya mengatakan bahwa dia sedang pergi. Padahal saya yakin, dia ada. Waktu saya baru masuk ke ha lam an rumahnya, saya sempat melihatnya menyelinap masuk." � "Kalau sudah begitu baru kita percaya bahwa temyata kalau seseorang itu bukan jodoh kita, ada-ada saja kejadian yang menyebabkan hubungan kita dengannya jadi putus," komentarku. "Sebalik-nya, kalau kita sudah berjodoh dengan seseorang, ada saja jalannya yang mengarah ke sana." � Begitulah pembicaraan kami hari itu menambah keakraban di antara kami. Beberapa hari kemudian bahkan Eko juga menceritakan tentang rencananya untuk membeli tanah dari bagian uang warisan yang ia dapat dari kakek-neneknya. Ia ingin men-jadi petani. � "Dengan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah, saya merasa tertantang untuk mcngembalikan lagi kejayaan jenuk keprok Tawangmangu yang sUdah pudar itu, katanya menjelaskan. "Sebah kaIaU dulu bisa sedemikian berjayanya, secara |ogika semestinya- di masa sekarang yang sudah semakin maju teknologtnya mi, kejayaan
seperti di masa lalu itu bisa dikembalikan lagi. Dan kesulitan-kesulitan yang pemah dialami, diharapkan bisa diatasi dengan lebih baik. Mestinya kan begitu." � "Ya, memang mestinya begitu. Tetapi eh... ter-nyata kaya juga kau, Mas Eko!" � "Sudah saya katakan berulangkali, jangan me-manggil saya dengan sebutan 'Mas'. Nanti kalau didengar orang..." � "Rambutnya akan berdiri semua!" Aku me-motong perkataannya dengan tertawa. � "Nah!" Eko juga tertawa. "Sudah tahu, kan?" � "Kalau takut ada orang yang rambutnya tiba-tiba berdiri semua, aku hanya akan menyebutmu 'Mas' kalau tidak ada orang lain di dekat kita." � "Saya tetap tidak setuju." � 'Terserah. Aku tidak peduli apakah kau akan setuju ataukah tidak," aku menyeringai. � Eko menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi kemudian dia mengembalikan pokok pembicaraan. � "Mbak Wulan tadi mengatakan saya kaya? Waduh, apanya yang kaya. Uang simpanan saya itu saya kumpulkan sen demi sen sejak saya masih bocah dari upah bekerja di kebun Simbah. Lalu ditambah dengan pembagian uang dari hasil pen-jualan kebun warisan kakek saya, saya hanya bisa membeli sekitar seribu sampai seribu hma ratus � meter persegi tanah di sini. Untuk dijadikan kebUn pastilah bukan suaiu kebun yang luas." � "Apakah sudah ada bayangan kira-kira di mana Ietaknya?" � "Pasti tidak di pinggir jalan karena dananya kurang. Lagi pula, akan lebih bagus kalau Ietaknya agak jauh dari jalan raya. Asap mobil tidak sehat untuk tanaman." � "Kalau kau pergi mencari tanah, ajaklah aku." � "Oke." � Maka perjumpaan-perjumpaan kami pun scmakin sering dengan adanya rencana Eko mencari tanah yang cocok dengan apa yang dictta-citakannya. Sebab temyata tidak mudah mendapatkan tanah seperti yang diinginkan oleh Eko dengan uang yang harus digunakan secara hati-hati itu. Kami berdua sudah pergi ke sana dan kemari, melihat dan mendengar informasi orang dan mempelajari-nya bersama-sama. Sampaisampai aku jadi scdikit tahu mengenai berbagai macam hal yang menyang-kut dunia pertanian termasuk tentang kontur tanah dan lain sebagainya. � Selama ini, keluargaku memang tahu bahwa belakangan ini aku sering pergi. Tetapi mereka tidak tahu kalau aku lebih sering pergi dengan membonceng motor Eko. Kalaupun aku pergi dengan mobil dan Eko ada di sampingku, mereka juga tidak tahu. Tetapi satu kali pun aku tak pemah menceritakannya kepada mereka. Kepada Tita pun tidak. Di hati kecilku, aku memiliki kesadaran bahwa perbuatanku itu tidak akan bisa � ditcrima oleh mereka semua. Pertama, karena aku ielah menyia-nyiakan waktu yang sehanusnya , kai untuk menata masa depanku. Kedua, mereka tidak ingin anak gadisnya menjadi pem-orang sesudah kekasihnya menikahi gadis ,ain. Sebab orang bisa saja menganggapku sudah kehilangan akal sehat lalu mencari pelarian dengan cara yang agak aneh itu. Bukankah aneh kalau orang melihatku duduk membonceng seorang laki-laki dan dengan eratnya lenganku memeluk ping-gangnya? Padahal sebelum ini mereka hampir-hampir tak pernah melihatku naik motor dengan cara yang paling biasa pun. Ketiga, melihatku naik motor di jalan raya yang kondisinya berliku-liku dan naik-turun pastilah keluargaku merasa khawatir dan tidak akan menyetujuinya. Lalu yang keempat, menuruti anggapan mereka aku dan Eko tidaklah sederajat. Menurut mereka tidaklah pantas kalau aku sering kali pergi berduaan dengan dia meskipun pemikiran seperti itu lebih banyak dikaitkan dengan "apa kata orang" dan bukan karena sesuatu yang lain. Aku kenal keluargaku. Mereka bukan orang-orang yang picik. � Kurasa, Eko sendiri pun menyadari itu semua. Acap kali dia memintaku untuk hati-hati menjaga diri demi menghindari segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dia juga menyarankan agar kedekatan di antara kami jangan sampai diketahui oleh siapa Pun. Kalau kami mau pergi bersama-sama. dia akan menunggu di suatu tempat tertentu yang jauh dari pandangan mata orang, baru aku naik di alas � boncengannya. Atau kalau sesekali aku membaw mobil demi tidak dicurigai keluargaku, Eko aka* naik ke mobilku di tempat yang kami angg/ paling aman dari jangkauan penglihatan 0ran P siapa pun dia. Aku dan mobilku sudah banyak dikenal orang-orang Tawangmangu. � Tetapi terus terang saja aku merasakan keasyikan tersendiri dalam situasi
"umpet-umpetan" sepeni itu. Misalnya ketika aku harus menunggu waktu yang tepat lebih dulu sebelum menyelinap keluar rumah dengan diam-diam. Sebab tidak mudah bagi-ku pergi dengan cara seperti itu sementara seluruh keluargaku sedang begitu penuh perhatian kepada-ku. Sedikit saja aku tampak lebih rapi daripada biasanya, mereka sudah melontarkan pertanyaan bertubi-tubi seolah aku sedang mencari kesempatan untuk bunuh diri karena patah hati. Tetapi tidak seperti dulu, sekarang aku malah bisa menikmati-nya. Sebab temyata asyik juga main kucingkucingan dan mereka tidak tahu apa yang ku-sembunyikan dari mereka semua. Termasuk kedua pembantu tumah tangga keluargaku yang saking sayangnya kepadaku jadi suka usil itu. � Seperti misalnya keasyikan hatiku ketika mem-bebaskan diri dari rasa ingin tahu yang terpancar dari mata Mbok Sumi atau Yu Rapiah setiap melihatku pergi begitu saja tanpa mengendarai mobil, juga tidak naik sepeda, tidak menunggang kuda dan tidak pula memakai topi. Dan juga beberapa macam kebiasaanku lainnya kutinggalkan sama sekali. Mereka sangat mengenalku sehingga � ka pasti akan merasakan ada yang aneh kalau J, bersikap se;P^;orang sedang main sembu^-,mbunyian. Aku ton sudah bi-kan anak kecil ia, � Tetapi meskipun hatiku sering terasa teeane setiap kali berusaha menyelinap keluar rumah tanpa diketahui orang, rasa gembira dan asyik itu tetap saja muncul di hatiku apabila bisa meloloskan diri dari rumah dengan selamat. Memang, beberapa kali aku dipergoki dan ditanyai oleh Mbok Sumi atau Yu Rapiah ketika akan menyelinap keluar rumah dengan diam-diam. Tetapi pertanyaan atau komentar mereka selalu bisa kujawab dengan cepat meskipun aku tidak yakin apakah mereka mem-percayainya atau tidak. Sebab jawabanku terlalu cepat dan sering kali tidak masuk akal. � "Aku mau jalan-jalan ke kebun sebentar, ingin menghirup udara pagi." Begitu yang sering kukata-kan kepada mereka. Tetapi yang kubilang cuma sebentar itu temyata sampai lewat siang hari. Dan tidak seorang pekerja pun di kebun kami yang melihatku ada di sana hari itu. � Atau pula kujawab pertanyaan Mbok Sumi bahwa aku bosan pergi dengan mobil dan sesekali senang juga naik kendaraan umum. Tetapi ketika ditanya pergi ke mana, jawabanku tidak jelas dan terasa mengada-ada. � Tapi sekali mereka berdua sedang ada bersama-sama ketika pagi-pagi buta aku menyelinap keluar pintu belakang dengan membawa jaket. Saat itu aku merasakan sulit menjawab pertanyaan mereka karena saling sambung-menyambung. � "Apa yang harus kami kaiakan kepada Bapalt dan Ibu kaiau mcnanyakan Den Wulan," kata yu Rapiah. ,v � "Apalagi belakangan ini Den Wulan sering sekali pergi di saat Bapak dan Ibu masih tidur!" Mbok Sumi menyambung bicara temannya. � "Sudah begitu tidak naik mobil pula!" Yu Rapiah ganti menimpali. � "Dan caranya pergi itu lho, Mbok Mi merasa Den Wulan itu seperti sengaja supaya jangan di-ketahui orang. Pergi ke mana saja sih wong ayuT "Jadi kalau ada apa-apa, kami tahu Den Wulan ada di mana." � "Bawa telepon kecilnya kan, Den?" Yang di-maksudnya adalah handphone. � Kepalaku pusing kalau sudah diserbu dengan pertanyaan-pertanyaan nyinyir seperti itu. Jadi cepat-cepat aku menjawab dengan jawaban yang mudah-mudahan bisa terdengar wajar di telinga mereka berdua. � "Aku sekarang sedang senang menjelajahi bukit-bukit dan sawah-sawah orang untuk mencari sesuatu," jawabku dengan agak kesal. "Dan aku bukan anak kecil lagi yang bisa kesasar. Berhentilah memperlakukan diriku seperti bayi!" � "Sesuatu itu apa misalnya?" Mbok Sumi masih saja belum puas mendengar jawabanku itu. � "Yang jelas bukan belut atau kodok. Mbok Mi tidak usah harus menggorengnya dengan perasaan jijik seperti dulu." � Untuk menguatkan jawabanku, sejak hari itu � flku selalu pulang dengan membawa sesualu ,dang-kadang tanaman bar yang b ^ kadang-kadang bunga w yang c* kadang-kadang pula buah-buahan hutan seperti embacang. mangga hutan, pisang, atau kelapa aren iCukatakan kepada mereka, buan dan kelapa itu kutemukan di pinggir hutan. Padahal aku beli dari seseorang di kampung-kampung daerah Cemoro Sewu yang aku dan Eko datangi. Pikirku, mereka semua di rumahku toh sudah tahu bagaimana sifatku yang sudah semenjak masa kanak-kanakku dulu suka berpetualang di sekitar Tawangmangu ini. � Tetapi temyata kemudian pepatah yang mengatakan bahwa asap tidak bisa dibungkus, terjadi juga padaku. Dan kata pepatah pula bahwa sepandai-pandainya
bajing meloncat akan terpeleset juga pun, terjadi padaku. Pada suatu pagi ketika aku ingin berkuda dan mencari Pak Kirman, laki-laki itu melambaikan tangannya kepadaku. � "Sini Den, sebelum Den Wulan naik kuda, ada yang Pak Kirman ingin bicarakan denganmu," kata-nya kemudian. � Aku menurut. Diajaknya aku ke pondok yang dibangun Pak Kirman untuk tempat beristirahat bagi siapa pun yang suka. Pondok atau dangau yang tinggi dindingnya cuma separo dan terbuat dari kayu itu cuma kecil saja ukurannya. Sekitar tiga kali tiga meter. Tetapi kalau matahan sedang lerik-teriknya, sungguh nyaman duduk di tempat itu sambil merasakan semilirnya angm gunung. u � dalam dangau dibcri bangku bambu yang dipasang mcrapal di sekeliling dind.ngnya dan hanya pintu. nva saja yang tetap dibiarkan terbuka tanpa daun pintu Sedangkan atapnya terbuat dan ijuk hitam. Letak pondok itu tak jauh dan deretan kandang. � kandang kuda. ..... � "Ada apa Pak Man?" Aku bertanya sambil me-nyusul duduk di salah satu bangku di tempat itu. � "Den Wulan. Pak Kirman berhadap agar Den Wulan bisa lebih bersikap bijaksana. Pak Man juga berharap agar semakin dewasa dan semakin pandai, seharusnya Den Wulan bisa menyatukan antara nalar dan rasa..." � "Pak Man mau mengatakan apa sin?" Aku me-motong perkataannya yag tak ada ujung pangkalnya itu. "Katakan saja secara langsung." � "Den Wulan beiakangan ini sering pergi bersama-sama dengan Eko, kan?" � Aku tertegun, tidak mengira dia akan berkata seperti itu. Tetapi sepanjang pengenalanku terhadap Pak Kirman, aku tahu bahwa dia hanya akan mengatakan apa yang pasti sudah diketahuinya. Pak Kirman bukan orang yang suka mengatakan sesuatu dengan begitu saja kalau dia belum tahu betul masalahnya. Jadi tak semestinya kalau aku berbohong kepadanya. "Pak Man tahu dari mana?" tanyaku kemudian. "Dari Eko sendiri setelah Pak Man mengorek-ngorek keterangan dari dia." � "Sebelum mengorek-ngorek, pasti Pak Man sudah punya dugaan yang mengarah ke sana," aku � menyela bicaranya, "Boleh saya tahu apa itu supava kita bisa omong-omong dengan lebih terbuka..." � '"Mula-mula ^(captLTe a?tivewindow flengar pembicaraan antara Mook ^umi, Rapiah, dan simbok-nya anak-anak, pikiran Pak Man mulai merangkai-rangkaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan Den Wulan. Mereka bicara mengenai kebiasaan Den Wulan yang nganeh-nganehL Kata mereka pula. Den Wulan suka pergi berlamalama tanpa naik mobil dan tanpa memberitahu secara jelas ke mana tujuannya. Dan beberapa hal aneh lainnya lagi. Mereka semua mencemaskan Den Wulan." � "Itu kan kebiasaan saya sudah sejak dulu, Pak Man." Aku masih mencoba membela diri. � "Betul. Tetapi saya perhatikan selama ini, rentang waktu masa awal remaja Den Wulan sampai dewasa seperti sekarang, kebiasaan semacam itu sudah tidak begitu terlihat lagi. Tetapi kok kenapa sekarang tiba-tiba saja itu muncul," Pak Kirman mengomentari perkataanku. "Dan secara bersamaan, Eko pun kalau dimintai tolong untuk melakukan sesuatu di perkebunan atau di kandang, sering melemparkan tugas itu kepada Ragil atau Seno dengan imbalan uang. Anak bandel dia itu.'* � "Apa hubungannya dengan diriku?" Aku masih Juga ingin mengulur waktu untuk menghadapi bukti ,a'n yang barangkali tak lagi bisa kuingkari. � "Jangan tanya yang itu dulu," Pak Kirman meng-abaikan perkataanku. "Nan, beberapa hari yang lalu saya cegat dia ketika sudah bersiap-siap mau per8, lagi. Saya tanya ini dan itu akhirnya mengaku � sedang mencari tanah untuk dia beli. Lalu saya tanya lagi perginya dengan siapa sebab dia itu kan bclum kenal betul tempat-tempat di Tawangmangu ini. Dia bilang perginya sendirian saja. Tetapi saya mulai curiga ketika sadar bahwa belakangan ini dia juga nganeh-nganehi. Pakaian simpanannya yang bagus-bagus mulai dikeluarkan satu per satu. Dia sengaja ke Solo cuma mau beli jaket baru yang bagus dan minyak wangi. Lalu juga beli kacamata buat menahan sinar matahari yang bentuknya modem. Pokoknya dia juga sudah mulai nganeh-nganehi. Padahal tidak biasanya dia begitu. Masa iya sih mencari tanah saja kok serapi dan sewangi itu!" � Dalam hatiku, aku tersenyum. Aku memang tahu bahwa laki-laki itu selalu tampak rapi dan baunya segar oleh after shave lotion yang kukenali baunya karena Mas
Danu juga memakai yang sama baunya. Kadang-kadang, dia juga memakai minyak wangi. Tetapi, aku baru tahu sekarang bahwa itu bukan kebiasaannya. Sesuatu yang bisa kumengerti sebabnya. Eko berasal dari kcluarga sederhana yang tidak begitu mementingkan soal wangi-wangian. Dan dia sekarang ingin supaya kalau aku berada di atas motornya. bisa merasa senang apabila memeluk pinggangnya. Melihatku terdiam Pak Kirman langsung me-lanjutkan bicaranya. � "Sudah begitu kalau benar memang pergi sendirian. kenapa dia mcmbawa dua buah helm. Apa-lagi yang satunya setiap hari selalu dibersihkannya � m disemproti wangi-wangian. Dan helm itu tidak uolch dipinjam oleh adikadiknya. Itu kan jURa nZaneh-nganehi toT Pak Kirman mcnatapku dengan tatapan tajam. � Aku menundukkan wajahku, tidak ingin menatap matanya yang selalu tampak bersinar dan tajam ilu. Kudengar Pak Kirman tertawa pelan kemudian melanjutkan lagi bicaranya. � "Tetapi kepastiannya baru muncul kemarin ketika secara kebctulan simboknya anak-anak menemukan sehelai selendang yang sangat cantik warnanya dan halus kainnya. Wangi pula baunya. Itu pasti bukan milik perempuan sembarangan." � Mendengar itu, hatiku mulai berdebar. Kemarin dulu kami berdua memang pergi ke Sarangan lagi untuk sekadar menghibur diri dan naik kuda se-sudah beberapa kali gagal mencari tanah. Waktu itu kubawa sehelai scarf untuk melindungi wajah dan kep alaku dari cahaya matahari. Ketika pulang kembali ke T awangmangu dan harus mengenakan helm, scarf itu ku titipkan di bagasi motor Eko. Tetapi kami samasama lu pa untuk mengambilnya waktu aku turun di tempat rahasia kami. � "Nah, waktu diberitahu simboknya anak-anak yang ternyata juga mcmpunyai kecurigaan yang sama, langsung saja saya tanyai Eko tentang selendang itu." Kudengar Pak Kirman mulai berkata ,agi. "Dan akhimya dia mcngaku." � "Apa yang diakukannya?" � "Semuanya. Sejak Den Wulan lari dan rumah Pada hari perkawinan Den Dewo!" � Pipiku terasa hangal. Rasanya, aku seperti anak kecil yang dipergoki sedang berbuat nakal. Tetapj pikirku, kalau Eko sudah berani berterus-terang aku pun seharusnya bersikap yang sama. p^ Kirman selalu baik dan penuh pengertian padaku. Aku tidak boleh menambah pusing kepalanya. � "Yah, memang seperti itulah kenyataan yang sebenamya, Pak Man. Maka sejak hari itu kami sering pergi bersama-sama. Eko sangat memahami perasaan saya. Dia seorang laki-laki yang tinggi selera humomya. Bersamanya, saya jadi banyak tertawa. Dan sebaliknya, dia juga membutuhkan saya untuk menjadi petunjuk jalan di tempat-tempat yang lebih saya kenal dibanding dia. Begitu pun juga, dia membutuhkan beberapa saran untuk di-pakai sebagai bahan pertimbangannya ketika melihat tanah yang agak menarik hatinya. Bahkan kepada saya, dia juga bisa mengeluarkan perasaan-nya yang pemah terluka oleh kekasihnya yang tak setia," sahutku kemudian. Aku tidak ingin menyem-bunyikan kenyataan yang sebenamya dari Pak Kirman. "Terus terang kami berdua merasa senang bisa sering bersama-sama mempercakapkan banyak hal. Ada persamaan nasib di antara kami berdua. Dan ada banyak kecocokan di antara kami. Tetapi Pak Man, saya harap Pak Man tidak mempunyai dugaan yang terlalu jauh. Kami hanya berteman. Kami hanya bersahabat. Itu saja." � "Saya percaya itu. Den. Tetapi masalahnya bukan sekadar tentang persahabatan atau bahkan seandai-nya ada sifat lain yang lebih dari rasa persahabatan � ^kalipun. Sebab di sini yang menjadi masalahnya adalah nama baik keluarga Den Wulan. Bayanikan |an apa kata orang kalau melihat Dcn wT. sering bersama-sama dengan Eko. Apalagi di saat-^t ketika Den Dewo sedang menjalani bulan madunya!" � "Apa hubungan Mas Dewo dengan masalahku Pak Man?" Aku menyela bicara Pak Kirman. � "Hubungannya, orang akan menyangka Den Wulan sedang putus asa sehingga kehilangan pe-gangan dan lalu berbuat apa saja sekehendak hati Den Wulan." Pak Kirman menjawab pertanyaanku dengan sabar. "Atau, bisa juga Den Wulan disangka sedang mencari pelarian untuk melampiaskan hati yang patah!" � Apa yang dikatakan oleh Pak Kirman persi s seperti yang sudah ada di dalam pikiranku selama ini. Kurasa Mbok Sumi, Yu Rapiah, dan Mbok ICirman pun ketika membicarakan diriku juga mempunyai pendapat seperti itu. Padahal, mereka kenal betul siapa aku dan memiliki kedekatan dengan diriku. Betapa pun alasan p emikiran itu dilandasi oleh rasa sayang mereka kepada ku, tetap saja aku bisa mengambil kesimpulan yang leb ih jauh. Bahwa kalau mereka yang dekat denganku
