KEMANGKUSAN BIOFRESH DAN BAHAN ORGANIK DALAM MENINGKATKAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA JENIS VARIETAS DI LAHAN ULTISOL
TESIS
Oleh:
H A N D R I D NIM : G2A1 15 014
PROGRAM STUDI AGRONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
i
KEMANGKUSAN BIOFRESH DAN BAHAN ORGANIK DALAM MENINGKATKAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA JENIS VARIETAS DI LAHAN ULTISOL
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Pertanian Pada Program Studi Agronomi Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo
Oleh:
H A N D R I D NIM : G2A1 15 014
PROGRAM STUDI AGRONOMI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pertanian pada program studi agronomi program pascasarjana Universitas Halu Oleo yang berjudul “Kemangkusan Biofresh dan Bahan Organik dalam Meningkatkan Ketahanan terhadap Penyakit dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L..) pada Dua Jenis Varietas di Lahan Ultisol”. Dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya, terutama kepada Bapak Dr. Ir. H. Andi Khaeruni R., M.Si. dan Ibu Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si. selaku komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan dan masukannya selama ini hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Taufik, M.Si., Bapak Dr. Ir. Teguh Wijayanto, M.Sc., dan Ibu Dr. Gusnawaty H.S., S.P., M.P. selaku tim penguji yang telah memberikan saran dan masukan konstruktif demi kesempurnaan tesis ini. Dan secara khusus tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada anak-anak saya; Sesi Susanti S.Pd., Bribda Ramadhan Saleh, Jim Rendra, Muh. Salam, Resti dan Hijrawan Saleh, serta Heri Cahyono S.Pd., dan adik-adik saya; Astin Anugerah S.Pd., Widyasari Putri, Rahmat Adi Saputra, atas segala bantuan dan pengertiannya selama ini. Selama mengenyam pendidikan hingga penyelesaikan studi di institusi ini, tentunya banyak pihak yang telah turut membantu memberikan sumbangsih baik
vi
berupa materi, tenaga maupun pikiran dan doa serta dukungan dan motivasi, atas semua itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rektor Universitas Halu Oleo yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan selama mengikuti proses studi hingga selesai. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo yang telah memberikan arahan dan motivasi selama penulis mengikuti proses studi hingga selesai. 3. Ketua Program Studi Agronomi Dr. Gusnawati H.S., S.P., M.P atas dukungan, arahan, motivasi dan kemudahan yang diberikan kepada penulis selama ini. 4. Dr. La Ode Santiaji Bande, SP., MP, mantan ketua Program Studi Agronomi. 5. Staf pengajar dan pegawai di lingkup Program Pascasarjana yang telah banyak memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo. 6. Dr. Ir. H. Andi Khaeruni R., M.Si yang telah memberi dorongan dan memotivasi kepada penulis untuk melanjutkan studi program magister sekaligus mengikutkan dalam Program Penelitian PENPRINAS MP3EI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI atas dukungan dana sehingga penelitian ini dapat berlangsung. 7. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kepala BPTPH Provinsi Sulawesi Tenggara atas perkenaannya memberikan izin belajar sehingga kami dapat melanjutkan studi, serta rekan-rekan staf BPTPH atas segala bantuan dan dukungannya selama ini. 8. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan 2015 Prodi Agronomi Program Pasca sarjana UHO atas segala bantuan dan kerjasamanya.
vii
9.
Vit Neru Satrah SP., M.P., Sulqifly SP., M.P., Eko Aprianto Johan SP, M.P., Dedi, Rahmat, Musa, Dermansyah, serta semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan. Akhir kata teriring doa dan harapan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkannya dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan demi kemajuan dibidang pertanian.
Kendari, Penulis,
Pebruari 2017
Handrid
viii
ABSTRAK HANDRID (G2A1 15 014). Kemangkusan Biofresh dan Bahan Organik dalam Meningkatkan Ketahanan Terhadap Penyakit dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada Dua Jenis Varietas di Lahan Ultisol, dibawah bimbingan Dr. Ir. H. Andi Khaeruni R., M.Si. sebagai pembimbing I dan Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Si. sebagai pembimbing II. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2016 di Desa Lamomea, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, yang bertujuan untuk mengetahui kemangkusan (efektifitas) Biofresh + bahan organik yang berbeda yang di aplikasi pada dua jenis varietas serta mengkaji perlakuan yang memberikan hasil terbaik terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung di lahan ultisol, dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Petak Utama adalah jenis varitas tanaman jagung yang terdiri dari 2 taraf yaitu; varitas BISI 2 (V1), varitas Valentino (V2), dan Anak Petak adalah kombinasi Biofresh dan bahan organik, yang terdiri dari 7 taraf yaitu; tanpa Biofresh dan bahan organik/kontrol (B0), bahan organik kotoran sapi (B1), Biofresh (B2), bahan organik kotoran sapi + Biofresh (B3), bokashi dari jerami padi + Biofresh (B4), bokashi dari serasah kedelai + Biofresh (B5), bokashi dari jerami padi + bokashi dari serasah kedelai+Biofresh (B6) yang masing-masing terdiri dari 3 ulangan, sehingga total petak unit percobaan sebanyak 42 unit. Datadata hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam dan jika hasilnya menunjukkan perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perlakuan terbaik, dan dihitung Indeks Penekanan Penyakit (IPP) untuk mengetahui kemangkusan Biofresh. Hasil penelitian menunjukkan aplikasi Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino, mampu meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun dengan IPP sebesar 64,3% dan meningkatkan produktivitas jagung sebesar 10,5 ton ha-1 tongkol basah sebagai perlakuan terbaik, dan pada varietas jenis pakan ternak BISI2 perlakuan Biofresh + bokashi dari serasah kedelai, mampu meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun dengan IPP sebesar 41% dan meningkatkan produktivitas jagung sebesar 4,2 ton ha-1 kering pipil.. Kata kunci : Biofresh, Bahan Organik, Jagung, Penyakit Hawar Daun.
ix
ABSTRACT HANDRID (G2A1 15 014). “The Effectiveness of Biofresh and Organic materials in Increasing Disease Resistance and Productivity of Two Varieties of Corns (Zea mays L.) in Ultisol Land.” Supervised by Dr. Ir. H. Andi Khaeruni R., M.Sc. as supervisor I, and Prof. Dr. Ir. Gusti Ayu Kade Sutariati, M.Sc. as supervisor II. This study was conducted from September to December 2016 in Lamomea village, sub District of Konda, south Konawe regency, which aims to find effectiveness Biofresh + organic matter in different applications on two types of varieties as well as assess treatment gives the best results to increased resistance to diseases and production of corn on ultisol land, by using Split Plot Design in a Randomized Block Design (RBD). In the Main plot was a variety of corn consisting of two degrees namely: BISI 2 variety (V1), Valentino variety (V2), and Sub Plot wich was a combination of Biofresh and organic materials, consisting of 7 degrees, namely: without organic material/control (B0), cow dung manure (B1), Biofresh (B2), cow dung manure+Biofresh (B3), Bokashi of rice straw+Biofresh (B4), Bokashi of soy litter+Biofresh (B5), Bokashi of rice straw+Bokashi of soy litter+Biofresh (B6) each consisting of three repetitions, so theret was a total of 42 experimental units. Data gathered from observation were analyzed using the of variance analysis and if the result showed a significance difference, the analysis was continued to the Duncans Multiple Range Test (DMRT) at 95% degree of significance to find out the best treatment, and Disease Emphasis Index (DEI) was calculated to determine the effectiveness of Biofresh. Results of the study showed application Biofresh + Bokashi of soy litter and rice straw in Valentino F1 varieties consumption type, able to improve plant resistance to the corn leaf blight with IPP of 64,3% and increased productivity of 10,5 tonnes ha-1 wet cobs as the best treatment, and the type of fodder varieties BISI2 Biofresh + bokashi of soy litter treatment, corn can improve plant resistance to leaf blight with IPP by 41% and increase the productivity of 4,2 tonnes ha-1 loosen dry. Keywords: Biofresh, Organic materials, corn, leaf blight disease.
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i HALAMAN PRASYARAT GELAR….……………………………………
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN…………………………………..
iii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….
iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
v
ABSTRAK………………………………………………………………….... viii ABSTRACT …………………………………………………………………
ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
x
DAFTAR TABEL……………………………………………………………
xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xiv BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang……………………………………………….... 1.2. Rumusan masalah……………………………………………… 1.3. Tujuan penelitian…………………………………………….... 1.4. Manfaat penelitian……………………………………………..
1 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori………...……………………………………... 2.1.1. Tanaman jagung …………….………………………… 2.1.2. Penyakit hawar daun.………………………….............. 2.1.3. Agens hayati.……………………................................... 2.1.4. Biofresh………………………………………………… 2.1.5. Bahan organik…………………………………………... 2.1.6. Lahan ultisol…………………………………………… 2.2. Penelitian terdahulu…………………………………………..
6 6 9 12 18 19 24 26
BAB III KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka pemikiran................................................................... 3.2. Hipotesis....................................................................................
30 33
BAB II
xi
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan waktu penelitian…………………………………. 4.2. Bahan dan alat………………………………………………... 4.3. Rancangan penelitian…………………………………………. 4.4. Prosedur penelitian…..………………………………………... 4.5. Variabel pengamatan………………………………………….. 4.6. Analisis data…………………………………………………... BAB V
34 34 34 36 39 42
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………… 43 5.1. Keparahan penyakit hawar daun………………………………. 44 5.2. Indeks penekanan penyakit…………………………………….. 49 5.3. Variabel pertumbuhan ...................................................................54 5.4. Bobot/tongkol, Bobot 1000 biji dan Produksi Ton ha-1………... 56 5.5.Analisis regresi ........................……………………………......... 60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan……………………………………......................... 69 6.2. Saran……………………………………………………………. 70 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..... 71 LAMPIRAN………………………………………………………………........ 76
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pada semua variabel pengamatan..................................................
43
Pengaruh interaksi perlakuan terhadap keparahan penyakit hawar daun pada umur 6 MST .............................................
46
Pengaruh interaksi perlakuan terhadap keparahan penyakit hawar daun umur 9 MST……………...………...................
47
Pengaruh perlakuan terhadap Luas Daerah di Bawah Kurva Perkembangan Penyakit dan Indeks Penekanan Penyakit hawar daun ………………………………………………..
50
Pengaruh interaksi perlakuan terhadap; Indeks Penekanan Penyakit ..................……….................................................
51
Tabel 6.
Pengaruh Interaksi perlakuan terhadap bobot/tongkol …...
56
Tabel 7.
Hasil konversi produksi (ton ha-1) pada setiap perlakuan....
57
Tabel 8.
Hasil analisis regresi linear sederhana IPP versus Produksi pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1), menggunakan program SPSS v.20...............................................................
61
Hasil analisis regresi linear sederhana IPP versus Produksi pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2), menggunakan program SPSS v.20.......................................
63
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3. Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 9.
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1.
Kerangka alur pikir penelitian……………………………….
32
Gambar 2.
Pengaruh mandiri jenis varietas dan Biofresh + bahan organik terhadap keparahan penyakit hawar daun pada umur 5 MST ...............................................................................
46
Kurva dinamika pengaruh perlakuan terhadap Luas Daerah di Bawah Kurva Perkembangan Penyakit hawar daun……...
50
Grafik pengaruh perlakuan terhadap persentase kenaikan pada setiap variabel pengamatan ............................................
55
Pengaruh perlakuan terhadap bobot 1000 biji kering pipil pada varietas BISI2................................................................
57
Normal P.P. plot standar residu Produksi versus Indeks Penekanan Penyakit………………………………………….
60
Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
Hal.
Lampiran 1. Lampiran 2a,2b.
Desain penelitian………………………………………………..
76
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 4 MST ………………………………...
77
Lampiran 3a,3b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 5 MST....................................................
78
Lampiran 4a,4b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 6 MST....................................................
79
Lampiran 5a,5b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 7 MST....................................................
80
Lampiran 6a,6b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 8 MST....................................................
81
Lampiran 7.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 9 MST...................................................
82
Lampiran 8a,8b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam keparahan penyakit hawar daun, pada umur 10 MST..................................................
83
Lampiran 9a,9b.
Data dan analisis ragam luas daerah di bawah kurva keparahan penyakit dan Indeks Penekanan Penyakit hawar daun…..……...
84
Lampiran 10a,10b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam tinggi tanaman, pada umur 2 MST..................................................................................
85
Lampiran 11a,11b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam tinggi tanaman, pada umur 4 MST.................................................................................
86
Lampiran 12a,12b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam tinggi tanaman, pada umur 6 MST……………………..................................................
87
Lampiran 13a,13b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam tinggi tanaman, pada umur 8 MST..................................................................................
88
Lampiran 14a,14b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam tinggi tanaman, pada umur 10 MST................................................................................
89
xv
Lampiran 15a,15b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam jumlah daun tanaman, pada umur 2 MST.........................................................
90
Lampiran 16a,16b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam jumlah daun tanaman, pada umur 4 MST……………………….....................
91
Lampiran 17a,17b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam jumlah daun tanaman, pada umur 6 MST…………………………………….
92
Lampiran 18a,18b.
Data hasil pengamatan pada umur 8 MST dan persentase peningkatan nilai pada semua variabel pengamatan…………….
93
.Lampiran Data hasil pengamatan dan analisis ragam panjang tongkol 19a,19b. jagung...........................................................................................
94
Lampiran 20a, 20b..
Data hasil pengamatan dan analisis ragam lingkaran tongkol jagung…………………………………………………………...
95
Lampiran 21a, 21b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam jumlah baris biji/tongkol………………………………………………………
96
Lampiran 22a, 22b. Lampiran 23a, 23b.
Data hasil pengamatan dan analisis ragam bobot/tongkol………
97
Data hasil pengamatan dan analisis ragam bobot1000 Biji kering pipil pada varietas BISI2…………………………....….
98
Lampiran 24a.24b. .Lampiran 25..
Data hasil pengamatan dan analisis ragam produksi ton ha-1 ….
99
Analisis korelasi dan regresi; produksi versus Indeks Penekanan Penyakit pada V1………………………………….......................
100
.Lampiran
Analisis korelasi dan regresi; produksi versus Indeks Penekanan Penyakit pada V2 …......................................................................
101
Hasil Analisis Bokashi…………………………………………..
102
Deskripsi jagung varietas BISI2 dan F1 varietas Valentino ……
103
Dokumentasi penelitian.................................................................
104
Riwayat hidup penulis ..................................................................
109
26. .Lampiran 27. .Lampiran 28 Lampiran 29. Lampiran 30.
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu komoditas pangan penting dan strategis, karena menurut FAO dibeberapa negara di dunia jagung dijadikan sebagai makanan pokok, yang menempati urutan keiga setelah gandum dan beras dan di Indonesia menempati urutan kedua setelah beras, selain itu jagung juga dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Seiring dengan pertambahan penduduk dan semakin berkembangnya industri pangan dan pakan ternak, maka kebutuhan jagung akan semakin meningkat pula. Dalam upaya memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri diera pemerintahan sekarang ini telah dicanangkan program swasembada jagung dengan sasaran produksi nasional di tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 berturut-turut sebesar 20.549.456; 21.022.094; 21.505.602; 22.000.231; 22.506.236 ton. Dan Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 74.105; 75.810; 77.553; 79.337; 81.162 ton (DEPTAN, 2015). Luas panen jagung nasional tahun 2015 seluas 3.787.367 ha dengan produksi sebesar 19.612.435 ton dan produktivitas sebesar 5,178 ton ha-1, dan provinsi Sulawesi Tenggara seluas 23.945 ha dengan produksi sebesar 68.141 ton dengan produktivitas 2,846 ton ha-1. Pencapaian produktivitas Sulawesi Tenggara maupun secara nasional masih jauh dari potensi hasil tanaman jagung yang dapat mencapai 9-13 ton ha-1 (BPS R.I., 2016).
2
Di Sulawesi Tenggara potensi pengembangan tanaman jagung sangat besar karena memiliki lahan kering yang cukup luas, namun produktivitasnya masih sangat rendah, hal ini selain disebabkan karena sistem budidaya yang belum intensif, dan kehilangan hasil oleh penyakit, salah satu penyakit penting tanaman jagung adalah penyakit hawar daun yang di sebabkan oleh Helminthosporium sp, yang dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga mencapai 100% atau puso pada tingkat infeksi dan penularan yang berat (Roliyah, 2000). juga disebabkan karena pada umumnya lahan di Sulawesi Tenggara merupakan tanah ultisol yang memiliki karakteristik kurang subur, kemasaman tanah yang tinggi (pH rata-rata < 4,50), kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, kandungan bahan organik rendah, umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat (Prasetyo et al., 2006). Selama ini dalam upaya mengendalikan penyakit hawar daun tanaman jagung, petani banyak mengandalkan pestisida kimia sintetis, namun telah disadari akan berbagai dampak negatifnya. Penggunaan agens hayati mikroba dalam suatu sistem pertanian mempunyai potensi untuk melindungi tanaman selama siklus hidupnya yang ramah lingkungan dan sekaligus meningkatkan produksi. Beberapa jenis bakteri rizosfer memiliki kemampuan menghasilkan senyawa metabolik sekunder, hormon tumbuh IAA, memfiksasi N, melarutkan P dan berbagai enzim hidrolitik, sehingga memberi manfaat ganda bagi tanaman, karena selain berperan sebagai anti-mikroba yang
3
menekan pertumbuhan pathogen juga memacu peningkatan pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya meningkatkan hasil tanaman sebagai akibat dari pengendalian jangka panjang (Zhang, 2004; Yan et al., 2004). Biofresh adalah agens hayati yang dapat berfungsi sebagai biofertilizer dan biopestisida, hasil pencampuran tiga isolate rizobakteri indigenos, yang terdiri dari Bacillus subtilis ST21e, B. cereus ST21b dan Serratia sp. SS29a yang diformulasi dalam media pembawa yang mampu mensekresi enzim selluler (kitinase, sellulase dan proteinase), memproduksi fitohormon IAA, melarutkan fosfat dan menfiksasi N bebas di udara (Khaeruni et al., 2010). Penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetik dalam pertanian telah merusak struktur fisik, kimia dan biologi tanah, yang mengakibatkan terdegradasinya daya dukung dan kualitas tanah pertanian di Indonesia, sehingga produktivitas lahan semakin turun dan kondisi tanah makin lama makin tidak subur (Isnaini, 2006; Rachman et.al., 2006). Pemanfaatan bahan organik yang merupakan sisa tanaman, hewan dan sampah organik lainnya yang dapat berguna sebagai sumber hara tanaman sekaligus dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, juga dapat meningkatkan jumlah dan aktifitas mukroorganisme tanah (Barbarick, 2006). Untuk mengatasi permasalahan kurangnya kesuburan tanah pada lahan ultisol dan penyakit tanaman jagung, dengan menyadari akan dampak negatif penggunaan bahan kimia sintetis, maka diperlukan suatu teknologi tepat guna yang berwawasan ekologi. Salah satu alternatif yang dapat
4
diterapkan yaitu penggunaan agensia hayati dan bahan organik, yang merupakan teknologi tepatguna yang bijak karena tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dalam sistem pertanian yang berkelanjutan dalam mendukung peningkatan produksi dan produktifitas jagung di Sulawesi Tenggara khususnya maupun secara nasional, guna memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri yang selalu menunjukkan trend peningkatan setiap tahunnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah ada pengaruh interaksi aplikasi Biofresh dan bahan organik yang berbeda terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol? 2. Apakah ada pengaruh mandiri aplikasi Biofresh dan bahan organik yang berbeda terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol? 3. Jika berpengaruh nyata, perlakuan mana yang memberikan hasil terbaik terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol?.
5
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengkaji pengaruh interaksi aplikasi Biofresh dan bahan organik yang berbeda terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol. 2. Mengkaji pengaruh mandiri aplikasi Biofresh dan bahan organik yang berbeda terhadap peningkatan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol. 3. Mengetahui perlakuan Biofresh + jenis bahan organik yang terbaik dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani tentang penggunaan agensi hayati Biofresh yang diintegrasikan dengan bahan organik sebagai salah satu solusi dalam upaya meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung di lahan ultisol yang ramah lingkungan dan dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi peneliti selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 1) Tanaman Jagung (Zea mays L.) a. Klasifikasi Tanaman Jagung Menurut Adisarwanto et al. (2004) klasifikasi tanaman jagung adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae (rumput-rumputan)
Familia
: Graminaceae
Genus
: Zea
Species
: Zea mays L.
b. Sejarah singkat Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji bijian dari keluarga rumput-rumputan, berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika. Sekitar abad ke-16 orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Orang Belanda menamakannya mais dan orang Inggris menamakannya corn (Deskripsi varietas BISI 2 dan Valentino terlampir).
