KEMATIAN WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO)? (KISAH SUKSES MENKES ‘SUPER POWER’ MENGALAHKAN KONSPIRASI JAHAT WHO DAN AMERIKA SERIKAT) Disampaikan Pada Bedah Buku Nasional Universitas Sebelas Maret Tanggal 24 Maret 2008 Oleh : ADI SULISTIYONO♠ Menkes RI memang pantas mendapat gelar kehormatan dari Bangsa Indonesia. Pada era dimana banyak para dokter lebih asyik bekerjasama dengan Perusahaan Farmasi untuk berlomba-lomba mengumpulkan ‘rezeki’, Menteri Kesehatan, DR.Dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP (K), di tengah kegiatannya yang super sibuk masih menyempatkan menulis buku yang mampu ‘membetot’ perhatian kalangan intelektual dunia, membangkitkan semangat nasionalisme para pembaca, dan berhasil membuat WHO dan Amerika Serikat tidak berkutik karena ‘kejahatannya’ terekspose secara luas. Buku yang disusun berdasar catatan harian Menkes diberi judul “SAATNYA DUNIA BERUBAH: TANGAN TUHAN DI BALIK VIRUS FLU BURUNG”. Dilihat dari tampilan sampulnya sebenarnya bukan tergolong buku yang eye catching. Melihat judul bukunya, masyarakat Indonesia, yang tidak sempat mengikuti hebohnya buku Menkes di internet maupun media massa, melihat buku tersebut mungkin langsung membayangkan penderitaan orang-orang terkena virus flu burung dan kesedihan keluarga yang kehilangan Bapak/Istri/Anaknya. Kekuatan dan daya tarik Buku Saatnya Dunia Berubah (SDB) sudah mulai dirasakan ketika pertama membuka halaman depan, pembaca langsung disuguhi komentar tokohtokoh yang memberi apresiasi terhadap isi buku, dan kata sambutan Presiden RI, Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, yang memberi apresiasi dan ikut mendukung perjuangan Menkes RI. Membaca komentar dan sambutan tersebut, sudah mampu merubah kesan awal tentang judul buku SDB yang ditangkap pembaca dan berhasil merangsang kelenjar adrenalin pembacanya (yang punya jiwa nasionalis) sehingga termotivasi untuk mengikuti lebih lanjut isi buku SDB. Dari daftar pustaka yang dijadikan acuan, terlihat ada buku Cindy Adam: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat; Muhsin Labib: Ahmadinejad: David di Tengah Angkara Goliath Dunia; Paul Ormerod: Menuju Ilmu Ekonomi Baru, Matinya Ilmu Ekonomi; Soekarno: Di Bawah Bendera Revolusi. Bacaan buku-buku tersebut menandakan kalau dalam diri penulisnya telah ‘mengeram’ jiwa nasionalis dan anti neo-kolonialisme, serta berpihak dan mengidolakan tokoh-tokoh yang berani menentang hegemoni ketidak adilan, seperti Bung Karno. Sehingga tidak mengherankan kalau Penulis Buku SDB menyebut nama Bung Karno sampai berkalikali dalam bukunya (lihat misalnya dalam hal. 8, 12, 33, 108, 109, 150, 151) dan merasa kagum pada tokoh perjuangan Iran, Imam Khomeini (h.109). Buku Paul Ormerod ♠
Prof.Dr. Adi Sulistiyono,SH.MH. Pembantu Rektor Bidang Pengembangan, Perencanaan, dan Kerjasama, UNS Solo.