saj a bisa mempunyai pemikiran seperti itu terhadapku, ap alagi orang lain yang hanya melihatku dari kejauhan. � MApa yang Pak Man katakan itu sudah ada di ^'am pikiranku," sahutku lama kemudian. "Kurasa, Pak dan Mbok Kirman pun entah sedikit entah banyak mempunyai pikiran seperti itu juga. Tetapi � pcrlu kulcgaskan di sini Pak, bahwa itu semua sama sekali tidak betul. Sudah lama perasaan kasih-ku kepada Mas Dewo, padam. Bahwa ada hari-hari di mana aku ingin lari dari rumah, itu karena aku merasa sangat tertekan akibat perhatian yang sangat berlebihan dari semua orang. Termasuk per. hatian Pak dan Mbok Kirman. Kalian semua meng-anggapku seperti gelas antik rapuh yang mudah pecah. Aku tidak tahan merasakan itu semua, Pak. Dan itulah sebenamya yang membuatku merasa sakit. Bukan patah hati karena cinta. Mas Dewo bukan apa-apa lagi di hatiku!" � "Wah... saya tidak mengira begitu to sebenar-nva..." Pak Kirman bergumam. � "Ya. Dan satu-satunya orang di dunia ini yang mengerti diriku adalah Eko!" Aku berkata lagi memuntahkan perasaanku. "Dialah yang menyem-buhkan perasaanku yang tertekan itu. Dia jugalah yang menyembuhkan hatiku dari luka yang di-akibatkan keangkuhan harga diriku. Sebab selama ini aku merasa sebagai pecundang, sebagai orang yang terkalahkan. Padahal dengan kacamata baru yang diberikan oleh Eko, aku melihat diriku justru berada di tempat yang lebih unggul." � Pak Kirman terdiam beberapa saat lamanya. "Saya sekarang juga mulai melihat semuanya dengan kacamata yang lebih baru meskipun belum terang sekali," katanya lama kemudian. 'Tetapi. tetap saja saya merasa khawatir melihat kedekatan di antara Den Wulan dengan Eko. Bapak dan Ibu Suryo pasti tidak suka melihat itu. Sebab nama � baiknya men ad, taruhan. Dn.nggal kekasi h bukan nya Den Wulan mendapat pemuda yang jauh? cSh i segala-galanya, tetapi malah dekat dentn laki-laki anak mandor kebunnya yang belum jJL masa depanny a bagaimana dan..." � "Tak Man, aku tidak suka mendengar tentane Cara-cara menilai orang dengan cara mengaitkan pada hal-hal yang cuma tempelan belaka. Yang bukan inti kemanusiaannya. Derajat lah, kebang-sawanan lah. Kekayaan lah. Status sosial lah!" Aku memotong kata-kata Pak Kirman dengan perasaan tak sabar. "Aku juga tidak suka Pak Man merendahkan anak sendiri. Justru karena Eko datang dari keluarga sederhana tetapi berhasil dalam studinya, bahkan mempunyai segudang pengalaman menjadi petani dan nantinya dia ingin pengalaman itu dikawinkan dengan ilmu yang diraihnya, Pak Man harus bangga karenanya. Dia mempunyai masa depannya sendiri. Dia mempunyai harapan yang digenggamnya dengan tangannya sendiri yang penuh dengan kepercayaan dan daya juang. Pak Man, di zaman sekarang ini tidak banyak orang yang seperti Eko. Di satu pihak dia ingin maju dan mengatasi segala keterbatasannya, tetapi di lain pihak dia tidak pernah lupa dan terutama tidak pernah merasa malu dari mana dia berasal. � Pak Kirman terdiam. Tetapi kulihat matanya berkaca-kaca. � Tujuh � Hari itu aku hernial pergi ke Solo untuk mcmbeli pakaian. Kemarin dulu Bapak membcriku uang. Pikirku kalau aku sudah bekerja nanti, aku tak akan mau lagi diberi uang Bapak. Apalagi me-mintanya. Malu rasanya. Jadi sekarang selagi rasa malu itu belum begitu penuh, aku ingin membeli baju-baju yang pantas untuk dipakai bekerja. Sebab siapa tahu gajiku nanti kecil. � Sudah kurencanakan, aku akan pergi bersama Eko. Dia akan menungguku di dekat terminal kira-kira setengah jam mendatang. Tetapi sayangnya baru saja aku memanasi mobil, Tita mcndekatiku. � "Mau ke mana lagi sih, Mbak?" tanyanya dari jendela mobii. � "Mau ke Solo." � "Untuk?" � "Untuk beli baju." Aku menoleh ke arahnya. "Kenapa?" � "Aku ikut ya, Mbak. Aku juga ingin beli baju." Tita mempermainkan rambutku yang panjang. "La-maran kerjaku mendapat jawaban. Dan aku diminta datang untuk wawancara dalam minggu dcpan." � Aku teriegun^ Sudan beberapa lamanya aku ia sekah berhandai-handai dengan Tita ^nstiwa ser^nting itu aku baru mengctahuinya' ^"Oh ya. Ta? Mataku menyipit menatap adikku � "Heeh." � -Wah. aku kalah." Aku menepuk lembut pipinya "Kuharap. wawancaramu berhasil memuaskan dan kau akan ditenma bekerja di sana. Eh... di mana
� itu, Ta?" � -Di Bank.' Tita tersenyum. "Jadi aku butuh baju yang bisa menunjang penampilanku untuk wawancara di sebuah bank. Boleh aku ikut, Mbak?" � Aku tergagap. Bagaimana dengan Eko kalau Tita ikut? � "Bo... boleh." � Tita mengerutkan dahinya. � "Apakah kau sudah ada janji dengan seseorang, Mbak?" tanyanya kemudian. Matanya menyipit dan menatapku dengan pandangan tajam. � "Su... eh, belum." Aku semakin gugup. � "Wan, kau tidak pemah bisa berbohong padaku, Mbak. Lucu melihatmu gugup begitu!" Mata Tita yang menyipit tadi ganti terbuka lebar. Bahkan lebih lebar daripada biasanya. "Aduh, siapa dia sih, Mbak? Kenapa kau sembunyikan dia? Pasti laki-laki, kan? Di mana kau kenal dia? Ayo, cerita-kan kepadaku. Semuanya." � Aku nyengir. Sialan, Tita. Bisa-bisanya dia me-nyerangku dengan bertubi-tubi seperti itu dengan gaya seorang pemenang. � "Cuma seorang teman," sahutku kemudian. � "Tetapi laki-laki. kan?" Mata Tita bersinar-sinar. "Ya " � "Dan akan pergi bcrsamamu ke Solo, kan?" � "Ya." Apa boleh buat. Dari pada Tita berteriak-teriak didcngar orang. lebih baik aku mengaku. 'Tetapi ssst, diam-diam sajalah. Jangan sampai seluruh dunia tahu. Kecilkan volume suaramu itu!" � "Aduh. rahasia besar mulai terbuka nih!" Tita mengecilkan suaranya. 'Tetapi aku boleh ikut, kan? Aku berjanji, tidak akan mengganggu kalian." � "Boleh. Dan jangan berpikir macam-macam!" Aku mendelik kepadanya. 'Tidak ada yang merasa � terganggu. Oke?" � "Oke!" Tita bersorak. "Aku akan ganti pakaian. Berceritalah kau nanti di mobil. Asyik nih!" � Tita berlari-lari kembali masuk ke rumah. Tetapi aku memanggilnya sehingga ia menghentikan ge-rakan kakinya dan menoleh ke arahku lagi. Pan-dang ma tanya menyiratkan kekhawatiran. Aku tahu. dia takut aku berubah pikiran dan tidak jadi mem-bawanya pergi. � "Apa, Mbak?" tanyanya. � "Jangan berisik dan bersikap tenanglah," kataku. "Jangan memancing rasa ingin tahu orang. Atau, kutinggal kau sekarang!" � MOke, oke, oke..." Tita tertawa dan menghilang di balik pintu. � Aduh, apa yang harus kukatakan kepada Eko? Kalau saja di rumahnya ada telepon, bercslah. Atau kalau saja dia jadi beli telepon sclular, pastilah � tidak begini gelisahnya aku. Tetapi vah , Xigka Tita mau ikut, bukan? P yah' *, Di jalan menuju ke arah tempat Eko sedan menungguku aku bercerita sedikit kepada Tita Aku merasa belum saatnya menceritakannya secara detail- Lagi pula waktunya tidak akan mencukupT jarak dan rumah ke arah terminal tidak begitu jauh. � "Kami bertemu di telaga Sarangan sebulan lebih yang lalu. Dia datang dari Lampung, ingin membeli tanah di sekitar Tawangmangu sampai di sekitar Cemoro Sewu. Mengingat dia bukan orang sini, maka aku membantunya mencarikan tempat itu meskipun sampai sekarang belum juga mcnemukan tanah yang cocok. Maka kami pun bertcman." Begitu aku bercerita. � "Hanya sekian saja, Mbak?" Tita tampak tidak puas. � "Ya. Hanya sekian." Aku menjawab tanpa me-mindahkan pandang mataku dari jalan raya. "Me-mangnya apa yang ingin kaudengar?" � "Kenapa Mbak Wulan mau-maunya berteman dengan seseorang yang hanya dikenal di suatu tempat? Apalagi sampai mau menjadi penunjuk jalan baginya. Sepengetahuanku, itu bukan sitatmu, Mbak." � 'Tetapi itulah yang terjadi." � "Mbak, menurut perasaan dan perkiraanku, aku mi termasuk orang yang paling dekat denganmu. Tetapi apa yang kauceritakan kepadaku tadi mem-Perlihatkan bahwa kau belum sepenuhnya mempercayaiku," Tita semakin merasa tidak puas. "Apa sih yang kausembunyikan? Kau kan kenal aku to Mbak. Tak mungkin aku mengkhianatimu. Dan tak mungkin pula aku menjatuhkan penilaian se-belum tahu sungguh-sungguh masalahnya." � Mendengar perkataan Tita, aku menyadari sikap-ku yang kurang terbuka kepada adikku itu. Tidak biasanya aku bersikap seperti itu terhadapnya. � "Baiklah Ta, kau benar!" Aku mengakui ke-salahanku. "Laki-laki yang sebentar
lagi akan kau lihat itu sebetulnya bukan orang asing bagi kita. Waktu masih kecil, kita pernah melihatnya. Bagai-mana sampai aku dan dia menjadi akrab, sangat panjang ceritanya. Nanti di rumah, akan kuceritakan secara lengkap." "Janji Iho ya?" "Janjir � 'Tetapi aku ingin tahu siapa namanya, Mbak." � "Namanya, Eko." � "Pasti anak pertama, dia." � "Ya." � 'Tadi kau bilang, waktu kecil kita pemah melihat dia. Memangnya, dulu keluarganya pernah menjadi tetangga kita?" � "Boleh dibilang begitu." Aku melirik Tita untuk mengetahui reaksinya. Tetapi aku tidak menemukan apa pun kecuali perhatiannya yang tercurah pada ceritaku. "Sudahlah Ta, nanti saja sambungan ceritanya." � "Ya, baiklah. Tetapi satu lagi pertanyaank u. Jawablah dengan jujur. Apakah dia tampan? Dan � apakah kau dan dia sedang menjalin � baru? � ..Ta, itu bukan satu pertanyaan!" Aku memawab Icesal- 'Tetapi dua pertanyaan!" J aG � Tita tertawa kecil sambil menoleh ke arahkn picubitnya pipiku dengan rasa gemas yang diwamai rasa kasih. � -^bak, aku bertanya begini ini bukan cuma sekadar ingin tahu saja, tetapi karena aku ingin mendengar benta yang bagus mengenai dirimu" katanya kemudian. "Kau tidak pemah menyangka kan bahwa keprihatinanku terhadapmu melebihi keluarga kita yang lain. Sebab aku tahu betul betapa setianya kau kepada Mas Dewo. Padahal di Jakarta ada sekian banyaknya cowok-cowok yang berusaha mendekatimu dengan sangat simpatiknya. Tetapi kau selalu menghindari mereka. Padahal, mereka rata-rata lebih baik dari bekas pacarmu itu. Nah, apakah salah kalau aku sekarang ingin mendengar sesuatu yang menyenangkan tentang dirimu, Mbak..." � Aku menoleh ke arah Tita sesaat lamanya untuk memberikan senyumku yang semanis gula dan pandangan mataku yang tersorot rasa kasihku yang besar. � Terima kasih, Sayang. Kau memang seorang adik yang baik, Tita." � "Aku tidak butuh pujianmu, Mbak. Aku butuh jawabanmu!" � Aku tersenyum lagi. Kubelai pipinya dengan lembut. � "Baiklah. Non. Aku akan mcnjawab pertanyaan-mu. Laki-laki bcrnama Eko itu, memang kalah tampan dari Mas Dewo. Tetapi dia jauh lebih menarik dibanding suaminya si Titik itu," sahutku kemudian sambil mencibirkan bibirku. "Karena per-tama. tubuhnya tinggi dan gagah. Bahunya bidang, dan tangannya kekar dan kuat. Kcdua, matanya indah. Ketiga. pengetahuan umumnya sangat luas Dan keempat. bibimya... bibimya..." � Karena aku langsung diam, Tita menoleh lagi ke arahku. Aku yakin, dia sedang mcnahan senyum-nya. Tak biasanya aku memuji laki-laki serinci itu. "Bibimya kenapa, Mbak?" "Bibimya... bibimya... seksi. Barangkali itu kata yang bisa kutemukan di kamus hatiku. Aku tak bisa menemukan kata yang lain." Aku menjawab sambil menyeringai kesal. Habis apa yang harus kukatakan kalau memang seperti itu nilai yang � kuberikan kepada Eko. � Kalau tadi Tita dapat mcnahan senyumnya, kini mendengar jawabanku itu dia tak lagi mampu mcnahan tawanya. Dia terkikik-kikik geli. "Apanya yang lucu sih, Ta?" Aku semakin kesal. "Bibir seksi itu seperti apa sih?" Tita bertanya lagi. masih sambil tertawa. � "Kalau kau terus tertawa, aku tak jadi cerita � Iho!" � "Oke, oke!" Tita berkasil menahan tawanya. "Pertanyaan berikutnya belum kau jawab Iho. Mbak." � "Pertanyaan yang mana lagi?" � -Pertanyaan tentang apakah kau scdanu m menjalin hubungan baru dengan lak.lak, beEi � seksi itu? � "Jangan kauulangi kata-kata tentang seksi itu Iagi Atau kau mau kuturunkan di s.ni>" Aku melotot ke arahnya. � "Jangan. jangan, Mbak. Ampuni kesalahanku." Bibir Tila berkerinyut menahan Uwa. "Aku tidak akan lagi mcnyebut-nyebut bibir yang seksi lagi Sebab bibir yang seksi itu tidak baik discbut-sebut. Bibir yang seksi tidak boleh dijadikan bahan
pembicaraan. Bibir yang seksi itu..." � 'Tita!" rfuti nqA" � 'Tya, iya!" Tita mulai terkikik-kikik lagi. "Nan, jawab pertanyaanku tadi. Apakah kau dan laki-laki itu sedang mulai menjalin "suatu hubungan baru?" � "Tidak, Ta. Sungguh. Kami hanya bcrteman saja. Bahkan bersahabat. Ada banyak persamaan di antara kami berdua. Juga saling pengertian yang sangat kental." � 'Tetapi apakah itu bukannya tanda-tanda ke arah hubungan yang lebih khusus di kemudian hari antara kau dan dia, Mbak?" � 'Tidak. Sebab ada dua alasan kuat dalam hal ini. Pertama, aku baru saja putus cima. Hatiku belum tertata dengan baik, Ta. Menjalin hubungan baru dengan lakilaki lain dalam situasi seperti itu bukan suatu tindakan yang bijaksana. Sebab siapa fchu itu hanya sebagai ajang pelanan ,ija meskipun barangkali tidak kusadari. Dan justru karena itulah ak" tidak ingin bersikap gcgabah dalam hal ini."^ � "Suatu pemikiran yang bagus. Nah, alasan kedua-nya apa, Mbak?" � "Alasan yang kedua, kalau aku dan Eko sampai menjalin hubungan cinta, maka seluruh rambut di kepala orang-orang Tawangmangu ini akan berdiri semua!" Aku menjawab pertanyaan Tita sambil tertawa. � Tetapi tentu saja Tita tidak ikut tertawa karena tidak mengerti apa maksud kata-kataku tadi. Hanya aku dan Eko saja yang sering memakai istilah "rambut berdin" itu. Karenanya gadis itu langsung melontarkan pertanyaan lagi. "Apa maksud bicaramu itu, Mbak?" "*Maksudnya, menurut kacamata yang dipakai oleh banyak orang di tempat ini, aku dan Eko berada pada tataran yarig tidak sederajat," sahutku. "Dan pasti kalau terjadi hubungan serius di antara kami berdua, hubungan itu akan menjadi bahan pembicaraan orang di mana-mana." "Kok begitu. Mbak? Memangnya dia itu siapa?" "Ssh, nanti sajalah ceritanya disambung lagi. Kita sudah sampai. Itu orangnya sudah menunggu di bawah pohon asam." "Yang mana?" � "Itu yang memakai celana jins dan kemeja kotak-kotak warna merah itu." Aku menjawab sambil mulai memperlambat laju kendaraanku. Jendela mobil mulai kubuka sedikit. � "Yang memakai kacamata hitam itu kan, Mbak?" Tita bertanya lagi. � "Ya." � "Wow!" Apa maksud 'woWmu itu. Tar Aku menahan tawa. Sungguh sangat menarik. Seperti koboi Texas'" Tita menjawab pelan. "Jadi makna wow-ku tadi *0w keren!" � Mau tak mau aku tertawa. Karena mobil pas berhenti di muka Eko dan jendclanya sudah kubuka hampir separonya, laki-laki itu mengira aku sedang melemparkan tawa ke arahnya. Dia membalas tawa-ku. � "Selamat pagi, Mbak Wulan." Dia menyapaku dengan riang. � "Selamat pagi. Sudah lama menunggu di sini?" � "Sekitar lima menit yang lalu." � "Nah, siapa yang akan mengemudi?" Aku mc-mijit tombol pusat pengunci mobil. "Kau atau aku?" 'ah* * - " � "Biarlah saya yang mengemudi." � Setelah pintu tak lagi terkunci. kubuka pintu mobilku dan aku keluar. Tita ikut aku menyusul keluar dari pintu yang lain. Melihat itu, Eko ter-tegun. Kaca mobilku memang gelap. Dia pasti baru melihat ada orang lain di dalam mobil. Karena itu lekas-lekas aku menjelaskannya. � "Adikku ingin ikut kita ke Solo. Mudah-mudahan kau tidak keberatan," kataku menjelaskan keber-adaannya. � "Tentu saja tidak. Kita kan tidak mempunyai acara khusus yang sangat penting." Eko menjawab sesuai dengan kenyataan. � Memang, aku dan dia bermaksud ke Solo cuma mau jalan-jalan mencari suasana lain tanpa takut teriihat orang. Dan meskipun sebenamya ada yang ingin kubicarakan dengannya mengenai pem-bicaraanku dengan Pak Kirman beberapa hari se-belumnya. tetapi hal itu masih bisa ditangguhkan � kapan-kapan. � 'Tetapi sebelum kita berangkat, sebaiknya kalian � berkenalan dulu." � Eko langsung mengulurkan tangannya ke arah Tita sambil tertawa ramah yang juga langsung disambut oleh gadis itu sambil menyebutkan namanya. Setelah itu, Tita pindah duduk di jok belakang dan aku pindah ke tempat Tita tadi duduk. Se-
mentara di belakang kemudi tempat aku duduk tadi, Eko yang menggantikannya. � "Saya tidak pemah mengira Mbak Tita sudah sedewasa ini," komentar Eko setelah mobil mulai berjalan kembali. � "Soalnya setiap hari saya diberi makan oleh orangtua, Mas." Tita menjawab sambil tertawa. 'Tetapi apakah kita dulu pernah ketemu?" � Hm, Tita memanggil Eko dengan sebutan "Mas". Aku yakjn sebentar lagi pasti lah Eko akan mengatakan keberatannya dipanggil dengan sebutan itu. i*r"Dulu saya pemah melihat Mbak Tita waktu Mbak Tita masih balita. Tetapi Mbak, tolong jangan sebut nama saya dengan 'Mas'. Panggil saya dengan nama saja, Mbak!" Persis yang kukira. Eko tidak mau dipangggil "Mas". 'Tetapi itu tidak pantas. Anda lebih tua dan � -Kalau begitu, panggil saya dengan nama juea. Tidak usah ditambah dengan sebutan Mbak'" per kataan Tita juga sama seperti perkataanku kepada Eko ketika lakt-laki itu mengatakan hal sama kepadaku di awal-awal perkenaian kami. Karenanya mendengar itu aku ingin sekali tertawa. � "Saya akan tetap memanggil Anda dengan Mbak Tita. Dan akan tetap seperti itu!" Eko menjawab dengan suara tegas. � Sekarang aku tidak lagi menyembunyikan tawa-ku. � "Sudahlah Ta, turuti saja permintaannya. Sebab . pembicaraan yang baru terjadi itu pemah kualami. Persis begitu tidak lebih dan tidak kurang," kataku masih tertawa. "Dan hasilnya nihil." � "Sebaiknya masalah sepele seperti itu jangan diperpanjang," Eko menyela sambil tertawa juga. "Sebab akan lebih menyenangkan kalau kita me-nikmati saja kepergian kita hari ini. Saya sudah kangen nasi Hwet Solo. Sudah lama sekali saya tidak makan masakan-masakan khas Solo." � Begitulah hari itu kami bertiga pergi berjalan-jalan ke Solo. Mencari baju di pertokoan, makan nasi liwet dan ay am bakar, kemudian pulang dengan hati senang. Apalagi baik aku dan Tita ber-hasil mendapat pakaian seperti yang kami inginkan. Masing-masing dua helai baju. Salah satu punyaku malah ada yang berupa blazer warna kuning muda yang cantik. Menjelang sore, baru kami mulai � memasuki daerah Tawangmangu kembah. Tetapi karena aku masih ingin bicara empat mata dengan Eko, waktu laki-laki itu minta diturunkan di tempat dia menunggu tadi. aku menahannya. � "Ada sesuatu yang ingin kukatakan tentang tanah yang Ietaknya di dekat penginapan baru itu. Kalau boleh aku menyarankan, sebelum memutuskan untuk mengatakan jadi atau tidak jadi beli, sebaik-nya pelajari kembali tentang untung dan ruginya." Aku bicara sekenanya saja. Tidak ada tanah seperti yang kukatakan tersebut. Itu cuma dalih saja. Ku-harap Eko menangkap maksudku. � 'Tanah yang mana sih?" Temyata Eko masih belum mengerti apa yang kumaui. � "Itu, yang dekat kolam-kolam besar untuk temak ikan dan yang ada banyak pohon avokadnya dan sedang berbuah itu Iho." � Mendengar jawabanku yang semakin jauh dari kenyataan itu barulah Eko menyadari maks udku. � "Oh, yang itu," sahutnya. "Boleh juga saran Mbak Wulan." � "Bagaimana kalau kita lihat sekarang? Jangan sampai didahului orang Iho. Kemarin orang yang dari Karanganyar itu kelihatannya juga tertarik." � "Saya setuju. Sekalian saja kita pergi dan juga mumpung hari masih agak siang," Eko semakin bisa menanggapi sandiwaraku. "Tetapi bagaimana dengan Mbak Tita?" � "Gampang," Tita yang menjawab. "Turunkan saja aku di mulut jalan. Kalian bisa melanjutkan perjalanan." � "Tetapi tidak apa-apa, Mbak1*" pvrt u lagi. bW**i � -Memangnya kenapa?" Tita tersenyum -iw saya malas berjalan?" cnyunr D*"a � "Yah, semacam itulah." � -Malas sih malas," Tita yang suka bercanda itu � Punya pilihan lain** � Tidak, kan? � Kami bertiga tertawa. Dan seperti yang sudah direncanakan, Tita turun di mulut jalan yang me-nuju ke rumah kami. Tetapi sebelum gadis itu pergi, kulambaikan tanganku kepadanya. � 'Ta, jaga rahasiaku ya," pintaku dengan berbisik di sisi telinganya. "Kalau ada yang bertanya, kata-kan saja bahwa kita hanya pergi berdua saja. Dan kau kuturunkan dulu sebab aku akan pergi ke tempat Mbak Susi untuk menjahitkan baju."