7
Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut persyaratan lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan pada kondisi tanah yang agak kering, tetapi untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki beberapa persyaratan (Adisarwanto et al., 2004).
c. Syarat Tumbuh Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah- daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 derajat LU dan 0-40 derajat LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan, dan menjelang musim kemarau. Pertumbuhan tanaman jagung sangat membutuhkan sinar matahari. Tanaman jagung yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat/merana, dan memberikan hasil biji yang kurang baik bahkan tidak dapat membentuk buah. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21-34OC, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 2327OC. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 300C. Saat panen jagung yang jatuh pada musim
8
kemarau akan lebih baik daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil. Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus, namun agar dapat tumbuh optimal tanah harus gembur, subur dan kaya humus. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain: andosol (berasal dari gunung berapi), latosol, grumosol, tanah berpasir. Pada tanah-tanah dengan tekstur berat (grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik dengan pengolahan tanah secara baik. Sedangkan untuk tanah dengan tekstur lempung liat (latosol) berdebu adalah yang terbaik untuk pertumbuhannya. Keasaman tanah erat hubungannya
dengan
ketersediaan
unsur-unsur
hara
tanaman.
Keasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah pH antara 5,6-7,5. Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik.Tanah dengan kemiringan kurang dari 8% dapat ditanami jagung, karena disana kemungkinan terjadinya erosi tanah sangat kecil. Sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8%, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu. Jagung dapat ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 10001800 m dpl, dengan ketinggian optimum antara 0-600 m dpl yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung (Prastowo et al., 1998).
9
2) Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium sp) Klasifikasi dari jamur Helminthosporium sp adalah sebagai berikut: Divisio
: Amastigomyceta
Sub Divisio
: Deuteromycotina
Kelas
: Deuteromycetes
Sub Kelas
: Hyphomycetidae
Ordo
: Hypales
Family
: Dematiaceae
Genus
: Helminthosporium
Spesies
: Helminthosporium turcicum, H. sigmoideumm, H. oryzae dan H. maydis (Alexopoulus, 1996) Dari
Dematiaceae-Phragmospore,
marga
Helminthosporium
kebanyakan menyerang Graminae. Yang mempunyai konidiofor tegak dan kuat, berwarna coklat. Konidium seperti kumparan atau seperti gada panjang, sering agak bengkok, bersekat banyak berwarna coklat, konidium berdinding tebal. Marga Helminthosporium dipecah menjadi beberapa marga, antara lain Drechslera, Bipolaris, dan Exserohilum. H. turcicum (Exserohilum turcicum) menyerang bunga dan daun jagung (Semangun, 1996). Penyakit hawar daun (leaf blight) turcicum disebabkan oleh jamur H. turcicum (Pass.) Leonard et Suggs. Jamur membentuk konidiofor yang keluar dari mulut daun (stomata), satu atau dua dalam kelompok, lurus atau lentur, berwarna coklat, panjangnya sampai 300 μm, tebal 7-11 μm, secara umum 8-9 μm. Konidium lurus atau agak melengkung, jorong atau berbentuk
10
gada terbalik, pucat atau berwarna coklat jerami, halus mempunyai 4-9 sekat palsu, panjang 50-144 (115) μm, dan bagian yang paling lebar berukuran 1833 μm, kebanyakan 20-24 μm. Konidium mempunyai hilum menonjol dengan jelas, yang merupakan ciri dari marga Drechslera. Dalam biakan murni, D. turcicum membentuk askus dalam peritesium. Stadium sempurna dari jamur ini disebut Setosphaeria turcica (Luttrell) Leonard et Suggs atau Trichometasphaeria turcica (Pass.) Luttrell (Holliday, 1980). Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh H. turcicum merupakan salah satu penyakit utama pada jagung setelah bulai. Patogen ini menular melalui udara sehingga mudah menyebar. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan ini dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Suhu optimum untuk perkecambahan konidia Helminthosporium maydis sekitar 30
O
C,
sedangkan untuk H turcicum antara 20-26 OC. Cendawan Helminthosporium sp. banyak membentuk konidia pada lingkungan dengan kelembaban udara antara 97-98% dan suhu antara 20-30 OC. Kondisi tersebut umum dijumpai pada areal pertanaman jagung di Indonesia sehingga hawar daun hampir selalu ditemukan pada setiap musim tanam (Semangun, 2008). Sporulasi H. turcicum di lapang terjadi pada permukaan tanaman yang terinfeksi. Setelah itu spora lepas, kemudian terbawa oleh angin dan hinggap pada permukaan tanaman yang lain. Selanjutnya spora beradhesi, melakukan penetrasi awal, kemudian membentuk bercak dan berkembang. Siklus hidup cendawan Exserohilum turcicum berlangsung 2–3 hari. Dalam 72 jam satu bercak mampu menghasilkan 100–300 konidia. Jamur H.
11
turcicum dapat bertahan hidup pada tanaman jagung yang masih hidup, beberapa jenis rumput-rumputan termasuk sorgum, pada sisa-sisa tanaman jagung sakit dan pada biji jagung. Konidium jamur ini disebarkan melalui angin. Di udara konidium yang terbanyak terdapat menjelang tengah hari. Konidium berkecambah dan pembuluh kecambah mengadakan infeksi melalui stomata atau dengan mengadakan penetrasi secara langsung, yang didahului dengan pembentukan apresorium. Patogen dalam bentuk miselium dorman juga mampu bertahan hingga satu tahun pada sisa tanaman jagung, sehingga penyakit bersifat laten serta mampu menyebabkan serangan secara sporadis yang serius terutama pada varietas rentan (Sumartini et al., 1995). Gejala serangan tanaman jagung yang terserang cendawan Helminthosporium sp menampakkan gejala berupa berwarna pucat sampai coklat, daerah nekrosis dengan lingkaran konsentris (sedikit mirip dengan noda cincin), bercak coklat kelabu seperti jerami pada permukaan daun dengan ukuran panjang 4 cm dan lebar 0,6 cm untuk H. maydis, dan untuk H. turcicum mempunyai ukuran panjang 5-15 cm dan lebar 1-2 cm, serta untuk H. carbonum berukuran panjang 2,5 cm dan lebar 0,3-0,6 cm. Sisi-sisi bercak sejajar dengan tulang daun utama dan pada tingkat serangan yang berat dapat menyebabkan daun mongering. Untuk membedakan gejala H. maydis dan H. turcicum dapat dibedakan pada ukuran dan warna bercak. Bercak H. turcicum ukurannya lebih panjang dan lebih lebar, serta warna lebih hitam (Semangun, 2008).
12
Jarak tanam yang rapat menyebabkan kelembaban udara di sekitar tanaman menjadi lebih tinggi dan suhu menjadi optimal bagi perkembangan H. turcicum. Tanaman jagung yang terinfeksi cendawan Helminthosporium sp pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang lebih berat dibanding bila penularan terjadi pada tanaman yang lebih tua dan ini akan berpengaruh terhadap kehilangan hasil (Sumartini et al., 1995). Menurut Sudjono (1988), jika tanaman jagung tertular sebelum keluar rambut (bunga betina) dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 59%. Kehilangan hasil akibat H. turcicum dapat mencapai 100% atau puso pada tingkat penularan yang berat (Roliyah, 2000).
3) Agensi Hayati Agensi hayati adalah setiap organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan atau mematikan suatu OPT. Pengertian agens hayati menurut FAO (1988) adalah mikroorganisme, baik yang terjadi secara alami seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik (genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengertian ini hanya mencakup mikroorganisme, padahal agens hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme, tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian, pengertian agens hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO (1997), yaitu organisme
13
yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, artropoda pemakan tumbuhan, dan patogen. Lebih jauh, jika diperhatikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995 tentang pengertian agens hayati maka maknanya menjadi lebih sempurna lagi, yaitu setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya Definisi terakhir mempunyai pengertian bahwa agens hayati tidak hanya digunakan untuk mengendalikan OPT, tetapi juga mencakup pengertian penggunaannya untuk mengendalikan jasad pengganggu pada proses produksi dan pengolahan hasil pertanian (Permentan, 2009) Keanekaragaman
mikroorganisme
bermanfaat
dan
kekayaan
sumberdaya alam dalam tanah pertanian, menjanjikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan dalam pengembangan biofertilizer dan pengendalian biologi (biopesticides) penyakit tanaman di dalam sistem pertanian. Agens hayati dari kelompok rizobakteri yang memiliki kemampuan memacu pertumbuhan tanaman digolongkan sebagai Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Van Loon, 2007). Mikroorganisme yang umum digunakan sebagai bahan aktif pupuk hayati ialah: 1) bakteri fiksasi nitrogen non simbiotik Azotobacter sp. dan
14
Azospirillum sp., 2) bakteri fiksasi nitrogen simbiotik Rhizobium sp., 3) bakteri pelarut fosfat Bacillus megaterium, B. subtillis dan Pseudomonas sp., 4) mikroba dekomposer Cellulomonas sp. dan Saccharomyces cereviceae (Suwahyono, 2011). Penggunaan agen hayati diyakini memiliki kelebihan karena sesuai dengan prinsip keseimbangan ekosistem diantaranya, 1) selektif, artinya mikroba dalam agen hayati tidak akan menyerang organisme yang bermanfaat bagi tumbuhan karena agen hayati hanya akan menyerang hama penyakit sasaran, 2) sudah tersedia di alam. Sebenarnya secara alami agen hayati sudah tersedia dialam, namun karena penggunaan pestisida yang tidak sesuai menyebabkan keseimbangan ekosistem mulai goyah dan populasinya terganggu, 3) mampu mencari sasaran sendiri, karena agen hayati adalah makhluk hidup yang bersifat patogen bagi organisme pengganggu, maka agen hayati dapat secara alami menemukan hama dan penyakit sasarannya, 4) tidak ada efek samping, 5) relatif murah, 6) tidak menimbulkan resistensi OPT sasaran. Dan juga memiliki kelemahan diantaranya, 1) bekerja secara lambat. Kondisi ini seringkali membuat petani tidak sabar menunggu hasilnya dan menganggap agen hayati tidak manjur. Akhirnya petani kembali beralih ke pestisida kimiawi, 2) sulit diprediksi hasilnya. Perkembangbiakan agen hayati setelah diaplikasikan sangat tergantung dengan ekosistem pada saat pengaplikasian. Jika kondisinya mendukung, maka pertumbuhan agen hayati akan maksimal, 3) lebih
15
optimal jika digunakan untuk preventif, karena membutuhkan waktu untuk pertumbuhannya. Kurang cocok digunakan untuk kuratif, apalagi saat terjadi ledakan hama karena bekerja secara lambat, 4) penggunaan sesering mungkin, 5) pada jenis agens hayati tertentu sulit dikembangkan secara massal. Penyakit-penyakit tanaman pertanian yang dapat diatasi dengan penambahan agens antagonis ke dalam tanah adalah penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora sp., Fusarium sp. Rhizoctonia sp dan beberapa pathogen tular tanah lainnya yang menyerang pada tanaman kentang, cabai, pisang, jagung, sawi dan terong (Deswati et al., 2000). Sebagai agensi pengendali hayati berbagai jenis rizobakteri memiliki kemampuan menghasilkan senyawa metabolik sekunder seperti antibiotik, siderofor, hidrogen sianida dan berbagai enzim hidrolitik seperti kitinase, protease dan sellulase (Zhang, 2004). Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan berperan sebagai senyawa anti-mikroba untuk menekan pertumbuhan patogen (Van Loon, 2007)
Beberapa rizobakteri seperti
Pseudomonas fluorescens dilaporkan menghasilkan senyawa antibiotik yang dapat melisis hifa cendawan Macrophomona phaseoli secara in vitro sehingga pertumbuhan koloninya tidak sempurna (Gupta et al., 2001). Senyawa metabolik lain yang dihasilkan bakteri dari kelompok Pseudomonas adalah hidrogen sianida (HCN) yang bersifat toksik terhadap cendawan patogen (Fuente et al., 2004). Selain memproduksi senyawa metabolik dan enzim ekstraselluler, pengendalian terhadap patogen oleh rizobakteri juga dapat melalui
16
mekanisme kompetisi nutrisi. Pada kondisi lingkungan yang kekurangan Fe, sejumlah bakteri seperti P. fluorescens mampu memproduksi siderofor untuk menghelat besi dengan afinitas tinggi (Dwivedi et al., 2003). Pemanfaatan bakteri yang mampu melarutkan fosfat juga berperan dalam memacu pertumbuhan tanaman, hal ini disebabkan karena senyawa fosfat yang ada di lingkungan tumbuh tanaman tidak selalu tersedia bagi tanaman sehingga keberadaan bakteri ini di rizosfer tanaman akan membantu penyediaan fosfat bagi tanaman. Beberapa bakteri dari kelompok Bacillus spp., Pseudomonas spp. dilaporkan mampu melarutkan fosfat (Mia et al., 2010; Faccini et al., 2004). Semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan serangan patogen (Van Loon et al., 1998). Hal ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis dan kimia yang dapat mencegah infeksi (Sastrahidayat, 1990). Pengimbas ketahanan dapat berupa elisitor hayati, bahan kimia toksin dan tak-toksin, sinar ultraviolet, kompos, dan agensia lainnya. Ketahanan penyakit terimbas merupakan proses ketahanan aktif yang tergantung pada penghalang fisik atau kimia tanaman inang, yang diaktifkan oleh agensia pengimbas, yang dapat melindungi tanaman terhadap patogen tanah dan dedaunan. Ketahanan terimbas merupakan daya peningkatan pertahanan yang dikembangkan tanaman karena adanya rangsangan yang sesuai. Dalam mengendalikan patogen tanaman sangat tergantung dari mekanisme yang dimiliki agens biokontrol (Soesanto, 2008).
17
Pada umumnya, ketahanan terimbas adalah ketahanan sistemi,.hal ini terjadi karena daya pertahanan ditingkatkan tidak hanya pada bagian tanaman yang terinfeksi, tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang tidak terinfeksi. Oleh karena bersifat sistemik, ketahanan terimbas umumnya dirujuk sebagai SAR (Systemic Acquired Resistence). Akan tetapi, ketahanan terimbas tidak selalu ditampakkan secara sistemik, dapat juga ditampakkan secara setempat (Locally Acquired Systemic = LAR), meskipun keaktifannya sama terhadap beragam tipe patogen tanaman (Van Loon et al., 1998). Perlakuan menggunakan agen penginduksi dapat mengaktifkan secara cepat berbagai
resistensi tanaman, diantaranya akumulasi
fitoaleksin dan peningkatan aktivitas enzim kitinase, β-1,3-glukanase, β1,4-glukosidase. Tanaman tahan menghasilkan protein yang dapat menghambat enzim hidrolisis perusak sel yang dihasilkan patogen. Di lain pihak, sel tanaman inang yang mengandung enzim hidrolisis, seperti glukonase dan kitinase, mampu merusak dinding sel patogen, yang menyebabkan inang tahan terhadap infeksi. Baik tanaman tahan maupun rentan
menghasilkan
fitoaleksin,
tetapi
tumbuhan
yang
tahan
membentuknya lebih cepat dan lebih banyak, namun apabila jaringan menjadi tua, kadar zat penghambat menurun, demikian pula ketahanannya terhadap infeksi (Semangun, 2001). Ketahanan yang dihasilkan melalui mekanisme induksi ketahanan dapat berspektrum luas, baik terhadap cendawan, bakteri maupun virus (Van Loon et al., 1998).
18
4) Biofresh Biofresh adalah agens hayati yang dapat berfungsi sebagai biofertilizer dan biopestisida, hasil pencampuran tiga isolate rizobakteri indigenos, yang terdiri dari Bacillus subtilis ST21e, B. cereus ST21b dan Serratia sp. SS29a yang diformulasi dalam media pembawa (Khaeruni et al., 2010a), yang mampu mensekresi enzim selluler (kitinase, sellulase dan proteinase), memproduksi fitohormon IAA, melarutkan fosfat dan menfiksasi N bebas di udara (Khaeruni et al., 2010b). Diketahui bahwa B. subtilis menghasilkan senyawa terlarut yang tidak menguap serta
memiliki
aktivitas anticendawan yang tinggi.
Bakteri ini juga dapat berperan dalam menekan beberapa cendawan patogen seperti Rhizoctonia dan Fusarium (Sadrati et al., 2013). Spora bakteri dari beberapa jenis Bacillus sp. (B. cereus, B. clausii, dan B. pumilus) yang telah dikarakterisasi banyak dimanfaatkan untuk uji aktivitas anticendawan (Płaza et al., 2012). Produksi senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan B. cereus yang telah diuji secara in vitro
terhadap cendawan patogen kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan anticendawan (Romeiro et al., 2010). Lebih lanjut Khanafari et al., (2006) menyatakan B. subtilis menghasilkan basitrasin (antibiotik). Serratia sp adalah bakteri gram negatif yang memiliki flagella peritrik, sehingga bersifat mobil, yang menghasilkan Prodigiosin yang merupakan senyawa metabolit sekunder multiaspek yang mempunyai
19
aktivitas antibakterial, antifungal, dan antiprotozoal, bersifat cytotoxic, antioksidan . 5) Bahan Organik Bahan organik adalah jumlah total substansi yang mengandung karbon organik di dalam tanah, terdiri dari campuran residu tanaman dan hewan dalam berbagai tahap dekomposisi, tubuh mikroorganisme dan hewan kecil yang masih hidup maupun yang sudah mati. Pupuk organik merupakan sisa tanaman, hewan dan sampah organik lainnya yang biasa ditambahkan kedalam tanah sebagai sumber hara tanaman dan juga untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Pupuk organik ini tidak mengandung unsur hara dalam jumlah yang besar namun penambahan bahan organik kedalam tanah dapat menurunkan defisiensi nitrogen pada tanaman. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah juga dapat meningkatkan jumlah dan aktifitas mikroorganisme tanah (Barbarick, 2006). Beberapa peran pupuk organik di dalam tanah antara lain adalah; 1) memperbaiki struktur tanah; pengolahan tanah menjadi lebih mudah karena tanah menjadi lebih ringan dan gembur. 2) pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman. 3) mikrobia–mikrobia yang terdapat dalam pupuk organik membantu meningkatkan kesuburan tanah melalui pengikatan nitrogen, dan juga membantu dalam proses mineralisasi senyawa-senyawa kimia dalam tanah. 4) pupuk organik juga mengandung hormon-hormon dan zat antibiotik yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa sifat baik
20
dari peranan bahan organik antara lain adalah; a) penyedia hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan hara mikro (Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe), meskipun jumlahnya relatif sedikit, b) meningkatkan kapasitas tukar kation/meningkatkan daya menahan air, sehingga kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak, c) dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn
Bahan organik juga merupakan sumber energi bagi kehidupan
organisme tanah yang menjalankan berbagai proses penting di dalam tanah (Guadalupe, 2000; Purnomo, 2006; Suriadikarta et al., 2006). Bahan organik yang diberikan ke dalam tanah akan menjadi sumber energi dan makanan untuk bermacam-macam mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme yang bermacam-macam tersebut menjadi aktif melalui rantai makanan, kemudian bahan organik mengalami proses dekomposisi menghasilkan bermacam-macam senyawa organik dan unsur hara. Kadar N anorganik pada tanah yang ditambahkan bahan organik lebih besar dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan adanya proses atau reaksi mineralisasi atau adanya penambahan N anorganik hasil pelapukan bahan organik. Sebaliknya apabila tanah yang ditambah bahan organik terjadi penurunan N organik apabila dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan terjadinya immobilisasi atau pengambilan N anorganik oleh mikroorganisme tanah (Sutanto, 2002).
