1
KEMATIAN SUBYEK MENURUT PEMIKIRAN FREDRIC JAMESON DALAM PASAR SENI RUPA INDONESIA Belina Rosellini, S.Hum. dan Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi Program Studi Ilmu Filsafat Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Suasana yang dibentuk oleh pasar seni rupa Indonesia mengakibatkan munculnya permasalahan subyektifitas. Empat pelaku utama dalam pasar seni rupa yaitu seniman, kolektor, pihak galeri dan pihak balai lelang, Penulis menganggap keempatnya tidak berjalan pada jalur yang seharusnya sehingga hubungan antara sebuah karya seni dengan penikmat dan bahkan seniman yang membuatnya menjadi berjarak. Lewat analisa historisitas yang dibangun Fredric Jameson, tulisan ini memperlihatkan hubungan antara subyek yang tidak berhasil membangun narasi historis dengan sistem pada pasar seni rupa Indonesia yang menciptakan seniman tanpa identitas personal dalam karyanya, munculnya konsumenkonsumen schizophrenic yang memiliki lukisan hanya karena hasrat, serta pihak galeri dan rumah lelang yang terjebak arus kapitalisme. Kondisi ini membuat produk estetis berubah menjadi produk komoditas. . Kata kunci: Pasar Seni Rupa Indonesia, Fredric Jameson, Subyek, Historisitas, Konsumen Schizophrenic, Kapitalisme, Produk Estetis, Produk Komoditas
The Death of Subject According Fredric Jameson Thoughts in Indonesian Art Market Abstract Atmosphere created by the Indonesian art market result in the emergence of the problem of subjectivity. The four main actors in the art market are artists, collectors, galleries and the auction side. The authors consider that the four main actors are not running on the track so that the relationship between a work of art with the audience and even the artist who made it is. Through analysis of the historicity by Fredric Jameson, this paper shows the relationship between the subjects who failed to build a historical narrative with the system on the Indonesian art market that creates an artist without a personal identity in them works, the emergence of schizophrenic consumers who have a painting just because it desires, as well as the galleries and auction houses are stuck in currents capitalism. These conditions make the product aesthetically turned into a commodity product. Keywords: Indonesian Art Market, Fredric Jameson, Subject, Historicity, Consumer Schizophrenic, Capitalism, Aesthetic Products, Commodity Products
Pendahuluan Permasalahan tentang subyek telah hadir sejak jaman Filsafat Yunani Kuno dan konsep tentang subyek terus berubah sepanjang jaman. Awalnya, Filsafat Yunani Kuno membuat pemikiran manusia menyingkirkan mitos dan menaruh logos sebagai sentral kehidupan dan lalu tumbuhlah berbagai ilmu pengetahuan. Posisi
logos lalu diganti oleh dogma Tuhan di masa Filsafat Abad pertengahan, otoritas subyek dipegang oleh kekuasaan institusi agama yang merujuk pada kekuasaan Tuhan . Dogma kuasa Tuhan lambat laun hilang karena digencar oleh subyek yang mulai sadar akan pemikirannya. Filsafat Modern berhasil masuk
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
2
dan menempatkan subyek sebagai sentral kehidupan. Lewat Rene Descartes muncullah subyek cogito, subyek yang memiliki eksistensi lewat pemikiranpemikirannya. Subyek menjadi utuh dan tunggal dan seketika manusia dengan rasionya menjadi pusat dalam realitas. Namun, di puncak era modern subyek ditelan oleh kapitalisme. Paham kapital membuat subyek ditentukan realitasnya oleh produk-produk materi. Kapitalisme lalu digantikan oleh bahasa. Ferdinand de Saussure mengatakan bahasa merupakan sistem pertandaan yang mengikat subyek di dalam sebuah struktur. Ketika manusia berbahasa maka ia dikendalikan oleh bahasa itu sendiri. Michel Foucault menambahkan pernyataan ini dengan mengatakan bahwa subyek sebenarnya tidak pernah menjadi subyek, ia hanya menjadi obyek dari kekuasaan, maka ia tidak pernah menjadi subyek yang utuh. Pemikiran diatas menjadi tanda masuknya Filsafat Posmodern dimana otoritas subyek seketika dihancurkan. Subyek disebut telah mati karena tidak lagi menempati poros tengah kehidupan, subyek digilas oleh bahasa dan kapitalisme. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah pemikiran posmodern telah membuat subyek benar-benar mati seperti yang digaungkan selama ini?
Baru tahun 1998 berimbas pada krisis ekonomi di Indonesia. Para Investor saat itu ini berkeliling pameran seni rupa di luar negeri untuk mengumpulkan dan membeli kembali karya-karya seniman lokal yang dulunya tak ditengok di dalam negeri tapi dihargai mahal di luar negeri. Investor yang seperti ini selanjutnya penulis sebut dengan kolektor social climbers. Pasar seni rupa selanjutnya harus melayani permintaan yang melonjak tinggi dari para kolektor social climbers.
Dalam ranah seni sendiri, era modern dan posmodern juga menghadirkan problematika subyektifitas. Karya seni di era modern menampilkan subyek yang utuh yaitu subyek yang bebas berkarya dan sangat orisinal ketika mencipta sebuah karya seni. Dikotomis tentang high art dan low art pun ditampilkan di era ini. Di sisi lain, posmodern disangka telah menghilangkan kebebasan berkarya itu dengan mereproduksi karya seni di era modern sehingga tidak ditemukan subyek yang sungguh-sungguh mencipta. Namun, ketika kita melihat lebih jauh, posmodern juga telah berhasil mengangkat low art sebagai sub-ordinat di era modern menjadi hidup dan bergeliat di masa posmodern dan merubah sudut pandang kita ketika melihat sebuah karya seni sampai hari ini.
Selain itu, seorang seniman yang idealnya melewati fase ruang uji publik atau pameran untuk menunjukan reputasi dan kualitas karya seni yang dimilikinya namun kebanyakan seniman lukis sangat butuh uang dan mereka dihadapkan pada kolektor social climbers yang haus akan lukisan. Dalam artikel Kompas (30/10) “Seni menggoreng lukisan”, Edwin Rahardjo menyebut nilai sebuah karya terpulang pada reputasi dan kualitas estetika seorang seniman. Reputasi dan kualitas itu harus dibangun seniman melalui ajang pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Dengan begitu harga akan terbangun secara alami. Kenyataannya, seniman tak perlu lagi pameran karena lukisannya sudah ditunggu para kolektor. Padahal patokan harga itu tumbuh secara alami berbarengan saat karya diuji di publik. Dalam artikel yang sama Eddy Prakoso mengatakan harga sebuah lukisan, tergantung dari dua hal yaitu nilai estetis dan nilai ekonomi. Keduanya pada titik tertentu akan bertemu dan beriringan menciptakan harga yang pantas untuk sebuah lukisan. Saat nilai yang satu mendominasi nilai yang lainnya maka sebuah karya seni tidak bisa dilihat sebagai karya seni yang utuh. Artinya, ketika sebuah lukisan hanya mengusung nilai estetis maka ia hanya akan menjadi lukisan yang terpajang di sebuah ruang tamu yang sepi. Namun, ketika nilai ekonomi mendominasi, yang terjadi tak ada lagi pengalaman estetis yang bisa hinggap. Maka di dalam pasar seni rupa yang ideal keberadaan nilai estetis dan nilai ekonomi mestinya berjalan beriringan tanpa medahului satu sama lain. Selain itu,.sejumlah pedagang dan pengusaha melihat lahan usaha baru dan berlomba-lomba membuka galeri seni. Di Jakarta kita akan menjumpai mantan pedagang barang antik, perancang interior, ahli fotografi, dan lain-lain membuka dan mengelola galeri. Melihat riwayatnya kita akhirnya mengerti mengapa pada umumnya galeri kita tdak memiliki bekal pengalaman ataupun bekal pendidikan yang mencukupi tentang seni lukis modern maupun seni lukis pada umumnya (Yuliman, 2001). Alhasil, galeri tidak berisi manusiamanusia yang menikmati karya seni tapi didominasi para pencari nilai ekonomi.