� "Baju apa?" Tita memainkan matanya. Tahu bahwa aku tadi tidak membeli bahan kain apa pun. � "Makanya bajuku tolong kauturunkan sekalian dan langsung masukkan ke dalam lemari pakaianku. Jangan sampai ada yang melihat." Aku menjawab gemas. "Nanti seminggu lagi baru akan kukeluar-kan. Biar dikira baru selesai dijahit!" � "Pembohong!" Tita nyengir sambil melangkah pergi, setelah pamit Eko. � Aku dan Eko lalu melanjutkan perjalanan. � "Apa yang kalian bicarakan dengan berbisik-bisik tadi," tanya Eko tiba-tiba. � "Aku cuma meminta Tita supaya merahasiakan � kepcrgian kami bersamamu." sahutku terus terang. "Hanya dcmi menghindari pcrtanyaan-pcrtanyaan. Itu saja." � "Dan kita akan ke mana?" Pertanyaan yang wajar. Eko masih memegang kemudi. 'Tetapi pasti tidak pergi ke tanah yang ada banyak pohon avokad yang sedang berbuah dan dekat kolam-kolam besar itu, kan?" Aku tersenyum malu. � "Aku terpaksa berbohong. Sebab aku ingin ber-duaan saja denganmu untuk membicarakan sesuatu yang penting, tanpa ada yang melihat ataupun mendengar." sahutku kemudian. "Dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tanah. Jadi terserah padamu kita akan ke mana." � "Paling banter ke hutan wisata Cemoro Sewu. Habis ke mana lagi kalau bukan di sana. Di tempat itulah kita bisa bicara tanpa banyak dilihat orang." � "Setuju." � "Dalam situasi-situasi tertentu, ternyata dunia ini sempit ya?" � "Ya. Selalu saja di mana-mana ada mata dan telinga orang." Aku tersenyum lagi. � "Apa sih yang Mbak Wulan ingin bicarakan?" � "Nanti saja di sana akan kuceritakan. Di jalan membicarakan sesuatu yang penting tidak enak. Apalagi perhatianmu harus scpenuhnya berada di jalan yang banyak tanjakannya itu. Aku masih ingin hidup." � "Oke." Eko ganti tersenyum. � Kami mcmilih tempat yang pcrtama kah kami ^g, dengan motor Eko, hampir dua bulan yanE lalu. Tempat itu tetap saja indah dipandang dalam � cuaca apa pun. Juga pada menjelang sore han itu Aku yakin sekali jika malam sedang pumama raya. pemandangannya pasu juga akan indah sekali meskipun keindahan itu lain danpada keindahan yang dapat diserap pada siang hari. Siang dan malam memiliki kcindahannya sendiri-sendiri. � Aku dan Eko duduk di atas rerumputan dengan menggelar sehelai koran untuk kami duduki masing-masing. Setelah puas menikmati peman-dangan yang terhampar di hadapan kami, Eko menoleh ke arahku. � "Sekarang sampaikanlah apa yang ingin Mbak Wulan katakan kepadaku," katanya kemudian. "Ke-lihatannya penting sekali." � "Ya, memang. Beberapa hari yang lalu waktu aku ingin berkuda, tiba-tiba saja Pak Kirman mengajakku bicara tentang suatu hal yang..." � "Bapak mengajak Mbak Wulan bicara?" Eko menyela perkataanku. � "Ya. Tidakkah dia mengatakannya kepadamu?" � "Dalam hal-hal yang penting, Bapak tidak pemah mau bicara kalau dia menganggap waktunya kurang tepat." Eko menjawab dengan suara pelan. "Apa yang dikatakannya, Mbak?" � "Dia mengatakan bahwa dia sudah tahu kalau kita sering pergi bersama-sama..." � '"Saya terpaksa mengatakannya, Mbak." Eko menyela sambil menundukkan kepalanya. "Bersama � Simbok mereka berdua selalu saja mengorek ke-icranftan >ni dan itu dan mencancan sesuatu yan sckiranya bisa menjawab dugaan mereka. Dan saya Hdak bisa lagi mengelak." � "Aku tidak menyalahkanmu. Mas! � "Jangan panggil "Mas'!" � "Di sini tidak ada orang yang rambutnya akan berdiri." sahutku sambil tertawa, mencoba bercanda tetapi Eko tidak ikut tertawa. "Nah kuulangi lagi, aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Aku sangat kenal kedua orangtuamu. Menghadapi soal apa � pun mereka sangat hati-hati dan penuh kearifan. � Tetapi waktu itu Pak Kirman sempat mengatakan � kepadaku agar aku mampu menyatukan antara nalar � dan rasa." � "Dia juga mengatakan hal sama kepada saya." � "Dan dia betul. Seharusnyalah memang begitu," kataku. "Sebagai orang yang
sudah makan banyak asam dan garam kehidupan, Pak Kirman merasa khawatir tentang banyak hal. Yang pertama, dia takut keakraban kita ini akan diketahui orang banyak dan mereka lalu menghubung-hubungkannya dengan perttawinan Mas Dewo dengan perempuan lain beberapa waktu yang lalu. Atau jelasnya, aku bisa saja dianggap orang sudah kehilangan akal sehat, lalu mencari hiburan dengan berpacaran. Dan dengan laki-laki yang baru kukenal pula. Itu yang pertama. Yang kedua, Pak Kirman meng-khawatirkan hubungan kita berdua kalau-kalau menjadi ajang pelarian yang keliru dan nantinya bisa berakibat buruk bagi semua pihak. Maka dengan � penuh rasa khawatir .tud.a rneminta � Erfu. berusaha untuk bisa menyatukan anura � nalar dan rasa. � "Apa yang dikatakan oleh Bapak banyak benar � oya, Mbak. � -Yah, memang. Setidaknya seperti irulah sudut pandang Pak Kirman ketika melihat keakraban kita berdua" � -Dan demikian juga dari sudut pandang mata orang banyak," Eko menyambung. � "Ya, itu juga benar. Tetapi, tidak dari sudut pandanganku," aku ganti mcnimpali perkataan Eko ujdi. "Aku ini sudah bukan rcmaja lagi. Aku ini perempuan dewasa yang hampir dua puluh enam lahun umurku. Aku juga bukan orang yang bcrjiwa rapuh. Apalagi labil. Kuliahku di psikologi pula. Aku tahu siapa diriku, apa mauku, apa kelebihan dan kekuranganku. Aku juga tahu bahwa saat ini aku berada dalam kondisi sehat secara fisik maupun mental. Masa-masa aku kehilangan orientasi nilai ketika merasa seperti seorang pecundang, sudah lewat." � "Jadi...r � "Jadi keakraban kita tidak periu dipersoalk an. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. � Titik." � "Saya sependapat, Mbak. Tetapi kita berdua juga harus mcnyadari bahwa kita tidak boleh melihat dunia ini dari satu sudut pandang saja. Sebab kita ini kan hidup bersama orang banyak. Juga sebab kita ini hidup dalam suatu jaringan komunitas � yang sating kail-mcngait, yang berhubungan antara yang satu dengan yang Iain. Temtama karena kita hidup di kota kecil seperti ini. Gerakan atau kiprah seseorang yang hidup dalam suatu komunitas sc. bagaimana yang ada di sini. tidak bisa tidak akan mengenai orang banyak. Dan dampak yang di-tinggaJkannya akan berpengaruh tcrhadap orang lain. Sedikitnya, terhadap orang-orang yang ada di sekitamya." � "Aku mengcrti itu. Oleh karenanya, dengan se-kuat tenaga kita juga harus menjaga perasaan mereka. Kita juga harus sungguh-sungguh mencnggang hati mereka." sahutku. Ada api kemarahan yang mulai menyala di hatiku. "Kecuali, menenggang perasaan kita sendiri. Ya. kan? Maka. demi menjaga perasaan mereka, keakraban di antara kita berdua sejak sekarang harus mulai dikurangi sctahap demi setahap dan kemudian kita tak akan pernah bertemu lagi kecuali seperti dua orang asing yang ber-papasan di jalan. Begitu kan niaumu?" � "Yah apa boleh buat, Mbak Wulan. Dalam hidup ini kita memang terpaksa harus sering mengorban-kan perasaan sendiri demi mencapai sesuatu yang memiliki nilai lebih. Yaitu, harmoni..." � "Harmoni apa?" Aku memutuskan pcrkataan Eko dengan sengit. "Masa sih cuma menjalin suatu persahabatan saja. apalagi persahabatan yang tulus dan mams penuh pengertian satu sama lain begini harus kita akhiri hanya untuk alasan-alasan semacam itu. Kita memang harus mcmikirkan kepentingan orang banyak, tetapi kita juga harus � memikirkan diri sendiri sejauh itu bukan sesuatu yang melanggar norma moral. Bukan pula perbuatan yang melanggar hukum. Hukum apa pun. Kau pasti tahu bahwa represi yang terus-menerus, apa pun alasannya, bisa menyebabkan seseorang kehilangan dirinya sendiri sebagai makhluk yang otonom, yang bebas untuk mengembangkan rasa tanggung jawabnya. Lagi pula, setiap . insan kan memiliki kebutuhan untuk dihargai otonom iny a." � "Mbak. cobalah mencari sisi positimya. Kita ini orang Jawa. Meskipun ada teori psikologi Barat yang mengatakan bahwa dalam diri manusia ada tingkat-tingkat kebutuhan yang dimulai pada tataran bersifat fisik sampai meningkat pada tataran yang lebih bersifat spiritual, dan jika itu terpenuhi maka dia akan menjadi
seorang manusia yang sehat lahir maupun batinnya, tetapi kita orang Jawa mempunyai pandangan yang agak lain. Bahwa seorang individu yang mampu menomorduakan segala kebutuhan-kebutuhan lahir maupun batinnya demi sesuatu yang lebih bemilai, maka dia adalah seorang manusia utama. Contoh sedcrhana, setiap insan memang memiliki kebutuhan dasar yang bersifat fisik. Makan, minum, tidur. dan seks. Kebutuhan-kebutuhan itu harus terpenuhi demi kelangsungan hidup manusia. Tetapi. kalau seseorang bisa mengatasi itu semua dengan mati raga demi sesuatu yang lebih bermakna seperti misalnya untuk mencapai kebersihan diri atau untuk kepentingan yang lainnya yang lebih bemilai, maka � imIah yang kuscbut W* manusia utama � apakah kau mau mengaJchiri persahabatan ini demi rncncapai apa yang d.scbut manusia utama Zr Aku mcmutuskan perkaiaannya � Eko mencrawang kc atas langit. Kemudian me-narik napas panjang sekali. Matanya tampak mu-rung. � "Ya. Itu demi kebaikan kiU dan semua orang yang ada di sekitar kita di masa Jepan, Mbak. Juga demi tidak mengganggu kemapanan tatanan social yang ada," sahutnya lama kemudian. "Terus icrang semenjak Bapak mengajak saya bercakapcakap, saya sudah memikirkan hal ini selama ber-hari-han. Sudah pula saya telungkup-telentangkan hal ini untuk melihat apa baiknya dan apa buruk-nya. Jadi singkal kata, betul apa yang bapak saya katakan, sebaiknya mulai sekarang kita mengurangi perjumpaan-perjumpaan di antara kita. Sangat me-nyakitkan memang. tetapi sakitnya tidak akan se-besar kalau kita memasabodohkan hal-hal lainnya karena hanya memikirkan diri kita sendiri saja..." � Aku menoleh, kutatap sisi wajah Eko dengan perasaan jengkel. � "Kau tidak punya pnnsip. Kau terlalu memikirkan mi dan itu sehingga larut di dalamnya!" Aku mulai mcnyernbur. memotong kata-katanya. � Saya punya pnnsip, Mbak. Prinsip hidup saya adalah hidup menjadi orang yang baik. Tidak me-^ahkan dan merug.kan orang dan berani -engambil sikap yang Jelas ketlka menghadapl � pilihan-pilihan yang dihadapkan di depan saya.* Eko mulai menoleh ke arahku dan ganti mcnatapku. " "justru karena itulah, dengan penuh kesadaran akan � nilainya, saya memilih apa yang sudah ditunjukkan oleh bapak saya. Yaitu menyatukan antara nalar � dan rasa." � "Jelaskan yang mana nalarnya dan yang mana rasanya!" Aku menyembur lagi. � "Nalar saya, menyuruh agar saya bersikap tegas demi menghindari hal-hal yang tidak kita harapkan di hari esok. Dan juga demi situasi lingkungan yang kita harapkan lebih damai, lebih tenang tanpa gejolak. Begitu antara lain, Mbak." � "Dan tentang rasa?" � "Rasa saya adalah sikap kompromis dan sikap pasrah ing pandum. Mengumbar rasa, menuruti rasa, memanjakan rasa dan seterusnya, itu dapat memudarkan ketajaman dan kepekaan rasa kita. Maka, saya harus berani untuk tidak memanjakan rasa itu demi menyelaraskannya dengan nalar. Saya tahu itu tidak mudah. Tetapi saya hams berusaha untuk mengatasinya." � "Lalu apa konkretnya?" Aku bertanya, menahan perasaan kesalku. � Eko menarik napas panjang lagi. Pandang matanya juga beralih lagi menatap ke arah langit. di sana awan-awan sedang beriring-iringan ke atas � puncak gunung dan menutupinya dari pandangan � mata. � "Konkretnya saya akan pergi dari Tawangmangu, Mbak. Rencana saya membeli tanah di sini. sudah � saya Icpaskan sejak kemarin-kemarin. Sebelum se-galanya jadi lerlambat. saya harus berani mengambil suatu kcpulusan bctapa pun beratnya itu. Dan selagi saya belum telanjur menapakkan langkah kaki saya di sini, saya harus segera mencntukan jalan hidup saya," sahutnya lama kemudian dengan suara pelan. Nyaris tak bisa kudengar. "Dan seperti sudah saya katakan tadi. keputusan itu adalah saya harus pergi dari sini. Tawangmangu bukan tempat saya." � Aku tersentak mendengar perkataannya itu. Apalagi sebelum ini tak sepatah kata pun yang me-nyiratkan keputusannya itu. Bahkan dari sikapnya selama kami bersenang-senang di Solo tadi, juga tak sekilas pun sikapnya menunjukkan adanya per-soalan di dalam hatinya. Ataukah mataku saja yang buta? Ataukah hatiku saja yang kehilangan kepekaannya. Entahlah. Namun yang jelas, mendengar kata-kata Eko baru saja tadi. secara tiba-tiba saja aku merasa seperti ada yang mcnganga lebar di dalam hatiku dan meninggalkan scmacam kekosongan besar yang luar biasa
menyakitkan. Napasku jadi terasa sesak dengan tiba-tiba. Seperti ikan yang tibatiba terlempar keluar dari kolam. Aku sungguh tidak mengerti kenapa aku jadi begini. � "Kenapa pikiranmu sependek itu?" Akhimya aku mampu juga bersuara meski dengan napas terengah-engah. � Dadaku seperti dibebani batu scberat ratusan kilo. Sementara di dalamnya, hatiku juga merasakan � kekosongan mcnganga yang teramat menyakitkan iru. jauh lebih sakit daripada ketika beberapa bulan ,alu aku mendengar dari Mas Dewo bahwa dia akan mcnikahi Titik. Sungguh baru kusadari, betapa berartinya Eko dalam hidupku sekarang ini. Aku tak akan sanggup berpisah dengannya. � "Mbak Wulan belum juga memahami pcrsoalan-nya." Mendengar kata-kataku tadi, Eko menoleh kembali ke arahku. "Keputusan itu saya ambil justru karena saya tidak mau berpikir secara pendek." � "Tetapi aku... aku... tidak bisa berpisah darimu, Mas Eko!" Tanpa sadar aku melontarkan apa yang sedang kurasakan. Air mata mulai tergenang di pelupuk mataku. "Aku membutuhkan dirimu. Jangan pergi..." � Mendengar perkataanku itu, Eko memejamkan matanya sejenak. Wajahnya tertunduk ke bawah, ke arah semut-semut yang sedang melintas di atas rerumputan. Melihat itu aku kehilangan rasa sabarku. � "Mas Eko, jangan pergi. Aku... aku tidak ingin kautinggalkan..." Air mataku mulai meluncur satu � per satu. � 'Tetapi Mbak, justru karena itulah saya hams pergi. Dan inilah jawaban kenapa tadi saya katakan bahwa keputusan saya itu bukan didasan oleh pikiran yang pendek seperti tuduhanmu tadi. Saya tidak ingin Mbak Wulan jadi tergantung secara Psikis kepada saya. Dan, saya juga tidak ingin merasa menjadi scmacam pahlawan hati Mbak � Wulan. Sebab tidak seperti itu yang saya inginkan." "Kenapa tidak?" � "Karena... karena... saya rffcncmtai Mbak Wulan. Dan saya tidak ingin menjadi seperti pagar makan tanaman. memakai kescmpatan dalam situasi di saat Mbak V/u\an merasakan ketergantungan pada saya." " Aku tersentak. Pengakuan itu mcnyingkapkan sesuatu yang selama berminggu-minggu dan bahkan sampai detik ini menyelubungi hatiku. Sebab mengapa hanya karena mendengar Eko bermaksud meninggalkan Tawangmangu saja, aku bisa merasa sedemikian sakitnya sampai-sampai aku sulit ber-napas seperti ini? Jawabannya adalah, aku juga mencintai laki-laki itu! � Melihatku tersentak, Eko tersenyum. Tetapi dari bibimya yang selalu mencuatkan senyum riang itu kini terlihat menyiratkan kepedihan yang baru sekali itu kulihat. � "Rasanya dalam pembicaraan seperti ini, saya perlu bicara jujur dan terus terang agar jangan sampai menimbulkan pemikiran yang keliru," kata-nya kemudian. "Saya harap Mbak Wulan tidak terkejut mendengar pengakuan saya tadi. Saya hanya ingin supaya Mbak Wulan mcngcrti kenapa saya rela mengorbankan perasaan saya demi ke-mapanan tatanan yang ada di sekitar kehidupan kita berdua. Saya tidak ingin mengagetkan seluruh keluarga saya. Saya tidak ingin keluarga Mbak Wulan kaget. Saya juga tidak ingin mengagetkan � Orang-oran8 di sini. Dan khusus untuk Mbak Wulan sendiri, saya juga tidak ingin membiarkan Mbak Wulan jadi tergantung pada saya. Kemandirian, Icebcranian, kemampuan, dan kekuatan Mbak Wulan yang sclama ini begitu berkilau, jangan sampai pudar hanya karena keberadaan saya di dekat Mbak Wulan. Maafkanlah atas pengakuan saya yang tidak sepantasnya ini. Saya sungguh tidak tahu diri. Beranibcraninya mencintai seseorang yang berada jauh di atas awan..." "Cukup!" Aku membentak, memotong kata-kata Eko. Dadaku semakin berombak-ombak. Kenapa baru sekarang aku mengetahui bahwa Eko men-cintaiku? Butakah aku atau bawah sadarkukah yang menyuruhku untuk pura-pura tidak tahu demi ke-damaian suasana hatiku? � "Kenapa perkataan saya hams dihentikan? Ini kenyataan Mbak, betapa pun pahitnya itu. Siapa yang bisa memaksa orang agar jangan jatuh cinta...?" � "Sebab, kau bodoh!" Aku menyemburkan ke-marahan yang mulai menguasai hatiku. "Kuakui bahwa kau memang pandai dalam banyak hal. Bahkan seperti seorang psikolog berpengalaman, kau juga bisa menganalisa apa yang terjadi padaku berkaitan dengan putusnya hubunganku dengan Mas Dewo... Tetapi, kau bodoh kalau
mengira aku ini memiliki rasa ketergantungan terhadap dirimu." � "Bodoh apanya?" Eko menatapku tak mengerti. � "Tidakkah kau melihat bahwa... bahwa... aku Juga mencintaimu meski aku sendiri baru menyadarinya sekarang." Aku berbisik, masih dengan terengah-engah. "Kctergantunganku padamu bukan seperti yang kau kira. Ketergantunganku padamu itu disebabkan karena adanya tali kasih yang teren-tang di antara diriku dan dirimu..." � Suaraku terhenti dengan mendadak sebab tiba-tiba saja Eko meraihku ke dalam pelukan tangannya yang bergetar. Dan sebelum aku sempat berpikir apa pun lagi, dengan tiba-tiba pula laki-laki itu mencium bibirku dengan cara yang amat lembut dan hati-hati. Merasakan ciuman yang semanis itu kupejamkan mataku rapat-rapat untuk meresapinya. Maka seluruh keindahan pemandangan yang ada di hadapanku lenyap dengan seketika dan berganti dengan keindahan rasa yang mulai menggelegak di seluruh dunia batinku. Alangkah indahnya. � Suara celoteh burung-burung yang terbang ber-bondong-bondong di atas kami, mengagetkan dan menghentikan kemesraan indah yang baru saja terjalin di antara diriku dan Eko. Pelan-pelan laki-laki itu melepaskan bibirku dari ciumannya. Dan dengan matanya yang juga pemah kunilai seksi itu menatapku tanpa berkedip dengan pandangan yang iuar biasa mesranya. Dipandang seperti itu, jantung-ku berdegup kencang dan darahku mengalir semau-maunya. Sementara itu kedua belah pipiku mulai dirambati oleh rasa hangat. Tetapi, bibirku tersenyum samar. Senyum malumalu. � "Aku sungguh mencintaimu, Cantik..." Laki-laki itu menggumamkan pcrasaannya yang penuh kasih kepadaku. 'Tetapi inilah yang ditakutkan Bapak � akan terjadi. Dan inilah yang sebenamya juga kutakutkan. Apa yang kita kira persahabatan ter-nyata menyembunyikan cinta yang menggelora Padahal. tidak boleh ada cinta di antara kita." "Siapa yang tidak mcmbolchkannya?" "Banyak. Kita semua tahu itu." Eko menjawab perkataanku dengan suara sedih namun terdengar mantap. "Jadi jangan mengingkari kenyataan Se-andainya nanti aku harus pergi atau entah apa saja pun yang akan terjadi, ingatlah bahwa aku sangat mencintaimu dengan cinta yang terus berkembang. Sebab ketahuilah, karena sering kali mendengar cerita-cerita Si mbok dan Bapak tentang dirimu maka aku jatuh cinta kepadamu jauh sebelum aku melihat dirimu dengan mata kepalaku sendiri." � Aku tertegun. Tetapi Eko tak membiarkan aku memikirkan apa yang baru kudengar itu. Sekali lagi ia mencium bibirku. Tetapi kali ini dengan penuh gairah. Maka kali ini pula, aku membalas ciumannya dengan sama bergairahnya. Dan merasakan balasanku, Eko mengetatkan pelukannya dengan tangan kirinya yang kokoh. Sementara jari-jari tangan kanannya terbenam di kenmbunan rambutku sambil sesekali mengelusi kulit kepalaku. � Dalam suasana semesra itu aku tak ingin memikirkan hal-hal lainnya. Biarlah hari ini berlalu sebagaimana mestinya. Esok atau lusa akan ada ceritanya sendiri. Saat ini aku hanya ingin me-musatkan pikiran dan perasaanku tentang satu hal. Temyata, aku dan Eko saling mencinta! � Delapan � AKt turun dari mobil dengan langkah gontai. Perasaanku benar-benar sangat tidak cnak. Sudah bisa kubayangkan apa yang akan kuhadapi pada hari esok, lusa. dan hari-hari selanjutnya. Kalau hubungan cintaku dengan Eko akan terus berlanjut, maka pasti akan terjadi masalah besar bagi orang-orang di sekitar kchidupanku. Tetapi sebaliknya kalau Eko jadi pergi dari Tawangmangu dan meninggalkan diriku. pasti akulah yang akan menga-lami masalah besar. Aku benarbenar tidak ingin mengalami patah hati untuk kedua kalinya. � Kalau saja keakraban di antara diriku dan Eko tidak diwamai cinta, barangkali segala sesuatunya di masa mendatang akan lebih mudah untuk di-lalui. Tetapi pada kenyataannya, jelas sekali tidak seperti itu. Kemungkinan kami berdua akan mengalami patah cinta lagi, sangat besar prosentascnya. Dan yang paling mcna kutkan, sakitnya pasti akan jauh berlipat-lipat kali darip ada sebelumnya. Tumbuhnya cinta di antara diriku dan Eko yang lebih dulu diwamai oleh rasa persahabatan, r asa kasih, saling percaya, saling pengcrtian, saling � membutuhkan, dan saling mengagumi antara satu dengan yang lain itu, sangat kuat cengkeramannya � Setelah mengunci mobil dengan perasaan yang sangat tak enak itu aku masuk ke rumah dan langsung menuju ke kamarku dengan perasaan murung. Sebelum masuk ke kaniar mandi, kutukar pakaianku dengan sehelai daster batik. Tetapi sedang aku mengikat rambutku agar jangan kena air, Tita menyelinap masuk ke dalam kamarku.
Aku mcngcluh dalam hatiku. Dia pasti akan mcnagih janjiku untuk menceritakan hubunganku dengan Eko. Namun saat ini aku sedang tidak ingin bercerita tentang Eko meskipun aku tadi sudah berjanji kepadanya. Situasinya sudah jauh berbeda antara pagi dan sore hari ini. � "Mbak..." Dengan setengah berbisik, gadis itu memanggilku sambil menutup kembali pintu kamar ku. � "Hm...?" Aku menjawab enggan. � "Ibu tahu kalau kau tadi tidak pergi ke tempat Mbak Susi..." katanya begitu berada di dekatku. � Aku terkejut. Jadi, dia masuk ke kamarku bukan untuk menagih janjiku tadi pagi. Karenanya ku-hentikan gerakan tanganku schingga rambutku yang panjang meluncur kembali ke atas punggungku. Aku menoleh ke arah Tita dan kutatap mata gadis itu dengan penuh pertanyaan. � "Kenapa bisa begitu?" Aku kenal betul, Tita seorang gadis yang bisa dipercaya dan setia pada janjinya. Jadi entah dari mana Ibu mengetahui � k-iau aku tidak pergi ke rumah tukang jahj Iangganan kami itu. Aku mg.n tahu^ � ^Waktu aku masuk ke rumah. kebetulan Ibu ada di dapur Dia menanyakan keberadaanmu dan kenapa aku pulang sendirian saja. Maka kujawab seperti yang kau minta tadi. Bahwa kau akan pergi menjahitkan baju ke tempat Mbak Susi." "Lalu?" Aku menyela tak sabar. "Lalu Ibu menelepon Mbak Susi untuk menanyakan pakaian yang sedang dijahitkannya ke sana. Beliau berpesan. kalau sudah jadi supaya dititipkan padamu. Tetapi temyata kau tidak ada di sana. Mula-mula Ibu mengira kau belum sampai ke sana jadi beliau menunggu beberapa waktu lamanya untuk menelepon kembali. Tetapi temyata sampai beberapa kali Ibu menelepon lagi, kau belum juga tiba di tempat Mbak Susi. Maka Ibu lalu mengambil kesimpulan bahwa kau tidak ke sana. Dan lebih buruk lagi, Ibu mengatakan bahwa kau telah membohongiku." � Aku terkejut lagi. Dahiku berkerut menatap ke arah adikku. � "Apa lagi yang dikatakan Ibu kepadamu?" Aku bertanya ingin tahu. � "Biasalah, mengorek-ngorek keterangan. Beliau kan tahu betul, hubungan kita berdua amat dekat." � "Lalu jawaban apa yang kauberikan kepada Ibu?" � "Yah macam-macamlah, Mbak. Yang penting, aku tidak membocorkan apa pun tentang sobat � barumu yang berbibir seksi itu!" Tita nyengir � menggodaku. � Tetapi aku tidak tertawa mendengar godaannya. Bahkan kulemparkan pandang mataku ke tempat lain sambil melanjutkan mengikat rambutku yang kutunda tadi. Tita menjadi heran. Dia melangkah lebih dekat ke arahku, lalu duduk di atas kursi yang terletak di dekat meja riasku. � "Ada apa sih, Mbak?" tanyanya penuh rasa ingin tahu. "Apa yang terjadi?" � Aku tidak mampu menjawab. Air mata mulai tergenang di pelupuk mataku. Dan dari kaca rias, kulihat hidungku mulai tampak memerah. Melihat itu Tita semakin heran. Matanya mcmandangku dengan tatapan tajam. Dia tahu betul, air mataku sangat mahal. Tidak mudah orang melihat tangisku. � "Seharian tadi kau tampak riang," katanya. 'Tetapi tiba-tiba sekarang kau jadi murung begini. Ada apa?" � "Aku bingung," sahutku dengan suara serak. "Bingung mengenai banyak hal. Dan sekarang, Ibu mulai mencurigaiku. Bagaimana aku tidak merasa tambah bingung. Apa yang harus kukatakan kepadanya kalau beliau bertanya macam-macam kepadaku..." � "Mbak, duduklah dengan tenang dulu. Dan ceritakan segala sesuatunya kepadaku!" Tita berkata tegas. "Meskipun belum tentu aku bisa membantu-mu. tetapi rasa bingung yang sedang kaurasakan itu tumpahkanlah kepadaku. Siapa tahu aku bisa ikut memikirkanhya. Atau setidaknya, bebanmu itu � bisa kita tanggung bersama-sama. Percay alah kepada ketulusan hatiku ini, Mbak." � "Aku selalu percaya kepadamu, sebagaimana kau juga bisa menaruhkan kepercayaanmu kepadaku," sahutku sambil mengerjapkan mataku yang basah. 'Tetapi kasusku ini agak lain dari yang lain. Aku tidak tahu apakah kau bisa menerimanya. Apalagi memahaminya." � "Soal bisa menerima atau tidak, itu masalah Iain. Soal bisa memahami atau tidak, itu juga soal Iain. Tetapi aku akan mencoba untuk ikut memikir-kannya dan janjiku untuk menjadi tempat kau menaruh kepercayaan akan tetap kupegang meski apa pun yang terjadi."