nampaknya juga menjadi salah satu buku yang ikut menghilhami penulis Buku SDB untuk secara provokatif menyerang kemapanan WHO. Buku Ormerod juga mengilhami saya ketika menulis artikel “Kematian Positivisme dalam Ilmu Hukum?” pada tahun 2000-an. Juga mengilhami ketika membuat judul yang provokatif untuk bedah buku “Kematian World Health Organization (WHO)?”. Karena saya menganggap setelah Ibu Siti Fadilah Supari mengungkap kejahatan WHO dalam mengatur mekanisme virus sharing, organisasi internasional yang selama ini dikenal dengan misi kemanusian yang begitu mulia sudah sepantasnya menanggalkan predikat tersebut, kecuali kalau mereka mau merubah diri. Hegemoni Amerika Serikat untuk menguasai, mendikte dunia, mengeksplotasi kekayaan negara-negara lain, hampir semua orang sudah tahu, apalagi di era Presiden Bush, mereka melakukan penguasaan dunia (neo-kolonialisme) melalui berbagai cara, mulai yang sangat halus dengan cara menggiring negara-negra di seluruh dunia menyepakati GATT-PU, sampai yang sangat ‘kasar’ melanggar HAM, dengan mengirim pasukan menjajah rakyat Afganistan dan Irak. Dalam kondisi negara Amerika Serikat sebagai konsumen dan produsen terbesar di dunia, hampir semua negara membiarkan ‘perilaku jahat’nya, karena kalau berani mengkritik atau melawan dapat dipastikan negara-negara tersebut akan dianggap ‘poros setan’, yang notabene darah warganya dihalalkan untuk dibunuh dan kepentingan ekonominya akan dihancurkan. Sebelumnya tidak terbayangkan kalau ada seorang perempuan yang lahir di Solo, yang sekarang diberi amanah menjadi Menteri Kesehatan RI, ternyata tidak gentar menghadapi Hegemoni Amerika Serikat di bidang virus dan vaksin. Tulisan, pidato, dan diskusinya yang terkompilasi dalam Buku SDB yang menyerang ketidaktransparan dan ketidakadilan mekanisme virus sharing telah membuat gerah WHO, dan keberaniannya mempermasalahkan virus H5N1 yang tersimpan di Los Alamos National Laboratory, di New Mexico telah membuat geram Amerika Serikat. Langkahnya untuk tidak mau mengirim virus flu burung ke WHO juga membuat organisasi dunia ini seakan kehilangan kewibawaannya. Dengan dieksposenya Buku SDB, masyarakat luas menjadi tahu akan adanya konspirasi jahat WHO dan Amerika Serikat untuk menguasai virus dan vaksin yang ada di seluruh dunia. Hal itulah yang menyebabkan David Heyman, Asistant to Director General WHO, yang selama ini melakukan tekanan dan berbagai upaya agar Menkes mau mengirim virus flu burung melalui mekanisme GISN ke WHO, terpaksa harus mengakui ketangguhan dan kemenangan loby Siti Fadilah Supari dengan menyatakan “Excellency, yang menjadi super power saat ini adalah anda sendiri.” (h. 154). Buku SDB yang disusun berdasar catatan harian Menkes, ini terurai dalam 5 (lima) Bab, yang meliputi: Luka di Hati Menyulut Nurani; Dari Jakarta ke Jenewa; InterGovermental Meeting: Saatnya Bersuara!; Perjuangan Belum Selesai; Berpikir Merdeka Merubah Paradigma. Buku ditulis dengan menggunakan gaya bahasa lugas, mengalir dan mudah dipahami. Begitu menikmati Bab pertama buku ini, tanpa sadar kita merasa diajak Menkes ikut langsung berpetualang mengungkap adanya mekanisme virus sharing yang tidak transparan dan tidak adil oleh WHO. Mekanisme virus sharing yang selama ini merupakan wilayah gelap bagi masyarakat, menjadi sangat transparan dengan terbitnya Buku SDB.