Hal ini menarik bagi penulis karena permasalahan subyektifitas ini ternyata tergambarkan di dalam kondisi pasar seni rupa Indonesia saat ini. Pasar seni rupa Indonesia bergejolak ketika keruntuhan era Orde
Tidak berjalannya empat pelaku pasar seni rupa (seniman, kolektor, galeri dan balai lelang) sesuai track-nya pada saat ini di Indonesia, akhirnya membuat penulis merasakan ada permasalahan pada
Kenyataannya kita akan melihat bahwa subyek yang disangka telah mati di era posmodern ternyata tidak sesungguhnya telah mati. Ia berubah dari subyek yang dianggap utuh di era modern menjadi subyek yang tidak utuh namun berhasil hidup secara partikular. Kapitalisme misalnya yang menjadi poros kehidupan tidak lagi secara absolut menguasai subyek. Subyek biarpun tidak dominan ia tetap bisa hidup, subyek tidak hanya hidup ia juga saling menghidupi diantara subyek-subyek lain di dalam sistem.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
3
sistem pasar seni rupa di Indonesia karena keterasingan yang terjadi antara seniman dan penikmat seni dengan karyanya. Keberadaan kolektor social climbers, pihak galeri amatir, manipulasi harga dibalai lelang dan seniman yang tidak butuh pameran serta membuat karya sesuai pesanan kolektor menjadi kondisi yang terlihat di pasar seni rupa Indonesia. Yang terjadi saat ini , seni rupa sebagai obyek estetis menjadi asing untuk penikmat dan seniman yang membuatnya. Tak ada pengalaman estetis yang hinggap dan kenikmatan artistik yang datang. Subyek sebagai pemirsa semakin mengambil jarak dengan obyek estetis, ia memerlukan waktu yang semakin banyak untuk mengatasi jarak ini. Hal ini karena obyek estetis tak lagi bicara secara manusiawi atau bicara dengan bahasa yang tidak akrab kepada seniman dan penikmatnya. Penulis melihat ada posisi subyek yang direduksi oleh sistem kapital di wadah pasar seni rupa Indonesia. Kecepatan informasi dan berkembangnya media massa karena globalisasi di awal abad 20 atau saat kapitalisme akhir sangat besar pengaruhya. Televisi, radio, film dan iklan merenggut alam bawah sadar manuasia untuk terus merasa ketergantungan terhadap produk-produk kapitalis,sehingga karya-karya seni yang muncul adalah bentuk karya yang tidak memiliki keunikan gaya. Hal ini menggelitik pemikiran seorang Filsuf Amerika Fredric Jameson untuk merunut akar masalah kapitalisme akhir dengan melacak kemungkinan kondisi historisnya. Jameson yang seorang Post-Marxis sekaligus Posmodernis berhasil menggambarkan analisis masa lalu sehingga penulis memilih pemikiran-pemikiran Jameson untuk membedah yang subyek-subyek di pasar seni rupa Indonesia. Kematian subyek yang diusung Jameson sebagai seorang posmodernis tidak serta merta secara penuh menghilangkan subyek itu sendiri. Ia dengan pemikirannya juga masih percaya bahwa subyek masih bisa melakukan suatu usaha untuk menumbuhkan kembali otonominya di tengah kencangnya gencaran anggapan bahwa subyek sudah mati. Penulis pikir penting untuk melihat korelasi dan mengkritisi kembali perihal kematian subyek yang dikonsepkan oleh Jameson dan bagaimana ia berusaha menghidupkan kembali subyek-subyek ini.
Kerangka Teori Teori yang digunakan di dalam tulisan ini akan berkutat pada pemikiran Fredric Jameson tentang subyek tanpa historisitas yang dibentuk di era posmodern. Fredric Jameson adalah seorang filsuf asal Amerika Serikat yang lahir 14 April 1934 di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Ia kuliah di
Haveford College pada tahun 1954. Ia belajar perkembangan filsafat dan strukturalisme di tahun 1950-an langsung dari Eropa ketika memutuskan pergi ke Aix-en Provence, Munich, dan Berlin. Tahun 1960, Jameson kembali ke Amerika untuk melanjutkan studi doktoralnya di Yale University dengan disertasi berjudul Satre : The Origin of Style di bawah bimbingan seorang filologi Jerman, Erich Auerbach. Perkenalan Jameson dengan Kapitalisme dimulai dari ketertarikannya pada tokoh eksistensialis Prancis Jean Paul Satre yang kemudian sangat berpengaruh kepada pemikirannya. Pola pikir Satre tentang formasi marxisme secara teoritis dan politis sangat tergambar pada pemikiran Jameson. Biarpun Karl Marx sebagai penggagas paham tersebut sangat terkenal dalam ilmu sosial di Amerika, namun sebagian besar pengaruhnya di Amerika datang dari para intelektual Eropa yang sedang mencari perlindungan dari Perang Dunia II. Jameson muncul dan menganalisis problem kapitalisme di akhir tahun 1950-an dan di awal 1960an dimana kritik kaum Marxisme Barat belum hangat di kalangan akademisi Amerika. Penelitian Jameson tentang kritik terhadap kapitalisme dijejali oleh pemikiran-pemikiran para punggawa Mazhab Frankfurt seperti Kenneth Burke, György Lukacs, Ernst Bloch, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Louis Althusser, dan Sartre. Mereka semua menganggap kritik sosial dan budaya sebagai fitur integral dari teori Marxisme. Era modern membagi seni menjadi dua yaitu seni tinggi (high art) dan seni rendah (low art), hal ini memperlihatkan bagaimana kaum borjuis menempatkan selera mereka pada bentuk-bentuk seni tinggi dan membuat jurang pemisah terhadap kaum proletar. Menurut Pierre Bourdieu kebutuhan budaya seperti memiliki karya seni dilatar belakangi kelas sosial karena dilatih dari pendidikan (Bourdieu, 1984, p. 5). Karya seni di era modern dipenuhi dengan karya yang kaya akan ekspresi individual dan orisinalitas. Posmodern menghantamnya dengan komponen perkembangan media dan kecepatan informasi yang dibawa globalisasi di awal 1960-an sehingga seni tinggi dan seni rendah melebur menjadi seni massal yang populer. Tak hanya melebur itu, posmodern juga melebur segala wilayah dari budaya ke ekonomi dan dari ekonomi ke budaya sehingga seketika menyembunyikan keberadaan identitas di era ini. Posmodernisme sebagai wacana yang diusung Jameson untuk menganalisa kapitalisme akhir melihat bahwa tidak ada subyek yang berhasil menorehkan identitas personalnya pada karya seni di era ini. Semua karya seni yang tercipta di era posmodern hanyalah sebuah eksperimentasi seni atas karya yang sudah diciptakan di era sebelumnya.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
4
Jameson melihat ada analisa masa lalu yang bisa dipakai untuk menjadi pelacak fenomena sosial pada subyek di era posmodernisme. Pondasi historisitas yang gagal dibangun subyek mengakibatkan subyek tidak memiliki kemampuan untuk merunut masa lalu, masa kini dan masa depan. Subyek menurut Jameson terjebak pada labirin masa kini yang di dalamnya ada pergantin produk yang begitu cepat dan gaya hidup superficial. Dalam kondisi ini subyek tidak bisa berevolusi seiring evolusi obyek di sekitarnya. Produksi dan konsumsi yang begitu hyper menahan subyek dalam sebuah ruang yang bermutasi yang Jameson sebut sebagai Hyperspace. Di ruang ini segala tentang pastiche dan schizhophrenia terjadi dan subyek terus berputar tanpa henti pada kebingungannya dalam menghadapi perkembangan dunia yang diatur kapitalisme. Jameson dengan membawa pemikiran Hegel dan Karl Marx di tulisan ini akan terus mengitegorasi individu untuk mengejar kemungkinan kondisi historisitas yang menjadi cikal bakal kematian subyek di kapitalisme akhir . Selain itu, penulis juga akan mengetengahkan pemikiran Immanuel Kant dan Pierre Bourdieu untuk menjadi penggambaran arah taste yang dibawa sehingga ada bentuk penyetiran selera akan karya seni oleh kaum tertentu di kapitalisme. Sehingga pembaca bisa dengan runut mengerti mengapa subyek bisa terjebak dalam kapitalisme.
Marxisme dan Posmodernisme Pemikirian Fredric Jameson hidup pada pertemuan era posmodernisme dan Marxisme khususnya pada pandangan Marxis tahap ketiga yaitu late capitalism atau kapitalisme akhir. Jameson yang seorang marxis harus dihadapkan pada fenomena peralihan budaya dari modern ke posmodern. Marxisme dan Posmodernisme sering dilihat sebagai sebuah kombinasi yang aneh, paradoks dan labil. Di dalam kasus Jameson sendiri, menjadi “posmodernis” artinya dia harus berhenti menjadi marxis sejati . Hal ini karena posmodernisme selalu mencurigai adanya logosentrisme yang masih tersisa di strukturalisme, sehingga pluralitas tidak akan pernah tercapai. Sedangkan, Marxisme masih memiliki jejak dari dialektika materialis yang merupakan narasi besar untuk strukturalisme . Strukturalisme di wadah posmodern dinegasikan dengan kehadiran posstrukturalisme. Setiap dialektika yang terjadi selalu mengincar telos yang deterministik dan yang didapati hanyalah pemaksaan tercapainya sebuah totalitas dan finalitas yang berusaha didekonstruksi di dalam posmodern. Dan di dalam dialektika, strukturalisme tidak bisa dipakai karena terlalu instabil. Dari pertimbangan itulah akhirnya Jameson menjadi “Post-Marxist” yang membelot dan berkhianat.