� "Kau sungguh seorang adik yang baik, Ta!" "Hari ini kalimat seperti itu sudah dua kali kau-lontarkan kepadaku," Tita mulai menggodaku lagi. � Tetapi seperti tadi, aku tidak tertawa ataupun tersenyum. Bahkan mengomentari kata-katanya pun, tidak. Pikiranku lebih terserap pada apa yang ingin kutumpahkan kepadanya. Sebab tepat seperti per-kataannya tadi, meskipun dia belum tentu bisa membantuku, setidaknya aku punya tempat untuk berbagi perasaan dan berbagi kebingungan. � "Baiklah aku akan menceritakan seluruh penga-lamanku belakangan ini kepadamu. Tetapi sebelum-nya, jawablah dulu pertanyaanku." "Tanyakanlah." � 'Ta, selama kita bertiga jalan bersama-sama tadi, sudahkah kau mengambil kesimpulan tentang Eko?" tanyaku kepadanya. � "Kesimpulan apa, misalnya?" � "Yah. tentang siapa keluarganya. Dari mana � asalnya. Dan seterusnya." � "Ya. Apalagi kalau kukaitkan dengan perkataan-mu. Kau bilang tadi pagi bahwa antara dirimu dan dia tidak sederajat. Dan juga mendengar penolakan Eko waktu aku menyebutnya dengan panggilan � "Mas', tadi." � "Lalu... apa kesimpulanmu?" � "Kesimpulanku yang pertama, Eko itu datang dari keluarga yang dulunya kurang mampu. Dan kesimpulanku yang kedua, orangtuanya pastilah bekerja sebagai buruh atau semacam itu. Entah buruh di perkebunan kita sendiri, entah di per-kebunan orang. Yang ketiga, kerasnya kehidupan menyebabkan orangtuanya terpaksa bertransmigrasi ke Lampung. Keempat, aku mempunyai dugaan bahwa orangtuanya cukup bcrhasil menjadi pctani di sana sehingga mampu membiayai studinya. Entah itu sampai selesai entah tidak tetapi kesimpulanku mengatakan bahwa Eko pemah duduk di perguruan tinggi dan suka belajar. Pengetahuan-nya luas sekali." Tita menghentikan bicaranya dan menatapku sesaat lamanya. menunggu reaksiku. � Tetapi aku belum mau mengucapkan komcntarku. Aku masih ingin menunggu waktu yang lebih tepat. Apalagi Tita belum tahu betul apa yang sedang kualami dan apa duduk perkara yang me-nyebabkanku jadi bingung begini. � "Ada lagi?" tanyaku kemudian. � "Ya, ada. Kesimpulanku yang kelima, dia � ir,nhali ke Tawangmangu untuk mcncoba mengu-* Lampung. Cuma aku tidak tahu dia kembali sendirian atau dengan orangtuanya Kesimpulan yang ini kuambil dan pembicman kalian berdua tentang tanah yang akan dibelinya. Dan kesimpulanku yang kcenam, dia seorang lalu-laki yang matang ditempa pengalaman. Dan secara keseluruhan, dia laki-laki yang lebih baik danpada � Mas Dewo!" Kalau saja hatiku tidak sedang murung pastilah � aku akan tertawa mendengar kesimpulan-kesimpulan � Tita yang diucapkan dengan sikap serius seperti itu. � Tita sangat tinggi rasa humornya. Ada saja sikap � dan perkataannya yang membuat orang jadi tertawa. � Tetapi kali itu tersenyum pun aku tidak. Bahkan � kepalaku tertunduk sehingga Tita menggamit lenganku. � "Kok malah jadi diam," tanyanya kemudian. "Apakah aku salah, Mbak?" � "Justru kesimpulanmu banyak betulnya, Ta." Aku menjawab pertanyaannya sambil mengangkat wajah-ku kembali. "Untuk tepatnya akan kukatakan kepadamu mengenai kebenarannya. Eko itu anak sulung Pak Kirman. Dia ikut simbahnya bertransmigrasi ke Lampung dan menjadi petani yang memang cukup berhasil. Seperti dugaanmu, dia memang luas pengetahuannya. Selain meraih dua gelar kesarjanaan sekaligus, dia juga suka belajar dan banyak membaca..." � "Aku tidak menyangka dia mempunyai hubungan dekat dengan keluarga kita. Pak Kirman termasuk � pegawa. yang paling lama bekerja pada Bapak |bu pernah bercerita bahwa Pak Kirman sudah bekerja d. perkebunan kita selama dua puluh lima tahun lebih. Dan temyata pula, dia dan istnnva bukan hanya tekun di dalam pekerjaan saja tetapi juga dalam hal mend.dik anak-anaknya sehin*L mereka bukan hanya mempunyai Seno dan Ragil yang cukup hebat itu saja tetapi juga punya Eko " Tita menyela katakataku. � "Dan masih ada satu lagi yang di Semarang" � "Ya. Tetapi yang itu aku tidak begitu tahu. Nah, sekarang tolong jawablah dua pertanyaanku agar aku bisa memahami masalah yang membuatmu bingung itu. Yang pertama, apakah kepergian-kepergianmu yang misterius selama ini ada hu-bungannya
dengan Eko? Dan pertanyaanku yang kedua, apakah kemurunganmu sekarang ini juga ada kaitannya dengan dia. Nah, jawablah dengan jujur, Mbak. Maka aku akan mencoba untuk ber-sikap objektif dan berusaha untuk dapat memahami-mu. Setidaknya kalau ada orang yang menanyakan ini dan itu tentang dirimu aku bisa menjawab sesuai dengan suara hatiku!" � "Daripada menjawab pertanyaan demi per-tanyaanmu, akan lebih baik kalau aku menceritakan semuanya saja supaya kau tidak perlu bertanya ini atau itu lagi," sahutku, "Jadi akan kuceritakan sejak pertama kalinya aku bertemu dengan Eko di Sarangan sampai apa yang terjadi baru saja tadi. � Begitulah selama beberapa waktu lamanya aku mengisahkan semua yang terjadi padaku. Termasuk � pembicaraanku dengan Pak Kirman dan juga ten-r'ng apa yang bam saja terjadi d, Cemoro Sewu ocrLma Eko tadi. Bahwa temyata aku dan dia sama-sama saling jatuh cinta. Dan bahwa sore tadi kenyataan itu baru tersingkap. � Tita mendengarkan apa-apa yang kucentakan itu dengan penuh perhatian sampai semuanya kucentakan habis kepadanya. Tak ada yang keting-galan. Tentu saja kecuali ciuman Eko tadi. � "Itulah Ta, semuanya sudah kucentakan kepadamu." Akhimya aku mengakhiri ceritaku. "Sekarang kau pasti bisa memahami kenapa aku jadi bingung begini. Sebab kalau sampai Eko pergi meninggal-kan Tawangmangu. aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Yang pasti, aku tidak akan sanggup lagi mengalami patah hati yang kedua. Sebab kalau itu terjadi lagi padaku, luka hatiku pasti jauh lebih menyakitkan daripada sakit yang kurasakan waktu Mas Dewo mengkhianatiku. Tetapi sebaliknya kalau hubungan kami tetap ber-lanjut, kami berdua pastilah akan menjadi bahan pembicaraan yang hangat di Tawangmangu ini. Dan keluarga kita akan ikut kena getahnya." � Tita memandangku dengan tatapan lembut. Melihat tatap mata Tita seperti itu aku langsung tahu, saat ini aku telah menemukan seseorang yang akan berada pada kubuku. Setidaknya, sekarang aku mempunyai seseorang tempat aku bisa mcnumpahkan kesesakan hatiku kalau hatiku sedang galau. , � "Mbak, menurut perasaanmu apakah Eko akan � pergi dari Tawangmangu?" tanya gadis itu 8etclah berlama-lama menatapku. seician � " "Aku tidak tahu Ta. Dalam ha!-hal .enentu dia Sangat kuat pendmannya. Dia bisa saja perl* sewaktu-waktu dem. menghindari omongan dan menjaga nama baik keluarga kita maupun � keluarga Pak Kirman..." p � ^Dia orang yang baik." Tita menyela kata-kataku. � Ya. � "Dia lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri..." � "Dan diriku. Dia tidak memedulikan perasaanku!" Mataku mulai basah lagi. � 'Tenanglah, Mbak. Jangan jadi perasa_ begitu. Tetapi yah, orang yang sedang jatuh cinta memang jadi lebih perasa." Tita mencandaiku sambil tersenyum. Tetapi lagi-lagi aku tidak bisa ikut tersenyum sehingga Tita menepuk bahuku. � "Sudahlah Mbak, mandi saja dulu. Nanti soal ini kita bicarakan lagi," katanya kemudian. "Mudah-mudahan sesudah mandi nanti kau bisa lebih santai." � "Baiklah. Hari memang sudah hampir senja." � Tetapi sesudah mandi air hangat dan ketegangan-ku terasa agak mengendur. tibatiba saja Ibu masuk ke dalam kamarku dan lalu duduk di tepi tempat tidurku. Dari cermin rias yang ada di hadapanku aku melihat wajah Ibu tampak serius. Maka apa yang baru saja mulai mengendur pada diriku tadi menjadi tegang kembali. Dan tanganku yang sedang "lembedaki wajahku pun terhenti. Aku menoleh ke arahnya. � "Ada apa, Bu?" � "Setelah mcnurunkan adikmu tadi, kau lalu perg, kc mana saja, Wulan?" Pertanyaanku dyawab dengan pertanyaan yang diucapkan sambil menatapku dengan tatapan yang sangat tajam. � Untung Tita tadi telah membenku kisikan bahwa Ibu tahu kalau aku tidak ke rumah Mbak Susi sehingga aku bisa menguntai suatu jawaban yang mudah-mudahan bisa dipercaya. � "Tadinya Wulan bermaksud mau menjahitkan baju kc rumah Mbak Susi, tetapi tibatiba di jalan keinginan itu luruh. Wulan ingin menyendiri di suatu tempat untuk memandang keindahan alam sore hari." Aku menjawab sambil mulai menyibuk-kan diri lagi. membedaki wajahku. Aku tidak suka melihat pandang mata Ibu yang begitu tajam. Rasa-nya, beliau sedang mengulitiku untuk melihat apa isi dadaku. "Dengan
siapa?" Ibu bertanya lagi. Aku pura-pura heran oleh pertanyaan seperti itu. Kepalaku menoleh kembali ke arah Ibu. � "Kok dengan siapa sih Bu?" sahutku. "Setelah menurunkan Tita, tentu saja Wulan hanya sendirian saja." � "Mungkin tadi kau memang pergi sendirian. Tetap. kemarin-kemarin?" Ibu mengangkat alis matanya. "Sudah lama Ibu ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Wulan. Sejak Nak Dewo meng-kh.anat.mu, kau berubah menjadi misterius. Pergi � SjM?/?ak Pemah jelas ""JUMnya. Pulang kapan. t.dak pasti jamnya. Dengan siapa, tidak � sxus^Dan pe*yanaik * � "Saya cuma ingin menyendiri Bu " "Kalau pergi tidak dengan naik mobil pribadi apakah itu juga menyendiri namanya? Apa bukan-nya malah ketemu dan disapa orang di manamana?" � "Kalau Wulan tidak naik mobil sendiri, itu arti-nya Wulan berjalan kaki menyusuri kampung demi kampung. Kebun demi kebun. Atau naik kuda Atau naik sepeda. Lalu duduk di suatu tempat yang sepi untuk memandangi keindahan alam. Selama ini Wulan tidak pemah naik kendaraan umum. Sebab seperti kata Ibu, naik kendaraan umum berarti akan ketemu banyak orang dan disapa mereka." "Jangan merangkai cerita yang tidak masuk akal, Wulan!" Ibu memotong perkataanku. � "Di mana letak tidak masuk akalnya, Bu?" Aku memberanikan diri bertanya seperti itu kepada Ibu. � "Sekali atau dua kali melakukan seperti apa yang kaukatakan tadi, itu wajar. Terutama di sekitar hari-hari menjelang dan sesudah perkawinan Nak Dewo. Tetapi bahwa itu hampir setiap hari kaulaku-kan, Ibu menganggap itu benar-benar sudah tidak masuk akal lagi. Lebih-lebih, belakangan ini." � "Belakangan ini saya kenapa, Bu?" � "Sebagai seseorang yang pemah mengandung dirimu, Ibu kenal betul sifat dan kebiasaanmu. Dan sebagai orang yang paling dekat dengan dirimu tidaklah terlalu sulit bagi Ibu untuk membaca � waiahmu. Maka Ibu bisa melihat bahwa belakangan Tair muka dan sikapmu sama sekal, tidak pernah lagi menunjukkan sebagai perempuan yang sedang Jan hati. Tetapi yang Ibu tidak tahu apakah itu memang demikian keadaannya ataukah itu cuma caramu untuk menutupi hatimu yang sebenamya." Aku tertegun. � "Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanyaku kemudian. "Apa tujuannya?" � "Begini, Wulan!" Ibu menggeser tubuhnya lebih mendekat ke arahku. "Bapakmu dan aku sering sekali membicarakan dirimu. Terns terang, kami merasa khawatir melihat keadaanmu." � "Apa yang Bapak dan Ibu khawatirkan?" Aku memotong perkataan Ibu. � "Pokoknya kami berdua merasa prihatin melihat kelakuanmu yang nganeh-nganehi. Hampir semua hal yang ada padamu Wulan, sekarang sudah tidak ada lagi," jawab Ibu. "Antara Iain, keriangan, kesukaanmu tinggal di rumah, kedewasaan sikapmu, dan juga kematangan pikiranmu menatap masa depan tidak lagi terlihat ada padamu. Setelah ber-hasil meraih gelar mastermu, misalnya. kau lalu mau apa sama sekali tak pemah kaubicarakan bersama-sama seperti dulu. Kau menjadi Wulan yang lain, yang asing bagi kami..." � "Ibu dan Bapak khawatir kalau-kalau Wulan jadi tidak waras lagi gara-gara patah hati, kan?" Aku menyela. "Sama seperti kekhawatiran yang � ,Lfc ^JV?"* oran8 W tinggal di dalam "man mi Bahkan Mbok Kirman pun pemah se1% � demikian cemasnya karena mcnyangka Wulan m bunuh diri- Padahal apa sih kehcbatan ^ 2 itu sampai-sampai bisa membuat Wulan iadi Ji apalagi bunuh diri? Bu, dia itu tak ada ap^ya � sama sekali. "Wulan!" � "Itu betul, Bu. Mas Dewo dan masa lalu kami itu cuma seperti angin lalu saja. Malah Wulan sering kali merasa malu sendiri kenapa dulu bisa jatuh cinta kepada laki-laki yang tidak ada apa-apanya itu. Jadi Bu, bagaimana mungkin saya bisa kehilangan akal sehat hanya karena dia?" Aku ganti memandang mata Ibu dengan tatapan tajam. � "Mudah-mudahan apa yang kaukatakan itu betul. Bukan cuma basa-basi untuk menenangkan hati Ibu saja." � 'Tidak Bu, percayalah." � "Lalu kenapa kau jadi bcrubah seperti ini?" � 'Tidak ada yang berubah pada diri Wulan. Kalau Wulan pergi, itu cuma untuk menghilangkan ke-jenuhan saja. Ibu tahu kan. Wulan tidak suka menganggur.