21
a. Pupuk Kandang Kotoran Sapi Perombakan bahan organik akan menyumbangkan unsur hara yang dikandungnya untuk tanaman. Hasil penelitian menunjukkan pupuk kandang kotoran sapi mempunyai kadar N 0,92%, P 0,23%, K 1,03%, Ca 0,38%, Mg 0,38%, yang akan dapat dimanfaatkan oleh tanaman kalau sudah terurai. Peningkatan hasil produksi tanaman dengan pemberian pupuk kandang bukan saja karena pupuk kandang merupakan sumber hara N dan juga unsur hara lainnya untuk pertumbuhan tanaman, selain itu pupuk kandang juga berfungsi dalam meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan meningkatkan KTK tanah (Noor et al., 1998). Pemberian bahan organik pupuk kandang selain meningkatkan kapasitas tukar kation juga dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air, sehingga unsur hara yang ada dalam tanah maupun yang ditambahkan dari luar tidak mudah larut dan hilang, unsur hara tersebut tersedia bagi tanaman. Pada tanah yang kandungan pasirnya lebih dari 30% dan kandungan bahan organiknya tergolong rendah dan sasngat memerlukan pemberian bahan organik untuk meningkatkan produksi dan mengefisiensikan pemupukan. Pupuk organik yang sering digunakan sebagai penambah bahan organik tanah adalah pupuk kandang sapi, karena mudah diperoleh dibandingkan dengan pupuk kandang lainnya. Nutrisi yang terkandung dalam pupuk kandang sapi
22
antara lain: N : 0,45 %, P : 0,09 %, K : 0,36 %, Mg : 0,09 %, S : 0,06 % dan B : 0,0045 % (Rosmarkan et al., 2002). b. Jerami Padi Jerami padi adalah serasah atau ampas tanaman padi yang terbuang setelah diambil padinya melalui alat perontok yang dapat digunakan sebagai bahan organik untuk pembuatan bokashi karena memiliki kandungan unsur hara yang tinggi. Kandungan hara NPK dan S dalam jerami berturut-turut adalah kalium 1,2-1,7 %, N (0.5-0.8 %), P (0.07-0.12 %), dan S (0.05-0.10 % (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan kadar hara P, K, Na, Ca, Mg, Mn, dan Cu pada jerami yang dikomposkan lebih tinggi dibandingkan jerami mentah. Untuk mempercepat pembusukan jerami sehingga lebih cepat menjadi kompos, saat ini telah banyak macam dekomposer (bioaktivator) yang tersedia, baik yang dihasilkan oleh balai penelitian maupun produk pabrikan yang telah beredar dipasaran (Gunarto et al., 2002). c. Serasah Kedelai Tanaman kedelai termasuk kelompok leguminosa yang menjadi sumber bahan organik yang berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5%, nisbah C/N rendah (<20), kandungan lignin rendah (<15%)
dan
polifenol
yang
rendah
(<4%)
sehingga
mudah
terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah (Rachman et al., 2006).
23
Nisbah C/N menentukan kecepatan dekomposisi, karena senyawa karbon dan nitrogen penting bagi mikroorganisme selama proses dekomposisi. Karbon diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Bahan serasah (biomasa) yang mempunyai nisbah C/N tinggi lebih lambat terdekomposisi (Sulistiyanto et al., 2005). Nisbah C/N tinggi berarti N dalam bahan organik sangat kecil sehingga N yang ada akan dimanfaatkan terlebih dahulu oleh mikroba untuk kebutuhan fisiologisnya. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N yang rendah (seperti golongan legum) umumnya akan lebih cepat mengalami dekomposisi, yaitu 50% sudah melapuk pada minggu ketiga (Hairiah et al., 2007). Menurut Palm et al. (2001) kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5% dan nisbah C/N rendah (<20), sehingga mudah dirombak oleh mikroba dalam tanah. d. Bokashi Bokashi merupakan salah satu pupuk organik hasil fermentasi dari berbabagai bahan organik dengan bantuan dekomposer dan dapat digunakan sebagai pupuk organik, karena menambah unsur hara bagi tanaman.
Dari
beberapa
hasil
penggunaan pupuk bokashi dapat
penelitian
menunjukkan
bahwa
meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman, hal ini disebabkan karena bokashi yang berasal dari pupuk kandang sapi mengandung sejumlah unsur hara dan bahan
24
organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Ketersediaan hara dalam tanah, struktur tanah dan tata udara tanah yang baik sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar serta kemampuan akar tanaman dalam menyerap unsur hara. Perkembangan sistem perakaran yang baik sangat menentukan pertumbuhan vegetatif tanaman yang pada akhirnya menentukan pula fase reproduktif dan hasil tanaman. Pertumbuhan vegetatif yang baik akan menunjang fase generatif yang baik pula (Winarso, 2005).
6) Lahan Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang tersebar luas mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan di Indonesia. Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada. Ultisol berkembang mulai dari bahan induk yang bersifat masam hingga basa. Penampang tanah yang dalam dan kapasitas tukar kation yang tergolong sedang hingga tinggi menjadi peranan penting dalam pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia (Prasetyo et al., 2006). Kekurangan/kendala lahan ultisol antara lain; 1) kejenuhan Al, Mn dan Fe tinggi, menyebabkan unsur fosfor (P) kurang tersedia bagi tanaman, 2) sering mengandung Mn dalam jumlah yang beracun, 3) sangat miskin hara, 4) kejenuhan basa, kadar bahan organik dan pH rendah, 5) sematan P dan anion lain kuat, 6) rentan erosi karena lapisan permukaan mudah
25
memampat oleh tekanan beban yang menyebabkan laju infiltrasi lambat, permeabilitas rendah dengan keberadaaannya dalam kawasan curah hujan tinggi, 7) unsur molibdenum (Mo) kelarutannya sangat rendah pada tanah masam, unsur ini dibutuhkan tanaman legum dalam pembentukan bintil akar untuk menambat nitrogen (N) akibatnya penambahan N menjadi terhambat (Eswaran, 1984). Pembentukan tanah ultisol banyak dipengaruhi oleh bahan induk tua seperti batuan liat, iklim yang cukup panas dan basah, relief berombak sampai berbukit. Tanah ini memiliki horizon argilik yang bersifat masam dengan kejenuhan basa yang rendah. Pada kedalaman 1,8 m dari permukaan tanah kejenuhan basa kurang dari 35% (Hardjowigeno, 1993). Lahan ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa <35%, yang merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah ultisol menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis tanah ultisol mempunyai
KTK <16
cmol/kg-1 (liat). Reaksi tanah ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5-3,), kecuali tanah ultisol dari batu gamping yang memunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80-6,50). KTK pada tanah ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90-7,50 cmol/kg-1, 6,11-13,68 cmol/kg-1, dan 6,10-6,80 cmol/kg-1, sedangkan dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol kg-1). Beberapa tanah ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai KTK tinggi (Prasetyo et al., 2005).
26
2.2 Penelitian Terdahulu Serangkaian penelitian yang relevan dan mendasari penelitian ini telah dilakukan oleh beberapa pakar, dimana pada awalnya telah terseleksi sejumlah
isolat
rizobakteri
indigenous
yang
memiliki
kemampuan
menghambat cendawan patogen dan meningkatkan produksi kedelai dan jagung jika dibandingkan tanpa inokulasi rizobakteri, sehingga berpotensi dikembangkan sebagai bahan aktif pupuk hayati & biopestisida. Isolat rizobakteri lokal mampu mensekresi enzim selluler (kitinase, sellulase dan proteinase), memproduksi hormon IAA dan melarutkan fosfat, serta menfiksasi N bebas di udara, sehingga mampu menekan perkembangan pathogen Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani Sclerotium rolfsci dan Phytophthora capsici, serta meningkatkan viabilitas benih timun, tomat, jagung dan kedelai secara invivo (Khaeruni et al., 2009). Kajian selanjutnya menunjukkan bahwa pencampuran tiga isolat, Bacillus subtilis ST21e, B. cereus ST21b dan Serratia sp. SS29a yang diformulasi dalam pembawa dan diberi nama “Biofresh” (Khaeruni et al., 2010a), Penggunaan Biofresh mampu mensekresi enzim selluler (kitinase, sellulase dan proteinase), memproduksi hormon IAA dan melarutkan fosfat, serta menfiksasi N bebas di udara (Khaeruni et al., 2010b), mampu menekan perkembangan
penyakit
layu
Rhizoctonia
dan
Sclerotium,
memacu
pertumbuhan vegetatif pada tanaman kedelai dan jagung secara in-vivo serta mampu mengurangi penggunaan fungisida dan pupuk anorganik N,P,K
27
sebesar 40-60% pada tanaman tomat, dan jagung pada skala rumah kaca (Khaeruni et al., 2010c). Rizobakteri selain mampu mengendalikan patogen tular tanah juga dilaporkan dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit virus dan penyakit filosfer lainnya. Hasil kajian Khaeruni et al., (2013) menunjukkan bahwa penggunaan rizobakteri isolat P11a dan PKLK5 yang diisolasi dari pertanaman padi sehat mampu memacu pertumbuhan dan menginduksi ketahanan tanaman padi IR64 terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) pada skala rumah kasa. Aplikasi Biofresh pada benih dan umur tanaman 4 MST pada media tanam yang mengandung pupuk kandang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif dan hasil panen kedelai dan jagung pada skala rumah kasa (Khaeruni et. al., 2013), dan mampu menginduksi ketahanan tanaman kedelai terhadap penyakit virus mosaic dan hawar daun bakteri (Khaeruni et. al., 2013b). Formulasi biofertilizer berbasis rizobakteri lokal (Biofresh) yang telah diperoleh dan secara nyata mampu meningkatkan pertumbuhan, produksi dan ketahanan terhadap penyakit beberapa tanaman pangan dan hortikultura perlu diintegrasikan dengan bahan organik dan varietas adaptif
dalam sistem
budidaya tanaman terpadu untuk meningkatkan ketahanan dan produksi tanaman, khususnya tanaman jagung di lahan marjinal ultisol di wilayah koridor Sulawesi Tenggara untuk selanjutnya di sosialisasikan ke masyarakat secara luas, sehingga dapat menjadi bagian yang terintegrasi dalam penerapan pengelolaan tanaman jagung terpadu di suatu kawasan pengembangan jagung
28
dalam skala luas (Khaeruni et al., 2015). Hasil penelitian Anima (2010) menunjukkan
bahwa
isolat
rizobakteri
lokal
mampu
menghambat
pertumbuhan Rhizoctonia zeae sampai dengan 60%, mensekresi enzim ekstraseluler, menghasilkan hormon tumbuh IAA, dan melarutkan fosfat. Hasil penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini menunjukkan efektifitas rizobakteri Indigenos dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman kedelai di lahan ultisol, dan dipengaruhi oleh pemberian
bahan
organik
(Satrah,
2014).
Beberapa
penelitian
memperlihatkan bahwa penggunaan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) mampu memacu pertumbuhan tanaman sekaligus mengendalikan patogen tanaman sehingga mengurangi pemakaian senyawa kimia sintesis secara berlebihan, baik dalam penyediaan hara tanaman (biofertilizer) maupun dalam pengendalian patogen tanaman (bioprotectan) (Sutariati, 2006; Khaeruni et al., 2010). Hasil penelitian yang dilakukan Tola et al. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk bokashi dengan dosis 20 ton/ha memberikan hasil yang terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung, hal ini disebabkan karena bokashi yang berasal dari pupuk kandang sapi mengandung sejumlah unsur hara dan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Lebih lanjut Arinong et al. (2008) menunjukkan bahwa antara perlakuan yang menggunakan bokashi dan tanpa bokashi terlihat berbeda nyata. Perlakuan dengan bokashi 10-30 ton/ha secara umum memberikan respons yang baik terhadap pertumbuhan tanaman sawi
29
yang meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan berat basah sedangkan perlakuan yang tidak menggunakan bokashi memberikan hasil yang lebih rendah. Interaksi yang terbaik untuk panjang tongkol berisi adalah 10 ton/ha kompos jerami padi dan 150 kg/ha pupuk nitrogen, sedangkan untuk variabel lain tidak terdapat interaksi nyata antara kedua faktor tersebut. Dosis kompos jerami padi 15 ton/ha memberikan pengaruh yang terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil jagung manis. Dosis pupuk nitrogen 100 kg/ha memberikan pengaruh terbaik terhadap bobot tongkol berkelobot, dan hasil tongkol perhektar, sedangkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot tongkol tanpa kelobot, jumlah baris pertongkol, dan panjang tongkol berisi dengan 150 kg/ha (Sintia, 2011).
30
BAB III KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pikir Dari kajian empiris dan teoritik yang terurai pada bab pendahuluan sampai dengan tinjauan pustaka di atas, sehingga hal tersebutlah yang mendasari penelitian ini. Dimana kebutuhan jagung semakin meningkat namun tidak diikuti oleh peningkatan produksi, yang disebabkan diantaranya akibat adanya serangan penyakit, sistim budidaya tanaman yang belum intensif, serta kurangnya kesuburan media tumbuh tanaman, dan disisi lain timbul kesadaran akan dampak negatif dari penggunaan bahan kimia sintetis, yang diantaranya: dapat membahayakan kesehatan manusia dan merusak lingkungan. Secara teoritis penggunaan agens hayati Biofresh dan bahan organik dapat meningkatkan ketahanan terhadap penyakit tanaman jagung dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga berinflikasi pada peningkatan produksi tanaman, dengan demikian kesuburan tanah dan produksi dapat ditingkatkan yang menghasilkan “bahan pangan
aman
konsumsi dan ramah lingkungan”, dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal yang berinflikasi pula pada peningkatan pendapatan petani. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sangatlah penting untuk dilakukan kajian tentang kemangkusan Biofresh dan bahan organik dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada 2 jenis varietas di lahan ultisol, dalam konteks penerapan tingkat lapang
31
sebagai tindak lanjut dari penelitian terdahulu tentang penggunaan Biofresh pada tanaman jagung, yang baru dilakukan pada tingkat laboratorium di rumah kasa dalam polybag secara in vivo. Kendati penelitian utama yang mendasari penelitian ini hanya fokus pada kemampuan Biofresh dalam menekan patogen rizosfer seperti Rhizoctonia solani penyebab penyakit busuk pelepah pada tanaman jagung, pada penelitian ini akan diamati kemampuan Biofresh dalam menekan patogen filosfer seperti Helminthosporium sp penyebab penyakit hawar daun pada tanaman jagung, karena berdasarkan kajian pustaka diketahui bahwa ketiga bakteri penyusun Biofresh selain memiliki mekanisme antagonis hiperparasitisme, persaingan ruang dan nutrisi, mekanisme antibiolisis, juga dapat berperan sebagai PGPR dan elisitor pengimbas ketahanan sistemik dengan merangsang dan atau mengaktifkan system pertahanan yang ada pada tanaman sehingga tanaman menghasilkan senyawa metabolik sekunder yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Dengan demikian diduga dapat menekan perkembangan patogen filosfer Helminthosporium sp penyebab penyakit hawar daun pada tanaman jagung. Dan karena penelitian ini dalam konteks penerapan tingkat lapang dari penelitian sebelumnya, maka akan dilakukan pengamatan penyakit hawar daun dengan mengidentifikasi gejala penyakit yang muncul pada tanaman jagung akibat infeksi patogen secara alami tanpa inokulasi patogen.
32
Alur kerangka pikir dari penelitian ini sebagaimana terlihat pada Gambar 1 JAGUNG (Zea mays L.)
Kebutuhan Meningkat PROGRAM SWASEMBADA Jagung
Kendala
Tanah Ultisol Pupuk Anorganik Kimia sintetis
Penyakit Dampak Negatif Bahan Kimia sintetis
Pestisida Kimia sintetis
S o l u s i
Bahan Organik
Teknologi Tepat Guna Berwawasan Lingkungan
Biofresh + Bahan Organik Meningkatkan ketahanan terhadap penyakit & produksi tanaman jagung
Produksi Meningkat aman konsumsi Ramah Lingkungan Gambar 1. Alur kerangka pikir
Agens Hayati
33
3.2 Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah yang ada pada penelitian ini, kemudian dilakukan kajian-kajian teoritis dari landasan teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang fundamental dan relevan dengan penelitian ini yang terangkum dalam tinjauan pustaka maka penulis berkeyakinan dan mengemukakan hipotesis, bahwa: 1. Ada pengaruh interaksi aplikasi Biofresh dan bahan organik yang berbeda terhadap peningkatan ketahanan dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol. 2. Ada pengaruh mandiri aplikasi Biofresh dan bahan organik yang berbeda terhadap peningkatan ketahanan dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol. 3. Minimal ada satu perlakuan yang memberikan hasil terbaik dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol.
34
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2016, di Kebun Percobaan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara, yang berlokasi di Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan dan Laboratorium Agroteknologi Unit Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari.
4.2
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah : Biofresh, pupuk kandang kotoran sapi, jerami padi, serasah kedelai, benih jagung varietas BISI2 dan varietas F1 Valentino, dekomposer, pupuk Urea, SP36 dan KCl, kapur dolomit. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plat label, patok, pacul, terpal, sekop, parang, gembor, mistar, timbangan, tali, ajir, tugal, terpal, kamera, alat tulis menulis, dan lain-lain.
4.3
Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dalam Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Petak Utama adalah jenis
varietas tanaman jagung yang terdiri dari 2 taraf yaitu; 1. V1 (Varietas BISI 2) 2. V2 (Varietas F1 Valentino)
35
dan Anak Petak adalah kombinasi Biofresh dan bahan organik, yang terdiri dari 7 taraf yaitu; 1. B0 (Tanpa Biofresh dan bahan organik/kontrol) 2. B1 (Pupuk kandang kotoran sapi tanpa Biofresh) 3. B2 (Biofresh tanpa bahan organik) 4. B3 (Bahan organik kotoran sapi + Biofresh) 5. B4 (Bokashi jerami padi + Biofresh) 6. B5 (Bokashi serasah kedelai + Biofresh) 7. B6 (Bokashi jerami padi + serasah kedelai + Biofresh) masing-masing terdiri dari 3 ulangan, sehingga
total petak unit
percobaan sebanyak; 2 x 7 x 3 = 42 unit (Desain penelitian terlampir). Model Linear Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang digunakan menurut A.A. Mattjik dan Sumertajaya (2000) adalah sebagai berikut:
Y
ijk
Kk i ik ij ijk Dengan: i = 1,2,.... a ; j = 1,2, ... b ; k = 1,2, .... r
Keterangan: Yijk
= Nilai pengamatan karena pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j, pada kelompok ke-k
μi
= Nilai rata-rata umum
Kk
= Pengaruh kelompok taraf ke-k
αi
= Pengaruh faktor A (Varitas) taraf ke- i
yik
= Pengaruh acak dari petak utama, yang muncul dari faktor A taraf ke-I dalam kelompok ke-k (galat petak utama)
36
βj
= Pengaruh faktor B (Biofresh dan Bahan organik) taraf ke- j
(αβ)ij
= Pengaruh interaksi faktor A taraf ke- i dan faktor B taraf ke- j
εijk
= Pengaruh Acak dari satuan Percobaan ke-k, yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (galat anak petak).