Untuk Jameson, memilih menjadi posmodernis bukan hanya karena posmodernisme menyuguhkan pengalaman baru dari produksi artisitik yang membangkitkannya dari “kelelapan dogmatis” yang diciptakan oleh dikotomis era modern tentang high art dan low art. Posmodernisme juga bukan hanya sebuah term yang sarat dengan bentuk dan gaya khas tapi posmodernisme menawarkan sebuah kesempatan untuk menyelesaikan sebuah ketidaknyamanan yang dirasakan dalam area kelas sosial yang dianut kapitalisme. Paham kapital atau kapitalisme ini terus dikritik keras sejak berabad-abad yang lalu karena efek dari dari paham ini adalah keterasingan manusia dengan dirinya sendiri. Seperti yang dikutip Frans Magnis Suseno dalam bukunya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Karl Marx mengatakan, keterasingan paling dasar berlangsung dalam proses pekerjaan manusia. Pekerjaan adalah kegiatan dimana manusia justru menemukan identitasnya. Tetapi, sistem hak milik pribadi kapitalis menjungkirbalikkan makna pekerjaan menjadi sarana eksploitasi. Melalui pekerjaan, manusia tidak menemukan melainkan mengasingkan diri. Hal ini karena sistem hak milik pribadi membagi masyarakat ke dalam para pemilik yang berkuasa dan para pekerja yang tereksploitasi. (Suseno, 2005, p. 9). Menurut Marx dalam sistem kapitalis manusia tidak bekerja secara bebas dan universal, tapi terpaksa sebagai syarat hidup. Jadi pekerjaan, mengasingkan manusia. Keterasingan dari diri sendiri mempunyai tiga segi, Pertama pekerja merasa terasa asing dengan produknya. Artinya hasil pekerjaan seharusnya menjadi sumber perasaan bangga karena merupakan obyektivasi pekerjaan. Pekerja meletakkan hidupnya di dalam obyeknya, seperti seniman meletakkan hidupnya di dalam karyanya. Tapi produknya adalah milik pemilik modal. Kedua, pekerja merasa kehilangan arti dengan tindakan bekerjanya itu sendiri. Pekerjaan menjadi paksaan karena ia tidak dapat bekerja menurut hasrat dan dorongan batin. Yang ketiga, pekerja yang memperalat pekerjaannya semata-mata demi tujuan memperoleh nafkah adalah manusia yang memperalat dirinya sendiri. Dalam pekerjaan manusia memiskinkan diri. Seluruh perhatian terpusat pada satu-satunya saat di mana ia menjadi dirinya sendiri yaitu saat pekerjaan selesai. Dengan demikian ia menyangkal dirinya sebagai makhluk yang bebas dan universal (Ibid., p. 95-97). Yang menjadi unik dari Jameson adalah pemikirannya yang mengkritisi kapitalisme dengan analisis-analisis khas posmodernisme yang penulis anggap sangat relevan untuk ditempatkan kembali sampai hari ini. Ia mampu merevitalisasi Marxisme yang hampir runtuh di abad 20, dengan pondasi teori-teori posmodernisme.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
5
Fredric Jameson dan Kapitalisme Akhir Perlu diketahui bahwa Jameson hidup dimasa kapitalisme akhir, saat Kapitalisme hampir saja runtuh akibat pergolakan dari negara-negara di dunia ketiga. Jameson mengganggap harus ada thesis statement baru untuk mejelaskan keadaan dunia saat itu. Kapitalisme akhir adalah bagian ketiga dari periodisasi paham capital. Menurut Jameson dalam bukunya Posmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism ada tiga tahap evolusi dari kapitalisme yaitu kapitalisme pasar, kapitalisme monopoli (imperialisme), dan kapitalisme multinasional (kapitalisme akhir) (Jameson, 1991, p.35). Menurut Ernst Mandel, tiga tahapan ini ditandai oleh evolusi teknologi di bawah kendali modal, yaitu adanya mesin uap di tahun 1848, mesin elektrik di tahun 1890, dan mesin elektronik serta tenaga nuklir di tahun 1940-an. Keberadaan mesin elektronik sebagai bagian yang sangat berpengaruh pada kapitalisme multinasional memperlihatkan kapitalisme yang paling murni. Dengan adanya mesin elektronik terjadi ekspansi besar-besaran ke wilayah yang dahulu tidak menjadi komoditas, seperti wilayah estetis dan unconsciousness (ketidaksdaran). Hal ini ditunjukkan dengan munculnya industri media dan iklan (Sarup, 2003, p. 323-324). Mesin elektronik menandakan kecanggihan teknologi seperti internet, televisi, dan radio. Lalu, tumbuh dan berkembang media massa serta industri periklanan sebagai produk kapitalisme akhir yang sangat berpengaruh. Lewat media massa dan iklan, alam bawah sadar kita dibangun untuk mengikuti hasrat (desire) yang membuat kita selalu ketagihan konsumsi. Kapitalisme berhasil terangkat lagi pamornya dengan memanfaatkan momen itu untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya menggunakan ketidaksadaran masyarakat yang konsumtif. Kehadiran media dan fenomena sosial informasi berhasil mengkolonisasi dengan tepat dan akhirnya memberikan kelahiran pada konsep masyarakat pasca industri. Kapitalisme akhir merubah semuanya. Menurut Jameson disini posisi posmodernisme menjadi sangat mungkin, posmodernisme dimengerti sebagai sebuah usaha untuk menteorikan logika yang spesifik dari produksi budaya di kapitalisme akhir. Kita bisa melihat bahwa pertanyaan yang menarik pada keadaan ini adalah bukan mengapa Jameson mengadopsi perspektif-perspektif ini, tapi mengapa begitu banyak orang yang terkena skandal di krisis antara pertemuan posmodernisme dan kapitalisme akhir. Posmodernisme bukan tanpa cela, gagasan ini hadir dengan dengan mengemban paradoks di dalamnya.
Mengutip dari perkataan Jameson dalam kumpulan tulisannya berjudul The Cultural Turn : This lies –posmodernismin the seeming contradiction between the attempt to unify a field and to posit the hidden identities that course through it and the logic of the very impulses of this field, which posmodernist theory itself openly characterizes as a logic of difference or differentiation. If what is historically unique about the posmodern is thus acknowledged as sheer heteronomy and the emergence of random and unrelated subsystems of all kinds, then, or so the argument runs, there has to be something perverse about the effort to grasp it as a unified system in the first place (Jameson, 1998, p. 36). Pada kenyataannya posmodernisme menawarkan sebuah dediferensiasi terhadap ruang-ruang yang sebelumnya sudah dikotak-kotakkan oleh gagasan modern tapi pada saat yang sama teori posmodernis menawarkan juga sebuah logika dari diferensiasi. Satu lagi yang juga paradoks adalah bagaimana posmodern berhasil mengubah sudut pandang yang homogen di era modern menjadi heterogen tapi pada saat yang sama juga terjebak pada usaha-usaha homogenisasi yang dominan, sehingga pluralitas yang menjadi spirit posmodern itu sendiri tidak konsisten tercapai. Jameson mengatakan yang paling buruk dari keadaan ini adalah posisi obyek—merujuk pada produk budaya—adalah bentuk yang paling utama dari eksistensialisme (dan fenomenologi), obyek ini muncul dari kecemasan yang terjadi ketika menghadapi krisis antara posmodernisme dan kapitalisme akhir. Menurut Jameson dalam beberapa kasus, obyek ke konsep posmodernisme terlihat sebagai rekapitulasi, artinya produk di konsep ini adalah bentuk yang diringkas dari era sebelumnya dan obyek ke konsep kapitalisme adalah segala perspektif yang bermuara pada masa kini. Hal ini menegaskan identitas posmodernisme dan kapitalisme itu sendiri telah menjadi sebuah sistem mutasi yang paling baru. Obyek-obyek ini pada dasarnya paradoks yaitu meskipun berbagai produksi pre-kapitalis memiliki kapasitas mereka untuk mereproduksi mereka sendiri melalui berbagai bentuk dari kohesi yang kolektif tapi kebalikannya logika dari kapital bukan sesuatu yang kolektif tapi dispersif, atomistis, individualistis dan anti masyarakat (Ibid., p. 37-38). Di era posmodern hadir logika budaya hasil bentukan kapitalisme akhir yang bersifat hogomen akibat peleburan budaya dan ekonomi (dengan kolonisasi dan penyerapan oleh bentuk komoditas), maka masuk akal untuk menunjukan adanya pemudaran sejarah yang menghasilkan universalisasi di kapitalisme.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
6
Posmodernisme Konsumtif
dan
Masyarakat
Satu hal yang sangat terlihat jelas dalam melihat peralihan budaya dari modern ke posmodern adalah sudut pandang kita ketika melihat sebuah karya seni. Karya-karya seni yang muncul di era posmodern adalah bentuk-bentuk karya seni yang tidak familiar dan resistan dari karya-karya seni di era modern. Karya-karya seni yang muncul di era posmodern memperlihatkan dua hal; pertama, yaitu reaksi spesifik melawan ketegakan era modernisme yang didominasi oleh universitas, museum, galeri seni dan kedua, karya seni di era posmodern adalah karya yang menghapus batas-batas yang memisahkan antara seni yang tinggi dan seni yang rendah yang akhirnya melebur menjadi budaya seni yang massal dan populer. Indikasi perbedaan dari penghapusan kategori-kategori lama (high art-low art) bisa ditemukan pada apa yang kita sebut dengan teori kontemporer. Hari ini, apa yang kita sebut “teori” adalah segala sesuatu yang melebur menjadi satu dan ini menandakan kematian filsafat. Contohnya, kalau kita bicara tentang Michel Foucault, kita tidak lagi berbicara tentang filsafat tapi juga sejarah, politik, dan sosial. Menurut Jameson muncul sebuah fitur baru di wilayah budaya dan kemunculan tipe baru dari kehidupan sosial dan ekonomi yang dikorelasikan dengan konsep posmodern. Hadir bentuk-bentuk baru masyarakat seperti masyarakat pasca industri, masyarakat konsumtif, masyarakat media atau spectacle (sekedar tontonan), dan kapitalisme akhir itu sendiri. Disini ia coba menggambarkan beberapa cara posmodernisme mengekspresikan kehidupan sosial baru di kapitalisme akhir ini, yaitu keberadaan pastiche dan schizophrenia. Dua hal ini memberikan kita kesempatan untuk merasakan secara spesifik pengalaman posmodernisme; •
Pastiche