Setelah segala kesibukan yang Wulan alami di Jakarta dan sekarang menganggur di kota kecil seperti ini, menyebabkan Wulan jadi stres. Seorang diri melihat-lihat pemandangan indah hanyalah sebagai salah satu upaya untuk mcngatasi-nya. Jadi sekali lagi. Ibu tidak usah mencemaskan Wulan. Apalagi saat ini Wulan sudah mulai mencari-cari lowongan kerja dan sudah pula me-nulis surat lamaran." � Kalimat terakhir yang kuueapkan itu cuma untuk � menenangkan hati Ibu saja. Sebab yang sebenamya, aku memang sengaja belum mau mencari pekerjaan selama pikiranku belum tenang dan masth dalam kondisi kacau balau begini. � "Ke mana saja surat lamaran itu kaukinm?" Ibu masih saja ingin mengorek-ngorek keterangan. � "Baru ke kota Solo. Bu. Kalau nanti belum ada jawaban. ada kemungkinan Wulan akan kembali ke Jakarta." Kata-kata yang ini pun bohong. Tetapi memiliki unsur ke arah kebenaran. Sebab kalau sampai Eko meninggalkan Tawangmangu, maka aku juga akan pergi jauh. Aku tidak ingin lagi melanjutkan kehidupanku di sini tanpa kehadiran-nya. � 'Tetapi Ibu harap. kau tidak akan pergi terlalu jauh dari Tawangmangu." � "Itu tergantung dari situasi dan kondisinya nanti." "Kalau begitu carilah pekerjaan di kota-kota terdekat saja. Wulan. Paling jauh, di Semarang." � "Kita lihat bagaimana nanti saja, Bu. Sekarang ini biarkan Wulan menata diri lebih dulu," kataku dengan suara yang meyakinkan. "Seseorang yang akan berjuang, perlu membekali diri dulu bukan? Jad. doakan saja agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik." � Aku tidak tahu apakah Ibu mempercayai peral3U tidak' tClapi sete,ah J^an � senus mi. ^ f Waj3h ,bu yan* *!"ula tampak senus, mulai agak mengendur. � berJri '"So", ^ ,bu ***** sambil � S,al d0a' lak diminta pun Ibu selalu � 12ft � berdoa untuk kalian semua, anak-anak Ibu Tetani yang pent'ng; *"> ,u tahu bahwa keprihatinan dan Bapak mi karena kami sanga, menyayang" � "'Wulan tahu kok Bu." "Syukurlah" � Setelah Ibu keluar dari kamarku, aku terenyak di tempatku duduk. Untuk sementara, aku memang masih bisa meloloskan diri. Tetapi esok atau lusa, aku tidak yakin. Memikirkannya saja perutku terasa penuh sekali sehingga waktu makan malam aku tidak bisa makan banyak. Bahkan aku langsung masuk ke kamarku kembali begitu acara makan malam keluarga selesai. Aku tahu, Ibu dan Bapak memperhatikanku dengan diam-diam tetapi aku tidak ingin memikirkan itu. Seluruh pikiran dan perasaanku lebih terserap kepada Eko. Aku masih belum tahu apa yang akan dilakukannya. Pembicaraan mengenai rencana-rencananya ke masa depan tadi tersingkir oleh masalah cinta yang baru kami temukan. Dan kami berdua tadi terlalu mabuk mereguknya sehingga lupa hal-hal lainnya. Bahkan juga lupa menentukan pertemuan kami mendatang sebagaimana biasanya kalau kami berpisah. � Di atas tempat tidur aku terns berpikir dan berpikir tentang cara bagaimana aku bisa meng-hubunginya sampai akhirnya aku menemukan suatu cara yang paling bisa kami lakukan untuk sementara ini. Yaitu meminta bantuan Tita. � Pagi-pagi sekali ketika telingaku mendengar suara jendela kamar Tita dibuka. aku menyelinap � masuk kc kamamya yang lak pemah dikunci. Dari jendela kamamya yang tcrbuka. udara ding.n yang scear sedang mcnyerbu masuk. Tciap. kul.hat, gadis iiu masih lidur bergelung di bawah sel.mut tebal-nya. � 'Ta. kupikir kau sudah bangun." Aku berbisik dan duduk di tepi tempat tidurnya. 'Tetapi ternyata setelah mcmbuka jendela. kau malah kembali me-ringkuk di bawah selimutmu yang hangat. Seperti kucing malas!" � "Mmm, aku masih mengantuk." Tita menjawab sambil mcnaikkan selimutnya. Kini hanya hidung dan matanya yang masih terpejam itu saja yang kelihatan. Rambumya tertutup bantal kecil. � 'Ya sudah, kalau begitu..." Dengan agak kecewa aku bangkit lagi dari tempatku duduk. Tetapi baru selangkah aku berjalan Tita menyingkapkan selimutnya. � "Ada apa sih Mbak?" tanyanya. Matanya sudah terbuka. � "Aku ingin minta tolong padamu." "Minta tolong apa?" � "Meminjamkan telepon genggamku kepada Eko." � Mata Tita semakin melebar. Ditatapnya mataku. Maksudmu. aku pergi ke rumah Pak Kirman dan membenkan telepon genggammu kepada Eko?" la bertanya lagi. � 2a\ Telapi Jan^an sa"ipai ada yang tahu." Keluarganya Juga lidak ada yang ^ ^
� Eko Aku m ya "I"8 h3nya aku' kau* dan Aku menjawab tegas. "Dan tolong katakan � padanya supaya bunymya dimatikan saia rv dengan getaran supaya kalau aku ,JP, 8*lttl (idak seorang pun yang tahu." mcne'eP,nnya, � -Kau mau menelepon dari mana? Kalau ten melonjak, Bapak pasti akan curiga Iho ^ � -Aku tidak akan memakai telepon rumah. Tetapi memakai telepon genggammu!" p � Tita tertawa. � "Tanpa minta izin yang punya? Enak saja'" "Cuma sementara, Ta. Tolonglah aku." Aku me-rayu gadis itu. "Aku tak bisa berhubungan dengan-nya. Padahal ada banyak hal penting yang harus � kami bicarakan." � 'Tetapi kalau pulsanya habis, kau yang beli kartu isi ulangnya Iho Mbak. Uangku sudah habis buat beli baju kemarin. Mau minta Bapak lagi, � malu!" "Beres." � "Kapan aku harus ke sana?" � "Kapan saja kau bisa. Tetapi semakin cepat akan semakin baik." � "Begitulah biasanya orang kalau sedang jatuh cinta," Tita menguap panjang. "Untung aku sudah tidak punya pacar." � "Kau terlalu keras kepala, Ta. Dedy kan sudah minta maaf kepadamu. Bahkan bukan cuma sekali atau dua kali saja. Tetapi berkali-kali." � "Mbak, seandainya pacannu minta... minta... begituan, apakah kail akan memberinya?" � 'Tcntu saja tidak. Yang seperti itu hanya boleh dilakukan sesudah menikah." � " "Nah." Tita mencibir. 'Tetapi Dedytidak mau tahu Dia terus saja membujukku G.ia d.a. Mehha, daklnya yang seperti orang ketag.han ,tu aku S'n dia pasti sudah pernah melakukannya dengan 3 a..i.. T>ni, teraniz beroacaran depacarnya yang dulu. Terus Wangitapa, de ngan orang seperti dia .tu menj.j.kkan, Mbak � "Kau pasli akan mendapat pemuda yang lebih baik di Solo nanti," aku tersenyum. 'Tetapi sekarang tolonglah aku dulu. Mau kan?" � "Habis sarapan nanti ya Mbak?" � "Oke. Terima kasih." Kucium pipi Tita, lalu aku kembali ke kamarku. 'Tetapi ingat Iho Ta, jangan sampai terlihat oleh siapa pun." � "Akan kuusahakan." � Beberapa jam kemudian, Eko sudah bisa meng-hubungiku. Waktu itu aku ada di teras samping sedang membaca-baca majalah. Aku sengaja menunggu teleponnya di tempat itu supaya Ibu melihatku dalam kondisi "normaI-normal" saja. Sebab, melihat aku tetap berada di dalam kamarku atau aku pergi keluar rumah. tetap saja Ibu akan men-curigaiku. � "Halo, Sayang." Ah, aiangkah senangnya aku mendengar suara Eko lagi. "Aku harus belajar dulu cara memakai telepon genggammu ini baru bisa meng hubungimu. Maklum, belum pernah punya benda yang seperti ini." � 'Tetapi kau punya uang, kan? Sisihkan sedikit untuk membelinya. Yang bekas juga tidak apa-apa kataku menyarankan. "Aku... aku... ingin selalu mendengar suaramu " � -Aduh, romantisnya." Kudengar suara , ang lembut. Kubayangkan sudut ST"1* seksi itu melekuk ke atas. Imya yan8 � -Aku bukan hanya ingin selalu mendengar suara mu saja. Tetapi aku juga ingin bertemu denganmT" Aku berkata lagi. 6 !"* � -Mu sedang diikat Bapak," sahut Eko mulai senus. Han ini aku harus membantunya bekeria di kebun. Ada hal-hal baru yang memerlukan ilmu yang kudapat dan bangku kuliah." � "Bagaimana kalau besok di tempat yang sama*>" � 'Tidak bisa, Sayang." Suara Eko sangat lembut dan enak didengar telinga. "Pekerjaan itu tidak bisa diselesaikan dalam tempo satu hari saja" � "Lusa?" � "Lusa aku disuruh Bapak menjenguk Didik dan mengantarkan sesuatu ke Semarang." "Didik, adikmu?" � "Ya." � "Ke sananya naik motor?" � "Ya." � "Semarang jauh Iho." � "Dengan motor itu aku pemah menyusuri jalan raya dari Lampung sampai ke Jakarta. Ke Semarang tidak sejauh itu." � "Bolehkah aku ikut? Asyik sekali kalau aku boleh memeluk pinggangmu di
sepanjang jalan dari Tawangmangu sampai Semarang... � 'Tidak. Tidak boleh ikut. Aku tidak ingin me-nyaksikan rambut orang-orang Tawangmangu berdiri semua!" Kudengar tawa Eko yang lembut. � Aku memejamkan ma.aku. Perasaanku menang-kap nada sedih dalam tawanya. "Aku ingin sekali bertemu denganmu. desahku � kemudian. "Aku juga. Amat sangat. � "Tetapi.. .r , � "Tetapi sulit bagiku untuk bertemu denganmu. Aku merasa. belakangan ini Bapak sengaja mem-buatku sibuk sehingga tidak punya kesempatan untuk melakukan hal-hal lainnya." � "Orangtuaku juga mulai mencurigaiku, menduga aku punya hubungan dengan seseorang yang selalu mengajakku pergi-pergi..." � "Itu benar. kan?" Eko tertawa lagi. Dan masih lembut dan enak didengar telinga. � "Memang. Tetapi tidak ada bukti-buktinya. Dan aku pandai bersilat lidah." � "Berhati-hatilah. Sayang. Sepandai-pandainya bajing meloncat pasti suatu ketika terpeleset juga." � "Ya. Tetapi kapan kita bertemu lagi?" Aku mulai merengek seperti anak kecil. Jauh di sudut hatiku, aku merasa takut kalau-kalau kami tidak punya kes empatan untuk bertemu lagi seperti kemarin-kemarin. � "Suht, Sayang. Kelihatannya, batu sandungan sudah mulai ada di hadapan kita." 'Tidak ada jalan lain yang tak ada batunya''" "Aku tidak tahu..." � "Tetapi aku tahu," perkataannya kupotong. "Ma-,m nam. kutunggu kau di bawah jendela kamarku. Ketuklah kacanya sebanyak tiga kali. Aku � 2M � akan meloncat keluar untuk menemuimu Lah, kj|a perg, ke sa.ah satu dangau dan dudu^ � di situ-jangan nekat, Sayang." Eko membujukku � nang dan sabarlah. Aku akan mencari jalan keluaVnya-" "Janji ya?" � ,Lho, memangnya hanya kau saja yang merasa kan rindu. Dadaku ini sudah mau meledak Iho ingin menatap wajahmu yang cantik. Bayangkan melihat bantal, ada wajahmu. Melihat nasi di atas piling, ada wajahmu. Melihat langit, aku melihatmu naik kuda dengan rambut panjangmu yang terburai dipermainkan angin. Melihat air di bak kamar mandi. aku melihatmu tersenyum di situ." � "Gombal." Aku tertawa. � "Pokoknya aku sudah sangat ingin memandang-mu, Sayang. Jadi tunggulah sampai aku menemu-kan jalan keluarnya." � Aku ingin sekali menanyakan tentang rencananya pergi dari Tawangmangu. Jadikah? Ditunda? Atau malah tidak jadi? Tetapi, saat ini aku tidak berani menanyakannya. Takut sekali aku mendengar jawabannya. Jadi kuputuskan untuk tidak menanyakannya sekarang. � Sesudah bisikan-bisikan cinta yang saling kami lemparkan. pembicaraan kami putuskan dengan janji untuk menelepon lagi setiap ada kesempatan. Dan terutama, mencari kesempatan untuk jalan bersama lagi seperti kemarin-kemarin. � Tetapi setelah seminggu berlalu, kesempatan itu � hrliim iujw ada. Kami hanya bisa telcpon-teleponan sT,a Selama satu minggu mcminjam telepon Tita itu sudah sclembar kailu isi ulang kubeli. Begitu pula Eko. dia mengatakan hal yang sama. Tetapi dibanding kebahagiaan mendengar suara kami masing-masing. apalah artinya itu. Apalagi kami berdua bisa saling berbisik di tengah malam ketika semua orang sudah tidur. Begitu juga yang terjadi malam itu setelah sembilan hari kami belum juga � mempunyai kesempatan bertemu. "Sedang apa kau, Sayang?" Eko meneleponku � pada jam sebelas malam. Saat itu aku baru menonton film Selasa drama dari tempat tidurku. "Sedang menndukanmu setelah sembilan hari � tak bertemu, sambil nonton film." "Di kamarmu?" "Ya." � "Senang ya jadi anak orang kaya. Setiap kamar ada televisinya." Eko berbisik. "Di rumahku, satu televisi buat beramai-ramai. Kecil, lagi!" � "Kau iri ya?" � "Ya." Kudengar tawa perlahan. � "Kalau begitu, kcmarilah. Nontonlah bersamaku di sini." � "Aku mau sekali. Boleh aku ke situ?" Ke-sembronoan-kesembronoan mulai mewarnai pembicaraan kami. Sebab kami terlalu diwamai ke-nnduan yang tak terpenuhi. � dcn'!"nT .b0leh' aku akan "wnyambutmu � -Jangan membuatku gila, Sayane Ak.. . ^nar-benar ke situ Iho." * g" Aku "**
� "'Kenapa tidak?" "Betul nih?" � Aku terdiam. Dadaku berdegup kencang "Kau berani?" tanyaku kemudian. -Kenapa tidak berani? Kalau ketahuan palinR-paling kita akan diseret Hansip dan disuruh kawin!" � pia masih saja bercanda. "Maunya. kan?" � "Ya." Eko tertawa lagi. "Bagaimana, Sayang, boleh tidak aku ke situ?" � "Kau bcrsungguh-sungguh?" � "Kalau memang kau ingin bertemu denganku..." � "Aku sangat ingin bertemu denganmu." � "Aku sangat... sangat... sangat... sangat ingin bertemu denganmu." � "Kalau begitu, datanglah." Aku mencandainya lagi. "Dan ketuklah kaca jendela kamarku tiga kali. Maka aku akan melompat keluar. Sudah pemah kukatakan itu, kan?" � Eko tertawa dan pembicaraan kami putuskan. Tetapi seperempat jam kemudian. aku tersentak kaget. Kaca jendela kamarku diketuk orang. � Sembilan � DENGAN dada berdebar karena senang tetapi juga sangat takut kalau-kalau ketahuan, aku me loncat dari tempat tidurku. Cepat-cepat kusibak tirai jen dela kamarku untuk mengintip keluar. Tepat di bawah j endela kamarku, aku melihat Eko sedang membungkuk kan tubuhnya. Aku sungguh tidak me-nyangka dia aka n berani* melakukannya. Dan bukannya cuma sekadar canda romantis-romantisan belaka. � Pclan-pelan dan hati-hati, jendela kamarku kubuka. Udara yang sangat dingin langsung saja menyergap wajahku. � 'Tidak ada orang yang melihatmu masuk ke halaman?" bisikku kepadanya. Suaraku gemetar. Entah karena kedinginan entah karena ketakutan atau entah pula karena melihat Eko malam-malam begini, aku tak tahu secara pasti. � 'Tidak. Aku melompati pagar belakang yang agak pendek," Eko menjawabku. Juga dengan berbisik. � "Para penjaga malam juga tidak melihatmu?" Aku berbisik lagi. Bapak mempekerjakan beberapa � orangJ"W,^yu* tugasnya mengawasi � rkebunan. Dan Umbahan pekerja ,dah siap panen. Sebab ada saja tanKan-iano, jahll yang lebih dulu melakukannyi uJfflT � nya sendm. � -Tidak. Tidak ada yang melihatku" Eko men jawab pertanyaanku dengan bisikan pclan sekali" -Sebab aku sengaja menunggu mereka meronda ke arah Timur sana, baru aku meloncat masuk Tetapi jantungku tadi scmpat berdebar waktu melihat si Bagong, si Kliwon, dan si Belang muncul dari samping rumah. Aku takut kalaukalau ketiga-nya tidak mengenaliku dan ribut menyalak. Untung-lah tidak. Anjinganjing itu sering berkeliaran sampai ke rumah dan aku sering memberi mereka makan. Rupanya ketiga anjing itu mengenalku." � "Syukurlah," aku merasa lega. "Sekarang tolong pegang tanganku. Aku akan meloncat keluar." � "Sebaiknya jangan." Eko menggelengkan kepalanya. "Pertama, aku tidak ingin kita terlihat oleh salah seorang penjaga malam. Tidak pantas dilihat orang. Kedua, malam ini sangat berkabut dan cuacanya sangat dingin. Pokoknya bukan malam yang indah bagi pasangan yang mabuk cinta." � Aku tersenyum. Selalu saja Eko bisa melihat celah yang bisa dijadikannya sebagai bahan lelucon dalam kondisi apa pun. Aku sangat menyukainya. � "Jadi bagaimana?" tanyaku kemudian. � "Aku yang akan meloncat masuk..." � Aku tertegun beberapa saat lamanya. Kutatap wajahnya dengan perasaan bimbang. Berduaan di � da,am kamar pada malam bu.a begin,, bukan sua* hal yang baik. Bahkan b.sa berbahaya^ � "Apa yang kukatakan di telepon tod. cuma ber-canda saja kok..." bisikku kemud.an. Eko tersenyum maklum. Dia memaham. perasaanku. . . . , � "Aku tahu. Sayang. Tetapi kita hanya akan duduk-duduk saja sambil saling memandang untuk mengobati rasa rindu kita," katanya kemud.an. -Bukan untuk halhal lainnya. Kau percaya kepadaku, kan?" � Ya. aku mempercayainya. Jadi kuanggukkan � kepalaku. "Baiklah." � Sungguh beruntung aku berada di Tawangmangu saat ini. Sebab Bapak tidak pemah memasang terali pada jendela-jendela yang ada di rumah kami. Di Jakarta kalau
jendela rumah tidak dipasangi terali, kita bisa kehilangan rasa aman. Di sana, aku tidak bisa menatap halaman dengan tangan bersetumpu pada bingkai jendela karena ada teralinya. Tetapi di sini, di Tawangmangu ini, aku bukan saja bisa bersetumpu di kusennya tetapi juga bisa duduk di bingkainya sambil menghadap ke halaman dengan kaki terjuntai keluar. Dan malam ini, jendela yang tak berterali itu juga bisa dilompati oleh Eko sehingga dua hati yang saling menndu b.sa bertemu dan bahkan scdikit bercumbu untuk mengobatinya. � Begitu jendela kamarku kututup kembali, Eko 'angsung menyergap dan meraihku ke dalam � pelukannya. Kurebahkan kepalaku di am * dPan ,ehemya. Kedua tanganku meme ukT ^ nya. Rasanya seperti seekor sapi puUm? dangnya yang hangat dan banyak mLn dalamnya. Nyaman dan sangat men en!" , * � "Sayangku... kekasihku yang cantik "p nekankan bibimya ke dahiku. "Aku sungguh!"' siksa tidak melihatmu selama sembilan hari "Aku juga..." � Eko membalas kata-kataku dengan mencium bibirku. Lembut sekali ciumannya. Kubalas ciumannya itu dengan sama lembutnya. Bahkan ketika bibimya berpindah dari bibirku ke rambutku, aku mengecupi lehernya yang ada di depanku.Aku menyukai keharumannya yang segar. Tetapi Eko menjauhkan kepalaku. � "Jangan menciumiku seperti itu," katanya dengan suara parau. "Aku bisa kehilangan akal sehatku." � Aku tersenyum. Kuhela dia ke salah satu kursi yang terletak di dekat meja riasku. � "Kalau begitu duduklah yang man's di sini," bisikku sambil menyusul duduk di kursi yang lain. Kedua kursi yang sedang kami duduki itu dipisah-kan oleh sebuah meja kecil. "Aman dan damai. Jadi kita hanya akan bercerita-cerita saja." � 'Tentang kancil mencuri ketimun atau tentang Bawang Merah dan Bawang Putin?" � Mendengar itu aku tertawa. Tetapi lekas-lekas Eko melintangkan jari telunjuknya ke bibirku. Tetapi jari telunjuknya itu segera kugigit. Dan dia wengaduh. Sekarang aku ganti melintangkan � . Ai hibimva. Maka kami berdua pun Ie,UnJUkk,a2i^ Tct^tawa teriahan. Aku bahkan ^JS**, -lutku dengan telapak tanganku � ^Sngkah senangku bisa berduaan denganmu lagi." kata Eko ambil menatapku. Kedua belah matanya tampak berkilauan. "Aku juga." � "Kenapa tidak kita lakukan kemann-kemann ya? Kenapa baru sekarang pikiran yang jenius ini muncul" Eko menatapku dengan matanya yang � mengandung tawa. � "Hush, kau nakal. Tetapi bukankah tidak ada istilah terlambat?" � "Setidaknya, sampai aku memutuskan kapan aku harus pergi dari sini." � Mendengar perkataannya, kegembiraanku surut dengan seketika. Kutatap wajahnya dengan pan-dangan nanar. "Kau akan tetap pada keputusanmu itu?" "Aku terpaksa, Sayang." "Kedua orangtuamu sudah tahu?" "Ya. Dan mereka setuju." Eko menundukkan kepalanya. "Bapak dan Simbok sudah tahu bahwa temyata kita berdua saling mencintai. Mereka sangat memahami perasaan kita tetapi juga me-mahami persoalan apa yang terpaksa harus kita nadapi kalau hubungan ini tetap berlanjut." � Tetapi menurut pendapatku, semua orang termasuk dinmu terlalu berlebihan memikirkan hal-hal yang sudah tidak pada tempatnya!" Aku mulai � rnerajuk. "Aku memang tahu tentang hambatan hambatan yang akan kita hadapi. TetaP?S be-rti ^ak akan ada jalan toTi^^1^ sehamsnya kita car, Dan bukannya menyerah pada Iceadaan yang tidak sehat." paaa � -Aku setuju itu, Sayang. Tetapi apa yang kita alami im sudah menyangkut nama baik dan harga � diri" � -Sejak kemarin itu-itu saja yang dibicarakan. Nama baik siapa dan harga diri siapa sih." � "Nama baik dan harga diri kita semua, Sayang. Bapak dan ibu Suryo pastilah merasa nama baik dan harga diri mereka terpukul kalau tahu kau jatuh cinta pada anak mandor kebunnya sendiri. Apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang mengenai hal itu, bukan? Bayangkan, kau dikhianati oleh seorang laki-laki yang segala se-suatunya setara dengan keluargamu. Tetapi kau mendapat ganti yang jauh lebih rendah segala-galanya. Lalu apa yang bisa mereka banggakan, bukan?" Eko menjawab dengan suara tenang. Tetapi aku merasa kesal karena tidak sependapat. � "Harga diri itu seharusnya terletak pada inti kemanusiaan yang ada pada diri seseorang. Bukan pada apa yang hanya melekat padanya!" Aku me-nyembur. "Apalagi kalau itu diwamai oleh sistem nilai feodalisme yang picik!"
� "Aku setuju, Sayang. Tetapi kita ini hidup da am masyarakat yang sudah terlanjur berada dalam tatanan kehidupan yang memiliki tolok ukur seperti 'tu selama berabad-abad lamanya." � " "Anakah Pak Kirman juga berpikir seperti itu?" � -Ya Orang kecil kan selalu mencmpatkan orients nilainya pada pemikiran orangorang besar, termasuk para kaum priyayi tingg. sepert. keluargamU"U\u apa penilaian Pak Kirman tentang hubungan kita berdua?" � "Sama seperti cara pandang kedua orangtuamu, bapakku pun mengalami hal yang hampir serupa. Sebagai orang yang sangat teguh memegang aturan dan tatanan pergaulan, Bapak akan merasa sangat malu kalau orang banyak tahu tentang hubungan kita berdua. Mereka semua pasti menganggap Bapak dan Simbok telah gagal mendidik anak-anaknya. Apalagi kalau dikaitkan dengan pen-didikan formal yang diusahakannya untukku dan ketiga adikku. Pasti akan ada banyak orang yang menyangka kedua orangtuaku mempunyai semacam ambisi seperti apa kata pepatah 'asu menek ondo \ anjing ingin naik tangga atau orang yang tak tahu diri, ingin menggapai sesuatu yang lebih tinggi. Dan itu bukan sesuatu yang sepclc bagi kami sekeluarga. Sebab meskipun keluargaku orang mis-kin, tetapi mereka sangat menjunjung nama baik keluarga. Simbok bahkan mengatakan bahwa hanya nama baik dan harga diri sajalah yang kami miliki. Maka kalau itu sampai ternoda, apa lagi yang masih tinggal bukan?" � Aku terdiam. Memang tidak mudah mcrombak Pikiran-p.kiran yang sudah beruratakar scdalam Dan juga tidak mudah mcrobohkan temboktembok tebal yang sangat kokoh hanya sendirian � saja. � Melihatku terdiam, Eko bangkit dari tempat duduknya. Kemudian ,a beriutut di depanku Lalu ^gannya terulur ke wajahku untuk mengelus pipi. ku dengan jemannya yang kasar tetapi lembut sekali gerakannya itu. � -Selagi kita masih bisa bersama, kenapa harus membicarakan hal-hal yang tak menyenangkan?" katanya kemudian dengan tersenyum mesra. "Aku tidak suka melihat wajah cantikmu jadi murung begini. Ayo Sayang, tersenyumlah." � Mau tak mau aku tersenyum juga. Sulit mem-bantah permintaan yang keluar dari bibir yang ujung-ujungnya melekuk ke atas itu. � "Nah, begitu. Kau tampak sangat cantik, Sayang." Tangan Eko yang mengelus pipiku ber-pindah ke rambutku dan menyibakkannya ke samping. � "Kau juga tampak sangat... sangat..." Aku kehilangan kata-kata. Apa yang akan kukatakan? Tampan? Ganteng? Bermata dan berbibir seksi? Atau apa? Malu aku kalau harus mengatakannya dengan � terns terang. "Sangat apa, Sayang?" Eko tertawa menatapku. "Sangat, sangat apa ya?" Aku tersenyum malu. � "Sangat, hebat." � "Aduh, bisa besar kepalaku mendengar pujian-mu!" Eko tertawa dan meraih tubuhku ke dalam � ^Teupi "karena terlalu kuat dan mendadak, aku � tak bisa menahan rubuhku untuk tetap duduk di tempat Sebagai akibatnya. aku terjerembap dan menimpa Eko yang sedang beriutut d. depanku. Karena dia tidak mcnyangka aku akan jatuh me-nimpanya. laki-laki itu tidak kuat menahan luncuran rubuhku. Maka kami berdua pun jatuh terguling ke lantai yang dingin. masih dalam keadaan saling berpelukan. � Tetapi Eko tidak scgera bangkit. Apalagi mem-bantuku berdiri. Yang dilakukannya malah men-ciumi bibirku dengan penuh hasrat. Sementara itu tangannya mulai mengelusi bahu dan leherku. � Menerima perlakuan semesra itu, aku mulai men-desah. Tanganku begitu saja memburai rambutnya dengan gemas dan penuh rasa kasih. Eko pun mcmbalas perlakuanku itu dengan menindih tubuh-ku. Sementara itu bibirku terus saja dikuasai oleh bibir dan lidahnya dengan cara yang sangat intim sampai aku jadi megap-megap. Tubuhku meng-gigil hebat sampai akhimya Eko melepaskan bibir dan pelukannya. Dijauhkannya wajahnya dari wajahku. � Tubuhmu gemetar..." bisiknya parau. 'Tidak pernahkah Mas Dewo melakukan kemesraan yang sepcni ini padamu?" � 'Tidak.' 'Sungguh?" � "Sungguh. Aku sering merasa agak aeak � S-mt dCn8an dia"M � Sabmlt^f ^ SUara ***** "Sebab... " dW mudah **aIi kehilangan kontrol diri. � Karenanya sebelum itu terjadi, aku selalu , hindari kemesraannya yang agak