4.4 Prosedur penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Pembuatan bokashi (bahan organik di dekomposisi) Pembuatan bokashi dilakukan ± 1 bulan sebelum waktu tanam yang direncanakan/waktu aplikasi. Pada penelitian ini bokasi dibuat dari 2 jenis sumber bahan organik yaitu; dari bahan jerami padi dan serasah legume, yang dibuat secara terpisah, dengan cara kedua bahan tersebut dipotong kecil-kecil kemudian dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan masingmasing 3 : 1 (kg) antara jerami padi/serasah kedelai dengan pupuk kandang kotoran sapi dan disiram dengan larutan dekomposer (bioaktivator), kemudian diaduk secara merata setelah itu ditutup rapat dengan terpal. Untuk menjaga kondisi suhu agar tetap stabil, maka setiap hari diaduk selama 7-14 hari/sampai matang dan siap digunakan dengan ciri-ciri; kompos berwarna hitam, tidak berbau dan tidak panas (Khaeruni et al., 2015). 2) Persiapan dan pengolahan lahan Lahan terlebih dahulu dibersihkan dari sisa-sisa tanaman atau rumput liar, kemudian tanah diolah dengan menggunakan traktor atau cangkul. Pengolahan tanah dilakukan sebanyak 2 kali agar tanahnya menjadi lebih gembur, kemudian dibuat bedengan/plot perlakuan berukuran 3,6 m x 6,3 m,
37
dengan tinggi 30 cm, sebanyak 42 bedengan/plot perlakuan. Jarak antar bedengan perlakuan dalam kelompok 30 cm, antar kelompok 40 cm, serta jarak antara petak utama 50 cm, sesuai dengan desain percobaan (Khaeruni et al., 2015). 3) Pengapuran Pengapuran
dilakukan
pada
semua
bedengan/plot
perlakuan
menggunakan kapur dolomit (CaMg(CO3)2), dilakukan sesaat setelah pembuatan plot perlakuan dengan dosis 2,95 kg/plot atau setara dengan 1,3 ton ha-1, dilakukan dengan cara ditabur merata pada permukaan bedengan/plot perlakuan kemudian bedengan dihaluskan dan diratakan (Khaeruni et al., 2015). 4) Aplikasi bahan organik Aplikasi bahan organik yang terdiri dari 1) pupuk kandang kotoran sapi, 2) bokashi dari jerami padi, 3) bokashi dari serasah kedelai, dilakukan 1 hari setelah aplikasi kapur dolomit dengan cara ditabur merata di atas permukaan plot sesuai dengan desain plot perlakuannya masing-masing dengan dosis sebesar 11 kg/petak atau setara dengan 5 ton ha-1. Kemudian bedengan dihaluskan dan diratakan (Khaeruni et al., 2015). 5) Penanaman jagung Penanaman jagung dilakukan pada pagi
hari, ±1 minggu setelah
aplikasi bahan organik, dengan cara membuat lubang tanam sedalam 3 cm menggunakan tugal, dan untuk menjaga ketepatan jarak tanam maka digunakan tali dan ajir. lalu dimasukan benih sebanyak 2 biji/lubang . Jarak
38
tanam yang digunakan yaitu 30 cm x 75 cm, dan jarak dari pinggir bedengan masing-masing 30 cm. Setiap petak terdiri dari 5 baris dan setiap baris terdiri dari 20 tanaman, sehingga dalam satu petak perlakuan diperoleh populasi tanaman sebanyak 100 rumpun (Prastowo et al., 1998; Adisarwanto et al., 2004). 6) Aplikasi Biofresh Aplikasi biofresh dilakukan pada plot perlakuan sesuai dengan desain plot perlakuannya masing-masing sebanyak dua kali, aplikasi pertama dilakukan sesaat setelah menanam yang dijadikan sebagai penutup benih pada lubang tanaman dengan dosis 10 g/lbg, dan aplikasi kedua dilakukan pada umur tanaman 4 MST dengan cara ditaburkan disekitar pohon dan perakaran tanaman dengan dosis 24 g/rpn, sehingga total dosis 34 g/rumpun tanaman atau setara dengan 1,5 ton ha-1 (Khaeruni et al., 2015). 7) Aplikasi pupuk anorganik kimia sintetis Pupuk anorganik kimia sintetis yang digunakan adalah pupuk urea, SP36 dan KCl, dilakukan pada semua plot perlakuan. Aplikasi pupuk SP36 dilakukan sesaat setelah menanam dengan cara ditugal dengan jarak ±5 cm dari lubang benih jagung, dengan dosis 2,81 g/rpn atau setara dengan 125 kg ha-1, Aplikasi pupuk urea dilakukan 2 kali yaitu pada umur 14 dan 35 HST dengan dosis setiap aplikasi masing-masing 1,13 g/rpn atau setara dengan 100 kg ha-1, dan aplikasi pupuk KCl pada umur 14 HST bersamaan dengan aplikasi I pupuk urea dengan dosis 1,9 g/rpn atau setara dengan 85 kg ha-1, dengan cara dibenamkan disekitar pohon jagung (ujung tudung akar).
39
Pemberian pupuk anorganik kimia sintetis hanya menggunakan 50% dari dosis rekomendasi setempat yang merupakan perlakuan terbaik dari penelitian sebelumnya (Adisarwanto et al., 2004; Khaeruni et al., 2015). 8) Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan
tanaman
meliputi
penyulaman,
penyiangan,
pembumbunan dan penyiraman. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam, yaitu dengan cara mengganti tanaman yang mati atau yang pertumbuhannya kurang baik. Penyiangan dilakukan dengan cara mencabut atau memotong gulma yang tumbuh disekitar pertanaman pada umur 3 dan 6 MST/setelah ada gulma yang tumbuh. Pembumbunan dilakukan pada umur 6 MST bersamaan dengan penyiangan kedua. Penyiraman dilakukan sesuai kebutuhan jika tidak turun hujan (Adisarwanto et al., 2004). 9) Panen Panen pada varietas F1 Valentino dilakukan setelah tongkol berisi penuh dan matang mudah atau setelah berumur 70–85 HST dan panen varitas Bisi 2 dilakukan setelah berumur ±103 HST dengan cara memotong pangkal tongkol jagung. Ciri jagung yang sudah matang fisiologis dan siap dipanen, jika tongkol atau kelobot mulai mengering yang ditandai dengan biji kering, keras, mengkilat dan bila ditekan tidak membekas (Adisarwanto et al., 2004). 4.5 Variabel Pengamatan a) Peubah Keparahan Penyakit Hawar Daun Pengamatan keparahan penyakit Hawar Daun (Helminthosporium sp.) dilakukan pada 10 sampel tanaman setiap perlakuan dan ulangan, pada umur
40
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 MST, dengan cara mengamati dan mengidentifikasi gejala penyakit yang muncul pada tanaman jagung akibat infeksi patogen secara alami tanpa inokulasi, dan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: I = Intensitas Serangan (%) ni = Jumlah tanaman sampel dengan skala kerusakan vi vi = Nilai skala kerusakan contoh ke - i N = Jumlah tanaman sampel yang diamati Z = Nilai skala kerusakan tertinggi. Dengan nilai numerik kategori serangan diukur dengan melihat perbedaan tingkat serangan patogen pada tanaman menurut skala yang dimodifikasi dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian R.I (2007) dengan nilai skala sebagai berikut: 0 = tidak ada serangan 1 = Luas gejala pada daun ≤ 5 % 3 = Luas gejala pada daun > 5–25 % 5 = Luas gejala pada daun > 25–50 % 7 = Luas gejala pada daun > 50–75 % 9 = Luas gejala pada daun > 75–100 %. Setelah diketahui nilai keparahan penyakit dan berpengaruh nyata, selanjutnya dihitung nilai LDBKPP (Luas Daerah di Bawah Kurva Perkembangan Penyakit) yaitu untuk mengetahui perkembangan penyakit
41
secara menyeluruh, berdasarkan Van der Plank (1963) dihitung dengan rumus:
LDBKPP = Keterangan; Xi
= Data pengamatan ke-i
Xi+1 = Data pengamatan ke-i + 1 ti
= Waktu pengamatan ke-i
ti+1 = Waktu pengamatan ke-i + 1. Kemudian dari nilai LDBKPP dihitung Indeks Penekanan Penyakit (IPP). IPP adalah tingkat keefektifan (kemangkusan) pengendalian suatu agens biokontrol terhadap patogen menurut Nawangsih et al. (2014) yang dihitung dengan rumus: IPP =
Keterangan; IPP = Indeks Penekanan Penyakit (%) Dic = LDBKPP pada kontrol Dib = LDBKPP pada perlakuan Biofresh. b) Peubah Pertumbuhan Pengamatan peubah pertumbuhan dilakukan pada semua sampel tanaman
pada umur 2, 4, 6, 8 dan 10 MST dan setelah panen, yang
digunakan sebagai data pendukung untuk mengamati adanya kemungkinan
42
pengaruh perlakuan yang hanya mengarah pada peningkatan variabel pertumbuhan yang tidak linear dengan produktivitas tanaman, yang meliputi; 1. Jumlah daun 2. Tinggi tanaman (cm) 3. Panjang tongkol (cm) 4. Lingkaran tongkol (cm) 5. Jumlah baris biji/tongkol. c) Peubah Hasil Panen Tanaman (produksi) Pengamatan
peubah
hasil
panen
tanaman
dilakukan
dengan
menghitung dan menimbang semua sampel tanaman pada setiap perlakuan dan ulangan setelah panen, yang meliputi: 1. Bobot/tongkol (g) 2. Bobot 1000 biji kering pipil (g) 3. Produksi ton ha-1
4.6 Analisis Data Data-data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisi ragam (ANOVA) dan jika hasilnya menunjukkan perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perlakuan terbaik dengan menguji perbedaan diantara semua perlakuan, dan selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat serta memprediksi nilai variabel terikat dengan menggunakan variabel bebas (Mattjik et al., 2000).
43
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemangkusan Biofresh yang diintegrasikan dengan bahan organik dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol dapat dilihat pada rekapitulasi hasil analisis ragam dari semua variabel pengamatan pada penelitian ini (Tabel 1). Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pada semua variabel pengamatan. Hasil Analisis Ragam No. Variabel Pengamatan Varietas Biofresh + BO Interaksi (V) (B) (VxB) 1. Keparahan Penyakit 4 MST * ** tn 5 MST ** ** tn 6 MST * ** ** 7 MST * ** ** 8 MST ** ** ** 9 MST dan 10 MST ** ** ** 2. IPP (%/hari) tn ** ** 3. Tinggi tanaman 2 MST tn ** tn 4 MST tn ** tn 6 MST tn ** tn 8 MST dan 10 MST * ** ** 4. Jumlah daun 2 MST tn ** ** 4 MST * ** ** 6 MST dan 8 MST tn ** * 5. Panjang tongkol * ** tn 6. Lingkaran tongkol tn ** ** 7. Jumlah baris biji/tongkol tn ** tn 8. Bobot/tongkol ** ** ** 9. Bobot 1000 biji (V1) ** -1 10. Produksi ton ha ** ** ** Keterangan: tn = tidak nyata; * = nyata; ** = sangat nyata.
44
Tingkat kemangkusan setiap perlakuan dalam menekan perkembangan penyakit hawar daun yang disebabkan oleh cendawan Helminthosporium sp. pada dua jenis varietas dilahan ultisol sebagaimana tersaji pada tabel Indeks Penekanan Penyakit (Tabel 3). Dan pengaruh perlakuan (variabel bebas) terhadap prediksi nilai produksi (variabel terikat) yang terlihat pada hasil analisis regresi. Hasil analisis ragam yang terangkum pada tabel rekapitulasi tersebut di atas tergambar dengan jelas adanya pengaruh interaksi dan pengaruh mandiri yang sangat nyata terutama pada variabel pengamatan yang menjadi peubah dalam penelitian ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesa dalam penelitian ini dapat dibuktikan. Dan untuk mencari dan menentukan perlakuan terbaik maka selanjutnya akan ditelaah dan dibahas semua variabel pengamatan terutama yang menjadi peubah dalam penelitian ini. 5.1. Keparahan Penyakit Hawar Daun Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap keparahan penyakit hawar daun pada umur 4 MST sampai dengan umur 10 MST (Lampiran 2a-8). Pengamatan pada umur 2 MST dan 3 MST belum menunjukkan adanya gejala tanaman yang terinfeksi patogen secara alami di lapangan. Pengamatan umur 4 MST baru mulai menampakkan gejala berupa bercak coklat kelabu seperti jerami pada permukaan daun tanaman jagung yang terinfeksi patogen Helminthosporium maydis dengan ukuran panjang 2-5 cm dan lebar ± 0,6 cm. Hasil pengamatan pada umur 5 MST terlihat peningkatan keparahan penyakit pada semua perlakuan dengan rata-rata V2B0 = 10,7%, V2B1 = 10,4%, V2B2 = 10,7%. Pengamatan 6 MST terjadi peningkatan keparahan penyakit yang cukup besar pada faktor
45
varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2) dengan rata-rata pada V2B0 = 29,6%, V2B1 = 29,6%, V2B2 = 23,7%, V2B3 = 22,9%, V2B4 = 17%, V2B5 = 11,8%, V2B6 = 11,1%, sedangkan pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1) tidak terjadi peningkatan keparahan penyakit yang kurang lebih masih sama dengan minggu sebelumnya yaitu sebesar rata-rata pada B0 = 14,8%, B1 = 11,1%, B2 = 11,1%, B3 = 10,7%, B4 = 10,4%, B5 = 9,6%, dan B6 = 8,9%, dan, keadaan serupa berlanjut hingga sampai pada umur 9 MST dengan rata-rata keparahan penyakit pada varietas jenis konsumsi sebesar 41,5% (V2B0), 39,3% (V2B1), 36,3% (V2B2), 31,1% (V2B3), 25,9% (V2B4), 20% (V2B5), 17,8% (V2B6). Data hasil pengamatan keparahan penyakit pada umur 10 MST menunjukkan hasil yang sama pada umur 9 MST (Lampiran 8). Hasil analisis ragam keparahan penyakit pada umur 4 dan 5 MST menunjukkan pengaruh interaksi yang tidak nyata, pengaruh mandiri yang sangat nyata pada faktor Biofresh+bahan organik dan faktor Varietas (Lampiran 2b-3b). Hasil UJBD pengaruh mandiri varietas terhadap keparahan penyakit pada umur 4 MST menunjukkan pola yang sama pada umur 5 MST, yang menunjukkan perlakuan yang mengalami keparahan penyakit tertinggi pada varietas jenis V2 yang berbeda nyata dengan V1 (Gambar 2a). Pengaruh mandiri perlakuan Biofresh + bahan organik terhadap keparahan penyakit pada umur 4 MST menunjukkan pola yang sama pada umur 5 MST, yang menunjukkan keparahan penyakit tertinggi pada perlakuan B0 yang tidak berbeda nyata dengan B1 dan B2, namun berbeda nyata dengan B3 dan B4.
46
Keparahan penyakit terendah pada perlakuan B6 yang tidak berbeda nyata dengan B5 dan B4, namun nyata dengan B3, sebagaimana terlihat pada Gambar 2b. Pengaruh mandiri faktor B, umur 5 MST.
Pengaruh mandiri faktor V, umur 5 MST.
8.53 b
10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
10 a
12 10
5.55 a
9.08 ab 8.52 abc 7.42 bcd
8
5.57 de
6
5 de
3.7 e
4 2 0
V1
a
V2
Jenis varietas
b
B0
B1
B2 B3 B4 B5 Jenis Perlakuan faktor B
B6
Gambar 2. Pengaruh mandiri varietas dan Biofresh + bahan organik terhadap keparahan penyakit hawar daun pada umur 5 MST. Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak nyata berdasarkan UJBD pada taraf nyata α 5%. (MSD faktor V = 0,61 dan faktor B: 2= 2,2; 3= 2,3; 4 = 2,4; 5 = 2,4; 6 = 2,5; 7 = 2,5).
Hasil analisis ragam pada umur 6 MST menunjukkan pengaruh interaksi perlakuan yang sangat nyata (Lampiran 4b). Hasil UJBD pada umur 6 MST menunjukkan keparahan penyakit tertinggi pada perlakuan V2B0 yang tidak berbeda nyata dengan V1B0 dan V2B1. Perlakuan V1B1 tidak berbeda nyata dengan V2B1 dan V1B2. Perlakuan V2B2 tidak berbeda nyata dengan V1B2 dan V2B3 namun nyata dengan V2B1. Perlakuan V1B3 tidak berbeda nyata dengan V2B3, V1B2 dan V1B4. Tabel 2. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap keparahan penyakit hawar daun pada umur 6 MST. Jenis bahan organik Umur Jenis MST Varietas B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 V1 6
V2 (PU)2=22,7
14,8 a P 29,6 a P
11,1 a PQ 29,6 a P
11,1 a PQ 23,7 a Q
10,7 a PQ 22,9 a Q
10,4 a PQ 17 a R
9,6 a Q 11,8 a S
8,9 a Q 11,1 a S
2=4,1 3=4,4 4=4,5 5=4,5 6=4,6 7=4,6 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama (P-T), atau angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (a-b), tidak berbeda nyata berdasarkan UJBD pada taraf nyata α 5%. MSD (AP)
47
Perlakuan V2B4 tidak berbeda nyata dengan V1B4 namun nyata dengan V2B3 dan V2B5. Perlakuan V1B5 tidak berbeda nyata dengan V2B5, V1B4 dan V1B6. Keparahan penyakit terendah pada perlakuan V1B6 yang tidak berbeda nyata dengan V2B6 dan perlakuan V2B6 tidak berbeda nyata dengan V2B5, sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Hasil analisis ragam pada umur 7, 8 dan 9 MST menunjukkan pengaruh interaksi perlakuan yang sangat nyata (Lampiran 5b-7b). Hasil UJBD pada umur 7 dan 8 MST menunjukkan pola yang sama pada umur 9 MST, yang menunjukkan keparahan penyakit tertinggi pada perlakuan V2B0 yang tidak berbeda nyata dengan V1B0 dan V2B1, Perlakuan V1B1 tidak berbeda nyata dengan V2B1 dan V1B2. Perlakuan
V2B2 berbeda nyata dengan V1B2, V2B1 dan V2B4.
Perlakuan V1B3 berbeda nyata dengan V2B3, namun tidak nyata dengan V1B2 dan V1B4. Perlakuan V2B4 berbeda nyata dengan V1B4 dan V2B3, namun tidak nyata dengan V2B5. Perlakuan V1B5 berbeda nyata dengan V2B5, namun tidak berbeda nyata dengan V1B4 dan V1B6. Tabel 3. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap keparahan penyakit hawar daun pada umur 9 MST. Umur
Jenis
MST
Varietas
V1 9 V2 MSD (PU) = 5,5
Jenis Bahan Organik B2 B3 B4
B0
B1
16,3 a P 41,5 b P
11,8 a Q 39,3 b P
11,8 a Q 36,3 b Q
11,1 a Q 31,1 b R
MSD (AP)
2=2,6
3=2,8
4=2,9
B5
B6
10,7 a Q 25,9 b S
10 a Q 20 b T
9,3 a Q 17,8 b T
5=2,9
6=2,9
7=2,9
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama (P-T), atau angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (a-b), tidak berbeda nyata berdasarkan UJBD pada taraf nyata α 5%.
48
Keparahan penyakit terendah pada perlakuan V1B6 yang berbeda nyata dengan V2B6 dan V2B6 namun tidak berbeda nyata dengan V2B5, sebagaimana tersaji pada Tabel 3. Dari hasil uji jarak berganda Duncan secara keseluruhan dari umur 4 MST sampai dengan umur 9 MST menunjukkan bahwa akumulasi keparahan penyakit tertinggi terjadi pada perlakuan B0 (kontrol) kemudian B1 (pupuk kandang kotoran sapi), B2 (Biofresh) dan B3 (Biofresh + pupuk kandang kotoran sapi), sedangkan keparahan penyakit terendah pada perlakuan B6 (Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi) kemudian B5 (Biofresh + bokashi dari serasah kedelai) disusul B4 (Biofresh + bokashi dari jerami padi), hal ini berarti bahwa aplikasi Biofresh memberikan pengaruh yang signifikan jika diintegrasikan dengan bahan organik dan sangat signifikan jika menggunakan bahan organik yang didekomposisi (bokashi). Dari percobaan ini juga menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan faktor B (Biofresh + jenis bahan organik) sangat signifikan pada faktor Varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2) dan kurang signifikan pada faktor varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1), yang disebabkan karena terjadi stagnasi keparahan penyakit sejak umur 6 MST sampai dengan 9 MST. Terjadinya stagnasi keparahan penyakit pada umur 6, 7, 8, dan 9 MST pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1) sebagaimana terlihat pada hasil UJBD umur 7, 8 dan 9 MST yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan kecuali pada kontrol dan terlihat lebih jelas datanya pada Lampiran 2a-8, dimana skor tertinggi pada kontrol (B0) sebesar 16,3 %, yang lebih rendah dibanding B6 = 17,8% yang merupakan skor terendah pada Varietas jenis konsumsi F1 Valentino
49
(V2) diduga karena varietas BISI2 merupakan varietas tahan terhadap penyakit hawar daun (Lampiran 27), hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahamma (2001) yang menyatakan varietas BISI2 tahan terhadap Helminthosporium sp. penyebab penyakit hawar daun pada tanaman jagung.
5.2. Indeks Penekanan Penyakit (IPP) Untuk menghitung nilai IPP atau indeks ketahanan tanaman terhadap penyakit hawar daun Helminthosporium, maka terlebih dahulu harus diketahui nilai keparahan penyakit dari waktu ke waktu di setiap perlakuan pada dua jenis varietas yang ditampilkan dalam bentuk kurva LDBKPP. Hasil perhitungan LDKPP penyakit hawar daun Helminthosporium pada setiap perlakuan tersaji pada Lampiran 9a dan dalam bentuk grafik ditampilkan pada Gambar 3. Pengaruh perlakuan terhadap LDBKPP menunjukkan bahwa perkembangan keparahan penyakit hawar daun tertinggi terjadi pada perlakuan V2B0 (967) kemudian V2B1 (922) dan V2B2 (805) disusul V2B3 (717), V2B4 (569) dan V1B0 (463) dan V2B5 (394) selanjutnya pada perlakuan dengan nilai rata-rata masing-masing sebagaimana terlihat lebih rinci pada Lampiran 9a, yang menunjukkan nilai LDBKPP terendah yaitu pada perlakuan V2B6 kemudian V2B5 disusul perlakuan V2B4.