Orang-orang sering bingung untuk membedakan pastiche dan parodi karena keduanya sama-sama merupakan imitasi. Era modernisme menawarkan sebuah wilayah yang kaya untuk parodi. Parodi mengkapitalisasi keunikan sebuah gaya dan merebut keeksentrikan untuk memproduksi imitasi yang mengolok-olok yang asli. Jameson mengatakan bahwa impuls menyindir adalah bentuk kesadaran dari parodi. Dan saat posmodern, pastiche hadir menggantikan parodi. Pastiche adalah sebuah imitasi unik yang hadir dalam bentuk-bentuk reproduksi yang tidak lagi bisa terdeteksi keaslian gaya dan komitmen menyeluruh dari subyek pembuatnya. (Jameson, 1991, p.133). Menurut Jameson, contoh dari pastiche adalah filmfilm nostalgia ala Hollywood. Film-film ini di-copy begitu saja dari peristiwa sejarah masa lalu, yang
ditampilkan oleh film nostalgia Hollywood ini adalah kualitas gambar dengan isi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga terasa lebih nyata. Namun, film seperti ini tidak merujuk pada realitas kontekstualnya sehingga menjadi kehilangan makna. Film nostalgia merestrukturisasi pastiche ke level kolektif dan sosial dimana ada keputusasaan terhadap masa lalu. Pastiche adalah gejala runtuhnya historisitas dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita untuk merepresentasikan kekinian itu sendiri (Ibid., p. 19-21). •
Schizophrenia
Schizophrenia adalah penyakit yang fokus pada hilangnya kontrol kesadaran dan era posmodern (sampai sekarang) sedang dipenuhi oleh manusiamanusia yang kehilangan kontrol kesadaran. Term schizophrenia yang dimaksud Jameson berasal dari pemikiran Jacques Lacan. Menurut Lacan, schizophrenia adalah putusnya rantai pertandaan , yaitu rangkaian penanda yang bertautan dan membentuk makna. Pada saat terganggunya hubungan penandapetanda, atau antarpenanda, yaitu ketika sambungan rantai terputus, pada saat itu schizophrenia terjadi (Piliang, 2003, p. 228). Lacan mengatakan untuk bisa merunut pengalaman temporalitas (masa lalu, masa kini, masa depan) diperlukan bahasa (rantai pertandaan) namun manusia posmodern yang terkena schizophrenia mengalami language disorder atau mereka tidak mengerti bagaimana cara menggunakan bahasa sehingga tidak bisa mengurutkan pengalaman kontinuitas ini maka pencapaian terhadap temporalitas ini tidak akan pernah tercapai. Manusia dengan ideologi konsumerisme tersesat dalam labirin bahasa dan mereka lalu mencari sesuatu yang baru secara terus menerus. Tindakan manusia schizophrenic digerakkan oleh kerja logika hasrat (desire) yang mengambil tugas kerja rasio. Artinya, pada kapitalisme akhir, keinginan (want) mendominasi keputusan seorang manusia dibanding kebutuhannya (need). Ia tidak bisa mengontrol hasratnya dan cenderung obsesif. Jameson mengatakan manusia schizophrenic adalah manusia yang hanyut dalam pergantian produk, gaya hidup, dan identitas personal. Mereka tidak mampu lagi menemukan diri mereka sendiri dalam arus kapitalisme. Percepatan konsumerisme, bahkan sampai kepada euphoria masyarakat modern mengonsumsi proses konsumsi itu sendiri. Menurut Jameson, kemajuan teknologi reproduksi membuat proses konsumsi melampaui isi dan produk komersial itu sendiri. Proses konsumsi yang menjadi komoditas adalah gaya hidup. Misalnya, gaya hidup selebritis yang kita konsumsi setiap hari sebagai referensi cara kita berpakaian. Naluri konsumtif manusia didukung oleh cepatnya arus
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
7
produksi yang menjauhkan manusia dengan proses perenungan dan apa yang dikonsumsi akhirnya lewat begitu saja tanpa makna-makna historisitas yang bisa diingat. (Jameson, 1991, p. 292-293). Merujuk dari pernyataan-pernyataan diatas kita bisa melihat bahwa pada akhirnya segalanya bisa menjadi komoditas. Sebegitu kuat kapitalisme masuk dengan permanen , menyeluruh dan meresap menjadi ideologi di dalam kelompok masyarakat. Ranah seni rupa pun kebagian tempat terkena arus budaya konsumerisme para konsumen schizophrenic. Jameson merangkum semua inti permasalahan ini dengan mengatakan, jaman sekarang produk estetis sudah terintegrasi dengan produk komoditas. (Jameson, 1991, p.4).
Subyek Tanpa Subyek)
Historisitas
(Kematian
Pada era posmodern subyek tidak lagi menjadi pusat kehidupan. Padahal sebelumnya, di era modern subyektifitas digadang-gadang menjadi sentral lahirnya berbagai bentuk karya seni. Di era itu dipenuhi oleh penemuan-penemuan yang personal, gaya yang khas, dengan sidik jari yang jelas dari pembuatnya. Ini artinya estetika di modernisme menjaring konsep dari keunikan gaya dan identitas pribadi yang diekspektasikan untuk mengembangkan visi keunikan di era itu sendiri. Tapi sekarang, segala gagasan tentang individualisme dan identitas personal dilihat sebagai sesuatu dari masa lalu , individualisme sudah kadaluarsa atau memang bisa dikatakan bahwa subyek individu sudah “mati”. Jameson mengatakan bahwa subyek telah gagal membangun historisitas dan gagal mengartikulasikan bahasa untuk merunut temporalitasnya. Di era posmodern telah terjaring subyek-subyek unhistoris yang mempertegas adanya kematian subyek. Terjadinya pengalaman khas posmodern yang dihadapi pada kapitalisme akhir seperti pastiche dan schizophrenia di bagian sebelumnya dianalisa Jameson bukan untuk mendapatkan kebenaran konten atau validitasnya , tetapi untuk mencari kemungkinan kondisi historisnya. Ia percaya bahwa lebih mungkin untuk membongkar skandal ini lewat analisis masa lalu. Menurut Jameson, ada dua posisi pada kematian subyek ini; posisi pertama adalah sekarang di saat kapitalisme koorporasi (multinasional) manusia terorganisasi, birokrasi dalam bisnis, ledakan demografi-, memang benar bahwa tidak ada lagi yang dinamakan subyek individual dan posisi kedua atau posisi yang paling radikal –disebut juga posisi poststrukturalisme- yaitu tidak hanya subyek individual yang sudah tidak ada, tapi subyek individual ini bahkan adalah sebuah mitos. Tidak pernah ada
konstruksi tentang individualisme. Hal ini hanyalah sebagai mitos budaya dan filsafat belaka yang dicaricari untuk meyakinkan orang-orang bahwa mereka “memiliki” subyek individual dan kerasukan identitas personal yang unik. Namun Jameson mengatakan tidak penting untuk memutuskan mana posisi yang paling benar . Tapi, yang terlihat disini adalah terjadinya suatu bentuk estetika yang dilematis, yaitu apa yang dibawa oleh praktek khas dari modernisme klasik pengalaman dan ideologi dari diri yang unik- sudah selesai dan kemudian tidak diketahui lagi apakah seniman dari posmodernisme masih mengalami pengalaman ideologi yang sama atau tidak. Yang jelas adalah tidak ada lagi karya yang unik . Seniman saat ini tidak lagi mampu menemukan dunia dan gaya baru (tidak ada karya yang baru semuanya sudah di temukan di era sebelumnya) (Ibid., p. 6). Seniman seni rupa posmodern sesungguhnya hadir “setelah modernisme” dan mau tidak mau terhukum untuk menciptakan karya berupa repetisi. Karya mereka cenderung merupakan adaptasi dari masa lalu atau mengacu pada karya lain daripada melihat realita yang terjadi di depan mata. Karya seni di jaman sebelumnya terlihat lebih berharga dan individualis, maka ketika seniman seni rupa posmodern mengadaptasinya ada kreatifitas dan orinalitas yang dipertanyakan kepada mereka. Banyak memang seniman yang dengan mudahnya melakukan repetisi pada karya-karya sebelumnya, seni jadi dangkal dan dengan mudah kita bisa membandingkannya dengan karya lain. Jameson mencontohkan karya Andi Warhol berjudul Diamond Dust Shoes dengan karya Van Gogh berjudul Peasant’s Boots. Kedua karya ini terlihat memiliki inspirasi yang sama. Beberapa karya posmodernis memang bisa menjadi hybrid, merupakan campuran dari banyak gaya, dan berhutang kemiripan pada karya-karya terdahulu (Butler, 2002, p. 86-87). Jameson mencoba membuat konklusi untuk mengkarakterisasi hubungan produk budaya dengan kehidupan sosial saat ini. Dia membatasi konklusinya bahwa pemutusan radikal dari dua periodesasi tidak secara universal melibatkan perubahan yang utuh dari konten tiap era (modernisme-posmodernisme) tetapi menstrukturkan kembali dari elemen yang sudah ada. Fitur sub-ordinat di era modernisme sekarang menjadi sangat dominan, dan fitur yang tadinya dominan jadi menempati posisi kedua. Poin Jameson adalah sampai hari ini segala hal yang minor dari seni modern, marjinal dari yang sentral sekarang menjadi sesuatu yang baru dan menjadi fitur sentral dari produksi budaya. Jameson mengargumentasikan ini secara kongkrit, dengan memperlihatkan hubungan antara produksi budaya dan kehidupan sosial. Oposisi seni terhadap modernisme klasik muncul di dalam masyarakat
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
8
bisnis sebagai sebuah skandal dan ofensif (serangan) kepada kelas menengah – jelek, tidak harmonis, bohemian- sebuah pelanggaran dari selera yang baik dan sehat. Apapun fitur dari modernisme yang baku pada akhirnya selalu ada cara subversif yang akan meledak. Jika kita kembali pada saat ini, kita dapat mengukur perubahan yang terjadi , Joyce dan Picasso tidak lagi dilihat sebagai karya yang aneh dan menjijikan . Karya mereka lalu menjadi sesuatu yang klasik dan sangat realistis untuk kita saat ini. Ini artinya, bahwa seni kontemporer dan posmodern adalah seni yang juga ada di era modernisme itu sendiri tapi muncul dengan cara yang baru, bahkan pesan yang esensial adalah adanya kegagalan seni dan estetika. Kegagalan sesuatu dari cara yang baru .Sementara itu,. bentuk serangan pada seni era modernisme adalah langkah yang diambil masyarakat, dan mereka sukses secara komersial. Produk komoditas khususnya pakaian , furniture , bangunan semuanya lahir dari eksperimentasi seni. Jameson mengatakan pada akhirnya marxis and nonmarxis sama-sama menjadi masyarakat yang memunculkan jenis konsumsi yang baru yaitu planned obsolescence (keusangan yang direncanakan). Produksi massal besar-besaran yang dilakukan oleh teknologi membuat produk dengan cepat berganti dengan yang baru dan terus diperbaharui agar tidak ketinggalan jaman.