berlebihan ' *" � -Maka Titik-lah yang memberinya'" Fkn " senyum. "Apakah kau tidak takut berada di dalam peiukanku dengan cara seperti ini?" � 'Tidak." � -Aduh, alangkah indahnya kata-kata itu di telingaku..." Eko tertawa lembut sambil mengecup lembut keningku. "Bisa-bisa aku jadi besar kepala." � "Tetapi bolehkah aku bertanya kepadamu?" � "Bertanya tentang apa?" � "Apakah kau sering bersikap semesra ini dengan Nanik-mu dulu?" � "Sama sekali tidak!" Eko menjawab tegas. "Per-tanyaanmu tidak boleh lagi kauulangi. Sebab aku tak pemah jadi segila begini, kalau aku mencium-nya." � 'Tetapi aku merasa cemburu membayangkan kau sedang mencium dia." � "Apakah aku tidak? Waktu Simbok mengatakan kau bisa bunuh diri karena patah hati. dadaku sakit sekali rasanya. Rasa cemburu itu hampir meledakkan dadaku..." � 'Tetapi aku tidak akan bunuh diri hanya untuk � laki-laki seperti dia!" � "Waktu itu aku belum tahu. Tetapi setelah aku mempelajari dirimu dan tahu apa yang sesungguh-nya ada di hatimu, rasa cemburu itu sudah tidak ada lagi. Nah, cukup kan pcnjelasanku. Sekarang diam-diam sajalah. Aku ingin menciummu lagi. � Maka kami pun saling berpagut kembali. Ciuman � dan belaian tangan Eko sungguh amat lembu dan mcnvcbabkan diriku merasakan betapa setiap e lusan tangannya itu mengandung rasa kasih yang meluap-luap Tetapi ketika jari-jannya mulai menyusup ke belahan dadaku melalui kancing blusku, tubuhku mulai bergetar lagi. Lebih keras danpada tadi sehingga Eko menyadari perbuatannya yang sudah melewati ambang batas itu. Tubuhnya berguhr dari atas rubuhku. Wajahnya tampak merah. � "Aku harus pulang sebelum jadi gila," bisiknya sambil menyisir rambutnya yang kuburai tadi dengan jemarinya. "Malam juga sudah semakin larut." � Aku juga menyadari bahayanya kalau Eko masih saja mencumbuku dengan cara seintim itu. Ku-anggukkan kepalaku sambil bangun dari lantai yang sangat dingin. Aneh, selama bercumbu tadi aku tidak merasakannya. "Memang sebaiknya kau pulang, Mas." "Jangan panggil 'Mas'!" � 'Terserah kalau kau tak suka mendengarnya. Tetapi aku akan tetap menyebutmu demikian. Kau adalah kekasihku." � Eko menjawab perkataanku dengan mengecup lembut rambutku. Kemudian dia membetulkan letak bajunya. � "Sebaiknya aku pulang sekarang," katanya. � Kuanggukkan kepalaku. Jendela kamarku kubuka lagi dan kubiarkan Eko meloncat keluar setelah menciumku sekali lagi. Begitu kakinya menginjak tanah, aku berbisik kepadanya dengan sepenuh keinginanku. � "Denu aku, tolong pikirkanlah kemk m inginanmu untuk meninggalkan TawanZ^ ke" ingEk0 menatapku sesaat lamanya"T**^ kcmudian menganggukkan kepalanya TT^n ,ama kennudian dia sudah lenyap* otlamT gelapan. Dan aku menutup jendela kamaZ ket bali. Tetap. perasaanku menjadi sedih Meml Ek0 tadi menganggukkan kepalanya. Dia ju^f jenyum. Tetapi aku tahu itu hanya untuk Z nyenangkan hatiku saja. Dari sinar matanya dan dari lekukan bibimya aku melihat kesedihan men-dalam yang terpancar dari sana. Dan itu aninya, dia akan tetap pada keputusannya semula. Yaitu pergi dari sini. � Selama beberapa hari sesudah itu kami masih saja sering bertelepon-teleponan dan cekikikan di malam-malam yang sepi melalui alat canggih itu. Tetapi tidak sepatah kata pun kami membicarakan tentang rencana kepergiannya. Kami sama-sama ingin melupakannya. Bahkan dalam kondisi pura-pura lupa itu aku menaruh harapan adanya ke-ajaiban yang membatalkan seluruh rencana ke-pergian Eko dari Tawangmangu. � Pada malam yang kelima sesudah malam itu, tiba-tiba Eko meneleponku pada jam sebelas malam. Dengan telepon genggamnya sendin. Telepon-ku sudah dikembalikan melalui Tita. Dan telepon Tita juga sudah kukembalikan. ^ "Sedang apa, SayangBegitu dia bertanya. � "Sudah tidur?" al,i ter"Aku sedang menunggu teleponmu. Aku � tawa. "Sebelum mendengar suaramu bagaimana aku bisa tidur?*' "Rindu padaku, ya?" � "Apakah itu perlu kautanyakan? Sudah setengah mati begini masih ditanya!" � "Kalau begitu, aku akan menginmkan cium rinduku padamu!" Eko mengirimkan kecupan bibir-nya melalui udara, kemudian tertawa pelan. "Sudah
� kau terima?" � "Belum. Sepertinya kecupan itu tidak bisa masuk ke kamarku. Jendelanya hams kubuka dulu." � Kudengar suara tawa Eko yang empuk. � "Kalau begitu aku saja yang akan terbang me-nemuimu." katanya kemudian. "Bagaimana kalau besok malam? Bisa?" � "Bisa. Telepon saja dulu supaya aku mempersiap-kan segala sesuatunya agar jangan ada yang men-curigaimu." � "Oke." � Pembicaraan singkat itu mengganjal perasaanku. Aku merasa, Eko akan mengatakan sesuatu yang penting kepadaku. Apakah dia akan segera pergi meninggalkanku? Rasanya aku ingin waktu cepat berlalu dan berada dalam pelukan Eko kembali. Akan kubujuk dia untuk membatalkan rencananya � Tetapi siang hari bcrikutnya terjadilah peristiwa yang menyingkirkan rencana Eko untuk datang rnenjumpaiku malam itu. Melalui Yu Rapiah, aku dipangg.1 Bapak dan Ibu. Mereka menungguku di ruang kerja Bapak. � Rasanya darah yang mengalir ke tubuhkn nerti membeku dengan mendadak mend ligilan yang kelihatantiya resmi � Jerdegup kencan8 Sebab hanya 2, � urUsan-urusan yang sangat penting saja !" � dan Ibu secara bersama-sama mengajak sese-orang bicara di ruang kerjanya. Aduh, apakah ada yang mehhat Eko datang menemuiku di kamar tidurku beberapa malam yang lalu? Dadaku berdebar-debar mengingat kemungkinan seperti ituTelapak tanganku berkeringat waktu aku mem-buka dan menutup kembali pintu ruang kerja Bapak. Tetapi aku berusaha memperlihatkan sikap wajar dan tenang. � "Ada sesuatu yang perlu dibicarakan dengan Wulan?" tanyaku sambil menarik kursi di muka meja tulis besar yang membatasi diriku dengan Bapak dan Ibu. Dengan sekuat tenagaku aku me-nekan rasa cemasku tadi. � "Ya." Bapak yang menjawab. � 'Tentang apa?" � "Tentang siapa laki-laki yang sering kali pergi bersamamu mencari tanah ke mana-mana itu?" � Darahku tersirap. Telapak tanganku semakin berkeringat sebab aku tak mungkin bisa Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah menjg meledaknya bom waktu di depanku dengan sedikit taktik � "Dari mana Bapak mendengar � "Tadi pagi ada orang datang niencan � untuk mcnawarkan tanahnya. Sebab katanya, putri Bapak ada yang sedang mencancan tanah bersama � kckasihnya!" ... � Darahku tersirap lagi. Betul sekali kata Eko. Sepandai-pandainya bajing meloncat, akan terpeleset juga. Sepandai-pandainya aku dan Eko mcnghindari pandangan orang, tidak terpikirkan oleh kami berdua bahwa akan ada orang yang mengenalku waktu kami berkeliling mencari tanah di sekitar Cemoro Sewu. Nyatanya waktu di Telaga Sarangan, ada Pak Ijan yang juga langsung mcngenaliku. Dunia memang tidak selebar daun kelor. Tetapi juga tidak sebesar daun pisang. � Melihatku terdiam, Ibu ganti menyambung per-kataan Bapak. � "Mereka mengira kami mengetahui bahkan me-restuimu mencari tanah." katanya. "Padahal seujung kuku pun kami tidak tahu-menahu mengenai hal itu." � "Sekarang yang penting jawablah pertanyaan Bapak, siapa laki-laki itu? Di mana kalian ber-kenalan?" � "Apakah kepergian-kepergianmu selama ini juga bersama dia?" Ibu menyambung lagi. � "Kalau memang laki-laki itu teman barumu, kenapa tidak kau suruh datang ke rumah untuk berkenalan dengan kami?" Sekarang Bapak lagi yang menyambung. � Wutor JaWablah SCmua Pwtonyaan kami tadi, Rasanya aku seperti sedang berada di ruang � ngadilan dengan duaJaksa penuntut yanR ^ kenal ampun, bertubi-tubi menyerangku � -Yang mana dulu yang harus Wulan jawabr Akhimya aku bisa bersuara. � -Siapa laki-laki itu?" Bapak mendahului Ibu � ,Dia bemama Eko Nugroho." Aku menjawab terus terang. Akan percuma saja kalau aku ber-bohong- Malahan akan bisa tambah berlarut-larut Padahal aku ingin segera masuk ke kamarku dan menelepon Eko agar dia bersiap-siap menerima bom yang sama. ,
� "Bapak tidak menanyakan namanya!" Suara Bapak mengeras. � "Dia berasal dari. Lampung, Pak!" Aku menjawab dengan jantung yang mulai mengeret. 'Tetapi sekarang tinggal di Tawangmangu bersama kedua orangtuanya, yaitu Pak dan Mbok Kirman." � "Oh, Eko yang itu to!" mata Ibu membelalak. � "Eko anaknya Pak Kirman?" � "Ya." � Suasana di ruang kerja Bapak menjadi sunyi seketika. Kupakai kesempatan itu untuk sed.kit memberi penjelasan yang sekiranya bisa mengu-rangi bobot "kesalahanku". � "Dia mencari tanah untuk memulai usahanya sebagai seorang petani. Karena *a tahu Wulan lebih mengenai daerah-daerah di sekitar Tawang-mangu int dia meminta bantuan Wulan untuk � menemaninya mencari tanah. k kannva � Temyata taktikku salah. Penjelasanku bukannya � mengurangi bobot kesalahanku tetapi malahan me-nambah beratnya. Bapak tampak marah. � "Apakah di Tawangmangu ini hanya kau saja van* kenal daerah-daerah di sekitar tempat ini? Dari mana ide di kepalanya itu, berani-beran.nya dia mengajakmu pergi mencari tanah dan bukannya mengajak orang lain?" tanyanya dengan suara yang tidak enak didengar telingaku. "Apalagi tanpa minta izin kepada orangtuanya lebih dulu. Bapak yakin Pak Kirman tidak mengetahui ulah anaknya itu." � "Yang Ibu tidak tahu, ^kenapa kalian berdua tiba-tiba saja menjadi akrab!" Ibu menyambung lagi. "Kapan kalian bertemu?" � "Ya." Bapak ganti menimpali pertanyaan Ibu. "Bapak juga ingin tahu, kapan kalian bertemu. Apakah itu di sekitar hari-hari perkawinan Dewo." � Aku tahu ke mana arah pertanyaan Bapak dan Ibu. Hatiku mulai memberontak. Dan itu me-numbuhkan keberanian padaku. � "Dua minggu sebelumnya," sahutku. "Tetapi per-kenalan dan keakraban Wulan dengan Eko sama sekali tidak ada kaitannya dengan perkawinan Mas Dewo!" � "Bagaimana asal mulanya kalian berkenalan dan lalu menjadi akrab? Ceritakanlah semuanya!" Ibu berkata lagi dengan suara menuntut dan mengabai-kan jawabanku tadi. � Seharusnya aku marah. Mereka berdua telah mengadiliku dengan sikap yang menempatkan diriku sebagai seorang penjahat. Penjahat yang telah mempermalukan mereka pula. Tetapi aku tetap � menahan diriku agar jangan kehilangan r Sebab kalau tidak, akan menjadi semiin k ' � i^^J^TS lenanS aku menceritadari � pagi-pagi sekali tanpa pami, dan lalu menSh � , . ....(ill/ mmnatirambii is - , j � kan tentang seluruh kejadian yang beS dan kecemasan Mbok Kirman ketika melihatku � Ek0 untuk mengawasiku. Kemudian juga kucentakan bahwa pada hari perkawinan Mas Dewo, ketika aku merasa sebagai pecundang dan harga diriku terluka, Eko-lah yang mengentaskanku dari perasaan tak berharga itu. "Apakah ada hubungan khusus di antara kalian berdua?" Bapak dan Ibu hampir secara bersamaan mengucapkan pertanyaan itu. � Kali itu aku tidak ingin membuka rahasiaku sebelum aku mendengar saran Eko. � 'Tidak. Kami hanya bersahabat saja." Aku terpaksa berbohong. "Apakah kau sering membonceng motornya?" "Ya." Sekarang aku bicara terus terang lagi. "Memalukan!" Ibu mendesis. "Seringkah kalian dilihat orang pergi berduaan dengan motornya itu?" 'Tidak. Wulan memakai helem dan jaket." "Wulan, kau belum menjawab pertanyaan Ibu tadi!" Ibu menyela. "Apakah kepergian-kepergian-mu selama ini juga bersama Eko?" � "Ya." Apa boleh buat. Akan nercuma saja aku mengelak. "Apakah itu salah?" � "Salah sih tidak," Bapak yang menjawab. T tap tidak pantas. Kau sudah sarjana strata du ^ Pikiranmu malah mundur. Ke manakah akal sehat � mu* Kau baru saja putus cinta d.t.nggal kekasih un uk menikahi gadis lain. Lha kok sekarang Srab-akrab dengan anak mandor kebun orang. SnT Apakah tidak terpikirkan olehmu kalau-kalau ada orang yang mcng.ra pikiranmu sudah tidak waras lagi lalu mencan pelanan di tempat yang salah. Ditinggal kekasih, lalu mencan gantmya secara sembarangan saja!"
� Duh Tuhan, Eko dianggap orang sembarangan saja. Aku mulai marah. � "Lalu apa yang Bapak dan Ibu harapkan dari Wulan?" tanyaku. Kedua belah mataku menyorot tajam ke arah Bapak dan Ibu bergantian. � "Hentikan petualanganmu itu dan mulailah kembali menata hidupmu ke arah masa depan yang lebih baik... Meniti karier, misalnya. Atau apa sajalah, pokoknya yang bemilai dan berguna." � Lalu seribu satu macam saran dan nasihat datang silih berganti menyerbu telingaku. Tetapi hanya sedikit sekali yang masuk ke otakku. Pikiranku melayanglayang dan baru kembali ke tempat sesudah Bapak dan Ibu mengizinkan aku keluar dari ruang kerjanya. Ya Tuhan, kedekatanku dengan Eko dianggap sebagai petualangan oleh Bapak. � Betapa rendahnya Eko di mata kedua orangtuaku itu. � Terus terang, aku merasa terguncang. Meskipun aku sudah bisa membayangkan reaksi kedua orangtuaku kalau mengetahui keakrabanku dengan Eko tetapi ketika itu betul-betul kualami, rasanya sungguh sangat menyakitkan. Ingin sekali aku berlari � mencari Eko dan menangis di dad � yang pemah kulakukan waktu itu seperti � Tetapi tidak Aku tidak boleh lanosunp m kan apa pun kepada Eko sebelum k?m u8^-surut. Bahkan meneleponnya juga belum u?,3nku � *, p* ,** , i tatiss: � nya. "~ � "Sejak tad, aku menunggu .eleponmu, Sayan," Ek0 langsung menjawab teleponku ,anpa me-nungguku bicara lebih dulu. � "Kangen?" Aku mencoba untuk bersikap biasa "Kalau begitu, kenapa bukannya kau yang me-neleponku lebih dulu?" � "Kangen, itu pasti. Tetapi menelepoumu lebih dulu tidak akan kulakukan, Sayang. Aku tidak ingin mengganggu perasaanmu yang sedang sakit dan hatimu yang sedang marah. Aku memahamimu sepenuhnya." � "Kenapa kau berkata seperti itu, Mas?" � "Karena Bapak baru saja dipanggil oleh ayahmu di kantor. Dari apa-apa yang dibicarakan dan di-minta oleh Pak Suryo kepada Bapak, kami tahu bahwa kau baru saja diadili. Ya kan?" � "Ya. Tetapi kenapa kedengarannya kau begitu tenang dan seolah apa yang kualami bam saja tadi seperti suatu kejadian yang biasa-biasa saja?" Aku mulai marah. "Padahal hatiku begini kacau balau-nya." � "Sayang, meskipun perasaan kita kacau balau tetapi pikiran kita tidak boleh ikut terbawa. Kalau lidak, kita tidak akan bisa melihat persoalannya � dengan jcmih. Maka akan jadi semakin kacau balaulah semuanya. Dan penyelesa.annya pun jad, � tidak objcktif." "Memangnya penyelesa.an apa yang akan kau � lempuh. Mas?" . � "Masih dalam pemikiran panjang. Tetapi yang � jelas. malam ini aku tidak jadi meloncati jendela kamarmu. Sabar ya, Sayang." � Apa lagi yang bisa kukatakan selain "ya" bukan? Dan karenanya malam itu berlalu dengan hati yang sepi tetapi pikiran penuh sesak. Tak pernah kusangka di zaman modern yang segala sesuatunya serba super ini, aku masih mengalami suatu ke-nyataan saat perbedaan menyebabkan pcmbedaan yang diskriminatif hanya karena gengsi, reputasi, nama baik, dan harga diri yang dangkal. � Esok harinya aku pergi tanpa arah tujuan hanya untuk membuang energi kemarahanku. Berjam-jam lamanya aku mondar-mandir tak tentu arah yang kutuju sampai akhirnya aku merasa bosan sendiri dan pulang ke rumah. Waktu aku baru saja meng-ganti pakaianku dengan daster, Tita masuk ke kamarku. , � "Pergi ke mana saja kau, Mbak? Aku merasa khawatir sekali." Dari pertanyaannya itu dan juga dari sikapnya, aku tahu bahwa peristiwa pengadilan di ruang kerja Bapak kemarin sudah diketahui olehnya. � "Yang jelas aku tidak pergi bersama Eko, kalau itu yang ingin kauketahui." "Aku tahu." � "Tahu dari mana?" � -Dari apa yang kulihat dengan pandang ma, ku dan dan apa yang kurangkai di � "jelaskan kata-kata mutiaramu yang indah itut" � "Waktu mehhamu pergi Ibu langsung menyuruh orang untuk melihat apakah Eko ada di rumah atau tidak. Temyata dia sedang membetulkan beberapa bagian^ pagar yang doyong tertabrak truk kemarin dulu."
� "Aku masih warns untuk tidak menyebabkan rambut di kepala Bapak dan Ibu berdiri semua!" � Tita tertawa. � "Aku yakin, apa yang dikerjakan oleh Eko itu adalah cara Pak Kirman mengikat kaki anaknya agar jangan pergi jauh," katanya kemudian. "Memang begitu." � 'Tetapi terlepas dari itu semua, aku harus menga-kui bahwa pacarmu itu orang yang serbabisa dan mempunyai penghargaan terhadap apa pun pekerjaan orang. Bayangkan, seorang insinyur teknik pertanian dan sekaligus juga seorang ekonom. mau-ma unya membetulkan pagar di kebun miiik majikan � ayahnya!" , ... � Aku menarik napas panjang. Itulah Eko. Itulah yang juga kukagumi dari dirinya. Dan nulah yang menyebabkan perasaan cin.aku kepadanya^ besar Tetapi pastilah Tita !"fk. kc bukan untuk membicarakan kelebman-kelebman � '""Kau masuk ke kamarku mi pasti bukan cuma � uni � ,tuk memuji dia saja, kan?" tanyaku begitu pikiran itu melintasi otakku. � "Yah. memang bukan hanya itu saja, Mbak." Tita menganggukkan kepalanya. 'Tetapi juga karena ada sedikit informasi yang ingin kukatakan kepadamu. Tadi aku sengaja menguping pembicaraan Bapak dan Ibu waktu mereka berdua sarapan. Aku senang karena mereka tidak tahu aku ada di balik rak buku." � "Mereka membicarakan aku, kan? Apa kata mereka?" Aku memotong perkataan Tita dengan perasaan tak sabar. � "Bapak dan Ibu tidak mempercayai kata-katamu bahwa di antara dirimu dengan Eko cuma persahabatan biasa saja," jawab Tita. "Mmm, apakah itu yang kaukatakan kepada mereka waktu ditanya tentang hubunganmu dengan laki-laki itu?" � "Ya. Aku memang mengatakan bahwa hubungan kami cuma persahabatan saja." � "Dan mereka tidak percaya." � "Biar sajalah, Ta. Aku sudah capek memikirkan semuanya," � "Tetapi bagaimana kalau peristiwa kemarin itu menyebabkan Eko mempercepat kcpergiannya dari Tawangmangu ini?" � Pertanyaan yang wajar. Tetapi maknanya masuk ke reiung hatiku dan gaungnya bertalu-talu di sana. Rasa-rasanya, ketakutanku selama beberapa nunggu ln> akan menjadi kenyataan. Untuk kedua kahnya aku akan mengalami patah hati lagi. Tetapi aku ndak tahu apakah aku masih mempunyai sisasisa kekuatan untuk menahan beban bera, itu Terutama setelah perasaan cintaku kepada Eko semakin berkembang dari hari ke hari Aku me mang semakin cinta saja kepadanya. � Q � DJ\/LJ � Sepuluh � SENJA mulai turun menggantikan sore diantar oleh � angin gunung yang sejuk semilir, menyapu dan � mengelus seluruh permukaan bumi Tawangmangu � yang indah. Jendela kamarku tetap kubiarkan terbuka dan aku berdiri dengan tangan bertumpu � pada bingkainya. Kunikmati segala yang bisa kutangkap dengan pandang mataku, dengan telingaku, � dan dengan seluruh tubuhku yang lain. Saat itu � batas daya penglihatanku tak mungkin mengatasi � kekuatan alam yang secara perlahan menyembunyikan seluruh pemandangan yang terhampar di hadapanku dengan selimut malamnya, dan kini penciumankulah yang lebih banyak bekerja. Maka � aroma bunga kemuning pun mulai menyerbu hidungku. Aiangkah harumnya. Dan alangkah segar-nya. � Rasanya seperti baru kemarin terjadi aku mulai menjcjakkan kedua telapak kakiku kembali di tanah kelah.ranku ini. Waktu itu pun kemuning, yang ocrjajar d. sepanjang tcpi pagar halaman rumah, sedang sarat berbunga. Dan aromanya yang wangi me nyambut kedatanganku dan memberikan keakraban y ang terasa mengaliri se,uruh jiwa ragakuNarnun alangk ah beda perasaan yanB mevja , hatlku. Ketika aku data ng haliku j^J-dan lega bisa menikmat, kembali segala s eSua* yang tak kudapat, di Jakarta. Kesegaran alamnya angin gunung yang sejuk, jalan raya yang benih dan b erhku-liku, orang-orangnya yang ramah tamah dan teru tama kamar tidurku yang sangat menye-nangkan. Dan tentu saja, juga harapanku untuk menguntai masa dep an bersama-sama dengan Mas Dewo. � Kini, tiga bulan baru saja berlalu setelah malam itu. Kegembiraan hatiku
seperti yang kubawa dari Jakarta waktu itu, telah sima. Harapanku menguntai hidup bersama Mas Dewo juga telah luruh. Dan yang masih tinggal, yaitu cintaku kepada Eko yang sedang mulai mekar-mekamya, harus ku-singkirkan jauh-jauh dari jalan kehidupanku dan menyurutkan diriku pada titik nol kembali. Seluruh hari esok yang kurenda, harus kubongkar menjadi benang-benang kembali. Benang-benang yang kusut pula. � Air mataku menetes. Hangat airnya cuma sesaat saja kurasakan, diganti oleh rasa dingin yang a> embuskan oleh sejuknya angin gunung. tuaca.memang sudah mulai terasa dingin sampa. ke_tutong-.ulang. Kedua belah tanganku lalu ku^gkatd^ bingkai jcndcia dan ku.ipat d, dada u ^ mengusir gigitan udara Eko. � mi aku sungguh sangat menndukan Ken � Saat-saat seperti ini pula, aku bam saja d.ajan oleh alam dan oleh pengalaman baruku tentang betapa rindu itu bisa sedemikian sakitnya sehingga meninggalkan rasa pilu yang meng.ns-iris seluruh isi dadaku. Dan keadaan seperti itu cukup menge-jutkan diriku sendiri. Sebab ketika aku berada di Jakarta dan terpisah dari Mas Dewo, kennduanku tidaklah seperti yang sekarang kurasakan kepada Eko. Padahal laki-laki itu berada tidak begitu jauh dari tempatku tinggal. � Merasakan kerinduan itu, untuk kedua kalinya air mataku menetes lagi. Tepat pada saat itu telepon genggamku berbunyi. Aku meloncat untuk mengambil telepon ini dari dekat bantalku. Dari layar kecilnya aku tahu itu telepon dari Eko. Hubungan batinkah itu? Terasakah olehnya betapa rindunya aku kepadanya? Ataukah cuma kebetulan saja? "Halo, Mas...?" � "Wah. kok suaranya lemes begitu," Eko memberi komentamya dengan suara lembut... "Sedang apa kau, Sayang?" � "Baru saja air mataku menetes, bersamaan dengan bunyi telepon darimu..." � "Itukah yang dilakukan oleh gadis yang selama ini dikenal sebagai orang yang tidak suka mem-buang-buang air mata?" � "Memang bam sekali ini aku merasa sesedih begini. Hati ini seperti diiris-iris rasanya, Mas. Aku tak tahan..." � Eko terdiam beberapa saat lamanya. � 'Tetapi kenapa merasa sedih, Sayang?" Kudengar � suara Eko begitu lembut, manis dan kasih. Air mataku nyaris tum^fcj^ dengar perhatiannya itu. embah m<*-Ada banyak yang membuatku sedih saat in Termasuk masa depanku yang suram dan t?k 2'. � nentu Kalau saja kau berada di dekatku, sekali aku menyandarkan kepalaku di bahumu , -Aku mengerti..." Suara Eko terdengar serak" 'Tetapi yang paling menyakitkan adalah... rasa pilu karena menndukanmu..." Suaraku terhenti sebab untuk ketiga kalinya air mataku menetes lagi. � "Sayang, bersabarlah. Jangan kaubiarkan ke-sedihan itu merusak dirimu." Kudengar, suara Eko semakin serak. "Sekarang beristirahatlah, nanti aku akan meneleponmu lagi..." � Tetapi aku masih belum ingin menyudahi pembicaraan kami. Bahkan suatu serpihan pikiran me-masuki benakku. Karenanya cepat-cepat aku men-cegah Eko memutuskan pembicaraan kami. � "Tunggu Mas, jangan diputus dulu. Kau me-neleponku ini pasti ada yang akan kaukatakan kepadaku," kataku menumpahkan apa yang kupikirkan itu. "Ya, kan?" � "Nanti aku akan meneleponmu lagi." Kentara sekali Eko ingin mengelak. "Sekarang tenangkan dirimu dulu. Kalau bisa, beristirahatlah." � Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Eko past, akan � mengatakan sesuatu yang buruk. yang tidak me"yenangkan. Perutku terasa tegang to!"!"**' � "Aku tidak ingin ^^f^X Cepat dengan napas seperti mau putus. Kukepalkan � telapak tanganku kual-kuat untuk memindahkan rasa tegang di perutku ini. "Lho kenapa, Sayang?" � -Aku tidak ingin mendengar suaramu. Yang ku-inginkan adalah kau sendiri yang datang menemui-ku seperti rencana kita seminggu yang lalu. Jadi datanglah pada jam sebelas malam nanti dengan mcngetuk tiga kali kaca jcndelaku," sahutku dengan suara yang tak ingin dibantah. 'Tetapi Sayang..." � Tidak ada tetapi-tetapian. Janganlah jadi seorang pengecut. Kalau ada yang melihatmu, aku siap mendampingimu untuk bersama-sama diusir dari sini. Aku siap menghadapi apa pun yang paling buruk asalkan bersamamu." Karena aku tidak ingin mendengar penolakannya, pembicaraan segera ku-hentikan dan telepon kumatikan. � Makan malam hari itu merupakan makan yang paling sulit dibanding kesulitankesulitan makan bersama keluarga yang pemah kualami sebelum ini. Nasi yang masuk