50
450
V1B0 B1B1 V1B2 V1B3 V1B4 V1B5 V1B6 V2B0 B2B1 V2B2 V2B3 V2B4 V2B5 V2B6
400
Keparahan penyakit (%)
350 300 250 200 150 100 50 0
0
10
20 30 Waktu pengamatan (hari)
40
50
60
Gambar 3. Grafik dinamika pengaruh perlakuan terhadap LDBKPP Selanjutnya dari nilai LDBKPP diperoleh nilai Indeks Penekanan Penyakit pada setiap perlakuan sebagaimana tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap LDBKPP dan IPP (%) Perlakuan Petak Utama Anak Petak
V1
V2
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6
Nilai LDBKPP (%)
IPP (%)
463 348 337 315 293 269 240 967 922 805 717 569 394 341
Kontrol 23,8 26,5 31,5 36,5 41 47 Kontrol 4,7 17 25 41 59 64
Keterangan : Perlakuan B0 sebagai kontrol.
Hasil analisis ragam IPP menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat nyata dan pengaruh mandiri yang sangat nyata pada faktor jenis bahan organik namun tidak nyata pada faktor Varietas (Lampiran 7b). Hasil UJBD pengaruh interaksi perlakuan terhadap ketahanan tanaman terhadap penyakit menunjukkan
51
IPP tertinggi pada perlakuan V2B6 sebesar 64% yang tidak berbeda nyata dengan V1B6 dan V2B5. Perlakuan V1B5 tidak berbeda nyata dengan V2B5, V1B4 dan V1B6. Perlakuan V2B4 tidak berbeda nyata dengan V1B4 namun nyata dengan V2B3 dan V2B5. Perlakuan V1B3 tidak berbeda nyata dengan V2B3, V1B2 dan V1B4. Perlakuan V2B2 tidak berbeda nyata dengan V1B2 dan V2B3 namun nyata dengan V2B1. Perlakuan dengan nilai IPP terendah pada perlakuan V2B1 = 4,7% yang tidak berbeda nyata dengan V1B1, sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap; IPP (%/hari) Jenis Varietas V1 V2
B1 23,8 a P 4,7 a P
Perlakuan Biofresh + Jenis bahan organik B2 B3 B4 B5 26,5 a P 17 a Q
31,5 a PQ 25 a Q
36,5 a QR 41 a R
41 a RS 59 a S
B6 47 a S 64 a S
MSD(PU)=32; MSD (AP) = 2=7,3 3=7,7 4=7,9 5=8,1 6=8,2 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama (P-T), atau angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (a-b), tidak berbeda nyata berdasarkan UJBD pada taraf nyata α 5%.
Dari Tabel 5 menunjukkan perlakuan dengan nilai IPP terbaik dalam penelitian ini baik pada jenis varietas pakan ternak BISI2 (V1) maupun pada jenis varietas konsumsi F1 Valentino (V2) adalah perlakuan B5 karena berbeda nyata dengan B4, namun tidak berbeda nyata dengan B6. Hal ini berarti bahwa perlakuan Biofresh + Serasah kedelai (B5) mampu meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun dengan nilai IPP sebesar 41 % pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1) dan IPP sebesar 59 % pada jenis varietas konsumsi F1 Valentino (V2). Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan Biofresh yang diitegrasikan dengan bahan organik dalam menekan penyakit hawar daun yang disebabkan oleh
52
cendawan Helminthosporium sp. yang merupakan salah satu patogen filosfer, terutama pada perlakuan yang menggunakan bahan organik yang didekomposisi (bokashi), hal ini sejalan dengan hasil penelitian Zulqifly dalam (Khaeruni et al., 2015) yang menyatakan bahwa kemampuan Biofresh semakin optimal jika diintegrasikan dengan bokashi. Hal ini diduga merupakan akumulasi dari kemampuan ketiga bakteri penyusun Biofresh yaitu: Bacillus subtilis ST21e, B. cereus ST21b dan Serratia sp. SS29a, yang selain mampu mensekresi enzim selluler (kitinase, sellulase dan proteinase), memproduksi fitohormon IAA dan melarutkan fosfat (Khaeruni et al., 2010b), yang memiliki mekanisme antagonis hiperparasitisme, persaingan ruang dan nutrisi, mekanisme antibiolisis, juga dapat berperan sebagai PGPR dan elisitor pengimbas ketahanan sistemik dengan merangsang dan atau mengaktifkan sistem pertahanan yang ada pada tanaman sehingga tanaman menghasilkan senyawa metabolik sekunder secara cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Ketahanan penyakit terimbas merupakan proses ketahanan aktif yang tergantung pada penghalang fisik atau kimia tanaman inang, yang diaktifkan oleh agensia biotik atau abiotik (agensia pengimbas), yang dapat melindungi tanaman terhadap patogen tanah dan dedaunan. Ketahanan terimbas merupakan daya peningkatan pertahanan yang dikembangkan tanaman karena adanya rangsangan yang sesuai (Soesanto, 2008). Semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan serangan patogen (Van Loon et al., 1998). Hal ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis dan kimia yang dapat mencegah infeksi, ketahanan terimbas bertalian dengan peligninan tanaman, yang mengakibatkan
53
perkembangan jamur dapat dibatasi (Sastrahidayat, 1990). Pengimbas ketahanan dapat berupa elisitor hayati, bahan kimia toksin dan tak-toksin, sinar ultraviolet, kompos, dan agensia lainnya (Soesanto, 2008). Ketahanan yang dihasilkan melalui mekanisme induksi ketahanan dapat berspektrum luas, baik terhadap cendawan, bakteri maupun virus. Pada umumnya, ketahanan terimbas adalah ketahanan sistemik. Hal ini terjadi karena daya pertahanan ditingkatkan tidak hanya pada bagian tanaman yang terinfeksi, tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang tidak terinfeksi (Van Loon et al., 1998). Tanaman tahan menghasilkan protein yang dapat menghambat enzim hidrolisis perusak sel yang dihasilkan patogen. Di lain pihak, sel tanaman inang yang mengandung enzim hidrolisis, seperti glukonase dan kitinase, mampu merusak dinding sel patogen, yang menyebabkan tanaman tahan terhadap infeksi. Baik tanaman tahan maupun rentan menghasilkan fitoaleksin, tetapi tumbuhan yang tahan membentuknya lebih cepat dan lebih banyak, namun apabila jaringan menjadi tua, kadar zat penghambat menurun, demikian pula ketahanannya terhadap infeksi (Semangun, 2001). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hoerussalam et al. (2013) menjelaskan terjadi peningkatan status ketahanan tanaman jagung galur C20 terhadap penyakit bulai yang diinduksi dengan perendaman rizobakteri isolat Abio2 pada benih sebelum tanam. Kejadian penyakit pada petak yang diberi perlakuan sebesar 6,25% sementara kontrol mencapai 37,62%, peningkatan ketahanan tanaman tersebut berkaitan dengan terjadinya peningkatan akumulasi asam salisilat di dalam jaringan tanaman.
54
Lebih lanjut Khaeruni et al. (2014) yang menyimpulkan bahwa perlakuan rizobakteri mampu menginduksi ketahanan tanaman padi IR64 dan Cisantana terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae di lapangan. Perlakuan campuran rizobakteri PKLK5 dan P11a, cenderung meningkatkan induksi ketahanan padi varietas IR64 terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae, memperlihatkan pertumbuhan dan hasil panen yang lebih baik di lapangan dibandingkan perlakuan rizobakteri secara tunggal. Khaeruni et al,. (2015) menunjukkan bahwa kombinasi pupuk hayati Biofresh dan bahan organik mampu meningkatkan pertumbuhan, hasil panen dan ketahanan tanaman kedelai terhadap penyakit pustul bakteri (X. axonopodis pv. glycines).
5.3. Variabel Pertumbuhan Sehubungan dengan judul dan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh perlakuan/efektifitas Biofresh + bahan organik pada dua jenis varietas di lahan ultisol terhadap peningkatan ketahanan dan produksi tanaman jagung, dimana pengamatan variabel pertumbuhan yang terdiri dari; tinggi tanaman, jumlah daun, panjang tongkol, lingkaran tongkol, dan jumlah baris biji/tongkol hanya digunakan sebagai data pendukung untuk mengamati adanya kemungkinan pengaruh
perlakuan
yang
hanya
mengarah
pada
peningkatan
variabel
pertumbuhan yang tidak linear dengan produktivitas tanaman. Maka hanya dilakukan analisis grafik setelah dilakukan analisis varian untuk mengetahui signifikansi perlakuan terhadap variabel pertumbuhan dan hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 1, dan tersaji pada Lampiran 11b-22b. Adapun hasil pengamatan variabel pertumbuhan tersaji pada Lampiran 11a-22a.
55
Data persentase pertambahan nilai setiap perlakuan pada semua variabel pengamatan (Lampiran 18b), menunjukkan pengaruh setiap perlakuan terhadap persentase kenaikan nilai yang jika mengalami kenaikan pada variabel pertumbuhan maka hal itu juga terjadi pada variabel produksi yang bahkan dengan peningkatan nilai yang lebih signifikan, terutama pada perlakuan Biofresh + bahan organik yang didekomposisi baik pada V1 (Gambar 4a) maupun V2 (Gambar 4b), dan menunjukkan pula adanya korelasi dengan tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit (IPP), sebagaimana terlihat lebih jelas pada Gambar 4, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan Biofresh + bahan organik yang hanya cenderung mengarah pada peningkatan variabel pertumbuhan yang tidak linear dengan produktivitas. Grafik pertambahan nilai pada V1
120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0
B1
B2
a
B3
B4
B5
B6
TT J.D PT LT JBB/T. IPP Prod.
V1 Jenis perlakuan faktor B
Grafik pertambahan nilai pada V2
140.0 120.0
TT J.D
100.0
PT
80.0 60.0
LT
40.0
JBB/T.
20.0 0.0
B2
b
B3
B4
B5
Jenis perlakuan faktor B
B6
IPP Prod.
Gambar 4. Grafik pengaruh perlakuan terhadap persentase kenaikan pada setiap variabel pengamatan pada V1 dan V2. Keterangan; TT=tinggi tanaman, JD=jumlah daun, PT=panjang tongkol, LT=lingkaran tongkol, JBB/T=jumlah baris biji/tongkol, IPP=indeks penekanan penyakit, Prod.=produksi.
56
5.4. Bobot/Tongkol, Bobot 1000 biji dan Produksi Ton Ha-1 . Data hasil pengamatan pengaruh terhadap bobot/tongkol dan konversi produksi ton ha-1 tersaji lebih rinci pada Lampiran 22a. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot tongkol menunjukkan pengaruh interaksi sangat nyata, pengaruh mandiri faktor B dan V sangat nyata (Lampiran 22b). Hasil UJBD pengaruh interaksi perlakuan terhadap bobot/tongkol menunjukkan pengaruh perlakuan V2B3 tidak berbeda nyata dengan V2B2, dan V2B1, namun berbeda nyata dengan V2B4, V2B0 dan dengan V1B3, perlakuan V1B3 tidak berbeda nyata dengan V1B2, V1B1 dan V1B0 namun berbeda nyata dengan V1B4, V1B5 dan V1B6. Bobot tertinggi pada varietas jenis V1, yaitu perlakuan B6 sebesar 87,4g namun tidak berbeda nyata dengan B5 dan B4. Bobot tertinggi pada verietas jenis konsumsi V2, yaitu perlakuan B6 sebesar 208,8g yang berbeda nyata dengan B5, B4 dan dengan V1B6 (Tabel 6) Tabel 6. Pengaruh Interaksi perlakuan terhadap bobot/tongkol Biofresh + jenis bahan organik Varietas B0 B1 B2 B3 B4 B5 40,6 a 41,8 a 42,6 a 52 a 79 a 86,1 a V1 P P P P Q Q 91 b 102,7 b 103,8 b 111,5 b 173,5 b 187,9 b V2 P PQ PQ Q R R
B6 87,4 a Q 208,8 b S
MSD(PU)=14 (AP) 2= 16,6 3= 17,7 4= 18,3 5= 18,3 6=18,9 7=18,9 Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama (P-T), atau angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama (a-b), tidak berbeda nyata berdasarkan UJBD pada taraf nyata α 5%.
Data hasil pengamatan bobot 1000 biji kering pipil pada varietas jenis pakan ternak BISI2 tersaji pada Lampiran 23a. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot 1000 biji menunjukkan pengaruh perlakuan yang sangat nyata (Lampiran 23b). Hasil UJBD pengaruh perlakuan terhadap bobot 1000 biji
57
kering pipil pada varietas BISI2 nenunjukkan perlakuan B3 berbeda nyata dengan B2, B1 dan perlakuan B4. Perlakuan B5 merupakan terbaik karena tidak berbeda nyata dengan B6 namun berbeda nyata dengan B4, sebagaimana tersaji pada Gambar 5. Pengaruh perlakuan terhadap bobot 1000 biji kering pipil (g) 200.0 180.0 160.0 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0
111.3 a
B0
115.8 b
B1
115.5 b
B2
134 c
B3 Perlakuan
167 d
B4
170.5 e 171.5 e
B5
B6
Gambar 5. Pengaruh perlakuan terhadap bobot 1000 biji kering pipil pada varietas jenis BISI2 (g). Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak nyata berdasarkan UJBD pada taraf nyata α 5%. (MSD : 2= 1,77; 3= 1,86; 4 = 1,9; 5 = 1,94; 6 = 1,96; 7 = 1,98).
Hasil konversi bobot/tongkol ke produksi ton ha-1 tersaji pada Lampiran 24a. dan Tabel 7. Tabel 7. Hasil konversi produksi (ton ha-1) pada setiap perlakuan Perlakuan Varietas B0 B1 B2 B3 B4 B5 V1 3,6 3,7 3,8 4,6 7 7,7 V2 8,1 9,1 9,2 9,9 15,4 16,7
B6 7,8 18,6
Keteterangan; Produksi V1 (kering pipil), V2 (tongkol basah).
konversi = 44.444 rpn x bbt/tgkl x 2 tgkl/1000000 = produksi ha-1.
Hasil analisis ragam (Lampiran 24b) dan UJBD konversi produksi ton ha-1 menunjukkan hasil yang sama dengan hasil UJBD pengaruh perlakuan terhadap bobot/tongkol. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik pada variabel pengamatan hasil panen adalah perlakuan Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi (B6) pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2) dan
58
perlakuan Biofresh + serasah kedelai (B5) dan perlakuan Biofresh + jerami padi (B4) pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1). Hasil UJBD pengaruh perlakuan terhadap variabel pengamatan yang menjadi peubah hasil panen tanaman pada penelitian ini, menunjukkan perlakuan yang menggunakan bokashi yang terdiri dari perlakuan B4, B5 dan B6, jauh lebih baik dibanding dengan perlakuan lainnya yaitu perlakuan B0, B1, B2, B3. Dan dari ketiga perlakuan yang menggunakan bokashi menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah B6 (Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi) dengan produksi tertinggi sebesar 18,6 ton ha-1 tongkol basah pada varietas jenis V2, yang berbeda nyata dengan perlakuan B5 (Biofresh + bokashi dari serasah kedelai) dengan produksi sebesar 16,7 ton ha-1 tongkol basah, dan dengan perlakuan V2B4 (Biofresh + bokashi dari jerami padi) dengan produksi sebesar 15,4 ton ha-1 tongkol basah. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zulkifly dalam (Khaeruni et al., 2015), yang menunjukkan bahwa produksi kedelai tertinggi dan terbaik adalah yang diaplikasi dengan Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dibandingkan dengan aplikasi Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi dan aplikasi Biofresh + bokashi dari jerami padi. Hal ini diduga disebabkan karena lebih tingginya kadar unsur P dan K yang terkandung dalam bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi dibanding dengan bokashi dari serasah kedelai dan bokashi dari jerami padi (Lampiran 27), sehingga kebutuhan tanaman jagung akan unsur P dan K lebih terpenuhi pada perlakuan B6 (Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi). Diketahui bahwa bila tanaman
59
jagung kekurangan unsur P dan K akan menyebabkan diantaranya ujung tongkol yang tidak berbiji penuh, biji yang lebih kecil dan atau tidak sempurna, sehingga menyebabkan bobot tongkol dan produksi ton ha-1 yang lebih rendah, lebih lanjut Faesal (2010) menyatakan bahwa tanaman jagung pulut membutuhkan unsur hara K yang lebih banyak dibandingkan unsur hara N dan P. Produktivitas yang dapat dicapai pada penelitian ini melebihi potensi produksi pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino, hal ini diduga disebabkan karena pada penelitian ini menggunakan benih jagung 2 biji/lubang tanaman dengan jarak tanam 30 x 75 cm maka didapat populasi tanaman sebanyak 44.444 rumpun/ha x 2 tongkol, sehingga diperoleh produktivitas sebesar 44.444 x 2 x 208,8g (bobot/tongkol) = 18,6 ton ha-1 pada perlakuan V2B6. Namun kelemahannya pada bobot pertongkolnya yang hanya mencapai 208,8 g/tongkol dibanding jika dengan menggunakan benih 1 biji/lubang yang dapat mencapai bobot tongkol basah 400 g/tongkol dengan produktivitas sebesar 18 ton ha-1 (Lampiran 28). Produktivitas pada varietas jenis pakan ternak (BISI2) kurang maksimal yang diduga karena populasi tanaman yang tinggi sehingga tongkol kedua sudah tidak dapat berisi dengan sempurna dan bobot 1000 biji kering pipil yang hanya mencapai 171,5g yang relatif lebih rendah dari potensi hasil jagung varietas BISI2 yang bisa mencapai 265g (Lampiran 28).
60
5.5. Analisis regresi produksi versus IPP (Indeks Penekanan Penyakit) Berdasarkan hasil analisis regresi linear sederhana dengan menggunakan program SPSS v.20, (Lampiran 25 dan 26) diperoleh hasil analisis sebagai berikut; Sebagaimana terlihat pada normal Probability plot untuk standar residu regresi (Gambar 6), nampak bahwa titik-titik menyebar disekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal (membentuk garis lurus), maka dapat dikatakan bahwa data berdistribusi normal dan model regresi layak dipakai untuk memprediksi produksi berdasarkan variabel Indeks Penekanan Penyakit. Dan terlihat titik-titik data di sekitar garis lurus yang cenderung membentuk garis lurus (linier), sehingga dapat dikatakan bahwa persyaratan linieritas telah terpenuhi.
Gambar 6. Grafik hasil uji normalitas Produksi versus IPP, Pada V1 dan V2. Summary hasil analisis regresi pada V1, menunjukkan nilai R = 0,81, berarti bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara variabel bebas (IPP) terhadap variabel terikat (Produksi). dengan signifikansi (Sigb ) = 0.026 < α 0.05. sangat signifikan. Nilai S.E.E = 1234 hal ini berarti bahwa banyaknya kesalahan dalam prediksi produksi sebesar 1234 kg (1234 ˂ 1937). Sebagai pedoman jika
61
SEE kurang dari standar deviasi (y), maka model regresi semakin baik dalam memprediksi nilai y. Berdasarkan analisis regresi menunjukkan nilai p-value untuk t-hitung, koefisien intersep (2,3 > 0,074) sangat signifikan dan koefisien IPP (3,1 > 0,026) sangat signifikan. Menunjukkan bahwa koefisien konstanta dan koefisien IPP berpengaruh sangat
signifikan dalam regresi sederhana. Dan nilai R2 = 0,66
artinya peningkatan produksi jagung pada penelitian ini 66 % dapat dinyatakan dipengaruhi oleh Indeks Penekanan Penyakit yang disebabkan oleh kemampuan agens hayati Biofresh yang diintegrasikan dengan bahan organik dalam meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun yang disebabkan oleh cendawan Helminthosporium sp. Anova regresi menunjukkan nilai F hitung > F tabel (9,79 > 6,6) sangat signifikan, artinya ada pengaruh secara signifikan antara variabel bebas (IPP) terhadap vaiabel terikat (Produksi), dengan signifikansi variabel bebas = 0.002 < α 0,05 signifikan (Jika sig. > α 0,05 maka tidak signifikan) (Tabel 8). Tabel 8. Hasil analisis regresi linear sederhana IPP versus Produksi pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1), menggunakan program SPSS v.20. Model
Unstandardized Coefficients (B)
1
t
Sig.
Summary R
R2
SEE
Constanta 2426,5 2,3 0,074 0,81 0,66 1234 IPP (%) 102,6 3,1 0,026 F.tabel (α 0,05; db1; db2) = 6,6
Anova Regresi SD (y)
F hit.
F tab.
Sig.b
1937
9,78
6,6
0,026
Sigb. 0,026 ˂ α 0,05)* Signifikan.
Persamaan regresi: Produksi (kg) = 2426,5 + 102,6 IPP (%).