Subyek Dalam Mutasi Ruang Serba Hyper (Hyperspace) Ada sebuah gagasan yang disebutkan Jameson bahwa kehadiran kita disini adalah seperti mutasi di dalam sebuah ruang yang implikasinya adalah kita sendiri. Subyek yang masuk ke ruang ini tidak bisa mengejar kecepatan evolusi , ada mutasi dari obyek yang tidak diiringi oleh mutasi dari subyeknya. Produksi dan konsumsi produk-produk budaya berkembang dengan sangat cepat tanpa kita sebagai subyek bisa menandinginya. Kita belum memiliki persepsi yang sama untuk mencocokan diri kita dengan “ruang” yang baru , karena kebiasaan persepsi kita yang dibangun dari ruang modernisme. Ruang ini adalah sebuah tempat dimana produksi mengalami keadaan hyper yang mendorong individu menjadi hiperindividualitas dan masuk ke dalam hiperkonsumsi . Di ruangan ini terdapat kedangkalan selera dan rayuan dari komoditas. Kedangkalan selera datang karena arus sirkulasi pasar yang serba hyper secara produk dan waktu. Keadaan serba hyper ini pun mengglobal dengan bantuan kecanggihan teknologi. Jameson menemukan poin utama disini , bahwa mutasi ruang yang disebut posmodernism hyperspace berhasil melampaui kapasitas tubuh individu itu sendiri , untuk mengatur persepsi lingkungan di sekitarnya, kita tidak bisa berfikir tentang masa depan atau masa lalu tapi terus
berputar pada masa kini yang dipenuhi spectacle (tontonan) tanpa makna dan gaya hidup superficial. Kita tidak mampu untuk memetakan posisi kita dan menjadi subyek individu yang tersesat. (Ibid., p. 1011). Jameson percaya bahwa kemunculan posmodernisme sangat dekat hubungannya dengan kemunculan kapitalisme multinasional. Jameson juga percaya bahwa fitur-fitur dalam posmodernisme mengekspresikan logika dengan banyak cara pada sistem sosial. Dia menunjukan satu tema utama, yaitu “The dissappeareance of history” atau hilangnya sejarah yaitu satu keadaan di sistem sosial kontemporer dimana ada kehilangan kapasitas untuk mempertahankan masa lalu kita sendiri , dan mulai tinggal di masa kini yang abadi (perpetual present) . Asal-usul posmodernisme memiliki konsekuensi untuk menspesifikasikan sesuatu yang lain yang lebih tinggi (atau lebih abstrak /global). Hal ini tentu saja kapitalisme multinasional itu sendiri sebagai suatu proses yang digambarkan sebagai logika kapital. Manusia membuat sejarah mereka tetapi tidak dalam keadaan yang mereka pilih sendiri. Ini ada di dalam kemungkinan kapitalisme akhir yang sekilas terlihat sebagai sebuah “kesempatan utama“ untuk membuat uang dan mereorganisasi perusahaan dengan cara baru (seperti seniman atau pemilik galeri). Yang mau Jameson tunjukan disini adalah meskipun gagasan posmodernisme tampak dikritik di mata banyak orang. Tapi gagasan ini bisa diterjemahkan ke dalam narasi yang segala agen di dalamnya, dari semua ukuran dan dimensi dapat bekerja. Ini terlihat sebagai deskripsi alternatif–fokalisasi pada level abstraksi yang berbeda dan lebih praktis daripada teori.
Melawan Subyek Dengan Subyek Pertemuan posmodernisme dan kapitalisme akhir memang memberikan jalan yang panjang pada perdamaian. Ketidakcocokan dua gagasan ini dan paradoks yang tumbuh penulis lihat menjadi dasar penting yang terus menambah panjang jalan yang akan dilalui oleh manusia-manusia yang terjebak di dalamnya. Jameson mencoba mendobrak jalan buntu kematian subyek ini dengan pemikiran yang penulis anggap paling bijak; Subjectivity is an objective matter, and it is enough to change the scenery and the setting, refurnish the rooms, or destroy them in an aerial bombardment for a new subject, a new identity, miraculously to
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
9
appear on the ruins of the old (Jameson, 1998, p. 52). Jameson mengganggap bahwa permasalahan subyekifitas bisa merubah banyak hal, bisa memperbaiki tapi juga bisa menghancurkan. Kehancuran satu subyek akan menciptakan subyek dan identitas baru. Butler mengatakan pertahanan terbaik untuk melawan krisis ini adalah dengan “menyadari”nya. Ketika berfilsafat, membuat teori atau bahkan membuat karya seni kita harus menyertakan kesadaran diri kita. Kesadaran diri kita akan menjadi refleksi karena kalau kita lihat di semua hasil karya yang tumbuh pada era posmodern semuanya hanyalah sebuah “teks” tanpa konten di dalamnya. Dalam bukunya berjudul The Idea of the Postmodern (1994), Jameson memperkuat pernyataan ini; Resolutely posmodernist in that they conceive of themselves as sheer text, as a process of production of representations that have no truth content, are, in this sense, sheer surface or superficiality. It is this conviction which accounts for the reflexivity of the Godard film, its resolution to use representation against itself to destroy the binding or absolute status of any representasion (Butler,2002, p. 30-31). Jameson dalam ungkapan diatas menampilkan sebuah contoh tentang seorang sutradara film Prancis bernama Godard yang lewat filmnya mengkritisi dominasi film Hollywood. Lewat ide-ide radikalnya yang ia representasikan lewat karya-karya filmnya ia mendobrak dan secara bertubi-tubi memberikan alternatif tontonan kepada masyarakat dunia untuk menekan dominasi film Hollywood. Godard melakukan representasi untuk melawan dirinya sendiri (film melawan film) untuk menghancurkan status absolut dari representasi lain. Pilihan untuk melawan subyek dengan subyek itu sendiri, menunjukkan sebuah cara yang paling masuk akal untuk keluar dari jeratan postmodernism hyperspace dan untuk melakukan hal ini kita harus membangun kesadaran diri pada diri kita sendiri (selfconscious reflexivity).