ke mulutku seperti terbuat dari karet rasanya. Sulit sekali kutelan. Dan yang lebih celaka lagi, aku harus bersikap wajar dan mams agar tidak menimbulkan pertanyaan di hati ke uargaku. Terutama di hati Bapak dan Ibu. Harus pula kuhindan perhatian Ibu yang berlebihan hanya gara-gara aku bersikap seperti orang sakit. Oleh Karena itu betapa pun sulitnya menyelesaikan acara makan malam itu, aku berusaha sedapat-dapatnya � Tetapi kemudian aku merasa sangat lcca war da saat hatiku sedangIJ^J^J^ tiba Tita mengabarkan benta gembira bahwa da sudah menenma surat panggilan untuk segera mu la, bekerja. Maka perhatian mereka pun beralih kepada adikku itu. Dia jadi diterima bekerja di bank di kota Solo. Jumlah gaji yang akan diterimanya lumayan. Dan Tita mengatakan akan kos di sana sehingga Ibu menyarankan agar dia kos di rumah kenalan Ibu yang menyewakan kamar-kamamya untuk karyawan dan gum. Sungguh, berita gembira itu telah menyelamatkan diriku. Begitulah, setelah mati-matian berusaha untuk tetap bertahan duduk bersama mereka di ruang keluarga sesudah kami selesai makan, akhirnya aku mempunyai kesempatan masuk kamar ketika Tita mengatakan akan tidur lebih cepat. � "Aku juga..." kataku. Lalu dengan sikap wajar aku mengambil beberapa majalah baru yang di-tumpuk di atas meja kecil. "Ada yang mau membaca ini tidak?" � 'Tidak, Mbak." Tita yang menjawab. "Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan besok. Jadi aku mau tidur cepat." � "Ibu?" � "Ibu sudah membacanya. Bawalah!" � Dengan perasaan lega. aku segera ruang keluarga. Begitu masuk ke kamar akiUjg sung ke kamar mandi. Lalu kukenakan pivamakvK Lengkap, celananya yang panjang h*tt, kaki dan bagian atas yang panjang lengannya � pai ke pertengahan anrara siku dan pergelangan tangan. Pakaian itu kupakai bukan hanya karena cuaca dingin saja tetapi karena aku merasa pakaian itu tampak lebih sopan dibanding baju tidur yang kukenakan ketika Eko datang ke kamarku waktu itu. � Ketegangan hatiku kuredam dengan membaca-baca majalah sambil menonton Yuni Shara me-nyanyi di televisi. Meskipun apa yang kubaca tidak bisa kumengerti artinya dan apa yang ku-tonton tidak kutangkap apa syair lagunya, tetapi setidaknya itu bisa sedikit menenangkan perasaanku. Daripada hanya terus-terusan memikirkan irama detak jantungku yang tak beraturan dan gerakan jarum jam dinding yang rasanya seperti tidak ber-gerak itu. � Pada jam sepuluh malam, telepon genggam ku-nyalakan. Dan pada jam setengah sebelas lebih lima menit, teleponku berbunyi. Seperti yang sudah kuduga, itu telepon dari Eko. � "Sayang, apakah tidak ada cara lain bagi kita untuk bertemu?" Ia langsung mclontarkan per-tanyaannya begitu aku mengatakan "halo". � "Cara lain seperti apa misalnya?" _ -Ajaklah Mbak Tita pergi jalan-jalan, aku akan m nunggu di suatu tempat. Setelah itu biar Mbak � fndirian d3n kila memakai ,-Ow past, mau membantu kita, Sayang." � bClten,U ^ oiang. Aku tak ingin mcngambi, risiko hanya untuk perjumpaan semacam Aku lebih suka mengambil risiko |jpal kali besarnya asalkan kita bisa bcrdiTuK lerganggu oleh keberadaan orang lain. Dan SE yang seperti itu hanya ada di dalam kamarku" kataku dengan ketegasan yang kuharap tidak akan bisa dibantah lagi oleh Eko. "Ataukah kau merasa takut?" � 'Tidak. Apalagi mendengar janji dan kesiapanmu untuk mendampingiku kalau kita diusir." � "Kalau begitu kenapa kau masih saja mau men-cari-cari alasan untuk menghindari rencana malam � nanti?" � "Aku takut berada berduaan denganmu di tempat yang sangat pribadi seperti kamarmu itu, Sayang. Apalagi dalam suasana hati yang sedih seperti ini, otak kita akan mudah sekali kehilangan kewarasannya." � Aku mengerti apa maksud perkataannya itu. Tetapi aku juga mengerti bahwa alasan seperti itu bukanlah alasan yang sebenamya. Aku yakin sekali, Eko merasa hatinya berat sekali untuk menemuiku karena dia tidak ingin mengambil risiko yang akan melibatkan perasaan kedua orangtuanya. Tetapi, aku tidak mau tahu itu. Setidaknya untuk � malam ini saja. . � "Tetapi aku memakai piyama lengkap/ sahutku lekas-Iekas, pura-pura tidak tahu alasan yang sebenamya itu. "Kita toh tidak akan berb.cara samba duduk di atas
tempat tidur. Lagi pula kita berdua bukan pemuda dan pcmudi yang masih remaja. � OMk kita cukup warns untuk dipakai berpikir yang � lebih panjang." . � Dalam kondisi normal, jawaban seperti itu past, akan dijadikan bahan olok-olok oleh Eko. Apa saja bisa ia jadikan bahan lelucon dan guyonan. Tetapi belakangan ini dia dan juga aku tidak bisa bcrcanda lagi. Hati kami terlalu pahit untuk bisa menguntai kalimat-kalimat yang menyegarkan seperti biasanya. "Aku menunggumu, Mas. Jangan kaukecewakan � aku!" Aku berkata lagi. � "Baiklah kalau begitu." Eko mulai membulatkan tekadnya. � "Jadi kau akan datang, kan?" Aku masih perlu pcnegasan lagi. "Ya." � "Jam sebelas?" � "Bagaimana kalau jam sebelas lebih seperempat. Siapa tahu ada yang masih belum tidur." � "Setuju. Dan jangan lupa membawa senter Iho. Waktu itu kau tidak punya pikiran untuk membawa barang penting itu, kan? Dan kau bercerita, hampir saja kau jatuh tersandung akar pohon." � "Pengalaman adalah gum. Jadi aku akan membawa senter, Sayang." � Sesudah pembicaraan itu, setiap saat mataku mengawasi gerakan jarum jam dindingku sehingga aku tahu pada jam sebelas lewat tiga menit salah � billT8 ml men^0"ggong keras. Hatiku bulbar keras sambil berdoa agar bukan Eko Vang digonggong. Ingin sekali aku keluar untuk � membungkam muUit anjing im den � bakan. Sung^h begitu cemasnya aku ^ , berpikir sesadis itu. ,*" Dlsa � "Sssh Bagong, ini Pak Marno yang lewat. Jangan nbut - Kudengar suara keras dari salah seorL penjaga malam yang tampaknya lebih ditujukan kepada orang-orang di rumah kami. Kemudian gonggongan si Bagong pun terhenti. � Dalam kesunyian yang tiba-tiba melingkupi sekitar rumah kami, telingaku mendengar suara sepatu hot Pak Marno yang melangkahi jalan berbatu di sebelah halaman samping. Lalu makin lama suara langkahnya semakin menjauh. Kamar Bapak dan Ibu tidak jauh dari sana. Jadi mereka pasti lebih jelas mendengar apa yang kudengar tadi sehingga kalau ada keinginan di hati mereka untuk melongok keluar, aku yakin keinginan itu diurungkan. � Merasa lega, kumatikan lampu besar di kamarku. Kini lampu berkap wama merah muda di atas meja samping tempat tidurku menggantikannya. Cahaya-nya membuat kamarku terasa hangat dan nyaman. � Tepat jam sebelas lewat seperempat. kaca jendela kamarku diketuk pelan sebanyak tiga kali. Meskipun dadaku berdebar-debar, tetapi bibirku tersenyum sendirian. Aku kenal Eko. Dia selalu ccr-mat memperhitungkan waktu. Dia datang tepat pada waktu yang telah dijanjikannya. Dia tahu cara membuatku tidak perlu memperpanjang rasa tegang yang menyakitkan perutku. � LekJ-.ekas tetapi dengan sanga, ha,,-ha, jendd kamarku kubuka. Eko langsung meloncat masuk � dan aku juga langsung menu.upnya kembal.. T.nu-ta kirn a agar jangan sampai ada yang .ersmgkap. Tmudian ku.emparkan .ubuhku ke dalam pelukan � laki-laki iiu. � "Sayang. betapa rindunya aku kepadamu. Eko memclukku dengan erat sekali. Telapak tangannya yang menyentuh lenganku terasa dingin kena udara malam pcgunungan. � "Aku juga..." Aku mendesah. "Aku tak bisa lama-lama berpisah denganmu." � Kudengar Eko menarik napas panjang s ehingga kuangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. Baru sekarang kulihat. wajah laki-laki itu tampak lebih kurus dan pandangan matanya kelihatan sayu. Me-nya ksikan itu. rasa takut yang sejak tadi menguasai diriku, muncul kembali. Tetapi kutahan perasaan itu kuat-kuat agar jangan sampai membuatku meng-gigil. Aku tidak ingin Eko mengurungkan apa yang akan dikaiakannya kepadaku. Semakin lama berada dalam keadaan yang tidak menentu begini, semakin ketakutan seperti itu me nyiksa batinku. Seandainya aku kena penyakit bisul, ingin sekali aku memecah-kannya agar denyut-denyut yang menyakitkan itu segera berakhir. Memang akan sangat nyeri rasanya tetap, akan lebih jelas bagiku apa yang harus d.lakukan untuk mengatasinya. Dibuang nanahnya obat atau ditutup plester yang steril, � mmumT t?*n "Sudah � minuman untukmu. � ICuambil termos kecil yang biasa kuh dalam perjalanan-perjalananku. Termos
taL1 dengan cokelat susu panas dan sudah kubuat 2 iadi dengan diam-diam, lalu kubawa ke Z kamarku. Sekarang aku menuangkannya ke dalam wiup termos yang juga berfungsi sebagai cangkir itu. � "Minumlah untuk menghangatkan badanmu" kataku sambil mengulurkan cangkir itu ke dcpan � Eko. � Pelan-pelan Eko menghirup cokelat susu yang panas itu dengan matanya yang menerawang ke kejauhan, entah ke mana itu aku tak tahu. � "Ada yang akan kaukatakan kepadaku, Mas?" Aku bertanya setelah melihat isi cangkir itu ber-kurang separonya. � "Ya." � "Katakanlah, jangan ragu." Aku berkata dengan suara tegar. Padahal seluruh tubuhku mulai lagi dikuasai oleh ketakutan yang luar biasa. Aku yakin sekali, apa yang akan dikatakannya itu tidak enak didengar. Bahkan akan menyakitkan. � Eko meletakkan cangkir berisi cokelat susu itu. kemudian memandang ke arahku. Matanya lurus � menembus mataku. � "Sayang, lusa aku akan berangkat dan me-ninggalkan tempat ini untuk selamanya..." Akhirnya bisul itu meletus. � Aku terpana. Kutatap wajahnya tanpa berked.p "A... apa?" bisikku dengan dada nyans meledak. "Aku akan pergi dari Tawangmangu. Oan... � Sebelum pcrkataan Eko selesai. aku melemparkan tubuhku ke dalam pelukannya. Dan d. atas pang-kuannya. kulepaskan tangisku di dadanya. � "Tidak. kau tidak boleh pergi. Jangan tinggalkan aku..." bisikku sambil terus menangis. � Eko mcnarik napas panjang kemudian mengecupi pipiku yang basah. Rambutku yang panjang dielusi-nya pelan-pelan dengan gerakan lembut. � "Kalau menuruti hatiku. sebctulnya aku juga tidak ingin pergi. Dan kalaupun harus pergi, ingin sekali aku membawamu serta. Tetapi. itu tidak mungkin..." laki-laki itu menjawab perkataanku dengan suara parau. "Sangat tidak mungkin kendati hatiku ada di Tawangmangu ini." � "Kalau begitu, tetap tinggallah di Tawangmangu!" Dengan keras kepala aku mencetuskan apa yang kuinginkan. � "Sudah kukatakan tadi, itu juga tidak mungkin. Sayang. Pak Suryo telah meminta Bapak agar membujukku pergi secepatnya dari Tawangmangu. Untuk tidak menyusahkanku, beliau memberiku semacam pesangon dengan sejumlah uang yang katanya untuk menambahi beli tanah di tempat yang jauh dari sini. Tetapi, uang itu kutolak." � m.r kCI5 l!dak 3dil kePada!">'' Aku mulai marah. Mereka memakai kekuasaan dan kekuatan � TlZuT^ , memakai <>!"Stuamu untuk mem.sahkan kita berdua. Mereka juga sangat picik � ,2 dikUaSai feSaHsw � yang konyol seperti itu." � "Sssh... kendalikan dirimu." � Aku menggigit bibirku agar tidak m,i . kemarabanku dan ,a,u M bisa d.dengar orang.... Melihat ^gj T,> memelukku, mataku menjadi basah. Dan akhimva ia juga mencium bibirku. y � Kubalas ciuman Eko dengan memeluk lehemva Kutekan dadaku ke atas bidang dadanya yane keras berotot itu. Rasanya, aku ingin sekali melebur di dalam dirinya. Dengan penuh kasih tanganku mulai mengelusinya. Kupermainkan rambut di kuduknya. Kuelusi bahunya yang bidang. Kutelusuri kulit punggung di bawah lehemya itu dengan me-nelusupkan tanganku ke balik pakaiannya. � Eko mengeluh pelan. Sambil terns menciumiku. tangan laki-laki itu juga mulai mengelusi punggung-ku dan menyingkirkan rambut panjangku ke depan. Kemudian tangannya yang penuh perasaan itu ber-gerak menuju ke depan, melepaskan kancing baju piyamaku. Ditatapnya sejenak bagian atas dadaku yang menyembul dari pakaian dalamku. Kemudian dengan lembut dan mesra, ia menundukkan wajahnya dan mulai menciumi leher dan bagian atas dadaku itu. � Aku mulai gemetar. Tanganku juga ikut bergetar. Tetapi meskipun demikian, jemariku tak juga mau berhenti mengelusi punggung dan bahunya yang bidang. Ketika kurasakan kecupan Eko berpmdah ke bagian leher tepat di bawah daguku^a u mu a menggelinjang. Kuburai rambutnya. Kuttta*-tubuhku pada kekenyalan tubuhnya ^ kan Eko juga gemetar. Tetapi kemudian dia mulai
� sadar apa bahayanya jika adegan sali"^umb" itu berlanjut. Elusan tangannya mula. berhenti. � Xu cukup, Sayang. Kita jangan jadi g,Ia karena akan berpisah..." Suara Eko terdengar mcnggeietar dan napasnya memburu. Lekaslah turun dari pangkuanku. Aku bisa tidak mampu lagi menahan diri!" � Tetapi Eko telah keliru mengucapkan kata berpisah di telingaku. Sebab aku justru jadi disadarkan bahwa pcrjumpaan-perjumpaanku dengannya tidak akan pemah lagi terjadi. Dan barangkali akan tetap demikian sampai nanti kudengar dia telah menemukan gadis lain sebagai penggantiku. Seperti, apa yang dilakukan Mas Dewo ketika merasa lebih rendah dibanding diriku dan lalu membiarkan dirinya dirayu gadis yang dianggap setara dengan dirinya. � Tidak. Aku tidak mau itu terjadi pada diri Eko. Aku benar-benar mencintainya dengan cinta yang jauh lebih matang dan jauh lebih mendalam tanpa melihat siapa dan apa latar belakangnya. Begitu pun dia terhadapku. Dia mencintaiku tanpa peduli apa latar belakangku atau apa yang melekat padaku. Dan karena itulah aku tidak akan membiarkan dia perg, beg,tu saja dari kehidupanku. Dia milikku. Di, kekasihtai. Dia segala-galanya bagiku. Aku taU bisa melepaskannya pergi dari sisiku. � -ntXs^ T ^ Pan8kUanmUr AkU Jayang, kasihanilah aku. Jangan menantang � ,.Aku justru akan menantang bahaya!" Suaraki. tetap tegas dan mantap. "Jeng Wulan!" � "Sssh... jangan banyak bicara/' Sesaat aku ter-ingat percakapanku dengan Tita dan apa yang kukatakan pada adtkku itu beberapa hari yang lalu, tapi saat ini aku sama sekali tidak ingin prinsip hidupku menghalangi langkahku. Apalah artinya prinsip, kalau kekasihku akan pergi dan mungkin kami tidak akan bertemu kembali? Ku-mtup bibimya yang akan mengatakan sesuatu itu dengan ciuman panjang sambil tanganku meraba-raba kancing kemejanya. Kemudian tanganku ku-biarkan meluncur di tonjolan dadanya yang keras berotot dan yang temyata juga agak berbulu itu. Kupermainkan bulu-bulu lembut itu sampai akhir-nya Eko mengerang. "Jangan, Sayang. Aku bisa gelap mata." "Aku tidak peduli, Mas. Aku milikmu. Perlaku-kan diriku, apa pun yang kauinginkan." � "Ya Tuhan, kau sungguh seorang penggoda! Eko mengeluh. "Tolonglah Sayang, jangan mem-buat persoalan kita nanti menjadi semakin rumit. "Sudah kukatakan, aku tidak peduli apa pun 'Tidakkah kausadari apa artinya ini? Aku akan pergi dengan penuh rasa berdosa Dan kaujd k bisa member! leperawananmu kepada calon suam. mu di malam pengantin kelak... � "Tidak pernah ada ^^X^^ � mm l,in. siapa p. fJ^S^TSS aku sudah akan menutup buku ktn.u , � Aku tidak akan menikah dengan siapa pun. Tidak akan. Sekali lagi. tidak akan!" "Jeng Wulan..." � Kuhentikan bicaranya dengan mencium bibimya lagi dan mengaktifkan kembali jari-jemanku di pemiukaan dadanya yang berbulu dan tampaknya termasuk bagian tubuhnya yang peka itu. Maka kudengar Eko mengerang lembut lagi. Pada saat itulah kupakai kelemahannya itu untuk mengikuti alur pikirku. � "Beri aku kenangan manis, Mas Eko..." bisikku sambil menciumi pipi di dekat telinganya, sementara air mataku deras mengaliri pipiku sehingga basah kuyup. "Aku sangat mencintaimu. Hanya padamu aku ingin memberikan segaia-galanya. Dan biarkan aku merasakan keintiman di antara kita sebab aku tidak tahu apakah... apakah... kita bisa bertemu lagi/' � Maka lepas kendalilah otak waras kami dikuasai gelombang pasang cinta kami yang keliru mengem-pas ke atas karang dan bukannya memecah ke pama, yang landai. Malam itu kuberikan segalahiWnavdValaS tCmpal tidUrku yan^ me"Jadl sak, hIangnya keperawanan dan keperjakaan kami. � aku t dak tahu apa yang ada di dalam hati Eko ^WwTh^! ^ dUa ,i dia hanya � S ircn,r st " � yang menjadi peganganku, la mengatakan akan ;eninggalkan Tawangmangu lusa menjelang siane hari. Lalu jendela itu kututup kembali dengan air mata yang mulai mengahr lagi. Aku tidak pemah menyangka bahwa cinta bisa membuatku jadi ce-ngeng begini. Padahal ketika Mas Dewo meninggal-Ican diriku, aku hanya menangis sekali saja. � Sehari berikutnya aku terus-menerus berpikir dan berpikir dan tenggelam dalam duniaku sendiri. Semalam aku sudah menempuh suatu keputusa n besar, memberikan diriku seutuhnya kepada seorang laki-laki. Maka di ujung dan di akhir pemikiranku, aku merasa harus melanjutkan keputusanku itu. Tidak ada kamus
setengah-setengah dalam diriku. Tidak ada sikap pengecut dalam batinku. Bapak dan Ibu selalu mendidikku untuk memiliki daya juang. Jadi kenapa tidak kulakukan itu justru di saat paling kritis dalam pilihan hidupku? Meski kutahu bukan seperti itu cara yang diharapkan oleh kedua orangtuaku dalam menunaikan daya juang itu, aku tetap pada pendiriank u untuk melanjutkan apa yang sudah kumulai semalam . Sebab, aku merasa itulah jalan yang harus kutempuh. Dan itu pulalah jalan yang kurasa paling benar yang bi sa kutempuh. � Pada malam harinya, kuambil koperku dan atas lemari. Harta milikku yang kuanggap paling ber-harga selain pakaian, seperti buku tabungan telepon genggam, perhiasan peninggalan eyangku dan jufca Vang merupakan hadiah-hadiah ulang tahunki ku-masukkan ke dalan, koper. Sebagian besar kutmggal � At.. nHalc ingin dianggap memakai jS^EiS Hidup. Sebab � rrnrTcncnma apa pun kehidupar.yang d.ben-kan oleh Eko. Ijazah dan beberapa bukuku yang pcnring tidak kulupakan. � Kutunggu waktu yang tepat. ya.tu sesudah sa-rapan dan sebelum Bapak berangkat ke kantor tempat ia mengendalikan perkebunannya. Maka begitu Bapak mengambil las kerjanya, aku berlari masuk ke kamarku. Dengan gerak cepat kutukar sandal jepitku dengan sepatu lalu segera koperku kuhela keluar. � "Bapak..." kupanggil laki-laki yang biasanya begitu penuh pengertian tetapi yang belakangan ini membuatku kecewa itu. � Bapak menoleh dan terkejut melihatku siap pergi dengan sebuah koper di dekat kakiku. � "Kau mau pergi ke mana, Wulan?" Ia bertanya dengan heran. � Memang bukan kebiasaanku pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya. Apalagi dengan koper sebesar itu. Biasanya kalau aku mau pergi menginap di suatu tempat, beberapa hari sebelumnya aku sudah mengatakannya. Dan pasti bukan cuma seka,, saja tetapi berulang-ulang aku akan membicarakannya. � barrel ma,U kC mana- Nduk?" ,a"ya yang � X van^ Th ? W3jahnya ,amP^ P-a,-*pa yang akan kaulakukan^ � Belum sempat aku menjawab, dari luar kudengar � suara kulo nuwun . Kami semua menoleh ke ar3h asal suara. Di ambang pimu lcras Ek0 berdin dengan s.kap hormat namun mem.Eki ^ percaya dm yang kuat. Ia mengenakan baj yang bagus. Celana cokelat tua dari bahan yanE halus dan kemeja lengan panjang katun kotak kotak kecil lembut berwama krem yang sangat serasi. Sepatunya juga berwama cokelat. Rambutnya yang lebat dan panjangnya sampai ke kuduk itu disisir rapi. Dan tubuhnya yang tinggi, tegap, dan gagah itu agak dibungkukkan menghadap Bapak dan Ibu. Dia sungguh-sungguh tampak sangat menarik. Tahu membawa diri namun berwibawa. � "Kulo nuwun..." Dia memberi salam lagi. � "Monggo..." Tita yang bam keluar dari kamar-nya menjawab salam itu. Sebab Bapak dan Ibu hanya berdiri mematung dengan lidah kelu. Aku tahu mereka berdua tidak menyangka akan melihat pemandangan yang ada di hadapannya itu. � "Saya datang untuk pamitan," Eko berkata lagi. "Dan juga untuk minta maaf telah menyebabkan kekacauan di dalam keluarga ini." � Bapak menatapku. Matanya menyala. Suatu lin-tasan pikiran menguasai dirinya. � "Kau akan pergi bersamanya?" tanyanya dengan suara menggelcdek. "Kalian berdua sudah merencanakannya!" � 'Tidak ada rencana seperti itu di antara kami berdua. Sebab baru semalam Wulan memutuskan sendiri untuk meminta Eko membawa Wulan pergi bersamanya. Bahkan tidak selintas pun dugaan d. � kcpala Wulan bahwa dia akan beran. pamit ke-man " Dengan penuh keberanian aku mengatakan kenyataan yang sebenamya. Tetapi air mataku me-netes. Sedih sekali hatiku kenapa harus dengan cara begini kutinggalkan rumah orangtuaku ini. "Selama sehari-semalam kemarin Wulan terus berpikir dan berpikir sampai menemukan suatu ja-waban. Bahwa kini sudah saatnya bagi Wulan untuk mengambil suatu keputusan dan pilihan lang-kah kehidupan demi kebahagiaan Wulan sendiri. Dan untuk itu Wulan akan mempertanggungjawab-kan apa pun risikonya." � Kemudian sebelum orang lain mampu berkata apa pun, aku menoleh ke arah Eko dan menatap matanya yang tampak basah. � "Izinkan aku ikut bersamamu," kataku kepadanya. "Aku sudah mcmutuskan pilihan jalan hidup ini sesudah berpikir terus-menerus selama satu hari satu malam." � Eko menjawab permintaanku dengan memuji asma Tuhan sambil menatap ke atas... Air mala mengahr ke atas pipinya. � "Saya yakin ini adalah atas perkenan-Nya..."