Menggugat Mekanisme Virus Sharing WHO Semenjak 50 tahun yang lalu, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus Influensa (seasonal Flu) wajib mengirim spesimen virus secara sukarela (virus sharing) pada WHO untuk kepentingan publict health. Dengan kata lain virus sharing bagi WHO artinya adalah negara yang sedang berkembang ‘nyetor’ virus gratis dan penyetor tidak boleh tahu akan diapakan virus tersebut (h. 28). Untuk kasus Flu Burung, negara-negara yang mengalami outbreak Flu Burung pada manusia “harus” menyerahkan virus H5N1 pada WHO. Virus dari orang yang meninggal karena flu burung sampelnya diambil dan dikirim ke WHO CC (Collaborating Center) dalam bentuk wild virus. WHO menyerahkan hak milik wild virus tersebut pada GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang kemudian dilakukan risk assesment, diagnosis, dan kemudian dengan teknologi tertentu dibuat seed virus. Negara-negara pengirim virus hanya “disuruh” menunggu konfirmasi diagnosis dari virus tersebut. Setelah itu mereka tidak pernah tahu perjalanan virus yang mereka kirim. Terakhir mereka hanya tahu, harus membeli vaksinnya dari negara-negara maju dengan harga mahal padahal mereka mendapatkan virus tersebut secara gratis. Dalam hal ini Perusahaan-perusahaan atau laboratorium di negara-negara maju tersebut telah bersengkongkol dengan WHO untuk membuat vaksinnya untuk dijual di seluruh negara di dunia termasuk negara penderita flu burung yang telah menyetor wild virus tersebut. Atau dengan kata lain negara miskin yang mendapat outbreak penyakit, tetapi justru negara kaya yang menikmati keuntungan (h.9, h.11, h.12, h.122). Anehnya selama 50 tahun lebih tidak ada satupun negara yang berani menggugat masalah tersebut, kondisi tersebut seperti zaman sebelum masehi ketika pengetahuan tentang matematika masih dianggap keramat dan sengaja disembunyikan untuk mempertahankan kekuasaan, tu ne quaesieris, scire nefas (jangan bertanya, pengetahuan itu bukan untuk kita). Mekanisme yang demikian dipandang dan dirasakan Ibu Siti Fadilah sebagai ketidakadilan yang membuat hatinya terluka dan menangis (h.12), karena negara-negara outbreak flu burung seperti Vietnam dan Indonesia yang telah menderita menjadi semakin menderita karena perilaku pedagang vaksin yang menjadikan nyawa manusia sebagai sebuah komoditi. Hal itulah yang melatar belakangi Ibu Siti Fadilah Supari melakukan perlawanan untuk menuntut mekanisme virus sharing yang transparan dan adil serta virus sharing merupakan hak kedaulatan bangsa (soveregnty right), memberikan benefit sharing bagi negara-negara pengirim virus (negara-negara berkembang), dan pengiriman virus harus dilandasi dengan penandatanganan Material Transfer Agreement. Sudah barang tentu WHO dan Amerika Serikat, yang selama 50 tahun ‘membodohi’ negara-negara miskin dan berkembang untuk mendapatkan keuntungan dari ‘skandal’ virus, tidak setuju dan menentang keras gagasan Menkes RI tersebut. Pada saat itulah genderang ‘perang’ antara WHO dengan Menkes RI mulai dikumandangkan. Pada saat mengikuti perang diplomasi dan loby yang ekspresif, keras, dan panas inilah yang membuat kita bisa terhanyut dan tidak mau menghentikan membaca Buku SDB, seperti pada waktu kecil ketika kita membaca komiknya Kho Ping Hoo. WHO menggunakan berbagai cara untuk melunakan dan meluluhkan hati Ibu Siti Fadilah Supari, mulai dari tawaran David Heyman (assistant to Director General WHO yang