Pasar Seni Rupa Indonesia Saat Ini Jaman sekarang sirkulasi lukisan begitu cepat karena hadirnya kecanggihan teknologi dan informasi yang global. Sebuah lukisan yang diproduksi seorang seniman lukis dipamerkan lewat galeri , masuk dalam katalog berbentuk hardcopy dan softcopy yang tersebar lewat situs internet, dilihat berjuta pasang mata calon kolektor. Kolektor dengan mudah memesan lukisan tersebut. Seniman pun setiap harinya selalu muncul dan karya lukis bertumpuk-tumpuk membanjiri setiap pameran dan festival seni rupa setiap bulannya. Galeri
tak berhenti membuat acara pameran dan balai lelang selalu siap menampung karya-karya seniman Indonesia. Faktanya menurut data Artprice Annual Report ,Contemporary Art Market 2007/2008 ada sembilan seniman lukis indonesia masuk dalam jajaran 500 seniman lukis dengan pendapatan tertinggi di seluruh dunia di tahun 2007/2008, melebihi jumlah senimanseniman lukis di Asia Tenggara lainnya. Ini menjadi bukti bahwa karya seniman lukisan Indonesia sangat digemari para kolektor dunia. Tak heran lukisan di Indonesia datang dan pergi, dari seniman, galeri, rumah lelang lalu ke tangan kolektor dengan cepat. Tapi hal ini tak selalu berjalan baik, seperti yang diungkap di awal tulisan ini bahwa sebuah lukisan ketika masuk pasar seni rupa akan menggandeng dua nilai sekaigus yang tak mungkin terpisah yaitu nilai estetis dan nilai ekonomi. Siapa yang paling mendominasi? di dalam sistem pasar seni rupa jawabannya nilai ekonomilah pemenangnya. Nilai ekonomi yang mendominasi inilah yang membuat empat pemain pasar seni rupa yang penulis sebutkan di bagian sebelumnya keluar dari “track”nya, keluar dari jalan yang seharusnya mereka lalui. Seniman misalnya, yang idealnya melewati fase ruang uji publik atau pameran untuk menentukan kualitas dan harga karya, sekarang memilih melompati fase ini karena lukisannya tanpa melewati pameran pun sudah ditunggu para kolektor. Lukisan diijon atau dipesan bahkan sebelum lukisannya selesai dikerjakan, biasanya hal ini terjadi pada seniman-seniman lukis yang sedang populer. Tak peduli akan seperti apa hasil lukisannya, asal karya lukisan tersebut dibuat oleh sang seniman populer maka kolektor akan membelinya. Posisi lukisan yang bukan hanya sebagai sebuah obyek kontemplasi tapi juga sebagai benda investasi membuat banyak munculnya kolektor yang mengumpulkan lukisan sebagai pundi-pundi uang semata. Kolektor jenis ini biasanya tidak sama sekali mengerti tentang pengalaman estetis atau ruang kontemplasi yang dihadirkan sebuah karya pada individu. Mereka hanya mengerti nilai ekonomi kuat yang melatarbelakangi keinginan mereka untuk memiliki sebuah lukisan. Mereka tidak memliki pengetahuan yang cukup tentang dunia lukis. Kolektor social climbers membeli lukisan demi pride atau kebanggan pada lingkungan sosial agar dinilai mengerti tentang seni., Dan kenyataannya seniman lukis sebagai subyek kreatif dihadapkan oleh permintaan lukisan yang begitu tinggi dari para kolektor macam ini. Adalagi yang disebut Kolekdol (Kolektor yang membeli lukisan lalu di-dol/dijual lagi) yang juga berkeliaran di galeri-galeri, mereka memborong lukisan dengan harga murah saat pameran lalu dijual
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
10
lagi di rumah lelang dengan harga sampai 10 kali lipat. Seniman pun hanya bisa gigit jari. Menurut kurator Galeri Nasional, Kuss Indarto dalam artikel di Kompas.com, jumlah kolekdol ini tidak sedikit, paling tidak 75% dari pembeli karya seni rupa di Indonesia adalah kolekdol (Arcana, 2013). Selain kolektor yang juga adalah komponen penting dalam interaksi ini adalah galeri. Masyarakat perkotaan khususnya Jakarta menggunakan koleksi seni rupa dari galeri-galeri seni dalam membangun gaya hidup. Menurut Harwanto, peranan galeri adalah sebagai perantara budaya antara kepentingan perupa dan pasar. Dengan peran itu galeri mampu menciptakan pasar dan pasar menentukan koleksi galeri. (Harwanto, 2011, p. 100)
Penikmat lukisan kehilangan waktu untuk mengalami pengalaman kontemplasi pada sebuah karya seni di pameran karena cepatnya arus sirkulasi yang membawa lukisan dari ruang pameran ke tangan kolektor, bahkan dari tangan seniman langsung ke kolektor. Senimannya sendiri mulai merasakan keasingan dalam berkarya karena seniman menjadi korban ijon. Semua pengalaman estetis diantara seniman dan karyanya sudah dilompati. Semua sudah menuju pada orientasi uang. Dari yang penulis sudah jabarkan di atas, hubungan satu sama lain bisa disederhanakan menjadi sebuah bentuk skema yang saling terkait.
Seniman
Galeri punya dua tugas yaitu sebagai sebuah ruang untuk mendapatkan pengakuan dan publikasi dan secara bersamaan juga sebagai ruang bagi penikmat seni untuk berimajinasi seni. Di sini penikmat datang untuk mengalami pengalaman estetis dari sebuah karya tapi disini pula pengalaman estetis itu bisa tak hadir karena penikmat seni menikmati lukisan dengan berpacu waktu, berpacu dengan uang yang keluar dari kantong kolektor untuk membeli lukisan tersebut.Selain lukisan diijon oleh kolektor , lukisan seorang seniman juga diijon oleh galeri. Galeri memborong lukisan menawarkannya ke balai lelang untuk mendapat keuntungan besar. Terakhir yang akan penulis bahas adalah balai lelang. Transaksi dibalai lelang seperti Christie’s atau Sotheby’s dilakukan antara juru lelang dan bidder (penawar). Harga ditentukan dengan harga tertinggi dan bisa lebih mahal atau lebih murah dari estimasi harga. Di balai lelang inilah “goreng-menggoreng” lukisan terjadi. Cara lain saat transaksi di balai lelang misalnya, sebuah lukisn akan dipasang harga yang terus menerus tinggi oleh bidder. Namun bidder-bidder ini berguna untuk memanipulasi pandangan kolektor sebenarnya yang penasaran dengan harga lukisan yang makin tinggi. Saat harga tinggi disebut oleh kolektor yang asli maka hammer price atau harga yang disahkan terjadi. Cara seperti tadi memperlihatkan bagaimana sebuah lukisan dianggap hanya sebagai obyek ekonomi semata. Menurut penulis setelah melihat contoh interaksiinteraksi yang terjadi antar komponen di pasar seni rupa Indonesia sebenarnya tidak ada yang dirugikan diantara empat komponen ini, seniman mendapat uang dari kolektor, kolektor mendapat pride, begitu juga dengan galeri dan rumah lelang yang mendapat kan keuntungan terus-menerus sesuai keinginan mereka tapi telah terjadi reduksi subyek pada pemain pasar seni rupa yang dilakukan oleh sistem kapital.
Balai Lelang
Sistem Kapital
Kolektor
Galeri
Bagan 1 Sistem Kapital
Skema di bawah ini berbentuk lingkaran yang menggambarkan sebuah rotasi. Yang saling terhubung satu sama lain tapi masing-masing pemain terhubung pada pusat rotasi yaitu sistem kapital Booming Lukisan I Nyoman Masriadi : Cermin Pasar Seni Rupa Indonesia Penulis di bagian ini akan mengetengahkan sebuah kasus yang dapat mewakili konflik interaksi di pasar seni rupa Indonesia. Pada tahun 2008 seorang pelukis asal Bali yang sempat mengenyam pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengejutkan masyarakat seni rupa karena kehadiran karya-karyanya. Harga lukisannya melambung tinggi dan menjadi buah bibir di kalangan seni rupa. Setelah tahun 1987 dan 1998, I Nyoman Masriadi membuat pasar seni rupa Indonesia booming untuk ketiga kalinya. Lukisannya berjudul The Man From Bantul terjual seharga 10 miliar rupiah di Balai Lelang Sotheby’s Hongkong, dua hari sebelumnya di tempat yang sama lukisannnya berjudul Sorry Hero, Saya Lupa laku 6 Miliar rupiah . Tidak hanya itu, bulan sebelumnya lagi karyanya berjudul Sudah Biasa Ditelanjangi laku 5 Miliar di Balai Lelang Christie’s Hong Kong. Lukisan kontemporer Indonesia dinikmati peminat seni Asia karena temanya yang dekat dengan kehidupan yang dihadapi masyarakat Asia. Karya Masriadi yang bergaya humoris dan “pedas” pada isu sosial ini membawa Masriadi dinobatkan sebagai sebagai pelukis termahal di Asia Tenggara.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
11