62
Persamaan regresi menunjukkan nilai konstanta/koefisien intersep = 2426,5 berarti jika IPP nilainya 0, maka produksi = 2426,5 kg. Dan koefisien regresi IPP sebesar 102,6 artinya jika IPP mengalami kenaikan 1%, maka produksi akan mengalami peningkatan sebesar 102,6 kg dari 2426,5 kg (nilai konstanta). Semakin naik nilai IPP maka semakin meningkat pula nilai produksi, yang berarti
pula
bahwa
setiap
kenaikan
1%
IPP
maka
penurunan
produksi/kehilangan hasil dapat dicegah sebesar 102,6 kg, dengan asumsi bahwa variabel lain tetap/tidak mempengaruhi produksi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa aplikasi Biofresh yang diintegrasikan dengan bokashi dari serasah kedelai sebagai perlakuan terbaik yang di aplikasi pada varietas jenis pakan ternak BISI2 di lahan ultisol, mampu meningkatkan ketahanan terhadap penyakit hawar daun yang secara simultan meningkatkan produktivitas tanaman jagung sebesar 102,6 kg x 41% (IPP) = 4.206,6 kg dari 2426,5 kg sehingga menjadi 6.633 kg (6,6 ton) kering pipil. Hasil analisis regresi pada V1 menunjukkan nilai konstanta yang lebih rendah dari nilai produksi pada kontrol/B0 sebesar 3.600 kg dan dengan nilai R2 = 66 %, Sehingga dapat dinyatakan bahwa kenaikan produksi 34 % dipengaruhi oleh variabel lain yang diduga sebagian besar adanya pengaruh ketahanan varietas BISI2 terhadap penyakit hawar daun, yang indikasinya terlihat dengan jelas pada dinamika perkembangan keparahan penyakit yang menunjukkan terjadinya stagnasi pada pengamatan minggu ke-6 sampai dengan minggu ke-9.
Summary hasil analisis regresi pada V2, menunjukkan nilai R = 0,97, yang berarti bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara variabel bebas (IPP)
63
terhadap variabel terikat (Produksi). dengan signifikansi (Sigb ) = 0.000 < α 0.05. sangat signifikan. Nilai S.E.E = 1200, hal ini berarti bahwa banyaknya kesalahan dalam prediksi produksi sebesar 1200 kg (1200 ˂ 4303). Berdasarkan hasil analisis regresi menunjukkan nilai p-value untuk thitung, koefisien intersep (10 > 0,000) sangat signifikan dan koefisien IPP (8,5 > 0,000) sangat signifikan. Menunjukkan bahwa koefisien konstanta dan IPP berpengaruh sangat
signifikan dalam regresi sederhana. Dan nilai R2 = 0,94
artinya peningkatan produksi jagung pada penelitian ini 94 % dapat dinyatakan dipengaruhi oleh Indeks Penekanan Penyakit yang disebabkan oleh kemampuan agens hayati Biofresh yang diintegrasikan dengan bahan organik dalam meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun yang disebabkan oleh cendawan Helminthosporium sp. Anova regresi menunjukkan nilai F hitung > F tabel (72 > 6,6) sangat signifikan, artinya ada pengaruh secara signifikan antara variabel bebas (IPP) terhadap vaiabel terikat (Produksi), dengan signifikansi variabel bebas = 0.002 < α 0,05 signifikan (Jika sig. > α 0,05 maka tidak signifikan) (Tabel 9). Tabel 9. Hasil analisis regresi linear sederhana IPP versus Produksi pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2), menggunakan program SPSS v.20. Model
1
Unstandardized Coefficients (B)
t
Sig.
Constanta
7467
10
0,000
IPP (%)
164
8,5
0,000
F.tabel (α 0,05; db1; db2) = 6,6
Summary 2
R
R
0,97
0,94
Anova Regresi
SEE
SD (y)
F hit.
F tab.
Sig.
1200
4304
72
6,6
0,000
b
b
Sig . 0,000 ˂ α 0,05)** Sangat Signifikan.
Persamaan regresi: Produksi (kg) = 7467 + 164 IPP (%).
64
Persamaan regresi menunjukkan nilai konstanta/koefisien intersep = 7.467 berarti bahwa jika IPP nilainya 0, maka produksi = 7.467 kg. Dan koefisien regresi IPP sebesar 164 artinya jika IPP mengalami kenaikan 1%, maka produksi akan mengalami peningkatan sebesar 164 kg dari 7.467 kg (nilai konstanta). Semakin naik nilai IPP maka semakin meningkat pula nilai produksi, yang berarti pula bahwa setiap kenaikan 1% IPP maka penurunan produksi/kehilangan hasil dapat dicegah sebesar 164 kg, dengan asumsi bahwa variabel lain tetap/tidak mempengaruhi produksi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perlakuan Biofresh yang diintegrasikan dengan bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi yang diaplikasi pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino di lahan ultisol, sebagai perlakuan terbaik dalam penelitian ini mampu meningkatkan ketahanan terhadap penyakit hawar daun yang secara simultan meningkatkan produktivitas tanaman jagung sebesar 164 kg x 64,3 % (IPP) = 10.545 kg dari 7.467 kg sehingga menjadi 18.012 kg (18 ton) tongkol basah.
Dari serangkaian analisis yang telah dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa seiring kemampuan agens hayati Biofresh dalam meningkatkan
ketahanan
tanaman
jagung
terhadap
infeksi
patogen
Helminthosporium sp. sehingga mampu menekan keparahan penyakit hawar daun yang menyebabkan penurunan produksi dapat ditekan, dan dengan dibarengi kemampuan bahan organik dalam meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Winarso, 2005) maka secara simultan berinflikasi pada terjadinya peningkatan produksi yang signifikan.
65
Sejalan dengan Dela Vege et al., (2003) menyatakan dengan meningkatnya intensitas serangan penyakit, kehilangan dan penurunan hasil juga bertambah dengan hubungan proporsional secara langsung. Lebih lanjut Yan et al., (2004) menyatakan penggunaan agens hayati mikroba dalam suatu sistem pertanian mempunyai potensi untuk melindungi tanaman selama siklus hidupnya yang ramah lingkungan dan sekaligus meningkatkan produksi. Zhang (2004) menyatakan bahwa berbagai jenis rizobakteri memiliki kemampuan menghasilkan senyawa metabolik sekunder seperti antibiotik, siderofor, hidrogen sianida dan berbagai enzim hidrolitik seperti kitinase, protease dan sellulase. Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan berperan sebagai senyawa anti-mikroba untuk menekan pertumbuhan patogen (Van Loon, 2007). Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
kemangkusan
Biofresh
yang
diintegrasikan dengan bahan organik yang didekomposisi (Bokashi) dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit hawar daun dan produksi tanaman jagung pada dua jenis varietas di lahan ultisol. Hal ini diduga karena kemampuan bokashi dalam meningkatkan kesuburan tanah dan efektivitas rizobakteri penyusun Biofresh dengan semakin meningkatkan perannya sebagai biofertilizer dan biopestisida. Dengan kombinasi peran dan manfaat dari Biofresh dan bokashi, kendala pada lahan ultisol seperti; sangat miskin unsur hara dan kadar bahan organik serta pH rendah, kejenuhan Al, Mn dan Fe tinggi yang menyebabkan unsur fosfor kurang tersedia bagi tanaman (Eswaran, 1984) dapat teratasi,
66
sehingga dengan demikian produktivitas tanaman jagung di lahan ultisol dapat ditingkatkan. Diketahui bahwa mikroba penyusun Biofresh yang terdiri dari Bacillus subtilis ST21e, B. cereus ST21b dan Serratia sp. SS29a, mampu mensekresi enzim selluler (kitinase, sellulase dan proteinase), memproduksi hormon tumbuh (IAA), melarutkan fosfat dan menfiksasi nitrogen dari udara, yang memiliki mekanisme antagonis hiperparasitisme, persaingan ruang dan nutrisi, mekanisme antibiolisis, juga dapat berperan sebagai PGPR dan elisitor pengimbas ketahanan sistemik (Khaeruni et al., 2010b). Perlakuan menggunakan agen penginduksi dapat mengaktifkan secara cepat berbagai resistensi tanaman, diantaranya akumulasi fitoaleksin dan peningkatan aktivitas enzim kitinase, β-1,3-glukanase, β-1,4-glukosidase. Ketahanan tanaman terhadap patogen dapat terbentuk dengan adanya mekanisme ketahanan terimbas akibat introduksi elisitor biotik berupa agens hayati yang mampu menginduksi ketahanan tanaman (Zhang et al., 2002). Ketahanan terimbas merupakan peningkatan daya pertahanan yang dikembangkan tanaman karena adanya rangsangan yang sesuai (Soesanto, 2008). Ketahanan yang dihasilkan melalui mekanisme induksi ketahanan dapat berspektrum luas, baik terhadap cendawan, bakteri maupun virus (Van Loon et al., 1998). sejalan dengan penelitian Anima (2010) menunjukkan bahwa isolat rizobakteri lokal mampu mensekresi enzim ekstraseluler, menghasilkan hormon tumbuh IAA, dan melarutkan fosfat. Lebih lanjut Khaeruni et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan rizobakteri mampu memacu pertumbuhan dan
67
menginduksi ketahanan tanaman padi IR64 terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) pada skala rumah kasa. Penggunaan pupuk bokashi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, hal ini disebabkan karena bokashi yang berasal dari pupuk kandang sapi mengandung sejumlah unsur hara dan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar serta kemampuan akar tanaman dalam menyerap unsur hara yang sangat menentukan pertumbuhan vegetatif tanaman yang pada akhirnya menentukan pula fase reproduktif dan hasil tanaman. Pertumbuhan vegetatif yang baik akan menunjang fase generatif yang baik pula (Winarso, 2005). Bahan organik dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn juga merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme tanah yang menjalankan berbagai proses penting di dalam tanah (Suriadikarta et al., 2006). Kelompok leguminosa termasuk sumber bahan organik yang berkualitas tinggi karena mengandung, N yang tinggi >2,5%, nisbah C/N rendah (<20), kandungan lignin rendah (<15%) dan polifenol yang rendah (<4%) sehingga mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme dalam tanah (Rachman et al., 2006). Nutrisi yang terkandung dalam pupuk kandang sapi antara lain: N : 0,45 %, P : 0,09 %, K : 0,36 %, Mg : 0,09 %, S : 0,06 % dan B : 0,0045 % (Rosmarkan et al., 2002). Sejalan dengan penelitian Tola et al. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk bokashi dengan dosis 20 ton/ha memberikan hasil yang terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman
68
jagung. Arinong et al. (2008) menunjukkan bahwa antara perlakuan yang menggunakan bokashi dan tanpa bokashi terlihat berbeda nyata. Hasil penelitian Satrah, (2014) menunjukkan efektifitas rizobakteri indigenos dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit dan produksi tanaman kedelai di lahan ultisol, dipengaruhi oleh pemberian bahan organik. Lebih lanjut Barbarick (2006) menyatakan bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah juga dapat meningkatkan jumlah dan aktifitas mikroorganisme tanah.
69
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Interaksi antara perlakuan Biofresh + bahan organik dengan jenis varietas mampu meningkatkan ketahanan dan produksi tanaman jagung di lahan ultisol. 2. Perlakuan Biofresh + bahan organik atau jenis varietas secara mandiri mampu meningkatkan ketahanan dan produksi tanaman jagung di lahan ultisol. 3. Aplikasi Biofresh + bokashi dari serasah kedelai dan jerami padi pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2B6), mampu meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun dengan IPP sebesar 64,3% dan meningkatkan produktivitas jagung sebesar 10,5 ton ha-1 tongkol basah sebagai perlakuan terbaik, dan pada varietas jenis pakan ternak BISI2 perlakuan Biofresh + bokashi dari serasah kedelai (V1B5), yang mampu meningkatkan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit hawar daun dengan IPP sebesar 41% dan meningkatkan produktivitas jagung sebesar 4,2 ton ha-1 kering pipil.
70
6.2. Saran 1. Perlu dilakukan kajian optimasi dosis Biofresh dan bokashi untuk menjajaki adanya kemungkinan aplikasi Biofresh + bahan organik full tanpa menggunakan pestisida dan pupuk anorganik kimia sintetis dalam rangka mendukung program pertanian organik. 2. Pada umumnya petani jagung di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Tenggara, budidaya jagung dilakukan dengan Tanpa Olah Tanah (TOT) pada lahan-lahan dimana situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pengolahan tanah serta keterbatasan bahan organik tertentu, maka kami menyarankan sekiranya dilakukan penelitian efektifitas aplikasi Biofresh + bokashi pada system budidaya jagung Tanpa Olah Tanah dengan menggunakan bokashi dari bahan organik
yang
tersedia dilokasi pelaksanaan. 3. Perlu dilakukan pengujian serupa pada jenis tanaman lain terutama pada komoditas hortikultura dan tanaman pangan.
71
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto T. dan Widyastuti Y.E., 2004. Meningkatkan Produksi Jagung Di Lahan Kering, Sawah, dan Pasang Surut. Anima H., 2010. Potensi Rizobakteri sebagai biokontrol Rhizoctonia zeae dan pemacu Pertumbuhan Tanaman Jagung pada lahan ultisol [Tesis]. Program Studi Agronomi PPS Universitas Halu Oleo Kendari. Arinong A.R., Rukka H., dan Vibriana L., 2008. Pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dengan pemberian bokashi. Jurnal Agrisistem. Vol 4 (2). Badan Pusat Statistik R.I., 2016. Produksi dan Produktivitas Tanaman Jagung Nasional. Badan Pusat Statistik R.I., 2016). (15-6-2016). Barbarick K.A., 2006. Organic Materials As Nitrogen Fertilizers. Colorado State University. Colorado. Departemen Pertanian R.I., 2015. Data Sasaran dan Target produksi Jagung Nasional.www.pertanian.go.id. 2016. (15-6-2016). Direkrorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian R.I., 2015, Juknis Pemantauan dan Pengamatan serta Pelaporan OPT dan DPI, 2015. Deswati, Jasis, Zainita, Railan M., Raga I.N., Daryanto, dan Issusilaningtyas U.H., 2000. Agens Hayati Tanaman Hortikultura. Direktorat Perlindungan Tanaman. Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman. Dwidevi D., Johri B.N., 2003. Antifungals from fluorescens pseudomonas: biosynthesis and regulation. Curr Sci 85:1693-1703. Eswaran H., 1984. Use of soil taxonomy in identifying soil-related potential and contraints for agriculture. In : Ecology and management of Problem Soils in Asia. FFTC Book series No. 27 : Taipei. pp. 187-192. Faccini G., Garzon S., Martines M., Varela A., 2004. Evaluation of the effect of a dual inoculum of phosphate-solubilizing bacteria and Azotobacter chroococcum in creolo potato (Papa “Criolla”) (Solanum phureya). Faesal, 2010. Pengaruh Pemberian Pupuk KCl terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung Pulut (Zea mays ceratina. L), Balai Penelitian Tanaman Serealia Prosiding Pekan Serealia Nasional, Kementerian Pertanian R.I. Fuente D.L., Bajsa N., bagnasco P., Quagliotto L., Thomashow L., Arias A.., 2004. Antibiotic production by biocontrol Pseudomonas fluorescens isolated from forage legume rhizosfere. http:www.ag.auburn. edu/argentina/pdfmanuscript/ delafuente. (Diakses 25 Juli 2016) Guadalupe A. S., 2000. Organic Fertilizer for Flowers, Vegetables and Plants. http: //www.upd.edu.ph/serdef/Philippine%20 Floriculture%20-Industry/ Organic% 20Fertilizer.doc. (Diakses tanggal 02 Juli 2016).
72
Gupta J. J., Yadav B. P. S.; Gupta H. K., Sahoo S. K., Agrahar D., 2001. Nutritive value of detoxified jack bean (Canavalia ensiformis) seed for young chicks. Indian J. Anim. Sci., 71 (12): 1169-1171. Gunarto L., Lestari P., Supadmo H., dan Marzuki A. R., 2002. Dekomposisi jerami padi, inokiulasi Azospirillum dan pengaruhnya terhadap efisiensi penggunaan pupuk N pada padi sawah. Penelitian Pertanian, Vol. 21 No. 2 p. 1 – 9. Puslitbangtan, Bogor. Hairiah K. dan Murdiyarso D., 2007. Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon Teresterial. Word Agroforestry Centre-ICRAF. SE. Asia. BogorIndonesia. 88p. Hardjowigeno S., 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo: Jakarta. Hoerussalam, Purwantoro A., & Khaeruni A., 2013. Induksi ketahanan tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap penyakit bulai melalui seed treatment serta pewarisannya pada g. S1. Jurnal Ilmu Pertanian 16(2): 42–59. Isnaini M., 2006. Pertanian Organik untuk Keuntungan Ekonomi & Kelestarian Bumi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta. Khaeruni A., Sutariati G.A.K., Ikhsan N., 2009. Introduksi Paket Bioteknologi Ramah Lingkungan Untuk Peningkatan Produksi Tanaman Jagung dan Kedelai di Sulawesi Tenggara. Laporan Penelitian Riset Unggulan Strategi Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo. Khaeruni A., Sutariati G.A.K., dan Wahyuni S., 2010. Potensi rizobakteria indigenus tanah podsolik merah kuning sebagai agens pengendali hayati penyakit layu fusarium dan pemacu pertumbuhan tanaman mentimun. Jurnal Fitomedika Vol.7(1):25-30. Khaeruni A., Sutariati G.A.K., Wahyuni S., 2010a. Karakterisasi dan uji aktivitas bakteri rizosfer lahan ultisol sebagai pemacu pertumbuhan dan agensia hayati cendawan pathogen tular tanah secara in-vitro. Journal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika Vol.10(2):123-130. Khaeruni A., Sutariati G.A.K., Wahyuni S., 2010b. Eksplorasi dan karakterisasi bakteri rizosfer untuk pengembangan biofertilizer dan bioprotecting pada tanah marjinal podsolik merah kuning (lanjutan). Laporan Penelitian Insentif Dasar Ristek. Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo. Khaeruni A,, Wijayanto T,, & Syair., 2013. The utilization of indigenous rhizobacteria as an inducer for rice plant resistance against bacterial leaf blight disease (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). In: Olanvoravuth N (Eds.). Proceeding the 8th International Conference on Innovation and Collaboration Toward Asean Community 2015. pp. 30–36. Kendari Indonesia.
73
Khaeruni A., Wahab A., Taufik M., Sutariati G.A.K., 2013a. Keefektifan waktu aplikasi formulasi rizobakteri indigenus untuk mengendalikan Layu Fusarium dan meningkatkan hasil tanaman tomat di Tanah Ultisol. Jurnal Hortikultura Vol. 23(4): 365-371. Khaeruni A,, Abdul Rahim, Syair, & Adriani, 2014. Induksi ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi di lapangan menggunakan rizobakteri indigenos. J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 14, No. 1: 57–63, Maret 2014. Khaeruni A., Wijayanto T., Sutariati G.A.K., Asniah and Sulqifly, 2015. Improvement of resistense agents pathogens, grow and yield of soybean on marginal land using indigenous rhizobacteria formulation recen advence in mathemathical and computational methods. P. 194-200. Proceeding of WSEAS confrence. Kuala Lumpur, Malaysia April 2015. Khanafari A., Assadi M. M., and Fakhr F. A., 2006. Review of Prodigiosin, Pigmentation in Serratia marcescens. Online Journal of Biological Sciences 6 (1), 1-13. Mattjik A.A., dan Sumertajaya M., 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. Mia A.B., Shamsuddin Z.H., Wahab Z., Marziah M., 2010. Effect of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) inoculation on growth and nitrogen incoperation of tissue culture Musa plantlets under nitrogen-free hydroponics condition. Aust J. of Crop Science. 4(2):85-90. Noor A., dan Ningsih R.D., 1998. Upaya meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah di lahan kering. Dalam Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Banjarbaru Palm C.A., Gachengo C.N., Delve R.J., Cadisch G., Giller K.E., 2001. Organic inputs for soil fertility management in tropical agroecosystems: application of an organic resource database. Agriculture, Ecosystem and Environment. 83, 27-42. Permentan 2009. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia tentang pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah. No 28/ Permentan/SR. 130/5/2009. Płaza G.A., Król E., Páociniczak M.P., Seget Z.P., Brigmon LR., 2012. Study of antifungal activity of Bacillus species cultured on agro-industrial wastes. Acta Sci Pol Hortorum Cultus. 11(5):169–182. Prasetyo B.H., dan Suriadikarta D.A., 2006. Karakteristik, potensi dan teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian.