mengurus Flu Burung) akan memberikan kebutuhan dana dan bantuan teknis asal Indonesia menyetujui dan mengikuti mekanisme GISN dalam mengumpulkan virus H5N1 (h.31). Dalam pertemuan kedua, David Heyman mengatakan: kalau anda mau mengirim kembali virus-virus tersebut tanpa syarat, anda akan kami bantu dalam capacity building. Laboratorium anda akan kami jadikan reff lab. Dan apapun kebutuhan anda yang lain semuanya kami akan penuhi (h. 40). Loby masih berlanjut, delegasi Singapura di bawah pimpinan Balaji membawa misi khusus dari DG WHO untuk melakukan pendekatan, agar Menkes RI mundur dari tuntutannya, dan menerima paksaan Amerika Serikat dalam menyerahkan virus H5N1 ke WHO secara tanpa syarat. Kompensasi apapun yang dibutuhkan akan dipenuhi (h.125). Rayuan memberikan bantuan dari utusan WHO ternyata belum mampu meluluhkan ketegasan hati Ibu Siti Fadilah Supari, putri Solo yang menjadi dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Pada tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mengawali ketransparan data sequencing DNA virus H5NI dengan cara mengirim data yang tadinya hanya disimpan di WHO, dikirim juga “Gene Bank”. Tindakan ini sangat membahagiakan seluruh ilmuwan di dunia (h. 18). Selanjutnya pada awal 2007, Menkes RI mengambil putusan tidak akan mengirim virus H5 N1 lagi ke WHO CC. Sejarah juga mencatat fenomena pertama di dunia bahwa negara penderita Flu Burung yang mengirimkan virus diakui haknya sebagai pemilik virus dengan strain tertentu oleh perusahaan pembuat vaksin di negara maju (h.29). Pada akhirnya, Presiden WHA ke-60, Ms.Jane Halton, menyampaikan penghargaan atas kepemimpinan Menteri Kesehatan RI, terutama dalam upaya membangun mekanisme virus sharing yang transparan dan adil serta memberikan benefit sharing bagi negara-negara berkembang (h. 68). Kemenangan menteri kesehatan Indonesia tersebut berlanjut, dengan disetujui usulan Indonesia tentang perombakan prosedur sharing virus dalam Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHAWorld Healt Assembly). Kisah sukses Menteri Kesehatan RI yang telah berhasil melakukan revolusi sistem virus sharing melalui mekanisme GISN yang selama ini dikuasai WHO dan Amerika Serikat nampaknya menambah daya tarik tersendiri orangorang ingin membeli Buku SDB.
Membongkar Peran Amerika Serikat Selain dari beberapa kekuatan yang diungkap di depan, daya tarik yang lain dari Buku SDB adalah diungkapnya keterlibatan Amerika Serikat dalam penguasaan virus yang telah diserahkan pada WHO. Informasi yang diungkap secara gamblang tersebut telah membuka wawasan pembaca bahwa WHO sebenarnya kepanjangan tangan Amerika Serikat dalam melakukan praktik neo-kolonialisme untuk menguras devisa negara-negara berkembang (negara-negara miskin) melalui penjualan vaksin. Di samping itu berdasar TOR guideline yang dibuat oleh Advisory Board WHO pada bulan Maret 2005 sebenarnya mekanisme virus sharing seharusnya menggunakan semacam Material Transfer Agreement dari negara yang mengirim virus, sebagai tanda bahwa segala sesuatu yang akan dikerjakan terhadap virus tersebut harus seijin negara pemilik virus. Namun yang terjadi sekretariat WHO telah melakukan ‘kejahatan’ dengan sengaja menghapus guideline tsb, sehingga dalam periode 5 Maret 2005 sampai 18
April 2007 WHO CC dengan berlindung dibalik GISN, WHO tidak mengetrapkan MTA. (h.60) Virus dari affected countries dikirim oleh WHO melalui mekanisme GISN ternyata tanpa sepengetahuan negara-negara pengirim virus di kirim ke Los Alamos National Laboratory yang berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Sebuah laboratorium tempat riset dan pembuatan senjata kimia di USA, dan tempat dirancangnya Bom Atom (h.17). Hal inilah yang dianggap sebagai skandal oleh Menkes. Namun sejak Menkes RI menuntut data virus H5NI Tanah Karo, laboratorium Los Alamos ditutup dan penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke GISAID dan Bio Health Security (BHS- suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat). Hal inilah yang merupakan informasi penting pada pembaca tentang adanya konspirasi WHO dengan Amerika Serikat untuk menguasai seluruh virus dan vaksin yang ada di dunia. Peran Amerika Serikat semakin jelas dengan diutusnya John Lange (Ambassador