Namun, gambaran diatas tidak semanis yang tampak, Masriadi tak pernah menerima uang sepeser pun dari lonjakan harga bombastis lukisan-lukisannya dibalai lelang. Pada awalnya lonjakan pasar seni rupa Indonesia ini tak bisa lepas dari strategi yang diambil oleh Balai Lelang Christie’s dan Sotheby’s yang mencari genre dan ikon baru pada dunia lukis Indonesia saat mereka sudah kehabisan stok para old master seperti Basuki Abdullah, Affandi dan Hendra Gunawan. Dari sini maka permainan dimulai, galeri dan kolekdol memborong lukisan Masriadi di pameran dan menjualnya pada Balai Lelang Sotheby’s dan Christie’s dengan harga berpuluh-puluh kali lipat. Akhirnya, uang hasil “goreng-menggoreng” ini masuk ke tangan para kolekdol. Selain itu, untuk memunculkan ikon baru di dunia lukis Indonesia, balai lelang mengelabui para bidder dengan melakukan manipulasi harga. Harga yang “ditembak” ke lukisan Masriadi tak lepas dari taktik manipulasi balai lelang. Namun, Biarpun tak mendapat uang, Masriadi tetap beruntung, namanya terus melambung, ketenaran Masriadi dibentuk oleh media massa dan menjadi obrolan publik di dunia seni rupa. Sampai sekarang semua orang tergila-gila dengan lukisannya, apapun lukisannya asal dibuat Masriadi pasti laku bak kacang goreng. Hal ini menggoda kolektor sehingga kolektor memesan semua lukisan Masriadi bahkan yang belum dibuat (Herlambang, 2008). Ia tidak lagi melewati pameran karena lukisannya sudah ditunggu oleh para kolektor social climbers. Bahkan, Dalam artikel berjudul Percakapan di Atas Kanvas disebutkan Masriadi tidak pernah bisa menggelar pameran karena lukisannya sudah habis terjual tak bersisa. Saat menggelar pameran lukisan pertamanya di Singapore Art, ia meminjam lukisannya dari kolektor (Majalah Dewi, 2008.) Kematian Subyek di Pasar Seni Rupa Indonesia Dalam kasus yang diungkap diatas peran subyek terasa diinjak-injak oleh sistem kapital yang dominan. Seperti dikatakan pada bab awal bahwa konsep kematian subyek yang dibawa posmodern dan juga Jameson sebagai posmodernis tidak utuh, artinya kematian satu subyek ternyata telah membuat subyek-subyek yang lain hidup sehingga kematian subyek dalam tulisan ini harus terbentuk dari kesepakatan yang sama bahwa subyek ketika dikatakan “mati” maka akan selalu ada yang hidup untuk menggantikannya sehingga kematian ini tidak pernah menjadi sesuatu term yang lengkap. Di era posmodern sendiri terjadi peleburan high art dan low art , sehingga membahas seni tidak perlu memiliki latar belakang seni atau ketertarikan yang tinggi pada seni . Lewat media massa dan hiruk pikuk perbincangan di dunia seni rupa Indonesia yang sempit,
sebuah karya bisa menjadi obyek desire yang membuat masyarakat seni rupa ketagihan konsumsi. Permasalahan subyektifitas lalu akan kita lihat ketika para kolektor melihat sebuah karya seni sebagai pemuas kebutuhan kekinian mereka. Apa yang disebutkan dengan individu schizophrenic oleh Jameson tergambarkan dengan baik pada para kolektor social climbers di pasar seni rupa Indoneia. Jenis kolektor ini ingin memiliki lukisan yang sedang populer dibicarakan publik. Mereka adalah individuindividu yang dikendalikan oleh kerja logika hasrat (desire) dan mengonsumsi sesuatu berdasarkan (want) bukan (need) . Hasrat untuk memiliki sesuatu yang “happening” sangat tinggi maka kita akan melihat mereka bertindak sangat obsesif ketika memburu lukisan-lukisan Masriadi. Seperti yang Jameson katakan, individu schizophrenic ini sangat terlena dengan gaya hidup dan identitas personal. Gaya Hidup dan identitas personal yang disebut “nyeni” menjadi tujuan kolektor ini. Kolektor social climbers pada akhirnya tidak mampu menentukan posisinya dalam gelombang kapitalisme. Lalu bagaimana dengan Masriadi sebagai subyek kreatif? Apakah diijonnya lukisan Masriadi memenjarakan subyektifitasnya? Penulis melihat bahwa Masriadi sebagai seorang seniman lukis melompati sebuah fase dimana publik seharusnya bisa bersama-sama membangun kualitas dan reputasi lukisannnya. Semua lukisannya langsung ke tangan kolektor, ini tentu menambah pertanyaan lagi apakah lukisan-lukisan tersebut benar-benar berkualitas sehingga tidak perlu lagi melewati ruang uji publik? Sejak tahun 1999 ketika lukisannya dipamerkan di Biennale VI Yogyakarta, lukisan Masriadi berhasil menarik perhatian para kolektor karena perbedaan tema yang ia hadirkan . Ditulis pada artikel di journalbali.com (2010) bahwa sejak awal kemunculannya, Masriadi merupakan pelukis yang memiliki karakter sendiri. Karyanya bisa terbilang melawan arus. Ketika pada umumnya seniman Bali menganut aliran abstrak ekpresionis, Masriadi memilih gaya kubistik. Selain memiliki gaya kubistik yang berbeda dari seniman Bali yang lain ia juga memiliki selera berbeda dalam memilih tema lukisan. Ia tidak mengikuti arus mainstream. Ketika para pelukis umumnya memilih karya-karya heroik politik karena pengaruh situasi nasional, ia justru memilih tema sederhana yang bersifat humoral. Lukisan Masriadi memang terlihat langka, tapi ini juga harus kita coba kritisi. Di artikel yang sama disebutkan secara politis ada upaya kuat dari para “patron” seni rupa Indonesia untuk menaikkan harga lukis Indonesia di pasar internasional. Bisa jadi, para “patron” yang menguasai peredaran lukisan Masriadi, mencoba bereksperimentasi dalam mengatrol harga lukisan di balai lelang. Ada sebuah politic unconsciousness yang
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
12
dibangun disini bagaimana peran balai lelang dan para “patron” ini membentuk ikon baru dan mengarahkan kemudi selera para kolektor. Dalam artikel di majalah Visual Art (2008) dikatakan bahwa kekuatan Masriadi terletak pada permainan warnanya , gelap terang, lekuk tubuh dan ekspresi wajah di tokoh-tokoh dalam lukisannya ia menemukan cara yang unik untuk membicarakan pengalaman di sekitarnya. Ciri khas tema humoral dan cara melukisnya yang unik ini muncul pada tahun 1999 sehingga dibeli kolektor dengan harga jutaan rupiah, lalu puncaknya di tahun 2008 ia berhasil menjadi fenomena di jagad seni rupa dengan menembus puluhan milyar. Namun, lukisannya sebelum tahun 1999 memperlihatkan lukisan yang berbeda , bukan saja tema tapi juga gaya melukisnya. Satu sisi ini menunjukkan sebuah perkembangan yang sangat pesat dari seorang Masriadi , di sisi lainnya dengan melihat rentetan lukisannya dari tahun ke tahun ada lompatan yang sangat besar dari karya Masriadi sebelum booming dengan sesudah booming . Apakah ini merupakan sebuah cara Masriadi untuk menarik perhatian jagat seni rupa dengan merubah tema dan gaya lukisannya lalu yang manakah lukisan yang menggambarkan ekspresi individualnya sebenarnya dari karya Masriadi?
Karya Masriadi Setelah Booming
Gambar 3 The Man From Bantul: The Final Round (2000) Mixed Media On Canvas, 250 cm x 435 cm
Karya Masriadi Sebelum Booming Gambar 4 Sorry Hero Saya Lupa (2008) Acrylic on Canvas, 200 cm x 300 cm
Masriadi memang tidak bisa disebut mati sebagai subyek kreatif, karena karyanya memang memiliki kelebihan yang membuat para kolektor tertarik. Ia juga membatasi jumlah karya yang dibuat agar terus bisa menjaga rasa dari setiap goresan cat pada kanvaskanvasnya. Menurut Majalah SWA (2008) tidak setiap hari Masriadi melukis, ia butuh kontemplasi kalau tidak mood ia tidak ingin memaksa diri untuk melukis .
Gambar 1 Save The Land (1998) Oil on Canvas, 145 cm x 145 cm
Gambar 2 Wild Woman (1998) Mixed Media on Canvas, 147 cm x147 cm
Masriadi sangat mencerminkan bagaimana teori subyek melawan subyek bisa terjadi di pasar seni rupa Indonesia. Dengan kesadarannya, Ia mencoba mengambil jarak pada bentuk-bentuk aktivitas kapitalisme yang kapan pun bisa membuatnya menjadi “bulan-bulanan.” Ia memperlihatkan diferensiasi tema yang akhirnya “membunuh” tema-tema yang heroik politik yang dominan di awal tahun 2000-an. Self conscious reflexity di dalam subyektifitas Masriadi bisa membuatnya menjadi subyek partikular yang hidup. Walaupun kita melihat bahwa Masriadi sebagai seniman mau tidak mau tetap harus menghadapi dunia kapitalisme ketika masuk ke dalam sistem pasar seni rupa sehingga selalu ada bagian yang tereduksi dari
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
13
subyektifitas Masriadi ketika behadapan pada pasar dan uang. Terjadinya krisis diatas merupakan akibat dari tema utama posmodernisme yaitu “realism lost” atau hilangnya realita dan hadirnya realita seperti yang dibahas bagian-bagian sebelumnya membutuhkan narasi masa lalu. The disappearance of a sense of history di dalam budaya , menurut Jameson sudah meresap secara mendalam dan menghilangkan terlalu banyak memori. Ia dengan idenya tentang posmodernitas memberikan penjelasan tentang ekspansi kekuasaan kapital ke dalam rantai pertandaan budaya dan representasi . Bahkan dugaan marxis mengatakan bahwa kita telah menjadi korban dari “false consciousness” yang menghasilkan “krisis representasi”. Hal ini juga seiring dengan hancurnya otoritas subyek Pasar Seni rupa Indonesia = Hyperspace
Pasar Seni Rupa
Posmodern Hyperspace
Indonesia menjadi bagian
dari Mutasi ruang yang Pasar Seni Rupa
disebut dengan
Indonesia
Posmodern Hyperspace
Terdapat subyek-subyek Unhistoris di dalam Hyperspace ini
Bagan 2 Postmodernism Hyperspace
Dari apa yang sudah penulis jabarkan di bab ini, satu tema yang jelas yang tampak dari fenomena ini adalah gejala-gejala pada pasar seni rupa Indonesia yang menyajikan karakter-karakter khas dari teori Jameson tentang Posmodernism Hyperspace. Penulis menganalisis bahwa permasalahan subyektifitas ini berkutat pada seluruh komponen pasar seni rupa Indonesia. Ketika di dalam sistem pasar masingmasing pemain menunjukkan tanda-tanda kehilangan subyektifitas. Subyektifitas disini tidak hanya sekedar ekspresi individual tapi kepemilikan historisitas yang dibawa masing-masing subyek. Tujuan-tujuan kapital berhasil mengarahkan para pemain pasar seni rupa Indonesia menjauh dari kesadaran akan narasi sejarahnya. Merujuk pada skema diatas, maka pasar seni rupa Indonesia yang terdiri dari seniman, kolektor, galeri dan balai lelang masuk ke dalam hyperspace yang akan menjebak mereka ke dalam temporalitas dan spasialitas yang paradoks. Kecanggihan yang mengglobal menjadi kunci yang menutup rapat-rapat ruang serba hiper ini. Internet,
media massa, iklan, televisi dan radio mengurung begitu banyak manusia di dalamnya. Mengurung manusia dalam kekinian yang abadi.