74
Prastowo B., Sarasutha, Lando, Zubachtirodin, Abidin, dan Anasiru R.H., 1998. Rekayasa teknologi mekanis untuk budidaya tanaman jagung dan upaya pascapanennya pada Lahan Tadah Hujan. Journal Engineering Pertanian. Purnomo E., 2006. Peranan bahan organik untuk menyuburkan tanah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (Info Teknologi Pertanian No.7). Rachman A., Dahria A., Santoso J., 2006. Pupuk Hijau. p. 41-58. Dalam: R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Petranian. Bogor. Rahamma, S. dan M.S. Kontong. 2001. Penya- ringan ketahanan 41 varietas dan galur jagung terhadap penyakit bercak daun (Helminthosporium maydis). Rísalah Pene- litian Jagung dan Serealia, Balai Penelitian Roliyah Y., 2000. Laporan perkembangan penyakit hawar daun pada tanaman jagung di Propinsi Sumatera Utara (Keadaan sampai 29 Februari 2000). Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Medan. Romeiro R.S., Filho F.L., Macagnan D., Garcia F.A.O., Silva H.S.A., 2010. Evidence that the biocontrol agent B. cereus synthesizes protein that can elicit increased resistance of tomato leaves to Corynespora casiicola. Trop Plant Pathol. 35(1):11–15. Rosmarkan A., dan Yuwono N.W., 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sadrati N., Daoud H., Zerroug A., Dahamna S., Bouharati S., 2013. Screening of antimicrobial and antioxidant secondary metabolites from endophytic fungi isolated from wheat (Triticum durum). J Plant Protec Res. 53(2):128–136. Sastrahidayat I.R., 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya. 366 hal. Satrah V.N., 2014. Stabilitas Rizobakteri Indigenos pada Bentuk dan Formulasi dan Peranannya dalam Meningkatkan Ketahanan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max. L. Meril) pada Tanah Ultisol. [Tesis]. Program Studi Agronomi. PPS Universitas Halu Oleo. Kendari. Semangun H., 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada Unversity. Press, Yogyakarta. 754 hal Semangun H., 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sudana, W., Swastika, D.K.S dan Soerachman. 2002. Profitabilitas dan peluang pengembangan jagung di Provinsi Lampung. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 5: 40-53.
75
Sintia M., 2011. Pengaruh Beberapa Dosis Kompos Jerami Padi Dan Pupuk Nitrogen Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Jagung Manis (Zea mays Saccharata Sturt) [skipsi]. Fakultas pertanian, Universitas Andalas 2011. Soesanto L., 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tumbuhan. Raja grafindo persada, Jakarta. Sudjono M.S., 1988. Penyakit Jagung Dan Pengendaliannya, hal. 205 – 241. Dalam Subandi et al.,(ed), Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Puslitbangtan, Bogor. Sulistiyanto Y., Rieley J.O., Lemin S.H., 2005. Laju Dekomposisi dan Pelepasan Hara dari Serasah pada Dua Sub Tipe Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Trop. For. Manage. J. Vol. 11 No. 2 p, 1-14. Sumartini dan Sri Hardaningsih. 1995. Penyakit-Penyakit Jagung dan Pengendaliannya. Dalam Pengenalan Hama dan Penyakit Tanaman Jagung serta Pengendaliannya. Monograf Balittan Malang 13 : 1-14 Suriadikarta D.A., dan Simanungkalit R.D.M., 2006. Pendahuluan. Dalam: Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit et al. (Eds.). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, pp. 1-10. Sutanto R., 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius: Yogyakarta. Sutariati G.A.K., 2006. Perlakuan benih dengan agens biokontrol untuk pengendalian penyakit antraknosa, peningkatan hasil dan mutu benih cabai, cendawan patogen. Agriplus 15: 272–281. Suwahyono U., 2011. Petunjuk Praktis Penggunaan Pupuk Organik Secara Efektif dan Efisien. Penebar Swadaya: Jakarta. Van Loon L.C., Bakker P.A.H.M., and Pieterse C.M.J., 1998. Systemic Resistance induced by rhizosphere bacteria. Annu. Rev. Phytopathol. 36:453-483. Van Loon, 2007. Plant respons to plant growth-promoting rhizobacteria. Eur J. Plant pathol. 111:243-254. DOI 10.1007/s10658-007-9165-1. Winarso S., 2005. Kesuburan Tanah. Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media: Yogyakarta. Yan Z, Ryu C.M., McInroy J., Reddy M.S., Woods F., Wilson M., Klopper J.W., 2004. Induction of systemic resistance against tomato late blight by PGPR. Zhang Y., 2004. Biocontrol of sclerotinia stem rot of canola by bacterial antagonists and study of biocontrol mechanisms involved [Thesis]. Winnipeg, Canada: Departement of Plant Science, University of Manitoba.
76
Lampiran 1. Desain penelitian. 6,3 M 0,4m
0,4m
30cm
3.6 M
30 cm
75cm
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
30 cm
30 cm
50 cm
Keterangan : Ukuran Unit Petak : Lebar = 3,6 m Panjang = 6,3 m Tinggi bedengan = 30 cm Jarak antara P. Utama = 50 Cm Jarak antara A. Petak = 30 Cm Jarak antara kelompok = 40 cm Jarak Tanam = 30 x 75 cm Jarak tanam dari pinggir plot =30 cm Jumlah baris tanaman/ptk = 5 Jumlah rumpun dlm baris = 20 Populasi rmpn/petak = 100 Diamati 10 sampel tanaman/petak, diambil secara acak multi diagonal. Jumlah Bedengan/plot = 2 x 7 perlakuan x 3 ulangan = 42 plot. Kombinasi Perlakuan V1B0 = Kontrol Var. Bisi2 V1B1 = Bisi2, Pupuk kandang V1B2 = Bisi2, Biofresh V1B3 = Bisi2, Pupuk kandang + Biofresh V1B4 = Bisi2, Bokashi jerami padi + Biofresh V1B5 = Bisi2, Bokashi serasah kedelai +Biofresh V1B6 = Bisi2, Bokashi jerami padi+ Bokashi serasah kedelai +Biofresh V2B0 = Kontrol Var. Valentino V2B1 = Valentino, Pupuk kandang V2B2 = Valentino, Biofresh V2B3 = Valentino, Pupuk kandang + Biofresh V2B4 = Valentino,Bokashi jerami padi+Biofresh V2B5 = Valentino, Bokashi serasah kedelai + Biofresh V2B6 = Valentino, Bokashi Jerami padi +Bokashi kedelai +Biofresh
77
Lampiran 2a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun (%) pada umur 4 MST. Perlakuan Va B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
Kelompok I II III 3,3 5.6 3,3 5,6 3.3 3,3 4,4 3.3 3,3 3,3 2.2 2,2 1,1 2.2 2,2 1,1 1.1 1,1 0,8 0.7 0,7 6,7 6.7 4,4 5,6 5.6 3,3 3,3 3.3 3,3 4,4 3.3 4,4 3,3 2.2 2,2 2,2 1.1 1,1 1,1 1.1 1,1
Jumlah
Rerata
12,2 12,2 11 7,7 5,5 3,3 2,2 17,8 14,5 9,9 12,1 7,7 4,4 3,3
4,1 4,1 3,7 2,6 1,8 1,1 0,7 5,9 4,8 3,3 4,0 2,6 1,5 1,1
Lampiran 2b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung pada umur 4 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
3,8
1,9
9,6 tn
1 2
5,8 0,4
5,8 0,2
6
86
VxB
6
5
Galat (b) 24 14,8 Total 41 155,7 KK (a) =15%; KK (b) = 26,6%
F. Tabel 5% 1% 19
99
29,1 *
18,5
98,5
14,3
23,3 **
2,5
3,7
0,8
1,3 tn
2,5
3,7
0,6
78
Lampiran 3a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung (%) pada umur 5 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
Kelompok I II 7,8 11,1 8,9 6,7 8,9 6,7 6,7 5,6 3,3 5,6 4,4 3,3 2,2 3,3 12,2 11,1 10 13,3 11,1 11,1 8,9 10 7,8 6,7 6,7 6,7 4,4 5,6
III 8,9 7,8 3,3 4,4 3,3 3,3 1,1 8,9 7,8 10 8,9 6,7 5,6 5,6
Jumlah
Rerata
27,8 23,4 18,9 16,7 12,2 11 6,6 32,2 31,1 32,2 27,8 21,2 19 15,6
9,3 7,8 6,3 5,6 4,1 3,7 2,2 10,7 10,4 10,7 9,3 7,1 6,3 5,2
Lampiran 3b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung pada umur 5 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
18,5
9,2
43,6 tn
19
99
1 2
93 0,4
93 0,2
439,4 **
18,5
98,5
6
196,5
32,7
19,8 **
2,5
3,7
VxB
6
7,8
1,3
0,8 tn
2,5
3,7
Galat (b) 24 39,7 1,7 Total 41 355,8 KK (a) =6,5%; KK (b) = 18,3%
79
Lampiran 4a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung (%) pada umur 6 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 13,3 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 33,3 33,3 28,9 22,2 20 11,1 11,1
Kelompok II 15,6 11,1 11,1 11,1 11,1 8,9 7,8 33,3 33,3 26,7 24,4 20 13,3 11,1
III 15,6 11,1 11,1 10 8,9 8,9 7,8 22,2 22,2 15,6 22,2 11,1 11,1 11,1
Jumlah
Rerata
44,5 33,3 33,3 32,2 31,1 28,9 26,7 88,8 88,8 71,2 68,8 51,1 35,5 33,3
14,8 11,1 11,1 10,7 10,4 9,6 8,9 29,6 29,6 23,7 22,9 17 11,8 11,1
Lampiran 4b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung pada umur 6 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
121
60,5
1,5 tn
1 2
1025,2 79,5
1025,2 39,8
6
775,3
VxB
6
359,2
Galat (b) 24 142,7 Total 41 2502,9 KK (a) =39,7%; KK (b) = 15%
F. Tabel 5% 1% 19
99
25,8 *
18,5
98,5
129,2
21,7 **
2,5
3,7
59,9
10,1 **
2,5
3,7
6
80
Lampiran 5a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung (%) pada umutr 7 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
Kelompok I II III 13,3 17,8 15,6 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 10 11,1 11,1 8,9 11,1 8,9 8,9 11,1 7,8 7,8 37,8 37,8 31,1 35,6 35,6 28,9 33,3 31,1 17,8 26,7 26,7 22,2 22,2 22,2 15,6 13,3 15,6 11,1 11,1 11,1 11,1
Jumlah
Rerata
46,7 33,3 33,3 32,2 31,1 28,9 26,7 106,7 100,1 82,2 75,6 60 40 33,3
15,6 11,1 11,1 10,7 10,4 9,6 8,9 35,6 33,4 27,4 25,2 20 13,3 11,1
Lampiran 5b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung pada umur 7 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
110,9
55,4
1,8 tn
1 2
1680,9 62,6
1680,9 33,3
6
1130,9
VxB
6
542,3
Galat (b) 24 104,3 Total 41 3631,9 KK (a) =32%; KK (b) = 12%
F. Tabel 5% 1% 19
99
53,7 *
18,5
98,5
188,5
43,4 **
2,5
3,7
90,4
20,8 **
2,5
3,7
4,4
81
Lampiran 6a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung (%) pada umur 8 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 15,6 13,3 13,3 11,1 11,1 11,1 11,1 42,2 40 37,8 28,9 24,4 13,3 133
Kelompok II 17,8 11,1 11,1 11,1 11,1 10 8,9 40 37,8 35,6 28,9 24,4 15,6 11,1
III 15,6 11,1 11,1 11,1 10 8,9 7,8 33,3 31,1 26,7 24,4 20 13,3 11,1
Jumlah
Rerata
49 35,5 35,5 33,3 32,2 30 27,8 115,5 108,9 100,1 82,2 68,8 42,2 35,5
16,3 11,8 11,8 11,1 10,7 10 9,3 38,5 36,3 33,4 27,4 22,9 14,1 11,8
Lampiran 6b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung pada umur 8 MST. F. Tabel 5% 1%
SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
101,6
50,8
2,6 tn
19
99
1 2
2286,6 38,7
2286,8 19,4
118 **
18,5
98,5
6
1404,9
234,2
84,5 **
2,5
3,7
VxB
6
700,4
116,7
42 **
2,5
3,7
Galat (b) 24 66,5 Total 41 4598,7 KK (a) =23%; KK (b) = 8,8%
2,8
82
Lampiran 7a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung (%) pada umur 9 MST. Perlakuan V
V1
V2
Kelompok
Jumlah
Rerata
15,6 11,1 11,1 11,1 10 8,9
49 35,5 35,5 33,3 32,2 30
16,3 11,8 11,8 11,1 10,7 10
8,9
7,8
27,8
9,3
42,2 40 37,8 33,3 28,9 22,2 20
37,8 35,6 31,1 26,7 22,2 17,8 17,8
124,4 117,8 108,9 93,3 77,8 60 53,4
41,5 39,3 36,3 31,1 25,9 20 17,8
B
I
II
III
B0 B1 B2 B3 B4 B5
15,6 13,3 13,3 11,1 11,1 11,1
17,8 11,1 11,1 11,1 11,1 10
B6
11,1
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6
44,4 42,2 40 33,3 26,7 20 15,6
Lampiran 7b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung pada umur 9 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
86,6
43,3
2,5 tn
1 2
3664,3 34,4
3664,3 17,2
6
1148
VxB
6
515,9
F. Tabel 5% 1% 19
99
212,8 **
18,5
98,5
191,4
80 **
2,5
3,7
86
36 **
2,5
3,7
Galat (b) 24 57,4 2,4 Total 41 5506,7 KK (a) =19,8%; KK (b) = 7,4%
83
Lampiran 8. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; keparahan penyakit hawar daun tanaman jagung (%) pada umur 10 MST. Perlakuan V
V1
V2
Kelompok
Jumlah
Rerata
15,6 11,1 11,1 11,1 10 8,9
49 35,5 35,5 33,3 32,2 30
16,3 11,8 11,8 11,1 10,7 10
8,9
7,8
27,8
9,3
42,2 40 37,8 33,3 28,9 22,2 20
37,8 35,6 31,1 26,7 22,2 17,8 17,8
124,4 117,8 108,9 93,3 77,8 60 53,4
41,5 39,3 36,3 31,1 25,9 20 17,8
B
I
II
III
B0 B1 B2 B3 B4 B5
15,6 13,3 13,3 11,1 11,1 11,1
17,8 11,1 11,1 11,1 11,1 10
B6
11,1
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6
44,4 42,2 40 33,3 26,7 20 15,6
84
Lampiran 9a. Data Hasil Analisis Luas Daerah di Bawah Kurva Keparahan Penyakit (LDBKPP) Dan Indeks Penekanan Penyakit (IPP) hawar daun tanaman jagung. IPP = Dic - Dib/Dic x 100% ( %/hari )
LDBKPP = ∑ *((yi + yi+1)/2)x (ti+1 - ti)] ( 6 X Pengamatan interval 7 hari ) Perlakuan KELOMPOK Total RERATA PU AP I II III B0 416 518 B1 377 330 B2 373 330 B3 330 319 V1 B4 299 319 B5 307 257 B6 290 228 B0 1057 1027 B1 1000 1000 B2 929 875 B3 739 758 V2 B4 626 622 B5 389 440 B6 338 346 Keterangan: B0 = Kontrol
456 338 307 295 260 245 201 816 766 611 653 459 354 338
1390 1045 1010 944 878 808 720 2900 2765 2416 2150 1707 1182 1022
463 348 337 315 293 269 240 967 922 805 717 569 394 341
KELOMPOK I
II
Total
III
9.4 10.4 20.6 28.2 26.3 30.3
36.2 36.2 38.4 38.4 50.5 55.9
5.5 12.1 30.1 40.8 63.3 68.1
2.6 14.7 26.2 39.4 57.1 66.3
Kontrol 25.9 71.5 32.8 79.4 35.3 94.4 42.9 109.5 46.3 123.1 55.9 142.1 Kontrol 6.1 14.2 25.1 52.0 20.0 76.3 43.7 124.0 56.6 177.0 58.5 192.9
RERATA
23.8 26.5 31.5 36.5 41.0 47.4 4.7 17.3 25.4 41.3 59.0 64.3
Lampiran 9b. Tabel analisis ragam Indeks Penekanan Penyakit (IPP) hawar daun tanaman jagung pada 2 jenis varietas di lahan ultisol. F. Tabel 5% 1%
SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B VxB Galat (b) Total
2
686
343
0.68
tn
19
99
1 2
7 1,011
7 505
0.01
tn
18.5
98.5
5 5 20 35
7,910 1,669 368 11,652
1,582 334 18
85.91 18.13
** **
2.7 2.7
4.1 4.1
KK (a) =64%; KK (b) = 12%
85
Lampiran 10a.Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman jagung pada umur 2 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 30,3 32,2 31,5 33,9 33,4 31,5 31,5 29,4 29,7 30,6 31,2 32,4 33,1 33,7
Kelompok II 28,5 29,5 31,5 31,4 33,4 34,4 33,9 28,6 28,2 30,1 30,4 30,9 32,6 32,8
III 30,9 31,8 34,5 34,5 33,3 34,5 34,2 28,8 27,2 28,6 29,1 30,7 31 31,3
Jumlah
Rerata
89,7 93,5 97,5 99,8 100,1 100,4 99,6 86,65 85,05 89,3 90,65 94 96,7 97,8
29,9 31,2 32,5 33,3 33,4 33,5 33,2 28,9 28,4 29,8 30,2 31,3 32,2 32,6
Lampiran 10b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman jagung pada umur 2 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
2,4
1,2
0,12 tn
19
99
1 2
39 20,5
39 10,3
3,8 tn
18,5
98,5
6
72,9
12,2
14 **
2,5
3,7
VxB
6
8,7
1,5
1,7 tn
2,5
3,7
Galat (b) 24 20,9 Total 41 164,4 KK (a) =10%; KK (b) = 3%
0,9
86
Lampiran 11a.Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman jagung pada umur 4 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 91,3 89,1 96,5 100,4 108,1 101,6 108,1 95,7 100 95,6 97,8 103,4 102,4 104.6
Kelompok II 92,4 94 91,3 104,9 102,5 113,1 102,9 90 88,6 95,3 93,9 101,2 100,7 101.5
III 93,9 96,6 99,3 96,2 108,4 104,5 103,3 74,6 78,2 85,3 89 89,9 85,9 97.1
Jumlah
Rerata
277,6 279,7 287,1 301,5 319 319,2 314,3 260,3 266,8 276,2 280,7 294,5 289 303,2
92,5 93,2 95,7 100,5 106,3 106,4 104,8 86,8 88,9 92,1 93,6 98,2 96,3 101,1
Lampiran 11b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman jagung pada umur 4 mst. F. Tabel 5% 1%
SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
332
166
0,8 tn
19
99
1 2
388 423
388 211,5
1,8 tn
18,5
98,5
6
1082
180
12,7 **
2,5
3,7
VxB
6
53,8
9
0,6 tn
2,5
3,7
Galat (b) 24 340 Total 41 2619 KK (a) =15%; KK (b) = 4%
14
87
Lampiran.12a.Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman jagung pada umur 6 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 172,2 194 183 189,1 201,1 195,1 201,1 183 186,4 185,2 185,5 200,5 198,5 202,5
Kelompok II 183,4 188,1 192,3 207,7 198,4 214,1 214,3 169,6 171,5 170,1 185 198 201 194,2
III 184,2 194,7 190,3 206,2 206,1 199 199 153,4 166,3 165,2 176,4 178 179,7 198,3
Jumlah
Rerata
539,8 576,8 565,6 603 605,6 608,2 614,4 506 524,2 520,5 546,9 576,5 579,2 595
179,9 192,3 188,5 201 201,9 202,7 204,8 168,7 174,7 173,5 182,3 192,2 193,1 198,3
Lampiran 12b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman jagung pada umur 6 MST. db
JK
KT
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
353,3
176,6
0,3 tn
19
99
1 2
1673,3 1055,6
1673,3 527,8
3,2 tn
18,5
98,5
6
3697.6
161,3
16,9 **
2,5
3,7
VxB
6
185,8
31
0,85 tn
2,5
3,7
Galat (b) 24 975 Total 41 7840,5 KK (a) =12%; KK (b) = 3,2%
36,5
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
SK
88
Lampiran.13a.Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman pada umur 8 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6
V2
I 233,5 252,5 239 267,4 281,5 280,5 283,7
Kelompok II 235,2 238,1 238,4 239,5 276,6 293,3 296,5
III 237,4 241,3 237,6 257,8 283,2 277,6 281,3
236 241 239,2 246 251 250,5 252
217,4 228,5 218,3 243 245 251 243,5
207,6 216,5 210 223 225,5 228 245
Jumlah
Rerata
706,1 731,9 715 764,7 841,3 851,4 861,5
235,4 244 238,3 254,9 280,4 283,8 287,2
661 686 667,5 712 721,5 729,5 740,5
220,3 228,7 222,5 237,3 240,5 243,2 246,8
Lampiran 13b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman pada umur 8 MST. SK
db
JK
KT
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
1183
591,6
1,7 tn
1 2
7305 702
7305 351
6
9652,2
VxB
6
1533
Galat (b) 24 1159,6 Total 41 21535 KK (a) =7,6%; KK (b) = 2,8%
F.Hitung
F. Tabel 5% 1% 19
99
20,8 *
18,5
98,5
1608,7
33,3 **
2,5
3,7
255,5
5,3 **
2,5
3,7
48,3
89
Lampiran.14.Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; tinggi tanaman pada umur 10 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6
V2
I 233,5 252,5 239 267,4 281,5 280,5 283,7
Kelompok II 235,2 238,1 238,4 239,5 276,6 293,3 296,5
III 237,4 241,3 237,6 257,8 283,2 277,6 281,3
236 241 239,2 246 251 250,5 252
217,4 228,5 218,3 243 245 251 243,5
207,6 216,5 210 223 225,5 228 245
Jumlah
Rerata
706,1 731,9 715 764,7 841,3 851,4 861,5
235,4 244 238,3 254,9 280,4 283,8 287,2
661 686 667,5 712 721,5 729,5 740,5
220,3 228,7 222,5 237,3 240,5 243,2 246,8
90
Lampiran 15a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 2 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
Kelompok I II III 4,5 4 5,3 4,6 4 4,4 4,4 4,3 4,6 4,4 4 5 5,5 4,6 4,5 4,6 4,6 4,7 4,8 4,6 4,4 3,8 3,9 3,9 3,8 3,9 3,7 4,4 4,8 4,2 4,3 4,7 4,8 4,1 4,4 4,1 5 4,8 5 5 5 5
Jumlah
Rerata
13,8 13 13,3 13,4 14,6 13,9 13,8 11,6 11,4 13,4 13,8 12,6 14,8 15
4,6 4,3 4,4 4,5 4,9 4,6 4,6 3,9 3,8 4,5 4,6 4,2 4,9 5
Lampiran 15b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 2 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
0,16
0,08
0,24 tn
19
99
1 2
0,24 0,65
0,24 0,33
0,75 tn
18,5
98,5
6
2,59
0,43
5,41 **
2,5
3,7
VxB
6
2,06
0,34
4,29 **
2,5
3,7
Galat (b) 24 1,92 Total 41 7,63 KK (a) =12,7%; KK (b) = 6%
0,08
91
Lampiran 16a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 4 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
Kelompok I II III 6,5 6,8 7,1 6,1 6,2 6 7,9 7,1 7,5 6,3 6,5 6,2 7 7,1 7,5 7,4 8,5 7,7 8,6 8,5 7,9 5,6 5,2 4,5 6,7 6,1 5,5 5,2 6,1 5,3 5,9 6,2 6 7,6 7,6 6,9 6,9 6,8 6,4 7,7 6,9 7,9
Jumlah
Rerata
20,4 18,3 22,5 19 21,6 23,6 25 15,3 18,3 16,6 18,1 22,1 20,1 22,5
6,8 6,1 7,5 6,3 7,2 7,9 8,3 5,1 6,1 5,5 6 7,4 6,7 7,5
Lampiran 16b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 4 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
0,46
0,23
1,26 tn
19
99
1 2
7,21 0,37
7,21 0,18
39,42 *
18,5
98,5
6
20,21
3,37
21,76 **
2,5
3,7
VxB
6
6,19
1,03
6,66 **
2,5
3,7
Galat (b) 24 3,72 Total 41 38,14 KK (a) =6%; KK (b) = 6%
0,15
92
Lampiran 17a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 6 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 7,7 9,3 7,7 8,3 9,2 8,5 9 7,2 7,2 7,2 7,7 8,8 9 9,6
Kelompok II 8,1 8,2 8,7 9,3 9 9,9 9,7 6,8 6,9 7 7,7 8 8,8 9
III 8,4 9 8,5 9,1 9 9,5 8,9 6,2 6,6 6,6 7,7 7,9 8 8,4
Jumlah
Rerata
24,2 26,5 24,9 26,7 27,2 27,9 27,6 20,2 20,7 20,8 23,1 24,7 25,8 27
8,1 8,8 8,3 8,9 9,1 9,3 9,2 6,7 6,9 6,9 7,7 8,2 8,6 9
Lampiran 17b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 6 MST. SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
0,43
0,22
0,18 tn
19
99
1 2
12,27 2,42
12,27 1,21
10,13 tn
18,5
98,5
6
15,86
2,64
19,55 **
2,5
3,7
VxB
6
2,8
0,47
3,46 *
2,5
3,7
Galat (b) 24 3,24 Total 41 37,03 KK (a) =13%; KK (b) = 4,4%
0,14
93
Lampiran 18a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; jumlah daun tanaman jagung pada umur 8 MST. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 7,7 9,3 7,7 8,3 9,2 8,5 9 7,2 7,2 7,2 7,7 8,8 9 9,6
Kelompok II 8,1 8,2 8,7 9,3 9 9,9 9,7 6,8 6,9 7 7,7 8 8,8 9
III 8,4 9 8,5 9,1 9 9,5 8,9 6,2 6,6 6,6 7,7 7,9 8 8,4
Jumlah
Rerata
24,2 26,5 24,9 26,7 27,2 27,9 27,6 20,2 20,7 20,8 23,1 24,7 25,8 27
8,1 8,8 8,3 8,9 9,1 9,3 9,2 6,7 6,9 6,9 7,7 8,2 8,6 9
Lampiran 18b. Pengaru perlakuan terhadap persentase peningkatan nilai pada semua variabel pengamatan (%) Persentase peningkatan nilai pada semua variabel pengamatan (%)
Perlakuan Faktor V
V1
V2
Keterangan;
Faktor B B1 B2 B3 B4 B5 B6 B1 B2 B3 B4 B5
TT
J.D
PT
LT
JBB/T.