Khusus dari Amerika Serikat) dan David Hohman (Ambassador Amerika Serikat untuk PBB) untuk melakukan pertemuan dengan Menkes RI secara resmi. Melalui suatu negosiasi yang sangat panas, mereka berusaha keras memaksa Menkes RI agar menyerahkan virus H5N1 dengan mekanisme GISN, dan tidak lupa menyebut bantuan yang telah diberikan Amerika Serikat pada pemerintah Indonesia. (h.119- h.123) WHO selama ini dikenal sebagai suatu organisasi global dengan misi kemanusiaan dan bertugas mensejahterakan umat manusia di penjuru dunia, ternyata dengan terbitnya buku SDB, semua mata pembaca menjadi terbuka dan mengetahui adanya konspirasi jahat antara WHO dengan Amerika Serikat dan perusahaan industri pembuat vaksin dari negara-negara maju untuk memperdagangkan vaksin tersebut pada negara-negara pengirim virus yang rakyatnya sedang menderita (h. 11 dan h.12). Menarik disimak pernyataan Menkes RI dalam SDB, “Uh, dasar kapitalisme tolol membodohi bangsa yang tidak tahu, bangsa yang bodoh dan terbelakang bukan berarti menjadi sumber pendapatan bagi bangsa yang maju. Ilmu pengetahuan yang maju bukan untuk menipu bangsa yang belum maju. Ilmu pengetahuan yang maju hendaknya untuk kesejahteraan umat manusia, bukan untuk menjajah umat manusia yang tidak berdaya...”(h. 117). Saya jadi teringat keluh kesah Albert Einstein di hadapan mahasiswa California Institute of Technology, “ Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Penutup Allah SWT menganjurkan umat manusia senantiasa belajar dan berpikir, Newton menemukan teorinya setelah mengamati buah Apel yang jatuh ke tanah. Galileo mendemontrasikan penelitiannya dengan menjatuhkan dua benda yang berbeda beratnya
dari Menara Pisa. Hasilnya, benda-benda tanpa melihat beratnya, ternyata jatuh ke tanah dengan waktu yang sama. Sehingga meruntuhkan teori Aristoteles, yang menyatakan bahwa benda yang lebih berat akan jatuh ke tanah dengan lebih cepat. Di Indonesia, penyakit Flu Burung yang melanda masyarakat telah telah membuat Menkes, DR.Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K), berpikir keras untuk mengatasinya. Rangkuman hasilnya terkompilasi dalam Buku “Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” Saya mempunyai keyakinan hampir semua warga negara Indonesia yang membaca buku ini akan merasa bangga dengan prestasi dunia yang telah dicapai oleh Menkes, Siti Fadilah Supari. Buku SDB telah mampu menyihir pembaca sehingga seakan-akan terlibat ikut mendampingi perjuangan Menkes yang sedang melakukan diplomasi tingkat tinggi secara lugas, tegas, tidak mudah goyah, dan menjujung harga diri bangsa. Buku SDB akan senantiasa disimpan di tempat terhormat oleh para pembacanya karena telah mampu membangkitkan kebanggaan menjadi warga negara Indonesia. Membaca Buku SDB seperti saya sedang membaca novel “ Ayat-ayat Cinta” mengalir terus tanpa ada keinginan untuk berhenti. Namun demikian, karena Buku SDB diangkat dari catatan harian, yang disamping merupakan rangkaian aktifitas kegiatan juga ada yang merupakan curahan perasaan penulisnya, oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian agar tidak menimbulkan beberapa kesulitan dikemudian hari, misalnya adanya pernyataan “Percaya atau tidak percaya, adanya pembatalan pesawat British Airways kemarin adalah upaya sabotase, supaya saya tidak bisa memberikan pengarahan kepada kelompok pendukung saya. Dan selanjutnya agar saya tidak bisa membacakan pidato saya.”(h.112). Pernyataan tersebut dikuatirkan bisa menimbulkan ‘masalah’ bila tidak ada bukti-bukti yang mendukung adanya aktifitas ‘sabotase’. Mungkin lebih aman apabila diberi tanda ‘?’ setelah kata “sabotase” seperti yang terurai dalam halaman 11, “Diapakan virus tersebut, dikirim kemanakah virus tersebut, dan apakah akan dibuat vaksin atau bahkan jangan-jangan akan diproses menjadi senjata bilogi (?).”