Kesimpulan Ketika kita menengok lagi ke belakang maka kita akan sadar bahwa apa yang diciptakan oleh sistem kapitalisme masih kuat membeku dan tidak kunjung mencair. Sistem kapital masih menjadi dewa yang mengatur dan menentukan apa yang terjadi di sistem pasar seni rupa Indonesia. Kasus Masriadi yang menjadi cermin interaksi di pasar seni rupa Indonesia memerlihatkan sebuah realitas kematian subyek yang sudah berhembus dari era posmodernisme sampai hari ini. Jameson percaya apa kata Marx bahwa di hadapan uang dan pasar subyektifitas tidak akan pernah ada. Menurut penulis, Jameson sangat berhasil menyuguhkan kondisi sosial ekonomi dengan fiturfitur baru pada wilayah budaya, teorinya yang menggarisbawahi peran subyek masih sangat relevan sampi hari ini. Maka, kita harus mengakui bahwa sampai hari ini kita masih terkurung pada fenomenafenomena yang sama seperti saat Jameson menganalisis kapitalisme akhir. Kenyataan bahwa segala komponen di dalam pasar seni rupa Indonesia adalah subyek-subyek yang tereduksi mungkin sangat menghentak atau mungkin juga sudah membuat kita mati rasa karena bahwasanya tidak ada satu kekuatan pun sampai hari ini yang mampu menundukkan kapitalisme. Seniman, kolektor, galeri, balai lelang semua masuk pada hyperspace yang meruntuhkan segala bentuk–bentuk subyektifitas. Dan pada akhirnya, sejalan dengan apa yang Jameson ungkapkan, kita hanyalah manusia-manusia yang sangat sulit mempertahankan narasi masa lalu untuk membela makna historisitas kita sendiri dan kita lebih senang hati untuk menyangkal semua rasa-rasa tidak nyaman yang dihadirkan oleh masa lalu dan lalu memilih menjadi epigon dan amnesia sejarah. Akhir yang seperti ini penulis anggap sangat wajar karena teknologi yang semakin maju membuat masa kini memberikan rasa nyaman yang sulit untuk ditolak dan pada saat yang sama kemajuan teknologi memberikan energi yang lebih kuat pada sistem kapitalisme. Belum lagi pertemuan antara posmodernisme dan kapitalisme akhir adalah pertemuan dengan berbagai konten-konten paradoks sehingga seperti yang sudah ditebak dari awal oleh Jameson bahwa ujung-ujungnya yang terjadi adalah kohesi yang kontinyu dan menciptakan pemaksaan pada finalitas dan pencapaian pluralitas. Tawaran untuk mengatasi permasalahan subyektifitas dengan menimbulkan self-conscious reflexity untuk
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
14
melawan subyek yang dominan menjadi secercah harapan untuk membuka tali-tali kapitalisme yang menjerat kita. Penulis sepakat dengan pemikiran Jameson untuk mundur sejenak dan melihat kembali dimana posisi subyek sekarang ini supaya bisa tercapai keseimbangan representasi yang hadir di hadapan kita. Seperti yang Jameson pernah katakan; What emerges then is some conception of change without its opposite; and to say so is then helplessly to witness the two terms of this antinomy folding back into each other, since from the vantage point of change it becomes impossible to distinguish space from time, or object from subject. The eclipse of inner time (and its organ, the 'intimate' time sense) means that we read our subjectivity off the things outside: Proust's old hotel rooms, like old retainers, respectfully reminded him every morning how old he was, and whether he was on vacation or 'at home', and where - that is to say, they told him his name and issued him an identity, like a visiting card on a silver salver. (Jameson, 1998, p.52). Self-conscious reflexity ini juga yang bisa menahan politic unconsciousness yang selama ini mengarahkan selera estetika kita. Ketidaksadaran kita terhadap arahan politis seperti dominasi institusi seni atau selera kolektor membentuk selera komersial kita. Konsep Kant menjadi satu pilihan untuk membentuk selera kita lebih obyektif sehingga kita tidak jatuh pada banyak ketidaksepakatan rasa. Menilai sebuah karya seni secara formalitas lewat bentuk, tektstur , warna karya seni itu sendiri bukan hanya dari label yang sudah terbentuk atau persepsi dan preferensi dari individuindividu lain. Penilaian selera harus bebas dari segala bentuk interest atau kepentingan dan kenikmatan tidak pernah didasarkan pada kecenderungan subyek, tapi subyek akan merasakan dirinya bebas ketika menikmati sebuah obyek. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi gambaran yang cukup jelas tentang dominasi kapitalisme selama hampir puluhan tahun kepada pasar dan komponenkomponen di dalamnya, tak terkecuali pasar seni rupa Indonesia. Dengan membaca tulisan ini setidaknya penulis bisa mengetengahkan suatu usaha membangun kesadaran diri untuk menegaskan bahwa pasar seni rupa Indonesia tak ubahnya sebuah pemakaman, tempat dimana telah bersemayam subyek-subyek yang kehilangan otonominya. Melihat pasar seni rupa dari kacamata Fredric Jameson menunjukkan bahwa masih panjang jalan dan butuh usaha yang begitu keras untuk terus secara bertubi-tubi melawan dominasi kapitalisme sehingga muncul alternatif jalan dimana disana berisi masyarakat seni rupa yang mempertahankan subyektifitasnya dan begitu sangat penting memunculkan historisitas ketika
berkesenian entah membuat karya seni atau menikmati karya seni.
Daftar Acuan Arcana, Putu Fajar, “Seni Menggoreng Lukisan,” Kompas Online, 30 oktober 2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/30/02061421 / Retrieved 29/01/2013. 2.44 AM. Artprice (2008). The Artprice Annual Report of Contemporary Art Market 2007/2008. Paris. Banirestu, Herning.,Manopol, Yuyun., & Utomo Giri W. (2008, 13 November), Sumringahnya Bisnis Lukisan. Majalah SWA. Bourdieu, Pierre. (1984). Introduction from Distinction : A Social Critique of The Judgement of Taste (Richard Nice, Penerjemah.). Cambridge: Cambridge University Press. Butler, Christopher. (2002). Postmodernism : A Very Short Introduction. New York : Oxford Unniversity Press. Chen, Patricia. (2012, November). Behind The Art Stage Controversy. Flash Art Magazine. Collins English Dictionary (2009). http://dictionary.reference.com/browse/social+climber . Retrieved10/06/2013. 8.27 PM Ekosiwi, Embun Kenyowati. (2011). Seni Global Sebagai Tantangan Konsep Estetika Keindahan. Jurnal Seni Rupa Warna, 32-43. Jakarta : Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Freeland, Cynthia. (2001). But Is It Art?. New York : Oxford University Press. Harwanto, Ardiani. (2011). Galeri Seni Sebagai Gaya Hidup Masyarakat Perkotaan. Jurnal Seni Rupa Warna, 95-111. Jakarta : Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta Herlambang, Rustika. (2008, Agustus). Percakapan di Atas Kanvas. Majalah Dewi Hujatnika, Agung. (2009, Juni). Indonesian Contemporary Art in the International Arena: Representation and Its Changes. Paper ditampilkan di Global Art and Museum Seminar, Karlsruhe,Germany.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia
15
Indarto, Kuss. (2009). Laju Di Seni Rupa , Kendala di Tata Kelola. Mata Jendela. hal 32-36.
Ismartono, Edy. “Lukisan Masriadi, Money Machine,” journalbali.com,13 Desember 2010, http://www.journalbali.com/visual-arts/lukisanmasriadi-money-machine.html , Retrieved 24/7/2013. 2.19 AM. Jameson, Fredric. (1991). Postmodernism or The Cultural Logic of Late Capitalism .Duke University Press. _______________. (1998). The Cultural Turn : Selected Writings on The Posmodernism 1983-1998. London : Verso. Kant, Immanuel. (2005). The Critique of Judgement Part I : Critique of Aesthetic Judgement (James Creed Meredith, Penerjemah). Adelaide : The University of Adelaide Library. Kusumastuti, Yuliana. (2006). Market Forces :A case study of Contemporary Art Practice in Indonesia. Tesis Magister pada Charles Darwin University Australia: Tidak diterbitkan Lindemann, Adam. (2006). Collecting Contemporary. Koln : Taschen. Sarup, Madan. (2003). Poststrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta :Penerbit Jendela. Stallabrass, Julian. (2004). Art Incorporated : The Story of Contemporary Art. New York : Oxford University Press. Supangkat, Jim. (2011). “Menjadi Isness,” Indonesiaartnews.com, 31 Mei 2011, http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=111 Retrieved 15/04/2013. 5.35 AM. Suseno, Franz Magnis. (2005). Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Tomlison, John. (1999). Globalization and Culture. Chicago : The University of Chicago Press. Yangni, Stanislaus. (Februari, 2008). Nyoman Masriadi : Ingin Berhenti Main di Indonesia. Visual Arts Magazine. 42-44. Yuliman, Sanento. (2001). Boom! Ke Mana Seni Lukis Kita?. Dalam Asikin Hasan (Ed). Dua Seni Rupa, (pp.111-114). Jakarta: Yayasan Kalam.
Kematian subyek…, Belina Rosellini, FIB. UI, 2013
Universitas Indonesia