IPP
Prod.
3.8 1.3 8.5 19.1 20.9 22.1 4.1 1.4 7.7 9.5 10.5
9.5 2.9 10.3 12.4 15.3 14.0 2.5 3.0 14.4 22.3 27.7
8.8 2.0 8.2 27.8 32.7 35.9 7.8 2.9 8.8 33.5 35.9
0.7 1.3 4.6 16.2 15.6 17.0 2.0 5.6 10.9 24.8 26.9
0.5 0.6 10.8 24.9 25.5 29.1 6.5 1.3 12.2 27.3 30.0
23.8 26.5 31.5 36.5 41.0 47.4 4.7 17.3 25.4 41.3 59.0
3.0 4.9 27.9 94.4 111.8 115.1 12.9 14.1 22.5 90.6 106.5
B6 12.2 33.7 40.2 29.7 35.2 64.3 129.5 TT=tinggi tanaman, JD=jumlah daun, PT=panjang tongkol, LT=lingkaran tongkol, JBB/T=jumlah baris biji/tongkol. IPP=indeks penekanan penyakit, Prod.=produksi.
94
Lampiran 19a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; panjang tongkol (cm). Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 10,1 10,5 11 11,5 13,2 14 14,2 10,65 10,93 10,11 11,67 14,27 14,54 14,8
Kelompok II 10,7 11,4 10,2 11,1 12,8 13,4 13,8 10,69 11,18 11,42 11,11 14,16 13,9 14,7
III 9,8 11,4 10 10,5 13,1 13,2 13,6 9,76 11,42 10,47 11,06 13,08 13,85 14,11
Jumlah
Rerata
30,6 33,3 31,2 33,1 39,1 40,6 41,6 31,1 33,53 32,01 33,84 41,51 42,28 43,61
10,2 11,1 10,4 11,03 13,03 13,53 13,87 10,37 11,18 10,67 11,28 13,84 14,09 14,54
Lampiran 19b.Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; Panjang tongkol (cm). SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
1,55
0,78
15,02 tn
19
99
1 2
1,67 0,1
1,67 0,05
32,32 *
18,5
98,5
6
100,2
16,7
94,61 **
2,5
3,7
VxB
6
0,69
0,12
0,65 tn
2,5
3,7
Galat (b) 24 4,24 Total 41 108,5 KK (a) =1,9%; KK (b) = 3,6%
0,18
95
Lampiran 20a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; lingkaran tongkol (cm). Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 12,5 12,3 12 12,8 13,8 14 14,6 12.9 12,81 12,57 13,56 15,27 15,91 15,79
Kelompok II 11,7 11,5 12,2 13 14,8 14,7 14,4 12,48 12,53 13,79 13,53 15,23 15,1 15,7
III 12,9 12,6 13,4 13 14,5 14,2 14,4 10,95 11,72 12 13,21 14,85 15,11 15,63
Jumlah
Rerata
37,1 36,4 37,6 38,8 43,1 42,9 43,4 36,33 37,06 38,36 40,31 45,35 46,11 47,12
12,37 12,13 12,53 12,93 14,37 14,3 14,47 12,11 12,35 12,79 13,44 15,12 15,37 15,71
Lampiran 20b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; lingkaran tongkol (cm). SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
0,25
0,12
0,08 tn
19
99
1 2
3,06 3,04
3,06 1,52
2,01 tn
18,5
98,5
6
52,6
8,76
40,9 **
2,5
3,7
VxB
6
8,55
1,42
6,65 **
2,5
3,7
Galat (b) 24 5,14 Total 41 72,6 KK (a) =9%; KK (b) = 3,4%
0,21
96
Lampiran 21a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; jumlah baris biji/tongkol. Perlakuan V B B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
I 12 11,1 11,3 12,2 14,3 14,3 14,7 12 10,89 11,36 12,19 14,45 15,1 15,4
Kelompok II 10,7 11,7 11,9 12,2 14 13,5 14,3 10,67 11,95 12,32 11,73 14,35 13,85 14,9
III 10,6 12,4 10,3 12,5 13,3 14 14 10,57 12,56 10 13,36 13,5 14,25 14,65
Jumlah
Rerata
33,3 22,8 33,5 36,9 41,6 41,8 43 33,24 35,39 33,67 37,28 42,3 43,2 44,95
11,1 7 11,17 12,3 13,87 13,93 14,33 11,08 11,8 11,22 12,43 14,1 14,4 14,98
Lampiran 21b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; jumlah baris biji/tongkol. SK
db
JK
KT
F.Hitung
F. Tabel 5% 1%
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
12,7
6,4
1,7
tn
19
99
1 2
6,99 7,69
6,99 3,9
1,8
tn
18,5
98,5
6
127,1
21,2
6,5
**
2,5
3,7
VxB
6
20,5
3,4
1,04
tn
2,5
3,7
Galat (b) 24 78,6 3,3 Total 41 253,5 KK (a) =15,8%; KK (b) = 14,5%
97
Lampiran
22a.
Data hasil pengamatan bobot/tongkol (g)
Perlakuan PU
V1
V2
pengaruh
perlakuan
KELOMPOK
terhadap;
JUMLAH
RERATA
AP B0 B1
I 42.24 42.89
II 39.96 41.82
III 39.69 40.79
121.89 125.50
40.63 41.83
B2
46.29
40.33
41.29
127.91
42.64
B3
54.41
51.32
50.19
155.92
51.97
B4
95.12
71.18
70.67
236.96
78.99
B5 B6 B0 B1 B2 B3 B4
96.21 102.77 100,00 88,89 107,14 110,71 185,50
83.62 84.24 94,44 113,20 117,89 116,67 182,50
78.39 75.23 78,57 106,11 86,47 107,14 152,50
258.22 262.24 273,02 308,20 311,51 334,52 520,50
86.07 87.41 91,01 102,73 103,84 111,51 173,50
B5
212,75
170,00
181,00
563,75
187,92
B6
212,50
210,50
203,50
626,50
208,83
Keterangan: V1 = Bobot biji/tongkol kering pipil, V2 = Bobot/tongkol basah
Lampiran 22b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; bobot/tongkol (g). SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B
2
1,242.02
621.01
5.91
1 2
64,770.98 210.04
64,770.98 105.02
6
44,140.07
VxB
6
Galat (b) Total
24 41
F. Tabel 5%
1%
tn
19,00
99,00
616.76
**
18,51
98,50
7,356.68
75.16
**
2,51
3,67
6,604.98
1,100.83
11.25
**
2,51
3,67
2,349.25 119,317.35
97.89
KK (a) = 10,2 %; KK (b) = 9,8 %
98
Lampiran 23a. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan terhadap; bobot1000 biji kering pipil (g) pada varietas BISI2 (V1). Perlakuan B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6
1
Kelompok 2
3
109,50 112,90 112,48 129,50 164,70 169,08 168,70
111,24 115,74 115,50 134,00 167,00 170,40 171,40
113,02 118,62 118,52 138,50 169,30 172,02 174,40
Jumlah (g)
Rerata (g)
333,76 347,26 346,50 402,00 501,00 511,50 514,50
111,25 115,75 115,50 134,00 167,00 170,50 171,50
Lampiran 23b. Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap; bobot 1000 biji kering pipil (g) pada V1 F. Tabel SK db JK KT F.Hitung 5% 1% Klpk 2 100,56 50,28 50.67 ** 3,89 6,93 Perlakuan 6 14.093,07 2.348,84 2.367,01 ** 3,00 4,82 Galat 12 11,91 0,99 Total 20 14.205,54 KK = 1 %
99
Lampiran 24a. Data hasil konversi produksi ton ha-1. Perlakuan PU AP (Varitas) (B) B0 B1 B2 V1 B3 B4 B5 B6 B0 B1 B2 V2 B3 B4 B5 B6
KELOMPOK I
II
III
Jumlah (ton ha-1)
Rerata (ton ha-1)
3.8 3.8 4.1 4.8 8.5 8.6 9.1 8,89 7,90 9,52 9,84 16,49 18,91 18,89
3.6 3.7 3.6 4.6 6.3 7.4 7.5 8,39 10,06 10,48 10,37 16,22 15,11 18,71
3.5 3.6 3.7 4.5 6.3 7.0 6.7 6,98 9,43 7,69 9,52 13,56 16,09 18,09
10.8 11.2 11.4 13.9 21.1 23.0 23.3 24,27 27,40 27,69 29,74 46,27 50,11 55,69
3.6 3.7 3.8 4.6 7.0 7.7 7.8 8,1 9,1 9,2 9,9 15,4 16,7 18.6
Keteterangan; Produksi V1 (kering pipil), V2 (tongkol basah).
konversi = 44.444 rpn x bbt/tgkl x 2 tgkl/1000000 = produksi ha-1
Lampiran 24b. Tabel analisis ragam hasil konversi produksi ton ha-1 F. Tabel 5% 1%
SK
db
JK
KT
F.Hitung
Kelompok PU V Galat (a) AP B VxB Galat (b) Total
2
9.81
4.91
5.91
tn
19,00
99,00
1 2
511.76 1.66
511.76 0.83
616.76
**
18,51
98,50
6 6 24 41
348.75 52.19 18.56 942.74
58.13 8.70 0.77
75.16 11.25
** **
2,51 2,51
3,67 3,67
KK (a) = 9,2%; KK (b) = 9,2%
100
Lampiran 25. Analisis regresi; Produksi versus IPP. Pada varietas jenis pakan ternak BISI2 (V1) menggunakan program SPSS v.20.
Regression Descriptive Statistics Mean Produksi V1 (kg)
Std. Deviation
N
5454.5071
1937.23062
7
29.5214
15.36468
7
IPP (%)
b
Model Summary Model
R
R
2
Adjusted 2 R
a
1 .814 .662 .594 a. Predictors: (Constant), IPP (%). F tabel (α 0,05; df1; df2) = 6,6
Change Statistics
Std. Error of the Estimate
2
F R df1 df2 Change Change 1234,111 .662 9.784 1 5 b. Dependent Variable: Produksi V1 (kg) a
Model Regression 1
Residual Total
ANOVA Sum of Squares df Mean Square 14902030,57 1 14902030,57 7615144,3
5
22517174,87
6
a. Dependent Variable: Produksi V1 (kg).
Model
1
(Constant)
2426,47
1074,56
Sig. b .026
1523028,86
b. Predictors: (Constant), IPP (%)
Coefficients Unstandardized Stand. Coefficients Coef. Std. B Beta Error
IPP (%) 102,57 32,79 .814 a. Dependent Variable: Produksi V1 (kg)
F 9.784
a
t
Sig.
2,3
.002
3.1
.027
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
1.000
1.000
Sig. F Change .026
101
Lampiran 26. Analisis regresi; Produksi versus IPP. Pada varietas jenis konsumsi F1 Valentino (V2) menggunakan program SPSS v.20.
Regression
Produksi V2 (kg) IPP (%)
Descriptive Statistics Mean Std. Deviation 12435.8471 4303.68 30.3029 25.38
N 7 7 b
Model Summary Model
R
1
.967
R a
2
.935
Adjusted 2 R .922
a. Predictors: (Constant), IPP (%). F tabel (α 0,05; df1; df2) = 6,6
Change Statistics
Std. Error of the Estimate
2
R Change
F Change
df1 df2
Sig. F Change
1200.3805 .935 72.125 1 5 0 b. Dependent Variable: Produksi V1 (kg)
.000
a
Model Regression 1
Residual Total
ANOVA Sum of Squares df 103925190.91 1 7204566.74
5
111129757.64
6
Mean Square 103925190.91
F 72.125
Sig. b .000
1440913.35
a. Dependent Variable: Produksi V2 (kg). b. Predictors: (Constant), IPP (%)
a
Model
1
(Constant)
Coefficients Unstandardized Stand. Coefficients Coeff. t B Std. Error Beta 7466.97
740.38
IPP (%) 163.97 19.31 .967 a. Dependent Variable: Produksi V2 (kg)
Sig.
10.085
.000
8.493
.000
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
1.000
1.000
102
Lampiran 27. Hasil Analisis Bokashi
103
Lampiran 28. Deskripsi Dua jenis varitas jagung yang diuji. 1. Varitas BISI-2 (jenis pakan ternak) (SK Mentan No : 589/Kpts/TP.240/9/95) Tahun dilepas
: 1995
Asal
: F1 dari silang tunggal antara FS 4 dengan FS 9.
Umur panen
: ± 103 hari
Tinggi tanaman
: ± 232 cm
Warna biji
: Kuning oranye
Jumlah baris/tongkol
: 12-14 baris
Bobot 1000 biji
: ± 265 g
Rata-rata hasil
: 8,9 ton/ha pipilan kering
Potensi hasil
: 13 ton/ha pipilan kering
Ketahanan
: Tahan terhadap penyakit bulai, bercak daun/hawar daun dan karat daun
Rekomendasi Lahan
: Dataran rendah-1000 m dpl.
2. Varitas F1 Valentino (Jenis Konsumsi) Kode Produksi
: (SC 29422)
Rekomendasi Lahan
: Dataran rendah - tinggi
Ketahanan Penyakit
:-
Umur Panen
: 70-85 HST
Bobot per Tongkol
: 300-400 gram
Potensi Hasil per Hektar : 14-18 ton (Tongkol basah) (SK Mentan No.009/kpts/SR.120/D.2.7/2/2015)
104
Lampiran 29. Dokumentasi penelitian
Dokumentasi ploting dan penanaman
105
Dokumentasi pengamatan dan pasca pembumbunan
106
Performa pertumbuhan fase vegetatif dan generatif
107
Dokumentasi tanaman terinfeksi patogen Helminthosporium sp.
108
Dokumentasi pengamatan hasil panen
109
Lampiran 30. Riwayat hidup penulis
HANDRID, Lahir di Wawotobi Kecamatan Wawotobi Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, pada tanggal 02 Mei 1967. Putra dari Amiruddin S. dan Sarsinah. Anak kedua dari 9 bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan SDN 1 Moramo pada tahun 1980, SMPN 4 Wua-wua pada tahun 1983, SPP-SPMA Wawotobi pada tahun 1986, pada tahun 1987 penulis terangkat menjadi PNS pada Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara hingga sekarang, kemudian pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan Strata 1 (S1) pada Fakultas Pertanian Universitas Sulawesi Tenggara dan selesai pada tahun 2014, pada tahun 2015 melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) pada Program Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo Program Studi Agronomi konsentrasi Hama dan Penyakit Tanaman dan selesai pada tanggal 09 Maret 2017 dengan masa study selama 19 bulan dan dengan predikat Cum Laude.