� bukanT 'a bCrbisik' "Scbab ^ datan* kemari Tetan T Tk Pamit kepada No-g. ini saja. d2 I\dengan lanC3nS "emberanikan S SuZ'nT rrta BaPak ^n Ibu � sambar. Dan sambil berkata seperti itu vn , uhela ke dekat Eko. Kin, kami be bSsian- "Bapak .bu, ampuni,ah Wutn 1, ini Wulan tempuh bukan sebagai ben.uk pemba* kangan atau penentangan terhadap Bapak dan Ibu Tetapi inilah suatu keputusan untuk berjuanR men capai kebahagiaan. Sebab hidup ini cuma satu kali. Wulan tidak ingin melepaskan kesempatan yang ada hanya untuk masa depan yang masih buram di tempat ini." � "Kau tidak boleh pergi!" Ibu berteriak. � "Maaf Bu, Wulan bukan anak kecil lagi. U mur Wulan sudah hampir dua puluh enam tahun..." � "Biarkan dia pergi, Bu!" Bapak memotong perkataanku. 'Tetapi ingat, jangan pemah kembali lagi ke sini." � "Bapak!" Tita menyela. "Bapak, jangan berkata seperti itu. Mbak Wulan adalah darah daging kita semua. Dia berhak datang kapan saja dia mau." � "Jangan ikut campur. Tita!" Suara Bapak meng-geledek. � "Maaflcanlah kami..." Hampir bersamaan aku dan Eko berkata. Bahkan laki-laki itu mengucap-kannya sambil menghela lenganku dan mengajakku untuk bersimpuh di hadapan Bapak dan Ibu.Dan kemudian dia melanjutkan perkataannya itu. Suatu saat kami akan datang lagi untuk mohon maa. atas apa yang terjadi hari ini. mesk. Bapak dan Ibu Suryo akan mengusir kedatangan kam.... � Usai berkata seperti iru, Eko langsung nunv bimbingku dan mengangka. koperku. Kemudian � diajaknya aku masuk ke dalam sebuah mobil boks yang diparkir di depan pintu pagar halaman � "Mobil siapa?" Suaraku gemetar. Sesudah ber-hasil menunjukkan sikap tcgar, tegas. dan berani, kekuatanku mulai habis. � "Mobilku. Aku membelinya seminggu yang lalu untuk kupakai pindah dan untuk memulai usahaku di tempat lain. Tidak kusangka. temyata hari ini besar sekali gunanya. Sebab aku jadi bisa membawa calon istriku ikut bersamaku." � Aku orang Timur. Aku orang Jawa. Betapa pun beraninya dan betapa pun mantapnya keputusan yang kuambil, tetapi menikah tanpa restu orangtua adalah sesuatu yang sangat berat bagiku. Air mataku kubiarkan mengalir sementara Eko dengan arif-nya membiarkan aku menangis dengan menaruh perhatiannya hanya ke jalan raya. � Di tikungan jalan, satu kilometer sesudah mobil kami berjalan. aku melihat Pak Kirman dan istrinya bcrdin di bawah pohon. Begitu melihat mobil Eko mereka melambai-lambaikan tangannya Orangtuamu ada di sana," bisikku. � >3fiSE:in8in r* s"-m' � "S&XS'iSj?,ku -k, � Pasti mereka terkejutn � ^mZ^S lerkejut me,ihalku ^ � *nin dari mobil 1 I"83" lalu � mobil dan kupeluk keduanya gantiherganti. Bahkan Mbok Kirman kucinm J itu entah air mata s.apa y^X^ iplku. Sebab rupanya tanpa aku dan dia sudah tahu apa yang terjad, dan dia menanris � karenanya. � "Restui dan doakan kami berdua ya, Mbok." pintaku dengan suara memohon. "Restui Wulan ya, Pak Man? Jangan memperlakukan kami seperti Bapak dan Ibu memperlakukan kami." � "Itu pasti. Tetapi jangan langkahi kami," Pak Kirman menatapku dengan penuh rasa kasih. "Kabari kami kapan harinya. Den Wulan harus ingat itu." � "Masa calon mertua memanggilku 'Den'!" Aku tertawa di antara deraian air mataku. � "Bapak dan Simbok tidak perlu merasa khawatir. Kami yakin, jalan yang kami tempuh ini benar," Eko menyambung. "Kami saling mencintai dan ingin membentuk keluarga yang bahagia seperti keluarga Bapak dan Simbok selama ini. Jadi seperti apa yang Jeng Wulan pinta tadi, doakan dan restuilah kami." � Pak Kirman mulai meneteskan air matanya. � 'Tanpa diminta pun kami akan mendoakan dan merestui kalian." Dia berkata sambil memeluk kami berdua ganti-berganti. Aku berharap. mudah-mudah tidak ada orang lewat yang mempcrhatikan adegan di bawah pohon ini. � Setelah Mbok Kirman juga memeluk dan mencium kami, perempuan itu mengulurkan sebuah � bungkusan ,
� "Simbok membuat makanan un.uk bokal d. jalan. � Ada juadah dengan tempe bacemny*. Ada gethuk ubf Ada Pisang rebus yang baru saja matang. Ada Ziping singkong. Makanan desa tetap. bergiz,." Mbok Kirman tersenyum mesk.pun matanya mas.h � basah. "Bawalah." � Apa yang dilakukan oleh Pak Kirman dan istn-nya itu seperti seteguk air di saat orang kehausan di padang pasir. Hatiku merasa lebih mantap untuk te tap ada di sisi Eko. Namun begitu, aku masih ingin men getahui ke mana aku akan diajak pergi oleh laki-laki y ang kucintai itu. � "Kita akan pergi ke mana, Mas?" tanyaku setelah kami berada di jalan raya kembali. � "Ke Solo. Ke rumah paklikku, adik Bapak yang punya usaha batik." Eko menjawab tanpa menoleh. Aku tahu. dia tidak ingin aku melihat air matanya. "Aku ingin menitipkanmu di sana." "Lalu?" � "Apa pun yang terjadi kemarin malam kita belum menjadi suami-istri, Sayang. Kita tidak bisa tinggal di satu tempat bersama-sama Aku harus menghormati itu. Jadi begitu kau kuserahkan kepada mereka, aku akan pergi dulu selama beberapa waktu untuk melihat dan mengurus tempat di mana kita nanti akan memulai hidup kita." "Di mana itu, Mas?" � "Di daerah Batu, Malang. Aku telah membeli tanah d. sana melalui bantuan Seno dan Ragil. ^ayang aku ingin menjadi petani apel. Dan kau � ini , Ja dnk0ta Ma,an* ka,au ^u memang 'ngin mengamalkan ilmumu " � ,Aku akan menjadi dosen. Dan di suatu w--i, nanti, akan melanjutkan stud.ku kalau Zse2r � 'T T r.Man kau,akukan' *, � Asalkan aku boleh tetap mencintaimu dan kau tetap mencintaiku." KdU � * Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari ini aku bisa tersenyum. Hatiku mulai terasa agak ringan. Dan perjalanan menuju ke kota Solo pun terasa lebih lancar. Begitu juga perkenalanku dengan paman dan bibi Eko. Seperti Pak Kirman dan istrinya, mereka berdua juga cepat memaklumi apa yang kami lakukan setelah semua yang terjadi kami ceritakan kepada mereka dengan terus terang. Rasanya, semakin bertambah saja orang yang berada di pihak kami. � Tetapi jam lima sore, sesaat sesudah aku selesai mandi tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Ku-lihat, telepon itu datang dari rumah. Dadaku yang sudah tidak begitu terasa sesak jadi mulai berdebar-debar kembali. Cepat-cepat aku lari keluar dari kamar yang disediakan untukku, ke tempat Eko. Laki-laki itu diberi tempat dekat ruang makan. � "Mas, ada telepon dari rumah. Apakah harus kuterima?" � "Sesudah melakukan suatu keputusan yang berani, apakah kau masih merasa takut hanya karena ditelepon?" � Eko benar. Jadi telepon itu kutenma. � "Halo...?" � "Mbak, pulanglah!" Itu suara Tita. "Pulang? Kenapa?" Aku merasa bingung. � "Selama seharian ini Bapak. Ibu. aku dan Mas Danu banyak berdiskusi tentang dinmu dan Eko. Bahkan Mas Danu telah pula member, argumen-argumen yang secara objektif menempatkan kalian berdua di tempat yang semestinya. Aku juga telah menceritakan semua hal yang pernah kaucentakan kepadaku dari awal sampai peristiwa kau dan Eko sama-sama sadar bahwa temyata kalian berdua saling mencintai. Kemudian siang tadi mereka memanggil Pak dan Mbok Kirman untuk menanyakan bermacam hal termasuk apa saja rencana kalian. Mereka lalu menceritakan segala-galanya, termasuk rencana kalian berdua untuk menikah dalam waktu dekat ini dan..." � "Biar saja, Ta. Kenapa aku harus puteng?" Aku memotong perkataan Tita yang belum selesai. � "Mbak, Bapak dan Ibu mulai mencapai pemikiran bahwa kalian berdua tidak bisa disalahkan. Bahkan setelah kemarahan mereka mereda dan mampu berpikir lebih jemih, mereka mulai melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki Eko. Maka akhirnya Mbak, mereka ingin kalian berdua seeera pulang." � 'Tidak, Ta. Keputusanku sudah bulat." 'Tetapi Mbak, Bapak tidak suka melihat anak perempuannya menikah dengan cara seperti rencana � ma a im T Apilagi * lCmpal ,ain' ^ di � ZTJT ?ngan cara yang tak Je,as P",a-" � kata^n tI I ^ Ta?" Ak" memolonS W perya^ban , ?\ * *** ^P,.yai apa yang baru saja kudengar itu. "Apakah maksudmu
� papak dan Ibu telah rela melihatku menikah dengan � "Tadi Bapak dan Ibu mengatakan bahwa men* lak akan agt menghalang, percintaan^ � ^.r^J?^ T** * ^dapantm; � semua. Pak dan Mbok Kirman juga mendenga kata-kata Bapak itu. jad, Mbak Wulan, pulanalah Kawin Ian itu tidak menyenangkan..." Kudengar Tita tertawa. Tetapi juga kudengar dia terisak karena gembira. Lalu pembicaraan, kami putuskan. � "Berita apa yang baru saja kaudengar?" Eko bertanya ketika melihatku termangumangu. � "Tita meneleponku supaya kita segera pulang kembali ke Tawangmangu." � "Bagaimana menurut pendapatmu, Sayang? Kita kembali ke sana atau bagaimana?" Eko memancing pendapatku. � "Man kita bicarakan bersama. Sebab yang penting dalam hal ini bukan hanya pendapatku atau pendapatmu saja, tapi apa yang sebaiknya kita lakukan berdua setelah mengetahui perkembangan baru yang dikatakan oleh Tita tadi." � Setelah aku mendiskusikannya dengan Eko, akhimya kami berdua memutuskan untuk pulang kembali ke Tawangmangu esok paginya. Benta itu kukabarkan kepada Tita melalui telepon genggam-nya. Mendengar itu, Tita meneriakkan kegemb.raan-nya. � "Kalian berdua telah memutuskan sesuatu yang benar, Mbak. Biarkan aku bicara dengan Mas tKO "ntuk mengatakan hal yang sama!" � Demikianlah dengan persetujuan dan dorongan paman dan bibi Eko, kami kcmbal. to^ Tawan mangu begitu hari mulai bergant.. T.dak banyak yang kami bicarakan scpanjang perja anan. Hat. dan mata kami berdualah yang banyak berb.cara dengan saling melemparkan pandangan mesra dan � penuh rasa cinta. � Tiba di rumah, aku dan Eko langsung mencium tangan Bapak dan Ibu dengan berlinang air mata. Kemudian mereka berdua mengajak aku dan Eko masuk ke ruang kerja Bapak yang pintunya langsung ditutup. � "Bapak ingin tahu, apa konkretnya rencanamu?" Begitu kami sudah duduk, begitu Bapak melontar-kan pertanyaan kepadaku. "Apa konkretnya rencana kita?" Kulemparkan pertanyaan itu kepada Eko sebab tak sedikit pun aku menyangka Bapak akan secepat itu menanyakannya. Aku dan Eko belum sempat membicarakan hal-hal yang menyangkut masa depan kami sesudah terjadinya perkembangan baru ini. Menurut rencana semula, kami akan segera menikah dengan cara sederhana sekali di rumah paman dan bibi Eko. Hanya orangtua Eko dan sanak keluarganya saja yang akan menyaksikannya. Tetap. sekarang dengan perkembangan baru ini, rencana tersebut mulai berantakan. Jadi kulemparkan pertanyaan Bapak tadi kepada Eko � '.u^mX ^ ingln J3Waban � , "Pertanyaan itu kutujukan kepadamu, Wulan!" � Begitu ia berkata dengan suara tegas. Jadi , terpaksa harus menjawabnya. Jaai aku � Terus terang Wulan belum memikirkannya -sahutku dengan perasaan terpaksa. "Tetapi kalau menurut rencana semula, kami berdua akan segera menikah dalam waktu dekat ini..." � enyetujui pemikahan kami' Bapak berpandangan dengan Ibu beberapa saat � lamanya sebelum akhimya menjawab pertanyaanku � '^Mengenai pemikahan, sebaiknya kaliah berdua � jangan terlalu terburu-buru. Kato ma* � Dan kau, Wulan, kalau Bapak t.dak salah dengar. � kau pemah mengucapkan keinginan untuk me-lanju.kan studimu ke jenjang yang lebih tingg, � a%a. itu benar. Tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Wulan juga tidak mungkin melakukannya sekarang. Sebab untuk mengambil S-3, Wulan ingin lebih dulu mempraktekkan ilmu yang sudah dicapai ini. Jadi sebelum hal itu masuk ke dalam rencana hidup Wulan, Wulan akan menikah dulu..." � "Kau masih terlalu muda, Wulan..." Ibu menyela. Tetapi seperti tadi. aku ganti menyela pembicaraan orang. � "Umur dua puluh lima hampir dua puluh enam tahun sudah bukan gadis muda belia lagi, Ibu." � "Ya. Tetapi tidak inginkah kau studi di luar negeri?" Bapak ganti menyela. "Bapak mempunyai brosur-brosur mengenai itu. Ada yang di Amerika, Eropa, dan Australia. Ada banyak hal yang bisa dipelajari di sana." � "Wulan akan mempelajari dan memperti mbang-kannya besok. Sekarang. Izinkanlah kami berdu a benstirahat. Wulan letih sekali..." Sekarang aku bukan hanya memenggal perkataan orangtuaku saja, tetapi j uga menghentikannya.
� J5t ^ ,bu,teipaksa meWgukkan kepala ZZZT! Wbenar tam^ 'etih lahir la kam k k, remUan ilu P!" bubar, � Aku mempunyai firasat bahwa Bapak dan Ibu � maSih mengulur waktu untuk memberi izin p,da rencana permkahan lata, Mas!" Beghu kfi kepadanya. � -Aku mempunyai firasat yang sama. Dan Mbak Tita terlalu gembira untuk bisa menangkan ana yang telah kita tangkap ini." � "Kelihatannya begitu. Jadi kita harus bagaimana?" � "Jangan-jangan rencana yang paling awallah yang harus kita tempuh!" "Rencana apa?" � "Aku akan meninggalkan Tawangmangu tanpa � dirimu..." � "Tidak." Lekas-lekas perkataan Eko kupotong. "Ke mana pun kau pergi, aku akan ikut bersama-mu. Kecuali kalau aku mati!" � "Jeng Wulan!" � "Aku memang tidak bisa hidup tanpa dirimu. � Mas." � "Begitu pun aku, kau tahu itu. Tetapi kematian bukanlah penyelesaian yang baik. Sayang, jangan membuat hatiku jadi perih begini..." � "Lalu apa yang harus kulakukan. Aku ingin sekali kau malam ini datang lagi ke sini... � 'Tidak, Sayang. Kalau sampai to^^J^ semuanya. Penghargaan yang memang sudah udak seberapa atas diriku ini akan hancur tak tersisa � lagi!" � "Jadi...?" � "Bersabarlah. Kita lam waktu satu minggu ini. � tunggu perkembangannya daTetapi selama satu minggu ini. pemb.caraan ke arah pLkahanku dengan Eko tak pernah muncul di tengafa keluarga kami. Bahkan _n.esk.pun Mas Danu dan Tita telah menyindir-ny.nd.r sekahpun, Bapak dan Ibu tetap lidak bereaks. apa pun. Dan kalaupun Eko sering datang mcnjemputku untuk sekadar pergi bersama ke tempat yang sep., jauh dari orang lain, sikap kedua orangtuaku, terutama Bapak. tidak tampak gembira. � Sungguh beruntung setelah semua orang di rumah tahu mengenai hubunganku dengan Eko mereka semua mendukungku dan menyetujui hubunganku seratus persen, kecuali orangtuaku tentu saja. Dan hikmah itulah yang kudapatkan sore itu. Yu Rapiah menyelipkan selembar kertas terlipat ke tanganku waktu aku sedang mencari minuman ke dapur. � "Baca di kamar. Den." Dia berbisik pelan di sisj telingaku. � Temyata surat itu dari Mbok Kirman. Dengan terburu-buru tanpa sepengetahuan Eko, dia mengatakan bahwa Eko akan meninggalkan Tawangmangu petang ini. Sebab katanya, dia semakin sadar bahwa kedua orangtuaku belum bisa me-nenmanya sebagai menantu. Dan dia tidak ingin 7* keluargaku dengan persoalan yang nad^ZTleSa'annya ini' Lalu Ek, juga titip nukkTL ""h" "'^ meny-PaikanJpe8s anny mln^^r Sdalu ^n � melihatku hip berbran T PU" S3mpai kclak � ?- - A^tsrsiain � Selesai membaca sural itu, aku \*nn Jngambil koper dan seperti semin^u kumasukkan harta milikku yang paling berharga ke dalam kotak itu. Han sudah hampir petan, Aloi tidak ingin ditinggal Eko. � Dan juga persis seperti seminggu yang lalu. aku juga keluar membawa kope,r jalanku dan ter-hadang oleh kedua orangtuaku. Di situ juga ada Mas Danu dan Tita yang sedang menonton televisi. � "Mau ke mana?" tanya Bapak. � "Mau ke rumah Eko. Mudah-mudahan Wulan masih bisa mengejarnya." Aku menjawab pasti. Berbeda dengan seminggu yang lalu, tidak ada lagi air mataku. "Wulan mendapat berita dari seseorang yang bisa dipercaya bahwa petang ini dia akan meninggalkan Tawangmangu dengan diam-diam demi keutuhan keluarga ini. Tetapi dia tidak tahu, kepergiannya tanpa Wulan justru akan meng-hancurkan keluarga ini lebih cepat daripada yang dia duga. Sebab seandainya Wulan tidak bisa me-ngejar kepergiannya, Wulan tetap akan pergi juga dari rumah ini entah ke mana pun kaki im akan membawa Wulan pergi." . � Lalu tanpa mendengar bantahan apa pun dan mereka, aku langsung pergi ke rumah Eka Ma Danu mengambil inisiatif untuk nW^Si Dia sungguh seorang kakak yang sangat penuh
� perhatian. ketika me. � "Pergilah bersama Eko. katanya nurunkan aku di depan rumah Pak Mrma � Eko masih di sana sehingga hatiku menjad lega. "Asalkan kalian berdua tidak melakukan hal yang gila-gilaan, aku akan mencoba melenturkan hati Bapak. Percayakan masalah ini kepadaku!" � Tanpa banyak bicara, akhirnya aku pamit lagi kcpada Mas Danu, kepada Pak dan Mbok Kirman, dan minia doa reslu mereka. Tetapi ketika mobil kami bam sampai di Karanganyar, Tita menelepon kami lagi. � "Segala sesuatunya sudah beres, Mbak. Mas Danu telah berhasil meyakinkan Bapak dan Ibu bahwa tekad kalian berdua untuk menyatukan cinta kasih kalian ke dalam wadah perkawinan tak bisa ditentang oleh siapa pun. Pulanglah kembali ke Tawangmangu." � Eko menanggapi beriia itu dengan tenang sambil tersenyum kecut. � "Kalau ternyaia yang dikatakan oleh Mbak Tita tidak benar, kita masih bisa lari lagi kok, Sayang. Dan kaiau nanii ada telepon yang mengatakan benta gemb.ra lagi, kita tidak akan kembali, tetapi akan terus melaju sampai ke Malang." � Aku tersenyum dan kubiarkan Eko memutar kcmbal, mobilnya ke arah kami pergi Cadi. Ketika moWI memasuk, Tawangmangu kembali seteiah menempuh perjalanan yang menanjak dan berlikug metrn rbUnyJ ,agi" Ti,a ^neleponku iagi melalui telepon genggamnya. � ^udah sampai di mana, Mbak?" u' depan pasar." "Sebentar lagi sampai, kalau begitu." � -Ya, betul. Apakah kau mau mp paran karpet merah untuk kam, bcnKr ^ � Memang bukan hamparan karpet merah yanR rnenyarnbut kehadiian kami berdua di rumah orano tuaku. Tetapi di teras, berdiri semua orang vane Icusayangi. Bapak, Ibu, Mas Danu, Tita, dan jJ, Pak Kirman dan istrinya. Dan di belakang mereka Yu Rapiah dan Mbok Sumi tersenyum lebar dengan mata basah. � Dan lebih dari itu ketika aku turun dari mobil dan dipeluk oleh Ibu dan Bapak dengan pancaran damai dari wajah mereka berdua, angin gunung yang mengirimkan harum kemuning membelai selu-ruh tubuhku dengan penuh kasih sayang. Peristiwaperistiwa penting dalam hidupku, selalu saja ber-tepatan dengan mekarnya kemuning di halaman rumah kami dan menyentuhkan perasaan khusus dalam sanubariku.... � Malam harinya ketika badai di hatiku telah berlalu dan aku sudah kembali ke kamarku, ku-buka jendela kamarku lebar-iebar untuk menghirup aroma udara pegunungan berbau kemuning yang sangat kucintai itu. Besok pagi-pagi sekali Eko akan berangkat ke Batu, Malang, untuk menyiap-kan segala sesuatunya bagi kehidupan kam. bersama nanti. Mas Danu akan ikut bersamanya. Kakak lelakiku itu tertarik untuk .kut meng-investasikan uangnya di sana, dan aku sangat gembira mengetahuinya. Ternyata, dia juga 5udah � ingin menikah dengan .teman sekantornya tak lama lagi � "dengan perasaan haru. kutatap langit malam di rlan^mangu. Bulan perak yang tersembunyi TtSVZ -la! menyembulkan dirinya. Sementara harum kemuning semakin mengambang di udara sekitarku. Akan kutelepon Mas Eko nanti malam sebelum aku tidur. Akan kukirimkan pada-nya ciuman cintaku dan akan kuminta padanya untuk menanamkan kemuning di Batu sana, untukku. Selesai sumber baca online: http://cerita-silat.mywapblog.com http://duniacerita.yu.tl